4 HASIL DAN PEMBAHASAN Limbah hasil ekstraksi alginat yang digunakan pada penelitian ini dikeringkan sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Analisis yang dilakukan terhadap limbah ekstraksi alginat meliputi kadar air dan kadar selulosa. 4.1 Kadar air Limbah ekstraksi alginat sebagai bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air 10,42 ± 0,92%. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa air dibutuhkan sebagai reaktan dalam berbagai reaksi biokimia. Penelitian Cuevas et al. (2010) melaporkan bahwa S. cereviceae dapat tumbuh dengan kadar air berkisar antara 8-10% dari bahan baku olive-pruning debris, sedangkan pada hasil penelitian Ahmed (2010) dilaporkan bahwa T. viride dapat tumbuh pada kadar air 5% pada bahan baku jerami gandum. Kadar air pada penelitian ini masih berada pada kisaran dimana mikroorganisme T. viride dan S. cereviceae tersebut dapat tumbuh. Kadar air limbah ekstraksi alginat berkisar antara 5-10%. Hasil analisis limbah ekstraksi alginat memiliki kadar air yang tergolong aman untuk pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan pada penelitian ini. Loebis (2008) menyatakan bahwa kandungan air juga berpengaruh pada substrat pertumbuhan kapang, aktivitas enzim, laju transfer massa oksigen dan karbondioksida. Kapang membutuhkan aktifitas air untuk germinasi spora dan pertumbuhannya relatif lebih rendah dibandingkan bakteri. Winarno (2010) menyatakan bahwa kadar air dari bahan juga sangat mempengaruhi laju reaksi enzimatik. Kadar air bebas yang rendah akan menyebabkan terjadinya halangan dan rintangan sehingga difusi enzim atau substrat terhambat. Akibatnya hidrolisis hanya terjadi pada bagian substrat yang langsung berhubungan dengan enzim. Kadar air dapat digunakan untuk mengetahui daya simpan dari bahan dan sangat berpengaruh terhadap mutu. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka daya simpannya semakin rendah dan mutu dari bahan tersebut menjadi rendah. Penampakan fisik dari rumput laut coklat (Sargassum sp) yang belum diekstraksi dan limbah hasil ekstraksi alginat yang telah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 5. 20 a b Gambar 5 a) Rumput laut coklat yang belum diekstrkasi dan b) limbah rumput laut hasil ekstraksi yang telah dikeringkan. 4.2 Kadar Selulosa Selulosa adalah karbohidrat paling melimpah di alam, namun pemanfaatannya belum optimum. Selulosa terdiri atas monomer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan β-1,4-glikosida, sehingga dapat menghidrolisis ikatan glikosida menjadi glukosa, yang kemudian dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti produksi bioetanol (Kamara et al. 2006). Limbah hasil ekstraksi alginat pada penelitian ini yang digunakan sebagai media hidrolisis enzim mengandung crude selulosa sebesar 30,26 ± 0,02% dari limbah ekstraksi alginat. Kadar crude selulosa yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2010), yaitu pada rumput laut coklat jenis Sargassum sp yang telah dibuat menjadi tepung memiliki kadar selulosa sebesar 15,80 ± 0,79%. Subaryono (2009) menyatakan bahwa dinding sel rumput laut coklat tidak hanya terdiri dari selulosa namun juga terdapat komponen-komponen seperti alginat dengan jumlah yang cukup besar yaitu 33,93% dari Sargassum sp kering, sedangkan Roswiem (1991) menyatakan bahwa komposisi kimia Sargassum sp memiliki kadar air sebesar 11,71%, kadar abu sebesar 34,57%, kadar protein sebesar 5,53%, kadar lemak sebesar 0,74% dan kadar karbohidrat sebesar 19,06%. 