V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Data Pengujian stasioneritas data merupakan salah satu tahap yang penting dalam menganalisis data panel. Hal ini karena proses munculnya suatu fenomena misalnya PDB, inflasi, suku bunga setiap bulanan, kuartalan, atau tahunan merupakan proses stokastik (random). Oleh karena itu, bila kita akan melihat hubungan antara variabel ekonomi maka perlu dilihat stasioneritas data tersebut. Apabila variabel yang digunakan tidak stasioner maka dapat menyebabkan hasil estimasi yang meragukan atau terjadi hubungan yang spurius (semu). Untuk melakukan uji stasioneritas pada data panel dapat digunakan uji akar unit untuk data panel (panel unit root test). Pengunaan panel data unit root test dimaksudkan untuk meningkatkan power of the test dengan meningkatkan jumlah data. Peningkatan jumlah data yang besar dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah crosssection data maupun jumlah time-series data. Panel unit root test yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat level dan first differencing dan didasarkan pada beberapa statistik uji seperti Levin, Lin & Chu (LLC), Breitung t-stat, Im, Pesaran & Shin W-stat (IPS), ADF-Fisher Chi-square, dan PP-Fisher Chi-square. Pengujian panel unit root dilakukan pada semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini yang masing-masing dinyatakan dalam bentuk logaritma natural antara lain: indeks harga minyak (opi), indeks harga konsumen (cpi), output (gdp). Sedangkan variabel-variabel lainnya dinyatakan dalam persentase antara lain: suku bunga riil (rir), keterbukaan perdagangan (t), dan tingkat pendidikan (edu). Hasil pengujian panel unit root dapat dilihat pada Tabel 15. Data pada tingkat level menunjukkan data masih tidak stasioner dengan masih adanya common unit root dan beberapa variabel menunjukkan masih adanya individual unit root. Sedangkan data pada tingkat first differencing, hampir semua variabel sudah tidak mengandung akar unit (unit root) lagi berdasarkan beberapa statistik uji. 68 Tabel 15. Hasil Uji Panel Unit Root untuk Masing-Masing Variabel Variabel Differencing ln_opi D1 D1 D1 D1 D1 D1 D1 D1 D1 D1 D1 D1 ln_cpi ln_gdp rir t edu 1) Metode 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 2) Levin, Lin & Chu (LLC) 3) 0.0000 0.9210 0.0651 0.0000 0.0000 0.0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0.0003 0.0011 P-Value Im, Pesaran & Breitung ADF-Fisher PP-Fisher Shin W- test t-stat 3) Chi-squar 4) Chi-square 4) (IPS) 4) 0.0001 0.0001 0.0002 0.4873 0.5673 0.6594 0.0003 0.6135 0.2518 0.0457 0.9613 0.0372 0.0009 0.0087 0.0093 0.0040 0.0040 0.2194 0.0948 0.0032 0.0000 0,0000 0,0000 0,0000 0.2098 0.0081 0,0000 0,0000 0,0075 0,0041 0,0274 0.7774 0.2483 0.0478 0.5654 0.0152 0.0095 0.0026 0.9694 0.4479 0.2077 0.0655 Keterangan: 1) Differencing: 2) Metode D1 = Data pembeda pertama (first differencing) 1 = Dengan intersep, tanpa tren 2 = Dengan intersep, dengan tren 3) Common unit root 4) Individual unit root Hasil uji panel unit root menyatakan semua variabel yang diteliti harus distasionerkan terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya spurious regression dan untuk menjaga robustness hasil penelitian. Data yang akan diestimasi pada penelitian ini menggunakan data dalam bentuk pembeda pertama (first differencing). Dalam penelitian ini, variabel yang dilakukan first differencing tersebut akan ditambahkan awalan ‘D’ atau dinyatakan dengan delta (∆). Salah satu masalah dalam mengestimasi model dinamis menggunakan OLS adalah bahwa variabel lag dependen (Yi,t-1) adalah endogen dengan efek tetap (νi) yang menimbulkan bias panel dinamis. Oleh karena itu estimasi OLS pada model dasar ini akan menjadi tidak konsisten, bahkan pada penggunaan fixed atau random efek, karena Yi,t-1 akan berkorelasi