BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tidak ada yang dapat

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak ada yang dapat menafikan bahwa anak adalah aset bangsa. Sebagai
bagian dari generasi muda, anak berperan sangat strategis, yakni sebagai pewaris
(successor) bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus potensi sumber
daya manusia bagi pembangunan nasional ( National Development). 1
Oleh karenanya, Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang
akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan
yang ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan
seimbang. 2
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu sisi
pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Abdul Hakim Garuda
Nusantara mengatakan bahwa, masalahnya tidak semata-semata bisa didekati
secara juridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan
budaya. 3 Sejalan dengan itu shanty Dellyana mengatakan perlindungan anak
1
El Muhtaj, Majda, “Memahami Integritas Hak-hak Anak dan Impelementasinya,” dalam
sulaiman Zuhdi Manik (Ed.), kekerasan Terhadap Anak, dalam Wacana dan Realitas
(
Medan: PKPA 1999), hlm. 19
2
Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997),
hlm. 2
3
Nusantara, Abulk Hakim Garuda, “ Prospek Perlindungan Anak” dalam mulyana
W.Kusumah ( Peny.), Hukum dan Hak-hak anak ( Jakarta : YLBHI: Bekerjasama dengan
CV.Rajawali ,1986), hlm. 22
9
merupakan satu usaha yang mengadakan kondisi di mana setiap anak dalam
melaksanakan Hak dan kewajiban. 4
Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata
dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan
menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu
tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan.
Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini
adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak
disamakan, namun dalam peristiwa hukum klasifikasi ini akan selalu sama untuk
suatu lapangan tertentu, 5 karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh
para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang
sebenarnya. Sebagai motto para ahli kriminologi yang berbunyi:
“ Fight crime,
help delinquent, love humanity. ” 6
Dalam masa ini seorang anak banyak mengalami keragu-raguan dan
menimbulkan kesulita-kesulitan yang tidak hanya terjadi pada dirinya tapi juga
pada keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Jelaslah bahwa sifat individu
manusia dalam suatu masyarakat khususnya bagi seorang anak selalu merasa
tidak puas terhadap apa yang di dapatkanya, bahkan ingin kaidah-kaidah hidup
dan peraturan-peraturan hukum yang ada di langgarnya.
4
Dellyana, Shanti, Wanita dan Anak di Mata Hukum ( Yogyakarta : Liberty,1988), hlm.
18-19
5
E. Sumaryono, Kejahatan Anak: Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum,
(Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm. 19.
6
Ibid., hlm. 42.
10
Paul A. Samuelson berpendapat bahwa “kepentingan atau kebutuhan
manusia pada dasarnya tidak terbatas, sedangkan alat untuk memenuhi
kepentingan atau kebutuhan itu sangat terbatas sehingga manusia cenderung
untuk selalu berusaha apa yang di perlukanya itu.” 7
Sudah lazim apabila setiap perbuatan pasti akan melahirkan pertanggung
jawaban dari si pelaku. Tanggung Jawab itu akan selalu ada, meskipun belum
tentu akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Pada umumnya seseorang
bertangungjawab atas perbuatanya sendiri.
Betapapun demikian, aturan undang-undang lah yang menetapkan siapasiapa saja yang di pandang sebagai pelaku yang bertanggungjawab itu. Walaupun
telah di tegaskan bahwa seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan
pidana yang terjadi, namun langkah selajutnya adalah menegaskan apakah ia juga
memenuhi syarat yang di perlukan untuk sebuah nama pertanggungjawaban itu.
Pidana atau tidak pelaku bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan
pidana atau tidak, melainkan apakah pelaku tercela atau tidak karena telah
melakukan perbuatan pidana itu. Oleh karena itu, dapat di katakan bahwa dasar
dari adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yakni asas yang menentukan
bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan di ancam dengan pidana barang
siapa yang melakukanya, sedangkan dasar dari pada di pidananya si pelaku tidak
di pidana jika tidak ada kesalahan. 8
7
Rais, Moch Lukman Fathullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar ( Jakarta : Pustaka
Sianar Harapan , 1997), hlm.2
8
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana ( Jakarta: Aksara
Baru,1983 ), hlm.76
11
Dengan kata lain, orang tidak mungkin di pertanggungjawabkan dan di
jatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. tetapi meskipun ia
melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dapat di pidana. Jadi, adanya
kesalahan yang mengakibatkan di pidananya seseorang, maka ia harus : (a)
melakukan kesalahan; (b) mampu bertanggungjawab; (c) dengan kesengajaan
atau kealpaan ;dan (d) tidak adanya alasan pemaaf. 9
Dalam Hukum Positif, yaitu ketentuan Pasal 44 ayat 1 KUHP telah di
nyatakan bahwa tidak dapat di hukum barang siapa melakukan sesuatu perbuatan
yang tidak dapat di pertanggungjawabkan padanya, oleh karena pertumbuhan
akal sehatnya yang tidak sempurna atau karena gangguan penyakit pada
kemampuan akal sehatnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa menurut ketentuan tersebut seseorang
dapat di sebut sebagai “ tidak dapat di pertanggungjawabkan” atas tindakanya
apabila orang tersebut ternyata memenuhi salah satu syarat, yaitu apakah ia
mempunyai “pertumbuhan yang tidak sempurna dari kemampuan akal sehatnya”
atau adanya gangguan suatu”gangguan penyakit pada kemampuan akal sehatnya”
Di dalam memori penjelasan KUHP tahun 1881, para perencana telah
menyatakan bahwa toerekenhaarheid ( hal dapat di pertanggungjawabkannya
suatu tindakan ) itu dapat menjadi tidak ada karena hal-hal yang terdapat dari
pelakunya sendiri, yaitu : (1) keadaan yang tidak normal dari geestvermogens
atau kemampuan jiwa si pelaku; (2) usia yang sangat masih muda. 10
9
Ibid. hlm.78
Lamintang ,P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia ( Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1997 ), hlm. 395
10
12
Menurut Jonkers, orang yang tidak mampu bertanggungjawab itu bukan
saja karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau karena gangguan penyakit,
tetapi juga karena umurnya masih sangat muda, terkena hypnose dan
sebagainya.Walaupun anak yang masih di bawah umur dalam keadaan tertentu di
anggap tidak mampu bertanggungjawab, namun bila mereka melakukan
kejahatan, hukum pidana telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga di dalam
pengaturan pelaksanaanya di tuntut kejelian seorang hakim di dalam menentukan
hukumannya.
