M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK... Jurnal

advertisement
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
SPIRIT ISLAM POLITIK PERIODE AL-KHULAFÂ’
AL-RÂSYIDÛN BAGI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA ∗
M. Sidi Ritaudin∗
Abstrak
Sewaktu Nabi Muhammad wafat, agama Islam sudah
menyebar ke seluruh Jazirah Arab, dan Madinah merupakan
pusat kegiatan keagamaan dan politik umat Islam. Muhammad
sebagai Rasul sebelum wafatnya telah menyelesaikan tugas
kenabiannya. Untuk itu tidak mengherankan permasalahan
yang pertama-tama timbul pasca Nabi adalah masalah khilafah
(politik). Oleh karena itu, selain periode Rasulullah SAW,
periode al-Khulafâ’ al-Râsyidûn adalah referensi politik Islam
yang paling otentik dan kredibel, diakui oleh kalangan
teoritikus politik, baik dari kalangan Muslim maupun dari
kalangan non Muslim. Inilah periode ideal yang eksistensi
maupun essensinya diakui sepanjang zaman.
Kata Kunci: al-Khulafâ’ al-Râsyidûn, pemerintahan ideal, suksesi
kepemimpinan
Pendahuluan
Persoalan khilafah (politik) muncul dan berkembang pasca
wafatnya Rasulullah SAW, ditengarai karena Nabi Saw tidak pernah
secara eksplesit menentukan siapa yang akan menggantikan beliau
sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan para sahabat menyadari
betul, bahwa kelangsungan hidup negara Islam yang baru terwujud itu
sangat memerlukan pemimpin yang akan melanjutkan perjuangan
Rasulullah untuk menyebarkan Islam dan mempersatukan sekaligus
∗ Penulis adalah alumni Program Doktoral Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dosen IAIN Raden Intan bidang ilmu Pemikiran Islam.
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
untuk melindungi komunitas Muslim yang telah menyebar ke seluruh
pelosok Jazirah Arab.
Persoalan krusial yang muncul setelah wafatnya Nabi yang
menjadi pertanyaan masyarakat Madinah waktu itu adalah siapa
pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu,
sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka.
Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi sebagai kepala negara.
Sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad SAW tentu tidak dapat
digantikasn. 1
Torehan sejarah Islam menunjukkan bahwa secara bergantian
para khalifah yang menggantikan Nabi SAW dalam kepemimpinan
negara Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Muslim di
waktu itu menjadi pengganti/khalifah pertama, kemudian disusul oleh
Umar Bin Khattab, lalu diteruskan oleh Usman Ibn Affan dan
dilanjutkan oleh Ali Ibn Abi Thalib. 2 Mereka inilah yang
dikategorikan sebagai al-Khulafâ’ al-Râsyidûn (para khalifah yang
bijaksana). Menurut Robert N. Bellah, sebagaimana dikutip oleh
Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Muslim klasik itu ”modern”
(terbuka, demokratis, dan partisipatif).
Mengapa hanya pada masa Rasul dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
plus masa Umar bin Abdul Aziz yang menjadi referensi negara Islam
ideal. Karena Bani Umayyah telah menghidupkan kembali sistem
sosial Arab pra-Islam yang bersifat kesukuan (tribal), sedikit
digabung dengan sistem Yunani-Romawi (Byzantium). Karena itu Ibn
Khaldun mengatakan bahwa dengan munculnya dinasti Bani
Umayyah sistem kekhalifahan (al-Khilafah) yang terbuka dan
demokratis telah diganti dengan sistem kerajaan (al-mulk) yang
1
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Pembanding, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 3.
2
Ibnu Hisyam, As-Shiratun Nabawiyyah, Jilid 1, (Kairo : Mathba’at AlMadani, t.th), h. 249.
2
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
tertutup dan otoriter. 3 Uraian berikut akan memaparkan sisi politik
pada masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn tersebut.
Islam di Bawah Kepemimpinan pada Masa al-Khulafâ’
al-Râsyidûn
Khulafâ’ adalah bentuk jamak dari kata khalifah. Artinya
adalah orang yang mengikuti atau pengganti. Secara terminologis
diartikan orang yang mengambil alih kedudukan orang lain setelah dia
meninggal dunia dalam beberapa hal. 4 Dari definisi ini dapat
ditegaskan bahwa khalifah dalam Islam sangat diperlukan, karena ia
berfungsi sebagai pengganti kedudukan Nabi untuk menjaga umat
sekaligus mengatur kehidupan keduniaan yang meliputi antara lain,
politik, sosial, keamanan dan ekonomi berdasarkan niali-niali ajaran
agama Islam.