dengan error (εit), bahkan hal itu terjadi bila tidak terjadi korelasi serial. Jika jumlah perioe (T) besar, bias menjadi lebih kecil dan masalah hilang. Tetapi jika sampel kita hanya sedikit maka bias masih menjadi maslah penting. Persamaan first differencing menghilangkan efek idividu (νi) dan kemudian mengurangi sumber potensial dari bias. 69 5.2 Hasil Analisis Hasil estimasi koefisien regresi merupakan hasil dari model data panel dinamis (FD-GMM). Validitas dan konsistensi estimasi ditunjukkan oleh hasil estimasi FD-GMM pada model data panel dinamis. Konsistensi penduga FD-GMM ditunjukkan oleh hasil nilai statistik uji Arellano-Bond (m1 dan m2). Model konsisten jika m1 signifikan pada taraf nyata 5 persen dan m2 tidak signifikan. Validitas dari instrumen yang digunakan untuk estimasi model ditunjukkan oleh hasil nilai statistik uji sargan. Instrumen dikatakan valid jika tidak signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hasil estimasi koefisien regresi dari model data panel dinamis digunakan untuk mengatasi masalah yang timbul bila menggunakan metode analisis statis (FEM dan REM) atau Ordinary Least Square (OLS). Perbandingan hasil dari model analisis dinamis (FD-GMM) dan model analisis statis (FEM dan REM) bisa dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Pada model data panel statis, koefisien estimasi yang disajikan merupakan hasil dari metode estimasi Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Signifikansi model ditunjukkan oleh uji F dan uji Wald yang merupakan hasil uji kebaikan suai (goodness of fit). 5.2.1 Dampak Harga Minyak dan Inflasi Tahun Sebelumnya terhadap Inflasi Hasil analisis pengaruh harga minyak terhadap inflasi ditunjukkan pada Tabel 16. Model dinamis FD-GMM dengan twostep-robust lebih dipilih karena menggunakan robust standard error yang terkoreksi. Validitas dan konsistensi estimasi juga ditunjukkan oleh hasil estimasi FD-GMM pada model data panel dinamis. Hasil estimasi metode FD-GMM menunjukkan hasil yang cukup baik karena telah memenuhi syarat perlu yang harus dipenuhi metode data panel dinamis. Syarat perlu tersebut adalah konsistensi penduga FD-GMM dan validitas dari instrumen yang digunakan. Konsistensi penduga FD-GMM ditunjukkan oleh hasil nilai statistik uji Arellano-Bond (m1 dan m2) yaitu m1 signifikan pada taraf nyata 5 persen dan m2 tidak signifikan. Sedangkan validitas dari instrumen yang digunakan untuk estimasi model ditunjukkan oleh hasil nilai statistik uji sargan yang tidak signifikan (P-value = 1,0000). 70 Tabel 16. Hasil Estimasi Koefisien Model Inflasi Variabel 1) (1) ∆ln_cpi L1 ∆ln_gdp ∆ln_opi ∆rir ∆openness Uji Wald Arelano-Bond m1 Arelano-Bond m2 Uji Sargan Model Dinamis FD-GMM Twostep (2) 0,6252 (0,4203) -1,3241 *** (0,5140) 0,0553 *** (0,0134) -0,0032 * (0,0019) -0,0002 ** (0,0001) 31,45 [0,0000] -2,4853 [0,0129] -1,4107 [0,1583] 1,4940 [1,0000] Twostep-robust 2) (3) 0,6252 (0,3847) -1,3241 *** (0,5067) 0,0553 *** (0,0148) -0,0032 (0,0020) -0,0002 (0,0004) 40,16 [0,0000] -2,6582 [0,0079] -1,3815 [0,1671] Catatan: 1) Variabel dependen : ∆ln_cpi 2) Hasil twostep-robust menggunakan robust standard error yang terkoreksi untuk sampel terbatas (Windmeijer, 2000) Keterangan: *** : Signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : Signifikan pada taraf nyata 5 persen * : Signifikan pada taraf nyata 10 persen ( ) : Simpangan baku (standard error) [ ] : P-value Berdasarkan hasil estimasi panel dinamis dengan FD-GMM, lag pertama dari variabel dependen (inflasi tahun sebelumnya) mempunyai koefisien yang bertanda positif namun secara statistik tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan tidak terjadi inflasi yang persisten. Lag dependen yang tidak signifikan juga berarti bahwa inflasi saat ini tidak dipengaruhi oleh inflasi