Sejak keluarnya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
mulai berlaku sejak tanggal 3 Januari 1997, maka ketentuan mengenai
penyelanggaraan pengadilan anak di lakukan secara khusus. Salah satu tolak ukur
pertanggungjawaban pidana bagi anak adalah usia atau umur. Dalam hal ini
masalah umur merupakan masalah yang urgen bagi terdakwa untuk dapat di
ajukan dalam sidang anak.
Hukum pidana Islam mengatur tentang pertanggungjawaban pidana,
Sebagai ajaran universal dan relavan dengan watak interistik manusia, Islam
hadir dengan seperangkat ajaran yang komprihensif. Tidak saja mengatur
persoalan tauhid dan ibadah, Islam juga mengatur berbagai prinsip umum
mengenai hidup kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, dan hukum. Meskipun
proliferasi terma hukum Islam sedemikian variatif, namun patut di tegaskan
bahwa terma-terma hukum Islam, agaknya berada dalam sebuah konsensus
bahwa hukum Islam merupakan terma baru dalam khazanah keilmuan Islam itu
sendiri.
13
Hukum Islam di pandang sebagai bagian integral dengan prinsip-prinsip
ketauhidan dalam Islam. Salah satu bagian hukum Islam (baca:fikih) yang
mengatur hak-hak individu dan publik tertuang dalam fikih jinayat ( hukum
pidana Islam ).
Hukum Pidana Islam membincangkan berbagai hal seputar pelanggaran
dan tindak pidana. Dalam hubungan itu, diatur tidak saja prosedur penghukuman
dan materi hukuman, tetapi juga di atur kemungkinan terjadi pengecualian,
pengurangan dan pengahapusan hukuman, yang di lihat dari perspektif pelaku
tindak pidana. 11
12
Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang
dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak
atas usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak
untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya
11
Lihat Santoso,Topo, Membumikan Hukum Pidan islam;Penegakan Syariat dalam
wacana dan Agenda ( Jakarta : Gema Insani Press,2003) , hlm.7
12
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III: 289.
14
yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat
kesalahan di masa yang akan datang. 13
Dalam literature hukum pidana Islam, di kenal juga tiga istilah yang
berhubungan dengan tindak pidana yakni Jinayat, Jarimah dan Uqubat. 14 Yang
pertama adalah perbuatan yang mengenai jiwa atau harta benda atau pun lainya.
Yang kedua di pahami sebagai larangan-larangan syara’ yang di ancamkan oleh
Allah SWT dengan hukuman had atau takzir. Meskipun kelihatan memiliki
stressing point yang berbeda, namun para ulama kelihatan sering mengidentikan
jarimah dan jinayah. 15
Tidak
terkecuali
dalammembuahkan
aturan pidanasebuah
Islam,pengertian
bagi seorang
pelaku
Pengidentikan
ini juga
kemudian
bahwa
baik
pidana
masihJinayah
dalam kapasitas
anak-anak pidana
di bedakan
dengan
Jarimahyang
maupun
sebagai perbuatan
yanghukumanya
di ancam dengan
pelaku
dewasa.
Pembedaan
ini erat
dengan
asas pertanggungjawaban
hukuman
yang telah
di tetapkan
olehkaitanya
Allah SWT
meliputi
hudud, Qisas-diyat
pidana.
Hal16ini sesuai dengan hadis:
dan
Takzir.
Dengan kata lain, kedua istilah tersebut di sebut dengan criminal act.
Sedangkan uqubah adalah punishement, yakni hukuman yang telah di tetapkan
untuk kemaslahatan publik atas pelanggaran-pelanggaran perintah syara,
pertanggungjawaban pidana (al-mas,uliyyat al-jina,iyyal/criminal responsibility)
adalah penerimaan akibat atas tindakan yang di lakukan seseorang.
13
Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, alih bahasa Sulaiman Rasjid,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 16.
14
Lihat Ibn Zaid, Zaid ibn Abdul Karim Ibn Ali, al-Afwu, an al-Uqubah fi al-islamy
( Riyad : Dar al-Ashimah, 1408 H), hlm. 178
15
Lebih lanjut baca Haliman, Hukum Pidana sjariat Islam Menurut ajaran ahlus Sunnah
( Djakarta : Bulan Bintang, 1970 )
16
Lihat lebih lanjut Bahnassi, Ahmad Fath, Madkhal al-Fiqh al-jina , iy al-islamiy (Beirut
;dar as-syuruq,1989)
15
Dalam persepektif Islam, pertanggungjawaban pidana adalah pembebanan
seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak perbuatan) yang di
kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksud-maksud dan
akibat-akibat dari perbuatanya itu.
