BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Komposisi Karbohidrat Total Sampah Organik Analisis terhadap komposisi sampah organik meliputi analisis kadar lignin, kadar pentosan dan kadar total selulosa. Berdasarkan hasil analisis sampel sari sampah organik yang dilakukan di Laboratorium Pengujian Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, diperoleh kandungan karbohidrat seperti tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 Kandungan Karbohidrat Total Sampel Kadar lignin (ppm) Kadar pentosan (ppm) Total Selulosa (%) Sari sampah 350 ppm 700 ppm 1,125 Hasil analisis kimia dari sampah organik (Tabel 4.1) menunjukan bahwa sampah organik mengandung total selulosa sebanyak 1,125% dan kadar pentosan sebanyak 700 ppm. Karbohidrat (selulosa) yang terdapat dalam sari sampah tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan alkohol. Akan tetapi, dikarenakan mikroba hanya mampu menggunakan monosakarida seperti glukosa dan fruktosa untuk pertumbuhannya, maka karbohidrat yang ada dalam sampah organik harus dipecah menjadi monomer-monomer sederhana terlebih dahulu melalui proses hidrolisis. Pada penelitian ini, hidrolisis yang dilakukan adalah hidrolisis enzimatik dengan pemberian inokulum Trichoderma viride. Seperti yang dinyatakan Riyanti (2009) bahwa pengubahan karbohidrat dapat melalui proses hidrolisis kimiawi dan hidrolisis enzimatis. 37 38 Kadar lignin dari sampah organik adalah 350 ppm. Lignin merupakan senyawa polimer aromatik yang sulit didegradasi dan merupakan komponen penyusun dinding sel. Oleh karena itu dilakukan penghancuran struktur struktur fisik bahan dan memecah matriks karbohidrat penyusun dinding sel dengan menjadikannya bubur dalam proses pretreatment. Pada pengukuran tersebut tidak diukur kadar gula sederhana dalam substrat. Kadar gula yang terukur adalah kadar gula komlpeks. Kadar gula sederhana dalam bentuk gula pereduksi diukur kemudian pada tahap penelitian dengan menggunakan metode Somogyi-Nelson. B. Pretreatment Biologi dengan Penambahan Inokulum Trichoderma viride 1. Penentuan Lama Inkubasi Optimum Pada proses pretreatment substrat yang digunakan dijadikan bubur sampah untuk menghancurkan struktur fisik bahan dan memecah matriks karbohidrat penyusun dinding sel. Penghancuran struktur substrat dapat memisahkan selulosa dan lignin serta memperluas permukaan, sehingga selulosa dapat terpisah dan berkontak langsung dengan enzim yang dihasilkan oleh Trichoderma viride (Taherzadeh & Karimi, 2008). Menurut Widowati (2001) proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah ukuran partikel. Ukuran partikel yang kecil akan meningkatkan luas permukaan serta meningkatkan kelarutan dalam air (Saraswati, 2006). Lamanya waktu inkubasi optimum menunjukan waktu T. viride dalam mendegradasi lignin dan membuka selulosa terhadap hidrolisis enzimatik pada substrat sehingga menghasilkan kadar glukosa yang tinggi. Lama 39 peningkatan kadar gula pereduksi berbeda-beda untuk setiap konsentrasi, hal ini disebabkan oleh perbedaan jumlah konsentrasi inokulum yang terdapat pada substrat. Pada konsentrasi T. viride 5% dan 15%, kadar gula tertinggi dihasilkan setelah inkubasi 6 hari yaitu sebesar 108,96±3,58 mg/ml dan 115,45±3,88 mg/ml. Pada konsentrasi T. viride 5% jumlah sel lebih sedikit sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperbanyak diri. Sedangkan pada konsentrasi 15%, jumlah sel terlalu banyak sehingga terjadi persaingan sebelum terjadinya proses degradasi selulolitik. Secara keseluruhan, kadar