BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) Data World Health Organization (WHO) tahun 1990 memperkirakan prevalensi penderita PPOK pada tahun 2005 didapatkan sekitar 80 juta orang dan 3 juta meninggal dengan merujuk 5% dari seluruh kematian secara global. Jumlah total angka kematian akibat PPOK pada tahun 2015 diproyeksikan akan meningkat > 30% dan diperkirakan sebagai penyebab kematian ketiga didunia pada tahun 2030. Prevalensi PPOK di Amerika Serikat data tahun 2007 sebesar 10,1%. Prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). Prevalensi PPOK di Indonesia belum ada data yang akurat (GOLD, 2014; PDPI, 2011; Oemiati, 2013). Prevalensi keseluruhan disfungsi otot pada pasien dengan PPOK diperkirakan 32% dari seluruh komorbid PPOK. Prevalensi disfungsi otot cenderung lebih tinggi seiring dengan keparahan penyakit PPOK. Disfungsi otot napas dan perifer memberikan kontribusi terjadinya penurunan kapasitas fungsional otot (kelemahan otot), kualitas hidup rendah (sesak dan gangguan mobilisasi), peningkatan morbiditas (peningkatan kunjungan dan perawatan rumah sakit) dan mortalitas (kematian lebih dini). (Barreiro et al.,2005). Pengetahuan tentang mekanisme yang mendasari disfungsi otot dan kelainan struktur diafragma pasien PPOK baru sedikit diketahui. Disfungsi otot napas dan otot perifer akan memperburuk ventilasi menyebabkan keterbatasan kapasitas latihan dan menurunkan aktivitas harian pasien PPOK. Diafragma pasien PPOK derajat berat mempunyai proporsi serat otot tipe I yang tinggi dan serat otot tipe 2 yang rendah dibandingkan subyek normal (Barreiro et al.,2005; Gosker et al.,2000). L-Carnitine (LC) adalah metabolit penting yang diperlukan untuk metabolisme asam lemak dan produksi energi di otot jantung dan rangka. L-Carnitine memainkan peranan penting untuk oksidasi asam lemak mitokondria yang optimal sebagai energi untuk aktivitas otot. Otot rangka merupakan reservoir utama karnitin di dalam tubuh dan memilikikonsentrasi karnitin setidaknya 200 kali lebih tinggi dari plasma darah (Flanagan et al., 2010) Tinjauan kepustakaan ini akan membahas peran LC pada disfungsi otot PPOK. 1. Patogenesis PPOK Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit saluran napas, berhubungan dengan inflamasi akibat paparan asap rokok dan polutan lain. Penyakit ini ditandai oleh penurunan fungsi paru secara progresif dan ireversibel disebabkan obstruksi aliran udara, kerusakan parenkim dan emfisema. Paparan polutan yang dihirup, terutama asap rokok dianggap sebagai penyebab inflamasi saluran napas kronis (PDPI, 2011). a. Inflamasi lokal Paparan asap rokok dan infeksi menyebabkan kerusakan jaringan dan stres selular yang akan memicu respons imun. Inflamasi saluran napas pada pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respons inflamasi normal akibat paparan asap rokok (PDPI, 2011). Paparan asap rokok, partikel atau gas berbahaya dan infeksi dapat mengaktifkan kaskade inflamasi di saluran napas yang menyebakan produksi sitokin dan kemokin meningkat yang berperan penting dalam induksi inflamasi kronis dan kerusakan jaringan. Sel epitel dan makrofag alveolar akan melepaskan mediator kemotaktik untuk merekrut sel inflamasi tambahan diantaranya sel limfosit T CD8+, neutrofil,monosit dan limfosit ke dalam paru. Aktivasi sel epitel menghasilkan mediator inflamasi, termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1β, granulosit makrofag colony stimulating factor (GMCSF), dan chemokin ligand (CXCL) 8. Sel epitel di saluran napas kecil merupakan sumber penting dari transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF), yang kemudian menginduksi fibrosis lokal. Beberapa sinyal kemotaktik memiliki potensi perekrutan neutrofil pada PPOK, termasuk leukotrien B4 (LTB4), IL-8, dan kemokin CXC termasuk CXCL1 dan CXCL8, GRO-a (faktor pertumbuhan yang berhubungan dengan onkogen-a),dan epithelial neutrophil-activating protein 78kDa (ENA-78) yang meningkat pada saluran napas PPOK. Mediator inflamasi berasal dari makrofag alveolar dan sel epitel. Perekrutan neutrofil pada saluran napas dan parenkim melibatkan adhesi ke sel endotel dan Eselektin dalam saluran napas. Neutrofil bermigrasi ke dalam saluran napas bawah akibat faktor kemotaktik, termasuk IL-8 dan LTB4. Neutrofil mensekresikan protease serin, neutrofil elastase (NE), cathepsin G, dan proteinase-3, serta matrix metalloproteinase (MMP)-8 dan MMP-9, yang dapat berkontribusi untuk kerusakan elastin sehingga terjadi emfisema (Bailey et al.,2012; Barnes et al.,2006). Gambar satu menjelaskan sel inflamasi pada patogenesis PPOK. Gambar 1.Sel inflamasi pada PPOK. Keterangan : TGF-β: Tumour growth factor-β; CTGF: Connective tissue growth factor; MMPs: Matrix metallo protein; CD8+:Cluster of differentiation 8+. Dikutip dari (Barnes, 2006) Paparan asap rokok dan infeksi mengaktivasi makrofag untuk melepaskan mediator inflamasi, termasuk tumor TNF-α, IL-8, kemokin, monocyte chemotactic peptide (MCP)-1, leukotriene B4 (LTB4) dan reactive oxygen species (ROS) yang merupakan mekanisme seluler yang menghubungkan paparan asap rokok dengan inflamasi pada PPOK. Makrofag alveolar juga mensekresikan enzim elastolytic, termasuk MMP-2,MMP-9,MMP-12, cathepsins K, L, dan S, dan neutrofil elastase (Barnes.,2006; Rovina et al.,2013). b.Stres oksidatif Stres oksidatif terjadi ketika produksi ROS melebihi antioksidan mengakibatkan efek berbahaya termasuk kerusakan lipid, protein dan deoxyribonucleic acid (DNA). Paru terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan eksogen berasal dari polutan dan asap rokok sedangkan oksidan endogen berasaldari sel fagosit. Oksidan yang dihasilkan pada saluran napas perokok dilepaskan dari sel leukosit dan sel epitel .Aktivasi sel-sel inflamasi dan struktural di saluran napas pasien dengan PPOK menghasilkan ROS, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag dan sel epitel. Anion superoksida (O2-) dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh superoksida dismutase (Barnes et al., 2006). Gambar dua menjelaskan mekanisme stres oksidatif pada PPOK. Gambar 2.Stres oksidatif pada PPOK. Keterangan: SLPI: Secretory leukoprotease inhibitor;NF-kB:Nuclear factor-kB;TNFα:Tumour necrosis factor-α;O2-: Superoxide anions; H2O2: Hydrogen peroxide; OH-: ; ONOO-: Oxidant peroxynitrite; CXCL8:CXC Chemokine ligand 8; TNF-α: Tumour necrosis factor-α; NF-Ƙβ: Nuclear factor kappa beta; α1-AT: Alpha 1 antitripsine. Dikutip dari (Barnes., 2006) Hidrogen peroksida kemudian berinteraksi dengan besi bebas/ free iron untuk membentuk hidroksil yang sangat reaktif radikal (OH). Anion superoksida bergabung dengan NO untuk membentuk peroxynitrite, yang juga menghasilkan OH. Stres oksidatif menyebabkan oksidasi asam arakidonat dan pembentukan serangkaian mediator prostanoid baru disebut isoprostane yang menyebakan bronkokonstriksi dan eksudasi plasma (Barnes et al., 2006). Reactive oxygen species memiliki beberapa efek pada saluran napas dan parenkim yaitu meningkatkan respons inflamasi. Reactive oxygen species mengaktifkan nuclear factor kappa beta (NF-kB) yang mengakibatkan amplifikasi dari respons inflamasi (Rovina et al., 2013; Fischer et al., 2011). Asap rokok dan sel-sel inflamasi diantaranya makrofag dan neutrofil menghasilkan ROS. Beberapa penanda stres oksidatif dapat dideteksi dalam saluran napas. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan produksi oksidan diantaranya H2O2, 8-isoprostan dan etana terutama selama eksaserbasi. Stres oksidatif yang meningkat di epitel paru pasien PPOK memainkan peran penting dalam patofisiologi pada PPOK dengan memperkuat respons inflamasi melalui aktivasi NF-kB dan activator protein (AP)-1, yang kemudian menginduksi inflamasi neutrophilic melalui peningkatan ekspresi CXCL8 (IL-8) dan kemokin CXC lainnya, TNF-α dan MMP-9. Nuclear factor–Kβ diaktifkan oleh makrofag alveolar pasien dengan PPOK dan meningkat selama eksaserbasi (Barnes et al., 2006). c. Ketidakseimbangan protease-antiprotease Paparan asap rokok menginduksi sel-sel epitel menghasilkan sitokin yang merangsang neutrofil dan makrofag. Asap rokok, makrofag dan neutrofil menghasilkan oksidan yang dapat menginaktivasi antiprotease. Neutrofil dan makrofag melepaskan enzim proteolitik. Neutrofil elastase dapat mengaktifkan matrix metalloproteinases (MMPs) dan menginaktivasi α1antitrypsin yang dapat menyebabkan kerusakan alveolus. Asap rokok mengandung banyak oksidan reaktif seperti anion superoksida, nitrat oksida dan peroxynitrites. Oksidan dan radikal bebas dapat merusak sel-sel epitel saluran napas dan merusak antioksidan, seperti glutathione. Oksidan dari asap rokok juga dapat menonaktifkan antiprotease, predisposisi untuk ketidakseimbangan protease-antiprotease akibat peningkatan neutrofil dan makrofag di paru perokok (Fischer et al.,2011; Abboud, 2015). Oksidan dari asap rokok juga merusak komponen matriks jaringan ikat paru, mengganggu perbaikan dan sintesis elastin. Neutrofil dan makrofag melepaskan oksidan diantaranya superoksida dan nitrat oksida yang berkontribusi sebagai beban oksidatif. Antioksidan seperti glutathione, katalase dan superoksida dismutase melindungi jaringan terhadap oksidan. Kadar hidrogen peroksida dan 8-isoprostan (produk peroksidasi dari asam arakidonat) meningkat pada pasien PPOK. Efek TNF-α dan IL-1β menginduksi ekspresi MMP9 oleh makrofag manusia tanpa meningkatkan tissue inhibitor metalloproteinase (TIMP)1 sebagai predisposisi ketidakseimbangan protease-antiprotease (Barnes et al., 2006; Abboud, 2015). Gambar tiga menjelaskan mekanisme terjadinya ketidakseimbangan proteaseantiprotease pada PPOK. Gambar 3.ketidakseimbangan protease-antiprotease akibat paparan asap rokok. Keterangan: MMPs: Matrix metalloproteinase; IL-8:interleukin-8; LTB4: Leukotrien B4: TIMPs: Tissue inhibitor of metalloproteinase. Dikutip dari ( Abboud, 2015) d. Apoptosis Apoptosis adalah kematian sel secara terprogram. Apoptosis diawali interaksi antara ligan dengan reseptor yang teregulasi, proses fagositosis bertujuan mengeliminasi sel yang rusak atau sel normal yang tidak diperlukan lagi. Faktor penyebab apoptosis pada sel epitel alveolar pasien PPOK