BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Kolorektal Karsinoma kolorektal adalah keganasan pada kolon atau rektum yang berasal dari epitelial. Pada lokasi ini dikatakan tumor ganas apabila sel tumor telah menembus lapisan muskularis mukosa dan mencapai lapisan submukosa (Hamilton et al., 2010). 2.1.1 Klasifikasi Karsinoma Kolorektal Macam-macam karsinoma kolorektal menurut klasifikasi WHO adalah sebagai berikut : (Hamilton et al., 2010) 1. Adenocarcinoma a. Cribriform comedo-type adenocarcinoma b. Medullary carcinoma c. Micropapillary carcinoma d. Mucinous carcinoma e. Serrated adenocarcinoma f. Signet ring cell carcinoma 2. Adenosquamous carcinoma 3. Spindle cell carcinoma 4. Squamous cell carcinoma 5. Undifferentiated carcinoma (Hamilton et al., 2010). 2.1.2 Epidemiologi Karsinoma kolorektal merupakan keganasan ketiga tersering pada laki-laki dan perempuan sebanyak 12 % dari seluruh kasus di seluruh dunia dengan kasus baru sebanyak 8.5 % per tahun. Secara menyeluruh, KKR merupakan penyebab kematian urutan empat akibat kanker sebanyak 8 %. Sekitar 60 % kasus terjadi di negara Eropa/Amerika dengan perbedaan sebanyak 20 kali lipat dibandingkan dengan negara-negara Asia dan Afrika. Namun selama akhir dekade ke-20 telah terjadi penurunan insidens dan mortalitas di negara-negara tersebut. Sebaliknya terjadi peningkatan insidens secara cepat pada negara-negara Asia. Hal ini diperkirakan akibat pengaruh gaya hidup Barat (Jemal et al., 2010). Di Indonesia belum tersedia angka yang pasti berapa insidens karsinoma kolorektal namun dari data Badan Registrasi Kanker Indonesia (2010) menunjukkan bahwa kanker kolorektal menempati urutan ketiga sebanyak 2.450 kasus (9,89 %) dari seluruh kejadian kanker di Indonesia. Angka ini agaknya insiden minimal karena ada kasus yang tidak dilaporkan atau pasien tidak berobat ke rumah sakit. Berdasarkan registrasi Patologi Indonesia tahun 2010 pada laki-laki 1.278 kasus, pada perempuan 1.172 kasus (DitjenYanMed, 2010). 2.1.3 Etiologi Faktor predisposisi genetik dan penyakit inflamasi usus kronik / inflammatory bowel disease (IBD) memiliki pengaruh klinik langsung. Faktor risiko kuat lainnya adalah usia, karena KKR terutama terjadi pada usia paruh baya dan lanjut (Homick dan Odze, 2011). Beberapa gen telah diketahui menyebabkan KKR dan yang telah dipahami adalah 2 kelompok sindrom yang bersifat dominan autosomal, yaitu Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colon Cancer (HNPCC). Pada FAP terjadi mutasi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) pada kromosom 5 sedangkan pada HNPCC/sindrom Lynch mutasi ditemukan pada gen hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2 dan hMSH6. Penyakit inflamasi kronik usus merupakan faktor etiologi signifikan pada terjadinya KKR. Risiko tertinggi tergantung pada lamanya paparan (lebih dari 8 – 10 tahun), terjadi pada usia muda (early onset) dan manifestasi luas (pankolitis). Kolitis ulseratif sebagai lesi premaligna merupakan faktor risiko mayor meningkatkan risiko terjadinya KKR sampai 20 kali lipat di atas normal. Pada penyakit Crohn risiko KKR meningkat sebanyak 3%. Konsumsi alkohol, penggunaan aspirin dan obat anti inflamasi non steroid, terapi hormonal, merokok, kurang aktivitas fisik, obesitas, riwayat kolesistektomi, IBD serta riwayat keluarga juga merupakan faktor risiko terjadinya KKR walaupun terdapat angka yang bervariasi pada penelitian berbeda (Fenoglio, 2009). 