2. tinjauan pustaka

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Spons
Spons merupakan hewan tidak bertulang belakang yang bersifat primitif
dan sessil (menetap di dasar perairan). Spons tidak bergerak tetapi tinggal dan
hidup sampai dewasa pada suatu tempat seperti layaknya tumbuhan. Sebarannya
didukung oleh larva yang bergerak aktif atau oleh hewan muda yang terbawa arus
sebelum mereka menempel. Spons termasuk ke dalam Filum Porifera yang dibagi
menjadi 3 kelas yaitu Calcarea, Hexactinellida, dan kelas Demospongiae
(Romimohtarto dan Juwana, 2001; Brusca dan Brusca, 1990).
Kelas Calcarea adalah satu-satunya spons dengan spikul yang tersusun dari
zat kapur karbonat. Kelas ini terdiri atas 2 subkelas, 4 ordo, 19 famili dan 98
genera (Hooper, 2000). Saat ini Calcarea banyak tersebar di daerah laut tropis.
Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulnya
terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Hexactinellida biasa
disebut juga dengan spons gelas yang sebagian besar hidup di laut dalam dan
tersebar luas di alam. Kelas ini terdiri atas 2 subkelas, 4 ordo, 19 famili dan 113
genera.. Spikulnya terdiri atas silikat dan tidak mengandung spongin (Brusca dan
Brusca, 1990; Romimohtarto dan Juwana, 2001). Kelas Demospongiae adalah
kelompok spons spons paling dominan diantara kelas porifera lainnya. Kelas ini
terdiri lebih dari 90% yang diperkirakan sekitar 4.500-5.000 spesies dari total
spesies yang hidup di dunia. Kelas ini dibagi menjadi 3 subkelas, 13 ordo, 71
famili dan 1005 genera (Hooper, 2000). Spons ini umumnya bertipe leuconoid
dan spikulnya terdiri dari silika.
3
4
Klasifikasi hewan uji spons Petrosia (petrosia) nigricans Lindgren, 1897
menurut Hooper dan Van Soest (2002) (Gambar 1) adalah sebagai berikut:
Kingdom: Animalia
Filum: Porifera
Kelas: Demospongiae
Sub kelas: Ceractinomorpha
Ordo: Haplosclerida
Famili: Petrosiidae
Genus: Petrosia
Spesies: Petrosia (petrosia) nigricans Lindgren, 1897
Gambar 1. Spons Petrosia (petrosia) nigricans (Ismet, 2007)
Bentuk luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan
biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan
berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau merambat. Sebaliknya
spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau perairan
5
yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan
tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang
lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan yang lebih stabil apabila
dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal
(Bergquist, 1978). Jumlah dan kelimpahan Petrosia sp. menjadi lebih tinggi
seiring bertambahnya kedalaman. Spons yang hidup pada perairan yang lebih
dangkal akan dipengaruhi oleh sedimentasi yang lebih besar dari pada spons yang
hidup di perairan dalam.
2.2. Morfologi Spons
Spons merupakan hewan yang paling sederhana karena tidak memiliki
jaringan, syaraf, otot-otot, dan organ dalam. Morfologi luar spons laut sangat
dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen
yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek
pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama
pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus
tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi (Amir dan Budiyanto, 1996).
Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis,
atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari
segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak
pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain
mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui
sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam.
Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju,
6
seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis
berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis
tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak
berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya
(Romimohtarto & Juwana 1999).
Spons merupakan biota multiseluler primitif yang bersifat filter feeder,
menghisap air dan bahan-bahan lain disekelilingnya melalui pori-pori (ostia) yang
kemudian dialirkan ke seluruh bagian tubuhnya melalui saluran (channel).
Selanjutnya air akan dikeluarkan melalui pori-pori yang terbuka (ostula). Spons
merupakan hewan laut yang masuk kedalam filum porifera yang berarti memiliki
pori-pori dan saluran. Pori-pori dan saluran-saluran ini dialiri air yang diserap
oleh sel khusus yang dinamakan sel leher (koanosit), yang dalam banyak hal
menyerupai cambuk. Filum hewan ini lebih dikenal sebagai spons, yakni hewan
multiseluler (bersel banyak) yang primitif, yang berasal dari zaman paleozoik
sekitar 1,6 milyar tahun yang lalu. Gambar 2 memberi gambaran mengenai
bentuk dan struktur dinding tubuh spons (Romimohtarto & Juwana, 2001)
Gambar 2. Bentuk dan struktur dinding tubuh spons
7
Spons mempunyai tiga lapisan selular utama yaitu, pinacoderm yang
terletak di bagian luar spons yang terdiri dari satu lapisan sel yang disebut
pinacocytes. Lapisan kedua adalah choanoderm yang tersusun dari sel
choanocytes. Lapisan ketiga adalah mesohyl yang terletak antara pinacoderm dan
choanoderm yang membuat tubuh spons menjadi besar. Pinacocytes di bagian
dasar dapat mengeksresikan bahan yang melekatkan spons ke substrat.
