SKRIPSI IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID

advertisement
SKRIPSI
IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID PADA SAYURAN
INDIGENOUS JAWA BARAT
Oleh :
HARDIANZAH RAHMAT
F24104043
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID PADA SAYURAN
INDIGENOUS JAWA BARAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
HARDIANZAH RAHMAT
F24104043
Dilahirkan pada tanggal, 13 Januari 1987
di Tadang Palie
Tanggal Lulus :
Menyetujui
Bogor,
Februari 2009
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi.
Pembimbing Akademik
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Hardianzah Rahmat. F24104043. Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran
Indigenous Jawa Barat. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan
RINGKASAN
Indonesia memiliki tanaman lokal yang sangat berlimpah. Tanaman lokal di
Indonesia banyak yang belum terjamah dan termanfaatkan untuk dikonsumsi
sebagai bahan pangan yang kaya akan zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh dan
kesehatan. Jenis sayuran lokal tersebutlah yang dikenal dengan nama sayuran
indigenous. Salah satu daerah di Indonesia yang merupakan penghasil sayuran
indigenous yang cukup berperan adalah daerah Jawa Barat. Komponen fenolik
dalam bahan pangan memiliki peran yang sangat baik salah satunya adalah sebagai
antioksidan. Sayur-sayuran banyak mengandung senyawa fenolik yang berupa
flavonoid. Penelitian-penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa flavonoid
dapat berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, dan antikarsinogenik. Oleh
karena itu, pemanfaatan sayuran indigenous sebagai sumber flavonoid akan dapat
meningkatkan nilai tambah tanaman-tanaman tersebut. Sejarah membuktikan
bahwa leluhur kita sudah banyak memanfaatkan sayuran indigenous karena sudah
mengenal rasa dan manfaatnya berdasarkan pengetahuan secara turun temurun.
Perkembangan budaya dan teknologi menyebabkan perkembangan sayuran
indegenous menjadi terdesak, maka potensi sayuran ini harus digali dan dikaji
kembali untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik dalam meningkatkan nutrisi
bagi yang mengkonsumsinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengetahui kandungan
komponen-komponen flavonoid yang berupa flavonol dan flavone pada beberapa
sayuran indigenous daerah Jawa Barat. Pada penelitian ini jenis sayuran yang akan
digunakan adalah sayuran-sayuran lokal yang banyak dan sering dikonsumsi oleh
masyarakat Jawa Barat. Sayuran tersebut adalah daun kelor (Moringa
pterygosperma Gaertn.), takokak (Solanum torvum.Swartz) antanan beurit
(Hydrocotyle sibthorpioides Lmk), bunga pepaya (Carica papaya.L), daun jambu
mete (Anacardium occidentale. L), pucuk mengkudu (Morinda citrifolia.L), daun
labu siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), daun kacang panjang/lembayung (Vigna
unguiculata (L.) Walp), daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching), kucai
(Allium schoenoprasum L.), daun mangkokan putih (Nothopanax scutellarium
(Burm.f.) Fosb.), bunga turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), dan terubuk
(Saccharum edule.Hassk). Pembuatan ekstrak flavonoid dari sayuran dilakukan
dengan menggunakan campuran pelarut air dan methanol. Selain itu, dilakukan
pula pembuatan kurva standar flavonoid yang digunakan sebagai acuan dalam
penentuan komponen tersebut pada sampel. Standar yang digunakan adalah
quercetin, kaempferol, myricetin, apigenin, dan luteolin. Analisis yang dilakukan
yaitu analisis kadar air, analisis total fenol, dan deteksi flavonoid dengan
menggunakan HPLC column C-18; Develosil ODS-UG-3.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data kadar air sayuran indigenous
berkisar antara 75%-90%. Total fenol (per 100gram berat kering) terbesar terdapat
pada pucuk mete (2809.5 mg) dan terkecil pada terubuk (204.4). Sayuran
indigenous memberikan komposisi senyawa flavonol dan flavone yang bervariasi.
Namun, semua sampel mengandung senyawa quarcetin. Kandungan quarcetin
terbanyak ada pada pucuk mete (573.07 mg) dan yang paling sedikit mengandung
quarcetin adalah terubuk yaitu 3.77 mg. Senyawa myricetin hanya ditemukan pada
sayuran kucai (16.23 mg), takokak (21.29 mg), daun labu siam (69.39 mg), pucuk
mete (37.85 mg), dan antanan beurit (10.46 mg). Senyawa luteolin hanya
ditemukan pada sayuran daun kelor dan jumlahnya pun sangat sedikit, sedangkan
apigenin hanya ditemukan pada daun kacang panjang (114.81mg), daun
mangkokan putih (45.47 mg), dan bunga papaya (101.11 mg). senyawa kaempferol
ditemukan hampir di semua sampel sayuran kecuali takokak dan terubuk.
Kaempferol terbesar ditemukan pada bunga turi (189.05 mg) dan terendah pada
daun pakis (18.63 mg). Total flavonol dan flavone terbesar terdapat pada pucuk
daun mete (656.20 mg) dan total fenol tertinggi juga pada pucuk daun mete
(2809.53 mg). Nilai-nilai tersebut dihitung berdasarkan 100 gram berat kering.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Tadang Palie pada tanggal 13 Januari
1987 dan memiliki nama lengkap Hardianzah Rahmat. Penulis
merupakan anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan
Bapak Rahimi dan Ibu Rahmatang. Penulis menempuh
pendidikannya di TK Lamellong Kajaolaliddong, SDN 209
Wollangi, Madrasah Tsanawiyah Pesantren Ma’had Hadits
Biru Bone, dan SMUN 2 Watampone. Melalui jalur masuk USMI, penulis
melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana pada Program Studi Ilmu dan Teknologi
Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Selama melakukan studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan dan Organisasi. Penulis pernah menjadi
pengurus Himitepa (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) divisi
profesi dan internal periode 2005-2006. Selain itu penulis aktif pada beberapa
kegiatan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan
(HIMITEPA) IPB seperti Halal Expo HIMITEPA-FBI, BAUR 2006, FGD
Formalin “necessary unnecessity”. Penulis juga pernah aktif dalam seni teater
kampus dan terakhir penulis menjadi presenter dalam National Student Conference
(NSC) 2008 yang diadakan oleh Universitas Soegijapranata, Semarang.
Penulis menyelesaikan tugas akhirnya untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dengan
melakukan penelitian yang berjudul “Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran
Indigenous Jawa Barat” dengan dosen pembimbing Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi.
Penelitian ini bertempat di laboratorium ITP dan laboratorium Seafast Center, IPB.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang
telah memberikan berkat, anugerah dan karunia yang melimpah, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama mengerjakan tugas akhir ini, walaupun
banyak kesulitan yang penulis harus hadapi, namun berkat bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak, akhirnya tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk
itu
penulis
tidak
lupa
mengucapkan
terima
kasih
dan
penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, Msi. Selaku dosen pembimbing akademik dan
sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan
memberikan dukungan, bimbingan, saran serta arahan selama penelitian dan
penulisan skripsi ini.
2. Ir. Elvira Syamsir, MSi selaku dosen penguji. Terima kasih telah meluangkan
waktunya dan memberikan masukan berupa saran dan pemikiran yang sangat
berharga untuk menyempurnakan skripsi ini.
3. Dr.Endang Prangdimurti, MSi selaku dosen penguji. Terima kasih telah
meluangkan waktunya dan memberikan masukan berupa saran dan pemikiran
yang sangat berharga untuk menyempurnakan skripsi ini.
4. My family : Mama, Papa, Emmy, Tato, Nana, Iin. Terima kasih atas segala doa,
semangat dan dukungannya. Cinta dan kasih sayang kalian telah memberikan
aku kekuatan yang mampu mengalahkan segala kekuatan.
5. Amure-mareku yang selalu support aku. Puang : Tahir, Sultan, Danti, Ajju,
Marwah, Lemang, Sitti, Wahidah, Hj.Saje, Hj.Mase, dan semua keluarga
besarku. Terima kasih atas dukungannya.
6. My women in top : Iin Novianti, Githa, Maya, Puteri, Isabel, Melati, Nisa
Holland, Rika, Andien, Kiky, Rini, Ade, Vina, dan Dewi Meitasari. Terima
kasih sudah pernah menghiasi hari-hariku indahku..
7. Teman satu bimbinganku T. Aprilia Dewanti dan Astrida Renata, teman senasib
dan sepananggungan.
8. Ucok in the Gank Crew : Edy Pepes Presto, Auu Tongseng, Riska Paha, Chabib
Lele, Sisi Bawal. Terima kasih atas kebersamaannya dan doa-doanya selama ini
(meskipun terkadang saling mendoakan dalam keburukan. Hehe.. tapi salut atas
semuanya). Remember Especto patronum.
9. Rekan-rekan penelitian di Southeast Asia Food and Agricultural Science and
Technology Center (SEAFAST Center) IPB : Sofiyan, Netha, Sukma, Mas Rai,
Mba Reno, Mas Ayusta, Mba Puspa, Mas Aziz, Mba Anggi atas bantuan,
kebersamaan, canda tawa, dan dukungan selama penelitian.
10. 41 Futsal Team : Anto (strong defender) yang mahal senyum saat mencetak gol,
Aris (goalkeeper paling brani yang pernah ada di squad), Iqbal (winger
creative), Dody (1 to 2 yang brillian), Boing (striker yang harus gantung sandal
karena sakit tapi da sembuh lagi dengan sentuhan magisnya), Dikin dengan
hadangan tanpa ampunnya, Rhais yang mengaku dirinya titisan Zidane dan
reserves (Nanang, Mpus, Bima). Terima kasih buat semua kekompakan dan
kerja kerasnya sudah mampu mempertahankan gelar juara 2 tahun
berturut-turut sekaligus mendeklarasikan diri sebagai team futsal terbaik ITP
yang pernah ada.
11. PS Mania : Bima, Rhais, Dody, Mpus, Anto. Terima kasih buat kebersamaanya,
canda tawa, kutukan, dan celotehannya menuju tahta juara. GLORY MU.
12. Karaoke Mania : Ririn sang mami, Lia, tante Au, Sisy, Chabib, Edy, dan
pendatang baru Sekar. Terima kasih buat suara sumbangnya yang cempreng
dan serak-serak buecek gitu.
13. Aa’ dan Teteh Al Farabi. Terima kasih sudah mau menampung aku di saat aku
tersesat mencari kosan. Ya meskipun harus berhadapan dengan kuburan dan
teror hantu yang selalu menggila tiap malam bulan purnama.
14. BOLYPAD crew : Abang Bob, Ance, Wardi, Andre Bayor, dan Dayat. Terima
kasih untuk kebersamaannya dalam suka dukanya sebagai anak kost-kostan.
15. Kost-kosan Pondok Lestari yang dihuni aroma setan-setan gentayangan : Om
Faisal, Ance Trio Marta, Andre Bayor, Dayat dan Pepen. Terima kasih untuk
semua kekompakan dan teriakannya yang diadopsi dari suara-suara aneh yang
tidak jelas.
16. Staf laboratorium SEAFAST Center IPB : Pak Soenar, Mba Ria dan Mas Arief,
Mansyah, Pak Sukarna (Abah), Sofah, Mba Ari, Mba Ria dan Mba Deni, Mba
Nia, Mas Wawan, Mba Ira, Mba Hanna, Gugun, dan semuanya. Terima kasih
atas bantuan, kerjasama, dan, kebersamaan selama penelitian.
17. Staf SEAFAST Center IPB : Bu Tri Susilo, Pak Zul, Mba Virna, Bu Elly, Pak
Nana, Pak Udin, Bi Ana, Bi Entin, dan seluruh keluarga SEAFAST Center IPB.
18. Pak Aang, Pak Ahi, dan seluruh pihak Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (BALITRO), Cimanggu. Terima kasih atas kerjasamanya.
19. Nia dan Mega Horti. Terima kasih atas sumbangan terubuknya.
20. Mba Lia dan pihak Puslit Biologi - LIPI, Cibinong. Terima kasih atas
kerjasamanya.
21. Teman-teman ITP 41: Arief Otot, Tuko, Tomi (terima kasih buat rumus-rumus
ajaibnya). Arum, Titin, Risma ( teman praktikum permanen slalu aja mereka,
bosen d..hehehe). Jendi (sang konsultan virus), Faried, Rina, Sinta, Sabina,
Citra Devi, Indra, Rani, Novi, Amel, Andry Bawang Bacem, Jamal Zamrud,
Ary, Lulail, Hajrah, Sucen, Tikainchan, Dhya Jember dan semua ITP 41 yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
Akhir kata, hanya kepada Tuhan jualah segalanya dikembalikan, semoga Tuhan
Yang Maha Esa senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semua
pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Penulis pun
menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, disebabkan karena
berbagai keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk menjadi perbaikan di masa yang akan
datang.
Bogor,
Januari 2009
Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix
I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................................. 1
B. TUJUAN ................................................................................................. 6
C. MAMFAAT ............................................................................................ 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7
A. SAYURAN INDIGENOUS ..................................................................... 7
B. FLAVONOID .......................................................................................43
C. IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID .........................................46
III. BAHAN DAN METODE ............................................................................50
A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................50
1. Bahan ................................................................................................50
2. Alat ...................................................................................................50
B. METODE PENELITIAN .......................................................................51
1. Persiapan Sampel ..............................................................................51
C. METODE ANALISIS ............................................................................52
1. Analisis Kadar Air ............................................................................52
2. Analisis Total Fenol ..........................................................................53
3. Analisis dan Identifikasi Flavonoid ....................................................53
a. Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Sayuran Indigenous..................53
b. Analisis Flavonoid dengan HPLC ..................................................54
4. Analisis Data .....................................................................................56
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................61
A. IDENTIFIKASI/DETERMINASI TUMBUHAN ...................................61
B. STANDAR FLAVONOID DAN LIMIT DETEKSI ..............................61
1. Standar Flavonoid Bentuk Tunggal ....................................................61
a. Myricetin ......................................................................................62
b. Luteolin ........................................................................................62
c. Quercetin ......................................................................................63
d. Apigenin ......................................................................................64
e. Kaempferol ..................................................................................64
2. Standar Campuran Senyawa Flavonoid .............................................66
C. TOTAL FENOL ....................................................................................70
D. ANALISIS FLAVONOID PADA SAYURAN INDEGENOUS .............71
1.
Bunga Turi ......................................................................................76
2.
Kucai ...............................................................................................78
3.
Takokak...........................................................................................79
4. Daun Kelor ......................................................................................81
5.
Pucuk Mengkudu ............................................................................86
6.
Lembayung/daun kacang panjang ...................................................88
7.
Terubuk ...........................................................................................91
8.
Mangkokan Putih.............................................................................93
9.
Daun Labu Siam ........................................................................... 96
10. Bunga Pepaya ............................................................................... 97
11. Pucuk Mete................................................................................... 101
12. Pakis ............................................................................................. 104
13. Antanan Beurit ............................................................................. 106
E. REKAPITULASI HASIL DAN SENYAWA YANG BELUM
TERIDENTIFIKASI PADA SAYURAN INDIGENOUS.................... 109
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 118
A. KESIMPULAN .................................................................................. 118
B. SARAN .............................................................................................. 118
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 120
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi tebu terubuk per 100 gram ................................................24
Tabel 2. Penggunaan sayuran indigenous secara tradisional sebagai
tanaman obat di Indonesia ..................................................................40
Tabel 3. Spesifikasi HPLC ..............................................................................51
Tabel 4. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk tunggal ..............62
Tabel 5. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk campuran ..........64
Tabel 6. Total fenol sayuran indigenous...........................................................66
Tabel 7. Hasil perhitungan konsentarsi flavonoid pada sampel
dengan menggunakan kurva standar campuran ...................................68
Tabel 8. Hasil perhitungan konsentrasi flavonoid pada sampel
dengan menggunakan eksternal standar campuran..............................70
Tabel 9. Perbandingan hasil analisis flavonol dan flavone dengan perhitungan
kurva standar campuran dan eksternal standar campuran ....................75
Tabel 10. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak bunga turi .....................78
Tabel 11. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak kucai ............................79
Tabel 12. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak takokak ........................81
Tabel 13. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak daun kelor ....................82
Tabel 14. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak pucuk mengkudu ..........88
Tabel 15. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak lembayung....................89
Tabel 16. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak terubuk .........................93
Tabel 17. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak mangkokan putih ..........94
Tabel 18. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak daun labu siam .............97
Tabel 19. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak bunga papaya ............ 101
Tabel 20. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak pucuk mete ................ 103
Tabel 21. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak pakis ......................... 106
Tabel 22. Perbandingan luas area kromatografi ekstrak antanan beurit ............ 107
Tabel 23. Kandungan flavonoid dalam sayuran indigenous segar .................... 110
Tabel 24. Kandungan flavonoid sayuran indigenous segar yang telah diteliti .. 111
Tabel 25. Rekapitulasi total fenol, total flavonoid, dan kadar air dari sayuran
indigenous ...................................................................................... 115
Tabel 26. Rekapitulasi komponen yang terdeteksi pada sampel
dengan menggunakan HPLC .......................................................... 116
Tabel 27. Kuatifikasi area komponen unknown pada waktu retensi tertentu ... 117
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Struktur kimia dari 6 kelas flavonoid ............................................... 4
Gambar 2.
Pohon turi......................................................................................10
Gambar 3.
Bunga turi .....................................................................................10
Gambar 4.
Kucai ............................................................................................12
Gambar 5.
Takokak ........................................................................................15
Gambar 6.
Daun kelor ....................................................................................18
Gambar 7.
Daun mengkudu ............................................................................20
Gambar 8.
Tanaman kacang panjang ..............................................................22
Gambar 9.
Terubuk .........................................................................................24
Gambar 10. Mangkokan putih...........................................................................27
Gambar 11. Daun labu siam ..............................................................................30
Gambar 12. Bunga papaya ................................................................................33
Gambar 13. Daun jambu mete ..........................................................................35
Gambar 14. Pakis .............................................................................................37
Gambar 15. Antanan beurit ...............................................................................39
Gambar 16. Struktur kimia flavonoid ................................................................43
Gambar 17. Struktur kimia Flavonol dan flavones yang diidentifikasi ...............46
Gambar 18. Persiapan sampel ...........................................................................58
Gambar 19. Prosedur analisis total fenol ...........................................................59
Gambar 20. Proses pembuatan ekstrak flavonoid dari sayuran indigenous ........60
Gambar 21 . Pembuatan larutan standar flavonoid .............................................61
Gambar 22. Kromatogram standar myricetin ....................................................62
Gambar 23. Kromatogram standar luteolin .......................................................62
Gambar 24. Kromatogram standar quercetin .....................................................63
Gambar 25. Kromatogram standar apigenin ......................................................63
Gambar 26. Kromatogram standar kaempferol ..................................................65
Gambar 27. Kromatogram standar campuran ....................................................68
Gambar 28. Kurva standar campuran myricetin ................................................69
Gambar 29. Kurva standar campuran luteolin ...................................................69
Gambar 30. Kurva standar campuran quercetin .................................................69
Gambar 31. Kurva standar campuran apigenin ..................................................69
Gambar 32. Kurva standar campuran kaempferol .............................................70
Gambar 33. Kromatogram ekstrak bunga turi ...................................................77
Gambar 34. Ko-kromatogram ekstrak bunga turi dengan standar campuran ......77
Gambar 35. Kromatogram ekstrak kucai ...........................................................83
Gambar 36. Ko-kromatogram ekstrak kucai dengan standar campuran .............83
Gambar 37. Kromatogram ekstrak takokak .......................................................84
Gambar 38. Ko-kromatogram ekstrak takokak dengan standar campuran..........84
Gambar 39. Kromatogram ekstrak daun kelor ...................................................85
Gambar 40. Ko-kromatogram ekstrak daun kelor dengan standar campuran .....85
Gambar 41. Kromatogram ekstrak pucuk mengkudu.........................................87
Gambar 42. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mengkudu dengan standar
campuran.......................................................................................87
Gambar 43. Kromatogram ekstrak lembayung ..................................................90
Gambar 44. Ko-kromatogram ekstrak lembayung dengan standar campuran .....90
Gambar 45. Kromatogram ekstrak terubuk .......................................................92
Gambar 46. Ko-kromatogram ekstrak terubuk dengan standar campuran ..........92
Gambar 47. Kromatogram ekstrak mangkokan putih ..................................... 95
Gambar 48. Ko-kromatogram ekstrak mangkokan putih
dengan standar campuran........................................................... 95
Gambar 49. Kromatogram ekstrak daun labu siam ......................................... 99
Gambar 50. Ko-kromatogram ekstrak daun labu siam dengan standar
campuran.................................................................................... 99
Gambar 51. Kromatogram ekstrak bunga pepaya ........................................... 100
Gambar 52. Ko-kromatogram ekstrak bunga pepaya dengan standar
campuran.................................................................................... 100
Gambar 53. Kromatogram ekstrak pucuk mete .............................................. 103
Gambar 54. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mete dengan standar campuran . 103
Gambar 55. Kromatogram ekstrak pakis ........................................................ 105
Gambar 56. Ko-kromatogram ekstrak pakis dengan standar campuran........... 105
Gambar 57. Kromatogram ekstrak antanan beurit .......................................... 108
Gambar 65. Ko-kromatogram ekstrak antanan beurit dengan standar
campuran.................................................................................... 108
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Kurva standar dan limit deteksi myricetin................................. 126
Lampiran 2.
Kurva standar dan limit deteksi luteolin.................................... 127
Lampiran 3.
Kurva standar dan limit deteksi quarcetin ................................. 128
Lampiran 4.
Kurva standar dan limit deteksi apigenin .................................. 129
Lampiran 5.
Kurva standar dan limit deteksi myricetin................................. 130
Lampiran 6.
Kurva standar asam galat.......................................................... 131
Lampiran 7.
Hasil uji tukey kadar air sayuran indigenous............................. 132
Lampiran 8.
Hasil uji tukey fotal fenol sayuran indigenous .......................... 133
Lampiran 9.
Hasil uji tukey senyawa myricetin pada sampel ........................ 134
Lampiran 10. Hasil uji tukey senyawa quarcetin pada sampel ........................ 135
Lampiran 11. Hasil uji tukey senyawa apigenin pada sampel ......................... 136
Lampiran 12. Hasil uji tukey senyawa kaempferol pada sampel ..................... 137
Lampiran 13. Hasil uji tukey total flavonoid pada sampel .............................. 138
Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous .................................................. 139
Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze drayer .................. 142
Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous ................................................ 145
Lampiran 17. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran
indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ...... 148
Lampiran 18. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenous
dengan menggunakan kurva standar campuran ........................ 149
Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran
indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ...... 150
Lampiran 20. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous
dengan menggunakan kurva standar campuran ........................ 153
Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran
indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran ...... 154
Lampiran 22. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran
indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran . 157
Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenous
dengan menggunakan eksternal standar campuran ................... 158
Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quercetin pada sayuran
indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran . 159
Lampiran 25. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous
dengan menggunakan eksternal standar campuran ................... 162
Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran
indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran . 163
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang memiliki tanaman lokal yang sangat
berlimpah. Tanaman lokal tersebut sampai saat ini masih banyak yang belum
terjamah dan termanfaatkan, baik untuk dikonsumsi sebagai bahan pangan
sendiri maupun sebagai zat-zat yang yang bermanfaat bagi tubuh dan
kesehatan. Selain itu saat ini di Indonesia belum tercapai keseimbangan antara
penyediaan pangan dengan jumlah yang diperlukan oleh masyarakat,
sementara pertambahan penduduk yang terus meningkat sangat memerlukan
peningkatan dalam hal penyediaan makanan.
Sayur-sayuran merupakan jenis makanan yang sangat dianjurkan dalam
menu makanan manusia. Golongan makanan ini merupakan sumber mineral
dan vitamin terutama yang berwarna hijau atau merah kekuningan. Dari data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2003 konsumsi
sayur-sayuran/ kapita/ hari mencapai 40.95 gram dengan memberi sumbangan
sebanyak 2.6 % kkal per hari. Sampai saat ini pula konsumsi sayuran bangsa
kita hanya 37,94 kg/kapita/tahun, sementara standar FAO 65,75 kg. Jumlah
konsumsi sayur-sayuran tersebut masih sangat terbatas dalam jenis
sayur-sayuran tertentu. Oleh karena itu pengadaan sumber daya hayati jenis
sayur-sayuran perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya. Usaha
penganekaragaman sumber makanan merupakan salah satu pemecahan dalam
rangka mengurangi ketergantungan pada salah satu jenis makanan termasuk
dalam penganekaragaman dalam konsumsi sayur-sayuran.
Jenis sayur-sayuran yang dibudidayakan sekarang sangatlah terbatas pada
beberapa tanaman tertentu saja. Bila menilik kekayaan alam Indonesia, masih
banyak jenis sayur-sayuran lain yang belum terungkap secara ilmiah dan
dikembangkan untuk kepentingan nasional serta masyarakat luas. Peluang
untuk pengembangan dan penganekaragamannya pun cukup besar.
Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil sayur-sayuran yang
memiliki
peran
yang
cukup
signifikan
dalam
menghasilkan
jenis
sayur-sayuran di Indonesia. Sayuran-sayuran lokal ini dikenal dengan istilah
sayuran indigenous. Yang dimaksud dengan sayuran indigenous adalah sejenis
sayuran yang walaupun tanaman sayuran itu bukan berasal dari Indonesia,
namun tanaman tersebut sudah beradaptasi dan sudah dikultivasi atau
dimanfaatkan oleh penduduk setempat dari dahulu, sehingga sudah dianggap
sebagai tanaman turun-temurun dan telah berevolusi dengan iklim dan
geografis wilayah Indonesia (Anonim, 2008). Balai Penelitian Tanaman
Sayuran
(Balitsa)
bekerjasama
dengan
Asian
Vegetables
Research
Development Center (AVRDC) telah melakukan pendataan terhadap sayuran
ini terutama yang mempunyai kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh
manusia yaitu vitamin A, zat besi dan antioksidan.
Pada penelitian ini jenis sayuran yang akan digunakan adalah
sayuran-sayuran lokal yang banyak dan sering dikonsumsi oleh masyarakat
Jawa Barat. Sayuran tersebut adalah daun kelor (Moringa pterygosperma
Gaertn.), takokak (Solanum torvum.Swartz) antanan beurit (Hydrocotyle
sibthorpioides Lmk), bunga pepaya (Carica papaya.L), pucuk mete
(Anacardium occidentale. L), pucuk mengkudu (Morinda citrifolia.L), daun
labu siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), daun kacang panjang/lembayung
(Vigna unguiculata (L.) Walp), daun pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl)
Ching), kucai (Allium schoenoprasum L.), daun mangkokan putih
(Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.), bunga turi (Sesbania grandiflora
(L.) Pers.), dan terubuk (Saccharum edule.Hassk).
Bagian tanaman kelor, labu, lembayung, mangkokan, mete, mengkudu,
dan pakis, yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun yang masih
muda (daun yang dekat dengan pucuk). Daun muda atau pucuk ini dapat dilihat
dari warna daun yang lebih hijau muda dibandingkan dengan daun bagian
lainnya pada tanaman tersebut. Bagian tanaman antanan beurit dan kucai yang
digunakan adalah seluruh bagiannya, sedangkan untuk tanaman turi, terubuk,
dan pepaya, bagian yang digunakan adalah bunganya. Bagian tanaman takokak
yang digunakan adalah buahnya. Pemilihan bagian-bagian tanaman tersebut
didasarkan pada bagian-bagian yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan
penelitian ini diharapakan untuk dapat lebih mempromosikan keamanan pangan
dan peningkatan kesehatan yang lebih baik bagi bagi setiap individu yang
mengkonsumsinya melalui akselerasi pemanfaatan sayuran indegenous. Sejarah
membuktikan bahwa leluhur kita sudah banyak memanfaatkan sayuran
indigenous karena sudah mengenal rasa dan manfaatnya berdasarkan
pengetahuan secara turun temurun. Perkembangan budaya dan teknologi
menyebabkan perkembangan sayuran indegenous menjadi terdesak, maka
potensi sayuran ini harus digali dan dikaji kembali untuk mendapatkan manfaat
yang lebih baik dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Flavonoid merupakan salah satu kelas dari polifenol yang terdiri dari
beberapa sub kelas seperti flavone, flavonol, flavanonol, flavanon, flavan dan
anthocyanin (Gambar 1). Menurut Peterson dan Dwyer (2000), anthosianin
adalah flavonoid bermuatan yang biasanya berikatan dengan gula. Anthosianin
bertanggung jawab atas sebagian besar adanya warna merah, biru dan ungu
pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Flavonon ditemukan pada famili jeruk.
Biasanya mengandung gula yang berkontribusi pada karakteristik flavor.
Flavone umumnya ditemukan pada daun, sedangkan isoflavon seringkali
ditemukan pada kacang-kacangan (legume) terutama kacang kedelai. Isoflavon
berbeda dengan flavon hanya pada penempatan cincin benzene. Isoflavon
umumnya dikenal karena aktivitas estrogeniknya. Seperti halnya flavanon,
flavonol umumnya juga mengandung gula. Flavonoid yang paling mudah
ditemukan (ubiquitious) dalam makanan adalah quercetin yang termasuk
dalam kelas flavonol. Flavan adalah flavonoid yang mempunyai struktur kimia
paling kompleks. Beberapa flavonoid yang termasuk dalam kelas flavan adalah
catechin, procyanidin, theaflavin dan flavonoid polimerik lainnya seperti
thearubigin.
Flavonoid dapat berada dalam bentuk aglikonnya yaitu saat hidrogennya
tidak tersubtitusi oleh gula. Flavonoid yang dapat terbentuk secara alami
kecuali catechin, terglikosilasi pada posisi C3, C7, dan C4’. Pada awalnya,
flavonoid dikenal sebagai pigmen yang bertanggung jawab terhadap semburat
warna (autumnal burst) serta warna kuning, orange dan merah pada bunga dan
makanan. Namun kemudian ditemukan juga pada buah-buahan, sayur-sayuran,
kacang-kacangan, biji-bijian, batang tanaman, bunga, teh dan anggur, serta
merupakan konstituen penting dalam diet manusia (Middelton dan
Kandaswami, 1993). Lebih lanjut Middelton dan Kandaswami(1993)
menyebutkan flavonoid merupakan komponen yang jelas terlihat pada buah
jeruk dan sumber makanan lain.
flavone
flavonol
anthocyanin
flavanon
flavanonol
flavan
Gambar 1. Struktur kimia dari 6 kelas flavonoid (Peterson dan Dwyer, 2000)
Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar.
Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat
pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae.
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deret senyawa C6-C3-C6
artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena
tersubtitusi) disambungkan oleh rantai alifatik ketiga karbon. Flavonoid
mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, sebagian besar
merupakan pigmen warna kuning, dapat larut dalam air dan pelarut organik,
mudah terurai pada temperatur tinggi.
Flavonoid punya sejumlah kegunaan. Pertama, terhadap tumbuhan, yaitu
sebagai pengatur tumbuhan, pengatur fotosintesis, kerja antimiroba dan
antivirus. Kedua, terhadap manusia, yaitu sebagai antibiotik terhadap penyakit
kanker dan ginjal, menghambat perdarahan. Ketiga, terhadap serangga, yaitu
sebagai daya tarik serangga untuk melakukan penyerbukan. Keempat,
kegunaan lainnya adalah sebagai bahan aktif dalam pembuatan insektisida
nabati dari kulit jeruk manis (Anonim, 2008).
Komponen flavonoid yang dianalisis dalam penelitian ini adalah golongan
flavonol dan flavone. Senyawa yang dianalisis dari golongan flavonol terdiri
atas myricetin quercetin, , dan kaempferol, sedangkan dari golongan flavone
terdiri atas apigenin dan luteolin. Pengidentifikasian dibatasi hanya pada kedua
golongan ini karena kedua golongan senyawa ini merupakan komponen
flavonoid yang mayoritas (secara kualitatif) terdapat pada sayuran (Lee, 2000).
Analisis komponen fenolik pada bahan pangan dapat menggunakan
berbagai macam cara, mulai dari cara paling sederhana; seperti uji kolorimetri,
hingga penggunaan instrumen yang canggih dan mutakhir; untuk pemisahan,
perhitungan kuantitas, dan pengkarakterisasian masing-masing komponen.
Berbagai metode kromatografi cair (kromatografi kertas, kromatografi lapis
tipis, kromatografi kolom, dan High Performance Liquid Chromatography)
(Lee, 2000). Deteksi komponen flavonol dan flavone yang terdapat pada
sayuran indigenous daerah Jawa Barat yang dilakukan pada penelitian ini
adalah menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography
(HPLC). Dibandingkan dengan metode kromatografi cair lainnya, HPLC
merupakan metode yang paling mendekati untuk dapat menyediakan dan
memberikan respon yang tepat, baik dalam sensitivitas yang tinggi maupun
dalam hal efisiensi pemisahan karena menggunakan kolom berpartikel kecil
terbungkus dengan ketat. Selain itu, deteksi komponen dengan penggunaan
metode kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas, bila dibandingkan
dengan HPLC, membutuhkan konsentrasi yang lebih besar. Pada analisis
dengan metode HPLC, tidak ada pembatasan dalam hal volatilitas sampel
maupun derivatisasi, seperti yang diperlukan dalam kromatografi gas (Lee,
2000). Komponen flavonoid bukan merupakan komponen volatil, oleh karena
itu, analisis yang tepat adalah dengan menggunakan HPLC.
