1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada umumnya bank

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya bank dikenal sebagai sebuah tempat dimana kita
menyimpan uang kita, tempat yang sangat identik dengan kata menabung.
Orang tua kita selalu mengajari kita untuk menabung, dimulai dari menabung
di celengan yang biasanya terbuat dari tanah dan memiliki bentuk serta warna
yang mencolok agar anak-anak tertarik untuk mengisinya dengan tabungan
yang kita peroleh dari sisa uang saku yang diberikan orangtua, namun berjalan
usia jumlah uang tabungan yang kita simpanpun bertambah, sehingga
celengan yang kita gunakan sudah tidak mencukupi, dan kita mulai meyimpan
uang saku tersebut didalam bank. Uang saku yang kita simpan di dalam bank
tersebut bersama dengan uang yang disimpan oleh nasabah lain disalurkan
oleh bank yang bersangkutan kembali ke masyarakat, salah satu cara utama
yaitu melalui pemberian fasilitas kredit.
Pengertian bank dapat kita lihat dalam Pasal 1 Angka 2 UndangUndang Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 Tentang
Perbankan ( UU Perbankan) , yaitu badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup orang banyak. Dari penjelasan pasal tersebut bank
diartikan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, sehingga
2
usaha perbankan selalu berkaitan dengan masalah keuangan. Usaha Perbankan
dapat meliputi tiga kegiatan utama, yaitu1 :
1. Menghimpun Dana;
2. Menyalurkan Dana; dan
3. Memberikan jasa bank lainnya.
Menghimpun dan menyalurkan dana merupakan salah satu kegiatan pokok
bank, yang dimaksud dengan menghimpun dana adalah mengumpulkan atau
mencari uang (dana) dengan cara membeli dari masyarakat dalam bentuk
tabungan, giro, dan deposito. Terdapat berbagai jenis simpanan yang
ditawarkan bank kepada masyarakat seperti deposito berjangka, sertifikat
deposito, dan bentuk lainnya yang masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan dimana nasabah bisa menyesuaikan dengan kebutuhan dan
keadaan. Kegiatan membeli dana dari masyarakat ini lebih dikenal dengan
istilah kegiatan funding.
Tentunya agar masyarakat tertarik untuk menyimpan uangnya, bank
harus
memiliki
sebuah
rangsangan
balas
jasa
yang
menarik
dan
menguntungkan, salah satu caranya yaitu dengan memberikan bunga baik
giro, tabungan, dan deposito. Sebagai sebuah badan usaha tentu tujuan bank
adalah
memperoleh
keuntungan,
kegiatan
menghimpun
dana
tidak
memberikan bank pendapatan, karena pada dasarnya uang tersebut milik
nasabah bukan milik bank, sehingga untuk dapat menjalankan usahanya bank
menyalurkan kembali dana nasabah yang disimpan tersebut kepada
1Kasmir,2012,ManajemenPerbankan,PT.RajagrafindoPersada,Jakarta.
3
masyarakat dalam bentuk pinjaman atau disebut juga kredit, kegiatan
penyaluran dana ini disebut juga lending. Dalam pemberian kredit juga bank
mengenakan suku bunga kredit yang pastinya berbeda dengan suku Bungan
giro, tabungan, dan deposito. Selain dikenakan bunga, bank juga
membebankan jasa pinjaman kepada penerima kredit (debitur) dalam bentuk
biaya administrasi serta biaya provisi dan komisi.2 Keuntungan diperoleh bank
melalui selisih bunga simpanan yang diperoleh penyimpan dengan suku bunga
kredit yang disalurkan, keuntungan yang diperoleh dari selisih suku bunga
dikenal dengan istilah spread based.
Dalam bahasa latin kredit disebut dengan credere yang artinya
percaya.3 Bank sebagai pemberi kredit harus percaya bahwa pinjaman tersebut
akan dikembalikan oleh penerima pinjaman sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan,
sehingga
penerima
kredit
juga
berkewajiban
untuk
mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Agar
prinsip kepercayaan ini dapat terlaksana dengan baik maka bank sebelum
memberikan pinjaman kepada pemohon kredit wajib untuk melakukan analisis
kredit, untuk menentukan apakah pemohon kredit sanggup atau tidak
kedepannya mengembalikan pinjaman sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Menurut UU Perbankan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
2Ibid.
