Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
Bab II
Kajian Pustaka
2.1 Landasan Teori
2.1.1.Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori
keagenan
(agency
theory)
mendasarkan
hubungan
antara
prinsipal/pemegang saham dengan agen/manajemen. Menurut Jensen dan
Meckling dalam Isnanta (2008), agency theory mendeskripsikan pemegang saham
sebagai principal dan manajemen sebagai agen. Manajemen merupakan pihak
yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan mereka.
Manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi
kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajer harus
bertanggungjawab kepada pemegang saham.
Schipper (1997) dalam Norbarani (2012) mendefinisikan manajemen laba
sebagai suatu intervensi terhadap suatu proses pelaporan keuangan eksternal untuk
memperoleh beberapa keuangan pribadi. Pernyataan itu sejalan dengan Healy dan
Wahlen (1999) yang menyatakan bahwa earning management terhadi ketika
manajer menggunakan judgement dalam pelaporan keuangan dan melakukan
manipulasi transaksi untuk mengubah laporan keuangan, baik untuk menyesatkan
beberapa stakeholders tentang kinerja perusahaan atau untuk mempengaruhi
kontrak yang bergantung pada angka-angka dalam laporan keuangan.
Laba sering dipergunakan berbagai pihak sebagai alat untuk memprediksi
tingkat pertumbuhan laba di masa depa serta tingkat pengembalian pinjaman.
Pentingnya laporan keuangan terutama laba yang dilaporkan oleh perusahaan
17
18
dalam pengambilan keputusan oleh para stakeholders. Tindakan manajemen laba
terjadi karena manajemen perusahaan yang dalam menjalankan operasional
perusahaan selalu dimonitor oleh para stakeholders, memiliki dorongan yang
besar untuk melakukan praktik manajemen laba. Adanyan sistem reward yang
berdasar pada kinerja laba akan semakin memberikan kebebasan bagi manajer
untuk melakukan manajemen laba (Tobing dan Anggrowati, 2009).
Teori keagenan menganggap bahwa individu berperilaku sesuai dengan
kepentingannya masing-masing. Hendriksen (1992) dalam Septiani (2005)
menyatakan bahwa agen memiliki kontrak untuk menunjukkan kewajibannya
kepada principal, sedangkan principal memiliki kontrak untuk memberikan bonus
kepada agen. Para principal menginginkan laba yang tinggi dari perusahaan agar
investasi yang telah ditanamkan cepat kembali. Besarnya laba berhubungan
dengan besarnya deviden yang akan dibagikan kepada investor. Semakin tinggi
laba, maka harga saham akan semakin tinggi dan semakin besar pula deviden
yang akan diterimanya. Namun disisi lain, para agent memiliki kepentingan
sendiri yakni bonus yang diterima.
Pada dasarnya antara principal dan agen memiliki tujuan yang berbeda.
Principal menginginkan return yang tinggi atas investasinya, sedangkan agent
memiliki kepentingan untuk mendapatkan kompensasi yang besar atas hasil
kerjanya. Perbedaan tujuan itulah yang menyebabkan terjadinya conflict of
interest di antara pihak agen dan prinsipal. Hal inilah yang mendorong terjadinya
asimetri informasi di antara kedua belah pihak tersebut. Karena adanya keinginan
kompensasi yang tinggi itulah, maka kemungkinan besar agen akan melakukan
19
moral hazard. Di samping itu, para agent memiliki informasi tentang operasi dan
kinerja perusahaan lebih banyak dibandingkan para principal. Hal ini yang
menimbulkan kesempatan (opportunistiy) agen untuk melakukan kecurangan.
Menurut Eisenhardt (1989) dalam Maudy (2013), teori agensi menggunakan
tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri
sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi
masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko
(risk averse). Ketiga sifat tersebut menyebabkan informasi yang dihasilkan
manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reabilitasnya dan informasi yang
disampaikan biasanya diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang
sebenarnya atau lebih dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau
asymmetric information (Ujiyantho & Pramuka, 2007). Hal tersebut memberikan
kesempatan atau opportunity kepada manajer untuk melakukan manajemen laba.
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia, manajer akan lebih mengutamakan
kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan pemilik atau lebih
dikenal dengan sifat opportunistiy. Agent akan berusaha mencari keuntungannya
sendiri untuk mendapatkan bonus dari perusahaan dengan berbagai cara seperti
memanipulasi angka-angka di laporan keuangan.
Adanya hal tersebut praktik pelaporan keuangan sering menimbulkan
ketidaktransparanan yang dapat menimbulkan konflik antara principal dan agent.
Akibat adanya perilaku manajemen yang tidak transparan dalam menyajikan
semua informasi ini akan menjadi penghalang dalam mewujudkan praktik GCG
(Good Corporate Governance) karena salah satu prinsip dari GCG adalah
20
transparansi.
Praktik perataan laba dapat melalui Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktuf (PPAP) atau Loan Loss Provision (LLP). Berdasarkan Bank Indonesia
No. 7/2/PBI/2005 tentang “Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum” pasal 44 dan
45 menyebutkan bahwa bank wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva
untuk aktiva produktif dan aktiva non produktif. Meskipun besarnya penyisihan
dalam batasan persentase tertentu ditentukan oleh Bank Indonesia, namun pihak
manajemen bank masih diberikan keleluasaan untuk menentukan kualitas aktiva
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam PBI tersebut serta membentuk cadangan
PPAP melebihi cadangan yang wajib dibentuk. Sehingga sangat memungkinkan
PPAP dijadikan objek oleh manajer bank dalam meratakan laba. (Tobing dan
Anggrowati, 2009).
Tindakan manajemen laba (earning management) yang dilakukan
manajemen akibat adanya conflict of interest dan asymmetric information dengan
pemilik merupakan salah satu bentuk financial statement fraud. Pernyataan
tersebut sejalan dengan Rezaee (2002) dalam Norbarani (2012) yang menyatakan
bahwa tindakan manajemen laba berkaitan erat dengan financial statement fraud.
Tindakan memanajamen laba yang dilakukan manajemen jika dibiarkan dan tidak
diketahui oleh pemilik, pada akhirnya akan berkembang menjadi suatu financial
statement fraud yang menyesatkan secara material. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa adanya agency problem antara pemilik (principal) dan
manajemen (agent) dapat menyebabkan terjadinya financial statement fraud yang
menyesatkan dan merugikan.
21
2.1.2 Fraud
2.1.2.1 Definisi Fraud
Fraud adalah tindakan melawan hukum, penipuan berencana dan bermakna
ketidakjujuran. Fraud dapat terdiri dari berbagai bentuk kejahatan atau tindak
pidana kerah putih (white collar crime) antara lain pencurian, penggelapan asset,
penggelapan
informasi,
penggelapan
kewajiban,
penghilangan
atau
penyembunyian fakta, rekayasa fakta termasuk korupsi (Razaee,2002).
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) merupakan organisasi
anti-fraud terbesar di dunia dan sebagai penyedia utama pendidikan dan pelatihan
anti-fraud. ACFE mendefinisikan kecurangan (fraud) sebagai tindakan penipuan
atau kekeliruan yang dibuat oleh seseorang atau badan yang mengetahui bahwa
kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan beberapa manfaat yang tidak baik
kepada individu atau entitas atau pihak lain (Ernst & Young LLP, 2009).