B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeteksi dan mengetahui
kandungan komponen-komponen flavonoid (flavonol dan flavone) pada
beberapa sayuran indigenous daerah Jawa Barat.
C. MANFAAT
Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan data mengenai komposisi
komponen flavonoid (flavonol dan flavone) pada beberapa sayuran indigenous
daerah Jawa Barat sehingga tercipta peluang untuk pemanfaatan lebih lanjut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAYURAN INDIGENOUS
Indonesia sebagai bangsa dengan keragaman sumber daya hayati yang
dimiliki sangat berpotensi untuk dikembangkan dan digali lebih dalam. Seperti
halnya sayur-sayuran lokal tentunya sangat berkontribusi terhadap suplai
pangan dan kesehatan masyarakat Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa
leluhur kita sudah banyak memanfaatkan sayuran indigenous karena sudah
mengenal rasa dan manfaatnya berdasarkan pengetahuan secara turun temurun.
Sayuran indigenous adalah sejenis sayuran yang walaupun tanaman sayuran itu
bukan berasal dari Indonesia, namun tanaman tersebut sudah beradaptasi dan
sudah dikultivasi atau dimanfaatkan oleh penduduk setempat dari dahulu,
sehingga sudah dianggap sebagai tanaman turun-temurun dan telah berevolusi
dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia (Anonim, 2008). Sayuran
indigenous biasanya tumbuh di pekarangan rumah maupun kebun secara alami
dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga, baik sebagai sayuran yang
dimasak maupun lalapan. Pada kenyataannya di daerah Jawa Barat sayuran
indigenous sudah memasuki pasar di rumah makan yang digunakan sebagai
lalap. Banyak sayuran indigenous yang berfungsi sebagai obat dari suatu
penyakit manusia.
Pada penelitian ini akan diididentifikasi kandungan flavonoid dari
sayuran indigenous tersebut. Sayur yang digunakan adalah sayur-sayuran yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan banyak tumbuh di daerah Jawa Barat.
Bagian dari sayur-sayuran indigenous yang digunakan dalam penelitian ini
adalah bagian yang biasa dikonsumsi (dapat berupa batang, daun, bunga atau
seluruh bagian tanaman). Sayuran tersebut diantaranya adalah bunga turi, daun
pakis, kucai, daun mangkokan putih, daun labu siam, takokak, kelor, pucuk
mengkudu, pucuk mete, terubuk, bunga pepaya, antanan beurit, dan daun
kacang panjang atau lembayung.
1. Bunga Turi (Sesbania grandiflora (L.)Pers.)
Klasifikasi dari bunga turi adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Sub Division
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonea
Order
: Rosales
Family
: Leguminosae
Genus
: Sesbania
Spesies
: (Sesbania grandiflora (L.)Pers.)
Turi umumnya ditanam di pekarangan sebagai tanaman hias, di tepi
jalan sebagai pohon pelindung, atau ditanam sebagai tanaman pembatas
pekarangan. Tanaman ini dapat ditemukan di bawah 1.200 m dpl. Pohon
'kurus' berumur pendek, tinggi 5-12 m, ranting sering kali menggantung.
Kulit luar berwarna kelabu hingga kecoklatan, tidak rata, dengan alur
membujur dan melintang tidak beraturan, lapisan gabus mudah
terkelupas. Di bagian dalam berair dan sedikit berlendir. Percabangan
baru keluar setelah tinggi tanaman sekitar 5 m. Berdaun majemuk yang
letaknya tersebar, dengan daun penumpu yang panjangnya 0,5-1 cm.
Panjang daun 20-30 cm, menyirip genap, dengan 20-40 pasang anak daun
yang bertangkai pendek. Helaian anak daun berbentuk jorong
memanjang, tepi rata, panjang 3-4 cm, lebar 0,8-1,5 cm. Bunganya besar
dalam tandan yang keluar dari ketiak daun, letaknya menggantung dengan
2-4 bunga yang bertangkai, kuncupnya berbentuk sabit, panjangnya 7-9
cm. Bila mekar, bunganya berbentuk kupu-kupu.
Turi memiliki 2 varietas, ada yang berbunga putih dan ada juga
berbunga merah. Turi berbunga putih dapat dimakan sebagai sayur atau
dipecel. Bunganya gurih dan manis, biasanya bunga berwarna putih yang
dikukus dan dimakan sebagai pecel. Selain bunganya yang enak di
makan, daun dan polong turi juga sering diolah sebagai masakan.
Masarakat Jawa mengolahnya untuk campuran urapan, pecel, ditumis
atau dibuat sayur. Rasanya hampir mirip dengan bunga pepaya namun
tidak pahit. Turi berbunga merah lebih banyak dipakai dalam pengobatan,
karena memang lebih berkhasiat. Mungkin kadar taninnya lebih tinggi,
sehingga lebih manjur untuk pengobatan luka ataupun disentri.
Daun muda setelah dikukus kadang dimakan oleh ibu yang sedang
menyusui anaknya untuk menambah produksi asi, walaupun baunya tidak
enak dan berlendir. Daun dan ranting muda juga merupakan makanan
ternak yang kaya protein. Turi juga dipakai sebagai pupuk hijau. Daunnya
mengandung saponin sehingga dapat digunakan sebagai pengganti sabun
setelah diremas-remas dalam air untuk mencuci pakaian.
Buah bentuk polong yang menggantung, berbentuk pita dengan
sekat antara, panjang 20-55 cm, lebar 7-8 mm. Biji 15-50, letak melintang
di dalam polong. Akarnya berbintil-bintil, berisi bakteri yang dapat
memanfaatkan nitrogen, sehingga bisa menyuburkan tanah. Sari kulit
batang pohon turi digunakan untuk menguatkan dan mewarnai jala ikan.
Kulit batang turi merah kadang dijual dengan nama kayu timor.
Turi (Sesbania grandiflora) termasuk keluarga kacang kacangan.
Tanaman ini cukup berharga bila dikembangkan sebagai bahan pakan
karena kadar proteinnya yang tinggi, tetapi turi juga mengandung
berbagai senyawa anti-nutrisi, di antaranya kanavanin, penghambat
tripsin, saponin, tanin dan alkaloid (Anonim, 2008p). Banyak cara untuk
menghilangkan senyawa-senyawa ini, di antaranya dengan cara membuat
konsentrat protein dan membuang kulitnya. Hasil pembuatan konsentrat
protein sangat rendah (3,9%) dari bahan awal. Di samping itu, senyawa
yang anti-nutrisi hanya berhasil dikurangi tapi tidak bisa hilang sama
sekali. Pengupasan kulit (sekitar 35-40% dan biji utuh) menghasilkan
lebih banyak senyawaan yang bisa dibuang. Disarankan untuk
menggunakan biji tanpa kulit ini untuk hewan non-ruminansia.
Bunga atau kembang turi memiliki
efek farmakologis sebagai
pelembut kulit, pencahar, dan penyejuk. Selain itu kandungan kimia dari
bunga turi ini antara lain kalsium, zat besi, zat gula, vitamin A dan B
(Anonim, 2008q).
Gambar 2. Pohon turi
Gambar 3. Bunga turi
2.
Kucai (Allium schoenoprasum L.)
Klasifikasi dari kucai adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Liliopsida
Order
: Asparagales
Family
: Alliaceae
Genus
: Allium
Spesies
: (Allium schoenoprasum L.)
Kucai (Allium schoenoprasum L.), atau bawang kucai serta daun
kucai, dikenal sebagai sayuran daun dan biasa disajikan dalam irisan
kecil-kecil. Kucai tidak terlalu sering dipakai dalam menu Indonesia.
Penggunaannya umum dalam masakan dengan pengaruh Tiongkok,
seperti bubur ayam. Pada budaya boga Tiongkok dan Jepang, kucai
merupakan bahan campuran isi Jiaozi (Gy za). Kucai berdaun pipih dan
bunganya berwarna putih. Aroma kucai lebih dekat ke bawang putih
sehingga dalam bahasa Inggris disebut garlic-chives dan dalam bahasa
Jerman disebut Knoblauch-Schnittlauch. Daunnya beraroma tajam dan
pekat namun berbeda dengan aroma daun prei (A. porrum) maupun daun
bawang (A. cepa, A. fistulosum, A. ascalonicum). Bunga kucai dapat
digunakan pula sebagai rempah penyedap.
Kucai adalah gugusan dari tanaman bawang yang kebanyakan
ditanam untuk tujuan hiasan (hanya berbunga) dan sebagai sayuran.
Tanaman ini mengambil sedikit ruang dan boleh dimakan keseluruhanya
(dari pucuk sampai bawangnya). Variasi kucai yang popular adalah Kucai
Cina yang mempunyai aroma menyerupai bawang putih pada daunnya.
Bunganya juga berwarna putih. Kucai dapat tumbuh pada berbagai jenis
tanah. Pertumbuhannya akan sangat baik jika ditanam pada tanah yang
agak dalam dan dipenuhi dengan kompos serta bahan organik.
Kucai dapat tumbuh di bawah panas matahari ataupun di tempat yang
teduh. Jika musim kemarau juga tidak terlalu berpengaruh karena
bawangnya masih ada. Sama seperti bawang, kucai mempunyai akar
berbawang dan daun. Selain itu, kucai pun dapat ditanam dari bijinya.
Kucai adalah tanaman yang berumur panjang (perennial). Ia dapat terus
hidup hingga beberapa tahun jika keadaannya tanahnya terus dijaga, yaitu
tanah yang subur. Kalau menanam kucai untuk di makan, bunganya perlu
dibuang untuk meningkatkan pertumbuhan daun saja.
Kucai merupakan jenis sayuran yang berasal dari keluarga Lili
(tanaman berumbi). Tumbuhan ini mempunyai aroma yang agak tengik
tetapi enak dimakan sebagai sebagai sayur atau ulam. Tumbuhan ini juga
mengandung vitamin B dan C, karoten dan komponen belerang (Anonim,
2008r). Masyarakat Indonesia telah lama memanfaatkan kucai untuk
pengobatan, diantaranya untuk mengatasi keputihan, darah tinggi dan
sembelit. Selain itu, kucai diyakini mempunyai khasiat antiseptik untuk
membunuh kuman bakteri dalam usus dan menjadi perangsang dalam
proses pengasaman usus. Kucai juga berkhasiat melancarkan aliran darah,
sekaligus menghindarkan pembekuan darah.
Gambar 4. Kucai
3.
Takokak (Solanum torvum Swartz)
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Sub Division
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Order
: Solanales
Family
: Solanaceae
Genus
: Solanum
Spesies
: Solanum torvum Swartz
Takokak merupakan tanaman perdu yang kecil, tumbuh tegak dengan
tinggi 1-3 meter. Daunnya tunggal, letaknya berseling, bentuk bulat telur
melebar, panjang daun 6-30 cm, berujung runcing, tepi berlekuk
menyirip, warnanya hijau muda dan memiliki tangan yang berambut rapat
bahkan seringkali dengan beberapa duri tempel. Buahnya berwarna
kuning orange, licin dan bergaris tengah 12-15 cm. Buah takokak sering
dimakan sebagai lalap mentah, direbus atau dimasak dengan tauco, dan
cabe hijau atau sesuai selera.
Tumbuhan ini tergolong perdu dan masuk ke dalam famili
Solanaceae. Tumbuhan ini hidup liar di berbagai daerah, baik di daratan
rendah hingga ke pegunungan. Perbanyakannya menggunakan biji yang
banyak terdapat di dalam buah. Tinggi tumbuhannya bisa mencapai dua
meter lebih dengan batang berwarna hijau kecoklatan penuh duri tajam
dan berbulu halus. Daunnya besar bergerigi lebar dan permukaannya pun
berbulu. Bunganya kecil berwarna putih berkelompok lima hingga enam
dalam satu tangkai dengan putiknya berwarna kuning.
Bila bunga dibuahi, maka muncullah bakal buah berwarna hijau.
Buahnya terus berwarna hijau dengan biji berwarna putih lunak. Bila buah
sudah matang, berwarna kehitaman dengan biji berwarna kecoklatan dan
keras. Pemeliharaan tanaman ini cukup mudah. Selain memang dapat
hidup liar, tumbuhan ini juga memerlukan cukup air dengan penyiraman
atau menjaga kelembaban tanah. Pemupukan juga diperlukan, tapi cukup
dengan pupuk dasar saja.
Selain leunca, tumis oncom merah dan sayur oncom hitam di daerah
Jawa Barat, juga sering melengkapinya dengan buah takokak. Tak hanya
jadi penambah di dalam sayuran saja, takokak juga kerap menjadi lalapan
yang sangat digemari di beberapa daerah. Takokak (Solanum torvum
Swartz atau S ferrugium Jacq) cukup terkenal di beberapa daerah
Indonesia. Di beberapa daerah, takokak dinamai cepoka, cokowana,
pokak, atau terong pipit.
Dalam farmakologi Cina disebutkan bahwa takokak memiliki rasa
pedas, sejuk, dan agak beracun. Untuk itu, bila digunakan untuk
pengobatan penyakit tertentu, perlu diperhatikan dosisnya, karena dapat
menimbulkan keracunan. Selain itu, penderita kecenderungan glaucoma
dilarang meminumnya.
Efek farmakologi takokak diperoleh dari daun dan akarnya. Akarnya
dicuci dan dipotong-potong secukupnya. Lalu, akar itu dijemur dan
disimpan bila sudah kering. Daunnya digunakan dalam keadaan segar.
Takokak memiliki banyak berkhasiat misalnya, melancarkan sirkulasi dan
menghilangkan
darah
beku,
menghilangkan
sakit
(analgetik),
menghilangkan sakit (analgetik), dan mengatasi batuk (antitusif). Dari
pengalaman secara turun temurun di berbagai negara dan daerah, tanaman
ini dapat mengatasi dan menyembuhkan beberapa penyakit. Contohnya,
bengkak, sakit lambung, bisul, batuk kronis, dan koreng. Buah muda
takokak dikenal masyarakat Sunda sebagai lalap mentah maupun sayur
matang. Orang Jawa menyebutnya poka atau cepoka, terongan, cong belut,
atau cokowana. Di Sumatra dikenal sebagai terong pipit.
Kandungan penting takokak antara lain terdapat pada buah mentah,
buah kering, daun, dan akarnya. Pada buah mentah terdapat chlorogenin,
sisalogenone, torvogenin, dan vitamin A. Buah keringnya terdapat
solasonin 0,1 persen. Daunnya terdapat neo-chlorogenine, panicolugenin.
Sedangkan pada akarnya terdapat kandungan jurubine (Anonim, 2007i).
Buah dan daun tanaman ini mengandung alkaloid steroid jenis solasodin
0,84% yang merupakan bahan baku hormon seks untuk kontrasepsi. Juga
memiliki senyawa sterol carpesterol sebagai antiradang (Anonim, 2007j).
Manfaat lain takokak juga untuk sakit lambung, sakit gigi, katarak, tidak
datang haid, wasir atau ambeien, radang payudara, influenza, panas
dalam, pembengkakan, bisul, koreng, sakit pinggang, asam urat tinggi,
keropos tulang, jantung berdebar-debar, menetralkan racun dalam tubuh,
dan melancarkan sirkulasi darah (Anonim, 2007i)
Gambar 5. Takokak
4.
Daun Kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.)
Klasifikasi dari kelor adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Sub Division
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Order
: Brassicales
Family
: Moringaceae
Genus
: Moringa
Spesies
: (Moringa pterygosperma Gaertn.)
Kelor (Moringa pterygosperma Gaertn.) termasuk jenis tumbuhan
perdu yang dapat memiliki ketinggian batang 7 -11 meter. Di Jawa, kelor
sering dimanfaatkan sebagai tanaman pagar. Pohon Kelor tidak terlalu
besar. Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi
mempunyai akar yang kuat. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran
kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat
berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian
tanah 300-500 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna putih
kekuning kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga
kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor
berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa), sedangkan
getahnya yang telah berubah warna menjadi coklat disebut blendok
(Jawa).
Menurut sejarahnya, tanaman kelor atau marongghi (Moringa
oleifera), berasal dari kawasan sekitar Himalaya dan India, kemudian
menyebar ke kawasan di sekitarnya sampai ke Benua Afrika dan
Asia-Barat. Bahkan, di beberapa negara di Afrika, seperti di Etiopia,
Sudan, Madagaskar, Somalia, dan Kenya, sekarang mulai dikembangkan
pula di Arab Saudi dan Israel, menjadi bagian untuk program pemulihan
tanah kering dan gersang, karena sifat dari tanaman ini mudah tumbuh
pada tanah kering ataupun gersang, dan bila sudah tumbuh maka lahan di
sekitarnya akan dapat ditumbuhi oleh tanaman lain yang lebih kecil,
sehingga pada akhirnya pertumbuhan tanaman lain akan cepat terjadi.
Walaupun di Indonesia, khususnya di lingkungan perkampungan dan
pedesaan, tanaman kelor baru sampai menjadi tanaman pagar hidup, batas
tanah ataupun penjalar tanaman lain, tetapi manfaat dari daun dan
karangan bunga serta buah muda sebagai sayuran, sudah sejak lama
digunakan. Sebagai tanaman berkhasiat obat, tanaman kelor mulai dari
akar, batang, daun, dan bijinya, sudah dikenal sejak lama di lingkungan
pedesaan. Seperti akarnya, campuran bersama kulit akar pepaya
kemudian digiling, dihancurkan, banyak digunakan untuk obat luar
(balur) penyakit beri-beri dan sebangsanya. Daunnya ditambah dengan
kapur sirih, juga merupakan obat kulit seperti kurap dengan cara
digosokkan.
Di lingkungan pedesaan, penanaman kelor yang paling umum cukup
dengan cara setekan batang tua atau cukup tua, yang langsung
ditancapkan ke dalam tanah, apakah sebagai batas tanah, pagar hidup
ataupun batang perambat. Disamping itu, manfaat lain dari batang
bersama daun kelor, umumnya digunakan sebagai “alat” untuk
melumerkan atau menon-aktifkan “kekuatan magis” seseorang, yaitu
dengan cara disapu-sapukan ke bagian muka ataupun dijadikan “alat
tidur”, misal seseorang yang tahan terhadap pukulan, bacokan, bahkan
tidak mempan oleh terjangan peluru, maka dengan cara disapu-sapukan
ke bagian tubuhnya, ataupun dijadikan alas tidurnya, atau ada pula air
tanaman kelor disiramkan ke seluruh tubuhnya, maka kekuatan magis
tubuhnya akan lumer atau hilang. Sangat unik adalah kebiasaan penduduk
sekitar Arba Minch yang memiliki lahan terbatas, mulai dari sekitar 0,1 ha
atau 1.000 meter persegi, atau hanya ratusan bahkan puluhan meter
persegi saja. Sehingga pohon kelor hanya dijadikan pagar hidup,
pembatas tanah ataupun pohon perambat sama seperti di Indonesia. Akan
tetapi hasilnya, kalau daunnya dapat langsung digunakan sebagai sayuran,
maka bunganya akan tetap dipelihara hingga menjadi buah dan
menghasilkan biji yang dapat dijual kepada perusahaan asing yang
memerlukan untuk pembuatan tepung atau minyak sebagai bahan baku
pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi.
Salah satu sifat yang menguntungkan untuk membudidayakan pohon
kelor yang sudah diketahui sejak lama, yaitu minimnya penggunaan
pupuk dan jarang diserang hama (oleh serangga) ataupun penyakit (oleh
mikroba). Sehingga biaya untuk pemupukan dan pengontrolan hama dan
penyakit relatif sangat murah. Bahkan, dari pengalaman para petani kelor
yang sudah lama berkecimpung, diketahui bahwa pemupukan yang baik
adalah
berasal
dari
pupuk
organik,
khususnya
berasal
dari
kacang-kacangan (misal kacang hijau, kacang kedelai ataupun kacang
panjang) yang ditanamkan sekitar pohon kelor.
Pengalaman panjang secara tradisi penggunaan tanaman kelor
sebagai bahan berkhasiat obat di kawasan tersebut adalah bahwa akarnya
sangat baik untuk pengobatan malaria, mengurangi rasa sakit, penurun
tekanan darah tinggi, dan sebagainya, sedang daunnya untuk penurun
tekanan darah tinggi, diare, diabetes melitus (kencing manis), dan
penyakit jantung.
Kandungan kimia dari akar dan daun kelor mengandung zat yang
berasa pahit , getir dan pedas. Biji kelor juga mengandung minyak dan
lemak (Anonim, 2007i). Juga kandungan senyawa yang terdapat pada
serbuk biji kelor memiliki sifat antimikroba, khususnya terhadap bakteri.
Sehingga kalaupun di dalam air terdapat bakteri Coli (salah satu yang
disyaratkan tidak terdapat di dalam air minum), akan tereduksi atau mati
(Anonim, 2007c).
Gambar 6. Daun Kelor
5.
Pucuk Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Klasifikasi dari mengkudu adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Lignosae
Sub Division
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Order
: Brassicales
Family
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Spesies
: Morinda citrifolia L.
Mengkudu tanaman perdu atau bentuk pohon kecil. Tumbuhan ini
tidak terlalu besar dengan tinggi pohon 3 hingga 8 meter banyak
bercabang, kulit batangnya berwarna coklat, cabang- cabangnya kaku,
kasar tapi mudah patah. Daunnya bertangkai, berwarna hijau tua, duduk
daun bersilang, berhadapan, bentuknya bulat telur, lebar, sampai
berbentuk elips, helaian daun tebal, mengkilap, tepi daun rata, ujungnya
meruncing, pangkal daun menyempit, tulang daun menyirip, bersusun
berhadapan, panjang daun 20 hingga 40 cm dan lebar 7 hingga 15 cm.
Bunganya berwarna hijau, bentuk lonjang. Bijinya banyak dan kecil-kecil
terdapat dalam isi buah.
Permukaan buah tidak merata, terbagi kedalam sel-sel poligonal
yang berbintik-bintik dan berkutil. Buah muda berwarna hijau, makin tua
kulit buah agak menguning, dan buah yang matang berwarna putih
menguning, dan transparan. Buah yang matang dagingnya lunak berair
dan bau busuk. Mengkudu berkembang biak dengan biji. Dalam satu
buah banyak terdapat biji. Dalam satu buah dapat mengandung lebih dari
300 biji. Bentuk biji pipih lonjong, berwarna hitam kecoklatan, kulit biji
tidak teratur/tidak rata.
Mengkudu termasuk jenis kopi-kopian. Tumbuh secara liar di hutan,
di lembah yang berair seperti di tepi-tepi sungai. Daun mengkudu untuk
membalut tungku karena khasiatnya dapat mengecutkan rahim wanita
setelah bersalin. Caranya adalah ambil beberapa buah mengkudu yang
sudah masak, bersihkan dan kisarkan buah-buahan itu sehingga hancur
dengan air, tapiskan untuk mendapatkan airnya. Airnya ditambahkan
madu lebah untuk memaniskan kerana rasanya agak masam dan pedas
sedikit.
Pada daun mengkudu terkandung protein, zat kapur, zat besi, karoten
dan askorbin.
Efek
farmakologis
daun mengkudu pertama kali
ditemukan oleh Raj dalam Darusman (2002), dilaporkan bahwa ekstrak
kloroform daun muda mengkudu secara in-vitro mempunyai aktivitas
antihelmintik, cukup baik melawan cacing Ascaris lumbricoides yang ada
pada usus. Aalbersberg (1993) melaporkan bahwa kandungan karoten
pada daun mengkudu lebih tinggi dibanding dengan yang terkandung
pada daun cay sin (Brassica chinensis) dan Colocasia esculenta.
Pucuk mengkudu biasanya dimasak atau dicelur untuk dijadikan
perencah urap dan pecal. Pucuk mengkudu kaya dengan beta karoten dan
zat besi yang baik digunakan untuk mengatasi masalah kurang darah
(Anonim, 2007h).
Gambar 7. Pucuk Mengkudu
6.
Lembayung / Daun Kacang Panjang (Vigna unguiculata (L.) Walp.)
Klasifikasi tanaman kacang panjang adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Fabales
Family
: Fabaceae
Genus
: Vigna
Spesies
: (Vigna unguiculata (L.) Walp.)
Kacang panjang adalah sejenis sayuran yang populer dikalangan
penduduk Indonesia. Tanaman diduga berasal dari India, tapi sekarang
ditanam secara merata di kawasan yang beriklim tropika yaitu Asia,
Afrika Timur dan Amerika Tengah. Pada kebiasaannya daun kacang
panjang yang muda digunakan untuk berbagai jenis masakan dan juga
dimakan mentah sebagai lalap.
Kacang Panjang adalah sejenis tanaman semusim yang tumbuh
memanjat. Ciri-cirinya, mempunyai akar tunjang dan berkembang akar
lateral yang meluas. Batangnya memanjat dengan cara melilit pada
penyokong dan boleh mencapai hingga 4 m. Jenis daunnya majemuk.
Bunganya berwarna putih kuning atau ungu, berukuran 2- 2.5 cm dan
terdapat dalam kelompok 3 - 6 kuntum setiap tangkai bunga. Buahnya
berukuran antara 20 - 70 cm dan putaran garis pusat 1.2 cm. Warnanya
berbeda dari hijau muda hingga merah hati mengikut varietas. Biji dapat
mencapai 10-30 biji setiap buah. Warna mengikut varietas dari putih
cerah, perang hitam dan berbintik hitam
Kacang panjang (Vigna spp.) merupakan tanaman sayuran penting
dari golongan kacang-kacangan, karena mengandung nutrisi yang relatif
lengkap dan cukup tinggi, terutama protein nabati. Bagian tanaman kacang
panjang yang biasa digunakan sebagai sayuran adalah polong muda, biji,
dan daun muda (Anonim, 2008z). Spesies kacang panjang yang umum
dibudidayakan antara lain:
a. Kacang panjang tipe merambat (V. sinensis var. sesquipedalis) yang
kita kenal sebagai kacang panjang biasa. Varietas yang ditanam
adalah varietas unggul KP1 dan KP2, varitas lokal Purwokerto, no
1494 Cikole, Subang, Super Subang , Usus hijau Subang dll.
b.
Kacang panjang tipe tegak yaitu kacang tunggak/tolo/dadap/sapu (V.
unguiculata L.), dan kacang uci/ondel (V. umbellata ). Varietas
unggul adalah KT1, KT2, KT3.
c. Kacang panjang hibrida (V. sinensis ssp. Hybridus) seperti kacang
bushitao. Varitas yang dirilis adalah No. 10/a, 12/a, 13/a, 14/a, 17/a,
18/a dan EG BS/2
Pada penelitian ini jenis daun kacang panjang yang digunakan adalah
daun kacang panjang tipe tegak dalam hal ini Vigna unguiculata L.
Tanaman kacang panjang (Vigna spp.) memiliki buah polong yang
panjang. Berbunga putih atau hijau muda, bentuknya mirip kupu-kupu.
Daunnya berbentuk segitiga, bisa dimakan sebagai sayur maupun
dimanfaatkan untuk pengobatan alami. Daun dan buah kacang panjang
mengandung zat-zat protein, kalsium, fosfor, besi, belerang, magnesium,
mangan, niasin, vitamin B1, B2, dan C (Anonim, 2008p)
Gambar 8. Tanaman Kacang Panjang
7.
Terubuk (Saccharum edule Hassk)
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivision
: Spermatophyta
Division
: Magnoliophyta
Class
: Liliopsida
Sub-class
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Family
: Poaceae
Genus
: Saccharum
Spesies
: Saccharum edule Hassk
Tebu terubuk (Saccharum edule Hassk) merupakan tanaman yang
termasuk dalam famili Gramineae. Tanaman ini sudah dikenal di daerah
Jawa dan Madura. Di daerah Jawa Barat tanaman ini dikenal dengan nama
“tiwu endog” atau “terubus”, di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur
dikenal dengan nama “tebu endog” atau “tebu terubuk” dan di Madura
dikenal dengan nama “tebu telur”. Sebutan “telur” atau “endog” yang
disertakan pada nama tanaman ini di duga karena tekstur bagian tanaman
yang dimakan menyerupai telur ikan.
Menurut OCHSE (1931) tebu terubuk mungkin merupakan suatu
bentuk tanaman tebudengan pertumbuhan tidak normal atau mungkin
merupakan
suatu
hibrida
dari
tanaman
tebu.
Tanaman
ini
dikembangbiakkan dengan cara menanam potongan batang (stek) karena
tanaman ini tidak memproduksi benih. Batang stek akan berakar dan
membentuk suatu rumpun tanaman. Bunga tebu terubuk terbentuk di
dalam batang di antara pelepah daun.
Tebu terubuk umumnya dapat dipanen lima bulan setelah waktu
penanaman. Setelah dua atau tiga tahun maka tanaman perlu diganti
dengan tanaman baru (OCHSE, 1931). Bagian yang dipanen dari tanaman
ini adalah bagain daun yang masih muda, sedangkan yang dikonsumsi
adalah bagian bunga yang terbungkus dalam pelepah daun. Bunga
tanaman ini biasa dimakan dalam bentuk mentah (lalap), dikukus atau
digoreng sebagai bahan sayur, bahkan seringkali masayarakat sunda
menjadikanya campuran dalam rebusan indomie. Sayur yang dikenal
dengan bahan dasar bunga terubuk antara lain, sayur lodeh, tumis, kare,
dan sayur asam. Di Eropa tebu terubuk sering digunakan sebagai bahan
pengganti dari cauliflower (OCHSE, 1931 dan TERRA, 1966).
Menurut TERRA (1966) bunga tebu terubuk mengandung protein
sekitar 4.6 - 6 %. Selain itu, tebu terubuk banyak mengandung mineral
terutama kalsium dan fosfor, di samping vitamin C (asam askorbat).
komposisi tebu terubuk.dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi tebu terubuk per 100 gram*)
Komponen
Kandungan
Karbohidrat
3.0 g
Protein
4.6 g
Lemak
0.4 g
Kalsium
40.0 mg
Fosfor
80.0 mg
Fe
2.0 mg
Vitamin A
0.0 SI
Vitamin B1
0.08 mg
Vitamin C
80.0 mg
Air
91.0 g
*) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979).
Gambar 9. Terubuk
8.
Mangkokan Putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.)
Klasifikasi mangkokan:
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Apiales
Family
: Araliaceae
Genus
: Nothopanax
Spesies
: (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.)
Mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb.) adalah
tanaman suku araliaceae yang secara tradisional telah digunakan untuk
menghilangkan bau badan, pelumas kepala terhadap kerontokan rambut,
menyembuhkan buah dada yang bernanah, diuretika, dan peluruh
keringat. Akan tetapi hal ini masih bersifat empiris karena belum ada data
klinis tentang khasiat mangkokan, bahkan tentang golongan kandungan
kimia.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian pendahuluan, yaitu penelitian
taksonomi dan skrining fitokimia. Penelitian taksonomi meliputi
klasifikasi, tatanama serta identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi dan
anatomi. Hal ini dilakukan untuk mengenal identitas tumbuhan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya kekeliruan. Sedangkan skrining
fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang
terkandung dalam tanaman (Anonim, 2008v).
Golongan kandungan kimia dari mangkokan belum diketahui, maka
sebagai dasar panduan digunakan golongan kandungan kimia tanaman
dan suku yang sama karena menurut kemotaksonomi, hubungan yang erat
ini memungkinkan persamaan zat kandungan. Zat yang terkandung dalam
suku Araliaceae antara lain saponin; alkaloid; senyawa asetilenat;
diterpenoid; triterpenoid; panaksosida A, B, C, D, E, F; minyak atsiri; dan
emetin (Anonim, 2007d)
Penelitian dilakukan terhadap daun karena bagian yang paling banyak
digunakan dalam pengobatan dengan mangkokan adalah daunnya.
Penelitian makroskopis terutama untuk mengetahui habitus-morfologi
tanaman mangkokan, sedang secara mikroskopis dilakukan terhadap
irisan melintang daun, sayatan membujur epidermis atas dan bawah daun,
serta fragmen serbuk untuk mengetahui anatomi dari daun mangkokan.
Untuk penelitian skrining fitokimia dilakukan maserasi terhadap serbuk
kering daun dengan menggunakan pelarut diklormetana dan metanol
untuk memeriksa golongan kandungan alkaloid, saponin, flavonoid,
glikosida antrakuinon, tannin dan senyawa polifenol, serta kumarin,
sedang untuk golongan kandungan glikosida sianhidrin, minyak atsiri,
dan iridoid dilakukan terhadap serbuk daun kering (Anonim, 2007e).
