BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut (SKA) 2.1.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut (SKA)
2.1.1 Definisi SKA
Sindrom koroner akut merupakan suatu kumpulan gejala klinis iskemia
miokard yang terjadi secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke
miokard berupa angina, perubahan segmen ST pada elektrokardiografi
(EKG) 12 lead, dan peningkatan kadar biomarker kardiak. SKA terdiri dari
tiga kelompok yaitu angina pektoris tidak stabil/ APTS (unstable angina
(UA)), non-ST-segmen elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan STsegmen elevation myocardial infarction (STEMI) (Kumar and Cannon,
2009.).
Pasien dikatakan mengalami UA apabila tidak ditemukan peningkatan
biomarker kardiak didarah beberapa jam setelah onset awal nyeri dada
iskemia. Presentasi klinis UA dapat berupa angina saat istirahat (biasanya
berlangsung > 20 menit), onset baru suatu angina yang berat, dan pola
angina crescendo (mengalami peningkatan dalam hal intensitas, durasi, atau
kombinasinya). Pada NSTEMI iskemia yang terjadi cukup berat
menyebabkan kerusakan miokard sehingga terjadi pelepasan penanda
nekrosis miokard (Troponin T/I spesifik kardiak, atau fraksi creatinin kinase
myocardial band (CKMB)) namun belum memberikan gambaran perubahan
EKG berupa elevasi segmen ST, sedangkan pada STEMI terjadi infark pada
daerah miokard yang luas sehingga memberikan gambaran elevasi segmen
ST pada EKG disertai suatu pelepasan penanda nekrosis miokard (Grech
and Ramsdale, 2003, Kumar and Cannon, 2009, O'Gara, Kushner, et al.,
2013).
Guidelines dari European Society of Cardiology (ESC) tahun 2012
mendefinisikan IMA sebagai kondisi dimana terdapat bukti nekrosis
miokardial pada pasien yang menunjukkan gambaran klinis iskemia
miokard yang akut. Deteksi infark miokard berdasarkan adanya
peningkatan biomarker kardiak (yaitu CKMB dan atau troponin) di atas
nilai normal dengan salah satu dari kondisi berikut : keluhan iskemia,
adanya perubahan segmen ST dan atau gelombang T atau adanya
gambaran left bundle branch block (LBBB), adanya gelombang Q pada
rekaman EKG, gambaran abnormalitas pergerakan dinding regional, dan
identifikasi adanya trombus intrakoroner dengan angiografi atau autopsi
(Thygesen, S.Alpert, et al., 2012).
2.1.2 Epidemiologi SKA
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terbanyak
diseluruh dunia. Pada tahun 2012, penyakit jantung iskemia bertanggung
jawab terhadap sekitar 7,4 juta kematian diseluruh dunia. Berdasarkan data
American Heart Association (AHA) pada tahun 2003 dilaporkan sekitar
71,3 juta penduduk Amerika menderita penyakit jantung dan menyebabkan
sebanyak 1 juta kematian. Studi oleh Global Registry of Acute Coronary
Events (GRACE) yang melibatkan populasi pasien di Amerika Serikat (AS)
menemukan 38% penderita SKA mengalami STEMI sedangkan Euro Heart
Survey on ACS-II (EHS-ACS-II) melaporkan sebanyak 47% pasien dengan
STEMI. Kejadian SKA meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dimana didapatkan insiden yang tinggi pada laki-laki sampai usia 70 tahun.
Wanita yang telah mengalami menopause selama 15 tahun memiliki resiko
yang sama dengan laki-laki untuk mengalami SKA (Kleinschmidt, 2006,
Canto, Kiefe, et al., 2011).
Angka mortalitas penyakit kardiovaskular (KV) di Indonesia mengalami
peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004
dibandingkan sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data terakhir
dari National Heart Survey , menunjukkan bahwa penyakit serebrokardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Studi
kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi Jakarta menunjukkan
bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di Jakarta. Data registri
dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC)
dari tahun 2008-2009
mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana sebanyak 654 orang
mengalami STEMI (Dharma, Juzar, et al., 2012).
Gambar 2.1
Gambaran Presentase kematian akibat penyakit KV di AS
pada tahun 2003 (Thom, Haase, et al., 2006).
2.1.3 Faktor-faktor risiko SKA
Sekitar 80 % pasien dengan infark miokard akut (IMA) dilaporkan
memiliki setidaknya 1 dari faktor risiko major, termasuk diantaranya
merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus (DM) , dan obesitas
abdomen. Faktor resiko major dari SKA diantaranya adalah sebagai berikut
(Eponiene, Zaliaduonyte-Peksiene, et al., 2014) :
1. Peningkatan umur
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Dislipidemia
4. Diabetes Melitus
5. Merokok
6. Hipertensi
7. Obesitas
Boudi and Ali (2008) mengklasifikasikan faktor resiko PJK menjadi :
faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu : umur, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu:
merokok, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, hiperkolesterolemia, diet
tinggi lemak jenuh, dan faktor hemostatik.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), faktor risiko
PJK yang ikut berperan menyebabkan kematian adalah tingginya tekanan
darah (13% dari kematian global), diikuti oleh konsumsi tembakau (9%),
peningkatan gula darah (6%), rendahnya aktivitas fisik (6%), dan kelebihan
berat badan atau obesitas (5%) (Cepoinene, et al., 2013).
