BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nasib suatu obat dalam tubuh tidak dapat kita tentukan, oleh karena itu penghantaran agen terapi ke daerah target merupakan kunci keberhasilan dalam treatment suatu penyakit. Sistem penghantaran secara konvensional memiliki kelemahan seperti efektivitas kurang optimum, biodisribusi yang buruk dan tidak selektif pada daerah target (Nevozhay dkk., 2007). Untuk itu dibutuhkan suatu sistem penghantaran obat yang tertarget. Sistem penghantaran obat yang tertarget memiliki manfaat lebih dibandingkan dengan sistem konvensional karena obat dapat ditransportkan menuju daerah aksi secara spesifik sehingga dapat meningkatkan keamanan dan efikasi obat (Hillery dkk., 2001). Nanoteknologi membuka banyak peluang besar dalam pengembangan berbagai macam strategi penghantaran obat. Nanopartikel (molekul yang berukuran <100nm) mendapatkan perhatian lebih karena dengan mengoptimasi sifat fisika-kimia serta biologisnya dapat digunakan sebagai drug delivery atau carrier berbagai macam agen terapi dan lebih mudah mencapai level seluler (Suri dkk., 2007; Wilczewska dkk., 2012). Selain itu, nanopartikel juga dapat digunakan sebagai sistem penghantaran obat tertarget (Nevozhay dkk., 2007). Pembuatan sistem penghantaran tertarget nanopartikel dapat dilakukan dengan reaksi konjugasi untuk menambatkan permukaan nanoparikel dengan 1 2 molekul penarget yang dapat memfasilitasi penghantaran obat secara khusus menuju sel target (Lammers dkk., 2012; Marcucci & Lefoulon, 2004) seperti, protein (antibiodi), asam nukleat, atau ligan lainnya (peptida, vitamin, karbohidrat) (Peer dkk., 2007). Nanopartikel yang terkonjugasi dengan monoklonal antibodi menjadi salah satu pilihan untuk terapi kanker (Scott dkk., 2012). Keberhasilan reaksi konjugasi tergantung pada gugus fungsional reaktif dari reagen pengkonjugasi maupun dari molekul target. Jika salah satu tidak memiliki gugus fungsional reaktif, atau jika keduanya tidak kompatibel maka reaksi konjugasi tidak akan berhasil (Hermanson, 1996). Reagen yang umum digunakan dalam konjugasi misalnya haloasetil, imidoester, dan karbodiimida jika gugus fungsional molekul target yang akan dikonjugasikan berturut-turut adalah sulfidril, amina dan karboksilat (Wong, 2000). Pektin merupakan polimer yang umum digunakan dalam formulasi nanopartikel karena memiliki sifat biodegradabel dan tidak toksik (Sriamornsak, 2001; Raj dkk, 2012; Mardiyati dkk., 2012). Komponen utama penyususn pektin adalah asam D-galakturonat (GalA) yang mengandung gugus karboksilat (Mukhiddinov, 2000 ; Sriamornsak, 2001). Pektin yang diformulasikan menjadi nanopartikel dapat dikonjugasikan dengan protein penarget untuk menghasilkan suatu sistem penghantaran obat yang tertarget. Menurut Carter dan Ho pada tahun 1994, BSA sering digunakan sebagai model protein karena mudah diperoleh. BSA tersusun dari 583 unit asam amino dengan jumlah asam amino kedua terbanyak adalah lisin yaitu 59 unit (Peters, 3 1995). Asam amino lisin yang memiliki rantai samping gugus amina dan Nterminal asam amino secara umum merupakan gugus fungsional penyusun protein yang menjadi sasaran untuk modifikasi molekul (Wong, 2000). EDAC merupakan senyawa golongan karbodiimida yang mampu mengkonjugasikan gugus amina pada asam amino dengan gugus karboksilat molekul lain dengan membentuk ikatan amida. Selain bergantung pada gugus fungsional reaktif yang bereaksi, keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan oleh kondisi sistem pada saat reaksi berlangsung, misalkan pemilihan pH medium, waktu dan suhu reaksi, serta konsentrasi pereaksi yang digunakan. Analisis hasil reaksi konjugasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain size-exclusion kromatografi, gel elektroforesis dan x-ray. Pada akhir penelitian ini diharapkan dapat diketahui keberhasilan reaksi konjugasi antara pektin dengan BSA secara kualitatif kemudian dapat diketahui pula perbandingan pereaksi serta waktu optimal yang diperlukan untuk reaksi konjugasi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan yang mempermudah dalam pengembangan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat tertarget. B. Rumusan Masalah a. Apakah pektin dapat dikonjugasikan dengan BSA menggunakan katalis EDAC? b. Apakah perubahan perbandingan pereaksi berpengaruh terhadap efektivitas konjugasi pektin dengan BSA dengan katalis EDAC pada suhu 4 °C ? 4 c. Apakah perbedaan lama reaksi berpengaruh terhadap efektivitas konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4 °C? d. Apakah hasil reaksi konjugasi pektin dengan BSA dengan katalis EDAC dapat dianalisis secara kualitatif menggunakan metode Poliakrilamid Gel Elektroforesis (PAGE) ? C. Tujuan penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk melakukan konjugasi low methoxyl pektin dengan BSA dan analisa kualitatif hasilnya menggunakan katalis EDAC. 2. Tujuan Khusus a. Melakukan konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC. b. Mengetahui perbandingan pereaksi optimum dalam konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4 °C. c. Mengetahui waktu reaksi optimum dalam reaksi konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4 °C. d. Memperoleh metode analisis poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE) yang tepat untuk mengevaluasi hasil reaksi konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC secara kualitatif. 5 D. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai reaksi konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC, mengetahui perbandingan pereaksi dan waktu reaksi optimal dalam reaksi konjugasi serta mengetahui informasi mengenai metode analisis kualitatif yang tepat untuk mengevaluasi hasil konjugasi yang dapat menjadi dasar pengembangan nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat tertarget. E. Tinjauan Pustaka 1. Bovine Serum Albumin (BSA) Bovine serum albumin (BSA) sering digunakan sebagai model untuk studi fisika-kimia protein karena merupakan polipeptida yang mudah tersedia (Carter & Ho, 1994). BSA merupakan suatu protein globular yang tersusun dari dua puluh asam amino esensial dalam struktur yang terdiri dari 583 unit dengan asam amino terbanyak pertama yaitu leusin ( 60 unit) dan yang kedua yaitu lisin (59 unit) (Peters, 1995). Asam amino lisin yang memiliki rantai samping gugus amina dan N-terminal asam amino secara umum merupakan gugus fungsional penyusun protein yang menjadi sasaran untuk modifikasi molekul (Wong, 2000). Berat molekul BSA adalah 66500 Da (Peters, 1995; Gonzalez-Flecha dkk., 2003). BSA sangat mudah larut dalam air dan hanya dapat diendapkan menggunakan garam netral yang memiliki konsentrasi tinggi seperti 6 ammonium sulfat. Kestabilan larutan BSA sangat baik, terlebih jika disimpan dalam keadaan beku (Rani, 2012). Albumin akan mengalami koagulasi oleh pemanasan (Lewis, 1993). Ketika dipanaskan pada suhu 50⁰ C atau lebih, albumin akan segera membentuk agregat hidrofobik yang tidak dapat kembali ke bentuk monomernya walaupun telah didinginkan (Sigma, 2000). BSA memiliki kisaran Isoelectric Point (pI) antara pH 4,7 sampai 5,2 (Kongraksawech dkk., 2007) dan transformasi konformasi proteinnya dipengaruhi oleh perubahan pH seperti yang terlihat pada Gambar 1. pH 2 pH 3,5 Perubahan F-E pH 4,5 hingga pH 7 Perubahan N-F Konformasi natif (N) Perubahan N-B pH 9 pH 11,5 Perubahan B-E Gambar 1. Transformasi konformasi BSA oleh perubahan pH (Foster