gula tertinggi dihasilkan setelah beberapa hari setelah inkubasi. Kadar gula tertinggi dihasilkan setelah inkubasi 4 hari oleh T. viride 10% yaitu sebesar 121,50±2,14 mg/ml. Rata-rata kadar gula pereduksi yang dihasilkan terdapat pada Tabel 4.2. Pada hari berikutnya kadar gula pereduksi menurun dan meningkat kembali, akan tetapi kadarnya tidak lebih tinggi dari hari ke-4 dan setelah itu turun kembali sampai akhir waktu inkubasi. Tabel 4.2 Rata-rata kadar gula pereduksi pada tahap pra-penelitian (mg/ml) Waktu Konsentrasi Inokulum 0% 5% 10% 15% Hari ke-0 99,88±0,00 99,88±0,00 99,88±0,00 99,88±0,00 Hari ke-1 95,98±4,29 91,66±4,29 96,85±3,74 82,57±5,92 Hari ke-2 95,12±2,37 97,28±3,19 82,58±4,24 86,03±4,26 Hari ke-3 94,69±1,93 98,58±4,58 101,17±2,74 95,98±4,43 Hari ke-4 86,47±1,81 99,44±3,99 121,50±2,14 115,4±3,88 Hari ke-5 78,25±5,51 85,60±2,90 104,63±3,37 108,53±4,59 Hari ke-6 74,79±4,50 108,96±3,58 111,99±4,03 115,45±2,43 Hari ke-7 77,82±2,82 98,58±2,20 108,10±2,56 99,88±2,79 Hari ke-8 68,73±1,93 68,30±3,28 64,84±3,87 67,00±3,55 Hari ke-9 53,54±2,45 60,08±1,77 54,46±2,16 61,81±1,73 40 Peningkatan kadar gula pereduksi tersebut diperoleh lebih cepat dibandingkan dengan kadar gula pereduksi yang dihasilkan dari substrat bonggol pisang pada penelitian yang dilakukan oleh Kamara (2007) yang didapat setelah 8 hari. Hal ini dikarenakan kadar selulosa yang lebih tinggi pada bonggol pisang dibandingkan sampah organik. Pada awal inkubasi, glukosa yang terdapat dalam substrat digunakan T. viride untuk kebutuhan pertumbuhannya dan belum memulai proses pendegradasian karena glukosa yang dibutuhkan masih tersedia di dalam substrat. Semakin lama waktu inkubasi maka kadar glukosa semakin menurun. Hal ini menyebabkan T. viride perlu mendegradasi substrat yang mengandung selulosa menjadi glukosa untuk kebutuhannya. Bertambahnya kadar glukosa dalam medium fermentasi disebabkan adanya aktivitas enzim selulase dan enzim-enzim selain selulase seperti amilase, xilanase dan pektinase untuk menguraikan karbohidrat dalam substrat (Linda, 2007: 51). Murni (2008: 70) menyatakan bahwa, kandungan selulosa yang tidak berikatan dengan lignin dapat dengan mudah didegradasi oleh T. viride. Hal tersebut dikerenakan T. viride memiliki sistem enzim selulolitik yang terdiri dari tiga kelompok utama yaitu endoglukanase, exoglukanase, dan β-glukosidase. Ketiga kelompok enzim tersebut bekerja secara sinergis dalam proses hidrolisis seulosa menjadi glukosa (Murni, 2008: 74). Oleh karena itu kadar gula pereduksi tertinggi dihasilkan setelah inkubasi 4 hari dan menurun pada hari berikutnya. 41 Penurunan kadar gula perduksi pada beberapa hari terakhir inkubasi disebabkan oleh fase stasioner yang dialami T. viride. Menurut Judoamidjojo (1992: 96), fase stasioner akan terjadi bila semua sel berhenti membelah diri atau bila sel hidup dan sel mati mencapai keseimbangan, yaitu dengan laju kematian. Meskipun pertumbuhan bersih telah terhenti, mungkin saja proses metabolisme masih berlangsung dan produk masih mengalami penimbunan. Hal inilah yang menyebabkan kadar gula pereduksi yang terukur mengalami penurunan terus menerus selain ketersediaan substrat selulosa yang semakin berkurang. Dari tabel hasil uji Two Way Anova dan post hoc terhadap lama waktu inkubasi, perlakuan yang memiliki selisih terbesar adalah pada hari ke-4. Artinya, pada hari ke-4 kadar gula pereduksi yang dihasilkan sangat banyak bila dibandingkan dengan hari lainnya. Terlihat pada kolom Mean Difference bahwa yang memiliki selisih terbesar dengan hari lainnya adalah hari ke-4 dan perbedaanya pun signifikan, terlihat dari kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. Hasil uji Two Way Anova dapat dilihat pada Lampiran 7.1. 