2.1.4 Patofisiologi SKA
Secara umum regional IMA disebabkan oleh karena terjadinya trombosis
pada lesi plak aterosklerotik culprit, penyebab lain yang termasuk sangat
jarang terjadi diantaranya adalah diseksi arteri koroner spontan, arteritis
koroner, emboli koroner, spasme koroner dan penekanan myocardial
bridges.
Plak aterosklerotik yang terganggu pada ateri koroner akan
menstimulasi agregasi platelet dan formasi trombus. Trombus ini akan
menyebabkan terjadinya oklusi pada pembuluh darah sehingga mengurangi
perfusi ke miokard (Libby and Simon, 2001).
Di masa terdahulu, para peneliti beranggapan bahwa penyempitan
pembuluh darah koroner adalah akibat dari penebalan plak yang merupakan
penyebab primer berkurangnya aliran darah sehingga terjadi iskemia, namun
data terbaru saat ini mendukung bahwa ruptur dari plak yang tidak stabil dan
rapuh yang berkaitan dengan perubahan proses inflamasi merupakan
penyebab dari keadaan ini. Berbagai studi dengan teknik pengambilan
gambar in Vivo pada manusia serta keberhasilan terapi antitrombotik dan
fibrinolitik
pada
SKA
menguatkan
peranan
trombosis
terhadap
patomekanisme SKA (Apple, Pearce, et al., 2007, Libby and Simon, 2001,
Libby, 2001).
2.1.4.1 Ruptur Plak Aterosklerosis
Plak ateroma terdiri dari beberapa morfologi dan dapat ditemukan
diberbagai lokasi berbeda pada arteri koroner seorang pasien. Lesi awal
ditandai dengan infiltrasi sel foam (lesi tipe I), kemudian berkembang dan
menjadi matang dengan infiltrasi otot polos dan lipid (lesi tipe II “Fatty
Streak”) serta deposisi jaringan ikat (Lesi tipe III). Lesi awal berkembang
dalam kurun waktu tiga dekade awal kehidupan pada daerah dengan aliran
turbulen yang terlokalisir pada arteri koroner. Perkembangan lesi ini
dipercepat
oleh
beberapa
keadaan
,
seperti
hipertensi,
DM,
hiperkolesterolemia, dan merokok. Seiring dengan pertumbuhan plak
yang menjadi lebih lunak dengan kandungan lipid ekstraselular yang
tinggi dan cholesteryl ester serta cap fibrosa yang lebih tipis secara
progresif (lesi tipe IV-Va “atheroma”) maka plak akan menjadi semakin
rentan mengalami gangguan. Plak yang ruptur dilapisi oleh trombus (lesi
tipe VI) dikenal sebagai lesi kompleks. Ketika lesi ini menyebabkan
derajat stenosis koroner yang signifikan tanpa asupan kolateral yang
adekuat maka akan terjadi SKA. Setelah terjadinya serangan, trombus
pada lesi yang kompleks ini akan terorganisasi dan mengalami kalsifikasi
(lesi tipe Vb) atau fibrosis (lesi tipe Vc) dan pada akhirnya akan mejadi
lesi stenosis kronik. Lesi kompleks dapat mengandung kumpulan trombus
dari episode plak ruptur sebelumnya, diikuti dengan lisis klot spontan, sel
inflamasi, dan sel otot polos. Kebanyakan
lesi culprit pada SKA
cenderung memiliki lebih sedikit kalsifikasi (Davies, 2000, Overbaugh,
2009, Gutstein and Fuster, 1999) .
