BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Sumatra merupakan pulau yang terletak pada zona subduksi lempeng Eurasia dengan Indo-Australia di wilayah barat Indonesia. Zona subduksi ini merupakan zona yang paling sering melepaskan energi di Indonesia (McCaffrey, 2009). Lempeng Indo-Australia menunjam pada lempeng Eurasia membentuk sudut miring-kanan (right-lateral) dengan kecepatan 5 s.d. 7 cm/tahun (Prawirodirjo, dkk., 2000). Akibat dari penunjaman miring ini adalah terbentuknya patahan geser (strikeslip) di sepanjang Pulau Sumatra (Hidayat, dkk., 2012) yang disebut dengan Patahan Sumatra atau Patahan Semangko atau Patahan Ulu-Aer (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Patahan Sumatra merupakan patahan jenis strike-slip (patahan geser) yang memanjang 1900 km dari ujung utara Sumatra sampai ujung selatan yang sebagian bertepatan dengan gugus gunung api Sumatra (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Aktifitas pada Patahan Sumatra sangat tinggi, sehingga sering menyebabkan banyak terjadinya gempa bumi besar yang menyebabkan kerugian material besar selama 200 tahun terakhir ini (Natawidjaja dan Triyoso, 2008). Menurut catatan gempa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada kurun waktu 2010 s.d. 2013, beberapa gempa bumi terjadi dalam magnitude > 6,0 Skala Richter (SR) dan lebih dari 100 gempa bumi terjadi pada magnitude 5 s.d. 6 SR. Gempa bumi dengan magnitude lebih dari 6,0 SR tersebut antara lain Gempa Mentawai 7,2 SR (2010), Gempa Sinabang-Aceh 7,6 SR (2010), Gempa Singkilbaru-Aceh 6,7 SR (2011), dan Gempa di Lepas pantai barat Sumatra 8,6 SR (500 km dari Aceh) (2012) (BMKG, 2013). Banyaknya gempa bumi yang terjadi di Pulau Sumatra menunjukkan perlunya upaya mitigasi bencana gempa bumi pada wilayah ini. Salah satu bentuk upaya mitigasi ini adalah dengan memodelkan zonasi wilayah dengan berdasarkan potensi kegempaannya. Model potensi gempa bumi ini diturunkan dari model tegangan (stress), sedangkan model tegangan ini bisa diperoleh salah satunya dari nilai dan pola regangan 2D pada wilayah yang sama (Abidin, 2007). Dalam hal ini, secara 1 tidak langsung, analisis dan pemodelan regangan 2D di wilayah Pulau Sumatra penting untuk upaya mitigasi bencana. Analisis dan pemodelan regangan 2D semakin penting mengingat pada Pulau Sumatra terdapat zona Patahan Sumatra dan zona subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia merupakan zona yang paling sering melepaskan energi gempa bumi tiap tahunnya (Setyonegoro, dkk., 2012). Dalam hal ini, analisis dan pemodelan regangan 2D perlu diperbarui secara berkala untuk bisa mewadahi perubahan nilai dan pola regangan pada wilayah ini. Analisis dan pemodelan pola regangan 2D bisa diturunkan salah satunya dari data pergeseran titik pantau yang dihasilkan oleh perubahan posisi titik multitemporal akibat adanya kejadian gempa bumi. Pergeseran titik pantau selama bertahun-tahun terdokumentasikan melalui perekaman kontinyu stasiun permanen GNSS-CORS di Pulau Sumatra. Dalam hal ini, sejak tahun 1996 telah dibangun instalasi stasiun GNSS-CORS permanen yang kontinyu oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Stasiun GNSS-CORS ini berjumlah 124 stasiun yang tersebar di seluruh Indonesia (21 stasiun diantaranya ada di Pulau Sumatra) dan disebut sebagai sistem Ina-CORS (Aditiya, dkk., 2014). Salah satu fungsi Ina-CORS adalah untuk mendukung aplikasi ilmiah seperti pemantauan deformasi dan geodinamika (Abidin, dkk., 2010). Oleh karena itu, data pengamatan Ina-CORS ini potensial untuk analisis dan pemodelan regangan tektonik 2D di Pulau Sumatra. Analisis dan pemodelan regangan 2D umumnya dilakukan dengan membentuk jaring-jaring segitiga antar stasiun pengamatan. Jika jarak antar stasiun pengamatan jauh, maka pemodelan regangan kurang realistis untuk mewadahi wilayah yang luas. Metode hitungan yang sering digunakan untuk memperoleh nilai regangan 2D adalah hitung perataan konvensional (Rusmen, dkk., 2012). Dalam hal ini, metode Modified Least Square (MLS) yang dikenalkan oleh Shen, dkk. (1996) mampu menghasilkan nilai regangan yang lebih rapat melalui pembentukan grid-grid tertentu. Metode MLS ini mengestimasi nilai regangan berdasarkan kontribusi stasiun-stasiun yang ada di dekatnya, stasiun yang dekat memiliki kontribusi lebih besar dari stasiun yang jauh (Teza, dkk., 2008). Metode MLS ini memiliki kelebihan yaitu model regangan bisa disajikan secara lebih realistis (seragam) dalam cakupan wilayah tertentu sesuai dengan faktor pembobotan yang diterapkan (Shen, dkk., 1996). Dalam hal ini, pemakaian metode MLS sangat potensial untuk analisis dan pemodelan regangan 2 tektonik 2D yang lebih realistis pada wilayah yang luas seperti Pulau Sumatra. Analisis dan pemodelan pola regangan 2D telah dilakukan sebelumnya oleh Bock, dkk. (2003) dengan membentuk jaring-jaring segitiga pada seluruh wilayah Indonesia termasuk pada Patahan Sumatra dengan data pengamatan tahun 1991 s.d. 2001. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa nilai regangan 2D berkisar antara 5x10-8 s.d. 10-7. Pola regangan pada bagian barat Pulau Sumatra di dominasi oleh regangan kompresi 2D, sedangkan pada bagian timur dan selatan didominasi oleh ekstensi 2D. Nilai dan pola regangan ini terbatas pada data tahun 2001, padahal gempa tektonik berkekuatan besar di Pulau Sumatra terus terjadi pada kurun waktu setelah tahun 2001 tersebut. Gempa yang terjadi pada kurun waktu setelah tahun 2001 sampai sekarang mungkin saja mengubah nilai dan pola regangan 2D pada waktu sekarang ini. Selain itu, penggunaan metode MLS potensial untuk pemodelan regangan 2D yang lebih realistis. Di sisi lain, dalam upaya mitigasi bencana pada waktu sekarang ini dibutuhkan pemodelan nilai dan pola regangan 2D yang terbaru. Oleh karena itu, penelitian untuk menganalisis nilai dan pola regangan 2D tahun pada kurun waktu terbaru (tahun 2010 s.d. 2013) di Patahan Sumatra perlu dilakukan kembali. Pada penelitian ini dilakukan analisis dan pemodelan regangan 2D dengan metode MLS menggunakan data tahun 2010 s.d. 2013 di Patahan Sumatra. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, diketahui bahwa zona Patahan Sumatra memiliki potensi bencana yang besar. Aktivitas tektonik pada Patahan Sumatra berupa gempa bumi menyebabkan perubahan posisi titik-titik pantau seperti stasiun GNSS-CORS. Selanjutnya data perubahan posisi tersebut bisa dimanfaatkan untuk analisis nilai dan pola regangan. Analisis nilai dan pola regangan 2D ini merupakan salah satu hal penting dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi. Teridentifikasinya nilai dan pola regangan 2D dapat menjadi informasi penting dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi di suatu wilayah yang sering terjadi gempa bumi seperti Pulau Sumatra. Nilai dan pola regangan 2D di Pulau Sumatra secara umum telah diketahui melalui penelitian Bock, dkk. (2003) memakai data tahun 1991 s.d. 2001, di sisi lain gempa bumi masih sering terjadi pada kurun waktu 2010 s.d. 2013. Oleh 3 karena itu, nilai dan pola regangan 2D tahun 2010 s.d. 2013 di Patahan Sumatra mungkin saja berubah. Belum diketahuinya besar dan pola regangan tahun 2010 s.d. 2013 di Patahan Sumatra merupakan masalah yang diangkat pada penelitian ini. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 1. Berapakah nilai regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada kurun waktu 2010 s.d. 2013 ? 2. Bagaimanakah pola regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada kurun waktu 2010 s.d. 2013 ? I.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pengidentifikasian nilai regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada kurun waktu 2010 s.d. 2013. 2. Pengidentifikasian pola regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra dari tahun 2010 s.d. 2013. I.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini berupa informasi nilai dan pola regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra tahun 2010 s.d. 2013. Informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan untuk : 1. Mengidentifikasi struktur penyebab gempa jika dianalisis bersama peta geologi dan focal mechanisms, sehingga hal ini mempermudah proses inversi kegempaan secara geofisis. 2. Memprediksi akumulasi energi tektonik yang terkumpul pada gempa tektonik yang akan terjadi selanjutnya, sehingga hal ini dapat menjadi acuan bagi perencanaan mitigasi bencana gempa bumi di wilayah Pulau Sumatra. 4 3. Menentukan wilayah-wilayah yang memiliki resiko gempa yang tinggi, sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi pelaksanaan mitigasi bencana di wilayah Pulau Sumatra. I.6. Batasan Penelitian Batasan penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu : 1. Stasiun GNSS-CORS yang dipakai adalah 14 stasiun pada sistem InaCORS dengan konfigurasi menyilang sepanjang segmen Patahan Sumatra. 2. Data GNSS yang diolah dibatasi jumlahnya untuk efisiensi pengolahan, yakni maksimal 30 data per tahun. 