Dengan dasar ini, maka sebuah pertanggungjawaban pidana berlaku atas
tiga hal yakni (1) adanya perbuatan yang dilarang; (2) dikerjakan dengan kemauan
sendiri; dan (3) pelaku mengetahui akibat perbuatan tersebut. 17 Ketiga hal di atas
merupakan ratio legis bagi berlakunya sebuah pertanggungjawaban pidana.
Dengan demikian, bagi orang-orang dewasa bagi berakal dan berkemauan
sendiri
berlaku
pertanggungjawaban
pidana.
Sebaliknya,
tidak
ada
pertanggungjawaban pidana bagi komunitas anak-anak, orang gila, dungu, orang
yang sudah hilang kemauanya dan orang yang berada dalam kapasitas terpaksa
atau pun di paksa. Nash-nash syariat menegaskan makna ini dengan jelas melalui
sabda Rasullulah SAW, yang menyatakan,: 18
“Pena di angkat dari tiga hal ( dibebaskan dari segala catatan dosa pen)
kepada tiga kondisi ; (1) orang yang tertidur sampai ia bangun;(2) anak-anak
sampai dewasa; (3) orang gila sampai ia sembuh (berakal).”
Telah tegas dan menjadi konsensus di kalangan ulama bahwa anak-anak
terbebas dari pertanggungjawaban pidanan. Hal ini di karenakan mereka dalam
status tidak cakap untuk bertindak secara hukum, dalam istilah pidana Islam di
17
ibid
Said Hawwa, Al Islam, diterjamahkan olleh Abdul Hayyie al Kattani, Arief Chasanul
Muna dan Sulaiman Mapiase, Cet.Pertama, ( Jakarta: Gema Insani. 2004). Hlm.694
18
16
sebut sebagai laisa min ahli al-,uqubah ( bukan termasuk kelompok yang
mendapatkan hukuman ). 19
Namun demikan penting di tegaskan bahwa persoalan tentang statusnya
dalam kapasitas sebagai anak-anak menimbulkan problematika tersendiri.
Di
antaranya adalah percepatan iklim dewasa semakin menjadi fenomena di kalangan
anak-anak, terutama akibat pengaruh media komunikasi dan informasi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kemudian membuat
batasan yang meskipun terkesan sangan simplistik, namun pada dasarnya dapat di
pergunakan sebagai acuan dalam melihat tingkat perkembangan dan sikap yang di
tampilkan oleh mereka yang berada dalam usia yang di sebut anak-anak.
Para ulama mengklasifikasikanya ke dalam bentuk usia anak, yakni
sebagai berikut :
(1) Usia belum mummayiz. periode ini di mulai dari sejak kelahiran
sampai usia tujuh tahun. Kalaupun kemampuan berpikir sudah dimiliki
oleh anak, apalagi hal itu sangat di pengaruhi oleh kondisi lokalitas
sebuah daerah, namun pada periode ini anak-anak tetap belum mampu
membedakan mana yang baik mana yang buruk. Dengan kata lain,
mereka secara umum masih di pandang belum cakap bertindak ( prior
to the age of discretion). Mereka hanya di kenakan hukuman takzir
yang di bebankan atas harta milik pribadi, yakni memberi ganti
kerugian terhadap kerugian yang di derita oleh orang lain.
19
Lihat Bahnassi, Ahmad Fathi, as-siyash al-jina iyyah fi as-syariah al-islamiyyah
(Beirut, dan as-syuruq , 1988), hlm.212-217
17
(2) Usia mumayyiz Periode ini di mulai sejak usia tujuh tahun sampai
menjelang tanda-tanda baligh. Kaum anak yang telah mencapai taraf
demikian di pandang telah baligh( dewasa), meskipun boleh jadi ia
belum dewasa dalam arti yang sebenarnya. Kalau tindak pidana terjadi
pada periode tersebut, maka pertanggungjawaban pidana tidak juga
berlaku. Bagi mereka hanya di kenakan hukuman takzir yang di
peruntukan untuk pengajaran ( li at-ta,dib) bukan hukuman pidana.
(3) Usia baligh, yakni ketika mencapai taraf usia baligh. Sebagian ulama
berpendapat pada usia lima belas tahun atau delapan belas tahun. Tidak
hanya usia demikan, pada taraf ini telah tercapai kematangan fisik dan
non fisik sebagai seorang remaja yang paripurna. Maka, dalam konteks
ini
baik
laki-laki
dan
perempuan,
tetap
di
kenakan
pertanggungjawaban pidana.
Berdasarkan uraian ini, maka penulis ingin mendalaminya dalam
sebuah
penelitian
dalam
bentuk
penulisan
skripsi
yang
berjudul
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT HUKUM
PIDANA POSITIP DAN HUKUM PIDANA ISLAM
B.Perumasan masalah
1. Bagaimana ketentuan dan Pertanggungjwaban Hukum Pidana terhadap
Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif .
2. Bagaimana ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap
Tindak pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Islam.
18
3. Bagaimana Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjwaban Pidana anak
dalam Persepktif Hukum Pidana Positp dan Hukum Pidana Islam.
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penulisan
a.Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui dan lebih memahami :
1. Ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak
pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Positif.
2. Ketentuan dan Pertanggungjawaban Hukum Pidana terhadap Tindak
pidana yang di lakukan oleh anak dalam Hukum Pidana Islam.
3. Persamaan dan Perbedaan Pertanggungjawaban Pidana dalam Persepektif
Hukum Pidana Positp dan Hukum Pidana Islam.
b. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan dapat berguna, baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis, di harapkan penelitian ini dapat berperan memberikan
sandaran teoritis kelimuan, khususnya dalam membekali teoritisasi tentang
pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak.