Menurut Merriam Webster’s Dictionary of Law (1996) seperti yang dikutip
dalam Viton (2003); Daniel (2013), definisi fraud adalah:
any act, expression, omission, or concealment calculated to deceive another
to his or her disadvantage, specifically, a misrepresentation or concealment
with reference to some fact material to a transaction that is made with
knowledge of it is falsity or in reckless disregard of it is truth or falsity and
woth the intent to deceive another and that is reasonably relied on by the
other who is injured thereby
Sedangkan menurut, Tampubolon (2005) berpendapat, fraud tidak selalu
sama dengan tindak kriminal. Tindak kriminal didefinisikan sebagai an
intentional at that violates the criminal law under which no legal excuse applies
sementara itu fraud didefinisikan sebagai any behavior by which one person gains
22
or intened to gain a dishonest advantage over another. Tindakan fraud dapat
dikatakan sebagai criminal apabila niat atau perbuatan untuk mendapatkan
keuntungan yang tidak jujur tersebut juga sekaligus melanggar ketentuan hukum
misalnya korupsi atau penggelapan pajak. Fraud yang bukan criminal masuk
kategori risiko operasional sedangkan fraud yang sekaligus tindak kriminal masuk
kategori risiko illegal.
Ada pula yang mendefinisikan fraud sebagai tindakan dengan sengaja
menggunakan sumber daya perusahaan dan menyajikan fakta untuk keuntungan
pribadi. Dalam bahasa yang lebih sederhana, fraud adalah penipuan yang
disengaja. Tindakan fraud adalah pembohongan, penipuan, penggelapan, dan
pencurian. Penggelapan disini adalah mengubah asset/kekayaan perusahaan yang
dipercayakan kepadanya secara tidak wajar untuk kepentingan dirinya. Dengan
demikian, perbuatan yang dilakukannya adalah untuk menyembunyikan, menutupi
atau dengan cara tidak jujur lainnya melibatkan atau meniadakan suatu perbuatan
atau membuat pernyataan yang salah dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dibidang keuangan atau keuntungan lainnya atau meniadakan
suatu kewajiban bagi dirinya dan mengabaikan hak orang lain.
Suatu gejala dari penipuan adalah merupakan adanya sinyal atas
kecurangan. Namun, adanya gejala dari penggelapan tersebut tidak berarti bahwa
penipuan ada (Hassink, 2010). Keberadaan terhadap terjadinya kecurangan adalah
suatu panggilan untuk melakukan penyelidikan. Pernyataan Standar Auditing
Internasional (ISAs) harus diikuti ketika diduga adanya suatu penipuan. Ada
beberapa gejala umum yang menyadarkan seorang auditor dalam setiap situasi di
23
mana penipuan mungkin saja terjadi (Laksmana, 2009):
1.
Tidak adanya keseimbangan antara rekening kontrol terhadap akun-akun
terkait.
2.
Melakukan pencatatan terhadap tagihan piutang usaha sebagai piutang dan
mencuri uang tunai yang diterima dan pada melakukan penghapusan tagihan
piutang rekening
3.
Perbedaan pencatatan yang dilaporkan oleh pelanggan.
4.
Adanya kolusi antara pembeli dan penjual untuk memproses pengembalian
uang dan barang untuk tidak dikembalikan
5.
Kurangnya tanggapan permintaan atas konfirmasi yang diterima
6.
Penagihan barang dagangan yang dicuri dimasukkan ke rekening fiktif.
7.
Setiap transaksi tidak memiliki dokumentasi yang tepat.
8.
Memanipulasi catatan penggajian untuk mengalihkan upah, pajak atas gaji,
atau gaji.
9.
Transaksi yang mencurigakan akhir tahun.
10. Kelebihan jam kerja (lembur) yang tidak sah
11. Transaksi dicatat tanpa izin dari manajemen.
12. Kelebihan atas akun rekening pengeluaran atau mengalihkan uang muka
tersebut kepada kepentingan pribadi.
13. Kegagalan untuk memperbaiki kelemahan yang serius di dalam pengendalian
internal.
14. Kurang pembagian dividen kepada investor dari yang seharusnya serta
mengalihkan untuk kepentingan pribadi.
24
15. Pencatatan pada rekening pengeluran tidak sesuai dengan posisi pada akun
karena kurangnya pengawasan
16. Pembayar tagihan palsu diperoleh melalui kolusi dengan pemasok.
17. Balasan tidak jelas atau menghindar untuk melakukan pemeriksaan
18. Tugas yang diberikan kepada karyawan tidak sesuai deskripsi pekerjaan.
Sementara pengertian fraud dalam definisi tersebut adalah (BPK, 2012.):
a) Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan
yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi
orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya,
biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya
dilakukan secara disengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan.
b) Penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa
perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat pada
mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat. Suatu
kerugian timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau penyajian yang
salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta material atau penyajian yang
ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau
bertindak yang merugikannya.
c) Suatu kerugian yang timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau
penyajian yang salah, penyembunyian fakta material atau penyajian yang
ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau
bertindak yang merugikannya.
Dari beberapa definisi atau pengertian fraud (kecurangan) di atas, maka
25
dapat diketahui bahwa pengertian fraud sangat luas dan dapat dilihat pada
beberapa kategori kecurangan. Menurut BPK RI (2008) secara umum, unsurunsur dari kecurangan adalah:
1. Harus terdapat salah pernyataan (misrepresentation);
2. Dari suatu masa lampau (past) atau sekarang (present);
3. Fakta bersifat material (material fact);
4. Dilakukan secara sengaja atau tanpa perhitungan (make-knowingly or
ecklessly);
5. Dengan maksud (intent) untuk menyebabkan suatu pihak beraksi;
6. Pihak yang dirugikan harus beraksi (acted) terhadap salah pernyataan tersebut
7. Yang merugikannya (detriment).
2.1.2.2 Jenis-Jenis Fraud
Menurut Albrecth (dikutip oleh Nguyen, 2008 dalam Daniel 2013), fraud
diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:
1. Embezzlement employee atau occupational fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh bawahan kepada atasan. Jenis
fraud ini dilakukan bawahan dengan melakukan kecurangan pada atasannya
secara langsung maupun tidak langsung.
2. Management fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh manajemen puncak kepada
pemegang saham, kreditor dan pihak lain yang mengandalkan laporan
keuangan. Jenis fraud ini dilakukan manajemen puncak dengan cara
menyediakan penyajian yang keliru, biasanya pada informasi keuangan.
26
3. Invesment scams
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh individu/perorangan kepada
investor. Jenis fraud ini dilakukan individu dengan mengelabui atau menipu
investor dengan cara menanamkan uangnya dalam investasi yang salah.
4. Vendor fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh organisasi atau perorangan yang
menjual barang atau jasa kepada organisasi atau perusahaan yang menjual
barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan organisasi dengan memasang harga
terlalu tinggi untuk barang dan jasa atau tidak adanya pengiriman barang
meskipun pembayaran telah dilakukan.
5. Customer fraud
Merupakan jenis fraud yang dilakukan oleh pelanggan kepada organisasi atau
perusahaan yang menjual barang atau jasa. Jenis fraud ini dilakukan pelanggan
dengan cara membohongi penjual dengan memberikan kepada pelanggan yang
tidak seharusnya atau menuduh penjual memberikan lebih sedikit dari yang
seharusnya.
Sedangkan menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE)
dalam Albretch (dikutip oleh Nguyen, 2008), fraud diklasifikasikan menjadi 5
(lima) jenis.
27
Tabel 2.1
Jenis – Jenis Fraud
Jenis Fraud
Embezzlement
employee atau
occupational fraud
Korban
Karyawan
Pelaku
Atasan
Management fraud
Pemegang
saham, pemberi
pinjaman dan
pihak lain yang
mengandalkan
laporan keuangan
Manajemen
puncak
Manajemen puncak
menyediakan
penyajian yang keliru,
biasanya pada
informasi keuangan.