Perkembangan dan pertumbuhan plak aterosklerosis dapat dibagi
menjadi lima tahap berdasarkan morfologi lesinya. Fase 1, merupakan
perkembangan tanpa gejala dari lesi tipe I-III yang terjadi pada beberapa
dekade awal kehidupan. Fase 2 , adalah perkembangan ateroma (lesi tipe
IV dan Va), dimana biasanya tanpa gejala namun dapat pula disertai suatu
angina pektoris stabil. Disrupsi plak terjadi pada fase 3 sehingga terjadi
trombus mural yang tidak menyebabkan oklusi dan pertumbuhan tiba tiba
dari lesi kompleks. Fase 3 ini dapat memberikan gejala angina namun
dapat juga tidak bergejala. Fase 4 berkaitan dengan terjadinya SKA
dimana terjadi disrupsi lesi plak (Type VI) yang disertai trombus besar
yang oklusif. Fase 5 merupakan fase kronik dimana terjadi kalsifikasi atau
fibrosis plak (lesi tipe Vb dan Vc) (Gutstein and Fuster, 1999).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya plak ruptur,
yaitu faktor dari luar dan dari dalam. Faktor dari luar adalah adanya aliran
darah yang bertabrakan dengan plak , tekanan terhadap dinding pembuluh
darah merupakan kunci dari faktor luar yang mempengaruhi stabilisasi
plak. Tekanan dari luar ini dapat dipengaruhi oleh faktor sistemik seperti
pengaruh lingkungan atau farmakologi. Faktor dari dalam yaitu ukuran
plak, lokasi, dan kandungan dari lipid core serta integritas dari cap fibrosa
mempengaruhi kesensitifan plak terhadap tekanan dari luar. Tekanan dari
dalam yang mempengaruhi stabilitas plak berasal dari aktivitas sel
inflamasi didalam plak sklerotik (Gutstein and Fuster, 1999).
Makrofag akan melepaskan metalloprotein yang mana memiliki
aktivitas yang melawan komponen kolagen plak sehingga merapuhkan cap
fibrosa. Makrofag yang berasal dari sel foam juga telah menunjukkan akan
mengaktifkan matrix metalloproteinases (MMPs) dengan menguraikan
spesies reaktif oksigen. Makrofag pada plak sklerotik berasal dari monosit
disirkulasi, yang terikat pada dinding pembuluh darah di area aliran yang
turbulen. Monosit tertarik ke dinding pembuluh darah melalui faktor
kemotaktik seperti Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1), yang
juga berperan merangsang paparan faktor jaringan di monosit dan sel otot
polos. Selain makrofag, limfosit T juga ditemukan dalam jumlah banyak
pada plak ateroma. Infeksi sistemik dikatakan berkaitan dengan kelainan
aterosklerotik. Agen infeksi dapat mempengaruhi fungsi endotel dan
mengaktifkan monosit serta makrofag untuk mengeluarkan sitokin
inflamasi. Sitokin ini akan merangsang produksi spesies reaktif oksigen
dan enzim proteolitik yang akan mempengaruhi stabilitas plak. Stress
oksidatif dan kapasitas antioksidan dinding pembuluh darah memiliki
peranan yang penting terhadap pertumbuhan plak hingga rupturnya plak.
Makrofag dan limfosit-T akan mengalami apoptosis pada plak
aterosklerosis tingkat lanjut, kematian sel apoptosis akan mempengaruhi
stabilitas plak. Plak yang rapuh dikatakan terdiri dari lipid core dengan
luas setidaknya 50% dari keseluruhan volume plak, makrofag dengan
densitas tinggi, sel otot polos densitas rendah di cap, faktor jaringan dalam
jumlah tinggi, dan cap plak yang tipis dimana struktur kolagennya tidak
teratur (Gutstein and Fuster, 1999, Libby and Theroux, 2005, Fischer,
Gutstein, et al., 2000).
Gambar 2.2
Presentasi Skematik dari Tahapan Progresi Lesi Aterosklerosis dan
Lesi Patologi Terkait serta Sindroma Klinis (Gutstein and Fuster,
1999).
2.1.4.2 Trombositosis
Trombosis plak terjadi akibat dua proses yang berbeda. Pertama
disebabkan adanya perluasan proses denudasi endotel sehingga permukaan
jaringan ikat subendotel mengalami paparan dalam area yang besar.
Pembentukan trombus terjadi kemudian terikat di permukaan plak. Proses
ini dikenal dengan istilah erosi endotel. Beberapa studi obervasional
menunjukkan bahwa hilangnya sel endotel berkaitan dengan aktivasi
makrofag yang mengakibatkan kematian sel endotel melalui apoptosis dan
produksi protease yang memangkas sel endotel dari perlekatannya dengan
dinding pembuluh darah. Mekanisme kedua adalah pembentukan trombus
akibat rupturnya plak. Pada keadaan ini cap plak ruptur dan terjadi
paparan lipid core dengan darah pada lumen arteri. Area lipid core bersifat
sangat trombogenik, mengandung faktor jaringan, fragmen kolagen, dan
permukaan
crystalline
yang
mempercepat
terjadinya
koagulasi.
Pembentukan trombus pada awalnya terjadi di plak itu sendiri kemudian
meluas dan distorsi dari dalam, trombus dapat meluas sampai ke lumen
arteri (Libby and Simon, 2001, Libby and Theroux, 2005, Crea and
Liuzzo, 2013).
Gambar 2.3
Mikroanatomi Trombosis dan Oklusi Akut pada Arteri.
(Libby and Theroux, 2005)
Disrupsi plak seperti erosi endotel merupakan cerminan meningkatnya
aktivitas sel inflamasi didalam plak. Cap plak memiliki struktur yang
dinamis, kekuatannya tergantung terhadap
matriks jaringan ikat
didalamnya yang secara konstan diganti dan diatur oleh sel otot polos.