2.1.4 Lokasi Umumnya KKR berlokasi pada kolon sigmoid dan rektum, namun terdapat bukti bahwa terjadi perubahan lokasi dengan meningkatnya proporsi karsinoma pada bagian yang lebih proksimal (Hamilton et al., 2010). 2.1.5 Gejala klinik Gejala klinik tergantung pada lokasi tumor dan derajat lesi saat diagnosis. Gejala awal biasanya tidak khas dan sebanyak 5 – 20 % pasien dapat tetap asimptomatik terutama bila identifikasi tumor melalui skrining. Perdarahan peranum terjadi pada 50 % kasus dan 70 % lesi sisi kiri. Kadang-kadang perdarahan samar dan hanya termanifestasi oleh adanya anemia defisiensi besi. Nyeri abdomen terjadi pada kira-kira 50 % kasus dan cenderung lebih banyak pada kanker kolon daripada kanker rektum. Nyeri sering terjadi pada tahap lanjut di mana tumor telah menginvasi serosa atau jaringan sekitarnya (Fenoglio, 2009) 2.1.6 Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan evidence base, sampai saat ini terdapat 3 macam pemeriksaan penunjang yang terbukti efektif dalam mendiagnosis KKR, yaitu enema barium, endoskopi dan CT-pneumokolon. Tingkat akurasi pemeriksaan tersebut sangat tergantung pada persiapan kolon yang baik. Jenis endoskopi yang sangat efektif dan sensitif dalam mendiagnosis KKR adalah kolonoskopi karena memberi sensitivitas 95% dalam mendiagnosis KKR atau polip, sekaligus berfungsi sebagai alat diagnostik melalui biopsi dan terapi pada polipektomi. Gambaran klasik yang ditemukan adalah massa dengan tepi meninggi dengan ulserasi sentral. Lesi pada kolon sisi kanan dapat terlewatkan pada pemeriksaan endoskopi ( Jass, 2007). 2.1.7 Derajat Diferensiasi Karsinoma Kolorektal Derajat diferensiasi (grading) terutama berdasarkan perbandingan area gambaran glanduler dengan area solid atau kelompok sel-sel tanpa lumen. Derajat keganasan dibedakan menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. Menggunakan sistem ini, kira-kira 10% adenokarsinoma adalah berdiferensiasi baik, 70% diferensiasi sedang dan 20% diferensiasi buruk. Diferensiasi baik jika menunjukkan struktur glanduler pada lebih dari 95 % tumor, berbentuk simpel atau kompleks dengan polaritas sel baik dan inti sel yang relatif uniform (Gambar 2.1 A); diferensiasi sedang jika memiliki 50 – 95 % struktur glanduler dengan bentuk yang lebih ireguler dan polaritas inti yang berkurang (Gambar 2.1 B); diferensiasi buruk jika memiliki 5 – 50% struktur glanduler yang ireguler dan kehilangan polaritas inti sel; dan sel tumor yang tidak berdiferensiasi memiliki kurang dari 5% struktur glanduler (Hamilton et al., 2010) (Gambar 2.1 C). Gambar 2.1. Tipe diferensiasi karsinoma kolorektal. A. Diferensiasi baik. B. Diferensiasi sedang. C. Diferensiasi buruk (dikutip dari Fenoglio, 2009) Derajat keganasan ini hanya diaplikasikan pada KKR no otherwise specify (NOS). Adenokarsinoma musinosum dan sel cincin dianggap memiliki diferensiasi buruk dan adenokarsinoma meduler termasuk dalam derajat 4 (tidak berdiferensiasi) (Fenoglio, 2009). Bila terdapat berbagai diferensiasi pada KKR, derajat keganasan ditentukan berdasarkan komponen diferensiasi yang paling buruk (Hamilton et al., 2010; Fenoglio, 2009). 