Dari
hasil
penelitian
didapatkan
ciri-ciri
habitus-morfologi
mangkokan adalah tumbuhan menahun yang berupa perdu, arah tumbuh
tegak ke atas, daun hampir bundar berbentuk seperti mangkok, tepi daun
bergerigi, tulang daun menyirip, permukaan daun agak kasar tidak
berbulu, daun berwarna hijau, tidak berbunga dan tidak berbuah, batang
berbentuk bulat berkayu berwarna coklat keputihan arah tumbuh tegak ke
atas dengan percabangan monopodial. Akar merupakan akar tunggang
berwarna coklat, jumlah akar cabang banyak dan kecil¬kecil.
Dari pemeriksaan anatomi secara mikroskopis didapatkan ciri-ciri
stomata tipe anisositik dengan tiga sel tetangga tidak sama besar yang
hanya terdapat pada epidermis bawah, kristal oksalat bentuk roset dan
prisma, berkas pengangkutan bikolateral dengan jumlah banyak dan letak
tersebar, dan penebalan xilem bentuk spiral, sedangkan dari skrining
fitokimia diduga mempunyai golongan kandungan alkaloid, saponin
dengan sapogenin jenuh, antrakuinon, dan kumarin (Anonim, 2007d).
Untuk penelitian lebih lanjut perlu dilakukan penelitian terhadap
macam¬macam golongan kandungan kimia dari alkaloid, saponin,
antrakuinon, dan kumarin, Hai ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk
penemuan obat baru yang berasal dari bahan alam.
Pohon mangkokanputih ini dapat tumbuh di daerah yang berhawa
panas atau dingin, dan tumbuh sepanjang tahun. Di tempat - tempat yang
keadaannya agak lembab, tanaman ini dapat tumbuh dengan subur.
Pengembangan tanaman pada umumnya dilakukan dengan stek. Daun
muda biasanya digunakan untuk campuran lalap, urap mentah, pecel, dan
di Sumatra untuk campuran gulai. Daunnya yang setengah tua dapat
dipakai sebagai ramuan cemceman, sejenis minyak rambut. Daun yang
tua dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak.
Gambar 10. Mangkokan Putih
9.
Daun Labu Siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.)
Kalsifikasi dari labu siam adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Sub Division
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Order
: Cucurbitales
Family
: Cucurbitaceae
Genus
: Sechium
Spesies
: (Sechium edule (Jacq.) Swartz.)
Labu Siam (Sechium edule, (Jacq) Swartz) merupakan tanaman
sayuran dataran tinggi yang telah lama dikenal petani di Indonesia selain
bawang putih, kubis, sawi wortel, lobak dan tomat (Lingga 2001). Labu
Siam telah dikenal sebagai sayuran buah dan sekarang dikenal sebagai
sayuran pucuk (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Kandungan kalori yang
terdapat pada 100 g bahan segar labu siam buah, pucuk dan umbi yaitu 26,
60 dan 79 kalori. Kandungan vitamin A pada buah dan pucuk labu siam
pada 100 g bahan segar yaitu 43 dan 4560 I (Anonim, 2008s).
Berdasarkan ciri fisiknya diduga benih labu siam tergolong sebagai
benih rekalsitran dengan karakteristik kadar airnya tinggi sehingga mudah
terkontaminasi mikroba dan lebih cepat mengalami kemunduran (Farrant
et al. 1988). Umumnya benih rekalsitran tidak mempunyai masa dormansi
proses metabolisme
perkecambahan berjalan terus (Copeland dan
McDonald 1995) bahkan benih labu siam dapat berkecambah ketika
masih di pohon (perkecambahan dini) atau bersifat vivipary. Sifat tanaman
yang mirip dengan labu siam diantaranya adalah tanaman species
mangrove (Tomlinson 1998). Labu siam tidak tahan disimpan sebagai
benih lebih dari satu bulan sejak berkecambah di pohon karena tidak
memiliki masa dormansi sehingga diduga labu Siam termasuk dalam
rekalsitran tinggi (highly rekalsitran). Hal ini menunjang pendapat Farrant
et al. (1988) mengenai beberapa karakteristik benih rekalsitran.
Labu siam (chayote) merupakan salah satu tanaman sayuran dataran
tinggi di Indonesia. Buah, pucuk, akar dan umbi labu siam semua bisa
dikonsumsi. Menurut Engels (1983) di Papua Nugini pucuk umbi dan
buah digunakan sebagai makanan semua jenis ternak. Tanaman labu siam
mempunyai prospek sebagai dietary food, karena mempunyai kandungan
kalori yang rendah dan digunakan sebagai makanan penambah rasa.
Bijinya berbentuk seperti kacang yang mengandung sumber protein.
Pucuk khususnya kaya akan vitamin A, B dan C. Di Indonesia tidak ada
statistik secara tersendiri data labu Siam selalu dikombinasi dengan
semua tanaman labu (Biro Pusat Statistik 1998).
Dalam produksi dan perdagangan internasional, labu siam adalah
termasuk 5 (lima) jenis sayuran komersial yang penting di Brazil. Ini
merupakan informasi penting bagi Indonesia karena di Indonesia labu
siam sangat cocok tumbuh dan berproduksi terus sepanjang tahun.
Menurut Rukmana (1999) tanaman labu siam dalam pertumbuhan dan
perkembangannya adalah tanaman hijau sepanjang tahun. Tanaman ini
direkomendasikan untuk diperbaiki
paling sedikit tiga tahun sekali,
terutama apabila terserang penyakit dan untuk menghindari serangan
penyakit.
Labu siam merupakan tanaman merambat pada tanaman lain atau para
para dan dapat mencapai panjang beberapa meter. Akar tanaman
berbentuk umbi, daunnya lebar dan pinggir daun tidak merata menurut
tulang daunnya. bunganya berkelamin satu, ada yang betina dan ada yang
jantan dalam satu pohon. Bunga jantan berbentuk kecil - kecil, sedangkan
bunga betina lebih besar dan lebih bulat. Bentuk buahnya menyerupai
buah avokad, tetapi tidak merata atau berkulit tipis, dengan daging buah
yang tebal, bergetah, banyak airnya, dan berbiji satu. Warna buah hijau
keputih - putihan dan daging buahnya putih bersih. Selain buahnya, daun
labu siam, terutama daun yang masih muda, dapat dimanfaatkan untuk
urap atau sayur. Kandungan yang paling banyak pada labu siam adalah air.
Sebenarnya labu siam merupakan sayuran bergizi rendah. Penggunaannya
sebagai sayuran hanya berperan sebagai penambah ragam bahan. Untuk
mereka yang sedang menurunkan berat badan labu siam sangat berguna
karena termasuk sayuran rendah kalori (Anonim, 2008t).
Buah dan daun Sechium edule mengandung saponin. Di samping itu
buahnya juga mengandung alkaloida dan tanin. sedangkan daunnya juga
mengandung flavonoida dan polifenol (Anonim, 2007r).
Untuk pengobatan, labu siam dapat digunakan sebagai obat diuretik.
Daun dan buahnya sangat cocok untuk merawat penderita hipertensi,
arterioscleosis, karang/batu dalam buah pinggang dan melawaskan sistem
pembuangan air kecil dan pernafasan. Kandungan alkaloid dan
magnesium dalam buahnya mampu menurunkan kadar tekanan darah
tinggi dan melancarkan peredaran darah yang tersumbat. Merawat
bengkak dan luka. Buahnya tidak perlu dikupas berkhasiat dijadikan
salad, direbus, dihancurkan, dibakar, digoreng dan dijadikan jeruk,
rasanya lemak seperti kacang. Isi buah dikukus bagi merawat pesakit
diabetis. Daun mudanya dibuat sayur, serabut dalamnya dibuat bakul dan
daunnya telah lama dijadikan teh herba diambil secara teratur sebagai
tonik kesihatan (Anonim, 2008t).
Gambar 11. Daun Labu Siam
10. Bunga Pepaya (Carica Papaya L.)
Kalsifikasi dari bunga pepaya adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Brassicales
Family
: Caricaceae
Genus
: Carica
Spesies
: Carica Papaya L.
Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili
Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan
kawasan sekitar Mexico dan Costa Rica (Anonim, 2008b). Tanaman
pepaya banyak ditanam orang, baik di daerah tropis maupun sub tropis. Di
daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah dataran dan
pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah meja
bermutu dan bergizi yang tinggi.
Di Indonesia tanaman pepaya tersebar dimana-mana bahkan telah
menjadi tanaman perkarangan. Sentra penanaman buah pepaya di
Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi), Jawa Timur
(Kabupaten Malang), Yogyakarta (Sleman), Lampung Tengah, Sulawesi
Selatan (Toraja), Sulawesi Utara (Manado).
Daun pepaya muda sering direbus untuk dimakan sebagai urap,
dimasukkan dalam buntil, atau dihidangkan sebagai lalapan sambal terasi.
Daunnya melancarkan ASI bagi ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya.
Hal ini karena daun pepaya mengandung alkaloida carpain yang
mendorong
pengeluaran empedu
pencernaan
lemak.
Akibatnya,
pencernaan makanan jadi lancar, nafsu makan meningkat, dan
pengeluaran ASI pun lancar. Akan tetapi ternyata tidak setiap orang boleh
makan pepaya. Para penderita eksim dan wanita yang terganggu
keputihan harus pantang makan pepaya, karena pecahnya protein yang
beredar ke seluruh tubuh (bersama peredaran darah) membuat gangguan
itu tidak kunjung sembuh. Juga untuk penderita sakit ginjal bisa
gatal-gatal alergi kalau tetap saja mengkonsumsi buah pepaya (Anonim,
2008e). Penjelasan ilmiahnya belum ada, tetapi faktanya sudah sejak dulu
ada. Selain itu, masyarakat Indonesia terutama di daerah Jawa Barat
selain daun dan buah papaya, mereka juga telah memanfaatkan bunga
papaya sebagai salah satu sayuran yang mereka konsumsi. Namun tidak
semua jenis bunga papaya dapat dijadikan sayur. Papaya yang paling baik
adalah jenis papaya jantan. Bunga dari pepaya jantan ini disukai banyak
orang. Rasanya yang pahit justru dapat meningkatkan nafsu makan.
Untuk menghilangkan rasa pahitnya, dicuci sambil diremas dengan air
garam (Anonim, 2008e). Bunga pepaya sangat lezat jika dihidangkan
sebagai tumisan, oseng-oseng atau dibuat sayur berkuah santan.
Sebenarnya bunga pepaya adalah salah satu masakan khas Flores yang
menggunakan bunga pepaya sebagai bahan dasarnya. Bunga pepaya
ditumis bersama dengan ikan teri medan.
Carica papaya ada yang menghasilkan satu macam bunga saja, yaitu
bunga betina. Sepanjang tahun ia dapat berbuah. Ada yang berbuah bulat
telur saja, dan ada yang berbuah bulat bola saja. Tetapi ada juga Carica
papaya yang hanya menghasilkan bunga jantan saja. Ia mudah dikenal
karena tangkai bulir (tandan) bunganya panjang. Bunga pada ujung
tangkai berupa bunga sempurna, berisi putik (sel kelamin) betina di
bagian bawah, dan kepala sari (sel kelamin) jantan di bagian atas. Kalau
menjadi buah, buahnya bertangkai panjang sampai harus berayun-ayun
karena menggantung. Papaya gantung ini tidak pernah dimakan sebagai
buah meja pencuci mulut, tetapi disayur rebus seperti labu siam ketika
masih muda.
Telah diteliti fitokimia dan diuji aktivitas antioksidan bunga jantan
segar pepaya gantung (Carica papaya L., Caricaceae). Hasil penapisan
menunjukkan adanya flavonoid, tanin, steroid - triterpenoid, dan
karbohidrat.
Ekstrak
dibuat
dengan
cara
ekstraksi
sinambung
menggunakan n-heksana, metilen klorida, etil asetat, dan metanol. Dari
ekstrak metanol diperoleh satu senyawa amida dan dari ekstrak nheksana
diperoleh satu senyawa steroid. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan
metode reduksi larutan 1,1-difenil-2 pikrilhidrazil menunjukkan bahwa
ekstrak metanol memiliki aktivitas penangkap radikal bebas paling kuat
dengan nilai EC50 0,3537 mg/mL (Anonim, 2007n).
Gambar 12. Bunga Pepaya
11. Pucuk Mete (Anacardium occidentale L)
Klasifikasi dari jambu mete adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Sapindales
Family
: Anacardiaceae
Genus
: Anacardium
Spesies
: Anacardium occidentale L
Tanaman jambu mete atau dikenal juga dengan nama jambu
mete/jambu mede/jambu monyet/jambu terong adalah sebuah pohon jenis
tanaman berbunga di dalam keluarga anacardiaceae. Tanaman ini terkenal
di seluruh daerah tropis, termasuk Indonesia. Daun tunggal, tumbuh pada
cabang dan ranting secara selang seling, bentuk daun bulat panjang
hingga oval dan membulat atau meruncing pada ujung daun. Panjang
daun mencapai 10 – 20 cm , lebar daun 5 – 10 cm, panjang tangkai daun
0,5 – 1 m, tulang-tulang daun menyirip. Daun muda berwarna coklat
kemerahan hingga pucat sedangkan yang tua berwarna hijau gelap.
Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak
manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu juga
biji mete (kacang mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi.
Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari
buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, dan
jem jambu mete.
Jambu mete merupakan tanaman sejuta manfaat, artinya semua
aspek dari tanaman ini sangat berguna bagi manusia. Akar jambu mete
berkhasiat sebagai obat pencuci perut. Daun mudanya dapat dimanfaatkan
sebagai lalapan oleh masyarakat Jawa Barat, sedangkan daun yang tua
dapat menyembuhkan luka bakar. Kulit kayu jambu mete mengandung
cairan berwarna coklat. Bila terkena udara cairan tersebut barubah
menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan sebagai bahan tinta, bahan
pencelup, dan bahan pewarna.. Batang pohon mete menghasilkan gum
atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum
juga berfungsi sebagai anti ngengat yang sering menggerogoti buku.
Daging buah jambu mete dapat diolah menjadi sari buah, manisan basah
dan kering, selai mete, buah kaleng, dan sebagainya (Anonim, 2008h).
Pada penelitaian ini bagian jambu mete yang akan dianalisis adalah
daunnya. Daun jambu mete yang dimaksud adalah bagian daun yang
masih muda atau yang disebut pucuk (berwarna coklat kemerahan hingga
pucat).
Selain itu, jambu mete bisa dikonsumsi untuk keperluan kesehatan.
Berdasarkan referensi Tanaman Obat Indonesia (TOI), jambu mete
berkhasiat sebagai antirematik (Anonim, 2007b). Dengan khasiat itu,
tanaman dari keluarga anacardiaceae ini dapat dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit kanker, kencing manis, sakit kulit dan luka bakar.
Selain dikonsumsi sebagai sayur maupun lalapan, daun jambu
mete juga telah lama digunakan untuk mengatasi pegal linu. Kulit
kayunya dimanfaatkan untuk mengatasi buang air besar, diare, dan
sariawan. Sedangkan getahnya untuk mengobati borok dan kutil.
Tanaman jambu mete masih mudah dijumpai di sejumlah daerah Jawa
Tengah. Batangnya berkayu, bulat, bergetah, dan berwarna putih kotor.
Bagian tanaman yang biasa dipakai untuk pengobatan adalah daun muda,
kulit kayu, dan getahnya. Daun dan kulitnya mengandung asam
anakandat, kardol, zat samak, asam galat, gingkol, minyak lemak, protein,
katekhin, dan sitosterin (Anonim, 2008h)
Gambar 13. Pucuk Mete
12. Daun Pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching)
Klasifikasi dari pakis adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Filicophyta/Pterrophyta
Family
: Dryopteridaceae
Genus
: Arcypteris
Spesies
: (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching)
Pakis (Arcypteris irregularis (C.Presl) Ching), merupakan suatu
tanaman yang selalu berganti daun setiap tahun. Daun-daun yang subur
akan kelihatan lebih awal. Warnanya hijau yang kemudian pelan-pelan
menjadi warna coklat akibat perubahan musim dan jatuhnya spora ke daun
(Anonim, 2008u).Pakis diduga berasal dari kawasan Amerika dan Asia
Timur. Pakis pun tumbuh dengan baik pada daerah dengan hutan yang
lembab.
Pakis termasuk jenis tanaman paku-pakuan, berkembang biak dengan
spora. Ada bermacam-macam pakis, misalnya pakis haji, pakis laut, dan
pakis resam. Di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah tanaman pakis
biasanya digunakan untuk tanaman hias, tetapi di Sumatra Barat pakis
banyak diolah menjadi sayur, dimasak rendang, gulai atau hidangan
bersantan lain. Pakis sengaja ditanam di daerah yang agak dingin, seperti
kota Bogor dan Sukabumi. Pakis dari Sukabumi, lebih disukai masyarakat
dibandingkan dengan pakis Bogor karena lebih manis dan lebih lembut.
Pakis yang tergolong baik untuk dimakan mempunyai tangkai bulat, tebal,
dan mudah dipatahkan, berwarna hijau segar, sedikit berbulu, daunnya
masih menguncup membentuk lingkarang seperti gagang biola. Harganya
pun lebih mahal. Biasanya direndang atau digulai. Pakis yang tidak layak
dikonsumsi mempunyai tangkai yang kaku, berwarna kuning kehijauan,
bersirip kasar, dan biasanya mudah gugur daunnya. Sebenarnya yang biasa
memakan pakis sebagai sayur antara lain mereka yang berdiam di
Sumatra, Sulawesi, atau Jawa Barat. Orang Jawa Tengah dan Timur,
misalnya, tidak biasa mengonsumsi pakis. Di Malaysia pakis dibuat
semacam gulai. Di Brunai Darussalam pakis sudah menjadi bahan
masakan yang umum dan dijual di pasar-pasar.
Gambar 14. Pakis
13. Antanan Beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk.)
Klasifikasi dari antanan beurit adalah :
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledone
Order
: Umbillales
Family
: Umbilliferae (Apiaceae)
Genus
: Hydrocotyle
Spesies
: Hydrocotyle sibthorpioides Lam.
Antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lam.) merupakan
tanaman liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan,
pematang sawah ataupun di ladang yang agak basah. Tanaman ini berasal
dari daerah Asia tropik, tersebar di Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
India, Tiongkok, Jepang dan Australia kemudian menyebar ke berbagai
negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk tanaman ini
berbeda-beda tiap daerah. Masyarakat Sunda menyebutnya pegagan
embun, antanan beurit, dan antanan lembut. Orang Jawa menyebutnya
Andem, katepa’n, rendeng, dan semanggi. Di Madura dikenal dengan
nama salatun, take cena, sedangkan orang China menyebutnya tikim,
patikim, tian hu sui.
Antanan beurit tumbuh merayap, ramping, subur di tempat lembab,
terbuka maupun teduh di pinggir jalan, pinggir selokan, lapangan rumput
dan tempat lain sampai setinggi kira-kira 2.500 m dari permukaan laut.
Batang lunak, berongga, panjang 45 cm atau lebih, daun tunggal
berseling, bertangkai panjang, bentuk bulat atau reniform dengan pinggir
terbagi menjadi 5 - 7 lekukan dangkal, warna hijau. Bunga majemuk
bentuk bongkol, keluar dari ketiak daun, warna kuning. Antanan beurit
atau pegagan embun merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh
menjalar dan berbunga sepanjang tahun. Tanaman akan tumbuh subur bila
tanah dan lingkungannya sesuai hingga dijadikan penutup tanah.
Antanan beurit berasa manis, bersifat mendinginkan, memiliki
fungsi membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh
kencing
(diuretika),
penurun panas
(antipiretika),
menghentikan
pendarahan (haemostatika), meningkatkan syaraf memori, anti bakteri,
tonik, antispasma, antiinflamasi, hipotensif, insektisida, antialergi dan
stimulant (Anonim, 2008x). Saponin yang ada menghambat produksi
jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat terjadinya keloid).
Manfaat antanan beurit lainnya yaitu meningkatkan sirkulasi darah
pada lengan dan kaki, mencegah varises dan salah urat, meningkatkan
daya ingat, mental dan stamina tubuh, serta menurunkan gejala stres dan
depresi. Kebanyakan antanan beurit ini dikonsumsi segar untuk lalapan,
tetapi ada yang dikeringkan untuk dijadikan teh, diambil ekstraknya untuk
dibuat kapsul atau diolah menjadi krem, salep, obat jerawat, maupun body
lotion. Sejak jaman dahulu, antanan beurit telah digunakan untuk obat
kulit, gangguan syaraf dan memperbaiki peredaran darah. Masyarakat
Jawa Barat mengenal tanaman ini sebagai salah satu tanaman untuk
lalapan. Semua pegagan mempunyai zat makanan seperti protien, gentian,
zat besi, vitamin A dan C (Anonim, 2008l). Informasi mengenai nutritive
value dari Hydrocotyle sibthorpioides Lam. Ini belum ada yang secara
detil menjelaskannya. Namun dalam penggunaannya sebagai obat, seperti
kebanyakan dari famili Umbelliferae, Hydrocotyle sibthorpioides Lam.
Mengandung minyak essensial, komponen utama dari terpenoid menjadi
trans-beta-farnesene. A lignan, L-sesamin, dan caffeoylgalactoside juga
telah diisolasi dari tanaman ini.
Gambar 15. Antanan Beurit
Tabel 2. Penggunaan sayuran indigenous secara tradisional sebagai tanaman obat
di Indonesia
Nama Latin
Nama Lokal
Penggunaanya Secara Tradisional
di Indonesia
pelembut kulit, pencahar, dan
Sesbania grandiflora (L.)
Pers.
Bunga Turi
penyejuk, dan dapat juga digunakan
untuk pengobatan luka ataupun
disentri serta dapat memperlancar
ASI (Dhyan, 2008).
mengatasi keputihan, darah tinggi
dan sembelit, mempunyai khasiat
antiseptik untuk membunuh kuman
bakteria dalam usus dan menjadi
Allium schoenoprasum L.
Kucai
perangsang dalam proses
pengasaman usus, berkhasiat
melancarkan aliran darah, sekaligus
menghindarkan pembekuan darah
(Wijayakusuma, 2007
melancarkan sirkulasi dan
menghilangkan darah beku,
menghilangkan rasa sakit (analgetik),
mengatasi batuk (antitusif), dapat
digunakan untuk menyembuhkan
beberapa penyakit (bengkak, sakit
Solanum torvum Swartz
Buah
lambung, bisul, batuk kronis, dan
Takokak
koreng, sakit gigi, katarak, tidak
datang haid, wasir atau ambeien,
radang payudara, influenza, panas
dalam, pembengkakan, bisul, sakit
pinggang, asam urat tinggi, keropos
tulang, menetralkan racun dalam
tubuh (Wijayakusuma, 2008).
dengan menambahkan kapur sirih,
daun kelor merupakan obat kulit
Moringa pterygosperma
Gaertn
seperti kurap dengan cara
Daun Kelor
digosokkan, untuk penurun tekanan
darah tinggi, diare, diabetes melitus
(kencing manis), dan penyakit
jantung (Suriawiria, 2008)
ekstrak kloroform daun muda
Pucuk
Morinda citrifolia L
Mengkudu
mengkudu secara in-vitro mempunyai
aktivitas antihelmintik, cukup baik
melawan cacing Ascaris lumbricoides
yang ada pada usus (Raj dalam
Darusman, 2002).
antioksidan, antivirus, antibakteri,
gangguan saluran kencing, dan
Vigna unguiculata (L.) Walp
Daun Kacang
meningkatkan fungsi limpa, dapat
Panjang
meningkatkan fungsi sel darah merah,
menyembuhkan beri-beri, demam
berdarah, mengatasi sakit pinggang,
dan kurang darah (Nova, 2008).
Saccharum edule Hassk
Terubuk
menghilangkan bau badan, pelumas
Nothopanax scutellarium
(Burm.f.) Fosb.
Mangkokan
Putih
kepala terhadap kerontokan rambut,
menyembuhkan buah dada yang
bernanah, diuretika, dan peluruh
keringat (Agung, 2005)
obat diuretik, merawat penderita
Sechium edule (Jacq.)
Daun Labu
Swartz.
Siam
hipertensi, arterioscleosis,
melawaskan sistem pembuangan air
kecil dan pernafasan dan sebagai
tonik kesehatan (Dalimartha, 2005).
Bunga Pepaya direbus atau dimakan
Carica Papaya L.
Bunga
Pepaya
mentah untuk lalap, berfungsi untuk
mencuci darah, menyembuhkan
penyakit kuning, dapat pula sebagai
penambah nafsu makan (Vinosa,
2007)
Anacardium occidentale L
Pucuk Mete
mengatasi gangguan pegal linu
(Gupita, 2008)
Arcypteris irregularis
(C.Presl) Ching
berguna untuk amandel darah tinggi,
Daun Pakis
menurunkan darah tinggi (Bunga,
2008).
digunakan untuk obat kulit, gangguan
syaraf, membersihkan darah,
melancarkan peredaran darah,
peluruh kencing (diuretika), penurun
panas (antipiretika), menghentikan
pendarahan (haemostatika),
meningkatkan syaraf memori, anti
Hydrocotyle sibthorpioides
Lmk
Antanan
Beurit
bakteri, tonik, antispasma,
antiinflamasi, hipotensif, insektisida,
antialergi dan stimulant,
meningkatkan sirkulasi darah pada
lengan dan kaki, mencegah varises
dan salah urat, meningkatkan daya
ingat, mental dan stamina tubuh, serta
menurunkan gejala stres dan depresi
(Utami, 2008).
B. FLAVONOID
Flavonoid merupakan salah satu jenis komponen yang terkandung dalam
tanaman, dan dapat ditemukan pada semua tanaman vaskuler. Flavonoid adalah
komponen yang mempunyai berat molekul rendah, dan pada dasarnya
merupakan phenylbenzopyrones (phenylchromones) dengan berbagai variasi
pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama yang saling melekat. Struktur
dasar ini terdiri dari dua cincin benzene (A dan B) yang dihubungkan melalui
cincin heterosiklik piran atau piron (dengan ikatan ganda) yang disebut cincin
“C” (Middleton et al., 2000). Miean dan Mohamed (2001) menegaskan bahwa
struktur dasar flavonoid adalah rangkaian cincin karbon C6C3C6.
Gambar 16. Struktur kimia flavonoid
Flavonoid terdistribusi secara luas pada tanaman, yang memiliki berbagai
fungsi, termasuk berperan dalam memproduksi pigmen berwarna kuning,
merah, atau biru pada bunga dan sebagai penangkal terhadap mikroba dan
insekta (Anonim, 2008b). Flavonoid memiliki kontribusi yang penting dalam
kesehatan manusia. Menurut Markham (1989) yang dikutip oleh Hertog et al.
(a) (1992), disarankan agar setiap harinya manusia mengkunsumsi beberapa
gram flavonoid. Flavonoid memiliki ikatan difenilpropana (C6-C3-C6) yang
diketahui sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik. Selain itu senyawa ini
juga memiliki sifat sebagai antioksidan, anti peradangan, anti alergi, dan dapat
menghambat oksidasi dari LDL (Low Density Lipoprotein) (Anonim, 2008).
Jenis utama flavonoid adalah antosianidin, flavonol, flavone, flavonol,
flavonone, dan isoflavon (Spencer et al., 2003). Flavonol dan flavone
merupakan senyawa yang tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan kuning
(Robinson, 1995). Flavonol dan flavone yang terdapat dalam tanaman, biasanya
dalam bnetuk O-glikosida. Perbedaan yang paling utama antara flavonol dan
flavone yaitu pada flavonol terdapat gugus hiroksi pada gugus C3. Kedua
senyawa ini banyak terdapat pada bagian daun dan bagianluar daritanaman, dan
hanya sedikit yang ditemukan pada bagian tanaman yang berada di permukaan
tanah (Hertog et al., (a), 1992).
Dibandingkan dengan jenis flavonoid lain, jenis flavonol dan flavone
merupakan dua dari jenis falvonoid yang paling banyak terdapat dalam tanaman
sayur-sayuran (Robinson, 1995). Oleh karena itulah, pada penelitian ini,
dilakukan identifikasi pada kedua jenis flavonoid tersebut. Selain karena alasan
jumlah yang mayoritas, berdasarkan penilitian-penelitian yang telah dilakukan,
kedua jenis flavonoid ini memiliki kemampuan yang baik, antara lain sebagai
antioksidan.
Flavonol terdiri atas quercetin yang umumnya merupakan komponen
terbanyak dalam tanaman, kaempferol, dan myricetin. Flavone yang terdiri atas
apigenin dan luteolin, hanya ditemukan pada bahan pangan tertentu, contohnya
seledri, lada (hanya luteolin), dan peterseli (hanya apigenin) (Lee, 2000).
Dalam sayuran, quercetinglikosida merupakan komponen yang paling
menonjol. Namun, terdapat pula glikosida dari kaempferol, luteolin, dan
apigenin (Hertog et al., (a), 1992).
Flavonoid memiliki efek biologis dalam sistem sel mamalia yang berperan
dalam
kesehatan
manusia.
Beberapa
flavonoid,
terutama
quercetin
meningkatkan kemungkinan untuk mengkonsumsi senyawa ini dan substansi
yang terkait di dalamnya dapat mengurangi resiko kanker , penyakit jantung,
dan stroke pada manusia (Anonim, 2008). Senyawa quercetin merupakan
golongan flavonol yang paling banyak terdapat dalam tanaman dan merupakan
senyawa yang paling aktif dibandingkan senyawa lain dari golongan flavonol
(Fuhrman dan Aviram, 2002). Banyak tanaman obat menunjukkan khasiatnya
yang baik seiring dengan tingginya kandungan quercetin. Quercetin juga telah
terbukti memiliki aktivitas sebagai anti peradangan, karena langsung
menghambat penyebab utama dari proses peradangan tersebut (Anonim, 2008).
Kemampuan quercetin sebagai anti tumor juga luar biasa. Selain itu,
quercetin juga memiliki pengaruh yang positif dalam membantu untuk
mencegah kanker, prostatitis, gangguan jantung, katarak, dan gangguan
pernafasan, seperti bronkitis dan asma (Anonim, 2008). Quercetin mampu
menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat
menginduksi dari LDL (Aviram dan Fuhrman, 2003).
Senyawa lain dari golongan flavonol yang memiliki peran penting pula
adalah kaempferol. Senyawa kaempferol berbentuk padatan berwarna kuning
dengan titik leleh 276-278oC. Senyawa ini hanya sedikit larut dalam air, namun
larut dalam etanol panas, metanol, dan dietil eter. Konsumsi kempferol dalam
the dan brokoli menunjukkan adanya hubungan dengan penurunan resiko
terhadap kanker dan gangguan jantung (Anonim, 2008). Selain itu, kaempferol
juga mampu menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga,
yang dapat menginduksi dari LDL. Namun aktivitas kaempferol ini tidak
seefektif seperti liteolin dan quercetin (Aviram dan Fuhrman, 2003).
Myricetin merupakan senyawa yang paling sedikit dijumpai di tanaman
dibandingkan dengan senyawa laian dari golongan flavonol. Namun demikian,
myricetin juga memiliki khasiat antioksidan. Menurut Knekt et al. (2002) yang
dikutip dari anonim (2007), hasil studi in vitro menunjukkan bahwa dengan
konsentrasi myricetin yang tinggi dapat memodifikasi penyerapan kolesterol
LDL oleh sel darah putih menjadi lebih cepat. Selain itu, studi dari Finlandia
juga menyatakan bahwa denga tingginya konsumsi myricetin dapat
menurunkan kemungkinan terkena kanker prostat.
Salah satu senyawa golongan flavone yang penting diteliti pada penilitian
ini adalah luteolin. Senyawa luteolin memiliki peran yang penting dalam tubuh
manusia sebagai antioksidan, penangkap radikal bebas, zat pencegah terhadap
peradangan, promoter dalam metabolisme karbohidrat, dan sebagai pengatur
sistem imun. Berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut, luteolin juga
dipercaya dapat memainkan peran yang penting dalam pencegahan terhadap
kanker. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa loteolin sebgai zat
biokimia dapat secara drastis menurunkan gejala infeksi dan peradangan
(Anonim, 2008). Selain itu luteolin juga mampu menghambat oksidasi LDL
dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat menginduksi dari LDL
(Aviram dan Fuhrman, 2003).
Apigenin adalah senyawa lainnya dari golongan flavone yang akan
diidentifikasi pada penelitian ini. Apigenin merupakan aglikon dari apiin, yang
diisolasi dari daun tanaman peterseli dan seledri. Senyawa ini berbentuk
padatan dan berwarna kuning, dan sering digunakan untuk pencelupan bulu
domba (Anonim, 2008). Senyawa apigenin memiliki kemampuan antara lain
sebagai zat anti perdangan, antibakteri, dan untuk mengatasi masalah lambung
(Cadenas danPacker, 2002). Perbedaan antara senyawa flavonol dan flavone
dapat dilihat secara lebih jelas pada Gambar 17.