Individu
Perorangan
Individu yang menipu
investor menanamkan
uangnya dalam
investasi yang salah.
Vendor fraud
Organisasi atau
perusahaan yang
membeli barang
atau jasa
Organisasi atau
perorangan yang
menjual barang
atau jasa
Organisasi yang
memasang harga
terlalu tinggi untuk
barang dan jasa atau
tidak adanya
pengiriman barang
walaupun pembayaran
telah dilakukan.
Customer fraud
Organisasi atau
perusahaan
yang menjual
barang atau jasa
Pelanggan
Organisasi yang
membohongi
penjual dengan
memberikan
kepada pelanggan
yang tidak
seharusnya atau
menuduh penjual
memberikan lebih
sedikit dari yang
seharusnya
Investment scams
Penjelasan
Atasan baik secara
langsung maupun
tidak langsung
melakukan
kecurangan pada
karyawannya.
28
2..2 Fraud Tree
Secara skematis, Association Of Certified Fraud Examiner (ACFE)
menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini
menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam bentuk skema hubungan kerja,
beserta ranting dan anak rantingnya. Occupational tree ini mempunya tiga
cabang utama, yaitu Corruption, Asset Missappropriation dan Fraudulent
Statements
29
The Association Certified Fraud Examiners membagi Fraud (Kecurangan)
dalam 3 (tiga) jenis atau tipologi berdasarkan perbuatan. Association of Certified
Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk
fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam bentuk
30
skema hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya. Occupational tree ini
mempunyai tiga cabang utama, yaitu:
1. Penyimpangan atas aset (Asset Misappropriation)
Asset misappropriation meliputi penyalahgunaan/pencurian aset atau harta
perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk fraud yang paling mudah
dideteksi karena sifatnya yang tangible atau dapat diukur/dihitung (defined
value). Ada beberapa teknik yang bisa digunakan untuk mendeteksi
penyimpangan atas aset.
Namun,
pemahaman
yang
baik
mengenai
pengendalian internal dalam pos-pos adalah teknik terbaik untuk mendeteksi
kecurangan tipe ini.
2. Pernyataan palsu atau salah pernyataan (Fraudulent Statement)
Fraudulent statement meliputi tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau
eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh
keuntungan atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
3. Korupsi (Corruption)
Jenis fraud ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama
dengan pihak lain seperti suap dan korupsi, dimana hal ini merupakan jenis
yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan
hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik
sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Fraud jenis ini sering kali
tidak dapat dideteksi karena para pihak yang bekerja sama menikmati
31
keuntungan (simbiosis
penyalahgunaan
mutualisme).
wewenang/konflik
Termasuk
kepentingan
didalamnya
(conflict
of
adalah
interest),
penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities) dan
pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
2.3. Teori Fraud Triangle
Teori yang mendasar pada penelitian ini adalah fraud triangle theory.
Konsep segitiga kecurangan pertama kali diperkenalkan oleh Cressey (1953).
Melalui serangkaian wawancara dengan 113 orang yang telah di hukum karena
melakukan penggelapan uang perusahaan yang disebutnya “trust violators” atau
“pelanggar kepercayaan”, Cressey (1953) dalam Gagola (2011) menyiimpulkan
bahwa :
Orang yang dipercaya menjadi pelanggar kepercayaan ketika ia melihat
dirinya sendiri sebagai orang yang mempunyai masalah keuangan yang
tidak dapat diceritakannya kepada orang lain, sadar bahwa masalah ini
secara diam-diam dapat diatasinya dengan menyalahgunakan
kewenangannya sebagai pemegang kepercayaan di bidang keuangan dan
tindak-tanduk sehari-hari memungkinkannya menyesuaikan pandangan
mengenai dirinya sebagai seseorang yang biasa dipercaya dalam
menggunakan dan atau kekayaan yang dipercayakan.
Ilustrasi faktor risiko kecurangan dari standar kecurangan yang ada (yakni
SAS 99, ISA 240, TSAS 43) serta oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
dalam Pernyataan Standar AKuntansi No. 70 didasarkan pada teori segitiga
kecurangan yang dicetuskan oleh D.R Cressey pada tahun 1953 dalam Lou and
Wang (2009), Cressey menyimpulkan terdapat kondisi yang selalu hadir dalam
kegiatan
kecurangan
rasionalisasi.
perusahaan
yakni
tekanan/motif,
kesempatan
dan
32
Konsep dari fraud triangle diperkenalkan dalam literatur profesional pada
SAS no. 99, Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit, Cressey
(1953) dalam Skousen e. al. (2009) menyimpulkan bahwa kecurangan secara
umum mempunyai tiga sifat umum. Fraud triangle terdiri dari tiga kondisi yang
umumnya hadir pada saat fraud terjadi, yaitu: pressure, opportunity dan
rationalization (Turner et al., 2003).
1. Pressure
(Tekanan),
yaitu
adanya
insentif/tekanan/kebutuhan
untuk
melakukan fraud. Tekanan dapat mencakup hampir semua hal termasuk gaya
hidup, tuntutan ekonomi dan lain-lain termasuk hal keuangan dan non
keuangan juga
dapat
mendorong seseorang untuk melakukan
fraud,
misalnya tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena tuntutan
pekerjaan untuk mendapatkna hasil yang baik.
2. Opportunity (Peluang), yaitu situasi yang membuka kesempatan untuk
memungkinkan suatu kecurangan terjadi. Para pelaku fraud percaya bahwa
aktivitas mereka tidak akan terdeteksi. Peluang dapat terjadi karena
pengendalian internal yang lemah, manajemen pengawasan yang kurang
baik
dan atau melalui penggunaan posisi. Kegagalan untuk menetapkan prosedur
yang memadai untuk mendeteksi aktivitas fraud juga meningkatkan
kesempatan terjadinya kecurangan. Dari tiga elemen dalam fraud triangle,
kesempatan memiliki kontrol yang paling atas. Organisasi perlu untuk
membangun sebuah proses, prosedur dan kontrol membuat karyawan dalam
posisi tidak dapat melakukan fraud dan yang efektif dapat mendeteksi
aktivitas kecurangan jika hal itu terjadi.
33
3. Rationalization (Rasionalisasi), yaitu adanya sikap, karakter atau serangkaian
nilai-nilai etis yang membolehkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan
tindakan kecurangan atau orang-orang yang berada dalam lingkungan yang
cukup menekan yang membuat mereka merasionalisasi tindakan fraud. Bagi
mereka
yang
umumnya
tidak
jujur
mungkin
lebih
mudah
untuk
merasionalisasi penipuan. Bagi mereka dengan standar moral yang lebih
tinggi itu mungkin tidak begitu mudah. Pelaku fraud selalu mencari
pembenaran secara rasional untuk membenarkan perbuatannya.
Berikut disajikan ringkasan kategori, definisi dan contoh fraud risk factor
berdasarkan fraud triangle theory cressey dalam Skousen et.al (2009) dan
berkaitan dengan financial statement fraud.
Tabel 2.2
Kategori, Definisi, dan contoh Fraud Risk Factor dalam SAS 99 berkaitan
dengan Financial Statement Fraud
Fraud Risk
Factor
Kategori menurut
SAS No. 99
Definisi dan Contoh Faktor Resiko
Financial Stability
Keadaan
yang
menggambarkan
kondisi keuangan perusahaan dalam
kondisi stabil. Contoh faktor resiko:
perusahaan mungkin memanipulasi
laba ketika stabilitas keuangan atau
profitabilitasnya terancam oleh kondisi
ekonomi
External Pressure
Tekanan yang berlebihan bagi
manajemen
untuk
memenuhi
persyaratan atau harapan dari pihak
ketiga. Contoh faktor resiko: ketika
perusahaan menghadapi adanya tren
tingkat ekspektasi para analisis
investasi, tekanan untuk memberikan
kinerja terbaik bagi investor dan
kreditor
yang
signifikan
bagi
perusahaan atau pihak eksternal
34
lainnya.
