IB 60 pasti

advertisement
L A P O R A N K H ULAPORAN
SUS
UTAMA
Profil
Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Banyak sekali nama-nama ulama, pemimpin, pejuang dan pahlawan
Islam yang perlu dikenang yang bertebaran di seluruh Indonesia.
S
ejarah Indonesia menyaksikan sendiri bahwa
dalam tiap-tiap perjuangan itu Islam telah
mengambil peranan perintis jalan. Umat Islam Indonesia, terutama sejak permulaan abad ke
20 bangkit di berbagai bidang, seperti bidang sosial,
pendidikan, politik dan ekonomi.” demikian kata
almarhum Mohammad Natsir, mantan Perdana
Menteri RI dalam suatu kesempatan.
Banyak sekali nama-nama ulama, pemimpin,
pejuang dan pahlawan Islam yang perlu dikenang
yang bertebaran di seluruh Indonesia. Dalam edisi
majalah Ikhlas Beramal bertepatan dengan moment
peringatan Hari Pahlawan kami menyajikan sekilas
perjalanan hidup dan perjuangan tiga orang
Pahlawan Nasional, ialah KH Ahmad Dahlan, KH
Abdul Wahid Hasjim, dan Mohammad Natsir.
KH Ahmad Dahlan (1868 - 1923)
“Kita mengenal KH Ahmad Dahlan, tidak sekedar
sebagai seorang pendiri dan bapak Muhammadiyah
saja, akan tetapi beliau adalah salah seorang
perintis kemerdekaan dan reformer Islam di Indonesia. KH Ahmad Dahlan adalah manusia amal,
manusia yang sepi ing pamrih, tapi rame ing gawe,
manusia yang berjiwa besar, yang dadanya penuh
dengan cita-cita yang luhur, penuh dengan
semangat berjoang dan berkorban untuk kemuliaan
agama.” (Presiden RI Pertama Ir. Soekarno)
KH Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman
Yogyakarta pada tahun 1868. Ayahnya KH Abu
Bakar menjabat sebagai Khatib di Masjid Besar
Kesultanan Yogya. Semasa kecil diberi nama
Muhammad Darwisy dan kemudian berganti nama
menjadi Ahmad Dahlan sepulang dari Mekkah.
Ahmad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan
agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji
ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di
Mekkah selama lima tahun.
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat
menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan
Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan
ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan
dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa
guru di Makkah.
Ahmad Dahlan gigih membina angkatan muda
untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya
dakwah. Juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan
bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan
ketertindasan dan ketertinggalan umat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara.
Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini
berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912.
Pada periode awal Muhammadiyah mendapat
resistensi dari kalangan tradisionalis-konservatif.
KH Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan,
“Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat
agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak
penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Quran dan Hadits. Umat Islam
harus kembali kepada Quran dan Hadits. Harus
mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak
hanya melalui kitab-kitab tafsir”.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh KH Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar
dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan
kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama
makin berkembang hampir di seluruh Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia menetapkan KH
Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional dengan
Keputusan Presiden RI No 657 tahun 1961 tanggal
27 Desember 1961. Dasar-dasar penetapan itu
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 60 Tahun XII Desember 2009
27
LAPORAN KHU
S UUTAMA
S
LAPORAN
ialah: (1). KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori
kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar
dan berbuat. (2) Dengan organisasi Muhammadiyah
yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran
Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam. (3) Dengan organisasinya, Muhammadiyah
telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan
dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
(4) Dengan organisasinya Muhammadiyah bagian
wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.
Solichin Salam dalam buku KH Ahmad Dahlan
Reformer Islam Indonesia (Penerbit Djajamurni
Jakarta, 1963) mencatat, KH Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat malam Sabtu
tanggal 23 Pebruari 1923 M bertepatan dengan
tanggal 7 Rajab 1340 H di rumah kediamannya di
Kauman 59 Yogyakarta.
KH A Wahid Hasjim (1914 - 1953)
KH. Abdul Wahid Hasjim lahir di Jombang Jawa
Timur, 1 Juni 1914. Sejak kecil Abdul Wahid sudah
masuk Madrasah Tebuireng dan sudah lulus pada
usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah,
ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesusasteraan dan
budaya Arab secara otodidak. Dia juga mempunyai
hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia
membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak
syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah
buku.
Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang
membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasjim menjadi salah
satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari
sembilan tokoh nasional yang menandatangani
Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan
proklamasi dan konstitusi negara. Saat itu ia juga
menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal
Soedirman.
Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden
Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk
menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam
Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk,
Wahid Hasjim menjadi salah seorang anggotanya
mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota
BPKNIP tahun 1946.
Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan
berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia
diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri
Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga
28
Ikhlas
BERAMAL,
kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan
Kabinet Sukiman.
Pada bulan November 1947, Wahid Hasjim
bersama Mohammad Natsir menjadi pelopor
pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang
diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu
diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai
politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah
ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asj’ari. Namun Kiai
Hasjim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid
Hasjim.
Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai
Wahid mengeluarkan tiga keputusan penting yang
mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa
kini, di antaranya beliau mengeluarkan Peraturan
Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang
mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di
lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun
swasta. Kiai Wahid juga memberikan ide kepada
Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal
sebagai masjid negara. Semasa Kementerian Agama
RIS di bawah pimpinan Menteri Agama Wahid Hasjim
mulai diselenggarakan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW secara kenegaraan di Istana
Negara pada tanggal 2 Januari 1950.
Dalam kiprahnya sebagai tokoh pergerakan Islam, K.H.A.Wahid Hasjim pernah menjadi Ketua
Umum organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
KHA Wahid Hasjim berpulang ke rahmatullah
akibat kecelakaan mobil di sekitar Cimahi, Jawa
Barat, hari Ahad 19 April 1953. Ia wafat dalam usia
39 tahun. Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan
negara, Presiden RI atas nama negara
menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada
almarhum KHA Wahid Hasjim.
Mohammad Natsir (1908 - 1993)
”Mohammad Natsir kita kenal sebagai sosok
pendakwah yang teduh, politikus yang jujur, pejuang
yang ikhlas, dan negarawan terhormat.” (Presiden
RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sambutan
tertulis acara Peringatan Refleksi Seabad Pemikiran
dan Perjuangan Mohammad Natsir di Jakarta, 18
Juli 2008)
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
almarhum Mohammad Natsir dianugerahi gelar
sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan
Presiden RI No 041/TK/2008 tanggal 6 November
2008. Sebelumnya Mohammad Natsir sudah
mendapatkan Bintang Republik Indonesia pada
masa Presiden BJ Habibie.
Menurut Yusril Ihza Mahendra (mantan Menteri
Sekretaris Negara), kalau kita mau membaca
peraturan-peraturan tentang tanda jasa dan gelar-
Nomor 60 Tahun XII Desember 2009
L A P O R A N K H ULAPORAN
SUS
UTAMA
gelar kehormatan, seorang itu diangkat sebagai
Pahlawan Nasional, bukan saja karena jasa-jasanya
bagi bangsa dan negara, tetapi juga suri tauladan
yang diberikan sepanjang hidupnya dapat dijadikan
contoh bagi seluruh bangsa.
Mohammad Natsir, sosok yang dikenang oleh
bangsa Indonesia sebagai tokoh pendidikan, tokoh
politik, negarawan, dan pemimpin Islam terkemuka.
Natsir lahir 17 Juli 1908, di kampung Jembatan
Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, sedang
kampung asalnya Maninjau. Tokoh yang produktif
menulis itu wafat 6 Februari 1993 di Jakarta dalam
usia 84 tahun.
Semasa sekolah di Padang dan Bandung ia aktif
dalam organisasi di antaranya Jong Islamieten
Bond. Natsir adalah murid intelektual ulama
terkemuka A.Hassan Bandung dan Haji Agus Salim.
Di zaman penjajahan Belanda, tahun 1932, Natsir
berupaya memerangi kebodohan dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan mendirikan sekolah
Pendidikan Islam di Bandung yang mempunyai
tingkat Frobel (TK), HIS (SD) dan MULO (SMP).