diantaranya senyawa kimia dan radikal bebas dari paparan kronis asap rokok, peningkatan produksi sitokin inflamasi, dan gangguan matriks sel epitel. Interaksi antara apoptosis sel epitel alveolar, proteolisis yang berlebihan, dan stres oksidatif menyebabkan emfisema alveolar. Sel epitel merupakan tempat utama produksi vascular endothelial growth factor (VEGF). Apoptosis sel epitel akan menyebabkan produksi VEGF berkurang. Vascular endothelial growth factor sebagai faktor kelangsungan hidup sel-sel endotel, jika jumlah VEGF berkurang dan transduksi sinyal melalui VEGFR2 terganggu, makasel-sel endotel alveolar akan mati (Plataki et al., 2006). Gambar empat menjelaskan apoptosis dan patogenesis PPOK. Gambar 4.Apoptosis pada patogenesis PPOK. Keterangan:NE: Neutrophil elastase; MMPs: Matrix metalloproteinases; FasL: Fas ligand; VEGF: Vascular endothelial growth factor ;TIMP: Tissue inhibitor of metalloproteinase; NE: Neutrophil elastase; BM: Basement membrane. Dikutip dari (Demets et al., 2006) Makrofag alveolar pada pasien dengan PPOK kurang efektif dalam memfagositosis sel epitel saluran napas yang mengalami apoptosis dibandingkan dengan kontrol, hal ini akibat mediasi neutrofil yang memotong reseptor elastase phosphatidylserine pada makrofag mengakibatkan gangguan clearance apoptosis sel sehingga terjadi inflamasi berkelanjutan. Sel sitotoksik limfosit T CD8+ bisa menyebabkan apoptosis sel epitel alveolar melalui pelepasan perforins, granzim-B dan TNF-α. Membran basal mengandung sinyal untuk kelangsungan hidup sel dan hilangnya survival sinyal akibat degradasi membran basal oleh MMPs dapat menginduksi apoptosis. Cedera sel epitel yang dimediasi oleh stres oksidatif menyebabkan penurunan kadar VEGF paru,mengakibatkan terjadinya emfisema paru (Plataki et al., 2006; Demets et al., 2006). e. Inflamasi sistemik Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi di paru dan di luar paru. Inflamasi sistemik merupakan penyebab utama hubungan antara paru dan luar paru pada PPOK (Agusti et al.,2015). Respons inflamasi sistemik ditandai dengan aktivasi dan mobilisasi sel-sel inflamasi diantaranya neutrofil, monosit/ makrofag dan limfosit ke dalam sirkulasi. Proses inflamasi merangsang sistem hematopoetik dengan mengaktivasi sumsum tulang untuk melepaskan leukosit dan trombosit ke dalam sirkulasi serta merangsang hepar untuk memproduksi acute phase protein diantaranya CRP dan fibrinogen (Albu et al.,2012). Pasien dengan PPOK derajat berat dan selama eksaserbasi terjadi peningkatan proses inflamasi sistemik ditandai dengan peningkatan sitokin yang beredar di sirkulasi diantaranya TNF-α, IL-6,IL-8, IL-18, protein fase akut antaralain c-reactive protein (CRP), serum amyloid A dan fibrinogen meningkat dalam sirkulasi darah pasien PPOK. Sitokin yang meningkat tidak hanya di dalam sirkulasi tetapi juga pada pemeriksaan dahak dan cairan bronchoalveolar lavage (BAL) pasien PPOK (Bailey et al.,2012). Inflamasi sistemik berperan penting dalam patogenesis komorbid PPOK seperti disfungsi otot, penyakit jantung, kelainan gizi, osteoporosis, anemia dan depresi (Bailey et al.,2012;Albu et al.,2012 ). Korelasi antara inflamasi dengan penyakit kardiovaskular adalah kompleks. Mediator inflamasi diantaranya sitokin dan CRP mampu menginduksi disfungsi endotel yang berkontribusi terjadinya pembentukan aterosklerosis. Aktivasi endotelium menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel dengan penyerapan lipoprotein lowdensity (LDL) teroksidasi ke dalam plak aterosklerosis. Makrofag jaringan merilis MMPs sehingga terjadi degradasi matriks ekstraselular subendotelial yang menyebabkan plak pecah dan pembentukan trombus sebagai penyebab serangan jantung dan stroke. Inflamasi sistemik berperan penting dalam patogenesis hipertensi pulmonal pasien dengan PPOK. Pasien dengan hipertensi pulmonal memiliki kadar CRP dan TNF-α yang signifikan meningkat di dalam sirkulasi.Kadar serum CRP berkorelasi positif dengan tekanan sistolik arteri pulmonalis pada pasien dengan PPOK (Maitland et al.,2011; Joppa et al.,2006; Pitta et al.,2005). Malnutrisi dan kaheksia sering ditemukan pada PPOK stadium lanjut disebabkan penurunan asupan makanan dan peningkatan pemakaian energi. Korelasi antara inflamasi dan kaheksia disebabkan efek katabolik TNF-α ditandai peningkatan pemecahan protein otot. Peningkatan kadar leptin di sirkulasi pada PPOK menurunkan metabolisme lemak sehingga massa lemak berkurang (Wust et al.,2007). Anemia merupakan manifestasi sistemik lain dari PPOK. Karakteristik anemia pada penyakit kronis yaitu anemia normositik. Mediator inflamasi diantaranya TNF-α, IL-6 dan interferon-γ berkontribusi dalam patogenesis anemia (Matthias et al.,2005). Sitokin inflamasi menyebabkan penurunan masa hidup eritrosit yang tidak dapat dikompensasi oleh sintesis di sumsum tulang. Pasien anemia pada PPOK memiliki kadar eritropoietin tinggi menunjukkan adanya resistensi perifer eritropoietin yang dimediasi melalui mekanisme inflamasi. Anemia pada PPOK juga disebabkan akibat asupan gizi kurang (Albu et al.,2012; Matthias et al.,2005). Inflamasi sistemik juga menyebabkan gangguan metabolisme tulang melalui CRP, IL-6 dan TNF-α yang bekontribusi meningkatkan stimulasi resorpsi tulang menyebabkan kepadatan mineral tulang berkurang. Dua pertiga pasien PPOK didapatkan kelainan radiologis berupa osteoporosis dan osteopenia. Etiologi osteoporosis pada pasien PPOK berhubungan dengan paparan asap rokok, kekurangan vitamin D, inaktivitas, indeks massa tubuh kurang dan penggunaan glukokortikoid (Wust et al.,2007). Depresi dan kecemasan merupakan keluhan yang umum pada pasien PPOK. Mekanisme yang menyebabkan depresi pada PPOK multifaktorial, diantaranya akibat inflamasi sistemik. Interleukin-6 berperan dalam terjadinya depresi. Penilaian psikososial seperti depresi dan kecemasan merupakan komponen penting rehabilitasi paru yang komprehensif pada PPOK. Pengobatan untuk depresi dan kecemasan dapat meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, membantu dalam berhenti merokok, kepatuhan pengobatan, dan kepatuhan terhadap rehabilitasi paru (Barnes, 2010). Gambar lima menjelaskan hubungan inflamasi sistemik dengan komorbid PPOK. Gambar 5.Inflamasi sitemik pada PPOK. Keterangan: IL-β: interleukin-β; TNF-α: Tumour necrosis factor-α; CRP: C-reactive protein; SAA: Serum amyloid-A. Dikutip dari (Barnes, 2010) 2. Disfungsi otot Disfungsi otot didefinisikan sebagai kehilangan setidaknya satu dari dua sifat otot utama yaitu kekuatan dan daya tahan otot (Gea et al.,2013). Disfungsi otot ditandai dengan pengurangan kekuatan otot. Kekuatan otot merupakan kapasitas otot untuk meningkatkan kekuatan dengan maksimal. Daya tahan didefinisikan sebagai kapasitas otot untuk mempertahankan kekuatan tertentu dari waktu ke waktu, keduanya merupakan faktor penentu kinerja otot. Muscle disuse didefinisikan sebagai pengurangan atau penghentian aktifitas otot yang dihasilkan dari gaya hidup dan imobilisasi otot volunter. Muscle disuse menyebabkan beberapa perubahan adaptif disebut sebagai musculoskeletal deconditioning terutama mencakup penurunan proporsi serat otot tipe I dan kapasitas enzim oksidatif, atrofi serat otot dan pengurangan jumlah kapiler otot (Pitta et al.,2005). Miopati didefinisikan sebagai penyakit muskuloskletal yang tidak berhubungan dengan gangguan inervasi syaraf atau neuromucular junction yang menyebabkan kelainan abnormal yang bersifat ireversibel (Couillard et al.,2005). a. Struktur dan fungsi otot Otot adalah jaringan yang terdiri dari kumpulan serabut otot. Otot dibagi menjadi dua jenisyaitu ototlurik dan halus. Otot halus terdapat pada dinding organ berongga dan saluran di dalam tubuh, diantaranya berfungsi dalam mengatur aliran darah, gerakan makanan di saluran cerna, aliran udara dan urine. Otot lurik atau otot bergaris dibagi lagi menjadi otot rangka dan otot jantung. Otot rangka merupakan otot yang menempel pada rangka tubuh dan digunakan untuk pergerakan. Fungsi dasar otot adalah untuk menghasilkan kekuatan dan memberikan bentuk tubuh. Semua jenis otot mempunyai beberapa sifat antaralain konduktivitas, iritabilitas, kontraktilitas, relaksasi, distensibilitas dan elastisitas (Ebneshahidi, 2015; Stone et al.,2015). Otot rangka ditemukan dalam berbagai ukuran dan bentuk. Bentuk dan susunan otot rangka berbeda sesuai dengan fungsinya.Otot tebal dengan luas penampang besar menghasilkan kekuatan lebih besar. Massa otot terdiri dari 85% serat otot dan 15% jaringan ikat. Jaringan ikat terdiri dari substansi dasar, kolagen, retikular dan elastin. Jaringan ikat sebagian besar berfungsi untuk transmisi kekuatan, misalnya transmisi kekuatan dari otot ke tulang oleh tendon (Burns et al.,2015). Sel otot terdiri atas membran sel/ sarkolema berfungsi melindungi otot, sitoplasma sel/ sarkoplasma berfungsi sebagai tempat myofibril, miofilamen, organel sel seperti mitokondria dan nukleus. Sarkoplasma terdiri dari glikogen, ATP, phosphocreatine dan enzim glikolisis. Miofibril merupakan unit kontraktil di dalam sel serabut otot. Miofibril terbagi atas 2 macam, yakni miofilamen homogen yang terdapat pada otot polos dan miofilamen heterogen yang terdapat pada otot jantung dan otot angka. Miofilamen adalah benang-benang/ filamen halus yang berasal dari miofibril. Miofilamen terdiri dari protein kontaraktil yang disebut aktomiosin (aktin dan miosin), tropopin dan tropomiosin. Protein aktin bekerja pada kondisi otot berkontraksi/ memendek dan miosin bekerja pada kondisi otot relaksasi/ memanjang. Sarkomer merupakan satuan fungsional otot (Stone et al.,2015; Gillies et al.,2011). Gambar enam menjelaskan struktur dan anatomi otot rangka. Gambar 6. Struktur dan anatomi otot rangka. Dikutip dari (Ebneshahidi, 2015) Mekanisme kontraksi otot diawali dengan impuls saraf di neuromuscular junction yang mengakibatkan pelepasan asetilkolin. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi dan pembebasan ion Ca2+ keluar dari retikulum sarkoplasma. Ion Ca2+ yang tinggi menyebabkan ion Ca2+ terikat pada troponin dan dapat merubah struktur troponin. Ion Ca2+ membuka daerah aktif tropomiosin yang tertutup oleh troponin. Kepala miosin berikatan dengan filamen aktin membentuk aktomiosin. Perombakan ATP akan membebaskan energi yang menyebabkan miosin menarik aktin ke dalam sehingga terjadi pemendekan otot di sepanjang miofibril pada sel otot. Miosin akan terlepas dari aktin dan jembatan aktomiosin akan putus ketika molekul ATP terikat kepala miosin. Kepala miosin bertemu lagi dengan aktin di tropomiosin pada saat ATP dipecah. Proses kontraksi otot dapat berlangsung selama ada ATP dan ion Ca2+. Ion Ca2+ akan kembali ke retikulum sarkoplasmik dan troponin akan kembali ke kondisi semula saat impuls berhenti dan menutupi daerah tropomiosin sehingga menyebabkan otot berelaksasi (Ebneshahidi, 2015; Heunks et al.,2000). Gambar tujuh menjelaskan mekanisme kontraksi otot. Gambar 7.Mekanisme kontraksi otot. Dikutip dari (Ebneshahidi,2015) b. Otot napas Otot napas meliputi diafragma, otot interkostal dan otot tambahan diantaranya sternokleidomastoideus, skalenus dan abdominal.Fungsi utama otot-otot napas adalah untuk mengembangkan rongga toraks sehingga terbentuk tekanan intratoraks negatif dan selanjutnya terjadi aliran udara dari atmosfer masuk ke paru. Fungsi lain otot respirasi adalah untuk batuk, muntah dan stabilisasi tulang rusuk dan abdomen membentuk postur tubuh. Otot utama respirasi adalah diafragma sedang yang lain adalah otot tambahan. Diafragma berbentuk kubah, kontraksi diafragma menyebabkan pemendekan dan penurunan kubah diafragma sehingga terjadi penambahan volume rongga toraks dan peningkatan tekanan intraabdomen. Otot napas inspirasi terdiri dari diafragma, skalenus, sternokleidomastoideus dan otot interkostal eksternal. Otot napas ekspirasi terdiri dari otot abdomen yaitu rektus abdominis, obligus internus, obligus eksternus dan transversus abdominis. Otot abdomen merupakan otot utama untuk ekspirasi. Kontraksi otot abdomen menyebabkan diafragma menempel tulang rusuk dan memperpanjang ukuran otot, gerakan diafragma ke atas menyebabkan bentuknya lebih melengkung, menghasilkan pengurangan radius jari-jari lengkungan menyebabkan volume paru berkurang dan tekanan intratoraks meningkat (Reid et al.,1995). c. Otot perifer Otot paha depan (quadriceps)/ femoris adalah kelompok otot yang terletak di bagian depan paha. Otot quadriceps merupakan otot terkuat dalam tubuh manusia (luas penampang> 150 cm2) membentuk kontur lateral dan sisi ventral paha. Persarafan yang dibawa oleh saraf femoral (L2-4). Otot quadriceps tersusun dari empat otot terpisah yaitu: vastus lateralis, vastus medialis, vastus intermedius dan rektus femoris. Setiap otot vastus berasal dari tulang femur dan menempel pada patella atau tempurung lutut. Ketiga otot vastus juga sebagian tertutup oleh rektus femoris, yang juga melekat pada tempurung lutut. Otot rektus femoris masuk ke dalam tulang pinggul. Arteri sirkumfleksa femoralis dan cabang-cabangnya memasok oksigen dan nutrisi ke otot quardriceps. Fungsi otot quadriceps diantaranya membantu dalam menggerakan lutut untuk berjalan, berlari dan kegiatan fisik lainnya (Healthline medical team, 2016). d. Patomekanisme disfungsi otot Asap rokok merupakan sumber yang kaya akan radikal bebas, mengandung lebih dari 1.015 radikal organik dan 500 ppm NO per hisap 0,61dan sebagian besar radikal bebas sangat reaktif dan berumur pendek (<1.0 detik). Asap rokok menyebabkan disfungsi otot melalui beberapa mekanisme diantaranya stres oksidatif, inflamasi, ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi protein otot dan toksisitas karbon monoksida (CO). (Gea et al.,2013; Heunks et al.,2000). Asap rokok mengandung beberapa oksidan diantaranya superoksida dan nitrit oksida. Paparan asap rokok mengaktifkan beberapa mekanisme endogen diantaranya akumulasi neutrofil dan makrofag yang akan meningkatkan jejas oksidan. Paparan asap rokok yang mengandung radikal bebas menyebabkan disfungsi otot rangka secara tidak langsung, hal ini disebabkan waktu paruh radikal bebas yang pendek dan kapasitas antioksidan yang kuat dari epitel, cairan dan darah. Otot rangka dari perokok memiliki beban oksidatif lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penurunan total kapasitas antioksidan ditemukan dalam plasma perokok (Heunks et al.,2000). Paparan asap rokok menyebabkan gangguan sintesis protein otot. Penelitian yang dilakukan oleh Petersen dkk, menyatakan bahwa paparan asap rokok menekan sintesis protein otot. Sintesis protein otot pada perokok berat berkurang dibandingkan dengan individu usia yang sama yang tidak pernahmerokok. Ekspresi gen yang terkait dengan penghambatan pertumbuhan otot dan katabolisme otot, yaitu myostatin dan muscle atrophy F-box (MAFBx) meningkat pada perokok. Myostatin berfungsi sebagai inhibitorpertumbuhan otot (Petersen et al.,2007). Nikotin merupakan komponen beracun yang paling besar berinteraksi dengan reseptor acetylcholine dalam banyak sel. Konsentrasi nikotin yang tingggi ditemukan di dalam darah perokok berat. Nikotin menginduksi resistensi insulin dan menurunkan rilis insulin oleh sel beta pankreas. Resistensi insulin menghambat sintesis dan meningkatkan degradasi protein dalam otot, resistensi insulin mempromosikan katabolisme otot rangka. Paparan kronis nikotin juga menurunkan aktivitas total Na-K ATPase sehingga menurunkan depolarisasi membran dalam otot rangka (Wust et al., 2008). Kandungan CO di dalam darah perokok menyebabkan transpor oksigen berkurang akibat hemoglobin (Hb) lebih banyak mengikat CO dibanding oksigen sehingga terjadi hipoksemia. Kandungan carboxyhaemoglobin (COHb) pada perokok mencapai tingkat 9% dapat menyebabkan disfungsi rantai pernapasan mitokondria. Kandungan CO, tar dan sianida dalam asap rokok mengurangi fungsi rantai pernapasan mitokondria (Wust et al.,2008). Asap rokok menyebabkan penurunan kekuatan otot rangka dan kinerja fisik pada orang dewasa yang sehat ditandai penurunan ketahanan otot quadriceps. Paparan asap rokok kronis dapat menyebabkan atrofi otot, penurunan sintesis protein otot dan meningkatkan ekspresi gen yang terlibat dalam katabolisme otot (Couillard et al.,2005). Beberapa penyakit dapat menyebabkan disfungsi otot diantaranya PPOK, kanker, diabetes melitus, gagal jantung kronik dan sepsis. Inflamasi menyebabkan efek negatif katabolisme protein otot melalui berbagai jalur sitokin, terutama TNF-α. Sitokin TNF-α mengaktifkan adenosin trifosfat (ATP)-ubiquitin independent sistem proteolitik, melalui degradasi protein otot dan menghambat sintesis protein. Tumor necrosis factor-α merangsang apoptosis melalui fragmentasi deoxyribonucleic acid (DNA). Peningkatan kadar sitokin proinflamasi plasma menyebabkan berkurangnya faktor anabolik dengan mengubah bioavailabilitas dan efek biologi dari hormon yang diperlukan untuk sintesis protein, pertumbuhan dan pemeliharaan otot rangka seperti testosteron, insulingrowth factor-1(IGF-1) dan dehydroepiandrosterone (Fluck, 2005; Sin and Man, 2006). Tumor necrosis factor-α bersama dengan interferon-γ menurunkan ekspresi protein MyoD dengan mengaktifkan NF-ĸβ. MyoD diperlukan untuk menjaga stabilitas otot rangka dengan menginduksi proliferasi dan perbaikan oleh sel satelit dalam menanggapi cedera otot. Penurunan MyoD dapat menyebabkan degenerasi pembentukan myotubes baru/ sel otot muda berinti belum berkembang menjadi myofibers matang pada pasien kaheksia (Langen et al., 2004). Tumor necrosisfactor-α juga dapat menyebabkan katabolisme protein dengan merangsang produksi sitokin katabolik, seperti prostaglandin E2 dan interleukin-1. Tumor necrosis factor-α menurunkan kontraktilitas diafragma dengan menginduksi produksi ROS melalui aktivasi jalur siklooksigenase dan stimulasi mitokondria. Reactive species oxygen menyebabkan kerusakan oksidatif retikulum sarkoplasma, regulator protein dari sarkolema dan miofilamen.Kerusakan oksidatif ke miofilamen diperkirakan menumpulkan respons dari miofilamen untuk aktivasi kalsium (Sin and man, 2006). Gambar delapan menjelaskan jalur metabolisme dan inflamasi pada PPOK. Gambar 8.Jalur metabolisme dan inflamasi pada penyakit kronis. Keterangan: NF-Ƙβ: Nuclear factor kappa beta; DNA: Deoxyribonucleic acid; RNA: Ribonucleic acid. Dikutip dari (Laghi and Tobin, 2003) Stres oksidatif menyebabkan gangguan regulasi beberapa antioksidan intraseluler pentingseperti glutathione. Stres oksidatif yang disebabkan oleh kelebihan produksi nitric oxide (NO) akibat regulasi ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS) di otot yang dipicu hipoksia jaringan dan inflamasi sistemik pada PPOK. Kelebihan NO dapat menyebabkan stres oksidatif yang menyebabkan atrofi otot dengan gangguan enzim antioksidan diantaranya superoksida dismutase atau katalase, peningkatan regulasi iNOS, peningkatan stres oksidatif danpenurunan yang signifikan enzim antioksidan di dalam otot rangka. Kondisi patologi seperti kaheksia juga meningkatkan produksi ROS dan RNS dan meningkatkan kadar iNOS. Pembentukan ROS dan RNS dapat menyebabkan penurunan dari perlindungan antioksidan di otot rangka. Reactive oxygen species dapat menyebabkan kerusakan lipid dan protein dalam biomembrandi otot rangka. Peroksidasi lipid meningkatkan permeabilitas membran dalam mitokondria menyebabkan kebocoran ion, mengakibatkan kerusakan pada fungsi mitokondria sehingga terjadi pengurangan produksi energi (Barreiro et al.,2005; Boots et al.,2003). Organisme aerobik memiliki sistem antioksidan yang terintegrasi, meliputi antioksidan enzimatik dan nonenzimatik yang biasanya efektif dalam menghambat efek ROS yang berbahaya. Sistem antioksidan pada kondisi patologis mengalami pergeseran (Cielen et al., 2014).Gambar sembilan menjelaskan pembentukan radikal bebas pada otot rangka. Gambar 9.Skema pembentukan radikal bebas pada otot rangka. Keterangan: O2x-:superoxide;XO:xanthine oxidase:OH −: hydroxyl;NO: nitric oxide; ONOO: peroxynitrite; nNOS :neuronal type nitric oxide synthase; eNOS:endothelialtypenitric oxide synthase;iNOS:induciblenitric oxide synthase;H2O2:hydrogen peroxide;MPO: myeloperoxidase;HOCl:hypochlorous acid;GSH: glutathione; GSSG:oxidised glutathione. Dikutip dari (Heunk et al.,2000) e. Faktor risiko disfungsi otot pada PPOK Disfungsi otot rangka merupakan salah satu kelainan sistemik PPOK. Disfungsi otot rangka berkontribusi terhadap intoleransi latihan dan penurunan kualitas hidup. Beberapa faktor risiko PPOK yang berkontribusi terjadinya disfungsi otot rangka diantaranya asap rokok, aktivitas fisik, inflamasi lokal dan sistemik, stres oksidatif, hipoksemia, penggunaan kortikosteroid, gangguan hormonal dan faktor usia (Wust et al.,2007; Couillard and Prefaut, 2005). 