Proses inflamasi mengurangi sintesis kolagen dengan menghambat sel
otot polos dan menyebabkan kematian sel melalui apoptosis. Makrofag
juga memproduksi metalloproteinase yang mampu memecah semua
komponen matriks jaringan ikat, termasuk kolagen. Metalloproteinase ini
dilepaskan ke jaringan dalam bentuk tidak aktif yang kemudian diaktivasi
oleh plasmin. Produksi metalloproteinase oleh makrofag dirangsang oleh
sitokin inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF) . Oleh sebab itu
disrupsi plak saat ini dianggap sebagai fenomena auto-destruct yang
dirangsang oleh aktivitas inflamasi (Davies, 2000, Suryana, 2013).
Disrupsi plak merupakan penyebab dominan sekitar > 80% dari
trombus koroner pada pria kulit putih dengan konsentrasi plasma low
density lipoprptein (LDL) yang tinggi dan konsentrasi yang rendah dari
high density lipoprotein (HDL). Sedangkan pada perempuan, erosi endotel
bertanggung jawab terhadap 50% kasus trombus koroner. Proses disrupsi
memiliki komponen intra plak yang lebih resisten terhadap terapi (Epstein,
Fuster, et al., 1992, Gutstein and Fuster, 1999).
Gambar 2.4
Pembentukan, Perluasan, dan Durasi Trombosis Plak Arteri.
(Libby and Theroux, 2005).
Gambar 2.5
Proses Inflamasi, Ruptur Plak, dan Trombosis yang Menyebabkan
SKA (Libby, Ridker, et al., 2011).
2.1.5 Manifestasi Klinis SKA
Derajat oklusi arteri biasanya berkaitan dengan gejala yang muncul
dengan variasi di penanda kardiak dan penemuan EKG. Angina atau nyeri
ada merupakan gejala klasik suatu SKA. Pada angina tidak stabil, nyeri dada
muncul saat istirahat atau aktivitas berat sehingga menghambat aktivitas.
Nyeri dada yang berkaitan dengan NSTEMI biasanya lebih lama dalam hal
durasi dan lebih berat. Pada kedua keadaan ini, frekuensi dan intensitas
dapat meningkat bila tidak hilang dengan istirahat, nitrogliserin, atau
keduanya dan dapat bertahan selama lebih dari 15 menit. Nyeri dapat
muncul dan menjalar ke lengan, leher, dan punggung atau area epigastrium.
Sebagai tambahan dari angina, pasien SKA dapat muncul disertai sesak
nafas, keringat dingin, mual, atau kepala berkunang-kunang. Selain itu dapat
terjadi perubahan tanda vital, seperti takikardi, takipneu, hipertensi ataupun
hipotensi, penurunan saturasi oksigen (SaO2) dan abnormalitas irama
jantung (Overbaugh, 2009).
2.1.6 Diagnosis SKA
Dalam mendiagnosis suatu SKA maka perlu dilakukan evaluasi terhadap
riwayat klinis pasien, level penanda kardiak, dan gambaran EKG.
2.1.6.1 Anamnesa
Keluhan utama pasien dengan SKA adalah nyeri dada/angina berupa
rasa tertekan dan berat yang muncul saat istirahat atau saat aktivitas ringan
selama lebih atau sama dnegan 10 menit. Nyeri paling sering terasa
dibagian retrosternal dan menjalar ke lengan, leher, ataupun rahang. Nyeri
dada juga dapat disertai dengan keringat dingin, dyspnea, mual, nyeri
perut, atau syncope. Suatu sesak nafas saat aktivitas onset baru yang tidak
dapat dijelaskan atau sesak saat aktivitas yang semakin bertambah dapat
dianggap sebagai suatu angina equivalent. Pasien usia tua (≥ 75 tahun)
dan perempuan sering datang dengan angina atipikal begitu juga pasien
dengan diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal, dan dementia. Angina
atipikal biasanya berupa dari nyeri epigastrium, nyeri menelan, rasa
tertusuk
atau
nyeri
pleuritik.
Faktor-faktor
yang
meningkatkan
kemungkinan SKA adalah usia tua, jenis kelamin laki-laki, riwayat PJK
dikeluarga, adanya penykit arteri perifer, insufisiensi ginjal, riwayat infark
miokard sebelumnya, dan revaskularisasi koroner sebelumnya (Kumar and
Cannon, 2009, Grech and Ramsdale, 2003).