2. Penentuan Konsentrasi Trichoderma viride terbaik Laju penurunan dan peningkatan kadar gula pereduksi pada inkubasi T. viride dapat dilihat pada Gambar 4.1. 42 T. viride 0% T. viride 5% T. viride 10% T. viride 15% Kadar Gula Pereduksi 120 90 60 30 0 0 hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari 8 hari 9 hari Waktu Inkubasi Gambar 4.1 Kadar gula pereduksi pada proses pretreatment Rata-rata kadar gula pereduksi yang dihasilkan pada tiap konsentrasi inokulum berbeda-beda. Selain itu waktu inkubasi T. viride pun mempengaruhi kadar glukosa yang dihasikan. Dari hasil pengujian Test Between Subject Effect diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara masing-masing perlakuan. Hasil pengujian Test Between Subject Effect dapat dilihat pada Lampiran 7.1. Berdasarkan hasil uji statistika tersebut dapat disimpulkan, bahwa dari perlakuan konsentrasi inokolum, waktu inkubasi, serta interaksi antara inokolum dan waktu memang menghasilkan perbedaan yang signifikan. Dengan kata lain faktor-faktor yang terdapat di dalam masing-masing perlakuan menghasilkan kadar gula perduksi dalam jumlah yang berbeda. Hal tersebut dapat terlihat dari masing-masing nilai Sig. pada tabel yaitu hampir semua nilainya bernilai di bawah taraf signifikansi penelitian ini, yaitu 5% seperti yang tertera pada Lampiran 7.1. 43 Pada konsentrasi T. viride 0%, kadar gula mengalami sedikit peningkatan pada hari ke-7 kemudian turun kembali pada hari berikutnya. Peningkatan dan penurunan kadar gula tersebut dikarenakan adanya mikroorganisme bawaan yang terdapat pada sampah organik yang dijadikan substrat. Beberapa mikroorganisme yang telah diidentifikasi oleh Kusnadi et al. pada sampah organik merupakan spesies jamur dari genus Penicillium dan Mucor. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa spesies dari kedua genus tersebut memiliki aktivitas amilolitik dan selulolitik. Hal inilah yang menyebabkan peningkatan dan penurunan kadar gula pereduksi pada perlakuan kontrol. Konsentrasi inokulum terbaik merupakan konsentrasi inokulum T. viride yang menghasilkan kadar gula pereduksi paling tinggi selama proses degradasi. Pada Gambar 4.2, rata-rata kadar gula paling tinggi setelah 4 hari dihasilkan oleh inokulum dengan konsentrasi 10% (v/v) yaitu sebesar 121,50±2,14 mg/ml. Sedangkan rata-rata kadar gula paling rendah sebesar 86,47±1,81 mg/ml dihasilkan pada medium kontrol atau dengan kata lain tidak diberi perlakuan. Konsentrasi 10% tersebut merupakan konsentrasi terbaik dalam degradasi selulosa pada sampah organik yang juga telah digunakan sebelumnya dalam penelitian lain yang sama pada substrat yang berbeda (Kamara et al., 2007) Kadar Gula Pereduksi mg/ml 44 140 121.50 120 100 115.40 99.44 86.47 80 60 40 20 0 T. viride 0% T. viride 5% T. viride 10% T. viride 15% Konsentrasi Inokulum T. viride Gambar 4.2 Rata-rata kadar gula pereduksi setelah inkubasi 4 hari Pada kolom Mean Difference yang terdapat pada Lampiran 7.1, konsentrasi yang memiliki selisih terbesar adalah konsentrasi inokolum 10% (v/v), dan perbedaanya pun signifikan. Hal ini dapat terlihat dari kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. Dengan kata lain, pada konsentrasi inokolum 10% (v/v) kadar gula pereduksi yang dihasilkan sangat banyak bila dibandingkan dengan konsentrasi inokulum lainnya. Pada konsentrasi T. viride 10% (v/v) jumlah sel dan enzim yang dihasilkan mencukupi untuk proses degradasi selulolitik. Sumber energi yang semakin terbatas menyebabkan T. viride mendegradasi selulosa dan karbohidrat lain pada substrat menjadi gula sederhana untuk kelangsungan hidupnya. Sesuai dengan pernyataan Poedjiadi (1994: 174) bahwa kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi akan bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. 