Ma`na Laa Ilaaha Illa Allah - tarbiyah

advertisement
Ma’na Laa Ilaaha Illa Allah
Ma’na Laa Ilaaha Illa Allah
Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD atau
SMP, kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” yang
artinya “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri dalam
hati sanubari kita tanpa sedikit pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut.
Karena memang itulah yang diajarkan oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah
dulu. Kesalahfahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orangorang yang dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah faham tentang makna
kalimat tauhid ini. Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha
illallah” sebagai “Tidak ada tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Hampir tiap hari kita selalu menyebutnya, baik ketika sholat atau di luar sholat.
Namun yang menjadi pertanyaan, sejauh manakah ma’na kalimat syahadatain ini
dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari?
Jawabannya bias dilihat dalam fenomena kehidupan kaum muslimin sehari-hari.
Syahadatain tidak berpengaruh dalam hidupnya, terlihat dengan masih memakai
pakaian yang terbuka aurat, masih melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang,
serta meninggalkan segala perintah Allah SWT.
Untuk Apa Membahas Ma’na Dua Kalimat Syahadat?
Perlu digarisbawahi bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan oleh seseorang
tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya serta
mengamalkan konsekuensinya. Hal ini seperti ibadah shalat yang tidak akan sah
kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan shalat. Di antara syarat “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi
adalah seseorang harus mengetahui makna kalimat tersebut.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang
benar selain Allah” (QS. Muhammad [47]: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan
mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan
masuk surga” (HR. Muslim).
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta, pengatur, penguasa alam
semesta, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat
www.tarbiyah-online.com
Page
Tidak Ada “Tuhan” selain Allah
“Tidak ada Tuhan selain Allah” merupakan makna kalimat “laa ilaaha illallah” yang
populer di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, kata “ilah” diartikan dengan
kata “Tuhan”. Namun perlu diketahui bahwa kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia
memiliki dua makna.
1
Dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah
menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang
mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Ma’na Laa Ilaaha Illa Allah
memberikan manfaat atau mendatangkan madharat. Kedua, kata “Tuhan” yang
berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala jenis aktivitas ibadah.
Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan
selain Allah” juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, “Tidak ada pencipta,
pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain Allah”. Pengertian kedua, “Tidak ada
sesembahan selain Allah”. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan
meninjau apakah memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan kedua pengertian
tersebut sudah benar serta berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As-Sunnah?
Tidak Ada Pencipta, Pemberi rizki, dan Pengatur alam semesta selain Allah
Memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada Tuhan selain Allah” yang
berarti “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta selain
Allah” adalah pemahaman yang keliru. Berikut ini kami sampaikan beberapa bukti
yang menunjukkan kesalahan tersebut.
Bukti pertama, kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mengakui bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat Yang Menciptakan,
Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta. Hal ini dapat kita ketahui dari dalil
berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Katakanlah, ’Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang
mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang
mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ’Allah’” (QS.
Yunus [10]: 31).
Bukti kedua, konsekuensi dari makna tersebut berarti kaum musyrik pada zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah orang musyrik. Demikian pula,
www.tarbiyah-online.com
Page
Oleh karena itu, apabila kalimat “laa ilaaha illallah” diartikan dengan “Tidak ada
pencipta selain Allah”, “Tidak ada pemberi rizki selain Allah”, atau “Tidak ada
pengatur alam semesta selain Allah”, maka apa yang membedakan antara orangorang musyrik dan orang-orang Islam? Jika orang-orang musyrik itu masuk Islam
dengan dituntut mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah” dengan makna seperti itu,
lantas apa yang membedakan mereka ketika masih musyrik dan ketika sudah masuk
Islam? Bukankah ketika mereka masih musyrik juga sudah mengakui bahwa Allah-lah
satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang
Mengatur urusan alam semesta?
2
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa kaum musyrikin pada zaman dahulu meyakini
sifat-sifat rububiyyah Allah, yaitu bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang
Menciptakan, Dzat Yang Memberi rizki, dan Dzat Yang Mengatur urusan alam
semesta. Namun, keyakinan seperti itu ternyata belum cukup untuk memasukkan
mereka ke dalam golongan orang-orang yang bertauhid. Sehingga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap memerangi mereka, menghalalkan darah dan
harta mereka meskipun mereka memiliki keyakinan seperti itu.
Ma’na Laa Ilaaha Illa Allah
segala jenis perbuatan mereka yang menujukan ibadah kepada selain
Allah Ta’ala berarti bukan syirik. Hal ini karena konsekuensi dari makna tersebut
adalah seseorang tetap disebut sebagai seorang muslim meskipun dia berdoa
meminta kepada para wali yang sudah mati, atau berdoa kepada Allah melalui
perantaraan (tawassul) orang-orang shalih yang sudah meninggal, atau menyembelih
untuk jin penunggu jembatan, selama mereka memiliki keyakinan bahwa Allah-lah
satu-satunya Dzat Yang Menciptakan, Memberi rizki, dan Mengatur alam semesta.
Maka sungguh, ini adalah kekeliruan yang sangat fatal. Karena ternyata makna
tersebut akan membuka berbagai macam pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum
muslimin.
Tidak Ada Sesembahan selain Allah?
Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah “Tidak ada
sesembahan selain Allah”. Namun makna ini juga tidak benar, meskipun secara
bahasa (Arab) kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Namun
sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan
kecuali Allah”, artinya sama dengan“Semua sesembahan adalah Allah”. Contoh lain
adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka artinya
sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”.
Meskipun makna “ilah” adalah “ma’bud” (sesembahan), namun memaknai “laa ilaaha
illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” tetap saja tidak tepat. Hal itu
dapat ditunjukkan dari bukti-bukti berikut ini.
Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang
sebenarnya. Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan
“tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realita menunjukkan bahwa terdapat
sesembahan yang lain di samping Allah? Buktinya, kaum musyrikin pada zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang bermacam-macam.
Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah Nabi dan
orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan, serta ada pula yang
menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al Qowa’idul Arba’, hal. 25).
Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang
musyrik
sebagai “ilah”.
Di antaranya
adalah
firman
Allah Ta’ala, “Mereka
mengambil sesembahan-sesembahan
selain
Allah,
agar
mereka
mendapat
pertolongan” (QS. Yasin [36]: 73). Kesimpulannya, memaknai “laa ilaaha illallah”
dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena realita
menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain
AllahTa’ala. Bahkan Allah sendiri mengakui bahwa memang terdapat sesembahan
selain Dia.
Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Allah” menimbulkan
konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Allah itu tidak hanya satu,
www.tarbiyah-online.com
Page
Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga dapat dilihat dari
konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada
sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua sesembahan yang ada di alam semesta ini
adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena dia adalah sesembahan
orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, Latta, Uzza, dan Manat
semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan kaum musyrikin pada
zaman dahulu. Para wali yang dijadikan sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah
adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan para penyembah kubur.
3
Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah” menimbulkan konsekuensi
yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat itu menunjukkan bahwa semua
sesembahan orang musyrik adalah Allah.
Ma’na Laa Ilaaha Illa Allah
namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada di muka bumi ini.
Sedangkan konsekuensi batil yang kedua, bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan
sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau manunggaling
kawula-Gusti).
Makna Kalimat “Laa ilaaha illallah” yang Tepat
Syaikh Al-‘Allamah Hafidz bin Ahmad Al-Hakami rahimahullah berkata, ”Makna
kalimat “laa ilaaha illallah” adalah “laa ma’buuda bi haqqin illallah” [tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah]. Kalimat “laa ilaaha” bermakna
meniadakan seluruh sesembahan selain Allah. Maka tidak ada yang berhak untuk
disembah kecuali Allah (“illallah”). Sehingga kalimat “illallah” bermakna menetapkan
segala jenis ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata. Dia-lah sesembahan yang haq
(yang benar) dan yang berhak untuk diibadahi” (Lihat Ma’arijul Qobul, 2/516).
Berdasarkan penjelasan beliau rahimahullah tersebut, maka makna yang tepat dari
kalimat “laa ilaaha illallah” adalah“tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah”. Ditambahkannya kalimat “yang berhak disembah” ini dapat ditinjau
dari dua sisi. Pertama, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali sesembahansesembahan selain AllahTa’ala di muka bumi ini. Akan tetapi, dari sekian banyak
sesembahan tersebut, yang berhak untuk disembah hanyalah Allah Ta’ala semata.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (sesembahan) yang
haq (benar). Dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain
Allah itulah (sesembahan) yang batil” (QS. Luqman [31]: 30).
Kedua, dari sisi kaidah bahasa Arab pada kalimat “laa ilaaha illallah” memang ada
satu kata yang dibuang, yaitu“haqqun”. Sehingga kalimat lengkap dari kalimat tauhid
tersebut sebenarnya adalah “laa ilaaha haqqun illallah” yang berarti “tidak ada
sesembahan yang haq (atau yang berhak disembah) selain Allah”. Kalau ada yang
bertanya, ”Mengapa ada kata yang dibuang?” Maka jawabannya adalah karena kaidah
bahasa Arab menuntut agar kalimat tersebut disampaikan secara ringkas, namun
dapat
difahami
oleh
setiap
orang
yang
mendengarnya.
Meskipun
kata “haqqun”dibuang, namun orang-orang musyrik jahiliyyah dahulu telah
memahami bahwa ada satu kata yang dibuang (yaitu“haqqun”) dengan hanya
mendengar kalimat “laa ilaaha illallah”. Karena bagaimanapun, orang-orang musyrik
jahiliyyah adalah masyarakat yang fasih dalam berbahasa Arab. (Lihat At-Tamhiid,
hal. 77-78)
Page
4
Demikianlah pembahasan tentang makna yang benar dari kalimat tauhid. Semoga
dengan pembahasan yang singkat ini dapat mengangkat sedikit di antara kebodohan
diri kita tentang agama ini. Dan sungguh, memahami kalimat tauhid merupakan salah
satu nikmat Allah Ta’ala yang sangat besar bagi hamba-Nya. Sufyan bin
‘Uyainah rahimahullahberkata, “Tidaklah Allah Ta’ala memberikan nikmat kepada
seorang hamba dengan suatu nikmat yang lebih agung dari nikmat diberikan
pemahaman terhadap kalimat ‘laa ilaaha illallah’”. [M. Saifudin Hakim]
www.tarbiyah-online.com
Download