21 4.3 Kultur Trichoderma viride Inkubasi T. viride dilakukan selama 7 hari. Pertumbuhan T. viride ditentukan dengan pengamatan secara penampakan fisik setiap 24 jam. Kultivasi T. viride dilakukan selama 7 hari, karena mengacu pada hasil penelitian Arnata (2009) yang menyatakan bahwa waktu tercapainya aktifitas maksimum T. viride untuk menghasilkan enzim selulase adalah 7 hari setelah diinkubasi dan memiliki aktivitas enzim selulase (CMCase) sebesar 5,05 ± 0,42 IU/mL. Enari (1983) menyatakan bahwa pengukuran aktivitas enzim selulase dimaksudkan untuk mengetahui kerja endo-glukanase dan glukanohidrolase. Kedua enzim ini merupakan bagian dari enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa yang telah direnggangkan dengan asam posfat dan selulase yang telah disubsitusi seperti CMC (Carboksil Metil Celulase). Irawadi (1991) menyatakan bahwa CMC adalah turunan selulosa dapat larut yang digunakan sebagai substrat bagi enzim endoglukanase. Enzim yang dapat menghidrolisis CMC ini sering disebut CMCase. Trichoderma viride merupakan salah satu mikroorganisme yang digunakan untuk mendapatkan enzim selulase (Winarno 2010). Enzim selulase digunakan dalam proses hidrolisis dimana proses hidrolisis ini memiliki kelebihan pada tingkat efektivitas dan efisiensi proses, yaitu tanpa proses netralisasi dibandingkan dengan hidrolisis asam, sehingga pada tahap hidrolisis ini akan memanfaatkan aktivitas enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang T. viride yang memiliki aktivitas tinggi sehingga dapat diperoleh randemen gula yang cukup baik (Kamara 2006). Adapun karakter fisik dari T. viride dapat dilihat pada Gambar 6. Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 5 Hari ke 6 Gambar 6 Karakter fisik Trichoderma viride selama 7 hari. Hari ke 7 22 Kondisi pertumbuhan T. viride dapat dilihat pada Gambar 6. Pada hari pertama spora mengalami germinasi membentuk miselium berwarna putih. Pembentukan miselium semakin cepat sampai hari ketiga dan mulai terjadi perubahan warna menjadi agak kehijauan. Hari keenam sampai hari ketujuh terjadi perubahan dari warna putih menjadi warna hijau yang semakin jelas. T.viride adalah kapang yang berwarna hijau terang karena terbentuknya bola-bola konidia yang melekat satu sama lain. Hal ini sesuai dengan Fardiaz (1989) yang menyatakan bahwa ciri-ciri spesifik kapang T. viride adalah mempunyai miselium septat, memiliki koniofora bercabang banyak, septat, dan ujung percabangannya merupakan sterigma, membentuk konidia bulat atau oval, berwarna hijau terang, dan berbentuk bola-bola berlendir. 4.4 Kultur Saccharomyces cereviceae Kultur Saccharomyces cereviceae dilakukan selama 3 hari. Mikroorganisme S. cereviceae yang akan memfermentasi dan mengubah sebagian besar energi dari gula ke dalam bentuk etanol. Efisiensi pengubahan energi tersebut dapat mencapai 97% (Campbel 1983). Penampakan secara fisik S. cereviceae ada yang membentuk film atau lapisan pada permukaan medium, umumnya kering dan berlendir, berwarna putih atau krem serta tidak berbau. Penampakan fisik S.cereviceae setelah dikultivasi selama 3 hari dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Karakter fisik Saccharomyces cereviceae pada hari ke 3. 23 4.5 Kinerja proses sakarifikasi dan fermentasi simultan Pembuatan bioetanol dari limbah hasil ekstraksi alginat dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi simultan, yang menggunakan dua biakan mikroorganisme dengan suhu dan pH yang berbeda. Biakan yang digunakan adalah T. viride dan S. cereviceae. Kinerja proses dari sakarifikasi dan fermentasi simultan ini dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu pH, pengukuran OD mikroorganisme dengan panjang gelombang (λ) 600 nm, total gula pereduksi dan kadar etanol. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan secara terpisah atau bertahap, tetapi secara simultan. Mikroorganisme yang digunakan pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan biasanya jamur penghasil enzim selulase, seperti T. reesei, T. viride, dan khamir S. cerevisiae. Suhu optimal proses sakarifikasi dan fermentasi simultan adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45– 50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C) (Sun dan Cheng 2002). Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan juga tidak menggunakan peralatan yang mahal dan mengurangi kemungkinan kontaminasi oleh organisme yang tidak diinginkan (Wyman et al. 1992). Karakter proses sakarifikasi dan fermentasi simultan menurut Samsuri et al. (2007) adalah polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Shen et al. (2007) dan Hari Khrisna et al. (2001) menyatakan bahwa sakarifikasi dan fermentasi simultan adalah sebuah metode yang dapat meningkatkan kinerja enzim karena pengurangan dari penghambat produk. Hal itu memerlukan lebih sedikit enzim yang dapat meningkatkan hasil dan produksinya. 4.5.1. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 30 0C Perlakuan pertama pada penelitian ini menggunakan suhu 30 0C dengan pH 4; 4,5; dan 4,8. Kondisi ini memungkinkan kapang Trichoderma viride dan Saccaromyces cereviceae untuk tumbuh dengan baik. Grafik nilai pH, OD, dan TGP pada perlakuan suhu 30 0C dapat dilihat pada Gambar 8, 9, dan 10. 24 Gambar 8 Absorbansi mikroorganisme selama proses SFS pada suhu 30 0C. ( ) Gambar 9 Grafik nilai pH selama proses SFS pada suhu 300 C. ( ) Gambar 10 Grafik total gula pereduksi selama SFS pada suhu 30 0 C. ( ) 25 Pertumbuhan dapat didefenisikan sebagai pertambahan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup (Fardiaz 1989). Mikroorganisme akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Pola pertumbuhan dan penghasilan suatu produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al. 2006). Pertumbuhan T.viride dan S. cereviceae pada medium dengan pH 4; 4,5; dan pH 4,8 yang dapat dilihat pada Gambar 8 mempunyai kecenderungan pola pertumbuhan yang sama pada setiap pH yaitu hari ke-0 sampai dengan hari pertama mengalami fase logaritmik yang ditandai dengan meningkatnya jumlah mikroorganisme pada hari pertama. Kenaikan jumlah mikroorganisme tersebut dipengaruhi juga oleh suhu pertumbuhan mikroorganisme, dimana suhu optimum Trichoderma viride untuk tumbuh 28-300C (Waluyo 2004) dan suhu optimum Saccharomyces cereviceae 30-340C (Kunkee dan Mardon 1970). Lamanya fase logaritmik bervariasi tergantung dari jumlah dan pengaruh medium yang digunakan, lingkungan pertumbuhan dan jumlah inokulum dimana jumlah awal sel yang tinggi akan mempercepat fase logaritmik. Hari pertama sampai hari keempat pertumbuhan kedua mikroorganisme tersebut mengalami penurunan. Hal ini diduga terjadi karena zat nutrisi di dalam medium sudah sangat berkurang karena dipakai oleh kedua mikroorganisme tersebut untuk pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fardiaz (1989) bahwa penurunan jumlah mikroorganisme disebabkan oleh zat nutrisi di dalam medium sudah sangat berkurang dan juga disebabkan oleh adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Peningkatan dan penurunan jumlah mikroorganisme akan mempengaruhi pH media. Nilai pH media selama proses sakarifikasi dan fermentasi simultan selama 4 hari pada suhu 300 C dengan pH media awal 4; 4,5; dan 4,8 yang dapat dilihat pada Gambar 9 berturut-turut berkisar antara 4,00-6,90, 4,5-7,06 dan 4,8-7,17. Kenaikan pH pada perlakuan ini diduga disebabkan oleh munculnya senyawasenyawa amoniakal akibat metabolit sekunder dari mikroorganisme tersebut dan juga diakibatkan oleh penggunaan karbon oleh mikroorganisme sehingga menaikkan pH media. 