Dalam konteks peraliahan kekuasaan (suksesi) ada
pembelajaran politik yang dapat dipetik, yaitu kronologi pemilihan
khalifah pertama. Tampilnya Abu Bakar sebagai peletak pembentukan
khilafah tidak terlepas dari peranan kaum Muhajirin dan kaum Anshar
yang memunculkan dialektika politik demi kekuasaan.
Akar persoalan timbul dari adanya rapat gelap kelompok
Anshar yang merespon wafatnya Nabi 5. Mereka berkumpul di Saqifah
bani Sa’idah untuk mengangkat Sa’ad bin ‘Ubadah pemimpin hajraj. 6
Kemudian, setelah mendengar ada pertemuan tersebut, Umar Bin
Khattab memberitahukan Abu Bakar dan ditemani Abu ‘Ubaidah
mereka pergi mendatangi pertemuan tersebut. Terjadilah adu
3
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung :
Mizan, 1994), h. 63.
4
M.A. Shaban, Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-700, Pen- Machnun
Husein, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993), h. 25.
5
Hari Senin 12 rabiul awwal 11 Hijrah/ 9 Juni 632 M. di kota Madinah,
Lihat Muhammad Rida, Abu Baker As-Shiddiq, (Kairo : DaAhya- al-Kutub alArabiyah, Cet. 2, 1369/1950), h. 20.
6
Ibnu Al-Atsir, Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid 2, Beirut : Dar baeirut,
1385/1965), h. 328.
3
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
argumentasi dan perdebatan sengit. Endingnya adalah Tampilnya Abu
Bakar dengan bijak menyodorkan dua nama, yaitu Umar dan Abu
‘Ubaidah untuk dipilih. Namun sepontan keduanya membaiat Abu
Bakar dan diikuti oleh para hadirin dari kedua belah pihak. 7
Beberapa butir penting dapat dikemukan dalam proses suksesi
tersebut, yaitu pemilihan bersifat demokratis dan roda pemerintahan
berjalan secara demokratis, melibatkan semua unsur yang ada dalam
masyarakat
untuk
berperanserta
dalam
mensukseskan
pemerintahannya. Pemerintahan (khalifah) sesudah nabi tidak
mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih dekat merupakan republik
dalam arti kepala negara dipilih dan tidak mempunyai sifat turun
temurun. Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah bukan atas tunjukan
nabi Muhammad, melainkan atas dasar kemufakatan antara pemuka
Anshar dan Muhajirin dalam rapat Saqqifah. 8
Masa kepemimpinan Abu Bakar, sejak awal ia telah
menyampaikan manifesto politiknya bahwa ia siap dikritik dan siap
dikoreksi, dalam hal ini telah melakukan kontrak politik dengan
rakyat, dengan demikian telah menciptakan sistem kontrol masyarakat
terhadap setiap kebijakannya. 9 Hasil yang diraih pada masa
kepemimpinan Abu bakar di anataranya adalah meneruskan ekspedisi
ke Siria; Memerangi orang-orang murtad dan nabi-nabi palsu; dan
Mengumpulkan al-Qur’an. Sebagai catatan, Abu Bakar menjadi
khalifah hanya dua tahun.
Pada masa Khalifah kedua, Umar Bin Khattab perkembangan
Islam sebagai kekuatan politik. Terkait dengan masalah suksesi, Abu
Bakar telah menunjuk Umar Bin Khattab sebagai pengganti dirinya
7
Baiat ini disebut dengan baiat Khas (baiat terbatas). Lihat, Hasan Ibrahim
Hasan, At-Tarikh al-Islamiyy, (Kairo : An-Nahdah al-Misriyyah Cet.7, 1964), h. h.
205.
8
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, (Jakarta,:
UI Press, 1985), h. 95.
9
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum Suatu Studi tentang PrinsiPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 130.
4
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
sebelum ia wafat. Alasan sederhana yang ia ajukan adalah ia tidak
ingin terjadi kevakuman kepemimpinan dan ia khawatir terjadi
kekisruhan sebagaimana terjadi di Bani Sa’idah. Namun demikian,
suka atau tidak suka, kebijakan Abu Bakar ini telah memunculkan
kritik di kemudian hari (masa modern) terutama dari kalangan
orientalis, yang menilai proses suksesi demikian tidak demokratis,
apapun alasannya. Terlepas dari itu semua, masa Umar telah
menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam mengembangkan Islam.