Personal Financial
Need
Suatu keadaan dimana keuangan
perusahaan turut dipengaruhi oleh
kondisi keuangan para eksekutif
perusahaan. Contoh faktor resiko:
kepentingan
keuangan
oleh
manajemen yang signifikan dalam
entitas, manajemen memiliki bagian
kompensasi yang signifikan yang
bergantung pada pencapaian target
yang agresif untuk harga saham, hasil
operasi, posisi keuangan, atau arus kas
manajemen menjaminkan harta pribadi
untuk utang entitas
Financial Targets
Tekanan berlebihan pada manajemen
untuk mencapai target keuangan yang
dipatok oleh direksi atau manajemen.
Contoh faktor resiko: perusahaan
mungkin memanipulasi laba untuk
memenuhi prakiraan atau tolok ukur
para analis seperti laba tahun
sebelumnya.
Nature of Industry
Berkaitan dengan munculnya risiko
bagi perusahaan yang berkecimpung
dalam industry yang melibatkan
estimasi dan pertimbangan yang
signifikan jauh lebih besar. Contoh
faktor risiko: penilaian persediaan
mengandung risiko salah saji yang
lebih besar bagi perusahaan yang
persediaannya tersebar di banyak
lokasi. Risiko salah saji persediaan ini
semakin meningkat jika persediaan itu
menjadi usang.
Ineffective
Monitoring
Keadaan dimana perusahaan tidak
memiliki unit pengawas yang efektif
memantau kinerja perusahaan. Contoh
faktor resiko: adanya dominasi
manajemen oleh satu orang atau
kelompok
kecil
tanpa
control
kompensasi
tidak
efektifnya
pengawasan dewan direksi dan komite
audit atas proses pelaporan keuangan
dan pengendalian internal dan
sejenisnya
Pressure
Opportunity
35
Rationalization
Organizational
structure
Struktur organisasi yang kompleks dan
tidak stabil. Contoh faktor risiko:
struktur organisasi yang terlalu
kompleks,
perputaran
personil
perusahaan seperti senior manajer atau
direksi yang tinggi
Rationalization
Sikap/rasionalisasi anggota dewan,
manajemen atau karyawan yang
memungkinkan mereka untuk terlibat
dalam
dan/atau
membenarkan
kecurangan
pelaporan
keuangan.
Contoh faktor resiko: jika CEO atau
manajer puncak lainnya sangat tidak
peduli
pada
proses
pelaporan
keuangan, seperti terus mengeluarkan
prakiraan yang terlalu optimistik,
pelaporan keuangan yang curang lebih
mungkin terjadi.
2.4.. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
2.4.1. Definisi Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud)
Definisi financial statement fraud menurut Association Of Certified Fraud
Examiners (ACFE) dalam Rezae (2002) dikutip oleh Rahmanti (2013):
The intentional, delibate, misstatement or omission of material facts or
accounting data which is misleading and when considered with all the
information made available would case the reader to change or alter his or
her judgement or decision.
Definisi financial statement fraud menurut American Institute Certified
Public Accountant (2002) dalam adalah tindakan yang disengaja atau kelalaian
yang berakibat pada salah saji material yang menyesatkan laporan keuangan.
Selain itu, menurut Australian Auditing Standards (AAS), financial statement
fraud merupakan suatu kelalaian maupun salah saji yang disengaja dalam jumlah
tertentu atau pengungkapan dalam pelaporan keuangan untuk menipu para
36
pengguna laporan keuangan (Brennan dan McGrath, 2007) dalam Norbarani
(2012).
Elliott and Willingham (dalam Intal dan Do, 2002), mendefinisikan
financial statement fraud dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya,
financial statement fraud merupakan suatu management fraud yaitu, “the
deliberate fraud committed by management that injures investors and creditors
through materially misleading”. Dengan demikian, istilah management fraud
dan financial statement fraud sering digunakan
secara
bergantian,
namun
secara umum fraud adalah tindakan yang disengaja untuk merugikan pihak lain.
Laporan keuangan palsu dapat digunakan untuk pembenaran dalam menjual
saham, memperoleh pinjaman atau kredit perdagangan dan/atau memperbaiki
kompensasi agerial manusia dan bonus.
Kecurangan laporan keuangan menimbulkan dampak yang besar, yaitu
menciptakan masalah-masalah seperti berikut ini :
1. Merongrong kualitas dan integritas dari proses pelaporan keuangan
2. Membahayakan integritas dan objektivitas profesi audit, khususnya auditor
dan audit perusahaan
3. Mengurangi kepercayaan pasar modal, serta pelaku pasar dalam keandalan
informasi keuangan
4. Membuat pasar modal kurang efisien
5. Keburukan yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi bangsa dan
kemakmuran
6. Mungkin hasilnya mengakibatkan biaya litigasi besar
37
7. Menghancurkan karir para individu yang terlibat dalam penipuan laporan
keuangan seperti sebagai eksekutif puncak dilarang menjabat sebagai dewan
direksi dari setiap publik perusahaan atau auditor yang dilarang dari praktik
akuntansi publik.
8. Penyebab kebangkrutan atau kerugian ekonomi yang besar oleh perusahaan
yang bergerak pada kecurangan pelaporan keuangan
9. Mendorong intervensi regulasi berlebihan
10. Penyebab kebangkrutan perusakan dalam operasi normal dan dugaan kinerja
perusahaan.
Untuk mencegah dampak-dampak yang ditimbulkan akibat adanya
kecurangan laporan keuangan diperlukan suatu teknik untuk mendeteksi adanya
kecurangan laporan keuangan. Pada dasarnya, kecurangan laporan keuangan
dapat di deteksi dengan cara :
1. Analisis vertikal
Analisis vertikal adalah sebuah teknik analisis yang menghubungkan Antara
komponen-komponen laporan keuangan seperti neraca, laporan laba-rugi dan
laporan arus kas yang disajikan dalam presentase. Sebagai contoh, dalam
neraca telah terjadi kenaikan hutang dagang terhadap total hutangnya, yaitu
dari 28% menjadi 50% namun disisi lain, terjadi penurunan persentase biaya
penjualan dari 25% menjadi 22%. Informasi semacam ini dapat digunakan
sebagai dasar pemeriksaan laporan keuangan karena mengindikasikan adanya
kecurangan.
38
2. Analisis Horizontal
Analisis horizontal adalah sebuah teknik untuk menganalisis perubahanperubahan setiap komponen dalam laporan keuangan selama beberapa periode
pelaporan. Sebagai contoh, terdapat informasi bahwa penjualan meningkat
menjadi 85% dan harga pokok penjualannya juga mengalami kenaikan menjadi
150%. Dengan asumsi tidak ada perubahan unsur-unsur dalam penjualan maupun
pembelian, temuan ini dapat menimbulkan sangkaan bahwa telah terjadi
penggelapan, pembelian fiktif atau transaksi illegal lainnya.
3. Analisis Rasio
Analisis rasio merupakan teknik untuk mengukur hubungan Antara nilai itemitem dalam laporan keuangan. Sebagai contoh current ratio, adanya pencurian
kas atau penggelapan uang dapat menurunkan angka rasio.
