SKRIPSI IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID PADA SAYURAN INDIGENOUS JAWA BARAT Oleh : HARDIANZAH RAHMAT F24104043 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID PADA SAYURAN INDIGENOUS JAWA BARAT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : HARDIANZAH RAHMAT F24104043 Dilahirkan pada tanggal, 13 Januari 1987 di Tadang Palie Tanggal Lulus : Menyetujui Bogor, Februari 2009 Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. Pembimbing Akademik Mengetahui, Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Hardianzah Rahmat. F24104043. Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran Indigenous Jawa Barat. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan RINGKASAN Indonesia memiliki tanaman lokal yang sangat berlimpah. Tanaman lokal di Indonesia banyak yang belum terjamah dan termanfaatkan untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan yang kaya akan zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh dan kesehatan. Jenis sayuran lokal tersebutlah yang dikenal dengan nama sayuran indigenous. Salah satu daerah di Indonesia yang merupakan penghasil sayuran indigenous yang cukup berperan adalah daerah Jawa Barat. Komponen fenolik dalam bahan pangan memiliki peran yang sangat baik salah satunya adalah sebagai antioksidan. Sayur-sayuran banyak mengandung senyawa fenolik yang berupa flavonoid. Penelitian-penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa flavonoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, dan antikarsinogenik. Oleh karena itu, pemanfaatan sayuran indigenous sebagai sumber flavonoid akan dapat meningkatkan nilai tambah tanaman-tanaman tersebut. Sejarah membuktikan bahwa leluhur kita sudah banyak memanfaatkan sayuran indigenous karena sudah mengenal rasa dan manfaatnya berdasarkan pengetahuan secara turun temurun. Perkembangan budaya dan teknologi menyebabkan perkembangan sayuran indegenous menjadi terdesak, maka potensi sayuran ini harus digali dan dikaji kembali untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik dalam meningkatkan nutrisi bagi yang mengkonsumsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengetahui kandungan komponen-komponen flavonoid yang berupa flavonol dan flavone pada beberapa sayuran indigenous daerah Jawa Barat. Pada penelitian ini jenis sayuran yang akan digunakan adalah sayuran-sayuran lokal yang banyak dan sering dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Barat. Sayuran tersebut adalah daun kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.), takokak (Solanum torvum.Swartz) antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk), bunga pepaya (Carica papaya.L), daun jambu mete (Anacardium occidentale. L), pucuk mengkudu (Morinda citrifolia.L), daun labu siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), daun kacang panjang/lembayung (Vigna unguiculata (L.) Walp), daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching), kucai (Allium schoenoprasum L.), daun mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.), bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), dan terubuk (Saccharum edule.Hassk). Pembuatan ekstrak flavonoid dari sayuran dilakukan dengan menggunakan campuran pelarut air dan methanol. Selain itu, dilakukan pula pembuatan kurva standar flavonoid yang digunakan sebagai acuan dalam penentuan komponen tersebut pada sampel. Standar yang digunakan adalah quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin, dan luteolin. Analisis yang dilakukan yaitu analisis kadar air, analisis total fenol, dan deteksi flavonoid dengan menggunakan HPLC column C-18; Develosil ODS-UG-3. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data kadar air sayuran indigenous berkisar antara 75%-90%. Total fenol (per 100gram berat kering) terbesar terdapat pada pucuk mete (2809.5 mg) dan terkecil pada terubuk (204.4). Sayuran indigenous memberikan komposisi senyawa flavonol dan flavone yang bervariasi. Namun, semua sampel mengandung senyawa quarcetin. Kandungan quarcetin terbanyak ada pada pucuk mete (573.07 mg) dan yang paling sedikit mengandung quarcetin adalah terubuk yaitu 3.77 mg. Senyawa myricetin hanya ditemukan pada sayuran kucai (16.23 mg), takokak (21.29 mg), daun labu siam (69.39 mg), pucuk mete (37.85 mg), dan antanan beurit (10.46 mg). Senyawa luteolin hanya ditemukan pada sayuran daun kelor dan jumlahnya pun sangat sedikit, sedangkan apigenin hanya ditemukan pada daun kacang panjang (114.81mg), daun mangkokan putih (45.47 mg), dan bunga papaya (101.11 mg). senyawa kaempferol ditemukan hampir di semua sampel sayuran kecuali takokak dan terubuk. Kaempferol terbesar ditemukan pada bunga turi (189.05 mg) dan terendah pada daun pakis (18.63 mg). Total flavonol dan flavone terbesar terdapat pada pucuk daun mete (656.20 mg) dan total fenol tertinggi juga pada pucuk daun mete (2809.53 mg). Nilai-nilai tersebut dihitung berdasarkan 100 gram berat kering. RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis dilahirkan di Tadang Palie pada tanggal 13 Januari 1987 dan memiliki nama lengkap Hardianzah Rahmat. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Rahimi dan Ibu Rahmatang. Penulis menempuh pendidikannya di TK Lamellong Kajaolaliddong, SDN 209 Wollangi, Madrasah Tsanawiyah Pesantren Ma’had Hadits Biru Bone, dan SMUN 2 Watampone. Melalui jalur masuk USMI, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama melakukan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan dan Organisasi. Penulis pernah menjadi pengurus Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) divisi profesi dan internal periode 2005-2006. Selain itu penulis aktif pada beberapa kegiatan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) IPB seperti Halal Expo HIMITEPA-FBI, BAUR 2006, FGD Formalin “necessary unnecessity”. Penulis juga pernah aktif dalam seni teater kampus dan terakhir penulis menjadi presenter dalam National Student Conference (NSC) 2008 yang diadakan oleh Universitas Soegijapranata, Semarang. Penulis menyelesaikan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dengan melakukan penelitian yang berjudul “Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran Indigenous Jawa Barat” dengan dosen pembimbing Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. Penelitian ini bertempat di laboratorium ITP dan laboratorium Seafast Center, IPB. KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkat, anugerah dan karunia yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama mengerjakan tugas akhir ini, walaupun banyak kesulitan yang penulis harus hadapi, namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. Selaku dosen pembimbing akademik dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan dukungan, bimbingan, saran serta arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Ir. Elvira Syamsir, MSi selaku dosen penguji. Terima kasih telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan berupa saran dan pemikiran yang sangat berharga untuk menyempurnakan skripsi ini. 3. Dr.Endang Prangdimurti, MSi selaku dosen penguji. Terima kasih telah meluangkan waktunya dan memberikan masukan berupa saran dan pemikiran yang sangat berharga untuk menyempurnakan skripsi ini. 4. My family : Mama, Papa, Emmy, Tato, Nana, Iin. Terima kasih atas segala doa, semangat dan dukungannya. Cinta dan kasih sayang kalian telah memberikan aku kekuatan yang mampu mengalahkan segala kekuatan. 5. Amure-mareku yang selalu support aku. Puang : Tahir, Sultan, Danti, Ajju, Marwah, Lemang, Sitti, Wahidah, Hj.Saje, Hj.Mase, dan semua keluarga besarku. Terima kasih atas dukungannya. 6. My women in top : Iin Novianti, Githa, Maya, Puteri, Isabel, Melati, Nisa Holland, Rika, Andien, Kiky, Rini, Ade, Vina, dan Dewi Meitasari. Terima kasih sudah pernah menghiasi hari-hariku indahku.. 7. Teman satu bimbinganku T. Aprilia Dewanti dan Astrida Renata, teman senasib dan sepananggungan. 8. Ucok in the Gank Crew : Edy Pepes Presto, Auu Tongseng, Riska Paha, Chabib Lele, Sisi Bawal. Terima kasih atas kebersamaannya dan doa-doanya selama ini (meskipun terkadang saling mendoakan dalam keburukan. Hehe.. tapi salut atas semuanya). Remember Especto patronum. 9. Rekan-rekan penelitian di Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB : Sofiyan, Netha, Sukma, Mas Rai, Mba Reno, Mas Ayusta, Mba Puspa, Mas Aziz, Mba Anggi atas bantuan, kebersamaan, canda tawa, dan dukungan selama penelitian. 10. 41 Futsal Team : Anto (strong defender) yang mahal senyum saat mencetak gol, Aris (goalkeeper paling brani yang pernah ada di squad), Iqbal (winger creative), Dody (1 to 2 yang brillian), Boing (striker yang harus gantung sandal karena sakit tapi da sembuh lagi dengan sentuhan magisnya), Dikin dengan hadangan tanpa ampunnya, Rhais yang mengaku dirinya titisan Zidane dan reserves (Nanang, Mpus, Bima). Terima kasih buat semua kekompakan dan kerja kerasnya sudah mampu mempertahankan gelar juara 2 tahun berturut-turut sekaligus mendeklarasikan diri sebagai team futsal terbaik ITP yang pernah ada. 11. PS Mania : Bima, Rhais, Dody, Mpus, Anto. Terima kasih buat kebersamaanya, canda tawa, kutukan, dan celotehannya menuju tahta juara. GLORY MU. 12. Karaoke Mania : Ririn sang mami, Lia, tante Au, Sisy, Chabib, Edy, dan pendatang baru Sekar. Terima kasih buat suara sumbangnya yang cempreng dan serak-serak buecek gitu. 13. Aa’ dan Teteh Al Farabi. Terima kasih sudah mau menampung aku di saat aku tersesat mencari kosan. Ya meskipun harus berhadapan dengan kuburan dan teror hantu yang selalu menggila tiap malam bulan purnama. 14. BOLYPAD crew : Abang Bob, Ance, Wardi, Andre Bayor, dan Dayat. Terima kasih untuk kebersamaannya dalam suka dukanya sebagai anak kost-kostan. 15. Kost-kosan Pondok Lestari yang dihuni aroma setan-setan gentayangan : Om Faisal, Ance Trio Marta, Andre Bayor, Dayat dan Pepen. Terima kasih untuk semua kekompakan dan teriakannya yang diadopsi dari suara-suara aneh yang tidak jelas. 16. Staf laboratorium SEAFAST Center IPB : Pak Soenar, Mba Ria dan Mas Arief, Mansyah, Pak Sukarna (Abah), Sofah, Mba Ari, Mba Ria dan Mba Deni, Mba Nia, Mas Wawan, Mba Ira, Mba Hanna, Gugun, dan semuanya. Terima kasih atas bantuan, kerjasama, dan, kebersamaan selama penelitian. 17. Staf SEAFAST Center IPB : Bu Tri Susilo, Pak Zul, Mba Virna, Bu Elly, Pak Nana, Pak Udin, Bi Ana, Bi Entin, dan seluruh keluarga SEAFAST Center IPB. 18. Pak Aang, Pak Ahi, dan seluruh pihak Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO), Cimanggu. Terima kasih atas kerjasamanya. 19. Nia dan Mega Horti. Terima kasih atas sumbangan terubuknya. 20. Mba Lia dan pihak Puslit Biologi - LIPI, Cibinong. Terima kasih atas kerjasamanya. 21. Teman-teman ITP 41: Arief Otot, Tuko, Tomi (terima kasih buat rumus-rumus ajaibnya). Arum, Titin, Risma ( teman praktikum permanen slalu aja mereka, bosen d..hehehe). Jendi (sang konsultan virus), Faried, Rina, Sinta, Sabina, Citra Devi, Indra, Rani, Novi, Amel, Andry Bawang Bacem, Jamal Zamrud, Ary, Lulail, Hajrah, Sucen, Tikainchan, Dhya Jember dan semua ITP 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhir kata, hanya kepada Tuhan jualah segalanya dikembalikan, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Penulis pun menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, disebabkan karena berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menjadi perbaikan di masa yang akan datang. Bogor, Januari 2009 Penulis. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ........................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 6 C. MAMFAAT ............................................................................................ 6 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7 A. SAYURAN INDIGENOUS ..................................................................... 7 B. FLAVONOID .......................................................................................43 C. IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID .........................................46 III. BAHAN DAN METODE ............................................................................50 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................50 1. Bahan ................................................................................................50 2. Alat ...................................................................................................50 B. METODE PENELITIAN .......................................................................51 1. Persiapan Sampel ..............................................................................51 C. METODE ANALISIS ............................................................................52 1. Analisis Kadar Air ............................................................................52 2. Analisis Total Fenol ..........................................................................53 3. Analisis dan Identifikasi Flavonoid ....................................................53 a. Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Sayuran Indigenous..................53 b. Analisis Flavonoid dengan HPLC ..................................................54 4. Analisis Data .....................................................................................56 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................61 A. IDENTIFIKASI/DETERMINASI TUMBUHAN ...................................61 B. STANDAR FLAVONOID DAN LIMIT DETEKSI ..............................61 1. Standar Flavonoid Bentuk Tunggal ....................................................61 a. Myricetin ......................................................................................62 b. Luteolin ........................................................................................62 c. Quercetin ......................................................................................63 d. Apigenin ......................................................................................64 e. Kaempferol ..................................................................................64 2. Standar Campuran Senyawa Flavonoid .............................................66 C. TOTAL FENOL ....................................................................................70 D. ANALISIS FLAVONOID PADA SAYURAN INDEGENOUS .............71 1. Bunga Turi ......................................................................................76 2. Kucai ...............................................................................................78 3. Takokak...........................................................................................79 4. Daun Kelor ......................................................................................81 5. Pucuk Mengkudu ............................................................................86 6. Lembayung/daun kacang panjang ...................................................88 7. Terubuk ...........................................................................................91 8. Mangkokan Putih.............................................................................93 9. Daun Labu Siam ........................................................................... 96 10. Bunga Pepaya ............................................................................... 97 11. Pucuk Mete................................................................................... 101 12. Pakis ............................................................................................. 104 13. Antanan Beurit ............................................................................. 106 E. REKAPITULASI HASIL DAN SENYAWA YANG BELUM TERIDENTIFIKASI PADA SAYURAN INDIGENOUS.................... 109 V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 118 A. KESIMPULAN .................................................................................. 118 B. SARAN .............................................................................................. 118 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 120 DAFTAR TABEL Tabel 1. Komposisi tebu terubuk per 100 gram ................................................24 Tabel 2. Penggunaan sayuran indigenous secara tradisional sebagai tanaman obat di Indonesia ..................................................................40 Tabel 3. Spesifikasi HPLC ..............................................................................51 Tabel 4. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk tunggal ..............62 Tabel 5. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk campuran ..........64 Tabel 6. Total fenol sayuran indigenous...........................................................66 Tabel 7. Hasil perhitungan konsentarsi flavonoid pada sampel dengan menggunakan kurva standar campuran ...................................68 Tabel 8. Hasil perhitungan konsentrasi flavonoid pada sampel dengan menggunakan eksternal standar campuran..............................70 Tabel 9. Perbandingan hasil analisis flavonol dan flavone dengan perhitungan kurva standar campuran dan eksternal standar campuran ....................75 Tabel 10. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak bunga turi .....................78 Tabel 11. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak kucai ............................79 Tabel 12. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak takokak ........................81 Tabel 13. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak daun kelor ....................82 Tabel 14. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak pucuk mengkudu ..........88 Tabel 15. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak lembayung....................89 Tabel 16. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak terubuk .........................93 Tabel 17. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak mangkokan putih ..........94 Tabel 18. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak daun labu siam .............97 Tabel 19. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak bunga papaya ............ 101 Tabel 20. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak pucuk mete ................ 103 Tabel 21. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak pakis ......................... 106 Tabel 22. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak antanan beurit ............ 107 Tabel 23. Kandungan flavonoid dalam sayuran indigenous segar .................... 110 Tabel 24. Kandungan flavonoid sayuran indigenous segar yang telah diteliti .. 111 Tabel 25. Rekapitulasi total fenol, total flavonoid, dan kadar air dari sayuran indigenous ...................................................................................... 115 Tabel 26. Rekapitulasi komponen yang terdeteksi pada sampel dengan menggunakan HPLC .......................................................... 116 Tabel 27. Kuatifikasi area komponen unknown pada waktu retensi tertentu ... 117 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Struktur kimia dari 6 kelas flavonoid ............................................... 4 Gambar 2. Pohon turi......................................................................................10 Gambar 3. Bunga turi .....................................................................................10 Gambar 4. Kucai ............................................................................................12 Gambar 5. Takokak ........................................................................................15 Gambar 6. Daun kelor ....................................................................................18 Gambar 7. Daun mengkudu ............................................................................20 Gambar 8. Tanaman kacang panjang ..............................................................22 Gambar 9. Terubuk .........................................................................................24 Gambar 10. Mangkokan putih...........................................................................27 Gambar 11. Daun labu siam ..............................................................................30 Gambar 12. Bunga papaya ................................................................................33 Gambar 13. Daun jambu mete ..........................................................................35 Gambar 14. Pakis .............................................................................................37 Gambar 15. Antanan beurit ...............................................................................39 Gambar 16. Struktur kimia flavonoid ................................................................43 Gambar 17. Struktur kimia Flavonol dan flavones yang diidentifikasi ...............46 Gambar 18. Persiapan sampel ...........................................................................58 Gambar 19. Prosedur analisis total fenol ...........................................................59 Gambar 20. Proses pembuatan ekstrak flavonoid dari sayuran indigenous ........60 Gambar 21 . Pembuatan larutan standar flavonoid .............................................61 Gambar 22. Kromatogram standar myricetin ....................................................62 Gambar 23. Kromatogram standar luteolin .......................................................62 Gambar 24. Kromatogram standar quercetin .....................................................63 Gambar 25. Kromatogram standar apigenin ......................................................63 Gambar 26. Kromatogram standar kaempferol ..................................................65 Gambar 27. Kromatogram standar campuran ....................................................68 Gambar 28. Kurva standar campuran myricetin ................................................69 Gambar 29. Kurva standar campuran luteolin ...................................................69 Gambar 30. Kurva standar campuran quercetin .................................................69 Gambar 31. Kurva standar campuran apigenin ..................................................69 Gambar 32. Kurva standar campuran kaempferol .............................................70 Gambar 33. Kromatogram ekstrak bunga turi ...................................................77 Gambar 34. Ko-kromatogram ekstrak bunga turi dengan standar campuran ......77 Gambar 35. Kromatogram ekstrak kucai ...........................................................83 Gambar 36. Ko-kromatogram ekstrak kucai dengan standar campuran .............83 Gambar 37. Kromatogram ekstrak takokak .......................................................84 Gambar 38. Ko-kromatogram ekstrak takokak dengan standar campuran..........84 Gambar 39. Kromatogram ekstrak daun kelor ...................................................85 Gambar 40. Ko-kromatogram ekstrak daun kelor dengan standar campuran .....85 Gambar 41. Kromatogram ekstrak pucuk mengkudu.........................................87 Gambar 42. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mengkudu dengan standar campuran.......................................................................................87 Gambar 43. Kromatogram ekstrak lembayung ..................................................90 Gambar 44. Ko-kromatogram ekstrak lembayung dengan standar campuran .....90 Gambar 45. Kromatogram ekstrak terubuk .......................................................92 Gambar 46. Ko-kromatogram ekstrak terubuk dengan standar campuran ..........92 Gambar 47. Kromatogram ekstrak mangkokan putih ..................................... 95 Gambar 48. Ko-kromatogram ekstrak mangkokan putih dengan standar campuran........................................................... 95 Gambar 49. Kromatogram ekstrak daun labu siam ......................................... 99 Gambar 50. Ko-kromatogram ekstrak daun labu siam dengan standar campuran.................................................................................... 99 Gambar 51. Kromatogram ekstrak bunga pepaya ........................................... 100 Gambar 52. Ko-kromatogram ekstrak bunga pepaya dengan standar campuran.................................................................................... 100 Gambar 53. Kromatogram ekstrak pucuk mete .............................................. 103 Gambar 54. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mete dengan standar campuran . 103 Gambar 55. Kromatogram ekstrak pakis ........................................................ 105 Gambar 56. Ko-kromatogram ekstrak pakis dengan standar campuran........... 105 Gambar 57. Kromatogram ekstrak antanan beurit .......................................... 108 Gambar 65. Ko-kromatogram ekstrak antanan beurit dengan standar campuran.................................................................................... 108 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Kurva standar dan limit deteksi myricetin................................. 126 Lampiran 2. Kurva standar dan limit deteksi luteolin.................................... 127 Lampiran 3. Kurva standar dan limit deteksi quarcetin ................................. 128 Lampiran 4. Kurva standar dan limit deteksi apigenin .................................. 129 Lampiran 5. Kurva standar dan limit deteksi myricetin................................. 130 Lampiran 6. Kurva standar asam galat.......................................................... 131 Lampiran 7. Hasil uji tukey kadar air sayuran indigenous............................. 132 Lampiran 8. Hasil uji tukey fotal fenol sayuran indigenous .......................... 133 Lampiran 9. Hasil uji tukey senyawa myricetin pada sampel ........................ 134 Lampiran 10. Hasil uji tukey senyawa quarcetin pada sampel ........................ 135 Lampiran 11. Hasil uji tukey senyawa apigenin pada sampel ......................... 136 Lampiran 12. Hasil uji tukey senyawa kaempferol pada sampel ..................... 137 Lampiran 13. Hasil uji tukey total flavonoid pada sampel .............................. 138 Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous .................................................. 139 Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze drayer .................. 142 Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous ................................................ 145 Lampiran 17. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ...... 148 Lampiran 18. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ........................ 149 Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ...... 150 Lampiran 20. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ........................ 153 Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ...... 154 Lampiran 22. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran . 157 Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran ................... 158 Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quercetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran . 159 Lampiran 25. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran ................... 162 Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran . 163 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki tanaman lokal yang sangat berlimpah. Tanaman lokal tersebut sampai saat ini masih banyak yang belum terjamah dan termanfaatkan, baik untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan sendiri maupun sebagai zat-zat yang yang bermanfaat bagi tubuh dan kesehatan. Selain itu saat ini di Indonesia belum tercapai keseimbangan antara penyediaan pangan dengan jumlah yang diperlukan oleh masyarakat, sementara pertambahan penduduk yang terus meningkat sangat memerlukan peningkatan dalam hal penyediaan makanan. Sayur-sayuran merupakan jenis makanan yang sangat dianjurkan dalam menu makanan manusia. Golongan makanan ini merupakan sumber mineral dan vitamin terutama yang berwarna hijau atau merah kekuningan. Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2003 konsumsi sayur-sayuran/ kapita/ hari mencapai 40.95 gram dengan memberi sumbangan sebanyak 2.6 % kkal per hari. Sampai saat ini pula konsumsi sayuran bangsa kita hanya 37,94 kg/kapita/tahun, sementara standar FAO 65,75 kg. Jumlah konsumsi sayur-sayuran tersebut masih sangat terbatas dalam jenis sayur-sayuran tertentu. Oleh karena itu pengadaan sumber daya hayati jenis sayur-sayuran perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Usaha penganekaragaman sumber makanan merupakan salah satu pemecahan dalam rangka mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis makanan termasuk dalam penganekaragaman dalam konsumsi sayur-sayuran. Jenis sayur-sayuran yang dibudidayakan sekarang sangatlah terbatas pada beberapa tanaman tertentu saja. Bila menilik kekayaan alam Indonesia, masih banyak jenis sayur-sayuran lain yang belum terungkap secara ilmiah dan dikembangkan untuk kepentingan nasional serta masyarakat luas. Peluang untuk pengembangan dan penganekaragamannya pun cukup besar. Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil sayur-sayuran yang memiliki peran yang cukup signifikan dalam menghasilkan jenis sayur-sayuran di Indonesia. Sayuran-sayuran lokal ini dikenal dengan istilah sayuran indigenous. Yang dimaksud dengan sayuran indigenous adalah sejenis sayuran yang walaupun tanaman sayuran itu bukan berasal dari Indonesia, namun tanaman tersebut sudah beradaptasi dan sudah dikultivasi atau dimanfaatkan oleh penduduk setempat dari dahulu, sehingga sudah dianggap sebagai tanaman turun-temurun dan telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia (Anonim, 2008). Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) bekerjasama dengan Asian Vegetables Research Development Center (AVRDC) telah melakukan pendataan terhadap sayuran ini terutama yang mempunyai kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia yaitu vitamin A, zat besi dan antioksidan. Pada penelitian ini jenis sayuran yang akan digunakan adalah sayuran-sayuran lokal yang banyak dan sering dikonsumsi oleh masyarakat Jawa Barat. Sayuran tersebut adalah daun kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.), takokak (Solanum torvum.Swartz) antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk), bunga pepaya (Carica papaya.L), pucuk mete (Anacardium occidentale. L), pucuk mengkudu (Morinda citrifolia.L), daun labu siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), daun kacang panjang/lembayung (Vigna unguiculata (L.) Walp), daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching), kucai (Allium schoenoprasum L.), daun mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.), bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), dan terubuk (Saccharum edule.Hassk). Bagian tanaman kelor, labu, lembayung, mangkokan, mete, mengkudu, dan pakis, yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun yang masih muda (daun yang dekat dengan pucuk). Daun muda atau pucuk ini dapat dilihat dari warna daun yang lebih hijau muda dibandingkan dengan daun bagian lainnya pada tanaman tersebut. Bagian tanaman antanan beurit dan kucai yang digunakan adalah seluruh bagiannya, sedangkan untuk tanaman turi, terubuk, dan pepaya, bagian yang digunakan adalah bunganya. Bagian tanaman takokak yang digunakan adalah buahnya. Pemilihan bagian-bagian tanaman tersebut didasarkan pada bagian-bagian yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan penelitian ini diharapakan untuk dapat lebih mempromosikan keamanan pangan dan peningkatan kesehatan yang lebih baik bagi bagi setiap individu yang mengkonsumsinya melalui akselerasi pemanfaatan sayuran indegenous. Sejarah membuktikan bahwa leluhur kita sudah banyak memanfaatkan sayuran indigenous karena sudah mengenal rasa dan manfaatnya berdasarkan pengetahuan secara turun temurun. Perkembangan budaya dan teknologi menyebabkan perkembangan sayuran indegenous menjadi terdesak, maka potensi sayuran ini harus digali dan dikaji kembali untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Flavonoid merupakan salah satu kelas dari polifenol yang terdiri dari beberapa sub kelas seperti flavone, flavonol, flavanonol, flavanon, flavan dan anthocyanin (Gambar 1). Menurut Peterson dan Dwyer (2000), anthosianin adalah flavonoid bermuatan yang biasanya berikatan dengan gula. Anthosianin bertanggung jawab atas sebagian besar adanya warna merah, biru dan ungu pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Flavonon ditemukan pada famili jeruk. Biasanya mengandung gula yang berkontribusi pada karakteristik flavor. Flavone umumnya ditemukan pada daun, sedangkan isoflavon seringkali ditemukan pada kacang-kacangan (legume) terutama kacang kedelai. Isoflavon berbeda dengan flavon hanya pada penempatan cincin benzene. Isoflavon umumnya dikenal karena aktivitas estrogeniknya. Seperti halnya flavanon, flavonol umumnya juga mengandung gula. Flavonoid yang paling mudah ditemukan (ubiquitious) dalam makanan adalah quercetin yang termasuk dalam kelas flavonol. Flavan adalah flavonoid yang mempunyai struktur kimia paling kompleks. Beberapa flavonoid yang termasuk dalam kelas flavan adalah catechin, procyanidin, theaflavin dan flavonoid polimerik lainnya seperti thearubigin. Flavonoid dapat berada dalam bentuk aglikonnya yaitu saat hidrogennya tidak tersubtitusi oleh gula. Flavonoid yang dapat terbentuk secara alami kecuali catechin, terglikosilasi pada posisi C3, C7, dan C4’. Pada awalnya, flavonoid dikenal sebagai pigmen yang bertanggung jawab terhadap semburat warna (autumnal burst) serta warna kuning, orange dan merah pada bunga dan makanan. Namun kemudian ditemukan juga pada buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, batang tanaman, bunga, teh dan anggur, serta merupakan konstituen penting dalam diet manusia (Middelton dan Kandaswami, 1993). Lebih lanjut Middelton dan Kandaswami(1993) menyebutkan flavonoid merupakan komponen yang jelas terlihat pada buah jeruk dan sumber makanan lain. flavone flavonol anthocyanin flavanon flavanonol flavan Gambar 1. Struktur kimia dari 6 kelas flavonoid (Peterson dan Dwyer, 2000) Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar. Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deret senyawa C6-C3-C6 artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik ketiga karbon. Flavonoid mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian besar merupakan pigmen warna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik, mudah terurai pada temperatur tinggi. Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama, terhadap tumbuhan, yaitu sebagai pengatur tumbuhan, pengatur fotosintesis, kerja antimiroba dan antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap penyakit kanker dan ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu sebagai daya tarik serangga untuk melakukan penyerbukan. Keempat, kegunaan lainnya adalah sebagai bahan aktif dalam pembuatan insektisida nabati dari kulit jeruk manis (Anonim, 2008). Komponen flavonoid yang dianalisis dalam penelitian ini adalah golongan flavonol dan flavone. Senyawa yang dianalisis dari golongan flavonol terdiri atas myricetin quercetin, , dan kaempferol, sedangkan dari golongan flavone terdiri atas apigenin dan luteolin. Pengidentifikasian dibatasi hanya pada kedua golongan ini karena kedua golongan senyawa ini merupakan komponen flavonoid yang mayoritas (secara kualitatif) terdapat pada sayuran (Lee, 2000). Analisis komponen fenolik pada bahan pangan dapat menggunakan berbagai macam cara, mulai dari cara paling sederhana; seperti uji kolorimetri, hingga penggunaan instrumen yang canggih dan mutakhir; untuk pemisahan, perhitungan kuantitas, dan pengkarakterisasian masing-masing komponen. Berbagai metode kromatografi cair (kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi kolom, dan High Performance Liquid Chromatography) (Lee, 2000). Deteksi komponen flavonol dan flavone yang terdapat pada sayuran indigenous daerah Jawa Barat yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Dibandingkan dengan metode kromatografi cair lainnya, HPLC merupakan metode yang paling mendekati untuk dapat menyediakan dan memberikan respon yang tepat, baik dalam sensitivitas yang tinggi maupun dalam hal efisiensi pemisahan karena menggunakan kolom berpartikel kecil terbungkus dengan ketat. Selain itu, deteksi komponen dengan penggunaan metode kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas, bila dibandingkan dengan HPLC, membutuhkan konsentrasi yang lebih besar. Pada analisis dengan metode HPLC, tidak ada pembatasan dalam hal volatilitas sampel maupun derivatisasi, seperti yang diperlukan dalam kromatografi gas (Lee, 2000). Komponen flavonoid bukan merupakan komponen volatil, oleh karena itu, analisis yang tepat adalah dengan menggunakan HPLC. B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi dan mengetahui kandungan komponen-komponen flavonoid (flavonol dan flavone) pada beberapa sayuran indigenous daerah Jawa Barat. C. MANFAAT Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan data mengenai komposisi komponen flavonoid (flavonol dan flavone) pada beberapa sayuran indigenous daerah Jawa Barat sehingga tercipta peluang untuk pemanfaatan lebih lanjut. II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAYURAN INDIGENOUS Indonesia sebagai bangsa dengan keragaman sumber daya hayati yang dimiliki sangat berpotensi untuk dikembangkan dan digali lebih dalam. Seperti halnya sayur-sayuran lokal tentunya sangat berkontribusi terhadap suplai pangan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa leluhur kita sudah banyak memanfaatkan sayuran indigenous karena sudah mengenal rasa dan manfaatnya berdasarkan pengetahuan secara turun temurun. Sayuran indigenous adalah sejenis sayuran yang walaupun tanaman sayuran itu bukan berasal dari Indonesia, namun tanaman tersebut sudah beradaptasi dan sudah dikultivasi atau dimanfaatkan oleh penduduk setempat dari dahulu, sehingga sudah dianggap sebagai tanaman turun-temurun dan telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia (Anonim, 2008). Sayuran indigenous biasanya tumbuh di pekarangan rumah maupun kebun secara alami dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, baik sebagai sayuran yang dimasak maupun lalapan. Pada kenyataannya di daerah Jawa Barat sayuran indigenous sudah memasuki pasar di rumah makan yang digunakan sebagai lalap. Banyak sayuran indigenous yang berfungsi sebagai obat dari suatu penyakit manusia. Pada penelitian ini akan diididentifikasi kandungan flavonoid dari sayuran indigenous tersebut. Sayur yang digunakan adalah sayur-sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan banyak tumbuh di daerah Jawa Barat. Bagian dari sayur-sayuran indigenous yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian yang biasa dikonsumsi (dapat berupa batang, daun, bunga atau seluruh bagian tanaman). Sayuran tersebut diantaranya adalah bunga turi, daun pakis, kucai, daun mangkokan putih, daun labu siam, takokak, kelor, pucuk mengkudu, pucuk mete, terubuk, bunga pepaya, antanan beurit, dan daun kacang panjang atau lembayung. 1. Bunga Turi (Sesbania grandiflora (L.)Pers.) Klasifikasi dari bunga turi adalah : Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Sub Division : Angiospermae Class : Dicotyledonea Order : Rosales Family : Leguminosae Genus : Sesbania Spesies : (Sesbania grandiflora (L.)Pers.) Turi umumnya ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias, di tepi jalan sebagai pohon pelindung, atau ditanam sebagai tanaman pembatas pekarangan. Tanaman ini dapat ditemukan di bawah 1.200 m dpl. Pohon 'kurus' berumur pendek, tinggi 5-12 m, ranting sering kali menggantung. Kulit luar berwarna kelabu hingga kecoklatan, tidak rata, dengan alur membujur dan melintang tidak beraturan, lapisan gabus mudah terkelupas. Di bagian dalam berair dan sedikit berlendir. Percabangan baru keluar setelah tinggi tanaman sekitar 5 m. Berdaun majemuk yang letaknya tersebar, dengan daun penumpu yang panjangnya 0,5-1 cm. Panjang daun 20-30 cm, menyirip genap, dengan 20-40 pasang anak daun yang bertangkai pendek. Helaian anak daun berbentuk jorong memanjang, tepi rata, panjang 3-4 cm, lebar 0,8-1,5 cm. Bunganya besar dalam tandan yang keluar dari ketiak daun, letaknya menggantung dengan 2-4 bunga yang bertangkai, kuncupnya berbentuk sabit, panjangnya 7-9 cm. Bila mekar, bunganya berbentuk kupu-kupu. Turi memiliki 2 varietas, ada yang berbunga putih dan ada juga berbunga merah. Turi berbunga putih dapat dimakan sebagai sayur atau dipecel. Bunganya gurih dan manis, biasanya bunga berwarna putih yang dikukus dan dimakan sebagai pecel. Selain bunganya yang enak di makan, daun dan polong turi juga sering diolah sebagai masakan. Masarakat Jawa mengolahnya untuk campuran urapan, pecel, ditumis atau dibuat sayur. Rasanya hampir mirip dengan bunga pepaya namun tidak pahit. Turi berbunga merah lebih banyak dipakai dalam pengobatan, karena memang lebih berkhasiat. Mungkin kadar taninnya lebih tinggi, sehingga lebih manjur untuk pengobatan luka ataupun disentri. Daun muda setelah dikukus kadang dimakan oleh ibu yang sedang menyusui anaknya untuk menambah produksi asi, walaupun baunya tidak enak dan berlendir. Daun dan ranting muda juga merupakan makanan ternak yang kaya protein. Turi juga dipakai sebagai pupuk hijau. Daunnya mengandung saponin sehingga dapat digunakan sebagai pengganti sabun setelah diremas-remas dalam air untuk mencuci pakaian. Buah bentuk polong yang menggantung, berbentuk pita dengan sekat antara, panjang 20-55 cm, lebar 7-8 mm. Biji 15-50, letak melintang di dalam polong. Akarnya berbintil-bintil, berisi bakteri yang dapat memanfaatkan nitrogen, sehingga bisa menyuburkan tanah. Sari kulit batang pohon turi digunakan untuk menguatkan dan mewarnai jala ikan. Kulit batang turi merah kadang dijual dengan nama kayu timor. Turi (Sesbania grandiflora) termasuk keluarga kacang kacangan. Tanaman ini cukup berharga bila dikembangkan sebagai bahan pakan karena kadar proteinnya yang tinggi, tetapi turi juga mengandung berbagai senyawa anti-nutrisi, di antaranya kanavanin, penghambat tripsin, saponin, tanin dan alkaloid (Anonim, 2008p). Banyak cara untuk menghilangkan senyawa-senyawa ini, di antaranya dengan cara membuat konsentrat protein dan membuang kulitnya. Hasil pembuatan konsentrat protein sangat rendah (3,9%) dari bahan awal. Di samping itu, senyawa yang anti-nutrisi hanya berhasil dikurangi tapi tidak bisa hilang sama sekali. Pengupasan kulit (sekitar 35-40% dan biji utuh) menghasilkan lebih banyak senyawaan yang bisa dibuang. Disarankan untuk menggunakan biji tanpa kulit ini untuk hewan non-ruminansia. Bunga atau kembang turi memiliki efek farmakologis sebagai pelembut kulit, pencahar, dan penyejuk. Selain itu kandungan kimia dari bunga turi ini antara lain kalsium, zat besi, zat gula, vitamin A dan B (Anonim, 2008q). Gambar 2. Pohon turi Gambar 3. Bunga turi 2. Kucai (Allium schoenoprasum L.) Klasifikasi dari kucai adalah : Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Order : Asparagales Family : Alliaceae Genus : Allium Spesies : (Allium schoenoprasum L.) Kucai (Allium schoenoprasum L.), atau bawang kucai serta daun kucai, dikenal sebagai sayuran daun dan biasa disajikan dalam irisan kecil-kecil. Kucai tidak terlalu sering dipakai dalam menu Indonesia. Penggunaannya umum dalam masakan dengan pengaruh Tiongkok, seperti bubur ayam. Pada budaya boga Tiongkok dan Jepang, kucai merupakan bahan campuran isi Jiaozi (Gy za). Kucai berdaun pipih dan bunganya berwarna putih. Aroma kucai lebih dekat ke bawang putih sehingga dalam bahasa Inggris disebut garlic-chives dan dalam bahasa Jerman disebut Knoblauch-Schnittlauch. Daunnya beraroma tajam dan pekat namun berbeda dengan aroma daun prei (A. porrum) maupun daun bawang (A. cepa, A. fistulosum, A. ascalonicum). Bunga kucai dapat digunakan pula sebagai rempah penyedap. Kucai adalah gugusan dari tanaman bawang yang kebanyakan ditanam untuk tujuan hiasan (hanya berbunga) dan sebagai sayuran. Tanaman ini mengambil sedikit ruang dan boleh dimakan keseluruhanya (dari pucuk sampai bawangnya). Variasi kucai yang popular adalah Kucai Cina yang mempunyai aroma menyerupai bawang putih pada daunnya. Bunganya juga berwarna putih. Kucai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Pertumbuhannya akan sangat baik jika ditanam pada tanah yang agak dalam dan dipenuhi dengan kompos serta bahan organik. Kucai dapat tumbuh di bawah panas matahari ataupun di tempat yang teduh. Jika musim kemarau juga tidak terlalu berpengaruh karena bawangnya masih ada. Sama seperti bawang, kucai mempunyai akar berbawang dan daun. Selain itu, kucai pun dapat ditanam dari bijinya. Kucai adalah tanaman yang berumur panjang (perennial). Ia dapat terus hidup hingga beberapa tahun jika keadaannya tanahnya terus dijaga, yaitu tanah yang subur. Kalau menanam kucai untuk di makan, bunganya perlu dibuang untuk meningkatkan pertumbuhan daun saja. Kucai merupakan jenis sayuran yang berasal dari keluarga Lili (tanaman berumbi). Tumbuhan ini mempunyai aroma yang agak tengik tetapi enak dimakan sebagai sebagai sayur atau ulam. Tumbuhan ini juga mengandung vitamin B dan C, karoten dan komponen belerang (Anonim, 2008r). Masyarakat Indonesia telah lama memanfaatkan kucai untuk pengobatan, diantaranya untuk mengatasi keputihan, darah tinggi dan sembelit. Selain itu, kucai diyakini mempunyai khasiat antiseptik untuk membunuh kuman bakteri dalam usus dan menjadi perangsang dalam proses pengasaman usus. Kucai juga berkhasiat melancarkan aliran darah, sekaligus menghindarkan pembekuan darah. Gambar 4. Kucai 3. Takokak (Solanum torvum Swartz) Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Sub Division : Angiospermae Class : Dicotyledonae Order : Solanales Family : Solanaceae Genus : Solanum Spesies : Solanum torvum Swartz Takokak merupakan tanaman perdu yang kecil, tumbuh tegak dengan tinggi 1-3 meter. Daunnya tunggal, letaknya berseling, bentuk bulat telur melebar, panjang daun 6-30 cm, berujung runcing, tepi berlekuk menyirip, warnanya hijau muda dan memiliki tangan yang berambut rapat bahkan seringkali dengan beberapa duri tempel. Buahnya berwarna kuning orange, licin dan bergaris tengah 12-15 cm. Buah takokak sering dimakan sebagai lalap mentah, direbus atau dimasak dengan tauco, dan cabe hijau atau sesuai selera. Tumbuhan ini tergolong perdu dan masuk ke dalam famili Solanaceae. Tumbuhan ini hidup liar di berbagai daerah, baik di daratan rendah hingga ke pegunungan. Perbanyakannya menggunakan biji yang banyak terdapat di dalam buah. Tinggi tumbuhannya bisa mencapai dua meter lebih dengan batang berwarna hijau kecoklatan penuh duri tajam dan berbulu halus. Daunnya besar bergerigi lebar dan permukaannya pun berbulu. Bunganya kecil berwarna putih berkelompok lima hingga enam dalam satu tangkai dengan putiknya berwarna kuning. Bila bunga dibuahi, maka muncullah bakal buah berwarna hijau. Buahnya terus berwarna hijau dengan biji berwarna putih lunak. Bila buah sudah matang, berwarna kehitaman dengan biji berwarna kecoklatan dan keras. Pemeliharaan tanaman ini cukup mudah. Selain memang dapat hidup liar, tumbuhan ini juga memerlukan cukup air dengan penyiraman atau menjaga kelembaban tanah. Pemupukan juga diperlukan, tapi cukup dengan pupuk dasar saja. Selain leunca, tumis oncom merah dan sayur oncom hitam di daerah Jawa Barat, juga sering melengkapinya dengan buah takokak. Tak hanya jadi penambah di dalam sayuran saja, takokak juga kerap menjadi lalapan yang sangat digemari di beberapa daerah. Takokak (Solanum torvum Swartz atau S ferrugium Jacq) cukup terkenal di beberapa daerah Indonesia. Di beberapa daerah, takokak dinamai cepoka, cokowana, pokak, atau terong pipit. Dalam farmakologi Cina disebutkan bahwa takokak memiliki rasa pedas, sejuk, dan agak beracun. Untuk itu, bila digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu, perlu diperhatikan dosisnya, karena dapat menimbulkan keracunan. Selain itu, penderita kecenderungan glaucoma dilarang meminumnya. Efek farmakologi takokak diperoleh dari daun dan akarnya. Akarnya dicuci dan dipotong-potong secukupnya. Lalu, akar itu dijemur dan disimpan bila sudah kering. Daunnya digunakan dalam keadaan segar. Takokak memiliki banyak berkhasiat misalnya, melancarkan sirkulasi dan menghilangkan darah beku, menghilangkan sakit (analgetik), menghilangkan sakit (analgetik), dan mengatasi batuk (antitusif). Dari pengalaman secara turun temurun di berbagai negara dan daerah, tanaman ini dapat mengatasi dan menyembuhkan beberapa penyakit. Contohnya, bengkak, sakit lambung, bisul, batuk kronis, dan koreng. Buah muda takokak dikenal masyarakat Sunda sebagai lalap mentah maupun sayur matang. Orang Jawa menyebutnya poka atau cepoka, terongan, cong belut, atau cokowana. Di Sumatra dikenal sebagai terong pipit. Kandungan penting takokak antara lain terdapat pada buah mentah, buah kering, daun, dan akarnya. Pada buah mentah terdapat chlorogenin, sisalogenone, torvogenin, dan vitamin A. Buah keringnya terdapat solasonin 0,1 persen. Daunnya terdapat neo-chlorogenine, panicolugenin. Sedangkan pada akarnya terdapat kandungan jurubine (Anonim, 2007i). Buah dan daun tanaman ini mengandung alkaloid steroid jenis solasodin 0,84% yang merupakan bahan baku hormon seks untuk kontrasepsi. Juga memiliki senyawa sterol carpesterol sebagai antiradang (Anonim, 2007j). Manfaat lain takokak juga untuk sakit lambung, sakit gigi, katarak, tidak datang haid, wasir atau ambeien, radang payudara, influenza, panas dalam, pembengkakan, bisul, koreng, sakit pinggang, asam urat tinggi, keropos tulang, jantung berdebar-debar, menetralkan racun dalam tubuh, dan melancarkan sirkulasi darah (Anonim, 2007i) Gambar 5. Takokak 4. Daun Kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.) Klasifikasi dari kelor adalah : Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Sub Division : Angiospermae Class : Dicotyledonae Order : Brassicales Family : Moringaceae Genus : Moringa Spesies : (Moringa pterygosperma Gaertn.) Kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.) termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketinggian batang 7 -11 meter. Di Jawa, kelor sering dimanfaatkan sebagai tanaman pagar. Pohon Kelor tidak terlalu besar. Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai akar yang kuat. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 300-500 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna putih kekuning kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa), sedangkan getahnya yang telah berubah warna menjadi coklat disebut blendok (Jawa). Menurut sejarahnya, tanaman kelor atau marongghi (Moringa oleifera), berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian menyebar ke kawasan di sekitarnya sampai ke Benua Afrika dan Asia-Barat. Bahkan, di beberapa negara di Afrika, seperti di Etiopia, Sudan, Madagaskar, Somalia, dan Kenya, sekarang mulai dikembangkan pula di Arab Saudi dan Israel, menjadi bagian untuk program pemulihan tanah kering dan gersang, karena sifat dari tanaman ini mudah tumbuh pada tanah kering ataupun gersang, dan bila sudah tumbuh maka lahan di sekitarnya akan dapat ditumbuhi oleh tanaman lain yang lebih kecil, sehingga pada akhirnya pertumbuhan tanaman lain akan cepat terjadi. Walaupun di Indonesia, khususnya di lingkungan perkampungan dan pedesaan, tanaman kelor baru sampai menjadi tanaman pagar hidup, batas tanah ataupun penjalar tanaman lain, tetapi manfaat dari daun dan karangan bunga serta buah muda sebagai sayuran, sudah sejak lama digunakan. Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan pedesaan. Seperti akarnya, campuran bersama kulit akar pepaya kemudian digiling, dihancurkan, banyak digunakan untuk obat luar (balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya. Daunnya ditambah dengan kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan. Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup dengan cara setekan batang tua atau cukup tua, yang langsung ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup ataupun batang perambat. Disamping itu, manfaat lain dari batang bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis tubuhnya akan lumer atau hilang. Sangat unik adalah kebiasaan penduduk sekitar Arba Minch yang memiliki lahan terbatas, mulai dari sekitar 0,1 ha atau 1.000 meter persegi, atau hanya ratusan bahkan puluhan meter persegi saja. Sehingga pohon kelor hanya dijadikan pagar hidup, pembatas tanah ataupun pohon perambat sama seperti di Indonesia. Akan tetapi hasilnya, kalau daunnya dapat langsung digunakan sebagai sayuran, maka bunganya akan tetap dipelihara hingga menjadi buah dan menghasilkan biji yang dapat dijual kepada perusahaan asing yang memerlukan untuk pembuatan tepung atau minyak sebagai bahan baku pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi. Salah satu sifat yang menguntungkan untuk membudidayakan pohon kelor yang sudah diketahui sejak lama, yaitu minimnya penggunaan pupuk dan jarang diserang hama (oleh serangga) ataupun penyakit (oleh mikroba). Sehingga biaya untuk pemupukan dan pengontrolan hama dan penyakit relatif sangat murah. Bahkan, dari pengalaman para petani kelor yang sudah lama berkecimpung, diketahui bahwa pemupukan yang baik adalah berasal dari pupuk organik, khususnya berasal dari kacang-kacangan (misal kacang hijau, kacang kedelai ataupun kacang panjang) yang ditanamkan sekitar pohon kelor. Pengalaman panjang secara tradisi penggunaan tanaman kelor sebagai bahan berkhasiat obat di kawasan tersebut adalah bahwa akarnya sangat baik untuk pengobatan malaria, mengurangi rasa sakit, penurun tekanan darah tinggi, dan sebagainya, sedang daunnya untuk penurun tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan penyakit jantung. Kandungan kimia dari akar dan daun kelor mengandung zat yang berasa pahit , getir dan pedas. Biji kelor juga mengandung minyak dan lemak (Anonim, 2007i). Juga kandungan senyawa yang terdapat pada serbuk biji kelor memiliki sifat antimikroba, khususnya terhadap bakteri. Sehingga kalaupun di dalam air terdapat bakteri Coli (salah satu yang disyaratkan tidak terdapat di dalam air minum), akan tereduksi atau mati (Anonim, 2007c). Gambar 6. Daun Kelor 5. Pucuk Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Klasifikasi dari mengkudu adalah : Kingdom : Plantae Division : Lignosae Sub Division : Angiospermae Class : Dicotyledonae Order : Brassicales Family : Rubiaceae Genus : Morinda Spesies : Morinda citrifolia L. Mengkudu tanaman perdu atau bentuk pohon kecil. Tumbuhan ini tidak terlalu besar dengan tinggi pohon 3 hingga 8 meter banyak bercabang, kulit batangnya berwarna coklat, cabang- cabangnya kaku, kasar tapi mudah patah. Daunnya bertangkai, berwarna hijau tua, duduk daun bersilang, berhadapan, bentuknya bulat telur, lebar, sampai berbentuk elips, helaian daun tebal, mengkilap, tepi daun rata, ujungnya meruncing, pangkal daun menyempit, tulang daun menyirip, bersusun berhadapan, panjang daun 20 hingga 40 cm dan lebar 7 hingga 15 cm. Bunganya berwarna hijau, bentuk lonjang. Bijinya banyak dan kecil-kecil terdapat dalam isi buah. Permukaan buah tidak merata, terbagi kedalam sel-sel poligonal yang berbintik-bintik dan berkutil. Buah muda berwarna hijau, makin tua kulit buah agak menguning, dan buah yang matang berwarna putih menguning, dan transparan. Buah yang matang dagingnya lunak berair dan bau busuk. Mengkudu berkembang biak dengan biji. Dalam satu buah banyak terdapat biji. Dalam satu buah dapat mengandung lebih dari 300 biji. Bentuk biji pipih lonjong, berwarna hitam kecoklatan, kulit biji tidak teratur/tidak rata. Mengkudu termasuk jenis kopi-kopian. Tumbuh secara liar di hutan, di lembah yang berair seperti di tepi-tepi sungai. Daun mengkudu untuk membalut tungku karena khasiatnya dapat mengecutkan rahim wanita setelah bersalin. Caranya adalah ambil beberapa buah mengkudu yang sudah masak, bersihkan dan kisarkan buah-buahan itu sehingga hancur dengan air, tapiskan untuk mendapatkan airnya. Airnya ditambahkan madu lebah untuk memaniskan kerana rasanya agak masam dan pedas sedikit. Pada daun mengkudu terkandung protein, zat kapur, zat besi, karoten dan askorbin. Efek farmakologis daun mengkudu pertama kali ditemukan oleh Raj dalam Darusman (2002), dilaporkan bahwa ekstrak kloroform daun muda mengkudu secara in-vitro mempunyai aktivitas antihelmintik, cukup baik melawan cacing Ascaris lumbricoides yang ada pada