Ekspansi yang dilakukan pada masa kepemimpinan Khalifah
Umar menyebabkan berkembangnya Islam secara pesat, baik dari segi
perluasan wilayah maupun pemeluknya. Dalam hal ini sosok Umar
melebihi Yulius Caesar, Iskandar Yang Agung, Jengis Khan dan
Napolion. 10 Pada masa ini, Islam membentang samapai batas Cina di
Timur, Afrika di Barat, Laut Qazwain di Utara dan Sudan di Selatan.
Hal ini melahirkan negara Adi Kuasa Islam menggantikan Bizantium
(Romawi) dan Sasani (Persia) yang bertekuk lutut di tangan Umar. 11
Hal terpenting pada masa kepemimpinan Umar adalah
diterapkannya sistem pemerintahan desentralisasi, yang sekarang
disebut sebagai otonomi daerah. Di daerah para gubernur diberikan
wewenang mengangkat qadhi dan pegawai keuangan negara, 12 Untuk
mengefektifkan pemerintahan dengan wilayah yang begitu luas, Umar
membentuk spionase-spionase sebagai alat kontrol, yang sekarang
disebut sebagai Badan Intelijen Negara (BIN). Kemudian dia sendiri
yang turun ke daerah tertentu dan biasanya akan tinggal di sana
selama satu atau dua bulan. Setiap gubernur wajib memberikan
laporan pertanggungjawaban setiap musim haji.
Konsep terpenting yang dikembangkan Umar adalah konsep
ummah, penyatuan suku-suku bangsa Arab dan non-Arab, sehingga
prinsip-prinsip politik kesukuan hilang sama sekali. Penaklukan10
Lihat penuturan Muhammad Husein Haikal, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II,
Cet. VI, (Kairo : Dar Ma’arif, t.th), h. 9.
11
Lihat penuturan Muhammad Husein Haikal, Al-Faruq Umar, Juz 1 & II,
Cet. VI, (Kairo : Dar Ma’arif, t.th), h. 9.
12
G.E. Von Grunebaum, Classical Islam, (London, 1970), h. 54.
5
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
penaklukan telah mengalihkan perhatian bangsa Arab dari loyalitas
kesukuannya. Musyawarah atas dasar maslahat bagi sistem ummah
selalu didahulukan daripada kepentingan-kepentingan lainnya.
Dengan konsep ini Umar telah mendirikan Daulah Islamiyah yang
menjadi Adi Kuasa, menggantikan kedudukan Romawi dan Persia.
Umar memerintah selama sepuluh tahun, masa jabatannya berakhir
dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia
bernama Abu Lu’lu’ah. 13
Khalifah ketiga adalah Usman Ibn Affan. Pemerintahannya
berlangsung selama 12 tahun. Dalam konteks suksesi, sebelum wafat,
Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia
menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk
memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Mereka adalah
Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqas, dan
Abdurrahman ibn ‘Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah
dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan
yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib. Proses suksesi ini telah
memulihkan keyakinan bahwa Islam dibangun berdasarkan prinsipprinsip demokratis, yang pada waktu itu istilah demokrasi ini belum
muncul.
Pada paroh terakhir masa kekhalifahan Usman, muncul
perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan
kepemimpinan Umar. Ini muingkin karena umurnya yang lanjut
(diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut.
Akhirnya ia mengakhiri kekhalifahannya dan terbunuh di tangan
kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menonjol pada periode Usman ini
adalah konsep KKN-nya, yang telah menyebabkan banyak rakyat
kecewa. Karena kondisinya yang sudah tua, maka orang yang disebut
sebagai the real khalifah adalah Marwan bin Hakam. Dialah pada
13
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, (Jakarta : Pustaka
Alhusna, 1987, cet. v), h. 267.
6
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya
menyandang gelar Khalifah. 14 Setelah banyak anggota keluarganya
yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di
hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu
lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan
bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan
tanpa kontrol oleh Usman sendiri. 15
Ali Ibn Abi Thalib tampil sebagai khalifah melalui baiat secara
beramai-ramai oleh masyarakat setelah meninggalnya Usman. Dia
memegang tampuk kekuasaan hanya empat tahun sembilan bulan.
Pada masa Ali ini terjadi pergolakan dalam negeri, hampir selama
pemerintahannya tidak terwujud stabilitas keamanan. Steleah
menjabat, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman,
yang diyakini karena keteledoran merekalah terjadi huru hara dan
pemberontakan. Dia juga menarik harta kekayaan negara yang telah
dikorup pada masa Usman, dan memakai kembali sistem distribusi
pajak tahunan sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar.