2.1.6.2 Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien SKA dapat normal, namun tanda-tanda
gagal jantung harus dievaluasi dalam menegakkan diagnosis dan
tatalaksana SKA. Ronkhi halus dapat ditemukan pada kedua lapangan
paru pada keadaan suatu gagal jantung akut. Suatu IMA dapat
menyebabkan paradoxical splitting dari S2 atau murmur baru regurgitasi
mitral akibat adanya disfungsi muskulus papilaris. Pemeriksaan fisis
penting dilakukan untuk membedakan suatu SKA dengan diagnosis
banding lainnya yang dapat meniru suatu SKA, seperti diseksi aorta,
perikarditis akut, pneumothorax, atau aneurisme aorta abdominalis
(Overbaugh, 2009).
2.1.6.3 Pemeriksaan EKG
Berdasarkan guidelines ESC terbaru, perubahan EKG pada pasien
dengan nyeri dada yang persisten dibagi menjadi 2 yaitu (Hamm, Bassand,
et al., 2011):

Pasien nyeri dada dengan elevasi segmen ST > 20 menit yang
persisten, disertai inversi gelombang T dan atau ada gelombang Q.
Perubahan EKG ini terjadi pada pasien STEMI. ST elevasi yang
tipikal pada STEMI adalah bila didapatkan elevasi ST pada 2 sadapan
yang berdekatan (contigous leads) ≥ 0,25 millivolts (mV) pada laki-
laki < 40 tahun, dan ≥ 0,2 mV pada laki-laki > 40 tahun atau ≥ 0,15
mV pada wanita di sadapan V2-V3 dan atau ≥ 0,1 mV pada sadapan
yang lain (bila tidak ada hipertropi ventrikel kiri/left ventricle
hypertrophy (LVH) atau LBBB,termasuk sadapan V3R , V4R dan
sadapan V7-V9.

Pasien nyeri dada tanpa disertai elevasi segmen ST dan bisa berupa
depresi segmen ST yang persisten ataupun transient,
inversi
gelombang T, dan/atau gelombang T yang datar. Perubahan EKG ini
terjadi pada pasien APTS/UA dan NSTEMI.
Maka untuk
membedakan keduanya digunakan petanda biomarker kardiak serial.
2.1.6.4 Penanda biokimia kardiak/ Cardiac marker
Sel miokard yang mengalami injuri akan melepaskan protein dan
enzim yang dikenal dengan penanda biokimia kardiak ke dalam darah.
Penanda biokimia ini membantu para dokter untuk mementukan apakah
pasien mengalami suatu IMA. Manfaat dari berbagai penanda kimia
ditentukan oleh waktu dan durasi peningkatan kadarnya didarah. Troponin
T dan troponin I merupakan penanda biokimia kadiak yang paling
spesifik. Protein ini dalam keadaan normal tidak ditemukan diserum darah
oleh karena itu peningkatan kadar diserum kedua penanda biokimia ini
dapat memprediksi derajat pembentukan trombus dan embolisasi
mikrovaskular yang berkaitan dengan lesi koroner (Overbaugh, 2009).
Kadar troponin I dan T mengalami peningkatan dalam empat sampai
enam jam dari injuri miokard. Kadar troponin I tetap meningkat selama 4-
7 hari sedangkan troponin T tetap meningkat dalam 10-14 hari. Troponin
kardiak merupakan penanda biokimia pilihan dalam mendiagnosis SKA
karena peningkatan kadarnya berkaitan dengan diagnosis yang lebih
akurat, prediksi risiko tinggi kejadian KV yang akan datang bahkan bila
kadar CKMB normal atau meningkat ringan. Selain itu troponin
mengurangi positif palsu ketika terjadi suatu injuri muskuloskeletal
(contohnya trauma atau pembedahan). Apabila pada laboratorium tidak
tersedia troponin maka CKMB dapat dipilih sebagai alternatifnya, dimana
CKMB merupakan enzim spesifik kardiak yang dilepaskan dalam empat
sampai enam jam setelah injuri dan tetap meningkat selama 48 sampai 72
jam setelah injuri (Overbaugh, 2009, Oemrawsingh, Lenderink, et al.,
2011).
Penanda kardiak lainnya adalah mioglobin yang merupakan suatu
protein heme, tidak bersifat spesifik kardiak namun masih dapat
dipertimbangkan sebagai penanda biokimia yang bermakna karena
meningkat pertama kali setelah terjadi kerusakan miokard. Apabila onset
gejala SKA pasien kurang dari 3 jam, CKMB dan troponin dapat belum
mengalami peningkatan , maka pada kedaan ini pemeriksaan mioglobin
dapat membantu diagnosis awal suatu IMA dan menentukan terapi segera.
(Overbaugh, 2009, Kleinschmidt, 2006).
Gambar 2.6
Waktu Pelepasan Berbagai Penanda Biokimia Kardiak setelah IMA
(Anderson, Adams, et al., 2011).
Gambar 2.7
Algoritme Diagnosis SKA (Nolana, Soarb, et al., 2010).
