bab i pendahuluan

advertisement
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pulau Sumatra merupakan pulau yang terletak pada zona subduksi lempeng
Eurasia dengan Indo-Australia di wilayah barat Indonesia. Zona subduksi ini
merupakan zona yang paling sering melepaskan energi di Indonesia (McCaffrey,
2009). Lempeng Indo-Australia menunjam pada lempeng Eurasia membentuk sudut
miring-kanan (right-lateral) dengan kecepatan 5 s.d. 7 cm/tahun (Prawirodirjo, dkk.,
2000). Akibat dari penunjaman miring ini adalah terbentuknya patahan geser (strikeslip) di sepanjang Pulau Sumatra (Hidayat, dkk., 2012) yang disebut dengan Patahan
Sumatra atau Patahan Semangko atau Patahan Ulu-Aer (Sieh dan Natawidjaja,
2000).
Patahan Sumatra merupakan patahan jenis strike-slip (patahan geser) yang
memanjang 1900 km dari ujung utara Sumatra sampai ujung selatan yang sebagian
bertepatan dengan gugus gunung api Sumatra (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Aktifitas
pada Patahan Sumatra sangat tinggi, sehingga sering menyebabkan banyak terjadinya
gempa bumi besar yang menyebabkan kerugian material besar selama 200 tahun terakhir
ini (Natawidjaja dan Triyoso, 2008). Menurut catatan gempa Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada kurun waktu 2010 s.d. 2013, beberapa gempa
bumi terjadi dalam magnitude > 6,0 Skala Richter (SR) dan lebih dari 100 gempa bumi
terjadi pada magnitude 5 s.d. 6 SR. Gempa bumi dengan magnitude lebih dari 6,0 SR
tersebut antara lain Gempa Mentawai 7,2 SR (2010), Gempa Sinabang-Aceh 7,6 SR
(2010), Gempa Singkilbaru-Aceh 6,7 SR (2011), dan Gempa di Lepas pantai barat
Sumatra 8,6 SR (500 km dari Aceh) (2012) (BMKG, 2013).
Banyaknya gempa bumi yang terjadi di Pulau Sumatra menunjukkan perlunya
upaya mitigasi bencana gempa bumi pada wilayah ini. Salah satu bentuk upaya
mitigasi ini adalah dengan memodelkan zonasi wilayah dengan berdasarkan potensi
kegempaannya. Model potensi gempa bumi ini diturunkan dari model tegangan
(stress), sedangkan model tegangan ini bisa diperoleh salah satunya dari nilai dan
pola regangan 2D pada wilayah yang sama (Abidin, 2007). Dalam hal ini, secara
1
tidak langsung, analisis dan pemodelan regangan 2D di wilayah Pulau Sumatra
penting untuk upaya mitigasi bencana. Analisis dan pemodelan regangan 2D semakin
penting mengingat pada Pulau Sumatra terdapat zona Patahan Sumatra dan zona
subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia merupakan zona yang paling sering
melepaskan energi gempa bumi tiap tahunnya (Setyonegoro, dkk., 2012). Dalam hal
ini, analisis dan pemodelan regangan 2D perlu diperbarui secara berkala untuk bisa
mewadahi perubahan nilai dan pola regangan pada wilayah ini.
Analisis dan pemodelan pola regangan 2D bisa diturunkan salah satunya dari
data pergeseran titik pantau yang dihasilkan oleh perubahan posisi titik multitemporal akibat adanya kejadian gempa bumi. Pergeseran titik pantau selama
bertahun-tahun terdokumentasikan melalui perekaman kontinyu stasiun permanen
GNSS-CORS di Pulau Sumatra. Dalam hal ini, sejak tahun 1996 telah dibangun
instalasi stasiun GNSS-CORS permanen yang kontinyu oleh Badan Informasi
Geospasial (BIG). Stasiun GNSS-CORS ini berjumlah 124 stasiun yang tersebar di
seluruh Indonesia (21 stasiun diantaranya ada di Pulau Sumatra) dan disebut sebagai
sistem Ina-CORS (Aditiya, dkk., 2014). Salah satu fungsi Ina-CORS adalah untuk
mendukung aplikasi ilmiah seperti pemantauan deformasi dan geodinamika (Abidin,
dkk., 2010). Oleh karena itu, data pengamatan Ina-CORS ini potensial untuk analisis
dan pemodelan regangan tektonik 2D di Pulau Sumatra.
Analisis dan pemodelan regangan 2D umumnya dilakukan dengan membentuk
jaring-jaring segitiga antar stasiun pengamatan. Jika jarak antar stasiun pengamatan
jauh, maka pemodelan regangan kurang realistis untuk mewadahi wilayah yang luas.
Metode hitungan yang sering digunakan untuk memperoleh nilai regangan 2D adalah
hitung perataan konvensional (Rusmen, dkk., 2012). Dalam hal ini, metode Modified
Least Square (MLS) yang dikenalkan oleh Shen, dkk. (1996) mampu menghasilkan
nilai regangan yang lebih rapat melalui pembentukan grid-grid tertentu. Metode MLS
ini mengestimasi nilai regangan berdasarkan kontribusi stasiun-stasiun yang ada di
dekatnya, stasiun yang dekat memiliki kontribusi lebih besar dari stasiun yang jauh
(Teza, dkk., 2008). Metode MLS ini memiliki kelebihan yaitu model regangan bisa
disajikan secara lebih realistis (seragam) dalam cakupan wilayah tertentu sesuai
dengan faktor pembobotan yang diterapkan (Shen, dkk., 1996). Dalam hal ini,
pemakaian metode MLS sangat potensial untuk analisis dan pemodelan regangan
2
tektonik 2D yang lebih realistis pada wilayah yang luas seperti Pulau Sumatra.
Analisis dan pemodelan pola regangan 2D telah dilakukan sebelumnya oleh Bock,
dkk. (2003) dengan membentuk jaring-jaring segitiga pada seluruh wilayah Indonesia
termasuk pada Patahan Sumatra dengan data pengamatan tahun 1991 s.d. 2001.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa nilai regangan 2D berkisar
antara 5x10-8 s.d. 10-7. Pola regangan pada bagian barat Pulau Sumatra di dominasi oleh
regangan kompresi 2D, sedangkan pada bagian timur dan selatan didominasi oleh
ekstensi 2D. Nilai dan pola regangan ini terbatas pada data tahun 2001, padahal gempa
tektonik berkekuatan besar di Pulau Sumatra terus terjadi pada kurun waktu setelah
tahun 2001 tersebut. Gempa yang terjadi pada kurun waktu setelah tahun 2001 sampai
sekarang mungkin saja mengubah nilai dan pola regangan 2D pada waktu sekarang ini.
Selain itu, penggunaan metode MLS potensial untuk pemodelan regangan 2D yang lebih
realistis. Di sisi lain, dalam upaya mitigasi bencana pada waktu sekarang ini dibutuhkan
pemodelan nilai dan pola regangan 2D yang terbaru. Oleh karena itu, penelitian untuk
menganalisis nilai dan pola regangan 2D tahun pada kurun waktu terbaru (tahun 2010
s.d. 2013) di Patahan Sumatra perlu dilakukan kembali. Pada penelitian ini dilakukan
analisis dan pemodelan regangan 2D dengan metode MLS menggunakan data tahun
2010 s.d. 2013 di Patahan Sumatra.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, diketahui bahwa zona
Patahan Sumatra memiliki potensi bencana yang besar. Aktivitas tektonik pada
Patahan Sumatra berupa gempa bumi menyebabkan perubahan posisi titik-titik
pantau seperti stasiun GNSS-CORS. Selanjutnya data perubahan posisi tersebut bisa
dimanfaatkan untuk analisis nilai dan pola regangan. Analisis nilai dan pola regangan
2D ini merupakan salah satu hal penting dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi.
Teridentifikasinya nilai dan pola regangan 2D dapat menjadi informasi penting
dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi di suatu wilayah yang sering terjadi
gempa bumi seperti Pulau Sumatra. Nilai dan pola regangan 2D di Pulau Sumatra secara
umum telah diketahui melalui penelitian Bock, dkk. (2003) memakai data tahun 1991 s.d.
2001, di sisi lain gempa bumi masih sering terjadi pada kurun waktu 2010 s.d. 2013. Oleh
3
karena itu, nilai dan pola regangan 2D tahun 2010 s.d. 2013 di Patahan Sumatra mungkin
saja berubah. Belum diketahuinya besar dan pola regangan tahun 2010 s.d. 2013 di
Patahan Sumatra merupakan masalah yang diangkat pada penelitian ini.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah :
1. Berapakah nilai regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra pada
kurun waktu 2010 s.d. 2013 ?
2. Bagaimanakah pola regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra
pada kurun waktu 2010 s.d. 2013 ?
I.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengidentifikasian nilai regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra
pada kurun waktu 2010 s.d. 2013.
2. Pengidentifikasian pola regangan 2D lempeng tektonik di Patahan Sumatra
dari tahun 2010 s.d. 2013.
I.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berupa informasi nilai dan pola regangan 2D lempeng
tektonik di Patahan Sumatra tahun 2010 s.d. 2013. Informasi yang dihasilkan dari
penelitian ini dapat digunakan untuk :
1.
Mengidentifikasi struktur penyebab gempa jika dianalisis bersama peta
geologi dan focal mechanisms, sehingga hal ini mempermudah proses
inversi kegempaan secara geofisis.
2.
Memprediksi akumulasi energi tektonik yang terkumpul pada gempa
tektonik yang akan terjadi selanjutnya, sehingga hal ini dapat menjadi
acuan bagi perencanaan mitigasi bencana gempa bumi di wilayah Pulau
Sumatra.
4
3.
Menentukan wilayah-wilayah yang memiliki resiko gempa yang tinggi,
sehingga hal ini dapat menjadi masukan bagi pelaksanaan mitigasi
bencana di wilayah Pulau Sumatra.
I.6. Batasan Penelitian
Batasan penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu :
1. Stasiun GNSS-CORS yang dipakai adalah 14 stasiun pada sistem InaCORS dengan konfigurasi menyilang sepanjang segmen Patahan
Sumatra.
2. Data GNSS yang diolah dibatasi jumlahnya untuk efisiensi pengolahan,
yakni maksimal 30 data per tahun.
3.
Penggunaan modul earthquake-file dalam GLOBK untuk mewadahi
pengolahan data yang terpengaruh gempa tidak dilakukan pada penelitian
ini, karena data yang dipilih dianggap telah menghindari doy gempa.
I.7. Tinjauan Pustaka
Pulau Sumatra merupakan pulau yang berada pada pertemuan lempeng
tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Sangat aktifnya pergerakan lempeng pada pulau
ini menyebabkan geodinamikanya sangat tinggi. Beberapa penelitian untuk
memantau geodinamika di zona subduksi maupun di zona patahan pada pulau ini
telah banyak dilakukan. Beberapa metode yang dipakai antara lain dengan metode
seisimik, pengamatan GPS dan pengamatan melalui penginderaan jauh.
Penerapan data seisimik untuk mengetahui karakteristik distribusi seismik di
sepanjang Busur Sunda (barat Sumatra) dilakukan pertama kali oleh Ghose dan Oike
(1988). Penelitian ini memanfaatkan data seisimik dari NOAA Hipocenter Data File
(1900 s.d. 1981) dan ISC Data File (1971 s.d. 1983) dengan validasi menggunakan
data anomali gayaberat Free-air dari satelit GEOS-3 dan SEASAT-1. Pada tahun
2006, pemantauan pergerakan lempeng di Busur Sunda kembali dilakukan oleh
Lasitha, dkk. (2006) memanfaatkan data seismik dari NOAA Epicentral Listing pada
tahun 1900 s.d. 2000 dan data Focal Mechanisms dari Harvard Centroid Moment
Tensors (CMT). Lokasi yang diamati oleh kedua penelitian ini hampir sama yakni
5
pada Patahan Sumatra, Patahan Segmen Mentawai, Sunda Strait, Java Fault Zone,
dan Java Fore-Arc region. Keduanya mengindikasikan adanya variasi geodinamika
lempeng terhadap waktu (temporal). Khusus pada Patahan Sumatra, Lasitha, dkk.
(2006) menyimpulkan bahwa pergerakan geser miring-kanan (right-lateral) adalah
sebesar 1 s.d. 29 mm/tahun.
Data pengamatan citra satelit penginderaan jauh telah dipakai dalam
pemantauan pergerakan lempeng di Pulau Sumatra. Data citra SPOT dikombinasikan
dengan peta topografi telah dipakai pada pemantauan pergerakan Patahan Sumatra
oleh Bellier dan Sebrier (1994). Sedangkan data foto udara stereo dikombinasikan
dengan peta topografi telah dipakai untuk membuat peta modern neotektonik setiap
segmen sepanjang Patahan Sumatra oleh Sieh dan Natawidjaja (2000). Hasil yang
didapatkan Bellier dan Sebrier (1994) saling berbeda dengan Sieh dan Natawidjaja
(2000) dalam hal keterkaitan antara Patahan Sumatra dengan gunung api. Bellier dan
Sebrier (1994) mengklaim adanya hubungan antara Patahan Sumatra dan gunung api,
sedangkan dengan Sieh dan Natawidjaja (2000) tidak mengklaim adanya keterkaitan
antar keduanya.