1) Kortikosteroid Kortikosteroid sering digunakan pada pasien PPOK untuk mengurangi gejala respiratorik dan untuk mengobati eksaserbasi. Steroid-induced myopathy (SIM) akut jarang pada PPOK. Steroid-induced myopathy akut merupakan komplikasi dari pengobatan kortikosteroid sistemik, menyebabkan kelemahan otot proksimal serta distal pada pemberian 5-7 hari dosis tinggi seperti pemberian hidrokortison 1-4 g/ hari atau deksametason 40 mg/ hari secara intravena. Pemulihan hingga 6 bulan setelah penghentian pengobatan (Schols et al.,2008). Steroid-induced myopathy kronis terjadi setelah terapi lama kortikosteroid oral dengan dosis rendah yang menyebabkan kelemahan otot proksimal dan atrofi serat otot. Pemulihan SIM kronis lebih lama dalam hitungaan minggu sampai bulan. Penggunaan kortikosteroid oral dosis rendah pada pasien PPOK berkorelasi negatif terhadap kekuatan otot rangka. Pemberian kortikosteroid oral berkontribusi terjadinya kehilangan lemak bebas merupakan prediktor independen kematian pada pasien dengan PPOK. Kortikosteroid oral berkorelasi terbalik dengan kepadatan mineral tulang dan berkorelasi dengan risiko patah tulang. Risiko patah tulang ditemukan meningkat dalam waktu 3 sampai 6 bulan setelah awal terapi dan menurun setelah penghentian terapi. Pasien PPOK yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid inhalasi jangka panjang tidak berpengaruh terhadap risiko patah tulang pada dosis yang adekuat (Schakman et al., 2008; Vogelmeier, 2014). Kortikosteroid dapat menghambat sintesis protein otot dengan mekanisme yang berbeda. Kortikosteroid menghambat transportasi asam amino ke dalam otot sehingga membatasi sintesis protein dengan menghambat aksi stimulasi IGF-1. Kortikosteroid menyebabkan atrofi otot dengan menghambat myogenesis melalui downregulation dari myogenin. Kortikosteroid menyebabkan atrofi otot dengan mengubah produksi IGF-1 otot danmyostatin, dua faktor pertumbuhan menunjukkan efek berlawanan pada pengembangan massa otot. Penurunan IGF-I bersama-sama dengan peningkatan myostatin yang disebabkan inaktivasi sel-sel satelitserta proliferasi dan diferensiasi myoblast. Kortikosteroid menstimulasi produksi myostatin juga otot sebuah faktor pertumbuhan yang menghambat perkembangan massa otot dengan menghambat proliferasi dan diferensiasisel-sel satelit (Schakman et al.,2008). Gambar sepuluh menjelaskan mekanisme glukokortikoid menyebabkan atrofi otot. Gambar 10.Mekanisme glukokortikoid menyebabkan atrofi otot. Dikutip dari (Vogelmeier, 2014) 2) Hipoksemia Hipoksemia dapat menyebabkan inflamasi sistemik, stres oksidatif, ketidakseimbangan sintesis dan degradasi protein, apoptosis dan gangguan regenerasi otot. Hipoksemia dapat menyebabkan gangguan kekuatan dan daya tahan otot pasien PPOK akibat pengurangan massa otot dan kapasitas oksidatif otot. Hiperkapnia menginduksi disfungsi otot pada subyek normal dan juga pada pasien PPOK. Asidosis dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi protein otot. Hipoksemia karena ketinggian menyebabkan gangguan fungsi, struktur dan metabolisme otot (Gea et al.,2013; Couillard and Prefaut, 2005;). Hipoksemia kronis sedang sampai berat pasien PPOK berkontribusi terjadinya miopati. Proporsi serat tipe I otot perifer pasien PPOK secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan pasien non hipoksemia dan sangat berkorelasi dengan hipoksemia skore istirahat (Fluck, 2005). Daya tahan kapasitas quadriceps secara signifikan berkorelasi dengan tekanan oksigen arteri/ PaO2 istirahat pasien PPOK. Suplementasi oksigen meningkatkan metabolisme aerobik dan produksi ATP pasien PPOK dengan hipoksia. Hipoksemia mempengaruhi homeostasis otot skeletal dan berkontribusi terjadinya disfungsi otot dengan berkurangnya kadar hormon anabolik akibat peningkatan sitokin proinflamasi. Hipoksemia juga berhubungan dengan pembentukan ROS yang berkontribusi terjadinya stres oksidatif. Hipoksemia secara keseluruhan menyebabkan disfungsi otot melalui ketidakseimbangan faktor anabolik dan katabolik (Caquelard et al.,2000; Debigare et al.,2001). 3) Malnutrisi Prevalensi kekurangan gizi pasien dengan PPOK stabil, diperkirakan antara 20% sampai 35%. Kekurangan gizi pada pasien PPOK dapat disebabkan asupan makanan yang kurang, eksaserbasi akut dan pengeluaran energi yang meningkat (Dourado et al.,2006). Penyebab lainnya adalah anoreksia, inflamasi, adipokines dan hormonal. Pasien PPOK stabil dengan gizi buruk memiliki kekuatan otot rangka yang lebih rendah. Malnutrisi meningkatkan risiko terjadinya eksaserbasi akut, risiko rawat inap dan meningkatkan angka kematian.Pasien dengan kekurangan gizi dapat terjadi gangguan keseimbangan energi yang menyebabkan kaheksia dan kehilangan berat badan lebih dari 5%.Penururnan berat badan berkorelasi dengan keparahan penyakit dan kelemahan otot rangka. Penurunan berat badan merupakan faktor prognostik yang buruk pada pasien PPOK. Massa lemak bebas rendah dan indeks massa tubuh yang kurang berhubungan dengan hilangnya kepadatan mineral tulang dan peningkatan risiko untuk osteoporosis pada pasien PPOK (Wust et al.,2008; Cielen et al.,2014). 4) Faktor usia Usia pada orang sehat diketahui berkorelasi negatif terhadap kekuatan dan kecepatan kontraksi. Otot-otot tungkai orang lanjut usia lebih kecil, lebih banyak mengandung lemak dan jaringan ikat. Angka kejadian fraktur juga ditemukan meningkat akibat kepadatan mineral tulang menurun. Penambahan usia pada pasien PPOK terjadi penurunan kekuatan quadriceps lebih jelas dibandingkan individu sehat seusianya. Penambahan usia juga terkait dengan peningkatan risiko osteoporosis pasien PPOK(Gea et al.,2013).Gambar 11 menjelaskan faktor risiko dan patogenesis disfungsi otot pada PPOK. Gambar 11.Faktor risiko dan patogenesis disfungsi otot pada PPOK. Keterangan: ROS: Reactive oxygen species; NO: Nitric oxide. Dikutip dari (Gea et al.,2013) f. Patogenesis disfungsi otot pada PPOK Patogenesis disfungsi otot rangka diantaranya meliputi atrofi otot, penurunan enzim oksidatif dan pergeseran serat tipe I ke serat tipe II. Disfungsi otot rangka pada PPOK menyebabkan penurunan kekuatan, penurunan ketahanan, gangguan kapasitas oksidatif, peningkatan kelelahan otot dan penurunan kapasitas aerobik. Salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap kelainan otot perifer pada PPOK adalah gaya hidup yaitu berkurangnya aktivitas harian pasien PPOK karena sesak (Gea et al.,2013). 1) Gangguan mekanisme kontraksi otot Radikal bebas mempengaruhi fungsi otot rangka pada umumnya dan eksitasikontraksipada khususnya. Eksitasi-kontraksi merupakan proses kimia dan sinyal listrik pada permukaan sel untuk pelepasan kalsium (Ca2+) intraseluler dengan proses akhir terjadi kontraksi serat otot. Pengikatan asetilkolin (Ach) ke reseptornya di sarkolema akan menghasilkan potensial aksi. Potensial aksi ini mengaktifkan tegangan reseptor sensitif/ dihydropirydine (DHPR) dalam tubulus T secara mekanis dipasangkan dengan reseptor Ryanodine (RyR) pada retikulum sarkoplasma(RS). Aktivasi DHPR menyebabkan perubahan formasi dalam reseptor sehingga membuka RyR dan mengakibatkan pelepasan Ca2+ dari RS. Peningkatan kadarsitosol Ca2+([Ca2+] i) merangsang RyR secara tidak langsung dipasangkan ke DHPR untuk melepaskan Ca2+dari RS. Mekanisme umpan balik positif iniadalah disebut rilis kalsium yang diinduksi kalsium. Peningkatan Ca2+menyebabkan pengikatan Ca2+ ke kompleks troponin, yang kemudian Ca2+mengikat protein kontraktildan berhubungan dengan filamen aktin. Radikal bebas dapat mengganggu eksitasi-kontraksi di beberapa bagian. Isolasi RS dari serat otot rangka menemukan bahwa radikal bebas mempengaruhi rilis Ca2+ melalui RyR. Konsentrasi submillimolar H2O2 mengaktifkan RyR, sedangkan pada konsentrasi milimolar H2O2 menghambat saluran. Penelitian serupa mengungkapkan bahwa NO menghambat rilis Ca2+ melalui salurannya. Konsentrasi NO rendah mencegah pembukaan saluran RyR sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi mengaktifkan pembukaan saluran (Heunk and Dekhuijzen, 2000; Laghi F and Tobin, 2003). 2) Pergeseran tipe serat otot Serat otot tipe II pada otot perifer pasien PPOK menunjukkan proporsi yang lebih tinggi dibandingkan serat otot tipe I, menyebabkan perubahan dari proses oksidatif yang menghasilkan ATP dalam jumlah besar ke proses glikolitik dengan jumlah ATP yang lebih sedikit. Otot diafragma dan interkostal menunjukkan perubahan ke arah yang berlawanan yaitu proporsi serat tipe I lebih tinggi, hal ini tergantung ekspresi myosin heavy chain isoform dalam menanggapi rangsangan. Penurunan enzim oksidatif pada otot tungkai bawah menyebabkan peningkatan asam laktat yang cepat selama latihan pada pasien PPOK (Gea et al.,2015). 3) Perubahan metabolisme otot Metabolisme otot pada pasien PPOK lebih banyak melalui jalur glikolisis, bahkan pada beban kerja rendah. Metabolisme jalur glikolisis menghasilkan ATP yang lebih rendah dibandingkan dengan metabolisme oksidatif yang menghasilkan ATP lebih tinggi yang berpengaruh terhadap energi dan kelelahan otot perifer. Gangguan metabolik berkontribusi pada kelemahan otot prematur, meningkatkan kebutuhan ventilasi selama latihan dan intoleransi latihan. Jalur metabolik pada pasien PPOK kurang efektif dalam memproduksi ATP melalui siklus Krebs dan jalur β-oksidasi yang menurunkan regulasi metabolisme glikolitik. Pengurangan metabolisme phosphocreatine otot merupakan salah satu faktor utama yang terlibat dalam metabolisme anaerobik laktat. Metabolisme energi otot quadriceps pasien PPOK mengalami perubahan selama latihan yang dibuktikan dengan penggunaan glikogen yang lebih besar dan akumulasi laktat selama latihan dibandingkan dengan kontrol yang sehat (Celli and MacNee, 2004). 