Ali Ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan yang
dilakukan oleh rivalnya seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah. Mereka
menuntut Ali yang tidak menindak para pembunuh Usman, dan
mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan
secara zalim, pada akhirnya terjadilah peperangan yang terkenal
dengan sebutan Perang Jamal, karena Aisyah waktu itu menaiki unta.
pihak Ali menang. Namun bersamaan dengan itu, muncul pula
perlawanan dari gubernur Damaskus yaitu Mu’awiyah yang didukung
oleh barisan sakit hati yang telah dipecat sebelumnya dari jabatan
mereka pada masa Usman. Sehingga terjadilah peristiwa Tahkim
(arbitrase) yang menyebabkan Islam terpecah menjadi tiga kelompok :
Mu’awiyah, Syi’ah dan al-Khawarij. Penyelesaian konflik melalui
kompromi dengan Muawiyah adalah sebenarnya penyebab kegagalan
14
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung : CV Rusyda, 1987),
h. 87.
15
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
1995), h. 39.
7
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
bagi
Ali
dalam
melaksanakan
kepemimpinannya 16.Ali
menghembuskan nafas terakhirnya dibunuh oleh seorang anggota
Khawarij.
Perbedaan Struktur Pemerintahan dan Gaya Kepemimpinan
pada Masa ke-Khalifahan tersebut
Hampir tidak terlihat distingsi yang tegas bagaimana para alKhulafâ’ al-Râsyidûn menata konsolidasi dan menertibkan suatu
daerah yang baru diperoleh begitu luas dan mengutuhkan
masyarakatnya yang beraneka ragam dan kelompok yang beraneka
istiadat, maka banyak kesukaran yang dihadapi oleh para pendatang
baru dari Arabia yang kurang pengalaman itu.
Menurut Philip K. Hitti, pemecahan terletak pada bagaimana
mengikuti cara yang kurang banyak menimbulkan perlawanan :
pemerintahan propinsi meneruskan susunan kerja bentuk Bizantin di
Siria dan Mesir, dan tata kerja Sasanid di Persia dan Irak. Malahan
para pejabat lama dan pegawai negeri tidak disingkirkan, dan bahasa
lembaran-lembaran daftar isian Pemerintah tidak diganti. Para jenderal
penakluk diangkat menjadi Gubernur dan menerima wilayah yang luas
sebagai amanat. Para Muslim Arab menempatkan diri sebagai suatu
masyarakat Kesatriagama, warga negara kelas wahid, dengan suku
Quraisy tampil sebagai Aristokrat baru. Sesudah mereka menyusul
para muallaf, dalam teori, tetapi tidak dalam implementasi. 17
Sesuai dengan skop kekuasaan yang diperoleh, maka dapat
disebutkan bahwa masa Umarlah yang lebih gencar melakukan
ekspansi dan dia menggunakan gaya kepemimpinan yang tegas,
transparan serta menjaga akuntabilitas kepemimpinannya. Pada masa
Usman terlihat adanya kemuduran dalam bidang leadership. Masa Ali,
karena banyak terjadi pemberontakan maka kepemimpinan dirong16
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1993), 200.
17
Philip K. Hitti, Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan
(Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.), h. 31-32.
8
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
rong dari dalam sehingga kelihatan lemah, bahkan Ali pun mati
dibunuh.
Sebagai negara Adi Kuasa yang multi etnis, ras dan suku,
dengan bermodalkan prinsip-prinsip kontrak politik Piagam Madinah,
Ummat Kristen, Yahudi dan Dzimmi lainnya diperkenankan tetap
berada pada macam-macam keahlian mereka, termasuk mengolah
tanah dan didudukkan sebagai warga kelas dua. Selama mereka tetap
membayar jizyah, mereka aman. Para budak berada pada urutan
terbawah susunan sosio-politik, termasuk tawanan perang. Pada
puncaknya adalah para Khalifah, para pengganti rasul sebagai Kepala
Negara dan bukannya sebagai pengganti kerasulannya.
Gaya kepemimpinan para al-Khulafâ’ al-Râsyidûn ini adalah
bergaya Sunnah, karena keemat-empatnya adalah berhubungan erat
dan sinambung langsung dengan Nabi. Umar Ibn Khattab adalah yang
terbesar di antara mereka. 18 Dalam menata urusan kenegaraan para
Khalifah ahli Sunnah diperkirakan masih sama seperti di bawah
pengaruh kehebatan Nabi. Ibu kotanya ialah Madinah; zamannya
adalah Arab murni, partiarkhal, dengan Kepala Negara, bersikap agak
seperti seorang syeikh suku dibandingkan dengan suatu kerajaan.