45 Pada konsentrasi 5% dan 15%, kadar gula tertinggi dihasilkan setelah inkubasi selama 6 hari. Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi T. viride 5%, jumlah selnya lebih sedikit sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendegradasi substrat. Sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 15%, terjadi persaingan dalam penggunaan glukosa sehingga kadar gula pereduksi yang terukur rendah. Berdasarkan data hasil inkubasi dan hasil uji statistika, maka substrat yang digunakan untuk pretreatment biologis sebelum fermentasi etanol adalah bubur sampah dengan penambahan konsentrasi inokulum T. viride 10% (v/v) yang menghasilkan kadar gula pereduksi sebesar 121,50±2,14 mg/ml setelah inkubasi selama 4 hari. C. Fermentasi Alkohol 1. Lama Fermentasi Optimum Berdasarkan hasil pra-penelitian, pretreatment biologis yang dilakukan adalah dengan penambahan inokulum T. viride sebanyak 10% (v/v) dengan lama inkubasi selama 4 hari. Sebelum fermentasi alkohol, pada medium fermentasi yaitu sari sampah ditambahkan gula awal sebanyak 5% (b/v). Penambahan gula ini bertujuan untuk menghasilkan biomassa sel yang optimum dalam mengubah substrat pada awal fermentasi dan untuk mempersingkat masa adaptasi khamir dalam medium kompleks (Away, 1989: 22). Analisis sampel dilakukan pada hari ke-0, 2, 4, dan 6. Rata-rata analisis hasil fermentasi alkohol terdapat pada Tabel 4.3. 46 Tabel 4.3 Rata-rata kadar alkohol, kadar gula pereduksi dan pH dengan konsentrasi inokulum 0,%, 3%, 5%, 7% (v/v), inkubasi selama 6 hari. Konsentrasi Inokulum (%) 0 3 5 7 0 0,00 Kadar Alkohol (%) Hari ke2 4 4,14 3,74 6 1,74 Kadar Gula Pereduksi (mg/ml) Hari ke0 2 4 6 112,85 105,50 96,42 74,35 0 5,00 Hari ke2 4 4,50 4,80 6 5,00 ±4,22 pH ±0,00 ±1,10 ±1,65 ±0,18 ±0,00 ±1,64 ±0,29 ±0,00 ±0,00 ±0,00 ±0,00 0,00 13,46 10,07 8,42 112,85 101,61 86,90 80,41 5,00 4,50 5,00 5,00 ±0,00 ±0,99 ±0,93 ±1,10 ±0,00 ±2,37 ±1,53 ±2,65 ±0,00 ±0,00 ±0,00 ±0,00 0,00 11,36 9,87 6,12 112,85 93,39 82,14 77,38 5,00 4,50 5,00 5,00 ±0,00 ±1,77 ±1,27 ±1,51 ±0,00 ±1,92 ±2,37 ±2,77 ±0,00 ±0,00 ±0,00 ±0,00 0,00 10,07 8,30 6,32 112,85 102,90 83,44 65,70 5,00 4,50 5,00 5,00 ±0,00 ±0,72 ±0,85 ±1,14 ±0,00 ±1,81 ±0,00 ±0,00 ±0,00 ±0,00 ±3,28 ±1,18 Pada Tabel 4.3 dapat dilihat kadar alkohol selama 6 hari pengamatan dengan konsentrasi inokulum 0%, 3%, 5%, dan 7% (v/v). Secara umum ratarata kadar alkohol yang dihasilkan selama 6 hari inkubasi berbeda-beda pada setiap variasi konsentrasi dan lama fermentasi. Dari hasil pengujian Test Between Subject Effect, diketahui bahwa nilai significant 0,000 lebih kecil daripada nilai signifikansi peneltian sebesar 0,05. Dengan kata lain, perlakuan konsentrasi inokolum, waktu fermentasi, serta interaksi antara inokolum dan waktu memang menghasilkan perbedaan yang signifikan sehingga masingmasing perlakuan menghasilkan kadar alkohol dalam jumlah yang berbeda. Hasil pengujian Test Between Subject Effect dapat dilihat pada Lampiran 7.3. Berdasarkan Tabel 4.3, dapat dilihat kadar alkohol yang dihasilkan oleh konsentrasi