sebelumnya (backward looking) namun dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi (forward looking). Hal ini juga menunjukkan keberhasilan otoritas moneter di wilayah ASEAN+3 dalam mengatasi masalah inflasi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi mempunyai koefisien yang bertanda negatif dan signifikan terhadap inflasi. Setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 1,32 persen, ceteris paribus. Hal ini sejalan dengan penelitian Fisher et al. (2002) bahwa inflasi yang tinggi sering ditandai dengan kontraksi tingkat PDB dimana inflasi tinggi terkait dengan kinerja makroekonomi yang buruk. 71 Perubahan indeks harga minyak mentah dunia berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi. Setiap peningkatan laju perubahan harga minyak sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan inflasi sebesar 0,0553 persen, ceteris paribus. Hal ini karena kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan biaya produksi dan harga (cost push inflation). Kenaikan harga minyak dapat mengakibatkan kenaikan harga-harga barang lain. Apabila terjadi kenaikan harga minyak maka bukan saja harga BBM yang naik, harga barang dan jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut naik. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi jika kenaikan harga BBM ini meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya seperti harga bahan makanan dan papan. Kenaikan harga minyak juga terkait dengan kenaikan harga komoditas lain. Kenaikan harga minyak bumi seringkali diikuti oleh kenaikan harga komoditas lain seperti beras, karet, kelapa sawit, kopi, serta komoditas primer seperti emas, perak, batubara, gas alam, dan bahan tambang lainnya (Gambar 27). Selama periode 1999 sampai 2000, rata-rata kenaikan harga minyak dunia adalah 22,34 persen per tahun. Rata-rata kenaikan harga per tahun komoditas lain yaitu batubara sebesar 26,08 persen, gas alam sebesar 21,65 persen, karet 18,27 persen, beras 16,40 persen, emas 14,04 persen, perak 13,99 persen, minyak kelapa sawit 13,51 persen, dan kopi 5,30 persen. 1200.00 1000.00 1600.00 1400.00 US $ 600.00 400.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 200.00 US cents 1200.00 800.00 Soybean Oil (US $/MT) Gold (US $/troy ounce) Palm Oil (US $/MT) Rice (US $/MT) Natural Gas (US $/000 M³) Coal (US $/MT) Petroleum,spot (US$/barrel) Silver (US cents/troy ounce) Coffee (US cents/pound) Rubber (US cents/pound) 0.00 Sumber: IFS, 2009 Gambar 27. Perkembangan Harga Komoditas Dunia Tahun 1999-2008 72 Tingginya harga minyak dalam beberapa tahun terakhir juga telah mendorong berkembangnya produksi biofuel sebagai energi alternatif. Hal ini menyebabkan beralihnya penggunaan sejumlah besar komoditas yang semula hanya sebagai bahan pangan menjadi bahan baku industri biofuel (seperti minyak sawit, jagung, gandum, kedelai) yang pada akhirnya memicu kenaikan harga. Kondisi ini terjadi seiring dengan dikeluarkannya kebijakan dan target konversi energi ke biofuel secara agresif oleh berbagai negara. Kenaikan harga minyak juga menyebabkan kenaikan defisit fiskal. Salah satu asal inflasi adalah hasil dari ketidakseimbangan fiskal dimana defisit fiskal merupakan penjumlahan dari seigniorage dan pinjaman. Jadi hubungan antara defisit dan inflasi muncul dari hubungan seigniorage dengan inflasi. Menurut Fischer et al. (2004) di negara-negara dengan inflasi tinggi, terdapat hubungan yang kuat antara keseimbangan fiskal dan seigniorage baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Catão and Terrones (2003) menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara defisit fiskal dengan inflasi di antara kelompok negara berkembang dengan inflasi tinggi tapi tidak di negara maju dengan inflasi rendah. Perubahan suku bunga riil berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap inflasi. Setiap peningkatan laju perubahan suku bunga riil sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 0,0032 persen, ceteris paribus. Suku bunga yang lebih tinggi akan menurunkan investasi sehingga menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dan selanjutnya dapat menurunkan inflasi, dan sebaliknya. Perubahan keterbukaan perdagangan berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap inflasi. Setiap peningkatan laju perubahan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan inflasi sebesar 0,0002 persen, ceteris paribus. Negara-negara yang terbuka dengan perdagangan luar negeri lebih mungkin untuk meningkatkan dana melalui bea impor sehingga kurang tergantung pada pendapatan seigniorage sehingga dapat menurunkan inflasi. 73 5.2.2 Pengaruh Harga Minyak dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun Sebelumnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi pengaruh indeks harga minyak dunia terhadap output ditunjukkan pada Tabel 17. Model dinamis FD-GMM dengan twostep lebih dipilih karena lebih konsisten dan tidak bias. Validitas dan konsistensi estimasi juga ditunjukkan oleh hasil estimasi FD-GMM pada model data panel dinamis. Hasil estimasi metode FD-GMM menunjukkan hasil yang cukup baik karena telah memenuhi syarat perlu yang harus dipenuhi metode data panel dinamis. Konsistensi penduga FD-GMM ditunjukkan oleh hasil nilai statistik uji ArellanoBond (m1 dan m2) yaitu m1 signifikan pada taraf nyata 5 persen dan m2 tidak signifikan. Sedangkan validitas dari instrumen yang digunakan untuk estimasi model ditunjukkan oleh hasil nilai statistik uji sargan yang tidak signifikan (Pvalue = 1,0000). Tabel 17. Hasil Estimasi Koefisien Model Pertumbuhan Ekonomi Variabel 1) Model Dinamis FD-GMM (1) ∆ln_gdp L1 ∆ln_cpi ∆ln_opi ∆edu Uji Wald Arelano-Bond m1 Arelano-Bond m2 Uji Sargan (2) 0.0255 (0.1781) -0.7027 *** (0.1787) 0.0686 *** (0.0104) 0.0006 (0.0009) 65.64 [0.0000] -1.9741 [0.0484] .40639 [0.6845] 4.613979 [1,0000] Catatan: 1) Variabel dependen : ∆ln_gdp Keterangan: *** : Signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : Signifikan pada taraf nyata 5 persen * : Signifikan pada taraf nyata 10 persen ( ) : Simpangan baku (standard error) [ ] : P-value Berdasarkan hasil estimasi panel dinamis dengan FD-GMM, lag pertama dari variabel dependen (pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya) mempunyai koefisien yang bertanda positif namun tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 tidak dipegaruhi oleh pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya. 74 Inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan inflasi sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,7027 persen, ceteris paribus. Inflasi yang tinggi, seperti yang telah diakui oleh para ekonom, berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi menyebabkan biaya sosial tinggi yang harus ditanggung oleh pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Biaya sosial ini terdiri dari shoeleather cost, menu cost, variabilitas harga relatif, besaran pajak yang terdistorsi, dan ketidaknyamanan hidup dengan harga-harga yang terus berubah (Mankiw 2006). Kenaikan tingkat harga akan menurunkan stok uang riil yang pada akhirnya menyebabkan penurunan permintaan dan output. Secara umum, inflasi meningkatkan biaya produksi dan transportasi serta menurunkan daya beli perekonomian. Hal ini menyimpulkan bahwa masyarakat sejalan sehingga dengan ketidakpastian berpengaruh penelitian inflasi Elder negatif bagi (2004) yang menyebabkan penurunan pertumbuhan output selama tiga bulan. Inflasi juga dapat berdampak baik bagi pertumbuhan output. Hal ini terjadi jika inflasi cenderung kecil berkisar dua atau tiga persen per tahun. Hal ini karena inflasi dapat membuat pasar tenaga kerja berjalan lebih baik. Tanpa inflasi, upah riil akan terpaku di atas tingkat equilibrium yang berdapak pada makin tingginya pengangguran (Mankiw 2007). Laju perubahan indeks harga minyak berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan laju perubahan harga minyak sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0686 persen, ceteris paribus. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Limin et al. (2010) dan Apriani (2007) yang menyimpulkan bahwa kenaikan harga minyak berhubungan positif dengan output dan inflasi di China dan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan yang diperoleh dari ekspor minyak mentah dan produk-produk olahannya, peningkatan pendapatan negara pengekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak, dan penurunan intensitas minyak, peningkatan permintaan agregat, dan pemberian subsidi bahan bakar di beberapa negara. Pengaruh positif harga minyak terhadap pertumbuhan ekonomi ini disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan 75 yang diperoleh dari ekspor minyak mentah dan produk-produk olahannya (Tabel 18). Tabel 18. Ekspor Minyak Mentah dan Produk-Produk Olahan Minyak Bumi Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2007 Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand China Jepang Korea Selatan Sumber: EIA, 2011 Ekspor Minyak Mentah Ekspor Produk-produk Olahan Minyak Bumi 1999 2007 1999 821 398 0 0 16 144 0 0 309 332 0 2 57 75 0 1 218 155 21 951 127 148 109 798 2007 136 204 32 1.374 134 389 268 799 Kenaikan harga minyak juga berakibat pada peningkatan pendapatan negara pengekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga minyak. Peningkatan ekspor ini selanjutnya berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Kawasan ASEAN sendiri merupakan produsen utama sejumlah bahan pangan penting dunia antara lain beras dan minyak kelapa sawit. Sekitar 90 persen beras diproduksi di kawasan Asia dan sebagian besar di negara-negara ASEAN. Ekspor beras giling (rice milled) di Thailand meningkat dari US$ 1.701 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 5.359 juta pada tahun 2008 sedangkan di China meningkat dari US$ 619,58 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 375,768 juta pada tahun 2008. Berdasarkan ASEAN Trade Database, pada tahun 2009, karet dan barangbarang dari karet merupakan sepuluh besar kelompok komoditas yang diperdagangkan ASEAN dengan nilai ekspor US$ 20.844 juta sedangkan nilai impornya hanya US$ 6.597 juta. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen terbesar kelapa sawit di dunia sehingga kenaikan harga minyak dunia berdampak pada kenaikan nilai ekspor di negara-negara tersebut. Tabel 18 menunjukkan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Malaysia meningkat dari US$ 3,738 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 12,768 juta pada tahun 2008 atau meningkat hampir 2,5 kali lipat. Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia meningkat dari US$ 1.114 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 12,376 juta pada tahun 2008 atau meningkat 10 76 kali lipat. Sementara Ekspor minyak kelapa sawit Singapura meningkat 100 persen dari US$ 126 juta pada tahun 1999 menjadi US$ 261 juta pada tahun 2008. Ekspor karet (Rubber Nat Dry) terbesar dimiliki Indonesia dan Thailand (Tabel 19). Tabel 19. Nilai Ekspor Beberapa Komoditi Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999 dan 2008 (Ribu US$) Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Minyak Kelapa Sawit Karet (Palm Oil) (Rubber Nat Dry) 1999 2008 1999 2008 1.114.240 12.375.600 839.204 6.041.880 3.738.330 12.768.600 521.201 2.306.080 n.a. n.a. 11.756 65.818 125.967 261.145 n.a. n.a. n.a. 350.898 986.268 5.334.490 Karet Alam (Natural Rubber) 1999 2008 9.899 14.691 95.468 