BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Megalitik merupakan salah satu tinggalan budaya masa lampau yang ada di Indonesia. Secara harfiah megalitik sering diartikan sebagai bentuk peninggalan batu besar. Ron L. Adams (2007) dalam disertasinya mendefinisikan struktur megalitik sebagai berikut: “Generally, megaliths can probably be best described as structures built with a few or more unmodified or minimally modified very large boulders reflecting a considerable investment in labour and time, but which do not reach the level of refinement and elaboration found among such structures as the pyramids of Egypt and the Americas and large temples of ancient Greece, Rome and various states in South, East and Southeast Asia—typically constructed with numerous cut blocks of stone.” Sementara itu, kebudayaan megalitik tidak harus selalu dikaitkan dengan batu besar. Menurut Fritz A. Wagner (1959 : 72), terminologi megalitik yang berarti batu besar telah menyebabkan sebuah kesalahpahaman. Menurutnya, objek-objek yang lebih kecil juga dapat dimasukkan ke dalam kategori kebudayaan megalitik. Selama objek-objek tersebut digunakan dalam sebuah tujuan sakral tertentu. Asal-usul mengenai masuknya kebudayaan megalitik ini ke Indonesia telah menghasilkan beberapa pandangan. W.J. Perry berpendapat bahwa kebudayaan megalitik dibawa oleh migrasi para pencari emas dan mutiara dari Mesir Kuno. Mereka menganggap dirinya sebagai anak matahari (Children of Sun), yang selalu menyebarkan kebudayaan dan kepercayaan mereka pada masyarakat yang mereka datangi. Beberapa unsur kebudayaan para stone-using immigrant ini 1 2 seperti pemujaan matahari, pengetahuan mengenai bercocok tanam, dan cara pembuatan alat batu (Perry, 1918; Sutaba, 2008 : 88-92). Pandangan W.J. Perry mendapat penolakan dari beberapa ahli. Salah satunya adalah I Made Sutaba. Di dalam catatan pendeknya yang dipublikasikan pada 2008, Sutaba menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang membuat teori W.J. Perry tidak dapat diterima. Pertama adalah mengenai pemujaan dewa matahari, atau di Indonesia dikenal dengan Dewa Surya. Matahari merupakan gejala alam yang memberikan kehidupan, dan bersifat universal. Tidak perlu mencari asal-usul pemujaan matahari hingga ke Mesir. Kedua, mengenai teknologi pembuatan alat batu sendiri sudah berkembang di Nusantara sejak masa berburu dan mengumpul makanan tingkat sederhana. Keahlian tersebut terus berkembang dan menjadikan bangsa Indonesia memiliki keahlian dalam pengolahan batu. Terakhir, dari segi lingkungan alam di Indonesia yang melimpah dengan sumber daya batu, juga mendukung perkembangan teknologi pengerjaan alat batu (Sutaba, 2008 : 88-92). Pada 1928, Von Heine Geldren mengembangkan sebuah teori mengenai tradisi megalitik di Asia Tenggara dan Pasifik (Poesponegoro, 2010 : 249). Geldren berpendapat bahwa kebudayaan megalitik di Indonesia berasal dari daerah Laut Tengah (Afrika Utara dan Eropa Selatan). Hal ini didasarkan pada bentuk-bentuk monumen megalitik yang ada di Indonesia. Menurutnya, monumen-monumen tersebut memiliki persamaan dengan bentuk-bentuk monumen di wilayah Oseania, Asia Tengah, India, Palestina Kuno, dan Eropa. Selain bentuk monumen, latar belakang kepercayaannya juga memiliki persamaan (Sonjaya, 2008 : 27). 