Pengamatan GPS pertama kali pada zona Java-Trench yang termasuk juga di
dalamnya bagian selatan Pulau Sumatra telah dilakukan oleh Tregoning, dkk. (1994).
Pemantauan dengan GPS pada zona subduksi Sunda Megathrust, Investigator
Fracture Zone, dan Patahan Sumatra di utara dan selatan lintang 0,5o S telah
dilakukan oleh Prawirodirjo, dkk. (1997). Penelitian dengan menggunakan data GPS
untuk pemantauan zona-zona subduksi atau patahan lain di Pulau Sumatra juga telah
dilakukan. Penelitian ini antara lain : pemantauan zona patahan di bagian utara Pulau
Sumatra (2o S s.d. 3o N) (McCaffrey, dkk., 2000), pemantauan subduksi di patahan
Andaman dan Patahan Sumatra (Subarya, dkk., 2008), pemantauan patahan Segmen
Mentawai setelah gempa 2010 (Rusmen, dkk., 2012), pemantauan subduksi lempeng
di seluruh wilayah Indonesia termasuk dikhususkan beberapa pengamatan lebih di
Patahan Sumatra dan Sunda Megathrust (Bock, dkk., 2003), dan juga pemantauan
deformasi pada cekungan Warthon (Pratama, dkk., 2013). Dalam hal ini, pengamatan
dengan GPS khusus untuk keperluan pemantauan Patahan Sumatra belum secara
spesifik dilakukan.
Data yang dipakai pada pemantauan geodinamika di Pulau Sumatra selama ini
6
bersumber dari data pengamatan stasiun GEODYSSEA-GPS (Michel, dkk., 2001)
yang terdiri atas 49 stasiun (32 stasiun berada di Indonesia),
pengamatan stasiun
permanen seperti SuGAR (Sumatran GPS Array), IGS, dan SOPAC (Tregoning,
dkk., 1994; Michel, dkk., 2001; Rusmen, dkk., 2012),
pengamatan Campaign
Station di wilayah terdeformasi (Subarya, dkk., 2008), dan kombinasi antara
beberapa sumber tersebut (Bock, dkk., 2003). Data yang dipakai pada penelitian
sebelumnya memiliki kurun waktu 3 s.d. 5 tahun dengan jarak waktu antar
pengamatan bisa 1 s.d. 3 tahun. Dalam hal ini, sumber data lain seperti stasiun
permanen GNSS-CORS di Indonesia (Ina-CORS) belum pernah dipakai untuk
analisis geodinamika di Pulau Sumatra khususnya pada zona Patahan Sumatra.
Pengolahan data GPS pada pemantauan geodinamika Pulau Sumatra selama ini
menggunakan perangkat lunak ilmiah seperti GAMIT/GLOBK, BERNESE, GIPSYOASIS II (Subarya, dkk., 2008; Bock, dkk., 2003; Tregoning, dkk., 1994; Michel,
dkk., 2000; Rusmen, dkk., 2012, Pratama, dkk., 2013). Dengan data pengamatan
GPS pada lokasi Pulau Sumatra, penelitian-penelitian yang ada memperoleh
beberapa hasil berbeda, yaitu : (i) nilai kecepatan pergeseran stasiun yang dianggap
mewakili pergerakan relatif lempeng tektonik (Prawirodirjo, dkk., 1997; Michel,
dkk., 2000; Bock, dkk., 2003; Pratama, dkk., 2013), (ii) nilai dan pola regangan
tektonik dan nilai rotasi tektonik pada masing-masing blok segitiga yang terbentuk
(McCaffrey, dkk., 2000; Michel, dkk., 2000; Bock, dkk., 2003; Rusmen, dkk., 2012),
(iii) mengestimasi nilai tegangan geser (McCaffrey, dkk., 2000), dan (iv)
memodelkan laju penunjaman (slip rates) tektonik per tahun pada zona subduksi
miring (oblique subduction) dengan tambahan data seismik (McCaffrey, dkk., 2000;
Subarya, dkk., 2008). Pada estimasi nilai/parameter regangan, metode yang telah
digunakan pada penelitian sebelumnya antara lain hitung perataan kuadrat terkecil
(Least Square Adjustment) (Rusmen, dkk., 2012) maupun dengan hitung perataan
parameter berbobot (Weighted Least Square Adjustment) (McCaffrey, dkk., 2000).
Adapun estimasi nilai regangan dengan metode hitungan Modified Least Square
(MLS) yang menekankan pada faktor skala saat mengestimasi regangan (Teza, dkk.,
2008) masih belum pernah diterapkan spesifik pada Patahan Sumatra.
Pada penelitian ini, dilakukan analisis dan pemodelan regangan 2D tektonik
secara spesifik pada zona Patahan Sumatra menggunakan data pengamatan stasiun
7
permanen GNSS-CORS Indonesia (Ina-CORS). Penelitian ini menggunakan
perangkat lunak ilmiah GAMIT/GLOBK 10.5 untuk estimasi nilai koordinat stasiun
setiap tahunnya pada kurun waktu 2010 s.d. 2013. Estimasi nilai dan pemodelan
regangan tektonik 2D dilakukan memanfaatkan metode hitungan MLS.
I.8. Landasan Teori
I.8.1. Geodinamika
Geodinamika adalah sebuah studi yang berkaitan dengan proses-proses dasar
fisika dan matematika yang meliputi pengukuran, pemodelan, penafsiran konfigurasi
dan gerak dari mantel, kerak, dan inti bumi serta berbagai fenomena geologi
(Turcotte dan Schubert, 2002). Geodinamika tidak bisa dilepaskan dari teori tektonik
lempeng, yakni teori dalam bidang geologi yang dikembangkan untuk memberi
penjelasan terhadap adanya bukti-bukti pergerakan skala besar yang dilakukan
oleh litosfer bumi (Sullivan, 1991). Lapisan litosfer bumi terbagi menjadi beberapa
lempeng besar yang menyusun permukaan bumi. Lempeng besar tersebut antara lain
Lempeng Afrika, Lempeng Antartika, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia
dan Lempeng Amerika Utara (Kious dan Tilling, 1996).
Setiap lempeng memiliki batas antar lempeng seperti yang disajikan pada
Gambar I.1 berikut.
Gambar I.1. Batas antar lempeng tektonik (Kious dan Tilling, 1996)
8
Batas antar lempeng teridiri atas tiga jenis, yaitu (Kious dan Tilling, 1996):
1. Batas transform (transform boundaries) terjadi jika lempeng bergerak dan
mengalami gesekan satu sama lain secara menyamping di sepanjang sesar
transform (transform fault). Gerakan relatif kedua lempeng bisa sinistral/leftlateral (ke kiri di sisi yang berlawanan dengan pengamat) ataupun
dekstral/right-lateral (ke kanan di sisi yang berlawanan dengan pengamat).
Contoh sesar jenis ini adalah Sesar San Andreas di California.
2. Batas divergen/konstruktif (divergent/constructive boundaries) terjadi ketika dua
lempeng bergerak menjauh satu sama lain. Mid-oceanic ridge dan zona retakan
(rifting) yang aktif adalah contoh batas divergen.
3. Batas konvergen/destruktif (convergent/destructive boundaries) terjadi jika dua
lempeng bergesekan mendekati satu sama lain sehingga membentuk zona subduksi
jika salah satu lempeng bergerak di bawah yang lain, atau pertemuan benua
(continental collision) jika kedua lempeng mengandung kerak benua. Palung laut
yang dalam biasanya berada di zona subduksi, dimana potongan lempeng yang
terhunjam mengandung banyak bersifat hidrat (mengandung air), sehingga
kandungan air ini dilepaskan saat pemanasan terjadi bercampur dengan mantel dan
menyebabkan pencairan sehingga menyebabkan aktivitas vulkanik. Contoh kasus
ini di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan busur Pulau Jepang.
I.8.2. Zona Subduksi Pulau Sumatra
Pulau Sumatra merupakan salah satu pulau yang menempati tektonik lempeng
bagian barat Indonesia. Pulau Sumatra bersama Pulau Jawa, Bali, Kalimantan dan
barat-daya Sulawesi menempati Zona Paparan Sunda (Sunda Shelf) (Hamilton,
1979). Pulau Sumatra memiliki beberapa zona subduksi yang terbentuk akibat
penunjaman miring Lempeng Eurasia dengan Indo-Australia di sepanjang lepas
pantai barat Pulau Sumatra (Prawirodirjo, dkk., 2000). Akibat penunjaman miring ini
pada Pulau Sumatra terdapat banyak zona subduksi, antara lain Patahan Sumatra,
Patahan Batee, Patahan Segmen Mentawai, Patahan Andaman dan Sunda Megathrust
(McCaffrey, 2009). Gambar I.2. menyajikan zona-zona subduksi tersebut.
9
Gambar I.2. Zona subduksi pada Pulau Sumatra (McCaffrey, 2009).
Gambar I.2. menunjukkan bahwa Pulau Sumatra memiliki beberapa zona
subduksi yang tersebar di sepanjang wilayah daratan dan lepas pantainya. Pada lepas
pantai Pulau Sumatra terdapat tiga zona subduksi yakni Mentawai Fault, Batee
Fault, dan West-Andaman Fault. Mentawai Fault terletak memanjang sepanjang
Kepulauan Mentawai (Siberut, Pagai, dan Sipora). Batee Fault terletak di lepas
pantai Pulau Nias dan Simeulue, sedangkan West-Andaman Fault terletak sepanjang
lepas pantai barat Aceh sampai kepulauan Nicobar.
Adapun di daratan Pulau Sumatra terdapat zona Patahan Sumatra sepanjang
1900 km membentuk komponen patahan lateral kanan (right-lateral fault) dari
tumbukan lempeng Eurasia dan Indo-Australia (Sieh dan Natawidjaja, 2000).
Patahan Sumatra ini membentuk barisan gunung api yang aktif di sepanjang Pulau
Sumatra bernama Bukit Barisan (McCaffrey, 2009). Patahan Sumatra terdiri atas 19
segmen utama yang terbagi dalam tiga domain, yakni domain selatan, domain
tengah, dan domain utara (Sieh dan Natawidjaja, 2000).
Pada domain selatan, terdiri atas segmen Semangko, Kumering, Manna, Musi,
Ketaun dan Dikit. Pada domain tengah terdiri atas segmen Siulak, Suliti, Sumani,
10
Sianok, Sumpur, Barumun, Angkola dan Toru. Adapun pada domain utara terdiri
atas segmen Renun, Tripa, Batee, Aceh dan Seulimeum. Masing-masing segmen
pembentuk Patahan Sumatra ini telah terbentuk sejak beberapa abad silam akibat
gempa tektonik dengan magnitude lebih dari 7,0 SR (Sieh dan Natawidjaja, 2000).
Gambar I.3. menyajikan beberapa kejadian gempa tektonik yang terjadi sepanjang
Patahan Sumatra sejak 1892 s.d. 2007.
Gempa yang terjadi pada wilayah ini pun masih berlanjut sampai saat sekarang
ini. Menurut data kegempaan BMKG pada kurun waktu 2010 s.d. 2013 masih terjadi
beberapa gempa tektonik sepanjang sesar ini terutama pada wilayah Banda Aceh,
Bengkulu, dan Bandar Lampung. Pada kurun waktu tersebut, beberapa gempa
tektonik bisa terjadi pada magnitud lebih dari 6,0 SR walaupun kadang
episentrumnya terletak di lautan, meskipun juga ada yang di darat (BMKG, 2013).
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa potensi gempa tektonik pada Patahan
Sumatra ini cukup besar, sehingga perlu pemantauan kontinyu.
Keterangan :
Zona Subduksi
Zona Sesar Geser
Gambar I.3. Kejadian gempa tektonik di sepanjang Patahan Sumatra (EOS, 2012)
11
I.8.3. Teknik Pemantauan Lempeng Tektonik
Pemantauan langsung terhadap lempeng tektonik merupakan hal yang sulit.
Pendekatan pemantauan di permukaan bumi pada bed-rock telah banyak diterapkan
untuk mewakili lempeng tektonik. Teknik pemantauan lempeng tektonik dengan
teknik land-based surveying jarang dipakai karena keterbatasan dalam hal luas
cakupan. Sejak periode 1990, pemantauan lempeng tektonik berkembang dengan
adanya teknologi space-based geodesy, teknik-teknik tersebut antara lain VLBI,
SLR, dan GPS/GNSS (www.leeds.ac.uk).
VLBI atau Very Long Baseline Interferometry adalah pendekatan pemantauan
dengan mengukur sedikit perbedaan waktu kedatangan sinyal radio alami yang
dipancarkan dari bintang quasar terdeteksi oleh berbagai radio-teleskop. Metode ini
dapat melakukan pengukuran selama beberapa tahun sehingga memungkinkan
diketahuinya perubahan posisi relatif radio-teleskop.