usus. Aalbersberg (1993) melaporkan bahwa kandungan karoten pada daun mengkudu lebih tinggi dibanding dengan yang terkandung pada daun cay sin (Brassica chinensis) dan Colocasia esculenta. Pucuk mengkudu biasanya dimasak atau dicelur untuk dijadikan perencah urap dan pecal. Pucuk mengkudu kaya dengan beta karoten dan zat besi yang baik digunakan untuk mengatasi masalah kurang darah (Anonim, 2007h). Gambar 7. Pucuk Mengkudu 6. Lembayung / Daun Kacang Panjang (Vigna unguiculata (L.) Walp.) Klasifikasi tanaman kacang panjang adalah : Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Fabales Family : Fabaceae Genus : Vigna Spesies : (Vigna unguiculata (L.) Walp.) Kacang panjang adalah sejenis sayuran yang populer dikalangan penduduk Indonesia. Tanaman diduga berasal dari India, tapi sekarang ditanam secara merata di kawasan yang beriklim tropika yaitu Asia, Afrika Timur dan Amerika Tengah. Pada kebiasaannya daun kacang panjang yang muda digunakan untuk berbagai jenis masakan dan juga dimakan mentah sebagai lalap. Kacang Panjang adalah sejenis tanaman semusim yang tumbuh memanjat. Ciri-cirinya, mempunyai akar tunjang dan berkembang akar lateral yang meluas. Batangnya memanjat dengan cara melilit pada penyokong dan boleh mencapai hingga 4 m. Jenis daunnya majemuk. Bunganya berwarna putih kuning atau ungu, berukuran 2- 2.5 cm dan terdapat dalam kelompok 3 - 6 kuntum setiap tangkai bunga. Buahnya berukuran antara 20 - 70 cm dan putaran garis pusat 1.2 cm. Warnanya berbeda dari hijau muda hingga merah hati mengikut varietas. Biji dapat mencapai 10-30 biji setiap buah. Warna mengikut varietas dari putih cerah, perang hitam dan berbintik hitam Kacang panjang (Vigna spp.) merupakan tanaman sayuran penting dari golongan kacang-kacangan, karena mengandung nutrisi yang relatif lengkap dan cukup tinggi, terutama protein nabati. Bagian tanaman kacang panjang yang biasa digunakan sebagai sayuran adalah polong muda, biji, dan daun muda (Anonim, 2008z). Spesies kacang panjang yang umum dibudidayakan antara lain: a. Kacang panjang tipe merambat (V. sinensis var. sesquipedalis) yang kita kenal sebagai kacang panjang biasa. Varietas yang ditanam adalah varietas unggul KP1 dan KP2, varitas lokal Purwokerto, no 1494 Cikole, Subang, Super Subang , Usus hijau Subang dll. b. Kacang panjang tipe tegak yaitu kacang tunggak/tolo/dadap/sapu (V. unguiculata L.), dan kacang uci/ondel (V. umbellata ). Varietas unggul adalah KT1, KT2, KT3. c. Kacang panjang hibrida (V. sinensis ssp. Hybridus) seperti kacang bushitao. Varitas yang dirilis adalah No. 10/a, 12/a, 13/a, 14/a, 17/a, 18/a dan EG BS/2 Pada penelitian ini jenis daun kacang panjang yang digunakan adalah daun kacang panjang tipe tegak dalam hal ini Vigna unguiculata L. Tanaman kacang panjang (Vigna spp.) memiliki buah polong yang panjang. Berbunga putih atau hijau muda, bentuknya mirip kupu-kupu. Daunnya berbentuk segitiga, bisa dimakan sebagai sayur maupun dimanfaatkan untuk pengobatan alami. Daun dan buah kacang panjang mengandung zat-zat protein, kalsium, fosfor, besi, belerang, magnesium, mangan, niasin, vitamin B1, B2, dan C (Anonim, 2008p) Gambar 8. Tanaman Kacang Panjang 7. Terubuk (Saccharum edule Hassk) Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Sub-class : Commelinidae Ordo : Poales Family : Poaceae Genus : Saccharum Spesies : Saccharum edule Hassk Tebu terubuk (Saccharum edule Hassk) merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Gramineae. Tanaman ini sudah dikenal di daerah Jawa dan Madura. Di daerah Jawa Barat tanaman ini dikenal dengan nama “tiwu endog” atau “terubus”, di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dikenal dengan nama “tebu endog” atau “tebu terubuk” dan di Madura dikenal dengan nama “tebu telur”. Sebutan “telur” atau “endog” yang disertakan pada nama tanaman ini di duga karena tekstur bagian tanaman yang dimakan menyerupai telur ikan. Menurut OCHSE (1931) tebu terubuk mungkin merupakan suatu bentuk tanaman tebudengan pertumbuhan tidak normal atau mungkin merupakan suatu hibrida dari tanaman tebu. Tanaman ini dikembangbiakkan dengan cara menanam potongan batang (stek) karena tanaman ini tidak memproduksi benih. Batang stek akan berakar dan membentuk suatu rumpun tanaman. Bunga tebu terubuk terbentuk di dalam batang di antara pelepah daun. Tebu terubuk umumnya dapat dipanen lima bulan setelah waktu penanaman. Setelah dua atau tiga tahun maka tanaman perlu diganti dengan tanaman baru (OCHSE, 1931). Bagian yang dipanen dari tanaman ini adalah bagain daun yang masih muda, sedangkan yang dikonsumsi adalah bagian bunga yang terbungkus dalam pelepah daun. Bunga tanaman ini biasa dimakan dalam bentuk mentah (lalap), dikukus atau digoreng sebagai bahan sayur, bahkan seringkali masayarakat sunda menjadikanya campuran dalam rebusan indomie. Sayur yang dikenal dengan bahan dasar bunga terubuk antara lain, sayur lodeh, tumis, kare, dan sayur asam. Di Eropa tebu terubuk sering digunakan sebagai bahan pengganti dari cauliflower (OCHSE, 1931 dan TERRA, 1966). Menurut TERRA (1966) bunga tebu terubuk mengandung protein sekitar 4.6 - 6 %. Selain itu, tebu terubuk banyak mengandung mineral terutama kalsium dan fosfor, di samping vitamin C (asam askorbat). komposisi tebu terubuk.dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi tebu terubuk per 100 gram*) Komponen Kandungan Karbohidrat 3.0 g Protein 4.6 g Lemak 0.4 g Kalsium 40.0 mg Fosfor 80.0 mg Fe 2.0 mg Vitamin A 0.0 SI Vitamin B1 0.08 mg Vitamin C 80.0 mg Air 91.0 g *) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979). Gambar 9. Terubuk 8. Mangkokan Putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.) Klasifikasi mangkokan: Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Apiales Family : Araliaceae Genus : Nothopanax Spesies : (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.) Mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.) adalah tanaman suku araliaceae yang secara tradisional telah digunakan untuk menghilangkan bau badan, pelumas kepala terhadap kerontokan rambut, menyembuhkan buah dada yang bernanah, diuretika, dan peluruh keringat. Akan tetapi hal ini masih bersifat empiris karena belum ada data klinis tentang khasiat mangkokan, bahkan tentang golongan kandungan kimia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian pendahuluan, yaitu penelitian taksonomi dan skrining fitokimia. Penelitian taksonomi meliputi klasifikasi, tatanama serta identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi dan anatomi. Hal ini dilakukan untuk mengenal identitas tumbuhan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekeliruan. Sedangkan skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman (Anonim, 2008v). Golongan kandungan kimia dari mangkokan belum diketahui, maka sebagai dasar panduan digunakan golongan kandungan kimia tanaman dan suku yang sama karena menurut kemotaksonomi, hubungan yang erat ini memungkinkan persamaan zat kandungan. Zat yang terkandung dalam suku Araliaceae antara lain saponin; alkaloid; senyawa asetilenat; diterpenoid; triterpenoid; panaksosida A, B, C, D, E, F; minyak atsiri; dan emetin (Anonim, 2007d) Penelitian dilakukan terhadap daun karena bagian yang paling banyak digunakan dalam pengobatan dengan mangkokan adalah daunnya. Penelitian makroskopis terutama untuk mengetahui habitus-morfologi tanaman mangkokan, sedang secara mikroskopis dilakukan terhadap irisan melintang daun, sayatan membujur epidermis atas dan bawah daun, serta fragmen serbuk untuk mengetahui anatomi dari daun mangkokan. Untuk penelitian skrining fitokimia dilakukan maserasi terhadap serbuk kering daun dengan menggunakan pelarut diklormetana dan metanol untuk memeriksa golongan kandungan alkaloid, saponin, flavonoid, glikosida antrakuinon, tannin dan senyawa polifenol, serta kumarin, sedang untuk golongan kandungan glikosida sianhidrin, minyak atsiri, dan iridoid dilakukan terhadap serbuk daun kering (Anonim, 2007e). Dari hasil penelitian didapatkan ciri-ciri habitus-morfologi mangkokan adalah tumbuhan menahun yang berupa perdu, arah tumbuh tegak ke atas, daun hampir bundar berbentuk seperti mangkok, tepi daun bergerigi, tulang daun menyirip, permukaan daun agak kasar tidak berbulu, daun berwarna hijau, tidak berbunga dan tidak berbuah, batang berbentuk bulat berkayu berwarna coklat keputihan arah tumbuh tegak ke atas dengan percabangan monopodial. Akar merupakan akar tunggang berwarna coklat, jumlah akar cabang banyak dan kecil¬kecil. Dari pemeriksaan anatomi secara mikroskopis didapatkan ciri-ciri stomata tipe anisositik dengan tiga sel tetangga tidak sama besar yang hanya terdapat pada epidermis bawah, kristal oksalat bentuk roset dan prisma, berkas pengangkutan bikolateral dengan jumlah banyak dan letak tersebar, dan penebalan xilem bentuk spiral, sedangkan dari skrining fitokimia diduga mempunyai golongan kandungan alkaloid, saponin dengan sapogenin jenuh, antrakuinon, dan kumarin (Anonim, 2007d). Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan penelitian terhadap macam¬macam golongan kandungan kimia dari alkaloid, saponin, antrakuinon, dan kumarin, Hai ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk penemuan obat baru yang berasal dari bahan alam. Pohon mangkokanputih ini dapat tumbuh di daerah yang berhawa panas atau dingin, dan tumbuh sepanjang tahun. Di tempat - tempat yang keadaannya agak lembab, tanaman ini dapat tumbuh dengan subur. Pengembangan tanaman pada umumnya dilakukan dengan stek. Daun muda biasanya digunakan untuk campuran lalap, urap mentah, pecel, dan di Sumatra untuk campuran gulai. Daunnya yang setengah tua dapat dipakai sebagai ramuan cemceman, sejenis minyak rambut. Daun yang tua dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Gambar 10. Mangkokan Putih 9. Daun Labu Siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.) Kalsifikasi dari labu siam adalah : Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Sub Division : Angiospermae Class : Dicotyledonae Order : Cucurbitales Family : Cucurbitaceae Genus : Sechium Spesies : (Sechium edule (Jacq.) Swartz.) Labu Siam (Sechium edule, (Jacq) Swartz) merupakan tanaman sayuran dataran tinggi yang telah lama dikenal petani di Indonesia selain bawang putih, kubis, sawi wortel, lobak dan tomat (Lingga 2001). Labu Siam telah dikenal sebagai sayuran buah dan sekarang dikenal sebagai sayuran pucuk (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Kandungan kalori yang terdapat pada 100 g bahan segar labu siam buah, pucuk dan umbi yaitu 26, 60 dan 79 kalori. Kandungan vitamin A pada buah dan pucuk labu siam pada 100 g bahan segar yaitu 43 dan 4560 I (Anonim, 2008s). Berdasarkan ciri fisiknya diduga benih labu siam tergolong sebagai benih rekalsitran dengan karakteristik kadar airnya tinggi sehingga mudah terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami kemunduran (Farrant et al. 1988). Umumnya benih rekalsitran tidak mempunyai masa dormansi proses metabolisme perkecambahan berjalan terus (Copeland dan McDonald 1995) bahkan benih labu siam dapat berkecambah ketika masih di pohon (perkecambahan dini) atau bersifat vivipary. Sifat tanaman yang mirip dengan labu siam diantaranya adalah tanaman species mangrove (Tomlinson 1998). Labu siam tidak tahan disimpan sebagai benih lebih dari satu bulan sejak berkecambah di pohon karena tidak memiliki masa dormansi sehingga diduga labu Siam termasuk dalam rekalsitran tinggi (highly rekalsitran). Hal ini menunjang pendapat Farrant et al. (1988) mengenai beberapa karakteristik benih rekalsitran. Labu siam (chayote) merupakan salah satu tanaman sayuran dataran tinggi di Indonesia. Buah, pucuk, akar dan umbi labu siam semua bisa dikonsumsi. Menurut Engels (1983) di Papua Nugini pucuk umbi dan buah digunakan sebagai makanan semua jenis ternak. Tanaman labu siam mempunyai prospek sebagai dietary food, karena mempunyai kandungan kalori yang rendah dan digunakan sebagai makanan penambah rasa. Bijinya berbentuk seperti kacang yang mengandung sumber protein. Pucuk khususnya kaya akan vitamin A, B dan C. Di Indonesia tidak ada statistik secara tersendiri data labu Siam selalu dikombinasi dengan semua tanaman labu (Biro Pusat Statistik 1998). Dalam produksi dan perdagangan internasional, labu siam adalah termasuk 5 (lima) jenis sayuran komersial yang penting di Brazil. Ini merupakan informasi penting bagi Indonesia karena di Indonesia labu siam sangat cocok tumbuh dan berproduksi terus sepanjang tahun. Menurut Rukmana (1999) tanaman labu siam dalam pertumbuhan dan perkembangannya adalah tanaman hijau sepanjang tahun. Tanaman ini direkomendasikan untuk diperbaiki paling sedikit tiga tahun sekali, terutama apabila terserang penyakit dan untuk menghindari serangan penyakit. Labu siam merupakan tanaman merambat pada tanaman lain atau para para dan dapat mencapai panjang beberapa meter. Akar tanaman berbentuk umbi, daunnya lebar dan pinggir daun tidak merata menurut tulang daunnya. bunganya berkelamin satu, ada yang betina dan ada yang jantan dalam satu pohon. Bunga jantan berbentuk kecil - kecil, sedangkan bunga betina lebih besar dan lebih bulat. Bentuk buahnya menyerupai buah avokad, tetapi tidak merata atau berkulit tipis, dengan daging buah yang tebal, bergetah, banyak airnya, dan berbiji satu. Warna buah hijau keputih - putihan dan daging buahnya putih bersih. Selain buahnya, daun labu siam, terutama daun yang masih muda, dapat dimanfaatkan untuk urap atau sayur. Kandungan yang paling banyak pada labu siam adalah air. Sebenarnya labu siam merupakan sayuran bergizi rendah. Penggunaannya sebagai sayuran hanya berperan sebagai penambah ragam bahan. Untuk mereka yang sedang menurunkan berat badan labu siam sangat berguna karena termasuk sayuran rendah kalori (Anonim, 2008t). Buah dan daun Sechium edule mengandung saponin. Di samping itu buahnya juga mengandung alkaloida dan tanin. sedangkan daunnya juga mengandung flavonoida dan polifenol (Anonim, 2007r). Untuk pengobatan, labu siam dapat digunakan sebagai obat diuretik. Daun dan buahnya sangat cocok untuk merawat penderita hipertensi, arterioscleosis, karang/batu dalam buah pinggang dan melawaskan sistem pembuangan air kecil dan pernafasan. Kandungan alkaloid dan magnesium dalam buahnya mampu menurunkan kadar tekanan darah tinggi dan melancarkan peredaran darah yang tersumbat. Merawat bengkak dan luka. Buahnya tidak perlu dikupas berkhasiat dijadikan salad, direbus, dihancurkan, dibakar, digoreng dan dijadikan jeruk, rasanya lemak seperti kacang. Isi buah dikukus bagi merawat pesakit diabetis. Daun mudanya dibuat sayur, serabut dalamnya dibuat bakul dan daunnya telah lama dijadikan teh herba diambil secara teratur sebagai tonik kesihatan (Anonim, 2008t). Gambar 11. Daun Labu Siam 10. Bunga Pepaya (Carica Papaya L.) Kalsifikasi dari bunga pepaya adalah : Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Brassicales Family : Caricaceae Genus : Carica Spesies : Carica Papaya L. Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Mexico dan Costa Rica (Anonim, 2008b). Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di daerah tropis maupun sub tropis. Di daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah meja bermutu dan bergizi yang tinggi. Di Indonesia tanaman pepaya tersebar dimana-mana bahkan telah menjadi tanaman perkarangan. Sentra penanaman buah pepaya di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi), Jawa Timur (Kabupaten Malang), Yogyakarta (Sleman), Lampung Tengah, Sulawesi Selatan (Toraja), Sulawesi Utara (Manado). Daun pepaya muda sering direbus untuk dimakan sebagai urap, dimasukkan dalam buntil, atau dihidangkan sebagai lalapan sambal terasi. Daunnya melancarkan ASI bagi ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya. Hal ini karena daun pepaya mengandung alkaloida carpain yang mendorong pengeluaran empedu pencernaan lemak. Akibatnya, pencernaan makanan jadi lancar, nafsu makan meningkat, dan pengeluaran ASI pun lancar. Akan tetapi ternyata tidak setiap orang boleh makan pepaya. Para penderita eksim dan wanita yang terganggu keputihan harus pantang makan pepaya, karena pecahnya protein yang beredar ke seluruh tubuh (bersama peredaran darah) membuat gangguan itu tidak kunjung sembuh. Juga untuk penderita sakit ginjal bisa gatal-gatal alergi kalau tetap saja mengkonsumsi buah pepaya (Anonim, 2008e). Penjelasan ilmiahnya belum ada, tetapi faktanya sudah sejak dulu ada. Selain itu, masyarakat Indonesia terutama di daerah Jawa Barat selain daun dan buah papaya, mereka juga telah memanfaatkan bunga papaya sebagai salah satu sayuran yang mereka konsumsi. Namun tidak semua jenis bunga papaya dapat dijadikan sayur. Papaya yang paling baik adalah jenis papaya jantan. Bunga dari pepaya jantan ini disukai banyak orang. Rasanya yang pahit justru dapat meningkatkan nafsu makan. Untuk menghilangkan rasa pahitnya, dicuci sambil diremas dengan air garam (Anonim, 2008e). Bunga pepaya sangat lezat jika dihidangkan sebagai tumisan, oseng-oseng atau dibuat sayur berkuah santan. Sebenarnya bunga pepaya adalah salah satu masakan khas Flores yang menggunakan bunga pepaya sebagai bahan dasarnya. Bunga pepaya ditumis bersama dengan ikan teri medan. Carica papaya ada yang menghasilkan satu macam bunga saja, yaitu bunga betina. Sepanjang tahun ia dapat berbuah. Ada yang berbuah bulat telur saja, dan ada yang berbuah bulat bola saja. Tetapi ada juga Carica papaya yang hanya menghasilkan bunga jantan saja. Ia mudah dikenal karena tangkai bulir (tandan) bunganya panjang. Bunga pada ujung tangkai berupa bunga sempurna, berisi putik (sel kelamin) betina di bagian bawah, dan kepala sari (sel kelamin) jantan di bagian atas. Kalau menjadi buah, buahnya bertangkai panjang sampai harus berayun-ayun karena menggantung. Papaya gantung ini tidak pernah dimakan sebagai buah meja pencuci mulut, tetapi disayur rebus seperti labu siam ketika masih muda. Telah diteliti fitokimia dan diuji aktivitas antioksidan bunga jantan segar pepaya gantung (Carica papaya L., Caricaceae). Hasil penapisan menunjukkan adanya flavonoid, tanin, steroid - triterpenoid, dan karbohidrat. Ekstrak dibuat dengan cara ekstraksi sinambung menggunakan n-heksana, metilen klorida, etil asetat, dan metanol. Dari ekstrak metanol diperoleh satu senyawa amida dan dari ekstrak nheksana diperoleh satu senyawa steroid. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode reduksi larutan 1,1-difenil-2 pikrilhidrazil menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki aktivitas penangkap radikal bebas paling kuat dengan nilai EC50 0,3537 mg/mL (Anonim, 2007n). Gambar 12. Bunga Pepaya 11. Pucuk Mete (Anacardium occidentale L) Klasifikasi dari jambu mete adalah : Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Sapindales Family : Anacardiaceae Genus : Anacardium Spesies : Anacardium occidentale L Tanaman jambu mete atau dikenal juga dengan nama jambu mete/jambu mede/jambu monyet/jambu terong adalah sebuah pohon jenis tanaman berbunga di dalam keluarga anacardiaceae. Tanaman ini terkenal di seluruh daerah tropis, termasuk Indonesia. Daun tunggal, tumbuh pada cabang dan ranting secara selang seling, bentuk daun bulat panjang hingga oval dan membulat atau meruncing pada ujung daun. Panjang daun mencapai 10 – 20 cm , lebar daun 5 – 10 cm, panjang tangkai daun 0,5 – 1 m, tulang-tulang daun menyirip. Daun muda berwarna coklat kemerahan hingga pucat sedangkan yang tua berwarna hijau gelap. Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu juga biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, dan jem jambu mete. Jambu mete merupakan tanaman sejuta manfaat, artinya semua aspek dari tanaman ini sangat berguna bagi manusia. Akar jambu mete berkhasiat sebagai obat pencuci perut. Daun mudanya dapat dimanfaatkan sebagai lalapan oleh masyarakat Jawa Barat, sedangkan daun yang tua dapat menyembuhkan luka bakar. Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Bila terkena udara cairan tersebut barubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan sebagai bahan tinta, bahan pencelup, dan bahan pewarna.. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti ngengat yang sering menggerogoti buku. Daging buah jambu mete dapat diolah menjadi sari buah, manisan basah dan kering, selai mete, buah kaleng, dan sebagainya (Anonim, 2008h). Pada penelitaian ini bagian jambu mete yang akan dianalisis adalah daunnya. Daun jambu mete yang dimaksud adalah bagian daun yang masih muda atau yang disebut pucuk (berwarna coklat kemerahan hingga pucat). Selain itu, jambu mete bisa dikonsumsi untuk keperluan kesehatan. Berdasarkan referensi Tanaman Obat Indonesia (TOI), jambu mete berkhasiat sebagai antirematik (Anonim, 2007b). Dengan khasiat itu, tanaman dari keluarga anacardiaceae ini dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kanker, kencing manis, sakit kulit dan luka bakar. Selain dikonsumsi sebagai sayur maupun lalapan, daun jambu mete juga telah lama digunakan untuk mengatasi pegal linu. Kulit kayunya dimanfaatkan untuk mengatasi buang air besar, diare, dan sariawan. Sedangkan getahnya untuk mengobati borok dan kutil. Tanaman jambu mete masih mudah dijumpai di sejumlah daerah Jawa Tengah. Batangnya berkayu, bulat, bergetah, dan berwarna putih kotor. Bagian tanaman yang biasa dipakai untuk pengobatan adalah daun muda, kulit kayu, dan getahnya. Daun dan kulitnya mengandung asam anakandat, kardol, zat samak, asam galat, gingkol, minyak lemak, protein, katekhin, dan sitosterin (Anonim, 2008h) Gambar 13. Pucuk Mete 12. Daun Pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching) Klasifikasi dari pakis adalah : Kingdom : Plantae Division : Filicophyta/Pterrophyta Family : Dryopteridaceae Genus : Arcypteris Spesies : (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching) Pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching), merupakan suatu tanaman yang selalu berganti daun setiap tahun. Daun-daun yang subur akan kelihatan lebih awal. Warnanya hijau yang kemudian pelan-pelan menjadi warna coklat akibat perubahan musim dan jatuhnya spora ke daun (Anonim, 2008u).Pakis diduga berasal dari kawasan Amerika dan Asia Timur. Pakis pun tumbuh dengan baik pada daerah dengan hutan yang lembab. Pakis termasuk jenis tanaman paku-pakuan, berkembang biak dengan spora. Ada bermacam-macam pakis, misalnya pakis haji, pakis laut, dan pakis resam. Di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah tanaman pakis biasanya digunakan untuk tanaman hias, tetapi di Sumatra Barat pakis banyak diolah menjadi sayur, dimasak rendang, gulai atau hidangan bersantan lain. Pakis sengaja ditanam di daerah yang agak dingin, seperti kota Bogor dan Sukabumi. Pakis dari Sukabumi, lebih disukai masyarakat dibandingkan dengan pakis Bogor karena lebih manis dan lebih lembut. Pakis yang tergolong baik untuk dimakan mempunyai tangkai bulat, tebal, dan mudah dipatahkan, berwarna hijau segar, sedikit berbulu, daunnya masih menguncup membentuk lingkarang seperti gagang biola. Harganya pun lebih mahal. Biasanya direndang atau digulai. Pakis yang tidak layak dikonsumsi mempunyai tangkai yang kaku, berwarna kuning kehijauan, bersirip kasar, dan biasanya mudah gugur daunnya. Sebenarnya yang biasa memakan pakis sebagai sayur antara lain mereka yang berdiam di Sumatra, Sulawesi, atau Jawa Barat. Orang Jawa Tengah dan Timur, misalnya, tidak biasa mengonsumsi pakis. Di Malaysia pakis dibuat semacam gulai. Di Brunai Darussalam pakis sudah menjadi bahan masakan yang umum dan dijual di pasar-pasar. Gambar 14. Pakis 13. Antanan Beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.) Klasifikasi dari antanan beurit adalah : Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Class : Dicotyledone Order : Umbillales Family : Umbilliferae (Apiaceae) Genus : Hydrocotyle Spesies : Hydrocotyle sibthorpioides Lam. Antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lam.) merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, pematang sawah ataupun di ladang yang agak basah. Tanaman ini berasal dari daerah Asia tropik, tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, India, Tiongkok, Jepang dan Australia kemudian menyebar ke berbagai negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk tanaman ini berbeda-beda tiap daerah. Masyarakat Sunda menyebutnya pegagan embun, antanan beurit, dan antanan lembut. Orang Jawa menyebutnya Andem, katepa’n, rendeng, dan semanggi. Di Madura dikenal dengan nama salatun, take cena, sedangkan orang China menyebutnya tikim, patikim, tian hu sui. Antanan beurit tumbuh merayap, ramping, subur di tempat lembab, terbuka maupun teduh di pinggir jalan, pinggir selokan, lapangan rumput dan tempat lain sampai setinggi kira-kira 2.500 m dari permukaan laut. Batang lunak, berongga, panjang 45 cm atau lebih, daun tunggal berseling, bertangkai panjang, bentuk bulat atau reniform dengan pinggir terbagi menjadi 5 - 7 lekukan dangkal, warna hijau. Bunga majemuk bentuk bongkol, keluar dari ketiak daun, warna kuning. Antanan beurit atau pegagan embun merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh menjalar dan berbunga sepanjang tahun. Tanaman akan tumbuh subur bila tanah dan lingkungannya sesuai hingga dijadikan penutup tanah. Antanan beurit berasa manis, bersifat mendinginkan, memiliki fungsi membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (haemostatika), meningkatkan syaraf memori, anti bakteri, tonik, antispasma, antiinflamasi, hipotensif, insektisida, antialergi dan stimulant (Anonim, 2008x). Saponin yang ada menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat terjadinya keloid). Manfaat antanan beurit lainnya yaitu meningkatkan sirkulasi darah pada lengan dan kaki, mencegah varises dan salah urat, meningkatkan daya ingat, mental dan stamina tubuh, serta menurunkan gejala stres dan depresi. Kebanyakan antanan beurit ini dikonsumsi segar untuk lalapan, tetapi ada yang dikeringkan untuk dijadikan teh, diambil ekstraknya untuk dibuat kapsul atau diolah menjadi krem, salep, obat jerawat, maupun body lotion. Sejak jaman dahulu, antanan beurit telah digunakan untuk obat kulit, gangguan syaraf dan memperbaiki peredaran darah. Masyarakat Jawa Barat mengenal tanaman ini sebagai salah satu tanaman untuk lalapan. Semua pegagan mempunyai zat makanan seperti protien, gentian, zat besi, vitamin A dan C (Anonim, 2008l). Informasi mengenai nutritive value dari Hydrocotyle sibthorpioides Lam. Ini belum ada yang secara detil menjelaskannya. Namun dalam penggunaannya sebagai obat, seperti kebanyakan dari famili Umbelliferae, Hydrocotyle sibthorpioides Lam. Mengandung minyak essensial, komponen utama dari terpenoid menjadi trans-beta-farnesene. A lignan, L-sesamin, dan caffeoylgalactoside juga telah diisolasi dari tanaman ini. Gambar 15. Antanan Beurit Tabel 2. Penggunaan sayuran indigenous secara tradisional sebagai tanaman obat di Indonesia Nama Latin Nama Lokal Penggunaanya Secara Tradisional di Indonesia pelembut kulit, pencahar, dan Sesbania grandiflora (L.) Pers. Bunga Turi penyejuk, dan dapat juga digunakan untuk pengobatan luka ataupun disentri serta dapat memperlancar ASI (Dhyan, 2008). mengatasi keputihan, darah tinggi dan sembelit, mempunyai khasiat antiseptik untuk membunuh kuman bakteria dalam usus dan menjadi Allium schoenoprasum L. Kucai perangsang dalam proses pengasaman usus, berkhasiat melancarkan aliran darah, sekaligus menghindarkan pembekuan darah (Wijayakusuma, 2007 melancarkan sirkulasi dan menghilangkan darah beku, menghilangkan rasa sakit (analgetik), mengatasi batuk (antitusif), dapat digunakan untuk menyembuhkan beberapa penyakit (bengkak, sakit Solanum torvum Swartz Buah lambung, bisul, batuk kronis, dan Takokak koreng, sakit gigi, katarak, tidak datang haid, wasir atau ambeien, radang payudara, influenza, panas dalam, pembengkakan, bisul, sakit pinggang, asam urat tinggi, keropos tulang, menetralkan racun dalam tubuh (Wijayakusuma, 2008). dengan menambahkan kapur sirih, daun kelor merupakan obat kulit Moringa pterygosperma Gaertn seperti kurap dengan cara Daun Kelor digosokkan, untuk penurun tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan penyakit jantung (Suriawiria, 2008) ekstrak kloroform daun muda Pucuk Morinda citrifolia L Mengkudu mengkudu secara in-vitro mempunyai aktivitas antihelmintik, cukup baik melawan cacing Ascaris lumbricoides yang ada pada usus (Raj dalam Darusman, 2002). antioksidan, antivirus, antibakteri, gangguan saluran kencing, dan Vigna unguiculata (L.) Walp Daun Kacang meningkatkan fungsi limpa, dapat Panjang meningkatkan fungsi sel darah merah, menyembuhkan beri-beri, demam berdarah, mengatasi sakit pinggang, dan kurang darah (Nova, 2008). Saccharum edule Hassk Terubuk menghilangkan bau badan, pelumas Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb. Mangkokan Putih kepala terhadap kerontokan rambut, menyembuhkan buah dada yang bernanah, diuretika, dan peluruh keringat (Agung, 2005) obat diuretik, merawat penderita Sechium edule (Jacq.) Daun Labu Swartz. Siam hipertensi, arterioscleosis, melawaskan sistem pembuangan air kecil dan pernafasan dan sebagai tonik kesehatan (Dalimartha, 2005). Bunga Pepaya direbus atau dimakan Carica Papaya L. Bunga Pepaya mentah untuk lalap, berfungsi untuk mencuci darah, menyembuhkan penyakit kuning, dapat pula sebagai penambah nafsu makan (Vinosa, 2007) Anacardium occidentale L Pucuk Mete mengatasi gangguan pegal linu (Gupita, 2008) Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching berguna untuk amandel darah tinggi, Daun Pakis menurunkan darah tinggi (Bunga, 2008). digunakan untuk obat kulit, gangguan syaraf, membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (haemostatika), meningkatkan syaraf memori, anti Hydrocotyle sibthorpioides Lmk Antanan Beurit bakteri, tonik, antispasma, antiinflamasi, hipotensif, insektisida, antialergi dan stimulant, meningkatkan sirkulasi darah pada lengan dan kaki, mencegah varises dan salah urat, meningkatkan daya ingat, mental dan stamina tubuh, serta menurunkan gejala stres dan depresi (Utami, 2008). B. FLAVONOID Flavonoid merupakan salah satu jenis komponen yang terkandung dalam tanaman, dan dapat ditemukan pada semua tanaman vaskuler. Flavonoid adalah komponen yang mempunyai berat molekul rendah, dan pada dasarnya merupakan phenylbenzopyrones (phenylchromones) dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzene (A dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan ganda) yang disebut cincin “C” (Middleton et al., 2000). Miean dan Mohamed (2001) menegaskan bahwa struktur dasar flavonoid adalah rangkaian cincin karbon C6C3C6. Gambar 16. Struktur kimia flavonoid Flavonoid terdistribusi secara luas pada tanaman, yang memiliki berbagai fungsi, termasuk berperan dalam memproduksi pigmen berwarna kuning, merah, atau biru pada bunga dan sebagai penangkal terhadap mikroba dan insekta (Anonim, 2008b). Flavonoid memiliki kontribusi yang penting dalam kesehatan manusia. Menurut Markham (1989) yang dikutip oleh Hertog et al. (a) (1992), disarankan agar setiap harinya manusia mengkunsumsi beberapa gram flavonoid. Flavonoid memiliki ikatan difenilpropana (C6-C3-C6) yang diketahui sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik. Selain itu senyawa ini juga memiliki sifat sebagai antioksidan, anti peradangan, anti alergi, dan dapat menghambat oksidasi dari LDL (Low Density Lipoprotein) (Anonim, 2008). Jenis utama flavonoid adalah antosianidin, flavonol, flavone, flavonol, flavonone, dan isoflavon (Spencer et al., 2003). Flavonol dan flavone merupakan senyawa yang tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan kuning (Robinson, 1995). Flavonol dan flavone yang terdapat dalam tanaman, biasanya dalam bnetuk O-glikosida. Perbedaan yang paling utama antara flavonol dan flavone yaitu pada flavonol terdapat gugus hiroksi pada gugus C3. Kedua senyawa ini banyak terdapat pada bagian daun dan bagianluar daritanaman, dan hanya sedikit yang ditemukan pada bagian tanaman yang berada di permukaan tanah (Hertog et al., (a), 1992). Dibandingkan dengan jenis flavonoid lain, jenis flavonol dan flavone merupakan dua dari jenis falvonoid yang paling banyak terdapat dalam tanaman sayur-sayuran (Robinson, 1995). Oleh karena itulah, pada penelitian ini, dilakukan identifikasi pada kedua jenis flavonoid tersebut. Selain karena alasan jumlah yang mayoritas, berdasarkan penilitian-penelitian yang telah dilakukan, kedua jenis flavonoid ini memiliki kemampuan yang baik, antara lain sebagai antioksidan. Flavonol terdiri atas quercetin yang umumnya merupakan komponen terbanyak dalam tanaman, kaempferol, dan myricetin. Flavone yang terdiri atas apigenin dan luteolin, hanya ditemukan pada bahan pangan tertentu, contohnya seledri, lada (hanya luteolin), dan peterseli (hanya apigenin) (Lee, 2000). Dalam sayuran, quercetinglikosida merupakan komponen yang paling menonjol. Namun, terdapat pula glikosida dari kaempferol, luteolin, dan apigenin (Hertog et al., (a), 1992). Flavonoid memiliki efek biologis dalam sistem sel mamalia yang berperan dalam kesehatan manusia. Beberapa flavonoid, terutama quercetin meningkatkan kemungkinan untuk mengkonsumsi senyawa ini dan substansi yang terkait di dalamnya dapat mengurangi resiko kanker , penyakit jantung, dan stroke pada manusia (Anonim, 2008). Senyawa quercetin merupakan golongan flavonol yang paling banyak terdapat dalam tanaman dan merupakan senyawa yang paling aktif dibandingkan senyawa lain dari golongan flavonol (Fuhrman dan Aviram, 2002). Banyak tanaman obat menunjukkan khasiatnya yang baik seiring dengan tingginya kandungan quercetin. Quercetin juga telah terbukti memiliki aktivitas sebagai anti peradangan, karena langsung menghambat penyebab utama dari proses peradangan tersebut (Anonim, 2008). Kemampuan quercetin sebagai anti tumor juga luar biasa. Selain itu, quercetin juga memiliki pengaruh yang positif dalam membantu untuk mencegah kanker, prostatitis, gangguan jantung, katarak, dan gangguan pernafasan, seperti bronkitis dan asma (Anonim, 2008). Quercetin mampu menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat menginduksi dari LDL (Aviram dan Fuhrman, 2003). Senyawa lain dari golongan flavonol yang memiliki peran penting pula adalah kaempferol. Senyawa kaempferol berbentuk padatan berwarna kuning dengan titik leleh 276-278oC. Senyawa ini hanya sedikit larut dalam air, namun larut dalam etanol panas, metanol, dan dietil eter. Konsumsi kempferol dalam the dan brokoli menunjukkan adanya hubungan dengan penurunan resiko terhadap kanker dan gangguan jantung (Anonim, 2008). Selain itu, kaempferol juga mampu menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat menginduksi dari LDL. Namun aktivitas kaempferol ini tidak seefektif seperti liteolin dan quercetin (Aviram dan Fuhrman, 2003). Myricetin merupakan senyawa yang paling sedikit dijumpai di tanaman dibandingkan dengan senyawa laian dari golongan flavonol. Namun demikian, myricetin juga memiliki khasiat antioksidan. Menurut Knekt et al. (2002) yang dikutip dari anonim (2007), hasil studi in vitro menunjukkan bahwa dengan konsentrasi myricetin yang tinggi dapat memodifikasi penyerapan kolesterol LDL oleh sel darah putih menjadi lebih cepat. Selain itu, studi dari Finlandia juga menyatakan bahwa denga tingginya konsumsi myricetin dapat menurunkan kemungkinan terkena kanker prostat. Salah satu senyawa golongan flavone yang penting diteliti pada penilitian ini adalah luteolin. Senyawa luteolin memiliki peran yang penting dalam tubuh manusia sebagai antioksidan, penangkap radikal bebas, zat pencegah terhadap peradangan, promoter dalam metabolisme karbohidrat, dan sebagai pengatur sistem imun. Berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut, luteolin juga dipercaya dapat memainkan peran yang penting dalam pencegahan terhadap kanker. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa loteolin sebgai zat biokimia dapat secara drastis menurunkan gejala infeksi dan peradangan (Anonim, 2008). Selain itu luteolin juga mampu menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat menginduksi dari LDL (Aviram dan Fuhrman, 2003). Apigenin adalah senyawa lainnya dari golongan flavone yang akan diidentifikasi pada penelitian ini. Apigenin merupakan aglikon dari apiin, yang diisolasi dari daun tanaman peterseli dan seledri. Senyawa ini berbentuk padatan dan berwarna kuning, dan sering digunakan untuk pencelupan bulu domba (Anonim, 2008). Senyawa apigenin memiliki kemampuan antara lain sebagai zat anti perdangan, antibakteri, dan untuk mengatasi masalah lambung (Cadenas danPacker, 2002). Perbedaan antara senyawa flavonol dan flavone dapat dilihat secara lebih jelas pada Gambar 17. Senyawa R1 R2 R3 Flavonol yang diidentifikasi Myricetin OH OH OH Quercetin OH OH H Kaempferol OH H H Flavone yang diidentifikasi Luteolin H OH H Apigenin H H H Gambar 17. Struktur kimia Flavonol dan flavone yang diidentifikasi C. IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID Analisis kimia dengan metode kromatografi didasarkan pada pemisahan komponen yang terpartisi diantara dua fase dalam suatu kesetimbangan dinamis dan mengalir. Proses ini dilakukan dengan menggerakkan suatu fase secara mekanis (fase gerak), relatif terhadap fase lainnya. Menurut Gritter et al., (1991), secara teori pemisahan kromatografi yang paling baik akan diperoleh jika fase diam mempunyai luas permukaan sebesar-besarnya, sehingga memastikan kesetimbangan yang baik antara fase. Persyaratan kedua agar pemisahan baik adalah fase gerak harus bergerak dengan cepat sehingga difusi sekecil-kecilnya. Untuk memperoleh permukaan fase diam yang luas, pada sebagian besar system kromatografi digunakan penjerap atau penyangga berupa serbuk halus. Untuk memaksa fase gerak bergerak lebih cepat melalui fase diam yang terbagi pada serbuk halus, harus digunakan tekanan tinggi. Dengan dipenuhinya kedua persayaratan tersebut, diperoleh teknik kromatografi cair yang paling kuat yakni HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Jadi pada HPLC fase gerak dialirkan dengan cepat dan hasilnya dideteksi dengan instrumen. Komponen utama dari system HPLC adalah pompa (tekanan tetap dan volume tetap), penginjeksi, kolom (ekternal dan internal), detektor, dan rekorder atau sistem data yang terintegrasi (Rounds dan Gregor, 2003). Parameter-parameter yang akan mempengaruhi system kerja pada HPLC antara lain diameter dari kolom HPLC, ukuran partikel, ukuran lubang pada fase diam, dan tekanan pompa. Terdapat lima tipe HPLC yaitu normal phase chromatography, reversed phase chromatography, ion-exchange chromatography, size-exclusion chromatography, dan affinity chromatography (Rounds dan Gregor, 2003). Pada penilitian ini, tipe HPLC yang digunakan adalah reversed phase chromatography (RP-HPLC). Fase diam dari HPLC jenis ini adalah senyawa nonpolar, sedangkan pase geraknya polar. Karena hal tersebutlah maka komponen yang akan kelur dahulu adalah komponen yang polar dibandingkan yang nonpolar. Lebih dari 70% teknik pemisahan dengan metode HPLC menggunakan tipe reversed phase. Beberapa contoh teknik pemisahan yang menggunakan metode RP-HPLC adalah analisis protein dari tanaman, protein dari biji-bijian, analisis vitamin larut air dan larut lemak, pemisahan karbohidrat, dan penentuan unsur-unsur pokok dari miniman ringan. Reversed phase HPLC dengan metode deteksi yang sangat bervariasi, digunakan untuk menganalisis lemak (Rounds dan Gregor, 2003). Antioksidan, seperti butylated hydroxylanisole (BHA) dan butylated hydroxytoluene (BHT), dapat diekstrak dari bahan pangan kering dan dianalisis dengan menggunakan detector UV dan fluoresens secara bersamaan. Bahan pangan basah, pigmen (seperti klorofil, karotenoid, dan antosianin), dan komponen fenolik (seperti vanili) dapat pula dianalisis dengan menggunakan metode RP-HPLC (Rounds dan Gregor, 2003). Kolom reversed phase chromatography lebih sulit untuk rusak dibandingkan dengan kolom silika normal. Hal ini dikarenakan kolom RP-HPLC terdiri atas alkil turunan silika dan tidak pernah digunakan dengan larutan basa (karena larutan basa akan menghancurkan ikatan silika). Kolom RP-HPLC dapat digunakan dengan larutan asam tapi tetapi tidak boleh kontak terlalu lama karena asam dapat menimbulkan korosi pada logam yang ada dalam peralatan HPLC. Kandungan logam pada kolom HPLC harus dijaga agar tetap rendah supaya dapat memberikan hasil terbaik pada pemisahan komponen. Salah satu cara untuk mengetahui kandungan logam di dalam kolom HPLC adalah dengan menginjeksikan campuran dari 2,2’- dan 4,4’-bipiridin. Bila terdapat ion logam di permukaan silika, maka senyawa 2,2’-bipiridin akan mengkelat logam tersebut dan peak dari senyawa yang akan diidentifikasi menjadi tidak teratur sehingga dapat memberikan hasil yang tidak sesuai. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi komponen fenolik dalam bahan pangan dengan metode HPLC. Komponen fenolik merupakan senyawa aromatik, oleh karena itu, senyawa tersebut akan memberikan penyerapan yang baik pada panjang gelombang sinar UV. Flavonoid yang merupakan bagian dari senyawa fenolik, memiliki serapan pada panjang gelombang antara 240 dan 270 nm, dan antara 320 dan 380 nm. Untuk itulah, pada deteksi komponen fenolik, detektor yang digunakan pada komponen HPLC adalah detektorUV atau UV-Vis (Lee, 2000). Fase gerak yang biasa digunakan dalam identifikasi senyawa fenolik dengan HPLC adalah metanol, acetonitril, dan tetrahidrofuran. Penggunaan tetrahidrofuran sebagai fase gerak dalam sistem HPLC, memberikan hasil pemisahan yang terbaik diikuti oleh acetonitril, dan terakhir metanol. Namun, pada identifikasi senyawa flavonoid, fase gerak yang biasa digunakan adalah metanol dan acetonitril. Tetrahidrofuran akan memberikan hasil yang sangat signifikan berbeda bila digunakan untuk mengidentifikasi asam sinamat dalam jus jeruk (Lee, 2000). Analisis flavonoid pada sayuran seperti yang dikemukakan Hertog et al., (a) (1992) banyak diadopsi oleh para peneliti-peneliti lain (Lee, 2000). Identifikasi flavonoid pada sayuran dilakukan dengan menggunakan fase gerak 25% acetonitril dalam buffer fosfat 0.025M. laju alirannya adalah 0.9 ml/menit. Sampel yang akan diidentifikasi akan melewati kolom Nova-Pak C18, yang memiliki dimensi (150 x 3.9-mm ID). Detektor yang digunakan yaitu Linear Model 204 UV-Vis detector (Hertog et al., (a) (1992). Menurut Macrae (1988), keuntungan utama dari HPLC adalah kemampuannya untuk menangkap komponen dengan stabilitas panas yang terbatas ataupun yang bersifat volatil. HPLC merupakan metode yang sangat sensitif, tepat, selektif, dan memiliki tingkat otomatisasi yang tinggi, sehingga lebih sederhana dalam pengoperasiannya. Di samping itu, HPLC banyak digunakan untuk analisis karena kemudahan injeksi, deteksi dan pengolahan data serta dapat digunakan untuk berbagai macam sampel seperti sampel cairan, padatan yang dilarutkan, maupun sampel yang labil terhadap pemanasan. Modern HPLC telah banyak diaplikasikan seperti pemisahan, identifikasi, pemurnian, dan penghitungan komponen yang bervariasi. Menurut Adamson et al., (1999) HPLC merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi dan menghitung komponen fenol dan metode ini telah digunakan secara luas. HPLC telah digunakan dalam menghitung prosianidin dalam kakao dan coklat. Dalam penelitian lain Mark et al., (2005) mengungkapkan bahwa HPLC merupakan metode yang telah banyak digunakan untuk analisis kuantitatif senyawa polifenol seperti flavonol dan proantosianidin. III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT I. Bahan Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bahan untuk analisis bahan untuk membuat larutan standar, dan bahan untuk membuat ekstrak sayuran. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan standar adalah myricetin, luteolin, quercetin, apigenin, dan kaemferol (Sigma Aldrich), metanol 62.5%, dan HCl 6M. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ekstrak sayuran adalah daun kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.), buah takokak (Solanum torvum.Swartz) seluruh bagian tanaman antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk), bunga pepaya (Carica papaya.L), daun jambu mete (Anacardium occidentale. L), dan daun mengkudu (Morinda citrifolia.L), yang diperoleh dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik) Bogor. Daun labu siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), daun kacang panjang/lembayung (Vigna unguiculata (L.) Walp), daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching), dan kucai (Allium schoenoprasum L.), yang diperoleh dari pasar-pasar lokal yang berada di daerah Bogor. Daun mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb,), dan bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), diperoleh dari Kebun Pusat Studi Biofarmaka Kampus IPB Darmaga. Bunga terubuk (Saccharum edule.Hassk), diperoleh dari petani-petani di daerah Bogor (Liuk, Leuwiliang). Metanol 62.5%, dan HCl 6M. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis flavonoid adalah acetonitril, KH2PO4, water chromatography, Folin Ciocalteu, Na2CO3, dan etanol 95%. II. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk membuat larutan standar, ekstrak sayuran, dan analisis. Untuk pembuatan larutan standar alat-alat yang digunakan adalah labu takar, gelas ukur, pipet mohr, pipet tetes, dan spatula. Alat-alat yang digunakan untuk membuat ekstrak sayuran adalah freezer, freeze dryer, alat refluks, neraca analitik, blender kering, labu takar, gelas piala, gelas ukur, pipet mohr, pipet tetes, spatula, baskom, dan pisau. Untuk analisis alat-alat yang digunakan adalah High Performance Liquid Chromatography (HPLC). HPLC column C-18 phase; Develosisl ODS-UG-3, alat injector sampel HPLC, filter syringe, vial, oven, neraca analitik, desikator, alat vortex, labu takar, gelas piala, tabung reaksi, spatula, gegep, dan cawan alumunium. Tabel 3. Spesifikasi HPLC Komponen HPLC Tipe Solvent cabinet Shimadzu LC-20AD Degasser Shimadzu DGU-20A5 Pump Shimadzu LC 20-AD Detector UV-Vis Shimadzu SPD-20A Manual injector Hewlett Packard Series 1100 Injector Rheodyne 20 µL Syringe Agilent Technologies, LC 50 µL Column C-18 phase; Develosil ODS-UG-3, Nomura Chemical Mobile phase 25% acetonitrile in 0.025 M KH2PO4 Flow rate 0.9 ml/min (isocratic) B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap persiapan sampel, dan analisis flavonoid yang meliputi analisis kadar air, analisis total fenol, ekstraksi sampel, dan analisis flavonoid yang dilakukan secara duplo untuk dua ulangan. 1. Persiapan Sampel Mula-mula sampel dicuci sampai bersih, kemudian ditiriskan. Selanjutnya sayuran dibekukan dalam freezer selama satu malam untuk memudahkan proses pengeringan vakum. Waktu pengeringan dengan freeze dryer dapat berlangsung selama satu sampai dua hari tergantung dari banyaknya sampel. Setelah sampel kering, dilakukan penghancuran menggunakan blender kering untuk mendaptkan bubuk sampel berukuran kurang lebih 30 mesh. Sampel yang telah diblender kemudian disimpan dalam freezer dan siap untuk digunakan dalam ekstraksi. Selanjutnya sampel kering beku yang telah disimpan dalam freezer apabila akan digunakan untuk keperluan analisis, Tahap persiapan sampel dapat dilihat pada gambar 19. C. METODE ANALISIS 1. Analisis Kadar Air (AOAC, 1984) Penetapan kadar air merupakan cara untuk mengukur banyaknya air yang terdapat di dalam suatu bahan pangan. Analisis kadar air dilakukan pada sampel sayuran segar (awal) dan pada sampel sayuran setelah freeze drying. Penentuan kadar air ini dilakukan dengan metode pengeringan dengan oven biasa. Prinsip dari metode ini adalah air dikeluarkan dari sampel dengan cara menguapkan air yang terdapat dalam bahan pangan. Persiapan yang perlu dilakukan adalah cawan alumunium yang akan digunakan terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator Selama 10 menit. Selanjutnya cawan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik. Sampel ditimbang sebanyak kurang lebih 5 gram kemudian dikeringkan dalam oven selama kurang lebih 6 jam. Setelah itu, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Contoh kembali dikeringkan dalam oven selama 30 menit lalu ditimbang kembali. Perlakuan terakhir ini diulangi terus hingga diperoleh berat kering yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang Kadar air (%) = W – (W1 – W2) 0,0003 gram). x 100% W W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot (contoh + cawan) sesudah dikeringkan (g) W2 = bobot cawan kosong (g) 2. Analisis Total Fenol (Shetty et al., 1995 yang dikutip oleh Ishartani, 2004) Penentuan total fenol bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa fenol pada sampel. Sampel kering beku bubuk mula-mula diambil sebanyak 50.0 mg dan dilarutkan dalam 2.5 etanol 95%, kemudian divorteks. Setelah itu dilakukan sentrifuse terhadap campuran tersebut selama 5 menit dengan kecepatan putaran 4000 rpm. Supernatan diambil sebanyak 0,5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 0.50 ml etanol 95%, 2.5 ml aquades, dan 2.5 ml reagen Folin Ciocalteu 50%. Campuran tersebut didiamkan dahulu selama 5 menit, lalu ditambahkan 0.5 ml Na2CO3 5% dan divorteks. Setelah itu, sampel disimpan dalam ruang gelap selama satu jam, lalu dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Prosedur penentuan total fenol dapat dilihat secar ringkas pada gambar 20. Standar yang digunakan dalam penentuan total fenol adalah asam galat. Standar asam galat dibuat dengan variasi konsentrasi antara 50 – 250 mg/L. 3. Analisis dan Identifikasi Flavonoid a. Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Sayuran Indigenous (Hertog et al., 1992(a)) Tahap ekstraksi sampel diawali dengan pelarutan sebanyak 0.500 atau 1.000 gram sampel kering beku ke dalam 40 ml metanol 62,5%. Kemudian ditambahkan 10 ml HCl 6M lalu direfluks selama satu jam pada suhu 50oC. tujuan penambahan asam ini adalah untuk menjaga komponen agar tidak terdegradasi dan perefluksan untuk hidrolisis asam guna memotong gula. Gula yang menempel pada flavonoid dapat mengganggu pemisahan komponen, sehingga ikatan tersebut perlu dipotong. Setelah didinginkan ditambahkan kembali metanol sampai volume larutan menjadi 100 ml. sebanyak dua milliliter larutan disaring dengan filter Syringe berdiameter 0.45 µm, dan sampel tersebut telah siap untuk diinjeksikan ke kolom HPLC. Proses pembuatan ekstrak sampel secara ringkas ditunjukkan pada gambar 21. b. Analisis Flavonoid dengan HPLC a. Pembuatan larutan Standar Tunggal (Hertog et al., 1992(a)) Sebanyak 1.5 mg standar yang tersedia dilarutkan dalam 3 ml metanol 62.5%, sehingga diperoleh standar stock dengan konsentrasi 500 µg/ml. Setelah itu, 2.5 ml dari standar stock dilarutkan dalam 20 ml metanol 62.5%. Kemudian dicampurkan dengan 5 ml HCl 6M untuk menjaga kondisi asamnya supaya komponen flavonoid tersebut tidak terdegradasi. Penambahan metanol dilakukan hingga volume mencapai 50 ml, sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 25 µg/ml. larutan standar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima konsentrasi, yaitu 0.5, 2.5, 10, 20, dan 25 µg/ml. pembuatan larutan standar dengan konsentrasi 0.5, 2.5, 10, 20 µg/ml dilakukan dengan melakukan pengenceran dari larutan standar yang memilik konsentrasi 25 µg/ml. Proses pembuatan larutan standar yang dibutuhkan pada penelitian ini dapat dilihat secara ringkas pada gambar 22. b. Pembuatan kurva standar Larutan standar sengan berbagai konsentrasi tersebut diinjeksikan ke kolom HPLC C-18 phase; Develosil ODS-UG-3 yang meiliki dimensi panjang 75 mm dan diameter dalam 4.6 mm. Fase gerak yang digunakan adalah 25 % acetonitril di dalam KH2PO4 0.025 M, dengan laju aliran 0,9 ml/menit. Diinjeksikan pula larutan standar campuran pada berbagai konsentrasi. Hasil dari kromatogram standar pada berbagai konsentrasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam satu grafik. Dari data-data masing-masing, dibuat persamaan garis yang akan digunakan pada perhitungan Limit of detection masing-masing standar. Dari data-data kromatogram standar campuran, dibuat persamaan garis yang digunakan pada perhitungan komponen flavonoid pada sampel. c. Perhitungan limit deteksi (Rounds dan Nielsen, 2000) Limit of detection (LOD) atau limit deteksi diperoleh dengan cara menginjeksikan masing-masing standar sebanyak sepuluh kali. Konsentrasi yang digunakan untuk menentukan LOD adalah konsentrasi yang terendah. Setelah diperoleh kesepuluh area tersebut, dimasukkan kedalam persamaan kurva standar masing-masing, sehingga diperoleh konsentrasi dan standar deviasinya. Besarnya LOD adalah tiga kali dari nilai standar deviasi. d. Pembuatan larutan dan kurva standar campuran Proses pembuatan larutan standar campuran pada penelitian ini sama dengan proses pembuatan larutan standar tunggal. Hanya saja pada standar campuran ini dibuat dengan cara mencampur kelima standar yang ada dengan perbandingan volume 1:1 dimana konsentrasi apigenin dibuat menjadi dua kali konsentrasi standar lainnya. Penentuan variasi konsentrasi yang digunakan ditentukan dengan memperhatikan nilai limit deteksi masing-masing standar. e. Injeksi ekstrak sampel ke kolom HPLC (Hertog et al., 1992(a)) Ekstrak sampel yang telah disaring dengan Syringe filter 0.45 µm, diinjeksikan ke kolom HPLC C-18 phase; Develosil ODS-UG-3 yang memiliki dimensi panjang 75 mm dan diameter dalam 4.6 mm. Fase gerak yang digunakan adalah 25 % acetonitril di dalam KH2PO4 0.025 M, dengan laju aliran0,9 ml/menit. f. Pembuatan ko-kromatogram Pembuatan ko-kromatogram dilakukan dilakukan dengan cara mencampur ekstrak sampel dengan kelima standar yang digunakan sebagai acuan identifikasi dengan perbandingan 1:1. Pada pembuatan ko-kromatogaram ini campuran standar yang digunakan adalah campuran standar dengan konsentrasi tertinggi (4.17 µg/ml untuk standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol serta 8.33 µg/ml untuk standar apigenin). Larutan campuran sampel dan standar diinjeksikan sebanyak 20 µL dan direkam luas areanya. Penentuan peak standar pada ko-kromatogram dilakukan dengan membandingkan urutan peak yang terbentuk dan luas area ko-kromatogram dengan kromatogram sampel. Peak pada ko-kromatogram yang memiliki luas area yang berbeda (lebih besar) dengan peak pada kromatogram sampel merupakan peak jenis flavonoid yang ditambahkan. Selanjutnya penentuan kandungan flavonoid pada membandingkan kromatogram sampel dilakukan dengan kromatogram sampel tersebut dengan ko-kromatogram sampel sesuai urutan peak yang terbentuk pada masing-masing waktu retensinya. g. Identifikasi flavonoid pada sampel Hasil dari kromatogram sampel kemudian dibandingkan dengan kromatogram standar. Penentuan komponen yang terdapat pada sampel dilihat berdasarkan waktu retensi masing-masing standar. Dari area yang diperoleh, dihitung konsentrasinya dengan menggunakan persamaan garis dari kurva standar campuranyang sudah diperoleh. Selain itu dilakukan pula perhitungan dengan menggunakan eksternal standar, yaitu dengan membandingkan luas area komponen pada sampel dengan luas area pada standar campuran. Standar campuran yang digunakan sebagai eksternal standar adalah standar campuran dengan konsentrasi yang tertinggi. 