Kekhalifahan itu berakhir dengan pergolakan sipil yang memecat Ali
dari kekuasaan yang tertinggi dan menumpangkannya pada
Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, pendiri dinasti Amawiyah 19
Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa ”republik Islam”
itu merupakan masa yang paling penting di dalam sejarah. Ia
menyelamatkan Islam, mengonsolidasikannya dan meletakkan dasar
bagi keagungan umat Islam. Khalifah
pertama, Abu Bakar,
menyelamatkan umat Islam dari perpecahan karena soal penggantian
18
Bahkan Umar dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari
pemerintahan Islam, karena kebijakannya memperoleh cirinya terutama dari Umar,
baik selama masa hidupnya maupun setelah wafatnya. Lihat, Syed Mahmudunnasir,
Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), 182.
19
Philip K. Hitti, Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan
(Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.), h. 32-33.
9
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Dia juga menyelamatkan Islam
dari bahaya besar orang-orang murtad dan nabi-nabi palsu dan
mempertahankan keyakinan akan agama yang benar di Arabia.
Khalifah kedua, Umar Bin Khattab, mengonsolidasikan Islam
di Arabia, mengubah anak-anak padang pasir yang liar menjadi
bangsa pejuang yang berdisiplin dan menghancurkan Kekaisaran
Persia dan Bizantium, membangun suatu imperium yang sangat kuat
yang meliputi Irak, Persia, Kaldea, Siria, Palestina, dan Mesir.
Khalifah ketiga, Usman Bin Affan, menyaksikan ekspansi imperium
Arab yang lebih jauh di Asia Tengah dan Tripoli. Pemerintahannya
juga patut dikenang karena terbentuknya Angkatan Laut Arab.
Khalifah keempat, Ali Ibn Abi Thalib, mengatasi kekacauankekacauan di dalam negeri. Dengan wafatnya Ali ini tahun 661 M.,
berakhir pulalah republik Islam Yang Agung.
Gaya Kepemimpinan dan Pemerintahan yang Ideal dalam
Kontek ke-Indonesiaan
Sebagai negara yang memiliki penduduk mayoritas Muslim,
termasuk founding fathernya adalah orang-orang Muslim, maka
Indonesia lebih cenderung pada Islam moderat demi mengakomodir
ideologi-ideologi di luar Islam sebagai konsekuensi dari bentuk negara
kesatuan (NKRI) yang sudah final itu. Politik dalam nuansa keIndonesiaan bentuk pemerintahan disesuaikan dengan posisinya
sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan,
keamanan dan ketentraman masyarakat. 20 Oleh karena itu, falsafah
dan dasar negara Indonesia tidak Al-Qur’ân, melainkan Pancasila dan
UUD-1945. namun demikan keduanya bersumber dari nilai-nilai
ajaran Islam. 21
20
Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Ketatanegaraan, (Jakarta : Mutiara,
1992)
21
Dapat dilihat umpamanya Pancasila, sila pertama adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa itu menjiwa semua sila yang lain, rujukannya adalah al-Qur’an surat alNisa ayat 156 tentang ketaatan mentaati pemimpin termasuk penguasa di bidang
10
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
Pandangn di atas sejalan dengan argumentasi Ibnu Taimiyyah
yang megatakan bahwa “di dalam al-Qur’ân tidak disebut-sebut
tentang suksesi (politik), mungkinkah Allah telah lalai untuk
menyinggung masalah yang teramat penting jika pembentukan negara
Islam itu wajib. Bagi Ibn Taimiyyah menegakkan negara bukanlah
asas atau tujuan agama dan bukan pula sebagai sebuah pelengkap
yang diperlukan oleh agama. 22 Berdasarkan pemahaman terhadap
statemen ini, maka dalam konteks Islam politik dan praktik politik
yang ideal dalam bingkai NKRI pemerintahan dan gaya pemimpinan
yang ideal adalah gaya politik Islam moderat.
Konsep Islam tentang Islam moderat begitu penting dan mulia
dan merujuk pada praktik politik Nabi dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
yang berdasarkan pada Piagam Madinah. Moderat dalam pengertian
Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh
manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan,
pelaksanaan dan penerapan. Dengan moderat ini pula terbentuk warna
peradaban Islam pada setiap nilai, idealisme, kriteria, dasar-dasar,
serta simbol-simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa sikap moderat
Islam bagi manhaj Islam dan peradabannya merupakan sudut
pandangnya. Sifat moderat Islam telah mencapai dan menduduki
posisi ini dalam peradaban Muslim karena penolakannya terhadap
ekstrimitas dan eksageritas kezaliman dan kebatilan. 23
Dari sudut pandang al-Qur’ân, setiap orang yang tidak adil
kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain adalah zalim. Dalam
bahasa sehari-hari, orang yang zalim hanyalah orang yang
politik pemerintahan dan negara yang bersyarat, yaitu pemimpin yang taat kepada
Allah dan rasul-Nya. Dalam hadis rasulullah SAW, kita jumpai petunjuknya, bahwa
mentaati pemimpin bagi setiap Muslim merupakan kewajiban, tetapi apabila
pemimpin tersebut memerintahkan perbuatan dosa, maka boleh ditentang. (H. R.