3 Beberapa ahli menyatakan bahwa masuknya megalitik ke Indonesia pada masa neolitik (Poesponegoro, 2010 : 249). Pada perkembangan terbaru, pertanggalan karbon di beberapa situs megalitik Indonesia menghasilkan usia yang lebih muda dibandingkan pendapat di atas (Prasetyo, 2008 : 1-2). Salah satu wilayah di Indonesia yang kaya dengan peninggalan megalitik ialah Pulau Jawa bagian Timur, khususnya daerah Bersituwoso (Bondowoso, Jember, Situbondo) (Prasetyo, 2000b). Dari tiga daerah tersebut, Muhammad Hidayat (2007) menyatakan bahwa bukan tidak mungkin bahwa Bondowoso merupakan pusat kebudayaan megalitik di wilayah tersebut. Pandangan ini berdasarkan banyaknya tinggalan situs megalitik yang cukup signifikan dalam perkembangan penelitian di wilayah tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan hingga saat ini, telah ditemukan kurang lebih 41 - 47 situs megalitik yang tersebar di daerah Bondowoso dan sekitarnya (Sudarsono, 1995 ; Prasetyo, 2000a). Daerah Bondowoso merupakan sebuah lembah yang diapit oleh tiga buah pegunungan. Sebelah barat terdapat Pegunungan Iyang-Argapura, sebelah utara terdapat Pegunungan Ringgit Besar, dan Pegunungan Raung-Ijen di sebelah timur. Berdasarkan karakteristik geomorfologinya, daerah Bondowoso terbagi menjadi empat bagian. Pertama adalah daerah lembah ; area lereng landai yang mengarah ke gunung api di bagian tenggara ; perbukitan dekat Ringgit Besar yang yang berderet dengan lereng-lereng di sepanjang Pegunungan Iyang dan Ijen ; dan perbukitan vulkanik di area Pegunungan Iyang, seperti Gunung Pandu, Welirang, Semar, Cemara, dan Argopuro (Pendowo, 1997; Prasetyo, 2000). 4 Salah satu bentang lahan yang menyimpan potensi kepurbakalaan megalitik adalah pegunungan Iyang-Argopuro dengan puncak tertingginya Gunung Argopuro. Secara administratif, pegunungan ini masuk ke dalam Kabupaten Situbondo, Jember, Probolinggo, dan Bondowoso. Pegunungan yang terletak di sebelah barat Bondowoso ini ditemukan tinggalan megalitik pada lereng-lereng hingga Puncak-Puncaknya. Kepurbakalaan megalitik yang terdapat di lereng pegunungan ini contohnya situs Kodedek, situs Grujugan, situs Tanahwulan, situs Suco Lor, situs Curahpoh, dan situs Sumberanyar (Karihadi, 1994; Sudarsono, 1995). Selain di lerengnya, kepurbakalaan megalitik di Pegunungan IyangArgopuro juga terdapat di puncak-puncaknya, yaitu di Puncak Welirang atau Rengganis, dan Puncak Iyang atau Puncak Arca. Pegunungan Iyang-Argopuro oleh penduduk setempat sering disebut dengan Gunung Argopuro. Penyebutan ini berdasarkan nama puncak tertinggi di pegunungan ini, yaitu Puncak Argopuro (3088 mdpl). Penamaan Argopuro sendiri berasal dari kata argo yang berarti gunung dan puro atau tempat suci. Secara harfiah nama Argopuro dapat diartikan sebagai bangunan suci di atas gunung. Selain Puncak Argopuro, di pegunungan ini juga terdapat Puncak Rengganis atau sering disebut dengan Gunung Welirang (3040 mdpl). Di antara Puncak Argopuro dan Puncak Rengganis terdapat sebuah puncak kecil yang bernama Puncak Iyang atau Puncak Arca (3060 mdpl). Puncak Rengganis dan Puncak Iyang inilah yang memiliki potensi kepurbakalaan megalitik. Secara geologis, tanah pegunungan Iyang-Argopuro merupakan hasil sedimentasi gunung api kwarter tua ± 1 juta tahun yang lalu (Herawati, 1988 dalam 5 Afriono, 2011). Berdasarkan peta geologi lembar Besuki serta peta geologi lembar Jember , jenis batuan yang mendominasi pegunungan ini adalah Breksi Argopuro (Pendowo & Samodra, 1997), sementara di wilayah Selatan didominasi dengan