inokulum 0%, 3%, 5% dan 7%. Secara keseluruhan kadar alkohol tertinggi dihasilkan setelah inkubasi hari ke-2 dan menurun pada hari ke-4 dan ke-6. Hal ini senada dengan kadar alkohol yang meningkat setelah hari ke-2 pada penelitian yang dilakukan Elevri (2006) dengan amobilisasi 47 agar batang. Hal tersebut disebabkan oleh lama fermentasi yang mempengaruhi kadar alkohol. Lama fermentasi yang dibutuhkan dalam proses fermentasi adalah 2-3 hari (Astawan & Made, 1991). Pada awal inkubasi sel khamir membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan substrat barunya. Pada hari berikutnya sel khamir mulai memasuki fase eksponensial dimana alkohol sebagai metabolit primer dihasilkan, sedangkan tahap selanjutnya sel khamir mulai memasuki fase stasioner dan kematian sehingga kadar alkohol yang dihasilkan menurun (Prasad et al., 2006). Rata-rata kadar gula pereduksi pada hari ke-2 mengalami penurunan seperti yang ditunjukan dalam Tabel 4.3, hal ini mengindikasikan terjadinya perubahan glukosa menjadi alkohol oleh sel khamir. Semakin lama fermentasi mengakibatkan nilai rata-rata gula pereduksi yang diukur menggunakan metode Somogyi-Nelson mengalami penurunan. Penurunan kadar gula pereduksi dalam kultur selama fermentasi mengindikasikan adanya penggunaan glukosa oleh sel khamir. Glukosa merupakan sumber karbon utama yang diserap melalui proses transpor aktif yang kemudian dimetabolisme untuk menghasilkan energi, mensintesis bahan pembentuk sel, serta sintesis metabolit (Priest & Campbell, 1996 dalam Thontowi, 2007: 256). Pada proses fermentasi, glukosa digunakan oleh sel khamir untuk dua hal yaitu untuk tumbuh dan berkembang biak khamir tersebut dan sebagian lagi akan dikonversi menjadi produk metabolit seperti etanol (Elevri & Putra, 2006). 48 Nilai rata-rata pH selama 6 hari inkubasi mengalami penurunan. Dalam proses fermentasi alkohol, selain dihasilkan alkohol, terbentuk pula asam-asam organik seperti asam laktat dan juga dihasilkan CO2. CO2 tersebut akan bereaksi dengan air dalam medium fermentasi yang akan membentuk asam karbonat (Darwindra, 2010). Asam organik tersebut akan terakumulasi pada medium dan akan menurunkan pH medium, pada kontrol pH mengalami penurunan karena terjadi kontaminasi. Aktivitas mikroorganisme kontaminan dalam medium menyebabkan pH medium turun. Kontaminan dapat berasal dari mikroorganisme udara karena kontak udara pada saat melakukan pengamatan, selain itu juga bisa berasal dari alat-alat yang digunakan selama analisis sampel seperti tips dan pipet. Untuk mengetahui perlakuan lama fermentasi yang memberikan kadar alkohol yang terbanyak, dilakukan uji lanjutan atau post-hoc test menggunakan uji Tukey. Dari hasil pengujian tersebut yang memiliki selisih terbesar adalah pada hari ke-2. Hal tersebut dapat dilihat pada kolom Mean Difference bahwa yang memiliki selisih terbesar adalah hari ke dua dan perbedaannya pun signifikan yang terlihat pada kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0,000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. Artinya pada hari ke dua kadar alkohol yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hasil uji Tukey dapat dilihat pada Lampiran 7.3.2. 