2.4.2. Pelaku kecurangan laporan keuangan (Financial Statement Fraud)
Kerungan laporan keuangan (financial statement fraud) dilakukan oleh siapa
saja pada level apapun, siapapun yang memiliki kesempatan (Nguyen, 2008).
Menurut, Taylor (2004) dalam Nguyen (2008), terdapat dua kelompok utama
pelaku kecurangan dalam laporan keuangan (financial statement fraud). Urutan
keterlibatan pelaku dijelaskan sebagai berikut:
1. Senior manajemen (CEO, CFO dan lain-lain). CEO terlibat fraud pada tingkat
72%, sedangkan CFO pada tingkat 43%
2. Karyawan tingkat menengah dan tingkat rendah. Karyawan ini bertanggung
jawab pada anak perusahaan, divisi atau unit lain dan mereka dapat melakukan
kecurangan pada laporan keuangan untuk melindungi kinerja mereka yang
39
buruk atau untuk mendapatkan bonus berdasarkan hasil kerja yang lebih
tinggi. (Welss, 2005)
Pelaporan
keuangan
yang
mengandung
unsur
kecurangan
dapat
mengakibatkan turunnya integritas informasi keuangan dan dapat mempengaruhi
berbagai pihak. Selain investor dan kreditor, auditor adalah salah satu korban
financial statement fraud karena mereka mungkin menderita kerugian keuangan
dan/atau kehilangan reputasi (Rezaee, 2002). Oleh karenanya, auditor harus
memahami cara-cara yang ditempuh pihak tertentu dalam melakukan praktik
financial statement fraud. Menurut SAS No.99, financial statement fraud dapat
dilakukan dengan:
1. Fraudulent financial reporting. Definisi dari salah saji yang disengaja atau
kelalaian dalam jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang
didesain untuk merugikan pengguna laporan keuangan.
2. Misappropriation of assets. Penyalahgunaan asset dapat dilakukan dalam
beberapa cara (termasuk menggelapkan penerimaan, mencuri asset berwujud
dan asset tidak berwujud atau menyebabkan organisasi membayar untuk
barang dan jasa yang tidak diterima). Kwok (dikutip oleh Nguyen, 2008 dalam
Norbarani, 2012) menyatakan bahwa penyalahgunaan asset seringkali disertai
dengan pencatatan palsu dalam menyembunyikan fakta bahwa asset yang
hilang tidak langsung menyebabkan penyimpangan akuntansi dalam laporan
keuangan.
Menurut, The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) atau
Asosiasi Pemeriksa Kecurangan Bersertifikat kecurangan laporan keuangan dapat
40
didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk
salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan laporan keuangan didefinisikan oleh AICPA sebagai hal yang
disengaja, salah saji atau penghilangan fakta-fakta material atau data akuntansi
yang menyesatkan dan bila dianggap dengan semua informasi yang telah dibuat
akan menyebabkan pembaca mengubah penilaian atau keputusannya. Kecurangan
ini dapat bersifat finansial atau kecurangan non finansial. Meliputi, tindakan yang
dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan untuk menutupi kondisi
keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial
engineering) dalam penyajian laporan keuangan untuk memperoleh keuntungan
atau mungkin dapat dianalogikan dengan istilah window dressing.
Gravitt (2006) dalam Kurniawati (2012) mengatakan bahwa kecurangan
pada laporan keuangan melibatkan skema berikut:
1. Pemalsuan, perubahan, atau manipulasi catatan keuangan yang material,
dokumen pendukung atau transaksi bisnis;
2. Kelalaian yang disengaja atau misrepresentasi peristiwa, transaksi, rekening
atau informasi penting lainnya dari laporan keuangan yang disusun;
3. Kesalahan yang disengaja pada penggunaan prinsip akuntansi, kebijakan dan
prosedur yang digunakan untuk mengukur, pengakuan, laporan dan
mengungkapkan peristiwa ekonomi dan transaksi bisnis;
4. Kelalaian yang disengaja pada pengungkapan atau penyajian pengungkapan
yang tidak memadai berdasarkan prinsip akuntansi dan kebijakan dan nilai
keuangan yang terkait.
41
2.5. Manajemen Laba (Earning Management).
Earnings management telah dijelaskan secara berbeda oleh para akademisi,
peneliti, praktisi dan badan lain yang terotorisasi (Rezaee, 2002). Schipper (1997)
dalam Rezaee (2002) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi
terhadap proses pelaporan keuangan eksternal untuk memperoleh beberapa
keuntungan pribadi. Earnings management seringkali dilakukan atas intervensi
manajemen. Pernyataan itu sejalan dengan Healy and Wahlen (1999) yang
menyatakan bahwa earnings management terjadi ketika manajer menggunakan
judgment dalam pelaporan keuangan dan melakukan manipulasi transaksi untuk
mengubah laporan keuangan, baik untuk menyesatkan beberapa stakeholders
tentang kinerja perusahaan atau untuk mempengaruhi kontrak yang bergantung
pada angka-angka dalam laporan keuangan.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) memberikan fleksibilitas bagi
manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dalam penyusunan laporan
keuangan. Fleksibilitas inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh manajemen
untuk memilih kebijakan yang dapat menguntungkannya. Scott (2000)
menyatakan bahwa manajemen laba adalah cara yang digunakan oleh manajer
untuk mempengaruhi angka laba secara sistematis dengan cara memilih kebijakan
akuntansi dan prosedur akuntansi tertentu yang bertujuan untuk memaksimumkan
keuntungan manajer dan atau nilai pasar dari perusahaan.
Dasar akrual telah disepakati sebagai dasar penyusunan laporan keuangan
(Wibisono, 2004).
Pemilihan basis akrual sebagai dasar penyusunan laporan
keuangan bertujuan untuk menjadikan laporan keuangan lebih informatif yaitu
42
laporan keuangan yang mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Chaerul (2003)
meyatakan bahwa dalam mengaplikasikan kebijakan akrual digunakan accrual,
defferal dan prosedur alokasi yang bertujuan untuk menyesuaikan beban dan
pendapatan dengan periodenya bukan mengaitkan beban dan pendapatan
berdasarkan atas pengeluaran dan penerimaan kas (cash basis) (Ujiyantho dan
Pramuka, 2007). Oleh karena itu, kebijakan accrual dalam mengaplikasikan
standar akuntansi ini dapat digunakan untuk melakukan manajemen laba.
Tindakan earnings management merupakan cikal bakal terjadinya suatu
skandal akuntansi. Cornett et al. (dikutip oleh Ujiyantho dan Pramuka 2007)
dalam Norbani (2012) menyatakan bahwa tindakan earnings management telah
memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas
diketahui, antara lain Enron, Merck, World Com dan mayoritas perusahaan lain
di Amerika Serikat. Gideon (2005) juga menyatakan bahwa beberapa kasus
yang terjadi di Indonesia, seperti PT. Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk juga
melibatkan pelaporan keuangan (financial reporting) yang berawal dari terdeteksi
adanya manipulasi laba.
Melihat beberapa contoh tersebut, sangat relevan bila dikatakan bahwa
earning management merupakan bagian dari fraud. Financial statement fraud
seringkali diawali dengan salah saji atau manajemen laba dari laporan keuangan
kartal yang dianggap tidak material tetapi akhirnya tumbuh menjadi fraud secara
besar-besaran dan menghasilkan laporan keuangan tahunan yang menyesatkan
secara material (Rezae, 2002). Perilaku manipulasi yang dilakukan manajemen ini
termasuk dalam financial statement fraud. Tindakan manipulasi laba untuk
43
memperoleh outlook perusahaan yang baik dilakukan oleh manajemen
perusahaan. Dalam hubungannya dengan kinerja, laporan keuangan sering
dijadikan dasar untuk penilaian kinerja perusahaan. Oleh sebab itu, manajemen
akan memilih metode tertentu untuk memperoleh laba sesuai dengan target yang
ditentukan. Tindakan manipulasi laba oleh manajemen ini dapat digolongkan
sebagai fraud pada laporan keuangan.