batuan Tuff Argopuro (Sapei, T. dkk., 1992) (lihat peta II.2). Tinggalan megalitik di Pegunungan Iyang-Argopuro ini telah menimbulkan perdebatan oleh para ahli purbakala Hindia-Belanda. Kohlbrugge menyebut peninggalan batu tegak yang berada di punden berundak Puncak Rengganis adalah sebuah lingga dengan latar belakang agama Hindu. Pendapat ini disetujui oleh W.F. Stutterheim, sebaliknya dibantah oleh Van Hekereen yang menyatakan bahwa dilihat dari bentuknya, batu tegak di Puncak Rengganis sama sekali bukan lingga (Poesponegoro, 1992 : 252). Sementara itu Rizky Afriono (2011) dalam skripsinya memposisikan punden berundak di Pegunungan IyangArgopuro sebagai peninggalan Majapahit akhir, berdasarkan perbandingan gaya arsitektur dengan punden berundak di Gunung Penanggungan. Selain itu, temuan arca berinskripsi di Puncak Arca memperkuat dugaan tersebut. Jika melihat dari hasil pertanggalan karbon yang dilakukan pada situs megalitik di lereng dan lembah Pegunungan Iyang-Argopuro (Prasetyo, 2008 : 6), hasilnya berada pada kurun waktu 684 M-1422 M. Hasil lengkap mengenai pertanggalan karbon tersebut dapat dilihat pada tabel I.1. 6 No Situs Sampel untuk pertanggalan Konteks Pertanggal an Kalibrasi Zigma 1 Laboratorium 1 Kamal Arang Dolmen 580±100 BP P3G Bandung 1977 2 Dawuhan Arang Dolmen 3 Pakauman Arang Silindris batu 1230±100 BP 840±200 BP 1297-1374 M 1376 M1422 M 684-887 M P3G Bandung 2001 P3G Bandung 2001 992 M1306 M 1363-1385 M Tabel I.1 Hasil pertanggalan karbon pada tiga situs megalitik di Lembah Pegunungan Iyang-Ijen (Prasetyo, 2008 : 6). Data awal yang dimiliki penulis mengenai tinggalan megalitik di Pegunungan Iyang-Argopuro berasal dari survei penjajagan yang dilakukan pada 28 Agustus-2 September 2013. Selain dari hasil survei, data ini juga berasal dari Skripsi Rizky Afriono (2011) yang berjudul “Identifikasi Komponen-Komponen Bangunan Berundak Kepurbakalaan Pegunungan Iyang-Argopuro”. Hasilnya adalah terdapat sebuah situs yang terdiri dari dua buah punden berundak di Pegunungan Iyang-Argopuro. Selanjutnya di dalam tulisan ini, situs ini akan disebut dengan Punden Berundak Argopuro. Punden berundak atau teras berundak adalah salah satu bentuk peninggalan kebudayaan megalitik. Struktur ini merupakan wujud dari unsur kebudayaan megalitik yang berupa struktur bertingkat atau berundak-undak sebagai tempat pemujaan (Sulistyo, 1999). Berbeda dengan candi, punden berundak tidak memiliki bilik pemujaan (Garbha Grha). Selain itu punden berundak juga tidak memiliki atap, akan tetapi merupakan sebuah struktur terbuka yang menyatu 7 langsung dengan lingkungannya. Karakteristik lainnya dari punden berundak ialah strukturnya yang rebah mengikuti garis kemiringan lereng, dan bertingkat meninggi ke belakang. Biasanya terdapat altar sebagai media pemujaan di teras yang paling tinggi (Atmodjo, 1986). Peranan punden berundak ini tidak hanya dipakai oleh masyarakat pada jaman prasejarah, akan tetapi tetap berlanjut hingga masa HinduBudha, Islam, hingga sekarang. Penempatan punden berundak sendiri biasanya berada di dataran tinggi, lereng bukit/gunung, bahkan di tempat-tempat sulit seperti tepi jurang hingga di puncak bukit/gunung. Pemilihan lokasi yang cukup sulit diakses ini, merupakan wujud manifestasi dari sulitnya proses mencapai hubungan dengan nenek moyang/dewa yang dipuja (Atmodjo, 1986). Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan megalitik mengenai gunung atau tempat yang tinggi-merupakan tempat bersemayamnya roh nenek moyang. H. Quaritch Wales dalam bukunya dalam jurnalnya yang berjudul The Sacred Mountain in the Old Asiatic Religion (1953), memandang jika gunung merupakan tempat bersemayamnya para Dewa maupun roh leluhur. Gunung juga menyediakan sumber kehidupan untuk makhluk hidup berupa air yang memberikan kesuburan. Bentang lahan Pegunungan Iyang-Argopuro relatif landai dan mempunyai banyak lembah yang luas dan datar, menarik untuk diamati. Selain itu beberapa aliran sungai juga didapati di Pegunungan ini. Pada puncak musim kemarau yaitu sekitar bulan Juli-Agustus, sungai-sungai ini masih menghasilkan debit air yang tinggi. 8 Penelitian keruangan di puncak Pegunungan Iyang-Argopuro belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang melibatkan pegunungan ini hanya terbatas pada lereng-lerengnya saja, tidak termasuk puncaknya. Sebagai contoh penelitian Johanda Karihadi (1994) mengenai Situs Kodedek di lereng timur Pegunungan Iyang-Argopuro. Penelitian Rizky Afriono (2007) masih sebatas pada identifikasi bangunan dan latar belakang religinya. Penelitian tersebut tidak melibatkan unsur-unsur lingkungan seperti lansekap, sumber bahan, sumber air, dan topografi dalam melakukan analisisnya. Disertasi Bagyo Prasetyo (2008) yang melakukan kajian keruangan dengan pendekatan determinan ekologi masih terbatas pada ruang lingkup lembah yang terletak di sebelah timur Pegunungan IyangArgopuro, sedangkan kawasan puncak tidak menjadi fokus penelitian Prasetyo (2008). B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah : 1. Seperti apa bentuk keletakan punden berundak yang terdapat di Puncak Rengganis dan Puncak Iyang Pegunungan Iyang-Argopuro? 2. Apa saja aspek-aspek yang mempengaruhi penempatan punden berundak yang terdapat di Puncak Rengganis dan Puncak Iyang Pegunungan Iyang-Argopuro? C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan pertama yang ingin diperoleh dari penelitian ini untuk melihat keletakan punden berundak di 9 Pegunungan Iyang-Argopuro dan hubungannya unsur-unsur lansekap di sekitarnya. Dengan begitu akan terlihat pola penempatan kedua punden berundak tersebut dan komponen-komponen penyusunnya. Setelah ditemukan pola penempatan situs, maka tujuan kedua untuk mencari latar belakang penempatan situs tersebut. Aspek yang dilibatkan di dalam mencari latar belakang penempatan situs adalah aspek lingkungan dan aspek-aspek lainnya, seperti religi dan ekonomi. Hal ini berdasarkan pendapat Mundardjito (1993) yang menyatakan bahwa latar belakang penempatan bangunan di dataran tinggi tidak dapat diungkapkan hanya dengan pendekatan ekologi saja. D. KEASLIAN PENELITIAN Beberapa penelitian mengenai megalitik pernah dilakukan, di antaranya berlokasi di daerah Bondowoso dan sekitarnya. Termasuk penelitian mengenai kepurbakalaan Pegunungan Iyang-Argopuro juga pernah dilakukan. Penelitian yang pernah berhubungan dengan kepurbakalaan Pegunungan Iyang-Argopuro dapat dilihat pada tabel I.2. Judul Penelitian/Penulis/Tahun 1. Fungsi dan Peranan Situs Kodedek pada Masyarakat Pendukung Budaya Megalitik Bondowoso/ Johanda Karihadi (1994). Objek yang Tujuan Penelitian Dikaji Situs Megalitik Mencari fungsi dari Kodedek Situs Kodedek dan hubungannya dengan situs lain di wilayah Bondowoso, yang berguna untuk mengungkap cara hidup masyarakat megalitik Bondowoso. Hasil Penelitian Situs Kodedek berfungsi sebagai tempat untuk melakukan ritual kesuburan, yaitu menyabut datangnya musim hujan. 