dkk., 1977; Michnik dkk., 2005; Yamasaki dkk., 1990) Pada pH antara 4,5 dan 7, BSA berada pada bentuk native (N). Penurunan pH dari 4,5 hingga 3,5, mengubah secara reversibel bentuk native (N) menjadi bentuk fast (F) yang berarti dapat bermigrasi secara cepat pada gel elektrofosresis. Penurunan kembali pH dari 3,5 hingga 2, mengubah konformasi menjadi bentuk expanded (E). Ketika pH dinaikkan dari 7 hingga 9, bentuk N akan berubah menjadi bentuk basic (B) dan selanjutnya menjadi bentuk E jika pH terus dinaikkan. Konformasi native (N) merupakan bentuk paling kompak/padat, sedangkan bentuk expanded (E) merupakan struktur yang paling terbuka (Foster, 1977; Michnik dkk., 2005; Yamasaki dkk., 1990). 7 Albumin memiliki rongga hidrofobik yang dapat mengikat asam lemak, bilirubin, hormon dan obat (Putnam, 1975). BSA sering digunakan sebagai penstabil untuk protein terlarut lainnya atau enzim yang labil. Dalam aplikasi di bidang biokimia, BSA digunakan sebagai Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Immunoblots, dan Immuno histo chemistry (IHC) (Rani, 2012). BSA juga dapat digunakan sebagai standard pada kalibrasi protein untuk menentukan kuantitas protein lain dengan menggunakan metode Lowry dan Bradford protein assay, dan sebagai blocking agent pada Western blots (Putnam, 1975 ; Rani, 2012). 2. Pektin Pektin (Gambar 2) merupakan kompleks polisakarida yang banyak digunakan dalam industri farmasi karena memiliki sifat biodegradable dan tidak toksik. Sumber pektin yang banyak dikomersialkan sekarang berasal dari kulit jeruk maupun apel. Pektin memiliki berat molekul antara 50 kDa hingga 150 kDa yang terdiri dari sekitar 1000 unit sakarida (Sriamornsak, 2001). Komponen utama penyusun pektin adalah asam D-galakturonat (GalA) (Mukhiddinov dkk., 2000) yang dapat saling berikatan membentuk rantai melalui ikatan (1-4)-glikosidik (Raj dkk., 2012). Asam uronat memiliki gugus kabonil, dan beberapa gugus karbonil ini dapat diesterifikasi dengan gugus metil atau senyawa lainnya. Ratio antara GalAyang telah tersesterifikasi dengan total GalA disebut sebagai derajat esterifikasi (DE/DM) (Sriamornsak, 2001). Berdasarkan harga DE pektin diklasifikasikan menjadi dua, pektin dengan nilai DM > 50% termasuk dalam 8 high methoxyl sedangkan low methoxyl memiliki harga DM<50% (Walter, 1991). Kemampuan pektin dalam membentuk gel tergantung dari harga derajat metilasi, disamping ukuran molekulnya (Sriamornsak, 2001). Gambar 2. Struktur kimia pektin (Raj dkk., 2012) Pektin merupakan polimer yang digunakan sebagai pembawa dalam aplikasi pelepasan obat terkontrol, dan banyak pula teknik yang telah digunakan untuk membuat sistem penghantasran berbasis perktin seperti ionic gelasi atau gel coating (Raj ddk., 2012). 3. Konjugasi Konjugasi (Crosslinking) merupakan suatu proses kimia untuk menggabungkan dua atau lebih molekul dengan suatu ikatan kovalen (Hayworth, 2014.). Sistem konjugasi dapat diaplikasikan untuk membuat suatu sistem termodifikasi berbasis protein yang berfungsi untuk deteksi, assay tracking atau mentarget suatu molekul biologi (Hermanson, 1996). Konjugasi antara suatu molekul sintetik dengan suatu protein memiliki peranan yang besar dalam dunia kesehatan, misal pada pengembangan suatu 9 agen terapi berbasis protein dengan menggabungkan suatu polimer atau suatu molekul obat pada protein. Tujuan dari konjugasi ini adalah untuk menaikkan sifat farmakokinetik dari komponen terapinya (Witus, 2012). Dari banyak jenis sekuen asam amino protein, hanya beberapa gugus fungsional saja yang menjadi target dalam konjugasi, diantaranya adalah amina primer (-NH2), karboksilat (-COOH), sulfidril (-SH) dan karbonil (-CHO). Teknik konjugasi tergantung pada