L A P O R A N K H ULAPORAN SUS UTAMA Profil Pahlawan Kemerdekaan Nasional Banyak sekali nama-nama ulama, pemimpin, pejuang dan pahlawan Islam yang perlu dikenang yang bertebaran di seluruh Indonesia. S ejarah Indonesia menyaksikan sendiri bahwa dalam tiap-tiap perjuangan itu Islam telah mengambil peranan perintis jalan. Umat Islam Indonesia, terutama sejak permulaan abad ke 20 bangkit di berbagai bidang, seperti bidang sosial, pendidikan, politik dan ekonomi.” demikian kata almarhum Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri RI dalam suatu kesempatan. Banyak sekali nama-nama ulama, pemimpin, pejuang dan pahlawan Islam yang perlu dikenang yang bertebaran di seluruh Indonesia. Dalam edisi majalah Ikhlas Beramal bertepatan dengan moment peringatan Hari Pahlawan kami menyajikan sekilas perjalanan hidup dan perjuangan tiga orang Pahlawan Nasional, ialah KH Ahmad Dahlan, KH Abdul Wahid Hasjim, dan Mohammad Natsir. KH Ahmad Dahlan (1868 - 1923) “Kita mengenal KH Ahmad Dahlan, tidak sekedar sebagai seorang pendiri dan bapak Muhammadiyah saja, akan tetapi beliau adalah salah seorang perintis kemerdekaan dan reformer Islam di Indonesia. KH Ahmad Dahlan adalah manusia amal, manusia yang sepi ing pamrih, tapi rame ing gawe, manusia yang berjiwa besar, yang dadanya penuh dengan cita-cita yang luhur, penuh dengan semangat berjoang dan berkorban untuk kemuliaan agama.” (Presiden RI Pertama Ir. Soekarno) KH Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1868. Ayahnya KH Abu Bakar menjabat sebagai Khatib di Masjid Besar Kesultanan Yogya. Semasa kecil diberi nama Muhammad Darwisy dan kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan sepulang dari Mekkah. Ahmad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah. Ahmad Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah. Juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan umat Islam di Indonesia. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Pada periode awal Muhammadiyah mendapat resistensi dari kalangan tradisionalis-konservatif. KH Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, “Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Quran dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Quran dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh KH Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia menetapkan KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional dengan Keputusan Presiden RI No 657 tahun 1961 tanggal 27 Desember 1961. Dasar-dasar penetapan itu Ikhlas BERAMAL, Nomor 60 Tahun XII Desember 2009 27 LAPORAN KHU S UUTAMA S LAPORAN ialah: (1). KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. (2) Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam. (3) Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. (4) Dengan organisasinya Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan. Solichin Salam dalam buku KH Ahmad Dahlan Reformer Islam Indonesia (Penerbit Djajamurni Jakarta, 1963) mencatat, KH Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada hari Jumat malam Sabtu tanggal 23 Pebruari 1923 M bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1340 H di rumah kediamannya di Kauman 59 Yogyakarta. KH A Wahid Hasjim (1914 - 1953) KH. Abdul Wahid Hasjim lahir di Jombang Jawa Timur, 1 Juni 1914. Sejak kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesusasteraan dan budaya Arab secara otodidak. Dia juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku. Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasjim menjadi salah satu anggotanya. Dia merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi negara. Saat itu ia juga menjadi penasihat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasjim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga 28 Ikhlas BERAMAL, kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman. Pada bulan November 1947, Wahid Hasjim bersama Mohammad Natsir menjadi pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia. Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asj’ari. Namun Kiai Hasjim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasjim. Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan tiga keputusan penting yang mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa kini, di antaranya beliau mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara. Semasa Kementerian Agama RIS di bawah pimpinan Menteri Agama Wahid Hasjim mulai diselenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara kenegaraan di Istana Negara pada tanggal 2 Januari 1950. Dalam kiprahnya sebagai tokoh pergerakan Islam, K.H.A.Wahid Hasjim pernah menjadi Ketua Umum organisasi Nahdlatul Ulama (NU). KHA Wahid Hasjim berpulang ke rahmatullah akibat kecelakaan mobil di sekitar Cimahi, Jawa Barat, hari Ahad 19 April 1953. Ia wafat dalam usia 39 tahun. Atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, Presiden RI atas nama negara menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum KHA Wahid Hasjim. Mohammad Natsir (1908 - 1993) ”Mohammad Natsir kita kenal sebagai sosok pendakwah yang teduh, politikus yang jujur, pejuang yang ikhlas, dan negarawan terhormat.” (Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, dalam sambutan tertulis acara Peringatan Refleksi Seabad Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir di Jakarta, 18 Juli 2008) Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, almarhum