BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset bangsa. Sebagai bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis, yakni sebagai pewaris (successor) bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional ( National Development). 1 Oleh karenanya, Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang. 2 Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan bahwa, masalahnya tidak semata-semata bisa didekati secara juridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya. 3 Sejalan dengan itu shanty Dellyana mengatakan perlindungan anak 1 El Muhtaj, Majda, “Memahami Integritas Hak-hak Anak dan Impelementasinya,” dalam sulaiman Zuhdi Manik (Ed.), kekerasan Terhadap Anak, dalam Wacana dan Realitas ( Medan: PKPA 1999), hlm. 19 2 Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 2 3 Nusantara, Abulk Hakim Garuda, “ Prospek Perlindungan Anak” dalam mulyana W.Kusumah ( Peny.), Hukum dan Hak-hak anak ( Jakarta : YLBHI: Bekerjasama dengan CV.Rajawali ,1986), hlm. 22 9 merupakan satu usaha yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dalam melaksanakan Hak dan kewajiban. 4 Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak disamakan, namun dalam peristiwa hukum klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu, 5 karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang sebenarnya. Sebagai motto para ahli kriminologi yang berbunyi: “ Fight crime, help delinquent, love humanity. ” 6 Dalam masa ini seorang anak banyak mengalami keragu-raguan dan menimbulkan kesulita-kesulitan yang tidak hanya terjadi pada dirinya tapi juga pada keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Jelaslah bahwa sifat individu manusia dalam suatu masyarakat khususnya bagi seorang anak selalu merasa tidak puas terhadap apa yang di dapatkanya, bahkan ingin kaidah-kaidah hidup dan peraturan-peraturan hukum yang ada di langgarnya. 4 Dellyana, Shanti, Wanita dan Anak di Mata Hukum ( Yogyakarta : Liberty,1988), hlm. 18-19 5 E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 19. 6 Ibid., hlm. 42. 10 Paul A. Samuelson berpendapat bahwa “kepentingan atau kebutuhan manusia pada dasarnya tidak terbatas, sedangkan alat untuk memenuhi kepentingan atau kebutuhan itu sangat terbatas sehingga manusia cenderung untuk selalu berusaha apa yang di perlukanya itu.” 7 Sudah lazim apabila setiap perbuatan pasti akan melahirkan pertanggung jawaban dari si pelaku. Tanggung Jawab itu akan selalu ada, meskipun belum tentu akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Pada umumnya seseorang bertangungjawab atas perbuatanya sendiri. Betapapun demikian, aturan undang-undang lah yang menetapkan siapasiapa saja yang di pandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab itu. Walaupun telah di tegaskan bahwa seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang terjadi, namun langkah selajutnya adalah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat yang di perlukan untuk sebuah nama pertanggungjawaban itu. Pidana atau tidak pelaku bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan apakah pelaku tercela atau tidak karena telah melakukan perbuatan pidana itu. Oleh karena itu, dapat di katakan bahwa dasar dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan di ancam dengan pidana barang siapa yang melakukanya, sedangkan dasar dari pada di pidananya si pelaku tidak di pidana jika tidak ada kesalahan. 8 7 Rais, Moch Lukman Fathullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar ( Jakarta : Pustaka Sianar Harapan , 1997), hlm.2 8 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana ( Jakarta: Aksara Baru,1983 ), hlm.76 11 Dengan kata lain, orang tidak mungkin di pertanggungjawabkan dan di jatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dapat di pidana. Jadi, adanya kesalahan yang mengakibatkan di pidananya seseorang, maka ia harus : (a) melakukan kesalahan; (b) mampu bertanggungjawab; (c) dengan kesengajaan atau kealpaan ;dan (d) tidak adanya alasan pemaaf. 9 Dalam Hukum Positif, yaitu ketentuan Pasal 44 ayat 1 KUHP telah di nyatakan bahwa tidak dapat di hukum barang siapa melakukan sesuatu perbuatan yang tidak dapat di pertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya. Dengan demikian jelaslah bahwa menurut ketentuan tersebut seseorang dapat di sebut sebagai “ tidak dapat di pertanggungjawabkan” atas tindakanya apabila orang tersebut ternyata memenuhi salah satu syarat, yaitu apakah ia mempunyai “pertumbuhan yang tidak sempurna dari kemampuan akal sehatnya” atau adanya gangguan suatu”gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya” Di dalam memori penjelasan KUHP tahun 1881, para perencana telah menyatakan bahwa toerekenhaarheid ( hal dapat di pertanggungjawabkannya suatu tindakan ) itu dapat menjadi tidak ada karena hal-hal yang terdapat dari pelakunya sendiri, yaitu : (1) keadaan yang tidak normal dari geestvermogens atau kemampuan jiwa si pelaku; (2) usia yang sangat masih muda. 10 9 Ibid. hlm.78 Lamintang ,P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997 ), hlm. 395 10 12 Menurut Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit, tetapi juga karena umurnya masih sangat muda, terkena hypnose dan sebagainya.Walaupun anak yang masih di bawah umur dalam keadaan tertentu di anggap tidak mampu bertanggungjawab, namun bila mereka melakukan kejahatan, hukum pidana telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga di dalam pengaturan pelaksanaanya di tuntut kejelian seorang hakim di dalam menentukan hukumannya. Sejak keluarnya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mulai berlaku sejak tanggal 3 Januari 1997, maka ketentuan mengenai penyelanggaraan pengadilan anak di lakukan secara khusus. Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah usia atau umur. Dalam hal ini masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat di ajukan dalam sidang anak. Hukum pidana Islam mengatur tentang pertanggungjawaban pidana, Sebagai ajaran universal dan relavan dengan watak interistik manusia, Islam hadir dengan seperangkat ajaran yang komprihensif. Tidak saja mengatur persoalan tauhid dan ibadah, Islam juga mengatur berbagai prinsip umum mengenai hidup kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, dan hukum. Meskipun proliferasi terma hukum Islam sedemikian variatif, namun patut di tegaskan bahwa terma-terma hukum Islam, agaknya berada dalam sebuah konsensus bahwa hukum Islam merupakan terma baru dalam khazanah keilmuan Islam itu sendiri. 13 Hukum Islam di pandang sebagai bagian integral dengan prinsip-prinsip ketauhidan dalam Islam. Salah satu bagian hukum Islam (baca:fikih) yang mengatur hak-hak individu dan publik tertuang dalam fikih jinayat ( hukum pidana Islam ). Hukum Pidana Islam membincangkan berbagai hal seputar pelanggaran dan tindak pidana. Dalam hubungan itu, diatur tidak saja prosedur penghukuman dan materi hukuman, tetapi juga di atur kemungkinan terjadi pengecualian, pengurangan dan pengahapusan hukuman, yang di lihat dari perspektif pelaku tindak pidana. 11 12 Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya 11 Lihat Santoso,Topo, Membumikan Hukum Pidan islam;Penegakan Syariat dalam wacana dan Agenda ( Jakarta : Gema Insani Press,2003) , hlm.7 12 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III: 289. 14 yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan di masa yang akan datang. 13 Dalam literature hukum pidana Islam, di kenal juga tiga istilah yang berhubungan dengan tindak pidana yakni Jinayat, Jarimah dan Uqubat. 14 Yang pertama adalah perbuatan yang mengenai jiwa atau harta benda atau pun lainya. Yang kedua di pahami sebagai larangan-larangan syara’ yang di ancamkan oleh Allah SWT dengan hukuman had atau takzir. Meskipun kelihatan memiliki stressing point yang berbeda, namun para ulama kelihatan sering mengidentikan jarimah dan jinayah. 15 Tidak terkecuali dalammembuahkan aturan pidanasebuah Islam,pengertian bagi seorang pelaku Pengidentikan ini juga kemudian bahwa baik pidana masihJinayah dalam kapasitas anak-anak pidana di bedakan dengan Jarimahyang maupun sebagai perbuatan yanghukumanya di ancam dengan pelaku dewasa. Pembedaan ini erat dengan asas pertanggungjawaban hukuman yang telah di tetapkan olehkaitanya Allah SWT meliputi hudud, Qisas-diyat pidana. Hal16ini sesuai dengan hadis: dan Takzir. Dengan kata lain, kedua istilah tersebut di sebut dengan criminal act. Sedangkan uqubah adalah punishement, yakni hukuman yang telah di tetapkan untuk kemaslahatan publik atas pelanggaran-pelanggaran perintah syara, pertanggungjawaban pidana (al-mas,uliyyat al-jina,iyyal/criminal responsibility) adalah penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang. 13 Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 16. 14 Lihat Ibn Zaid, Zaid ibn Abdul Karim Ibn Ali, al-Afwu, an al-Uqubah fi al-islamy ( Riyad : Dar al-Ashimah, 1408 H), hlm. 178 15 Lebih lanjut baca Haliman, Hukum Pidana sjariat Islam Menurut ajaran ahlus Sunnah ( Djakarta : Bulan Bintang, 1970 ) 16 Lihat lebih lanjut Bahnassi, Ahmad Fath, Madkhal al-Fiqh al-jina , iy al-islamiy (Beirut ;dar as-syuruq,1989) 15 Dalam persepektif Islam, pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak perbuatan) yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatanya itu. Dengan dasar ini, maka sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku atas tiga hal yakni (1) adanya perbuatan yang dilarang; (2) dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan (3) pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut. 17 Ketiga hal di atas merupakan ratio legis bagi berlakunya sebuah pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, bagi orang-orang dewasa bagi berakal dan berkemauan sendiri berlaku pertanggungjawaban pidana. Sebaliknya, tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi komunitas anak-anak, orang gila, dungu, orang yang sudah hilang kemauanya dan orang yang berada dalam kapasitas terpaksa atau pun di paksa. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas melalui sabda Rasullulah SAW, yang menyatakan,: 18 “Pena di angkat dari tiga hal ( dibebaskan dari segala catatan dosa pen) kepada tiga kondisi ; (1) orang yang tertidur sampai ia bangun;(2) anak-anak sampai dewasa; (3) orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Telah tegas dan menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa anak-anak terbebas dari pertanggungjawaban pidanan. Hal ini di karenakan mereka dalam status tidak cakap untuk bertindak secara hukum, dalam istilah pidana Islam di 17 ibid Said Hawwa, Al Islam, diterjamahkan olleh Abdul Hayyie al Kattani, Arief Chasanul Muna dan Sulaiman Mapiase, Cet.Pertama, ( Jakarta: Gema Insani. 2004). Hlm.694 18 16 sebut sebagai laisa min ahli al-,uqubah ( bukan termasuk kelompok yang mendapatkan hukuman ). 19 Namun demikan penting di tegaskan bahwa persoalan tentang statusnya dalam kapasitas sebagai anak-anak menimbulkan problematika tersendiri. Di antaranya adalah percepatan iklim dewasa semakin menjadi fenomena di kalangan anak-anak, terutama akibat pengaruh media komunikasi dan informasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kemudian membuat batasan yang meskipun terkesan sangan simplistik, namun pada dasarnya dapat di pergunakan sebagai acuan dalam melihat tingkat perkembangan dan sikap yang di tampilkan oleh mereka yang berada dalam usia yang di sebut anak-anak. Para ulama mengklasifikasikanya ke dalam bentuk usia anak, yakni sebagai berikut : (1) Usia belum mummayiz. periode ini di mulai dari sejak kelahiran sampai usia tujuh tahun. Kalaupun kemampuan berpikir sudah dimiliki oleh anak, apalagi hal itu sangat di pengaruhi oleh kondisi lokalitas sebuah daerah, namun pada periode ini anak-anak tetap belum mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk. Dengan kata lain, mereka secara umum masih di pandang belum cakap bertindak ( prior to the age of discretion). Mereka hanya di kenakan hukuman takzir yang di bebankan atas harta milik pribadi, yakni memberi ganti kerugian terhadap kerugian yang di derita oleh orang lain. 19 Lihat Bahnassi, Ahmad Fathi, as-siyash al-jina iyyah fi as-syariah al-islamiyyah (Beirut, dan as-syuruq , 1988), hlm.212-217 17 (2) Usia mumayyiz Periode ini di mulai sejak usia tujuh tahun sampai menjelang tanda-tanda baligh. Kaum anak yang telah mencapai taraf demikian di pandang telah baligh( dewasa), meskipun boleh jadi ia belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Kalau tindak pidana terjadi pada periode tersebut, maka pertanggungjawaban pidana tidak juga berlaku. Bagi mereka hanya di kenakan hukuman takzir yang di peruntukan untuk pengajaran ( li at-ta,dib) bukan hukuman pidana. (3) Usia baligh, yakni ketika mencapai taraf usia baligh. Sebagian ulama berpendapat pada usia lima belas tahun atau delapan belas tahun. Tidak hanya usia demikan, pada taraf ini telah tercapai kematangan fisik dan non fisik sebagai seorang remaja yang paripurna. Maka, dalam konteks ini baik laki-laki dan perempuan, tetap di kenakan pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan uraian ini, maka penulis ingin mendalaminya dalam sebuah penelitian dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM PIDANA POSITIP DAN HUKUM PIDANA ISLAM B.Perumasan masalah 1. Bagaimana ketentuan dan Pertanggungjwaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif . 2. Bagaimana ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Islam. 18 3. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjwaban Pidana anak dalam Persepktif Hukum Pidana Positp dan Hukum Pidana Islam. C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan a.Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih memahami : 1. Ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif. 2. Ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Islam. 3. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Pidana dalam Persepektif Hukum Pidana Positp dan Hukum Pidana Islam. b. Manfaat Penelitian Penelitian ini di harapkan dapat berguna, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, di harapkan penelitian ini dapat berperan memberikan sandaran teoritis kelimuan, khususnya dalam membekali teoritisasi tentang pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Selain itu, penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut tentang permasalahan pertanggungjawaban pidana yang pada giliranya dapat memberikan kontribusi dan perkembangan studi bidang hukum kepidanaan di Indonesia. Adapun secara praktis, penelitian ini dapat di pergunakan antara lain, sebagai masukan dalam pembahasan di forum legislative yang khusus membahas 19 tentang adanya upaya untuk menghasilkan produk-produk perundang-undangan yang berkaitan dengan berkepentingan dan masa depan kaum anak. D.Keaslian Penelitian Sepanjang di ketahui bahwa penelitian yang menyangkut pertanggungjawaban pidana atas tindakan pidana yang dilakukan oleh anak-anak ( Studi perbandingan antara Hukum Pidanan Positf dan Hukum Pidana Islam ) belum pernah