2.2 Placental Growth Factor (PlGF)
Endotel vaskular adalah merupakan sistem yang paling serba guna
didalam tubuh yang menyediakan berbagai macam fungsi pertukaran dan
regulasi yang penting. Peranan penting sel endotel vaskular adalah memiliki
kemampuan untuk berproliferasi dan membentuk jaringan kapiler. Proses ini
dikenal dengan istilah angiogenesis, utamanya saat masa perkembangan
embrio. Pada orang dewasa, angiogenesis muncul mengikuti suatu injuri.
Angiogenesis diketahui memiliki peranan penting dalam patogenesis berbagai
kelaianan, terutama dalam pertumbuhan dan metastase suatu tumor solid.
Faktor pertumbuhan vaskular yang belakangan ini dikemukan adalah
vaskular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan dalam regulasi
angiogenesis normal maupun patologis. PlGF adalah bagian dari keluarga
VEGF, pertama kali di kloning dari plasenta manusia complementary DNA
(cDNA) pada tahun 1991, dipaparkan oleh sel tropoblast dan villi plansental
saat kehamilan. PlGF juga ditemukan dalam kadar rendah di jantung, paruparu, otot , dan jaringan adiposa (Park, Chen, et al., 1994).
2.2.1 Struktur PlGF
Placental growth factor berhubungan erat dengan VEGF-A dan
berikatan dengan reseptor 1 VEGF (VEGFR-1), yang dikenal juga sebagai
soluble fms-like Tyrosine Kinase 1, (sFLt-1)). PlGF diregulasi dalam banyak
keadaan patologis dan menggantikan VEGF-A dari VEGFR-1 dan
sVEGFR-1 sehingga membebaskan VEGF-A yang kemudian mengaktivasi
VEGFR-2. Terdapat setidaknya 4 bentuk PlGF, yang terdiri dari asam
amino 131(PlGF-1), 152 (PlGF-2(PlGF-2), 203 (PlGF-3) dan 224(PlGF-4)
yang didapat dari pembelahan mRNA setelah pemindahan sinyal peptida
(18 asam amino berkurang dalam ukuran panjangnya). Insersi asam amino
21 ke daerah terminal carboxy dari PlGF-2 menyebabkan afinitas yang
tinggi terikat dengan heparin dan terdiri dari 140 asam amino dalam bentuk
matang, dimana PlGF-1 dan PlGF-3 tidak mengikat heparin (De Falco,
2012, Yang, Ahn, et al., 2003, DiPalma, Tucci, et al., 1996).
Gambar 2.8
Gambaran Skema Ikatan PlGF (Fischer, Mazzone, et al., 2008).
Dimer PlGF-1 terdiri dari dua α-helices dan tujuh β-strands per
monomer, yang mana ikatan kovalennya dihubungkan oleh dua ikatan
dalam rantai disulphida yang anti-paralel. Aktivitas pro-angiogenik dari
VEGF memerlukan ikatan dan aktivasi dari dua reseptor tyrosine kinase
(TK) yang dikenal sebagai reseptor terhadap VEGF-A. yaitu VEGFR-1 dan
VEGFR-2. Reseptor ini terdiri dari tujuh ekstra sel Ig-like dan sebuah intra
sel TK. Walaupun memiliki kesamaan secara 3-dimensi dengan VEGF-A,
PlGF memiliki ikatan dengan afinitas lebih tinggi secara eksklusif terhadap
VEGFR-1, dibandingkan dengan VEGF-A dan VEGF-B yang juga
berikatan dengan VEGFR-1. Walaupun memiliki kemampuan berikatan
dengan VEGFR-1 secara spesifik, PlGF juga dapat secara tidak langsung
diaktifkan oleh VEGFR-2. PlGF-2 dapat berikatan dengan dua co-receptor
Neuropilin 1 dan 2 (NRP 1 dan NRP 2, yang merupakan co-reseptor
semaphorine kelas 3 (Autiero, Waltenberger, et al., 2003, De Falco, 2012).
Gambar 2.9
Representasi Skematik Ikatan Isoform PlGF dan PlGF/VEGF-A
Heterodimer (De Falco, 2012).
2.2.2 Paparan PlGF
Placental growth factor banyak didapatkan diplasenta selama tahap
gestasi yang bertujuan mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi
pertumbuhan. Hal ini menunjukkan peranan protein selama masa invasi
trophoblast ke desidua maternal. Analisa imunohistokimia mengungkapkan
bahwa PlGF ditemukan juga pada membran vaskulosintial dan pada
pembuluh darah besar plasenta. PlGF muncul pada awal perkembangan
embrionik. Sebagai tambahan PlGF ditemukan dalam kadar rendah pada
beberapa organ lain, yaitu jantung, paru-paru, tiroid, otot skeletal, dan
jaringan adiposa dalam keadaan normal. Pada tingkat sel PlGF ditemukan
pada endotel sel. Mengingat peranan utama rangsangan hipoksia telah
meningkatkan regulasi berbagai faktor pro-angiogenik ketika pembentukan
pembuluh darah baru dibutuhkan, maka beberapa studi menunjukkan
modulasi PlGF pada level molekular paling banyak diakibatkan oleh
kondisi hipoksia (Semenza, 1999).