Choanocytes berfungsi untuk membuat arus dan mengarahkan air melewati sistem
saluran air pada spons. Choanocytes mempunyai flagela dan berperan utama pada
fagositosis karena memiliki vakuola makanan (Brusca dan Brusca, 1990).
Saluran yang terdapat pada spons bertindak seperti halnya sistem sirkulasi
pada hewan tingkat tinggi yang merupakan pelengkap untuk menarik makanan ke
dalam tubuh dan untuk mengangkut zat buangan keluar dari tubuh. Karena hal
inilah maka spons dimasukan kedalam kelompok hewan filter feeder. Arus air
yang masuk melalui sistem saluran dari spons diakibatkan oleh cambuk koanosit
yang bergerak terus menerus. Koanosit juga mencernakan partikel makanan, baik
disebelah maupun di dalam sel leher. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang
keluar dari dalam sel leher. Makanan tersebut dipindahkan dari satu sel ke sel lain
kemudian diedarkan dalam batas-batas tertentu oleh sel-sel amuba yang
berkeliaran di dalam lapisan tengah spons (McConnaughey, 1970).
2.3. Fisiologi Spons
Kehidupan spons sangat dipengaruhi oleh sirkulasi air. Arus air yang
lewat melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting
agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini
8
sudah tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah
nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Aliran air sangat mempengaruhi proses fisiologi dari spons. Spons merupakan
hewan penyaring makanan (filter feeder) yang bergantung pada arus yang
melewati tubuhnya sebagai pembawa sumber makanan (Ruppert dan Barnes,
1991). Hewan ini mencari makan dengan menghisap dan menyaring air yang
melalui seluruh permukaan tubuhnya secara aktif. Partikel makanan masuk
bersamaan dengan aliran air melalui ostium yang terbuka dalam air kemudian
diseleksi berdasarkan ukuran dan disaring dalam aliran menuju ke dalam rongga
lambung atau ruang-ruang berflagella yang bergerak secara terus-menerus.
Partikel yang berukuran kecil seperti bakteri (< 1µm) ditelan oleh choanocytes,
sedangkan partikel yang berukuran antara 5 sampai 50 µm dimakan dan dibawa
oleh amebocytes. Pencernaan dilakukan secara intraseluler dan hasil
pencernaannya disimpan dalam archeocytes.
2.4. Reproduksi
2.4.1. Reproduksi aseksual
Proses reproduksi aseksual pada spons umumnya terjadi secara alami
yang didasarkan pada potensi perkembangan archaeocytes. Proses reproduksi
seksual spons antara lain yaitu pembentukan pucuk (bud formation),
penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth) dan
pembentukan gemule (gemmules formation) (Harrison dan De Vos, 1991).
Reproduksi aseksual buatan pada spons dapat dilakukan melalui
fragmentasi dengan metode transplantasi. Fragmentasi pada induk spons dengan
9
menggunakan pisau stainless steel serta menanam atau menaruh fragmen tersebut
pada substrat buatan di kedalaman atau lokasi tertentu yang telah ditentukan
sebelumnya (MacMilan, 1996).
2.4.2. Reproduksi seksual
2.4.2.1. Tipe dan cara reproduksi seksual spons
Seksualitas pada spons dapat dikelompokan pada dua tipe (Kozloff, 1990),
yaitu:
a). Hermaprodit, yaitu spons yang menghasilkan baik gamet jantan maupun gamet
betina selama hidupnya. Tipe Hermaprodit pada spons terbagi atas:
• Hermaprodit bersamaan, yaitu apabila spons menghasilkan gamet jantan dan
betina pada waktu yang bersamaan. Contohnya pada spons jenis Neofibularia
nolitangere.