Senyawa
R1
R2
R3
Flavonol yang diidentifikasi
Myricetin
OH
OH
OH
Quercetin
OH
OH
H
Kaempferol
OH
H
H
Flavone yang diidentifikasi
Luteolin
H
OH
H
Apigenin
H
H
H
Gambar 17. Struktur kimia Flavonol dan flavone yang diidentifikasi
C. IDENTIFIKASI SENYAWA FLAVONOID
Analisis kimia dengan metode kromatografi didasarkan pada pemisahan
komponen yang terpartisi diantara dua fase dalam suatu kesetimbangan dinamis
dan mengalir. Proses ini dilakukan dengan menggerakkan suatu fase secara
mekanis (fase gerak), relatif terhadap fase lainnya.
Menurut Gritter et al., (1991), secara teori pemisahan kromatografi yang
paling baik akan diperoleh jika fase diam mempunyai luas permukaan
sebesar-besarnya, sehingga memastikan kesetimbangan yang baik antara fase.
Persyaratan kedua agar pemisahan baik adalah fase gerak harus bergerak
dengan cepat sehingga difusi sekecil-kecilnya. Untuk memperoleh permukaan
fase diam yang luas, pada sebagian besar system kromatografi digunakan
penjerap atau penyangga berupa serbuk halus. Untuk memaksa fase gerak
bergerak lebih cepat melalui fase diam yang terbagi pada serbuk halus, harus
digunakan tekanan tinggi. Dengan dipenuhinya kedua persayaratan tersebut,
diperoleh teknik kromatografi cair yang paling kuat yakni HPLC (High
Performance Liquid Chromatography). Jadi pada HPLC fase gerak dialirkan
dengan cepat dan hasilnya dideteksi dengan instrumen.
Komponen utama dari system HPLC adalah pompa (tekanan tetap dan
volume tetap), penginjeksi, kolom (ekternal dan internal), detektor, dan
rekorder atau sistem data yang terintegrasi (Rounds dan Gregor, 2003).
Parameter-parameter yang akan mempengaruhi system kerja pada HPLC antara
lain diameter dari kolom HPLC, ukuran partikel, ukuran lubang pada fase diam,
dan tekanan pompa.
Terdapat lima tipe HPLC yaitu normal phase chromatography, reversed
phase
chromatography,
ion-exchange
chromatography,
size-exclusion
chromatography, dan affinity chromatography (Rounds dan Gregor, 2003).
Pada penilitian ini, tipe HPLC yang digunakan adalah reversed phase
chromatography (RP-HPLC). Fase diam dari HPLC jenis ini adalah senyawa
nonpolar, sedangkan pase geraknya polar. Karena hal tersebutlah maka
komponen yang akan kelur dahulu adalah komponen yang polar dibandingkan
yang nonpolar.
Lebih dari 70% teknik pemisahan dengan metode HPLC menggunakan
tipe reversed phase. Beberapa contoh teknik pemisahan yang menggunakan
metode RP-HPLC adalah analisis protein dari tanaman, protein dari biji-bijian,
analisis vitamin larut air dan larut lemak, pemisahan karbohidrat, dan
penentuan unsur-unsur pokok dari miniman ringan. Reversed phase HPLC
dengan metode deteksi yang sangat bervariasi, digunakan untuk menganalisis
lemak (Rounds dan Gregor, 2003).
Antioksidan, seperti butylated hydroxylanisole (BHA) dan butylated
hydroxytoluene (BHT), dapat diekstrak dari bahan pangan kering dan dianalisis
dengan menggunakan detector UV dan fluoresens secara bersamaan. Bahan
pangan basah, pigmen (seperti klorofil, karotenoid, dan antosianin), dan
komponen fenolik (seperti vanili) dapat pula dianalisis dengan menggunakan
metode RP-HPLC (Rounds dan Gregor, 2003).
Kolom reversed phase chromatography lebih sulit untuk rusak
dibandingkan dengan kolom silika normal. Hal ini dikarenakan kolom
RP-HPLC terdiri atas alkil turunan silika dan tidak pernah digunakan dengan
larutan basa (karena larutan basa akan menghancurkan ikatan silika). Kolom
RP-HPLC dapat digunakan dengan larutan asam tapi tetapi tidak boleh kontak
terlalu lama karena asam dapat menimbulkan korosi pada logam yang ada
dalam peralatan HPLC. Kandungan logam pada kolom HPLC harus dijaga agar
tetap rendah supaya dapat memberikan hasil terbaik pada pemisahan komponen.
Salah satu cara untuk mengetahui kandungan logam di dalam kolom HPLC
adalah dengan menginjeksikan campuran dari 2,2’- dan 4,4’-bipiridin. Bila
terdapat ion logam di permukaan silika, maka senyawa 2,2’-bipiridin akan
mengkelat logam tersebut dan peak dari senyawa yang akan diidentifikasi
menjadi tidak teratur sehingga dapat memberikan hasil yang tidak sesuai.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendeteksi komponen fenolik
dalam bahan pangan dengan metode HPLC. Komponen fenolik merupakan
senyawa aromatik, oleh karena itu, senyawa tersebut akan memberikan
penyerapan yang baik pada panjang gelombang sinar UV. Flavonoid yang
merupakan bagian dari senyawa fenolik, memiliki serapan pada panjang
gelombang antara 240 dan 270 nm, dan antara 320 dan 380 nm. Untuk itulah,
pada deteksi komponen fenolik, detektor yang digunakan pada komponen
HPLC adalah detektorUV atau UV-Vis (Lee, 2000).
Fase gerak yang biasa digunakan dalam identifikasi senyawa fenolik
dengan HPLC adalah metanol, acetonitril, dan tetrahidrofuran. Penggunaan
tetrahidrofuran sebagai fase gerak dalam sistem HPLC, memberikan hasil
pemisahan yang terbaik diikuti oleh acetonitril, dan terakhir metanol. Namun,
pada identifikasi senyawa flavonoid, fase gerak yang biasa digunakan adalah
metanol dan acetonitril. Tetrahidrofuran akan memberikan hasil yang sangat
signifikan berbeda bila digunakan untuk mengidentifikasi asam sinamat dalam
jus jeruk (Lee, 2000).
Analisis flavonoid pada sayuran seperti yang dikemukakan Hertog et al.,
(a) (1992) banyak diadopsi oleh para peneliti-peneliti lain (Lee, 2000).
Identifikasi flavonoid pada sayuran dilakukan dengan menggunakan fase gerak
25% acetonitril dalam buffer fosfat 0.025M. laju alirannya adalah 0.9 ml/menit.
Sampel yang akan diidentifikasi akan melewati kolom Nova-Pak C18, yang
memiliki dimensi (150 x 3.9-mm ID). Detektor yang digunakan yaitu Linear
Model 204 UV-Vis detector (Hertog et al., (a) (1992).
Menurut Macrae (1988), keuntungan utama dari HPLC adalah
kemampuannya untuk menangkap komponen dengan stabilitas panas yang
terbatas ataupun yang bersifat volatil. HPLC merupakan metode yang sangat
sensitif, tepat, selektif, dan memiliki tingkat otomatisasi yang tinggi, sehingga
lebih sederhana dalam pengoperasiannya. Di samping itu, HPLC banyak
digunakan untuk analisis karena kemudahan injeksi, deteksi dan pengolahan
data serta dapat digunakan untuk berbagai macam sampel seperti sampel cairan,
padatan yang dilarutkan, maupun sampel yang labil terhadap pemanasan.
Modern HPLC telah banyak diaplikasikan seperti pemisahan, identifikasi,
pemurnian, dan penghitungan komponen yang bervariasi.
Menurut Adamson et al., (1999) HPLC merupakan metode yang efektif
untuk mendeteksi dan menghitung komponen fenol dan metode ini telah
digunakan secara luas. HPLC telah digunakan dalam menghitung prosianidin
dalam kakao dan coklat.
Dalam penelitian lain Mark et al., (2005) mengungkapkan bahwa HPLC
merupakan metode yang telah banyak digunakan untuk analisis kuantitatif
senyawa polifenol seperti flavonol dan proantosianidin.
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
I. Bahan
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
bahan untuk analisis bahan untuk membuat larutan standar, dan bahan
untuk membuat ekstrak sayuran. Bahan-bahan yang digunakan dalam
pembuatan larutan standar adalah myricetin, luteolin, quercetin, apigenin,
dan kaemferol (Sigma Aldrich), metanol 62.5%, dan HCl 6M. Bahan-bahan
yang digunakan dalam pembuatan ekstrak sayuran adalah daun kelor
(Moringa pterygosperma Gaertn.), buah takokak (Solanum torvum.Swartz)
seluruh bagian tanaman antanan beurit (Hydrocotyle sibthorpioides Lmk),
bunga pepaya (Carica papaya.L), daun jambu mete (Anacardium
occidentale. L), dan daun mengkudu (Morinda citrifolia.L), yang diperoleh
dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik) Bogor.
Daun labu siam (Sechium edule (Jacq.) Swartz.), daun kacang
panjang/lembayung (Vigna unguiculata (L.) Walp), daun pakis (Arcypteris
irregularis (C.Presl) Ching), dan kucai (Allium schoenoprasum L.), yang
diperoleh dari pasar-pasar lokal yang berada di daerah Bogor. Daun
mangkokan putih (Nothopanax scutellarium (Burm.f.) Fosb,), dan bunga
turi (Sesbania grandiflora (L.) Pers.), diperoleh dari Kebun Pusat Studi
Biofarmaka
Kampus
IPB
Darmaga.
Bunga
terubuk
(Saccharum
edule.Hassk), diperoleh dari petani-petani di daerah Bogor (Liuk,
Leuwiliang). Metanol 62.5%, dan HCl 6M. Bahan-bahan yang digunakan
untuk analisis flavonoid adalah acetonitril, KH2PO4, water chromatography,
Folin Ciocalteu, Na2CO3, dan etanol 95%.
II. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat untuk
membuat larutan standar, ekstrak sayuran, dan analisis. Untuk pembuatan
larutan standar alat-alat yang digunakan adalah labu takar, gelas ukur, pipet
mohr, pipet tetes, dan spatula. Alat-alat yang digunakan untuk membuat
ekstrak sayuran adalah freezer, freeze dryer, alat refluks, neraca analitik,
blender kering, labu takar, gelas piala, gelas ukur, pipet mohr, pipet tetes,
spatula, baskom, dan pisau. Untuk analisis alat-alat yang digunakan adalah
High Performance Liquid Chromatography (HPLC). HPLC column C-18
phase; Develosisl ODS-UG-3, alat injector sampel HPLC, filter syringe,
vial, oven, neraca analitik, desikator, alat vortex, labu takar, gelas piala,
tabung reaksi, spatula, gegep, dan cawan alumunium.
Tabel 3. Spesifikasi HPLC
Komponen HPLC
Tipe
Solvent cabinet
Shimadzu LC-20AD
Degasser
Shimadzu DGU-20A5
Pump
Shimadzu LC 20-AD
Detector UV-Vis
Shimadzu SPD-20A
Manual injector
Hewlett Packard Series 1100
Injector
Rheodyne 20 µL
Syringe
Agilent Technologies, LC 50 µL
Column
C-18 phase; Develosil ODS-UG-3, Nomura
Chemical
Mobile phase
25% acetonitrile in 0.025 M KH2PO4
Flow rate
0.9 ml/min (isocratic)
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap persiapan sampel,
dan analisis flavonoid yang meliputi analisis kadar air, analisis total fenol,
ekstraksi sampel, dan analisis flavonoid yang dilakukan secara duplo untuk dua
ulangan.
1. Persiapan Sampel
Mula-mula sampel dicuci sampai bersih, kemudian ditiriskan.
Selanjutnya sayuran dibekukan dalam freezer selama satu malam untuk
memudahkan proses pengeringan vakum. Waktu pengeringan dengan
freeze dryer dapat berlangsung selama satu sampai dua hari tergantung dari
banyaknya sampel. Setelah sampel kering, dilakukan penghancuran
menggunakan blender kering untuk mendaptkan bubuk sampel berukuran
kurang lebih 30 mesh. Sampel yang telah diblender kemudian disimpan
dalam freezer dan siap untuk digunakan dalam ekstraksi. Selanjutnya
sampel kering beku yang telah disimpan dalam freezer apabila akan
digunakan untuk keperluan analisis, Tahap persiapan sampel dapat dilihat
pada gambar 19.
C.
METODE ANALISIS
1.
Analisis Kadar Air (AOAC, 1984)
Penetapan kadar air merupakan cara untuk mengukur banyaknya air
yang terdapat di dalam suatu bahan pangan. Analisis kadar air dilakukan
pada sampel sayuran segar (awal) dan pada sampel sayuran setelah freeze
drying. Penentuan kadar air ini dilakukan dengan metode pengeringan
dengan oven biasa. Prinsip dari metode ini adalah air dikeluarkan dari
sampel dengan cara menguapkan air yang terdapat dalam bahan pangan.
Persiapan yang perlu dilakukan adalah cawan alumunium yang akan
digunakan terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama
15 menit kemudian didinginkan dalam desikator Selama 10 menit.
Selanjutnya cawan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.
Sampel ditimbang sebanyak kurang lebih 5 gram kemudian dikeringkan
dalam oven selama kurang lebih 6 jam. Setelah itu, didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang. Contoh kembali dikeringkan dalam oven
selama 30 menit lalu ditimbang kembali. Perlakuan terakhir ini diulangi
terus hingga diperoleh berat kering yang relatif konstan (berat dianggap
konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang
Kadar air (%) =
W – (W1 – W2)
0,0003 gram).
x 100%
W
W
= bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
W1
= bobot (contoh + cawan) sesudah dikeringkan (g)
W2
= bobot cawan kosong (g)
2.
Analisis Total Fenol (Shetty et al., 1995 yang dikutip oleh Ishartani,
2004)
Penentuan total fenol bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa
fenol pada sampel. Sampel kering beku bubuk mula-mula diambil sebanyak
50.0 mg dan dilarutkan dalam 2.5 etanol 95%, kemudian divorteks. Setelah
itu dilakukan sentrifuse terhadap campuran tersebut selama 5 menit dengan
kecepatan putaran 4000 rpm. Supernatan diambil sebanyak 0,5 ml dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 0.50 ml etanol
95%, 2.5 ml aquades, dan 2.5 ml reagen Folin Ciocalteu 50%. Campuran
tersebut didiamkan dahulu selama 5 menit, lalu ditambahkan 0.5 ml
Na2CO3 5% dan divorteks. Setelah itu, sampel disimpan dalam ruang gelap
selama satu jam, lalu dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 725 nm. Prosedur penentuan total fenol dapat dilihat
secar ringkas pada gambar 20.
Standar yang digunakan dalam penentuan total fenol adalah asam galat.
Standar asam galat dibuat dengan variasi konsentrasi antara 50 – 250 mg/L.
3.
Analisis dan Identifikasi Flavonoid
a. Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Sayuran Indigenous (Hertog et
al., 1992(a))
Tahap ekstraksi sampel diawali dengan pelarutan sebanyak 0.500
atau 1.000 gram sampel kering beku ke dalam 40 ml metanol 62,5%.
Kemudian ditambahkan 10 ml HCl 6M lalu direfluks selama satu jam
pada suhu 50oC. tujuan penambahan asam ini adalah untuk menjaga
komponen agar tidak terdegradasi dan perefluksan untuk hidrolisis asam
guna memotong gula. Gula yang menempel pada flavonoid dapat
mengganggu pemisahan komponen, sehingga ikatan tersebut perlu
dipotong. Setelah didinginkan ditambahkan kembali metanol sampai
volume larutan menjadi 100 ml. sebanyak dua milliliter larutan disaring
dengan filter Syringe berdiameter 0.45 µm, dan sampel tersebut telah
siap untuk diinjeksikan ke kolom HPLC. Proses pembuatan ekstrak
sampel secara ringkas ditunjukkan pada gambar 21.
b. Analisis Flavonoid dengan HPLC
a. Pembuatan larutan Standar Tunggal (Hertog et al., 1992(a))
Sebanyak 1.5 mg standar yang tersedia dilarutkan dalam 3 ml metanol
62.5%, sehingga diperoleh standar stock dengan konsentrasi 500
µg/ml. Setelah itu, 2.5 ml dari standar stock dilarutkan dalam 20 ml
metanol 62.5%. Kemudian dicampurkan dengan 5 ml HCl 6M untuk
menjaga kondisi asamnya supaya komponen flavonoid tersebut tidak
terdegradasi. Penambahan metanol dilakukan hingga volume
mencapai 50 ml, sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 25
µg/ml. larutan standar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
lima konsentrasi, yaitu 0.5, 2.5, 10, 20, dan 25 µg/ml. pembuatan
larutan standar dengan konsentrasi 0.5, 2.5, 10, 20 µg/ml dilakukan
dengan melakukan pengenceran dari larutan standar yang memilik
konsentrasi 25 µg/ml. Proses pembuatan larutan standar yang
dibutuhkan pada penelitian ini dapat dilihat secara ringkas pada
gambar 22.
b. Pembuatan kurva standar
Larutan standar sengan berbagai konsentrasi tersebut diinjeksikan ke
kolom HPLC C-18 phase; Develosil ODS-UG-3 yang meiliki dimensi
panjang 75 mm dan diameter dalam 4.6 mm. Fase
gerak yang
digunakan adalah 25 % acetonitril di dalam KH2PO4 0.025 M, dengan
laju aliran 0,9 ml/menit. Diinjeksikan pula larutan standar campuran
pada berbagai konsentrasi. Hasil dari kromatogram standar pada
berbagai konsentrasi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam satu
grafik. Dari data-data masing-masing, dibuat persamaan garis yang
akan digunakan pada perhitungan Limit of detection masing-masing
standar. Dari data-data kromatogram standar campuran, dibuat
persamaan garis yang digunakan pada perhitungan komponen
flavonoid pada sampel.
c. Perhitungan limit deteksi (Rounds dan Nielsen, 2000)
Limit of detection (LOD) atau limit deteksi diperoleh dengan cara
menginjeksikan masing-masing standar sebanyak sepuluh kali.
Konsentrasi yang digunakan untuk menentukan LOD adalah
konsentrasi yang terendah. Setelah diperoleh kesepuluh area tersebut,
dimasukkan kedalam persamaan kurva standar masing-masing,
sehingga diperoleh konsentrasi dan standar deviasinya. Besarnya
LOD adalah tiga kali dari nilai standar deviasi.
d. Pembuatan larutan dan kurva standar campuran
Proses pembuatan larutan standar campuran pada penelitian ini sama
dengan proses pembuatan larutan standar tunggal. Hanya saja pada
standar campuran ini dibuat dengan cara mencampur kelima standar
yang ada dengan perbandingan volume 1:1 dimana konsentrasi
apigenin dibuat menjadi dua kali konsentrasi standar lainnya.
Penentuan variasi konsentrasi yang digunakan ditentukan dengan
memperhatikan nilai limit deteksi masing-masing standar.
e. Injeksi ekstrak sampel ke kolom HPLC (Hertog et al., 1992(a))
Ekstrak sampel yang telah disaring dengan Syringe filter 0.45 µm,
diinjeksikan ke kolom HPLC C-18 phase; Develosil ODS-UG-3 yang
memiliki dimensi panjang 75 mm dan diameter dalam 4.6 mm. Fase
gerak yang digunakan adalah 25 % acetonitril di dalam KH2PO4
0.025 M, dengan laju aliran0,9 ml/menit.
f. Pembuatan ko-kromatogram
Pembuatan ko-kromatogram dilakukan dilakukan dengan cara
mencampur ekstrak sampel dengan kelima standar yang digunakan
sebagai acuan identifikasi dengan perbandingan 1:1. Pada pembuatan
ko-kromatogaram ini campuran standar yang digunakan adalah
campuran standar dengan konsentrasi tertinggi (4.17 µg/ml untuk
standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol serta 8.33
µg/ml untuk standar apigenin). Larutan campuran sampel dan standar
diinjeksikan sebanyak 20 µL dan direkam luas areanya. Penentuan
peak
standar
pada
ko-kromatogram
dilakukan
dengan
membandingkan urutan peak yang terbentuk dan luas area
ko-kromatogram
dengan
kromatogram
sampel.
Peak
pada
ko-kromatogram yang memiliki luas area yang berbeda (lebih besar)
dengan peak pada kromatogram sampel merupakan peak jenis
flavonoid yang ditambahkan. Selanjutnya penentuan kandungan
flavonoid
pada
membandingkan
kromatogram
sampel
dilakukan
dengan
kromatogram
sampel
tersebut
dengan
ko-kromatogram sampel sesuai urutan peak yang terbentuk pada
masing-masing waktu retensinya.
g. Identifikasi flavonoid pada sampel
Hasil dari kromatogram sampel kemudian dibandingkan dengan
kromatogram standar. Penentuan komponen yang terdapat pada
sampel dilihat berdasarkan waktu retensi masing-masing standar. Dari
area yang diperoleh, dihitung konsentrasinya dengan menggunakan
persamaan garis dari kurva standar campuranyang sudah diperoleh.
Selain itu dilakukan pula perhitungan dengan menggunakan eksternal
standar, yaitu dengan membandingkan luas area komponen pada
sampel dengan luas area pada standar campuran. Standar campuran
yang digunakan sebagai eksternal standar adalah standar campuran
dengan konsentrasi yang tertinggi.
4.
Analisis Data
• Analisis data total fenol dihitung menggunakan persamaan dari kurva
standar asam gallat. Masing-masing absorbansi dari sampel yang terukur
kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva standar asam gallat
(y=ax+b), dimana y adalah absorbansi sampel yang terukur; dan x adalah
konsentrasi sampel yang dicari. Dari hasil subtitusi ini kemudian akan
dihasilkan konsentrasi dari sampel yang diuji.
• Perhitungan untuk kandungan flavonol dan flavone pada masing-masing
sayuran dilakukan dengan menggunakan dua macam perhitungan.
Pertama dengan menggunakan persamaan kurva standar campuran, dan
yang kedua adalah dengan menggunakan eksternal standar. Perhitungan
dengan menggunakan eksternal standar yaitu dengan mengambil satu
standar campuran yang memiliki konsentrasi tertinggi untuk menghitung
konsentrasi flavonol dan flavone pada sampel kemudian dibandingkan
dengan area komponen yang terbentuk pada sampel dengan area pada
standar campuran. Hasil perhitungan ini kemudian diolah menggunakan
uji statistik yang berupa HSD Tukey pada taraf
= 0.05. sedangkan
untuk mengatahui berebda atu tidak antara dua macam cara perhitungan
yang digunakan, maka dilakukan uji t dua sampel berpasangan.
• Semua hasil perhitungan yang pada sampel dihitung berdasarkan berat
basah (mg/100 gram sampel segar) dan berat kering sampel (mg/100
gram sampel kering).
Sampel
Pencucian
Penirisan
Pembekuan selama 24 jam
Freeze drying selama 48 jam
Sampel kering beku
Penghancuran dengan blender kering
Sampel kering beku
(bubuk)
Penyimpanan dalam freezer
Gambar 18. Persiapan sampel
50.0 miligram sampel
kering beku (bubuk)
2.5 ml
etanol 95%
Pelarutan
Pemusingan selama 5 menit
dengan kecepatan 4000 rpm
supernatan
endapan
0.5 ml supernatan
0.5 ml etanol 95%
2.5 ml aquadest
2.5 ml Folin
Ciocalteau 50%
Pencampuran
Pendiaman selama 5 menit
0.5 ml
Na2CO3 5%
Pencampuran
Penyimpanan dalam ruang
gelap selama 1 jam
Pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 725 nm
Gambar 19. Prosedur analisis total fenol
0.500 atau 1.000
gram sampel kering
beku (bubuk)
Gelas
piala
400 ml
40 ml MeOH(aq)
62.5%
Pelarutan
10 ml HCl 6M
Pencampuran
Perefluksan selama 1 jam
pada suhu 50oC
Pendinginan
Labu takar
100 ml
MeOH(aq)
62,5%
Pencampuran
(sampai volume 100 ml)
Penyaringan dengan saringan
berdiameter 0.45 µm
Ekstrak sayuran
Gambar 20. Proses pembuatan ekstrak flavonoid dari sayuran indigenous
1.5 mg standar
flavonoid
30 ml MeOH(aq)
62.5%
Pelarutan
Standar stock
2.5 ml
standar stock
20 ml MeOH(aq)
62.5%
20 ml MeOH(aq)
62.5%
2 g/L TBHQ
Labu takar
50 ml
Pelarutan
5 ml HCl 6M
Pencampuran
MeOH(aq)
62,5%
Pencampuran
(sampai volume 50 ml)
Larutan standar
flavonoid
Gambar 21 . Pembuatan larutan standar flavonoid
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI/DETERMINASI TUMBUHAN
Identifikasi/determinasi tumbuhan dilakukan oleh pihak “Herbarium
Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor dengan
Kepala Bidang Botani LIPI adalah Dr. Eko Baroto Walujo, APU.
B. STANDAR FLAVONOID DAN LIMIT DETEKSI
1. Standar Flavonoid Bentuk Tunggal
Pembuatan standar bentuk tunggal dilakukan untuk mengetahui
waktu retensi dari masing-masing standar yang digunakan agar tidak terjadi
kesalahan dalam menentukan urutan munculnya senyawa flavonoid yang
diidentifikasi apalagi jika semua senyawa flavonoid tersebut terdapat dalam
suatu kromatogram sampel. Selain itu pembuatan standar bentuk tunggal ini
juga dimaksudkan untuk mengetahui besarnya limit deteksi dari
masing-masing standar flavonoid yang selanjutnya akan digunakan sebagai
acuan dalam penentuan konsentrasi standar campuran yang akan dibuat
sebagai referensi penentuan senyawa flavonoid yang ada di sampel. Pada
penelitian ini, masing-masing kurva standar flavonoid dibuat dengan variasi
konsentrasi antara 0.5-25 µg/ml, kecuali untuk standar apigenin dibuat
dengan variasi konsentrasi antara 2.5-25 µg/ml. Hal ini dilakukan karena
untuk standar apigenin pada konsentrasi 0.5 µg/ml setelah dilakukan
penginjeksian ternyata tidak sulit untuk terdeteksi, sehingga konsentrasinya
dinaikkan dengan maksud agar standar tersebut dapat terdeteksi. Pembuatan
standar tunggal tersebut dilakukan dengan cara menginjeksi masing-masing
standar flavonoid secara sendiri-sendiri pada lima variasi konsentrasi yang
sudah dibuat. Dari hasil penginjeksian ini nantinya akan dihasilkan suatu
persamaan kurva standar dari masing-masing standar flavonoid tersebut.
Untuk pembuatan limit of detection (LOD) atau limit deteksi diperoleh
dengan cara menginjeksikan masing-masing standar sebanyak sepuluh kali.
Konsentrasi standar yang diinjeksikan untuk menentukan LOD adalah
konsentrasi yang terendah (0.5 µg/ml untuk myricetin, luteolin, quarcetin
dan kaempferol serta 2.5 µg/ml untuk standar apigenin). Setelah diperoleh
kesepuluh area dalam tersebut, kemudian dimasukkan kedalam persamaan
kurva standar masing-masing, sehingga diperoleh konsentrasi dan standar
deviasinya. Besarnya LOD adalah tiga kali dari nilai standar deviasi.
Adapun hasil dari penginjeksian masing-masing standar flavonoid yang
digunakan akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Myricetin
Puncak senyawa myricetin muncul pada kisaran menit ke-3.7
sampai menit ke-4.2. Gambar 22 menunjukkan hasil kromatogram
standar myricetin pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang
diperoleh adalah y = 83351x-27550 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari
myricetin adalah 0.039 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit
deteksi dari senyawa myricetin dapat dilihat pada Lampiran 1.
Gambar 22. Kromatogram standar myricetin
b. Luteolin
Puncak senyawa luteolin muncul pada kisaran menit ke-7.3
sampai menit ke-8.1. Gambar 23
standar luteolin
menunjukkan hasil kromatogram
pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang
diperoleh adalah y = 80577x-17067 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari
luteolin adalah 0.056 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit deteksi
dari senyawa luteolin dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 23. Kromatogram standar luteolin
c. Quercetin
Puncak senyawa quercetin muncul pada kisaran menit ke-7.9
sampai menit ke-8.8. Gambar 24
menunjukkan hasil kromatogram
standar quercetin pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang
diperoleh adalah y = 79751x-16750 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi dari
quercetin adalah 0.028 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit
deteksi dari senyawa quarcetin dapat dilihat pada Lampiran 3. Dari
seluruh standar yang digunakan, quercetin memiliki limit deteksi yang
paling kecil. Hal ini berarti, dibandingkan dengan senyawa yang lain,
quarcetin memiliki respon yang paling baik terhadap instrumen yang
digunakan. Artinya pada konsentrasi
0.028 µg/ml, senyawa quarcetin
ini masih dapat dideteksi oleh instrumen atau alat analisis yang
digunakan, dalam hal ini HPLC. Di bawah konsentrasi tersebut senyawa
quarcetin sudah tidak dapat lagi dideteksi oleh instrumen yang
digunakan.
Gambar 24 . Kromatogram standar quercetin
d. Apigenin
Kurva standar apigenin dibuat dengan variasi konsentrasi antara
2.5-25 µg/ml. senyawa apigenin muncul pada kisaran menit ke- 13.8
sampai menit ke-14.9. Gambar 25 menunjukkan hasil kromatogram
standar apigenin
pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang
diperoleh adalah y = 29067 x - 14806 dengan r2 = 0.998. Limit deteksi
dari apigenin adalah 0.22 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit
deteksi dari senyawa apigenin dapat dilihat pada Lampiran 4. Kebalikan
dari quarcetin, dari seluruh standar yang digunakan, apigenin memiliki
limit deteksi yang paling besar. Hal ini berarti, respon dari senyawa
apigenin terhadap instrumen yang digunakan adalah yang paling rendah
dibandingkan dengan keempat senyawa lainnya.
Gambar 25 . Kromatogram standar apigenin
e. Kaempferol
Puncak senyawa kaempferol muncul pada kisaran menit ke- 15.8
sampai menit ke-17.4. Gambar 26 menunjukkan hasil kromatogram
standar kaempferol pada berbagai konsentrasi. Persamaan garis yang
diperoleh adalah y = 93015 x - 14742 dengan r2 = 0.999. Limit deteksi
dari apigenin adalah 0.047 µg/ml. Kurva standar dan perhitungan limit
deteksi dari senyawa kaempferol dapat dilihat pada Lampiran 5.
2.5
5,0
10
20
25
[ ] µg/ m l
Gambar 26 . Kromatogram standar kaempferol
Tabel 4. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk tunggal
Standar
Flavonoid
Rt/waktu retensi
(menit ke-)
Persamaan kurva
standar
Limit deteksi
(LOD)
Myricetin
3.7-4.2
y = 83351x - 27550
0.039
0.026*
Luteolin
7.3-8.1
y = 80577x - 17067
0.056
0.038*
Quarcetin
7.9-8.8
y = 79751x - 16750
0.028
0.022*
Apigenin
13.8-14.9
y = 29067x - 14806
0.22
0.19*
Kaempferol
15.8-17.4
y = 93015x - 14742
0.047
0.037*
* limit deteksi (LOD) dari standar yang dianalisa (Batari, 2007) pada
instrumen (sfesifikasi HPLC) yang berbeda tapi dengan jenis kolom
yang sama.
Dari Tabel 4. Terlihat bahwa limit deteksi yang dihasilkan pada
penelitian ini cukup berbeda dengan hasil yang di peroleh oleh Batari, 2007.
Meskipun demikian urutan responnya dari yang terbesar ke yang terkecil
masih tetap sama (quarcetin-myricetin-kaempferol-luteolin-apigenin). Hal
ini menunjukkan bahwa respon dan kondisi instrumen dalam hal ini kolom
yang digunakan telah berkurang. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh
perlakuan terhadap kolom yang kurang baik misalnya, setelah pemakaian
tidak dicuci dengan benar dan langsung disimpan. Selama waktu
penyimpanannya yang cukup lama pun tidak pernah diconditioning
sehingga komponen pengganggu (kotoran) masih tertinggal dalam kolom
yang akhirnya menyebabkan respon dari kolom tersebut menjadi menurun.
2. Standar Campuran Senyawa Flavonoid
Dalam suatu bahan pangan, senyawa flavonoid tidak pernah terdapat
secara mandiri. Adanya senyawa lain (baik itu sesama flavonoid atau bukan)
akan mempengaruhi senyawa yang dimaksud. Termasuk juga di dalam
perbedaan waktu retensi antara masing-masing senyawa dalam campuran jika
dibandingkan bila senyawa tersebut berdiri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan
pembuatan standar campuran untuk menentukan waktu retensi yang diharapkan
akan lebih dekat dengan waktu retensi flavonoid pada sampel.
