AKTUALISASI NILAI-NILAI SPIRITUALITAS DALAM TRADISI BERETES (SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DALAM MEMBANGUN PERSAUDARAAN) Oleh Saeful Ahyar1 Abstrak Suatu tradisi tidak jarang merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi bisa berupa pengalaman atau kepercayaan seperti halnya tradisi beretes yang merupakan ungkapan rasa syukur atas kesehatan dan keselamatan si janin dan si hamil kepada yang Mahakuasa di saat janin berumur tujuh bulan. Pada tahap persiapan pelaksanaan ritual pun masyarakat memupuk rasa solidaritas dan persaudaraan dengan melakukan musyawarah dan bekerja sama dalam melakukan persiapan di malam harinya (sebelum pelaksanaan ritual tersebut). Partisipasi masyarakat pada kegiatan semacam ini dapat dijadikan sebagai media komunikasi dalam membangun persaudaraan dan solidaritas sosial dari masing-masing anggota masyarakat.. Partisipasi masyarakat pada kegiatan semacam ini dapat dijadikan ukuran (tolok ukur) rasa persaudaraan dan solidaritas sosial serta semangat spiritualitas dari masing-masing anggota masyarakat. Pada tahap pelaksanaan ritual, misalnya, bentuk nilai-nilai spritulitas seperti alukhuwwah, silaturrahmi, dan dakwah dapat kita rasakan pada saat masyarakat berkumpul untuk berzikir , berdoa, dan makan bersama. Kata Kunci : Nilai-Nilai spiritualitas, Tradisi Beretes, Media Komunikasi, Persaudaraan 1 Alumni S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram. 85 A. Pendahuluan Dalam suatu kebudayaan terdapat pula rangkaian adat-istiadat serta tradisi yang mana hal-hal tersebut berkaitan satu sama lain. Tradisi dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang tentunya kerap dilakukan, hingga membentuk suatu pola adat-istiadat yang dilakukan suatu masyarakat dan terus dipertahankan. Adat-istiadat tersebut telah disepakati oleh masyarakat yang menjalaninya, sehingga membudaya dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya dapat dianggap sebagai identitas suatu bangsa.2 Bagaimana ciri khas maupun keunikan suatu budaya bangsa merupakan daya tarik tersendiri yang muncul dari budaya tersebut. Terutama bangsa Indonesia sebagai bangsa yang selain kaya sumber daya alamnya juga kaya akan budaya. Melihat arti kebudayaan dalam perspektif antropologi, “Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Serta, “dari suatu kebudayaan dapat tampak suatu watak khas (ethos), seperti yang tampak misalnya pada gaya tingkah laku, kegemaran, atau benda-benda hasil karya warga masyarakatnya. Maka jelas sudah pengaruh kebudayaan dengan etos masyarakat. Pada abad ke-17, masyarakat siwa-Budha3, yaitu sinkretisasi ajaran Hindu-Budha datang ke Lombok untuk membuka lahan pertanian dan mendirikan pemukiman seperti daerah Pagutan, Pagesangan Mataram, dan Tanak Embet di Batu Layar Lombok Barat. Dengan datangnya Hindu-Budha ini akulturasi budaya kembali terjadi antara animisme dan dinamisme hingga pada sisi keagamaan, para sufi mengajarkan Islam tanpa menyingkirkan budaya animisme dan dinamisme seperti dakwah para wali songo di Jawa, yaitu dengan mengolaborasikan budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Seperti halnya beberapa pendapat mengatakan bahwa tradisi dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang tentunya kerap dilakukan, hingga membentuk suatu pola adat-istiadat yang dilakukan suatu masyarakat dan terus