Berbagai fakta dan teori yang telah diuraikan di atas mengindikasikan
bahwa terdapat hubungan erat antara earnings management dan financial
statement fraud. Pernyataan tersebut diperkuat kembali oleh Rezaee (2002) yang
menyatakan bahwa:
Suatu financial statement fraud sering diawali dengan salah saji
atau manajemen laba dari laporan keuangan kuartal yang dianggap tidak
material tetapi akhirnya berkembang menjadi fraud secara besar-besaran
dan menghasilkan laporan keuangan tahunan yang menyesatkan secara
material.
Earning management juga tidak dapat secara langsung dapat diamati.
Sehingga dibutuhkan suatu proksi untuk dapat mengindikasi terjadinya
manajemen laba. Beberapa penelitian, discreationary accruals digunakan sebagai
proksi untuk earning management. Penggunaan discretionary accruals digunakan
sebagai proksi manajemen laba dihitung dengan menggunakan Modified Jones
Model Dechow et.al (dikutip oleh Ujiyantho dan Pramuka, 2007 ; Molida, 2011)
Berdasarkan uraian di atas, sangat relevan bila penelitian untuk mendeteksi
financial statement fraud diproksikan dengan earnings management yang
dilakukan perusahaan karena keduanya memiliki hubungan kausalitas.
44
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang membahas tentang fraud telah banyak dilakukan. Tak jarang
pula penelitian-penelitian mengenai fraud yang dihubungkan dengan cara
pendeteksiannya dan prediksi perusahaan yang melakukan fraud. Berikut ini
adalah beberapa contoh penelitian yang berkaitan dengan fraud.
Turner et.al (2003) menguji dampak dari fraud triangle terhadap proses
audit. Turner et.al (2003) mengembangkan jaringan bukti yang memiliki dua sub
jaringan. Pertama, untuk menangkap resiko dan bukti hubungan untuk audit
laporan keuangan konvensional. Kedua, untuk menangkap hubungan resiko dan
bukti untuk penilaian resiko kecurangan. Jaringan ini menggunakan pendekatan
belief function untuk mengekspresikan ketidakpastian yang terlibat dalam bukti
audit laporan keuangan. Hasil analisis pada penelitian ini mendukung konsep
fraud triangle bahwa dalam tiga komponen dan hubungan antar komponen
terbukti memiliki dampak yang besar pada resiko audit.
Skousen et.al (2009) melakukan penelitian secara empiris yang mengkaji
efektivitas teori Cressey (1953) mengenai kerangka faktor resiko kecurangan yang
diterapkan dalam SAS No.99 untuk mendeteksi kecurangan laporan keuangan.
Menurut teori Cressey, pressure, opportunity dan rationalization selalu hadir
dalam situasi fraud. Skousen et.al mengembangkan variabel yang berfungsi
sebagai ukuran proksi untuk tekanan, kesempatan dan rasionalisasi dan menguji
variabel-variabel ini menggunakan informasi umum yang tersedira. Skousen et.al
(2009) mengidentifikasi lima proksi tekanan dan dua proksi kesempatan yang
secara signifikan berhubungan dengan kecurangan. Skousen et.al (2009) juga
45
menemukan bahwa pertumbuhan asset yang cepat, peningkatan kebutuhan uang
tunai dan pembiayaan eksternal yang secara positif berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya fraud. Kepemilikan saham eksternal dan internal serta
kontrol dewan direksi juga terkait dengan peningkatan insiden kecurangan pada
laporan keuangan. Ekspansi jumlah anggota independen di komite audit,
bagaimanapun juga berhubungan negatif dengan terjadinya kecurangan.
Pengunjian lebih lanjut menunjukkan bahwa variabel yang signifikan jgua efektif
memprediksi kelompok perusahaan yang mengalami fraud dan kelompok
perusahaan yang tidak mengalami fraud.
Dari penelitian-penelitian diatas ditemukan bahwa fraud triangle sebagian
besar digunakan untuk mendeteksi adanya kecurangan pada laporan keuangan.
Beberapa penelitian diatas juga membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab
adanya fraud. Baik faktor internal maupun faktor eksternal perusahaan nyatanya
mempengaruhi terjadinya kecurangan pada laporan keuangan. Penelitian
mengenai kecurangan pada laporan keuangan menggunakan analisis fraud
triangle masih sedikit dilakukan khususnya di Indonesia. Oleh karena itu,
penelitian ini mencoba melakukan pengaruh financial stability, personal financial
need, dan ineffective monitoring terhadap financial statement fraud untuk
mendeteksi terjadinya kecurangan laporan keuangan perusahaan perbankan
menggunakan proksi perubahan total asset, kepemilikan saham dan jumlah komite
audit.
46
Tabel 2.3
Ringkasa Penelitian Terdahulu
No
1.
Peneliti dan
Judul Penelitian
Spathis (2002)
Judul: Detecting
False Financial
Statements Using
Published Data:
Some Evidence
from Greece
2.
Lou dan Wang
(2009)
Judul: Fraud
Risk Factor Of
The Fraud
Triangle
Assessing The
Likelihood Of
Fraudulent
Financial
Reporting
Fraud: The
Effectiveness of
The Fraud
Triangle and
SAS No. 99
3.
Lou dan Wang
(2009)
Judul: Fraud Risk
Factor Of The
Fraud
Triangle
Assessing
The
Likelihood
Of
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
1. Menggunakan sampel
76 perusahaan yang
terdiri dari 38
perusahaan dengan FFS
dan 38 perusahaan nonFFS.
2. Memilih sepuluh
variabel keuangan
yang berpotensi
dapat digunakan
untuk
memprediksi
FFS.
3. Menggunakan
statistic univariate
dan multivariate
seperti regresi
logistic.
1. Mengembangkan
variabel yang berfungsi
sebagai ukuran proksi
untuk tekanan,
kesempatan, dan
rasionalisasi dan
mengujinya.
2. Mengidentifikasi lima
proksi tekanan dan dua
proksi kesempatan yang
secara signifikan
berhubungan dengan
kecurangan
Membuktikan bahwa model
penelitian terbukti akurat
dalam mengklasifikasikan
total sampel dengan tingkat
akurasi melebihi 84 persen.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa model
berfungsi efektif.
Menggunakan sebuah
model
logistik sederhana
berdasarkan contoh faktor
risiko kecurangan ISA
240 dan SAS 99
Menemukan bahwa:
1. Pertumbuhan aset yang
cepat, peningkatan
kebutuhan uang tunai, dan
pembiayaan eksternal yang
secara positif berkaitan
dengan kemungkinan
terjadinya fraud.
2. Kepemilikan saham
eksternal dan internal
serta kontrol dewan
direksi juga terkait
dengan peningkatan
financial statement
fraud.
3. Ekspansi jumlah anggota
independen di komite audit
berhubungan negatif
dengan terjadinya
kecurangan.
Mengindikasikan bahwa
kecurangan pelaporan
berhubungan dengan salah
satu kondisi berikut: tekanan
keuangan dari suatu
perusahaan atau supervisor
perusahaan, rasio yang lebih
47
Fraudulent
Financial
Reporting
4.