gugus fungsional reaktif dari reagen crosslinking maupun dari molekul target. Jika salah satu tidak memiliki gugus fungsional reaktif, atau jika keduanya tidak kompatibel maka reaksi konjugasi tidak akan berhasil (Hermanson, 1996). Sehingga jika ingin mendapatkan hasil reaksi yang optimal, perlu dilakukan crosslinking dan molekul target yang tepat. pemilihan antara reagen Pada table 1 dapat dilihat beberapa contoh reagen yang sesuai dengan gugus fungsional reaktif yang akan dikonjugasikan. Reagen biokonjugat memiliki gugus fungsi yang reaktif secara spontan dan selektif untuk terikat pada gugus fungsional spesifik molekul target. Sebagian reagen tidak secara langsung dapat menjadi crosslinker, tetapi ada yang akan membentuk intermediet aktif yang akan berikatan dengan molekul kedua yang memiliki komposisi kimia yang tepat untuk melakukan reaksi (Hermanson, 1996). Gugus reaktif dari crosslinker telah dikarakterisasi dan digunakan untuk melabel suatu ligand, protein, peptida, karbohidrat, polimer sintesis, dan lain-lain (Hermanson, 1996). Crosslinker dengan dua gugus reaktif yang 10 berbeda dapat disintesis menjadi satu bagian dengan mengkombinasikan gugus reaktif yang berbeda tersebut dengan suatu molekul. Ketika dikombinasikan maka akan terbentuk „back bone’ (disebut sebagai spacer arms karena menentukan jarak antar gugus reaktif) (Hayworth, 2014). Tabel I. Jenis-jenis Crosslinker berdasarkan gugus reaktif target (Hayworth, 2014). Gugus Fungsional Jenis Crosslinker Reaktif Carboxyl - Amin Carbodiimide (misal, EDC) Amin-Amin NHS ester, Imidoester, Pentafluorophenyl ester, Hydroxymethyl phosphine SulfhydrylSulfhydryl Maleimide, Haloacetyl (Bromo- atau Iodo-), Pyridyldisulfide, Thiosulfonate Selain bergantung pada gugus fungsional reaktif yang bereaksi, keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan oleh kondisi sistem pada saat reaksi berlangsung, misalkan pemilihan pH medium, waktu dan suhu reaksi, serta konsentrasi pereaksi yang digunakan. Konjugasi harus dilakukan pada pH medium yang sesuai untuk menjaga integritas makromolekul yang direaksikan dan optimal untuk terjadinya reaksi. Pada beberapa reaksi reaksi lebih dipilih dilakukan pada suhu ruang atau di bawah suhu ruang karena kebanyakan reaksi berjalan dengan cepat. Selain itu, pada suhu rendah lebih meningkatkan selektivitas dari reaksi sehingga akan meminimalkan reaksi samping. Jika dilakukan pada suhu tinggi, untuk memghindari reaksi berlebih maka reaksi harus dilakukan dengan waktu yang singkat, begitu juga 11 sebaliknya jika reaksi dilakukan pada suhu rendah maka perlu dilakukan penaikan waktu reaksi untuk memperoleh hasil yang optimum. Konsentrasi pereaksi yang digunakan juga menentukan kondisi konjugasi yang optimal. Semakin tinggi konsentrasi pereaksi yang digunakan maka laju reaksi akan berjalan semakin cepat karena semakin banyak interaksi antar molekulnya hingga diperoleh titik optimumnya. Jika kondisi reaksi optimum dalam konjugasi belum diketahui secara pasti, maka perlu dilakukan optimasi untuk memperoleh hasil konjugasi yang optimum (Wong, 2000). 4. EDAC-HCl (1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida hidroklorida) Senyawa golongan karbodiimida digunakan untuk memperantarai pembentukan ikatan amida antara gugus karboksilat dan amin. Karbodiimida mengandung kumpulan senyawa yang memiliki formula R-N=C=N-R1, dimana R dan R1 adalah senyawa alifatik (misal, dietilkarbodiimida), alisiklik (misal, disikloheksilkarbodiimida) atau aromatik (misal, difenilkarbodiimida) (Bauminger & Wilchek, 1980). Salah satu jenis katalis gologan karbodiimida yang sering digunakan adalah 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida (Gambar 3) yang juga