130.310 n.a. n.a. n.a. n.a. 174.783 1.387.690 Sumber: FAO, 2011 Keterangan: n.a. = data not available Sementara itu, menurut International Trade Centre UNCTAD/WTO, beberapa negara ASEAN+3 merupakan negara pengekspor emas antara lain Jepang (US$ 1.303 juta), Singapura (US$ 602 juta), Thailand (US$ 431 juta), Indonesia (US$ 280 juta), Malaysia (US$ 258 juta), Filipina (US$ 127 juta), dan China (US$ 994 ribu). Perkembangan intensitas energi yang merupakan rasio antara konsumsi energi dengan PDB di China sekarang jauh lebih rendah dibanding beberapa dekade sebelumnya. Dari tahun 1980 sampai 2008, intensitas energi China turun cukup tajam sebesar 65,4 persen dari 33.084,41 btu per dolar PDB menjadi 11.450,42 btu per dolar PDB. Perubahan intensitas energi ini disebabkan oleh konservasi energi sebagai dampak dari kenaikan harga energi pada tahun 1970-an dan 1980-an. Namun demikian, intensitas energi China masih lebih besar dari negara-negara ASEAN+3 lainnya. Hal ini disebabkan China merupakan negara industri yang masih memerlukan banyak energi. Selama periode 1999-2008, hampir semua negara-negara ASEAN+3 mengalami penurunan intensitas energi kecuali Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sementara itu, intensitas minyak yang merupakan rasio konsumsi minyak per dolar PDB (btu per PDB konstan 2005 internasional $ PPP) mengalami penurunan hampir di seluruh negara-negara ASEAN+3 selama sepuluh tahun 77 terakhir. Hal ini mengindikasikan adanya kesadaran masyarakat dari konsumsi minyak bumi per unit output. Intensitas minyak tertinggi dimiliki oleh Singapura jauh di atas negara-negara ASEAN+3 lainnya (Gambar 28). 12000.00 China Btu per unit PDB 10000.00 Indonesia 8000.00 Jepang 6000.00 Korea Selatan 4000.00 Malaysia 2000.00 Filipina Singapura 0.00 1999200020012002200320042005200620072008 Thailand Sumber: EIA, 2011 Gambar 28. Perkembangan Intensitas Minyak Mentah Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 Menurunnya intensitas minyak ini terkait dengan usaha penghematan konsumsi minyak dan perubahan teknologi yang berperan dalam perekonomian sehingga tidak lagi terlalu terganggu oleh kenaikan harga minyak. Perekonomian saat ini lebih berbasis jasa dan bukan berbasis manufaktur maupun pertanian. Sektor jasa biasanya menggunakan energi lebih sedikit untuk memproduksi daripada sektor industri. Jadi meskipun harga minyak naik, namun dampaknya terhadap makroekonomi saat ini akan lebih kecil (Gambar 29). 6000 Miliar US$ 5000 Jasa 4000 Industri 3000 2000 1000 Pertanian 0 Sumber: WDI, 2011 Gambar 29. Perkembangan Nilai Tambah Sektor Pertanian, Industri dan Jasa Negara-negara ASEAN+3 Tahun 1999-2008 (constant 2000 US$) 78 Penggunaan bahan bakar minyak yang makin luas di negara-negara berkembang disebabkan karena menguatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya penggunaan transportasi, dan berkembangnya kegiatan industri. Peningkatan kegiatan industri pada akhirnya menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor industri negara-negara ASEAN+3 terhadap PDB selama tahun 1999 sampai 2008 mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan positif. Jepang mengalami rata-rata pertumbuhan tahunan 0,9 persen per tahun disusul Filipina dan Indonesia sebesar 4 persen. Malaysia, Singapura, Thailand, dan Korea Selatan mempunyai rata-rata pertumbuhan tahunan masingmasing sebesar 5,1 persen, 5,2 persen, 6,1 persen, dan 6,8 persen. China merupakan negara ASEAN+3 dengan rata-rata pertumbuhan tahunan tertinggi yaitu 11 persen. Peningkatan permintaan agregat juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga peningkatan harga minyak yang berdampak pada inflasi tidak diiringi penurunan pertumbuhan ekonomi seperti pada tahun 1970-an. Struktur perekonomian negara-negara ASEAN+3 yang didominasi oleh konsumsi