10 2. Pola Sebaran SitusSitus Megalitik di Bondowoso : Kajian Spasial Skala Makro/ Slamet Prihadi Sudarsono (1995). Situs-situs megalitik di Kabupaten Bondowoso Mengetahui pola sebaran 41 situs megalitik di Bondowoso dan aspek-aspek geografis yang mempengaruhinya. 3. Identifikasi KomponenKomponen Punden berundak Kepurbakalaan Pegunungan IyangArgopuro/ Rizky Afriono (2011) Temuan megalitik di Puncak Rengganis, dan Puncak Arca Gunung Argopuro. 4. Penempatan BendaBenda Megalitik Kawasan Lembah Iyang-Ijen Kabupaten Bondowoso dan Jember, Jawa Timur. Bagyo Prasetyo (2008). Temuantemuan megalitik di lembah Pegunungan Iyang-Ijen. Merekam data lokasional yang lengkap dan akurat mengenai punden berundak di Pegunungan IyangArgopuro dan mengidentifikasi fitur dan artefak di Pegunungan IyangArgopuro Memperoleh gambaran mengenai kesesuaian pola sebaran megalitik dengan berbagai variabel lingkungan yang terkait. Tabel I.2 Keaslian Penelitian Proses penempatan situs megalitik di Bondowoso dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan religi. Faktor religi sebagai bentuk integrasi sosial dan faktor lingkungan sebagai bentuk adaptasi. Punden berundak di Pegunungan Iyang-Argopuro merupakan peninggalan kepurbakalaan Majapahit akhir. Terdapat enam variabel lingkungan yang mempengaruhi penempatan situs-situs megalitik di Lembah IyangIjen, Bondowoso. Keenam variabel tersebut adalah : bentuklahan, jenis tanah, ketinggian tempat, kelerengan, sumber batuan, dan jarak sungai 11 Skripsi ini berbeda dengan disertasi Bagyo Prasetyo, walaupun dari segi lokasi penelitian relatif berdekatan. Hal yang membedakan adalah lokasi objek penelitiannya. Disertasi Bagyo Prasetyo membahas kepurbakalaan dalam lingkup lembah Bondowoso-Jember yang diapit Pegunungan Iyang-Argopuro dan RaungIjen, sedangkan penelitian ini difokuskan pada puncak Pegunungan IyangArgopuro (lebih detail akan dijelaskan di bagian lokasi penelitian). Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian Rizky Afriono pada 2007. Skripsi Rizky Afriono lebih mengedepankan pada identifikasi artefaktual dan melihat latar belakang keagamaannya. Hasil penelitiannya untuk meletakkkan kedudukan struktur tersebut pada periode Majapahit akhir. Penelitian dari Johanda Karihadi (1994) dan Slamet Prihadi S. (1995), memiliki lokasi pada lereng-lereng Pegunungan Iyang-Argopuro. Kedua penelitian ini tidak menyentuh kedua puncak Pegunungan Iyang-Argopuro. Penelitian Johanda Karihadi (1994) difokuskan pada pencarian fungsi dan peranan watu kenong yang terdapat pada Situs Kodedek, Bondowoso. Penelitian Slamet Prihadi S. (1995) mencari pola sebaran dan hubungan situs dengan lingkungan pada situssitus di Bondowoso, bukan di puncak gunung. E. RUANG LINGKUP PENELITIAN Lokasi penelitian ini berada pada dua puncak Pegunungan IyangArgopuro, yaitu Puncak Rengganis atau Gunung Welirang dan Puncak Iyang atau Arca. Pegunungan Iyang-Argopuro sendiri menjadi bagian dari empat kabupaten di Jawa Timur, seperti yang telah disebutkan di dalam latar belakang di atas. Untuk 12 pengelolaannya berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kabupaten Jember. Objek penelitian ini adalah unsur-unsur megalitik yang menyusun sebuah punden berundak, termasuk di dalamnya menhir, batu lumpang, kolam, pagar