Pendekatan lain dalam pemantauan lempeng tektonik adalah dengan
menggunakan satelit reflektif di orbit Bumi. Sistem Satellite Laser Ranging (SLR)
memberikan pancaran singkat sinar laser yang dikirim ke satelit dari stasiun bumi
dan dipantulkan kembali ke stasiun bumi. Pengukuran waktu perjalanan (dalam pico
seconds) bisa menentukan jarak ke satelit dan pengukuran berulang untuk satu
negara memungkinan untuk menentukan posisinya relatif terhadap konstelasi satelit
reflektif. Dalam hal ini, kerangka acuan untuk mendeteksi gerakan lempeng aktif
(waktu rata-rata selama beberapa tahun) adalah serangkaian orbit Bumi
(www.leeds.ac.uk).
Pendekatan teknik pemantauan lempeng tektonik lainnya adalah dengan
GPS/GNSS. GPS/GNSS memakai konstelasi satelit navigasi (minimal empat satelit) di
luar angkasa untuk melakukan reseksi dengan persamaan jarak sehingga didapatkan
posisi teliti di permukaan bumi. Pengukuran dengan GPS/GNSS pada satu titik relatif
terhadap titik lainnya dalam kerangka waktu tertentu potensial dipakai untuk
pemantauan lempeng tektonik. Teknik ini secara teknis lebih handal dibanding teknik
VLBI dan SLR, teknik ini memiliki biaya lebih murah dan bisa diaplikasikan dimanapun
area pengamatannya dengan mudah oleh operator yang bebas.
12
I.8.4. Global Navigation Satellite System (GNSS)
Pengertian GNSS mengacu pada pengertian GPS, yakni merupakan sistem
sistem navigasi berbasis satelit yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus
dalam segala cuaca, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi
yang teliti dan juga informasi waktu, secara kontinyu di seluruh dunia (Wells, dkk.,
1986). Satelit GNSS yang saat ini aktif memberikan layanan penentuan posisi adalah
GPS, GLONASS, dan GALILEO. GPS dikembangkan oleh Amerika Serikat sejak
tahun 1973, dan mulai digunakan untuk menyelesaikan persoalan geodesi sejak
sekitar 1983. Adapun GLONASS dikembangkan oleh Rusia sejak 1970 dan
diresmikan pada Februari 1982. Beberapa GPS receiver (Topcon, Leica, dan
Trimble) dapat menangkap kedua sinyal satelit GPS dan GLONASS secara simultan.
Teknologi GNSS ini telah berkembang dan banyak diterapkan pada penentuan
posisi teliti titik-titik dalam jaringan dari waktu ke waktu. Hal ini bermanfaat pada
pemantauan deformasi suatu objek. GNSS telah diaplikasikan untuk pengamatan
dinamika bumi (geodinamika) seperti pergerakan sesar, lempeng tektonik, yang
selanjutnya dipakai untuk prediksi gempa bumi dan letusan gunung berapi (Abidin,
1995). GNSS pun telah dikembangkan menjadi bentuk stasiun permanen dan secara
kontinyu merekam data GNSS dan memberikan layanan data kepada pengguna,
stasiun ini biasa disebut sebagai GNSS-CORS.
I.8.5. GNSS-CORS Indonesia (Ina-CORS)
CORS (Continuously Operating Reference Station) adalah suatu teknologi
berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik. Pada setiap
titik CORS ini dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari
satelit-satelit GNSS. Stasiun CORS beroperasi secara penuh dan kontinyu selama 24
jam perhari, 7 hari per minggu untuk mengumpukan, merekam, mengirim data
pengamatan GNSS, dan memungkinkan para pengguna memanfaatkan data dalam
penentuan posisi, baik secara post-processing maupun secara real time.
Di Indonesia stasiun permanen CORS dikelola oleh BIG dan diberi nama InaCORS. Jumlah Ina-CORS yang telah dioperasikan adalah sebanyak 124 stasiun terdiri atas
102 yang didanai dengan APBN, 19 stasiun didanai oleh kerjasama Indonesia dengan
Jerman (program Ina-TEWS), dan tiga stasiun didanai dari Delft University of Technology
13
(TU Delft) di Palu, Watau dan Toboli (Sulawesi) (Aditiya, dkk., 2014). Lokasi stasiun
CORS ini ditempatkan tersebar di seluruh Indonesia pada beberapa pulau utama yakni
Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, Maluku dan Papua.
I.8.6. Penentuan Posisi Relatif dengan Pengamatan GNSS-CORS
Penentuan posisi relatif dengan GNSS-CORS ini pada dasarnya sama dengan
penentuan posisi relatif dengan pengamatan receiver GNSS pada umumnya. Pada
penentuan posisi dengan metode relatif, posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap
titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif melibatkan
setidaknya dua receiver GNSS, titik-titik stasiunnya statik (tidak bergerak) maupun
bergerak (kinematik), dan pengolahan data umunya dilakukan secara post-processing
untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi (Abidin, 2003). Ilustrasi penentuan
posisi secara relatif statik dengan GNSS di atas model bumi elipsoid ditunjukkan
pada Gambar I.4. berikut ini :
Gambar I.4. Ilutrasi penentuan posisi secara relatif statik dengan GNSS
14
Dalam hal ini,
{X (+), Y(+), Z(+)}SKL : salib sumbu sistem koordinat langit 3D
{X (+), Y(+), Z(+)}SKO : salib sumbu sistem koordinat orbit 3D
{X (+), Y(+), Z(+)}SKT : salib sumbu sistem koordinat terestrial 3D
(SV)i
: satellite vehicle ke-i
Titik A dan B
: posisi receiver di permukaan bumi
(φ, λ, h)
: lintang, bujur, dan tinggi geodetik mengacu pada
elipsoid WGS ‘84
(X, Y, Z)A,B
: koordinat kartesian 3D titik A dan B
N
: jari-jari kelengkungan vertikal utama
O
: origin yang berhimpit dengan pusat massa bumi
Ω
: asensio rekta dari ascending node
ω
: argument of perigee
a
: setengah sumbu panjang bidang orbit
i
: inklinasi bidang orbit
AN
: titik ascending node
DN
: titik descending node
Dalam hal ini elipsoid yang dipakai adalah WGS ’84, pendefinisian parameternya
sebagai berikut (Sunantyo, 2000) :
Setengah sumbu panjang (a)
= 6378137 ± 2 m
Penggepengan (f)
= 1/298,257223563
Setengah sumbu pendek (b)
= 6356752,3142 m
Konstanta gravitasi bumi (GM)
= 3986001,5 x 108 m3/detik2
Gambar I.4 menunjukkan adanya multi-receiver (minimal dua receiver) yang
mengamat dua satelit GNSS secara simultan (waktu pengamatan sama). Pada proses
penentuan posisi secara relatif statik ini biasanya dilakukan pengurangan data yang
diamati oleh lebih dari dua receiver tersebut untuk memperoleh posisi yang lebih
teliti. Hal ini karena pengurangan (differencing) ini bisa mereduksi atau
mengeliminasi efek kesalahan dan bias. Kesalahan jam receiver dan jam satelit dapat
dihilangkan, sedangkan kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, dan efemeris dapat
direduksi, sedangkan efek multipath tidak dapat direduksi (Abidin, 1995). Proses
15
differencing terbagi menjadi tiga metode, yakni metode single differencing, double
differencing, dan triple differencing.
I.8.6.1. Single differencing. Pada metode ini dua data pengamatan one-way
dikurangkan menjadi satu data pengamatan single differencing. Satu pengamatan
one-way didefinisikan pada persamaan I.1 dan I.2 berikut (Abidin, 1995) :
Pi = ρ + dρ + 𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + 𝑑𝑖𝑜𝑛 + (dt – dT) + MPi + vPi ....................................(I.1)
Li = ρ + dρ + 𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + 𝑑𝑖𝑜𝑛 + (dt – dT) + λ.Ni + MCi + vCi ........................(I.2)
Dalam hal ini,
Pi
: data ukuran pseudorange pada frekuensi ke-i
Li
: data ukuran fase pada frekuensi ke-i
ρ
: jarak geometrik satelit ke pengamat
dρ
: efek kesalahan orbit satelit
𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝
: kesalahan troposphere
𝑑𝑖𝑜𝑛
: kesalahan ionosphere
dt
: kesalahan jam receiver
dT
: kesalahan jam satelit
MPi
: efek multipath pada data pengamatan pseudorange Pi
vPi
: noise pada data pengamatan pseudorange Pi
λ
: panjang gelombang sinyal GNSS
N
: ambiguitas fase
MCi
: efek multipath pada data fase Li
vCi
: noise pada pada data fase Li
Berdasarkan cara pengurangannya, single differencing terbagi menjadi tiga yakni
antar satelit (∇), antar pengamat (∆), dan antar kala (𝛿). Teknik single differencing
antar satelit dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat satu pengamat, dua
satelit, dan satu kala. Persamaan single differencing antar satelit ditunjukkan pada
persamaan I.3 dan I.4.
∇𝑃 = ∇ρ + ∇dρ + ∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∇𝑑𝑖𝑜𝑛 − ∇dT + ∇MP + ∇vP ..................(I.3)
∇𝐿 = ∇ρ + ∇dρ + ∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∇𝑑𝑖𝑜𝑛 − ∇dT + λ. ∇N + ∇MC + ∇vC …..(I.4)
Berdasarkan persamaan I.3 dan I.4, teknik single differencing antar satelit dapat
16
mengeliminasi kesalahan jam satelit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer.
Teknik single differencing antar pengamat dilakukan pada kondisi pengamatan
dimana terdapat dua pengamat, satu satelit, dan satu kala. Persamaan single
differencing antar pengamat ditunjukkan pada persamaan I.5 dan I.6.
∆𝑃 = ∆ρ + ∆dρ + ∆𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆dt + ∆MP + ∆vP ..................(I.5)
∆𝐿 = ∆ρ + ∆dρ + ∆𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆dt + λ. ∆N + ∆MC + ∆vC ….(I.6)
Berdasarkan persamaan I.5 dan I.6, teknik single differencing antar pengamat dapat
mengeliminasi kesalahan jam satelit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer
dengan catatan kondisi meteorologis pada kedua pengamat relatif sama.
Teknik single differencing antar kala dilakukan pada kondisi pengamatan
dimana terdapat satu pengamat, satu satelit, dan dua kala. Persamaan single
differencing antar pengamat ditunjukkan pada persamaan I.7 dan I.8.
𝛿𝑃 = 𝛿ρ + δdρ + 𝛿𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + δdt − δdT + δMP + δvP .........(I.7)
𝛿𝐿 = 𝛿ρ + δdρ + 𝛿𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + δdt − δdT + δMC + δvC ..........(I.8)
Berdasarkan persamaan I.7 dan I.8, teknik single differencing antar kala dapat
mengeliminasi kesalahan ambiguitas fase, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer
tergantung pada besarnya selang waktu antar kala.
I.8.6.2. Double differencing. Pada metode ini dua data pengamatan single
differencing dikurangkan menjadi satu data pengamatan double differencing.
Berdasarkan cara pengurangannya, dikenal menjadi tiga jenis double differencing,
yakni pengamat-satelit (∆∇), satelit-kala (∆𝛿), dan pengamat-kala (∆𝛿). Teknik
double differencing antara pengamat dan satelit dilakukan pada kondisi pengamatan
dimana terdapat dua pengamat, dua satelit, dan satu kala. Persamaan double
differencing antara pengamat dan satelit ditunjukkan pada persamaan I.9 dan I.10.
∆∇𝑃 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇MP + ∆∇vP ....................(I.9)
∆∇𝐿 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + λ. ∆∇N + ∆∇MC + ∆∇vC ...(I.10)
Berdasarkan persamaan I.9 dan I.10, teknik double differencing antara pengamatsatelit dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan jam satelit, mereduksi
kesalahan orbit dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer dengan catatan kondisi
meteorologis kedua pengamat relatif sama.
17
Teknik double differencing antara satelit dan kala dilakukan pada kondisi
pengamatan dimana terdapat satu pengamat, dua satelit, dan dua kala. Persamaan
double differencing antara satelit dan kala ditunjukkan pada persamaan I.11 dan I.12.
∆∇𝑃 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dT + ∆∇MP + ∆∇vP ....(I.11)
∆∇𝐿 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dT + ∆∇MC + ∆∇vC .....(I.12)
Berdasarkan persamaan I.11 dan I.12, teknik double differencing antara satelit dan
kala dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver, mengeliminasi ambiguitas fase
dengan catatan tidak ada cycle slips, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer
tergantung besarnya selang waktu antar kala.
Teknik double differencing antara pengamat dan kala dilakukan pada kondisi
pengamatan dimana terdapat dua pengamat, satu satelit, dan dua kala. Persamaan
double differencing antara satelit dan kala ditunjukkan pada persamaan I.13 dan I.14.
∆∇𝑃 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dt + ∆∇MP + ∆∇vP .....(I.13)
∆∇𝐿 = ∆∇ρ + ∆∇dρ + ∆∇𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇dt + ∆∇MC + ∆∇vC .....(I.14)
Berdasarkan persamaan I.13 dan I.14, teknik double differencing antara pengamat
dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam satelit, mengeliminasi ambiguitas fase
dengan catatan tidak ada cycle slips, mereduksi kesalahan orbit, dan mereduksi bias
troposfer dan ionosfer.