2.2.3 Peranan PlGF Terhadap Angiogenesis.
Bukti pertama PlGF sebagai faktor pro-angiogenesis dilaporkan pada
tahun 1997. Zieche et al. (1997) menunjukkan bahwa PlGF-1 merangsang
respon angiogenik yang bergantung dosis pada kornea kelinci dan membran
chrioallantoic embrio anak ayam. Kemudian generasi dan analisa PlGF
dengan model tikus memiliki peranan untuk mengungkap fungsi biologis
PlGF. Meskipun didapatkan dalam kadar tinggi diplasenta , ketiadaan PlGF
tidak mempengaruhi perkembangan embrionik mencit normal. Mencit yang
lahir dalam keadaan tidak memiliki PlGF dinyatakan sehat dan subur. PlGF
juga dikeluarkan untuk angiogenesis fisiologis yang dirangsang di jantung
dan otot melalui latihan. Hal ini menunjukkan bahwa PlGF berperan dalam
perkembangan vaskular dan pengaturan pembuluh darah fisiologis. Namun
didapatkan juga, pelumpuhan PlGF mengganggu angiogenesis dan
arteriogenesis dalam kondisi patologis seperti pertumbuhan tumor, iskemia
jantung, tungkai, dan mata. PlGF dianggap berkaitan dengan endothelial
nitric oxide synthase (eNos), hal ini menunjukkan bukti lebih lanjut bahwa
PlGF terlibat dalam angiogenesis patologis.
Keterlibatan PlGF dalam angiogenesis juga ditunjukkan oleh studi gainof-function, dimana mencit dengan paparan PlGF yang berlebihan pada kulit
dibawah kontrol keratin-14 menunjukkan peningkatan dalam hal jumlah,
cabang, dan ukuran pembuluh darah kulit, disertai peningkatan signifikan
dari otot polos matang yang melapisi pembuluh darah. Percobaan ini secara
jelas menunjukkan bahwa PlGF merangsang pada berbagai tahap
angiogenesis patologis. Namun, PlGF juga dapat secara langsung
merangsang
pertumbuhan
pembuluh
darah
dengan
bekerja
pada
pertumbuhan, perpindahan, dan ketahanan dari sel endotel dan pematangan
pembuluh darah dengan meningkatkan proliferasi dan perekrutan sel otot
polos serta mendukung proliferasi dari fibroblast (Ziche, Maglione, et al.,
1997).
2.2.4 PlGF dan Inflamasi
Aterosklerosis
merupakan
kelainan
inflamasi
kronik
dengan
karakteristik dengan adanya lesi inflamasi yang mengandung lipid pada
arteri berukuran besar maupun sedang. Berbagai kumpulan bukti
menunjukkan bahwa angiogenesis memiliki peranan penting pada
aterogenesis dan ketidakstabilan lesi akut dari aterosklerosis serta berkaitan
erat dengan inflamasi; berbagai faktor pro maupun anti-angiogenik
berhubungan dengan proses angiogenesis dari aterogenesis. (Luttun, Tjwa,
et al., 2002, Herrmann, Lerman, et al., 2006)
Suatu PlGF di regulasi di awal dan tahap lanjut lesi aterosklerosis,
dideteksi pada bagian luar sel, bahu, dan cap plak. Secara khusus PlGF
utamanya berlokasi pada bagian bahu dari plak aterosklerosis, dimana
terdapat pembuluh darah kecil dengan densitas yang tinggi dengan infiltrasi
makrofag. Kemudian PlGF merangsang penebalan intima aterosklerotik dan
akumulasi makrofag serta neovaskularisasi dan aktivasi endotel. Suatu PlGF
tampak bekerja lebih efektif pada masa awal aterogenesis, karena terapi
antibodi anti-PlGF secara signifikan menghambat lesi awal, namun menjadi
kurang efektif pada tahap lanjut perkembangan plak (Khurana, Moons, et
al., 2005).
Satu studi mencoba mengevaluasi efek dari hilangnya gen PlGF pada
pertumbuhan dan kandungan makrofag lesi aterosklerosis pada mencit
dengan defisiensi Apo E.
Defisiensi PlGF menyebabkan pengurangan
bermakna dalam ukuran dan kandungan makrofag pada awal plak
aterosklerosis pada mencit dengan dengan defisiensi Apo E. Sehingga
demikian, efek penekanan dari anti-PlGF terhadap pertumbuhan dan
ketidakstabilan plak bergantung terhadap penghambatan infiltrasi dan
aktivasi makrofag. PlGF merekrut makrofag dengan meningkatkan paparan
vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) yang merupakan molekul
adhesi monosit/makrofag dan aktivasi sel endotel dilumen arteri. (Selvaraj,
Giri, et al., 2003, Khurana, Moons, et al., 2005, Roncal, Buysschaert, et al.,
2010).