Pembuatan standar campuran dilakukan dengan mencampur semua
standar yang digunakan dengan perbandingan 1:1 pada masing-masing tingkat
konsentrasi yang sama. Konsentrasi yang dibuat pada standar campuran adalah
0.83-1.67-2.5-3.33-4.17 µg/ml untuk senyawa myricetin, luteolin, quercetin,
dan kaempferol, sedangkan untuk senyawa apigenin , konsentrasi yang dibuat
adalah1.67-3.33-5-6.67-8.33 µg/ml. Pembuatan konsentrasi apigenin yang
menjadi dua kali konsentrasi senyawa lainnya dikarenakan respon dari apigenin
yang sangat rendah jika dibandingkan dengan keempat senyawa lainnya. Hal ini
dapat diketahui dari nilai limit deteksi apigenin yang cukup besar dibandingkan
keempat senyawa lainnya.
Penentuan besarnya tingkat konsentrasi yang digunakan pada standar
campuran ini mengacu pada nilai limit deteksi dari masing-masing standar. Nilai
limit deteksi ini menjelaskan bahwa batas minimal konsentrasi yang masih dapat
dideteksi oleh instrumen yang digunakan. Dari nilai-nilai tersebut dibuatlah
variasi konsentrasi standar campuran tersebut. Sebagai contoh, limit deteksi
terendah dari kelima standar adalah quarcetin (0.028 µg/ml). Untuk itu variasi
konsentrasi terendah yang dibuat untuk kelima standar tersebut adalah 0.83
µg/ml kecuali apigenin 1.67 µg/ml. Nilai ini masih berada dalam batas minimal
respon standar yang artinya pada konsentrasi tersebut senyawa standar yang
diinjeksikan pasti dapat teridentifikasi. Untuk standar apigenin, konsentrasi
terendahnya dibuat menjadi dua kali lipat dari keempat standar lainnya yaitu
1.67 µg/ml. Hal ini dilakukan untuk menyeragamkan hasil penginjeksian standar
tunggal dimana senyawa apigenin tersebut baru dapat terdeteksi apabila
konsentrasinya dinaikkan menjadi dua kali konsentrasi terendah dari keempat
standar lainnya. Selain itu dengan variasi konsentrasi standar campuran seperti
itu dapat menghemat biaya, disamping itu hasil analisa yang dihasilkan akan
lebih baik dan efisien terutama dari peak-peak yang dihasilkan karena tentunya
dengan konsentrasi yang lebih besar pastinya peak dan luas areanya akan
semakin besar juga.
Dari hasil penginjeksian kelima konsentrasi campuran tersebut, ternyata ada
hal yang menarik untuk diketahui. Diantara semua standar yang diinjeksikan
bila dibandingkan dengan hasil penginjeksian standar dalam bentuk tunggal
terlihat luas area yang dihasilkan pada konsentrasi 2.5 µg/ml (myricetin,
quarcetin, dan kaempferol), 5 µg/ml (apigenin) hasil penginjekasin standar
campuran ini mengalami peningkatan luas area. Kecuali luteolin justru
mengalami penurunan luas area. Hal ini terjadi karena dari kromatogram standar
campuran yang dihasilkan terlihat bahwa peak yang terbentuk pada waktu
retensi luteolin dan quarcetin hampir sama bahkan saling menyatu. Hal ini
memungkinkan terjadinya interaksi antara kedua senyawa tersebut sehingga
terjadi pengurangan konsentrasi pada satu senyawa di sisi lain terjadi
peningkatan konsentrasi pada senyawa yang satunya yang saling berinteraksi
dalam hal ini diduga sebagian senyawa luteolin terserap atau menjadi bagian
dari senyawa quarcetin sehingga luas area dari luteolin pun berkurang.
Hasil penginjeksian kelima konsentrasi campuran tersebut, dibuatlah kurva
standar campuran dengan persamaan garis untuk masing-masing senyawa
flavonoid yang digunakan dalam perhitungan konsentrasi flavonol dan flavone
yang terdapat di dalam sampel. Contoh kromatogram standar campuran dapat
dilihat pada Gambar 27. yang menggunakan konsentrasi campuran yang
tertinggi (4.17 untuk myricetin, luteolin, quarcetin dan kaempferol serta 8.33
untuk apigenin).
Persamaan garis untuk myricetin adalah y = 171915 x - 76058, dengan nilai
r2 = 0.999. Kurva standar campuran myricetin dapat dilihat pada Gambar 28.
Persamaan garis untuk luteolin adalah y = 20332 x - 5779, dengan nilai r2 =
0.998. Kurva standar campuran luteolin dapat dilihat pada Gambar 29.
Persamaan garis untuk quercetin adalah y = 77985 x - 16728, dengan nilai r2 =
0.998. Kurva standar campuran quercetin dapat dilihat pada Gambar 30.
Persamaan garis untuk apigenin adalah y = 54005 x - 49812, dengan nilai r2 =
0.998. Kurva standar campuran apigenin dapat dilihat pada Gambar 31.
Persamaan garis untuk kaempferol adalah y = 183312 x - 85155, dengan nilai r2
= 0.998. Kurva standar campuran kaempferol dapat dilihat pada Gambar 32.
Tabel 5. Hasil penginjeksian standar flavonoid dalam bentuk campuran
Standar
Flavonoid
Rt/waktu retensi
(menit ke-)
Persamaan kurva
standar
Limit deteksi
(LOD)
Myricetin
4.1 - 5.3
y = 171915x - 76058
0.039
0.026*
Luteolin
8.4 - 8.7
y = 20332x - 5779
0.056
0.038*
Quarcetin
8.6 - 9.8
y = 77985x - 16728
0.028
0.022*
Apigenin
15.1 - 17.3
y = 54005x - 49812
0.22
0.19*
Kaempferol
17.6 – 20.2
y = 183312x - 85155
0.047
0.037*
* limit deteksi (LOD) dari standar yang dianalisa (Batari, 2007) pada instrumen
(sfesifikasi HPLC) yang berbeda tapi dengan jenis kolom yang sama.
Gambar 27. Kromatogram standar campuran
konsentrasi
(µg/ml)
0.83
area
(mAU)
67525
1.67
217408
2.5
344943
3.33
491388
4.17
647387
Gambar 28. Kurva standar campuran myricetin
konsentrasi
(µg/ml)
0.83
area
(mAU)
10602
1.67
29794
2.5
43950
3.33
61267
4.17
79645
Gambar 29. Kurva standar campuran luteolin
konsentrasi
(µg/ml)
0.83
area
(mAU)
45729
1.67
113686
2.5
180248
3.33
247464
4.17
304052
Gambar 30. Kurva standar campuran quercetin
konsentrasi
(µg/ml)
1.67
area
(mAU)
45844
3.33
125283
5
219199
6.67
304784
8.33
405957
Gambar 31. Kurva standar campuran apigenin
konsentrasi
(µg/ml)
0.83
area
(mAU)
66007
1.67
228373
2.5
369565
3.33
514269
4.17
687418
Gambar 32. Kurva standar campuran kaempferol
C. TOTAL FENOL
Total fenol merupakan perkiraan kasar jumlah senyawa fenolik yang
terdapat dalam suatu bahan. Kebanyakan senyawa fenolik biasanya bersifat
antioksidan oleh karena itu pengukuran total fenol dapat digunakan untuk
memperkirakan aktifitas antioksidan suatu bahan. Pengukuran total fenol yang
dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode yang mereaksikan ekstrak
bahan dengan senyawa folin. Senyawa folin dapat bereaksi dengan gugus
kromofor pada fenolik dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 725 nm.
Pengukuran total fenol dilakukan dengan membandingkan fenol yang ada
dalam bahan dengan kurva standar fenol yang dibuat dari asam galat. Selain
asam galat kurva standar juga dapat mengunakan asam tanat. Pemilihan bahan
yang akan dijadikan standar tergantung bentuk mayoritas fenol yang terdapat
dalam bahan yang diuji. Untuk produk ini total fenol mayoritas berupa polimer
asam galat.
Perhitungan total fenol pada sampel dilakukan dengan menggunakan
persamaan garis dari kurva standar asam galat. Konsentrasi asam galat yang
digunakan adalah 50,100,150,200,250 mg/l. Kurva standar asam galat untuk
ulangan 1 dan 2 dapat dilihat pada Lampiran 6. Perhitungan total fenol, pada
sampel dilakukan berdasarkan berat basah dan berat kering sampel. Basis berat
basah berarti kandungan fenol dihitung sebanyak berapa miligram dalam 100
gram sampel segar, sedangkan perhitungan berdasarkan basis kering berarti
kandungan fenol dihitung sebanyak berapa miligram dalam 100 gram sampel
kering. Dari hasil analisis total fenol tiga belas sampel, diketahui bahwa total
fenol terbanyak berdasarkan berat kering terdapat pada pucuk mete (2809.5 mg)
dan terkecil pada kucai (211.7 mg). Untuk nilai total fenol dari tiga belas sampel
yang dianalisa dapat dilihat pada Tabel 6 dan untuk perhitungan total fenol pada
sampel selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 16.
Tabel 6. Total fenol sayuran indigenous
Nama Lokal
Total fenol
(mg/100 g sampel kering)
Bunga turi
323,7
Kucai
211,7
Takokak
860,3
Daun kelor
536,1
Pucuk mengkudu
236,4
Lembayung
438,3
Terubuk
204,4
Mangkokan putih
491.0
Daun labu siam
412,6
Bunga papaya
376,2
Pucuk mete
2809,5
Pakis
306,7
Antanan beurit
805,5
D. ANALISIS FLAVONOID PADA SAYURAN INDIGENOUS
Hasil penelitian mengenai kandungan flavonol dan flavone pada tiga
belas sayuran indigenous menunjukkan bahwa tidak semua tanaman memiliki
komponen flavonoid yang telah disebutkan di atas. Total flavonol dan flavone
yang terdapat dalam sayuran indigenous yang digunakan sangatlah bervariasi.
Dari hasil analisis diperoleh data bahwa semua sayuran indigenous yang
dianalisa mengandung senyawa quarcetin. Untuk senyawa kaempferol hampir
ditemukan pada semua sampel kecuali pada takokak dan terubuk, sedangkan
untuk senyawa myricetin, luteolin dan apigenin hanya ditemukan pada
beberapa sampel saja.
Hasil perhitungan untuk kandungan flavonol dan flavone pada
masing-masing sayuran dilakukan dengan menggunakan dua macam
perhitungan. Pertama dengan menggunakan persamaan kurva standar
campuran, dan yang kedua adalah dengan menggunakan eksternal standar,
yaitu dengan mengambil satu standar campuran yang memiliki konsentrasi
tertinggi, dan untuk menghitung konsentrasi flavonol dan flavones pada
sampel, dibandingkan dengan area komponen yang terbentuk pada sampel
dengan area pada standar campuran. Penggunaan dua cara perhitungan ini pada
dasarnya dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perbedaan hasil yang
diperoleh jika dihitung dengan dua cara ini. Dari masing-masing perhitungan
tersebut nantinya akan dibandingkan dan diketahui mana cara yang paling baik
dan efektif dalam menghitung komponen flavonoid sampel. Hasil perhitungan
dengan kedua cara ini dapat dilihat pada Tabel. 7 dan Tabel. 8.
Perhitungan komponen flavonol dan flavones pada sampel dilakukan
berdasarkan berat basah dan berat kering sampel. Basis berat basah berarti
kandungan flavonol dan flavones dihitung sebanyak berapa miligram dalam
100 gram sampel segar, sedangkan perhitungan berdasarkan basis kering
berarti kandungan flavonol dan flavones dihitung sebanyak berapa miligram
dalam 100 gram sampel kering. Untuk perbandingan hasil analisis komponen
flavonol dan flavone pada sampel yang menggunakan kurva standar campuran
dan eksternal standar campuran dapat dilihat pada Tabel. 9. Untuk pembahasan
selanjutnya pada masing-masing sampel, hasil yang diperoleh mengacu pada
Tabel 7, Tabel 8, dan Tabel 9. Hasil yang ditampilkan pada Tabel tersebut
merupakan hasil akhir dari perhitungan.
Tabel 7. Hasil perhitungan konsentrasi flavonoid pada sampel dengan menggunakan kurva standar campuran
Perhitungan dengan kurva standar campuran
Sampel
Bunga turi
Wet basis
Dry basis
Konsentrasi (mg/100 g sampel segar)
Konsentrasi (mg/100 g sampel kering)
Total
Total
flavonol
flavonol
Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol
Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol
dan
dan
flavone
flavone
2,76
18,47
21,23
28,27
189,05
217,32
Kucai
2,69
4,46
Takokak
2,30
0,66
Daun kelor
1,32
7,65
14,79
16,23
26,96
2,96
21,30
6,09
95,84
20,79
117,95
Pucuk mengkudu
23,67
9,75
Lembayung
27,35
3,33
Terubuk
Daun labu siam
Bunga papaya
Pucuk mete
Tidak terdeteksi
33,42
142,65
58,78
201,43
43,65
242,00
29,46
386,27
0,44
3,77
12,95
32,49
83,84
9,72
36,03
5,47
36,27
8,28
125,39
9,91
143,58
7,42
2,10
9,52
1,57
37,51
10,85
49,93
6,87
13,81
18,85
Pakis
Antanan beurit
473,33
12,67
12,49
27,39
83,44
0,44
Mangkokan
89,39
384,61
12,97
11,95
5,29
46,20
69,40
10,47
3,77
85,67
214,99
45,48
54,02
200,15
46,29
306,85
573,07
45,27
656,20
65,81
18,64
84,45
249,54
72,17
332,18
76,72
159,44
37,85
114,81
101,12
Tabel 8. Hasil perhitungan konsentrasi flavonoid pada sampel dengan menggunakan eksternal standar campuran
Perhitungan dengan eksternal standar campuran a)
Sampel
Bunga turi
Wet basis
Dry basis
Konsentrasi (mg/100 g sampel segar)
Konsentrasi (mg/100 g sampel kering)
Total
Total
flavonol
flavonol
Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol
Myricetin Luteolin Quercetin Apigenin Kaempferol
dan
dan
flavone
flavone
2,51
18,50
21,00
25,64
189,33
214,97
Kucai
2,30
4,01
Takokak
2,60
0,72
1,38
Daun kelor
Pucuk
mengkudu
Daun labu siam
12,16
Pucuk mete
7,55
Pakis
3,32
24,03
6,69
24,93
9,55
3,45
30,71
499,07
34,48
150,28
57,57
207,85
45,44
256,53
30,51
402,13
0,55
4,71
12,90
32,59
87,38
10,13
36,65
5,40
37,98
127,80
10,26
145,61
7,67
2,19
9,86
6,49
14,36
12,17
67,53
34,50
*4.17 µg/ml untuk standar myricetin, luteolin, quercetin, dan kaempferol
115,09
4,71
85,39
215,70
42,92
56,30
203,60
45,72
321,33
584,09
46,89
665,47
68,09
19,44
87,53
264,60
71,78
345,67
79,77
172,61
1,40
39,77
10,79
51,95
9,29
Antanan beurit
konsentrasi standar eksternal yang digunakan adalah campuran standar flavonoid dengan konsentrasi tertinggi
a)
*8.33 µg/ml untuk standar apigenin
85,55
84,48
13,00
5,53
47,43
409,06
20,40
Bunga papaya
24,25
124,37
13,20
Mangkokan
13,88
21,05
0,55
Terubuk
14,16
101,94
28,99
Lembayung
7,85
103,00
Tabel 9. Perbandingan hasil analisis flavonol dan flavone dengan perhitungan kurva standar campuran dan eksternal standar campuran
Wet basis
Dry basis
total flavonol dan flavone
total flavonol dan flavone
(A-B)c)
Sampel
(A-B)c)
(mg/100g sampel segar)
(mg/100g sampel kering)
Aa)
Bb)
(A-B) d)
%e)
Aa)
Bb)
(A-B) d)
%e)
Bunga turi
21,23
21,00
0,23
1,08
217,32
214,97
2,34
1,08
Kucai
14,79
14,16
0,64
4,30
89,39
85,55
3,84
4,30
30,71
Takokak
2,96
3,32
0,36
12,14
27,39
3,32
12,14
Daun kelor
117,95
124,37
6,41
5,44
473,33
499,07
25,74
5,44
Pucuk mengkudu
33,42
34,48
1,06
3,19
201,43
207,85
6,42
3,19
Lembayung
43,65
45,44
1,79
4,11
386,27
402,13
15,86
4,11
0,55
4,71
Terubuk
0,44
0,11
24,94
3,77
0,94
24,94
Mangkokan
32,49
32,59
0,11
0,33
214,99
215,70
0,70
0,33
Daun labu siam
36,03
36,65
0,62
1,72
200,15
203,60
3,45
1,72
Bunga papaya
36,27
37,98
1,71
4,72
306,85
321,33
14,48
4,72
Pucuk mete
143,58
145,61
2,03
1,41
656,20
665,47
9,27
1,41
Pakis
9,52
9,86
0,35
3,65
84,45
87,53
3,08
3,65
Antanan beurit
49,93
51,95
2,03
4,06
332,18
345,67
13,49
4,06
a)
A
= hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan kurva standar
b)
B
= hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan eksternal standar
c)
(A-B)
= selisih hasil perhitungan dengan menggunakan kurva standar dan eksternal standar
d)
(A-B)
= nilai c) (harga mutlak ; diambil nilai yang positif)
e)
%
= persentase nilai d) dibandingkan dengan nilai a)
1.
Bunga turi
Bunga turi memiliki kadar air sebesar 90.23 %. Berdasarkan hasil analisis
total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada bunga turi adalah sebanyak
31.6232 mg/100 g sampel segar dan 323.6766 mg/100 g sampel kering.
Gambar 33. menunjukkan kromatogram ekstrak bunga turi hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul hanya quarcetin dan kaempferol. Puncak quarcetin
muncul pada menit ke-7.661, sedangkan untuk puncak kaempferol muncul
pada menit ke-15.419. Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut,
maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran.
Hasil ko-kromatogram ekstrak bunga turi dengan standar tersebut dapat dilihat
pada Gambar 34. Terlihat pada Gambar 34, peak ko-kromatogram yang
terbentuk
mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi
penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang
terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area
dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi
dalam sampel. Tabel 10 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak
bunga turi, standar campuran, dan ekstrak bunga turi dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada bunga turi dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.76 mg quarcetin dan 18.47 mg
kaempferol sehingga totalnya adalah 21.23 mg. Konsentrasi flavonol dan
flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering)
adalah 28.27 mg quarcetin dan 189.05 mg kaempferol, sehingga totalnya
adalah 217.32 mg
Kandungan flavonol dan flavone pada bunga turi dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.51 mg quarcetin dan
18.50 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 21.00 mg. Konsentrasi flavonol
dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering)
adalah 25.64 mg quarcetin dan 189.33 mg kaempferol sehingga totalnya adalah
214.97 mg.
Komponen flavonol dan flavones yang terdapat pada bunga turi
didominasi oleh kaempferol. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sampel bunga
turi memiliki kandungan kaempferol yang paling banyak diantara kedua belas
sampel lainnya. Tapi jika dilihat dari totalnya, bunga turi bukanlah sampel
yang paling banyak mengandung flavonol dan flavones. Meskipun demikian,
dari hasil ini dapat diketahui bahwa bunga turi dapat dijadikan sebagai salah
satu sumber alternatif bahan pangan sebagai sumber kaempferol.
Gambar 33. kromatogram ekstrak bunga turi
Gambar 34. Ko-kromatogram ekstrak bunga turi dengan standar campuran
Tabel 10 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak bunga turi
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak bunga
turi (mAU)
Area pada ekstrak
bunga turi dengan
standar campuran
(mAU)
Myricetin
381388
508662
Luteolin
50642
52993
304052
96453
435957
466482
767418
3429956
Quercetin
93493
Apigenin
Kaempferol
2.
Area pada
standar
campuran
(mAU)
1742134
Kucai
Kucai memiliki kadar air sebesar 83.45 %. Berdasarkan hasil analisis total
fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada kucai adalah sebanyak 35.0461
mg/100 g sampel segar dan 211.7319 mg/100 g sampel kering.
Gambar 35. menunjukkan kromatogram ekstrak kucai hasil analisis
dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul terdiri dari myricetin, quarcetin dan kaempferol.
Puncak myricetin muncul pada menit ke-3.211, puncak quarcetin muncul pada
menit ke-7.620, dan untuk puncak kaempferol muncul pada menit ke-15.334.
Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi
sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 36,
peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak kucai dengan
standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 36. Tabel 11 menunjukkan
perbandingan luasan area antara ekstrak kucai, standar campuran, dan ekstrak
kucai dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada kucai dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.69 mg myricetin, 4.46 quarcetin,
dan 7.65 mg kaempferol sehingga totalnya 14.79 mg. Konsentrasi flavonol dan
flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering)
adalah 16.23 mg myricetin, 26.96 mg quarcetin dan 46.20 mg kaempferol,
sehingga totalnya adalah 89.39 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada kucai dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar),yaitu 2.30 mg myricetin, 4.01
mg quarcetin, dan 7.85 kaempferol, sehingga totalnya 14.16 mg. Konsentrasi
flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel
kering) adalah 13.88 mg myricetin, 24.25 mg quarcetin dan 47.73 mg
kaempferol, sehingga totalnya 85.33 mg.
Bila melihat data pada Tabel 26, dapat diketahui bahwa kucai memiliki
persentase jumlah unknown yang paling besar dibandingkan sampel lainnya.
Hal ini berarti sebenarnya dalam tanaman kucai ini masih banyak senyawa
golongan flavonol dan flavones yang lain selain kelima senyawa yang
diidentifikasi.
Tabel 11. Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak kucai
Komponen
flavonoid
Myricetin
Area pada
ekstrak kucai
(mAU)
63475
Luteolin
Quercetin
88399
Apigenin
Kaempferol
3.
430706
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
kucai dengan
standar campuran
(mAU)
381388
119019
50642
42285
304052
99594
435957
250093
767418
756224
Takokak
Takokak memiliki kadar air sebesar 89.20 %. Berdasarkan hasil
analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada takokak adalah
sebanyak 92.9109 mg/100 g sampel segar dan 860.2860 mg/100 g sampel
kering.
Gambar 37. menunjukkan kromatogram ekstrak takokak hasil analisis
dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul hanya myricetin (pada menit ke-3.628) dan quarcetin
(pada menit ke-8.520). Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut,
maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran.
Terlihat pada Gambar 38, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami
perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran
standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya
peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai
acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil
ko-kromatogram ekstrak takokak dengan standar tersebut dapat dilihat pada
Gambar 38. Tabel 12 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak
takokak, standar campuran, dan ekstrak takokak dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada takokak dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2,30 mg myricetin dan 0,66 mg
quarcetin, sehingga totalnya 2,96 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang
diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 21,30 mg
myricetin dan 6,09 mg quarcetin, sehingga totalnya adalah 27,39 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada takokak dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 2.60 mg myricetin dan
0.72 mg quarcetin sehingga totalnya 3.32 mg. Konsentrasi flavonol dan
flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah
24.03 mg myricetin dan 6.69 mg quarcetin, sehingga totalnya adalah 30.71 mg.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, takokak merupakan sampel yang
memiliki kandungan jenis flavonol dan flavone yang terendah setelah terubuk.
Senyawa myricetin yang terdapat pada takokak lebih besar dari pada senyawa
quarcetin yang dikandungnya. Kedua senyawa ini
hanya sedikit yang
terkandung di dalam buah takokak, sehingga membuat buah takokak ini
memiliki total flavonol dan flavone yang kedua terendah setelah terubuk.
Namun demikian bila lihat dari persentase unknown pada takokak ini terdapat
jumlah yang cukup besar (kedua terbesar setelah kucai) dari hasil kuantifikasi
pada waktu retensi tertentu. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa sebenarnya
dalam buah takokak yang diteliti ini memiliki potensi kandungan senyawa
flavonol dan flavone yang lain selain kelima jenis flavonol dan flavon yang
diidentifikasi.
Tabel 12 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak takokak
Komponen
flavonoid
Myricetin
Area pada
ekstrak
takokak
(mAU)
Area pada
standar
campuran
(mAU)
381388
225607
50642
49207
304052
32564
Apigenin
435957
202713
Kaempferol
767418
326835
107004
Luteolin
Quercetin
4.
Area pada ekstrak
takokak dengan
standar campuran
(mAU)
10784
Daun Kelor
Sayuran daun kelor ini memiliki kadar air sebesar 75.08 %.
Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada
daun kelor adalah sebanyak 133.5919 mg/100g sampel segar dan
536.0831mg/100 g sampel kering.
Gambar 39. menunjukkan kromatogram ekstrak daun kelor hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul adalah luteolin (pada menit ke-6.712), quarcetin (pada
menit ke-7.499), dan kaempferol (pada menit ke-15.475). Untuk lebih
menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang
telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 40, peak
ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak daun kelor
dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 40. Tabel 13 menunjukkan
perbandingan luasan area antara ekstrak daun kelor, standar campuran, dan
ekstrak daun kelor dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada daun kelor dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1,32 mg luteolin, 95,84 mg quarcetin,
dan 20,79 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 117,95 mg. Konsentrasi
flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel
kering) adalah 5,29 mg luteolin, 384,61 mg quarcetin, dan 83,44 mg
kaempferol sehingga totalnya adalah 473,33 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada daun kelor dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1,38 mg luteolin, 101.94
mg quarcetin, dan 21,05 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 124.37 mg.
Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per
100 g sampel kering) adalah 5,53 mg luteolin, 409.06 mg quarcetin, dan 84,48
mg kaempferol sehingga totalnya adalah 499.07 mg.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, daun kelor memiliki kandungan
flavonol dan flavones total yang cukup besar (kedua terbesar) setelah pucuk
mete dan didominasi oleh komponen quarcetin. Jumlah quarcetin pada daun
kelor ini juga adalah yang terbesar kedua setelah pucuk mete. Selain itu, daun
kelor ini adalah satu-satunya sampel yang mengandung komponen luteolin.
Namun jumlahnya pun sangat kecil.
Tabel 13 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak daun kelor
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak daun
kelor (mAU)
Myricetin
Luteolin
Quercetin
Area pada ekstrak
daun kelor dengan
standar campuran
(mAU)
381388
24844
33421
50642
7733
2918005
304052
2982630
435957
433717
767418
1451339
Apigenin
Kaempferol
Area pada
standar
campuran
(mAU)
696279
Gambar 35. kromatogram ekstrak kucai
Gambar 36. Ko-kromatogram ekstrak kucai dengan standar campuran
Gambar 37. kromatogram ekstrak takokak
Gambar 38. Ko-kromatogram ekstrak takokak dengan standar campuran
Gambar 39. kromatogram ekstrak daun kelor
Gambar 40. Ko-kromatogram ekstrak daun kelor dengan standar campuran
5.
Pucuk mengkudu
Pucuk mengkudu ini memiliki kadar air sebesar 83.41 %. Berdasarkan
hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada pucuk
mengkudu adalah sebanyak 39.2270 mg/100 g sampel segar dan 236.4499
mg/100 g sampel kering.
Gambar 41. menunjukkan kromatogram ekstrak pucuk mengkudu hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul hanya quarcetin (pada menit ke-8.812), dan kaempferol
(pada menit ke-18.303). Terlihat pada Gambar 42, peak ko-kromatogram yang
terbentuk
mengalami perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi
penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang
terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area
dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi
dalam sampel. Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka
dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Hasil
ko-kromatogram ekstrak pucuk mengkudu dengan standar tersebut dapat
dilihat pada Gambar 42. Tabel 14 menunjukkan perbandingan luasan area
antara ekstrak pucuk mengkudu, standar campuran, dan ekstrak pucuk
mengkudu dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada pucuk mengkudu dengan
perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 23,67 mg quarcetin, dan
9,75 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 33,42 mg. Konsentrasi flavonol
dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering)
adalah 142,65 mg quarcetin dan 58,78 mg kaempferol, sehingga totalnya
adalah 201,43 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada pucuk mengkudu dengan
perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut
: berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 24.39 mg quarcetin, dan
9,55 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 34,48 mg. Konsentrasi flavonol
dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering)
adalah 150.28 mg quarcetin dan 57,57 mg kaempferol, sehingga totalnya
adalah 207.85 mg.
Gambar 41. kromatogram ekstrak pucuk mengkudu
Gambar 42. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mengkudu dengan standar campuran
Tabel 14 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak pucuk mengkudu
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak pucuk
mengkudu
(mAU)
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Myricetin
381388
377922
Luteolin
50642
42573
304052
1102964
435957
201805
767418
1050270
Quercetin
1095757
Apigenin
Kaempferol
6.
Area pada ekstrak
pucuk mengkudu
dengan standar
campuran (mAU)
571132
Lembayung / daun kacang panjang
Daun lembayung (kacang panjang) memiliki kadar air sebesar 88.70
%. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol
pada lembayung adalah sebanyak 49.5283 mg/100g sampel segar dan
438.3032 mg/100g sampel kering.
Gambar 43. menunjukkan kromatogram ekstrak lembayung hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul dalah quarcetin (pada menit ke-7.447), apigenin (pada
menit ke-15.209), dan kaempferol (pada menit ke-17.058). Untuk lebih
menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang
telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 44, peak
ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak lembayung
dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 44. Tabel 15 menunjukkan
perbandingan luasan area antara ekstrak lembayung, standar campuran, dan
ekstrak lembayung dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada lembayung dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 27.35 mg quarcetin, 12.79 mg
apigenin, dan 3.33 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 43.65 mg.
Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per
100 g sampel kering) adalah 242.00 mg quarcetin, 114.81 mg apigenin, dan
29.46 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 386.27 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada lembayung dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 28.99 mg quarcetin,
13.00 apigenin, dan 3.45 kaempferol, sehingga totalnya adalah 45.44 mg.
Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per
100 g sampel kering) adalah 256.53 quarcetin, 115.09 mg apigenin, dan 30.51
mg kaempferol sehingga totalnya adalah 402.13 mg.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, daun kacang panjang (lembayung)
memiliki kandungan flavonol dan flavones total yang cukup besar (ketiga
terbesar) setelah pucuk mete dan daun kelor. Pada daun kacang panjang ini
dideteksi pula adanya kandungan senyawa apigenin dan jumlahnya pun cukup
besar (kedua terbesar setelah bunga papaya). Dari hasil pengidentifikasian pun
diperoleh bahwa daun kacang panjang ini didominasi oleh komponen quarcetin
dan apigenin, meskipun dideteksi juga adanya komponen kaempferol namun
jumlahnya tidak sebesar quarcetin dan kaempferolnya (sekitar emapt kali
lipatnya). Karena jumlah komponen yang dideteksi cukup besar maka nilai
total flavonol dan flavonenya pun cukup besar (terbesar ketiga setelah pucuk
mete dan daun kelor).
Tabel 15 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak lembayung
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak
lembayung
(mAU)
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
lembayung dengan
standar campuran
(mAU)
Myricetin
381388
376062
Luteolin
50642
31337
Quercetin
1870489
304052
1804603
Apigenin
296154
435957
562002
Kaempferol
302705
767418
442631
Gambar 43. kromatogram ekstrak lembayung
Gambar 44. Ko-kromatogram ekstrak lembayung dengan standar campuran
7.
Terubuk
Terubuk atau tebu telor ini memiliki kadar air sebesar 88.39 %.
Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada
terubuk adalah sebanyak 23.7280 mg/100 g sampel segar dan 204.3753
mg/100 g sampel kering.
Gambar 45. menunjukkan kromatogram ekstrak terubuk hasil analisis
dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul hanya quarcetin (pada menit ke-8.106). Untuk lebih
menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang
telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 46, peak
ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak terubuk
dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 46. Tabel 16 menunjukkan
perbandingan luasan area antara ekstrak terubuk, standar campuran, dan
ekstrak terubuk dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada terubuk dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 0.44 mg quarcetin sehingga totalnya
adalah 0.44 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan
dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 3.77 mg quarcetin sehingga totalnya
adalah 3.77 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada terubuk dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 0.55 mg quarcetin
sehingga totalnya adalah 0.55 mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang
diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 4.71 mg
quarcetin sehingga totalnya adalah 4.71 mg.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa terubuk ini adalah
sampel dengan total flavonol dan flavones terendah diantara kedua belas
sampel lainnya. Selain itu, pada terubuk ini hanya ditemukan senyawa
quarcetin dan jumlahnya pun sangat kecil bahkan yang paling kecil diantara
kesemua sampel.
Gambar 45. kromatogram ekstrak terubuk
Gambar 46. Ko-kromatogram ekstrak terubuk dengan standar campuran
Tabel 16 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak terubuk
Komponen
flavonoid
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
terubuk dengan
standar campuran
(mAU)
Myricetin
381388
36507
Luteolin
50642
41972
304052
16040
Apigenin
435957
219715
Kaempferol
767418
400075
Quercetin
8.