meningkatkan permintaan agregat yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hampir seluruh negara-negara ASEAN+3 mempunyai struktur perekonomian yang didominasi oleh konsumsi. Kenaikan harga minyak dunia juga akan menyebabkan peningkatan pada harga barang-barang domestik karena sebagian besar perusahaan di dalam negeri masih menggunakan minyak sebagai bahan baku untuk produksi. Peningkatan harga barang domestik ini akan menyebabkan nilai tukar riil domestik terhadap dolar Amerika mengalami depresiasi (melemah). Nilai tukar domestik yang terdepresiasi menyebabkan barang domestik lebih berdaya saing dibanding dengan barang luar negeri sehingga meningkatkan ekspor neto. Kenaikan ekspor neto ini selanjutnya dapat meningkatkan output domestik. Pada rezim kurs mengambang bebas, kurs dibiarkan mengambang sesuai mekanisme pasar. Kurs nominal di suatu negara akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran kurs domestik di pasar valuta asing (foreign exchange market). Kekuatan kurs di pasar valas ini pada akhirnya juga ditentukan oleh 79 besar kecilnya perekonomian suatu negara. Jika perekonomian cenderung perekonomian terbuka kecil maka fluktuasi kurs cenderung lebih volatile. Apalagi jika tidak didukung oleh struktur pasar domestik yang baik maka volatilitas kurs yang tinggi akan cenderung menyebabkan depresiasi. Pemberian subsidi bahan bakar di beberapa negara juga turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Nugroho (2010) kebijakan pemberian subsidi harga BBM dan elpiji (kenaikan subsidi dan subsidi aktual) menyebabkan PDB riil Indonesia meningkat sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Hal ini disebabkan oleh nilai pengeluaran pemerintah yang meningkat tajam jika dibandingkan dengan nilai konsumsi, investasi, dan ekspor bersih. Kebijakan tersebut mendorong masyarakat mengkonsumsi BBM dan elpiji lebih banyak karena harga jual eceran BBM dan elpiji turun. Namun menurut Nugroho (2005), subsidi BBM merupakan suatu hal yang tak sehat karena Indonesia memiliki berbagai macam sumber energi yang lain. Menurutnya, masalah subsidi BBM sangat erat kaitannya dengan ketergantungan suatu negara yang sangat besar terhadap BBM dalam konsumsi energi nasionalnya sehingga diperlukan langkah keluar dari perangkap subsidi BBM. Sebagian masalah subsidi BBM dapat diatasi melalui pengembangan manajemen energi nasional, yang menekankan efisiensi konsumsi BBM dan pengembangan diversifikasi sumber energi yang dipertegas melalui rencana pembangunan infrastruktur energi. Pemberlakuan kebijakan subsidi bahan bakar kerap menimbulkan kontroversi. Di satu sisi subsidi dapat menolong daya beli masyarakat yang rendah dan di sisi lain kebijakan subsidi menjadi beban anggaran pemerintah. Pemberian subsidi hendaknya mempertimbangkan dengan tepat pihak yang paling membutuhkan bantuan dan dampak ekonomisnya bagi masyarakat secara keseluruhan. Pemberian subsidi juga dapat menyebabkan degradasi lingkungan dan jika sudah diberlakukan akan sulit dihapuskan karena rentan menimbulkan vested interes dan perilaku rent seeking yang dominan. Subsidi harga bahan bakar dirasakan kurang sesuai dalam mengatasi dampak kenaikan harga minyak mengingat harga minyak dunia yang selalu mengalami kenaikan. Untuk itu, pengalihan subsidi harga menjadi subsidi langsung merupakan salah satu target energi mix di Indonesia. 80 Laju perubahan tingkat pendidikan berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Setiap peningkatan laju perubahan harga minyak sebesar 1 persen akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0006 persen, ceteris paribus. Tingkat pendidikan yang semakin meningkat menunjukkan peningkatan sumberdaya manusia yang selanjutnya meningkatkan kualitas tenaga kerja dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.