I.8.6.3. Triple differencing. Pada metode ini dua data pengamatan double
differencing dikurangkan menjadi satu data pengamatan triple differencing. Dalam
hal ini delapan data one-way dikurangkan menjadi satu pengamatan triple
differencing. Berdasarkan cara pengurangannya, dikenal menjadi satu jenis triple
differencing, yakni pengamat-satelit-kala (∆∇δ). Teknik triple differencing antara
pengamat, satelit, dan kala dilakukan pada kondisi pengamatan dimana terdapat dua
pengamat, dua satelit, dan dua kala. Persamaan triple differencing antara pengamat,
satelit, dan kala ditunjukkan pada persamaan I.15 dan I.16.
∆∇δ𝑃 = ∆∇δρ + ∆∇δdρ + ∆∇δ𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 + ∆∇δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇δMP + ∆∇δvP ....(I.15)
∆∇δ𝐿 = ∆∇δρ + ∆∇δdρ + ∆∇δ𝑑𝑡𝑟𝑜𝑝 − ∆∇δ𝑑𝑖𝑜𝑛 + ∆∇δMC + ∆∇δvC .....(I.16)
Berdasarkan persamaan I.15 dan I.16, teknik triple differencing antara pengamat,
satelit, dan kala dapat mengeliminasi kesalahan jam receiver dan jam satelit,
mengeliminasi ambiguitas fase dengan catatan tidak ada cycle slips, mereduksi
18
kesalahan orbit, dan mereduksi bias troposfer dan ionosfer. Teknik ini sering dipakai
untuk mengedit cycle slips secara otomatis.
I.8.7. Pengolahan Data Pengamatan GNSS-CORS dengan GAMIT/GLOBK
GAMIT/GLOBK adalah sebuah paket perangkat lunak komprehensif untuk
analisis data GPS yang dikembangkan oleh Masshachusstes Institute of Technology
(MIT), Harvard-Simthsonian Center for Astrophysics (CfA) dan Scripps Institution
of Oceanography (SIO). GAMIT/GLOBK terdiri dari dua program utama, yakni
GAMIT dan GLOBK. GAMIT adalah singkatan dari GPS Analysis of
Masshachusstes Institute of Technology. GAMIT adalah program yang memasukkan
algorithma hitung kuadrat terkecil metode parameter berbobot untuk mengestimasi
posisi relatif dari sekumpulan stasiun, parameter orbit dan rotasi bumi, zenith delay
dan ambiguitas fase melalui pengamatan double difference (Anonim, 2000).
Perangkat lunak ini didesain untuk running dalam sistem operasi berbasis UNIX.
Perangkat lunak ini melibatkan bahasa Fortran atau C untuk proses compile di
direktori /libraries, /gamit dan /kf . Pada perkembangan terakhir, GAMIT menjadi
perangkat lunak ilmiah fully automatic processing pada pertengahan 1990 yang
menyertakan data stasiun-stasiun kontinyu di seluruh dunia diantaranya IGS
(Anonim, 2000).
GLOBK adalah paket program yang menerapkan algorithma Kalman Filtering
untuk mengkombinasikan hasil pemrosesan data survei terestris ataupun data survei
ekstra terestris, sehingga dapat menghasilkan koordinat posisi stasiun dan
kecepatannya. Kunci dari data input pada GLOBK adalah matriks kovarian dari data
koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil
pengamatan lapangan (Herring, dkk., 2006). Sebagai file input digunakan H-Files
hasil pengolahan dengan GAMIT. Namun selain hasil pengolahan GAMIT, GLOBK
juga dapat menerima input file hasil pengolahan dari perangkat lunak ilmiah lain,
misal : GIPSY dan Bernesse (Herring, dkk., 2006). Terdapat tiga moda aplikasi yang
dapat dijalankan dengan menggunakan GLOBK, yaitu :
a. Mengkombinasikan hasil pengolahan individual (misal: harian) untuk
menghasilkan koordinat stasiun rata-rata dari pengamatan yang dilakukan
lebih dari satu hari (multidays);
19
b. Mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk
menghasilkan koordinat stasiun;
c. Melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individual, yang
digunakan untuk menggeneralisasikan data runut waktu (time series) dari
pengamatan teliti harian atau tahunan.
I.8.7.1. Perataan Jaring dengan GAMIT. Pengolahan data GNSS menggunakan
perataan jaring GPS dengan hitung perataan kuadrat terkecil metode parameter
berbobot (weighted constraint) kemudian dilanjutkan dengan Kalman Filtering untuk
mendapatkan nilai estimasi koordinat stasiun. Metode hitung perataan parameter
berbobot ini diterapkan pada perangkat lunak GAMIT. Metode hitungan ini memakai
data pseudorange dan carrier phase dan juga memakai metode diferensial double
differencing atau triple differencing. Dalam hal ini, metode double difference
pengamat-satelit pada sub-bab I.8.6.2 dipakai sebagai persamaan observasi. Pada
kondisi pengamatan double difference pengamat-satelit, terdapat dua receiver pada
stasiun A dan B, dengan vektor kordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai (XA, YA,
ZA) dan (XB, YB, ZB), stasiun A ditentukan koordinatnya. Untuk persamaan double
difference, pengamatan dilakukan terhadap empat satelit yaitu i ,j,k,dan l, sehingga
didapatkan 8 persamaan jarak ρiA ,ρjA ,ρkA ,ρlA ,ρiB ,ρjB ,ρkB , dan ρlB yang secara umum
mengikuti persamaan umum yang disajikan pada persamaan I.17 berikut (Rizos,
1997) :
𝜌𝐴𝑖 = √[𝑋 𝑖 (𝑡) − 𝑋𝐴 ]2 + [𝑌 𝑖 (𝑡) − 𝑌𝐴 ]2 +[𝑍 𝑖 (𝑡) − 𝑍𝐴 ]2 ........................................ (I.17)
Dalam hal ini,
i : notasi untuk satelit ke-n
A: notasi untuk stasiun ke-m
Nilai pendekatan bagi koordinat stasiun A ditetapkan sebagai (XA0,YA0, ZA0), sehingga
persamaan koreksi stasiun A berubah menjadi persamaan I.18 s.d. I.20 berikut ini.
XA = XA0 + dXA...................................................................................................... (I.18)
YA = YA0 + dYA...................................................................................................... (I.19)
ZA = ZA0 + dZA...................................................................................................... (I.20)
Dalam menyelesaikan persamaan I.17, maka dilakukan proses linierisasi dengan
deret Taylor, sehingga mengasilkan delapan persamaan linierisasi bagi jarak ρAi(t),
20
ρAj(t), ρAk(t), ρAl(t), ρBi(t), ρBj(t), ρBk(t),dan
ρBl(t) yang secara umum mengikuti
persamaan I.21 berikut :
𝜌𝐴𝑖 (𝑡) = 𝜌𝐴𝑖0 + 𝑐𝑥 𝑖 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + 𝑐𝑦 𝑖 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + 𝑐𝑧 𝑖 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 ...................................... (I.21)
Dalam hal ini,
i
: notasi untuk satelit ke-n
i0
: notasi nilai pendekatan jarak antara satelit ke-n dengan stasiun ke-m
A
: notasi untuk stasiun ke-m
cx
: differensial parsial persamaan terhadap dX
cy
: differensial parsial persamaan terhadap dY
cz
: differensial parsial persamaan terhadap dZ
Pembentukan matriks bobot pengamatan sendiri mengacu pada penurunan rumus
bobot pengamatan carrier phase secara double difference oleh Popovas dan
Radzeviviute (2001). Dalam hal ini, dibentuk tiga persamaan double difference
dengan stasiun A sebagai stasiun acuan dan satelit i sebagai satelit acuan dalam
proses double difference. Tiga persamaan tersebut ditunjukkan pada persaman I.22
s.d. I.24 berikut (Popovas dan Radzeviviute, 2001) :
𝑖𝑗
𝑗
𝑗
∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡)....................................................... (I.22)
𝑘
𝑘
𝑖
𝑖
∆∇𝐿𝑖𝑘
𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵 (𝑡) + 𝜌𝐴 (𝑡)....................................................... (I.23)
∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐴𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡)....................................................... (I.24)
Berdasarkan persamaan I.22 s.d. I.24, kemudian dibentuk matriks desain seperti
ditunjukkan persamaan I.25 s.d. I.27 berikut :
1
𝐶 = [1
1
−1 0
0 −1 1 0
0 −1 0 −1 0 1
0
0 −1 −1 0 0
𝜌 = [𝜌𝐴𝑖 (𝑡)
𝑗
𝜌𝐴 (𝑡)
𝜌𝐴𝑘 (𝑡)
𝜌𝐴𝑙 (𝑡)
0
0] ........................................................... (I.25)
1
𝜌𝐵𝑖 (𝑡)
𝑗
𝜌𝐵 (𝑡)
𝜌𝐵𝑘 (𝑡)
𝑇
𝜌𝐵𝑙 (𝑡)] ........... (I.26)
𝑖𝑗
∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡)
𝐷𝐷 = [∆∇𝐿𝑖𝑘
] ................................................................................................ (I.27)
𝐴𝐵 (𝑡)
𝑖𝑙 (𝑡)
∆∇𝐿𝐴𝐵
Dalam hal ini,
C
: matriks desain double difference
21
ρ
: matriks yang berisi besaran jarak
DD : matriks yang berisi besaran double difference
Matriks kovarian mengikuti persamaan cov(DD) = Ccov(ρ)CT. Selanjutnya
persamaan tersebut disederhanakan menjadi cov(DD) = σ2CCT , karena adanya fase
yang tidak berkorelasi. Matriks CCT yang dihasilkan ditunjukkan pada persamaan
I.28 berikut :
4
𝐶𝐶 = [2
2
𝑇
2 2
4 2] ................................................................................................ (I.28)
2 4
Adapun matriks bobot pengamatan (P1) dirumuskan sebagai inverse dari matriks
CCT, yakni 𝑃1 = (𝐶𝐶 𝑇 )−1, sehingga matriks bobotnya seperti disajikan pada
persamaan I.29 berikut :
3 −1 −1
𝑃1 = 8 [−1
3 −1] ........................................................................................ (I.29)
−1 −1
3
1
𝑖𝑗
𝑖𝑗
Faktor ambiguitas pada fase (𝑁𝐴𝐵 ) dan faktor noise (rC𝐴𝐵 ) pada pengukuran jarak
kemudian ditambahkan pada persamaan I.22 s.d. I.24, sehingga diperoleh persamaan
I.30 s.d. I.32 berikut ini :
𝑖𝑗
𝑖𝑗
𝑗
𝑗
𝑖𝑗
∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡) − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............. (I.30)
𝑖𝑘
𝑘
𝑘
𝑖
𝑖
𝑖𝑘
∆∇𝐿𝑖𝑘
𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = 𝜌𝐵 (𝑡) − 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜌𝐵 (𝑡) + 𝜌𝐴 (𝑡) − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵 ............. (I.31)
𝑖𝑙 (𝑡)
𝑖𝑙
∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵
= 𝜌𝐵𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐴𝑙 (𝑡) − 𝜌𝐵𝑖 (𝑡) + 𝜌𝐴𝑖 (𝑡) − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵
............. (I.32)
Selanjutnya dengan menggunakan penyelesaian double differencing dihasilkan
persamaan I.33 s.d. I.35 berikut :
𝑖𝑗
𝑖𝑗
𝑖𝑗 0
𝑖𝑗
∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = ∆∇𝜌𝐴𝐵 (𝑡) − ∇𝑐𝑥 𝑖𝑗 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + ∇𝑐𝑦 𝑖𝑗 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + ∇𝑐𝑧 𝑖𝑗 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵
............................................................................................................................. (I.33)
0
𝑖𝑘
𝑖𝑘
𝑖𝑘
𝑖𝑘
𝑖𝑘
𝑖𝑘
∆∇𝐿𝑖𝑘
𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵 (𝑡) = ∆∇𝜌𝐴𝐵 (𝑡) − ∇𝑐𝑥 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + ∇𝑐𝑦 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + ∇𝑐𝑧 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵
............................................................................................................................. (I.34)
0
𝑖𝑙 (𝑡)
𝑖𝑙 (𝑡)
𝑖𝑙
∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) + ∆∇rC𝐴𝐵
= ∆∇𝜌𝐴𝐵
− ∇𝑐𝑥 𝑖𝑙 (𝑡). 𝑑𝑋𝐴 + ∇𝑐𝑦 𝑖𝑙 (𝑡). 𝑑𝑌𝐴 + ∇𝑐𝑧 𝑖𝑙 (𝑡). 𝑑𝑍𝐴 − 𝜆. ∆∇𝑁𝐴𝐵
............................................................................................................................. (I.35)
Dalam hal ini,
∇𝑐𝑥𝐴 𝑛𝑚 (𝑡)
=+
𝑋 𝑚 (𝑡)−𝑋𝐴
𝑚 (𝑡)
𝜌𝐴
−
𝑋 𝑛 (𝑡)−𝑋𝐴
𝑛 (𝑡)
𝜌𝐴
; n, m = satelit ke n, m
22
∇𝑐𝑦𝐴 𝑛𝑚 (𝑡)
=+
∇𝑐𝑧𝐴 𝑛𝑚 (𝑡)
=+
𝑌 𝑚 (𝑡)−𝑌𝐴
𝑚
𝜌𝐴
(𝑡)
𝑍 𝑚 (𝑡)−𝑍𝐴
𝑚
𝜌𝐴
(𝑡)
−
−
𝑌 𝑛 (𝑡)−𝑌𝐴
𝑛
𝜌𝐴
(𝑡)
𝑍 𝑛 (𝑡)−𝑍𝐴
𝑛
𝜌𝐴
(𝑡)
; n, m = satelit ke n, m
; n, m = satelit ke n, m
Persamaan double difference antara pengamat dan satelit pada persamaan I.33 s.d.