dipertahankan. Adat-istiadat tersebut telah disepakati oleh masyarakat yang menjalani, sehingga membudaya dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu tradisi kiranya merupakan warisan turun-temurun dari nenek moyang. Tentunya memiliki maksud atau tujuan tersendiri. Nenek moyang mengajarkan berbagai hal untuk bekal 2 Lihat; http://www.scribd.com/doc/20192020/Muatan Lokal Gumi Sasak Kelas 5. diakses pada hari/tanggal 21 Maret 2013 pukul 09.30 WITA. 3 Fawaizul Umam, dkk, Membangun Resistensi,MerawaT tradisi: Modal Sosial Komunitas Wetu Telu, Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat, 2006, 55 86 masa depan bercampur pengalaman serta kepercayaan yang kini menjadi suatu tradisi yang terbilang unik. Adapun kepercayaan nenek moyang tentang kekuatan magis suatu benda, tumbuhan atau hewan yang dinamakan dinamisme; nenek moyang mempercayai bahwa adanya kekuatan magis tersebut pada suatu benda dan dipercayai dapat membawa kekuatan, keberuntungan, serta keselamatan;kemudian benda yang dipercayai memiliki kekuatan magis yang dijadikan semacam jimat atau sesuatu yang dikeramatkan, maka jangan heran jika beberapa ritual keagaman yang dilakukan masyarakat Islam yang ada di Lombok khususnya, sarat dengan nuansa Hindhu-Budha atau animisme dan dinamisme salah satunya adalah upacara beretes di Dusun Aiq-Are Desa Sandik Kec. Batulayar Lombok Barat. B. Tradisi Beretes Beretes merupakan upacara untuk menumpahkan rasa syukur kepada yang Mahakuasa atas kehamilan seorang istri, yang biasanya dilakukan setelah janin berumur tujuh bulan. Upacara beretes ini seperti informan jabarkan sarat dengan nuansa mitos yang mungkin saja dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang dekat dengan perbuatan menyekutukan Allah (syirik).4 Dikarenakan alat-alat yang digunakan dalam upacara ini seperti kembang rampai, benang warna-warni, beras, kunyit, dan bejana tanah, serta prosesi adat beretes ini juga seperti pemotongan benang dan penghancuran bejana tanah yang sedikit memistiskan beretes ini, yang walaupun ada sedikit kesan religiusnya seperti ritual roah (zikiran bersama) dan pembacaan Hikayat Nur Muhammad. Prosesi adat beretes ini telah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Aiq Are dan dilakukan sebagai perantara untuk menumpahkan rasa syukur dan meminta keselamatan untuk ibu hamil dan janinnya kepada Yang Mahakuasa. Karena pada usia kandungan tujuh bulan janin sudah berbentuk sempurna dan sudah mulai banyak bergerak. Adat beretes yang dilakukan di Dusun Aiq Are, Lombok Barat ini memperlihatkan suatu perpaduan yang cukup unik yaitu : pertama, adanya kegiatan religius yaitu roah (zikir bersama); kedua, kegiatan adat yaitu upacara pemandian dengan air kembang; ketiga, acara ini hanya dilakukan pada usia kandungan tujuh bulan. Dalam dakwah Islam mengikuti sesuatu tanpa ada dasar syariat dikenal dengan istilah taqlid, sementara menjadikan sesuatu sebagai perantara 4 Sadrun, Tokoh masyarakat di dusun Aiq-are, wawancara, tanggal 03 Februari 2013. 