49 2. Konsentrasi Inokulum Saccharomyces cerevisiae Terbaik Berdasarkan penentuan lama fermentasi terbaik, diketahui bahwa kadar alkohol tertinggi dihasilkan setelah inkubasi 2 hari. Rata-rata kadar alkohol setelah inkubasi selama 2 hari dapat dilihat pada Gambar 4.3. Kadar Alkohol (%) 13.46 11.36 10.07 4.14 S. cerevisiae 0% S. cerevisiae 3% S. cerevisiae 5% S. cerevisiae 7% Konsentrasi Inokulum S. cerevisiae Gambar 4.3 Rata-rata kadar alkohol setelah inkubasi 2 hari Berdasarkan Gambar 4.3, kadar alkohol tertinggi dihasilkan oleh konsentrasi inokulum 3% sebesar 13,46±0,99%. Konsentrasi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi S. cerevisiae yang biasa digunakan dalam penelitian lain yang berhubungan. Salah satunya adalah Rahim (2009) yang menggunakan S. cerevisiae dengan konsentrasi 10% untuk produksi etanol dari sirup dekstrin. Hal ini dikarenakan ketersediaan nutrisi dengan jumlah enzim yang dihasilkan oleh sel khamir sebanding sehingga tidak terjadi persaingan dalam penggunaan nutrisi oleh sel khamir yang menyebabkan pembentukan alkohol menjadi lebih optimum. Semakin tinggi penambahan konsentrasi inokulum belum tentu menghasilkan kadar alkohol yang tinggi. Menurut Fardiaz (1988: 15), 50 konsentrasi inokulum yang terlibat dalam fermentasi sangat mempengaruhi efektivitas penghasilan produk. Pada penambahan konsentrasi inokulum 5% dan 7%, kadar alkohol yang dihasilkan lebih kecil yaitu 11,36±1,77% dan 10,07±0,72%. Pada konsentrasi inokulum tersebut, jumlah sel khamir lebih banyak sehingga terjadi persaingan dalam menggunakan nutrisi serta konsentrasi enzim yang mengubah substrat menjadi alkohol tidak sebanding dengan nutrisi yang ada sehingga mengakibatkan kadar alkohol yang dihasilkan lebih kecil (Elevri & Putra, 2006). Sesuai dengan pernyataan Poedjiadi (1994: 174) bahwa kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksi akan bertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim. Pada kontrol terdapat kadar alkohol yaitu sebesar 4,14±1,10%. Seharusnya tidak terdapat alkohol pada kontrol, kalaupun ada maka kadarnya sangat kecil bahkan dapat diabaikan. Hal ini disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme bawaan yang terdapat pada sampah organik yang dijadikan substrat (Saraswati et al., 2004). Jumlah inokulum akan mempengaruhi persaingan pengambilan nutrisi oleh khamir, sehingga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan khamir dan kadar alkohol yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan uji Tukey menunjukan bahwa yang memiliki selisih terbesar adalah pada konsentrasi inokolum 3%. Artinya, pada konsentrasi inokolum 3% kadar alkohol yang dihasilkan akan sangat banyak bila dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. 51 Terlihat pada kolom Mean Difference bahwa yang memiliki selisih terbesar adalah konsentrasi inokolum 3%, dan perbedaanya signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. Hasil uji Tukey dapat dilihat pada Lampiran 7.3.1. 3. Kadar Gula Pereduksi Rata-rata kadar gula pereduksi dengan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, 3%, 5%, dan 7% (v/v), setelah pengamatan selama enam hari Kadar Gula Pereduksi (mg/ml) hari terdapat pada gambar 4.4. 120 100 80 60 S. cerecisiae 0% S. cerecisiae 3% S. cerecisiae 5% S. cerecisiae 7% 40 20 0 hari ke-0 hari ke-2 hari ke-4 Lama Inkubasi hari ke-6 Gambar 4.4 Rata-rata kadar gula pereduksi pada fermentasi alkohol Dari keseluruhan data menunjukan penurunan kadar gula pereduksi selama fermentasi 6 hari. Penurunan kadar gula tersebut sama seperti yang terjadi pada penelitian Elevri (2007) yang mengalami penurunan selama proses fermentasinya. Hal ini terjadi karena gula diubah oleh khamir menjadi alkohol. Penurunan kadar gula pereduksi dalam kultur selama fermentasi mengindikasikan adanya penggunaan glukosa oleh khamir. Pada