Mohammad Natsir dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No 041/TK/2008 tanggal 6 November 2008. Sebelumnya Mohammad Natsir sudah mendapatkan Bintang Republik Indonesia pada masa Presiden BJ Habibie. Menurut Yusril Ihza Mahendra (mantan Menteri Sekretaris Negara), kalau kita mau membaca peraturan-peraturan tentang tanda jasa dan gelar- Nomor 60 Tahun XII Desember 2009 L A P O R A N K H ULAPORAN SUS UTAMA gelar kehormatan, seorang itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional, bukan saja karena jasa-jasanya bagi bangsa dan negara, tetapi juga suri tauladan yang diberikan sepanjang hidupnya dapat dijadikan contoh bagi seluruh bangsa. Mohammad Natsir, sosok yang dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai tokoh pendidikan, tokoh politik, negarawan, dan pemimpin Islam terkemuka. Natsir lahir 17 Juli 1908, di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, sedang kampung asalnya Maninjau. Tokoh yang produktif menulis itu wafat 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 84 tahun. Semasa sekolah di Padang dan Bandung ia aktif dalam organisasi di antaranya Jong Islamieten Bond. Natsir adalah murid intelektual ulama terkemuka A.Hassan Bandung dan Haji Agus Salim. Di zaman penjajahan Belanda, tahun 1932, Natsir berupaya memerangi kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan sekolah Pendidikan Islam di Bandung yang mempunyai tingkat Frobel (TK), HIS (SD) dan MULO (SMP). Di awal kemerdekaan Natsir menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946) yang merupakan parlemen pertama RI. Natsir juga salah seorang anggota KNIP yang mendukung dibentuknya Kementerian Agama tahun 1946. Beliau pernah menjabat Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), dan Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958). Dalam Majelis Konstituante (1957-1959) yang bertugas merumuskan kembali dasar negara RI, Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam format yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Perjuangan fraksi-fraksi Islam hanya mencapai separuh jalan, kemudian di-by pass oleh Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Natsir adalah contoh seorang demokrat par excellence dan ideolog yang berpandangan luas. Menarik disimak pandangannya tentang Pancasila, bahwa tidak ada pertentangan Pancasila dan Islam, kecuali bila Pancasila itu sengaja diisi dengan paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap dan watak kenegarawanan Natsir sebagai tokoh politik dan guru bangsa patut menjadi cermin bagi generasi sekarang. Sikap demikian terlihat dalam pandangan Natsir tentang Bung Karno. Dalam buku yang disusun oleh Solichin Salam, Bung Karno Dalam Kenangan (1981), Natsir menulis, ”Saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun Bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain. Mudah-mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan bangsa di kalangan generasi penerus.” Pada 1967 Natsir bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya mendirikan wadah berbentuk yayasan yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Natsir menjabat Ketua Umum DDII sampai wafat. Ia tidak henti-hentinya menyumbangkan buah pikiran untuk kepentingan umat, bangsa dan negara. Sejarah mencatat, mosi integral Mohammad Natsir tahun 1949 merupakan pangkal proses yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, sehingga kembali menjadi NKRI. Adapun keterlibatan Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan beberapa tokoh nasional dalam perlawanan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958-1961 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat) dilatarbelakangi tujuan untuk menyelamat-kan Negara Republik Indonesia dari bahaya Komunisme/PKI dan menuntut keadilan pemerintah pusat terhadap pembangunan daerah-daerah di luar Jawa. Pada awal orde baru, Natsir turut membantu pemerintah dalam pemulihan hubungan diplomatik dengan Malaysia pascakonfrontasi ’Ganyang Malaysia’ di masa pemerintahan Soekarno. Dari balik tembok tahanan, Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman yang sebelumnya menolak menerima utusan pemerintah Indonesia yaitu Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Natsir menjadi tahanan politik rezim Soekarno selama 4 tahun (1962-1966). Sebagai tokoh pembaruan dan intelektual Muslim, Natsir menempuh cara dakwah dan pendidikan untuk memperbaiki pemahaman dan pengamalan agama masyarakat Islam di Indonesia. Kata Natsir, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni. Natsir mengemukakan tiga pilar kebangkitan umat Islam, yaitu Masjid, Pesantren dan Kampus. Sebuah ironi sejarah di zaman orde baru, sejak 1980 sampai meninggal Natsir kena cekal, karena menandatangani ’Pernyataan Keprihatinan’ yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50 berisi kritik terhadap Pak Harto yang sedang di puncak kekuasaan. Dalam tahun-tahun terakhir menjelang tutup usia, seperti diungkap Prof George Mc Turnan Kahin dari Cornell University USA, Natsir benarbenar sedih dan prihatin melihat kondisi negerinya. Bukan hanya karena melihat pemerintah waktu itu yang otoriter, juga karena menyaksikan masyarakat yang semakin materialistis dan individualistis. Penulis bersyukur beberapa kali bertemu Pak Natsir semasa hidupnya. (M. Fuad Nasar) Ikhlas BERAMAL, Nomor 60 Tahun XII Desember 2009 29