Selain itu, penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut
tentang permasalahan pertanggungjawaban pidana yang pada giliranya dapat
memberikan kontribusi dan perkembangan studi bidang hukum kepidanaan di
Indonesia.
Adapun secara praktis, penelitian ini dapat di pergunakan antara lain,
sebagai masukan dalam pembahasan di forum legislative yang khusus membahas
19
tentang adanya upaya untuk menghasilkan produk-produk perundang-undangan
yang berkaitan dengan berkepentingan dan masa depan kaum anak.
D.Keaslian Penelitian
Sepanjang
di
ketahui
bahwa
penelitian
yang
menyangkut
pertanggungjawaban pidana atas tindakan pidana yang dilakukan oleh anak-anak
( Studi perbandingan antara Hukum Pidanan Positf dan Hukum Pidana Islam )
belum pernah di lakukan.
Hemat penulis penelitian ini masih terjaga keaslianya. Namun demikan,
literature yang berhubungan langsung ataupun tidak dalam wacana pemabahasan
penelitian ini secara umum tetap di yakini memberikan kontribusi tersendiri yang
dalam penelitian ini. Oleh karena itu, hadirnya literatur-literatur tersebut jelas
membantu tajamnya analisis dalam proses penelitian ini.
E. Tinjaun Kepustakaan
1. Pengertian Pertanggungjwaban Pidana
a. Dalam Hukum Pidana positif
di dalam konsep hukum pidana Indonesia di dasarkan kepada perbuatan dan
pembuatanya, dua hal ini harus menjadi sokoguru dari hukum pidana yang
kemudian menjadi azas pokok yaitu azas legalitas dan azas kesalahan yang di
tetapkan dalam pasal tersendiri yaitu pasal 1 ayat (1) dan pasal 28, maka tentang
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana di beri keterangan yang lebih jelas
20
masing-masing dalam pasal 12 dan pasal 27. 20Pada pasal 27 konsep KUHP
1982/1983 menyatakan pertanggungjwaban pidana adalah di teruskanya celaan
yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku secara
obyektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk
dapat di kenai pidana karena perbuatanya. 21 Dasar adanya tindak pidana
merupakan azas legalitas sebagaimana di sebutkan dalam pasal 1 ayat (1). Orang
tidak mungkin di pertanggungjawabakan dan di jatuhi pidana jika ia tidak
melakukan tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, terutama di batasi
pada perbuatan yang di lakukan dengan sengaja (dolus), dapat di pidananya delik
culpa yang bersifat pengecualian (eksepsional ) apabila secara tegas oleh undangundang mengaturnya. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat tertentu
dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang di perberat ancaman pidanya
hanya di kenakan kepada terdakwa apabila ia sepatutnya telah dapat menduga
kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada
kealpaan. 22
Menurut Ahmad Bahnassi Pertanggungjawaban adalah akibat yang harus
diterima dari sebuah perbuatan, selengkapnya ia mengatakan sebagai berikut:
Responsibility ultimately means the assumption of the consequences for
one act.For a person to be criminally responsible, he must be of the age of
20
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama,
( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta ,1987), hlm. 67
21
Ibid, hlm. 75
22
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Edisi Kedua Edisi
Revisi (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti,2002), hlm. 86
21
discretion and be able exercise choice in what he does. In addition, he
must be at fault.Fault is the basis of criminal responsibility. If no fault is
found, a person cannot be held responsible for what has happened. Fault
may be determined from deliberate inent, which is called criminal intent,
or it may arise unintentionally as through a mistake. 23 ( Pada akhirnya
pertanggungjawaban berarti penerimaan akibat atas tindakan yang di
lakukan seseorang. Bagi seseorang bertanggungjawab secara pidana, ia
harus mencapai usia dewasa dan mampu memilih dan memilah apa yang
di lakukanya. Lagi pula, ia harus bersalah. Kesalahan merupakan dasar
dari pertanggungjawaban pidana. Jika kita temukan kesalahan, seseorang
tak bisa di tahan untuk mempertanggungjwabkan perbuatanya. Kesalahan
bisa saja di tentukan dari kesengajaan, yang bisa di kenal dengan tindakan
pidana dengan sengaja atau bisa juga dengan tidak sengaja sebagai sebuah
kesalahan).
Menurut Prodjohamidjojo, seseorang melakukan kesalahan jika pada
waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. 24Dengan
demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal
yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata
lain, harus ada unsur hukum. Jadi, harus ada unsur Objektif, dan (2) terhadap
pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan,
sehingga
perbuatan
yang
melawan
hukum
tersebut
dapat
di
pertanggungjawabakan kepadanya, jadi ada unsur subjektif.
23
Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebikan Hukum Pidana Op.cit. hlm. 8
Prodjohamidjojo. Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
(Jakarta : PT. Pradya paramita,1997) hlm. 31
24
22
Roeslan Saleh juga memberikan pengertian pertanggungjawaban pidana
yaitu perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana,
menurut
Roeslan
Saleh
hanya
menunjuk
kepada
dilarangnya
perbutan. 25Tegasnya, Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan
perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya
pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan, “tidak di
pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pidanya si pembuat. 26
Jika dilihat dari penjelasan para pakar sarjana Hukum yang telah di
uraikan maka Pertanggungjawaban pidana setidaknya harus memikirkan tiga hal
penting
yakni
pertama,
kemampuan
bertanggungjawab
( loerekeningsvaatbaarheid) dari pelaku atau keadaan psikis pelaku. Kedua
adanya hubungan sikap batin pelaku dengan perbuatanya, yaitu adanya faktor
kesengajaan dan kealpaan, dan ketiga ada tidaknya alasan-alasan yang
menghapuskan pertanggungjwaban pidana dari pelaku. 27Dengan demikian antara
keadaan psikis dengan perbutan yang di lakukan merupakan hubungan yang erat,
maka untuk lebih jelasnya perlu di adakan pemisahan, guna dapat di tinjau lebih
mendalam.