4) Perubahan kapilarisasi otot Jumlah kapiler perserat otot berkurang pada pasien PPOK, akibatnya distribusi aliran darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi ke serat otot menurun. Penurunan kepadatan kapiler menyebabkan kelelahan dan disfungsi otot (Dourado et al.,2006; Ribeiro et al.,2013). Beberapa penelitian melaporkan bahwa densitas kapiler menurun pada otot tungkai bawah pasien PPOK.Otot interkostal eksternal dan otot diafragma menunjukkan peningkatan kepadatan kapiler yang diduga disebabkan peningkatan jumlah pembuluh darah terkait dengan tingkat ekspresi VEGF yang meningkat tetapi sebaliknya menurun pada otot tungkai pasien PPOK. Percobaan model hewan menunjukkan bahwa hipoksia dapat mengakibatkan peningkatan jumlah dan panjang kapiler otot (Gea et al.,2015). 5) Apoptosis otot Reactive oxygen species diproduksi dalam serat otot terutama di mitokondria dan myofilamen yang dapat menyebabkan apoptosis. Pembentukan RNS dan ROS berkaitan erat dengan peningkatan proses apoptosis dalam miosit hewan dan manusia menyebabkan atrofi dan berkurangnya kekuatan otot. Stres oksidatif menyebakan apoptosis melalui rilis ROS dan RNS yang diinduksi caspase activatingproteins seperti sitokrom c dan apoptotic inducible factor. Tingginya kadar ROS dan RNS telah dilaporkan dapat mengubah potensi redoks selular, mengurangi kadar glutathione dan menurunkan ATP, mengurangi nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) dan NADPH. Perubahan ini dapat memfasilitasi pembentukan permeabilitas pori-pori transisi menyebabkan pelepasan sitokrom c. Reaksi ROS dan RNS dengan membran fosfolipid juga dapat meningkatkan permeabilitas membran, terjadi pelepasan caspase activating protein dari mitokondria ke sitosol (Rezaeetalab et al.,2014). Pergeseran serat otot tipe I yang disebabkan peningkatan jumlah RONS mitokondria yang dihasilkan selama latihan dan pada kondisi patologis sehingga meningkatkan kerentanan apoptosis (Couillard and Prefaut, 2015). Pasien PPOK dengan berat badan normal berbeda dengan pasien PPOK berat badan kurang yang menunjukkan peningkatan apoptosis pada otot rangka terutama otot quadriceps (Laghi and Tobin, 2003). 6) Disfungsi rantai pernapasan mitokondria otot Stres oksidatif menyebabkan disfungsi rantai pernapasan mitokondria dan mengubah fosforilasi oksidatif menyebabkan penurunan konsentrasi ATP dan meningkatkan asidosis intraseluler. Penelitian pada model binatang telah menunjukkan bahwa ROS dan RNS bereaksi dengan lipid dan atau protein secara signifikan mengubah aktivitas rantai pernapasan mitokondria kompleks I, II, IV dan mengurangi aktivitas mitokondria atau enzim oksidatif siklus Krebs. Peningkatan permeabilitas membran mitokondria akibat peroksidasi membran lipid dapat memicu kebocoran ion, dengan mengurangi gradien proton membran bagian dalam mitokondria menyebabkan disfungsi rantai pernapasan (Cielen et al.,2014; Caquelard et al.,2000). Gambar 12 menjelaskan pembentukan ROS pada membran potensial mitokondria. Gambar 12.Produksi ROS pada membran potensial mitokondria. Keterangan: NAD: Nicotinamide adenine dinucleitide; ATP: Adenosine triphospate; ADP: Adenosine diphospate. Dikutip dari (Couilard et al.,2005) 7) Sintesis dan degradasi protein Sintesis protein tergantung pada ketersediaan substrat dan aktivitas jalur sinyal. Beberapa penelitian melaporkan bahwa kadar plasma glutamin, glutamat dan alanin, serta beberapa asam amino rantai cabang seperti leusin menurun pada pasien PPOK dengan berat badan kurang. Nutrisi dan hormon anabolik, memainkan peran penentu dalam sintesis protein otot. Inflamasi meningkatkan kebutuhan asam amino untuk mensintesis protein fase akut dalam hati dan mengurangi cadangan protein. Peningkatan kebutuhan oksigen dan penurunan efisiensi dari otot rangka perifer berkontribusi terhadap peningkatan pengeluaran energi menyebabkan penurunan sintesis protein dan peningkatan pemecahan protein (Laghi et al., 2003). 8) Sel satelit dan program regenerasi otot Sel-sel satelit bertanggung jawab dalam menjaga jumlah inti serat ototyang memadai untuk mendukung sintesis protein dan massa otot. Jumlah sel-sel satelit dipertahankan pada otot napas dan perifer pasien PPOK. Kapasitas regeneratif sel satelit mengalami kelainan ditandai dengan internalisasi inti dan penurunan ekspresi penanda regenerasi, hal ini sesuai dengan hasil kultur myoblasts yang diperoleh dariotot pasien PPOK, dalam tahap selanjutnya terjadi diferensiasi dengan kesulitan dalam mengekspresikan myosins dewasa, hal ini dikaitkan dengan penuaan sel ditandai pemendekan telomere (Gea et al.,2015). 9) Atrofi dan kelemahan otot Atrofi otot terjadi ketika keseimbangan sintesis dan degradasi protein bergeser ke pemecahan protein. Selain peningkatan degradasi protein, juga terjadi penurunan laju sintesis protein berkontribusi terjadinya kelemahan otot. Penelitian terbaru pada tikus menunjukkan bahwa regenerasi kapasitas otot rangka terganggu akibat peningkatan kadar TNF-α di sirkulasi. Hormon anabolik diantaranya testosteron dan IGF-1 ditemukan rendah pada pasien PPOK hal ini dikaitkan dengan kelemahan otot. Faktor pertumbuhan diantaranya insulinIGF-I danMyoD memiliki efek anabolik dengan mengaktifkan sintesis myofibrils. Myostatin merupakan hormon yang dihasilkan otot berfungsi menekan pertumbuhan otot dengan menghambat aktivitas sel satelit dan perannya dalam kelamahan otot pada PPOK belum banyak diketahui. Sitokin proinflamasi diantaranya TNF-α, IL-1, dan IL-6 mempunyai efek katabolik dengan mengaktifkan NF-ƘB. Efek katabolik NF-ƘB adalah untuk menekan ekspresi gen MyoD.Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan jalur ubiquitin-proteasom (Gea et al.,2015; Barnes, 2008).Gambar 13 menjelaskan patomekanisme atrofi otot. Gambar 13. Patomekanisme atrofi otot Keterangan:Ub:ubiquitin; NF-ƘB : nuclear factor ƘB; MHC : myosin heavy chain; IGF : insulin-like growth factor; IGFR: insulin-like growth factor receptor;TNF α: tumor necrosis factor-α;TNFR I and II : tumor necrosisfactor receptor I and II. Dikutip dari (Gea et al., 2015) g. Patofisiologi disfungsi otot pada PPOK Berbagai penyakit akut dan kronis dapat menyebabkan hilangnya massa otot karena pemecahan protein otot. Penyakit akut seperti multipel trauma dan sepsis terjadi kehilangan massa otot secara cepat. Penyakit kronis seperti PPOK terjadi kehilangan massa otot pada tingkat lebih lambat. Kehilangan massa otot sangat lambat dapat ditemukan pada usia tua, proses yang disebut sarcopenia. Atrofi otot dikaitkan dengan hilangnya kekuatan otot, yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas latihan pada pasien dengan PPOK. Atrofi otot pada PPOK derajat berat akan mempengaruhi morbiditas, termasuk peningkatan risiko kunjungan rumah sakit, eksaserbasi serta peningkatan kebutuhan bantuan ventilasi mekanik (Gosker et al.,2000; Barnes, 2008). 1) Perubahan struktur dan fungsi otot napas Kelemahan dan penurunan ketahanan otot napas sering dijumpai pada pasien PPOK. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi fungsi dan struktur otot napas antara lain perubahan geometrik rongga dada, perubahan volume paru dan metabolisme sistemik, sedangkan faktor instrinsik antaralain perubahan ukuran serat otot, masa otot dan metabolisme otot (Barnes, 2008). Hiperinflasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi otot. Hiperinflasi merubah bentuk dan geometrik rongga dada secara kronis menyebabkan penurunan dan pendataran diafragma. Hiperinflasi paru dan peningkatan resistensi saluran napas meningkatkan kerja pernapasan,terutama tergantung pada otot inspirasi. Otot diafrgama pasien PPOK bekerja lebih keras sebagai kompensasi beban mekanik yang tinggi akibat obstruksi saluran napas. Perubahan struktur otot diafragma ditandai peningkatan prosentase serat otot tipe I dan penurunan serat otot tipe II akibat meningkatnya kapasitas oksidan pada semua serat otot pasen PPOK (Gea et al.,2013). Disfungsi otot pada pasien PPOK tidak homogen antara berbagai kelompok otot.Otot ventilasi terutama diafragma memiliki beban kerja yang berbeda jika dibandingkan dengan otot tungkai bawah. Otot ventilasi berada dalam kondisi kronis dengan beban kerja yang berat akibat hambatan aliran udara dan hiperinflasi, sebaliknya, pada otot tungkai bawah, berada dalam keadaan kronis tidak aktif dan tidak digunakan sehingga menyebabkan perbedaan dalam hal adaptasi biokimia dan struktural pasien PPOK, misalnya, proporsi serat tipe I diafragma pasien PPOK yang berat meningkat dibandingkan dengan subyek kontrol (Gea et al., 2015). 2) Perubahan struktur dan fungsi otot perifer Perubahan struktur dan fungsi otot rangka secara signifikan mempengaruhi status kesehatan pasien PPOK. Otot-otot pasien PPOK mengalami perubahan panjang serat, massa, morfologi dan bioenergi otot. Atrofi otot ekstrimitas paling sering ditemukan pada PPOK. Proses atrofi otot pada PPOK terutama pada otot ekstremitas bawah dan luas penampang semua jenis serat berkurang pada biopsi vastus lateralis. Kinerja otot terutama ditentukan oleh kekuatan dan daya tahan. Penurunan kekuatan dan ketahanan otot sering ditemukan pada pasien dengan PPOK. Kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah terjadi penurunan 15-25% dibandingkan dengan kontrol usia yang sama. Kelelahan otot quadriceps didefinisikan sebagai penurunan kekuatan otot setelah latihan bersifat reversibel didapatkan 50%pasien dengan PPOK setelah latihan bersepeda (Dourado et al.,2006). Disfungsi otot ekstremitas dapat menyebabkan intoleransi latihan pasien PPOK yang menyebabkan penurunan kualitas hidup, gangguan status fungsional, peningkatan kunjungan ke rumah sakit, dan bahkan kematian dini (Dourado et al.,2006). Pergeseran jenis serat otot quadriceps lebih dominan serat tipe II dibanding serat tipe I merupakan ciri khas pada PPOK.Tingkat pergeseran jenis serat berkorelasi dengan keparahan penyakit. Kelemahan otot pasien dengan PPOK terutama pada otot ekstremitas bawah. Kelemahan otot paha depan/ quadriseps paling sering dijumpai pada pasien PPOK semua derajat pria dan wanita. Kelemahan otot ekstremitas bawah lebih parah pada pasien dengan kaheksia dan memburuk selama eksaserbasi akut. Kelemahan otot ekstremitas atas pada PPOK lebih