Bukhari Muslim).
22
Pendapat Ibnu Taimiyyah ini diungkap oleh Qomaruddin Khan,
Pemikiran Politik Ibn Taimyyah, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1983), h. 69.
23
Lihat penjelasan, Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus
Barat, (Jakarta : Robbani Press, 1998), h. 265.
11
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
menyimpangkan hak-hak orang lain. Tetapi menurut terminologi
Qur’âni, orang yang zalim adalah orang yang tidak adil terhadap diri
sendiri. 24 Sebagai negara religius yang bertumpu pada Pancasila dan
UUD-1945, maka gaya kepemimpinan tidak boleh bersikap zalim dan
tidak adil dalam melaksanakan kepemimpinan. Maka pancasila
dijadikan sebagai moral bangsa.
Uraian mengenai kelima Sila dari Pancasila secara ringkas
adalah sebagai berikut 25:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa : orang harus percaya dan takwa
kepada Tuhan YME, dan menghargai orang lain yang berbeda
agama atau kepercayaan, Jadi ada sikap hormat-menghormati dan
kerukunan hidup beragama; dan ada kebebasan beribadah tanpa
paksaan.
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab: tidak sewenang-wenang,
dan bisa tepa selira, mencintai sesama manusia. Tanpa ada
diskriminasi; dan sama hak serta kewajiban asasi selaku manusia.
Toleran terhadap sesama, saling menghormati; mampu melakukan
kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerjasama dengan bangsabangsa lain.
3.Persatuan Indonesia: cinta tanah air, menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, menempa
patriotisme dan nasionalisme. Menempatkan persatuan dan
kesatuan bangsa di atas kepentingan golongan, atas dasar bhineka
tunggal ika.
4.Kerakyatan yang dipimpin olehhikmat kebijaksanaan dalam
musyawarah/ perwakilan: bersifat demokratis, bersemangat
gotong royong (kooperatif, kolektif) dan kekeluargaan; juga patuh
pada putusan rakyat yang sah atas pertimbangan akal sehat dan
hati nurani luhur.
24
Murtadha Mutahhari, Imamah dan Khilafah, (Jakarta : penerbit Firdaus,
1991), h. 141.
25
Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 275.
12
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
5.Keadilan Sosial: hidup sederhana, tidak boros, mengamalkan
kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang
bermanfaat; dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang
kehidupan.
Norma-norma yang tercakup dalam Pancasila itu sekaligus
juga merupakan sistem nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh
setiap warga negara, khususnya oleh para pemimpin. Nilai-nilai dan
norma kepemimpinan yang diwariskan oleh para pujangga di masa
lalu itu merupakan investasi spiritual, dalam mana diutamakan unsur
keikhlasan berkorban dan mengabdi demi kepentingan orang banyak,
sekaligus memberikan ketauladanan yang baik. 26
Merujuk praktek politik pada masa Nabi dan al-Khulafâ’ alRâsyidûn, konteks kepemimpinan ideal ke-Indonesiaan, paling tidak
butir-butir kesepakatan antar berbagai golongan dapat doijadikan
referensi guna mewujudkan kesatuan politik bersama mengingat
Indonesia terdiri dari kesatuan pluralitas politik. Namun demikian,
lebih jauh yang harus dicermati, kesepakatan-kesepakatan yang
dibangun sering kali dikhianati. Bahkan secara kasat mata para
pemimpin politik kita di parlemen tidak lagi memperjuangkan
aspirasi rakyat, melainkan lebih mengutamakan kepentingan pribadi
atau kelompok. Baik perspek tata nilai Islam maupun Pancasila dan
UUD-1945 jelas-jelas menentang sikap yang demikian itu. 27
Mencermati banyaknya para pemimpin dari berbagai livel
pemerintahan, baik ekskutif maupun legislatif bahkan yudikatif yang
mengkhianati kontrak politik (Pancasila dan UUD-1945), maka
diperlukan gaya kepemimpinan yang tegas, pemberani, konsisten,
integrated, akuntabel, namun bijaksana dan beretika. Gaya
26
Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 276.