3Kasmir,2002,Dasar-DasarPerbankan,PT.RajagrafindoPersada,Jakarta.
4
dengan imbalan atau bagi hasil. Penjelasan kredit dalam UU Perbankan ini
sangatlah luas, kredit atau pembiayaan tidak harus dalam bentuk uang namun
juga tagihan yang dapat dipersamakan, tagihan disini berarti kredit juga dapat
berupa penyediaan barang tertentu. Contoh peminjaman dalam bentuk tagihan
yaitu bank membiayai kredit untuk pembelian mobil atau rumah, peminjam
disini tidak memperoleh uang namun langsung memperoleh barangnya seperti
mobil atau rumah ( Kredit Kepemilikan Rumah ). Peminjam disini wajib
membayar cicilan motor/rumah setiap bulannya selama jangka waktu yang
ditentukan. Pemberian kredit dalam bentuk tagihan marak sekali dilakukan
masyarakat dan tidak hanya untuk membeli barang kepentingan utama seperti
rumah, namun pemberian kredit seperti ini juga banyak dilakukan untuk
pembelian barang tersier seperti perhiasan, televisi, dan barang tersier lainnya.
Bank sebagai pihak yang memberikan pinjaman harus memiliki sebuah
pagar pengaman bagi uang yang dipinjamkannya, pagar pengaman yang
dimaksud dapat berupa jaminan. Jaminan bertujuan untuk menghindari bank
dari resiko kerugian apabila terjadi kredit macet, dan sifat jaminan ini adalah
tidak wajib sehingga tidak semua kredit memiliki jaminan, walaupun agar
mendapatkan keamanan hampir setiap saat mengeluarkan kredit bank tetap
meminta jaminan dari pihak yang menerima kredit (debitur).
Dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi
5
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan. Paragraf 1 penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan
menyebutkan bahwa untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya
sesuai dengan diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan
kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur.
Didalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan dan penjelasannya tidak ditemukan
disebutkan bahwa wajib bagi bank untuk memiliki jaminan dalam hal
pemberian kredit, namun jaminan disini disebut sebagai faktor penting agar
bank memperoleh keyakinan atas kesanggupan debitur, hal ini merupakan
perubahan dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1967
Tentang Perbankan yang merupakan UU Perbankan yang lama. Dalam
ketentuan Pasal 24 UU No. 14 Tahun 1967 Tentang Perbankan ini
menyebutkan bahwa Bank Umum tidak memberikan kredit tanpa jaminan
kepada siapa pun juga, sehingga jelas tanpa adanya jaminan maka bank tidak
dapat memberikan kredit.4
Terdapat berberapa jenis kredit perbankan, namun apabila dilihat dari
tujuan penggunaannya maka dapat dibedakan menjadi kredit konsumtif, kredit
4Gazali, Djoni S, Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,
Jakarta.
6
produktif, dan perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif.5 Kredit
konsumtif dapat diartikan sebagai kredit yang diberikan oleh bank kepada
debitur untuk kepentingan konsumsi sehari-hari seperti kredit kendaraan
bermotor. Kredit produktif dibagi kembali menjadi dua yaitu kredit investasi
dan kredit eksploitasi, yang membedakan antara kedua jenis kredit produktif
ini yaitu keperluannya, kredit investasi diperuntukan untuk pembiayaan modal
tetap, yaitu peralatan produksi, gedung, dan mesin, sedangkan kredit
eksploitasi ditujukan untuk pembiayaan modal kerja seperti persediaan bahan
baku, dan persediaan produk akhir.
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa dalam pelaksanaan kredit prinsip
kepercayaan antar bank sebagai kreditur dengan debitur sangatlah penting,
walaupun bukan sebuah kewajiban namun jaminan merupakan hal yang selalu
disertakan dalam pemberian kredit, namun tetap saja seringkali debitur
melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kredit . Banyak sekali cara yang
dilakukan debitur untuk dapat memperoleh keuntungan yang tidak seharusnya
dalam menggunakan fasilitas kredit di bank, salah satunya adalah dengan cara
memanipulasi (mark up) nilai agunan. Dalam keadaan kredit macet, maka
bank harus sesegera mungkin mengatasinya agar bank tidak mengalami
kerugian, salah satu cara mengatasinya yaitu dengan melakukan pencairan atas
agunan dan hasil pencairannya tersebut digunakan untuk memenuhi kewajiban
kreditur kepada bank.6 Hal tersebut mengakibatkan nilai agunan atau harus
5
Ibid.