3. Penggunaan modul earthquake-file dalam GLOBK untuk mewadahi pengolahan data yang terpengaruh gempa tidak dilakukan pada penelitian ini, karena data yang dipilih dianggap telah menghindari doy gempa. I.7. Tinjauan Pustaka Pulau Sumatra merupakan pulau yang berada pada pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Sangat aktifnya pergerakan lempeng pada pulau ini menyebabkan geodinamikanya sangat tinggi. Beberapa penelitian untuk memantau geodinamika di zona subduksi maupun di zona patahan pada pulau ini telah banyak dilakukan. Beberapa metode yang dipakai antara lain dengan metode seisimik, pengamatan GPS dan pengamatan melalui penginderaan jauh. Penerapan data seisimik untuk mengetahui karakteristik distribusi seismik di sepanjang Busur Sunda (barat Sumatra) dilakukan pertama kali oleh Ghose dan Oike (1988). Penelitian ini memanfaatkan data seisimik dari NOAA Hipocenter Data File (1900 s.d. 1981) dan ISC Data File (1971 s.d. 1983) dengan validasi menggunakan data anomali gayaberat Free-air dari satelit GEOS-3 dan SEASAT-1. Pada tahun 2006, pemantauan pergerakan lempeng di Busur Sunda kembali dilakukan oleh Lasitha, dkk. (2006) memanfaatkan data seismik dari NOAA Epicentral Listing pada tahun 1900 s.d. 2000 dan data Focal Mechanisms dari Harvard Centroid Moment Tensors (CMT). Lokasi yang diamati oleh kedua penelitian ini hampir sama yakni 5 pada Patahan Sumatra, Patahan Segmen Mentawai, Sunda Strait, Java Fault Zone, dan Java Fore-Arc region. Keduanya mengindikasikan adanya variasi geodinamika lempeng terhadap waktu (temporal). Khusus pada Patahan Sumatra, Lasitha, dkk. (2006) menyimpulkan bahwa pergerakan geser miring-kanan (right-lateral) adalah sebesar 1 s.d. 29 mm/tahun. Data pengamatan citra satelit penginderaan jauh telah dipakai dalam pemantauan pergerakan lempeng di Pulau Sumatra. Data citra SPOT dikombinasikan dengan peta topografi telah dipakai pada pemantauan pergerakan Patahan Sumatra oleh Bellier dan Sebrier (1994). Sedangkan data foto udara stereo dikombinasikan dengan peta topografi telah dipakai untuk membuat peta modern neotektonik setiap segmen sepanjang Patahan Sumatra oleh Sieh dan Natawidjaja (2000). Hasil yang didapatkan Bellier dan Sebrier (1994) saling berbeda dengan Sieh dan Natawidjaja (2000) dalam hal keterkaitan antara Patahan Sumatra dengan gunung api. Bellier dan Sebrier (1994) mengklaim adanya hubungan antara Patahan Sumatra dan gunung api, sedangkan dengan Sieh dan Natawidjaja (2000) tidak mengklaim adanya keterkaitan antar keduanya. Pengamatan GPS pertama kali pada zona Java-Trench yang termasuk juga di dalamnya bagian selatan Pulau Sumatra telah dilakukan oleh Tregoning, dkk. (1994). Pemantauan dengan GPS pada zona subduksi Sunda Megathrust, Investigator Fracture Zone, dan Patahan Sumatra di utara dan selatan lintang 0,5o S telah dilakukan oleh Prawirodirjo, dkk. (1997). Penelitian dengan menggunakan data GPS untuk pemantauan zona-zona subduksi atau patahan lain di Pulau Sumatra juga telah dilakukan. Penelitian ini antara lain : pemantauan zona patahan di bagian utara Pulau Sumatra (2o S s.d. 3o N) (McCaffrey, dkk., 2000), pemantauan subduksi di patahan Andaman dan Patahan Sumatra (Subarya, dkk., 2008), pemantauan patahan Segmen Mentawai setelah gempa 2010 (Rusmen, dkk., 2012), pemantauan subduksi lempeng di seluruh wilayah Indonesia termasuk dikhususkan beberapa pengamatan lebih di Patahan Sumatra dan Sunda Megathrust (Bock, dkk., 2003), dan juga pemantauan deformasi pada cekungan Warthon (Pratama, dkk., 2013). Dalam hal ini, pengamatan dengan GPS khusus untuk keperluan pemantauan Patahan Sumatra belum secara spesifik dilakukan. Data yang dipakai pada pemantauan geodinamika di Pulau Sumatra selama ini 6 bersumber dari data pengamatan stasiun GEODYSSEA-GPS (Michel, dkk., 2001) yang terdiri atas 49 stasiun (32 stasiun berada di Indonesia), pengamatan stasiun permanen seperti SuGAR (Sumatran GPS Array), IGS, dan SOPAC (Tregoning, dkk., 1994; Michel, dkk., 2001; Rusmen, dkk., 2012), pengamatan Campaign Station di wilayah terdeformasi (Subarya, dkk., 2008), dan kombinasi antara beberapa sumber tersebut (Bock, dkk., 2003). Data yang dipakai pada penelitian sebelumnya memiliki kurun waktu 3 s.d. 5 tahun dengan jarak waktu antar pengamatan bisa 1 s.d. 3 tahun. Dalam hal ini, sumber data lain seperti stasiun permanen GNSS-CORS di Indonesia (Ina-CORS) belum pernah dipakai untuk analisis geodinamika di Pulau Sumatra khususnya pada zona Patahan Sumatra. Pengolahan data GPS pada pemantauan geodinamika Pulau Sumatra selama ini menggunakan perangkat lunak ilmiah seperti GAMIT/GLOBK, BERNESE, GIPSYOASIS II (Subarya, dkk., 2008; Bock, dkk., 2003; Tregoning, dkk., 1994; Michel, dkk., 2000; Rusmen, dkk., 2012, Pratama, dkk., 2013). Dengan data pengamatan GPS pada lokasi Pulau Sumatra, penelitian-penelitian yang ada memperoleh beberapa hasil berbeda, yaitu : (i) nilai kecepatan pergeseran stasiun yang dianggap mewakili pergerakan relatif lempeng tektonik (Prawirodirjo, dkk., 1997; Michel, dkk., 2000; Bock, dkk., 2003; Pratama, dkk., 2013), (ii) nilai dan pola regangan tektonik dan nilai rotasi tektonik pada masing-masing blok segitiga yang terbentuk (McCaffrey, dkk., 2000; Michel, dkk., 2000; Bock, dkk., 2003; Rusmen, dkk., 2012), (iii) mengestimasi nilai tegangan geser (McCaffrey, dkk., 2000), dan (iv) memodelkan laju penunjaman (slip rates) tektonik per tahun pada zona subduksi miring (oblique subduction) dengan tambahan data seismik (McCaffrey, dkk., 2000; Subarya, dkk., 2008). Pada estimasi nilai/parameter regangan, metode yang telah digunakan pada penelitian sebelumnya antara lain hitung perataan kuadrat terkecil (Least Square Adjustment) (Rusmen, dkk., 2012) maupun dengan hitung perataan parameter berbobot (Weighted Least Square Adjustment) (McCaffrey, dkk., 2000). Adapun estimasi nilai regangan dengan metode hitungan Modified Least Square (MLS) yang menekankan pada faktor skala saat mengestimasi regangan (Teza, dkk., 2008) masih belum pernah diterapkan spesifik pada Patahan Sumatra. Pada penelitian ini, dilakukan analisis dan pemodelan regangan 2D tektonik secara spesifik pada zona Patahan Sumatra menggunakan data pengamatan stasiun 7 permanen GNSS-CORS Indonesia (Ina-CORS). Penelitian ini menggunakan perangkat lunak ilmiah GAMIT/GLOBK 10.5 untuk estimasi nilai koordinat stasiun setiap tahunnya pada kurun waktu 2010 s.d. 2013. Estimasi nilai dan pemodelan regangan tektonik 2D dilakukan memanfaatkan metode hitungan MLS. I.8. Landasan Teori I.8.1. Geodinamika Geodinamika adalah sebuah studi yang berkaitan dengan proses-proses dasar fisika dan matematika yang meliputi pengukuran, pemodelan, penafsiran konfigurasi dan gerak dari mantel, kerak, dan inti bumi serta berbagai fenomena geologi (Turcotte dan Schubert, 2002). Geodinamika tidak bisa dilepaskan dari teori tektonik lempeng, yakni teori dalam bidang geologi yang dikembangkan untuk memberi penjelasan terhadap adanya bukti-bukti pergerakan skala besar yang dilakukan oleh litosfer bumi (Sullivan, 1991). Lapisan litosfer bumi terbagi menjadi beberapa lempeng besar yang menyusun permukaan bumi. Lempeng besar tersebut antara lain Lempeng Afrika, Lempeng Antartika, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Amerika Utara (Kious dan Tilling, 1996). Setiap lempeng memiliki batas antar lempeng seperti yang disajikan pada Gambar I.1 berikut. Gambar I.1. Batas antar lempeng tektonik (Kious dan Tilling, 1996) 8 Batas antar lempeng teridiri atas tiga jenis, yaitu (Kious dan Tilling, 1996): 1. Batas transform (transform boundaries) terjadi jika lempeng bergerak dan mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar transform (transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral/leftlateral (ke kiri di sisi yang berlawanan dengan pengamat) ataupun dekstral/right-lateral (ke kanan di sisi yang berlawanan dengan pengamat). Contoh sesar jenis ini adalah Sesar San Andreas di California. 2. Batas divergen/konstruktif (divergent/constructive boundaries) terjadi ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid-oceanic ridge dan zona retakan (rifting) yang aktif adalah contoh batas divergen. 3. Batas konvergen/destruktif (convergent/destructive boundaries) terjadi jika dua lempeng bergesekan mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain, atau pertemuan benua (continental collision) jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut yang dalam biasanya berada di zona subduksi, dimana potongan lempeng yang terhunjam mengandung banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga kandungan air ini dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan menyebabkan pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus ini di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan busur Pulau Jepang. I.8.2. Zona Subduksi Pulau Sumatra Pulau Sumatra merupakan salah satu pulau yang menempati tektonik lempeng bagian barat Indonesia. Pulau Sumatra bersama Pulau Jawa, Bali, Kalimantan dan barat-daya Sulawesi menempati Zona Paparan Sunda (Sunda Shelf) (Hamilton, 1979). Pulau Sumatra memiliki beberapa zona subduksi yang terbentuk akibat penunjaman miring Lempeng Eurasia dengan Indo-Australia di sepanjang lepas pantai barat Pulau Sumatra (Prawirodirjo, dkk., 2000). Akibat penunjaman miring ini pada Pulau Sumatra terdapat banyak zona subduksi, antara lain Patahan Sumatra, Patahan Batee, Patahan Segmen Mentawai, Patahan Andaman dan Sunda Megathrust (McCaffrey, 2009). Gambar I.2. menyajikan zona-zona subduksi tersebut. 9 Gambar I.2. Zona subduksi pada Pulau Sumatra (McCaffrey, 2009). Gambar I.2. menunjukkan bahwa Pulau Sumatra memiliki beberapa zona subduksi yang tersebar di sepanjang wilayah daratan dan lepas pantainya. Pada lepas pantai Pulau Sumatra terdapat tiga zona subduksi yakni Mentawai Fault, Batee Fault, dan West-Andaman Fault. Mentawai Fault terletak memanjang sepanjang Kepulauan Mentawai (Siberut, Pagai, dan Sipora). Batee Fault terletak di lepas pantai Pulau Nias dan Simeulue, sedangkan West-Andaman Fault terletak sepanjang lepas pantai barat Aceh sampai kepulauan Nicobar. Adapun di daratan Pulau Sumatra terdapat zona Patahan Sumatra sepanjang 1900 km membentuk komponen patahan lateral kanan (right-lateral fault) dari tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Patahan Sumatra ini membentuk barisan gunung api yang aktif di sepanjang Pulau Sumatra bernama Bukit Barisan (McCaffrey, 2009). Patahan Sumatra terdiri atas 19 segmen utama yang terbagi dalam tiga domain, yakni domain selatan, domain tengah, dan domain utara (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Pada domain selatan, terdiri atas segmen Semangko, Kumering, Manna, Musi, Ketaun dan Dikit. Pada domain tengah terdiri atas segmen Siulak, Suliti, Sumani, 10 Sianok, Sumpur, Barumun, Angkola dan Toru. Adapun pada domain utara terdiri atas segmen Renun, Tripa, Batee, Aceh dan Seulimeum. Masing-masing segmen pembentuk Patahan Sumatra ini telah terbentuk sejak beberapa abad silam akibat gempa tektonik dengan magnitude lebih dari 7,0 SR (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Gambar I.3. menyajikan beberapa kejadian gempa tektonik yang terjadi sepanjang Patahan Sumatra sejak 1892 s.d. 2007. Gempa yang terjadi pada wilayah ini pun masih berlanjut sampai saat sekarang ini. Menurut data kegempaan BMKG pada kurun waktu 2010 s.d. 2013 masih terjadi beberapa gempa tektonik sepanjang sesar ini terutama pada wilayah Banda Aceh, Bengkulu, dan Bandar Lampung. Pada kurun waktu tersebut, beberapa gempa tektonik bisa terjadi pada magnitud lebih dari 6,0 SR walaupun kadang episentrumnya terletak di lautan, meskipun juga ada yang di darat (BMKG, 2013). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa potensi gempa tektonik pada Patahan Sumatra ini cukup besar, sehingga perlu pemantauan kontinyu. Keterangan : Zona Subduksi Zona Sesar Geser Gambar I.3. Kejadian gempa tektonik di sepanjang Patahan Sumatra (EOS, 2012) 11 I.8.3. Teknik Pemantauan Lempeng Tektonik Pemantauan langsung terhadap lempeng tektonik merupakan hal yang sulit. Pendekatan pemantauan di permukaan bumi pada bed-rock telah banyak diterapkan untuk mewakili lempeng tektonik. Teknik pemantauan lempeng tektonik dengan teknik land-based surveying jarang dipakai karena keterbatasan dalam hal luas cakupan. Sejak periode 1990, pemantauan lempeng tektonik berkembang dengan adanya teknologi space-based geodesy, teknik-teknik tersebut antara lain VLBI, SLR, dan GPS/GNSS (www.leeds.ac.uk). VLBI atau Very Long Baseline Interferometry adalah pendekatan pemantauan dengan mengukur sedikit perbedaan waktu kedatangan sinyal radio alami yang dipancarkan dari bintang quasar terdeteksi oleh berbagai radio-teleskop. Metode ini dapat melakukan pengukuran selama beberapa tahun sehingga memungkinkan diketahuinya perubahan posisi relatif radio-teleskop. Pendekatan lain dalam pemantauan lempeng tektonik adalah dengan menggunakan satelit reflektif di orbit Bumi. Sistem Satellite Laser Ranging (SLR) memberikan pancaran singkat sinar laser yang dikirim ke satelit dari stasiun bumi dan dipantulkan kembali ke stasiun bumi. Pengukuran waktu perjalanan (dalam pico seconds) bisa menentukan jarak ke satelit dan pengukuran berulang untuk satu negara memungkinan untuk menentukan posisinya relatif terhadap konstelasi satelit reflektif. Dalam hal ini, kerangka acuan untuk mendeteksi gerakan lempeng aktif (waktu rata-rata selama beberapa tahun) adalah serangkaian orbit Bumi (www.leeds.ac.uk). Pendekatan teknik pemantauan lempeng tektonik lainnya adalah dengan GPS/GNSS. GPS/GNSS memakai konstelasi satelit navigasi (minimal empat satelit) di luar angkasa untuk melakukan reseksi dengan persamaan jarak sehingga didapatkan posisi teliti di permukaan bumi. Pengukuran dengan GPS/GNSS pada satu titik relatif terhadap titik lainnya dalam kerangka waktu tertentu potensial dipakai untuk pemantauan lempeng tektonik. Teknik ini secara teknis lebih handal dibanding teknik VLBI dan SLR, teknik ini memiliki biaya lebih murah dan bisa diaplikasikan dimanapun area pengamatannya dengan mudah oleh operator yang bebas. 12 I.8.4. Global Navigation Satellite System (GNSS) Pengertian GNSS mengacu pada pengertian GPS, yakni merupakan sistem sistem navigasi berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti dan juga informasi waktu, secara kontinyu di seluruh dunia (Wells, dkk., 1986). Satelit GNSS yang saat ini aktif memberikan layanan penentuan posisi adalah GPS, GLONASS, dan GALILEO. GPS dikembangkan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1973, dan mulai digunakan untuk menyelesaikan persoalan geodesi sejak sekitar 1983. Adapun GLONASS dikembangkan oleh Rusia sejak 1970 dan diresmikan pada Februari 1982. Beberapa GPS receiver (Topcon, Leica, dan Trimble) dapat menangkap kedua sinyal satelit GPS dan GLONASS secara simultan. Teknologi GNSS ini telah berkembang dan banyak diterapkan pada penentuan posisi teliti titik-titik dalam jaringan dari waktu ke waktu. Hal ini bermanfaat pada pemantauan deformasi suatu objek. GNSS telah diaplikasikan untuk pengamatan dinamika bumi (geodinamika) seperti pergerakan sesar, lempeng tektonik, yang selanjutnya dipakai untuk prediksi gempa bumi dan letusan gunung berapi (Abidin, 1995). GNSS pun telah dikembangkan menjadi bentuk stasiun permanen dan secara kontinyu merekam data GNSS dan memberikan layanan data kepada pengguna, stasiun ini biasa disebut sebagai GNSS-CORS. I.8.5. GNSS-CORS Indonesia (Ina-CORS) CORS (Continuously Operating Reference Station) adalah suatu teknologi berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik. Pada setiap titik CORS ini dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari satelit-satelit GNSS. Stasiun CORS beroperasi secara penuh dan kontinyu selama 24 jam perhari, 7 hari per minggu untuk mengumpukan, merekam, mengirim data pengamatan GNSS, dan memungkinkan para pengguna memanfaatkan data dalam penentuan posisi, baik secara post-processing maupun secara real time. Di Indonesia stasiun permanen CORS dikelola oleh BIG dan diberi nama InaCORS. Jumlah Ina-CORS yang telah dioperasikan adalah sebanyak 124 stasiun terdiri atas 102 yang didanai dengan APBN, 19 stasiun didanai oleh kerjasama Indonesia dengan Jerman (program Ina-TEWS), dan tiga stasiun didanai dari Delft University of Technology 13 (TU Delft) di Palu, Watau dan Toboli (Sulawesi) (Aditiya, dkk., 2014). Lokasi stasiun CORS ini ditempatkan tersebar di seluruh Indonesia pada beberapa pulau utama yakni Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, Maluku dan Papua. I.8.6. Penentuan Posisi Relatif dengan Pengamatan GNSS-CORS Penentuan posisi relatif dengan GNSS-CORS ini pada dasarnya sama dengan penentuan posisi relatif dengan pengamatan receiver GNSS pada umumnya. Pada penentuan posisi dengan metode relatif, posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif melibatkan setidaknya dua receiver GNSS, titik-titik stasiunnya statik (tidak bergerak) maupun bergerak (kinematik), dan pengolahan data umunya dilakukan secara post-processing untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi (Abidin, 2003). Ilustrasi penentuan posisi secara relatif statik dengan GNSS di atas model bumi elipsoid ditunjukkan pada Gambar I.4. berikut ini : Gambar I.4. Ilutrasi penentuan posisi secara relatif statik dengan GNSS 14 Dalam hal ini, {X (+), Y(+), Z(+)}SKL : salib sumbu sistem koordinat langit 3D {X (+), Y(+), Z(+)}SKO : salib sumbu sistem koordinat orbit 3D {X (+), Y(+), Z(+)}SKT : salib sumbu sistem koordinat terestrial 3D (SV)i : satellite vehicle ke-i Titik A dan B : posisi receiver di permukaan bumi (φ, λ, h) : lintang, bujur, dan tinggi geodetik mengacu pada elipsoid WGS ‘84 (X, Y, Z)A,B : koordinat kartesian 3D titik A dan B N : jari-jari kelengkungan vertikal utama O : origin yang berhimpit dengan pusat massa bumi Ω : asensio rekta dari ascending node ω : argument of perigee a : setengah sumbu panjang bidang orbit i : inklinasi bidang orbit AN : titik ascending node DN : titik descending node Dalam hal ini elipsoid yang dipakai adalah WGS ’84, pendefinisian parameternya sebagai berikut (Sunantyo, 2000) : Setengah sumbu panjang (a) = 6378137 ± 2 m Penggepengan (f) = 1/298,257223563 Setengah sumbu pendek (b) = 6356752,3142 m Konstanta gravitasi bumi (GM) = 3986001,5 x 108 m3/detik2 Gambar I.4 menunjukkan adanya multi-receiver (minimal dua receiver) yang mengamat dua satelit GNSS secara simultan (waktu pengamatan sama). Pada proses penentuan posisi secara relatif statik ini biasanya dilakukan pengurangan data yang diamati oleh lebih dari dua receiver tersebut untuk memperoleh posisi yang lebih teliti. Hal ini karena pengurangan (differencing) ini bisa mereduksi atau mengeliminasi efek kesalahan dan bias. Kesalahan jam receiver dan jam satelit dapat dihilangkan, sedangkan kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, dan efemeris dapat direduksi, sedangkan efek multipath tidak dapat direduksi (Abidin, 1995). Proses 15 differencing terbagi menjadi tiga metode, yakni metode single differencing, double differencing, dan triple differencing. I.8.6.1. Single differencing. Pada metode ini dua data pengamatan one-way dikurangkan menjadi satu data pengamatan single differencing. Satu pengamatan one-way didefinisikan pada persamaan I.1 dan I.2 berikut (Abidin, 1995) : Pi = ρ + dρ + 𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + 𝑑𝑖𝑜𝑛 + (dt – dT) + MPi + vPi ....................................(I.1) Li = ρ + dρ + 𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + 𝑑𝑖𝑜𝑛 + (dt – dT) + λ.Ni + MCi + vCi ........................(I.2) Dalam hal ini, Pi : data ukuran pseudorange pada frekuensi ke-i Li : data ukuran fase pada frekuensi ke-i ρ : jarak geometrik satelit ke pengamat dρ : efek kesalahan orbit satelit 𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 : kesalahan troposphere 𝑑𝑖𝑜𝑛 : kesalahan ionosphere dt : kesalahan jam receiver dT : kesalahan jam satelit MPi : efek multipath pada data pengamatan pseudorange Pi vPi : noise pada data pengamatan pseudorange Pi λ : panjang gelombang sinyal GNSS N : ambiguitas fase MCi : efek multipath pada data fase Li vCi : noise pada pada data fase Li Berdasarkan cara pengurangannya, single differencing terbagi menjadi tiga yakni antar satelit (∇), antar pengamat (∆), dan antar kala (𝛿). Teknik single differencing antar satelit dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, dua satelit, dan satu kala. Persamaan single differencing antar satelit ditunjukkan pada persamaan I.3 dan I.4. ∇𝑃 = ∇ρ + ∇dρ + ∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∇𝑑𝑖𝑜𝑛 − ∇dT + ∇MP + ∇vP ..................(I.3) ∇𝐿 = ∇ρ + ∇dρ + ∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∇𝑑𝑖𝑜𝑛 − ∇dT + λ. ∇N + ∇MC + ∇vC …..(I.4) Berdasarkan persamaan I.3 dan I.4, teknik single differencing antar satelit dapat 16 mengeliminasi kesalahan jam satelit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. Teknik single differencing antar pengamat dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, satu satelit, dan satu kala. Persamaan single differencing antar pengamat ditunjukkan pada persamaan I.5 dan I.6. ∆𝑃 = ∆ρ + ∆dρ + ∆𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆dt + ∆MP + ∆vP ..................(I.5) ∆𝐿 = ∆ρ + ∆dρ + ∆𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆dt + λ. ∆N + ∆MC + ∆vC ….(I.6) Berdasarkan persamaan I.5 dan I.6, teknik single differencing antar pengamat dapat mengeliminasi kesalahan jam satelit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer dengan catatan kondisi meteorologis pada kedua pengamat relatif sama. Teknik single differencing antar kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, satu satelit, dan dua kala. Persamaan single differencing antar pengamat ditunjukkan pada persamaan I.7 dan I.8. 𝛿𝑃 = 𝛿ρ + δdρ + 𝛿𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + δdt − δdT + δMP + δvP .........(I.7) 𝛿𝐿 = 𝛿ρ + δdρ + 𝛿𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + δdt − δdT + δMC + δvC ..........