di lakukan. Hemat penulis penelitian ini masih terjaga keaslianya. Namun demikan, literature yang berhubungan langsung ataupun tidak dalam wacana pemabahasan penelitian ini secara umum tetap di yakini memberikan kontribusi tersendiri yang dalam penelitian ini. Oleh karena itu, hadirnya literatur-literatur tersebut jelas membantu tajamnya analisis dalam proses penelitian ini. E. Tinjaun Kepustakaan 1. Pengertian Pertanggungjwaban Pidana a. Dalam Hukum Pidana positif di dalam konsep hukum pidana Indonesia di dasarkan kepada perbuatan dan pembuatanya, dua hal ini harus menjadi sokoguru dari hukum pidana yang kemudian menjadi azas pokok yaitu azas legalitas dan azas kesalahan yang di tetapkan dalam pasal tersendiri yaitu pasal 1 ayat (1) dan pasal 28, maka tentang tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana di beri keterangan yang lebih jelas 20 masing-masing dalam pasal 12 dan pasal 27. 20Pada pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 menyatakan pertanggungjwaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku secara obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya. 21 Dasar adanya tindak pidana merupakan azas legalitas sebagaimana di sebutkan dalam pasal 1 ayat (1). Orang tidak mungkin di pertanggungjawabakan dan di jatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama di batasi pada perbuatan yang di lakukan dengan sengaja (dolus), dapat di pidananya delik culpa yang bersifat pengecualian (eksepsional ) apabila secara tegas oleh undangundang mengaturnya. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang di perberat ancaman pidanya hanya di kenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya telah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. 22 Menurut Ahmad Bahnassi Pertanggungjawaban adalah akibat yang harus diterima dari sebuah perbuatan, selengkapnya ia mengatakan sebagai berikut: Responsibility ultimately means the assumption of the consequences for one act.For a person to be criminally responsible, he must be of the age of 20 Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta ,1987), hlm. 67 21 Ibid, hlm. 75 22 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi Revisi (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti,2002), hlm. 86 21 discretion and be able exercise choice in what he does. In addition, he must be at fault.Fault is the basis of criminal responsibility. If no fault is found, a person cannot be held responsible for what has happened. Fault may be determined from deliberate inent, which is called criminal intent, or it may arise unintentionally as through a mistake. 23 ( Pada akhirnya pertanggungjawaban berarti penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang. Bagi seseorang bertanggungjawab secara pidana, ia harus mencapai usia dewasa dan mampu memilih dan memilah apa yang di lakukanya. Lagi pula, ia harus bersalah. Kesalahan merupakan dasar dari pertanggungjawaban pidana. Jika kita temukan kesalahan, seseorang tak bisa di tahan untuk mempertanggungjwabkan perbuatanya. Kesalahan bisa saja di tentukan dari kesengajaan, yang bisa di kenal dengan tindakan pidana dengan sengaja atau bisa juga dengan tidak sengaja sebagai sebuah kesalahan). Menurut Prodjohamidjojo, seseorang melakukan kesalahan jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 24Dengan demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur hukum. Jadi, harus ada unsur Objektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabakan kepadanya, jadi ada unsur subjektif. 23 Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebikan Hukum Pidana Op.cit. hlm. 8 Prodjohamidjojo. Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta : PT. Pradya paramita,1997) hlm. 31 24 22 Roeslan Saleh juga memberikan pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana, menurut Roeslan Saleh hanya menunjuk kepada dilarangnya perbutan. 25Tegasnya, Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pidanya si pembuat. 26 Jika dilihat dari penjelasan para pakar sarjana Hukum yang telah di uraikan maka Pertanggungjawaban pidana setidaknya harus memikirkan tiga hal penting yakni pertama, kemampuan bertanggungjawab ( loerekeningsvaatbaarheid) dari pelaku atau keadaan psikis pelaku. Kedua adanya hubungan sikap batin pelaku dengan perbuatanya, yaitu adanya faktor kesengajaan dan kealpaan, dan ketiga ada tidaknya alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjwaban pidana dari pelaku. 27Dengan demikian antara keadaan psikis dengan perbutan yang di lakukan merupakan hubungan yang erat, maka untuk lebih jelasnya perlu di adakan pemisahan, guna dapat di tinjau lebih mendalam. Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, menurut Roeslan Saleh, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk di anggap tidak mampu bertanggungjawab haruslah di dasarkan pada pasal 44 KUHP, jadi sama dengan 25 Saleh ,Roeslan. Op.cit ,hlm. 75 Ibid. 27 Simanjuntak , Osman ”Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Azas-azas umum” ttp:Jakarta,tt) hlm.170-174 26 23 ( orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja, menurut Roeslan Saleh, hal itu tidak di benarkan. Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, menurut Roesalan Saleh, tidak mempunyai Kesalahan karena dia sesungguhnya belum mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan. Anak memiliki ciri dan karekteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai kesengajaan atau kealpaan. Sebab, menurut Roeslan Saleh, satu unsur kesalahan tidak ada padanya, karenanya dia di pandang tidak bersalah sesuai dengan asas tidak di pidana jika tidak ada kesalahan, maka anak yang belum cukup umur ini tidak di pidana. 28 b. Dalam Hukum Pidana Islam Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan tuhanya maupun aturan main sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana Islam yang dalam tradisi fiqih di sebut dengan istilah jarimah dan jinayah, yang secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang di larang oleh syariat dan di ancam dengan hukuman bagi pelanggarnya. 29Salah satu Prinsip dalam Syariat Islam adalah seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah yang telah di perbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjwaban atas perbuatan jarimah orang lain. 28 Topo Santoso, “Membumikan Hukum Pidana Islam,” Op.cit, hlm. 166 Muhammad Nur, Tindak “Balas dendam, dalam Islam, ( Perspektif Dokriner Cum Filosofis )dalam al-Hudud Jurnal Jianyah HMJ Js Fak, Syariah IAIN Sunan Kalijaga ( Yogyakarta :1999), hlm. 32 29 24 Arti pertanggungjawaban pidana (al-mas’uliyyah al-‘jinayyah) sendiri dalam syariat Islam ialah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksudmaksud dan akibat-akibat dari perbuatanya itu. 30 Di dalam Hukum modern seperti KUHP di Indonesia, dalam penerapanya di kenal dengan beberapa asas, sementara hukum pidana Islam juga telah di kenal asas yang sama sebagaimana di kenal dalam hukum modern. Seperti asas Legalitas yaitu Nullum delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poeanali ( tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu), Hukum Pidana Islam juga mengenal hal seperti itu sebagaimana di sebutkan dalam Al-Quran 31 dan sebagainya. Terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat tentang baik atau tidak baik, cocok atau tidak cocok penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, manakala muncul persoalan tentang sanksi hukumanya yang di anggap sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Pada hal apabila di teliti dari sudut pandang Islam itu sendiri, maka akan terlihat jauh lebih baik dan bahkan hukum pidana Islam juga telah memenuhi prinsip-prinsip hukum pidana moderen bahkan telah mendahuluinya. 32 Pertanggungjawaban pidana di dalam hukum Islam merupakan pembebanan kepada seorang sebagai akibat perbuatanya ( atau tidak berbuat 30 Ahmad Hanafi, ibid, hlm. 173 Q.S. Al Israa, : 15,artinya ,” …dan kami tidak akan mengazab sebelum kami menguts seorang Rasul.” 32 Topo Santoso, Membumikan Hukukum Pidana Islam ..,Op.cit hlm.10 31 25 dalam delik omisi) 33yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbutanya itu. 34Pertanggungjawaban Pidana tersebut di tegakkan atas tiga hal, 35yaitu : 1. Adanya perbuatan yang di larang 2. Di kerjakan dengan kemauan sendiri 3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut. Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seorang dalam suatu perbuatan, maka akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek tersebut tidak terpenuhi maka kepada seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat di bebani pertanggungjawaban hanyalah orang dewasa, yang mempunyai akal pikiran yang sehat serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak maka tidak ada pertanggungjawaban padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang bisa memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang akan di lakukanya. 33 Kata “omisi atau omission berarti tidak melakukan perbuatan yang menjadi lawan dari kata komisi atau komission yang berarti melakukan perbuatan yang berakibat kepada adanya hukuman atau ancaman hukuman.” Lihat juga Utrecht dalam hukum pidana I yang menyebutkan bahwa “delik omissiaon adalah pelanggaran seseuatu yang di perintah dengan kata lain delicta omission adalah tidak membuat sesuatu yang oleh undang-undang pidana di perintahkan delic commissionis adalah pelanggaran sesuatu yang di larang.”dengan kata lain delicta commisionis adalah membuat seseuatu yang oleh undang-undang pidana dilarang. 34 Hanafi dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam : Penegak syariat dalam wacana dan agenda. Cet II. ( Jakarta : asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 166 35 Topo Santoso ibid, hal 166,lihat juga Ahmad Hanafi.Azas-azas Hukum Pidana Islam ( Jakarta : PT.Bulan Bintang,1967) hlm.154, Drs.H.Ahmad Wardi Muslich : Pengatar dan Asas Hukum Pidana Islam hal 74, Drs.H.Rahmat Hakim : Hukum Pidana Islam ( Fiqih Jinayah) hlm. 175 26 Dan pertanggungjawaban pidana di bebankan kepada seseorang selain anak-anak sampai ia mencapai usia puber, orang yang sakit syaraf ( gila), dalam keadaan tidur atau di paksa. 