Perekrutan regulasi monosit/makrofag oleh PlGF ini adalah penting
karena monosit/makrofag adalah tipe sel yang dominan dalam aterosklerosis
pembuluh darah dan terlibat dalam semua tahapan perkembangan
aterosklerosis. Monosit menjadi makrofag dengan paparan scavenger
receptors (SRs) dan membawa reseptor imun seperti Toll-like receptors
(TLRs) dibawah pengaruh faktor-faktor yang dibentuk secara lokal seperti
monocyte colony-stimulating factor dan stimuli lainnya. SRs memediasi
pengambilan partikel LDL teroksidasi/oxidized LDL (oxLDL) oleh
makrofag, yang akan menyebabkan akumulasi kolesterol intrasel dan
pembentukan sel foam. TLRs berinteraksi dengan oxLDL dan komponen
mikrobial, seperti
lipopolysaccharides (LPS), heat shock protein 60
(Hsp60), dan ikatan lain sehingga terjadi aktivitas makrofag dan produksi
mediator pro-inflamasi (Heeschen, Dimmeler, et al., 2004, Lenderink,
Heeschen, et al., 2006).
Makrofag akan mengaktivasi sel-T dengan mengeluarkan antigen
spesifik yang akan memodulasi respon sel-T. Sel-T akan memproduksi
sitokin seperti interleukin (IL) -18 dan IL-12. Pembentukan sitokin akan
merangsang respon inflamasi dan meningkatkan resiko terjadinya ruptur
plak.
Aktivasi makrofag tipe-II (M2) akan merangsang angiogenesis
dengan sekresi VEGF, fibroblast growth factors (FGFs) dan endothelin ,
dimana neovaskularisasi dapat bertindak sebagai jalur infiltrasi leukosit
pada plak aterosklerosis. Studi oleh Wang and Keiser (1998) menemukan
bahwa Matrix Metalloproteinase (MMP) berkontribusi terhadap migrasi
smooth muscle cell (SMC) dalam proses angiogenesis dan aterosklerosis.
Vascular endotelial growth factor menyebabkan peningkatan phosporilasi
flt-1 pada SMC, flt-1 berperan dalam memediasi peningkatan regulasi
komponen sel (upregulation) dari sekresi MMP pada SMC. PlGF
merupakan protein yang memiliki sifat berikatan secara spesifik dengan flt-1
dibandingkan VEGF. Peningkatan konsentrasi PlGF akan meningkatkan
stimulasi eksresi MMP-1 dan MMP-9 pada SMC melalui flt-1. Paparan
MMP akan meningkatkan destruksi dari extracellular matrix (ECM) di
punggung dari suatu ateroma dan meningkatkan degradasi kolagen tipe I
yang merupakan komponen utama dari cap fibrosa plak yang berfungsi
melindungi pembuluh darah dari ruptur dan menjaga integritas dinding
pembuluh darah plak aterosklerotik. Peningkatan MMP akan menyebabkan
destabilisasi plak aterosklerosis sehingga menjadi rapuh dan lebih mudah
ruptur. Kadar PlGF disirkulasi tidak terdeteksi pada individu normal, namun
meningkat pada pasien dengan aterosklerosis atau penyakit jantung iskemia.
Pasien dengan kadar plasma PlGF yang meningkat dalam waktu 12 jam
onset gejala merupakan prediksi prognosis yang buruk baik dalam jangka
waktu pendek maupun panjang
(Heeschen, Dimmeler, et al., 2004,
Lenderink, Heeschen, et al., 2006, Saha, Modarai, et al., 2009, Wang and
Keiser, 1998).
Peranan PlGF selama fase lanjut SKA dengan gejala dapat berbeda
dengan saat fase awal penyakit. Penebalan plak aterosklerosis merupakan
akibat dari hipoksia pada dinding pembuluh darah dan otot jantung.
Hipoksia merupakan salah satu perangsang angiogenesis yang kuat. Dalam
keadaan hipoksia, produksi PlGF mengalami peningkatan di kardiomiosit
dan
fibroblast,
serta
berperan
dalam
angiogenesis
miokard
dan
penyembuhan jaringan. PlGF juga diketahui menyebabkan mobilisasi,
kemotaksis, dan perekrutan sel endotel yang dibawa oleh sum-sum tulang ke
jaringan iskemia sehingga terjadi penyembuhan pembuluh darah yang
mengalami injuri. Hal ini bergantung terhadap tahap progresifitas
aterosklerosis (Green, Lichtlen, et al., 2001, Torry, Tomanek, et al., 2009,
Kim, Cho, et al., 2012).
Gambar 2.10
Peranan PlGF terhadap aterosklerosis (Kim, Cho, et al., 2012).
Download