BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai mahkluk sosial, individu selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain, pengakuan, dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain. Hubungan dengan orang lain itu akan berlangsung sehat dan menyenangkan, apabila individu memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang memadai. Penyesuaian sosial diperlukan oleh setiap individu untuk menjadikan dirinya sebagai manusia dengan segala ciri kemanusiaannya. Tidak ada manusia yang mampu hidup tanpa manusia lain (Nurdin, 2009). Anak berbakat sebagai manusia juga membutuhkan kemampuan penyesuaian sosial dalam hidupnya. Penyesuaian sosial anak berbakat ini telah diteliti dalam kurun waktu yang panjang. Secara umum terdapat dua perspektif tentang penyesuaian sosial anak berbakat. Perspektif pertama menyatakan bahwa anak berbakat tidak memiliki masalah dalam hal penyesuaian sosial, bahkan cenderung popular di antara teman-temannya (Iswinarti, 2002; Hoogeveen, Hell, & Verhoeven, 2009, 2011; Bain & Bell, 2004; Robinson, 2004). Justru karena keberbakatannya, anak berbakat memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang lebih baik daripada anak lain (Baker 1995; Hoogeveen, Hell, & Verhoeven, 2009, 2011). Sebaliknya, perspektif kedua menyatakan bahwa anak berbakat cenderung rentan untuk mengalami masalah penyesuaian sosial dengan teman seusianya (Bain, Choate, & Bliss, 2006; Needham, 2012). Anak berbakat biasanya secara sosial tampak matang, namun di sisi internal mereka cenderung menginternalisir 1 2 masalah yang dihadapi, merasa kesepian dan terisolasi, menilai diri terhambat dalam relasi dengan teman sebaya dan mengalami kesulitan dalam keterampilan sosial (Lovecky, 1995; Rimm, 2003; Davis & Rimm, 2004; Bain, Choate, & Bliss, 2006; Freeman, 2001; Kesner, 2005; Gross, 2001; Clark 2002; Piechowski, 2006). Selain itu, adanya labelling dari guru dan orang tua terhadap anak berbakat sebagai anak yang sulit, aneh atau tidak bahagia, dan terisolir dari teman sebaya juga mempengaruhi kemampuan sosial anak berbakat (Freeman, 2001; Kesner, 2005). Secara umum, positif atau negatifnya kemampuan penyesuaian sosial anak berbakat tergantung pada tipe keberbakatan, karakteristik personal anak, dan program pendidikan (Corso, 2007; Nugent, 2005; Silverman, 1998; Versteynen, 2005). Program pendidikan merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan yang akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial anak berbakat (Hoogeveen, Hell, & Verhoeven, 2011). Program pendidikan untuk anak berbakat terbagi atas dua tipe yaitu kelompok heterogen dan kelompok homogen. Pada kelompok heterogen anak berbakat mengikuti program pendidikan bersama dengan anak-anak lainnya, sedangkan pada kelompok homogen anak berbakat mengikuti program pendidikan hanya bersama dengan anak-anak berbakat lainnya (Hamm, 2010). Salah satu program pendidikan anak berbakat tipe kelompok homogen yang sering dilaksanakan adalah kelas akselerasi (Hoogeveen, Hell, & Verhoeven, 2011). Pada kelas akselerasi anak-anak belajar lebih lama dari siswa regular karena anak akselerasi dituntut untuk dapat menyelesaikan pelajaran kelas V dan VI dalam waktu 1 tahun (Hawadi, 2004). 3 Pemisahan anak berbakat intelektual ke dalam kelas khusus atau akselerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan perkembangan keberbakatan anak pada awalnya dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi anak dengan intelektualitas yang tinggi (Hawadi, 2004; Kulik, 2004; Rinn, 2006). Namun pada kenyataannya di lapangan tidak sebaik yang diharapkan. Adanya labelling dari lingkungan sekitar terhadap siswa akselerasi (Iswinarti, 2002), kurangnya pengetahuan guru dan orang tua tentang kebutuhan sosial-emosional anak (Moltzen, 2004; Needham, 2012; Robinson, 2004), dan program pendidikan yang hanya memfokuskan pada pengembangan intelektual anak, mengabaikan kebutuhan sosial dan kesiapan mental anak dalam penyesuaian sosial membuat perkembangan sosial-emosional anak menjadi terhambat (Wandasari, 2011; Hoogeveen dkk, 2009, 2011; Kulik, 2004; Gunarsa, 2004). Banyak asumsi yang menyatakan bahwa akselerasi akan membuat anak memiliki permasalahan sosial pada sekolah lanjutan bahkan sampai pada dunia kerja. Hal ini dipertegas oleh pernyataan seorang guru akselerasi yang telah mengajar selama 51 tahun di kelas akselerasi, yaitu “Anak akselerasi akan terisolasi, memiliki permasalahan sosial, dan hanya sedikit yang menjadi professor” (Hoogeveen dkk., 2005). Disamping itu, banyak orang tua dan guru yang mencemaskan tentang dampak akselerasi pada kemampuan penyesuaian sosial anak (Hoogeveen dkk., 2005, 2009, 2011; Southern, Jones, & Fiscus, 1989). Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak berbakat akademik dalam satu kelas homogen, sekitar 25-30% siswanya mengalami masalah-masalah emosi dan 4 sosial, seperti kurangnya informasi tentang cara berinteraksi dengan teman sebaya, isolasi sosial, kepercayaan diri, penurunan prestasi belajar dan kebosanan dalam kelas homogen (Widyasari, 2008; Susilowati, 2013). Siswa berbakat yang tergabung dalam kelas akselerasi menunjukkan penyesuaian sosial yang rendah karena ia merasa hidup di bawah tekanan dan ia akan merasa terisolasi dari temannya, memiliki konsep diri sosial yang rendah (Hoogeven dkk., 2009) dan kebutuhan sosial yang kurang terpenuhi (Adam-Byers, Whitsell, & Moon, 2004). Adanya dampak negatif pada penyelenggaraan kelas akselerasi, terutama bagi sekolah yang kurang memperhatikan perkembangan sosial anak membuat program akselerasi pada tingkat sekolah dasar belum banyak dilaksanakan. Alasan utama dikarenakan siswa pada tingkat sekolah dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dunia dimana anak menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dan lingkungannya. Sementara pada kelas akselerasi anak dituntut untuk terus mengembangkan aspek kognitif, dengan terus menerus belajar dan mengejar nilai agar tidak tertinggal dalam pelajaran. Pemacuan aspek kognitif tersebut akan membuat terabaikannya aspek psikososial anak (Agmarina, 2010). Selain itu penelitian juga menemukan bahwa akselerasi lebih memiliki dampak negatif pada siswa yang lebih muda pada aspek penyesuaian sosial (Kulik, 2004; Robinson, 2008). Siswa SD kelas akselerasi memiliki penyesuaian diri yang rendah terhadap berbagai kelompok (Yanti & Hurriyati, 2013). Terabaikannya aspek psikososial siswa akan menimbulkan beberapa dampak negatif bagi kehidupan sosial siswa diantaranya, (1) karena siswa 5 didorong untuk berprestasi secara akademis, maka hal ini akan mengurangi waktu untuk aktivitas yang sesuai bagi usianya. Siswa yang didorong untuk belajar lebih cepat akan mengorbankan masa kanak-kanaknya demi kemajuan akademis; (2) siswa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan kegiatan sosial penting yang tepat untuk usianya; (3) program akselerasi akan mengurangi jumlah dan frekuensi hubungan dengan teman-teman; (4) siswa akan memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk mengembangkan keterampilan memimpin, karena ia berada di antara teman-teman yang berusia lebih tua. Secara lebih serius, hal ini dapat mengakibatkan penyesuaian sosial yang buruk saat dewasa (Gunarsa, 2004). Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap siswa SD kelas akselerasi di SD Negeri yang menyelenggarakan program akselerasi di kota Medan diketahui bahwa siswa akselerasi menghabiskan waktunya untuk belajar di sekolah dari jam 07.30 hingga jam 17.00. Selain itu hampir semua siswa akselerasi hanya menghabiskan waktunya di dalam kelas. Bahkan saat jam istirahat siswa-siswa akselerasi tersebut hanya bermain di dalam kelas bersama teman-teman satu kelasnya. Hampir tidak terlihat siswa akselerasi tersebut bermain bersama dengan siswa kelas regular, terutama siswa yang perempuan. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang guru yang mengajar di kelas akselerasi tersebut. Rata-rata siswa akselerasi memiliki penyesuaian sosial yang rendah, siswa lebih bersifat individualis, sulit menerima kritikan dari orang lain, dan kurang bahkan hampir tidak ada berhubungan dengan teman sebaya dari kelas regular (Komunikasi personal, 21-22 Maret 2014). 6 Masalah penyesuaian sosial yang tidak optimal pada usia sekolah dasar ini menjadi penting. Hal ini terkait dengan tugas perkembangan masa usia sekolah dasar, dimana keterampilan menjalin relasi dengan teman dan orang lain merupakan salah satu tugas perkembangan utama yang harus dikuasai. Pada masa kanak-kanak akhir, anak memiliki tugas perkembangan diantaranya yaitu: belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosial yang tepat sebagai pria atau wanita, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial. Tugas-tugas perkembangan tersebut dapat dikuasai oleh anak dengan bantuan lingkungan disekitarnya, termasuk seberapa besar kesempatan anak untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya (Hurlock, 1999). Pada masa kanak-kanak akhir ini juga penyesuaian diri dengan temanteman sebaya mulai menetap dan mencapai puncaknya antara usia 10 dan 11 tahun. Apabila pada masa ini anak tidak mampu menyesuaikan diri dengan kelompok sosialnya, anak memiliki kemungkinan besar untuk ditolak oleh kelompok sosialnya. Penolakan oleh kelompok sosial berdampak pada munculnya permasalahan-permasalahan psikologis, berhenti sekolah atau menjadi anak bermasalah (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Pentingnya penyesuaian sosial pada anak yang tergabung dalam kelas akselerasi terkait