ringan, diduga karena otot-otot tersebut sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari(Dourado et al.,2006; Ribeiro et al.,2013). Gambar 14 menjelaskan tentang patofisiologi disfungsi otot napas dan perifer. Gambar 14.Patofisologi disfungsi otot napas dan perifer. Dikutip dari (Gea et al.,2013) h. Asam laktat dan disfungsi otot pada PPOK Asidosis laktat dan disfungsi otot rangka pada pasien PPOKterjadi pada awal latihan. Maltais dkk, pada tahun 1996 melakukan penelitian terhadap pasien PPOK untuk membandingkan peningkatan kadar asam laktat arteri dan kapasitas oksidatif dari otot rangka selama latihan pada 9 pasien PPOK (usia = 62 +/- 5 tahun, VEP-1 40 +/- 9% prediksi) dan kontrol normal usia yang sama (54 +/- 3 tahun), dilakukan biopsi transcutaneous dari vastus laterialis, masing-masing subjek dilakukan tes latihan sepeda ergometer bertahap kemudian diukur rata-rata konsumsi oksigen dan konsentrasi asam laktat serial. Hasil dari biopsi spesimen otot terhadap aktivitas dua enzim oksidatif diantaranya sitrat sintase dan 3-hydroxyacyl CoA dehidrogenase, dan tiga enzim glikolitik diantaranya laktatdehidrogenase, heksokinase, dan fosfofruktokinase. Aktivitas enzim oksidatif secara signifikan lebih rendah pada PPOK dibanding subyek kontrol (22,8 +/- 3,3 vs 36,8 +/- 8,6 mumol/ menit/ gram otot untuk sitrat sintase dan 3,1 +/- 1,1 vs 5,5 +/- 1,4 mumol/ menit/ gram untuk3-hydroxyacyl CoA dehidrogenase, p <0,0005) dan peningkatan asam laktat lebih tinggi pada PPOK (4,3 +/- 2,0 vs 2,1 +/- 0,2 untuk subyek normal, p = 0,0005). Didapatkan hasil bahwa pada pasien PPOK terjadi peningkatan kadar asam laktat arteri selama latihan dan penurunan kapasitas oksidatif otot rangka (Maltais et al.,1996). 3. Diagnosis Disfungsi Otot napas dan perifer pada PPOK Diagnosis PPOK ditegakkan dengan nilai post bronkodilator VEP-1/ KVP <0.70 dan dinilai sesuai derajat keparahan VEP-1. Derajat keparahan antaralain PPOK ringan (VEP-1 ≥ 0.80 prediksi), PPOK sedang (0,50 ≤ VEP-1 ≤ 0,80 prediksi), PPOK berat (0,30 ≤ VEP-1 ≤ 0,50 prediksi), dan sangat parah PPOK (VEP-1<0.30 diprediksi). Metode untuk menentukan klasifikasi baru dikembangkan dengan menggabungkan hasil klasifikasi spirometri dan penilaian gejala klinis menggunakan kuesioner modifikasi british medical research council (mMRC) atau COPD assessment test (CAT) dan frekuensi eksaserbasi(Dourado et al.,2006; Al-ghamdi, 2009). Diagnosis disfungsi otot dievaluasi berdasarkan kekuatan dan daya tahan.Uji kekuatan otot bertujuan untuk mengevaluasi kapasitas otot dalam mengembangkan kekuatan maksimal. Uji ketahanan otot bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan otot dalam mempertahankan kekuatan dalam waktu tertentu. Penilaian disfungsi otot perifer umumnya dibuat oleh salah seorang ahli saraf dan atau pathophysiologist yang akan menilai jenis dan luasnya kelainan otot. Penilaian awal menentukan adanya kelainan neurogenik, miopati atau adanya inflamasi dengan biopsi otot. Pengukuran kekuatan otot dapat dilakukan dengan P-magnetic resonance spectroscopy dan biopsi otot untuk menentukan enzim dan tipe serat otot. Penggunaan Pmagnetic resonance spectroscopy tidak dianjurkan digunakan rutin dalam evaluasi klinis (Garcia-aymerich et al.,2006). Six minutes walking test (6MWT) Uji lapangan lebih praktis termasuk tes berjalan bertahap dan daya tahan, pemeriksaan laboratorium dan tes berjalan 6 menit.Tujuan dari 6 MWT adalah untuk berjalan secepat bisa pasien lakukan selama enam menit pada trek dengan permukaan datar dan keras dengan jarak 30 meter. Sixminutes walking test harus dilakukan dua kali test. Jika dilakukan pada hari yang sama setidaknya 30 menit diperbolehkan istirahat antara tes.(Garcia-aymerich et al.,2006). Penatalaksanaan Disfungsi Otot pada PPOK Sesak napas dan inflamasi sistemik dapat menyebabkan gangguan asupan makanan dan malnutrisi khususnya pada penyakit lanjut. Ketidakseimbangan energi dapat meningkatkan pemecahan protein otot dalam upaya memberikan asam amino esensial untuk fungsi tubuh dengan konsekuensi berkurangnya massa otot. Malnutrisi dikaitkan dengan kelemahan otot ekstremitas atas dan bawah. Malnutrisi juga menyebabkan penurunan ketahanan otot kearah kelelahan. Latihan otot dikombinasikan dengan strategi terapi lain seperti pemberian obat dan makanan tambahan, ventilasi mekanik non-invasif, obat-obatan dan suplemen hormon mampu meningkatkan massa otot, kekuatan dan daya tahan, meningkatkan kualitas hidup dan toleransi latihan pada PPOK (Gea et al.,2013; Ribeiro et al.,2013). 1. Terapi non farmakologi Aktivitas fisik sehari-hari pasien PPOK menurun dibandingkan kontrol sehat dengan umur yang sama. Pasien PPOK lebih banyak menghabiskan waktu duduk atau berbaringdan berkurangnya waktu berjalan atau berdiri. Aktivitas fisik harian mulai menurun pada pasien PPOK GOLD derajat I dan memberat seiring keparahan penyakit. Pasien PPOK dengan GOLD derajat IV menjadi sangat inaktif. Pasien PPOK dengan aktivitas fisik sangat rendah berisiko tinggi perawatan di rumah sakit dan kematian (Nici et al.,2006). Rehabilitasi paru terdiri dari latihan kekuatan dan olahraga merupakan terapi non farmakologi yang paling efektif untuk memperbaiki gejala, kekuatan otot, kapasitas latihan dan status kesehatan pada pasien PPOK. Latihan fisik pada pasien PPOK stabil dapat meningkatkan fungsi otot, kapasitas latihan dan meningkatkan ketahanan terhadap kelelahan otot yang terkait dengan perbaikan status kesehatan dan kualitas hidup (Rausch-Osthoff et al.,2014). a. Terapi oksigen Terapi oksigen sering digunakan untuk mengurangi dispnea pasien PPOK dengan hipoksemia berat. Suplementasi oksigen tidak hanya meningkatkan kapasitas latihan, tetapi juga mengurangi inflamasi sistemik yang di induksi latihan danstres oksidatif pada otot pasien PPOK (Heunk and Dekhuijzen, 2000). Pemberian oksigen selama latihan dapat menambah peningkatan toleransi latihan. Suplementasi oksigen jangka panjang hanya bermanfaat pada keadaan hipoksemia (Gosker et al.,2000; Wust et al.,2008). b. Rehabilitasi paru Latihan ketahanan otot ekstrimitas bawah dianggap komponen penting dari rehabilitasi paru untuk meningkatkan kapasitas latihan dan mengurangi sesak napas. Latihan ketahanan diantaranya berjalan, berlari, bersepeda dan berenang. Latihan ketahanan otot memberikan adaptasi fisiologis, termasuk pengurangan kebutuhan ventilasi dan denyut jantung, pola pernapasan yang lebih efektif dan kadar asidosis laktat lebih rendah pada intensitas latihan submaksimal. Sebuah konsekuensi langsung dari adaptasi ini adalah bahwa pasien dapat mentolerir beban latihan submaksimal untuk waktu yang cukup lama (Mador et al.,2003). 1) Latihan ketahanan aerobik Latihan ketahanan aerobik meningkatkan kapasitas oksidatif otot, mempromosikan pergeseran dari jenis serat tipe II ke jenis serat tipe I dan meningkatkan luas penampang dari semua jenis serat pada berat badan normal dan bahkan pada pasien PPOK kurus. Adaptasi ini telah dilaporkan dalam berbagai keparahan penyakit PPOK dari GOLD derajat II sampai IV (Ribeiro et al.,2013; Silverio et al.,2011). 2) Latihan interval Latihan interval telah diperkenalkan untuk mengatasi kesulitan mentolerir intensitas latihan tinggi dengan durasi panjang. Latihan interval yang mencakup latihan jangka pendek yang sangat intens diselingi dengan periode pemulihan sehingga dapat megurangi sesak napas dan kelelahan kaki. Latihan interval secara berkesinambungan dapat meningkatkan jenis serat otot tipe I dan II dan meningkatkan kapasitas oksidatif. Pasien dengan hiperinflasi dinamis, intoleransi latihan dan massa otot yang kurang bisa diberikan latihan otot jenis interval (Ribeiro et al.,2013). 3) Latihan aerobik Latihan aerobik dianjurkan pada pasien PPOK. Latihan aerobik akan meningkatkan kadar enzim oksidatif mitokondria, kapilarisasi otot, ambang batas aerobik dan serapan oksigen maksimum, serta penurunan creatine-fosfat waktu pemulihan, sehingga menghasilkan toleransi latihan besar. Kelemahan otot berkontribusi menyebabkan intoleransi latihan pada pasien PPOK. Latihan kekuatan merupakan pilihan rasional dalam proses rehabilitasi paru. Latihan kekuatan dan aerobik meningkatan kualitas hidup secara signifikan (Gea et al.,2013; Gea et al.,2015; Devereux et al.,2011). 4) Latihan alternatif Latihan jalan di dalam air merupakan latihan alternatif untuk pasien PPOK disertai dispnea berat, usia tua dan penyakit komorbid. Latihan berbasis air menguntungkan bagi pasien dengan PPOK yang disertai komorbid. Latihan berbasis air dapat meningkatkan kapasitas latihan, daya tahan dan mengurangi kelelahan serta dispnea. Latihan berbasis air juga mencegah kehilangan massa tulang dan meningkatkan keseimbangan berdiri dinamis dankualitas hidup pada orang sehat serta wanita lanjut usia dengan osteoporosis (Cielen et al.,2014; Silverio et al.,2011). c. Intervensi gizi Pemberian suplemen dan makanan tambahan pada pasien PPOK dapat meningkatkan berat badan, fungsi otot napas dan perifer. Peningkatan fungsi otot berhubungan dengan peningkatan massa otot yang dihasilkan dari intervensi gizi perannya belum banyak diketahui.Terapi kombinasi dengan stimulus anabolik seperti pelatihan olahraga lebih meningkatkan fungsi otot (Ribeiro et al.,2013). 