4. Analisis Data • Analisis data total fenol dihitung menggunakan persamaan dari kurva standar asam gallat. Masing-masing absorbansi dari sampel yang terukur kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar asam gallat (y=ax+b), dimana y adalah absorbansi sampel yang terukur; dan x adalah konsentrasi sampel yang dicari. Dari hasil subtitusi ini kemudian akan dihasilkan konsentrasi dari sampel yang diuji. • Perhitungan untuk kandungan flavonol dan flavone pada masing-masing sayuran dilakukan dengan menggunakan dua macam perhitungan. Pertama dengan menggunakan persamaan kurva standar campuran, dan yang kedua adalah dengan menggunakan eksternal standar. Perhitungan dengan menggunakan eksternal standar yaitu dengan mengambil satu standar campuran yang memiliki konsentrasi tertinggi untuk menghitung konsentrasi flavonol dan flavone pada sampel kemudian dibandingkan dengan area komponen yang terbentuk pada sampel dengan area pada standar campuran. Hasil perhitungan ini kemudian diolah menggunakan uji statistik yang berupa HSD Tukey pada taraf = 0.05. sedangkan untuk mengatahui berebda atu tidak antara dua macam cara perhitungan yang digunakan, maka dilakukan uji t dua sampel berpasangan. • Semua hasil perhitungan yang pada sampel dihitung berdasarkan berat basah (mg/100 gram sampel segar) dan berat kering sampel (mg/100 gram sampel kering). Sampel Pencucian Penirisan Pembekuan selama 24 jam Freeze drying selama 48 jam Sampel kering beku Penghancuran dengan blender kering Sampel kering beku (bubuk) Penyimpanan dalam freezer Gambar 18. Persiapan sampel 50.0 miligram sampel kering beku (bubuk) 2.5 ml etanol 95% Pelarutan Pemusingan selama 5 menit dengan kecepatan 4000 rpm supernatan endapan 0.5 ml supernatan 0.5 ml etanol 95% 2.5 ml aquadest 2.5 ml Folin Ciocalteau 50% Pencampuran Pendiaman selama 5 menit 0.5 ml Na2CO3 5% Pencampuran Penyimpanan dalam ruang gelap selama 1 jam Pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm Gambar 19. Prosedur analisis total fenol 0.500 atau 1.000 gram sampel kering beku (bubuk) Gelas piala 400 ml 40 ml MeOH(aq) 62.5% Pelarutan 10 ml HCl 6M Pencampuran Perefluksan selama 1 jam pada suhu 50oC Pendinginan Labu takar 100 ml MeOH(aq) 62,5% Pencampuran (sampai volume 100 ml) Penyaringan dengan saringan berdiameter 0.45 µm Ekstrak sayuran Gambar 20. Proses pembuatan ekstrak flavonoid dari sayuran indigenous 1.5 mg standar flavonoid 30 ml MeOH(aq) 62.5% Pelarutan Standar stock 2.5 ml standar stock 20 ml MeOH(aq) 62.5% 20 ml MeOH(aq) 62.5% 2 g/L TBHQ Labu takar 50 ml Pelarutan 5 ml HCl 6M Pencampuran MeOH(aq) 62,5% Pencampuran (sampai volume 50 ml) Larutan standar flavonoid Gambar 21 . Pembuatan larutan standar flavonoid IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. IDENTIFIKASI/DETERMINASI TUMBUHAN Identifikasi/determinasi tumbuhan dilakukan oleh pihak “Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor dengan Kepala Bidang Botani LIPI adalah Dr. Eko Baroto Walujo, APU. B. STANDAR FLAVONOID DAN LIMIT DETEKSI 1. Standar Flavonoid Bentuk Tunggal Pembuatan standar bentuk tunggal dilakukan untuk mengetahui waktu retensi dari masing-masing standar yang digunakan agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan urutan munculnya senyawa flavonoid yang diidentifikasi apalagi jika semua senyawa flavonoid tersebut terdapat dalam suatu kromatogram sampel. Selain itu pembuatan standar bentuk tunggal ini juga dimaksudkan untuk mengetahui besarnya limit deteksi dari masing-masing standar flavonoid yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan dalam penentuan konsentrasi standar campuran yang akan dibuat sebagai referensi penentuan senyawa flavonoid yang ada di sampel. Pada penelitian ini, masing-masing kurva standar flavonoid dibuat dengan variasi konsentrasi antara 0.5-25 µg/ml, kecuali untuk standar apigenin dibuat dengan variasi konsentrasi antara 2.5-25 µg/ml. Hal ini dilakukan karena untuk standar apigenin pada konsentrasi 0.5 µg/ml setelah dilakukan penginjeksian ternyata tidak sulit untuk terdeteksi, sehingga konsentrasinya dinaikkan dengan maksud agar standar tersebut dapat terdeteksi. Pembuatan standar tunggal tersebut dilakukan dengan cara menginjeksi masing-masing standar flavonoid secara sendiri-sendiri pada lima variasi konsentrasi yang sudah dibuat. Dari hasil penginjeksian ini nantinya akan dihasilkan suatu persamaan kurva standar dari masing-masing standar flavonoid tersebut. Untuk pembuatan limit of detection (LOD) atau limit deteksi diperoleh dengan cara menginjeksikan masing-masing standar sebanyak sepuluh kali. Konsentrasi standar yang diinjeksikan untuk menentukan LOD adalah konsentrasi yang terendah (0.5 µg/ml untuk myricetin, luteolin, quarcetin dan kaempferol serta 2.5 µg/ml untuk standar apigenin). Setelah diperoleh kesepuluh area dalam tersebut, kemudian dimasukkan kedalam persamaan kurva standar masing-masing, sehingga diperoleh konsentrasi dan standar deviasinya. Besarnya LOD adalah tiga kali dari nilai standar deviasi. Adapun hasil dari penginjeksian masing-masing standar flavonoid yang digunakan akan dijelaskan sebagai berikut: a. Myricetin Puncak senyawa myricetin muncul pada kisaran menit ke-3.7 sampai menit ke-4.2. Gambar 22 menunjukkan hasil kromatogram standar myricetin pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 83351x-27550 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari myricetin adalah 0.039 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit deteksi dari senyawa myricetin dapat dilihat pada Lampiran 1. Gambar 22. Kromatogram standar myricetin b. Luteolin Puncak senyawa luteolin muncul pada kisaran menit ke-7.3 sampai menit ke-8.1. Gambar 23 standar luteolin menunjukkan hasil kromatogram pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 80577x-17067 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari luteolin adalah 0.056 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit deteksi dari senyawa luteolin dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 23. Kromatogram standar luteolin c. Quercetin Puncak senyawa quercetin muncul pada kisaran menit ke-7.9 sampai menit ke-8.8. Gambar 24 menunjukkan hasil kromatogram standar quercetin pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 79751x-16750 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari quercetin adalah 0.028 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit deteksi dari senyawa quarcetin dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari seluruh standar yang digunakan, quercetin memiliki limit deteksi yang paling kecil. Hal ini berarti, dibandingkan dengan senyawa yang lain, quarcetin memiliki respon yang paling baik terhadap instrumen yang digunakan. Artinya pada konsentrasi 0.028 µg/ml, senyawa quarcetin ini masih dapat dideteksi oleh instrumen atau alat analisis yang digunakan, dalam hal ini HPLC. Di bawah konsentrasi tersebut senyawa quarcetin sudah tidak dapat lagi dideteksi oleh instrumen yang digunakan. Gambar 24 . Kromatogram standar quercetin d. Apigenin Kurva standar apigenin dibuat dengan variasi konsentrasi antara 2.5-25 µg/ml. senyawa apigenin muncul pada kisaran menit ke- 13.8 sampai menit ke-14.9. Gambar 25 menunjukkan hasil kromatogram standar apigenin pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 29067 x - 14806 dengan r2 = 0.998. Limit deteksi dari apigenin adalah 0.22 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit deteksi dari senyawa apigenin dapat dilihat pada Lampiran 4. Kebalikan dari quarcetin, dari seluruh standar yang digunakan, apigenin memiliki limit deteksi yang paling besar. Hal ini berarti, respon dari senyawa apigenin terhadap instrumen yang digunakan adalah yang paling rendah dibandingkan dengan keempat senyawa lainnya. Gambar 25 . Kromatogram standar apigenin e. Kaempferol Puncak senyawa kaempferol muncul pada kisaran menit ke- 15.8 sampai menit ke-17.4. Gambar 26 menunjukkan hasil kromatogram standar kaempferol pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang diperoleh adalah y = 93015 x - 14742 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari apigenin adalah 0.047 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit deteksi dari senyawa kaempferol dapat dilihat pada Lampiran 5. 2.5 5,0 10 20 25 [ ] µg/ m l Gambar 26 . Kromatogram standar kaempferol Tabel 4. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk tunggal Standar Flavonoid Rt/waktu retensi (menit ke-) Persamaan kurva standar Limit deteksi (LOD) Myricetin 3.7-4.2 y = 83351x - 27550 0.039 0.026* Luteolin 7.3-8.1 y = 80577x - 17067 0.056 0.038* Quarcetin 7.9-8.8 y = 79751x - 16750 0.028 0.022* Apigenin 13.8-14.9 y = 29067x - 14806 0.22 0.19* Kaempferol 15.8-17.4 y = 93015x - 14742 0.047 0.037* * limit deteksi (LOD) dari standar yang dianalisa (Batari, 2007) pada instrumen (sfesifikasi HPLC) yang berbeda tapi dengan jenis kolom yang sama. Dari Tabel 4. Terlihat bahwa limit deteksi yang dihasilkan pada penelitian ini cukup berbeda dengan hasil yang di peroleh oleh Batari, 2007. Meskipun demikian urutan responnya dari yang terbesar ke yang terkecil masih tetap sama (quarcetin-myricetin-kaempferol-luteolin-apigenin). Hal ini menunjukkan bahwa respon dan kondisi instrumen dalam hal ini kolom yang digunakan telah berkurang. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh perlakuan terhadap kolom yang kurang baik misalnya, setelah pemakaian tidak dicuci dengan benar dan langsung disimpan. Selama waktu penyimpanannya yang cukup lama pun tidak pernah diconditioning sehingga komponen pengganggu (kotoran) masih tertinggal dalam kolom yang akhirnya menyebabkan respon dari kolom tersebut menjadi menurun. 2. Standar Campuran Senyawa Flavonoid Dalam suatu bahan pangan, senyawa flavonoid tidak pernah terdapat secara mandiri. Adanya senyawa lain (baik itu sesama flavonoid atau bukan) akan mempengaruhi senyawa yang dimaksud. Termasuk juga di dalam perbedaan waktu retensi antara masing-masing senyawa dalam campuran jika dibandingkan bila senyawa tersebut berdiri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan standar campuran untuk menentukan waktu retensi yang diharapkan akan lebih dekat dengan waktu retensi flavonoid pada sampel. Pembuatan standar campuran dilakukan dengan mencampur semua standar yang digunakan dengan perbandingan 1:1 pada masing-masing tingkat konsentrasi yang sama. Konsentrasi yang dibuat pada standar campuran adalah 0.83-1.67-2.5-3.33-4.17 µg/ml untuk senyawa myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol, sedangkan untuk senyawa apigenin , konsentrasi yang dibuat adalah1.67-3.33-5-6.67-8.33 µg/ml. Pembuatan konsentrasi apigenin yang menjadi dua kali konsentrasi senyawa lainnya dikarenakan respon dari apigenin yang sangat rendah jika dibandingkan dengan keempat senyawa lainnya. Hal ini dapat diketahui dari nilai limit deteksi apigenin yang cukup besar dibandingkan keempat senyawa lainnya. Penentuan besarnya tingkat konsentrasi yang digunakan pada standar campuran ini mengacu pada nilai limit deteksi dari masing-masing standar. Nilai limit deteksi ini menjelaskan bahwa batas minimal konsentrasi yang masih dapat dideteksi oleh instrumen yang digunakan. Dari nilai-nilai tersebut dibuatlah variasi konsentrasi standar campuran tersebut. Sebagai contoh, limit deteksi terendah dari kelima standar adalah quarcetin (0.028 µg/ml). Untuk itu variasi konsentrasi terendah yang dibuat untuk kelima standar tersebut adalah 0.83 µg/ml kecuali apigenin 1.67 µg/ml. Nilai ini masih berada dalam batas minimal respon standar yang artinya pada konsentrasi tersebut senyawa standar yang diinjeksikan pasti dapat teridentifikasi. Untuk standar apigenin, konsentrasi terendahnya dibuat menjadi dua kali lipat dari keempat standar lainnya yaitu 1.67 µg/ml. Hal ini dilakukan untuk menyeragamkan hasil penginjeksian standar tunggal dimana senyawa apigenin tersebut baru dapat terdeteksi apabila konsentrasinya dinaikkan menjadi dua kali konsentrasi terendah dari keempat standar lainnya. Selain itu dengan variasi konsentrasi standar campuran seperti itu dapat menghemat biaya, disamping itu hasil analisa yang dihasilkan akan lebih baik dan efisien terutama dari peak-peak yang dihasilkan karena tentunya dengan konsentrasi yang lebih besar pastinya peak dan luas areanya akan semakin besar juga. Dari hasil penginjeksian kelima konsentrasi campuran tersebut, ternyata ada hal yang menarik untuk diketahui. Diantara semua standar yang diinjeksikan bila dibandingkan dengan hasil penginjeksian standar dalam bentuk tunggal terlihat luas area yang dihasilkan pada konsentrasi 2.5 µg/ml (myricetin, quarcetin, dan kaempferol), 5 µg/ml (apigenin) hasil penginjekasin standar campuran ini mengalami peningkatan luas area. Kecuali luteolin justru mengalami penurunan luas area. Hal ini terjadi karena dari kromatogram standar campuran yang dihasilkan terlihat bahwa peak yang terbentuk pada waktu retensi luteolin dan quarcetin hampir sama bahkan saling menyatu. Hal ini memungkinkan terjadinya interaksi antara kedua senyawa tersebut sehingga terjadi pengurangan konsentrasi pada satu senyawa di sisi lain terjadi peningkatan konsentrasi pada senyawa yang satunya yang saling berinteraksi dalam hal ini diduga sebagian senyawa luteolin terserap atau menjadi bagian dari senyawa quarcetin sehingga luas area dari luteolin pun berkurang. Hasil penginjeksian kelima konsentrasi campuran tersebut, dibuatlah kurva standar campuran dengan persamaan garis untuk masing-masing senyawa flavonoid yang digunakan dalam perhitungan konsentrasi flavonol dan flavone yang terdapat di dalam sampel. Contoh kromatogram standar campuran dapat dilihat pada Gambar 27. yang menggunakan konsentrasi campuran yang tertinggi (4.17 untuk myricetin, luteolin, quarcetin dan kaempferol serta 8.33 untuk apigenin). Persamaan garis untuk myricetin adalah y = 171915 x - 76058, dengan nilai r2 = 0.999. Kurva standar campuran myricetin dapat dilihat pada Gambar 28. Persamaan garis untuk luteolin adalah y = 20332 x - 5779, dengan nilai r2 = 0.998. Kurva standar campuran luteolin dapat dilihat pada Gambar 29. Persamaan garis untuk quercetin adalah y = 77985 x - 16728, dengan nilai r2 = 0.998. Kurva standar campuran quercetin dapat dilihat pada Gambar 30. Persamaan garis untuk apigenin adalah y = 54005 x - 49812, dengan nilai r2 = 0.998. Kurva standar campuran apigenin dapat dilihat pada Gambar 31. Persamaan garis untuk kaempferol adalah y = 183312 x - 85155, dengan nilai r2 = 0.998. Kurva standar campuran kaempferol dapat dilihat pada Gambar 32. Tabel 5. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk campuran Standar Flavonoid Rt/waktu retensi (menit ke-) Persamaan kurva standar Limit deteksi (LOD) Myricetin 4.1 - 5.3 y = 171915x - 76058 0.039 0.026* Luteolin 8.4 - 8.7 y = 20332x - 5779 0.056 0.038* Quarcetin 8.6 - 9.8 y = 77985x - 16728 0.028 0.022* Apigenin 15.1 - 17.3 y = 54005x - 49812 0.22 0.19* Kaempferol 17.6 – 20.2 y = 183312x - 85155 0.047 0.037* * limit deteksi (LOD) dari standar yang dianalisa (Batari, 2007) pada instrumen (sfesifikasi HPLC) yang berbeda tapi dengan jenis kolom yang sama. Gambar 27. Kromatogram standar campuran konsentrasi (µg/ml) 0.83 area (mAU) 67525 1.67 217408 2.5 344943 3.33 491388 4.17 647387 Gambar 28. Kurva standar campuran myricetin konsentrasi (µg/ml) 0.83 area (mAU) 10602 1.67 29794 2.5 43950 3.33 61267 4.17 79645 Gambar 29. Kurva standar campuran luteolin konsentrasi (µg/ml) 0.83 area (mAU) 45729 1.67 113686 2.5 180248 3.33 247464 4.17 304052 Gambar 30. Kurva standar campuran quercetin konsentrasi (µg/ml) 1.67 area (mAU) 45844 3.33 125283 5 219199 6.67 304784 8.33 405957 Gambar 31. Kurva standar campuran apigenin konsentrasi (µg/ml) 0.83 area (mAU) 66007 1.67 228373 2.5 369565 3.33 514269 4.17 687418 Gambar 32. Kurva standar campuran kaempferol C. TOTAL FENOL Total fenol merupakan perkiraan kasar jumlah senyawa fenolik yang terdapat dalam suatu bahan. Kebanyakan senyawa fenolik biasanya bersifat antioksidan oleh karena itu pengukuran total fenol dapat digunakan untuk memperkirakan aktifitas antioksidan suatu bahan. Pengukuran total fenol yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode yang mereaksikan ekstrak bahan dengan senyawa folin. Senyawa folin dapat bereaksi dengan gugus kromofor pada fenolik dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 725 nm. Pengukuran total fenol dilakukan dengan membandingkan fenol yang ada dalam bahan dengan kurva standar fenol yang dibuat dari asam galat. Selain asam galat kurva standar juga dapat mengunakan asam tanat. Pemilihan bahan yang akan dijadikan standar tergantung bentuk mayoritas fenol yang terdapat dalam bahan yang diuji. Untuk produk ini total fenol mayoritas berupa polimer asam galat. Perhitungan total fenol pada sampel dilakukan dengan menggunakan persamaan garis dari kurva standar asam galat. Konsentrasi asam galat yang digunakan adalah 50,100,150,200,250 mg/l. Kurva standar asam galat untuk ulangan 1 dan 2 dapat dilihat pada Lampiran 6. Perhitungan total fenol, pada sampel dilakukan berdasarkan berat basah dan berat kering sampel. Basis berat basah berarti kandungan fenol dihitung sebanyak berapa miligram dalam 100 gram sampel segar, sedangkan perhitungan berdasarkan basis kering berarti kandungan fenol dihitung sebanyak berapa miligram dalam 100 gram sampel kering. Dari hasil analisis total fenol tiga belas sampel, diketahui bahwa total fenol terbanyak berdasarkan berat kering terdapat pada pucuk mete (2809.5 mg) dan terkecil pada kucai (211.7 mg). Untuk nilai total fenol dari tiga belas sampel yang dianalisa dapat dilihat pada Tabel 6 dan untuk perhitungan total fenol pada sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabel 6. Total fenol sayuran indigenous Nama Lokal Total fenol (mg/100 g sampel kering) Bunga turi 323,7 Kucai 211,7 Takokak 860,3 Daun kelor 536,1 Pucuk mengkudu 236,4 Lembayung 438,3 Terubuk 204,4 Mangkokan putih 491.0 Daun labu siam 412,6 Bunga papaya 376,2 Pucuk mete 2809,5 Pakis 306,7 Antanan beurit 805,5 D. ANALISIS FLAVONOID PADA SAYURAN INDIGENOUS Hasil penelitian mengenai kandungan flavonol dan flavone pada tiga belas sayuran indigenous menunjukkan bahwa tidak semua tanaman memiliki komponen flavonoid yang telah disebutkan di atas. Total flavonol dan flavone yang terdapat dalam sayuran indigenous yang digunakan sangatlah bervariasi. Dari hasil analisis diperoleh data bahwa semua sayuran indigenous yang dianalisa mengandung senyawa quarcetin. Untuk senyawa kaempferol hampir ditemukan pada semua sampel kecuali pada takokak dan terubuk, sedangkan untuk senyawa myricetin, luteolin dan apigenin hanya ditemukan pada beberapa sampel saja. Hasil perhitungan untuk kandungan flavonol dan flavone pada masing-masing sayuran dilakukan dengan menggunakan dua macam perhitungan. Pertama dengan menggunakan persamaan kurva standar campuran, dan yang kedua adalah dengan menggunakan eksternal standar, yaitu dengan mengambil satu standar campuran yang memiliki konsentrasi tertinggi, dan untuk menghitung konsentrasi flavonol dan flavones pada sampel, dibandingkan dengan area komponen yang terbentuk pada sampel dengan area pada standar campuran. Penggunaan dua cara perhitungan ini pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan hasil yang diperoleh jika dihitung dengan dua cara ini. Dari masing-masing perhitungan tersebut nantinya akan dibandingkan dan diketahui mana cara yang paling baik dan efektif dalam menghitung komponen flavonoid sampel. Hasil perhitungan dengan kedua cara ini dapat dilihat pada Tabel. 7 dan Tabel. 8. Perhitungan komponen flavonol dan flavones pada sampel dilakukan berdasarkan berat basah dan berat kering sampel. Basis berat basah berarti kandungan flavonol dan flavones dihitung sebanyak berapa miligram dalam 100 gram sampel segar, sedangkan perhitungan berdasarkan basis kering berarti kandungan flavonol dan flavones dihitung sebanyak berapa miligram dalam 100 gram sampel kering. Untuk perbandingan hasil analisis komponen flavonol dan flavone pada sampel yang menggunakan kurva standar campuran dan eksternal standar campuran dapat dilihat pada Tabel. 9. Untuk pembahasan selanjutnya pada masing-masing sampel, hasil yang diperoleh mengacu pada Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. Hasil yang ditampilkan pada Tabel tersebut merupakan hasil akhir dari perhitungan. Tabel 7. Hasil perhitungan konsentrasi flavonoid pada sampel dengan menggunakan kurva standar campuran Perhitungan dengan kurva standar campuran Sampel Bunga turi Wet basis Dry basis Konsentrasi (mg/100 g sampel segar) Konsentrasi (mg/100 g sampel kering) Total Total flavonol flavonol Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol dan dan flavone flavone 2,76 18,47 21,23 28,27 189,05 217,32 Kucai 2,69 4,46 Takokak 2,30 0,66 Daun kelor 1,32 7,65 14,79 16,23 26,96 2,96 21,30 6,09 95,84 20,79 117,95 Pucuk mengkudu 23,67 9,75 Lembayung 27,35 3,33 Terubuk Daun labu siam Bunga papaya Pucuk mete Tidak terdeteksi 33,42 142,65 58,78 201,43 43,65 242,00 29,46 386,27 0,44 3,77 12,95 32,49 83,84 9,72 36,03 5,47 36,27 8,28 125,39 9,91 143,58 7,42 2,10 9,52 1,57 37,51 10,85 49,93 6,87 13,81 18,85 Pakis Antanan beurit 473,33 12,67 12,49 27,39 83,44 0,44 Mangkokan 89,39 384,61 12,97 11,95 5,29 46,20 69,40 10,47 3,77 85,67 214,99 45,48 54,02 200,15 46,29 306,85 573,07 45,27 656,20 65,81 18,64 84,45 249,54 72,17 332,18 76,72 159,44 37,85 114,81 101,12 Tabel 8. Hasil perhitungan konsentrasi flavonoid pada sampel dengan menggunakan eksternal standar campuran Perhitungan dengan eksternal standar campuran a) Sampel Bunga turi Wet basis Dry basis Konsentrasi (mg/100 g sampel segar) Konsentrasi (mg/100 g sampel kering) Total Total flavonol flavonol Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol dan dan flavone flavone 2,51 18,50 21,00 25,64 189,33 214,97 Kucai 2,30 4,01 Takokak 2,60 0,72 1,38 Daun kelor Pucuk mengkudu Daun labu siam 12,16 Pucuk mete 7,55 Pakis 3,32 24,03 6,69 24,93 9,55 3,45 30,71 499,07 34,48 150,28 57,57 207,85 45,44 256,53 30,51 402,13 0,55 4,71 12,90 32,59 87,38 10,13 36,65 5,40 37,98 127,80 10,26 145,61 7,67 2,19 9,86 6,49 14,36 12,17 67,53 34,50 *4.17 µg/ml untuk standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol 115,09 4,71 85,39 215,70 42,92 56,30 203,60 45,72 321,33 584,09 46,89 665,47 68,09 19,44 87,53 264,60 71,78 345,67 79,77 172,61 1,40 39,77 10,79 51,95 9,29 Antanan beurit konsentrasi standar eksternal yang digunakan adalah campuran standar flavonoid dengan konsentrasi tertinggi a) *8.33 µg/ml untuk standar apigenin 85,55 84,48 13,00 5,53 47,43 409,06 20,40 Bunga papaya 24,25 124,37 13,20 Mangkokan 13,88 21,05 0,55 Terubuk 14,16 101,94 28,99 Lembayung 7,85 103,00 Tabel 9. Perbandingan hasil analisis flavonol dan flavone dengan perhitungan kurva standar campuran dan eksternal standar campuran Wet basis Dry basis total flavonol dan flavone total flavonol dan flavone (A-B)c) Sampel (A-B)c) (mg/100g sampel segar) (mg/100g sampel kering) Aa) Bb) (A-B) d) %e) Aa) Bb) (A-B) d) %e) Bunga turi 21,23 21,00 0,23 1,08 217,32 214,97 2,34 1,08 Kucai 14,79 14,16 0,64 4,30 89,39 85,55 3,84 4,30 30,71 Takokak 2,96 3,32 0,36 12,14 27,39 3,32 12,14 Daun kelor 117,95 124,37 6,41 5,44 473,33 499,07 25,74 5,44 Pucuk mengkudu 33,42 34,48 1,06 3,19 201,43 207,85 6,42 3,19 Lembayung 43,65 45,44 1,79 4,11 386,27 402,13 15,86 4,11 0,55 4,71 Terubuk 0,44 0,11 24,94 3,77 0,94 24,94 Mangkokan 32,49 32,59 0,11 0,33 214,99 215,70 0,70 0,33 Daun labu siam 36,03 36,65 0,62 1,72 200,15 203,60 3,45 1,72 Bunga papaya 36,27 37,98 1,71 4,72 306,85 321,33 14,48 4,72 Pucuk mete 143,58 145,61 2,03 1,41 656,20 665,47 9,27 1,41 Pakis 9,52 9,86 0,35 3,65 84,45 87,53 3,08 3,65 Antanan beurit 49,93 51,95 2,03 4,06 332,18 345,67 13,49 4,06 a) A = hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan kurva standar b) B = hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan eksternal standar c) (A-B) = selisih hasil perhitungan dengan menggunakan kurva standar dan eksternal standar d) (A-B) = nilai c) (harga mutlak ; diambil nilai yang positif) e) % = persentase nilai d) dibandingkan dengan nilai a) 1. Bunga turi Bunga turi memiliki kadar air sebesar 90.23 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada bunga turi adalah sebanyak 31.6232 mg/100 g sampel segar dan 323.6766 mg/100 g sampel kering. Gambar 33. menunjukkan kromatogram ekstrak bunga turi hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul hanya quarcetin dan kaempferol. Puncak quarcetin muncul pada menit ke-7.661, sedangkan untuk puncak kaempferol muncul pada menit ke-15.419. Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Hasil ko-kromatogram ekstrak bunga turi dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 34. Terlihat pada Gambar 34, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Tabel 10 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak bunga turi, standar campuran, dan ekstrak bunga turi dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada bunga turi dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.76 mg quarcetin dan 18.47 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 21.23 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 28.27 mg quarcetin dan 189.05 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 217.32 mg Kandungan flavonol dan flavone pada bunga turi dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.51 mg quarcetin dan 18.50 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 21.00 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 25.64 mg quarcetin dan 189.33 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 214.97 mg. Komponen flavonol dan flavones yang terdapat pada bunga turi didominasi oleh kaempferol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sampel bunga turi memiliki kandungan kaempferol yang paling banyak diantara kedua belas sampel lainnya. Tapi jika dilihat dari totalnya, bunga turi bukanlah sampel yang paling banyak mengandung flavonol dan flavones. Meskipun demikian, dari hasil ini dapat diketahui bahwa bunga turi dapat dijadikan sebagai salah satu sumber alternatif bahan pangan sebagai sumber kaempferol. Gambar 33. kromatogram ekstrak bunga turi Gambar 34. Ko-kromatogram ekstrak bunga turi dengan standar campuran Tabel 10 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak bunga turi Komponen flavonoid Area pada ekstrak bunga turi (mAU) Area pada ekstrak bunga turi dengan standar campuran (mAU) Myricetin 381388 508662 Luteolin 50642 52993 304052 96453 435957 466482 767418 3429956 Quercetin 93493 Apigenin Kaempferol 2. Area pada standar campuran (mAU) 1742134 Kucai Kucai memiliki kadar air sebesar 83.45 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada kucai adalah sebanyak 35.0461 mg/100 g sampel segar dan 211.7319 mg/100 g sampel kering. Gambar 35. menunjukkan kromatogram ekstrak kucai hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul terdiri dari myricetin, quarcetin dan kaempferol. Puncak myricetin muncul pada menit ke-3.211, puncak quarcetin muncul pada menit ke-7.620, dan untuk puncak kaempferol muncul pada menit ke-15.334. Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 36, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak kucai dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 36. Tabel 11 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak kucai, standar campuran, dan ekstrak kucai dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada kucai dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.69 mg myricetin, 4.46 quarcetin, dan 7.65 mg kaempferol sehingga totalnya 14.79 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 16.23 mg myricetin, 26.96 mg quarcetin dan 46.20 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 89.39 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada kucai dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar),yaitu 2.30 mg myricetin, 4.01 mg quarcetin, dan 7.85 kaempferol, sehingga totalnya 14.16 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 13.88 mg myricetin, 24.25 mg quarcetin dan 47.73 mg kaempferol, sehingga totalnya 85.33 mg. Bila melihat data pada Tabel 26, dapat diketahui bahwa kucai memiliki persentase jumlah unknown yang paling besar dibandingkan sampel lainnya. Hal ini berarti sebenarnya dalam tanaman kucai ini masih banyak senyawa golongan flavonol dan flavones yang lain selain kelima senyawa yang diidentifikasi. Tabel 11. Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak kucai Komponen flavonoid Myricetin Area pada ekstrak kucai (mAU) 63475 Luteolin Quercetin 88399 Apigenin Kaempferol 3. 430706 Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak kucai dengan standar campuran (mAU) 381388 119019 50642 42285 304052 99594 435957 250093 767418 756224 Takokak Takokak memiliki kadar air sebesar 89.20 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada takokak adalah sebanyak 92.9109 mg/100 g sampel segar dan 860.2860 mg/100 g sampel kering. Gambar 37. menunjukkan kromatogram ekstrak takokak hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul hanya myricetin (pada menit ke-3.628) dan quarcetin (pada menit ke-8.520). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 38, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak takokak dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 38. Tabel 12 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak takokak, standar campuran, dan ekstrak takokak dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada takokak dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2,30 mg myricetin dan 0,66 mg quarcetin, sehingga totalnya 2,96 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 21,30 mg myricetin dan 6,09 mg quarcetin, sehingga totalnya adalah 27,39 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada takokak dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.60 mg myricetin dan 0.72 mg quarcetin sehingga totalnya 3.32 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 24.03 mg myricetin dan 6.69 mg quarcetin, sehingga totalnya adalah 30.71 mg. Berdasarkan hasil yang diperoleh, takokak merupakan sampel yang memiliki kandungan jenis flavonol dan flavone yang terendah setelah terubuk. Senyawa myricetin yang terdapat pada takokak lebih besar dari pada senyawa quarcetin yang dikandungnya. Kedua senyawa ini hanya sedikit yang terkandung di dalam buah takokak, sehingga membuat buah takokak ini memiliki total flavonol dan flavone yang kedua terendah setelah terubuk. Namun demikian bila lihat dari persentase unknown pada takokak ini terdapat jumlah yang cukup besar (kedua terbesar setelah kucai) dari hasil kuantifikasi pada waktu retensi tertentu. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa sebenarnya dalam buah takokak yang diteliti ini memiliki potensi kandungan senyawa flavonol dan flavone yang lain selain kelima jenis flavonol dan flavon yang diidentifikasi. Tabel 12 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak takokak Komponen flavonoid Myricetin Area pada ekstrak takokak (mAU) Area pada standar campuran (mAU) 381388 225607 50642 49207 304052 32564 Apigenin 435957 202713 Kaempferol 767418 326835 107004 Luteolin Quercetin 4. Area pada ekstrak takokak dengan standar campuran (mAU) 10784 Daun Kelor Sayuran daun kelor ini memiliki kadar air sebesar 75.08 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada daun kelor adalah sebanyak 133.5919 mg/100g sampel segar dan 536.0831mg/100 g sampel kering. Gambar 39. menunjukkan kromatogram ekstrak daun kelor hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul adalah luteolin (pada menit ke-6.712), quarcetin (pada menit ke-7.499), dan kaempferol (pada menit ke-15.475). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 40, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak daun kelor dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 40. Tabel 13 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak daun kelor, standar campuran, dan ekstrak daun kelor dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada daun kelor dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1,32 mg luteolin, 95,84 mg quarcetin, dan 20,79 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 117,95 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 5,29 mg luteolin, 384,61 mg quarcetin, dan 83,44 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 473,33 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada daun kelor dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1,38 mg luteolin, 101.94 mg quarcetin, dan 21,05 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 124.37 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 5,53 mg luteolin, 409.06 mg quarcetin, dan 84,48 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 499.07 mg. Berdasarkan hasil yang diperoleh, daun kelor memiliki kandungan flavonol dan flavones total yang cukup besar (kedua terbesar) setelah pucuk mete dan didominasi oleh komponen quarcetin. Jumlah quarcetin pada daun kelor ini juga adalah yang terbesar kedua setelah pucuk mete. Selain itu, daun kelor ini adalah satu-satunya sampel yang mengandung komponen luteolin. Namun jumlahnya pun sangat kecil. Tabel 13 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak daun kelor Komponen flavonoid Area pada ekstrak daun kelor (mAU) Myricetin Luteolin Quercetin Area pada ekstrak daun kelor dengan standar campuran (mAU) 381388 24844 33421 50642 7733 2918005 304052 2982630 435957 433717 767418 1451339 Apigenin Kaempferol Area pada standar campuran (mAU) 696279 Gambar 35. kromatogram ekstrak kucai Gambar 36. Ko-kromatogram ekstrak kucai dengan standar campuran Gambar 37. kromatogram ekstrak takokak Gambar 38. Ko-kromatogram ekstrak takokak dengan standar campuran Gambar 39. kromatogram ekstrak daun kelor Gambar 40. Ko-kromatogram ekstrak daun kelor dengan standar campuran 5. Pucuk mengkudu Pucuk mengkudu ini memiliki kadar air sebesar 83.41 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada pucuk mengkudu adalah sebanyak 39.2270 mg/100 g sampel segar dan 236.4499 mg/100 g sampel kering. Gambar 41. menunjukkan kromatogram ekstrak pucuk mengkudu hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul hanya quarcetin (pada menit ke-8.812), dan kaempferol (pada menit ke-18.303). Terlihat pada Gambar 42, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Hasil ko-kromatogram ekstrak pucuk mengkudu dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 42. Tabel 14 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak pucuk mengkudu, standar campuran, dan ekstrak pucuk mengkudu dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada pucuk mengkudu dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 23,67 mg quarcetin, dan 9,75 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 33,42 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 142,65 mg quarcetin dan 58,78 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 201,43 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada pucuk mengkudu dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 24.39 mg quarcetin, dan 9,55 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 34,48 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 150.28 mg quarcetin dan 57,57 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 207.85 mg. Gambar 41. kromatogram ekstrak pucuk mengkudu Gambar 42. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mengkudu dengan standar campuran Tabel 14 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak pucuk mengkudu Komponen flavonoid Area pada ekstrak pucuk mengkudu (mAU) Area pada standar campuran (mAU) Myricetin 381388 377922 Luteolin 50642 42573 304052 1102964 435957 201805 767418 1050270 Quercetin 1095757 Apigenin Kaempferol 6. Area pada ekstrak pucuk mengkudu dengan standar campuran (mAU) 571132 Lembayung / daun kacang panjang Daun lembayung (kacang panjang) memiliki kadar air sebesar 88.70 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada lembayung adalah sebanyak 49.5283 mg/100g sampel segar dan 438.3032 mg/100g sampel kering. Gambar 43. menunjukkan kromatogram ekstrak lembayung hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul dalah quarcetin (pada menit ke-7.447), apigenin (pada menit ke-15.209), dan kaempferol (pada menit ke-17.058). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 44, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak lembayung dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 44. Tabel 15 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak lembayung, standar campuran, dan ekstrak lembayung dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada lembayung dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 27.35 mg quarcetin, 12.79 mg apigenin, dan 3.33 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 43.65 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 242.00 mg quarcetin, 114.81 mg apigenin, dan 29.46 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 386.27 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada lembayung dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 28.99 mg quarcetin, 13.00 apigenin, dan 3.45 kaempferol, sehingga totalnya adalah 45.44 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 256.53 quarcetin, 115.09 mg apigenin, dan 30.51 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 402.13 mg. Berdasarkan hasil yang diperoleh, daun kacang panjang (lembayung) memiliki kandungan flavonol dan flavones total yang cukup besar (ketiga terbesar) setelah pucuk mete dan daun kelor. Pada daun kacang panjang ini dideteksi pula adanya kandungan senyawa apigenin dan jumlahnya pun cukup besar (kedua terbesar setelah bunga papaya). Dari hasil pengidentifikasian pun diperoleh bahwa daun kacang panjang ini didominasi oleh komponen quarcetin dan apigenin, meskipun dideteksi juga adanya komponen kaempferol namun jumlahnya tidak sebesar quarcetin dan kaempferolnya (sekitar emapt kali lipatnya). Karena jumlah komponen yang dideteksi cukup besar maka nilai total flavonol dan flavonenya pun cukup besar (terbesar ketiga setelah pucuk mete dan daun kelor). Tabel 15 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak lembayung Komponen flavonoid Area pada ekstrak lembayung (mAU) Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak lembayung dengan standar campuran (mAU) Myricetin 381388 376062 Luteolin 50642 31337 Quercetin 1870489 304052 1804603 Apigenin 296154 435957 562002 Kaempferol 302705 767418 442631 Gambar 43. kromatogram ekstrak lembayung Gambar 44. Ko-kromatogram ekstrak lembayung dengan standar campuran 7. Terubuk Terubuk atau tebu telor ini memiliki kadar air sebesar 88.39 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada terubuk adalah sebanyak 23.7280 mg/100 g sampel segar dan 204.3753 mg/100 g sampel kering. Gambar 45. menunjukkan kromatogram ekstrak terubuk hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul hanya quarcetin (pada menit ke-8.106). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 46, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak terubuk dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 46. Tabel 16 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak terubuk, standar campuran, dan ekstrak terubuk dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada terubuk dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 0.44 mg quarcetin sehingga totalnya adalah 0.44 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 3.77 mg quarcetin sehingga totalnya adalah 3.77 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada terubuk dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 0.55 mg quarcetin sehingga totalnya adalah 0.55 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 4.71 mg quarcetin sehingga totalnya adalah 4.71 mg. Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa terubuk ini adalah sampel dengan total flavonol dan flavones terendah diantara kedua belas sampel lainnya. Selain itu, pada terubuk ini hanya ditemukan senyawa quarcetin dan jumlahnya pun sangat kecil bahkan yang paling kecil diantara kesemua sampel. Gambar 45. kromatogram ekstrak terubuk Gambar 46. Ko-kromatogram ekstrak terubuk dengan standar campuran Tabel 16 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak terubuk Komponen flavonoid Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak terubuk dengan standar campuran (mAU) Myricetin 381388 36507 Luteolin 50642 41972 304052 16040 Apigenin 435957 219715 Kaempferol 767418 400075 Quercetin 8. Area pada ekstrak terubuk (mAU) 12641 Mangkokan Putih Mangkokan putih memiliki kadar air sebesar 84.89 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada mangkokan putih adalah sebanyak74.1856 mg/100 g sampel segar dan 490.9699 mg/100 g sampel kering. Gambar 47. menunjukkan kromatogram ekstrak mangkokan hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul adalah quarcetin (pada menit ke-7.542), apigenin (pada menit ke-15.404), dan kaempferol (pada menit ke-17.838). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 48, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak mangkokan dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 48. Tabel 17 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak mangkokan, standar campuran, dan ekstrak mangkokan dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada mangkokan putih dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 12.67 mg quarcetin, 6.87 mg apigenin, dan 12.95 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 32.49 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) yaitu 83.84 mg quarcetin, 45.48 mg apigenin, dan 85.67 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 214.99 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada mangkokan putih dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 13.20 mg quarcetin, 6.49 mg apigenin, dan 12.90 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 32.59 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) yaitu 87.38 mg quarcetin, 42.92 mg apigenin, dan 85.39 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 215.70 mg. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Batari (2007) dengan analisis yang sama di peroleh bahwa daun mangkokan dideteksi mengandung senyawa quarcetin dan kaempferol. Namun pada penelitian ini daun mangkokan yang dianalisis tidak hanya mengandung senyawa quarcetin dan kaempferol saja, tapi juga dideteksi mengandung senyawa apigenin. Selain itu pada daun mangkokan ini jumlah quarcetin dan kaempferolnya jauh lebih tinggi (dua kali lipat) dari daun mangkokan yang digunakan oleh Batari (2007). Perbedaan ini dapat disebabkan karena jenis mangkokan yang digunakan memang berbeda. Karena pada dasarnya mangkokan memang ada banyak jenis, dan untuk penelitian ini jenis mangkokan yang digunakan adalah jenis mangkokan putih. Tabel 17 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak mangkokan putih Komponen flavonoid Area pada ekstrak mangkokan (mAU) Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak mangkokan dengan standar campuran (mAU) Myricetin 381388 31002 Luteolin 50642 43068 Quercetin 637126 304052 631364 Apigenin 107093 435957 190099 Kaempferol 785757 767418 1495790 Gambar 47. kromatogram ekstrak mangkokan putih Gambar 48. Ko-kromatogram ekstrak mangkokan putih dengan standar campuran 9. Daun labu siam Labu siam memiliki kadar air sebesar 82.00 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada daun labu siam adalah sebanyak 74.2718 mg/100 g sampel segar dan 412.6214 mg/100 g sampel kering. Gambar 49. menunjukkan kromatogram ekstrak daun labu siam hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul terdiri dari myricetin, quarcetin dan kaempferol. Puncak myricetin muncul pada menit ke-3.505, puncak quarcetin muncul pada menit ke-8.237, dan untuk puncak kaempferol muncul pada menit ke-18.335. Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 50, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak daun labu siam dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 50. Tabel 18. menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak daun labu siam, standar campuran, dan ekstrak daun labu siam dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada daun labu siam dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 12.49 mg myricetin, 13.81 mg quarcetin, dan 9.72 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 36.03 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) yaitu 69.40 mg myricetin, 76.72 mg quarcetin, dan 54.02 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 200.15 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada daun labu siam dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 12.16 mg myricetin, 14.36 mg quarcetin, dan 10.13 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 36.65 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) yaitu 67.53 mg myricetin, 79.77 mg quarcetin, dan 56.30 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 203.60 mg. Berdasarkan hasil yang diperoleh, daun labu siam adalah sampel dengan kandungan myricetin terbesar diantara sampel yang lainnya yang mengandung myricetin. Namun, kandungan myricetin pada daun labu siam ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan quarcetinnya. Selain itu pada daun labu siam ini persentase unknown-nya terdapat dalam jumlah yang cukup besar (ketiga terbesar setelah kucai dan takokak). Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya dalam daun labu siam yang diteliti ini masih memiliki potensi kandungan senyawa flavonol dan flavone yang lain selain kelima jenis flavonol dan flavon yang diidentifikasi. Tabel 18 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak daun labu siam Komponen flavonoid Myricetin Area pada ekstrak daun labu siam (mAU) 520482 Luteolin Quercetin 573026 Apigenin Kaempferol 464029 Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak daun labu siam dengan standar campuran (mAU) 381388 979265 50642 41256 304052 581607 435957 308457 767418 888208 10. Bunga pepaya Sayuran bunga pepaya dengan tangkai bulir (tandan) bunganya panjang ini memiliki kadar air sebesar 88.18 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada bunga pepaya adalah sebanyak 44.4706 mg/100 g sampel segar dan 376.2319 mg/100 g sampel kering. Gambar 51. menunjukkan kromatogram ekstrak bunga pepaya hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul adalah quarcetin (pada menit ke-7.244), apigenin (pada menit ke-14.835), dan kaempferol (pada menit ke-16.490). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 52, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak bunga pepaya dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 52. Tabel 19 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak bunga pepaya, standar campuran, dan ekstrak bunga pepaya dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada bunga pepaya dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 18.85 mg quarcetin, 11.95 mg apigenin, dan 5.47 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 36.27 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) yaitu 159.44 mg quarcetin, 101.12 mg apigenin, dan 46.29 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 306.85 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada bunga pepaya dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 20.40 mg quarcetin, 12.17 mg apigenin, dan 5.40 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 37.98 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) yaitu 172.61 mg quarcetin, 103.00 mg apigenin, dan 45.72 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 321.33 mg. Berdasarkan hasil yang diperoleh, bunga pepaya adalah sampel dengan kandungan apigenin tertinggi dibanding lembayung dan daun mangkokan putih. Selain itu pula, telah diteliti fitokimia dan diuji aktivitas antioksidan bunga jantan segar pepaya gantung (Carica papaya L., Caricaceae). Hasil penapisan menunjukkan adanya flavonoid, tanin, steroid - triterpenoid, dan karbohidrat. Ekstrak dibuat dengan cara ekstraksi sinambung menggunakan n-heksana, metilen klorida, etil asetat, dan metanol. Dari ekstrak metanol diperoleh satu senyawa amida dan dari ekstrak nheksana diperoleh satu senyawa steroid. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode reduksi larutan 1,1-difenil-2 pikrilhidrazil menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki aktivitas penangkap radikal bebas paling kuat dengan nilai EC50 0,3537 mg/mL. (Anonim, 2007n) Gambar 49. kromatogram ekstrak daun labu siam Gambar 50. Ko-kromatogram ekstrak daun labu siam dengan standar campuran Gambar 51. kromatogram ekstrak bunga papaya Gambar 52. Ko-kromatogram ekstrak bunga pepaya dengan standar campuran Tabel 19 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak bunga pepaya Komponen flavonoid Area pada ekstrak bunga pepaya (mAU) Area pada ekstrak bunga pepaya dengan standar campuran (mAU) Area pada standar campuran (mAU) Myricetin 381388 261332 Luteolin 50642 57373 Quercetin 1225491 304052 1258543 Apigenin 304125 435957 515341 Kaempferol 431688 767418 778633 11. Pucuk mete Pucuk mete ini memiliki kadar air sebesar 78.12 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada pucuk mete adalah sebanyak 614.7242 mg/100 g sampel segar dan 2809.5256 mg/100 g sampel kering. Gambar 53. menunjukkan kromatogram ekstrak pucuk mete hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul muncul terdiri dari myricetin, quarcetin dan kaempferol. Puncak myricetin muncul pada menit ke-3.806, puncak quarcetin muncul pada menit ke-8.725, dan untuk puncak kaempferol muncul pada menit ke-18.215. Untuk lebih meyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 54, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak pucuk mete dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 54. Tabel 20 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak pucuk mete, standar campuran, dan ekstrak pucuk mete dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada pucuk mete dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 8.28 mg myricetin, 125.39 quarcetin, dan 9.91 mg kaempferol sehingga totalnya 143.58 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 37.85 mg myricetin, 5753.07 mg quarcetin dan 45.27 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 656.20 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada pucuk mete dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 7.55 mg myricetin, 127.80 mg quarcetin, dan 10.26 mg kaempferol sehingga totalnya 145.61 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 34.50 mg myricetin, 584.09 mg quarcetin dan 46.89 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 665.47 mg. Komponen flavonol dan flavones yang terdapat pada pucuk mete didominasi oleh quarcetin. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sampel pucuk mete memiliki kandungan quarcetin yang paling banyak diantara kedua belas sampel lainnya. Dari totalnya pun, pucuk mete adalah sampel yang paling banyak mengandung flavonol dan flavones. Dari hasil yang diperoleh pun terlihat bahwa kandungan quarcetin pada pucuk mete ini adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan kenikir hasil yang diperoleh oleh Batari (2007). Dengan demikian pucuk mete ini merupakan salah satu alternatif bahan pangan lain sebagai sumber quarcetin yang baik. Selain itu pula total flavonol dan flavones dari pucuk mete ini adalah yang terbesar diantara semua sampel yang diteliti dan persentase unkown-nya pun cukup tinggi sekitar 13%. Hal ini menunjukkan bahwa pucuk mete juga memiliki potensi ditemukannya kandungan flavonol dan flavon lain selain kelima komponen yang dideteksi. Tabel 20 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak pucuk mete Area pada Komponen ekstrak pucuk flavonoid mete (mAU) Myricetin 249333 Luteolin Quercetin 4473597 Apigenin Kaempferol 397730 Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak pucuk mete dengan standar campuran (mAU) 381388 579155 50642 34353 304052 4566960 435957 515341 767418 778633 Gambar 53. kromatogram ekstrak pucuk mete Gambar 54. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mete dengan standar campuran 12. Pakis Pakis yang termasuk jenis tanaman paku-pakuan ini memiliki kadar air sebesar 88.73 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada pakis adalah sebanyak 34.5652 mg/100 g sampel segar dan 306.7010 mg/100 g sampel kering. Gambar 55. menunjukkan kromatogram ekstrak pakis hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul hanya quarcetin (pada menit ke-7.499) dan kaempferol (pada menit ke-14.874). Untuk lebih meyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 56, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak pakis dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 56. Tabel 21 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak pakis, standar campuran, dan ekstrak pakis dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada pakis dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 7.42 mg quarcetin, dan 2.10 mg kaempferol sehingga totalnya 9.52 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 65.81 mg quarcetin dan 18.64 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 84.45 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada pakis dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 7.67 quarcetin, dan 2.19 mg kaempferol sehingga totalnya 9.86 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 68.09 mg quarcetin dan 19.44 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 87.53 mg. Gambar 55. kromatogram ekstrak pakis Gambar 56. Ko-kromatogram ekstrak pakis dengan standar campuran Tabel 21 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak pakis Komponen flavonoid Area pada ekstrak pakis (mAU) Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak pakis dengan standar campuran (mAU) Myricetin 381388 67244 Luteolin 50642 45622 304052 511921 435957 173814 767418 257759 Quercetin 496498 Apigenin Kaempferol 160227 13. Antanan beurit Antanan beurit ini memiliki kadar air sebesar 84.97 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada antanan beurit adalah sebanyak 121.0611 mg/100g sampel segar dan 805.4632 mg/100g sampel kering. Gambar 57. menunjukkan kromatogram ekstrak antanan beurit hasil analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak flavonoid yang muncul hanya myricetin (pada menit ke-4.597), quarcetin (pada menit ke-7.364) dan kaempferol (pada menit ke-14.924). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 58, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak antanan beurit dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar58. Tabel 22 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak antanan beurit, standar campuran, dan ekstrak antanan beurit dengan standar campuran. Kandungan flavonol dan flavones pada antanan beurit dengan perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1.57 mg myricetin, 37.51 quarcetin, dan 10.85 mg kaempferol sehingga totalnya 49.93 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 10.47 mg myricetin, 249.54 mg quarcetin dan 72.17 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 332.18 mg. Kandungan flavonol dan flavone pada antanan beurit dengan perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1.40 mg myricetin, 39.77 quarcetin, dan 10.79 mg kaempferol sehingga totalnya 51.96 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 9.29 mg myricetin, 264.60 mg quarcetin dan 71.78 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 345.67 mg. Miean dan Mohamed (2001) menyebutkan bahwa kandungan flavonol dan flavones yang terdeteksi pada antanan berdaun kecil (Hydrocoltyle asiatica) yang ditelitinya hanyalah quarcetin dan kaempferol. Hal ini agak berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yang menggunkan antanan berdaun kecil juga, karena pada penelitian ini komponen myricetin terdeteksi walaupun jumlahnya sedikit. Perbedaan ini dimunkoinkan karena jenis dari antanan yang digunakan dan dapat juag disebabkan oleh kondisi tumbuh yang berbeda dari sampel. Sebelumnya, Batari (2007) juga melakukan pengidentifikasian pada sampel antanan tapi jenis antanan berdaun lebar. Hasil yang diperoleh juga sama dengan hasil pada penelitian ini yaitu tidak hanya quarcetin dan kaempferol yang terdeteksi tapi juga myricetin. Tabel 22 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak antanan beurit Komponen flavonoid Myricetin Area pada ekstrak antanan beurit (mAU) 51567 Luteolin Quercetin 1784904 Apigenin Kaempferol 720719 Area pada standar campuran (mAU) Area pada ekstrak antanan beurit dengan standar campuran (mAU) 381388 109399 50642 46232 304052 1929312 435957 131672 767418 1303217 Gambar 57. kromatogram ekstrak antanan beurit Gambar 58. Ko-kromatogram ekstrak antanan beurit dengan standar campuran E. REKAPITULASI HASIL DAN SENYAWA YANG BELUM TERIDENTIFIKASI PADA SAYURAN INDIGENOUS Sayur-sayuran merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan air yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kadar air pada sayuran indigenous. Kadar air sayuran indigenous berkisar antara 75%-90%. Sayuran indigenous yang memiliki kadar air tertinggi adalah bunga turi, yaitu 90.23%, sedangkan sayuran dengan kadar air terendah ditemukan pada daun kelor yaitu 75.08%. perhitungan kadar air secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 14. Total flavonol dan flavone yang terdapat dalam sayuran indigenous yang digunakan sangatlah bervariasi. Perhitungan jumlah komponen flavonol dan flavone selengkapnya dapat diihat pada Lampiran 16 sampai Lampiran 26. Jumlah flavonol dan flavone terbanyak terdapat pucuk mete, yaitu sebesar 654.25 mg; selanjutnya daun kelor (473.57 mg), dan daun kacang panjang/lembayung (385.56 mg) (per 100 gram berat kering) flavonol dan flavone yang terdeteksi pada sampel. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa seluruh sampel yang digunakan dalam penelitian ini mengandung senyawa quarcetin. Hal ini memperkuat dugaan yang dikemukakan oleh Hertog et al. (a) (1992), yang menyebutkan bahwa di dalam sayuran, komponen yang paling menonjol adalah quarcetin glikosida. Tiga sayuran yang paling banyak mengandung quarcetin adalah pucuk mete, daun kelor, dan daun kacang panjang/lembayung, dengan konsentrasi berturut-turut sebesar 573.07 mg, 384.61 mg, 242.00 mg (per 100 gram berat kering). Berdasarkan data pada Tabel 25, dapat diketahui bahwa semua sampel memiliki nilai total fenol yang jauh lebih besar dari total flavonol dan flavonenya. Hal ini dikarenakan total fenol yang terdeteksi merupakan jumlah seluruh senyawa fenol dalam sayuran. Berarti dalam sampel tersebut terdapat banyak senyawa fenol yang lain selain flavonol dan flavone yang diidentifikasi. Miean dan Mohamed (2001), melakukan penelitian terhadap kandungan flavonoid (myricetin, quarcetin, kaempferol, luteolin dan apigenin) pada 62 jenis tanaman pangan tropis. Berdasarkan hasil yang diperoleh, jumlah kandungan kelima komponen tersebut (per 100 gram sample kering) pada ke-62 jenis tanaman yang diteliti berkisar antara 1.45 mg hingga 272.05 mg. Bila hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil tersebut, sebagian besar jumlah flavonol dan flavone pada sayuran indigenous ada pada kisaran tersebut juga. Namun pada sayuran daun kelor, pucuk mete, daun kacang panjang /lembayung, bunga papaya, dan antanan beurit, jumlahnya melebihi dari batas kisaran tersebut (dapat dilihat pada Tabel 25). Bahkan pada sampel pucuk mete jumlahnya sekitar tiga kali lipat dari batas kisaran atas. Rekapitulasi secara lengkap mengenai hasil kadar air, total fenol, serta total flavonol dan flavone (yang diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan kurva standar campuran) dapat dilihat pada Tabel 25. Dari hasil penelitian ini dihitung juga berapa besar kandungan flavonoid dalam sampel sayuran indigenous apabila dikonsumsi dalam keadaan segar. Besarnya kandungan flavonoid dalam keadaan segar per 100 gram edible portion dapat dilihat pada Tabel 23 berikut. Tabel 23. Kandungan flavonoid dalam sayuran indigenous segar mg flavonoid/100 g Sayuran Cara mengkonsumsinya edible portion indigenous Pucuk mete Lalap, dimasak 143,58 Daun kelor Dimasak 117,95 Antanan beurit Lalapan, dimasak 49,93 Lembayung Dimasak 43,57 Bunga pepaya Tumis, pecel, dimasak 36,27 Daun labu siam Dimasak 36,03 Pucuk mengkudu Lalapan, dimasak 32,94 Mangkokan putih Lalapan, di tumis 32,17 Bunga turi Urap, pecel,tumis, dimasak 21,23 Kucai Tumis 14,79 Pakis Lalapan, tumis 9,52 Takokak Lalapan, dimasak 2,96 Terubuk Dimasak 0,44 Tabel 24.Kandungan flavonoid sayuran indigenous segar yang telah diteliti Sayuran indigenous* Katuk mg flavonoid/100 g edible portion 142.64 Kedondong cina 52.19 Kenikir 52.18 Antanan 21.01 Kemangi 7.22 Beluntas 6.39 Mangkokan 5.43 Daun Ginseng 3.93 Pohpohan 2.34 Kecombrang 1.18 Krokot 0.30 Batari, 2007 (diolah) *semua jenis sayuran di atas dapat dikonsumsi dalam keadaan segar (lalapan). Tabel 23. Menunjukkan jumlah kandungan flavonoid dalam sayuran indigenous segar. Artinya bila kita mengkonsumsi sayuran tersebut dalam bentuk segar dengan jumlah per 100 gram maka senyawa flavonoid yang masuk ke dalam tubuh melalui sayuran tersebut akan kurang lebih sama dengan angka-angka di atas. Namun demikian, ternyata tidak semua jenis sayuran tersebut di atas dikonsumsi dalam keadaan segar. Masing-masing memiliki cara pengolahan yang berbeda-beda untuk dijadikan sebagai makanan/sayuran. Oleh karena itu untuk sayuran yang tidak dikonsumsi dalam keadaan segar, misalnya ditumis, maupun dimasak maka kandungan flavonoid yang masuk ke dalam tubuh akan berkurang dari jumlah yang tertera di atas. Hal ini disebabkan karena flavonoid akan terurai apabila mengalami proses pemanasan. Ini adalah salah satu sifat khas yang dimiliki oleh flavonoid. Berbeda dengan hasil yang yang diperoleh dari analisis yang dilakukan Batari (2007) terhadap sebelas sampel sayuran indigenous lain. Dari semua jenis sayuran yang dianalisa Batari (2007), merupakan jenis sayuran yang dapat dikonsumsi dalam keadaan segar biasanya sebagai lalapan. Untuk itu kandungan flavonoid yang masuk ke tubuh saat mengkonsumsi sayuran tersebut kurang lebih sama dengan nilai total flavonoid yang tertera per 100 gram edible portion. Adapun jenis sayuran dan kandungan flavonoid dalam sayuran indigenous yang diteliti oleh Batari (2007), dapat dilihat pada Tabel 24. Bila dibandingkan antara hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Batari (2007), terlihat bahwa kisaran nilai total flavonoid (flavonol dan flavone) dalam sayuran indigenous relatif sama. Namun untuk nilai flavonoid terbesar ternyata didapatkan dari penilitian ini yaitu pada pucuk mete sebesar 143.58/ 100 gram edible portion. Hasil ini menunjukkan bahwa potensi flavonoid dalam sayur-sayuran indigenous tenyata cukup baik dan tentunya dengan mengetahui jumlah kandungan dan manfaat dari flavonoid itu sendiri setidaknya akan memberikan suatu referensi bagi kita terutama sebagai alternatif dalam pemilihan jenis sayur-sayuran yang akan dikonsumsi. Dari semua hasil perhitungan yang diperoleh kemudian dilakukan uji statistik berupa uji Tukey’s HSD (P 0.05). Hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa setiap perlakuan yang dikenakan pada sampel berpengaruh nyata terhadap jumlah komponen yang terdeteksi pada sampel. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan yaitu < dari taraf 0.05. Untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai Lampiran 13. Selain uji Tukey’s dilakukan uji uji t terhadap dua cara perhitungan yang dilakukan. Pertama menggunkan persamaan kurva standar campuran dan yang kedua menggunakan standar eksternal campuran. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah dengan cara perhitungan yang berbeda akan menimbulkan perbedaan yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh. Uji t yang dilakukan disini adalah uji dua perlakuan bebas menggunakan dua sisi. Dari hasil pengujian diperoleh hasil seperti berikut : t-Test: Paired Two Sample for Means Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail eksternal standar standar campuran 246.7915735 245.6705694 34540.20324 34475.98193 13 13 0.999819235 0 12 1.142947658 0.137675565 1.782287548 0.27535113 2.178812827 Dari hasil di atas terlihat bahwa t stat< t Critical two-tail atau P(t<=t)two-tail >0.05 yaitu (1.143 < 2.1788 atau 0.275 > 0.05). maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perhitungan dengan menggunakan persamaan kurva standar campuran tidak berbeda nyata dengan perhitungan menggunakan eksternal standar campuran pada taraf 5%. Bila melihat data pada Tabel 9, perhitungan persentase antara selisih hasil perhitungan dengan kurva standar campuran dengan perhitungan eksternal standar pada terubuk dan takokak memiliki perbedaan nilai yang lebih dari 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa perhitungan dengan menggunakan eksternal standar tidak memberikan hasil yang baik bila kandungan komponen yang diidentifikasi memiliki jumlah yang sangat rendah di dalam sampel. Berdasarkan hasil pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa bila konsentrasi komponen lebih rendah dari 15 mg/100 gram berat kering, maka hasil yang diberikan oleh perhitungan dengan menggunakan eksternal standar campuran menjadi tidak benar dan memiliki tingkat kesalahan yang besar (lebih dari 10%). Sebaiknya, bila komponen yang akan diidentikasi pada sampel jumlahnya sangat rendah (lebih rendah dari 15 mg/100 gram berat kering), perhitungan dilakukan dengan menggunakan kurva standar, agar hasil yang diperoleh lebih baik. Namun bila jumlah komponen cukup tinggi, perhitungan dengan menggunakan eksternal standar tidak terlalu menjadi masalah, karena bila dilihat dari Tabel 9, perbedaan hasil antara perhitungan dengan kurva standar dan eksternal standar tidak melebihi 10%. Selain kelima komponen flavonol dan flavone (myricetin, luteolin, quarcetin, apigenin, dan kaempferol) yang diidentifikasi, masih ada beberapa komponen lain yang belum teridentifikasi (dapat dilihat pada Tabel 26). Bila ingin mengetahui lebih lanjut apa saja komponen fenol selain flavonol dan flavone yang ada dalam sayuran indigenous, dapat dilakukan kajian lebih lanjut melalui kemungkinan dari waktu retensinya. Rekapitulasi komponen-komponen yang mungkin terdapat dalam sayur-sayuran indigenous tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 27 menunjukkan persentase area komponen yang belum teridentifikasi terhadap area seluruh komponen yang terdeteksi. Pada Tabel 27 dapat terlihat bahwa kebanyakan sampel memiliki persentase area unknown yang lebih kecil dari 10 % bila dibandingkan dengan total area komponen yang terdeteksi. Namun pada sayuran kucai, takokak, daun labu siam dan pucuk mete jumlah area unknownnya lebih dari 10 % bahkan ada yang lebih 20 % yaitu kucai. Angka persentase pada Tabel 27 cukup besar ini menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Karena mungkin saja masih banyak potensi-potensi yang dapat diperoleh bila diketahui komponen-komponen tersebut. Kemungkinan komponen-komponen unknown tersebut adalah senyawa lain dari golongan flavonol dan flavone, karena pada penelitian ini menggunakan HPLC dengan detector UV-Vis pada panjang gelombang 370 nm, dimana pada kisaran panjang gelombang tersebut komponen flavonol dan flavone memiliki serapan maksimum. Tabel 25. Rekapitulasi total fenol, total flavonoid, dan kadar air dari sayuran indigenous konsentrasi (mg/100 sampel kering) total fenolA Sampel flavonol total flavonoid KA (% wet basis) flavone total flavonol quarcetin kaempferol myricetin luteolin apigenin - - - a d - - e c - - b Bunga turi h Kucai ij Takokak b Daun kelor d 536,1 ± 7.9 b b 468.3 ± 9.3 b b - 5,3 ± 0,2 - h Pucuk mengkudu i 236,4 ± 1.6 g f 201,4 ± 14.5 e d - - - e Lembayung f 438,3 ± 5.7 c d c g - - Terubuk a - - Mangkokan putih e 491.0 ± 7.5 e g 169.5 ± 2.4 f - - Daun labu siam f 412,6 ± 9.9 g f 200.1 ± 2.4 fg Bunga papaya g 376,2 ± 12.2 e f 2809,5 ± 11.1 a Pucuk mete 323,7 ± 5.1 h Antanan beurit c i h 89.4 ± 1.5 h i i i 473.3 ± 9.6 201,4 ± 14.5 386.3 ± 10.2 200.1 ± 2.4 306.8 ± 5.2 656.3 ± 6.9 253.4 ± 7.6 a 332.2 ± 5.5 384,6 ± 7,9 142,6 ± 9,7 242,0 ± 6,6 332.2 ± 5.5 46,2 ± 0,9 - 83,8 ± 0,7 29,5 ± 1,0 - b 85,7 ± 1,7 e 159,4 ± 0,9 f a 54,0 ± 0,8 a f h 65,8 ± 0,5 h 249,5 ± 4,4 c 45,3 ± 0,3 b 37,9 ± 0,7 - 18,6 ± 0,1 72,2 ± 1,0 : total fenol dihitung berdasarkan mg asam gallat / 100 g sampel kering. (-) tidak terdeteksi 69,4 ± 0,7 - 46,3 ± 1,9 573,1 ± 5,9 c 21,3 ± 0,6 58,8 ± 4,2 76,7 ± 0,9 d 16,2 ± 0,1 83,4 ± 1,4 3,8 ± 0,1 84.4 ± 0.6 c f j h 84.4 ± 0.6 d 656.3 ± 6.9 189,1 ± 3,2 6,1 ± 0,1 3,8 ± 0,1 205.7 ± 2.8 a j j h 306,7 ± 2.2 27.0 ± 0,5 27.4 ± 0.7 3,8 ± 0,1 215.0 ± 4.6 28,3 ± 0,6 89.4 ± 1.5 j 204,4 ± 14.4 805,5 ± 12.8 e 27.4 ± 0.7 860,3 ± 9.7 a 217.4 ± 3.6 217.4 ± 3.6 211,7 ± 20.1 Pakis A e e 10,5 ± 0,1 a c 45,5 ± 2,2 - 114,8 ± 2,6 b 101,1 ± 2,4 90.2 ± 0.1 83.4 ± 0.3 89.2 ± 0.2 75.1 ± 0.2 83.4 ± 0.5 bc 88.7 ± 0.5 c 88.4 ± 0.1 d 84.9 ± 0.1 f 82.0 ± 0.6 c 88.2 ± 0.4 - - g - - bc - - d 78.1 ± 0.1 88.7 ± 0.1 85.0 ± 0.2 Tabel 26. Rekapitulasi komponen yang terdeteksi pada sampel dengan menggunakan HPLC sampel ± Ma) Lb) Qc) Ad) Ke) 2.0 Bunga turi + + + + + + + + Takokak + + + + + + + + + + + + + + + Mangkokan + + + Daun labu siam + + + + + + + ± 6.5 ± 7.1 ± 9.6 + + ± 10 ± ± 16.5 17.2 + + + + + + ± 6.0 + + + Terubuk Bunga papaya Waktu retensi (menit) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 2.7 3.1 3.3 3.5 3.8 4.1 4.4 4.7 5.1 5.5 + + + Lembayung ± 2.4 + Kucai Daun kelor Pucuk mengkudu ± 2.2 + + + + + + Pucuk mete + + + + Pakis + + + + Antanan beurit + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Tabel 27. Kuantifikasi area unknown pada waktu retensi tertentu Area komponen unknown pada waktu retensi tertentu (mAU*s) sampel ± 2.0 Bunga turi Kucai ± 2.2 ± 2.4 4524 17020 52453 33618 Takokak Daun kelor Pucuk mengkudu ± 2.7 ± 3.1 10791 ± 3.5 ± 3.8 12012 ± 4.1 4965 6230 5580 6211 ± 4.7 ± 5.1 ± 5.5 ± 6.0 10791 99615 ± 6.5 ± 7.1 ± 9.6 7144 12134 ± 10 ± 16.5 ± 17.2 11184 14541 100495 19483 19885 Terubuk ± 4.4 25564 17559 Lembayung 34238 20219 16066 142074 3932 Mangkokan Daun labu siam Bunga papaya 522376 Pucuk mete 72897 Pakis Antanan beurit ± 3.3 10063 99696 13345 225509 12840 32674 20606 7482 442405 41042 8619 5851 4244 13248 242017 1590 4376 11023 21440 7785 41379 10312 Jumlah komponen unknown Area (mAu*s) %a) 21544 1.16 163557 20.37 143849 17.03 111690 2.95 31274 5.37 232482 8.60 3932 1.34 166090 9.21 781331 16.64 7482 1.28 832414 13.05 68010 8.82 17492 3.00 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Sayuran indigenous dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan pangan sebagai sumber flavonoid khususnya senyawa flavonol dan flavone. Kadar air sayuran indigenous yang diteliti berkisar antara 75%-90%. Sayuran indigenous yang diteliti pada penelitian ini memberikan komposisi senyawa flavonol dan flavone yang bervariasi. Namun, semua sampel mengandung senyawa quarcetin. Kandungan quarcetin terbanyak ada pada pucuk mete (573.06 mg) dan yang paling sedikit mengandung quarcetin adalah terubuk yaitu 3.76 mg. Senyawa myricetin hanya ditemukan pada sayuran kucai (16.23 mg), takokak (21.29 mg), daun labu siam (69.39 mg), pucuk mete (37.85 mg), dan antanan beurit (10.46 mg). Senyawa luteolin hanya ditemukan pada sayuran daun kelor dan jumlahnya pun sangat sedikit, sedangkan apigenin hanya ditemukan pada daun kacang panjang (114.81mg), daun mangkokan putih (45.47 mg), dan bunga papaya (101.11 mg). senyawa kaempferol ditemukan hampir di semua sampel sayuran kecuali takokak dan terubuk. Kaempferol terbesar ditemukan pada bunga turi (189.05 mg) dan terendah pada daun pakis (18.63 mg). Total flavonol dan flavone terbesar terdapat pada pucuk mete (656.20 mg) dan total fenol tertinggi juga pada pucuk mete (2809.53 mg). Nilai-nilai tersebut dihitung berdasarkan 100 gram berat kering. B. SARAN Pemanfaatan sayuran indigenous sebagai bahan pangan sebaiknya semakin ditingkatkan, karena kandungan flavonol dan flavonenya yang cukup baik yaitu sebagai salah satu sumber antioksidan. Agar nilai tambah tanaman tersebut meningkat serta maka dapat dilakukan pengidentifikasian dan eksplorasi senyawa flavonoid lain yang mungkin masih banyak terkandung di dalamnya. Masih banyak sayur-sayuran indigenous lain di sekitar kita dan mungkin belum tersentuh serta dieksplorasi dengan baik dan mungkin saja memilki potensi flavonoid yang baik pula, dan untuk memperluas keragaman sumber genetik sayuran indigenous maka dari itu proses pengidentifikasian jenis sayuran indigenous lainnya dapat pula dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Aalbersberg, W.G.L., Shabina Husein dan A. S. Wirian, 1993. Journal of Herbs, Spices and Medicinal Plant 2 (1) : 51 – 54. Adamson, G. E. Lazarus, S. A., and Mitchell, A.E. 1999. HPLC method for the quantification of procyanidin in cocoa and chocolatesamples and correlation to total antioxidant capacity. Journal of Agriculture and Food Chemistry, 47, 4184-4188. Anonim.1995. Produksi tanaman sayuran dan buah-buahan semusim di Jawa. Biro Pusat Statistik. Jakarta Indonesia. Anonim. 2007a.Flavonoid. http://library.usu.ac.id/download /fmipa/06003489. pdf. [22 September] Anonim.2007b.Jambu mete.www.rain-tree.com. Cajueiro. [22 September]. Anonim.2007c. Kelor (Moringa oleifera). Http : // www. hort. purdue. edu/ newcrop/ duke_energy/Moringa_oleifera.html. [19 Desember] Anonim. 2007d. Mangkokan. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php. [22 September] Anonim.2007e.Mangkokan.http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?m u=2&id=144[22 September] Anonim.2007f.Mete. http:// www. dinasperkebunanbali. info/komoditi _unggulan. php?id_komoditi_unggulan=6. [27 Desember] Anonim. 2007g. Mete. www. bpdas jeneberang. net/index2. php?option= com_ content &do_pdf=1&id=15 –.[27 Desember] Anonim. 2007h. Mengkudu. http:// www.indomedia. com/ intisari/1999/ Mei/mengkudu. Htm. [19 Desember] Anonim.2007i.Nutritional Value of Leavesand Pods Moringa oleifera. Http://www.Moringa_news.org/documents/malawi.pdf. [19 Desember] Anonim. 2007j.pepaya September] http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php.[22 Anonim. 2007k. Pepaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Pepaya.[22 September] Anonim.2007l.Pepaya.http :// www. rusnasbuah.or.id/ template. php?l=db_menu. php&m =com_home.php &com_id=2.[22 September] Anonim.2007m.Pepaya. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=57 pepaya. [22 September] Anonim.2007n.Pepaya. http://209.85.135.104/ search?q=cache :L7KyKujqazYJ: www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_147_Kardiologi.pdf+analisis+proksima t+daun+pepaya&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a. [22 September] Anonim 2007o. Sayuran Indigenous.http: // www. kalbe. co. id/ files/ cdk/ files/ 147_13 Diet Sehat dg Serat. pdf/ 147_13DietSehatdgSerat.html. [22 September] Anonim. 2007p. Sechium edule. Http://iptek.apji.or.id. [19 Desember] Anonim.2007q.Takokak. Http :// www. republika. co. id/ suplemen/ cetak_detail_ asp. [19 Desember] Anonim. 2007r. Takokak. www.kompas.com/kesehatan/news. [19 Desember] Anonim.2008a.Botani mengkudu. http://209.85.175.104/ search?q=cache: d5m3SJECligJ: www. mardi. my/ herba1/ maklumat /My%2520GFL%2520-%2520 Sentoor%2520Na ma %2520 Botani. doc+ botani mengkudu & hl = id&ct = clnk&cd=6&gl=id. [5 Januari] Anonim. 2008b. Botani papaya. http://209.85.175.104/ search?q=cache: ujM5CLCRGoQJ:wayanlessy.blogs.friendster.com/my_blog/2007/05/meny antap_bunga.html+botani+pepaya&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id. [3 Januari] Anonim. 2008c. Budidaya mete. http:// www.iptek.net.id/ind /warintek /?mnu =6&ttg=2&doc=2a10. [5 Januari] Anonim. 2008d. Bunga pepaya. http:// budiboga. blogspot.com/2006/08/ kelezatan - bunga-dalam-seni-kuliner.html [3 Januari] Anonim.2008e.Bunga pepaya. http://www.lintasberita.com/Kuliner/Tumis_ Sayur__ Bunga_Pepaya/.[3 Januari] Anonim. 2008f. Carica papaya http://en.wikipedia.org/wiki/Carica_papaya. [3 Januari] Anonim. 2008g. Cinnamon http : //en. wikipedia. org/wiki/Image : Cinnamon_ Fern_ Osmunda_ cinnamomea. [3 Februari] Anonim. 2008h. Daun jambu mete. http: //209.85.175.104/ search?q = cache:oiC-xnAGIhUJ:www.bpdasjeneberang.net/index2.php%3Foption%3 Dcom_content%26do_pdf%3D1%26id%3D15+daun+jambu+mete&hl=id& ct=clnk&cd=20&gl=id. [5 Januari] Anonim.2008i.Flavonoid.http://elearning.unej.ac.id/courses /FAR316 /document /FLAVONOID.pdf?cidReq=FAR316. [5 Januari] Anonim. 2008j. Hydrocotyle. http://en.wikipedia.org/wiki/Hydrocotyle. [3 Februari] Anonim.2008k.Hydrocotyle sibthorpiodes.http://pkukmweb.ukm.my/~ /tugasan /s2_99/a72840.htm. [3 Februari] ahmad Anonim. 2008l. Jambu Mete.http://dokteralami.com/tanaman/jambu-mete.html beritaiptek.com/pilihberita.php?id=384. [5 Januari] Anonim. 2008m.Jambu Monyet. http://www.suaramerdeka. com/harian /0801 /28/ragam03.htm. [5 Januari] Anonim. 2008n. Kacang mede.http://id.wikipedia.org/wiki/Kacang_Mede. [5 Januari] Anonim. 2008o. Kembang Turi. http://id.wikipedia.org/wiki/Kembang_ turi[3 Januari] Anonim.2008p.Kucai . http://en.wikipedia.org/wiki/Kucai. [3 Januari] Anonim.2008q.Labu.www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/tanaman_oba/ depkes/1-260.pdf - Halaman sejenis. [3 Februari] Anonim. 2008r.Labu siam. http://anekaplanta.wordpress.com/page/3/. [3 Februari] Anonim.2008s. Osmunda cinnamomea http :// en. wikipedia. org/wiki/ Osmunda_cinnamomea. [3 Februari] Anonim. 2008t. Polyscias. http://en.wikipedia.org/wiki/Polyscias. [3 Februari] Anonim.2008u. Sayur bunga pepaya. http:// www. warungikankuahbelimbing. Com /2007/08/daftar-harga- menu. Html. [3 Februari] Anonim.2008v. Semanggi Gunung.http://anekaplanta.wordpress.com/page/3/. [3 Februari] Anonim. 2008w. Terubuk. http:// www. plantamor. com/spcdtail. php? Recid = 1099 & popname=Terubuk. [3 Februari] Anonim . 2008x. Vigna. http://en.wikipedia.org/wiki/Vigna_unguiculata. [3 Februari] AOAC. 1984. Official Method of Analysis. Assosiation of Official Analytical Chemistry, Washington D.C. Aviram, M. dan B. Fuhrman. 2003. Effect of Flavonoids on the oxidation of low-density lipoprotein and atherosclerosis. Di dalam : Rice-Evans, C. A. dan L. Packer (Eds.). Flavonoids in Healt and Disease, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Batari, R. 2007. Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran Indigenous Jawa Barat. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. BPS. 1977. Buku Saku Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Cadenas, E. dan L. Packer. 2002.Handbook of Antioxidant, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. [CIC] Chocolate Information Centre. 2001. Polyphenol explained, Mars Incorporated. Copeland LO dan Mc Donald M B. 1976. Principles of seed science and technology. Macmilan Publs Cry New York and Callier Macmillan Publ London . 321 p. Djauhariya, E. 2003. www.balittro.go.id. Mengkudu Tanaman Obat Potensial. [28 Agustus 2007]. Duke, J.A. 2007. Chemistry of Sesbania Grandiflora. Http: // www. hort. purdue. Edu Engels J M M. 1983 . Variation in Sechium edule. SW. In Central America. Journal of the American Society for Horticultural Science. 108 hal : 706 – 710. Fuhrman, B. dan M. Aviram. 2002. Polyphenols and flavonoids protect LDL against atherogenic modification. Di dalam : Cadenas, E. dan L. Packer (Eds.). Handbook of Antioxidant, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Hertog, M. G. L., P. C. H. Hollman, dan D. P. Venema (a). 1992. Optimatization of a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids in vegetable and fruits. J. Agric. Food. Chem vol 40, 1591-1598. Hertog, M. G. L., P. C. H. Hollman, dan M. B. Katan (b). 1992. Content of potentially anticarcinogenic flavonoid of 28 vegetable and 9 fruits commonly consumed in The Netherlands. J. Agric. Food. Chem vol 40, 2379-2383. Indrawati,Y.2002.Telaah fitokimia bunga pepaya gantung (Carica papaya L.) dan uji aktivitas antioksidannya..http :// fa.lib.itb.ac.id/go.php?id= jbptitbfa-gdl-s2-167 Lingga. P. 2001. Panduan seminar dan peluncuran buku retrospeksi perjalanan Industri benih di Indonesia. Bogor. P.T. Sang Hyang Seri & Laboratorium Ilmu & Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Institut Pertanian Bogor. LIPI. 1979. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lee, H.S. 2000. HPLC Analysis of phenolic compounds. Di dalam : Nollet, L. M. l. (Ed.). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York. Lemmens, R.H.M.J. dan Buyapraphatsara, 2003. Plant Resources of South-East Asia. (PROSEA). Medicinal and Poisonores plants. Bogor, Indonesia.12 (3) : 302 – 305. Middleton Jr, Chithan Kandaswami E, Theoharis C. 2000. The Effect of Plant Flavonoids on Mamalian cells : Implication for information, heart isease, and cancer. Pharmacol. Rev. 52 : 673-751. Miean, K. H. dan S. Mohamed. 2001. Flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, and apigenin) content of edible tropical plant. J. Agric. Food. Chem vol 49, 3106-3112. Nainggolan, R.A. 1989. Diet dan Juice Therapy. Indonesia Publishing House. Indonesia. OCHSE, J.J. 1931. Vegetable of the Dutch East Indies. Archipel Drukkerij. Buitenzorg. Java. Piluek. K and J.S. Sie monsma. 1994. Plant Resources of Southeast Asia. PROSEA Indonesia, Bogor. Rubatzky dan Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3: Prinsip, Produksi, dan Gizi. Bandung. Penerbit Institut Teknologi Bandung . Rukmana R. 1998. Budidaya Tanaman Labu Siam (Sechium edule,. Jacq Swartz). Jogjakarta. Penerbit Kanisius Jogjakarta. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB, Bandung. Rounds, M. A., dan J. F. Gregor. 2003. High Performance Liquid Chromatography. Di dalam : Nielsen, S. S. (Ed.). Food Analysis, Third Edition. Plenum Publisher, New York. Rounds, M. A., dan S. S. Nielsen. Basic principles of chromatography. Di dalam : Nollet, L. M. L. (Ed). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York. Setiawan. 2005. Labu Siam Redam Hipertensi. Http://www.portal.cbn.net.id Shetty, K., Curtis, O.F., Levin, R.E., Witkowsky, R. and Ang, W. (1995). Prevention of vitrification associated with in vitro shoot culture of oregano (Origanum vulgare) by Pseudomonas spp. J. Plant Physiol. 