dengan dampak yang ditimbulkannya bagi terhambatnya perkembangan potensi anak. Dalam penyesuaian sosial, anak membutuhkan keterampilan-keterampilan sosial (Nurdin, 2009; Hurlock, 1999). Individu dengan keterampilan sosial yang tinggi akan memperoleh banyak manfaat dalam kehidupannya. Mereka akan lebih mudah menerima dukungan sosial dan 7 menunjukkan level penyesuaian psikologis yang lebih baik, memiliki self-esteem yang lebih baik (Riggio & Carney, 2003), dan meningkatkan prestasi akademis (Riggio & Carney, 2003; Elliot, Malecki, & Demaray, 2001). Berdasarkan literatur tentang kelemahan program akselerasi dan berbagai hasil penelitian tentang siswa kelas akselerasi, khususnya siswa SD, maka siswa SD kelas akselerasi penting mendapatkan pengajaran yang berhubungan dengan keterampilan sosial. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa siswa akselerasi seharusnya mendapatkan pelatihan social skill untuk menyeimbangkan tuntutan akademik dan kebutuhan pribadi (Susilowati, 2013; Ferguson, 2006). Sementara itu, keterampilan sosial yang baik umumnya tidak dapat langsung diperoleh secara natural di dalam keluarga, pergaulan atau masyarakat melainkan perlu diajarkan (Sail & Alavi, 2010). Untuk itu keterampilan sosial perlu diajarkan kepada anak. Salah satu teknik intervensi yang banyak digunakan dalam meningkatkan keterampilan sosial adalah teknik pelatihan. Pelatihan keterampilan sosial adalah modul dalam ranah klinis dan pendidikan yang telah digunakan secara luas pada setting keluarga, pernikahan dan perceraian, kenseling, pelatihan orang tua, sekolah, pengembangan diri, pekerjaan polisi, sampai dengan sektor korporat selama lebih dari 50 tahun (Liberman, 2007). Berbagai penelitian telah menunjukkan efektivitas pelatihan keterampilan sosial. Ramdhani (1995) menemukan bahwa pelatihan keterampilan sosial efektif untuk membantu anak yang sulit bergaul serta meningkatkan self concept dan social behavior anak. 8 B. Rumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, yaitu apakah Social Skill Training (SST) efektif untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa SD akselerasi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Social Skill Training (SST) untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa SD akselerasi. D. Manfaat Penelitian 1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai aplikasi nyata psikologi pendidikan terkait penerapan program Social Skill Training dalam upaya untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak, khususnya pada anak SD kelas akselerasi. 2. Perkembangan Pelayanan Psikologi Hasil penelitian Social Skill Training (SST) ini kiranya dapat menjadi acuan atau program terapi untuk membantu dalam penanganan anak yang memiliki penyesuaian sosial yang kurang optimal sebagai cara untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak, terutama bagi anak SD. 3. Dunia Pendidikan Hasil penelitian social skill training (SST) dapat berguna untuk mengembangkan keterampilan sosial anak sekolah sehingga mengoptimalkan 9 penyesuaian sosial anak dalam berinteraksi melalui rancangan program pendidikan atau kurikulum sekolah. Selain itu menggunakan acuan penelitian ini untuk menerapkan metode belajar yang menyeimbangkan kemampuan akademik dan keterampila sosial sehingga anak memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang optimal. 4. Perkembangan Riset Psikologi Manfaat penelitian lainnya adalah sebagai dasar pengembangan riset psikologi. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran efektivitas social skill training pada anak yang memiliki tingkat penyesuaian sosial yang rendah. Pengembangan riset psikologi yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan dan keterampilan psikolog dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada para orangtua atau guru untuk meningkatkan penyesuaian sosial anak. E. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan disusun dan dilaporkan dalam bentuk sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Berisikan uraian singkat mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Kajian yang diperoleh dari penelahaan pustaka meliputi kajian literatur berkaitan dengan: variabel yang diteliti, yaitu penyesuaian sosial, Social Skill Training, dan Akselerasi; hubungan antar variable; dan hipotesa penelitian. 10 Bab III Metode Penelitian Pada Bab ini diuraikan tentang metode yang digunakan peneliti, desain penelitian, gambaran subjek penelitian, dan rancangan program intervensi social skill training. Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas Social Skill Training dalam meningkatkan penyesuaian sosial. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian. Bab V Kesimpulan dan Saran Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian