Imam Syafi`I

advertisement
Imam Syafi`I
Anjurkan Ummat Islam Untuk Tidak Bertaqlid
Pada 150 H/694 M, di sebuah kampung miskin di tengah kota Ghazzah (Gaza), Palestina,
lahir seorang bayi lelaki dari pasangan suami istri Idris bin Abbas asy-Syafi`i dengan seorang
wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan Quraisy ini dinamai Muhammad bin Idris asy-Syafi`i.
Namun kebahagiaan yang dirasakan keluarga miskin ini tidaklah berlangsung lama. Beberapa saat
setelah kelahiran itu, ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda.
Di tangan sang ibu yang amat mengasihinya, bayi itu tumbuh sehat dan kuat. Ketika mulai
disapih, dibawalah ia ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani
Mutthalib. Di lingkungan baru ini ia tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang penuh semangat. Ia
pun mulai mempelajari bahasa dan menekuni syair Arab. Ia pun tekun menghafal al-Qur’an,
sehingga pada usia 7 tahun dihafalnya 30 juz al-Qur’an.
Ia rasakan betapa nikmatnya menimba ilmu itu, ia pun mempelajari ilmu fiqih. Ia berguru
kepada para ulama fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid az-Zanji, Dawud bin
Abdurrahman al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abi
Bakr al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin al-Ayyadl, dsb. Tidak puas di sini, ia berangkat
menuju Madinah untuk belajar di halaqah Imam Malik bin Anas. Di majelis ini, ia menghafal dan
mendalami kitab karya Imam Malik yang terkenal, al-Muwattha’.
Kecerdasan yang ditunjukkan Syafi’i membuat kagum Imam Malik.
***
DI usia 20 tahun, Muhammad bin Idris as-Syafi’i telah meraih kedudukan yang tinggi di
kalangan ulama dalam berfatwa dan keahlian dalam berbagai ilmu yang berkisar pada al-Qur’an
dan as-Sunnah. Kedudukan dan ilmu yang telah diraihnya ini belum juga membuatnya puas. Ia
tinggalkan Madinah menuju negeri Yaman untuk belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin
Yusuf al-Qadli, dsb. Dari Yaman, beliau melanjutkan perjalanan jihadnya menuju Baghdad di Irak.
Di kota ini ia banyak belajar dari Muhammad bin al-Hasan, Isma’il bin Ulaiyyah, Abdul Wahhab
ats-Tsaqafi, dsb.
Sejak di kota Baghdad, Muhammad bin Idris asy-Syafi`i mulai dikerumuni para muridnya.
Ia pun mulai menulis berbagai keterangan tentang agama. Beberapa hal yang dirasanya
menyimpang dari sunnah Nabi Muhammad saw ia bantah dan luruskan. Kitab Fiqih dan Ushul
Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitasnya semakin luas. Banyak orang semakin mengaguminya,
sehingga berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu yang digelarnya. Tersebutlah beberapa
tokoh yang hadir, seperti Abu Bakr Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi (salah seorang guru alBukhari), Ahmad bin Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Abdul Aziz
bin Yahya al-Kinani al-Makki (pengarang kitab al-Haidah), dsb. Dari sekian banyak yang hadir,
orang yang paling mengaguminya adalah Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).
Imam Syafi`i tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Ia pindah ke Mesir dan tinggal di sana
sampai wafat pada 204 H dalam usia 54 th. Ia tinggalkan warisan yang tak ternilai, ilmu yang
ditulisnya dalam kitab ar-Risalah (Ushul Fiqih), kitab Musnad as-Syafi`ie (kumpulan hadits), dan
kitab al-Um (kumpulan keterangan dalam masalah fiqih).
***
Imam Abu Nu’aim al-Asfahani menukil beberapa riwayat, nasihat, dan pernyataan Imam
Syafi`i dalam berbagai masalah yang sekaligus menunjukkan pendirian Imam Syafi`i dalam
memahami agama. Di antaranya:
Penghargaannya kepada Ahli Hadits, Imam Syafi’i mengatakan, “Bila aku melihat Ahli
Hadits, seakan aku melihat seorang dari sahabat Nabi saw.”
Tentang ilmu kalam, ia mengatakan, “Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan
berbagai amalan yang dilarang oleh Allah, selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia
mempelajari ilmu kalam.” Ia juga menyatakan, “Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada
dalam ilmu kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari darinya seperti dia lari dari macan.”
1
Hal itu menunjukkan betapa anti patinya ia terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu yang
membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat. Diriwayatkan ar-Rabi’ bin
Sulaiman bahwa ia menyatakan, “Aku mendengar Syafi`i berkata, ‘Barangsiapa mengatakan bahwa
al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.’”
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim al-Asfahani bahwa Imam Syafi`i telah mengkafirkan
seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs al-Fardi, karena ia menyatakan di
hadapannya bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk.
Al-Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanad dari al-Buwaithi yang menyatakan,
“Aku bertanya kepada Syafi`i, ‘Bolehkah aku shalat di belakang imam yang Rafidli?’ Ia menjawab,
‘Jangan engkau shalat di belakang imam yang Rafidli, ataupun Qadari ataupun Murji’i.’ Aku
bertanya lagi, ‘Terangkan kepadaku tentang siapakah masing-masing dari mereka itu?’ Jawabnya.
‘Barangsiapa mengatakan, iman itu hanya perkataan lisan dan hati belaka, maka dia itu adalah
murji’i; barangsiapa mengatakan, Abu Bakar dan Umar itu bukan imamnya kaum Musli, maka dia
itu adalah rafidli; barangsiapa mengatakan, kehendak berbuat itu sepenuhnya dari dirinya (yakni
tidak meyakini bahwa kehendak berbuat itu diciptakan Allah ), maka dia itu adalah qadari.’”
Di samping itu, Syafi’i menyebut pula aliran bid’ah lainnya, Qadariyah, yaitu aliran
pemahaman yang menolak beriman kepada rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada
adanya taqdir Allah SwT). Murji’ah, aliran yang menyatakan, iman itu hanya keyakinan yang ada di
hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Iman itu tidak bertambah dengan perbuatan ketaatan
kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan kepada Allah.
Semua itu adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan Imam Syafi`i melarang orang shalat
di belakang imam yang berpandangan dengan salah satu dari pemikiran sesat itu.
Imam Syafi`i juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk tidak bertaqlid (mengikut
dengan membabi buta) kepada seseorang, sehingga meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah ketika
pendapat orang yang diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakannya dalam
beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyahnya dengan sanad yang
shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, katanya, “Ayahku menceritakan kepadaku bahwa
Muhammad bin Idris asy-Syafi`i berkata, ‘Wahai Aba Abdillah, engkau lebih mengetahui haditshadits shahih dari kami, maka bila ada hadits yang shahih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku
akan bermadzhab dengannya. Sama saja bagiku, apakah perawinya itu orang Kufah, ataukah orang
Basrah, ataukah orang Syam.’”
Demikian ia memberikan patokan kepada para muridnya, hadits shahih itu adalah dalil yang
sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Pendapat dari siapa pun bila menyelisihi hadits yang
shahih, tentu tidak akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat yang
demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang menyelisihinya. (au)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002
2
Download