147: 447-451. Spencer, J. P. E., C. A. Rice-Evans, dan S. K. S. Srai. 2003. Metabolism in the small intestine ang gastrointestinal tract. Di dalam : Rice-Evans, C. A. dan L. Packer (Eds.). Falvonoids in Health and Disease, Second Edition, Revised and Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York. TERRA, G. J. A. 1966. Tropical Vegetable. Departement of Agriculture Research of the Royal Tropical Institut, and Foundation Netherlands Organization for International Assistance. Amsterdam. Tomlinson P B. 1998. The Botany of Mangroves. Cambridge. London, New York, Melborne, Sydney. Cambridge University Press LAMPIRAN Lampiran 1. Kurva standar dan limit deteksi myricetin konsentrasi (µg/ml) 0.5 area (mAU*) 10852.5 2.5 188739.6 10 799756.6 20 1638538.7 25 2058741.7 Kurva standar myricetin Limit deteksi myricetin Inject ke- Area (mAU*s) Konsentrasi (µg/ml) 1 10652.5 0.4583 2 11735.2 0.4713 3 11864.1 0.4729 4 11532.8 0.4689 5 12861.0 0.4848 6 11655.3 0.4704 7 12928.4 0.4856 8 11521.7 0.4688 9 10397.2 0.4553 10 9356.4 0.4428 Rata-rata SD LOD 0.4679 0.0130 0.039 Lampiran 2. Kurva standar dan limit deteksi luteolin konsentrasi (µg/ml) area (mAU) 0.5 35283.9 2.5 180490.1 10 769873.1 20 1602134.2 25 1997675.8 Kurva standar luteolin Limit deteksi luteolin Inject ke- Area (mAU*s) Konsentrasi (µg/ml) 34265.4 0.6438 34247.1 0.6435 33566.2 0.6351 32712.8 0.6245 31628.2 0.6110 32856.7 0.6263 35951.3 0.6647 32661.4 0.6239 31689.4 0.6118 30824.1 Rata-rata 0.6011 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SD LOD 0.6286 0.0188 0.056 Lampiran 3. Kurva standar dan limit deteksi quarcetin konsentrasi (µg/ml) 0.5 area (mAU) 45684.7 2.5 176788.1 10 759728.5 20 1557073.7 25 2002511.0 Kurva standar quercetin Limit deteksi quercetin Inject ke- Area (mAU*s) Konsentrasi (µg/ml) 43328.4 0.7533 44187.2 0.7641 43551.6 0.7561 43254.7 0.7524 42232.5 0.7396 44231.8 0.7647 43657.3 0.7574 42397.1 0.7416 43562.7 0.7563 44577.1 Rata-rata 0.7690 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SD LOD 0.7555 0.0094 0.028 Lampiran 4. Kurva standar dan limit deteksi apigenin konsentrasi (µg/ml) 2.5 area (mAU) 64164.1 5 131613.8 10 268706.6 20 555345.4 25 722856.8 Kurva standar apigenin Limit deteksi apigenin Inject ke- Area (mAU*s) Konsentrasi (µg/ml) 1 66521.5 2.7979 2 65822.4 2.7739 3 64754.6 2.7371 4 63642.9 2.6989 5 63662.1 2.6996 6 62344.0 2.6542 7 61580.2 2.6279 8 60394.5 2.5871 9 61215.6 2.6154 10 60587.8 2.5938 Rata-rata 2.6786 SD 0.0748 LOD 0.22 Lampiran 5. Kurva standar dan limit deteksi myricetin konsentrasi (µg/ml) area (mAU) 0.5 41320.0 2.5 210144.0 10 912492.3 20 1841920.3 25 2315287.3 Kurva standar kaempferol Limit deteksi kaempferol Inject ke- Area (mAU*s) Konsentrasi (µg/ml) 1 42152.3 0.6117 2 41055.2 0.5999 3 41567.5 0.6054 4 40671.8 0.5958 5 41872.7 0.6087 6 41668.1 0.6065 7 41232.0 0.6018 8 38627.2 0.5738 9 38562.4 0.5731 10 38429.1 0.5716 Rata-rata 0.5948 SD 0.0158 LOD 0.047 Lampiran 6. Kurva standar asam galat (ulangan 1 dan 2) konsentrasi absorbansi (mg/l) 50 0,222 100 0,451 150 0,720 200 1,000 250 1,285 Kurva standar asam galat (ulangan 1) konsentrasi absorbansi (mg/l) 50 0,203 100 0,412 150 0,604 200 0,828 250 0,990 Kurva standar asam galat (ulangan 2) Lampiran 7. Hasil uji tukey kadar air sayuran indigenous Lampiran 8. Hasil uji tukey fotal fenol sayuran indigenous Lampiran 9. Hasil uji tukey senyawa myricetin pada sampel Lampiran 10. Hasil uji tukey senyawa quarcetin pada sampel Univariate Analysis of Variance Lampiran 11. Hasil uji tukey senyawa apigenin pada sampel Lampiran 12. Hasil uji tukey senyawa kaempferol pada sampel Univariate Analysis of Variance Lampiran 13. Hasil uji tukey total flavonoid pada sampel Univariate Analysis of Variance Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous sampel ulangan 1 Bunga turi 2 duplo 1 W cawan kosong (g) W sampel (g) W cawan+sampel kering (g) KA (%BB) 2,5875 5,1456 3,0906 90,22 2 2,5776 5,1572 3,0752 90,35 1 2,6539 5,1225 3,1571 90,18 2 2,5853 5,1047 3,0881 90,15 915,25 90,23 90,23 ± 0,09 923,11 Rata-rata 1 Kucai 2 Takokak 2 Daun kelor 2 Pucuk mengkudu 2 936,41 0,09 0,10 917,98 5,0254 3,5929 83,26 497,27 2,6471 5,0766 3,4779 83,63 511,05 1 2,6689 5,0691 3,4925 83,75 2 2,6520 5,0728 3,5064 83,16 493,73 83,45 83,45 ± 0,29 504,38 0,29 0,34 515,48 2,6889 4,9354 3,2207 89,22 828,06 2 2,6616 4,9377 3,2088 88,92 802,36 1 2,6729 5,0648 3,2159 89,28 2 2,6757 5,0134 3,2079 89,38 842,01 89,20 89,20 ± 0,20 826,29 2,5455 5,0617 2 2,6679 5,0099 1 2,5463 5,0024 2 2,6380 5,0840 0,20 0,22 832,74 304,64 3,9186 75,04 300,57 3,8004 74,93 3,9065 75,05 300,79 75,08 75,08 ± 0,15 301,22 0,15 0,20 298,88 1,02 10,52 2,09 16,98 2,05 2,44 0,81 301,22 ± 2,44 1 2,5685 5,0422 3,3823 83,86 519,59 2 2,6409 5,0101 3,4704 83,44 503,99 1 2,5692 5,0710 3,4486 82,66 2 2,6413 5,0070 3,4588 83,67 512,48 83,41 83,41 ± 0,53 503,17 Rata-rata 9,40 826,29 ± 16,98 75,29 3,7964 RSD 504,38 ± 10,52 1 1 Std. Dev 923,11 ± 9,40 2,7515 Rata-rata 1 KA (%BK) 922,78 2 Rata-rata 1 RSD 1 Rata-rata 1 Std. Dev 0,53 0,63 476,64 18,80 3,74 503,17 ± 18,80 139 Lanjutan Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous sampel ulangan 1 Lembayung 2 duplo 1 W cawan kosong (g) W sampel (g) W cawan+sampel kering (g) KA (%BB) 2,7465 5,0410 3,3024 88,97 Std. Dev RSD Terubuk 2 2 2,6892 5,0987 3,2441 89,12 1 2,6976 5,0438 3,3017 88,02 2 2,7479 5,0727 3,3211 88,70 784,98 Rata-rata 88,70 786,39 818,85 0,49 0,55 Mangkokan Putih 2 Daun labu 2 2,7862 5,1442 3,3762 88,53 2 2,5866 5,0651 3,1766 88,35 1 2,6972 5,0521 3,2843 88,38 2 2,6243 5,1124 3,2232 88,29 753,63 Rata-rata 88,39 761,13 758,49 0,10 0,12 5,0765 3,3091 84,82 2,6820 5,0755 3,4451 84,97 1 2,6394 5,0051 3,3967 84,87 2 2,6337 5,0914 3,4012 84,93 563,37 Rata-rata 84,89 562,00 558,60 565,12 0,07 0,08 1 2 2,6297 5,0053 3,5600 81,41 2 2,7188 5,0255 3,6454 81,56 1 2,6994 5,0818 3,5748 82,77 2 2,6915 5,0196 3,5822 82,26 463,56 Rata-rata 82,00 456,11 438,03 442,36 0,63 0,77 19,72 480,51 4,32 456,11 ± 19,72 87,97 730,95 2 2,6978 5,0396 3,3124 87,80 1 2,6710 5,0050 3,2557 88,32 2 2,6977 5,0322 3,2706 88,62 778,37 Rata-rata 88,18 746,32 88,18 ± 0,36 0,51 562,00 ± 2,85 82,00 ± 0,63 Bunga pepaya 2,85 560,91 1 3,2738 1,02 761,13 ± 7,74 2,5383 5,0106 7,74 760,52 2 2,6708 4,71 771,90 1 1 37,06 734,93 1 84,89 ± 0,07 1 RSD 786,39 ± 37,06 88,39 ± 0,10 1 Std. Dev 806,82 88,70 ± 0,49 1 KA (%BK) 719,98 0,36 0,41 755,99 3,50 26,15 746,32 ± 26,15 140 Lanjutan Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous sampel ulangan 1 Pucuk mete 2 duplo 1 W cawan kosong (g) 2,6296 2 2,7185 1 2,6927 2 2,6859 W sampel (g) W cawan+sampel kering (g) KA (%BB) Std. Dev RSD 5,0735 3,7440 78,03 5,0607 3,8153 78,33 5,0530 3,8005 78,08 5,0554 3,7969 78,02 355,03 Rata-rata 78,12 356,96 361,41 0,14 0,18 Daun pakis 2 1 2,6897 5,0059 3,2553 2 2,6614 5,0905 3,2306 88,82 1 2,6908 5,0830 3,2665 88,67 2 2,6614 5,0626 3,2313 88,74 788,33 Rata-rata 88,73 787,66 Antanan Beurit 2 1 2,5989 5,0001 3,3440 85,10 2 2,6517 5,0430 3,3995 85,17 794,33 0,06 0,07 782,93 3,00 0,84 4,97 0,63 787,66 ± 4,97 571,06 574,38 0,20 1 2,6482 5,0780 3,4239 84,72 2 2,6092 5,0937 3,3786 84,90 562,04 Rata-rata 84,97 565,53 84,97 ± 0,20 RSD 785,06 88,70 88,73 ± 0,06 1 356,13 Std. Dev 356,96 ± 3,00 78,12 ± 0,14 1 KA (%BK) 355,27 0,24 554,63 8,94 1,58 565,53 ± 8,94 141 Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze dryer sampel ulangan duplo W cawan kosong (g) 1 2,6537 1 2 2,5906 Bunga turi 1 2,6984 2 2 2,5739 1 Kucai 2 1 Takokak 2 1 Daun kelor 2 1 Pucuk mengkudu 2 W sampel (g) 2,0833 2,0053 2,1244 2,0547 W cawan+sampel kering (g) 4,7012 4,5732 4,7827 4,6012 Rata-rata KA (%BB) Std. Dev 1,72 1,13 0,35 1,89 1,33 1,52 1,52 ± 0,35 1 2 1 2 2,6434 2,7251 2,5822 2,6214 2,0063 2,1820 2,0866 2,0972 4,5780 4,8361 4,5962 4,6374 Rata-rata 3,57 3,25 0,26 3,48 3,87 3,54 3,54 ± 0,26 1 2 1 2 2,6823 2,6015 2,7385 2,6625 5,1910 5,1324 5,1597 5,0516 7,6410 7,5215 7,6636 7,4977 Rata-rata 4,48 4,14 0,19 4,55 4,28 4,36 4,36 ± 0,19 1 2 1 2 2,6300 2,5827 2,6142 2,6235 1,2121 1,1952 1,2651 1,2271 3,7815 3,7147 3,8122 3,7821 Rata-rata 5,00 5,29 0,24 5,30 5,58 5,29 5,29 ± 0,24 1 2 1 2 2,5608 2,6450 2,5874 2,7257 1,0735 1,1255 1,0547 1,3652 3,5772 3,7087 3,5834 4,0144 Rata-rata 5,32 5,49 0,13 5,57 5,60 5,49 5,49 ± 0,13 RSD 22,82 7,22 4,25 4,50 2,30 KA (%BK) Std. Dev 1,75 1,14 0,36 1,92 1,35 1,54 1,54 ± 0,36 3,71 3,36 0,28 3,60 4,03 3,68 3,68 ± 0,28 4,68 4,32 0,20 4,76 4,48 4,56 4,56 ± 0,20 5,26 5,58 0,27 5,60 5,91 5,59 5,59 ± 0,27 5,62 5,81 0,14 5,89 5,94 5,81 5,81 ± 0,14 RSD 23,15 7,49 4,44 4,75 2,43 142 Lanjutan Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze dryer sampel ulangan 1 Lembayung 2 duplo W cawan kosong (g) W sampel (g) W cawan+sampel kering (g) KA (%BB) 1 2,6819 1,1848 3,8001 5,62 Std. Dev RSD 2 2,7154 1,1183 3,7681 5,87 1 2,5364 1,5781 4,0271 5,54 2 2,6240 1,2247 3,7857 5,14 5,42 Rata-rata 5,54 5,87 Terubuk 2 0,30 5,41 1 2 Daun labu siam 2 Bunga pepaya 2 2,6823 5,1910 7,6810 3,70 3,85 2,6015 5,1324 7,5315 3,94 4,11 1 2,7385 5,1597 7,7036 3,77 2 2,6625 5,0516 0,19 5,01 0,20 5,20 0,22 6,11 0,18 7,51 0,19 12,96 3,92 7,5377 3,49 3,62 Rata-rata 3,73 3,87 3,87 ± 0,20 1 2,6310 2,0162 4,5747 3,60 2 2,6671 2,1834 4,7749 3,46 1 2,6108 2,1657 4,7074 3,19 2 2,5321 2,0354 4,4932 3,65 3,79 Rata-rata 3,47 3,60 3,73 0,21 5,91 3,59 3,30 3,60 ± 0,22 1 2,6211 1,0385 3,6360 2,27 2,33 2 2,7100 2,0793 4,7375 2,49 2,55 1 2,6342 1,5692 4,1641 2,50 2 2,5213 1,6413 4,1273 2,15 2,20 Rata-rata 2,35 2,41 0,17 7,33 2,57 2,41 ± 0,18 1 2,5621 1,1526 3,6977 1,47 1,50 2 2,6892 1,0261 3,6996 1,53 1,55 1 2,6632 1,1542 3,7987 1,62 2 2,6257 1,1264 3,7387 1,19 1,20 Rata-rata 1,45 1,48 1,45 ± 0,19 5,72 5,86 1 2,35 ± 0,17 1 0,34 6,23 2 3,47 ± 0,21 1 RSD 5,87 ± 0,34 3,73 ± 0,16 Mangkokan putih Std. Dev 5,96 5,54 ± 0,30 1 KA (%BK) 0,19 12,79 1,65 1,48 ± 0,19 143 Lanjutan Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze dryer sampel ulangan duplo W cawan kosong (g) W sampel (g) 1 Pucuk mete 2 W cawan+sampel kering (g) KA (%BB) Std. Dev RSD 1 2,6845 2,0285 4,6364 3,78 2 2,7862 2,0852 4,7981 3,52 1 2,5876 2,1447 4,6536 3,67 2 2,6243 2,0621 4,6212 3,16 3,27 Rata-rata 3,53 3,66 Daun pakis 2 0,27 7,60 Antanan Beurit 2 0,29 7,86 0,23 8,89 0,12 3,69 3,64 3,81 1 2,6803 1,0035 3,6617 2,20 2 2,6532 1,0882 3,7133 2,58 1 2,6372 1,0156 3,6254 2,70 2 2,5691 1,1028 3,6452 2,42 2,48 Rata-rata 2,48 2,54 2,25 0,21 8,68 2,65 2,77 2,54 ± 0,23 1 2,6012 1,0663 3,6332 3,22 2 2,5905 1,0185 3,5768 3,16 1 2,6237 1,0314 3,6197 3,43 2 2,6155 1,2547 3,8291 3,28 3,39 Rata-rata 3,27 3,38 3,27 ± 0,12 RSD 3,66 ± 0,29 2,48 ± 0,21 1 Std. Dev 3,92 3,53 ± 0,27 1 KA (%BK) 3,32 0,12 3,57 3,26 3,55 3,38 ± 0,12 144 Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous Sampel Ulangan W sampel (mg) 1 49,5 2 49,5 1 50 2 50,8 1 50,5 2 50,5 1 50 2 50,5 1 50 2 50,5 Bunga turi Kucai Takokak Daun kelor Pucuk mengkudu Wet Basis [ ] (mg fenolik/100 g Std. Dev sampel) 31,3696 31,9727 0,50 31,0498 32,1006 31,6232 31,6232 ± 0,50 Duplo Absorbansi [ ] (mg/L) 1 2 1 2 0,276 0,283 0,273 0,284 63,5741 64,7963 62,9259 65,0556 Rata-rata 1 2 1 2 0,142 0,144 0,184 0,185 38,6852 39,0556 46,4630 46,6481 Rata-rata 32,0120 32,3185 37,8426 37,9934 35,0416 35,0416 ± 3,32 1 2 1 2 0,879 0,882 0,861 0,864 175,2222 175,7037 171,8704 172,3148 Rata-rata 93,6832 93,9406 91,8911 92,1287 92,9109 92,9109 ± 1,05 1 2 1 2 0,504 0,506 0,522 0,528 105,7222 106,0926 109,0556 110,1667 Rata-rata 131,7299 132,1914 134,5378 135,9086 133,5919 133,5919 ± 1,97 1 2 1 2 0,187 0,187 0,192 0,193 47,0185 47,0185 47,9444 48,1296 Rata-rata 39,0019 39,0019 39,3762 39,5282 39,2270 39,2270 ± 0,27 3,32 1,05 1,97 0,27 RSD 1,57 Dry Basis [ ] (mg fenolik/100 g Std. Dev sampel) 321,0812 327,2540 5,09 317,8077 328,5634 323,6766 323,6766 ± 5,09 9,49 193,4259 195,2778 228,6563 229,5677 211,7319 211,7319 ± 20,09 1,13 867,4367 869,8203 850,8434 853,0436 860,2860 860,2860 ± 9,72 1,48 528,6111 530,4630 539,8790 545,3795 536,0831 536,0831 ± 7,92 0,68 235,0926 235,0926 237,3487 238,2655 236,4499 236,4499 ± 1,61 20,09 9,72 7,92 1,61 RSD 1,57 9,49 1,13 1,48 0,68 145 Lanjutan Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous Sampel Ulangan W sampel (mg) 1 50 2 50,9 1 50,4 2 50,5 1 50,5 2 50,5 1 50,4 2 50,5 1 50,5 2 51,1 Lembayung Terubuk Mangkokan Putih Daun labu Bunga pepaya Wet Basis [ ] (mg fenolik/100 g Std. Dev sampel) 49,4794 49,0608 0,64 50,4545 49,1184 49,5283 49,5283 ± 0,64 Duplo Absorbansi [ ] (mg/L) 1 2 1 2 0,406 0,402 0,424 0,411 87,5741 86,8333 90,9074 88,5000 Rata-rata 1 2 1 2 0,140 0,145 0,173 0,166 38,3148 39,1852 44,4074 43,0741 Rata-rata 22,0652 22,5665 25,5233 24,7569 23,7280 23,7280 ± 1,67 1 2 1 2 0,464 0,461 0,472 0,478 98,2407 97,7593 99,7963 100,9074 Rata-rata 73,4860 73,1259 74,6496 75,4807 74,1856 74,1856 ± 1,08 1 2 1 2 0,368 0,380 0,391 0,392 80,5370 82,7593 84,7963 84,9815 Rata-rata 71,9081 73,8922 75,5611 75,7261 74,2718 74,2718 ± 1,78 1 2 1 2 0,332 0,332 0,360 0,360 73,8704 73,8704 79,0556 79,0556 Rata-rata 43,2251 43,2251 45,7161 45,7161 44,4706 44,4706 ± 1,44 1,67 1,08 1,78 1,44 RSD 1,30 Dry Basis [ ] (mg fenolik/100 g Std. Dev sampel) 437,8704 434,1667 5,71 446,5000 434,6758 438,3032 438,3032 ± 5,71 7,05 190,0536 194,3710 219,8387 213,2380 204,3753 204,3757 ± 14,41 1,46 486,3403 483,9567 494,0411 499,5416 490,9699 490,9699 ± 7,15 2,40 399,4893 410,5122 419,7836 420,7004 412,6214 412,6214 ± 9,89 3,23 365,6949 365,6949 386,7689 386,7689 376,2319 376,2319 ± 12,17 14,41 7,15 9,89 12,17 RSD 1,30 7,05 1,46 2,40 3,23 146 Lanjutan Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous Sampel Ulangan W sampel (mg) 1 50,1 2 50,2 Pucuk mete 1 50 Daun Pakis 2 50,5 Wet Basis [ ] (mg fenolik/100 g Std. Dev sampel) 614,0254 Absorbansi [ ] (mg/L) 1 2,970 562,3889 2 2,958 560,1667 611,5991 1 2,989 565,9074 616,6362 2 2,989 565,9074 616,6362 Rata-rata 614,7242 2809,5256 60,7222 614,7242 ± 2,24 34,2170 2806,5256 ± 11,06 303,6111 1 0,261 2 0,265 61,4630 34,6344 1 0,268 62,0185 34,6014 2 0,270 62,3889 34,8081 Rata-rata 34,5652 RSD 50,4 2 51 Antanan beurit 2,42 0,39 2818,2640 11,06 2818,2640 0,39 307,3148 0,25 0,72 307,0224 2,21 308,8559 0,72 306,7010 34,5652 ± 0,25 1 0,797 159,9815 119,2719 793,5589 2 0,799 160,3519 119,5480 795,3961 1 0,835 167,0185 123,0533 2 0,830 166,0926 122,3712 Rata-rata 121,0611 121,0611 ± 1,93 RSD 2795,2428 34,5652 ± 0,25 1 Dry Basis [ ] (mg fenolik/100 g Std. Dev sampel) 2806,3318 Duplo 1,93 1,59 818,7182 814,1794 12,84 1,59 805,4632 805,4632 ± 12,84 147 Lampiran 17. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 62409 0,8054 2,6660 1 2 64540 0,8178 2,7070 Kucai 0,02 1 63764 0,8133 2,6921 2 2 63186 0,8100 2,6810 Rata-rata 2,6865 RSD 0,65 2,6865 ± 0,02 1 Takokak 2 1 2 1 2 109381 109522 109498 99615 1,0787 1,0795 1,0793 1,0219 Rata-rata 2,3299 2,3317 2,3314 2,2072 2,3001 Daun Labu siam 2 1 Pucuk mete 2 1 2 1 2 512983 518280 528290 522376 3,4264 3,4572 3,5154 3,4810 Rata-rata 12,3349 12,4458 12,6554 12,5316 12,4919 1 256134 1,9323 12,4919 ± 0,14 8,4558 2 252820 1,9130 8,3714 1 241014 1,8444 8,0709 2 247363 1,8813 8,2325 Rata-rata 8,2826 0,06 2,69 Antanan beurit 2 1 50593 1,0388 1,5614 2 51441 1,0458 1,5718 1 51897 1,0495 1,5775 2 52335 1,0531 1,5829 Rata-rata 1,5734 1,5734 ± 0,01 0,65 21,5733 21,5897 21,5869 20,4372 21,2968 0,57 2,69 21,2968 ± 0,57 0,14 1,08 68,5270 69,1432 70,3078 69,6198 69,3994 0,75 1,08 69,3994 ± 0,75 38,6461 38,2605 0,17 2,03 36,8871 0,77 37,6257 2,03 37,8548 8,2826 ± 0,17 1 RSD 16,2328 ± 0,10 2,3001 ± 0,06 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 16,1088 16,3567 0,10 16,2664 16,1992 16,2328 37,8548 ± 0,77 10,3885 10,4580 0,01 0,58 10,4954 10,5314 0,06 0,58 10,4683 10,4683 ± 0,06 *Komponen myricetin pada sampel bunga turi, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya dan pakis tidak terdeteksi. 148 Lampiran 18. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenousdengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Daun Kelor 2 Dry Basis RSD [ ] (mg /100 g sampel) 1 34903 1,8217 1,3619 5,4651 2 34276 1,7936 1,3409 5,3808 1 32179 1,6997 1,2707 2 33020 1,7374 1,2989 Rata-rata 1,3181 1,3181 ± 0,04 0,04 3,11 5,0991 5,2121 Std. Dev 0,16 RSD 3,11 5,2893 5,2893 ± 0,16 * Komponen luteolin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya, pucuk mete, pakis dan antanan beurit tidak terdeteksi. 149 Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Bunga turi 2 1 2 1 2 96539 91945 91887 93602 1,4524 1,3935 1,3928 1,4148 Rata-rata 2,8380 2,7229 2,7215 2,7644 2,7617 0,05 RSD 1,98 2,7617 ± 0,05 1 Kucai 2 1 2 1 2 85503 89426 89448 89218 1,3109 1,3612 1,3615 1,3585 Rata-rata 4,3391 4,5056 4,5065 4,4968 4,4620 Takokak 2 1 2 1 2 30279 31415 29949 31494 0,6028 0,6173 0,5985 0,6183 Rata-rata 0,6510 0,6667 0,6464 0,6678 0,6580 0,08 1,84 Daun Kelor 2 1 2 1 2 2913982 2952397 3054273 3009866 37,5804 38,0730 39,3794 38,8100 Rata-rata 93,6504 94,8780 98,1334 96,7144 95,8441 0,01 1,65 Pucuk mengkudu 2 1 2 1 2 1028803 1038923 1189005 1126298 13,4068 13,5366 15,4611 14,6570 Rata-rata 22,2419 22,4572 25,6499 24,3160 23,6663 23,6663 ± 1,62 1,98 26,2181 27,2242 27,2299 27,1709 26,9608 0,50 1,84 6,0277 6,1734 5,9854 6,1835 6,0925 0,10 1,65 6,0925 ± 0,10 1,98 2,06 95,8441 ± 1,98 1 0,56 26,9608 ± 0,50 0.6580 ± 0.01 1 29,0484 27,8702 27,8554 28,2952 28,2673 RSD 28,2673 ± 0,56 4,4620 ± 0,08 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 375,8043 380,7303 393,7938 388,0995 384,6070 7,94 2,06 384,6070 ± 7,94 1,62 6,83 134,0682 135,3659 154,6109 146,5700 142,6537 9,75 6,83 142,6537 ± 9,75 150 Lanjutan Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 1903456 24,6225 27,8234 1 2 1921371 24,8522 28,0830 Lembayung 0,75 1 1807589 23,3932 26,4343 2,75 2 2 1849541 23,9311 27,0422 Rata-rata 27,3457 27,3457 ± 0,75 1 Terubuk 2 1 2 1 2 11826 12759 12438 13540 0,3661 0,3781 0,3740 0,3881 Rata-rata 0,4251 0,4390 0,4342 0,4506 0,4372 Mangkokan Putih 2 1 2 1 2 630717 641876 642576 633334 8,3022 8,4453 8,4542 8,3357 Rata-rata 12,5446 12,7608 12,7744 12,5953 12,6688 0,01 2,43 Daun Labu siam 2 1 2 1 2 585535 589659 576609 574624 7,7228 7,7757 7,6083 7,5829 Rata-rata 13,9011 13,9962 13,6950 13,6492 13,8104 0,12 0,92 Bunga pepaya 2 1 2 1 2 1262712 1248098 1265195 1258168 15,9960 15,8133 16,0270 15,9392 Rata-rata 18,9073 18,6913 18,9440 18,8401 18,8457 18,8457 ± 0,11 3,6615 3,7811 3,7399 3,8813 3,7659 0,09 2,43 83,0217 84,4527 84,5424 83,3573 83,8435 0,77 0,92 83,8435 ± 0,77 0,17 1,20 13,8104 ± 0,17 1 2,75 3,7659 ± 0,09 12,6688 ± 0,12 1 RSD 241,9975 ± 6,65 0,4372 ± 0.01 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 246,2248 248,5220 6,65 233,9318 239,3113 241,9975 77,2281 77,7569 76,0835 75,8289 76,7243 0,92 1,20 76,7243 ± 0,92 0,11 0,59 159,9600 158,1329 160,2704 159,3919 159,4388 0,94 0,59 159,4388 ± 0,94 151 Lanjutan Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 Pucuk mete 2 1 4603832 57,7678 126,3960 577,6783 2 4497406 56,4373 123,4847 564,3726 1 4578213 57,4475 125,6952 2 4588389 57,5748 125,9736 Rata-rata 125,3874 1,30 1,04 Pakis 2 1 499820 6,6237 7,4649 2 498688 6,6092 7,4485 1 496895 6,5862 7,4226 2 490587 6,5053 7,3315 Rata-rata 7,4169 Antanan beurit 2 1 1910730 24,7158 37,1478 2 1974469 25,5331 38,3762 1 1896527 24,5336 36,8740 2 1935521 25,0336 37,6256 Rata-rata 37,5059 37,5059 ± 0,66 5,94 575,7476 RSD 1,04 573,0685 ± 5,94 66,2368 66,0917 0,06 0,80 65,8618 0,53 65,0529 0,80 65,8108 7,4169 ± 0.06 1 574,4753 Std. Dev 573,0685 125,3874 ± 1,30 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) 65,8108 ± 0,53 247,1575 255,3308 0,66 1,75 245,3363 250,3365 4,38 1,75 249,5403 249,5403 ± 4,38 152 Lampiran 20. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Lembayung 2 1 300026 5,6802 12,8372 2 306339 5,7854 13,0749 1 295000 5,5964 12,6479 2 313251 5,9006 13,3353 Rata-rata 12,9738 Dry Basis RSD Mangkokan Putih 2 1 104661 2,2386 6,7650 2 100544 2,1789 6,5847 1 118121 2,4336 7,3544 2 105045 2,2441 6,7818 Rata-rata 6,8715 Bunga pepaya 2 1 310564 5,1479 12,1695 2 292292 4,8869 11,5525 1 304585 5,0625 11,9676 2 309057 5,1263 12,1187 Rata-rata 11,9521 11,9521 ± 0,28 RSD 115,7074 0,30 2,29 111,9280 2,63 118,0112 2,29 114,8124 114,8124 ± 2,63 44,7715 43,5783 0,33 4,86 48,6727 2,21 44,8828 4,86 45,4763 6,8715 ± 0,33 1 Std. Dev 113,6032 12,9738 ± 0,30 1 [ ] (mg /100 g sampel) 45,4763 ± 2,21 102,9572 97,7370 0,28 2,34 101,2491 102,5267 2,37 2,34 101,1175 101,1175 ± 2,37 * Komponen apigenin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, terubuk, daun labu siam, pucuk mete, pakis dan antanan beurit tidak terdeteksi. 153 Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Bunga turi 2 1 2 1 2 1759212 1773263 1702807 1733254 9,5409 9,6136 9,2491 9,4066 Rata-rata 18,6429 18,7849 18,0727 18,3805 18,4703 0,31 RSD 1,70 18,4703 ± 0,31 1 Kucai 2 1 2 1 2 435461 421594 443125 422643 2,3313 2,2692 2,3657 2,2739 Rata-rata 7,7167 7,5112 7,8303 7,5267 7,6462 Daun Kelor 2 1 2 1 2 685165 684892 707448 707610 4,1125 4,1110 4,2315 4,2323 Rata-rata 20,4967 20,4894 21,0896 21,0939 20,7924 0,15 2,02 Pucuk mengkudu 2 1 2 1 2 590102 609362 503287 581778 3,0238 3,1101 2,6351 2,9866 Rata-rata 10,0331 10,3192 8,7432 9,9094 9,7512 0,35 1,66 Lembayung 2 1 2 1 2 290637 296027 304672 319485 1,4272 1,4476 1,4805 1,5367 Rata-rata 3,2254 3,2717 3,3459 3,4730 3,3290 3,3290 ± 0,11 1,70 46,6268 45,3848 47,3132 45,4788 46,2009 0,93 2,02 82,2499 82,2208 84,6292 84,6465 83,4366 1,39 1,66 83,4366 ± 1,39 0,69 7,11 9,7512 ± 0,69 1 3,21 46,2009 ± 0,93 20,7924 ± 0,35 1 190,8176 192,2714 184,9820 188,1320 189,0508 RSD 189,0508 ± 3,21 7,6462 ± 0,15 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 60,4766 62,2015 52,7013 59,7310 58,7776 4,18 7,11 58,7776 ± 4,18 0,11 3,25 28,5435 28,9529 29,6095 30,7346 29,4601 0,96 3,25 29,4601 ± 0,96 154 Lanjutan Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 763462 4,1740 12,6137 1 2 781704 4,2637 12,8849 Mangkokan Putih 0,26 1 794064 4,3245 13,0686 2,00 2 2 803796 4,3723 13,2132 Rata-rata 12,9451 12,9451 ± 0,26 1 Daun Labu siam 2 1 2 1 2 470398 470989 460914 453815 2,7325 2,7354 2,6859 2,6510 Rata-rata 9,8371 9,8475 9,6691 9,5434 9,7243 Bunga pepaya 2 1 2 1 2 446517 400984 435318 443934 2,3808 2,1769 2,3307 2,3693 Rata-rata 5,6283 5,1463 5,5098 5,6010 5,4713 0,15 1,50 Pucuk mete 2 1 2 1 2 399926 400565 393289 397138 2,2740 2,2770 2,2429 2,2610 Rata-rata 9,9512 9,9643 9,8151 9,8940 9,9062 0,22 4,07 Pakis 2 1 2 1 2 160879 161560 158956 159512 0,9344 0,9370 0,9271 0,9292 Rata-rata 2,1061 2,1119 2,0896 2,0944 2,1005 2,1005 ± 0,01 54,6503 54,7084 53,7173 53,0190 54,0238 0,81 1,50 47,6170 43,5390 46,6140 47,3856 46,2889 1,88 4,07 46,2889 ± 1,88 0,07 0,69 9,9062 ± 0,07 1 2,00 54,0238 ± 0,81 5,4713 ± 0,22 1 RSD 85,6724 ± 1,71 9,7243 ± 0,15 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 83,4793 85,2738 1,71 86,4896 87,4470 85,6724 45,4809 45,5408 44,8586 45,2195 45,2749 0,31 0,69 45,2749 ± 0,31 0,01 0,49 18,6876 18,7394 18,5416 18,5838 18,6381 0,09 0,49 18,6381 ± 0,09 155 Lanjutan Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 Antanan beurit 2 1 735443 3,6747 11,0461 2 713547 3,5766 10,7513 1 709835 3,5600 10,7014 2 724051 3,6237 10,8927 Rata-rata 10,8479 10,8479 ± 0,16 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 73,4934 71,5324 0,16 1,43 71,1999 72,4731 1,03 1,43 72,1747 72,1747 ± 1,03 * Komponen kaempferol pada sampel takokak dan terubuk, tidak terdeteksi. 156 Lampiran 22. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran indigenousdengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 62409 0,6824 2,2586 1 2 64540 0,7057 2,3357 Kucai 0,03 1,42 1 63764 0,6972 2,3077 2 2 63186 0,6909 2,2867 Rata-rata 2,2972 2,2972 ± 0.03 1 Takokak 2 1 2 1 2 109381 109522 109498 99615 1,2281 1,2297 1,2295 1,1185 Rata-rata 2,6528 2,6562 2,6556 2,4159 2,5951 Daun Labu siam 2 1 2 1 2 512983 518280 528290 522376 6,6559 6,7247 6,8545 6,7778 Rata-rata 11,9807 12,1044 12,3382 12,2001 12,1558 0,12 4,60 Pucuk mete 2 1 2 1 2 256134 252820 241014 247363 3,5439 3,4980 3,3347 3,4225 Rata-rata 7,7540 7,6537 7,2962 7,4885 7,5481 0,15 1,24 Antanan beurit 2 1 2 1 2 50593 51441 51897 52335 0,9118 0,9271 0,9353 0,9432 Rata-rata 1,3704 1,3934 1,4057 1,4176 1,3968 1,3968 ± 0.02 24,5629 24,5946 24,5892 22,3698 24,0291 1,11 4,60 66,5594 67,2467 68,5455 67,7781 67,5324 0,84 1,24 0,92 2,66 0,13 1,44 67,5324 ± 0.84 0,20 2,66 7,5481 ± 0,20 1 1,42 24,0291 ± 1,11 12,1558 ± 0.15 1 RSD 13,8803 ± 0.20 2,5951 ± 0.12 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 13,6473 14,1133 0,20 13,9436 13,8172 13,8803 35,4387 34,9801 33,3467 34,2251 34,4976 34,4976 ± 0,92 0,02 1,44 9,1177 9,2706 9,3528 9,4317 9,2932 9,2932 ± 0.13 *Komponen myricetin pada sampel bunga turi, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya dan pakis tidak terdeteksi. 157 Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenousdengan menggunakan eksternal standar campuran Sampel Ulangan 1 Daun Kelor 2 Wet Basis Dry Basis Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) 1 34903 28,7412 1,4325 2 34276 28,2249 1,4067 1 32179 26,4981 1,3207 2 33020 27,1906 1,3552 5,4381 Rata-rata 1,3788 5,5327 [ ] (mg /100 g sampel) 1,3788 ± 0,05 Std. Dev RSD [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 0,20 3,65 5,7482 0,05 3,65 5,6450 5,2996 5,5327 ± 0,20 * Komponen luteolin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya, pucuk mete, pakis dan antanan beurit tidak terdeteksi. 158 Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Bunga turi 2 1 2 1 2 96539 91945 91887 93602 1,3240 1,2610 1,2602 1,2837 Rata-rata 2,5871 2,4640 2,4624 2,5084 2,5055 0,06 RSD 2,33 2,5055 ± 0,06 1 Kucai 2 1 2 1 2 85503 89426 89448 89218 1,1727 1,2265 1,2268 1,2236 Rata-rata 3,8815 4,0596 4,0606 4,0501 4,0129 Takokak 2 1 2 1 2 30279 31415 29949 31494 0,3288 0,3411 0,3252 0,3420 Rata-rata 0,7101 0,7368 0,7024 0,7386 0,7220 0,09 2,19 Daun Kelor 2 1 2 1 2 2913982 2952397 3054273 3009866 39,9646 40,4914 41,8886 41,2796 Rata-rata 99,5917 100,9046 104,3864 102,8687 101,9379 0,02 2,55 Pucuk mengkudu 2 1 2 1 2 1028803 1038923 1189005 1126298 14,1098 14,2486 16,3069 15,4469 Rata-rata 23,4081 23,6384 27,0532 25,6264 24,9315 24,9315 ± 1,73 2,33 23,4531 24,5291 24,5352 24,4721 24,2474 0,53 2,19 6,5753 6,8220 6,5037 6,8392 6,6850 0,17 2,55 8,49 2,08 10,43 6,94 6,6850 ± 0,17 2,12 2,08 101,9379 ± 2,12 1 0,60 24,2474 ± 0,53 0,7220 ± 0,02 1 26,4802 25,2201 25,2042 25,6746 25,6447 RSD 25,6447 ± 0,60 4,0129 ± 0,09 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 399,6456 404,9141 418,8862 412,7959 409,0605 409,0605 ± 8,49 1,73 6,94 141,0979 142,4858 163,0692 154,4691 150,2805 150,2805 ± 10,43 159 Lanjutan Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 1903456 26,1054 29,4991 1 2 1921371 26,3511 29,7768 Lembayung 0,80 2,77 1 1807589 24,7906 28,0134 2 2 1849541 25,3660 28,6636 Rata-rata 28,9882 28,9882 ± 0,80 1 Terubuk 2 1 2 1 2 11826 12759 12438 13540 0,2201 0,2375 0,2315 0,2520 Rata-rata 0,5111 0,5514 0,5375 0,5852 0,5463 Mangkokan 2 1 2 1 2 630717 641876 642576 633334 8,6501 8,8032 8,8128 8,6860 Rata-rata 13,0703 13,3016 13,3161 13,1246 13,2032 0,03 5,65 Daun Labu siam 2 1 2 1 2 585535 589659 576609 574624 8,0305 8,0870 7,9081 7,8808 Rata-rata 14,4548 14,5567 14,2345 14,1855 14,3579 0,12 0,94 Bunga pepaya 2 1 2 1 2 1262712 1248098 1265195 1258168 17,3178 17,1174 17,3518 17,2555 Rata-rata 20,4696 20,2327 20,5099 20,3960 20,4021 20,4021 ± 0,12 4,4021 4,7493 4,6299 5,0401 4,7053 0,27 5,65 86,5013 88,0317 88,1278 86,8602 87,3803 0,82 0,94 0,98 1,23 1,04 0,60 87,3803 ± 0,82 0,18 1,23 14,3579 ± 0,18 1 2,77 4,7053 ± 0,27 13,2032 ± 0,12 1 RSD 256,5331 ± 7,71 0,5463 ± 0,03 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 261,0544 263,5114 7,11 247,9065 253,6601 256,5331 80,3047 80,8703 79,0805 78,8083 79,7660 79,7660 ± 0,98 0,12 0,60 173,1779 171,1736 173,5184 172,5547 172,6062 172,6062 ± 1,04 160 Lanjutan Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 Pucuk mete 2 1 4603832 58,8801 128,8297 2 4497406 57,5190 125,8516 1 4578213 58,5525 128,1128 2 4588389 Pakis 2 1,33 1,04 Antanan beurit 2 575,1899 585,5246 58,6826 128,3975 586,8261 Rata-rata 127,7979 584,0855 1 499820 6,8549 7,7255 2 498688 6,8394 7,7080 1 496895 6,8148 7,6803 2 490587 6,7283 7,5828 67,2828 Rata-rata 7,6741 68,0934 6,08 1,04 0,57 0,83 4,68 1,77 68,5491 0,06 0,83 68,3939 68,1480 68,0934 ± 0,57 1 1910730 26,2052 39,3864 2 1974469 27,0794 40,7003 1 1896527 26,0104 39,0936 2 1935521 26,5452 39,8974 265,4520 Rata-rata 39,7694 264,6005 39,7694 ± 0,70 RSD 584,0855 ± 6,08 7,6741 ± 0,06 1 Std. Dev 588,8012 127,7979 ± 1,33 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) 262,0520 0,70 1,77 270,7937 260,1041 264,6005 ± 4,68 161 Lampiran 25. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Lembayung 2 1 300026 5,7327 12,9559 2 306339 5,8533 13,2285 1 295000 5,6367 12,7389 2 303251 5,7943 13,0952 Rata-rata 13,0046 Dry Basis RSD Mangkokan 2 1 104661 2,1476 6,4900 2 100544 2,0631 6,2347 1 108121 2,2186 6,7045 2 105045 2,1555 6,5138 Rata-rata 6,4858 Bunga pepaya 2 1 310564 5,2162 12,3310 2 302292 5,0772 12,0026 1 304585 5,1158 12,0936 2 309057 5,1909 12,2712 Rata-rata 12,1746 12,1746 ± 0,15 RSD 117,0668 0,21 1,61 112,7336 1,85 115,8867 1,61 115,0853 115,0853 ± 1,85 42,9516 41,2621 0,19 2,98 44,3716 1,28 43,1092 2,98 42,9236 6,4858 ± 0,19 1 Std. Dev 114,6543 13,0046 ± 0,21 1 [ ] (mg /100 g sampel) 42,9236 ± 1,28 104,3235 101,5448 0,15 1,25 102,3150 103,8173 1,29 1,25 103,0001 103,0001 ± 1,29 * Komponen apigenin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, terubuk, daun labu siam, pucuk mete, pakis dan antanan beurit tidak terdeteksi. 162 Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 1 Bunga turi 2 1 2 1 2 1759212 1773263 1702807 1733254 9,5592 9,6356 9,2527 9,4182 Rata-rata 18,6787 18,8279 18,0798 18,4031 18,4974 0,33 RSD 1,78 18,4974 ± 0,33 1 Kucai 2 1 2 1 2 435461 421594 443125 422643 2,3975 2,3211 2,4396 2,3269 Rata-rata 7,9356 7,6829 8,0752 7,7020 7,8489 Daun Kelor 2 1 2 1 2 685165 684892 707448 707610 4,1563 4,1547 4,2915 4,2925 Rata-rata 20,7152 20,7069 21,3889 21,3938 21,0512 0,19 2,42 Pucuk mengkudu 2 1 2 1 2 590102 609362 503287 581778 2,9740 3,0710 2,5365 2,9320 Rata-rata 9,8677 10,1897 8,4160 9,7285 9,5505 0,39 1,87 Lembayung 2 1 2 1 2 290637 296027 304672 319485 1,4647 1,4919 1,5355 1,6101 Rata-rata 3,3103 3,3717 3,4702 3,6389 3,4478 3,4478 ± 0.14 1,78 47,9490 46,4221 48,7929 46,5376 47,4254 1,15 2,42 83,1267 83,0935 85,8301 85,8498 84,4750 1,58 1,87 84,4750 ± 1,58 0,78 8,17 9,5505 ± 0,78 1 3,37 47,4254 ± 1,15 21,0512 ± 0,39 1 191,1843 192,7113 185,0544 188,3633 189,3283 RSD 189,3283 ± 3,37 7,8489 ± 0,19 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 59,4796 61,4209 50,7291 58,6406 57,5676 4,71 8,17 57,5676 ± 4,71 0,14 4,16 29,2949 29,8382 30,7096 32,2026 30,5113 1,27 4,16 30,5113 ± 1,27 163 Lanjutan Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 763462 4,1485 12,5368 1 2 781704 4,2476 12,8363 Mangkokan 0,29 1 794064 4,3148 13,0393 2,21 2 2 803796 4,3677 13,1991 Rata-rata 12,9029 12,9029 ± 0,29 1 Daun Labu siam 2 1 2 1 2 470398 470989 460914 453815 2,8535 2,8571 2,7960 2,7529 Rata-rata 10,2727 10,2856 10,0656 9,9105 10,1336 Bunga pepaya 2 1 2 1 2 446517 400984 435318 443934 2,3647 2,1235 2,3054 2,3510 Rata-rata 5,5901 5,0200 5,4499 5,5577 5,4044 0,18 1,77 Pucuk mete 2 1 2 1 2 399926 400565 393289 397138 2,3574 2,3612 2,3183 2,3410 Rata-rata 10,3161 10,3326 10,1449 10,2442 10,2595 0,26 4,87 Pakis 2 1 2 1 2 160879 161560 158956 159512 0,9759 0,9801 0,9643 0,9676 Rata-rata 2,1997 2,2090 2,1734 2,1810 2,1908 2,1908. ± 0,02 57,0704 57,1421 55,9197 55,0585 56,2977 1,00 1,77 47,2932 42,4705 46,1071 47,0196 45,7226 2,23 4,87 45,7226 ± 2,23 0,09 0,83 10,2595 ± 0,09 1 2,21 56,2977 ± 1,00 5,4044 ± 0,26 1 RSD 85,3930 ± 1,89 10,1336 ± 0,18 1 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev 82,9701 84,9525 1,89 86,2958 87,3534 85,3930 47,1487 47,2240 46,3662 46,8200 46,8897 0,39 0,83 46,8897 ± 0,39 0,02 0,75 19,5184 19,6010 19,2851 19,3526 19,4393 0,15 0,75 19,4393 ± 0,15 164 Lanjutan Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran Wet Basis Sampel Ulangan Duplo Luas Area [ ] ( g/ml) [ ] (mg /100 g sampel) Std. Dev RSD 1 Antanan beurit 2 Dry Basis [ ] (mg /100 g sampel) 1 735443 3,6622 11,0086 73,2441 2 713547 3,5532 10,6808 71,0635 1 709835 3,5347 10,6253 2 724051 3,6055 10,8381 Rata-rata 10,7882 10,7882 ± 0,17 0,17 1,60 70,6938 72,1096 Std. Dev 1,15 RSD 1,60 71,7777 71,7777 ± 1,15 * Komponen kaempferol pada sampel takokak dan terubuk, tidak terdeteksi. 165