87 disebut tawassul seperti adat beretes ini dan yang memperkuat tawassul ini adalah istilah urf shahih yaitu adat atau kebiasaan masyarakat yang lebih banyak mengandung manfaat ketimbang mafsadatnya.5 Beretes dari bahasa sasak yakni kata ‘retes’ atau ‘getes’ yang berarti putus atau potong yaitu memutuskan ikat pinggang si hamil waktu upacara beretes dengan tujuan agar anak yang di kandung cepat keluar, selamat, dan menjadi anak yang saleh. Biasanya adat ini dilakukan setelah janin berumur tujuh bulan, namun kebanyakan dilakukan oleh masyarakat yang memiliki ekonomi menengah ke atas upacara ini pada masa kehamilan berumur delapan bulan yaitu sebelum kelahiran seorang anak setelah ada biaya untuk zikiran atau syukuran, tetapi yang umumnya adat ini juga dilakukan dengan beberapa rangkaian acara seperti; diawali dengan acara roah (zikir bersama), kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Hikayat Nur Muhammad sampai Cerite Bulan Belah, pemasangan dan pemotongan kemaliq (ikat pinggang dari benang warna-warni) pada perut si hamil, mandi kembang rampai, penghancuran kemeq (bejana tanah) dan diakhiri dengan beboreh (melumuri badan dengan tumbukan beras yang dicampur dengan kunyit) dan mamaq (mengunyah campuran daun sirih, gambir, dan buah pinang). Dalam sebuah tradisi atau adat istiadat, sudah barang tentu membutuhkan yang namanya alat atau bahan-bahan yang digunakan selama upacara berlangsung. Begitu pula dengan tradisi beretes ini, adapun alat-alat yang digunakan adalah antara lain: 1. Kembang rampai (bunga) Kembang rampai merupakan beragam jenis bunga yang dipetik yang nantinya dicampur dengan air, namun tidak ditentukan jenis bunganya. Kembang rampai digunakan untuk memandikan si ibu hamil ketika pembacaan Hikayat Nur Muhammad dan pemotongan kemaliq. Kembang rampai adalah simbol keindahan, keharuman, keselamatan, dan kekuatan. Proses kehamilan sampai proses melahirkan adalah suatu hal yang indah dan harum bagi pasangan suami istri, namun membutuhkan kekuatan untuk menyelamatkan kandungan tersebut hingga akhir hayat. 2. Kemeq (periuk) Yang terbuat dari benang yang beragam warnanya yang dibuat dengan cara disulam atau dikesek. Kemeq ialah bejana yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, biasa didapatkan di tempat pembuat gerabah. Kemeq adalah simbol bagi perut si hamil yang bundar dan kuat. 5 Observasi, di dusun Aiq Are, tanggal 3 Februari 2013 88 Kemeq diguanakan sebagai tempat bunga rampai dan akan dipecahkan setelah pembacaan Hikayat Nur Muhammad dan pemandian bunga rampai selesai dilakukan. Pemecahan kemeq disimbolkan sebagai pecahnya ketuban sehingga anak yang di dalam kandungan cepat keluar saat melahirkan. 3. Kemaliq (ikat pinggang) Kemaliq merupakan sejenis ikat pinggang sehingga membentuk ikat pinggang yang panjangnya sesuai dengan ukuran perut si hamil dan lebarnya biasa 6 cm. Kemaliq ini diikat pada perut si ibu hamil sebelum Hikayat Nur Muhammad dibacakan. Kemudian dipotong setelah pembacaan Hikayat Nur Muhammad sampai Cerita Bulan Belah. Lalu beberapa helai benang kemaliq yang sudah dipotong untuk diikatkan kepada tangan si hamil sebagai penangkal kejahatan. Benang yang digunakan biasanya bewarna hitam dan putih, serta pemotongan kemaliq dilakukan sebagai simbol pecahnya ketupan si hamil. 