kontrol 52 kadar gula mengalami penurunan juga karena adanya kontaminan. Semakin lama fermentasi mengakibatkan nilai rata-rata gula pereduksi yang diukur menggunakan metode Somogyi-Nelson mengalami penurunan. Glukosa merupakan sumber karbon utama yang diserap melalui proses transpor aktif yang kemudian dimetabolisme untuk menghasilkan energi, mensintesis bahan pembentuk sel, serta sintesis metabolit (Thontowi, 2007: 256). Pada akhir fermentasi, rata-rata kadar gula pereduksi terendah terdapat pada konsentrasi 7% yaitu sebesar 65,70±1,81 mg/ml. Sedangkan pada konsentrasi 3% dan 5% rata-rata kadar gula pereduksi adalah 80,41±2,65 mg/ml dan 77,38±2,77 mg/ml. Penurunan kadar gula pereduksi pada konsentrasi inokulum 3%, 5%, dan 7% tidak diikuti dengan peningkatan kadar alkohol, karena gula pereduksi digunakan khamir untuk pertumbuhannya dan mempertahankan hidup. Pada proses fermentasi, glukosa digunakan khamir untuk dua hal yaitu untuk tumbuh dan berkembang biak khamir tersebut dan sebagian lagi akan dikonversi menjadi produk metabolit seperti etanol. Hubungan korelasi antara kadar alkohol dengan kadar gula berdasarkan uji korelasi menunjukan bahwa nilai korelasi antara kadar alkohol dan gula adalah sebesar -0,413 Tanda negatif menunjukkan terdapatnya hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dan kadar gula. Angka korelasi tersebut adalah signifikan, dapat dilihat dari nilai sig. pada tabel yaitu 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Lampiran 7.5.1. 53 4. pH Kondisi optimum sangat diperlukan mikroba untuk menghasilkan metabolit yang maksimal. Salah satunya adalah pH medium. Rata-rata pH medium selama proses fermentasi dapat dilihat pada Gambar 4.5. 6.0 Nilai pH 5.0 4.0 3.0 S. cerevisiae 0% S. cerevisiae 3% S. cerevisiae 5% S. cerevisiae 7% 2.0 1.0 0.0 hari ke-0 hari ke-2 hari ke-4 Lama Inkubasi hari ke-6 Gambar 4.5 Rata-rata pH selama proses fermentasi alkohol Nilai rata-rata pH mengalami penurunan selama 6 hari inkubasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5. Penurunan pH tersebut menunjukan adanya proses fermentasi yang berlangsung dalam medium. Dalam proses fermentasi alkohol, selain dihasilkan etanol, terbentuk pula asam-asam organik seperti asam asetat dan juga dihasilkan CO2. CO2 tersebut akan bereaksi dengan air dalam medium fermentasi yang akan membentuk asam karbonat. Asam organik tersebut akan terakumulasi pada medium dan akan menurunkan pH medium. Judoamidjojo (1992: 114) menyatakan bahwa selama berlangsungnya proses fermentasi keadaan pH bertendensi untuk berubah oleh berbagai sebab, salah satunya adalah bila terbentuk asam-asam organik seperti asam asetat atau piruvat. Nilai pH optimum pada fermentasi alkohol untuk pertumbuhan khamir adalah 4,8-5 (Hidayat et al., 2006: 181). Nilai pH awal media fermentasi 54 sangat mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan. Hal ini disebabkan proton-proton mempengaruhi kinerja enzim-enzim dalam jalur EMP, diantaranya enzim fosfofruktokinase yang berperan dalam glikolisis pada tahap konversi fruktosa-6-fosfat menjadi fruktosa-1,6-difosfat (Reibstein et al., 1986). Dari semua data pH yang mengalami penurunan, menunjukan bahwa terjadi proses fermentasi dalam medium. Perubahan keasaman media ini merupakan salah satu indikator aktivitas fermentasi. Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu dari beberapa faktor penting yang mempengaruhi fermentasi alkohol. Pada pH dibawah 3, proses fermentasi alkohol akan berkurang kecepatannya (Samsuri et al., 2007: 20). Hubungan korelasi antara kadar alkohol dengan pH medium berdasarkan uji statistik menunjukan bahwa nilai korelasi antara kadar alkohol dan pH adalah sebesar -0,606. Tanda negatif menunjukkan terdapatnya hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dan pH. Angka korelasi tersebut adalah signifikan, dapat dilihat dari nilai sig. pada tabel yaitu 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Lampiran 7.5.2. Berdasarkan hasil fermentasi alkohol dan hasil uji statistika, maka substrat yang digunakan untuk skala pilot adalah medium bubur sampah dengan pretreatment biologis, yaitu inkubasi oleh T. viride 10% selama 4 hari dan penambahan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 3% setelah inkubasi dua hari. 55 D. Hasil Pengujian Skala Pilot 1. Destilasi Setelah dilakukan fermentasi selama dua hari dalam skala pilot, sampel didestilasi dengan menggunakan destilator bertingkat. Destilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari senyawa lain. Prinsip destilasi adalah memisahkan zat-zat melalui perbedaan titik didih. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan air adalah 100oC (kondisi standar). Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 70 – 90oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol. Dari 1 liter sampel yang didestilasi didapatkan rendemen sebanyak 132 ml atau sekitar 13,2%. Jika dibandingkan dengan bioetanol yang dihasilkan dari substrat lain, rendemen yang dihasilkan dari sampah organik ini lebih kecil. Faktor yang mempengaruhi rendahnya kadar etanol dari sampah organik ini adalah kadar gula perduksi pada sampah organik lebih kecil dibanding substrat yang berpati atau bergula seperti ubi dan tetes tebu. 2. Uji GC-MS Sampel hasil destilasi skala pilot diuji komposisinya di Laboratorium Kimia Instrumen FPMIPA UPI dengan menggunakan Gas Chromatrograph Mass Spectrometry (GC-MS). Analisi GC-MS bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi. Prinsip kromatografi adalah memisahkan komponen-komponen dari suatu campuran atau sampel. 56 Hasil uji GC-MS menunjukan bahwa dalam sampel terdapat etanol dengan kadar sebesar 85,80%. Hasil konversi dari 1 liter sari sampah didapat 11,32% etanol. Hal ini menunjukan bahwa sampah organik berpotensi untuk dijadikan pembuatan bioetanol meskipun rendemen yang didapat tidak terlalu tinggi. Bioetanol dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar apabila kadar minimalnya adalah 40% (Wibowo, 2008) Selain etanol, dalam sampel juga terdapat 4 senyawa lain yaitu etil asetat 2,94%; asam asetat 4,89%; asetaldehid 2,03%; dan disianometilen 4,35%. Senyawa etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan etanol. Asam asetat dan etanol terdapat dalam substrat sehingga memungkinkan terjadinya reaksi Fischer yang menghasilkan etil asetat. Asam asetat yang terdapat dalam substrat dihasilkan melalui proses oksidasi alkohol oleh mikroorganisme penghasil asam asetat seperti Acetobacter (Battcock & Ali, 1998). Sedangkan asetaldehid yang terukur dalam GC-MS membuktikan adanya proses fermentasi yang dilakukan oleh S. cerevisiae. Khamir tersebut memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat. Asam piruvat, selanjutnya mengalami reaksi dekarboksilasi menjadi asetaldehid dan mengalami reaksi dehidrogenasi menjadi bioetanol (Musanif, 2008). Akan tetapi sejumlah asetaldehid yang terukur dapat dikarenakan lisisnya sel-sel S. cerevisiae pada proses destilasi sehingga hasil metabolisme tersebut bercampur dengan senyawa lain.