27
Bandingkan dengan analisis Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam
dan Cita-Cita Reformasi” dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy
Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2001), h. 365.
13
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
kepemimpinan demikian ini terlihat sekali pada sosok Khalifah Umar
Bin Khattab yang telah sukses membawa Negara Islam menjadi
berkembang dan tampil sebagai Adi Kuasa dunia. Jika Indonesia
dipimpin oleh pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan yang
demikian, maka komunitas Muslim Indonesia dapat optimis akan
menjadi bangsa yang besar seperti yang dicita-citakan oleh
Bungkarno.
Tipe dan gaya kepemimpinan seperti yang ditampilkan oleh
sosok para al-Khulafâ’ al-Râsyidûn adalah tipe pemimpin kharismatis
yang memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar
biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai
pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang
handal serta bisa dipercaya. Pemimpin demikian itu banyak memiliki
inspirasi, keberanian, dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri.
Totalitas kepribadian pemimpin itu memancarkan pengaruh dan daya
tarik yang teramat besar. Tokoh tokoh besar semacam ini, menurut
sosiolog Muslim Ibn Khaldun akan muncul setiap abad. Sekedar
contoh dapat disebut Nabi Muhammad SAW, al-Khulafâ’ alRâsyidûn, Iskandar Zulkarnaen, Jengis Khan, Ghandi, Jhon F.
Kennedy, Sukarno, Margaret Tatcher, Gorbachev dan lain-lain. 28
Teoritikus politik Muslim pada umumnya setuju jika Islam
tidak bisa dipisahkan dengan persoalan kenegaraan, tentu saja
termasuk persoalan sikap dan tingkahlaku pemimpin. Hanya saja yang
patut diwaspadai adalah sikap restriksi dan represi dari pemerintah
yang mengabaikan nilai-nilai humanisme. Untuk itu perspektif keIndonesiaan harus diperjuangkan Islam komprehensif (kaffah), yang
dimanifestasikan dalam bentuk ideologi Pancasila, yang jelas-jelas
merupakan landasan konstitusional kehidupan bernegara. Hal ini tidak
perlu diragukan, karena pemikiran Islam yang berkembang di
Indonesia adalah Islam substantif, dan nilai-nilai Pancasila didasari
28
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2003), h. 69. Kalupun tidak tepat contoh-contoh tersebut dalam konteks
Islam, penulis hanya melihat aspek strong kepemimpinannya saja. Tidak pada aspek
moral dan lainnya.
14
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
oleh nilai Islam substantif tersebut, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai roh atau jiwa dari sila-sila yang lain. 29
Masykuri Abdullah secara lebih komprehensif namun sejalan
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ritaudin di atas, membahas
tentang hubungan antara Islam dan negara dalam pemikiran politik
Islam kontemporer ini, yakni 30 ;
1. Pendapat bahwa Islam adalah agama lengkap dan mencakup
semua aspek kehidupan, termasuk kehidupan kenegaraan.
Pendapat ini diikuti oleh kelompok tradisionalis dan kelompok
Islamis (“fundamentalis”).
2. Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain,
memisahkan persoalan-persoalan agama dan negara. Pendapat
ini diikuti oleh kelompok sekularis.
3. Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum
tentang kehidupan kenegaraan, sedangkan aturan operasionalnya
bisa merupakan hasil pemikiran umat Islam sendiri atau
mengadopsi dari umat lain (Barat). Pendapat ini diikuti oleh
kelompok modernis, yang dalam prakteknya terdiri atas tiga sub
kelompok, yakni :
a. Kelompok yang tetap memperjuangkan implementasi
syari’ah, dan dengan sendirinya etika Islam, sehingga dalam
praktiknya tidak jauh beda dengan kelompok pertama
b. Kelompok yang memperjuangkan implementasi hanya nilainilai dan etika Islam, sehingga dalam praktiknya tidak jauh
beda dengan kelompok kedua
29
Tentang hubungan Islam dan Negara yang terbagi pada tiga mazhab,
fundamentalisme, sekularisme dan moderatisme, lihat lihat, M. Sidi Ritaudin,
”Negara dan Sistem Pemerintahan dalam Islam”, dalam Posisi Syari’ah Islam dalam
Negara Menurut Sayyid Quthb, (Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007),
disertasi belum diterbitkan, h. 100-124.
30
Masykuri Abdillah, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi”
dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak Pemikiran dari
Pembaharu sampai Guru Bangsa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), h. 368-369.