6
Untung, Budi, 2011, Kredit Perbankan Di Indonesia, Penerbit Andi,
Yogyakarta.
7
sama dengan nilai kredit debitur ataupun kalau lebih sisanya dikembalikan
kepada debitur, namun apabila dilakukan mark-up maka bank akan mengalami
kerugian karena ternyata adanya manipulasi nilai jaminan sehingga ketika
dilakukan penjualan jaminan tersebut tidak dapat menutupi nilai kredit macet
tersebut.
Kasus yang dianalisis oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah
kasus
yang
terjadi
akibat
adanya
manipulasi
nilai
agunan,
serta
penyalahgunaan fasilitas kredit oleh debitur. Kredit yang diperuntukan untuk
kepentingan perusahaan untuk melakukan ekspansi malah digunakan untuk
kepentingan pribadi direksi perusahaan yang bersangkutan, lebih parah lagi
ternyata adanya persengkongkolan antara direksi PT. LK selaku debitur
dengan salah satu pegawai PT. Bank X selaku kreditur yang berbentuk
manipulasi nilai jaminan atau mark-up nilai jaminan. Sebelum PT. LK
mengajukan gugatan kepada PT. Bank X, direksi PT. LK dan pegawai PT.
Bank
X
tersebut
dinyatakan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
persekongkolan jahat dengan pidana 19 (Sembilan belas) tahun dan denda Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah) serta membayar uang pengganti
sebesar Rp. 132.732.000.000,00 ( seratus tiga puluh dua milyar tujuh ratus tiga
puluh dua juta Rupiah). Atas dasar perkara pidana tersebut PT. LK
mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Dengan nomer register perkara pada tanggal 8 November 2011,
dalam gugatannya PT. LK pada dasarnya mengatakan bahwa tergugat PT.
Bank X harus bertanggung jawab atas perbuatan pegawainya yang didalam
8
kasus yaitu GK (disingkat) yang telah melakukan persekongkolan dengan
direktur utama PT. LK yaitu TSY (disingkat) sehingga menimbulkan kerugian
bagi PT. LK karena harus menanggung akibat dari kredit macet tersebut,
apalagi ternyata kredit tersebut tidak diperuntukan seluruhnya untuk
kepentingan perusahaan melainkan kepentingan TSY pribadi. Penggugat (PT.
LK) meminta agar perjanjian kredit dibatalkan dan agar seluruh jaminan yang
sudah diterima oleh tergugat (PT. BANK X) dikembalikan kepada tergugat.
Tentunya apabila gugatan ini diterima maka akan sangat merugikan bank,
karena disamping telah mengalami kerugian dari kredit macet, jaminan yang
seharusnya dapat mengganti kerugian kredit tersebut harus dikembalikan
kepada debitur.
Atas dasar kasus antara PT. Bank X dan PT.LK tersebut timbul
keinginan bagi penulis untuk menganalisa lebih lanjut mengenai kasus ini,
khususnya penulis ingin mengetahui bagaimana bentuk perlindungan terhadap
agunan perbankan di Indonesia, khususnya agunan yang berbentuk hak
tanggungan dan tentunya bagaimana perlindungan terhadap agunan hak
tanggungan dalam kasus tersebut. Oleh karenanya penulis berkeinginan untuk
membahas kasus tersebut dalam penulisan hukum yang berjudul “ Tinjauan
Perlindungan Terhadap Agunan Hak Tanggungan, Analisis Sengketa Kredit
Bermasalah Akibat Penyalahgunaan Fasilitas Kredit dan Mark-Up Nilai
Jaminan Antara PT. Bank X Selaku Kreditur Dan PT. LK Selaku Debitur
9
B. Rumusan Masalah
Latar Belakang yang telah diuraikan oleh peneliti di atas melahirkan dua
permasalahan yang kemudian akan dikaji dan dianalisis lebih lanjut.
Permasalahan tersebut yaitu :
1. Bagaimana
bentuk
pelanggaran
terhadap
proses
pelaksanaan
penjaminan agunan hak tanggungan ?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan PT. Bank X melindungi agunan hak
tanggungan dalam sengketa dengan PT. LK ?
Download