I.35 ini menggunakan data beda fase. Selanjutnya, dilakukan hitung kuadrat terkecil
metode parameter berbobot untuk mendapatkan posisi pengamat A.
Hitung perataan metode berbobot melibatkan parameter yang juga dianggap
sebagai ukuran karena memiliki kesalahan. Bobot dalam metode ini terdiri atas dua,
yakni bobot ukuran data fase dan bobot parameter yang berisi 1/varian komponen
koordinat. Dalam metode ini dikenal dua jenis persamaan pengukuran L1a = F1(xa)
dan L2a = F2(xa). Persamaan pengukuran L2a = F2(xa) merupakan persamaan yang
mengandung suatu parameter yang sudah diketahui/diukur sebelumnya, misalnya
pada xa sebelumnya telah dilakukan pengukuran GPS dengan menghasilkan
koordinat (XA, YA, ZA) dan ketelitiannya. Oleh karena bentuk A2 merupakan bentuk
yang linier sehingga persamaan menjadi L2a = xa. Adapun L1a = F1(xa) adalah
persamaan yang mengandung ukuran murni, dalam hal ini adalah data fase.
Model non-linier dari persamaan metode parameter berbobot disajikan pada
persamaan I.36 dan I.37 (Soeta’at, 1996) :
L1a = F1(xa) .......................................................................................................... (I.36)
L2a = xa .................................................................................................................. (I.37)
Adapun bentuk liniernya disajikan pada persamaan I.38 berikut :
V1  A1 x  L1
V2  A2 x  L2
……...………................................................................................. (I.38)
Model stokastik ditunjukkan oleh matriks bobot P1 dan P2, dan dengan pemilihan
elemen A2 dan P2 yang tepat, maka bisa diperoleh solusi yang dinginkan. Fungsi F2
merupakan fungsi linier, sehingga A2 = I, ini yang disebut parameter berbobot.
Selanjutnya, persamaan I.37 berubah menjadi persamaan I.39 berikut :
L2 a  xa
L2b  xb
………………...........................................................................
(I.39)
L2  x0  xb
23
Dalam hal ini, x0 = pendekatan dan xb = pengukuran. Pada awalnya, x0 diberi nilai
sama dengan xb, kemudian selama iterasi x0 menjadi konvergen ke solusi akhir,
sedang xb tetap tidak berubah.
Matriks A, V, L, dan P didefinisikan seperti persamaan I.40 :
 A1 
V1 
 L1 
P 0 
A    V    L    P   1  ………............................................ (I.40)
0 P2 
 A2 
V2 
 L2 
Hasil pendefinisian pada persamaan I.40 mengubah persamaan I.38 menjadi
persamaan I.41 berikut :
V1   A1   L1 
V    A  x   L  …………….................................................................
 2  2  2
(I.41)
Dalam mengestimasi nilai parameter 𝑥̃, dilakukan dengan prinsip inversi matriks
pada persamaan I.38 dengan menambahkan matriks bobot P, sehingga persamaan
untuk memperoleh parameter ditunjukkan pada persamaan I.42 dan I.43 berikut:

xˆ   AT PA
 AP L ……..........................................................................
1
T


P 0 
1
 A1  
 T
T 

𝑥̃   A1 A2 
 
 0 P2   A2  





1
(I.42)


P 0 
1
 L1  
 T
T 

……........................... (I.43)
 A1 A2  
  L2  


0
P


2




Seperti disebutkan sebelumnya bahwa
A2 = I, sehingga persamaan untuk
mengestimasi nilai parameter berubah menjadi persamaan I.44 berikut :

T
xˆ   A1 P1 A1  P2
 A
1

P L1  P2 L2 .....………..............................…........... (I.44)
T
1 1
Matriks bobot P1 seperti yang dituliskan pada persamaan 13. Adapun P2 adalah
matriks bobot yang dibentuk dari informasi ketelitian yang diwakili oleh varian
(constraint) yang ada pada suatu koordinat stasiun yang dijadikan parameter.
P2 =
1⁄
0
2
𝜎𝑋𝑎
1⁄
0
2
𝜎𝑋𝑎
0
0
0
0
1⁄
2
𝜎𝑋𝑎
0
0
0
........................................................... (I.45)
Dengan demikian matriks A1, L1, A2, L2 , dan 𝑥̃ dapat disajikan pada persamaan I.46
s.d. I.49 berikut :
24
∇𝑐𝑥𝑖𝑗 (𝑡)
𝐴1 = [∇𝑐𝑥𝑖𝑘 (𝑡)
∇𝑐𝑥𝑖𝑙 (𝑡)
∇𝑐𝑦𝑖𝑗 (𝑡)
∇𝑐𝑦𝑖𝑘 (𝑡)
∇𝑐𝑦𝑖𝑘 (𝑡)
𝑖𝑗
∇𝑐𝑧𝑖𝑗 (𝑡)
∇𝑐𝑧𝑖𝑘 (𝑡)
∇𝑐𝑧𝑖𝑙 (𝑡)
−𝜆
0
0
0
−𝜆
0
0
0 ] .............................. (I.46)
−𝜆
0
∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡) − ∆∇𝜌𝑖𝑗𝐴𝐵 (𝑡)
0
𝑖𝑘
𝐿1 = [∆∇𝐿𝑖𝑘
𝐴𝐵 (𝑡) − ∆∇𝜌𝐴𝐵 (𝑡)] ....................................................................... (I.47)
0
∆∇𝐿𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡) − ∆∇𝜌𝑖𝑙𝐴𝐵 (𝑡)
𝑥̃ =
𝑑𝑋𝐴
𝑑𝑌𝐴
𝑑𝑍𝐴
.......................................................................................................... (I.48)
𝑖𝑗
∆∇𝑁𝐴𝐵
∆∇𝑁𝑖𝑘
𝐴𝐵
[∆∇𝑁𝑖𝑙𝐴𝐵 ]
𝑋0 − 𝑋𝐴
𝑌 − 𝑌𝐴
𝐿2 = [ 0
] .................................................................................................... (I.49)
𝑍0 − 𝑍𝐴
0
Dalam hal ini,
V
: Matriks residu
P
: Matriks bobot
A
: Matriks desain
𝑥̃
: Matriks parameter
0
𝑛𝑚 (𝑡)
∆∇𝜌𝐴𝐵
𝑖𝑗
: Jarak satelit-pengamat pendekatan ; n, m = satelit ke n, m
∆∇𝐿𝐴𝐵 (𝑡)
: Matriks ukuran
𝑛𝑚
∆∇𝑁𝐴𝐵
: Nilai ambiguitas fase integer (bulat) yang belum diketahui
Penyelesaian hitungan untuk memperoleh nilai parameter pada matriks 𝑥̃ adalah
dengan persamaan I.44. Hasil pengolahan data pengamatan menggunakan GAMIT
berupa solusi bias-fixed dan bias-free. Solusi ini didapatkan dari perhitungan double
difference data beda fase yang dilakukan dua kali, yaitu dengan ambiguity-fixed dan
ambiguity-float. Hasil hitungan parameter ini disimpan pada H-Files. Pengolahan ini
disebut juga sebagai pengolahan secara loosely constraint. Dalam mendapatkan
koordinat akhir, maka solusi loosely constraint GAMIT ini diikatkan pada kerangka
ITRF dalam GLOBK.
25
I.8.7.2. Perataan jaring berbasis Kalman Filtering pada modul GLOBK.
GLOBK merupakan proses Kalman Filtering untuk mengkombinasikan solusi-solusi
hasil pengolahan data primer hasil pengamatan terestris maupun ekstra-terestris
(space geodesy). Kalman Filtering adalah suatu metode estimasi parameter dengan
kuadrat terkecil yang mampu menyelesaikan masalah terkait waktu. Kunci dari
metode ini adalah updating. Proses ini merupakan proses dimana jika terdapat
pengamatan baru pada titik-titik yang sama, maka pengamatan baru tersebut akan
mengubah estimasi parameter hasil hitungan perataan yang sudah dilakukan.
Perubahan tersebut dihitung untuk memperoleh estimasi parameter yang baru. Nilai
estimasi yang baru tersebut bisa dinyatakan dalam bentuk persamaan I.50 berikut
(Strang and Borre, 1997) :
𝑥̃𝑛𝑒𝑤 = 𝐿𝑥̃𝑜𝑙𝑑 + 𝐾𝑏𝑛𝑒𝑤 ........................................................................................ (I.50)
Kunci dari metode Kalman Filtering ada empat butir, yaitu :
1. Prosesnya bersifat rekursif, artinya pengamatan yang lama tidak disimpan
sebagai 𝑏𝑜𝑙𝑑 , karena sudah digunakan pada estimasi 𝑥̃𝑜𝑙𝑑
2. Persamaan I.50 dapat diturunkan menjadi persamaan baru yang ekivalen
dengan memisahkan nilai prediksi dan koreksi seperti pada persamaan I.51
berikut :
𝑥̃𝑛𝑒𝑤 = 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 + 𝐾(𝑏𝑛𝑒𝑤 − 𝐴𝑛𝑒𝑤 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 ) ...................................................... (I.51)
Berdasarkan persamaan 2, dapat diketahui bahwa pengukuran prediksi
𝐴𝑛𝑒𝑤 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 dapat diperoleh dari estimasi parameter 𝑥̃𝑜𝑙𝑑 , sedangkan koreksi 𝑥̃
adalah besarnya nilai 𝐾(𝑏𝑛𝑒𝑤 − 𝐴𝑥̃𝑜𝑙𝑑 ).
3. Proses updating matriks kovarian P. Matriks kovarian P adalah matriks
−1
kovarian kesalahan dari parameter estimasi 𝑥̃ (𝑃 = (𝐴𝑇 ∑𝑒 𝐴) ). Matriks P
dinyatakan sebagai nilai statistik 𝑥̃ berdasarkan nilai 𝑏. Matriks P atau
matriks kovarian kesalahan dari parameter 𝑥̃ ini yang dilakukan updating,
apabila ada penambahan pengukuran 𝑏𝑛𝑒𝑤 dengan kesalahan pengukuran Σe,
new ,
sehingga Pnew bisa disajikan seperti pada persamaan I.52 berikut:
𝑃𝑛𝑒𝑤 = (𝐼 − 𝐾𝐴)𝑃𝑜𝑙𝑑 (𝐼 − 𝐾𝐴)𝑇 + 𝐾 ∑𝑒,𝑛𝑒𝑤 𝐾 𝑇 ...................................... (I.52)
4. Pada butir 1,2, 3 masih menggambarkan problem kuadrat terkecil yang
bersifat statis, sedangkan dengan Kalman Filtering kuadrat terkecil dipakai
26
untuk problem dinamis. Sebagai contoh, pada penentuan posisi GPS, posisi
saat k (xk) belum tentu sama dengan posisi saat k-1 (xk-1) yang memiliki
kesalahan sebesar 𝜀𝑘 seperti ditunjukkan pada persamaan I.53 berikut :
𝑥𝑘 = 𝐹𝑘−1 𝑥𝑘−1 + 𝜀𝑘 ................................................................................ (I.53)
Adapun persamaan pengukuran yang baru dengan masukan kondisi baru 𝑥𝑘
dan pengukuran baru 𝑏𝑘 , serta kesalahan 𝑒𝑘 seperti ditunjukkan pada
persamaan I.54 berikut :
𝑏𝑘 = 𝐴𝑘 𝑥𝑘 + 𝑒𝑘 ....................................................................................... (I.54)
Persamaan I.52 s.d. I.54 menunjukkan bahwa proses updating terdiri atas dua
tahap yaitu prediksi dan koreksi. Konsep-konsep metode Kalman Filtering
inilah yang dipakai dalam proses pengolahan dengan modul GLOBK.
Dalam modul GLOBK sendiri terdapat tiga program utama, yaitu GLRED,
GLORG, dan GLOBK. GLOBK mengkombinasikan data pengolahan harian GAMIT
untuk mendapatkan estimasi posisi rata-rata titik pengamatan. Pengikatan titik-titik
pengamatan terhadap titik-titik referensi dilakukan dengan GLORG, GLRED hampir
sama dengan GLOBK, bedanya GLRED memperlakukan H-Files dari masingmasing hari secara terpisah, sehingga ketelitian posisi yang diperoleh dapat
digabungkan per waktu tertentu (Herring, dkk., 2006).
I.8.7.3.Evaluasi hasil pengolahan dengan GAMIT. Evaluasi hasil pengolahan
dengan
menggunakan
perangkat
lunak
GAMIT
dapat
dilakukan
dengan
memperhatikan dua parameter evaluasi GAMIT, yaitu nilai postfit nrms dan nilai
fract (Herring, 2010).