2.1.8 Stadium Patologik Stadium patologik (pathologic staging) merupakan prediktor yang paling penting untuk menentukan perangai tumor dan outcome pasien dengan KKR. Sistem staging yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem TNM dari American Joint Committee on Cancer (AJCC) berdasarkan evaluasi terhadap tumor (T), keterlibatan kelenjar getah bening (N) dan metastasis jauh (M) (Fenoglio, 2009). Ukuran dan kedalaman invasi tumor primer ditunjukkan oleh komponen T. Perluasan invasi tumor melewati muskularis propria berpengaruh kuat terhadap prognosis. Tumor yang melewati muskularis propria dapat menyebabkan perforasi peritoneum atau menginfiltrasi struktur viseral sekitarnya (Fenoglio, 2009). Komponen N menunjukkan keterlibatan tumor pada kelenjar getah bening regional. Jumlah total kelenjar getah bening merupakan penentu penting untuk adekuasi pemeriksaan histopatologik. Jumlah kelenjar getah bening positif bergantung pada jumlah yang diperiksa. Disarankan untuk mencari dan memeriksa kelenjar getah bening sebanyak-banyaknya (Fenoglio, 2009). Menurut klasifikasi TNM, : Nx : Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai. N0 : Tidak tampak metastase ke kelenjar getah bening regional. N1 : Metastase pada 1 sampai 3 kelenjar getah bening regional. N1a : Metastase pada 1 kelenjar getah bening regional. N1b : Metastase pada 2 sampai 3 kelenjar getah bening regional. N1c : Infiltrasi sel tumor, antara lain : satelit-satelit pada lapisan subserosa, atau non-peritonealized pericolic atau jaringan lunak perirektal tanpa metastase pada kelenjar getah bening regional. N2 : Metastase pada 4 atau lebih kelenjar getah bening regional. N2a : Metastase pada 4 sampai 6 kelenjar getah bening regional. N2b : Metastase pada 7 atau lebih kelenjar getah bening regional (Hamilton et al., 2010). Komponen M menggambarkan metastase. M0 menunjukkan tumor tidak meluas ke organ lain, dan M1 menunjukkan tumor telah meluas ke organ lain di dalam tubuh (Hamilton et al., 2010). Tabel 2.1. Stadium patologik karsinoma kolorektal menurut Dukes (Weber, 2007) 2.1.9 Karsinogenesis Karsinoma Kolorektal Penelitian histologi menyatakan konsep kebanyakan tumor kolorektal berkembang dari epitel normal kemudian diikuti peningkatan derajat displasia adenomatous dan akhirnya menjadi karsinoma. Adenoma merupakan displasia bukan merupakan massa maligna pada kolon dengan karakteristik pada ukurannya, tipe histologiknya, dan displasianya. Gambar 2.2. Paradigma karsinoma kolorektal, urutan adenoma menjadi karsinoma dan hubungan onkogen dengan tumor suppressor gen (Macdonald, 2004). Tumor jinak kolon terbagi atas 3 bentuk histopatologi yaitu adenomata, hamartoma, dan polip hiperplastik. Secara patogenetik, bentukan tumor ini dapat dibedakan masing-masing yaitu: Adenomata merupakan awal mutasi germline pada adenomatous polyposis coli, kemudian mengalami progresi menjadi kanker yang invasif. Jalur alternative berasal dari polip hamartomatous. Karakteristiknya berupa tumor single, pedunculated, dan dominan lokasinya di daerah rektosigmoid. Serrated neoplasia (terdiri dari polip hiperplastik dan sessile serrated adenomata) kemungkinan tidak potensial menjadi maligna. Polip hiperplastik lokasinya sering di kolon distal dan rectum (Weber, 2007). Sebagian besar KKR berkembang dari adenoma sebagai lesi