Area pada
ekstrak
terubuk
(mAU)
12641
Mangkokan Putih
Mangkokan putih memiliki kadar air sebesar 84.89 %. Berdasarkan
hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada mangkokan
putih adalah sebanyak74.1856 mg/100 g sampel segar dan 490.9699 mg/100 g
sampel kering.
Gambar 47. menunjukkan kromatogram ekstrak mangkokan hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul adalah quarcetin (pada menit ke-7.542), apigenin (pada
menit ke-15.404), dan kaempferol (pada menit ke-17.838). Untuk lebih
menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang
telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 48, peak
ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak mangkokan
dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 48. Tabel 17 menunjukkan
perbandingan luasan area antara ekstrak mangkokan, standar campuran, dan
ekstrak mangkokan dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada mangkokan putih dengan
perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 12.67 mg quarcetin, 6.87
mg apigenin, dan 12.95 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 32.49 mg.
Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per
100 g sampel kering) yaitu 83.84 mg quarcetin, 45.48 mg apigenin, dan 85.67
mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 214.99 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada mangkokan putih dengan
perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut
: berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 13.20 mg quarcetin,
6.49 mg apigenin, dan 12.90 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 32.59
mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis
(per 100 g sampel kering) yaitu 87.38 mg quarcetin, 42.92 mg apigenin, dan
85.39 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 215.70 mg.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Batari (2007) dengan analisis
yang sama di peroleh bahwa daun mangkokan dideteksi mengandung senyawa
quarcetin dan kaempferol. Namun pada penelitian ini daun mangkokan yang
dianalisis tidak hanya mengandung senyawa quarcetin dan kaempferol saja,
tapi juga dideteksi mengandung senyawa apigenin. Selain itu pada daun
mangkokan ini jumlah quarcetin dan kaempferolnya jauh lebih tinggi (dua kali
lipat) dari daun mangkokan yang digunakan oleh Batari (2007). Perbedaan ini
dapat disebabkan karena jenis mangkokan yang digunakan memang berbeda.
Karena pada dasarnya mangkokan memang ada banyak jenis, dan untuk
penelitian ini jenis mangkokan yang digunakan adalah jenis mangkokan putih.
Tabel 17 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak mangkokan putih
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak
mangkokan
(mAU)
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
mangkokan dengan
standar campuran
(mAU)
Myricetin
381388
31002
Luteolin
50642
43068
Quercetin
637126
304052
631364
Apigenin
107093
435957
190099
Kaempferol
785757
767418
1495790
Gambar 47. kromatogram ekstrak mangkokan putih
Gambar 48. Ko-kromatogram ekstrak mangkokan putih dengan standar campuran
9.
Daun labu siam
Labu siam memiliki kadar air sebesar 82.00 %. Berdasarkan hasil
analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada daun labu siam
adalah sebanyak 74.2718 mg/100 g sampel segar dan 412.6214 mg/100 g
sampel kering.
Gambar 49. menunjukkan kromatogram ekstrak daun labu siam hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul terdiri dari myricetin, quarcetin dan kaempferol.
Puncak myricetin muncul pada menit ke-3.505, puncak quarcetin muncul pada
menit ke-8.237, dan untuk puncak kaempferol muncul pada menit ke-18.335.
Untuk lebih menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi
sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 50,
peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak daun labu
siam dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 50. Tabel 18.
menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak daun labu siam, standar
campuran, dan ekstrak daun labu siam dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada daun labu siam dengan
perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 12.49 mg myricetin,
13.81 mg quarcetin, dan 9.72 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 36.03
mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis
(per 100 g sampel kering) yaitu 69.40 mg myricetin, 76.72 mg quarcetin, dan
54.02 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 200.15 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada daun labu siam dengan
perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut
: berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 12.16 mg myricetin,
14.36 mg quarcetin, dan 10.13 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 36.65
mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis
(per 100 g sampel kering) yaitu 67.53 mg myricetin, 79.77 mg quarcetin, dan
56.30 mg kaempferol sehingga totalnya adalah 203.60 mg.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, daun labu siam adalah sampel
dengan kandungan myricetin terbesar diantara sampel yang lainnya yang
mengandung myricetin. Namun, kandungan myricetin pada daun labu siam ini
masih lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan quarcetinnya. Selain
itu pada daun labu siam ini persentase unknown-nya terdapat dalam jumlah
yang cukup besar (ketiga terbesar setelah kucai dan takokak). Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya dalam daun labu siam yang diteliti ini
masih memiliki potensi kandungan senyawa flavonol dan flavone yang lain
selain kelima jenis flavonol dan flavon yang diidentifikasi.
Tabel 18 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak daun labu siam
Komponen
flavonoid
Myricetin
Area pada
ekstrak daun
labu siam
(mAU)
520482
Luteolin
Quercetin
573026
Apigenin
Kaempferol
464029
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
daun labu siam
dengan standar
campuran (mAU)
381388
979265
50642
41256
304052
581607
435957
308457
767418
888208
10. Bunga pepaya
Sayuran bunga pepaya
dengan tangkai bulir (tandan) bunganya
panjang ini memiliki kadar air sebesar 88.18 %. Berdasarkan hasil analisis total
fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada bunga pepaya adalah sebanyak
44.4706 mg/100 g sampel segar dan 376.2319 mg/100 g sampel kering.
Gambar 51. menunjukkan kromatogram ekstrak bunga pepaya hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul adalah quarcetin (pada menit ke-7.244), apigenin (pada
menit ke-14.835), dan kaempferol (pada menit ke-16.490). Untuk lebih
menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang
telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 52, peak
ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak bunga
pepaya dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 52. Tabel 19
menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak bunga pepaya, standar
campuran, dan ekstrak bunga pepaya dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada bunga pepaya dengan
perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 18.85 mg quarcetin,
11.95 mg apigenin, dan 5.47 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 36.27
mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis
(per 100 g sampel kering) yaitu 159.44 mg quarcetin, 101.12 mg apigenin, dan
46.29 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 306.85 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada bunga pepaya dengan
perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut
: berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 20.40 mg quarcetin,
12.17 mg apigenin, dan 5.40 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 37.98
mg. Konsentrasi flavonol dan flavone yang diperoleh berdasarkan dry basis
(per 100 g sampel kering) yaitu 172.61 mg quarcetin, 103.00 mg apigenin, dan
45.72 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 321.33 mg.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, bunga pepaya adalah sampel dengan
kandungan apigenin tertinggi dibanding lembayung dan daun mangkokan
putih. Selain itu pula, telah diteliti fitokimia dan diuji aktivitas antioksidan
bunga jantan segar pepaya gantung (Carica papaya L., Caricaceae). Hasil
penapisan menunjukkan adanya flavonoid, tanin, steroid - triterpenoid, dan
karbohidrat. Ekstrak dibuat dengan cara ekstraksi sinambung menggunakan
n-heksana, metilen klorida, etil asetat, dan metanol. Dari ekstrak metanol
diperoleh satu senyawa amida dan dari ekstrak nheksana diperoleh satu
senyawa steroid. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode reduksi larutan
1,1-difenil-2 pikrilhidrazil menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki
aktivitas penangkap radikal bebas paling kuat dengan nilai EC50 0,3537
mg/mL. (Anonim, 2007n)
Gambar 49. kromatogram ekstrak daun labu siam
Gambar 50. Ko-kromatogram ekstrak daun labu siam dengan standar
campuran
Gambar 51. kromatogram ekstrak bunga papaya
Gambar 52. Ko-kromatogram ekstrak bunga pepaya dengan standar
campuran
Tabel 19 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak bunga pepaya
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak bunga
pepaya
(mAU)
Area pada ekstrak
bunga pepaya
dengan standar
campuran (mAU)
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Myricetin
381388
261332
Luteolin
50642
57373
Quercetin
1225491
304052
1258543
Apigenin
304125
435957
515341
Kaempferol
431688
767418
778633
11. Pucuk mete
Pucuk mete ini memiliki kadar air sebesar 78.12 %. Berdasarkan hasil
analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada pucuk mete adalah
sebanyak 614.7242 mg/100 g sampel segar dan 2809.5256 mg/100 g sampel
kering.
Gambar 53. menunjukkan kromatogram ekstrak pucuk mete hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul muncul terdiri dari myricetin, quarcetin dan
kaempferol. Puncak myricetin muncul pada menit ke-3.806, puncak quarcetin
muncul pada menit ke-8.725, dan untuk puncak kaempferol muncul pada menit
ke-18.215. Untuk lebih meyakinkan dugaan komponen tersebut, maka
dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran. Terlihat
pada Gambar 54, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan
luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam
ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu
retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penentuan
komponen
yang
diidentifikasi
dalam
sampel.
Hasil
ko-kromatogram ekstrak pucuk mete dengan standar tersebut dapat dilihat
pada Gambar 54. Tabel 20 menunjukkan perbandingan luasan area antara
ekstrak pucuk mete, standar campuran, dan ekstrak pucuk mete dengan standar
campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada pucuk mete dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 8.28 mg myricetin, 125.39 quarcetin,
dan 9.91 mg kaempferol sehingga totalnya 143.58 mg. Konsentrasi flavonol
dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering)
adalah 37.85 mg myricetin, 5753.07 mg quarcetin dan 45.27 mg kaempferol,
sehingga totalnya adalah 656.20 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada pucuk mete dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 7.55 mg myricetin,
127.80 mg quarcetin, dan 10.26 mg kaempferol sehingga totalnya 145.61 mg.
Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per
100 g sampel kering) adalah 34.50 mg myricetin, 584.09 mg quarcetin dan
46.89 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 665.47 mg.
Komponen flavonol dan flavones yang terdapat pada pucuk mete
didominasi oleh quarcetin. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sampel pucuk
mete memiliki kandungan quarcetin yang paling banyak diantara kedua belas
sampel lainnya. Dari totalnya pun, pucuk mete adalah sampel yang paling
banyak mengandung flavonol dan flavones. Dari hasil yang diperoleh pun
terlihat bahwa kandungan quarcetin pada pucuk mete ini adalah yang paling
besar jika dibandingkan dengan kenikir hasil yang diperoleh oleh Batari
(2007). Dengan demikian pucuk mete ini merupakan salah satu alternatif bahan
pangan lain sebagai sumber quarcetin yang baik. Selain itu pula total flavonol
dan flavones dari pucuk mete ini adalah yang terbesar diantara semua sampel
yang diteliti dan persentase unkown-nya pun cukup tinggi sekitar 13%. Hal ini
menunjukkan bahwa pucuk mete juga memiliki potensi ditemukannya
kandungan flavonol dan flavon lain selain kelima komponen yang dideteksi.
Tabel 20 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak pucuk mete
Area pada
Komponen
ekstrak pucuk
flavonoid
mete (mAU)
Myricetin
249333
Luteolin
Quercetin
4473597
Apigenin
Kaempferol
397730
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
pucuk mete dengan
standar campuran
(mAU)
381388
579155
50642
34353
304052
4566960
435957
515341
767418
778633
Gambar 53. kromatogram ekstrak pucuk mete
Gambar 54. Ko-kromatogram ekstrak pucuk mete dengan standar campuran
12. Pakis
Pakis yang termasuk jenis tanaman paku-pakuan ini memiliki kadar air
sebesar 88.73 %. Berdasarkan hasil analisis total fenol, diketahui bahwa
kandungan fenol pada pakis adalah sebanyak 34.5652 mg/100 g sampel segar
dan 306.7010 mg/100 g sampel kering.
Gambar 55. menunjukkan kromatogram ekstrak pakis hasil analisis
dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul hanya quarcetin (pada menit ke-7.499) dan kaempferol
(pada menit ke-14.874). Untuk lebih meyakinkan dugaan komponen tersebut,
maka dilakukan injeksi sampel yang telah ditambahkan standar campuran.
Terlihat pada Gambar 56, peak ko-kromatogram yang terbentuk mengalami
perubahan luas area. Hal ini terjadi karena terjadi penambahan campuran
standar ke dalam ekstrak sampel. Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya
peak, dan waktu retensi, serta perubahan luas area dapat dijadikan sebagai
acuan dalam penentuan komponen yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil
ko-kromatogram ekstrak pakis dengan standar tersebut dapat dilihat pada
Gambar 56. Tabel 21 menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak
pakis, standar campuran, dan ekstrak pakis dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada pakis dengan perhitungan
menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut : berdasarkan
wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 7.42 mg quarcetin, dan 2.10 mg
kaempferol sehingga totalnya 9.52 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones yang
diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 65.81 mg
quarcetin dan 18.64 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 84.45 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada pakis dengan perhitungan
menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 7.67 quarcetin, dan 2.19
mg kaempferol sehingga totalnya 9.86 mg. Konsentrasi flavonol dan flavones
yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel kering) adalah 68.09
mg quarcetin dan 19.44 mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 87.53 mg.
Gambar 55. kromatogram ekstrak pakis
Gambar 56. Ko-kromatogram ekstrak pakis dengan standar campuran
Tabel 21 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak pakis
Komponen
flavonoid
Area pada
ekstrak pakis
(mAU)
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
pakis dengan
standar campuran
(mAU)
Myricetin
381388
67244
Luteolin
50642
45622
304052
511921
435957
173814
767418
257759
Quercetin
496498
Apigenin
Kaempferol
160227
13. Antanan beurit
Antanan beurit ini memiliki kadar air sebesar 84.97 %. Berdasarkan
hasil analisis total fenol, diketahui bahwa kandungan fenol pada antanan beurit
adalah sebanyak 121.0611 mg/100g sampel segar dan 805.4632 mg/100g
sampel kering.
Gambar 57. menunjukkan kromatogram ekstrak antanan beurit hasil
analisis dengan HPLC. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa puncak
flavonoid yang muncul hanya myricetin (pada menit ke-4.597), quarcetin
(pada menit ke-7.364) dan kaempferol (pada menit ke-14.924). Untuk lebih
menyakinkan dugaan komponen tersebut, maka dilakukan injeksi sampel yang
telah ditambahkan standar campuran. Terlihat pada Gambar 58, peak
ko-kromatogram yang terbentuk mengalami perubahan luas area. Hal ini
terjadi karena terjadi penambahan campuran standar ke dalam ekstrak sampel.
Dari peak yang terbentuk, urutan munculnya peak, dan waktu retensi, serta
perubahan luas area dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan komponen
yang diidentifikasi dalam sampel. Hasil ko-kromatogram ekstrak antanan
beurit dengan standar tersebut dapat dilihat pada Gambar58. Tabel 22
menunjukkan perbandingan luasan area antara ekstrak antanan beurit, standar
campuran, dan ekstrak antanan beurit dengan standar campuran.
Kandungan flavonol dan flavones pada antanan beurit dengan
perhitungan menggunakan kurva standar memberikan hasil sebagai berikut :
berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1.57 mg myricetin, 37.51
quarcetin, dan 10.85 mg kaempferol sehingga totalnya 49.93 mg. Konsentrasi
flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per 100 g sampel
kering) adalah 10.47 mg myricetin, 249.54 mg quarcetin dan 72.17 mg
kaempferol, sehingga totalnya adalah 332.18 mg.
Kandungan flavonol dan flavone pada antanan beurit dengan
perhitungan menggunakan eksternal standar memberikan hasil sebagai berikut
: berdasarkan wet basis (per 100 g sampel segar), yaitu 1.40 mg myricetin,
39.77 quarcetin, dan 10.79 mg kaempferol sehingga totalnya 51.96 mg.
Konsentrasi flavonol dan flavones yang diperoleh berdasarkan dry basis (per
100 g sampel kering) adalah 9.29 mg myricetin, 264.60 mg quarcetin dan 71.78
mg kaempferol, sehingga totalnya adalah 345.67 mg.
Miean dan Mohamed (2001) menyebutkan bahwa kandungan flavonol
dan flavones yang terdeteksi pada antanan berdaun kecil (Hydrocoltyle
asiatica) yang ditelitinya hanyalah quarcetin dan kaempferol. Hal ini agak
berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yang menggunkan
antanan berdaun kecil juga, karena pada penelitian ini komponen myricetin
terdeteksi walaupun jumlahnya sedikit. Perbedaan ini dimunkoinkan karena
jenis dari antanan yang digunakan dan dapat juag disebabkan oleh kondisi
tumbuh yang berbeda dari sampel. Sebelumnya, Batari (2007) juga melakukan
pengidentifikasian pada sampel antanan tapi jenis antanan berdaun lebar. Hasil
yang diperoleh juga sama dengan hasil pada penelitian ini yaitu tidak hanya
quarcetin dan kaempferol yang terdeteksi tapi juga myricetin.
Tabel 22 . Perbandingan luasan area kromatografi ekstrak antanan beurit
Komponen
flavonoid
Myricetin
Area pada
ekstrak
antanan
beurit (mAU)
51567
Luteolin
Quercetin
1784904
Apigenin
Kaempferol
720719
Area pada
standar
campuran
(mAU)
Area pada ekstrak
antanan beurit
dengan standar
campuran (mAU)
381388
109399
50642
46232
304052
1929312
435957
131672
767418
1303217
Gambar 57. kromatogram ekstrak antanan beurit
Gambar 58. Ko-kromatogram ekstrak antanan beurit dengan standar
campuran
E. REKAPITULASI HASIL DAN SENYAWA YANG BELUM
TERIDENTIFIKASI PADA SAYURAN INDIGENOUS
Sayur-sayuran merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan air
yang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kadar air pada
sayuran indigenous. Kadar air sayuran indigenous berkisar antara 75%-90%.
Sayuran indigenous yang memiliki kadar air tertinggi adalah bunga turi, yaitu
90.23%, sedangkan sayuran dengan kadar air terendah ditemukan pada daun
kelor yaitu 75.08%. perhitungan kadar air secara lengkap dapat dilihat pada
lampiran 14.
Total flavonol dan flavone yang terdapat dalam sayuran indigenous yang
digunakan sangatlah bervariasi. Perhitungan jumlah komponen flavonol dan
flavone selengkapnya dapat diihat pada Lampiran 16 sampai Lampiran 26.
Jumlah flavonol dan flavone terbanyak terdapat pucuk mete, yaitu sebesar
654.25 mg; selanjutnya daun kelor (473.57 mg), dan daun kacang
panjang/lembayung (385.56 mg) (per 100 gram berat kering) flavonol dan
flavone yang terdeteksi pada sampel.
Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa seluruh sampel yang
digunakan dalam penelitian ini mengandung senyawa quarcetin. Hal ini
memperkuat dugaan yang dikemukakan oleh Hertog et al. (a) (1992), yang
menyebutkan bahwa di dalam sayuran, komponen yang paling menonjol adalah
quarcetin glikosida. Tiga sayuran yang paling banyak mengandung quarcetin
adalah pucuk mete, daun kelor, dan daun kacang panjang/lembayung, dengan
konsentrasi berturut-turut sebesar 573.07 mg, 384.61 mg, 242.00 mg (per 100
gram berat kering).
Berdasarkan data pada Tabel 25, dapat diketahui bahwa semua sampel
memiliki nilai total fenol yang jauh lebih besar dari total flavonol dan
flavonenya. Hal ini dikarenakan total fenol yang terdeteksi merupakan jumlah
seluruh senyawa fenol dalam sayuran. Berarti dalam sampel tersebut terdapat
banyak senyawa fenol yang lain selain flavonol dan flavone yang diidentifikasi.
Miean dan Mohamed (2001), melakukan penelitian terhadap kandungan
flavonoid (myricetin, quarcetin, kaempferol, luteolin dan apigenin) pada 62
jenis tanaman pangan tropis. Berdasarkan hasil yang diperoleh, jumlah
kandungan kelima komponen tersebut (per 100 gram sample kering) pada ke-62
jenis tanaman yang diteliti berkisar antara 1.45 mg hingga 272.05 mg. Bila hasil
penelitian ini dibandingkan dengan hasil tersebut, sebagian besar jumlah
flavonol dan flavone pada sayuran indigenous ada pada kisaran tersebut juga.
Namun pada sayuran daun kelor, pucuk mete, daun kacang panjang
/lembayung, bunga papaya, dan antanan beurit, jumlahnya melebihi dari batas
kisaran tersebut (dapat dilihat pada Tabel 25). Bahkan pada sampel pucuk mete
jumlahnya sekitar tiga kali lipat dari batas kisaran atas. Rekapitulasi secara
lengkap mengenai hasil kadar air, total fenol, serta total flavonol dan flavone
(yang diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan kurva standar
campuran) dapat dilihat pada Tabel 25.
Dari hasil penelitian ini dihitung juga berapa besar kandungan flavonoid
dalam sampel sayuran indigenous apabila dikonsumsi dalam keadaan segar.
Besarnya kandungan flavonoid dalam keadaan segar per 100 gram edible
portion dapat dilihat pada Tabel 23 berikut.
Tabel 23. Kandungan flavonoid dalam sayuran indigenous segar
mg flavonoid/100 g
Sayuran
Cara mengkonsumsinya
edible portion
indigenous
Pucuk mete
Lalap, dimasak
143,58
Daun kelor
Dimasak
117,95
Antanan beurit
Lalapan, dimasak
49,93
Lembayung
Dimasak
43,57
Bunga pepaya
Tumis, pecel, dimasak
36,27
Daun labu siam
Dimasak
36,03
Pucuk mengkudu
Lalapan, dimasak
32,94
Mangkokan putih
Lalapan, di tumis
32,17
Bunga turi
Urap, pecel,tumis, dimasak
21,23
Kucai
Tumis
14,79
Pakis
Lalapan, tumis
9,52
Takokak
Lalapan, dimasak
2,96
Terubuk
Dimasak
0,44
Tabel 24.Kandungan flavonoid sayuran indigenous segar yang telah diteliti
Sayuran
indigenous*
Katuk
mg flavonoid/100 g
edible portion
142.64
Kedondong cina
52.19
Kenikir
52.18
Antanan
21.01
Kemangi
7.22
Beluntas
6.39
Mangkokan
5.43
Daun Ginseng
3.93
Pohpohan
2.34
Kecombrang
1.18
Krokot
0.30
Batari, 2007 (diolah)
*semua jenis sayuran di atas dapat dikonsumsi dalam keadaan segar (lalapan).
Tabel 23. Menunjukkan jumlah kandungan flavonoid dalam sayuran
indigenous segar. Artinya bila kita mengkonsumsi sayuran tersebut dalam
bentuk segar dengan jumlah per 100 gram maka senyawa flavonoid yang
masuk ke dalam tubuh melalui sayuran tersebut akan kurang lebih sama
dengan angka-angka di atas. Namun demikian, ternyata tidak semua jenis
sayuran tersebut di atas dikonsumsi dalam keadaan segar. Masing-masing
memiliki cara pengolahan yang berbeda-beda untuk dijadikan sebagai
makanan/sayuran. Oleh karena itu untuk sayuran yang tidak dikonsumsi dalam
keadaan segar, misalnya ditumis, maupun dimasak maka kandungan flavonoid
yang masuk ke dalam tubuh akan berkurang dari jumlah yang tertera di atas.
Hal ini disebabkan karena flavonoid akan terurai apabila mengalami proses
pemanasan. Ini adalah salah satu sifat khas yang dimiliki oleh flavonoid.
Berbeda dengan hasil yang yang diperoleh dari analisis yang dilakukan Batari
(2007) terhadap sebelas sampel sayuran indigenous lain. Dari semua jenis
sayuran yang dianalisa Batari (2007), merupakan jenis sayuran yang dapat
dikonsumsi dalam keadaan segar biasanya sebagai lalapan. Untuk itu
kandungan flavonoid yang masuk ke tubuh saat mengkonsumsi sayuran
tersebut kurang lebih sama dengan nilai total flavonoid yang tertera per 100
gram edible portion. Adapun jenis sayuran dan kandungan flavonoid dalam
sayuran indigenous yang diteliti oleh Batari (2007), dapat dilihat pada Tabel
24.
Bila dibandingkan antara hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Batari
(2007), terlihat bahwa kisaran nilai total flavonoid (flavonol dan flavone)
dalam sayuran indigenous relatif sama. Namun untuk nilai flavonoid terbesar
ternyata didapatkan dari penilitian ini yaitu pada pucuk mete sebesar 143.58/
100 gram edible portion. Hasil ini menunjukkan bahwa potensi flavonoid
dalam sayur-sayuran indigenous tenyata cukup baik dan tentunya dengan
mengetahui jumlah kandungan dan manfaat dari flavonoid itu sendiri
setidaknya akan memberikan suatu referensi bagi kita terutama sebagai
alternatif dalam pemilihan jenis sayur-sayuran yang akan dikonsumsi.
Dari semua hasil perhitungan yang diperoleh kemudian dilakukan uji
statistik berupa uji Tukey’s HSD (P
0.05). Hasil uji statistik tersebut
menunjukkan bahwa setiap perlakuan yang dikenakan pada sampel
berpengaruh nyata terhadap jumlah komponen yang terdeteksi pada sampel.
Hal ini terlihat dari nilai signifikansi sampel yang dihasilkan yaitu < dari taraf
0.05. Untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai
Lampiran 13. Selain uji Tukey’s dilakukan uji uji t terhadap dua cara
perhitungan yang dilakukan. Pertama menggunkan persamaan kurva standar
campuran dan yang kedua menggunakan standar eksternal campuran.
Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah dengan cara perhitungan yang
berbeda akan menimbulkan perbedaan yang signifikan terhadap hasil yang
diperoleh. Uji t yang dilakukan disini adalah uji dua perlakuan bebas
menggunakan dua sisi. Dari hasil pengujian diperoleh hasil seperti berikut :
t-Test:
Paired Two Sample for Means
Mean
Variance
Observations
Pearson Correlation
Hypothesized Mean Difference
df
t Stat
P(T<=t) one-tail
t Critical one-tail
P(T<=t) two-tail
t Critical two-tail
eksternal standar standar campuran
246.7915735
245.6705694
34540.20324
34475.98193
13
13
0.999819235
0
12
1.142947658
0.137675565
1.782287548
0.27535113
2.178812827
Dari hasil di atas terlihat bahwa t stat< t Critical two-tail atau
P(t<=t)two-tail >0.05 yaitu (1.143 < 2.1788 atau 0.275 > 0.05). maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa perhitungan dengan menggunakan persamaan kurva
standar campuran tidak berbeda nyata dengan perhitungan menggunakan
eksternal standar campuran pada taraf 5%.
Bila melihat data pada Tabel 9, perhitungan persentase antara selisih
hasil perhitungan dengan kurva standar campuran dengan perhitungan
eksternal standar pada terubuk dan takokak memiliki perbedaan nilai yang
lebih dari 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa perhitungan dengan
menggunakan eksternal standar tidak memberikan hasil yang baik bila
kandungan komponen yang diidentifikasi memiliki jumlah yang sangat rendah
di dalam sampel. Berdasarkan hasil pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa bila
konsentrasi komponen lebih rendah dari 15 mg/100 gram berat kering, maka
hasil yang diberikan oleh perhitungan dengan menggunakan eksternal standar
campuran menjadi tidak benar dan memiliki tingkat kesalahan yang besar
(lebih dari 10%).
Sebaiknya, bila komponen yang akan diidentikasi pada sampel
jumlahnya sangat rendah (lebih rendah dari 15 mg/100 gram berat kering),
perhitungan dilakukan dengan menggunakan kurva standar, agar hasil yang
diperoleh lebih baik. Namun bila jumlah komponen cukup tinggi, perhitungan
dengan menggunakan eksternal standar tidak terlalu menjadi masalah, karena
bila dilihat dari Tabel 9, perbedaan hasil antara perhitungan dengan kurva
standar dan eksternal standar tidak melebihi 10%.
Selain kelima komponen flavonol dan flavone (myricetin, luteolin,
quarcetin, apigenin, dan kaempferol) yang diidentifikasi, masih ada beberapa
komponen lain yang belum teridentifikasi (dapat dilihat pada Tabel 26). Bila
ingin mengetahui lebih lanjut apa saja komponen fenol selain flavonol dan
flavone yang ada dalam sayuran indigenous, dapat dilakukan kajian lebih
lanjut
melalui
kemungkinan
dari
waktu
retensinya.
Rekapitulasi
komponen-komponen yang mungkin terdapat dalam sayur-sayuran indigenous
tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 27 menunjukkan persentase area
komponen yang belum teridentifikasi terhadap area seluruh komponen yang
terdeteksi.
Pada Tabel 27 dapat terlihat bahwa kebanyakan sampel memiliki
persentase area unknown yang lebih kecil dari 10 % bila dibandingkan dengan
total area komponen yang terdeteksi. Namun pada sayuran kucai, takokak,
daun labu siam dan pucuk mete jumlah area unknownnya lebih dari 10 %
bahkan ada yang lebih 20 % yaitu kucai.
Angka persentase pada Tabel 27 cukup besar ini menarik untuk
dianalisis lebih lanjut. Karena mungkin saja masih banyak potensi-potensi
yang
dapat
diperoleh
bila
diketahui komponen-komponen
tersebut.
Kemungkinan komponen-komponen unknown tersebut adalah senyawa lain
dari golongan flavonol dan flavone, karena pada penelitian ini menggunakan
HPLC dengan detector UV-Vis pada panjang gelombang 370 nm, dimana pada
kisaran panjang gelombang tersebut komponen flavonol dan flavone memiliki
serapan maksimum.
Tabel 25. Rekapitulasi total fenol, total flavonoid, dan kadar air dari sayuran indigenous
konsentrasi (mg/100 sampel kering)
total fenolA
Sampel
flavonol
total flavonoid
KA (% wet
basis)
flavone
total flavonol
quarcetin
kaempferol
myricetin
luteolin
apigenin
-
-
-
a
d
-
-
e
c
-
-
b
Bunga turi
h
Kucai
ij
Takokak
b
Daun kelor
d
536,1 ± 7.9
b
b
468.3 ± 9.3
b
b
-
5,3 ± 0,2
-
h
Pucuk mengkudu
i
236,4 ± 1.6
g
f
201,4 ± 14.5
e
d
-
-
-
e
Lembayung
f
438,3 ± 5.7
c
d
c
g
-
-
Terubuk
a
-
-
Mangkokan putih
e
491.0 ± 7.5
e
g
169.5 ± 2.4
f
-
-
Daun labu siam
f
412,6 ± 9.9
g
f
200.1 ± 2.4
fg
Bunga papaya
g
376,2 ± 12.2
e
f
2809,5 ± 11.1
a
Pucuk mete
323,7 ± 5.1
h
Antanan beurit
c
i
h
89.4 ± 1.5
h
i
i
i
473.3 ± 9.6
201,4 ± 14.5
386.3 ± 10.2
200.1 ± 2.4
306.8 ± 5.2
656.3 ± 6.9
253.4 ± 7.6
a
332.2 ± 5.5
384,6 ± 7,9
142,6 ± 9,7
242,0 ± 6,6
332.2 ± 5.5
46,2 ± 0,9
-
83,8 ± 0,7
29,5 ± 1,0
-
b
85,7 ± 1,7
e
159,4 ± 0,9
f
a
54,0 ± 0,8
a
f
h
65,8 ± 0,5
h
249,5 ± 4,4
c
45,3 ± 0,3
b
37,9 ± 0,7
-
18,6 ± 0,1
72,2 ± 1,0
: total fenol dihitung berdasarkan mg asam gallat / 100 g sampel kering. (-) tidak terdeteksi
69,4 ± 0,7
-
46,3 ± 1,9
573,1 ± 5,9
c
21,3 ± 0,6
58,8 ± 4,2
76,7 ± 0,9
d
16,2 ± 0,1
83,4 ± 1,4
3,8 ± 0,1
84.4 ± 0.6
c
f
j
h
84.4 ± 0.6
d
656.3 ± 6.9
189,1 ± 3,2
6,1 ± 0,1
3,8 ± 0,1
205.7 ± 2.8
a
j
j
h
306,7 ± 2.2
27.0 ± 0,5
27.4 ± 0.7
3,8 ± 0,1
215.0 ± 4.6
28,3 ± 0,6
89.4 ± 1.5
j
204,4 ± 14.4
805,5 ± 12.8
e
27.4 ± 0.7
860,3 ± 9.7
a
217.4 ± 3.6
217.4 ± 3.6
211,7 ± 20.1
Pakis
A
e
e
10,5 ± 0,1
a
c
45,5 ± 2,2
-
114,8 ± 2,6
b
101,1 ± 2,4
90.2 ± 0.1
83.4 ± 0.3
89.2 ± 0.2
75.1 ± 0.2
83.4 ± 0.5
bc
88.7 ± 0.5
c
88.4 ± 0.1
d
84.9 ± 0.1
f
82.0 ± 0.6
c
88.2 ± 0.4
-
-
g
-
-
bc
-
-
d
78.1 ± 0.1
88.7 ± 0.1
85.0 ± 0.2
Tabel 26. Rekapitulasi komponen yang terdeteksi pada sampel dengan menggunakan HPLC
sampel
±
Ma) Lb) Qc) Ad) Ke) 2.0
Bunga turi
+
+
+
+
+
+
+
+
Takokak
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Mangkokan
+
+
+
Daun labu siam
+
+
+
+
+
+
+
±
6.5
±
7.1
±
9.6
+
+
± 10
±
±
16.5 17.2
+
+
+
+
+
+
±
6.0
+
+
+
Terubuk
Bunga papaya
Waktu retensi (menit)
±
±
±
±
±
±
±
±
±
±
2.7 3.1 3.3 3.5 3.8 4.1 4.4 4.7 5.1 5.5
+
+
+
Lembayung
±
2.4
+
Kucai
Daun kelor
Pucuk
mengkudu
±
2.2
+
+
+
+
+
+
Pucuk mete
+
+
+
+
Pakis
+
+
+
+
Antanan beurit
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Tabel 27. Kuantifikasi area unknown pada waktu retensi tertentu
Area komponen unknown pada waktu retensi tertentu (mAU*s)
sampel
± 2.0
Bunga turi
Kucai
± 2.2
± 2.4
4524
17020
52453
33618
Takokak
Daun kelor
Pucuk
mengkudu
± 2.7
± 3.1
10791
± 3.5
± 3.8
12012
± 4.1
4965
6230
5580
6211
± 4.7
± 5.1
± 5.5
± 6.0
10791
99615
± 6.5
± 7.1
± 9.6
7144
12134
± 10
± 16.5
± 17.2
11184
14541
100495
19483
19885
Terubuk
± 4.4
25564
17559
Lembayung
34238
20219
16066
142074
3932
Mangkokan
Daun labu
siam
Bunga
papaya
522376
Pucuk mete
72897
Pakis
Antanan
beurit
± 3.3
10063
99696
13345
225509
12840
32674
20606
7482
442405
41042
8619
5851
4244
13248
242017
1590
4376
11023
21440
7785
41379
10312
Jumlah komponen
unknown
Area
(mAu*s)
%a)
21544
1.16
163557
20.37
143849
17.03
111690
2.95
31274
5.37
232482
8.60
3932
1.34
166090
9.21
781331
16.64
7482
1.28
832414
13.05
68010
8.82
17492
3.00
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Sayuran indigenous dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan
pangan sebagai sumber flavonoid khususnya senyawa flavonol dan flavone.