4. Beboreh (penawar kuning) Beboreh yaitu sejenis obat penawar yang dibuat dari campuran beras dan kunyit yang ditumbuk halus yang kemudian dibentuk seperti pil bundar sebesar biji kacang tanah. Beboreh digunakan sebagai obat bagi si hamil, yang diminum agar si hamil dan kandungannya menjadi sehat dan kuat. 5. Ladik (pisau) Ladik merupakan bahasa sasak dari pisau kemudian yang tidak ditentukan jenis atau bentuk, baik itu berupa gunting atau alat pemotong lainnya, yang penting bisa digunakan untuk memotong benang atau kemaliq yang diikatkan di perut si hamil.6 6. Buku Hikayat Nur Muhammad7 Buku ini ditulis dengan hurup Arab Melayu yang menceritakan kehidupan nabi Muhammad semenjak berupa “nu”’ yaitu ketika dunia baru diciptakan hingga akhir hayatnya. Namun “pemace” biasanya hanya mambaca sampai “Cerita Bulan Belah”. Yaitu cerita ketiaka nabi Muhammad disuruh membuktikan kenabiannnya oleh kaum kafir qurays dengan suatu mu’jizat yaitu menurunkan bulan dan memasukkan ke lengan baju dan membelahnya. Hikayat Nur Muhammad dibaca sampai cerita belah bulan adalah sebagai simbol dari kandungan yang bundar seperti bulan bisa terbelah atau pecah dalam artian si hamil bisa cepat melahirkan. 6 7 Muhammad sidik.Wawancaara, Dusun Aiq-Are, 27 oktober 2012. Hikayat Nur Muahammad; Dan Nabi Bercukur; Dan Nabi wafat Adanya, h. 9-20 89 7. Pemace (pembaca buku Hikayat Nur Muhammad) Pemace biasanya memiliki suara yang bagus karena Hikayat Nur Muhammad dibaca dengan sedikit menyanyi (betembang) agar para pendengar terutama si hamil tenang dan senang mendengarnya. C. Aktualisasi Nilai-Nilai Spritualitas Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya tradisi beretes merupakan ungkapan rasa syukur atas kesehatan dan keselamatan si janin dan si hamil kepada yang Mahakuasa. Yang kemudian melahirkan berbagai macam pandangan dalam masyarakat dalam hukumnya dalam presfektif agama, dan untuk itu perlu kajian khusus untuk merumuskan ketetapan hukumnya. Kajian tersebut akan diawali dengan tinjauan sosiologis terhadap pelaksanaan adat beretes dalam masyarakat Aiq Are. Tinjauan ini didasarkan bahwa adat beretes adalah suatu adat yang di mana setiap adat merupakan produk sosial budaya suatu masyarakat sehingga masyarakat dipengaruhi oleh berbagi aspek yang meliputi kehidupan masyarakat, dalam hal ini meliputi Dusun Aiq Are. Secara sosiologis keberadaan adat beretes dapat menjadi salah satu faktor stabilitas sosial. Sebagai suatu kegiatan masyarakat tradisional, cara pelaksanaan adat beretes cukup memenuhi syarat sebagai sarana untuk menghindari dan meredam timbulnya konflik dalam masyarakat khususnya di dusun Aiq Are, Karena dalam tahapan-tahapan pelaksanaan ritual adat beretes terkandung kegiaatan-kegiatan interaksi antar masyarakat yang mencerminkan langkahlangkah antisipatif masyarakat dusun terhadap konflik sosial. Pelaksanaan adat beretes selama ini telah mampu mempertahankan rasa kebersamaan yang dilandasi semangat kekeluargaan dan kerja sama diantara mereka. 8 Keadaan tersebut dapat dilihat dalam tahapan pelaksanaan adat beretes berikut: 1) Tahap Persiapan Pelaksanaan Ritual Masyarakat memupuk rasa solidaritas dengan melakukan musyawarah dan bekerja sama dalam melakukan persiapan di malam pelaksanaan ritual. Partisipasi maasyarakat pada kegiatan semacam ini dapat dijadikan ukuran tingkat solidaritas sosial dari masing-masing anggota masyarakat. 8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Sistematis, Jakarta: Rajawali,1985, 84-85. 