• Hermaprodit bergantian, yaitu apabila spons menghasilkan gamet jantan dan
betina secara bergantian. Contohnya pada spons jenis Polymastia mammilaris
dan Suberitas massa (Hadromerida), Hymeniacidon carincula dan
Hymeniacidon heliophila (Halichonsrida) (Sara, 1992)
b). Gonokhorik, khususnya ditemukan pada Ordo Hadromerida didapatkan pada
jenis Tethya cryta, Tethya auratum (Tethydae); Chondrosia reniformis,
Chondrilla nucula (Chondrosiidae); Aaptos aaptos (Polymastiidae). Selain itu
seksualitas tipe gonokhorik labil ditemukan pada spons jenis Suberitas carnous
dan Raspailia topsenti (Axinellida) ( Sara, 1992).
10
2.4.2.2. Spermatogenesis spons
Spermatogonia pada spons berasal dari choanocytes dan achaeocytes
karna ada fakta yang menunjukkan bahwa choanocytes mengalami transformasi
ke achaeocytes atau sebaliknya (Sara, 1992), dan spermatogenesis terjadi pada
spermatic cyst. Diferensiasi sperma terbagi atas tiga bentuk, yaitu:
• Semua sel pada semua cyst mungkin berkembang secara bersama-sama
(synchronous), misalnya Polimastia mammilaris, Axinella damicornis
• Diferensiasi sel dalam sebuah cyst secara bersama-sama, tetapi tahap
perkembangan bervariasi pada cyst yang berbeda, misalnya pada spons air
tawar Ephydatia fluviatilis.
• Sel berkembang pada beberapa cyst yang berbeda, misalnya Aaptos aaptos
(Harrison dan De Vos, 1991).
2.4.2.3. Oogenesis spons
Oogonia pada spons berasal dari achaeocytes atau choanocytes (Ruppert
dan Barnes, 1991). Oogonia yang asal mulanya dari choanocytes, seperti pada
spons jenis Suberitas massa, Oscarella lobularis dan Clathirina cerebrum.
Choanocystes memanjang, dan nukleusnya berkembang dengan nukleolus yang
menonjol. Sitoplasma berisi peningkatan jumlah mitokondria dan menjadi lebar.
Badan golgi semakin lama semakin berkembang. Choanocystes kehilangan sel-sel
leher dan flagellanya sebelum bermigrasi ke dalam mesohyl dan mengakumulasi
phagosome (Harrison dan De Vos, 1991).
2.4.2.4. Fertilisasi
Sperma dan sel telur dihasilkan oleh amoebocytes. Sperma keluar dari
tubuh induk melalui osculum bersama aliran air dan masuk ke individu lain
11
melalui ostium juga bersama aliran air. Sperma akan masuk ke choanocytes atau
amoebocytes yang berada di dalam spongocoel atau flagellated chamber. Sel
amoebocytes beserta sperma melebur dengan sel telur, selanjutnya terjadi
pembuahan (fertilisasi). Perkembangan embrio sampai menjadi larva berflagela
masih di dalam mesohyl. Larva berflagela (larva amphiblastula) keluar dari
mesohyl dan bersama aliran air keluar dari tubuh induk melalui osculum. Larva
amphiblastula berenang bebas, beberapa saat kemudian menempel pada substrat
dan berkembang menjadi spons muda sessile dan akhirnya tumbuh menjadi besar
dan dewasa.
2.4.2.5. Faktor yang mempengaruhi fungsi reproduksi spons
Mekanisme yang mengatur atau mempengaruhi reproduksi spons
dikelompokan menjadi dua kategori, yaitu pengaruh internal dan pengaruh
eksternal.
Pengaruh internal yang mempengaruhi reproduksi spons adalah:
1). Kontrol genetik
Kontrol genetik mempengaruhi pematangan seksual. Spons Axinella
damicornis dan Axinella verrucosa mempunyai genus yang sama dan habitat
yang sama tetapi memperlihatkan periode reproduksi yang sangat berbeda.
Variasi siklus reproduksi ditunjukkan juga oleh jenis yang berbeda pada daerah
cuaca yang sama. Hal ini merupakan argumentasi lain diferensiasi seksual
yang dipengaruhi oleh kontrol genetik (Sara, 1992).
2). Senyawa yang mirip dengan hormon
Penelitian penggabungan spesimen yang tidak berdiferensiasi seksual pada
Tethya serica tidak memberikan petunjuk pada kematangan seksual dan
12
penggabungan spesimen ke bercampurnya gamet heterolog atau ke sebuah
pengaruh satu tipe gamet yang lainnya. Kenyataan ini terjadi pada Polymastis
sp. yang menunjukkan bahwa dengan petunjuk yang terbatas, senyawa yang
mirip hormon berpengaruh pada seksualitas spons dan kelihatannya
mengindikasikan sebuah dasar genetik pada diferensiasi (Sara, 1992).