2. Terapi farmakologi Beberapa strategi terapi farmakologis dianggap memberikan keuntungan dalam perbaikan massa otot pasien PPOK dengan berat badan kurang. Suplementasi testosteron dan analognya mampu meningkatkan kekuatan dan massa otot. Efek testosterone terhadap perubahan kapasitas fungsional belum dapat dijelaskan. Mekanisme biokimia bertanggung jawab untuk pertumbuhan otot rangka melalui aktivasi sinyal kaskade IGF-I, jalur efektor terlibat dalam hiperplasia dan atau hipertrofi jaringan otot. Pemberian testosteron jangka panjang mempunyai efek merugikan yakni berpotensi sebagai karsinogenesis dan virilisasi sehingga pendekatan ini tidak dianjurkan dalam perawatan klinis rutin. Farmakoterapi anabolik dengan latihan olahraga meningkatkan efisiensi farmakologis. Hormon pertumbuhan dan analognya, megestrol asetat, creatine, LC,antioksidan dan suplemen vitamin D, baik pemberian tunggal atau kombinasi dengan pelatihan olahraga semuanya telahdiuji pada PPOK stabil (Ribeiro et al.,2013).Gambar 16 menjelaskan penatalaksanaan disfungsi otot pada PPOK. Gambar 16.Pendekatan terapi disfungsi otot pada PPOK. Dikutip dari (Cielen et al.,2014) C. Peran L-Carnitine pada Kelemahan Otot PPOK Nutrisi mempunyai peran dalam menjaga kesehatan dan terbukti memiliki efek sebagai pelindung terhadap beberapa kondisi patologi yang kronis termasuk penyakit jantung, neurodegenerative, inflamasi, diabetes dan miopati. Kerusakan struktur dan fungsi otot rangka menyebabkan keluhan klinis progresif termasuk kehilangan kekuatan, kelelahan, mialgia dan kram (Abdelrazik et al.,2009). L-Carnitine bebas pertama kali diisolasi dari otot sapi pada tahun 1905. L- Carnitine adalah molekul kecil yang larut dalam air berperan penting dalam metabolisme lemak dan sebagai metabolit penting yang diperlukan untuk metabolisme asam lemak dan produksi energi di otot jantung dan otot rangka (D’Antona et al.,2014). 1. Farmakokinetik L-Carnitine L-Carnitine (3-hydroxy-4-N-trimethylaminobutyrate) merupakan bentuk aktif dari carnitine merupakan nutrisi esensial yang digunakan tubuh untuk mengubah lemak menjadi tenaga. Sumber eksogen yaitu berasal dari makanan terutama yang berasal dari hewan omnivora memiliki kandungan carnitine 20 sampai 300mg/ hari. Kandungan terbesar berasal dari daging merah yaitu 50-150 mg/100g, ikan dan produk susu mengandung sampai 10mg/100g (Li, 2000; Al-Biltagi, 2012). Jumlah total LC di dalam tubuh sekitar 100 mmol (16 gram) tetapi tergantung diet, massa otot dan usia. Konsentrasi di dalam plasma 42-85 μmol/l. (Lango et al.,2001). Gambar 17 menjelaskan tentang struktur kimia LC. Gambar 17.Struktur kimia L-Carnitine. Dikutip dari (D’Antona et al.,2014) L-Carnitine diserap dalam usus kecil melalui sistem transportasi mencapai aliran darah dan cairan ekstrasel.Transportasi di dalam sel berbagai jaringan dibatasi oleh kapasitas absropsi sel. Bioavailabilitas secara oral adalah sekitar 14-18%.L-Carnitine di sintesis di hati dan ginjal manusia. Dua asam amino penting yaitu lisin dan metionin berfungsi sebagai substrat utama untuk biosintesis LC. L-Carnitine yang tidak terabsorpsi sebagian besar terdegradasi oleh mikroorganisme di dalam usus besar. Pemberian LC lebih efektif melalui intravena. L-Carnitine 95 % difiltrasi oleh glomerulus dan kelebihan LC eksogen dibuang lewat urine. Gambar 18 menjelaskan biosintesis LC di hati dan ginjal (Al-Biltagi et al.,2012). Gambar 18. Biosintesis L-Carnitine di hati dan ginjal manusia. Dikutip dari (Flanagan et al.,2010) 2. Farmakodinamik L-Carnitine Otot skeletal merupakan reservoir utama LC dalam tubuh dan memiliki konsentrasi 200 kali lebih tinggi dari plasma darah yang merupakan kofaktor dalam oksidasi asam lemak rantai panjang mitokondria yang tidak bisa menembus membran dalam mitokondria. Carnitine palmitoyltransferase (CPT) I adalah titik kontrol oksidasi asam lemak yang terdapat di membran luar mitokondria berfungsi mengubah asil-KoA rantai panjang menjadi asiL-Carnitine yang mampu menembus membran dalam mitokondria. L-Carnitine mengangkut asam lemak rantai panjang dari kompartemen sitoplasma ke mitokondria, asam lemak akan dioksidasi untuk menghasilkan energi. AsiL-Carnitine diangkut masuk dan disertai pengangkutan keluar satu molekul carnitine dan bereaksi dengan KoA yang dikatalisis oleh CPT II yang ada di dalam membran dalam mitokondria. Asil-KoA terbentuk kembali di matriks mitokondria dan carnitine dibebaskan (Lee et al.,2014; Elsammak et al.,2011). Peran LC dalam oksdiasi asam lemak dijelaskan pada gambar 19. Gambar 19. Peran LC dalam oksidasi asam lemak. Keterangan: CPT I: carnitine palmitoyltransferase I; CPT II: carnitine palmitoyltransferase II; CAT: carnitine acetyltransferase; CoASH: acetyl-CoA. Dikutip dari (Flanagan et al.,2012). L-Carnitine melalui reaksi ini memfasilitasi transfer asam lemak melintasi membran mitokondria untuk beta oksidasi dan melindungi terhadap akumulasi asil-KoA, yang dapat merusak fungsi sel. Enzim asetil-L-Carnitine transferase memfasilitasi penyerapan asetil-KoA ke mitokondria untuk oksidasi asam lemak merangsang protein dan membran fosfolipid sintesis LC dan rantai pendek derivatif, senyawa propionil - l - L-Carnitine, yang terjadi secara alami yang disintesis endogen serta diperoleh dari sumber makanan (Flanagan et al.,2012). Latihan otot ringan sampai sedang meningkatkan oksidasi asam lemak menjadi sumber energi yang dominan untuk otot. Asidosis dan penurunan kadar LC selama latihan berat menurunkan CPT1 sehingga terjadi penurunan oksidasi asam lemak. Kekurangan CPTII dapat mengakibatkancedera otot diinduksi latihan karena ketidakmampuan untuk meningkatkan oksidasi FA dengan peningkatan tenaga.Carnitine juga berperan dalam keseimbangan cairan di semua jaringan yang dipengaruhi oleh lingkungan ekstraseluler.Gangguan kadar LC di dalam plasma ditemukan pada beberapa penyakit antaralain diabetes melitus, penyakit ginjal kronis, penyakit hati dan kanker stadium akhir( Flanagan et al.,2012; Al-Biltagi et al.,2012). 3. L-Carnitine dan stres oksidatif Sifat antioksidan LC telah dibuktikan secara in vitro dan in vivo, menggunakan observasi klinis pada berbagai penyakit. Sifat antioksidan dari LC dan derivatnya antaralain meningkatkan enzim antioksidan endogen [superoxide dismutase (SOD), katalase, glutathione peroxidase (GSH-Px), glutathione reductase (GR)] dan glutathione S transferase (GST) dan antioksidan non-enzimatik (Vitamin E dan C) dalam hati dan jaringan lain, peningkatan konsentrasi intraseluler dari GSH dalam hati dan jaringan lain, menurunkan oksidasi lipid dan protein, menurunkan kadar malondialdehyde (MDA)/TBARS dan konten karbonil, menurunkan fragmentasi DNA dan apoptosis, mengurangi sekresi [aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkaline phospatase(ALP), gamma glutamyltranspeptidse (γGT)] dari hati ke dalam plasma karena injuri hati yang disebabkan oleh ROS, meningkatkan Nrf2 dan aktivitas heme oxygenase-1 (HO-1), mengurangi ekspresi NF-kB dan konsentrasi sitokin proinflamasi, termasuk TNF, aktivasi vitagene dan peningkatan sintesis heat shock protein (Hsp), thioredoxins dan sirtuins (Surai, 2015). L-Carnitine memiliki aktivitas pembilasan radikal bebas/ free radical scavenging, mempunyai kemampuan mengais anion superoksida, menghambat peroksidasi lipid dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan disebabkan oleh hidrogen peroksida (H2O2) (Silverio et al.,2011). Penelitian yang dilakukan lee BJ dkk,terhadap 47 pasien dengan coronary arteri disease (CAD) untuk mengetahui pengaruh LC dengan dosis 1000 mg/ hari terhadap penanda stres oksidatif dan kegiatan enzim antioksidan didapatkan hasil bahwa pasien yang mendapatkan suplementasi LC dengan dosis 1000 mg/ hariselama 12 minggu terjadi peningkatan aktivitas enzim antioksidan dan penurunan stres oksidatifyang signifikan pada pasien CAD (Elsammak et al.,2011). Stres oksidatif yang berlebihan dan peroksidasi lipid juga berperan penting dalam kerusakan sel hati. Penelitian yang dilakukan Li ZL dkk,untuk mengevaluasi efek perlindungan terhadap sitotoksisitas yang diinduksi H2O2 pada sel hepatosit normal manusia dan didapatkan hasil bahwa LC dapat melindungi sel-sel HL7702 terhadap stres oksidatif melalui efek antioksi dan primer dengan cara menghambat pembentukan radikal bebas dan berfungsi sebagai antioksidan sekunder dengan cara memperbaiki asam lemak teroksidasi tak jenuh ganda diesterifikasi dalam membran fosfolipid. L-Carnitine bermanfaat untuk latihan kekuatan otot napas pasien rawat jalan dengan PPOK stabil (Al-Biltagi et al., 2012; Lee et al.,2015). Gambar 20 menjelaskan mekanisme kerja LC sebagai antioksidan. Gambar 20.Mekanisme LC sebagai antioksidan. Dikutip dari (Surai, 2015) 4. L-Carnitine dan efek antiinflamasi Sitokin TNF-α berperan dalam patogenesis hilangnya protein otot pada pasien kaheksia akibat kanker. Beberapa temuan mendukung hipotesis bahwa pemberian L C mengurangi proses inflamasi pada beberapa kondisi patologis. Percobaan pada hewan dengan pemberian suplemen LC mampu mencegah peningkatan kadar IL - 1β, IL- 6, danTNF - α dalam plasma dan hati. Pemberian LC secara oral dapat menurunkan secara signifikan dalam kadar TNF-α serum, seperti dijelaskan pada gambar 21. Beberapa penelitian melaporkan bahwa LC dapat menurunkan kadar protein C - reaktif pada pasien hemodialisis. Pemberian LC juga berperan sebagai pelindung kerusakan jaringan akibat inflamasi dengan mengurangi produksi anion superoksida. L –carnitine juga dapat berperan sebagai transactivate promotor glukokortikoid dengan cara kerja yang mirip dengan deksametason melalui hambatan pelepasan TNF - α dan IL - 2 oleh IFN - γ (Silverio et al., 2011). Gambar 21.Mekanisme kerja LC sebagai antioksidan dan antiinflamasi pada kaheksia karena kanker. Dikutip dari (Silverio et al.,2011) Pemberian suplementasi LC pada hewan coba menyebabkan penurunan IL-1β, IL-6 danTNF-α dalam plasma dan hati. Pemberian secara oral dengan dosis 6 g/ hari selama 2 minggu pada pasien AIDS didapatkan penurunan yang signifikan kadar TNF-α serum. L- Carnitine menurunkan kadar CRP pada pasien hemodialisis. Pemberian LC berperan dalam melindungi kerusakan jaringan akibat inflamasi dengan mengurangiproduksi anion superoksida. Lee dkk, meneliti efek antiinflamasi suplemen LC 1000 mg/ hari pada pasien CAD. Hasil yang didapatkan setelah pemberian suplementasi LC selama 12 minggu terjadi penurunan penanda inflamasi secara signifikan (TNF-α, interleukin-6 dan protein C-reaktif) dan dibandingkan pada kelompok plasebo (Lee et al., 2015). Duranay dkk, meneliti efek suplemen LC pada 21pasien hemodialisis dan 21 kontrol, pemberian LC dengan dosis 20 mg/ kg secara intravena tiga kali seminggu/ setiap sesi hemodialisis selama 3-6 bulan dan didapatkan penurunan CRP,profil lipid, transferin, total protein dan albumin dibandingkan dengan kelompok kontrol (D’Antona et al.,2014; Elsammak et al.,2011; Rajasekar and Anuradha, 2007). 