90 2) Tahap Pelaksanaan Ritual Pola peningkatan solidaritas antar masyarakat semakin jelas dan beragam bentuknya. Masyarakat Aiq Are berkumpul untuk berzikir , berdoa, dan makan bersama yang dihadiri oleh orang-orang yang mendapatkan undangan dari pihak penyelenggara dengan tujuan yang sama yang dipimpin oleh pemuka agama atau orang yang dipercaya dan diakui bersama. Kegiatan ritual ini dilandasi semangat dan menunjukkan bahwa di dalam diri masyarakat Aiq Are telah mencapai nilai luminal (keadaan di mana peserta adat merasakan kebersamaan melalui kegiatan perilaku yang sama, setelah melepaskan diri dari semua belenggu perbedaan dalam kehidupan sosial).9 Bentuk nilai-nilai spritualitas yang terkandung di dalamnya (tradisi beretes). Dalam kehidupan masyarakat yang terlihat sepintas terdapat. rasa ukhuwwah (persaudaraan), karena adat beretes banyak menggambarkan tentang ukhuwwah Islamiyah, ini dapat dilihat dari para masyarakat saat berkumpul bersama di rumah pembuat acara. Terlihat jelas tali persaudaraan mereka tanpa membedakan yang satu dengan yang lain. Yang tua dengan yang muda, yang miskin dengan yang kaya; semuanya sama karena mereka adalah bersaudara serta perwujudan dari sebuah silaturrahmi. Silaturrahmi adalah menyambung tali persaudaraan atau cinta kasih dengan sesama ummat muslim yang mana hal tersebut hukumnya wajib, sedangkan apabila memutuskannya merupakan perbuatan maksiat yang mengandung dosa besar. Rasul SAW dalam sabdanya menekankan silaturrahmi secara khusus dan memberikan ancaman secara khusus kepada orang yang memutuskannya; seperti asumsi masyarakat pada umumnya, bahwa sesuatu yang tidak boleh hilang dari kehidupan bermasyarakat adalah silaturahmi. Silaturrahmi merupakan penyambung tali persaudaraan atau cinta kasih di antara sesama. Sebagaimana hadist Nabi SAWyang artinya: Dari Annas r.a. ia berkata, bahwa Rasulullah SAW, bersabda: “barang siapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dilamakan bekas telapak kakinya (dipanjangkan umurnya), hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi”. (muttafakun alaih, misykat).10 Bentuk nilai spritualitas selanjutnya dalam tradisi beretes ialah dakwah. Dakwah menurut bahasa berarti “teriakan” (as-shahihatul) dan seruan (an-nida’), sedangkan menurut istilah adalah mengerahkan pikiran dan akal kepada suatu pikiran atau aqidah yang mendorong mereka untuk menganutnya. Menurut pendapat lain menjelaskan bahwa dakwah menurut bahasa adalah panggilan, ajakan atau seruan. Secara terminologi mempunyai banyak arti, sedangkan secara 9 Wartaya Winanangun, Masyarakat Bebas Struktur , Yogyakarta: Kanisius, 1990, 37-38. Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandahlawi Rah, Fadilah Sedekah, Yogyakarta: ash-shaff,2006, 229. 10 91 etimologi, dakwah, diartikan sebagai perbuatan yang mengandung sisi positif dari ajakan menuju keselamatan dunia dan akhirat sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah dalam surat alAnfal: 24. Yang artinya: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu[605], Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya[606] dan sesungguhnya kepadaNyalah kamu akan dikumpulkan. (QS. al. Anfaal (8):24).11 Salah satu nilai dakwah yang terkandung dalam adat beretes ini adalah membentuk jemaah atau masyarakat Islam, di mana seperti yang di ketahui dakwah dari sudut pandang agama adalah suatu kewajiban. Wajib menurut hukum syara’ ialah suatu pekerjaan yang berpahala bila dikerjakan dan berdosa bila tinggalkan. Dan fardhu ain bagi diri sendiri. Untuk menghidupkan dakwah seyogyanyalah kaum muslimin teguh meneguhkan jemaah. Dalam hidup ini seseorang tidak terlepas dari orang lain dan tidak bisa hidup tanpa