15
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
c. Kelompok yang tetap memperjuangkan sedapat mungkin
implementasi syari’ah, dan otomatis etika Islam, atau
minimal prinsip-prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, kelompok ini adalah kelompok moderat.
Idealisasi gaya kepemimpinan dan praktek politik keIndonesiaan yang dikaitkan dengan praktek politik al-Khulafâ’ alRâsyidûn, adalah pemikiran politik “Tamaddun” dalam arti membawa
Indonesia pada permainan politik yang berperadaban tinggi, dalam
istilah Amin Rais adalah hight politic, dan hal ini merupakan citacita reformasi yang ingin ditegakkan, terutama oleh kalangan
mahasiswa. Konsep memberdayakan masyarakat menuju negeri yang
adil, terbuka dan demokratis merupakan praktek politik al-Khulafâ’
al-Râsyidûn sebagaimana telah diungkapkan terdahulu.
Wacana Pamungkas
Kaum muda (pemuda dan mahasiswa) merupakan modal dasar
bagi pembangunan bangsa, karena mereka memiliki potensi akademik
dan wawasan serta semangat juang yang meluap-luap. Menurut
Bungkarno modal dasar ini jika dioptimalkan penggamblengannya
akan dapat menghantarkan suatu bangsa pada puncak kejayaannya.
Liahat saja setiap pergerakan dan perjuan, terutama menentang
penyelewengan pemerintahan, pemudalah yang tampil pada garda
terdepan. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus
memiliki jiwa dan pemikiran yang besar. Untuk mencapai jiwa dan
pemikiran yang besar itu perlu suri tauladan dan konsepsi yang benar.
Paling tidak, sejarah telah menorehkan bahwa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn
telah membuktikan dan tidak terbantahkan telah menghantarkan Islam
sebagai Adi Kuasa dunia. Nampaknya modal dasarnya adalah
keteguhan iman, integritas keperibadian, keberanian, intelektualitas,
komitmen, jiwa keikhlasan dan tujuan mulia li 1’la’1 kalimatillah.
Semoga dapat ditauladani.
Daftar Pustaka
16
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
Abdillah, Masykuri, “Cak Nur, Politik Islam dan Cita-Cita Reformasi”
dalam, Jalaluddin Rakhmat, et al, Tharikat Nurcholishy Jejak
Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2001.
Amin, Ahmad,, Islam dari Masa ke Masa, Bandung : CV Rusyda,
1987.
Atsir, Ibnu Al-, Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid 2, Beirut : Dar baeirut,
1385/1965.
Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi tentang PrinsiPrinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya
pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta : Bulan
Bintang, 1992.
Grunebaum, G.E. Von, Classical Islam, London, 1970.
Haikal, Lihat penuturan Muhammad Husein, Al-Faruq Umar, Juz 1
& II, Cet. VI, Kairo : Dar Ma’arif, t.th.
Hasan,, Hasan Ibrahim, At-Tarikh al-Islamiyy, Kairo : An-Nahdah alMisriyyah Cet.7, 1964.
Hisyam, Ibnu, As-Shiratun Nabawiyyah, Jilid 1, Kairo : Mathba’at AlMadani, t.th.
Hitti, Philip K., Islam and The West, Edisi Indonesia oleh M.J.Irawan
Bandung : Penerbit Sinar Baru, 1984.
Imarah,, Muhammad, Perang Terminologi Islam Versus Barat,
Jakarta : Robbani Press, 1998.
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2003.
Khan, Qomaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimyyah, Bandung :
Penerbit Pustaka, 1983.
Madjid Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung
: Mizan, 1994.
Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 1993.
Mutahhari, Murtadha, Imamah dan Khilafah, Jakarta : penerbit
Firdaus, 1991.
17
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
M. Sidi Ritaudin: SPIRIT ISLAM POLITIK...
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1,
Jakarta,: UI Press, 1985.
Nasution, Harun Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Pembanding, Jakarta : UI Press, 1986.
Rida, Muhammad, Abu Baker As-Shiddiq, Kairo : DaAhya- al-Kutub
al-Arabiyah, Cet. 2, 1369/1950.
Ritaudin, M. Sidi, ”Negara dan Sistem Pemerintahan dalam Islam”,
dalam Posisi Syari’ah Islam dalam Negara Menurut Sayyid
Quthb, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007.
Shaban, M.A., Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-700, PenMachnun Husein, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1993.
Sjadzali, Lihat Munawir, Islam dan Ketatanegaraan, Jakarta :
Mutiara, 1992.
Syalabi, A., Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 1, Jakarta : Pustaka
Alhusna, 1987, cet. V.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 1995.
18
Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009
Download