dikenal sebagai EDAC/EDC. Penggunaan golongan karbodiimida termasuk metode yang mudah dan sederhana dimana dalam reaksinya akan membentuk suatu ikatan amida yang stabil (Sheehan & Hess, 1955). EDAC merupakan katalis yang larut dalam air, sehingga cocok digunakan untuk konjugasi yang melibatkan protein dan makromolekul lainnya (Hermanson, 1996). Interaksi antara molekul satu dengan lainnya yang dihubungkan oleh karbodiimida 12 membentuk zero-lenght crosslinking, yang artinya tidak terbentuk spacer arm, karena pada akhir reaksi tidak terdapat satupun bagian dari struktur kimia EDAC yang terikat pada molekul hasil konjugasi (Carter, 1996 ; Hayworth, 2014). N C NH Cl N Gambar 3. Struktur kimia 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida hidroklorida (EDAC/EDC/EDAC HCl), MW : 191.70, Spacer arms : 0.0 Å (Uptima, 2005) EDAC akan mengkonjugasikan gugus amina primer pada asam amino dengan gugus karboksilat pereaksi lain (Carter, 1996). EDAC akan mengaktifasi karbonil dan membentuk intermediet aktif O-asil-isourea yang mudah digantikan oleh nukleofilik dari amina primer (Gambar 4) (Bauminger & Wilcheck, 1980). Reaksi pembentukan ikatan amida yang oleh karbodiimida terjadi secara efektif antara pH 4,5 hingga 7,5 dan dapar yang umum digunakan adalah dapar MES (asam 4-morfolinoetansulfonat) jika kondisi reaksi yang dibutuhkan dalam suasana asam, dan digunakan dapar fosfat jika reaksi dilakukan pada pH netral (Hermanson, 1996). Derivat urea merupakan produk samping utama jika reaksi dilakukan pada temperatur tinggi, oleh karena itu dibutuhkan temperatur yang cukup rendah (sekitar 0⁰ C) pada saat reaksi berlangsung untuk meminimalisir terbentuknya produk samping. Selain itu penambahan kelompok amina juga dapat mengurangi pembentukan derivat urea (Bauminger & Wilcheck, 1980). 13 Gambar 4. Skema reaksi EDAC/EDC (Karbodiimida) sebagai katalis. Keterangan: Molekul (1) dan (2) dapat berupa peptida, protein atau molekul lain yang mempunyai gugus karboksilat dan amin primer (Hayworth, 2014) Proses dialisis atau gel filtrasi dapat digunakan untuk menghilangkan kelebihan reagen dan juga isourea yang terbentuk sebagai by-product selama reaksi, selain itu juga dapat digunakan untuk menghilangkan senyawa yang tidak membentuk ikatan kovalen (Bauminger dkk., 1969; McGuire dkk., 1965; Bauminger & Wilchek, 1980). 5. Gel Poliakrilamid Elektroforesis (PAGE) Metode elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid dapat digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan perbedaan bobot atau ukuran molekulnya. Gel poliakrilamid merupakan hasil polimerasi dari monomer akrilamid dengan adanya N,N’-methylene-bis-acrylamide (bisakrilamid) yang berfungsi sebagai pembentuk silang, dimana keduanya akan berpolimerasi dengan adanya senyawa radikal (Gambar 5). Senyawa radikal yang biasanya digunakan adalah amonium persulfat (APS). Untuk mendekomposisi APS agar menjadi senyawa radikal dan menyetabilkannya, 14 maka ditambahkan TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil etilendiamin). Ukuran pori gel sangat ditentukan oleh perbandingan jumlah akrilamid dan bis-akrilamid. Gambar 5. Polimerisasi akrilamid (Walker, 2002) Terdapat dua macam gel yang digunakan dalam pemisahan protein menggunakan gel poliakrilamid, yaitu gel penumpuk (stacking gel) dan gel pemisah (separating gel). Gel pemisah digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan bobot molekulnya. Ukuran pori gel pemisah dapat berfariasi sesuai dengan kisaran ukuran protein yang ingin dipisahkan. Gel penumpuk berfungsi untuk tempat memasukkan sampel atau ruang pembatas antar sampel. Ukuran pori gel pada bagian ini sangat besar yaitu sekitar 4% dengan tujuan agar protein