1. Postfit nrms (normalized root mean square). Nilai postfit nrms ditentukan
dengan persamaan I.55 :
√𝑥 2
𝑐ℎ𝑖−𝑠𝑞𝑢𝑎𝑟𝑒
Postfit nrms = √(𝑛−𝑢) = 𝑑𝑒𝑔𝑟𝑒𝑒 𝑜𝑓 𝑓𝑟𝑒𝑒𝑑𝑜𝑚............................................................. (I.55)
Dengan nilai 𝑥 2 =
𝜕𝑜2
𝜃𝑜2
......................................................................................... (I.56)
Dalam hal ini,
𝜕𝑜2 : varian apriori untuk unit bobot
𝜃𝑜2 : varian aposteori untuk unit bobot
27
𝑛
: jumlah ukuran
𝑢
: ukuran minimum
Berdasarkan persamaan 1.55 dan I.56 dapat diketahui bahwa nilai nrms adalah akar
dari perbandingan antara varian aposteori dan varian apriori untuk unit bobot
tertentu. Standar kualitas nilai postfit nrms pada GAMIT adalah berkisar ± 0,25, jika
nilainya lebih besar dari 0,5, maka masih terdapat cycle slips yang belum dihilangkan
atau berkaitan dengan parameter bias ekstra ataupun bisa juga karena terdapat
kesalahan dalam melakukan pemodelan (Anonim, 2000).
2. Fract. Fract merupakan hasil perbandingan antara nilai adjust dan nilai
formal. Nilai fract dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah ada nilai adjust
yang janggal dan perlu tidaknya diberikan iterasi untuk mendapatkan nilai adjust
yang bebas dari efek non-linear. Nilai adjust menunjukkan besarnya perataan yang
diberikan terhadap parameter yang digunakan dalam perhitungan. Nilai formal
disebut juga nilai formal error. Nilai formal menunjukkan ketidakpastian pada
pemberian data bobot untuk perhitungan kuadrat terkecil. Sesuai standar GAMIT,
besarnya nilai fract tidak boleh lebih dari 10 (fract < 10) (Herring, dkk., 2006). Nilai
fract diperoleh dari persamaan I.57.
𝑓𝑟𝑎𝑐𝑡 =
𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡
𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑙
.............................................................................................. (I.57)
I.8.7.4. Evaluasi hasil pengolahan dengan GLOBK. Hasil pengolahan pada
GLOBK dapat dievaluasi melalui log file yang berisi nilai simpangan baku yang
dapat digunakan untuk menganalisis koordinat stasiun observasi dan nilai chi-square
per degree of freedom. Selain itu, dilakukan pula analisis pada plot time series untuk
mengetahui outliers yang terjadi dan konsistensi data harian. Nilai wrms juga
digunakan untuk mengevaluasi hasil dari pengolahan GLOBK. Menurut Panuntun
(2012), nilai wrms yang baik adalah di bawah 10 mm.
I.8.8. Perhitungan Kecepatan Pergeseran Stasiun
Besar kecepatan pergeseran stasiun GNSS dihitung menggunakan prinsip
Kalman Filtering dalam GLOBK pada sub-bab I.8.7.2 dengan persamaan I.58
berikut (Panuntun, 2012) :
Xti = Xt0 + (ti – t0)v ............................................................................................. (I.58)
28
Dalam hal ini,
Xti
: koordinat stasiun pengamatan pada epok ti
Xt0
: koordinat stasiun pengamatan pada eopk t0
v
: kecepatan pergerseran stasiun
Resultan vektor pergeseran stasiun selanjutnya dihitung dengan persamaan I.59 :
𝑉𝑅 = 𝑉𝑁 + 𝑉𝐸 ....................................................................................................... (I.59)
Dalam hal ini,
VR
: resultan kecepatan pergeseran stasiun
VN
: kecepatan pergeseran stasiun pada komponen North
VE
: kecepatan pergeseran stasiun pada komponen East
Adapun arah vektor pergeseran stasiun selanjutnya dihitung dengan persamaan I.60 :
𝛼 = 𝑡𝑎𝑛
𝑣𝑒
𝑣𝑛
......................................................................................................... (I.60)
Dalam hal ini,
α
: arah vektor pergeseran horizontal stasiun
I.8.9. Analisis Regangan 3D
1.8.9.1 Konsep Regangan. Istilah regangan terkait dengan istilah tegangan,
pergeseran, dan perubahan bentuk. Sebuah gaya tegangan (stress) yang bekerja pada
sebuah
benda menyebabkan terjadinya perubahan panjang dan arah relatif
(regangan/strain), kemudian kumpulan regangan pada benda menyebabkan
terjadinya perubahan posisi (pergeseran/displacement), sebagai hasil dari perubahan
posisi ini adalah terjadinya perubahan ukuran dan bentuk pada suatu benda (size and
shape changes).
Regangan adalah deformasi yang terjadi per unit panjang suatu materi
(Widjajanti, 1997). Regangan digambarkan dalam bentuk tensor, yakni suatu vektor
yang mempertimbangkan kerangka waktu. Regangan terdiri atas dua jenis, yakni
regangan normal (e) dan regangan geser (γ). Regangan normal (extensional strain)
adalah perubahan ukuran panjang (penambahan panjang) benda sepanjang arah yang
spesifik (searah sumbu benda). Sedangkan regangan geser adalah perubahan sudut
antara dua arah yang spesifik (Sadd, 2005). Regangan geser ini menyebabkan
deformasi sudut/dilatasi. Berikut disajikan regangan normal (Gambar 1.5) dan
29
regangan geser (Gambar 1.6 dan 1.7).
Kubus biru :
Ilustrasi bentuk materi mula-mula
Kubus garis putus-putus warna jingga :
Ilustrasi perubahan bentuk materi mula-mula
karena terkena suatu gaya
Gambar I.5. Ilustrasi regangan normal pada ruang 3D
Pada Gambar I.5 diketahui bahwa suatu materi mula-mula berbentuk kubus
(warna biru) kemudian karena bekerja suatu gaya sehingga bertambah volumenya
(warna jingga). Panjang asal suatu materi dinyatakan dalam X dan Y, dengan
masing-masing penambahan panjang dx dan dy. Apabila (u, v, w) merupakan
komponen perpindahan dari sebuah titik A pada arah masing-masing sumbu X, Y,
dan Z yang melewati suatu titik lain, maka pertambahan panjang elemen AD pada
sumbu X dinyatakan dalam satuan penambahan panjang (δu/δx) dan dapat
dinyatakan dalam persamaan I.61 :
𝑒𝑥𝑥 =
(𝐴′ 𝐷 ′ −𝐴𝐷)
𝐴𝐷
=
((𝑋+𝑑𝑥)−𝑋)
𝑋
𝛿𝑢
= 𝛿𝑥 ..................................................................... (I.61)
Dengan cara yang sama, satuan perpanjangan AB dalam sumbu Y dinyatakan dalam
persamaan I.62 :
(𝐴′ 𝐵′ −𝐴𝐵)
𝑒𝑦𝑦 =
𝐴𝐵
=
((𝑌+𝑑𝑦)−𝑌)
𝑌
𝛿𝑣
= 𝛿𝑦 ...................................................................... (I.62)
Jika terdapat satu elemen pada sumbu Z, maka perpanjangan titik A searah sumbu Z
diperoleh persamaan I.63 :
𝑒𝑧𝑧 =
(𝐴′ 𝐸 ′ −𝐴𝐸)
Satuan
𝐴𝐸
=
((𝑍+𝑑𝑧)−𝑍)
𝑍
=
𝛿𝑤
𝛿𝑧
....................................................................... (I.63)
perpanjangan exx, eyy, ezz disebut dengan parameter regangan normal.
Masing-masing parameter tersebut dinyatakan dalam perbandingan perubahan
panjang terhadap panjang aslinya (Widjajanti, 1997). Dalam meninjau kejadian
30
regangan geser, disajikanlah Gambar I.6 dan I.7.
Gambar I.6. Ilustrasi regangan geser dalam ruang 3D
Gambar I.7. Ilustrasi proyeksi regangan geser dalam ruang 3D pada bidang XY
Gambar 1.6 dan 1.7 menunjukkan suatu materi terjadi deformasi sudut
(dilatasi) atau yang disebut dengan regangan geser. Pada Gambar I.6 suatu benda
mula-mula berbentuk balok APRQ.BSUT (warna biru), kemudian karena adanya
gaya benda terdeformasi sudutnya menjadi bangun A’P’R’Q’.B’S’U’T’ (warna
jingga). Pada Gambar I.7 menunjukkan proyeksi deformasi sudut suatu benda pada
bidang XY. Mula-mula benda berbentuk persegi panjang (warna merah), kemudian
terdeformasi menjadi jajaran genjang (warna biru). Sebuah elemen garis AP dan AQ
31
mengalami distorsi sudut masing-masing terhadap sumbu Y dan X menjadi A’P’ dan
A’Q’. Jika γ1 adalah sudut apit antara garis A’P’ dengan sumbu Y dan γ2 adalah
sudut apit antara A’Q’ dengan sumbu X dengan asumsi masing-masing γ1 dan γ2
bernilai kecil. Nilai γ1 diperoleh dengan persamaan I.64 dan I.65 :
𝑡𝑎𝑛(𝛾1 ) =
𝛿𝑢/𝛿𝑦
𝛿𝑣
)
𝛿𝑦
1+(
.................................................................................................. (I.64)
𝛾1 = 𝛿𝑢/𝛿𝑦 .......................................................................................................... (I.65)
Dengan cara yang sama, sudut γ2 diperoleh dengan persaman I.66:
𝛾2 = 𝛿𝑣/𝛿𝑥 .......................................................................................................... (I.66)
Dengan demikian diperoleh perpindahan titik P searah sumbu X dan titik Q searah
sumbu Y seperti pada persamaan I.67 dan I.68:
𝛿𝑢
𝑃′ = 𝑢 + (𝛿𝑦 ) 𝑑𝑦 ................................................................................................ (I.67)
𝛿𝑣
𝑄 ′ = 𝑣 + (𝛿𝑥) 𝑑𝑥 ................................................................................................. (I.68)
Berdasarkan Gambar I.9 didapati bahwa dengan asumsi γ1 = γ2, sudut PAQ
berkurang sebesar (γ1+ γ2) menjadi sudut P’A’Q’ yang besarnya adalah (90-( γ1+
γ2)). Dengan demikian, sudut exy yang merupakan regangan geser dari bidang XZ
dan YZ dinyatakan dalam persamaan 1.69 dan 1.70 :
𝛿𝑢
𝛿𝑣
2𝑒𝑥𝑦 = 𝛾1 + 𝛾2 = 𝛿𝑦 + 𝛿𝑥 ................................................................................... (I.69)
1 𝛿𝑢
𝛿𝑣
𝑒𝑥𝑦 = 2 (𝛿𝑦 + 𝛿𝑥) = 1/2𝛾𝑥𝑦 …........................................................................... (I.70)
Nilai exz dan eyz cara perolehannya sama dengan exy. Jadi regangan geser adalah
setengah perubahan sudut dalam benda padat akibat deformasi.
Jika dihubungkan dengan komponen pergeseran u,v, w, maka komponen regangan
seperti pada persamaan I.71 s.d. I.76 :
𝛿𝑢
𝑒𝑥𝑥 = 𝛿𝑥 ............................................................................................................... (I.71)
𝛿𝑣
𝑒𝑦𝑦 = 𝛿𝑦 ............................................................................................................... (I.72)
𝑒𝑧𝑧 =
𝛿𝑤
𝛿𝑧
............................................................................................................... (I.73)
1 𝛿𝑢
𝑒𝑥𝑦 = (
2 𝛿𝑦
+
𝛿𝑣
𝛿𝑥
) = 1/2𝛾𝑥𝑦 ............................................................................... (I.74)
32
1 𝛿𝑤
𝛿𝑢
1 𝛿𝑣
𝛿𝑤
𝑒𝑥𝑧 = 2 ( 𝛿𝑥 + 𝛿𝑧 ) = 1/2𝛾𝑥𝑧 ................................................................................ (I.75)
𝑒𝑦𝑧 = 2 (𝛿𝑧 + 𝛿𝑦 ) = 1/2𝛾𝑦𝑧 ................................................................................ (I.76)
Dalam hal ini,
exx, eyy, ezz
: regangan normal pada masing-masing elemen sumbu X, Y, dan Z
exy, exz , eyz `
: regangan geser pada masing-masing bidang yang terbentuk dari
perpotongan sumbu XY, XZ, dan YZ
γxy, γxy, γxy
: sudut regangan geser pada bidang yang terbentuk dari perpotongan
sumbu XY, XZ, dan YZ
Perolehan nilai dan arah dari suatu regangan bisa dilakukan dengan analisis
regangan.