Kadar air sayuran indigenous yang diteliti berkisar antara 75%-90%. Sayuran
indigenous yang diteliti pada penelitian ini memberikan komposisi senyawa
flavonol dan flavone yang bervariasi. Namun, semua sampel mengandung
senyawa quarcetin. Kandungan quarcetin terbanyak ada pada pucuk mete
(573.06 mg) dan yang paling sedikit mengandung quarcetin adalah terubuk
yaitu 3.76 mg.
Senyawa myricetin hanya ditemukan pada sayuran kucai (16.23 mg),
takokak (21.29 mg), daun labu siam (69.39 mg), pucuk mete (37.85 mg), dan
antanan beurit (10.46 mg). Senyawa luteolin hanya ditemukan pada sayuran
daun kelor dan jumlahnya pun sangat sedikit, sedangkan apigenin hanya
ditemukan pada daun kacang panjang (114.81mg), daun mangkokan putih
(45.47 mg), dan bunga papaya (101.11 mg). senyawa kaempferol ditemukan
hampir di semua sampel sayuran kecuali takokak dan terubuk. Kaempferol
terbesar ditemukan pada bunga turi (189.05 mg) dan terendah pada daun pakis
(18.63 mg).
Total flavonol dan flavone terbesar terdapat pada pucuk mete (656.20 mg)
dan total fenol tertinggi juga pada pucuk mete (2809.53 mg). Nilai-nilai
tersebut dihitung berdasarkan 100 gram berat kering.
B. SARAN
Pemanfaatan sayuran indigenous sebagai bahan pangan sebaiknya
semakin ditingkatkan, karena kandungan flavonol dan flavonenya yang cukup
baik yaitu sebagai salah satu sumber antioksidan. Agar nilai tambah tanaman
tersebut meningkat serta maka dapat dilakukan pengidentifikasian dan
eksplorasi senyawa flavonoid lain yang mungkin masih banyak terkandung di
dalamnya. Masih banyak sayur-sayuran indigenous lain di sekitar kita dan
mungkin belum tersentuh serta dieksplorasi dengan baik dan mungkin saja
memilki potensi flavonoid yang baik pula, dan untuk memperluas keragaman
sumber genetik sayuran indigenous maka dari itu proses pengidentifikasian
jenis sayuran indigenous lainnya dapat pula dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aalbersberg, W.G.L., Shabina Husein dan A. S. Wirian, 1993. Journal of Herbs, Spices
and Medicinal Plant 2 (1) : 51 – 54.
Adamson, G. E. Lazarus, S. A., and Mitchell, A.E. 1999. HPLC method for the
quantification of procyanidin in cocoa and chocolatesamples and correlation
to total antioxidant capacity. Journal of Agriculture and Food Chemistry, 47,
4184-4188.
Anonim.1995. Produksi tanaman sayuran dan buah-buahan semusim di Jawa.
Biro Pusat Statistik. Jakarta Indonesia.
Anonim. 2007a.Flavonoid. http://library.usu.ac.id/download /fmipa/06003489.
pdf. [22 September]
Anonim.2007b.Jambu mete.www.rain-tree.com. Cajueiro. [22 September].
Anonim.2007c. Kelor (Moringa oleifera). Http : // www. hort. purdue. edu/
newcrop/ duke_energy/Moringa_oleifera.html. [19 Desember]
Anonim. 2007d. Mangkokan. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php.
[22 September]
Anonim.2007e.Mangkokan.http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?m
u=2&id=144[22 September]
Anonim.2007f.Mete. http:// www. dinasperkebunanbali. info/komoditi _unggulan.
php?id_komoditi_unggulan=6. [27 Desember]
Anonim. 2007g. Mete. www. bpdas jeneberang. net/index2. php?option= com_
content &do_pdf=1&id=15 –.[27 Desember]
Anonim. 2007h. Mengkudu. http:// www.indomedia. com/ intisari/1999/
Mei/mengkudu. Htm. [19 Desember]
Anonim.2007i.Nutritional Value of Leavesand Pods Moringa oleifera.
Http://www.Moringa_news.org/documents/malawi.pdf. [19 Desember]
Anonim.
2007j.pepaya
September]
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php.[22
Anonim. 2007k. Pepaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Pepaya.[22 September]
Anonim.2007l.Pepaya.http :// www. rusnasbuah.or.id/ template. php?l=db_menu.
php&m =com_home.php &com_id=2.[22 September]
Anonim.2007m.Pepaya. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=57
pepaya. [22 September]
Anonim.2007n.Pepaya. http://209.85.135.104/ search?q=cache :L7KyKujqazYJ:
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_147_Kardiologi.pdf+analisis+proksima
t+daun+pepaya&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id&client=firefox-a.
[22
September]
Anonim 2007o. Sayuran Indigenous.http: // www. kalbe. co. id/ files/ cdk/ files/
147_13 Diet Sehat dg Serat. pdf/ 147_13DietSehatdgSerat.html. [22
September]
Anonim. 2007p. Sechium edule. Http://iptek.apji.or.id. [19 Desember]
Anonim.2007q.Takokak. Http :// www. republika. co. id/ suplemen/ cetak_detail_
asp. [19 Desember]
Anonim. 2007r. Takokak. www.kompas.com/kesehatan/news. [19 Desember]
Anonim.2008a.Botani mengkudu. http://209.85.175.104/ search?q=cache:
d5m3SJECligJ:
www.
mardi.
my/
herba1/
maklumat
/My%2520GFL%2520-%2520 Sentoor%2520Na ma %2520 Botani. doc+
botani mengkudu & hl = id&ct = clnk&cd=6&gl=id. [5 Januari]
Anonim. 2008b. Botani papaya.
http://209.85.175.104/ search?q=cache:
ujM5CLCRGoQJ:wayanlessy.blogs.friendster.com/my_blog/2007/05/meny
antap_bunga.html+botani+pepaya&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id.
[3
Januari]
Anonim. 2008c. Budidaya mete. http:// www.iptek.net.id/ind /warintek /?mnu
=6&ttg=2&doc=2a10. [5 Januari]
Anonim. 2008d. Bunga pepaya. http:// budiboga. blogspot.com/2006/08/ kelezatan
- bunga-dalam-seni-kuliner.html [3 Januari]
Anonim.2008e.Bunga
pepaya.
http://www.lintasberita.com/Kuliner/Tumis_
Sayur__ Bunga_Pepaya/.[3 Januari]
Anonim. 2008f. Carica papaya http://en.wikipedia.org/wiki/Carica_papaya. [3
Januari]
Anonim. 2008g. Cinnamon http : //en. wikipedia. org/wiki/Image : Cinnamon_
Fern_ Osmunda_ cinnamomea. [3 Februari]
Anonim. 2008h. Daun jambu mete. http: //209.85.175.104/ search?q =
cache:oiC-xnAGIhUJ:www.bpdasjeneberang.net/index2.php%3Foption%3
Dcom_content%26do_pdf%3D1%26id%3D15+daun+jambu+mete&hl=id&
ct=clnk&cd=20&gl=id. [5 Januari]
Anonim.2008i.Flavonoid.http://elearning.unej.ac.id/courses /FAR316 /document
/FLAVONOID.pdf?cidReq=FAR316. [5 Januari]
Anonim. 2008j. Hydrocotyle. http://en.wikipedia.org/wiki/Hydrocotyle.
[3 Februari]
Anonim.2008k.Hydrocotyle sibthorpiodes.http://pkukmweb.ukm.my/~
/tugasan /s2_99/a72840.htm. [3 Februari]
ahmad
Anonim. 2008l. Jambu Mete.http://dokteralami.com/tanaman/jambu-mete.html
beritaiptek.com/pilihberita.php?id=384. [5 Januari]
Anonim. 2008m.Jambu Monyet. http://www.suaramerdeka. com/harian /0801
/28/ragam03.htm. [5 Januari]
Anonim. 2008n. Kacang mede.http://id.wikipedia.org/wiki/Kacang_Mede. [5
Januari]
Anonim. 2008o. Kembang Turi. http://id.wikipedia.org/wiki/Kembang_ turi[3
Januari]
Anonim.2008p.Kucai . http://en.wikipedia.org/wiki/Kucai. [3 Januari]
Anonim.2008q.Labu.www.warintek.ristek.go.id/pangan_kesehatan/tanaman_oba/
depkes/1-260.pdf - Halaman sejenis. [3 Februari]
Anonim. 2008r.Labu siam. http://anekaplanta.wordpress.com/page/3/.
[3 Februari]
Anonim.2008s. Osmunda cinnamomea http :// en. wikipedia. org/wiki/
Osmunda_cinnamomea. [3 Februari]
Anonim. 2008t. Polyscias. http://en.wikipedia.org/wiki/Polyscias.
[3 Februari]
Anonim.2008u. Sayur bunga pepaya. http:// www. warungikankuahbelimbing.
Com /2007/08/daftar-harga- menu. Html. [3 Februari]
Anonim.2008v. Semanggi Gunung.http://anekaplanta.wordpress.com/page/3/.
[3 Februari]
Anonim. 2008w. Terubuk. http:// www. plantamor. com/spcdtail. php? Recid =
1099 & popname=Terubuk. [3 Februari]
Anonim . 2008x. Vigna. http://en.wikipedia.org/wiki/Vigna_unguiculata.
[3 Februari]
AOAC. 1984. Official Method of Analysis. Assosiation of Official Analytical
Chemistry, Washington D.C.
Aviram, M. dan B. Fuhrman. 2003. Effect of Flavonoids on the oxidation of
low-density lipoprotein and atherosclerosis. Di dalam : Rice-Evans, C. A. dan
L. Packer (Eds.). Flavonoids in Healt and Disease, Second Edition, Revised
and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.
Batari, R. 2007. Identifikasi Senyawa Flavonoid pada Sayuran Indigenous Jawa
Barat. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
BPS. 1977. Buku Saku Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Cadenas, E. dan L. Packer. 2002.Handbook of Antioxidant, Second Edition,
Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.
[CIC] Chocolate Information Centre. 2001. Polyphenol explained, Mars
Incorporated.
Copeland LO dan Mc Donald M B. 1976. Principles of seed science and
technology. Macmilan Publs Cry New York and Callier Macmillan Publ
London . 321 p.
Djauhariya, E. 2003. www.balittro.go.id. Mengkudu Tanaman Obat Potensial. [28
Agustus 2007].
Duke, J.A. 2007. Chemistry of Sesbania Grandiflora. Http: // www. hort. purdue.
Edu
Engels J M M. 1983 . Variation in Sechium edule. SW. In Central America.
Journal of the American Society for Horticultural Science. 108 hal : 706
– 710.
Fuhrman, B. dan M. Aviram. 2002. Polyphenols and flavonoids protect LDL
against atherogenic modification. Di dalam : Cadenas, E. dan L. Packer
(Eds.). Handbook of Antioxidant, Second Edition, Revised and Expanded.
Marcel Dekker, Inc., New York.
Hertog, M. G. L., P. C. H. Hollman, dan D. P. Venema (a). 1992. Optimatization of
a quantitative HPLC determination of potentially anticarcinogenic flavonoids
in vegetable and fruits. J. Agric. Food. Chem vol 40, 1591-1598.
Hertog, M. G. L., P. C. H. Hollman, dan M. B. Katan (b). 1992. Content of
potentially anticarcinogenic flavonoid of 28 vegetable and 9 fruits commonly
consumed in The Netherlands. J. Agric. Food. Chem vol 40, 2379-2383.
Indrawati,Y.2002.Telaah fitokimia bunga pepaya gantung (Carica papaya L.) dan
uji
aktivitas
antioksidannya..http
://
fa.lib.itb.ac.id/go.php?id=
jbptitbfa-gdl-s2-167
Lingga. P. 2001. Panduan seminar dan peluncuran buku retrospeksi perjalanan
Industri benih di Indonesia. Bogor. P.T. Sang Hyang Seri & Laboratorium
Ilmu & Teknologi Benih Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Institut
Pertanian Bogor.
LIPI. 1979. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Lee, H.S. 2000. HPLC Analysis of phenolic compounds. Di dalam : Nollet, L. M. l.
(Ed.). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded.
Marcell Dekker, Inc., New York.
Lemmens, R.H.M.J. dan Buyapraphatsara, 2003. Plant Resources of South-East
Asia. (PROSEA). Medicinal and Poisonores plants.
Bogor, Indonesia.12
(3) : 302 – 305.
Middleton Jr, Chithan Kandaswami E, Theoharis C. 2000. The Effect of Plant
Flavonoids on Mamalian cells : Implication for information, heart isease, and
cancer. Pharmacol. Rev. 52 : 673-751.
Miean, K. H. dan S. Mohamed. 2001. Flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol,
luteolin, and apigenin) content of edible tropical plant. J. Agric. Food. Chem
vol 49, 3106-3112.
Nainggolan, R.A. 1989. Diet dan Juice Therapy. Indonesia Publishing House.
Indonesia.
OCHSE, J.J. 1931. Vegetable of the Dutch East Indies. Archipel Drukkerij.
Buitenzorg. Java.
Piluek. K and J.S. Sie monsma. 1994. Plant Resources of Southeast Asia. PROSEA
Indonesia, Bogor.
Rubatzky dan Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3: Prinsip, Produksi, dan Gizi.
Bandung. Penerbit Institut Teknologi Bandung .
Rukmana R. 1998. Budidaya Tanaman Labu Siam (Sechium edule,. Jacq Swartz).
Jogjakarta. Penerbit Kanisius Jogjakarta.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB,
Bandung.
Rounds, M. A., dan J. F. Gregor. 2003. High Performance Liquid Chromatography.
Di dalam : Nielsen, S. S. (Ed.). Food Analysis, Third Edition. Plenum
Publisher, New York.
Rounds, M. A., dan S. S. Nielsen. Basic principles of chromatography. Di dalam :
Nollet, L. M. L. (Ed). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and
Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York.
Setiawan. 2005. Labu Siam Redam Hipertensi. Http://www.portal.cbn.net.id
Shetty, K., Curtis, O.F., Levin, R.E., Witkowsky, R. and Ang, W. (1995).
Prevention of vitrification associated with in vitro shoot culture of oregano
(Origanum vulgare) by Pseudomonas spp. J. Plant Physiol. 147: 447-451.
Spencer, J. P. E., C. A. Rice-Evans, dan S. K. S. Srai. 2003. Metabolism in the small
intestine ang gastrointestinal tract. Di dalam : Rice-Evans, C. A. dan L.
Packer (Eds.). Falvonoids in Health and Disease, Second Edition, Revised
and Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York.
TERRA, G. J. A. 1966. Tropical Vegetable. Departement of Agriculture Research
of the Royal Tropical Institut, and Foundation Netherlands Organization for
International Assistance. Amsterdam.
Tomlinson P B. 1998. The Botany of Mangroves. Cambridge. London, New
York, Melborne, Sydney. Cambridge University Press
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kurva standar dan limit deteksi myricetin
konsentrasi
(µg/ml)
0.5
area
(mAU*)
10852.5
2.5
188739.6
10
799756.6
20
1638538.7
25
2058741.7
Kurva standar myricetin
Limit deteksi myricetin
Inject ke-
Area (mAU*s)
Konsentrasi (µg/ml)
1
10652.5
0.4583
2
11735.2
0.4713
3
11864.1
0.4729
4
11532.8
0.4689
5
12861.0
0.4848
6
11655.3
0.4704
7
12928.4
0.4856
8
11521.7
0.4688
9
10397.2
0.4553
10
9356.4
0.4428
Rata-rata
SD
LOD
0.4679
0.0130
0.039
Lampiran 2. Kurva standar dan limit deteksi luteolin
konsentrasi
(µg/ml)
area
(mAU)
0.5
35283.9
2.5
180490.1
10
769873.1
20
1602134.2
25
1997675.8
Kurva standar luteolin
Limit deteksi luteolin
Inject ke-
Area (mAU*s)
Konsentrasi (µg/ml)
34265.4
0.6438
34247.1
0.6435
33566.2
0.6351
32712.8
0.6245
31628.2
0.6110
32856.7
0.6263
35951.3
0.6647
32661.4
0.6239
31689.4
0.6118
30824.1
Rata-rata
0.6011
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
SD
LOD
0.6286
0.0188
0.056
Lampiran 3. Kurva standar dan limit deteksi quarcetin
konsentrasi
(µg/ml)
0.5
area
(mAU)
45684.7
2.5
176788.1
10
759728.5
20
1557073.7
25
2002511.0
Kurva standar quercetin
Limit deteksi quercetin
Inject ke-
Area (mAU*s)
Konsentrasi (µg/ml)
43328.4
0.7533
44187.2
0.7641
43551.6
0.7561
43254.7
0.7524
42232.5
0.7396
44231.8
0.7647
43657.3
0.7574
42397.1
0.7416
43562.7
0.7563
44577.1
Rata-rata
0.7690
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
SD
LOD
0.7555
0.0094
0.028
Lampiran 4. Kurva standar dan limit deteksi apigenin
konsentrasi
(µg/ml)
2.5
area (mAU)
64164.1
5
131613.8
10
268706.6
20
555345.4
25
722856.8
Kurva standar apigenin
Limit deteksi apigenin
Inject ke-
Area (mAU*s)
Konsentrasi (µg/ml)
1
66521.5
2.7979
2
65822.4
2.7739
3
64754.6
2.7371
4
63642.9
2.6989
5
63662.1
2.6996
6
62344.0
2.6542
7
61580.2
2.6279
8
60394.5
2.5871
9
61215.6
2.6154
10
60587.8
2.5938
Rata-rata
2.6786
SD
0.0748
LOD
0.22
Lampiran 5. Kurva standar dan limit deteksi myricetin
konsentrasi
(µg/ml)
area
(mAU)
0.5
41320.0
2.5
210144.0
10
912492.3
20
1841920.3
25
2315287.3
Kurva standar kaempferol
Limit deteksi kaempferol
Inject ke-
Area (mAU*s)
Konsentrasi (µg/ml)
1
42152.3
0.6117
2
41055.2
0.5999
3
41567.5
0.6054
4
40671.8
0.5958
5
41872.7
0.6087
6
41668.1
0.6065
7
41232.0
0.6018
8
38627.2
0.5738
9
38562.4
0.5731
10
38429.1
0.5716
Rata-rata
0.5948
SD
0.0158
LOD
0.047
Lampiran 6. Kurva standar asam galat (ulangan 1 dan 2)
konsentrasi
absorbansi
(mg/l)
50
0,222
100
0,451
150
0,720
200
1,000
250
1,285
Kurva standar asam galat (ulangan 1)
konsentrasi
absorbansi
(mg/l)
50
0,203
100
0,412
150
0,604
200
0,828
250
0,990
Kurva standar asam galat (ulangan 2)
Lampiran 7. Hasil uji tukey kadar air sayuran indigenous
Lampiran 8. Hasil uji tukey fotal fenol sayuran indigenous
Lampiran 9. Hasil uji tukey senyawa myricetin pada sampel
Lampiran 10. Hasil uji tukey senyawa quarcetin pada sampel
Univariate Analysis of Variance
Lampiran 11. Hasil uji tukey senyawa apigenin pada sampel
Lampiran 12. Hasil uji tukey senyawa kaempferol pada sampel
Univariate Analysis of Variance
Lampiran 13. Hasil uji tukey total flavonoid pada sampel
Univariate Analysis of Variance
Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous
sampel
ulangan
1
Bunga turi
2
duplo
1
W cawan kosong (g)
W sampel (g)
W cawan+sampel kering (g)
KA (%BB)
2,5875
5,1456
3,0906
90,22
2
2,5776
5,1572
3,0752
90,35
1
2,6539
5,1225
3,1571
90,18
2
2,5853
5,1047
3,0881
90,15
915,25
90,23
90,23 ± 0,09
923,11
Rata-rata
1
Kucai
2
Takokak
2
Daun kelor
2
Pucuk mengkudu
2
936,41
0,09
0,10
917,98
5,0254
3,5929
83,26
497,27
2,6471
5,0766
3,4779
83,63
511,05
1
2,6689
5,0691
3,4925
83,75
2
2,6520
5,0728
3,5064
83,16
493,73
83,45
83,45 ± 0,29
504,38
0,29
0,34
515,48
2,6889
4,9354
3,2207
89,22
828,06
2
2,6616
4,9377
3,2088
88,92
802,36
1
2,6729
5,0648
3,2159
89,28
2
2,6757
5,0134
3,2079
89,38
842,01
89,20
89,20 ± 0,20
826,29
2,5455
5,0617
2
2,6679
5,0099
1
2,5463
5,0024
2
2,6380
5,0840
0,20
0,22
832,74
304,64
3,9186
75,04
300,57
3,8004
74,93
3,9065
75,05
300,79
75,08
75,08 ± 0,15
301,22
0,15
0,20
298,88
1,02
10,52
2,09
16,98
2,05
2,44
0,81
301,22 ± 2,44
1
2,5685
5,0422
3,3823
83,86
519,59
2
2,6409
5,0101
3,4704
83,44
503,99
1
2,5692
5,0710
3,4486
82,66
2
2,6413
5,0070
3,4588
83,67
512,48
83,41
83,41 ± 0,53
503,17
Rata-rata
9,40
826,29 ± 16,98
75,29
3,7964
RSD
504,38 ± 10,52
1
1
Std. Dev
923,11 ± 9,40
2,7515
Rata-rata
1
KA (%BK)
922,78
2
Rata-rata
1
RSD
1
Rata-rata
1
Std. Dev
0,53
0,63
476,64
18,80
3,74
503,17 ± 18,80
139
Lanjutan Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous
sampel
ulangan
1
Lembayung
2
duplo
1
W cawan kosong (g)
W sampel (g)
W cawan+sampel kering (g)
KA (%BB)
2,7465
5,0410
3,3024
88,97
Std. Dev
RSD
Terubuk
2
2
2,6892
5,0987
3,2441
89,12
1
2,6976
5,0438
3,3017
88,02
2
2,7479
5,0727
3,3211
88,70
784,98
Rata-rata
88,70
786,39
818,85
0,49
0,55
Mangkokan Putih
2
Daun labu
2
2,7862
5,1442
3,3762
88,53
2
2,5866
5,0651
3,1766
88,35
1
2,6972
5,0521
3,2843
88,38
2
2,6243
5,1124
3,2232
88,29
753,63
Rata-rata
88,39
761,13
758,49
0,10
0,12
5,0765
3,3091
84,82
2,6820
5,0755
3,4451
84,97
1
2,6394
5,0051
3,3967
84,87
2
2,6337
5,0914
3,4012
84,93
563,37
Rata-rata
84,89
562,00
558,60
565,12
0,07
0,08
1
2
2,6297
5,0053
3,5600
81,41
2
2,7188
5,0255
3,6454
81,56
1
2,6994
5,0818
3,5748
82,77
2
2,6915
5,0196
3,5822
82,26
463,56
Rata-rata
82,00
456,11
438,03
442,36
0,63
0,77
19,72
480,51
4,32
456,11 ± 19,72
87,97
730,95
2
2,6978
5,0396
3,3124
87,80
1
2,6710
5,0050
3,2557
88,32
2
2,6977
5,0322
3,2706
88,62
778,37
Rata-rata
88,18
746,32
88,18 ± 0,36
0,51
562,00 ± 2,85
82,00 ± 0,63
Bunga pepaya
2,85
560,91
1
3,2738
1,02
761,13 ± 7,74
2,5383
5,0106
7,74
760,52
2
2,6708
4,71
771,90
1
1
37,06
734,93
1
84,89 ± 0,07
1
RSD
786,39 ± 37,06
88,39 ± 0,10
1
Std. Dev
806,82
88,70 ± 0,49
1
KA (%BK)
719,98
0,36
0,41
755,99
3,50
26,15
746,32 ± 26,15
140
Lanjutan Lampiran 14. Kadar air sayuran indigenous
sampel
ulangan
1
Pucuk mete
2
duplo
1
W cawan kosong (g)
2,6296
2
2,7185
1
2,6927
2
2,6859
W sampel (g)
W cawan+sampel kering (g)
KA (%BB)
Std. Dev
RSD
5,0735
3,7440
78,03
5,0607
3,8153
78,33
5,0530
3,8005
78,08
5,0554
3,7969
78,02
355,03
Rata-rata
78,12
356,96
361,41
0,14
0,18
Daun pakis
2
1
2,6897
5,0059
3,2553
2
2,6614
5,0905
3,2306
88,82
1
2,6908
5,0830
3,2665
88,67
2
2,6614
5,0626
3,2313
88,74
788,33
Rata-rata
88,73
787,66
Antanan Beurit
2
1
2,5989
5,0001
3,3440
85,10
2
2,6517
5,0430
3,3995
85,17
794,33
0,06
0,07
782,93
3,00
0,84
4,97
0,63
787,66 ± 4,97
571,06
574,38
0,20
1
2,6482
5,0780
3,4239
84,72
2
2,6092
5,0937
3,3786
84,90
562,04
Rata-rata
84,97
565,53
84,97 ± 0,20
RSD
785,06
88,70
88,73 ± 0,06
1
356,13
Std. Dev
356,96 ± 3,00
78,12 ± 0,14
1
KA (%BK)
355,27
0,24
554,63
8,94
1,58
565,53 ± 8,94
141
Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze dryer
sampel
ulangan
duplo
W cawan kosong (g)
1
2,6537
1
2
2,5906
Bunga turi
1
2,6984
2
2
2,5739
1
Kucai
2
1
Takokak
2
1
Daun kelor
2
1
Pucuk mengkudu
2
W sampel (g)
2,0833
2,0053
2,1244
2,0547
W cawan+sampel kering (g)
4,7012
4,5732
4,7827
4,6012
Rata-rata
KA (%BB)
Std. Dev
1,72
1,13
0,35
1,89
1,33
1,52
1,52 ± 0,35
1
2
1
2
2,6434
2,7251
2,5822
2,6214
2,0063
2,1820
2,0866
2,0972
4,5780
4,8361
4,5962
4,6374
Rata-rata
3,57
3,25
0,26
3,48
3,87
3,54
3,54 ± 0,26
1
2
1
2
2,6823
2,6015
2,7385
2,6625
5,1910
5,1324
5,1597
5,0516
7,6410
7,5215
7,6636
7,4977
Rata-rata
4,48
4,14
0,19
4,55
4,28
4,36
4,36 ± 0,19
1
2
1
2
2,6300
2,5827
2,6142
2,6235
1,2121
1,1952
1,2651
1,2271
3,7815
3,7147
3,8122
3,7821
Rata-rata
5,00
5,29
0,24
5,30
5,58
5,29
5,29 ± 0,24
1
2
1
2
2,5608
2,6450
2,5874
2,7257
1,0735
1,1255
1,0547
1,3652
3,5772
3,7087
3,5834
4,0144
Rata-rata
5,32
5,49
0,13
5,57
5,60
5,49
5,49 ± 0,13
RSD
22,82
7,22
4,25
4,50
2,30
KA (%BK)
Std. Dev
1,75
1,14
0,36
1,92
1,35
1,54
1,54 ± 0,36
3,71
3,36
0,28
3,60
4,03
3,68
3,68 ± 0,28
4,68
4,32
0,20
4,76
4,48
4,56
4,56 ± 0,20
5,26
5,58
0,27
5,60
5,91
5,59
5,59 ± 0,27
5,62
5,81
0,14
5,89
5,94
5,81
5,81 ± 0,14
RSD
23,15
7,49
4,44
4,75
2,43
142
Lanjutan Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze dryer
sampel
ulangan
1
Lembayung
2
duplo
W cawan kosong (g)
W sampel (g)
W cawan+sampel kering (g)
KA (%BB)
1
2,6819
1,1848
3,8001
5,62
Std. Dev
RSD
2
2,7154
1,1183
3,7681
5,87
1
2,5364
1,5781
4,0271
5,54
2
2,6240
1,2247
3,7857
5,14
5,42
Rata-rata
5,54
5,87
Terubuk
2
0,30
5,41
1
2
Daun labu siam
2
Bunga pepaya
2
2,6823
5,1910
7,6810
3,70
3,85
2,6015
5,1324
7,5315
3,94
4,11
1
2,7385
5,1597
7,7036
3,77
2
2,6625
5,0516
0,19
5,01
0,20
5,20
0,22
6,11
0,18
7,51
0,19
12,96
3,92
7,5377
3,49
3,62
Rata-rata
3,73
3,87
3,87 ± 0,20
1
2,6310
2,0162
4,5747
3,60
2
2,6671
2,1834
4,7749
3,46
1
2,6108
2,1657
4,7074
3,19
2
2,5321
2,0354
4,4932
3,65
3,79
Rata-rata
3,47
3,60
3,73
0,21
5,91
3,59
3,30
3,60 ± 0,22
1
2,6211
1,0385
3,6360
2,27
2,33
2
2,7100
2,0793
4,7375
2,49
2,55
1
2,6342
1,5692
4,1641
2,50
2
2,5213
1,6413
4,1273
2,15
2,20
Rata-rata
2,35
2,41
0,17
7,33
2,57
2,41 ± 0,18
1
2,5621
1,1526
3,6977
1,47
1,50
2
2,6892
1,0261
3,6996
1,53
1,55
1
2,6632
1,1542
3,7987
1,62
2
2,6257
1,1264
3,7387
1,19
1,20
Rata-rata
1,45
1,48
1,45 ± 0,19
5,72
5,86
1
2,35 ± 0,17
1
0,34
6,23
2
3,47 ± 0,21
1
RSD
5,87 ± 0,34
3,73 ± 0,16
Mangkokan putih
Std. Dev
5,96
5,54 ± 0,30
1
KA (%BK)
0,19
12,79
1,65
1,48 ± 0,19
143
Lanjutan Lampiran 15. Kadar air sayuran indigenous setelah freeze dryer
sampel
ulangan duplo
W cawan kosong (g)
W sampel (g)
1
Pucuk mete
2
W cawan+sampel kering (g)
KA (%BB)
Std. Dev
RSD
1
2,6845
2,0285
4,6364
3,78
2
2,7862
2,0852
4,7981
3,52
1
2,5876
2,1447
4,6536
3,67
2
2,6243
2,0621
4,6212
3,16
3,27
Rata-rata
3,53
3,66
Daun pakis
2
0,27
7,60
Antanan Beurit
2
0,29
7,86
0,23
8,89
0,12
3,69
3,64
3,81
1
2,6803
1,0035
3,6617
2,20
2
2,6532
1,0882
3,7133
2,58
1
2,6372
1,0156
3,6254
2,70
2
2,5691
1,1028
3,6452
2,42
2,48
Rata-rata
2,48
2,54
2,25
0,21
8,68
2,65
2,77
2,54 ± 0,23
1
2,6012
1,0663
3,6332
3,22
2
2,5905
1,0185
3,5768
3,16
1
2,6237
1,0314
3,6197
3,43
2
2,6155
1,2547
3,8291
3,28
3,39
Rata-rata
3,27
3,38
3,27 ± 0,12
RSD
3,66 ± 0,29
2,48 ± 0,21
1
Std. Dev
3,92
3,53 ± 0,27
1
KA (%BK)
3,32
0,12
3,57
3,26
3,55
3,38 ± 0,12
144
Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous
Sampel
Ulangan
W sampel (mg)
1
49,5
2
49,5
1
50
2
50,8
1
50,5
2
50,5
1
50
2
50,5
1
50
2
50,5
Bunga turi
Kucai
Takokak
Daun kelor
Pucuk mengkudu
Wet Basis
[ ] (mg fenolik/100 g
Std. Dev
sampel)
31,3696
31,9727
0,50
31,0498
32,1006
31,6232
31,6232 ± 0,50
Duplo
Absorbansi
[ ] (mg/L)
1
2
1
2
0,276
0,283
0,273
0,284
63,5741
64,7963
62,9259
65,0556
Rata-rata
1
2
1
2
0,142
0,144
0,184
0,185
38,6852
39,0556
46,4630
46,6481
Rata-rata
32,0120
32,3185
37,8426
37,9934
35,0416
35,0416 ± 3,32
1
2
1
2
0,879
0,882
0,861
0,864
175,2222
175,7037
171,8704
172,3148
Rata-rata
93,6832
93,9406
91,8911
92,1287
92,9109
92,9109 ± 1,05
1
2
1
2
0,504
0,506
0,522
0,528
105,7222
106,0926
109,0556
110,1667
Rata-rata
131,7299
132,1914
134,5378
135,9086
133,5919
133,5919 ± 1,97
1
2
1
2
0,187
0,187
0,192
0,193
47,0185
47,0185
47,9444
48,1296
Rata-rata
39,0019
39,0019
39,3762
39,5282
39,2270
39,2270 ± 0,27
3,32
1,05
1,97
0,27
RSD
1,57
Dry Basis
[ ] (mg fenolik/100 g
Std. Dev
sampel)
321,0812
327,2540
5,09
317,8077
328,5634
323,6766
323,6766 ± 5,09
9,49
193,4259
195,2778
228,6563
229,5677
211,7319
211,7319 ± 20,09
1,13
867,4367
869,8203
850,8434
853,0436
860,2860
860,2860 ± 9,72
1,48
528,6111
530,4630
539,8790
545,3795
536,0831
536,0831 ± 7,92
0,68
235,0926
235,0926
237,3487
238,2655
236,4499
236,4499 ± 1,61
20,09
9,72
7,92
1,61
RSD
1,57
9,49
1,13
1,48
0,68
145
Lanjutan Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous
Sampel
Ulangan
W sampel (mg)
1
50
2
50,9
1
50,4
2
50,5
1
50,5
2
50,5
1
50,4
2
50,5
1
50,5
2
51,1
Lembayung
Terubuk
Mangkokan Putih
Daun labu
Bunga pepaya
Wet Basis
[ ] (mg fenolik/100 g
Std. Dev
sampel)
49,4794
49,0608
0,64
50,4545
49,1184
49,5283
49,5283 ± 0,64
Duplo
Absorbansi
[ ] (mg/L)
1
2
1
2
0,406
0,402
0,424
0,411
87,5741
86,8333
90,9074
88,5000
Rata-rata
1
2
1
2
0,140
0,145
0,173
0,166
38,3148
39,1852
44,4074
43,0741
Rata-rata
22,0652
22,5665
25,5233
24,7569
23,7280
23,7280 ± 1,67
1
2
1
2
0,464
0,461
0,472
0,478
98,2407
97,7593
99,7963
100,9074
Rata-rata
73,4860
73,1259
74,6496
75,4807
74,1856
74,1856 ± 1,08
1
2
1
2
0,368
0,380
0,391
0,392
80,5370
82,7593
84,7963
84,9815
Rata-rata
71,9081
73,8922
75,5611
75,7261
74,2718
74,2718 ± 1,78
1
2
1
2
0,332
0,332
0,360
0,360
73,8704
73,8704
79,0556
79,0556
Rata-rata
43,2251
43,2251
45,7161
45,7161
44,4706
44,4706 ± 1,44
1,67
1,08
1,78
1,44
RSD
1,30
Dry Basis
[ ] (mg fenolik/100 g
Std. Dev
sampel)
437,8704
434,1667
5,71
446,5000
434,6758
438,3032
438,3032 ± 5,71
7,05
190,0536
194,3710
219,8387
213,2380
204,3753
204,3757 ± 14,41
1,46
486,3403
483,9567
494,0411
499,5416
490,9699
490,9699 ± 7,15
2,40
399,4893
410,5122
419,7836
420,7004
412,6214
412,6214 ± 9,89
3,23
365,6949
365,6949
386,7689
386,7689
376,2319
376,2319 ± 12,17
14,41
7,15
9,89
12,17
RSD
1,30
7,05
1,46
2,40
3,23
146
Lanjutan Lampiran 16. Total fenol sayuran indigenous
Sampel
Ulangan
W sampel (mg)
1
50,1
2
50,2
Pucuk mete
1
50
Daun Pakis
2
50,5
Wet Basis
[ ] (mg fenolik/100 g
Std. Dev
sampel)
614,0254
Absorbansi
[ ] (mg/L)
1
2,970
562,3889
2
2,958
560,1667
611,5991
1
2,989
565,9074
616,6362
2
2,989
565,9074
616,6362
Rata-rata
614,7242
2809,5256
60,7222
614,7242 ± 2,24
34,2170
2806,5256 ± 11,06
303,6111
1
0,261
2
0,265
61,4630
34,6344
1
0,268
62,0185
34,6014
2
0,270
62,3889
34,8081
Rata-rata
34,5652
RSD
50,4
2
51
Antanan beurit
2,42
0,39
2818,2640
11,06
2818,2640
0,39
307,3148
0,25
0,72
307,0224
2,21
308,8559
0,72
306,7010
34,5652 ± 0,25
1
0,797
159,9815
119,2719
793,5589
2
0,799
160,3519
119,5480
795,3961
1
0,835
167,0185
123,0533
2
0,830
166,0926
122,3712
Rata-rata
121,0611
121,0611 ± 1,93
RSD
2795,2428
34,5652 ± 0,25
1
Dry Basis
[ ] (mg fenolik/100 g
Std. Dev
sampel)
2806,3318
Duplo
1,93
1,59
818,7182
814,1794
12,84
1,59
805,4632
805,4632 ± 12,84
147
Lampiran 17. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
62409
0,8054
2,6660
1
2
64540
0,8178
2,7070
Kucai
0,02
1
63764
0,8133
2,6921
2
2
63186
0,8100
2,6810
Rata-rata
2,6865
RSD
0,65
2,6865 ± 0,02
1
Takokak
2
1
2
1
2
109381
109522
109498
99615
1,0787
1,0795
1,0793
1,0219
Rata-rata
2,3299
2,3317
2,3314
2,2072
2,3001
Daun Labu siam
2
1
Pucuk mete
2
1
2
1
2
512983
518280
528290
522376
3,4264
3,4572
3,5154
3,4810
Rata-rata
12,3349
12,4458
12,6554
12,5316
12,4919
1
256134
1,9323
12,4919 ± 0,14
8,4558
2
252820
1,9130
8,3714
1
241014
1,8444
8,0709
2
247363
1,8813
8,2325
Rata-rata
8,2826
0,06
2,69
Antanan beurit
2
1
50593
1,0388
1,5614
2
51441
1,0458
1,5718
1
51897
1,0495
1,5775
2
52335
1,0531
1,5829
Rata-rata
1,5734
1,5734 ± 0,01
0,65
21,5733
21,5897
21,5869
20,4372
21,2968
0,57
2,69
21,2968 ± 0,57
0,14
1,08
68,5270
69,1432
70,3078
69,6198
69,3994
0,75
1,08
69,3994 ± 0,75
38,6461
38,2605
0,17
2,03
36,8871
0,77
37,6257
2,03
37,8548
8,2826 ± 0,17
1
RSD
16,2328 ± 0,10
2,3001 ± 0,06
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
16,1088
16,3567
0,10
16,2664
16,1992
16,2328
37,8548 ± 0,77
10,3885
10,4580
0,01
0,58
10,4954
10,5314
0,06
0,58
10,4683
10,4683 ± 0,06
*Komponen myricetin pada sampel bunga turi, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya dan pakis tidak terdeteksi.