keliling, talud, altar, dan jalan batu, yang terdapat pada kawasan puncak Pegunungan Iyang-Argopuro. Kata kawasan digunakan karena di setiap lokasi tersebut terdapat lebih dari satu situs. Hal ini disesuaikan dengan pengertian kawasan, yaitu satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas (Undang-Undang Benda Cagar Budaya No. 11 tahun 2010). F. METODE PENELITIAN Dalam menempatkan dirinya untuk bertahan hidup di bumi, komunitas manusia dilatar belakangi oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu. Latar belakang tersebut diantaranya, pertimbangan tekno-ekologi, sosial, dan ideologis (Mundardjito, 1995). Di dalam penelitiannya mengenai latar belakang ekologi mengenai penempatan situs Hindu-Budha di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Mundardjito (1993 : 250-251) menyatakan ada empat kategori situs. Kategori pertama, yaitu situs Ratu Boko, Candi Barong, Dawangsari, Candi Ijo. Merupakan kategori yang tidak menguntungkan secara ekologi. Situs-situs tersebut terletak di atas Perbukitan Batur Agung yang gersang dan jauh dari sumber air. Sehingga Mundardjito berkesimpulan bahwa situs-situs yang terletak di Perbukitan Batur Agung tidak dapat diteliti dengan pendekatan ekologi saja. 13 Sebagai sebuah situs yang berada di puncak gunung, Pegunungan IyangArgopuro memang tidak menguntungkan secara ekologi maupun ekonomi. Hal jika dibandingkan dengan situs yang berada di dataran rendah, seperti situs-situs di Lembah Iyang-Ijen, Bondowoso. Akan tetapi penulis memiliki dugaan, walaupun tidak menguntungkan secara ekologis, tetap ada latar belakang lingkungan yang mendasari penempata Pegunungan Iyang-Argopuro. Latar belakang lingkungan itulah yang kemudian dikorelasikan dengan ideologi yang dimiliki oleh masyarakat pendukung kebudayaan. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitiaan ini dipakai penalaran induktif dan bersifat deskriptif-analitis. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan keruangan. Pendekatan ini tidak memandang sebuah objek hanya sebagai bentuk artefaktual, namun sebuah ruang yang saling berhubungan. Pendekatan keruangan ini melibatkan variabel-variabel lingkungan di dalam analisisnya. Variabel lingkungan yang dipakai ialah : topografi, sumber air, dan sumber bahan. G. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pengumpulan data Tahap pengumpulan data dibagi menjadi dua tahap. Hal ini berdasarkan jenis data yang dikumpulkan. Tahap-tahap tersebut adalah : a. Tahap pra-observasi lapangan. Kegiatannya adalah mengumpulkan data sekunder mengenai keberadaan Pegunungan Iyang-Argopuro. Di dalam pengumpulan data sekunder, penulis sebagian besar mendapatkan dari skripsi Rizky Afriono (2011). Di samping itu, juga 14 dilakukan pengamatan terhadap peta. Hal ini dilakukan untuk menentukan lokasi survei, dan strategi survei lapangan. Peta yang diamati adalah Peta Army Map Service (AMS) lembar Lotjari skala 1 : 50.000, Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Plaosan skala 1 : 25.000, dan denah punden berundak puncak Pegunungan Iyang-Argopuro oleh Rizky Afriono (2011). Peta AMS digunakan untuk merencanakan strategi survei lapangan. Hal ini dikarenakan peta AMS lebih akurat jika digunakan untuk melakukan navigasi darat. Peta RBI Bakosurtanal digunakan sebagai pendukung karena informasinya yang lebih aktual. b. Tahap kedua adalah tahap observasi lapangan. Observasi yang dilakukan