I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasar internasional untuk wijen akhir-akhir ini mulai diperhatikan oleh berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut proyeksi FAO jumlah konsumsi dunia terhadap wijen akan terus meningkat sekitar 500 ton setiap tahun hingga tahun 2012, sedangkan impor wijen akan terus meningkat 6-8% setiap tahun hingga tahun 2012. Berdasarkan kondisi konsumsi dan impor maka dapat diperkirakan prospek pasar wijen di dunia relatif baik (Anindita, 2007). Prospek ekspor wijen tergantung dari kualitas wijen, ini terbukti tuntutan dari negara pengimpor yaitu rendemen minyak wijen harus lebih dari 40% dan tingkat residu pestisida yang rendah (Bennet, 2006). Menurut Anonim (2006), tingkat rendemen minyak biji wijen di Indonesia sebesar 30-35%, sehingga dalam rangka pengembangan wijen di Indonesia maka peningkatan produktivitas perlu diikuti dengan peningkatan rendemen minyak. Luas areal pertanaman wijen pada tahun 1960an mencapai sekitar 150.000 ha/tahun, kemudian semakin menurun sehingga status Indonesia yang semula sebagai negara pengekspor berubah menjadi negara pengimpor. Penurunan areal pertanaman wijen di Jawa disebabkan oleh pergeseran areal pertanaman yang semula wijen dialihkan untuk tanaman pangan (Soenardi, 2005). Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, yang secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, prospeknya baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik (Yuwono, 2009). Pada tanah kurus tanaman wijen masih dapat tumbuh dan menghasilkan biji walaupun produktivitasnya rendah (Soenardi, 1996). Pada tanaman penghasil minyak dari biji, unsur sulfur (S) berpengaruh terhadap kualitas dan perkembangan biji. Tanaman wijen yang ditanam di tanah pasir dengan diberi tambahan bongkahan sulfur secara langsung pada tanah, ternyata dapat meningkatkan hasil wijen. Selain peningkatan hasil wijen, kualitas biji wijen yang meliputi persentase kandungan minyak dan protein juga menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dikarenakan unsur sulfur yang terkandung dalam bongkahan sulfur berpengaruh pada peningkatan hasil dan kualitas biji wijen (Salwa et al., 2010). Menurut Pati et al. (2011) dengan penambahan magnesium sulfat berupa garam epsom 1 (MgSO4.7H2O ) mampu meningkatkan hasil wijen. Selain itu penelitian Bhosale et al. (2011) menunjukkan bahwa pemberian sulfur (S) pada tanaman wijen berpengaruh terhadap persentase kandungan minyak maupun protein. Menurut Wirawan dan Wahyuni (2002) berdasarkan komposisi kimia benih dikatakan berlemak (oily seed) jika memiliki kandungan lemak antara 18-50%. Biji wijen memiliki kandungan minyak sebesar 44-58% (Bedigian, 1985 cit Wei, 2011). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa benih wijen termasuk benih berlemak (oily seed). Komposisi kimia benih berhubungan dengan mutu daya simpannya. Di tempat penyimpanan yang terbuka, benih berlemak mempunyai daya simpan yang lebih rendah dibandingkan benih berprotein dan berpati. Hasil penguraian lemak tak jenuh di dalam benih akan menghasilkan asam lemak bebas, lalu terurai menjadi radikal bebas yang akan merusak fungsi enzim di dalam proses metabolisme benih (Wirawan dan Wahyuni, 2002). Menurut Delouche (1983) cit Justice dan Leuis (1990) proses kemunduran benih disebabkan oleh perubahan pada cadangan makanan dalam benih. Perubahan cadangan makanan pada benih salah satunya dikarenakan berkurangnya kadar lipida dan protein (Pomeranz, 1966; Ching dan Schookraft, 1968; Koostra dan Harrington, 1969 cit Justice dan Louis, 1990). Padahal minyak yang terdapat dalam biji berfungsi sebagai sumber energi saat perkecambahan. Benih akan mengalami proses kemunduran secara kronologis, yang tidak dapat dicegah dan diperbaiki secara sempurna, akan tetapi dapat dihambat dengan melakukan penanganan, pengolahan, serta penyimpanan benih secara baik (Kamil, 1982). Ketersediaan unsur hara makro maupun mikro khususnya unsur sulfur (S) dan magnesium (Mg) di lahan pasir pantai sangat rendah. Tucker (1999) mengemukakan bahwa rendahnya ketersediaan unsur S dan Mg pada tanah pasir dikarenakan unsur tersebut sangat mudah hilang terlindi serta rendahnya kandungan bahan organik. Penambahan pupuk kandang di lahan pasir selain dapat meningkatkan bahan organik juga meningkatkan ketersediaan S dan Mg, akan tetapi persentasenya rendah. Menurut Tan (1993) cit Hartatik dan Widowati (2006) pupuk kandang sapi potong mengandung 0,09 ppm (9x10-6%) S dan 0,10 ppm (10x10-6%) Mg sehingga diperlukan jumlah yang sangat banyak untuk meningkatkan kandungan S dan Mg di lahan pasir. Alternatif lain yang lebih mudah untuk meningkatkan kandungan S dan Mg di lahan pasir yaitu menambahkan pupuk magnesium sulfat yang berupa garam epsom (MgSO4.7H2O) 2 dengan persentase kandungan yang lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang. Menurut Yuwono (2000) garam epsom (MgSO4.7H2O) mengandung 13% sulfur (S) dan 9,6% magnesium (Mg). Tersedianya S dan Mg di lahan pasir pantai dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman wijen. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan sulfur dan magnesium terhadap hasil dan kualitas benih wijen di lahan pasir pantai. B. Tujuan Penelitian Mengetahui pengaruh pemberian garam epsom terhadap hasil dan kualitas benih wijen. C. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai penambahan garam epsom terhadap hasil dan kualitas benih wijen yang dibudidayakan pada lahan pasir pantai. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wijen Sistematika wijen menurut Van-Rheenen (1981) cit Suprijono dan Sunardi (1996) masuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub-divisi Angiospermae, class Dicotyledoneae, ordo Solanales (Tubiflorae), famili Pedaliaceae, genus Sesamum, spesies Sesamum indicum. Wijen diperkirakan berasal dari Benua Afrika dan pertama kali dibudidayakan di Ethiopia. Karena itu diduga daerah asal wijen dari Ethiopia, tetapi sampai sekarang tidak tersedia data yang menyebutkan secara jelas asal usul wijen. Wijen digunakan untuk bahan baku aneka industri, termasuk industri makanan dan minyak goreng. Minyak wijen mempunyai asam lemak jenuh rendah, sehingga tidak berbahaya jika dikonsumsi oleh penderita kolesterol tinggi (Rismunandar, 1976). Tanaman wijen merupakan tanaman herba semusim dengan tipe pertumbuhan tegak. Tinggi tanaman berkisar antara 30-200 cm, kadang bercabang banyak. Batang tegak berkayu, berlekuk empat, beralur, berbuku dan berbulu halus. Daunnya umumnya berselang-seling dengan bentuk dan ukuran antara daun bawah, tengah dan atas berbeda. Warna daun beragam dari hijau, hijau tua, sampai hijau keunguan. Bunga wijen tumbuh di ketiak daun pada batang maupun cabang. Bunganya mekar pada pagi hari dan mulai layu pada tengah hari kemudian gugur pada sore hari. Kelopak bunga kompak terletak pada bagian basal bunga. Mahkota bunga bentuknya menyerupai tabung, dengan lima lekukan yang saling menyatu dan berwarna bervariasi dari ungu sampai putih. Benang sari berjumlah lima dan menempel pada tabung mahkota bunga. Buah wijen berbentuk polong yang mempunyai lokul sebanyak 4-8 tergantung varietasnya, biji oval dan salah satu ujungnya runcing (Rusmin, 2007). Menurut Beech (1981) cit Soenardi (1996) wijen termasuk tanaman hari pendek dengan lama penyinaran 10 jam per hari dan peka terhadap panjang hari. Biji wijen mengandung minyak 35-63%, protein 20%, asam amino, lemak jenuh 14%, lemak tak jenuh 85,8%, fosfor, kalium, kalsium, natrium, besi, vitamin B dan E, anti oksidan dan alanin atau lignin, serta tidak mengandung kolesterol. Wijen banyak digunakan untuk aneka industri bahan makanan ringan dan penghasil minyak makan, serta sebagai bahan baku untuk industri farmasi, margarin, sabun, dan kosmetik. Sebagai bahan makanan dan minyak makan digolongkan bermutu tinggi serta berkadar 4