5. Efek L-Carnitine pada otot rangka L-Carnitine berperan dalam metabolisme karbohidrat dengan adanya korelasi yang kuat antara carnitine otot dan aktivitas siklus Krebs, yang merupakan siklus penting dalam metabolisme karbohidrat. Konsentrasi karnitin di otot ditemukan berbanding lurus dengan cadangan glikogen otot. Carnitine dapat bertindak sebagai agen anti-katabolik karena efek 'glikogen sparing' untuk meningkatkan produksi energi dari lemak dan efektif mengurangi kebutuhan pembakaran glikogen. Hipoksia pada PPOK dan latihan fisik menyebabkan akumulasi laktat dan penurunan pH serum. Tingginya kadar asam laktat meningkatkan keasaman darah dan jaringan, menyebabkan kelelahan dan penurunan produksi ATP. L-Carnitine menghambat anaerobik enzim fosfofruktokinase (PFK), sehingga dapat mengurangi glikolisis secara maksimal. L-Carnitine mengurangi asetil CoA/ CoA quotient sehingga pembentukan asam laktat berkurang. Suplementasi LC berguna dalam latihan fisik yang intensif untuk meningkatkan kinerja dengan membersihkan asam laktat ekstra dari darah dan jaringan. Carnitine meningkatkan suplai darah perifer dan dilatasi kapiler menyebabkan penyerapan oksigen lebih banyak terutama selama latihan fisik (Eizadi et al.,2011). Otot menyimpan sekitar 95% dari total karnitin yang terkandung dalam tubuh manusia dewasa, menunjukkan konsentrasi 70 kali lipat lebih besar dari plasma. Suplementasi LC dapat meningkatkan kadar carnitine serum, meningkatkan kapasitas latihan dan memperbaiki pola obstruktif pada tes faal paru. L-Carnitine sangat penting untuk bioenergetika normal otot rangka. Defisiensi pada pasien PPOK disebabkan asupan gizi yang kurang hal ini sangat mempengaruhi kekuatan otot rangka, hipotesis ini didukung oleh temuan kadar besi, hemoglobin, albumin dan kadar prealbumin signifikan lebih rendah pada pasien PPOK dibandingkan dengan kontrol. Defisiensi LC berhubungan dengan kelemahan otot napas dan kelemahan otot perifer merupakan karakteristik PPOK. Hasil penelitian yang dilakukan Silva AB dkk, terhadap pasien PPOK derajat sedang dan berat dengan pemberian LC dan dilakukan uji 6MWT didapatkan hasil bahwa pemberian suplemen LC dapat meningkatkan toleransi latihan, penurunan kadar asam laktat dan meningkatkan kekuatan otot inspirasi pada pasien PPOK (Borghi-Silvaet al.,2015). L-Carnitine berfungsi sebagai pengambilan radikal bebas oksigen/ scavenging dalam jaringan dan sebagai cadangan glikogen otot, meningkatkan toleransi terhadap latihan fisik dan mengurangi kelelahan otot. L-Carnitine menurunkan sintesis leukotrien melalui penghambatan enzim lipoxygenase. Penelitian yang dilakukan elsammak dkk, terhadap 81 pasien PPOK menunjukkan penurunan yang signifikan kadar LC pada pasien PPOK terutama disebabkan kekurangan asupan makanan yang mengandung LC (Lee et al.,2015). Penelitian yang dilakukan Silverio dkk, pada hewan coba, dengan pemberian LC dosis yang berbeda (0,1, 1,0 dan 2,0 g/ hari) dan interval waktu yang berbeda (1, 14, atau 28 hari). Hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa pada kelompok pemberian LC selama 14 hari dengan dosis 1,0 dan 2,0 g terjadi peningkatan kadar LC plasma dibandingkan dengan kontrol. Kadar LC dalam otot terjadi peningkatan setelah pemberian dengan dosis 0,1, 1,0 dan 2,0 g. selama 28 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan pemberian dosis terendah yakni 0,1 selama 28 hari adalah sudah mampu menginduksi konsentrasi di dalam otot secara maksimal sehingga tidak diperlukan pemberian suplementasi LC dosis yang lebih tinggi untuk meningkatkan kadarnya di dalam otot (Abdelrazik et al.,2009). Anoksia yang disebabkan oleh iskemia miokard secara eksperimental berhubungan dengan berkurangnya karnitin dan akumulasi metabolit toksik asam lemak esterifikasi, sebagai akibat dari penurunan β-oksidasi asam lemak mitokondria. Penurunan konsentrasi ATP otot jantung terjadi beberapa menit setelah iskemik. Kondisi iskemik miokard menyebabkan peningkatan asam lemak bebas rantai panjang, ester asil-CoA dan asil-karnitin beberapa kali naik di atas tingkat kontrol setelah setengah jam iskemia. Rantai panjang ester asil-karnitin adalah lipophylic mudah merusak membran lipid dan membran terikat protein enzimatik (Lango et al.,2001). Gambar 22 menjelaskan peran LC dalam reperfusi iskemik miokard. Gambar 22.Peran LC dalam reperfusi iskemik miokard. Dikutip dari (Lango et al.,2001) Selanjutnya gambar 23 menjelaskan tentang bagan kerangka teori peranan pemberian LCarnitinepada penderita PPOK stabil. Inhalasi gas/ partikel berbahaya PPOK STABIL Manifestasi sisistemik Manifestasi di paru ↑sitokin pro inflamasi/ TNF-α ↑ROS/ RNS Hiperinflasi Anoreksia/ Malnutrisi Hipoksemia/ hipoksia Sesak napas Atrofi otot/ Pergeseran serat otot tipe 1 ke tipe 2 ↑Glikolitik ↓ ATP ↑Asam laktat serum Disfungsi otot perifer Stres oksidatif Peroksidasi asam lemak↑ Kerusakan mitokondria Intoleransi latihan Keterbatasan aktivitas Penurunan kualitas hidup Gambar 23. Kerangka teori yang menjelaskan pengaruh pemberian L-carnitine terhadap kadar asam laktat dan hasil 6MWT penderita PPOK stabil. Amplifikasi inflamasi, peningkatan stres oksidatif, peningkatan produksi dan aktivitas protease menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fisologi saluran napas.Perubahan struktur saluran napas dan paru pada PPOK bersifat kronik, progresif, dan ireversibel. Perubahan tersebut berupa edema saluran napas, hipersekresi mukus, emfisema, fibrosis saluran napas kecil, Gambar 23. Kerangka teori yang menjelaskan pengaruh pemberian L-Carnitine terhadap kadar asam laktat serum, nilai 6 MWT, nilai %VEP-1 dan skor CAT penderita PPOKstabil. disfungsi silia saluran napas, penebalan dinding saluran napas, dan bronkokonstriksi. Perubahan patologis tersebut memperparah penyempitan saluran napas yang jika tidak segera diatasi menyebabkan hiperinflasi dan gangguan pertukaran gas. Hiperinflasi dinamis PPOK menyebabkan peningkatan kerja pernapasan. Gangguan pertukaran gas yang terjadi berupa hipoksia kronis. Inflamasi sistemik berperan penting dalam patogenesis komorbid PPOK seperti disfungsi otot,penyakit jantung, kelainan gizi, osteoporosis, anemia dan depresi. Metabolisme otot pada pasien PPOK lebih banyak melalui jalur glikolisis, bahkan pada beban kerja rendah. Metabolisme jalur glikolisis menghasilkan ATP yang lebih rendah dibandingkan dengan metabolisme oksidatif yang menghasilkan ATP lebih tinggi yang berpengaruh terhadap energi dan kelelahan otot perifer. Gangguan metabolik berkontribusi pada kelemahan otot prematur, meningkatkan kebutuhan ventilasi selama latihan dan intoleransi latihan. Jalur metabolik pada pasien PPOK kurang efektif dalam memproduksi ATP melalui siklus Krebs dan jalur β-oksidasi yang menurunkan regulasi metabolisme glikolitik. Perubahan struktur dan fungsi otot rangka secara signifikan mempengaruhi status kesehatan pasien PPOK. Otot-otot pasien PPOK mengalami perubahan panjang serat, massa, morfologi dan bioenergi otot. Atrofi otot ekstrimitas paling sering ditemukan pada PPOK.Kelemahan dan penurunan ketahanan otot napas sering dijumpai pada pasien PPOK. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi fungsi dan struktur otot napas antara lain perubahan geometrik rongga dada, perubahan volume paru dan metabolisme sistemik, sedangkan faktor instrinsik antaralain perubahan ukuran serat otot, masa otot dan metabolisme otot. Disfungsi otot ekstremitas dapat menyebabkan intoleransi latihan pasien PPOK yang menyebabkan penurunan kualitas hidup, gangguan status fungsional, peningkatan kunjungan ke rumah sakit, dan bahkan kematian dini. D. Kerangka Konseptual Disfungsi otot rangka merupakan salah satu kelainan sistemik PPOK. Disfungsi otot rangka berkontribusi terhadap intoleransi latihan dan penurunan kualitas hidup. Beberapa faktor risiko PPOK yang berkontribusi terjadinya disfungsi otot rangka diantaranya asap rokok, aktivitas fisik, inflamasi lokal dan sistemik, stres oksidatif, hipoksemia, penggunaan kortikosteroid dan gangguan hormonal. Hipoksemia dapat menyebabkan gangguan kekuatan dan daya tahan otot pasien PPOK akibat pengurangan massa otot, penurunan kapasitas oksidatif otot dan peningkatan asam laktat. Atrofi otot dikaitkan dengan hilangnya kekuatan otot, secara signifikan mempengaruhi kapasitas latihan pada pasien dengan PPOK. Serat otot tipe II pada otot perifer pasien PPOK menunjukkanproporsi yang lebih tinggi dibandingkan serat otot tipe I, menyebabkan perubahan dari proses oksidatif yang menghasilkan ATP dalam jumlah besar ke proses glikolitik dengan jumlah ATP yang lebih sedikit. Atrofi otot pada PPOK derajat berat akan mempengaruhi morbiditas, termasuk peningkatan risiko kunjungan rumah sakit, eksaserbasi serta peningkatan kebutuhan bantuan ventilasi mekanik. L-Carnitine (3-hydroxy-4-N-trimethylaminobutyrate) merupakan bentuk aktif dari carnitine merupakan nutrisi essensial yang digunakan tubuh untuk mengubah lemak menjadi tenaga. Hipoksia pada PPOK dan latihan fisik menyebabkan akumulasi laktat dan penurunan pH serum. Tingginya kadar asam laktat meningkatkan keasaman darah dan jaringan, menyebabkan kelelahan dan penurunan produksi ATP. L-Carnitine menghambat anaerobik enzim fosfofruktokinase (PFK), sehingga dapat mengurangi glikolisis secara maksimal dan mengurangi asetil CoA/ CoA quotient sehingga pembentukan asam laktat berkurang. Inhalasi gas/ partikel berbahaya PPOK STABIL ↑Sitokin pro inflamasi/ TNF-α Manifestasi di paru Atrofi otot/ Pergeseran serat otot tipe 1 ke tipe 2 Hiperinflasi L-Carnitine ↑Glikolitik ↓ ATP Hipoksemia/ hipoksia Anoreksia/ Malnutrisi L-Carnitine Disfungsi otot perifer Sesak napas ↑ Asam laktat Intoleransi latihan Keterbatasan aktivitas Hasil 6 MWT Penurunan kualitas hidup Gambar 24. Kerangka konsep yang menjelaskan pengaruh pemberian L-Carnitine terhadap kadar asam laktat,VEP-1, hasil 6MWT dan skor CAT penderita PPOK stabil. Variabel penelitian: Variabel bebas: ; Variabel tergantung: Korelasi antar variabel: , Area penelitian:------E. Hipotesis 1. Ada pengaruh pemberian L-Carnitine terhadap kadar asam laktat. L-Carnitine berpengaruh terhadap penurunan kadar asam laktat serum penderita PPOK stabil. 2. Ada pengaruh pemberian L-Carnitine terhadap peningkatan hasil 6MWT. L-Carnitine berpengaruh terhadap peningkatan hasil 6MWT penderita PPOK stabil.