meliputi kegiatan pengamatan, pengukuran dan pencatatan terhadap objek dan keadaan lingkungannya. Jenis observasi yang dilakukan adalah direct observation (Sharer & Ashmore 2003 : 203216). Pengamatan ini dilakukan secara langsung ke lokasi, berdasarkan informasi yang telah didapat sebelumnya. Tahap-tahap observasi ini meliputi : identifikasi situs, plotting objek, dan pemetaan objek. Dalam observasi ini hal yang diobservasi adalah kedua punden berundak yang terdapat di puncak-puncak Pegunungan IyangArgopuro berdasarkan hasil pengamatan peta. Pengamatan dilakukan dua kali. Pengamatan tahap pertama dilakukan pada bulan Agustus 2013. Tujuan dari pengamatan pertama ini adalah untuk memastikan keberadaan situs di puncak Pegunungan Iyang-Argopuro. Pengamatan 15 dilakukan dengan cara jalan kaki ke Puncak Rengganis saja. Pada tahap pertama, punden berundak di Puncak Iyang tidak diamati. Pengamatan pertama menghasilkan beberapa foto dokumentasi yang akan dicocokkan dengan penelitian Afriono (2011). Pengamatan tahap kedua dilakukan pada bulan Mei 2015. Tujuan dari pengamatan yang kedua ini adalah untuk mengambil dokumentasi lengkap mengenai merekam lebih detil situs di puncak Pegunungan Iyang-Argopuro. Sasaran data yang dikumpulkan melalui survei lapangan adalah bentuk arsitektur bangunan, lansekap, keletakan bangunan, dan keletakan sumber daya lingkungan seperti sumber bahan, dan sumber air. Peralatan dan bahan yang dipakai untuk membantu observasi lapangan ini adalah : Peta Army Map Service (AMS) lembar Plaosan skala 1 : 50.000, Peta Rupa Bumi Indonesia lembar Plaosan skala 1 : 25.000. GPS Receiver Garmin GPS Map 62s, skala batang ukuran 50 meter dan 1 meter, kompas bidik, rol meter 50 m dan 7 m, serta kamera saku Nikon Coolpix L23. 2. Pengolahan data Pada tahap ini data yang diperoleh baik data arkeologis dan data lingkungan yang diperoleh di lapangan akan diolah dan dianalisis. Alat bantu yang digunakan ialah Sistem Informasi Geografis (SIG). Perangkat lunak yang dilakukan untuk pengolahan data ini adalah QuantumGIS (QGIS). Perangkat lunak ini merupakan aplikasi open source yang dikembangkan oleh para pengguna SIG di 16 seluruh dunia. QGIS dipilih karena merupakan sebuah software open source dan multi platform, sehingga dapat digunakan pada beberapa sistem operasi seperti Windows, Mac OS, dan Linux Based Operating System. Peta yang digunakan dalam analisis ini adalah peta geologi Lembar Besuki tahun 1997 skala 1 : 100.000, Peta Rupa Bumi Indonesia terbitan BIG skala 1 : 100.000, Citra ASTER DEM (Digital Elevation Mode), dan Peta RBI lembar Plaosan skala 1 : 25.000 tahun 2001. Peta geologi digunakan untuk mengetahui klasifikasi batuan yang ada di Pegunungan Iyang-Argopuro. Peta RBI digunakan untuk data-data batas admin, sungai, jalan, dan pemukiman. Citra ASTER DEM digunakan untuk mendapatkan informasi ketinggian melalui garis kontur. 3. Sintesis Pada tahapan ini pengkajian terhadap hasil analisis dilakukan dengan pendekatan yang dipilih. Beberapa teori keruangan dan lingkungan akan dipakai untuk menafsirkan dan merekontruksi aktivitas masa lampau masyarakat megalitik di Pegunungan Iyang-Argopuro dalam memilih lokasi bangunan sucinya. 4. Kesimpulan Pada tahapan terakhir ini dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil sintesis untuk melihat pengaruh lingkungan dalam penempatan punden berundak di kompleks situs Pegunungan Iyang-Argopuro.