26 Gula pereduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. Gula pereduksi dihitung dengan menggunakan metode DNS. Gula pereduksi akan menghasilkan warna kuning sampai kemerah-merahan sesuai dengan kandungan gula sederhana yang terdapat di dalam cairan media SFS. Hal ini dikarenakan adanya gugus keton dan aldehid (-CHO). Contoh gula pereduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltose dan lain-lain (Subekti 2006). Pengukuran total gula pereduksi pada penelitian ini dimulai dari hari pertama karena pada hari ke 0 diasumsikan belum terjadi hidrolisis enzim untuk menghasilkan gula pereduksi. Total gula pereduksi yang dihasilkan dari proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 300C dapat dilihat pada Gambar 10 yang berada pada kisaran 5,48 – 9.18% (b/b), dimana dari hari pertama sampai hari keempat cenderung meningkat. Peningkatan total gula pereduksi menurut Sari (2010) disebabkan adanya enzim selulase yang menghidrolisis selulosa menjadi gula pereduksi. Peningkatan total gula pereduksi juga diduga disebabkan oleh ketidakmampuan S. cereviceae untuk menggunakan total gula pereduksi untuk menghasilkan bioetanol, sehingga total gula pereduksi tetap tinggi. Tamada et al. (1987) menyatakan bahwa ada hubungan antara aktivitas selulase dan produksi glukosa karena selulase digunakan untuk pemecahan selulosa menjadi glukosa. Etanol yang terbentuk selama proses sakarifikasi dan fermentasi simultan merupakan produk hasil metabolit sekunder dari pertumbuhan mikroorganisme. Pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 30 0 C tidak menghasilkan kadar etanol (0% etanol) yaitu pada pH awal 4; 4,5 dan 4,8. Etanol tidak terbentuk diduga karena kondisi sampel yang memiliki pH mencapai 7 yang dapat mengakibatkan mikroorganisme tersebut tidak menghasilkan aktivitas enzim yang maksimal. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa bahwa kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam, yaitu pH 4-4,5 dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah beradaptasi. Etanol belum dihasilkan pada perlakuan suhu 300C diduga disebabkan oleh kurangnya waktu proses SFS. Kondisi ini didukung oleh hasil pengukuran total gula pereduksi (TGP) yang mana TGP terbentuk setiap harinya meningkat atau dapat dikatakan hanya terjadi proses hidrolisis enzim dan tidak terjadi proses 27 fermentasi. Hasil pengukuran OD mikroorganisme menunjukkan bahwa mikroorganisme tersebut belum memasuki fase stasioner dan masih mengalami fluktuasi sehingga etanol belum terbentuk. 4.5.2 Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 34 0C Perlakuan kedua menggunakan suhu 34 0C dengan pH 4; 4,5; dan 4,8. Grafik nilai pH, OD, TGP dan kadar etanol yang terbentuk pada suhu 34 0C yang dapat dilihat pada Gambar 11, 12, dan 13. Gambar 11 Absorbansi mikroorganisme selama proses SFS pada suhu 34 0C. ( ) Gambar 12 Grafik nilai pH selama proses SFS pada suhu 340 C. ( ) 28 Gambar 13 Grafik total gula pereduksi selama SFS pada suhu 34 0C. ) ( Pertumbuhan mikroorganisme pada media dengan pH 4, 4,5, dan 4,8 pada Gambar 11 memiliki kecenderungan yang sama yaitu mengalami peningkatan pada hari pertama kemudian mengalami penurunan pada hari kedua sampai hari keempat. Peningkatan jumlah mikroorganisme pada hari ke 0 sampai hari pertama dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor biologis, misalnya: bentuk dan sifat mikroorganisme terhadap lingkungan yang ada, asosiasi kehidupan organisme yang bersangkutan dan kandungan non biologis, misalnya kandungan hara didalam media kultur, suhu, kadar oksingen, cahaya, bahan kimia dan lain-lain. Jika faktor-faktor diatas optimal, maka peningkatan kurva akan tampak meningkat (Pelczar dan Chan 1986). Hal ini didukung oleh Fardiaz (1989) yang menyatakan bahwa nutrien di dalam medium sudah habis, energi cadangan di dalam sel habis dan habisnya nutrien didalam medium diakibatkan oleh pemakaian ke dua jenis mikroorganisme untuk pertumbuhannya dan mempengaruhi pH media. Nilai pH media pada suhu 340 C yang dapat dilihat pada Gambar 12 dengan pH media awal 4; 4,5; dan 4,8 berturut-turut diperoleh nilai perubahan pH berkisar 4,0 - 6,42; 4,5 – 6,51 dan 4,8 – 5,59. Kenaikan pH pada suhu 34 0C menurut Yulianto (2001) juga disebabkan oleh yeast extract yang digunakan dapat mengalami deaminasi hingga mengakibatkan