prekursornya. Adenoma ini dapat terjadi secara sporadik atau sebagai bagian dari sindroma poliposis. Karsinoma kolorektal juga dapat berkembang dari area displastik dari pasien dengan IBD. Karsinogenesis KKR merupakan salah satu jenis kanker yang paling banyak diteliti secara mendalam. Setidaknya terdapat 3 jalur karsinogenesis yang telah dikenal luas, yaitu jalur instabilitas kromosom / chromosomal instability (CIN), jalur instabilitas mikrosatelit / microsatellitte instability (MSI), dan jalur metilasi / CpG island methylator phenotype (CIMP) (Antonia, Dara, dan Aisner, 2010). Jalur CIN terjadi pada karsinoma kolorektal sporadik (85%) dan herediter (10%) yang dikenal sebagai urutan adenoma-karsinoma yang diperkenalkan oleh Fearon dan Volgenstein pada tahun 1990 dengan mengemukakan mekanisme transisi epitel normal kolorektal menjadi karsinoma. Lesi awal yang dapat diidentifikasi disebut sebagai fokus kripta aberant / aberrant crypt focus, yaitu suatu lesi mukosal mikroskopik yang mendahului perkembangan polip. Pada model ini, terjadinya karsinoma kolorektal melalui proses perubahan molekuler yang bertahap, sekurang-kurangnya melewati 4 kali mutasi gen dalam urutan tertentu. Tahap pertama adalah mutasi pada gen APC (kromosom 5q) yang menyebabkan sel kehilangan kontrol pertumbuhan. Tahap kedua adalah aktivasi onkogen KRAS yang menyebabkan sel kehilangan fungsi kontrol proliferasi, dan diikuti oleh tahap ketiga, yaitu inaktivasi gen DCC/SMAD4 (kromosom 18q), mutasi gen p53 (kromosom 17p) dan TGFBR2 serta aberant E-cadherin yang pada akhirnya terjadi kanker (Roberts et al., 2011). APC merupakan tumor supressor gen yang terlibat pada jalur CIN. Umumnya pada mutasi gen APC terjadi trunkasi protein APC pada gugus karboksil sehingga APC tidak dapat berikatan dengan protein beta catenin. Dalam keadaan normal, ikatan APC dengan beta catenin akan menekan jalur sinyal WNT. Jalur sinyal WNT berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, apoptosis dan diferensiasi. Mutasi APC ditemukan pada 60 % kanker kolon dan 82 % kanker rektal serta 80 % adenoma (Takayama, 2006). KRAS (12p12) merupakan gen yang terlibat pada jalur CIN namun berperan pula pada jalur CIMP. Aktivasi mutasi KRAS terjadi pada 35 – 42 % karsinoma kolorektal dan adenoma. Kehilangan alel pada DCC, SMAD2 dan SMAD4 yang berlokasi pada kromosom 18q21.1 ditemukan pada 60 % karsinoma kolorektal. SMAD2 dan SMAD4 terlibat pada jalur sinyal TGF-β yang mengatur pertumbuhan dan apoptosis. Kehilangan fungsi TP53 umumnya merupakan peristiwa terakhir pada transisi adenoma – karsinoma melalui jalur CIN. Abnormalitas TP53 ditemukan pada 4 – 26 % adenoma, 50 % adenoma dengan fokus invasif, dan 50 – 75% karsinoma kolorektal. Protein p53 berperan dalam mengatur siklus sel dan apoptosis. Mutasi pada E-Cadherin lebih berhubungan dengan kemampuan metastase tumor kolorektal (Antonia, Dara, dan Aisner, 2010). Jalur karsinogenesis yang lain adalah progresi IBD menjadi neoplasma. Pasien dengan IBD mempunyai risiko peningkatan displasia dan karsinoma kolorektal sebesar 0,5-1.0% dalam waktu 8-10 tahun. Diduga hal ini mempunyai kaitan yang kuat dengan kolitis kronis yang berkepanjangan. Mekanisme karsinogenesis pada IBD sebenarnya menyerupai yang terjadi pada karsinoma kolorektal yang sporadik tapi