Ema Kurniawati
(2012)
Judul:
Analisis
Faktor-Faktor
yang
mempengaruhi
financial statement
fraud
dalam
perspektif
fraud
triangle
Variabel-variabel dari
fraud triangle yang
digunakan adalah
tekanan/motif yang
diproksi dengan
HIGHGR, LOSS, NCFO,
dan LEVERAGE,
kesempatan yang
diproksi dengan RPT%,
dan rasionalisasi yang
diproksi dengan △ CPA.
Indikasi financial
statement fraud pada
penelitian ini
menggunakan restatement
sebagai variabel
independen
5.
Daniel
T.
H.
Manurung
dan
Niki
Hadian
(2013)
Judul: Detection
Fraud of Financial
Statement
with
Fraud Triangle
Variabel-variabel fraud
triangle yang digunakan
adalah tekanan yang
terdiri dari stabilitas
keuangan (AGROW),
tekanan eksternal (LEV),
target keuangan (ROA),
dan efektivitas
pengawasan (BDOUT)
tinggi dari transaksi yang
kompleks suatu perusahaan,
lebih dipertanyakannya
integritas manajer sebuah
perusahaan, atau penurunan
hubungan antara perusahaan
dengan auditornya
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
tekanan/motif yang diproksi
dengan HIGHR, LOSS,
NCFO dan LEVERAGE,
kesempatan yang diproksi
dengan RPT% berpengaruh
signifikan terhadap financial
statement
fraud
dan
rasionalisasi yang diproksi
dengan ∆ CPA tidak
berpengaruh
secara
signifkan terhadap financial
statement fraud.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa :
1. Stabilitas keuangan yang
diproksikan dengan
tingkat pertumbuhan asset
(AGROW) memiliki
pengaruh positif dengan
kecurangan laporan
keuangan,
2. Target keuangan
diproksikan dengan rasio
profitabilitas (ROA)
memiliki hubungan positif
dengan kecurangan
laporan keuangan,
3. Efektivitas keuangan
diproksikan dengan rasio
dewan komisaris
(BDOUT) memiliki
hubungan negatif dengan
kecurangan laporan
keuangan,
4.Tekanan eksternal
48
diproksikan dengan rasio
leverage (LEV) memiliki
hubungan positif dengan
kecurangan laporan
keuangan.
2.7. Kerangka Penelitian
Laporan keuangan perusahaan berperan memberikan informasi keuangan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan
tersebut. Akan tetapi, menurut Collins et.al (1997) Francis dan SChipper (1999)
relevansi nilai informasi akuntansi semakin turun dari waktu ke waktu (Rahman
dan Oktaviana, 2010). Hal ini dibuktikan dalam lebih dari dua decade ini bahwa
kejadian kecurangan laporan keuangan telah meningkat secara substansial
(Rezae, 2002). Peningkatan tersebut memberikan bukti lebih jauh tentang
kegagalan audit yang membawa akibat serius bagi masyarakat bisnis.
Adanya kecurangan laporan keuangan tersebut, menyebabkan informasi
yang terkandung dalam laporan keuangan suda tidak relevan lagi untuk dijadikan
acuan dalam pengambilan keputusan. Tindak kecurangan tersebut pada akhirnya
akan merugikan pengguna laporan keuangan karena informasi yang terkandung
di dalamnya sangat menyesatkan.
Sesuai dengan tujuan penelitian bahwa pendeteksian adanya fraud penting
dilakukan dalam upaya pencegahan perluasan masalah perusahaan. Hal tersebut
dikarenakan terjadinya fraud menandakan rapuhnya manajemen perusahaan
dalam melakukan pengendalian. Pengendalian internal dan eksternal perusahaan
perlu ditingkatkan dalam upaya mencegah terjadinya fraud. Manajemen
perusahaan
perlu
melakukan
tindakan
proaktif
untuk
mencegah
dan
49
menanggulangi terjadinya fraud demi integritas keuangan, reputasi dan masa
depan organisasi.
Secara umum terdapat tiga kondisi umum yang selalu ada pada saat
terjadinya fraud. Ketiga kondisi tersebut yaitu tekanan (pressure), peluang
(opportunity) dan rasionalisasi (rationalization) yang selanjutnya disebut fraud
triangle seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Faktor-faktor tersebut
tidak dapat secara langsung diteliti sehingga diperlukan variabel proksi agar lebih
mudah diteliti. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Skousen et al.
(2009).
Penelitian ini bertujuan mendeteksi adanya financial statement fraud
sebelum akhirnya berkembang menjadi masalah yang merugikan perusahaan.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada faktor risiko
kecurangan oleh Cresey (1953) yang diadopsi dalam SAS No.99 (Skousen et al.,
2009). Faktor-faktor tersebut tidak dapat secara langsung diteliti sehingga
diperlukan variabel proksi agar lebih mudah diteliti (Skousen et al., 2009).
Penelitian ini menggunakan tiga proksi sebagai variabel independen. Hal
tersebut dikarenakan adanya penyesuaian dengan data laporan keuangan
perusahaan yang tersedia. Meskipun praktek manajemen laba ini sulit dideteksi
pada laporan keuangan, dapat digunakan proksi discretionary accruals model.
Pada penelitian ini earnings management dimasukkan sebagai proksi tambahan
untuk variabel dependen dikarenakan proksi ini terkait erat dengan terjadinya
fraud pada laporan keuangan (Rezaee, 2002). Earnings management dapat
digunakan sebagai indikator telah terjadinya fraud pada laporan keuangan.
50
Secara singkat, paradigma penelitian yang dapat digambarkan sesuai
kerangka pemikiran di atas adalah sebagai berikut :
Gambar 1.1
Paradigma Penelitian
Financial Stability
Fina (X1)
Personal Financial Need
(X2)
Financial Statement
Fraud
Ineffective Monitoring
(X3)
Dari definisi sebelumnya, maka hipotesis yang dapat dirumuskan penulis,
yaitu :
H1 : Financial stability berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
H2 : Personal financial need berpengaruh positif terhadap financial statement
fraud
H3 : Ineffective monitoring berpengaruh positif terhadap financial statement
fraud
H4 : Financial stability, Personal financial need, dan Ineffective monitoring
berpengaruh positif terhadap financial statement fraud, baik secara simultan
maupun parsial
51
2.8. Pengembangan Hipotesis
2.8.1. Pengaruh Financial Stability Terhadap Financial Statement Fraud
Ketika suatu
perusahaan berada dalam kondisi stabil maka nilai
perusahaan akan naik dalam pandangan investor, kreditor, dan publik. Menurut
SAS No. 99, manajer menghadapi tekanan untuk melakukan kecurangan laporan
keuangan ketika stabilitas keuangan dan/atau profitabilitas yang terancam oleh
keadaaan ekonomi, industri atau situasi entitas yang beroperasi (Skousen et
al.,2009). Loebbecke dkk (1989) Bell et al. (1991) menunjukkkan bahwa dalam
kasus dimana perusahaan mengalami pertumbuhan yang berada di bawah ratarata
industri,
manajemen
akan
memanipulasi
laporan
keuangan
untuk
meningkatkan prospek perusahaan (Skousen et al., 2009).
Perusahaan berusaha untuk meningkatkan outlook perusahaan yang baik
salah satunya dengan memanipulasi informasi kekayaan aset yang dimilikinya.
Bentuk manipulasi pada laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen
berkaitan dengan pertumbuhan aset perusahaan (Skousen et.al. 2009). Oleh
karena itu, rasio perubahan total aset dijadikan proksi pada variabel financial
stability. Semakin tinggi total aset yang dimiliki perusahaan
menunjukkan
kekayaan yang dimiliki semakin banyak.