3). Pengaruh umur dan ukuran spons
Umur spesimen yang mungkin berkorelasi dengan ukurannya, merupakan
mekanisme lain yang dapat mengontrol reproduksi pada spons. Ukuran
reproduktif minimum pada Tethya serrica panjangnya kira-kira 10 cm.
Hippospongia lanchne diameternya kira-kira 14 cm. Mycale sp. hanya
spesimen yang volume bersihnya lebih besar dari 200 ml mengalami
oogenesis, sedangkan spesimen yang kecil memperlihatkan spermatogenesis.
Sebaliknya, pada Suberitas ficus, oogenesis sering terjadi hanya pada spesimen
yang ukurannya tidak lebih dari kira-kira 5 cm (Sara, 1992).
Pengaruh eksternal yang mempengaruhi reproduksi spons adalah:
1). Suhu dan cahaya
Perubahan suhu memberikan penngaruh terhadap spons. Spons tumbuh pada
kisaran suhu optimal 26-31 ºC dan di daerah empat musim suhu merupakan
faktor lingkungan utama yang mengatur reproduksi spons, sangat berhubungan
dengan perubahan suhu yang mencolok pada tiap musimnya. Umumnya spons
tidak mampu beradaptasi pada perubahan suhu yang sangat cepat. Peningkatan
suhu dan intensitas cahaya memberikan kontribusi pada pemilihan waktu
gametogenesis pada spons di perairan tropis pada Great Barrier Reef. Tiga
parameter iklim (suhu laut, cahaya sinar matahari dan curah hujan)
13
berhubungan dengan awal dan penghentian aktifitas reproduksi pada tiga jenis
spons, yaitu Haliclona amboinensis, Haliclona cymiformis, dan Niphates nitida
(Fromont, 1994). Namun beberapa penelitian juga memperlihatkan bahwa
gametogenesis sama sekali tidak berhubungan dengan faktor suhu (Simpson,
1984).
2). Fotoperiode
Fotoperiode penting untuk pematangan oosit, misalnya pada spons intertidal
Haliclona perlmolis di pantai Oregon Tengah. Pematangan oosit ini
berhubungan dengan suhu jaringan pada spons ini yang diakibatkan oleh
fotoperiode. Permulaan oogenesis terjadi selama awal bulan maret
berhubungan dengan peningkatan intensitas cahaya, sementara
spermatogenesis berhubungan dengan suhu jaringan. Spons ini secara fisiologi
dapat membentuk oosit pada suhu rendah sementara yang lainnya membentuk
spermatosit lebih lambat pada suhu yang lebih tinggi. Pengaruh positif
fotoperiode terjadi juga pada proses pembentukan gemmule pada spons ini
(Sara, 1992).
3). Fase bulan
Pengeluaran gamet spons pada daerah tropik berhubungan erat dengan fase
bulan. Spawning pada dua individu Agelas clathrodes terjadi pada pagi hari
sebelum fase purnama (Hoppe, 1987). Namun pengeluaran sperma dan telur
Aaptos aaptos di Pulau Barang Lompo tidak dipengaruhi oleh fase bulan
(Haris, 2005).
14
2.5. Histologis
Histologis adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang jaringan.
Histologis mempelajari jaringan dengan lebih mendalam mengenai struktur,
tekstur dan fungsi dari bagian yang diamati. Jaringan dasar yang biasanya diamati
adalah jaringan epithel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. Histologis
sel gonad merupakan cara pengamatan sel gonad secara mikroskopis. Melalui
histologis diharapkan akan dapat diketahui secara lebih mendalam mengenai
perkembangan yang terjadi di dalam sel gonad. Struktur sel dan jaringan serta
hasil produksi sel diusahakan supaya dapat dilihat sehingga dapat dipelajari
dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat mengawetkan jaringan dari
pembusukan, memfiksasi komponen-komponen sel dan matriks tadi sesuai
dengan bentuk aslinya untuk mencegah kerusakan, dan pewarnaan yang
memungkinkan pengamatan bagian-bagian sel matriks dengan kontras yang cukup
sehingga mudah terlihat dengan mikroskop (Bavelander dan Ramaley, 1988).
Download