pH media meningkat dan perubahan naik turunnya pH kultur dipengaruhi oleh besar kecilnya perbandingan antara senyawa organik yang bersifat asam dengan ammonia yang bersifat basa dan juga 29 diduga disebabkan oleh penggunaan karbon yang digunakan untuk pertumbuhan sehingga menghasilkan senyawa amoniakal melalui proses metabolit sekunder. Jumlah mikroorganisme mengalami penurunan dari hari pertama sampai dengan hari selanjutnya. Hal ini diduga glukosa mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Petrik et al. (1982) konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi dapat menyebabkan depresi pada sistem metabolisme mitokondria dan sintesis sel atau sering disebut dengan glucose effect. Total gula pereduksi yang dihasilkan dari proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 340C dapat dilihat pada Gambar 13 berkisar antara 3,49-12,95% (b/b). Total gula pereduksi pada awal proses mengalami kenaikan. Hasil penelitian Resita (2006) menunjukkan bahwa peningkatan total gula pereduksi tersebut disebabkan oleh mikroorganisme T. viride yang menghidrolisis selulosa menjadi gula pereduksi menggunakan enzim selulase yang dihasilkannya sehingga pada hari pertama sampai hari kedua total gula pereduksi naik. Peningkatan gula pereduksi yang dihasilkan menunjukkan bahwa cukup nutrisi bagi T. viride untuk menghasilkan enzim selulase dan juga dapat dilihat OD mikroorganisme meningkat yang berarti mikroorganisme tersebut dapat tumbuh dengan baik. Hari ketiga total gula pereduksi mengalami penurunan, hal ini disebabkan gula pereduksi digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Hal ini menurut Putri dan Sukandar (2008) disebabkan oleh gula pereduksi yang terdapat dalam media digunakan sebagai sumber karbon bagi sel khamir untuk mensintesis energi melalui fermentasi etanol. Adanya enzim selulase yang dihasilkan mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatan-ikatan selulosa, sehingga Saccharomyces cereviceae lebih mudah memanfaatkan glukosa hasil hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 34 0C tidak menghasilkan etanol yaitu dengan pH awal 4; 4,5; dan 4,8. Horn (2000) menyatakan bahwa hal tersebut diduga oleh masih adanya komponen-komponen lain yang dapat menghambat pembentukan etanol seperti alginat, fukoidan, protein dan polyphenol. Adanya polyphenols yang mudah larut sehingga mengganggu 30 proses degradasi protein serta bentuk phenol yang kompleks dengan protein tidak dapat diakses untuk didegradasi oleh mikroorganisme. Etanol tidak terbentuk pada penelitian ini juga diduga karena kondisi sampel yang memiliki pH mencapai 7 yang dapat mengakibatkan mikroorganisme tersebut tidak menghasilkan aktivitas enzim yang maksimal karena menurut Harrison dan Graham 1970 menyatakan bahwa biakan S. cereviceae mempunyai kecepatan fermentasi optimum pada pH 4,48. Fardiaz (1989) juga menyatakan bahwa kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada keadaan asam, yaitu pH 4 – 4,5 dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah beradaptasi. Faktor lain yang menyebabkan tidak terbentuknya etanol antara lain karena penggunaan nutrien oleh Trichoderma viride untuk mengubah selulosa menjadi glukosa yang mengakibatkan kepada pertumbuhan Saccharomyces cereviceae menjadi terganggu dan tidak dapat memprodukasi etanol. Etanol tidak terbentuk pada perlakuan ini juga diduga diakibatkan kurangnya waktu proses SFS untuk mengubah glukosa menjadi etanol. Hal tersebut dapat dilihat bahwa total gula pereduksi masih meningkat walaupun pada hari ketiga mengalami penurunan dan juga OD mikroorganisme belum memasuki fase stasioner dan masih mengalami fluktuasi sehingga etanol belum terbentuk. Shofiyanto (2008) menyatakan bahwa disamping kondisi lingkungan seperti suhu dan pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor juga memegang peranan penting bagi kehidupan khamir. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen. Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium, dan magnesium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen minor. Beberapa mineral (Mn, Co, Cu dan Zn) dan faktor pertumbuhan organik (asam amino, asam nukleat, dan vitamin) diperlukan dalam jumlah kecil. Substrat yang digunakan untuk memproduksi etanol dalam jumlah besar biasanya mengandung nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan khamir. 4.5.3 Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 380 C Perlakuan ketiga menggunakan suhu 38 0C dengan pH 4; 4,5; dan 4,8. Grafik nilai pH, OD, TGP dan kadar etanol yang terbentuk pada suhu 38 0C yang 31 dapat dilihat pada Gambar 14, 15, dan 16. Hasil pengamatan pertumbuhan Trichoderma viride dan Saccharomyces cerevieae pada suhu 380 C dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Absorbansi mikroorganisme selama proses SFS pada suhu 38 0C. ( ) Gambar 15 Grafik nilai pH selama proses SFS pada suhu 380 C. ( ) 32 Gambar 16 Grafik total gula pereduksi selama SFS pada suhu 380 C. ( ) Pertumbuhan kedua mikroorganime pada suhu 380 C memiliki kecenderungan meningkat pada hari pertama sampai hari ke empat untuk pH 4, 4,5 dan 4,8. Mikroorganisme T. viride dan S. sereviceae pada suhu 380 C mengalami fase lag, yaitu masa penyesuaian mikroorganisme sejak inokulum diinokulasi kedalam media fermentasi, kemudian mengalami peningkatan jumlah sel setiap hari. Jumlah sel mikroorganisme pada setiap perlakuan pH mengalami peningkat pada hari ke 0 sampai hari keempat. Lambatnya pertumbuhan jumlah sel dari ke dua jenis mikroorganisme pada suhu 38 0C tersebut Taherzadeh et al. (1999) menurut disebabkan oleh adanya senyawa furfural dapat menyebabkan lambatnya laju pertumbuhan spesifik dari mikroorganisme dan laju produksi etanol baik pada kondisi anaerob maupun aerob pada sistem kultivasi dan fermentasi. Pola pertumbuhan mikroorganisme pada suhu 380C tidak sama dengan pola pertumbuhan mikroorganisme pada suhu 30 dan 34 0C. Perbedaan pola pertumbuhan tersebut disebabkan oleh suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan, dimana Trichoderma viride memiliki suhu optimum untuk pertumbuhan hidupnya pada suhu 28-300C (Waluyo 2004), sedangkan suhu optimum pertumbuhan Saccharomyces cereviceae adalah pada suhu 30 -340C (Kunkee dan Mardon 1970) sehingga pada suhu 30 dan 34 0C pola pertumbuhannya meningkat di hari pertama dan menurun pada hari selanjutnya. Pertumbuhan pada suhu 380C sangat lambat, hal ini disebabkan karena kedua 33 mikroorganisme tersebut pada suhu 38 0C tidak dapat tumbuh secara optimum karena lingkungan hidupnya yang tidak sesuai. Fardiaz (1989) menyatakan bahwa mikroorganisme akan melakukan adaptasi terhadap lingkungan yang tidak sesuai dengan lingkungan dimana mikroorganisme tersebut hidup, hal inilah yang menyebabkan pola pertumbuhan mikroorganisme pada suhu 38 0C lebih lambat dibandingkan dengan pola pertumbuhan pada suhu 30 dan 340C. Nilai pH media pada proses SFS dengan suhu 380 C dapat dilihat pada Gambar 15 dengan pH media awal 4; 4,5; dan 4,8 berturut-turut diperoleh nilai perubahan pH berkisar antara 4,0 -5,0; 4,5 – 6,54; dan 4,8 – 6,42. Kenaikan pH pada suhu 30 0C menurut Yulianto (2001) juga disebabkan oleh yeast extract yang digunakan dapat mengalami deaminasi hingga mengakibatkan pH media meningkat dan perubahan naik turunnya pH kultur dipengaruhi oleh besar kecilnya perbandingan antara senyawa organik yang bersifat asam dengan ammonia yang bersifat basa. Hasil pengukuran total gula pereduksi pada mikroorganisme yang digunakan selama proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 38 0C dapat dilihat pada Gambar 16. Total gula pereduksi yang dihasilkan pada suhu 380C berada pada kisaran 2,74 – 13.09% (b/b). Awal proses pada hari pertama