148
Lampiran 18. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenousdengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Daun Kelor
2
Dry Basis
RSD
[ ] (mg /100 g sampel)
1
34903
1,8217
1,3619
5,4651
2
34276
1,7936
1,3409
5,3808
1
32179
1,6997
1,2707
2
33020
1,7374
1,2989
Rata-rata
1,3181
1,3181 ± 0,04
0,04
3,11
5,0991
5,2121
Std. Dev
0,16
RSD
3,11
5,2893
5,2893 ± 0,16
* Komponen luteolin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya, pucuk mete,
pakis dan antanan beurit tidak terdeteksi.
149
Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Bunga turi
2
1
2
1
2
96539
91945
91887
93602
1,4524
1,3935
1,3928
1,4148
Rata-rata
2,8380
2,7229
2,7215
2,7644
2,7617
0,05
RSD
1,98
2,7617 ± 0,05
1
Kucai
2
1
2
1
2
85503
89426
89448
89218
1,3109
1,3612
1,3615
1,3585
Rata-rata
4,3391
4,5056
4,5065
4,4968
4,4620
Takokak
2
1
2
1
2
30279
31415
29949
31494
0,6028
0,6173
0,5985
0,6183
Rata-rata
0,6510
0,6667
0,6464
0,6678
0,6580
0,08
1,84
Daun Kelor
2
1
2
1
2
2913982
2952397
3054273
3009866
37,5804
38,0730
39,3794
38,8100
Rata-rata
93,6504
94,8780
98,1334
96,7144
95,8441
0,01
1,65
Pucuk mengkudu
2
1
2
1
2
1028803
1038923
1189005
1126298
13,4068
13,5366
15,4611
14,6570
Rata-rata
22,2419
22,4572
25,6499
24,3160
23,6663
23,6663 ± 1,62
1,98
26,2181
27,2242
27,2299
27,1709
26,9608
0,50
1,84
6,0277
6,1734
5,9854
6,1835
6,0925
0,10
1,65
6,0925 ± 0,10
1,98
2,06
95,8441 ± 1,98
1
0,56
26,9608 ± 0,50
0.6580 ± 0.01
1
29,0484
27,8702
27,8554
28,2952
28,2673
RSD
28,2673 ± 0,56
4,4620 ± 0,08
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
375,8043
380,7303
393,7938
388,0995
384,6070
7,94
2,06
384,6070 ± 7,94
1,62
6,83
134,0682
135,3659
154,6109
146,5700
142,6537
9,75
6,83
142,6537 ± 9,75
150
Lanjutan Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
1903456
24,6225
27,8234
1
2
1921371
24,8522
28,0830
Lembayung
0,75
1
1807589
23,3932
26,4343
2,75
2
2
1849541
23,9311
27,0422
Rata-rata
27,3457
27,3457 ± 0,75
1
Terubuk
2
1
2
1
2
11826
12759
12438
13540
0,3661
0,3781
0,3740
0,3881
Rata-rata
0,4251
0,4390
0,4342
0,4506
0,4372
Mangkokan Putih
2
1
2
1
2
630717
641876
642576
633334
8,3022
8,4453
8,4542
8,3357
Rata-rata
12,5446
12,7608
12,7744
12,5953
12,6688
0,01
2,43
Daun Labu siam
2
1
2
1
2
585535
589659
576609
574624
7,7228
7,7757
7,6083
7,5829
Rata-rata
13,9011
13,9962
13,6950
13,6492
13,8104
0,12
0,92
Bunga pepaya
2
1
2
1
2
1262712
1248098
1265195
1258168
15,9960
15,8133
16,0270
15,9392
Rata-rata
18,9073
18,6913
18,9440
18,8401
18,8457
18,8457 ± 0,11
3,6615
3,7811
3,7399
3,8813
3,7659
0,09
2,43
83,0217
84,4527
84,5424
83,3573
83,8435
0,77
0,92
83,8435 ± 0,77
0,17
1,20
13,8104 ± 0,17
1
2,75
3,7659 ± 0,09
12,6688 ± 0,12
1
RSD
241,9975 ± 6,65
0,4372 ± 0.01
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
246,2248
248,5220
6,65
233,9318
239,3113
241,9975
77,2281
77,7569
76,0835
75,8289
76,7243
0,92
1,20
76,7243 ± 0,92
0,11
0,59
159,9600
158,1329
160,2704
159,3919
159,4388
0,94
0,59
159,4388 ± 0,94
151
Lanjutan Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
Pucuk mete
2
1
4603832
57,7678
126,3960
577,6783
2
4497406
56,4373
123,4847
564,3726
1
4578213
57,4475
125,6952
2
4588389
57,5748
125,9736
Rata-rata
125,3874
1,30
1,04
Pakis
2
1
499820
6,6237
7,4649
2
498688
6,6092
7,4485
1
496895
6,5862
7,4226
2
490587
6,5053
7,3315
Rata-rata
7,4169
Antanan beurit
2
1
1910730
24,7158
37,1478
2
1974469
25,5331
38,3762
1
1896527
24,5336
36,8740
2
1935521
25,0336
37,6256
Rata-rata
37,5059
37,5059 ± 0,66
5,94
575,7476
RSD
1,04
573,0685 ± 5,94
66,2368
66,0917
0,06
0,80
65,8618
0,53
65,0529
0,80
65,8108
7,4169 ± 0.06
1
574,4753
Std. Dev
573,0685
125,3874 ± 1,30
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
65,8108 ± 0,53
247,1575
255,3308
0,66
1,75
245,3363
250,3365
4,38
1,75
249,5403
249,5403 ± 4,38
152
Lampiran 20. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Lembayung
2
1
300026
5,6802
12,8372
2
306339
5,7854
13,0749
1
295000
5,5964
12,6479
2
313251
5,9006
13,3353
Rata-rata
12,9738
Dry Basis
RSD
Mangkokan Putih
2
1
104661
2,2386
6,7650
2
100544
2,1789
6,5847
1
118121
2,4336
7,3544
2
105045
2,2441
6,7818
Rata-rata
6,8715
Bunga pepaya
2
1
310564
5,1479
12,1695
2
292292
4,8869
11,5525
1
304585
5,0625
11,9676
2
309057
5,1263
12,1187
Rata-rata
11,9521
11,9521 ± 0,28
RSD
115,7074
0,30
2,29
111,9280
2,63
118,0112
2,29
114,8124
114,8124 ± 2,63
44,7715
43,5783
0,33
4,86
48,6727
2,21
44,8828
4,86
45,4763
6,8715 ± 0,33
1
Std. Dev
113,6032
12,9738 ± 0,30
1
[ ] (mg /100 g sampel)
45,4763 ± 2,21
102,9572
97,7370
0,28
2,34
101,2491
102,5267
2,37
2,34
101,1175
101,1175 ± 2,37
* Komponen apigenin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, terubuk, daun labu siam, pucuk mete, pakis dan antanan beurit
tidak terdeteksi.
153
Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Bunga turi
2
1
2
1
2
1759212
1773263
1702807
1733254
9,5409
9,6136
9,2491
9,4066
Rata-rata
18,6429
18,7849
18,0727
18,3805
18,4703
0,31
RSD
1,70
18,4703 ± 0,31
1
Kucai
2
1
2
1
2
435461
421594
443125
422643
2,3313
2,2692
2,3657
2,2739
Rata-rata
7,7167
7,5112
7,8303
7,5267
7,6462
Daun Kelor
2
1
2
1
2
685165
684892
707448
707610
4,1125
4,1110
4,2315
4,2323
Rata-rata
20,4967
20,4894
21,0896
21,0939
20,7924
0,15
2,02
Pucuk mengkudu
2
1
2
1
2
590102
609362
503287
581778
3,0238
3,1101
2,6351
2,9866
Rata-rata
10,0331
10,3192
8,7432
9,9094
9,7512
0,35
1,66
Lembayung
2
1
2
1
2
290637
296027
304672
319485
1,4272
1,4476
1,4805
1,5367
Rata-rata
3,2254
3,2717
3,3459
3,4730
3,3290
3,3290 ± 0,11
1,70
46,6268
45,3848
47,3132
45,4788
46,2009
0,93
2,02
82,2499
82,2208
84,6292
84,6465
83,4366
1,39
1,66
83,4366 ± 1,39
0,69
7,11
9,7512 ± 0,69
1
3,21
46,2009 ± 0,93
20,7924 ± 0,35
1
190,8176
192,2714
184,9820
188,1320
189,0508
RSD
189,0508 ± 3,21
7,6462 ± 0,15
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
60,4766
62,2015
52,7013
59,7310
58,7776
4,18
7,11
58,7776 ± 4,18
0,11
3,25
28,5435
28,9529
29,6095
30,7346
29,4601
0,96
3,25
29,4601 ± 0,96
154
Lanjutan Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
763462
4,1740
12,6137
1
2
781704
4,2637
12,8849
Mangkokan Putih
0,26
1
794064
4,3245
13,0686
2,00
2
2
803796
4,3723
13,2132
Rata-rata
12,9451
12,9451 ± 0,26
1
Daun Labu siam
2
1
2
1
2
470398
470989
460914
453815
2,7325
2,7354
2,6859
2,6510
Rata-rata
9,8371
9,8475
9,6691
9,5434
9,7243
Bunga pepaya
2
1
2
1
2
446517
400984
435318
443934
2,3808
2,1769
2,3307
2,3693
Rata-rata
5,6283
5,1463
5,5098
5,6010
5,4713
0,15
1,50
Pucuk mete
2
1
2
1
2
399926
400565
393289
397138
2,2740
2,2770
2,2429
2,2610
Rata-rata
9,9512
9,9643
9,8151
9,8940
9,9062
0,22
4,07
Pakis
2
1
2
1
2
160879
161560
158956
159512
0,9344
0,9370
0,9271
0,9292
Rata-rata
2,1061
2,1119
2,0896
2,0944
2,1005
2,1005 ± 0,01
54,6503
54,7084
53,7173
53,0190
54,0238
0,81
1,50
47,6170
43,5390
46,6140
47,3856
46,2889
1,88
4,07
46,2889 ± 1,88
0,07
0,69
9,9062 ± 0,07
1
2,00
54,0238 ± 0,81
5,4713 ± 0,22
1
RSD
85,6724 ± 1,71
9,7243 ± 0,15
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
83,4793
85,2738
1,71
86,4896
87,4470
85,6724
45,4809
45,5408
44,8586
45,2195
45,2749
0,31
0,69
45,2749 ± 0,31
0,01
0,49
18,6876
18,7394
18,5416
18,5838
18,6381
0,09
0,49
18,6381 ± 0,09
155
Lanjutan Lampiran 21. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan kurva standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
Antanan beurit
2
1
735443
3,6747
11,0461
2
713547
3,5766
10,7513
1
709835
3,5600
10,7014
2
724051
3,6237
10,8927
Rata-rata
10,8479
10,8479 ± 0,16
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
73,4934
71,5324
0,16
1,43
71,1999
72,4731
1,03
1,43
72,1747
72,1747 ± 1,03
* Komponen kaempferol pada sampel takokak dan terubuk, tidak terdeteksi.
156
Lampiran 22. Hasil perhitungan jumlah myricetin pada sayuran indigenousdengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
62409
0,6824
2,2586
1
2
64540
0,7057
2,3357
Kucai
0,03
1,42
1
63764
0,6972
2,3077
2
2
63186
0,6909
2,2867
Rata-rata
2,2972
2,2972 ± 0.03
1
Takokak
2
1
2
1
2
109381
109522
109498
99615
1,2281
1,2297
1,2295
1,1185
Rata-rata
2,6528
2,6562
2,6556
2,4159
2,5951
Daun Labu siam
2
1
2
1
2
512983
518280
528290
522376
6,6559
6,7247
6,8545
6,7778
Rata-rata
11,9807
12,1044
12,3382
12,2001
12,1558
0,12
4,60
Pucuk mete
2
1
2
1
2
256134
252820
241014
247363
3,5439
3,4980
3,3347
3,4225
Rata-rata
7,7540
7,6537
7,2962
7,4885
7,5481
0,15
1,24
Antanan beurit
2
1
2
1
2
50593
51441
51897
52335
0,9118
0,9271
0,9353
0,9432
Rata-rata
1,3704
1,3934
1,4057
1,4176
1,3968
1,3968 ± 0.02
24,5629
24,5946
24,5892
22,3698
24,0291
1,11
4,60
66,5594
67,2467
68,5455
67,7781
67,5324
0,84
1,24
0,92
2,66
0,13
1,44
67,5324 ± 0.84
0,20
2,66
7,5481 ± 0,20
1
1,42
24,0291 ± 1,11
12,1558 ± 0.15
1
RSD
13,8803 ± 0.20
2,5951 ± 0.12
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
13,6473
14,1133
0,20
13,9436
13,8172
13,8803
35,4387
34,9801
33,3467
34,2251
34,4976
34,4976 ± 0,92
0,02
1,44
9,1177
9,2706
9,3528
9,4317
9,2932
9,2932 ± 0.13
*Komponen myricetin pada sampel bunga turi, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya dan pakis tidak terdeteksi.
157
Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah luteolin pada sayuran indigenousdengan menggunakan eksternal standar campuran
Sampel
Ulangan
1
Daun Kelor
2
Wet Basis
Dry Basis
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
1
34903
28,7412
1,4325
2
34276
28,2249
1,4067
1
32179
26,4981
1,3207
2
33020
27,1906
1,3552
5,4381
Rata-rata
1,3788
5,5327
[ ] (mg /100 g sampel)
1,3788 ± 0,05
Std. Dev
RSD
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
0,20
3,65
5,7482
0,05
3,65
5,6450
5,2996
5,5327 ± 0,20
* Komponen luteolin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, lembayung, terubuk, mangkokan putih, bunga pepaya, pucuk mete,
pakis dan antanan beurit tidak terdeteksi.
158
Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Bunga turi
2
1
2
1
2
96539
91945
91887
93602
1,3240
1,2610
1,2602
1,2837
Rata-rata
2,5871
2,4640
2,4624
2,5084
2,5055
0,06
RSD
2,33
2,5055 ± 0,06
1
Kucai
2
1
2
1
2
85503
89426
89448
89218
1,1727
1,2265
1,2268
1,2236
Rata-rata
3,8815
4,0596
4,0606
4,0501
4,0129
Takokak
2
1
2
1
2
30279
31415
29949
31494
0,3288
0,3411
0,3252
0,3420
Rata-rata
0,7101
0,7368
0,7024
0,7386
0,7220
0,09
2,19
Daun Kelor
2
1
2
1
2
2913982
2952397
3054273
3009866
39,9646
40,4914
41,8886
41,2796
Rata-rata
99,5917
100,9046
104,3864
102,8687
101,9379
0,02
2,55
Pucuk mengkudu
2
1
2
1
2
1028803
1038923
1189005
1126298
14,1098
14,2486
16,3069
15,4469
Rata-rata
23,4081
23,6384
27,0532
25,6264
24,9315
24,9315 ± 1,73
2,33
23,4531
24,5291
24,5352
24,4721
24,2474
0,53
2,19
6,5753
6,8220
6,5037
6,8392
6,6850
0,17
2,55
8,49
2,08
10,43
6,94
6,6850 ± 0,17
2,12
2,08
101,9379 ± 2,12
1
0,60
24,2474 ± 0,53
0,7220 ± 0,02
1
26,4802
25,2201
25,2042
25,6746
25,6447
RSD
25,6447 ± 0,60
4,0129 ± 0,09
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
399,6456
404,9141
418,8862
412,7959
409,0605
409,0605 ± 8,49
1,73
6,94
141,0979
142,4858
163,0692
154,4691
150,2805
150,2805 ± 10,43
159
Lanjutan Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
1903456
26,1054
29,4991
1
2
1921371
26,3511
29,7768
Lembayung
0,80
2,77
1
1807589
24,7906
28,0134
2
2
1849541
25,3660
28,6636
Rata-rata
28,9882
28,9882 ± 0,80
1
Terubuk
2
1
2
1
2
11826
12759
12438
13540
0,2201
0,2375
0,2315
0,2520
Rata-rata
0,5111
0,5514
0,5375
0,5852
0,5463
Mangkokan
2
1
2
1
2
630717
641876
642576
633334
8,6501
8,8032
8,8128
8,6860
Rata-rata
13,0703
13,3016
13,3161
13,1246
13,2032
0,03
5,65
Daun Labu siam
2
1
2
1
2
585535
589659
576609
574624
8,0305
8,0870
7,9081
7,8808
Rata-rata
14,4548
14,5567
14,2345
14,1855
14,3579
0,12
0,94
Bunga pepaya
2
1
2
1
2
1262712
1248098
1265195
1258168
17,3178
17,1174
17,3518
17,2555
Rata-rata
20,4696
20,2327
20,5099
20,3960
20,4021
20,4021 ± 0,12
4,4021
4,7493
4,6299
5,0401
4,7053
0,27
5,65
86,5013
88,0317
88,1278
86,8602
87,3803
0,82
0,94
0,98
1,23
1,04
0,60
87,3803 ± 0,82
0,18
1,23
14,3579 ± 0,18
1
2,77
4,7053 ± 0,27
13,2032 ± 0,12
1
RSD
256,5331 ± 7,71
0,5463 ± 0,03
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
261,0544
263,5114
7,11
247,9065
253,6601
256,5331
80,3047
80,8703
79,0805
78,8083
79,7660
79,7660 ± 0,98
0,12
0,60
173,1779
171,1736
173,5184
172,5547
172,6062
172,6062 ± 1,04
160
Lanjutan Lampiran 24. Hasil perhitungan jumlah quarcetin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
Pucuk mete
2
1
4603832
58,8801
128,8297
2
4497406
57,5190
125,8516
1
4578213
58,5525
128,1128
2
4588389
Pakis
2
1,33
1,04
Antanan beurit
2
575,1899
585,5246
58,6826
128,3975
586,8261
Rata-rata
127,7979
584,0855
1
499820
6,8549
7,7255
2
498688
6,8394
7,7080
1
496895
6,8148
7,6803
2
490587
6,7283
7,5828
67,2828
Rata-rata
7,6741
68,0934
6,08
1,04
0,57
0,83
4,68
1,77
68,5491
0,06
0,83
68,3939
68,1480
68,0934 ± 0,57
1
1910730
26,2052
39,3864
2
1974469
27,0794
40,7003
1
1896527
26,0104
39,0936
2
1935521
26,5452
39,8974
265,4520
Rata-rata
39,7694
264,6005
39,7694 ± 0,70
RSD
584,0855 ± 6,08
7,6741 ± 0,06
1
Std. Dev
588,8012
127,7979 ± 1,33
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
262,0520
0,70
1,77
270,7937
260,1041
264,6005 ± 4,68
161
Lampiran 25. Hasil perhitungan jumlah apigenin pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Lembayung
2
1
300026
5,7327
12,9559
2
306339
5,8533
13,2285
1
295000
5,6367
12,7389
2
303251
5,7943
13,0952
Rata-rata
13,0046
Dry Basis
RSD
Mangkokan
2
1
104661
2,1476
6,4900
2
100544
2,0631
6,2347
1
108121
2,2186
6,7045
2
105045
2,1555
6,5138
Rata-rata
6,4858
Bunga pepaya
2
1
310564
5,2162
12,3310
2
302292
5,0772
12,0026
1
304585
5,1158
12,0936
2
309057
5,1909
12,2712
Rata-rata
12,1746
12,1746 ± 0,15
RSD
117,0668
0,21
1,61
112,7336
1,85
115,8867
1,61
115,0853
115,0853 ± 1,85
42,9516
41,2621
0,19
2,98
44,3716
1,28
43,1092
2,98
42,9236
6,4858 ± 0,19
1
Std. Dev
114,6543
13,0046 ± 0,21
1
[ ] (mg /100 g sampel)
42,9236 ± 1,28
104,3235
101,5448
0,15
1,25
102,3150
103,8173
1,29
1,25
103,0001
103,0001 ± 1,29
* Komponen apigenin pada sampel bunga turi, kucai, takokak, daun kelor, pucuk mengkudu, terubuk, daun labu siam, pucuk mete, pakis dan antanan beurit
tidak terdeteksi.
162
Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
1
Bunga turi
2
1
2
1
2
1759212
1773263
1702807
1733254
9,5592
9,6356
9,2527
9,4182
Rata-rata
18,6787
18,8279
18,0798
18,4031
18,4974
0,33
RSD
1,78
18,4974 ± 0,33
1
Kucai
2
1
2
1
2
435461
421594
443125
422643
2,3975
2,3211
2,4396
2,3269
Rata-rata
7,9356
7,6829
8,0752
7,7020
7,8489
Daun Kelor
2
1
2
1
2
685165
684892
707448
707610
4,1563
4,1547
4,2915
4,2925
Rata-rata
20,7152
20,7069
21,3889
21,3938
21,0512
0,19
2,42
Pucuk mengkudu
2
1
2
1
2
590102
609362
503287
581778
2,9740
3,0710
2,5365
2,9320
Rata-rata
9,8677
10,1897
8,4160
9,7285
9,5505
0,39
1,87
Lembayung
2
1
2
1
2
290637
296027
304672
319485
1,4647
1,4919
1,5355
1,6101
Rata-rata
3,3103
3,3717
3,4702
3,6389
3,4478
3,4478 ± 0.14
1,78
47,9490
46,4221
48,7929
46,5376
47,4254
1,15
2,42
83,1267
83,0935
85,8301
85,8498
84,4750
1,58
1,87
84,4750 ± 1,58
0,78
8,17
9,5505 ± 0,78
1
3,37
47,4254 ± 1,15
21,0512 ± 0,39
1
191,1843
192,7113
185,0544
188,3633
189,3283
RSD
189,3283 ± 3,37
7,8489 ± 0,19
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
59,4796
61,4209
50,7291
58,6406
57,5676
4,71
8,17
57,5676 ± 4,71
0,14
4,16
29,2949
29,8382
30,7096
32,2026
30,5113
1,27
4,16
30,5113 ± 1,27
163
Lanjutan Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
763462
4,1485
12,5368
1
2
781704
4,2476
12,8363
Mangkokan
0,29
1
794064
4,3148
13,0393
2,21
2
2
803796
4,3677
13,1991
Rata-rata
12,9029
12,9029 ± 0,29
1
Daun Labu siam
2
1
2
1
2
470398
470989
460914
453815
2,8535
2,8571
2,7960
2,7529
Rata-rata
10,2727
10,2856
10,0656
9,9105
10,1336
Bunga pepaya
2
1
2
1
2
446517
400984
435318
443934
2,3647
2,1235
2,3054
2,3510
Rata-rata
5,5901
5,0200
5,4499
5,5577
5,4044
0,18
1,77
Pucuk mete
2
1
2
1
2
399926
400565
393289
397138
2,3574
2,3612
2,3183
2,3410
Rata-rata
10,3161
10,3326
10,1449
10,2442
10,2595
0,26
4,87
Pakis
2
1
2
1
2
160879
161560
158956
159512
0,9759
0,9801
0,9643
0,9676
Rata-rata
2,1997
2,2090
2,1734
2,1810
2,1908
2,1908. ± 0,02
57,0704
57,1421
55,9197
55,0585
56,2977
1,00
1,77
47,2932
42,4705
46,1071
47,0196
45,7226
2,23
4,87
45,7226 ± 2,23
0,09
0,83
10,2595 ± 0,09
1
2,21
56,2977 ± 1,00
5,4044 ± 0,26
1
RSD
85,3930 ± 1,89
10,1336 ± 0,18
1
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
82,9701
84,9525
1,89
86,2958
87,3534
85,3930
47,1487
47,2240
46,3662
46,8200
46,8897
0,39
0,83
46,8897 ± 0,39
0,02
0,75
19,5184
19,6010
19,2851
19,3526
19,4393
0,15
0,75
19,4393 ± 0,15
164
Lanjutan Lampiran 26. Hasil perhitungan jumlah kaempferol pada sayuran indigenous dengan menggunakan eksternal standar campuran
Wet Basis
Sampel
Ulangan
Duplo
Luas Area
[ ] ( g/ml)
[ ] (mg /100 g sampel)
Std. Dev
RSD
1
Antanan beurit
2
Dry Basis
[ ] (mg /100 g sampel)
1
735443
3,6622
11,0086
73,2441
2
713547
3,5532
10,6808
71,0635
1
709835
3,5347
10,6253
2
724051
3,6055
10,8381
Rata-rata
10,7882
10,7882 ± 0,17
0,17
1,60
70,6938
72,1096
Std. Dev
1,15
RSD
1,60
71,7777
71,7777 ± 1,15
* Komponen kaempferol pada sampel takokak dan terubuk, tidak terdeteksi.
165
Download