Mengenai anak kecil yang umurnya masih relative muda, menurut Roeslan
Saleh, dalam keadaan-keadaan yang tertentu untuk di anggap tidak mampu
bertanggungjawab haruslah di dasarkan pada pasal 44 KUHP, jadi sama dengan
25
Saleh ,Roeslan. Op.cit ,hlm. 75
Ibid.
27
Simanjuntak , Osman ”Teknik Perumusan Perbuatan Pidana dan Azas-azas umum”
ttp:Jakarta,tt) hlm.170-174
26
23
(
orang dewasa. Tidak mampu bertanggungjawab karena masih muda saja,
menurut Roeslan Saleh, hal itu tidak di benarkan.
Dengan demikian, maka anak yang melakukan perbuatan pidana, menurut
Roesalan Saleh, tidak mempunyai Kesalahan karena dia sesungguhnya belum
mengerti atau belum menginsyafi makna perbuatan yang di lakukan. Anak
memiliki ciri dan karekteristik kejiwaan yang khusus, yakni belum memiliki
fungsi batin yang sempurna. Maka, dia tidak di pidana karena tidak mempunyai
kesengajaan atau kealpaan. Sebab, menurut Roeslan Saleh, satu unsur kesalahan
tidak ada padanya, karenanya dia di pandang tidak bersalah sesuai dengan asas
tidak di pidana jika tidak ada kesalahan, maka anak yang belum cukup umur ini
tidak di pidana. 28
b. Dalam Hukum Pidana Islam
Hukum Islam mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari aturan yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan tuhanya maupun aturan main
sesama manusia itu sendiri. Salah satu ruang lingkup itu adalah hukum pidana
Islam yang dalam tradisi fiqih di sebut dengan istilah jarimah dan jinayah, yang
secara terminologis bermakna tindak pidana atau delik yang di larang oleh syariat
dan di ancam dengan hukuman bagi pelanggarnya. 29Salah satu Prinsip dalam
Syariat Islam adalah seseorang tidak bertanggungjawab kecuali terhadap jarimah
yang telah di perbuatnya sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggungjwaban
atas perbuatan jarimah orang lain.
28
Topo Santoso, “Membumikan Hukum Pidana Islam,” Op.cit, hlm. 166
Muhammad Nur, Tindak “Balas dendam, dalam Islam, ( Perspektif Dokriner Cum
Filosofis )dalam al-Hudud Jurnal Jianyah HMJ Js Fak, Syariah IAIN Sunan Kalijaga
(
Yogyakarta :1999), hlm. 32
29
24
Arti pertanggungjawaban pidana (al-mas’uliyyah al-‘jinayyah) sendiri
dalam syariat Islam ialah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan
yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui maksudmaksud dan akibat-akibat dari perbuatanya itu. 30
Di dalam Hukum modern seperti KUHP di Indonesia, dalam penerapanya
di kenal dengan beberapa asas, sementara hukum pidana Islam juga telah di kenal
asas yang sama sebagaimana di kenal dalam hukum modern. Seperti asas
Legalitas yaitu Nullum delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poeanali ( tiada
delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu), Hukum Pidana Islam
juga mengenal hal seperti itu sebagaimana di sebutkan dalam Al-Quran 31 dan
sebagainya.
Terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat tentang baik atau tidak baik,
cocok atau tidak cocok penerapan hukum pidana Islam di Indonesia, manakala
muncul persoalan tentang sanksi hukumanya yang di anggap sangat kejam dan
tidak berperikemanusiaan. Pada hal apabila di teliti dari sudut pandang Islam itu
sendiri, maka akan terlihat jauh lebih baik dan bahkan hukum pidana Islam juga
telah
memenuhi
prinsip-prinsip
hukum
pidana
moderen
bahkan
telah
mendahuluinya. 32
Pertanggungjawaban
pidana
di
dalam
hukum
Islam
merupakan
pembebanan kepada seorang sebagai akibat perbuatanya ( atau tidak berbuat
30
Ahmad Hanafi, ibid, hlm. 173
Q.S. Al Israa, : 15,artinya ,” …dan kami tidak akan mengazab sebelum kami menguts
seorang Rasul.”
32
Topo Santoso, Membumikan Hukukum Pidana Islam ..,Op.cit hlm.10
31
25
dalam delik omisi) 33yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri, dimana ia
mengetahui
maksud-maksud
dan
akibat-akibat
dari
perbutanya
itu. 34Pertanggungjawaban Pidana tersebut di tegakkan atas tiga hal, 35yaitu :
1. Adanya perbuatan yang di larang
2. Di kerjakan dengan kemauan sendiri
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Kalau ketiga aspek tersebut dimiliki oleh seorang dalam suatu perbuatan, maka
akan terdapat pertanggungjawaban pidana namun apabila aspek tersebut tidak
terpenuhi maka kepada seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
pidana.
Dengan adanya syarat tersebut terlihat bahwa yang dapat di bebani
pertanggungjawaban hanyalah orang dewasa, yang mempunyai akal pikiran yang
sehat serta mempunyai kemauan sendiri. Apabila tidak maka tidak ada
pertanggungjawaban padanya, sehingga dia punya akal pikiran yang bisa
memahami dan mengetahui serta mempunyai pilihan terhadap apa yang akan di
lakukanya.