sampai hari kedua total gula pereduksi mengalami kenaikan. Hal tersebut diduga karena mikroorganisme Trichoderma viride sudah mampu menghidrolisis selulosa untuk menjadi glukosa sehingga pada hari pertama total gula pereduksi naik. Penurunan total gula pereduksi pada suhu 380C karena pada hari kedua sampai hari keempat diakibatnya oleh mikroorganisme yang menggunakan gula pereduksi untuk pertumbuhan sel dan juga pembentukan produk seperti etanol karena menurut Putri dan Sukandar (2008) bahwa gula pereduksi yang terdapat di dalam media digunakan sebagai sumber karbon bagi sel khamir untuk mensintesis energi melalui fermentasi etanol. Glukosa digunakan sebagai makanan untuk pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan etanol sebagai produk fermentasi. Adanya enzim selulase yang dihasilkan mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatan-ikatan selulosa menjadi glukosa, sehingga Saccharomyces cereviceae lebih mudah memanfaatkan glukosa hasil hidrolisis untuk menghasilkan etanol. Reezey (2004) menyatakan bahwa selulase dapat 34 menghidrolisis selulosa dengan adanya sinergisme 3 komponen enzim selulase yang terdiri dari endoglukanase, selobiohidrolase dan β-glukanase. Semakin besar jumlah pengurangan glukosa maka etanol yang terbentuk pun semakin banyak, sehingga kadar (% v/v) dari etanol pun semakin besar (Hikmiyati dan Yanie 2011). Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan pada suhu 38 0C memperoleh hasil etanol. Konsentrasi etanol yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Konsentrasi Etanol (%b/b) pada suhu 380 C pH Hari 4 4.5 4.8 2 0 0 0 3 0 0,07 0 4 0 0,22 0,22 Etanol tidak terbentuk pada pH 4 pada hari ke dua, ke tiga dan ke empat. Hal ini juga diduga diakibatkan oleh penggunaan nutrient oleh Trichoderma viride untuk mengubah selulosa menjadi glukosa yang mengakibatkan pertumbuhan Saccharomyces cereviceae menjadi terganggu dan tidak dapat memproduksi etanol. Shofiyanto (2008) menyatakan bahwa disamping kondisi lingkungan seperti suhu dan pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor juga memegang peranan penting bagi kehidupan khamir. Etanol belum terbentuk pada hari kedua pada pH 4,5, pada hari ketiga dihasilkan etanol sebesar 0,07% (b/b). Hari keempat mengalami kenaikan dengan menghasilkan etanol sebesar 0,22 % (b/b). Hal ini sesuai dengan penelitian Sari (2010) yang menunjukkan bahwa sumber karbon lain yaitu glukosa (hasil proses hidrolisis enzim) dapat dimanfaatkan oleh S.cereviceae sebagai media tumbuh untuk memperbanyak biomassa sehingga konsentrasi etanol yang difermentasi juga meningkat. Hari ke dua dan ke tiga pada pH 4,8 tidak terbentuk etanol, sedangkan pada hari ke empat menghasilkan etanol pada sebesar 0,22% (b/b). Hal ini sesuai dengan TGP yang menurun setiap harinya. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan, hidrolisis selulosa dan fermentasi gula dilakukan secara simultan. 35 Mikroorganisme yang digunakan pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase, seperti T. reesei, T.viride, dan khamir S. cerevisiae. Sun dan Cheng (2002) menyatakan bahwa suhu optimal proses sakarifikasi dan fermentasi simultan adalah 38°C, yang merupakan perpaduan antara suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C). Penelitian ini memiliki konsetrasi etanol yang tinggi yang terdapat pada suhu 380 C dengan pH 4,5 dan 4,8 hari ke empat sebesar 0,22% (b/b) dari limbah yang digunakan, dimana 0,22 gram etanol dalam 100 gram limbah ekstraksi alginat. Etanol yang terbentuk pada suhu 380 C belum maksimal, hal tersebut dapat dilihat dari dari OD mikroorganisme belum mengalami fase stasioner melainkan masih mengalami fase logaritmik sehingga aktivitas enzim yang terbentuk belum maksimal sehingga perlu menambahkan waktu proses sehingga proses pembentukan etanol menjadi lebih baik dan maksimal.