berbeda pada waktu terjadinya perubahan molekuler. Selama periode kolitis kronis terjadi aktifasi NF-ĸB pada epitel. NFĸB ini akan mengaktivasi COX2, beberapa sitokin proinflamasi (termasuk IL-1, TNFα, IL-12p40 dan IL-23p19), faktor antiapoptosis / inhibitor of apoptotic protein (IAP), dan B-cell leukemia/lymphoma (Bcl-xL)). Prostaglandin dan beberapa sitokin termasuk IL-6 dilepaskan kelingkungan inflamasi dan mengaktifkan jalur signaling intraselular serinine threonine AKT kinase yang menghambat faktor proapoptotik termasuk p53 dan BAD yang akhirnya meningkatkan masa hidup sel. Instabilitas genetik seperti CIN dan MSI juga terjadi pada karsinogenesis yang berkaitan dengan inflamasi. Mutasi APC terjadi 14-33% pada karsinogenesis inflamasi tapi pada karsinogenesis sporadik mencapai 80% dan terjadi pada awal proses karsinogenesis. Mutasi p53 terjadi pada fase displasia hal ini disebabkan terjadinya kerusakan inflamasi yang berhubungan dengan reaksi oksidasi dari radikal bebas. Semua jalur karsinogenesis ini akan menghasilkan replikasi yang tak terkendali dari sel tumor (Antonia, Dara, dan Aisner, 2010). Gambar 2.3. Jalur molekuler yang berhubungan dengan karsinogenesis kolon. 4 kelompok dasar patogenetik kanker kolon (Weber, 2006) Dasar patogenetik kanker kolon terdiri dari 4 kelompok yaitu : hereditary non-polyposis colorectal cancer (HNPCC), yang ditandai oleh urutan microsatellite instability, familial adenomatous polyposis coli (FAP), dimana jalurnya berhubungan dengan terjadinya ketidaksempurnaan dan ketidakstabilan kromosom pada APC, kanker yang disebabkan oleh mutasi RAS, dan kanker dengan CpG island methylator phenotype (CIMP). Mekanisme ini tidak eksklusif satu sama lainnya dan dapat saling menjelaskan satu sama lainnya (Weber, 2006). 2.2 HER-2/neu 2.2.1 Struktur HER-2/neu Gambar 2.4. Struktur protein HER2 dan Neu. Struktur utama terdiri dari : 2 ligand bindings (LD1 dan LD2), 2 cystein rich (CR1 dan CR2), transmembran pendek (TM), catalytic tyrosine kinase (TK), dan carboxy terminal tail (CT). 2.2.2 Fungsi Sinyal HER-2/neu HER-2/neu merupakan onkogen yang termasuk dalam golongan famili gen EGFR atau erb berlokasi di kromosom 17q12-q21. Gen HER-2/neu ini menyandi suatu transmembran, HER-2/neu. Protein ini termasuk famili protein reseptor kinase klas I yang paling banyak diekspresikan pada sel-sel epithelial. Overekspresi protein ini pada sel-sel epithelial akan mempengaruhi regulasi proses proliferasi sel, proses apoptosis, proses motilitas dan adesi sel (Fritz, 2005). Yang termasuk family ini adalah EGFR, HER-2/neu, HER-3, dan HER-4. Keempat protein ini memiliki struktur yang mirip satu sama lainnya, yaitu terdiri dari extracellular ligand-binding domain yang mengandung cysteine-rich region, intracellular juxtamembrane yang pendek, tyrosine kinase domain dan carboxy tail yang mengandung tyrosine phosphorilation site. Aktivasi dari salah satu reseptor ini akan memicu pembentukan homodimer atau heterodimer, selanjutnya akan terjadi fosforilasi satu sama lainnya yang diikuti dengan ikatan dengan molekul-molekul yang terlibat dalam proses signal transduksi berikutnya (Roskoski, 2004). Pada mamalia, ligan yang berikatan dan mengaktivasi EFGR diantaranya Epidermal Growth Factor (EGF), TGF-α, heparin-binding EGF-like growth factor (HB-EGF), amphiregulin, betacellulin, epiregulin, dan epigen. Ligan yang mengaktivasi HER-4 diantaranya HB-EGF, betacellulin, dan epiregulin. Neuregulin merupakan protein yang dapat mengaktivasi EFGR dan HER-3. Sampai saat ini belum diketahui adanya molekul yang dapat mengaktivasi HER2/neu dan HER-3 mempunyai aktivitas tirosin kinase yang defektif. Meskipun demikian, heterodimer HER-2/HER-3 akan menimbulkan modul transduksi signal yang sangat poten dari sepasang reseptor yang secara tunggal merupakan reseptor yang inaktif. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel kanker yang menunjukkan overekspresi dari HER-2/neu, dimerisasi reseptor terjadi secara spontan karena adanya molekul dalam jumlah yang banyak. Pada sel kanker payudara dan ovarium yang menunjukkan overekspresi HER-2/neu memiliki level fosforilasi tirosin basal yang tinggi. Famili reseptor tirosin kinase ini berperan pada berbagai proses pada sel neoplastik, termasuk proliferasi, migrasi, angiogenesis, invasi stromal, dan resistensi terhadap apoptosis (Kumar et al., 2010). Pensignalan HER-2/neu akan menginduksi ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), suatu faktor proangiogenik, yang dimediasi oleh Hypoxia-inducible factor (HIF-1). HER-2/neu menghambat apoptosis yang diinduksi oleh Tumor Necrosis Factor (TNF) melalui jalur Akt/NF-kB. Semua perubahan diatas mempengaruhi laju pertumbuhan tumor, dan laju pertumbuhan tumor berhubungan dengan derajat diferensiasi tumor (Kumar et al., 2010). 2.2.3 Overekspresi HER-2/neu pada Kanker Peningkatan ekspresi HER-2/neu telah ditemukan pada berbagai kanker manusia dimana HER-2/neu berperan pada pertumbuhan sel tumor. Pada kebanyakan kasus, overekspresi ini disebabkan karena amplifikasi gen. Pada karsinoma kolorektal ditemukan perbedaan peningkatan overekspresi HER-2/neu antara 0 sampai 83% (Schuell et al.,2006). Overekspresi HER-2/neu dapat dinilai dengan metode immunohistokimia atau FISH, dan kedua metode tersebut memiliki korelasi yang baik (Rosai, 2004). Ekspresi HER-2/neu pada karsinoma kolorektal berbeda dengan karsinoma payudara dimana overekspresi HER-2/neu telah terbukti merupakan faktor prognostik independen. Kasus karsinoma payudara berkorelasi dengan prognosis yang jelek, menunjukkan ekspresi reseptor estrogen dan progesterone yang kurang, serta tidak berespon terhadap terapi hormonal. Peningkatan level HER2/neu sirkulasi terhadap pasien karsinoma payudara dengan metastasis berkorelasi dengan berkurangnya efikasi terhadap kemoterapi. Pemeriksaan immunohistokimia HER-2/neu sudah merupakan suatu prosedur standar pada kasus karsinoma payudara. Pada kasus karsinoma kolorektal, korelasi antara overekspresi HER-2/neu dengan prognosis masih kontroversial. Seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran, telah dikembangkan pula suatu metode terapi dengan target HER-2/neu. Dengan teknik rekombinan, trastuzamab, suatu monoclonal IgG1 class humanized murine antibody yang secara spesifik berikatan dengan bagian ekstraseluler dari HER-2/neu telah dikembangkan. Terapi ini awalnya diberikan pada pasien kanker payudara yang relaps dengan overekspresi protein HER-2/neu. Pada perkembangannya, trastuzamab menjadi pilihan terapi yang penting pada setiap kanker payudara dengan HER-2/neu yang positif (Clifford, 2007).