orang lain. Kehadiran orang lain dalam hidup kita entah sebagai mitra kerja maupun sebagai teman bergaul, sama halnya dengan perayaan upacara adat beretes di dusun Aiq Are. Pada saat masyarakat atau penduduk setempat hendak mengadakan roah (zikiran) mereka mengundang para tetangga baik yang dekat maupun jauh. Perayaan adat beretes yang dilaksankan oleh masyarakat Aiq Are masih dilakukan sampai sekarang, masyarakat setempat pun masih antusias dan yakin dengan kepercayaan adat beretes tersebut. Perayaan adat beretes dilaksanakan secara turun temurun dari para leluhur mereka sampai sekarang. Kesan masyarakat Dusun Aiq Are mengenai adat beretes ini adalah sebagai seruan iman dan tentunya sebagai ajang silaturrahmi, adat beretes ini sangat cocok untuk dilestarikan dan dibudayakan (tutur salah seorang tokoh masyarakat ‘inaq nikmah’)”.12 11 12 QS. al. Anfaal (8):24 Inaq Nikmah, tokoh masyarakat di Dusun Aiq-Are, Wawancara di Aiq-are, tanggal 17 Februari 2013. 92 D. Penutup Beretes merupakan ungkapan rasa syukur atas kesehatan, keselamatan si janin dan si hamil kepada yang Mahakuasa di saat janin berumur tujuh bulan. Tradisi beretes ini pun memiliki nilai-nilai spritualitas. Walaupun tradisi beretes memiliki nuansa mitos yang mungkin saja mendekati seseorang kepada perbuatan syirik.13 Pasalnya, alat-alat yang digunakan dalam adat beretes ini seperti: kembang rampai, benang warna-warni, beras, kunyit, dan bejana tanah; proses adat beretes ini juga berupa pemotongan benang dan penghancuran bejana tanah yang sedikit memistiskan beretes ini, walaupun ada sedikit kesan religiusnya seperti roah ( zikiran bersama ) dan pembacaan Hikayat Nur Muhammad. Pada tahap persiapan pelaksanaan ritual. masyarakat membangun rasa persaudaraan dan solidaritas dengan melakukan musyawarah dan bekerja sama dalam melakukan persiapan di malam pelaksanaan ritual. Partisipasi masyarakat pada kegiatan semacam ini dapat dijadikan ukuran tingkat persaudaraan dan solidaritas sosial dari masing-masing anggota masyarakat. Pada tahap pelaksanaan ritual, bentuk nilai-nilai spritulitas seperti: ukhuwah, silaturrahmi, dan dakwah saat masyarakat berkumpul untuk berzikir , berdoa, dan makan bersama. 13 Sadrun, tokoh masyarakat di dusun Aiq-are, wawancara, tanggal 03 februari 2013. 93 DAFTAR PUSTAKA Christine Huda Doge, Kebenaran Islam Segala Hal Tentang Islam A-Z. Yogyakarta: PT. Anindiya Mitra Internasional, 2006. Fawaizul Umam.dkk. Membangun Resistensi,MerawaT tradisi: Modal Sosial Komunitas Wetu Telu. Mataram: Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat, 2006. Hairi Nirwani.Adat Dalam Prespektif Dakwah Studi Tentang Adat Melemen di Dusun Batu Malik Desa Gapuk kec.Gerung.Skripsi IAIN Mataram.2005.. Komunitas al Katib Mahasiswa PAI. Islamologi IV; Tafsir Islam Warna-Warni. Kurnia kalam semesta Yogyakarta, Alam Tara Institut Islam Mataram, Mahasiswa PAI Tarbiyah IAIN Mataram. 2012. Muhaemin. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; potret dari Cirebon.Jakarta:Logos,2001. Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandahlawi. Fadilah Sedekah. Jokyakarta: ash-Shaff, 2006. Muhammad Tholchah Hasan. Islam Dalam Prespektif Sosial Kultural. Jakarta: Lantabora press, Desember 2000. Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Madani Respondan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta: Mediacita, 2000. 94