1.8.9.2. Analisis regangan dalam ruang 3D. Analisis regangan merupakan salah
satu jenis analisis geometrik dalam suatu analisis deformasi. Analisis regangan
merupakan analisis geometrik yang menunjukkan perubahan posisi, bentuk, dan
dimensi suatu materi, dengan menggunakan data pengamatan geodetik langsung dari
regangan, atau menggunakan data regangan yang diperoleh dari perbedaan perataan
data pengamatan geodetik perubahan posisi (Widjajanti, 1997). Suatu regangan
dikatakan 3D jika terdiri atas enam komponen regangan (normal dan geser), yakni
exx, eyy, ezz, exy, exz, dan eyz seperti disajikan pada Gambar 1.5 s.d. 1.7. Keenam
komponen regangan 3D tersebut bersama dengan tiga parameter rotasi (ωx, ωy, ωz)
dan tiga parameter translasi menghasilkan analisis deformasi dalam ruang 3D.
Pendekatan terhadap analisis regangan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis
dasar (Widjajanti, 1997), yaitu :
a. Pendekatan terhadap data pengamatan
Pendekatan ini berdasar pada perhitungan langsung komponen regangan dari
perbedaan data pengamatan yang dilakukan berkala.
b. Pendekatan melalui pergeseran
Pendekatan ini berdasar pada perhitungan komponen regangan langsung dari
perbedaan koordinat-koordinat pergeseran dari titik-titik geodetik yang
diratakan.
Dasar untuk menggambarkan deformasi dalam ilmu-ilmu fisik adalah matriks E.
33
Matriks E tersebut dalam analisis regangan merupakan gradien tensor pergeseran,
yang dapat dinyatakan sebagai persamaan I.77 (Caspary, 1987) :
𝑬=
𝑫(𝒅)
𝑫(𝒙)
................................................................................................................ (I.77)
Matriks E kemudian mentransformasikan posisi X ke pergeseran d, sehingga
diperoleh persamaan I.78 dan I.79:
𝒅(𝑿) = 𝒅 + 𝑬 𝒅𝑿 ............................................................................................... (I.78)
𝛿(𝑑𝑥)
𝛿(𝑑𝑥)
𝛿𝑋
𝛿(𝑑𝑦)
𝛿𝑌
𝛿(𝑑𝑦)
𝛿𝑍
𝛿(𝑑𝑦)
𝛿𝑋
𝛿(𝑑𝑧)
𝛿𝑌
𝛿(𝑑𝑧)
𝛿𝑍
𝛿(𝑑𝑧)
𝛿𝑋
𝛿𝑌
𝛿𝑍
𝛿𝑑
𝛿(𝑑𝑥)
𝐸 = 𝛿𝑋 =
[
]
𝑒𝑥𝑥
= [𝑒𝑦𝑥
𝑒𝑧𝑥
𝑒𝑥𝑦
𝑒𝑦𝑦
𝑒𝑧𝑦
𝑒𝑥𝑧
𝑒𝑦𝑧 ]........................................... (I.79)
𝑒𝑧𝑧
Dalam hal ini,
d
: pergeseran benda kaku
E
: tensor deformasi (terlalu kecil untuk diukur)
dx, dy
: komponen deformasi d(X)
Dalam penerapan tensor deformasi E ke dalam seluruh area atau objek yang sedang
diamati, adalah penting untuk mengasumsikan bahwa deformasi yang terjadi adalah
homogen. Teknik umum untuk melakukan interpretasi E adalah dengan simetrisasi.
Tensor deformasi E yang berbentuk simetris, biasanya diuraikan ke dalam bentuk
penjumlahan matriks simetris ε dengan matriks tidak simetris ω, keduanya
dinyatakan sebagai persamaan I.80 dan I.81 (Widjajanti, 1997) :
E = ½(E + ET) + ½( E – ET) ................................................................................ (I.80)
E = ε + ω ............................................................................................................. (I.81)
Adapun matriks ε dan ω disajikan pada persamaan I.82 dan I.83 berikut:
𝑒𝑥𝑥
(𝑒𝑥𝑦 + 𝑒𝑦𝑥 )
𝜀=
2
(𝑒𝑥𝑧 + 𝑒𝑧𝑥 )
[
2
(𝑒𝑦𝑥 + 𝑒𝑥𝑦 )
2
𝑒𝑦𝑦
(𝑒𝑦𝑧 + 𝑒𝑧𝑦 )
2
(𝑒𝑧𝑥 + 𝑒𝑥𝑧 )
2
𝑒𝑥𝑥
(𝑒𝑧𝑦 + 𝑒𝑦𝑧 )
= [𝑒𝑦𝑥
2
𝑒𝑧𝑥
𝑒𝑧𝑧
𝑒𝑥𝑦
𝑒𝑦𝑦
𝑒𝑧𝑦
𝑒𝑥𝑧
𝑒𝑦𝑧 ]
𝑒𝑧𝑧
]
.............................................................................................................................. (I.82)
34
0
(𝑒𝑥𝑦 − 𝑒𝑦𝑥 )
𝜔=
2
(𝑒𝑧𝑥 − 𝑒𝑥𝑧 )
[
2
(𝑒𝑥𝑦 − 𝑒𝑦𝑥 )
2
0
(𝑒𝑦𝑧 − 𝑒𝑧𝑦 )
2
(𝑒𝑥𝑧 − 𝑒𝑧𝑥 )
2
0
(𝑒𝑧𝑦 − 𝑒𝑦𝑧 )
= [𝜔𝑦𝑥
2
𝜔𝑧𝑥
0
]
𝜔𝑥𝑦
0
𝜔𝑧𝑦
𝜔𝑥𝑧
𝜔𝑦𝑧 ]
0
.............................................................................................................................. (I.83)
Matriks ε pada persamaan I.82 disebut tensor regangan. Elemen diagonal matriks ε
menyatakan regangan normal dalam arah X, Y dan Z. Enam elemen bukan nondiagonal dari matriks ε yaitu 2exy = 2eyx, 2exz = 2ezx, dan 2eyz = 2ezy menyatakan
distorsi sudut terhadap sumbu koordinat atau yang disebut sebagai regangan geser.
Adapun matriks 𝜔 pada persamaan I.83 disebut elemen rotasi gradien tensor
pergeseran E. Setiap elemen yang ada bisa diselesaikan dengan data pengamatan
geodetik melalui estimasi melalui metode hitung perataan (least-square).
I.8.10. Metode Hitungan Regangan dengan Modified Least Square
Metode hitungan dengan Modified Least Square (MLS) diterapkan pada
perangkat lunak grid_strain/grid_strain3. MLS menekankan perhitungan pada
penerapan faktor skala dan pengaruh dari titik terdekat saat mengestimasi regangan,
sehingga bisa mengestimasi regangan pada titik yang jauh dari titik perpotongan grid
yang dibentuk. Perangkat lunak grid_strain/grid_strain3 adalah perangkat lunak
yang dikembangkan oleh Giordano Teza, dkk. pada tahun 2007 untuk perhitungan
nilai regangan pada grid dengan masukan data pergeseran titik. Perangkat lunak
grid_strain mengestimasi regangan pada bidang 2D, sedangkan grid_strain3
mengestimasi regangan dalam ruang 3D dengan tambahan masukan data Digital
Terrain Model (DTM). Perangkat lunak grid_strain3 mengestimasi regangan pada
setiap titik pada DTM dengan membentuk grid yang teratur dengan faktor skala grid
yang tertentu.
I.8.10.1 Pendekatan MLS dalam perhitungan regangan 2D. Perhitungan
regangan pada grid_strain dilakukan menggunakan pendekatan MLS. Konsep
perhitungannya mirip dengan yang diterapkan pada grid_strain. Sebuah kerangka
acuan atau titik yang dihitung regangannya adalah titik P (x p, yp) yang dikelilingi
oleh Experimental Points (EP) berjumlah N (dalam hal ini diberikan tiga titik EP,
35
yakni A, B, dan C). Titik P dihitung nilai regangannya melalui tiga titik data yang
memiliki nilai koordinat posisi (xN, yN) dan kecepatan pergeseran beserta simpangan
bakunya (VXN, VYN, σVXN, σVYN). Titik P ini merupakan simulasi titik grid yang
nantinya dibentuk dalam hitungan metode MLS ini. Suatu sampel titik P ini nantinya
tersebar dalam wilayah dimana EP berada. Pergerakan dan regangan kecil pada titik
P dalam bidang 2D dimodelkan dengan persamaan I.84 dan I.85.
𝑉𝑥 (𝑛) = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 (𝑛) + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 (𝑛) + 𝑈𝑥….............................................................. (I.84)
𝑉𝑦 (𝑛) = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 (𝑛) + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 (𝑛) + 𝑈𝑦.................................................................. (I.85)
Dalam hal ini,
∆𝑥 (𝑛) = 𝑥 (𝑛) − 𝑥 (𝑝)
∆𝑦 (𝑛) = 𝑦 (𝑛) − 𝑦 (𝑝)
𝐿𝑥𝑥 =
𝜕𝑉
𝜕𝑉
𝜕𝑉𝑥⁄
𝜕𝑉𝑥
⁄𝜕𝑦 ; 𝐿𝑦𝑥 = 𝑦⁄𝜕𝑥 ; 𝐿𝑦𝑦 = 𝑦⁄𝜕𝑦
𝜕𝑥 ; 𝐿𝑥𝑦 =
Dalam hal ini,
(∆𝑥 (𝑛) , ∆𝑦 (𝑛) )
: selisih koordinat Y antara EP dengan titik yang diestimasi nilai
regangannya
(𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 ) : elemen gradien pergeseran
(𝑈𝑥, 𝑈𝑦)
: konstanta (komponen kecepatan pada titik yang diestimasi
regangannya)
(𝑉𝑥 (𝑛) , 𝑉𝑦 (𝑛) )
: komponen data kecepatan pergeseran hasil observasi
Berdasarkan persamaan I.84 dan I.85 dan data yang tersedia, maka bisa dilakukan
pendekatan penyelesaian parameter dengan memakai prinsip least square. Terdapat
18 data ukuran dengan enam parameter yang diestimasi nilainya. Delapan belas data
ukuran tersebut, yaitu : (xA, yA, VXA, VYA, σVXA, σVYA), (xB, yB, VXB, VYB, σVXB,
σVYB), (xC, yC, VXC, VYC, σVXC, σVYC). Adapun enam parameter tersebut, yakni :
𝑈𝑥, 𝑈𝑦, 𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 .
Selanjutnya, pendekatan model fungsional least square disajikan pada persamaan
I.86 berikut :
𝐿 + 𝑉 = 𝐴𝑋 …..................................................................................................... (I.86)
Persamaan observasi bisa diturunkan dari model fungsional I.86 tersebut seperti
36
disajikan pada persamaan I.87 s.d. 1.92 berikut.
𝑉𝑥 𝐴 + 𝑣1 = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 𝐴 + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 𝐴 + 𝑈𝑥................................................................ (I.87)
𝑉𝑦 𝐴 + 𝑣2 = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 𝐴 + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 𝐴 + 𝑈𝑦................................................................ (I.88)
𝑉𝑥 𝐵 + 𝑣3 = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 𝐵 + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 𝐵 + 𝑈𝑥................................................................ (I.89)
𝑉𝑦 𝐵 + 𝑣4 = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 𝐵 + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 𝐵 + 𝑈𝑦................................................................ (I.90)
𝑉𝑥 𝐶 + 𝑣5 = 𝐿𝑥𝑥 . ∆𝑥 𝐶 + 𝐿𝑥𝑦 . ∆𝑦 𝐶 + 𝑈𝑥................................................................ (I.91)
𝑉𝑦 𝐶 + 𝑣6 = 𝐿𝑦𝑥 . ∆𝑥 𝐶 + 𝐿𝑦𝑦 . ∆𝑦 𝐶 + 𝑈𝑦................................................................ (I.92)
Berdasarkan persamaan observasi I.87 s.d. I.92, maka matriks A, X, L, dan P bisa
dibentuk dalam persamaan I.93 s.d. I.98 berikut :
2NL1
+ 2NV1 = 2NA6X1 .......................................................................................... (I.93)
𝑉𝑦 𝐵
L = [ 𝑉𝑥 𝐴
𝑉𝑦 𝐴
X = [ 𝑈𝑥
𝑈𝑦
𝐿𝑥𝑥
𝐿𝑥𝑦
𝐿𝑦𝑥
𝐿𝑦𝑦 ]T ......................................................... (I.95)
V = [ 𝑣1
𝑣2
𝑣3
𝑣4
𝑣5
𝑣6 ]T.......................................................... (I.96)
A=
𝑉𝑥 𝐵
𝑉𝑥 𝐶
𝑉𝑦 𝐶]T ........................................................ (I.94)
1
0
∆𝑥 𝐴
∆𝑦 𝐴
0
0
0
1
0
0
∆𝑥 𝐴
∆𝑦 𝐴
1
0
∆𝑥 𝐵
∆𝑦 𝐵
0
0
(𝜎𝑉𝑋 𝐴 )2
1
0
0
∆𝑥0𝐵
∆𝑦 𝐵
0
0
0
1
00
1⁄𝐶
∆𝑥
∆𝑦 𝐶
00
0
0
0
0
0
01
0
0
0
0
P = 𝜎𝐷 20 1⁄
0
(𝜎𝑉𝑌 𝐴 )2
0
0
𝐶
1⁄∆𝑥 𝐶
𝐵 2∆𝑦
(𝜎𝑉𝑋 )
...........................................(I.97)
0
0
0
1⁄
(𝜎𝑉𝑌 𝐵 )2
0
0
0
0
0
0
1⁄
(𝜎𝑉𝑋 𝐶 )2
0
0
0
0
0
0
1⁄
(𝜎𝑉𝑌 𝐶 )2
............................................................................................................................... (I.98)
Dalam hal ini,
𝜎𝐷 2 = (1⁄𝑛) ∑
2
𝑗=1
𝑛
∑
𝑛=1
(𝜎𝑦 (𝑛) )2
2NL1
: matriks ukuran
2NV1
: matriks residu
37
6X1
: matriks parameter
2NP2N
: matriks bobot
2NA6
: matriks desain yang berisi turunan persamaan terhadap parameter
Penyelesaian parameter menggunakan inversi matriks X dengan meminimalkan
residu kuadrat dilakukan menggunakan persamaan I.42. Adapun untuk dispresi
matriks X dihitung dengan persamaan I.99 berikut :
𝐷(𝑋) =
1
(𝐿
2𝑟𝜎𝐷 2
− 𝐴𝑋)𝑇 𝑃(𝐿 − 𝐴𝑋)(𝐴𝑇 𝑃𝐴)−1 ....................................................... (I.99)
Dalam hal ini,
𝑟 = 2𝑛 − 6
r : redudansi least square
Berdasarkan persamaan I.99 diketahui bahwa data dengan ketidakpastian yang besar
memiliki efek yang kecil pada hasil hitungan. Oleh karena itu, kontribusi dari
satu/lebih EP dapat direduksi atau dibuang dengan mempertimbangkan faktor
pembobotan yang baik. Hal ini dapat meningkatkan corresponding errors.