Di awal kemerdekaan Natsir menjadi anggota
Badan Pekerja KNIP (1945-1946) yang merupakan
parlemen pertama RI. Natsir juga salah seorang
anggota KNIP yang mendukung dibentuknya
Kementerian Agama tahun 1946. Beliau pernah
menjabat Menteri Penerangan RI (1946-1949),
Perdana Menteri RI (1950-1951), dan Ketua Umum
Partai Masyumi (1949-1958).
Dalam Majelis Konstituante (1957-1959) yang
bertugas merumuskan kembali dasar negara RI,
Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara
dalam format yang sesuai dengan kondisi bangsa
Indonesia. Perjuangan fraksi-fraksi Islam hanya
mencapai separuh jalan, kemudian di-by pass oleh
Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante
dan kembali ke UUD 1945.
Natsir adalah contoh seorang demokrat par excellence dan ideolog yang berpandangan luas.
Menarik disimak pandangannya tentang Pancasila,
bahwa tidak ada pertentangan Pancasila dan Islam,
kecuali bila Pancasila itu sengaja diisi dengan
paham-paham yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Sikap dan watak kenegarawanan Natsir
sebagai tokoh politik dan guru bangsa patut menjadi
cermin bagi generasi sekarang. Sikap demikian
terlihat dalam pandangan Natsir tentang Bung
Karno. Dalam buku yang disusun oleh Solichin
Salam, Bung Karno Dalam Kenangan (1981), Natsir
menulis, ”Saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa
sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau
pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun
Bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain.
Mudah-mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang
demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam
rangka pembinaan bangsa di kalangan generasi
penerus.”
Pada 1967 Natsir bersama beberapa tokoh
Masyumi lainnya mendirikan wadah berbentuk
yayasan yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII). Natsir menjabat Ketua Umum DDII sampai
wafat. Ia tidak henti-hentinya menyumbangkan
buah pikiran untuk kepentingan umat, bangsa dan
negara.
Sejarah mencatat, mosi integral Mohammad
Natsir tahun 1949 merupakan pangkal proses yang
menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, sehingga
kembali menjadi NKRI. Adapun keterlibatan Natsir,
Sjafruddin Prawiranegara, dan beberapa tokoh
nasional dalam perlawanan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958-1961 di
Sumatera Tengah (Sumatera Barat) dilatarbelakangi
tujuan untuk menyelamat-kan Negara Republik Indonesia dari bahaya Komunisme/PKI dan menuntut
keadilan pemerintah pusat terhadap pembangunan
daerah-daerah di luar Jawa.
Pada awal orde baru, Natsir turut membantu
pemerintah dalam pemulihan hubungan diplomatik
dengan Malaysia pascakonfrontasi ’Ganyang Malaysia’ di masa pemerintahan Soekarno. Dari balik
tembok tahanan, Natsir menulis surat pribadi
kepada Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman
yang sebelumnya menolak menerima utusan
pemerintah Indonesia yaitu Ali Moertopo dan Benny
Moerdani. Natsir menjadi tahanan politik rezim
Soekarno selama 4 tahun (1962-1966).
Sebagai tokoh pembaruan dan intelektual Muslim, Natsir menempuh cara dakwah dan pendidikan
untuk memperbaiki pemahaman dan pengamalan
agama masyarakat Islam di Indonesia. Kata Natsir,
kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai
dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam
secara murni. Natsir mengemukakan tiga pilar
kebangkitan umat Islam, yaitu Masjid, Pesantren
dan Kampus.
Sebuah ironi sejarah di zaman orde baru, sejak
1980 sampai meninggal Natsir kena cekal, karena
menandatangani ’Pernyataan Keprihatinan’ yang
kemudian dikenal sebagai Petisi 50 berisi kritik
terhadap Pak Harto yang sedang di puncak
kekuasaan. Dalam tahun-tahun terakhir menjelang
tutup usia, seperti diungkap Prof George Mc Turnan
Kahin dari Cornell University USA, Natsir benarbenar sedih dan prihatin melihat kondisi negerinya.
Bukan hanya karena melihat pemerintah waktu itu
yang otoriter, juga karena menyaksikan masyarakat
yang semakin materialistis dan individualistis.
Penulis bersyukur beberapa kali bertemu Pak Natsir
semasa hidupnya. (M. Fuad Nasar)
Ikhlas
BERAMAL,
Nomor 60 Tahun XII Desember 2009
29
Download