(I.8) Berdasarkan persamaan I.7 dan I.8, teknik single differencing antar kala dapat mengeliminasi kesalahan ambiguitas fase, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer tergantung pada besarnya selang waktu antar kala. I.8.6.2. Double differencing. Pada metode ini dua data pengamatan single differencing dikurangkan menjadi satu data pengamatan double differencing. Berdasarkan cara pengurangannya, dikenal menjadi tiga jenis double differencing, yakni pengamat-satelit (∆∇), satelit-kala (∆𝛿), dan pengamat-kala (∆𝛿). Teknik double differencing antara pengamat dan satelit dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, dua satelit, dan satu kala. Persamaan double differencing antara pengamat dan satelit ditunjukkan pada persamaan I.9 dan I.10. ∆∇𝑃 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇MP + ∆∇vP ....................(I.9) ∆∇𝐿 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + λ. ∆∇N + ∆∇MC + ∆∇vC ...(I.10) Berdasarkan persamaan I.9 dan I.10, teknik double differencing antara pengamatsatelit dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan jam satelit, mereduksi kesalahan orbit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer dengan catatan kondisi meteorologis kedua pengamat relatif sama. 17 Teknik double differencing antara satelit dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, dua satelit, dan dua kala. Persamaan double differencing antara satelit dan kala ditunjukkan pada persamaan I.11 dan I.12. ∆∇𝑃 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dT + ∆∇MP + ∆∇vP ....(I.11) ∆∇𝐿 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dT + ∆∇MC + ∆∇vC .....(I.12) Berdasarkan persamaan I.11 dan I.12, teknik double differencing antara satelit dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver, mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer tergantung besarnya selang waktu antar kala. Teknik double differencing antara pengamat dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, satu satelit, dan dua kala. Persamaan double differencing antara satelit dan kala ditunjukkan pada persamaan I.13 dan I.14. ∆∇𝑃 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dt + ∆∇MP + ∆∇vP .....(I.13) ∆∇𝐿 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dt + ∆∇MC + ∆∇vC .....(I.14) Berdasarkan persamaan I.13 dan I.14, teknik double differencing antara pengamat dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam satelit, mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, mereduksi kesalahan orbit, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. I.8.6.3. Triple differencing. Pada metode ini dua data pengamatan double differencing dikurangkan menjadi satu data pengamatan triple differencing. Dalam hal ini delapan data one-way dikurangkan menjadi satu pengamatan triple differencing. Berdasarkan cara pengurangannya, dikenal menjadi satu jenis triple differencing, yakni pengamat-satelit-kala (∆∇δ). Teknik triple differencing antara pengamat, satelit, dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua pengamat, dua satelit, dan dua kala. Persamaan triple differencing antara pengamat, satelit, dan kala ditunjukkan pada persamaan I.15 dan I.16. ∆∇δ𝑃 = ∆∇δρ + ∆∇δdρ + ∆∇δ𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇δMP + ∆∇δvP ....(I.15) ∆∇δ𝐿 = ∆∇δρ + ∆∇δdρ + ∆∇δ𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇δMC + ∆∇δvC .....(I.16) Berdasarkan persamaan I.15 dan I.16, teknik triple differencing antara pengamat, satelit, dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan jam satelit, mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, mereduksi 18 kesalahan orbit, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. Teknik ini sering dipakai untuk mengedit cycle slips secara otomatis. I.8.7. Pengolahan Data Pengamatan GNSS-CORS dengan GAMIT/GLOBK GAMIT/GLOBK adalah sebuah paket perangkat lunak komprehensif untuk analisis data GPS yang dikembangkan oleh Masshachusstes Institute of Technology (MIT), Harvard-Simthsonian Center for Astrophysics (CfA) dan Scripps Institution of Oceanography (SIO). GAMIT/GLOBK terdiri dari dua program utama, yakni GAMIT dan GLOBK. GAMIT adalah singkatan dari GPS Analysis of Masshachusstes Institute of Technology. GAMIT adalah program yang memasukkan algorithma hitung kuadrat terkecil metode parameter berbobot untuk mengestimasi posisi relatif dari sekumpulan stasiun, parameter orbit dan rotasi bumi, zenith delay dan ambiguitas fase melalui pengamatan double difference (Anonim, 2000). Perangkat lunak ini didesain untuk running dalam sistem operasi berbasis UNIX. Perangkat lunak ini melibatkan bahasa Fortran atau C untuk proses compile di direktori /libraries, /gamit dan /kf . Pada perkembangan terakhir, GAMIT menjadi perangkat lunak ilmiah fully automatic processing pada pertengahan 1990 yang menyertakan data stasiun-stasiun kontinyu di seluruh dunia diantaranya IGS (Anonim, 2000). GLOBK adalah paket program yang menerapkan algorithma Kalman Filtering untuk mengkombinasikan hasil pemrosesan data survei terestris ataupun data survei ekstra terestris, sehingga dapat menghasilkan koordinat posisi stasiun dan kecepatannya. Kunci dari data input pada GLOBK adalah matriks kovarian dari data koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil pengamatan lapangan (Herring, dkk., 2006). Sebagai file input digunakan H-Files hasil pengolahan dengan GAMIT. Namun selain hasil pengolahan GAMIT, GLOBK juga dapat menerima input file hasil pengolahan dari perangkat lunak ilmiah lain, misal : GIPSY dan Bernesse (Herring, dkk., 2006). Terdapat tiga moda aplikasi yang dapat dijalankan dengan menggunakan GLOBK, yaitu : a. Mengkombinasikan hasil pengolahan individual (misal: harian) untuk menghasilkan koordinat stasiun rata-rata dari pengamatan yang dilakukan lebih dari satu hari (multidays); 19 b. Mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk menghasilkan koordinat stasiun; c. Melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individual, yang digunakan untuk menggeneralisasikan data runut waktu (time series) dari pengamatan teliti harian atau tahunan. I.8.7.1. Perataan Jaring dengan GAMIT. Pengolahan data GNSS menggunakan perataan jaring GPS dengan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter berbobot (weighted constraint) kemudian dilanjutkan dengan Kalman Filtering untuk mendapatkan nilai estimasi koordinat stasiun. Metode hitung perataan parameter berbobot ini diterapkan pada perangkat lunak GAMIT. Metode hitungan ini memakai data pseudorange dan carrier phase dan juga memakai metode diferensial double differencing atau triple differencing. Dalam hal ini, metode double difference pengamat-satelit pada sub-bab I.8.6.2 dipakai sebagai persamaan observasi. Pada kondisi pengamatan double difference pengamat-satelit, terdapat dua receiver pada stasiun A dan B, dengan vektor kordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai (XA, YA, ZA) dan (XB, YB, ZB), stasiun A ditentukan koordinatnya. Untuk persamaan double difference, pengamatan dilakukan terhadap empat satelit yaitu i ,j,k,dan l, sehingga didapatkan 8 persamaan jarak ρiA ,ρjA ,ρkA ,ρlA ,ρiB ,ρjB ,ρkB , dan ρlB yang secara umum mengikuti persamaan umum yang disajikan pada persamaan I.17 berikut (Rizos, 1997) : 𝜌𝐴𝑖 = √[𝑋 𝑖 (𝑡) − 𝑋𝐴 ]2 + [𝑌 𝑖 (𝑡) − 𝑌𝐴 ]2 +[𝑍 𝑖 (𝑡) − 𝑍𝐴 ]2 ........................................ (I.17) Dalam hal ini, i : notasi untuk satelit ke-n A: notasi untuk stasiun ke-m Nilai pendekatan bagi koordinat stasiun A ditetapkan sebagai (XA0,YA0, ZA0), sehingga persamaan koreksi stasiun A berubah menjadi persamaan I.18 s.d. I.20 berikut ini. XA = XA0 + dXA...................................................................................................... (I.18) YA = YA0 + dYA...................................................................................................... (I.19) ZA = ZA0 + dZA...................................................................................................... (I.20) Dalam menyelesaikan persamaan I.17, maka dilakukan proses linierisasi dengan deret Taylor, sehingga mengasilkan delapan persamaan linierisasi bagi jarak ρAi(t), 20 ρAj(t), ρAk(t), ρAl(t), ρBi(t), ρBj(t), ρBk(t),dan ρBl(t) yang secara umum mengikuti persamaan I.21 berikut : 𝜌𝐴𝑖 (𝑡) = 𝜌𝐴𝑖0 + 𝑐𝑥 𝑖 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + 𝑐𝑦 𝑖 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + 𝑐𝑧 𝑖 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 ...................................... (I.21) Dalam hal ini, i : notasi untuk satelit ke-n i0 : notasi nilai pendekatan jarak antara satelit ke-n dengan stasiun ke-m A : notasi untuk stasiun ke-m cx : differensial parsial persamaan terhadap dX cy : differensial parsial persamaan terhadap dY cz : differensial parsial persamaan terhadap dZ Pembentukan matriks bobot pengamatan sendiri mengacu pada penurunan rumus bobot pengamatan carrier phase secara double difference oleh Popovas dan Radzeviviute (2001). Dalam hal ini, dibentuk tiga persamaan double difference dengan stasiun A sebagai stasiun acuan dan satelit i sebagai satelit acuan dalam proses double difference. Tiga persamaan tersebut ditunjukkan pada persaman I.22 s.d. I.24 berikut (Popovas dan Radzeviviute, 2001) : 𝑖𝑗 𝑗 𝑗 ∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡)....................................................... (I.22) 𝑘 𝑘 𝑖 𝑖 ∆∇𝐿𝑖𝑘 𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵 (𝑡) + 𝜌𝐴 (𝑡)....................................................... (I.23) ∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐴𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡)....................................................... (I.24) Berdasarkan persamaan I.22 s.d. I.24, kemudian dibentuk matriks desain seperti ditunjukkan persamaan I.25 s.d. I.27 berikut : 1 𝐶 = [1 1 −1 0 0 −1 1 0 0 −1 0 −1 0 1 0 0 −1 −1 0 0 𝜌 = [𝜌𝐴𝑖 (𝑡) 𝑗 𝜌𝐴 (𝑡) 𝜌𝐴𝑘 (𝑡) 𝜌𝐴𝑙 (𝑡) 0 0] ........................................................... (I.25) 1 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) 𝑗 𝜌𝐵 (𝑡) 𝜌𝐵𝑘 (𝑡) 𝑇 𝜌𝐵𝑙 (𝑡)] ........... (I.26) 𝑖𝑗 ∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) 𝐷𝐷 = [∆∇𝐿𝑖𝑘 ] ................................................................................................ (I.27) 𝐴𝐵 (𝑡) 𝑖𝑙 (𝑡) ∆∇𝐿𝐴𝐵 Dalam hal ini, C : matriks desain double difference 21 ρ : matriks yang berisi besaran jarak DD : matriks yang berisi besaran double difference Matriks kovarian mengikuti persamaan cov(DD) = Ccov(ρ)CT. Selanjutnya persamaan tersebut disederhanakan menjadi cov(DD) = σ2CCT , karena adanya fase yang tidak berkorelasi. Matriks CCT yang dihasilkan ditunjukkan pada persamaan I.28 berikut : 4 𝐶𝐶 = [2 2 𝑇 2 2 4 2] ................................................................................................ (I.28) 2 4 Adapun matriks bobot pengamatan (P1) dirumuskan sebagai inverse dari matriks CCT, yakni 𝑃1 = (𝐶𝐶 𝑇 )−1, sehingga matriks bobotnya seperti disajikan pada persamaan I.29 berikut : 3 −1 −1 𝑃1 = 8 [−1 3 −1] ........................................................................................ (I.29) −1 −1 3 1 𝑖𝑗 𝑖𝑗 Faktor ambiguitas pada fase (𝑁𝐴𝐵 ) dan faktor noise (rC𝐴𝐵 ) pada pengukuran jarak kemudian ditambahkan pada persamaan I.22 s.d. I.24, sehingga diperoleh persamaan I.30 s.d. I.32 berikut ini : 𝑖𝑗 𝑖𝑗 𝑗 𝑗 𝑖𝑗 ∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡) − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............. (I.30) 𝑖𝑘 𝑘 𝑘 𝑖 𝑖 𝑖𝑘 ∆∇𝐿𝑖𝑘 𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵 (𝑡) + 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............. (I.31) 𝑖𝑙 (𝑡) 𝑖𝑙 ∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 = 𝜌𝐵𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐴𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡) − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............. (I.32) Selanjutnya dengan menggunakan penyelesaian double differencing dihasilkan persamaan I.33 s.d. I.35 berikut : 𝑖𝑗 𝑖𝑗 𝑖𝑗 0 𝑖𝑗 ∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = ∆∇𝜌𝐴𝐵 (𝑡) − ∇𝑐𝑥 𝑖𝑗 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + ∇𝑐𝑦 𝑖𝑗 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + ∇𝑐𝑧 𝑖𝑗 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............................................................................................................................. (I.33) 0 𝑖𝑘 𝑖𝑘 𝑖𝑘 𝑖𝑘 𝑖𝑘 𝑖𝑘 ∆∇𝐿𝑖𝑘 𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = ∆∇𝜌𝐴𝐵 (𝑡) − ∇𝑐𝑥 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + ∇𝑐𝑦 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + ∇𝑐𝑧 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............................................................................................................................. (I.34) 0 𝑖𝑙 (𝑡) 𝑖𝑙 (𝑡) 𝑖𝑙 ∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 = ∆∇𝜌𝐴𝐵 − ∇𝑐𝑥 𝑖𝑙 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + ∇𝑐𝑦 𝑖𝑙 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + ∇𝑐𝑧 𝑖𝑙 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............................................................................................................................. (I.35) Dalam hal ini, ∇𝑐𝑥𝐴 𝑛𝑚 (𝑡) =+ 𝑋 𝑚 (𝑡)−𝑋𝐴 𝑚 (𝑡) 𝜌𝐴 − 𝑋 𝑛 (𝑡)−𝑋𝐴 𝑛 (𝑡) 𝜌𝐴 ; n, m = satelit ke n, m 22 ∇𝑐𝑦𝐴 𝑛𝑚 (𝑡) =+ ∇𝑐𝑧𝐴 𝑛𝑚 (𝑡) =+ 𝑌 𝑚 (𝑡)−𝑌𝐴 𝑚 𝜌𝐴 (𝑡) 𝑍 𝑚 (𝑡)−𝑍𝐴 𝑚 𝜌𝐴 (𝑡) − − 𝑌 𝑛 (𝑡)−𝑌𝐴 𝑛 𝜌𝐴 (𝑡) 𝑍 𝑛 (𝑡)−𝑍𝐴 𝑛 𝜌𝐴 (𝑡) ; n, m = satelit ke n, m ; n, m = satelit ke n, m Persamaan double difference antara pengamat dan satelit pada persamaan I.33 s.d. I.35 ini menggunakan data beda fase. Selanjutnya, dilakukan hitung kuadrat terkecil metode parameter berbobot untuk mendapatkan posisi pengamat A. Hitung perataan metode berbobot melibatkan parameter yang juga dianggap sebagai ukuran karena memiliki kesalahan. Bobot dalam metode ini terdiri atas dua, yakni bobot ukuran data fase dan bobot parameter yang berisi 1/varian komponen koordinat. Dalam metode ini dikenal dua jenis persamaan pengukuran L1a = F1(xa) dan L2a = F2(xa). Persamaan pengukuran L2a = F2(xa) merupakan persamaan yang mengandung suatu parameter yang sudah diketahui/diukur sebelumnya, misalnya pada xa sebelumnya telah dilakukan pengukuran GPS dengan menghasilkan koordinat (XA, YA, ZA) dan ketelitiannya. Oleh karena bentuk A2 merupakan bentuk yang linier sehingga persamaan menjadi L2a = xa. Adapun L1a = F1(xa) adalah persamaan yang mengandung ukuran murni, dalam hal ini adalah data fase. Model non-linier dari persamaan metode parameter berbobot disajikan pada persamaan I.36 dan I.37 (Soeta’at, 1996) : L1a = F1(xa) .......................................................................................................... (I.36) L2a = xa .................................................................................................................. (I.37) Adapun bentuk liniernya disajikan pada persamaan I.38 berikut : V1 A1 x L1 V2 A2 x L2 ……...………................................................................................. (I.38) Model stokastik ditunjukkan oleh matriks bobot P1 dan P2, dan dengan pemilihan elemen A2 dan P2 yang tepat, maka bisa diperoleh solusi yang dinginkan. Fungsi F2 merupakan fungsi linier, sehingga A2 = I, ini yang disebut parameter berbobot. Selanjutnya, persamaan I.37 berubah menjadi persamaan I.39 berikut : L2 a xa L2b xb ………………........................................................................... (I.39) L2 x0 xb 23 Dalam hal ini, x0 = pendekatan dan xb = pengukuran. Pada awalnya, x0 diberi nilai sama dengan xb, kemudian selama iterasi x0 menjadi konvergen ke solusi akhir, sedang xb tetap tidak berubah. Matriks A, V, L, dan P didefinisikan seperti persamaan I.40 : A1 V1 L1 P 0 A V L P 1 ………............................................ (I.40) 0 P2 A2 V2 L2 Hasil pendefinisian pada persamaan I.40 mengubah persamaan I.38 menjadi persamaan I.41 berikut : V1 A1 L1 V A x L ……………................................................................. 2 2 2 (I.41) Dalam mengestimasi nilai parameter 𝑥̃, dilakukan dengan prinsip inversi matriks pada persamaan I.38 dengan menambahkan matriks bobot P, sehingga persamaan untuk memperoleh parameter ditunjukkan pada persamaan I.42 dan I.43 berikut: xˆ AT PA AP L …….......................................................................... 1 T P 0 1 A1 T T 𝑥̃ A1 A2 0 P2 A2 1 (I.42) P 0 1 L1 T T ……........................... (I.43) A1 A2 L2 0 P 2 Seperti disebutkan sebelumnya bahwa A2 = I, sehingga persamaan untuk mengestimasi nilai parameter berubah menjadi persamaan I.44 berikut : T xˆ A1 P1 A1 P2 A 1 P L1 P2 L2 .....………..............................…........... (I.44) T 1 1 Matriks bobot P1 seperti yang dituliskan pada persamaan 13. Adapun P2 adalah matriks bobot yang dibentuk dari informasi ketelitian yang diwakili oleh varian (constraint) yang ada pada suatu koordinat stasiun yang dijadikan parameter. P2 = 1⁄ 0 2 𝜎𝑋𝑎 1⁄ 0 2 𝜎𝑋𝑎 0 0 0 0 1⁄ 2 𝜎𝑋𝑎 0 0 0 ........................................................... (I.45) Dengan demikian matriks A1, L1, A2, L2 , dan 𝑥̃ dapat disajikan pada persamaan I.46 s.d. I.49 berikut : 24 ∇𝑐𝑥𝑖𝑗 (𝑡) 𝐴1 = [∇𝑐𝑥𝑖𝑘 (𝑡) ∇𝑐𝑥𝑖𝑙 (𝑡) ∇𝑐𝑦𝑖𝑗 (𝑡) ∇𝑐𝑦𝑖𝑘 (𝑡) ∇𝑐𝑦𝑖𝑘 (𝑡) 𝑖𝑗 ∇𝑐𝑧𝑖𝑗 (𝑡) ∇𝑐𝑧𝑖𝑘 (𝑡) ∇𝑐𝑧𝑖𝑙 (𝑡) −𝜆 0 0 0 −𝜆 0 0 0 ] .............................. (I.46) −𝜆 0 ∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) − ∆∇𝜌𝑖𝑗𝐴𝐵 (𝑡) 0 𝑖𝑘 𝐿1 = [∆∇𝐿𝑖𝑘 𝐴𝐵 (𝑡) − ∆∇𝜌𝐴𝐵 (𝑡)] ....................................................................... (I.47) 0 ∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) − ∆∇𝜌𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) 𝑥̃ = 𝑑𝑋𝐴 𝑑𝑌𝐴 𝑑𝑍𝐴 .......................................................................................................... (I.48) 𝑖𝑗 ∆∇𝑁𝐴𝐵 ∆∇𝑁𝑖𝑘 𝐴𝐵 [∆∇𝑁𝑖𝑙𝐴𝐵 ] 𝑋0 − 𝑋𝐴 𝑌 − 𝑌𝐴 𝐿2 = [ 0 ] .................................................................................................... (I.49) 𝑍0 − 𝑍𝐴 0 Dalam hal ini, V : Matriks residu P : Matriks bobot A : Matriks desain 𝑥̃ : Matriks parameter 0 𝑛𝑚 (𝑡) ∆∇𝜌𝐴𝐵 𝑖𝑗 : Jarak satelit-pengamat pendekatan ; n, m = satelit ke n, m ∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) : Matriks ukuran 𝑛𝑚 ∆∇𝑁𝐴𝐵 : Nilai ambiguitas fase integer (bulat) yang belum diketahui Penyelesaian hitungan untuk memperoleh nilai parameter pada matriks 𝑥̃ adalah dengan persamaan I.44. Hasil pengolahan data pengamatan menggunakan GAMIT berupa solusi bias-fixed dan bias-free. Solusi ini didapatkan dari perhitungan double difference data beda fase yang dilakukan dua kali, yaitu dengan ambiguity-fixed dan ambiguity-float. Hasil hitungan parameter ini disimpan pada H-Files. Pengolahan ini disebut juga sebagai pengolahan secara loosely constraint. Dalam mendapatkan koordinat akhir, maka solusi loosely constraint GAMIT ini diikatkan pada kerangka ITRF dalam GLOBK. 25 I.8.7.2. Perataan jaring berbasis Kalman Filtering pada modul GLOBK. GLOBK merupakan proses Kalman Filtering untuk mengkombinasikan solusi-solusi hasil pengolahan data primer hasil pengamatan terestris maupun ekstra-terestris (space geodesy). Kalman Filtering adalah suatu metode estimasi parameter dengan kuadrat terkecil yang mampu menyelesaikan masalah terkait waktu. Kunci dari metode ini adalah updating. Proses ini merupakan proses dimana jika terdapat pengamatan baru pada titik-titik yang sama, maka pengamatan baru tersebut akan mengubah estimasi parameter hasil hitungan perataan yang sudah dilakukan. Perubahan tersebut dihitung untuk memperoleh estimasi parameter yang baru. Nilai estimasi yang baru tersebut bisa dinyatakan dalam bentuk persamaan I.50 berikut (Strang and Borre, 1997) : 𝑥̃𝑛𝑒𝑤 = 𝐿𝑥̃𝑜𝑙𝑑 + 𝐾𝑏𝑛𝑒𝑤 ........................................................................................ (I.50) Kunci dari metode Kalman Filtering ada empat butir, yaitu : 1. Prosesnya bersifat rekursif, artinya pengamatan yang lama tidak disimpan sebagai 𝑏𝑜𝑙𝑑 , karena sudah digunakan pada estimasi 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 2. Persamaan I.50 dapat diturunkan menjadi persamaan baru yang ekivalen dengan memisahkan nilai prediksi dan koreksi seperti pada persamaan I.51 berikut : 𝑥̃𝑛𝑒𝑤 = 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 + 𝐾(𝑏𝑛𝑒𝑤 − 𝐴𝑛𝑒𝑤 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 ) ...................................................... (I.51) Berdasarkan persamaan 2, dapat diketahui bahwa pengukuran prediksi 𝐴𝑛𝑒𝑤 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 dapat diperoleh dari estimasi parameter 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 , sedangkan koreksi 𝑥̃ adalah besarnya nilai 𝐾(𝑏𝑛𝑒𝑤 − 𝐴𝑥̃𝑜𝑙𝑑 ). 