I.8.10.2. Strategi pembobotan dalam metode MLS. Faktor pembobotan untuk
mereduksi kontribusi EP yang jauh dari titik grid adalah kunci pada metode MLS
yang dikenalkan oleh Shen, dkk. (1996). Fungsi penskalaan yang tepat dan faktor
skala (d0) dikenalkan dalam metode ini. Dalam faktor pembobotan ini terdapat dua
besaran yang perlu diketahui, yakni adalah dn dan d0. Notasi dn menunjukkan jarak
antara EP ke-n dengan titik grid yang dihitung nilai regangannya. Adapun d0 adalah
smoothing parameter/faktor skala yang nilai default nya adalah tiga kali spasi grid
(Teza, dkk., 2008). Nilai d0 ini bersifat user-defined.
Faktor pembobotan dengan sebuah fungsi penskalaan diterapkan pada matriks
bobot P dalam metode hitungan MLS. Matriks bobot P dikalikan dengan sebuah
fungsi penskalaan 𝑓(𝑑𝑛 /𝑑0 ), dengan f adalah fungsi penaik-turunan (decreasing
function) (Teza dan Pesci, 2015). Perkalian ini menjadikan matriks bobot P menjadi
P’ seperti ditunjukkan persamaan I.100 dan I.101 berikut :
𝑃′ = 𝑓(𝑑𝑛 /𝑑0 ). 𝑃............................................................................................... (I.100)
𝑃′ = exp(−𝑑𝑛 /𝑑0 ). 𝑃....................................................................................... (I.101)
Jika f dibuat berkurang dengan cepat dengan adanya dn/d0, maka pemilihan nilai d0
38
dapat mendefinisikan tingkat lokalitas (level of locality) dari sebuah hitungan. Jika
diterapkan pemilihan dn = d0, mengakibatkan P’ = exp(-1).P =
̃ 0,37P. Hal ini
menunjukkan pemakaian faktor pembobotan P’ untuk mengganti P menyebabkan
hanya titik terdekat dari titik grid yang diestimasi saja yang dapat memberikan
kontribusi yang signifikan pada regangan yang dihitung pada titik tersebut.
Pemakaian faktor skala d0 ini memiliki konsekuensi tertentu. Seperti diketahui
sebelumnya bahwa regangan seharusnya terdistribusi seragam/merata, tapi dalam
kenyataannya asumsi ini sulit dipenuhi. Dalam hal ini, penggunaan faktor skala
dalam metode MLS ini, bisa mengurangi kesulitan dalam pemenuhan asumsi
tersebut. Adanya faktor skala pada MLS ini mampu membuat distribusi regangan
yang seragam/merata, meskipun hanya pada wilayah dekat titik grid yang diestimasi.
Hal ini seperti ditemui juga pada pendekatan local stationary dalam metode
geostatistik (ordinary kriging dan sequential simulation).
Selain itu, kelebihan metode pembobotan ini adalah model regangan bisa
disajikan secara lebih realistis (seragam/quasi-uniform) dalam cakupan wilayah
tertentu sesuai dengan faktor skala (Shen, dkk., 1996).
I.8.10.3. Pembentukan grid dan estimasi nilai regangan 2D. Nilai regangan
diestimasi pada setiap grid yang terbentuk. Pembentukan grid dilaksanakan
berdasarkan jarak antar stasiun (EP). Standar deviasi dari semua jarak antar stasiun
pada tiap pasangan stasiun dihitung dan nilainya digunakan sebagai nilai default.
Setelah nilai spasi grid diperoleh, maka posisi titik grid ke-ij didefinisian memakai
persamaan I.102 berikut :
𝑥𝑖𝑗 = (𝑥𝑖 , 𝑦𝑗 ) = (𝑥𝑚𝑖𝑛 + 𝑖∆𝑥, 𝑦𝑚𝑖𝑛 + 𝑗∆𝑦) ........................................................... (I.102)
𝑖 = 1, . . . , 𝑁𝑥 ,
𝑗 = 1, . . . , 𝑁𝑦
Dalam hal ini,
(𝑥𝑚𝑖𝑛 , 𝑦𝑚𝑖𝑛 )
: koordinat starting point
(∆𝑥, ∆𝑦)
: grid sides
𝑁𝑥 , 𝑁𝑦
: titik perpotongan grid sepanjang sumbu X dan Y
Setelah grid terbentuk dan smoothing parameter telah didefinisikan, maka
perhitungan regangan 2D pada titik grid siap dilakukan. Parameter yang dihitung
terdiri
atas
enam
parameter
seperti
disebutkan
sebelumnya,
yakni
39
𝑈𝑥, 𝑈𝑦, 𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 . U adalah konstanta atau elemen kecepatan pada titik grid,
L adalah gradien tensor pergeseran. Dalam hal ini L dalam bidang 2D terdiri atas
empat komponen 𝐿𝑥𝑥 , 𝐿𝑥𝑦 , 𝐿𝑦𝑥 , 𝐿𝑦𝑦 . Gradien tensor pergeseran L ini sama dengan
gradien tensor E pada persamaan I.81. Gradien pergeseran L secara umum adalah
fungsi dari ε dan ω. Hubungan antara gradien tensor pergeseran dengan tensor
regangan ε dan elemen rotasi ω dalam ruang 3D telah disajikan pada persamaan I.81
s.d. I.83. Adapun persamaan I.103 s.d. 1.106 berikut menunjukkan hubungan antara
L, ε dan ω dalam bidang 2D.
𝐿 = 𝜀 + 𝜔 ...................................................................................................................... (I.103)
𝐿=
𝜀=
𝜕𝑉𝑥
𝜕𝑥
[𝜕𝑉𝑦
𝜕𝑉𝑥
𝜕𝑦
𝜕𝑉𝑦 ]
𝜕𝑥
𝜕𝑦
=[
𝐿𝑥𝑥
𝐿𝑦𝑥
𝜕𝑉𝑥
𝜕𝑥
[
𝜕𝑉
𝜕𝑉𝑥
1/2 ( + 𝑦 )
𝜕𝑦
𝜕𝑥
0
𝐿𝑥𝑦
]....................................................................................... (I.104)
𝐿𝑦𝑦
𝜕𝑉
1/2 ( 𝜕𝑦𝑥 +
𝜔=[
𝜕𝑉
𝜕𝑉
−1/2 ( 𝜕𝑦𝑥 + 𝜕𝑥𝑦 )
𝜕𝑉𝑦
𝜕𝑥
𝜕𝑉𝑦
)
𝑒𝑥𝑥
] = [𝑒
𝑦𝑥
𝑒𝑥𝑦
𝑒𝑦𝑦 ]...............................................(I.105)
𝜕𝑦
𝜕𝑉
1/2 ( 𝜕𝑦𝑥 −
0
𝜕𝑉𝑦
𝜕𝑥
)
0
]= [
−𝜔
𝜔
]............................................ (I.106)
0
Berdasarkan hasil estimasi nilai gradien pergeseran L, maka nilai regangan e dan
nilai rotasi ω bisa diperoleh. Tensor regangan ε merupakan matriks simetris dan
merepresentasikan deformasi internal, adapun elemen rotasi ω merupakan matriks
anti-simetris dan menyajikan pergerakan kecil dan kaku (rigid body motion). Dalam
hal ini, terdapat invertible matrix V dalam εd = V-1εV, dimana εd adalah matriks
diagonal. Hasil diagonalisasi εd ini adalah eigenvalue dan eigenvectors. Eigenvalue
adalah nilai regangan minimum dan maksimum dari principal strain εmax dan εmin.
Adapun eigenvectors adalah arah dari principal strain. Regangan maksimum dan
minimum adalah perubahan panjang per unit panjang pada arah ekstensi maksimum
dan minimum (positif untuk ekstensi). Pada kerangka acuan yang memiliki origin P
(titik perpotongan grid) dan unit vektornya adalah orthonormal eigenvectors, tidak
terdapat shear deformation dan variasi perubahan panjang hanya terjadi pada sumbu
utama saja.
40
I.8.11. Focal Mechanisms
Focal mechanisms solution adalah hasil dari hitungan yang didasarkan pada
bentuk dan arah penjalaran gelombang P-first motions yang terbentuk karena gempa
tektonik kemudian direkam oleh seismograf sekitar episentrum gempa (Cronin, 2004
; Bock, 2002). Menurut Cronin (2004), fungsi dari focal mechanisms adalah
menyediakan informasi penting terkait gempa tektonik yaitu time origin, lokasi
episentrum, kedalaman (focal depth), momen seismik (pengukuran langsung energi
yang diradiasikan oleh gempa), serta besar dan orientasi spasial dari sembilan
komponen moment tensor. Berdasarkan moment tensor ini orientasi dan arah
penunjaman bisa didapatkan. Dengan demikian, focal mechanisms juga menyatakan
arah penunjaman dalam sebuah kejadian gempa dan orientasi segmen patahan
dimana gempa terjadi. Adapun penyajiannya dalam sebuah diagram skematik
beachball (USGS, 2012). Penggambaran diagram skematik beachball pada focal
mechanisms ini disajikan pada Gambar I.8 (a) dan (b).
Gambar I. 8. Diagram skematik beachball dari focal mechanisms (USGS, 2012)
41
Gambar I.8 (A) menunjukkan bahwa diagram skematik beachball dinyatakan
dalam tiga sumbu ortogonal, antara lain : sumbu tekanan (pressure axis) dengan
simbol P, sumbu tegangan (tension axis) dengan simbol T, dan sumbu Null dengan
simbol N (Cronin, 2010). Kuadran yang mengandung sumbu P biasanya diarsir
dengan warna selain putih (pada Gambar I.8 berwarna abu-abu), sedangkan sumbu
T biasanya berwarna putih. Kuadran berwarna ini menunjukkan bagian yang
mengalami tekanan (kompresi) dari kuadran yang berwarna putih yang mengalami
tegangan (dilatasi) akibat adanya gaya tekan di bawah permukaan bumi. Kuadran
sumbu T dan P seperti ditunjukkan Gambar I.8 (B) ini bersama-sama dapat
menyatakan jenis stuktur patahan apa yang menjadi penyebab gempa di suatu
episentrum, misalnya strike-slip, reverse, normal, atau oblique (Cronin, 2010). Garis
yang membatasi kuadran sumbu T dan P, menyatakan orientasi segmen patahan,
sedangkan luasan kuadrannya menunjukkan arah penunjaman pada struktur yang
terjadi. Jadi, fungsi focal mechanisms ini adalah menyediakan informasi mengenai
jenis patahan yang menjadi penyebab gempa, orientasi bidang patahan, dan juga
orientasi segmen patahan.
I.9. Hipotesis
Berdasarkan hasil studi pustaka yang dilakukan, peneliti mempunyai hipotesis
bahwa dengan asumsi pergeseran lempeng tektonik di Pulau Sumatra secara umum
linier mengarah ke timur laut sebesar 5 s.d. 7 cm/tahun, maka nilai regangan 2D pada
lempeng tektonik di Patahan Sumatra masih sama dengan nilai regangan 2D pada
penelitian Bock, dkk. (2003). Nilai regangan 2D-nya antara 5 x 10-8 s.d. 10-7,
meskipun terdapat wilayah nilai regangan 2D-nya yang lebih dari 10-7 maupun
kurang dari 5 x 10-8 di bagian timur Sumatra dekat selat Malaka. Pola regangan 2D
pada bagian barat Pulau Sumatra di dominasi oleh regangan kompresi 2D dengan
besar 5 x 10-8 s.d. 10-7, sedangkan pada bagian timur didominasi oleh ekstensi 2D
dengan nilai 5 x 10-8.
42
Download