33
Kata “omisi atau omission berarti tidak melakukan perbuatan yang menjadi lawan dari
kata komisi atau komission yang berarti melakukan perbuatan yang berakibat kepada adanya
hukuman atau ancaman hukuman.” Lihat juga Utrecht dalam hukum pidana I yang menyebutkan
bahwa “delik omissiaon adalah pelanggaran seseuatu yang di perintah dengan kata lain delicta
omission adalah tidak membuat sesuatu yang oleh undang-undang pidana di perintahkan delic
commissionis adalah pelanggaran sesuatu yang di larang.”dengan kata lain delicta commisionis
adalah membuat seseuatu yang oleh undang-undang pidana dilarang.
34
Hanafi dalam Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam : Penegak syariat dalam
wacana dan agenda. Cet II. ( Jakarta : asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 166
35
Topo Santoso ibid, hal 166,lihat juga Ahmad Hanafi.Azas-azas Hukum Pidana Islam
( Jakarta : PT.Bulan Bintang,1967) hlm.154, Drs.H.Ahmad Wardi Muslich : Pengatar dan Asas
Hukum Pidana Islam hal 74, Drs.H.Rahmat Hakim : Hukum Pidana Islam ( Fiqih Jinayah) hlm.
175
26
Dan pertanggungjawaban pidana di bebankan kepada seseorang selain
anak-anak sampai ia mencapai usia puber, orang yang sakit syaraf ( gila), dalam
keadaan tidur atau di paksa. 36Dan berdasarkan hal ini, syariat Islam tidak
mengenal tempat tanggungjawab pidana kecuali manusia hidup, mukallaf yang
menikmati kebebasan memilih pada saat berbuat. Nash-nash syariat menegaskan
makna ini dengan jelas melalui sabda Rasulullah SAW, yang menyatakan 37
“Pena diangkat dari tiga hal: dari anak-anak sampai dia mimpi, dari orang
tidur sampai terjaga dan dari orang gila sampai ia waras”
“Tidak dituntuntut dari umatku kesalahan, kelupaan dan apa yang di
paksakan kepada mereka”dan allah berfirman” 38
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa ( memakanya)sedang ia tidak
mengingikanya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”
Karena itu konsep pertanggungjawaban pidana dalam al Qur’an adalah
bahwa seseorang mukallaf telah melakukan perbuatan yang haram atau yang
dilarang oleh agama. Syariat Islam berpendapat bahwa pertanggungjawaban atas
suatu tindakan kejahatan oleh si penjahat itu sendiri. dengan demikian di batalkan
system pertangungjawaban yang berlaku di jaman Jahilyyah dalam masalah
36
Abdurrahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta :PT.Rineka
Cipta,1992), hlm. 16-17
37
Said Hawwa, Al-Islam, ibid. hlm. 694
38
Al-Qur’an surat al Baqrah :173
27
kejahatan pembunuhan, dimana suatu suku harus memikul tanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku tersebut. 39
2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak.
Anak memiliki karakteristik tersendiri, baik secara psikologi, sosial
budaya dan hukum. Dalam aspek yang terakhir ini, perlakuan terhadap anak, baik
sebagai pelaku kejahatan maupun sebagai korban kejahatan membutuhkan
keseriusan. Tidak jarang komunitas anak, apalagi dalam konteks kehidupan
modern, terjerat dalam maraknya tindakan kejahatan di masyarakat. Maka perlu
pemahaman yang baik seputar pengertian dari anak.
Jadi dalam perkembangan kejiwaannya sangat perlu di perhatikan, karena
anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki system
penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak sendiri dan kriteria
norma sendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakkan ciri-ciri dan tingkah
laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang khas dan unik. Hal ini
di sebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu memang selalu berlainan
dengan sifat-sifat dan ciri-cirinya, di mulai dari usia bayi, remaja, dewasa dan usia
lanjut, akan berlainan psikis maupun jasmaninya.
Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “anak” di mata hukum positif
Indonesia lazim di artikan sebagai orang yang belum dewasa
39
(
Mahmud Syaltut, Islam Aqidah dan syariah (Al-islamu ‘Aqidatun wa syari’atun), di
terjamahkan oleh Abdurrahman Zain,Cet. Pertama ( Jakarta: Pustaka Amani,1986), hlm. 620
28
minderjaring/person under age). orang yang di bawah umur/keadaan di bawah
umur ( minderjarigheid/inferiority). 40
Menurut ketentuan pasal 45 KUHP maka yang disebut anak adalah orang
yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun. Terhadap hal ini baik secara
teoritik dan praktek maka apabila anak melakukan tindak pidana, hakim dapat
menentukan anak tersebut dapat dikembalikan kepada orang tuanya,wali atau
pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa
pidana sebagai anak Negara atau juga dapat dijatuhi pidana. akan tetapi ketentuan
pasal45, 46, dan 47 berdasarkan ketentuan pasal 47 UU No.3 Tahun 1997
dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam
KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketentuan Pasal 287,
290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah berumur kurang dari 15 (lima belas)
tahun. 41
Berdasarkan ketentuan pasal 330 kitab undang –undang hukum perdata
maka yang di sebut anak adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
( dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 42
UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, 43dinyatakan bahwa
anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin. Menurut Konvensi Hak-hak anak (Convention on the rights
40
Lilik
Mulyaddi.