36Dan berdasarkan hal ini, syariat Islam tidak mengenal tempat tanggungjawab pidana kecuali manusia hidup, mukallaf yang menikmati kebebasan memilih pada saat berbuat. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas melalui sabda Rasulullah SAW, yang menyatakan 37 “Pena diangkat dari tiga hal: dari anak-anak sampai dia mimpi, dari orang tidur sampai terjaga dan dari orang gila sampai ia waras” “Tidak dituntuntut dari umatku kesalahan, kelupaan dan apa yang di paksakan kepada mereka”dan allah berfirman” 38 “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa ( memakanya)sedang ia tidak mengingikanya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” Karena itu konsep pertanggungjawaban pidana dalam al Qur’an adalah bahwa seseorang mukallaf telah melakukan perbuatan yang haram atau yang dilarang oleh agama. Syariat Islam berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas suatu tindakan kejahatan oleh si penjahat itu sendiri. dengan demikian di batalkan system pertangungjawaban yang berlaku di jaman Jahilyyah dalam masalah 36 Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta :PT.Rineka Cipta,1992), hlm. 16-17 37 Said Hawwa, Al-Islam, ibid. hlm. 694 38 Al-Qur’an surat al Baqrah :173 27 kejahatan pembunuhan, dimana suatu suku harus memikul tanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku tersebut. 39 2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak. Anak memiliki karakteristik tersendiri, baik secara psikologi, sosial budaya dan hukum. Dalam aspek yang terakhir ini, perlakuan terhadap anak, baik sebagai pelaku kejahatan maupun sebagai korban kejahatan membutuhkan keseriusan. Tidak jarang komunitas anak, apalagi dalam konteks kehidupan modern, terjerat dalam maraknya tindakan kejahatan di masyarakat. Maka perlu pemahaman yang baik seputar pengertian dari anak. Jadi dalam perkembangan kejiwaannya sangat perlu di perhatikan, karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki system penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria norma sendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini di sebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan dengan sifat-sifat dan ciri-cirinya, di mulai dari usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya. Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “anak” di mata hukum positif Indonesia lazim di artikan sebagai orang yang belum dewasa 39 ( Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan syariah (Al-islamu ‘Aqidatun wa syari’atun), di terjamahkan oleh Abdurrahman Zain,Cet. Pertama ( Jakarta: Pustaka Amani,1986), hlm. 620 28 minderjaring/person under age). orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur ( minderjarigheid/inferiority). 40 Menurut ketentuan pasal 45 KUHP maka yang disebut anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun. Terhadap hal ini baik secara teoritik dan praktek maka apabila anak melakukan tindak pidana, hakim dapat menentukan anak tersebut dapat dikembalikan kepada orang tuanya,wali atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana sebagai anak Negara atau juga dapat dijatuhi pidana. akan tetapi ketentuan pasal45, 46, dan 47 berdasarkan ketentuan pasal 47 UU No.3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. 41 Berdasarkan ketentuan pasal 330 kitab undang –undang hukum perdata maka yang di sebut anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 ( dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 42 UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, 43dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Menurut Konvensi Hak-hak anak (Convention on the rights 40 Lilik Mulyaddi. “Pengadilan anak Indonesia teori,praktik dan permasalahanya.”(Bandung : CV.Mandar Maju.2005) hlm. 3 41 R.Soesilo “Kitab Undang-undang KUHP Pidana, hlm. 61-62 42 R. Subekti. Kitab Undang-undag Hukum Perdata.(Jakarta :PT Pradya paramita, 2001), hlm. 90 43 UU ini terdiri dari 4 bab dan 6 Pasal.Disahkan di Jakarta tanggal 23 Juli 1979.Lembaran Negara RI tahun 1979 Nomor 4. 29 of the child) yang di setujui oleh majelis umum PBB tanggal20 November 1989 dan di sahkan oleh keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990 mendefinisikan anak sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun. Menurut pasal 1 ayat ( 1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak 44yang di maksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 ( delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas ) tahun dan belum pernah kawin. Menariknya, pada pasal 1 ayat (2) undang-undang ini memberikan batasan anak nakal, yakni (1) anak yang melakukan tindak pidana; (2) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 45Lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 I dasarkan pada kepentingan bahwa di butuhkan upaya yang serius dalam menghadapi dan menanggulangi berbagi perbuatan dan tingkah laku anak nakal. Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, 46menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 ( delapan belas) tahun, termasuk di dalam pengertian tersebut di dalam pengertian tersebut anak-anak yang masih dalam kandungan. 44 UU No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak Ibid, Lihat Pasal 1 ayat (3) 46 Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak 45 30 Menurut Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana Anak, 47perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah di mulai pada akhir abad19, di mana anak dijadikan sebagai “objek” yang di pelajari secara ilmiah.Pelopornya adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya Die Seele des kindes (jiwa anak) pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti anak dan menulis psikologi anak, antara lain William Sterm menulis buku Pyschologie der fruehen kindehen ( psikologi anak pada usia sangat muda), Karl Buhler menulis buku Die Geistige Entwicklung des kindes ( perkembangan jiwa anak). 3. Anak yang melakukan Perbuatan Pidana Ada berbagai istilah untuk tindak pidana ( mencakup kejahatan dan pelanggaran), antara lain delik, perbuatan pidanan, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh di hukum, pelanggaran hukum, kriminal act, dan sebagainya. 48Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat di kenakan hukuman pidana. 49 Menurut kamus bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. 50Maka, kata memidana berarti menuntut berdasarkan hukum pidana;menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Di pidana di 47 Ibid. hlm. 5 Topo Santoso, Ibid hlm .132 49 Ibid 50 Waluyo Bambang, Pidanan dan Pemidanaan ( Jakarta Sinar Grafika,2000), hlm .9 48 31 tuntut berdasarkan hukum pidana sehingga terpidana berarti di kenai hukuman atau orang yang di kenai hukuman. 51 Pidana definiskan sebagai suatu penderitaan yang sengaja di jatuhkan/di berikan oleh Negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) atas perbuatanya yang telah melanggar larangan hukum pidana. 52 Wujud-wujud penderitaan yang dapat di jatuhkan oleh Negara itu telah di tetapkan dan di atur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkan serta dimana dan bagaimana cara menjalankanya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu di muat dalam pasal 10 KUHP. 53Tetapi wujud dan batasbatas berat ringanya dalam menjatuhkanya di muat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila di laksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan I disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat di sebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang di lindungi. Terhadap anak nakal yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Yang di ancam dengan pidana 51 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta: Balai Pustaka,1994) hlm.766 52 Adami chazawi, Pelajaran Hukum pidana bagian I.(Jakarta :PT Raja Grafindo Persada.2002), hlm .24 53 R.Soesilo KUHP, hlm.10 32 penjara sementara waktu, tidak di ancam dengan hukuman mati/seumur hidup di jatuhkan sanksi akan tetapi di kenakan sanksi berupa tindakan. Untuk dapat di ajukan kedepan sidang pengadilan anak, maka anak nakal minimum telah berumur 8 ( delapan) tahun dan maksimum 18 ( delapan belas) tahun. Sementara anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, walaupun melakukan tindak pidana belum dapat di ajukan ke sidang pengadilan anak. Ini di dasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan paedagogis, bahwa anak yang belum berumur 8 ( delapan tahun itu belum dapat mempertanggungjawabkan perbutanya). Akan tetapi dalam hal anak melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 ( delapan) tahun, akan tetapi belum mencapai umur 18 ( delapan belas) tahun ia di ajukan ke depan sidang pengadilan anak. Sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana di atur dalam pasal 1 angka 2 huruf a undang-undang No. 3 tahun 1997, 54 dan anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak sesuai pasal 1 angka 2 huruf b undang-undang No. 3 tahun 1997 dapat di beri tindakan di sertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang di tetapkan oleh hakim. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan. Untuk menentukan apakah si anak akan di kenakan pidana (Pasal 23 Undang-Undang No. 3 tahun 1997) atau tindakan ( Pasal 24 Undang-Undang No. 3 tahun 1997) haruslah dengan memperhatikan berat ringanya kejahatan atau di kenakalan yang di lakukan. selain itu juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua/wali/orang tua 54 ibid 33 asuhnya, hubungan antara anggota keluarga, keadaan penghuninya dan memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan. F. Metode Penelitian 1.Jenis Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka penelitian lebih cenderung merupakan penelitian yuridis normatif. Yaitu Pendekatan yang bersifat yuridis normatif tersebut akan di lakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 55 Di mana Penelitian Hukum Normatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. 