3. Proses updating matriks kovarian P. Matriks kovarian P adalah matriks −1 kovarian kesalahan dari parameter estimasi 𝑥̃ (𝑃 = (𝐴𝑇 ∑𝑒 𝐴) ). Matriks P dinyatakan sebagai nilai statistik 𝑥̃ berdasarkan nilai 𝑏. Matriks P atau matriks kovarian kesalahan dari parameter 𝑥̃ ini yang dilakukan updating, apabila ada penambahan pengukuran 𝑏𝑛𝑒𝑤 dengan kesalahan pengukuran Σe, new , sehingga Pnew bisa disajikan seperti pada persamaan I.52 berikut: 𝑃𝑛𝑒𝑤 = (𝐼 − 𝐾𝐴)𝑃𝑜𝑙𝑑 (𝐼 − 𝐾𝐴)𝑇 + 𝐾 ∑𝑒,𝑛𝑒𝑤 𝐾 𝑇 ...................................... (I.52) 4. Pada butir 1,2, 3 masih menggambarkan problem kuadrat terkecil yang bersifat statis, sedangkan dengan Kalman Filtering kuadrat terkecil dipakai 26 untuk problem dinamis. Sebagai contoh, pada penentuan posisi GPS, posisi saat k (xk) belum tentu sama dengan posisi saat k-1 (xk-1) yang memiliki kesalahan sebesar 𝜀𝑘 seperti ditunjukkan pada persamaan I.53 berikut : 𝑥𝑘 = 𝐹𝑘−1 𝑥𝑘−1 + 𝜀𝑘 ................................................................................ (I.53) Adapun persamaan pengukuran yang baru dengan masukan kondisi baru 𝑥𝑘 dan pengukuran baru 𝑏𝑘 , serta kesalahan 𝑒𝑘 seperti ditunjukkan pada persamaan I.54 berikut : 𝑏𝑘 = 𝐴𝑘 𝑥𝑘 + 𝑒𝑘 ....................................................................................... (I.54) Persamaan I.52 s.d. I.54 menunjukkan bahwa proses updating terdiri atas dua tahap yaitu prediksi dan koreksi. Konsep-konsep metode Kalman Filtering inilah yang dipakai dalam proses pengolahan dengan modul GLOBK. Dalam modul GLOBK sendiri terdapat tiga program utama, yaitu GLRED, GLORG, dan GLOBK. GLOBK mengkombinasikan data pengolahan harian GAMIT untuk mendapatkan estimasi posisi rata-rata titik pengamatan. Pengikatan titik-titik pengamatan terhadap titik-titik referensi dilakukan dengan GLORG, GLRED hampir sama dengan GLOBK, bedanya GLRED memperlakukan H-Files dari masingmasing hari secara terpisah, sehingga ketelitian posisi yang diperoleh dapat digabungkan per waktu tertentu (Herring, dkk., 2006). I.8.7.3.Evaluasi hasil pengolahan dengan GAMIT. Evaluasi hasil pengolahan dengan menggunakan perangkat lunak GAMIT dapat dilakukan dengan memperhatikan dua parameter evaluasi GAMIT, yaitu nilai postfit nrms dan nilai fract (Herring, 2010). 1. Postfit nrms (normalized root mean square). Nilai postfit nrms ditentukan dengan persamaan I.55 : √𝑥 2 𝑐ℎ𝑖−𝑠𝑞𝑢𝑎𝑟𝑒 Postfit nrms = √(𝑛−𝑢) = 𝑑𝑒𝑔𝑟𝑒𝑒 𝑜𝑓 𝑓𝑟𝑒𝑒𝑑𝑜𝑚............................................................. (I.55) Dengan nilai 𝑥 2 = 𝜕𝑜2 𝜃𝑜2 ......................................................................................... (I.56) Dalam hal ini, 𝜕𝑜2 : varian apriori untuk unit bobot 𝜃𝑜2 : varian aposteori untuk unit bobot 27 𝑛 : jumlah ukuran 𝑢 : ukuran minimum Berdasarkan persamaan 1.55 dan I.56 dapat diketahui bahwa nilai nrms adalah akar dari perbandingan antara varian aposteori dan varian apriori untuk unit bobot tertentu. Standar kualitas nilai postfit nrms pada GAMIT adalah berkisar ± 0,25, jika nilainya lebih besar dari 0,5, maka masih terdapat cycle slips yang belum dihilangkan atau berkaitan dengan parameter bias ekstra ataupun bisa juga karena terdapat kesalahan dalam melakukan pemodelan (Anonim, 2000). 2. Fract. Fract merupakan hasil perbandingan antara nilai adjust dan nilai formal. Nilai fract dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah ada nilai adjust yang janggal dan perlu tidaknya diberikan iterasi untuk mendapatkan nilai adjust yang bebas dari efek non-linear. Nilai adjust menunjukkan besarnya perataan yang diberikan terhadap parameter yang digunakan dalam perhitungan. Nilai formal disebut juga nilai formal error. Nilai formal menunjukkan ketidakpastian pada pemberian data bobot untuk perhitungan kuadrat terkecil. Sesuai standar GAMIT, besarnya nilai fract tidak boleh lebih dari 10 (fract < 10) (Herring, dkk., 2006). Nilai fract diperoleh dari persamaan I.57. 𝑓𝑟𝑎𝑐𝑡 = 𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙 .............................................................................................. (I.57) I.8.7.4. Evaluasi hasil pengolahan dengan GLOBK. Hasil pengolahan pada GLOBK dapat dievaluasi melalui log file yang berisi nilai simpangan baku yang dapat digunakan untuk menganalisis koordinat stasiun observasi dan nilai chi-square per degree of freedom. Selain itu, dilakukan pula analisis pada plot time series untuk mengetahui outliers yang terjadi dan konsistensi data harian. Nilai wrms juga digunakan untuk mengevaluasi hasil dari pengolahan GLOBK. Menurut Panuntun (2012), nilai wrms yang baik adalah di bawah 10 mm. I.8.8. Perhitungan Kecepatan Pergeseran Stasiun Besar kecepatan pergeseran stasiun GNSS dihitung menggunakan prinsip Kalman Filtering dalam GLOBK pada sub-bab I.8.7.2 dengan persamaan I.58 berikut (Panuntun, 2012) : Xti = Xt0 + (ti – t0)v ............................................................................................. (I.58) 28 Dalam hal ini, Xti : koordinat stasiun pengamatan pada epok ti Xt0 : koordinat stasiun pengamatan pada eopk t0 v : kecepatan pergerseran stasiun Resultan vektor pergeseran stasiun selanjutnya dihitung dengan persamaan I.59 : 𝑉𝑅 = 𝑉𝑁 + 𝑉𝐸 ....................................................................................................... (I.59) Dalam hal ini, VR : resultan kecepatan pergeseran stasiun VN : kecepatan pergeseran stasiun pada komponen North VE : kecepatan pergeseran stasiun pada komponen East Adapun arah vektor pergeseran stasiun selanjutnya dihitung dengan persamaan I.60 : 𝛼 = 𝑡𝑎𝑛 𝑣𝑒 𝑣𝑛 ......................................................................................................... (I.60) Dalam hal ini, α : arah vektor pergeseran horizontal stasiun I.8.9. Analisis Regangan 3D 1.8.9.1 Konsep Regangan. Istilah regangan terkait dengan istilah tegangan, pergeseran, dan perubahan bentuk. Sebuah gaya tegangan (stress) yang bekerja pada sebuah benda menyebabkan terjadinya perubahan panjang dan arah relatif (regangan/strain), kemudian kumpulan regangan pada benda menyebabkan terjadinya perubahan posisi (pergeseran/displacement), sebagai hasil dari perubahan posisi ini adalah terjadinya perubahan ukuran dan bentuk pada suatu benda (size and shape changes). Regangan adalah deformasi yang terjadi per unit panjang suatu materi (Widjajanti, 1997). Regangan digambarkan dalam bentuk tensor, yakni suatu vektor yang mempertimbangkan kerangka waktu. Regangan terdiri atas dua jenis, yakni regangan normal (e) dan regangan geser (γ). Regangan normal (extensional strain) adalah perubahan ukuran panjang (penambahan panjang) benda sepanjang arah yang spesifik (searah sumbu benda). Sedangkan regangan geser adalah perubahan sudut antara dua arah yang spesifik (Sadd, 2005). Regangan geser ini menyebabkan deformasi sudut/dilatasi. Berikut disajikan regangan normal (Gambar 1.5) dan 29 regangan geser (Gambar 1.6 dan 1.7). Kubus biru : Ilustrasi bentuk materi mula-mula Kubus garis putus-putus warna jingga : Ilustrasi perubahan bentuk materi mula-mula karena terkena suatu gaya Gambar I.5. Ilustrasi regangan normal pada ruang 3D Pada Gambar I.5 diketahui bahwa suatu materi mula-mula berbentuk kubus (warna biru) kemudian karena bekerja suatu gaya sehingga bertambah volumenya (warna jingga). Panjang asal suatu materi dinyatakan dalam X dan Y, dengan masing-masing penambahan panjang dx dan dy. Apabila (u, v, w) merupakan komponen perpindahan dari sebuah titik A pada arah masing-masing sumbu X, Y, dan Z yang melewati suatu titik lain, maka pertambahan panjang elemen AD pada sumbu X dinyatakan dalam satuan penambahan panjang (δu/δx) dan dapat dinyatakan dalam persamaan I.61 : 𝑒𝑥𝑥 = (𝐴′ 𝐷 ′ −𝐴𝐷) 𝐴𝐷 = ((𝑋+𝑑𝑥)−𝑋) 𝑋 𝛿𝑢 = 𝛿𝑥 ..................................................................... (I.61) Dengan cara yang sama, satuan perpanjangan AB dalam sumbu Y dinyatakan dalam persamaan I.62 : (𝐴′ 𝐵′ −𝐴𝐵) 𝑒𝑦𝑦 = 𝐴𝐵 = ((𝑌+𝑑𝑦)−𝑌) 𝑌 𝛿𝑣 = 𝛿𝑦 ...................................................................... (I.62) Jika terdapat satu elemen pada sumbu Z, maka perpanjangan titik A searah sumbu Z diperoleh persamaan I.63 : 𝑒𝑧𝑧 = (𝐴′ 𝐸 ′ −𝐴𝐸) Satuan 𝐴𝐸 = ((𝑍+𝑑𝑧)−𝑍) 𝑍 = 𝛿𝑤 𝛿𝑧 ....................................................................... (I.63) perpanjangan exx, eyy, ezz disebut dengan parameter regangan normal. Masing-masing parameter tersebut dinyatakan dalam perbandingan perubahan panjang terhadap panjang aslinya (Widjajanti, 1997). Dalam meninjau kejadian 30 regangan geser, disajikanlah Gambar I.6 dan I.7. Gambar I.6. Ilustrasi regangan geser dalam ruang 3D Gambar I.7. Ilustrasi proyeksi regangan geser dalam ruang 3D pada bidang XY Gambar 1.6 dan 1.7 menunjukkan suatu materi terjadi deformasi sudut (dilatasi) atau yang disebut dengan regangan geser. Pada Gambar I.6 suatu benda mula-mula berbentuk balok APRQ.BSUT (warna biru), kemudian karena adanya gaya benda terdeformasi sudutnya menjadi bangun A’P’R’Q’.B’S’U’T’ (warna jingga). Pada Gambar I.7 menunjukkan proyeksi deformasi sudut suatu benda pada bidang XY. Mula-mula benda berbentuk persegi panjang (warna merah), kemudian terdeformasi menjadi jajaran genjang (warna biru). Sebuah elemen garis AP dan AQ 31 mengalami distorsi sudut masing-masing terhadap sumbu Y dan X menjadi A’P’ dan A’Q’. Jika γ1 adalah sudut apit antara garis A’P’ dengan sumbu Y dan γ2 adalah sudut apit antara A’Q’ dengan sumbu X dengan asumsi masing-masing γ1 dan γ2 bernilai kecil. Nilai γ1 diperoleh dengan persamaan I.64 dan I.65 : 𝑡𝑎𝑛(𝛾1 ) = 𝛿𝑢/𝛿𝑦 𝛿𝑣 ) 𝛿𝑦 1+( .................................................................................................. (I.64) 𝛾1 = 𝛿𝑢/𝛿𝑦 .......................................................................................................... (I.65) Dengan cara yang sama, sudut γ2 diperoleh dengan persaman I.66: 𝛾2 = 𝛿𝑣/𝛿𝑥 .......................................................................................................... (I.66) Dengan demikian diperoleh perpindahan titik P searah sumbu X dan titik Q searah sumbu Y seperti pada persamaan I.67 dan I.68: 𝛿𝑢 𝑃′ = 𝑢 + (𝛿𝑦 ) 𝑑𝑦 ................................................................................................ (I.67) 𝛿𝑣 𝑄 ′ = 𝑣 + (𝛿𝑥) 𝑑𝑥 ................................................................................................. (I.68) Berdasarkan Gambar I.9 didapati bahwa dengan asumsi γ1 = γ2, sudut PAQ berkurang sebesar (γ1+ γ2) menjadi sudut P’A’Q’ yang besarnya adalah (90-( γ1+ γ2)). Dengan demikian, sudut exy yang merupakan regangan geser dari bidang XZ dan YZ dinyatakan dalam persamaan 1.69 dan 1.70 : 𝛿𝑢 𝛿𝑣 2𝑒𝑥𝑦 = 𝛾1 + 𝛾2 = 𝛿𝑦 + 𝛿𝑥 ................................................................................... (I.69) 1 𝛿𝑢 𝛿𝑣 𝑒𝑥𝑦 = 2 (𝛿𝑦 + 𝛿𝑥) = 1/2𝛾𝑥𝑦 …........................................................................... (I.70) Nilai exz dan eyz cara perolehannya sama dengan exy. Jadi regangan geser adalah setengah perubahan sudut dalam benda padat akibat deformasi. Jika dihubungkan dengan komponen pergeseran u,v, w, maka komponen regangan seperti pada persamaan I.71 s.d. I.76 : 𝛿𝑢 𝑒𝑥𝑥 = 𝛿𝑥 ............................................................................................................... (I.71) 𝛿𝑣 𝑒𝑦𝑦 = 𝛿𝑦 ............................................................................................................... (I.72) 𝑒𝑧𝑧 = 𝛿𝑤 𝛿𝑧 ............................................................................................................... (I.73) 1 𝛿𝑢 𝑒𝑥𝑦 = ( 2 𝛿𝑦 + 𝛿𝑣 𝛿𝑥 ) = 1/2𝛾𝑥𝑦 ............................................................................... (I.74) 32 1 𝛿𝑤 𝛿𝑢 1 𝛿𝑣 𝛿𝑤 𝑒𝑥𝑧 = 2 ( 𝛿𝑥 + 𝛿𝑧 ) = 1/2𝛾𝑥𝑧 ................................................................................ (I.75) 𝑒𝑦𝑧 = 2 (𝛿𝑧 + 𝛿𝑦 ) = 1/2𝛾𝑦𝑧 ................................................................................ (I.76) Dalam hal ini, exx, eyy, ezz : regangan normal pada masing-masing elemen sumbu X, Y, dan Z exy, exz , eyz ` : regangan geser pada masing-masing bidang yang terbentuk dari perpotongan sumbu XY, XZ, dan YZ γxy, γxy, γxy : sudut regangan geser pada bidang yang terbentuk dari perpotongan sumbu XY, XZ, dan YZ Perolehan nilai dan arah dari suatu regangan bisa dilakukan dengan analisis regangan. 1.8.9.2. Analisis regangan dalam ruang 3D. Analisis regangan merupakan salah satu jenis analisis geometrik dalam suatu analisis deformasi. Analisis regangan merupakan analisis geometrik yang menunjukkan perubahan posisi, bentuk, dan dimensi suatu materi, dengan menggunakan data pengamatan geodetik langsung dari regangan, atau menggunakan data regangan yang diperoleh dari perbedaan perataan data pengamatan geodetik perubahan posisi (Widjajanti, 1997). Suatu regangan dikatakan 3D jika terdiri atas enam komponen regangan (normal dan geser), yakni exx, eyy, ezz, exy, exz, dan eyz seperti disajikan pada Gambar 1.5 s.d. 1.7. Keenam komponen regangan 3D tersebut bersama dengan tiga parameter rotasi (ωx, ωy, ωz) dan tiga parameter translasi menghasilkan analisis deformasi dalam ruang 3D. Pendekatan terhadap analisis regangan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis dasar (Widjajanti, 1997), yaitu : a. Pendekatan terhadap data pengamatan Pendekatan ini berdasar pada perhitungan langsung komponen regangan dari perbedaan data pengamatan yang dilakukan berkala. b. Pendekatan melalui pergeseran Pendekatan ini berdasar pada perhitungan komponen regangan langsung dari perbedaan koordinat-koordinat pergeseran dari titik-titik geodetik yang diratakan. Dasar untuk menggambarkan deformasi dalam ilmu-ilmu fisik adalah matriks E. 33 Matriks E tersebut dalam analisis regangan merupakan gradien tensor pergeseran, yang dapat dinyatakan sebagai persamaan I.77 (Caspary, 1987) : 𝑬= 𝑫(𝒅) 𝑫(𝒙) ................................................................................................................ (I.77) Matriks E kemudian mentransformasikan posisi X ke pergeseran d, sehingga diperoleh persamaan I.78 dan I.79: 𝒅(𝑿) = 𝒅 + 𝑬 𝒅𝑿 ............................................................................................... (I.78) 𝛿(𝑑𝑥) 𝛿(𝑑𝑥) 𝛿𝑋 𝛿(𝑑𝑦) 𝛿𝑌 𝛿(𝑑𝑦) 𝛿𝑍 𝛿(𝑑𝑦) 𝛿𝑋 𝛿(𝑑𝑧) 𝛿𝑌 𝛿(𝑑𝑧) 𝛿𝑍 𝛿(𝑑𝑧) 𝛿𝑋 𝛿𝑌 𝛿𝑍 𝛿𝑑 𝛿(𝑑𝑥) 𝐸 = 𝛿𝑋 = [ ] 𝑒𝑥𝑥 = [𝑒𝑦𝑥 𝑒𝑧𝑥 𝑒𝑥𝑦 𝑒𝑦𝑦 𝑒𝑧𝑦 𝑒𝑥𝑧 𝑒𝑦𝑧 ]........................................... (I.79) 𝑒𝑧𝑧 Dalam hal ini, d : pergeseran benda kaku E : tensor deformasi (terlalu kecil untuk diukur) dx, dy : komponen deformasi d(X) Dalam penerapan tensor deformasi E ke dalam seluruh area atau objek yang sedang diamati, adalah penting untuk mengasumsikan bahwa deformasi yang terjadi adalah homogen. Teknik umum untuk melakukan interpretasi E adalah dengan simetrisasi. Tensor deformasi E yang berbentuk simetris, biasanya diuraikan ke dalam bentuk penjumlahan matriks simetris ε dengan matriks tidak simetris ω, keduanya dinyatakan sebagai persamaan I.80 dan I.81 (Widjajanti, 1997) : E = ½(E + ET) + ½( E – ET) ................................................................................ (I.80) E = ε + ω ............................................................................................................. (I.81) Adapun matriks ε dan ω disajikan pada persamaan I.82 dan I.83 berikut: 𝑒𝑥𝑥 (𝑒𝑥𝑦 + 𝑒𝑦𝑥 ) 𝜀= 2 (𝑒𝑥𝑧 + 𝑒𝑧𝑥 ) [ 2 (𝑒𝑦𝑥 + 𝑒𝑥𝑦 ) 2 𝑒𝑦𝑦 (𝑒𝑦𝑧 + 𝑒𝑧𝑦 ) 2 (𝑒𝑧𝑥 + 𝑒𝑥𝑧 ) 2 𝑒𝑥𝑥 (𝑒𝑧𝑦 + 𝑒𝑦𝑧 ) = [𝑒𝑦𝑥 2 𝑒𝑧𝑥 𝑒𝑧𝑧 𝑒𝑥𝑦 𝑒𝑦𝑦 𝑒𝑧𝑦 𝑒𝑥𝑧 𝑒𝑦𝑧 ] 𝑒𝑧𝑧 ] .............................................................................................................................. (I.82) 34 0 (𝑒𝑥𝑦 − 𝑒𝑦𝑥 ) 𝜔= 2 (𝑒𝑧𝑥 − 𝑒𝑥𝑧 ) [ 2 (𝑒𝑥𝑦 − 𝑒𝑦𝑥 ) 2 0 (𝑒𝑦𝑧 − 𝑒𝑧𝑦 ) 2 (𝑒𝑥𝑧 − 𝑒𝑧𝑥 ) 2 0 (𝑒𝑧𝑦 − 𝑒𝑦𝑧 ) = [𝜔𝑦𝑥 2 𝜔𝑧𝑥 0 ] 𝜔𝑥𝑦 0 𝜔𝑧𝑦 𝜔𝑥𝑧 𝜔𝑦𝑧 ] 0 .............................................................................................................................. (I.83) Matriks ε pada persamaan I.82 disebut tensor regangan. Elemen diagonal matriks ε menyatakan regangan normal dalam arah X, Y dan Z. Enam elemen bukan nondiagonal dari matriks ε yaitu 2exy = 2eyx, 2exz = 2ezx, dan 2eyz = 2ezy menyatakan distorsi sudut terhadap sumbu koordinat atau yang disebut sebagai regangan geser. Adapun matriks 𝜔 pada persamaan I.83 disebut elemen rotasi gradien tensor pergeseran E. Setiap elemen yang ada bisa diselesaikan dengan data pengamatan geodetik melalui estimasi melalui metode hitung perataan (least-square). I.8.10. Metode Hitungan Regangan dengan Modified Least Square Metode hitungan dengan Modified Least Square (MLS) diterapkan pada perangkat lunak grid_strain/grid_strain3. MLS menekankan perhitungan pada penerapan faktor skala dan pengaruh dari titik terdekat saat mengestimasi regangan, sehingga bisa mengestimasi regangan pada titik yang jauh dari titik perpotongan grid yang dibentuk. Perangkat lunak grid_strain/grid_strain3 adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh Giordano Teza, dkk. pada tahun 2007 untuk perhitungan nilai regangan pada grid dengan masukan data pergeseran titik. Perangkat lunak grid_strain mengestimasi regangan pada bidang 2D, sedangkan grid_strain3 mengestimasi regangan dalam ruang 3D dengan tambahan masukan data Digital Terrain Model (DTM). Perangkat lunak grid_strain3 mengestimasi regangan pada setiap titik pada DTM dengan membentuk grid yang teratur dengan faktor skala grid yang tertentu. I.8.10.1 Pendekatan MLS dalam perhitungan regangan 2D. Perhitungan regangan pada grid_strain dilakukan menggunakan pendekatan MLS. Konsep perhitungannya mirip dengan yang diterapkan pada grid_strain. Sebuah kerangka acuan atau titik yang dihitung regangannya adalah titik P (x p, yp) yang dikelilingi oleh Experimental Points (EP) berjumlah N (dalam hal ini diberikan tiga titik EP, 35 yakni A, B, dan C). Titik P dihitung nilai regangannya melalui tiga titik data yang memiliki nilai koordinat posisi (xN, yN) dan kecepatan pergeseran beserta simpangan bakunya (VXN, VYN, σVXN, σVYN). Titik P ini merupakan simulasi titik grid yang nantinya dibentuk dalam hitungan metode MLS ini. Suatu sampel titik P ini nantinya tersebar dalam wilayah dimana EP berada. Pergerakan dan regangan kecil pada titik P dalam bidang 2D dimodelkan dengan persamaan I.84 dan I.85. 𝑉𝑥 (𝑛) = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 (𝑛) + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 (𝑛) + 𝑈𝑥….............................................................. (I.84) 𝑉𝑦 (𝑛) = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 (𝑛) + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 (𝑛) + 𝑈𝑦.................................................................. (I.85) Dalam hal ini, ∆𝑥 (𝑛) = 𝑥 (𝑛) − 𝑥 (𝑝) ∆𝑦 (𝑛) = 𝑦 (𝑛) − 𝑦 (𝑝) 𝐿𝑥𝑥 = 𝜕𝑉 𝜕𝑉 𝜕𝑉𝑥⁄ 𝜕𝑉𝑥 ⁄𝜕𝑦 ; 𝐿𝑦𝑥 = 𝑦⁄𝜕𝑥 ; 𝐿𝑦𝑦 = 𝑦⁄𝜕𝑦 𝜕𝑥 ; 𝐿𝑥𝑦 = Dalam hal ini, (∆𝑥 (𝑛) , ∆𝑦 (𝑛) ) : selisih koordinat Y antara EP dengan titik yang diestimasi nilai regangannya (𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 ) : elemen gradien pergeseran (𝑈𝑥, 𝑈𝑦) : konstanta (komponen kecepatan pada titik yang diestimasi regangannya) (𝑉𝑥 (𝑛) , 𝑉𝑦 (𝑛) ) : komponen data kecepatan pergeseran hasil observasi Berdasarkan persamaan I.84 dan I.85 dan data yang tersedia, maka bisa dilakukan pendekatan penyelesaian parameter dengan memakai prinsip least square. Terdapat 18 data ukuran dengan enam parameter yang diestimasi nilainya. Delapan belas data ukuran tersebut, yaitu : (xA, yA, VXA, VYA, σVXA, σVYA), (xB, yB, VXB, VYB, σVXB, σVYB), (xC, yC, VXC, VYC, σVXC, σVYC). Adapun enam parameter tersebut, yakni : 𝑈𝑥, 𝑈𝑦, 𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 . Selanjutnya, pendekatan model fungsional least square disajikan pada persamaan I.86 berikut : 𝐿 + 𝑉 = 𝐴𝑋 …..................................................................................................... (I.86) Persamaan observasi bisa diturunkan dari model fungsional I.86 tersebut seperti 36 disajikan pada persamaan I.87 s.d. 1.92 berikut. 𝑉𝑥 𝐴 + 𝑣1 = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 𝐴 + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 𝐴 + 𝑈𝑥................................................................ (I.87) 𝑉𝑦 𝐴 + 𝑣2 = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 𝐴 + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 𝐴 + 𝑈𝑦................................................................ (I.88) 𝑉𝑥 𝐵 + 𝑣3 = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 𝐵 + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 𝐵 + 𝑈𝑥................................................................ (I.89) 𝑉𝑦 𝐵 + 𝑣4 = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 𝐵 + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 𝐵 + 𝑈𝑦................................................................ (I.90) 𝑉𝑥 𝐶 + 𝑣5 = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 𝐶 + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 𝐶 + 𝑈𝑥................................................................ (I.91) 𝑉𝑦 𝐶 + 𝑣6 = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 𝐶 + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 𝐶 + 𝑈𝑦................................................................ (I.92) Berdasarkan persamaan observasi I.87 s.d. I.92, maka matriks A, X, L, dan P bisa dibentuk dalam persamaan I.93 s.d. I.98 berikut : 2NL1 + 2NV1 = 2NA6X1 .......................................................................................... (I.93) 𝑉𝑦 𝐵 L = [ 𝑉𝑥 𝐴 𝑉𝑦 𝐴 X = [ 𝑈𝑥 𝑈𝑦 𝐿𝑥𝑥 𝐿𝑥𝑦 𝐿𝑦𝑥 𝐿𝑦𝑦 ]T ......................................................... (I.95) V = [ 𝑣1 𝑣2 𝑣3 𝑣4 𝑣5 𝑣6 ]T.......................................................... (I.96) A= 𝑉𝑥 𝐵 𝑉𝑥 𝐶 𝑉𝑦 𝐶]T ........................................................ (I.94) 1 0 ∆𝑥 𝐴 ∆𝑦 𝐴 0 0 0 1 0 0 ∆𝑥 𝐴 ∆𝑦 𝐴 1 0 ∆𝑥 𝐵 ∆𝑦 𝐵 0 0 (𝜎𝑉𝑋 𝐴 )2 1 0 0 ∆𝑥0𝐵 ∆𝑦 𝐵 0 0 0 1 00 1⁄𝐶 ∆𝑥 ∆𝑦 𝐶 00 0 0 0 0 0 01 0 0 0 0 P = 𝜎𝐷 20 1⁄ 0 (𝜎𝑉𝑌 𝐴 )2 0 0 𝐶 1⁄∆𝑥 𝐶 𝐵 2∆𝑦 (𝜎𝑉𝑋 ) ...........................................(I.97) 0 0 0 1⁄ (𝜎𝑉𝑌 𝐵 )2 0 0 0 0 0 0 1⁄ (𝜎𝑉𝑋 𝐶 )2 0 0 0 0 0 0 1⁄ (𝜎𝑉𝑌 𝐶 )2 ............................................................................................................................... (I.98) Dalam hal ini, 𝜎𝐷 2 = (1⁄𝑛) ∑ 2 𝑗=1 𝑛 ∑ 𝑛=1 (𝜎𝑦 (𝑛) )2 2NL1 : matriks ukuran 2NV1 : matriks residu 37 6X1 : matriks parameter 2NP2N : matriks bobot 2NA6 : matriks desain yang berisi turunan persamaan terhadap parameter Penyelesaian parameter menggunakan inversi matriks X dengan meminimalkan residu kuadrat dilakukan menggunakan persamaan I.42. Adapun untuk dispresi matriks X dihitung dengan persamaan I.99 berikut : 𝐷(𝑋) = 1 (𝐿 2𝑟𝜎𝐷 2 − 𝐴𝑋)𝑇 𝑃(𝐿 − 𝐴𝑋)(𝐴𝑇 𝑃𝐴)−1 ....................................................... (I.99) Dalam hal ini, 𝑟 = 2𝑛 − 6 r : redudansi least square Berdasarkan persamaan I.99 diketahui bahwa data dengan ketidakpastian yang besar memiliki efek yang kecil pada hasil hitungan. Oleh karena itu, kontribusi dari satu/lebih EP dapat direduksi atau dibuang dengan mempertimbangkan faktor pembobotan yang baik. Hal ini dapat meningkatkan corresponding errors. I.8.10.2. Strategi pembobotan dalam metode MLS. Faktor pembobotan untuk mereduksi kontribusi EP yang jauh dari titik grid adalah kunci pada metode MLS yang dikenalkan oleh Shen, dkk. (1996). Fungsi penskalaan yang tepat dan faktor skala (d0) dikenalkan dalam metode ini. Dalam faktor pembobotan ini terdapat dua besaran yang perlu diketahui, yakni adalah dn dan d0. Notasi dn menunjukkan jarak antara EP ke-n dengan titik grid yang dihitung nilai regangannya. Adapun d0 adalah smoothing parameter/faktor skala yang nilai default nya adalah tiga kali spasi grid (Teza, dkk., 2008). Nilai d0 ini bersifat user-defined. Faktor pembobotan dengan sebuah fungsi penskalaan diterapkan pada matriks bobot P dalam metode hitungan MLS. Matriks bobot P dikalikan dengan sebuah fungsi penskalaan 𝑓(𝑑𝑛 /𝑑0 ), dengan f adalah fungsi penaik-turunan (decreasing function) (Teza dan Pesci, 2015). Perkalian ini menjadikan matriks bobot P menjadi P’ seperti ditunjukkan persamaan I.100 dan I.101 berikut : 𝑃′ = 𝑓(𝑑𝑛 /𝑑0 ). 𝑃............................................................................................... (I.100) 𝑃′ = exp(−𝑑𝑛 /𝑑0 ). 𝑃....................................................................................... (I.101) Jika f dibuat berkurang dengan cepat dengan adanya dn/d0, maka pemilihan nilai d0 38 dapat mendefinisikan tingkat lokalitas (level of locality) dari sebuah hitungan. Jika diterapkan pemilihan dn = d0, mengakibatkan P’ = exp(-1).P = ̃ 0,37P. Hal ini menunjukkan pemakaian faktor pembobotan P’ untuk mengganti P menyebabkan hanya titik terdekat dari titik grid yang diestimasi saja yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada regangan yang dihitung pada titik tersebut. Pemakaian faktor skala d0 ini memiliki konsekuensi tertentu. Seperti diketahui sebelumnya bahwa regangan seharusnya terdistribusi seragam/merata, tapi dalam kenyataannya asumsi ini sulit dipenuhi. Dalam hal ini, penggunaan faktor skala dalam metode MLS ini, bisa mengurangi kesulitan dalam pemenuhan asumsi tersebut. Adanya faktor skala pada MLS ini mampu membuat distribusi regangan yang seragam/merata, meskipun hanya pada wilayah dekat titik grid yang diestimasi. Hal ini seperti ditemui juga pada pendekatan local stationary dalam metode geostatistik (ordinary kriging dan sequential simulation). Selain itu, kelebihan metode pembobotan ini adalah model regangan bisa disajikan secara lebih realistis (seragam/quasi-uniform) dalam cakupan wilayah tertentu sesuai dengan faktor skala (Shen, dkk., 1996). I.8.10.3. Pembentukan grid dan estimasi nilai regangan 2D. Nilai regangan diestimasi pada setiap grid yang terbentuk. Pembentukan grid dilaksanakan berdasarkan jarak antar stasiun (EP). Standar deviasi dari semua jarak antar stasiun pada tiap pasangan stasiun dihitung dan nilainya digunakan sebagai nilai default. Setelah nilai spasi grid diperoleh, maka posisi titik grid ke-ij didefinisian memakai persamaan I.102 berikut : 𝑥𝑖𝑗 = (𝑥𝑖 , 𝑦𝑗 ) = (𝑥𝑚𝑖𝑛 + 𝑖∆𝑥, 𝑦𝑚𝑖𝑛 + 𝑗∆𝑦) ........................................................... (I.102) 𝑖 = 1, . . . , 𝑁𝑥 , 𝑗 = 1, . . . , 𝑁𝑦 Dalam hal ini, (𝑥𝑚𝑖𝑛 , 𝑦𝑚𝑖𝑛 ) : koordinat starting point (∆𝑥, ∆𝑦) : grid sides 𝑁𝑥 , 𝑁𝑦 : titik perpotongan grid sepanjang sumbu X dan Y Setelah grid terbentuk dan smoothing parameter telah didefinisikan, maka perhitungan regangan 2D pada titik grid siap dilakukan. Parameter yang dihitung terdiri atas enam parameter seperti disebutkan sebelumnya, yakni 39 𝑈𝑥, 𝑈𝑦, 𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 . U adalah konstanta atau elemen kecepatan pada titik grid, L adalah gradien tensor pergeseran. Dalam hal ini L dalam bidang 2D terdiri atas empat komponen 𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 . Gradien tensor pergeseran L ini sama dengan gradien tensor E pada persamaan I.81. Gradien pergeseran L secara umum adalah fungsi dari ε dan ω. Hubungan antara gradien tensor pergeseran dengan tensor regangan ε dan elemen rotasi ω dalam ruang 3D telah disajikan pada persamaan I.81 s.d. I.83. Adapun persamaan I.103 s.d. 1.106 berikut menunjukkan hubungan antara L, ε dan ω dalam bidang 2D. 𝐿 = 𝜀 + 𝜔 ...................................................................................................................... (I.103) 𝐿= 𝜀= 𝜕𝑉𝑥 𝜕𝑥 [𝜕𝑉𝑦 𝜕𝑉𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑉𝑦 ] 𝜕𝑥 𝜕𝑦 =[ 𝐿𝑥𝑥 𝐿𝑦𝑥 𝜕𝑉𝑥 𝜕𝑥 [ 𝜕𝑉 𝜕𝑉𝑥 1/2 ( + 𝑦 ) 𝜕𝑦 𝜕𝑥 0 𝐿𝑥𝑦 ]....................................................................................... (I.104) 𝐿𝑦𝑦 𝜕𝑉 1/2 ( 𝜕𝑦𝑥 + 𝜔=[ 𝜕𝑉 𝜕𝑉 −1/2 ( 𝜕𝑦𝑥 + 𝜕𝑥𝑦 ) 𝜕𝑉𝑦 𝜕𝑥 𝜕𝑉𝑦 ) 𝑒𝑥𝑥 ] = [𝑒 𝑦𝑥 𝑒𝑥𝑦 𝑒𝑦𝑦 ]...............................................(I.105) 𝜕𝑦 𝜕𝑉 1/2 ( 𝜕𝑦𝑥 − 0 𝜕𝑉𝑦 𝜕𝑥 ) 0 ]= [ −𝜔 𝜔 ]............................................ (I.106) 0 Berdasarkan hasil estimasi nilai gradien pergeseran L, maka nilai regangan e dan nilai rotasi ω bisa diperoleh. Tensor regangan ε merupakan matriks simetris dan merepresentasikan deformasi internal, adapun elemen rotasi ω merupakan matriks anti-simetris dan menyajikan pergerakan kecil dan kaku (rigid body motion). Dalam hal ini, terdapat invertible matrix V dalam εd = V-1εV, dimana εd adalah matriks diagonal. Hasil diagonalisasi εd ini adalah eigenvalue dan eigenvectors. Eigenvalue adalah nilai regangan minimum dan maksimum dari principal strain εmax dan εmin. Adapun eigenvectors adalah arah dari principal strain. Regangan maksimum dan minimum adalah perubahan panjang per unit panjang pada arah ekstensi maksimum dan minimum (positif untuk ekstensi). Pada kerangka acuan yang memiliki origin P (titik perpotongan grid) dan unit vektornya adalah orthonormal eigenvectors, tidak terdapat shear deformation dan variasi perubahan panjang hanya terjadi pada sumbu utama saja. 40 I.8.11. Focal Mechanisms Focal mechanisms solution adalah hasil dari hitungan yang didasarkan pada bentuk dan arah penjalaran gelombang P-first motions yang terbentuk karena gempa tektonik kemudian direkam oleh seismograf sekitar episentrum gempa (Cronin, 2004 ; Bock, 2002). Menurut Cronin (2004), fungsi dari focal mechanisms adalah menyediakan informasi penting terkait gempa tektonik yaitu time origin, lokasi episentrum, kedalaman (focal depth), momen seismik (pengukuran langsung energi yang diradiasikan oleh gempa), serta besar dan orientasi spasial dari sembilan komponen moment tensor. Berdasarkan moment tensor ini orientasi dan arah penunjaman bisa didapatkan. Dengan demikian, focal mechanisms juga menyatakan arah penunjaman dalam sebuah kejadian gempa dan orientasi segmen patahan dimana gempa terjadi. Adapun penyajiannya dalam sebuah diagram skematik beachball (USGS, 2012). Penggambaran diagram skematik beachball pada focal mechanisms ini disajikan pada Gambar I.8 (a) dan (b). Gambar I. 8. Diagram skematik beachball dari focal mechanisms (USGS, 2012) 41 Gambar I.8 (A) menunjukkan bahwa diagram skematik beachball dinyatakan dalam tiga sumbu ortogonal, antara lain : sumbu tekanan (pressure axis) dengan simbol P, sumbu tegangan (tension axis) dengan simbol T, dan sumbu Null dengan simbol N (Cronin, 2010). Kuadran yang mengandung sumbu P biasanya diarsir dengan warna selain putih (pada Gambar I.8 berwarna abu-abu), sedangkan sumbu T biasanya berwarna putih. Kuadran berwarna ini menunjukkan bagian yang mengalami tekanan (kompresi) dari kuadran yang berwarna putih yang mengalami tegangan (dilatasi) akibat adanya gaya tekan di bawah permukaan bumi. Kuadran sumbu T dan P seperti ditunjukkan Gambar I.8 (B) ini bersama-sama dapat menyatakan jenis stuktur patahan apa yang menjadi penyebab gempa di suatu episentrum, misalnya strike-slip, reverse, normal, atau oblique (Cronin, 2010). Garis yang membatasi kuadran sumbu T dan P, menyatakan orientasi segmen patahan, sedangkan luasan kuadrannya menunjukkan arah penunjaman pada struktur yang terjadi. Jadi, fungsi focal mechanisms ini adalah menyediakan informasi mengenai jenis patahan yang menjadi penyebab gempa, orientasi bidang patahan, dan juga orientasi segmen patahan. I.9. Hipotesis Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, peneliti mempunyai hipotesis bahwa dengan asumsi pergeseran lempeng tektonik di Pulau Sumatra secara umum linier mengarah ke timur laut sebesar 5 s.d. 7 cm/tahun, maka nilai regangan 2D pada lempeng tektonik di Patahan Sumatra masih sama dengan nilai regangan 2D pada penelitian Bock, dkk. (2003). Nilai regangan 2D-nya antara 5 x 10-8 s.d. 10-7, meskipun terdapat wilayah nilai regangan 2D-nya yang lebih dari 10-7 maupun kurang dari 5 x 10-8 di bagian timur Sumatra dekat selat Malaka. Pola regangan 2D pada bagian barat Pulau Sumatra di dominasi oleh regangan kompresi 2D dengan besar 5 x 10-8 s.d. 10-7, sedangkan pada bagian timur didominasi oleh ekstensi 2D dengan nilai 5 x 10-8. 42