“Pengadilan
anak
Indonesia
teori,praktik
dan
permasalahanya.”(Bandung : CV.Mandar Maju.2005) hlm. 3
41
R.Soesilo “Kitab Undang-undang KUHP Pidana, hlm. 61-62
42
R. Subekti. Kitab Undang-undag Hukum Perdata.(Jakarta :PT Pradya paramita, 2001),
hlm. 90
43
UU ini terdiri dari 4 bab dan 6 Pasal.Disahkan di Jakarta tanggal 23 Juli
1979.Lembaran Negara RI tahun 1979 Nomor 4.
29
of the child) yang di setujui oleh majelis umum PBB tanggal20 November 1989
dan di sahkan oleh keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990 mendefinisikan anak
sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 (delapan belas ) tahun.
Menurut pasal 1 ayat ( 1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan
anak 44yang di maksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur 8 ( delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas ) tahun dan belum pernah kawin.
Menariknya, pada pasal 1 ayat (2) undang-undang ini memberikan batasan
anak nakal, yakni (1) anak yang melakukan tindak pidana; (2) anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. 45Lahirnya UU No. 3 Tahun 1997 I
dasarkan pada kepentingan bahwa di butuhkan upaya yang serius dalam
menghadapi dan menanggulangi berbagi perbuatan dan tingkah laku anak nakal.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak, 46menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 ( delapan belas) tahun, termasuk di dalam pengertian tersebut di
dalam pengertian tersebut anak-anak yang masih dalam kandungan.
44
UU No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak
Ibid, Lihat Pasal 1 ayat (3)
46
Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
45
30
Menurut
Wagiati
Soetodjo
dalam
bukunya
Hukum
Pidana
Anak, 47perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah di mulai pada akhir abad19, di mana anak dijadikan sebagai “objek” yang di pelajari secara
ilmiah.Pelopornya adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya Die Seele des kindes
(jiwa anak) pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti
anak dan menulis psikologi anak, antara lain William Sterm menulis buku
Pyschologie der fruehen kindehen ( psikologi anak pada usia sangat muda), Karl
Buhler menulis buku Die Geistige Entwicklung des kindes ( perkembangan jiwa
anak).
3. Anak yang melakukan Perbuatan Pidana
Ada berbagai istilah untuk tindak pidana ( mencakup kejahatan dan
pelanggaran), antara lain delik, perbuatan pidanan, peristiwa pidana, perbuatan
yang boleh di hukum, pelanggaran hukum, kriminal act, dan sebagainya. 48Tindak
pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat di kenakan hukuman
pidana. 49
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan
tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya. Pidana juga berarti
hukuman. 50Maka, kata memidana berarti menuntut berdasarkan hukum
pidana;menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Di pidana di
47
Ibid. hlm. 5
Topo Santoso, Ibid hlm .132
49
Ibid
50
Waluyo Bambang, Pidanan dan Pemidanaan ( Jakarta Sinar Grafika,2000), hlm .9
48
31
tuntut berdasarkan hukum pidana sehingga terpidana berarti di kenai hukuman
atau orang yang di kenai hukuman. 51
Pidana definiskan sebagai suatu penderitaan yang sengaja di jatuhkan/di
berikan oleh Negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum
(sanksi) atas perbuatanya yang telah melanggar larangan hukum pidana. 52
Wujud-wujud penderitaan yang dapat di jatuhkan oleh Negara itu telah di
tetapkan dan di atur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara
menjatuhkan serta dimana dan bagaimana cara menjalankanya. Mengenai wujud
jenis penderitaan itu di muat dalam pasal 10 KUHP. 53Tetapi wujud dan batasbatas berat ringanya dalam menjatuhkanya di muat dalam rumusan mengenai
masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan.
Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat dan bukan tujuan dari
hukum pidana, yang apabila di laksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan
atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan I disebut terpidana. Tujuan utama
hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat di sebut terhindarnya
masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang di
lindungi.
Terhadap anak nakal yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan
melakukan tindak pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a
UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak. Yang di ancam dengan pidana
51
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia ( Jakarta:
Balai Pustaka,1994) hlm.766
52
Adami chazawi, Pelajaran Hukum pidana bagian I.(Jakarta :PT Raja Grafindo
Persada.2002), hlm .24
53
R.Soesilo KUHP, hlm.10
32
penjara sementara waktu, tidak di ancam dengan hukuman mati/seumur hidup di
jatuhkan sanksi akan tetapi di kenakan sanksi berupa tindakan. Untuk dapat di
ajukan kedepan sidang pengadilan anak, maka anak nakal minimum telah
berumur 8 ( delapan) tahun dan maksimum 18 ( delapan belas) tahun.
Sementara anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, walaupun
melakukan tindak pidana belum dapat di ajukan ke sidang pengadilan anak. Ini di
dasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan paedagogis, bahwa anak
yang
belum
berumur
8
(
delapan
tahun
itu
belum
dapat
mempertanggungjawabkan perbutanya). Akan tetapi dalam hal anak melakukan
tindak pidana dalam batas umur 8 ( delapan) tahun, akan tetapi belum mencapai
umur 18 ( delapan belas) tahun ia di ajukan ke depan sidang pengadilan anak.
Sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana di
atur dalam pasal 1 angka 2 huruf a undang-undang No. 3 tahun 1997, 54 dan anak
yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak sesuai pasal 1 angka 2 huruf b
undang-undang No. 3 tahun 1997 dapat di beri tindakan di sertai dengan teguran
dan syarat-syarat tambahan yang di tetapkan oleh hakim. Syarat tambahan itu
misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing
kemasyarakatan. Untuk menentukan apakah si anak akan di kenakan pidana
(Pasal 23 Undang-Undang No. 3 tahun 1997) atau tindakan
( Pasal 24
Undang-Undang No. 3 tahun 1997) haruslah dengan memperhatikan berat
ringanya kejahatan atau di kenakalan yang di lakukan. selain itu juga wajib
memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua/wali/orang tua
54
ibid
33
asuhnya, hubungan antara anggota keluarga, keadaan penghuninya dan
memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan.
F. Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan dari penelitian ini, maka
penelitian lebih cenderung merupakan penelitian yuridis
normatif. Yaitu
Pendekatan yang bersifat yuridis normatif tersebut akan di lakukan dengan
mempergunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier. 55 Di mana Penelitian Hukum Normatif yang mencakup penelitian terhadap
asas-asas hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum, dan penelitian perbandingan hukum. 56
Kategori penelitian yang bercorak yuridis normatif merupakan jenis
penelitian yang mendasar kepada data kepustakaan. Penelitian ini juga di
golongkan
kepada
library
research
(penelitan
kepustakaan).
Untuk
membedakanya dengan jenis penelitian lainya, seperti sosiologis dan filosofis,
maka jenis penelitian ini cenderung menjadi data kepustakaan sebagai sumber
primer.
55
Lihat Soedkanto,Soerjono dan mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan
Singkat ( Jakarta:Rajawali), 1985 hlm.34-5
56
Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta:1983), UI Press, hlm.51
34
2. Sumber Data dan Bahan Hukum
Data yang di gunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.
Data yang di peroleh
dari hasil penelaahan
kepustakaan atau penelahaan
terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yag berkaitan dengan masalah
penelitian yang sering di sebut dengan bahan hukum, bahan hukum sekunder
dapat di kelompokan lagi ke dalam:
Pertama, bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundangundangan, yurispudensi atau kepustakaan pengadilan ( lebih-lebih bagi penelitian
yang berupa studi kasus) dan perjanjian internasional (traktat).
Kedua ,
bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa
rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal Ilmiah,
surat kabar (Koran), Pamflet, brosur, dan berita di internet.
Ketiga, bahan hukum tersier, Rony Hanitijo Soemitro mengatakan bahwa
“bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum skunder, yang berupa kamus ensiklopedi, leksikon dan lain-lain.” 57
3.Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum
Dalam penelitian Hukum Normatif atau kepustakaan Teknik Pengumpulan
data dalam penelitian hukum normative di lakukan dengan studi pustaka terhadap
bahan-bahan hukum, baik bahna hukum primer, bahan hukum skunder, maupun
57
Rony Hanitijo Soemitro, Op.cit., hlm.24-25, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
1990, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta, CV Rajawali,hlm. 14-15)
35
bahan hukum tersier atau bahan non-hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum
tersebut dapat di lakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun
sekarang banyak di lakukan penelusuran hukum tersebut dengan melalui media
internet.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang di bantu dengan
teori-teori yang telah di dapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini
di sebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang,
mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian
membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan
bantuan teori yang di kuasainya. Sifat analisis ini adalah yang bersifat deskripitif
maksudnya yaitu, bahwa peneliti dalam menganilisis berkeinginan untuk
memberikan gambaran atau pemaparan atau subjek dan objek penelitian
sebagaimana hasil penelitian yang di lakukan. di sini peneliti tidak melakukan
justifikasi terhadap hasil penelitian tersebut.
G.Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan ini dapat tersaji secara teratur dan tersusun secara
sistematis, pembahasannya akan disajikan dalam lima bab, yaitu sebagai berikut.
Bab I : Berisi pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang latar
belakang masalah dan pokok masalah yang menjadi kajian dalam
36
skripsi ini, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritik yang
dipakai sebagai acuan dasar ketika melakukan analisis terhadap datadata yang dikumpulkan, dan metode penelitian yang berfungsi
sebagai kendali untuk meluruskan alur penelitian sampai pada titik
akhir pembahasan.
Bab II : Yang menguraikan telaah tentang pertanggungjawaban pidana anak
dalam hukum pidana positif. Bahasan dalam bab ini meliputi
(A)kemampuan bertanggungjawab, (B) Kesalahan di bagi dalam (1)
dolus (sengaja), (2) culpa( kelalaian), (C) alasan penghapusan pidana
(1) Alasan pemaaf, (2) Alasan pembenaran untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan pertanggungjawaban selain itu juga akan
dijelaskan mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi anak-anak, dan
pada akhir bab ini akan menguraikan tentang batas usia anak dan
pertanggungjawaban pidananya.
Bab III: Menguraikan telaah tentang sanksi hukuman tindak pidana yang
dilakukan oleh anak-anak dalam perspektif hukum pidana Islam.
Bahasan dalam bab ini meliputi : (A) Kemampuan betanggunjawab;
(B) Unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana (B.a) adanya melawan
Hukum,
(B.b)
adanya
unsur
kesalahan;(C)
pertanggungjawaban pidana, (C.a) di sebabkan mubah
hapusnya
(
assabah al- ibahah), (C.b) di sebabkan hapusnya hukuman ( asbah
rafil al-uqubah).
37
Bab IV: Membahas pertanggungjawaban pidana bagi anak-anak dalam
persepektif hukum pidana positip dan hukum pidana islam dengan
dianalisis secara komparatif dari segi pengertian dasar hukum,
kriteria (bentuk) hukuman dari kedua sistem hukum tersebut.
Dengan pembahasan ini akan dapat diketahui batas usia anak dan
pertanggungjawaban pidananya sehingga hak-hak anak cukup
terpenuhi dan terlindungi.
Bab V : Penutup yang di dalamnya diuraikan kesimpulan dari apa-apa yang
telah dibahas pada bab-bab sebelumnya. Kemudian dilanjutkan
dengan saran-saran.
38
Download