56 Kategori penelitian yang bercorak yuridis normatif merupakan jenis penelitian yang mendasar kepada data kepustakaan. Penelitian ini juga di golongkan kepada library research (penelitan kepustakaan). Untuk membedakanya dengan jenis penelitian lainya, seperti sosiologis dan filosofis, maka jenis penelitian ini cenderung menjadi data kepustakaan sebagai sumber primer. 55 Lihat Soedkanto,Soerjono dan mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan Singkat ( Jakarta:Rajawali), 1985 hlm.34-5 56 Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta:1983), UI Press, hlm.51 34 2. Sumber Data dan Bahan Hukum Data yang di gunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data yang di peroleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelahaan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yag berkaitan dengan masalah penelitian yang sering di sebut dengan bahan hukum, bahan hukum sekunder dapat di kelompokan lagi ke dalam: Pertama, bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundangundangan, yurispudensi atau kepustakaan pengadilan ( lebih-lebih bagi penelitian yang berupa studi kasus) dan perjanjian internasional (traktat). Kedua , bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal Ilmiah, surat kabar (Koran), Pamflet, brosur, dan berita di internet. Ketiga, bahan hukum tersier, Rony Hanitijo Soemitro mengatakan bahwa “bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum skunder, yang berupa kamus ensiklopedi, leksikon dan lain-lain.” 57 3.Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum Dalam penelitian Hukum Normatif atau kepustakaan Teknik Pengumpulan data dalam penelitian hukum normative di lakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahna hukum primer, bahan hukum skunder, maupun 57 Rony Hanitijo Soemitro, Op.cit., hlm.24-25, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, CV Rajawali,hlm. 14-15) 35 bahan hukum tersier atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat di lakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak di lakukan penelusuran hukum tersebut dengan melalui media internet. 4. Analisis Data Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang di bantu dengan teori-teori yang telah di dapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini di sebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang di kuasainya. Sifat analisis ini adalah yang bersifat deskripitif maksudnya yaitu, bahwa peneliti dalam menganilisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atau subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang di lakukan. di sini peneliti tidak melakukan justifikasi terhadap hasil penelitian tersebut. G.Sistematika Pembahasan Agar pembahasan ini dapat tersaji secara teratur dan tersusun secara sistematis, pembahasannya akan disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut. Bab I : Berisi pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah dan pokok masalah yang menjadi kajian dalam 36 skripsi ini, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritik yang dipakai sebagai acuan dasar ketika melakukan analisis terhadap datadata yang dikumpulkan, dan metode penelitian yang berfungsi sebagai kendali untuk meluruskan alur penelitian sampai pada titik akhir pembahasan. Bab II : Yang menguraikan telaah tentang pertanggungjawaban pidana anak dalam hukum pidana positif. Bahasan dalam bab ini meliputi (A)kemampuan bertanggungjawab, (B) Kesalahan di bagi dalam (1) dolus (sengaja), (2) culpa( kelalaian), (C) alasan penghapusan pidana (1) Alasan pemaaf, (2) Alasan pembenaran untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban selain itu juga akan dijelaskan mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi anak-anak, dan pada akhir bab ini akan menguraikan tentang batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya. Bab III: Menguraikan telaah tentang sanksi hukuman tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dalam perspektif hukum pidana Islam. Bahasan dalam bab ini meliputi : (A) Kemampuan betanggunjawab; (B) Unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana (B.a) adanya melawan Hukum, (B.b) adanya unsur kesalahan;(C) pertanggungjawaban pidana, (C.a) di sebabkan mubah hapusnya ( assabah al- ibahah), (C.b) di sebabkan hapusnya hukuman ( asbah rafil al-uqubah). 37 Bab IV: Membahas pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak dalam persepektif hukum pidana positip dan hukum pidana islam dengan dianalisis secara komparatif dari segi pengertian dasar hukum, kriteria (bentuk) hukuman dari kedua sistem hukum tersebut. Dengan pembahasan ini akan dapat diketahui batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya sehingga hak-hak anak cukup terpenuhi dan terlindungi. Bab V : Penutup yang di dalamnya diuraikan kesimpulan dari apa-apa yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran. 38