Bentuk manipulasi pada laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen
berkaitan dengan pertumbuhan aset perusahaan (Skousen et al., 2009). Oleh sebab
itu, financial stability diproksi dengan persentase perubahan total aset
(ACHANGE). FASB mendefinisikan asset sebagai manfaat ekonomik masa
mendatang yang cukup pasti atau diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu
52
entitas akibat transaksi atau kejadian masa lalu (Sijenius, 2008). Total aset
menggambarkan kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan. Total aset meliputi aset
lancar dan aset tidak lancar.
Tingginya aset yang dimiliki perusahaan menjadi daya tarik bagi investor.
Untuk menarik para investor, manajemen perusahaan tentunya berupaya untuk
menyajikan tampilan perusahaan yang meyakinkan bagi investor. Agar dapat
menampilkan
pertumbuhan
dan
performa
perusahaan
yang
meningkat,
manajemen perusahaan kerapa kali melakukan manipulasi pada laporan keuangan.
Oleh sebab itu, adanya perubahan persentase total aset yang tinggi
mengindikasikan terjadinya manipulasi pada laporan keuangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Skousen et al. (2009) membuktikan bahwa
semakin besar rasio perubahan total aset (ACHANGE) suatu perusahaan maka
probabilitas dilakukannya tindak kecurangan pada laporan keuangan perusahaan
tersebut semakin tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, diajukan hipotesis penelitian
sebagai berikut:
H1 : Variabel financial stability berpengaruh positif terhadap financial statement
fraud
2.8.2. Pengaruh Personal Financial Need Terhadap Financial Statement
Fraud
Beasley (1996), Committee of Sponsoring Organizations (1999), dan Dunn
(2004) menyatakan bahwa ketika eksekutif memiliki peranan keuangan yang
signifikan kuat dalam suatu perusahaan, personal financial need mereka akan
terancam oleh kinerja keuangan perusahaan (Skousen et al., 2009). Sebagian
53
saham yang dimiliki oleh eksekutif perusahaan akan mempengaruhi kebijakan
manajemen dalam mengungkapkan kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu,
variabel personal financial need diproksikan dengan rasio kepemilikan saham
oleh orang dalam.
Kondisi dimana sebagian saham dimiliki oleh manajer, direktur, maupun
komisaris perusahaan, maka secara otomatis akan mempengaruhi kondisi finansial
perusahaan. Kepemilikan sebagian saham oleh orang dalam ini dapat dijadikan
sebagai kontrol dalam pelaporan keuangan (Skousen et al., 2009). Para pemilik
saham pasti akan lebih berhati–hati dalam mengoperasikan perusahaan agar
kondisi keuangan mereka tetap aman. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap
berbagai kebijakan manajerial yang diterapkan dalam perusahaan agar keuangan
mereka tetap aman. Perusahaan dengan komposisi pemilik saham sebagian berasal
dari orang dalam cenderung tidak melakukan fraud.
Saham adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu
perusahaan, dan pemegang saham memiliki hak klaim atas penghasilan dan aktiva
perusahaan. Adanya konsentrasi kepemilikan perusahaan di Indonesia yang
dikendalikan melalui institusi yang berbadan hukum atau holding company,
menurut Clessen et.al. (2000), mengakibatkan tidak terdapat adanya pemisahan
yang jelas antara kepemilikan dan kontrol pada perusahaan go public. Ketika
sebagian saham dimiliki oleh manajer, direktur, maupun komisaris perusahaan,
maka secara otomatis akan mempengaruhi kondisi finansial perusahaan.
Kepemilikan sebagian saham oleh orang dalam ini dapat dijadikan sebagai kontrol
dalam pelaporan keuangan (Skousen et al., 2009). Manajemen perusahan akan
54
lebih bertindak hati-hati dalam menyajikan laporan keuangan. Semakin tinggi
persentase kepemilikan saham oleh orang dalam maka praktek fraud dalam
memanipulasi laporan keuangan semakin berkurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Skousen et al. (2009) membuktikan bahwa
ketika rasio kepemilikan saham oleh orang dalam (OSHIP) dalam suatu
perusahaan rendah maka probabilitas dilakukannya fraud dalam perusahaan
tersebut tinggi.
H2 : Variabel personal financial need berpengaruh positif terhadap financial
statement fraud
2.8.3. Pengaruh Ineffective Monitoring Terhadap Financial Statement Fraud
Ineffective monitoring merupakan pemantauan yang tidak efektif oleh
perusahaan dikarenakan lemahnya sistem komite audit yang dimiliki perusahaan
(Skousen et al., 2009). Beasly et al. (2000), Beasly (1996), Dechow et al. (1996),
dan Dunn (2004) mengamati bahwa perusahaan yang melakukan fraud memiliki
anggota di luar Board of Director (BOD) yang lebih sedikit jika dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak melakukan fraud (Skousen et al., 2009). Skousen
et.al. (2009) menambahkan insiden fraud akan berkurang dengan perusahaan yang
memiliki komite audit. Selanjutnya Beasly et al. (2000) mengatakan bahwa
anggota komite audit yang lebih besar dapat mengurangi insiden fraud (Skousen
et.al 2009). Oleh sebab itu, ineffective monitoring diproksi dengan jumlah komite
audit (BDOUT).
Dewan Komisaris secara luas dipercaya memainkan peranan penting
khususnya
dalam
memonitor
manajemen
tingkat
atas
(Gunarsih
dan
55
Hartadi,2002). Dewan komisaris bertugas untuk menjamin terlaksananya strategi
perusahaan,
mengawasi
manajemen
dalam
mengelola
perusahaan
serta
mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (Forum for Corporate Governance in
Indonesia, 2003). Secara khusus, komisaris independen yang merupakan bagian
dari dewan komisaris sangat berperan dalam meminimumkan manajemen laba
yang merupakan salah satu bentuk financial statement fraud yang dilakukan oleh
pihak manajemen (Andayani, 2010).
Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor
SE-03/PM/2002 (bagi perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN
Nomor KEP-103/MBU/2002 (bagi
BUMN). Komite Audit terdiri dari
sedikitnya tiga orang, diketuai oleh Komisaris Independen perusahaan dengan
dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan memiliki latar
belakang akuntansi dan keuangan. Selanjutnya bahwa dalam pelaksanaan
tugasnya, Komite Audit mempunyai fungsi membantu Dewan Komisaris untuk
(i) meningkatkan kualitas Laporan Keuangan, (ii) menciptakan iklim disiplin dan
pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam
pengelolaan perusahaan, (iii) meningkatkan efektifitas fungsi internal audit (SPI)
maupun eksternal audit serta (iv) mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan
perhatian Dewan Komisaris/Dewan Pengawas. Komite audit memiliki wewenang
untuk mengakses catatan atau informasi perusahaan. Komite audit selalu
melakukan peninjauan terhadap laporan tahunan dan menghadiri pertemuan akhir
dengan auditor eksternal. Oleh sebab itu, jumlah keanggotaan komite audit dapat
mempengaruhi tingkatan terjadinya fraud pada perusahaan.
56
Hasil penelitian dari Skousen et.al (2009) tidak menguatkan bukti bahwa
BDOUT berhubungan dengan financial statement fraud. Penelitian ini mencoba
membuktikan bahwa proksi Komite Audit (BDOUT) berpengaruh positif terhadap
financial statement fraud. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini mengajukan
hipotesis sebagai berikut:
H3 : Variabel ineffective monitoring berpengaruh positif terhadap financial
statement fraud
2.8.3. Pengaruh Financial Stability, Personal Financial Need, dan Ineffective
Monitoring Terhadap Financial Statement Fraud
H4 : Variabel financial stability , personal financial need, dan ineffective
monitoring berpengaruh positif terhadap financial statement fraud
Download