dapat bermigrasi dengan mudah (Walker, 2002). a. SDS-PAGE SDS-PAGE meupakan metode yang secara luas digunakan untuk menganalisis protein secara kualitatif berdasasarkan ukurannya dan dapat 15 digunakan pula untuk menentukan berat molekul relatif suatu protein (Walker, 2002). Dalam metode ini, sampel dapar yang digunakan mengandung βmercaptoethanol dan SDS. SDS (sodium dodesil sulfat) dengan struktur kimia CH3-[CH2]10-CH2OSO3-Na+ merupakan suatu detergen anionik yang memiliki ujung hidrofobik pada bagian dodesil, dan bagian yang sangat bermuatan pada gugus sulfatnya. SDS akan terikat kuat pada bagian hidrofobik asam amino yang menentukan konformasi 3D protein. Akibat terikat oleh SDS maka struktur globular protein akan terdenaturasi total menjadi protein yang linear (Encorbio, 2014). Struktur linear ini menjadikan protein kehilangan muatan aslinya dan menjadi bermuatan negatif. Akibat perlakuan tersebut tidak ada perbedaan muatan dan konformasi antar protein. Mercaptoethanol digunakan untuk memutus ikatan disulfida yang membentuk struktur tersier suatu protein (Walker, 2002). Karena memiliki muatan negatif yang sama pada rantai peptidanya, saat diberi medan listrik, ptrotein-SDS akan bermigrasi ke arah anoda pada gel pemisah dengan kecepatan yang sama pula. Walaupun memiliki kecepatan migrasi yang sama, namun ukuran protein juga menentukan seberapa jauh protein tresebut dapat bermigrasi dalam gel pemisah (Walker, 2002). 16 b. Non-denaturasi-PAGE Non-denaturasi-PAGE digunakan jika ingin mempertahankan bentuk native protein yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi aktivitas biologi misal, aktivitas enzym, ikatan reseptor, ikatan antibodi dan lain sebagainya Pada tipe non-denaturasi, tidak digunakan SDS maupun agen pereduksi lainnya seperti merkaptoetanol pada saat preparasi gel elektroforesis, dapar sampel dan dapar elektroforesis, selain itu pemanasan sampel juga tidak diperlukan (Walker, 2002). Migrasi protein melewati gel elektoforesis menuju anoda dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti, ukuran molekul, bentuk dan muatan asli dari protein itu sendiri. Oleh karena itu resolusi dari nondenaturasi-PAGE tidak sebaik pada SDS-PAGE, namun teknik ini sangat bermanfaat jika ingin mempertahankan struktur native protein selama analisis (Smet dkk., 2006) . Muatan asli protein dapat dipengaruhi oleh pH gel. Jika pH gel lebih kecil dari titik isoelektrik (pI) protein sampel, maka akan menghasilkan muatan positif pada protein, dan jika di atas pI protein maka akan memberikan muatan akhir negatif. Protein sampel harus memiliki pI < 7.0 agar memiliki muatan negatif agar dapat menuju anoda. Secara umum, pada pH 2,0 hingga 4,0 maka protein akan bermuatan positif, dan akan bermuatan negatif pada pH diatas 8.0. Oleh karena itu pemilihan pH yang cocok sangat penting untuk memastikan bahwa protein yang kita inginkan dapat bermigrasi dalam gel (Gallagher, 1999). 17 6. Nanopartikel sebagai Sistem Penghantaran Obat Tertarget Nanopartikel merupakan partikel mikroskopik yang memiliki diameter antara 10-200 nm (Hu dkk., 2012). Ukuran ini memberikan keuntungan dalam segi farmakokinetika. Karena memiliki ukuran yang kecil, nanopartikel dapat melewati sawar darah otak dan dapat beraksi pada level selular (Wilczewska dkk., 2012). Akhir-akhir dibandingkan obat ini nanopartikel konvensional mendapatkan karena perhatian kemampuannya lebih untuk mengenkapsulasi berbagai macam agen terapi dan menghantarkannya tepat pada sel target (Nanocarrier) (Hu dkk., 2012). Nanopartikel banyak diaplikasikan karena memiliki kelebihan yaitu dapat melindungi senyawa terapeutik dari degradasi oleh berbagai macam senyawa dalam tubuh, meningkatkan absorbsi obat yang berefek langsung pada peningkatan bioavailabilitas, pelepasan obat dapat dikontrol, lebih dapat tertarget pada sel spesifik, serta dapat menaikkan penetrasi intrasseluler (Hu dkk., 2012; Peer dkk., 2007; Mardiyati dkk., 2012). Nanopartikel dari bahan polimer alam banyak digunakan pada sistem penghantaran obat karena bersifat biokompatibel, biodegradabel dan tidak toksik (Wilczewska dkk., 2012; Mardiyati dkk., 2012). Lipososom, solid lipid nanopartikel, dendrimer, polimer, silikon atau material karbon, dan magnetic nanopartikel merupakan contoh dari nanocarrier yang telah diuji sebagai sistem penghantaran obat (Gambar 6). 18 Nanopartikel sebagai sistem penghantaran obat Gambar 6. Jenis Nanocarrier yang digunakan sebagai Sistem Penghantaran Obat (Wilczewska dkk., 2012) Sistem penghantaran obat tertarget dari nanopartikel dapat dipenuhi dengan mekanisme aktif maupun pasif. Pasive targeting memanfaatkan karakteristik biologis dari sel tumor yang memungkinkan nanopartikel menuju ke sel tumor karena adanya efek permeabilitas dan retensi (EPR). Active targeting dicapai dengan mengkonjugasikan nanopartikel yang berisikan agen terapi dengan suatu molekul pentarget yang dapat berikatan dengan antigen yang di ekspresikan berlebih atau reseptor pada sel target (Peer dkk., 2007). Konjugasi antara nanopartikel dengan suatu molekul penarget (targeting agent) sebagai suatu sistem penghantaran obat tertarget merupakan alternatf yang menarik. Nanopartikel yang telah termodifikasi menunjukkan kenaikan efek terapi dibandingkan dengan tanpa konjugasi (Broyer dkk., 2011), hal ini diakibatkan karena obat ditransportkan ke tempat aksi secara spesifik sehingga dapat lebih efektif dan dapat mengurangi efek samping. Strategi konjugasi menjadi faktor penting dalam keberhasilan pembuatan terapi yang tertarget. Strategi pembuatan terletak pada pengikatan gugus aktif pada permukaan nanopartikel dengan suatu molekul penarget (Wilczewska dkk., 2012). 19 Sistem penghantaran tertarget ini sering diaplikasikan pada pengobatan kanker. Senyawa penarget dapat berupa protein (monoklonal antibiodi), asam nukleat, atau ligan lainnya (peptida, vitamin, karbohidrat) (Peer dkk., 2007). Nanopartikel terkonjugasi dengan molekul penarget yang telah dikembangkan misalnya nanokapsul kitosan-g-poli(etilen glikol) yang mengandung docetaxel dikonjugasikan dengan anti-TMEFF-2 (Torrecilla dkk., 2012), nanopartikel kitosan-doxorubicin yang telah terkonjugasi antiher2 Trastuzumab (Yousefpour dkk., 2011). F. Landasan Teori Pektin merupakan polimer yang umum digunakan dalam formulasi nanopartikel karena memiliki sifat biodegradable dan tidak toksik (Sriamornsak, 2001; Raj dkk, 2012; Mardiyati dkk., 2012). Pektin dalam formula nanopartikel dapat dikonjugasikan dengan protein penarget untuk menghasilkan suatu sistem penghantaran obat yang tertarget. Model protein yang umum digunakan adalah BSA (Carter & Ho, 1994). Pektin banyak mengandung gugus karboksilat (Sriamornsak, 2001). Jika suatu senyawa yang memiliki gugus karbonil akan dikonjugasikan dengan gugus amina protein, maka gugus karbonil tersebut perlu ditingkatkan reaktivitasnya dengan menggunakan EDAC (Uptima, 2005). Pemilihan reagen yang tepat akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konjugasi. 20 EDAC telah banyak digunakan untuk sintesi peptida, modifikasi protein maupun modifikasi polisakarida (Nakajima & Ikada 1995). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lee dkk. (2012), EDAC dapat digunakan untuk menkonjugasikan polimer kitosan dengan suatu antibodi. EDAC juga dapat memperantarai konjugasi antara polimer PLGA dengan suatu peptida (Mathew dkk., 2012). H : R1 N C N N C N H R2 R2 O :O: R1 HN C O P (1) R1 Proton Shift N R2 : H OH : P (2) R2 + NH2 P : P O C N HN H R1 O C N R2 :O : - H3O P : C HN :O : R1 NH HN R1 O C N HN H : H (3) R2 : H H O (4) : H2O : H : O: HN R1 O C N P H HN O O R2 P N H (5) + R2 N H N H R1 (6) Gambar 7. Mekanisme reaksi konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC Mekanisme pembentukan ikatan amida antara pektin dengan BSA yang diperantarai oleh EDAC terjadi dalam dua tahap (Gambar 7). Pertama, karbonil pektin (2) dapat diaktivasi oleh EDAC yang telah terprotonasi (1) dan menghasilkan senyawa intermediet aktif O-asil-isourea (3). Kedua, senyawa 21 intermediet aktif tersebut akan berikatan secara kovalen dengan gugus amin primer pada protein BSA (4) dan menghasilkan pektin yang terkonjugasi dengan BSA melalui ikatan amida (5) serta hasil samping berupa 1-etil-3(dimetilaminopropil) urea (derivat urea) (6). Tahap pertama reaksi konjugasi merupakan reaksi dengan laju cepat karena EDAC merupakan senyawa yang sangat reaktif, sedangkan tahap kedua merupakan tahap lambat (Nakajima & Ikada, 1995). Keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan oleh konsentrasi pereaksi serta waktu dan suhu reaksi yang digunakan (Wong, 2000). Untuk mencapai hasil reaksi yang optimum, maka dibutuhkan pula perbandingan pereaksi dan kondisi lingkungan yang sesuai. Semakin tinggi konsentrasi pereaksi yang digunakan maka laju reaksi akan berjalan semakin cepat karena semakin banyak interaksi antar molekulnya hingga diperoleh titik optimumnya Berdasarkan protokol yang ditulis oleh Hermanson (1996) diketahui bahwa bahwa reaksi konjugasi protein dengan suatu molekul dapat dilakukan pada suhu ruang (±25°C) selama 2 jam. Pada penelitian kali ini digunakan suhu reaksi ±4°C karena pereaksi yang digunakan adalah protein yang akan lebih stabil jika berada pada suhu rendah, selain itu pada suhu rendah produk samping utama berupa derivat urea dapat dikurangi. Laju reaksi dapat dipengaruhi oleh suhu reaksi, telah umum diketahui bahwa peningkatan suhu sebesar 10°C akan mempercepat laju reaksi hingga dua atau tiga kalinya. Dengan melakukan penurunan suhu reaksi hingga dua kalinya, maka laju reaksi akan diperlambat hingga empat atau enam kalinya. 22 Metode analisa kualitatif yang paling sederhana jika melibatkan suatu protein adalah teknik elektroforesis menggunakan gel akrilamid. Prinsip metode ini adalah pemisahkan protein berdasarkan perbedaan bobot atau ukuran molekulnya (Wong dan Jameson, 2012). BSA yang telah terkonjugasi dengan pektin akan memiliki bobot molekul yang lebih besar dibandingkan dengan BSA bebas. BSA dengan ukuran lebih besar akan memiliki jarak migrasi lebih pendek saat bergerak pada gel yang diberi aliran medan listrik menuju anoda. Penentuan perbandingan pereaksi dan waktu reaksi akan dilakukan pada konjugasi polimer pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu reaksi 4 °C, sehingga diperoleh kondisi reaksi optimal. Selain itu, akan dilakukan penentuan metode analisis poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE) yang tepat untuk mengevaluasi hasil reaksi konjugasi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan yang mempermudah dalam pengembangan sistem penghantaran obat tertarget. G. Hipoteis 1. Low methoxy pektin dapat dikonjugasikan dengan BSA menggunakan katalis EDAC. 2. Perubahan perbandingan pereaksi berpengaruh terhadap efektivitas konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4°C. 3. Perbedaan lama reaksi berpegaruh terhadap evektivitas konjugasi pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC pada suhu 4°C. 4. Konjugasi pektin dengan BSA dapat dianalisis secara kualitatif menggunakan poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE).