BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Istilah pembangunan ekonomi bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang
dengan orang lain, daerah yang satu dengan daerah yang lain, negara satu dengan
negara lain. Penting bagi kita untuk dapat memiliki definisi yang sama dalam
mengartikan pembangunan ekonomi. Secara tradisional, pembangunan ekonomi
memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Produk Domestik Bruto
(PDB) untuk suatu negara atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk
provinsi dan kabupaten/kota.
Sebuah definisi alternatif pembangunan ekonomi yang lebih menekankan
pada peningkatan pendapatan per kapita (income per capita). Definisi ini
menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang
dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Definisi pembangunan tradisional
sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau
sering kita kenal dengan industrialisasi. Kontribusi pertanian mulai digantikan
dengan kontribusi industri. Definisi yang cenderung melihat segi kuantitatif dari
pembangunan ini dipandang perlu melihat indikator-indikator sosial yang ada.
Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda
dengan pembangunan ekonomi tradisional. Pertanyaan muncul dari benarkah
semua indikator ekonomi yang ada memberikan gambaran kemakmuran.
Beberapa ekonom modern mulai mengedepankan dethronement of GNP
2
(penurunan pentingnya pertumbuhan ekonomi), pengentasan kemiskinan,
pengurangan
kesenjangan
distribusi
pendapatan
dan
penurunan
tingkat
pengangguran. Pendapat para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma
pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai
suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2003).
Beberapa ahli menganjurkan bahwa pembangunan suatu daerah haruslah
mencakup tiga nilai inti (Todaro dan Smith, 2006):
1.
Ketahanan (Sustenance): kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
(pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) untuk mempertahankan
hidup.
2.
Harga diri (Self Esteem): pembangunan harus memanusiakan orang. Dalam
arti luas pembangunan suatu daerah harus meningkatkan kebanggaan
sebagai manusia yang berada di daerah itu.
3.
Kebebasan diri (Freedom from servitude): kebebasan bagi setiap individu
untuk berpikir, berkembang, berperilaku dan berusaha untuk berpartisipasi
dalam pembangunan.
Pada akhir tahun 1960, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa
“pertumbuhan ekonomi” (economic growth) tidak identik dengan “pembangunan
ekonomi” (economic development).
Pertumbuhan ekonomi
yang
tinggi,
setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan
mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti
pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang dan
ketidakseimbangan struktural (Sjahrir dalam Sjafrizal, 1986). Ini pula yang
3
memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang
diperlukan (necessary) tetapi tidak
mencukupi (sufficient) bagi proses
pembangunan (Esmara dalam Sjafrizal, 1989). Pertumbuhan ekonomi hanya
mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan
pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi tidak lagi mengedepankan
PDB atau PDRB sebagai sasaran pembangunan, namun lebih memusatkan
perhatian pada kualitas dari proses pembangunan.
Masalah kesenjangan antarwilayah ini menjadi perhatian utama di negara
berkembang yang sedang memacu pembangunan ekonomi. Hal ini karena adanya
kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan
ekonomi telah menimbulkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kuznets dalam Todaro dan Smith
(2006) bahwa pada tahap pembangunan awal terdapat pertentangan antara
pertumbuhan dan pemerataan. Semakin tinggi usaha meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, semakin memburuk pula tingkat kesejahteraan. Dengan kata lain, antara
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan terjadi trade off, dimana
pertumbuhan ekonomi yang pesat akan meningkatkan kesenjangan pendapatan.
Seringkali dalam pembicaraan terkait kesenjangan antarwilayah mengacu
pada persoalan dikotomi Jawa dan luar Jawa. Sementara, sebenarnya di Jawa
bahkan luar Jawa sendiri pun masih terdapat kesenjangan antardaerah.
Kesenjangan di luar Jawa lebih bersumber pada potensi sumber daya alam yang
belum
optimal
dimanfaatkan
untuk
keperluan
proses
produksi
dalam
4
menghasilkan output produksi serta sumber daya manusia yang belum mampu
mengolah secara efektif sumber daya alam pada wilayah domestik di luar Jawa.
Disparitas pembangunan antardaerah sebaiknya tidak hanya dilihat dari
wilayah Jawa dan luar Jawa atau kawasan barat dan kawasan timur. Perencanaan
pembangunan baik di tingkat nasional maupun regional harus memperhatikan
daerah (provinsi) secara parsial karena kita harus menyadari betapa beragamnya
potensi dan kemampuan daerah di Indonesia untuk berkembang dengan kekuatan
mereka sendiri. Salah satu provinsi di kawasan Indonesia Timur, yakni Nusa
Tenggara Timur (NTT) memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Provinsi
kepulauan yang dihuni penduduk dengan etnik beragam ini lebih dari
seperlimanya (23,03 persen) digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS, 2010).
Hal ini menjadikan Provinsi NTT menduduki peringkat kelima provinsi termiskin
dibandingkan provinsi lain di Indonesia pada tahun 2010 (lihat Tabel 1.1).
Tabel 1.1 Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010
Provinsi
Persentase Penduduk Miskin
Peringkat
1
Papua
36,80
2
Papua Barat
34,88
3
Maluku
27,74
4
Gorontalo
23,19
5
NTT
23,03
6
NTB
21,55
7
Aceh
20,98
8
Lampung
18,94
9
Bengkulu
18,30
10
Sulteng
18,07
Indonesia
13,33
Sumber: BPS (diolah), 2010
Tabel 1.1 menggambarkan persentase penduduk miskin yang menduduki
peringkat 10 besar provinsi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan adanya
5
kesenjangan antara Kawasan Indonesia Barat (KIB) dan Kawasan Indonesia
Timur (KIT). Dapat dijelaskan pula adanya pembangunan ekonomi yang belum
dirasakan secara adil dan merata oleh segenap lapisan masyarakat di KIT.
Permasalahan kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota di Provinsi NTT
merupakan permasalahan serius yang harus dipandang sebagai tantangan yang
senantiasa
membutuhkan
pemecahan
masalah
yang
menyentuh
kepada
permasalahan sesungguhnya.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diuraikan berbagai permasalahan
sebagai berikut:
1.
Bagaimana
kesenjangan
pendapatan
kabupaten/kota
dan
kelompok
kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010?
2.
Bagaimana dampak kesenjangan antarwilayah kabupaten/kota terhadap
kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada
periode tahun 2007-2010?
3.
Bagaimana klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010?
6
1.3
Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis kesenjangan pendapatan kabupaten/kota dan kelompok
kepulauan di Provinsi NTT pada periode tahun 2007-2010.
2.
Menganalisis dampak kesenjangan antar wilayah kabupaten/kota terhadap
kesejahteraan sosial yang hilang (social welfare loss) di Provinsi NTT pada
periode tahun 2007-2010.
3.
Mengetahui klasifikasi kabupaten/kota di Provinsi NTT menurut tingkat
pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita pada periode tahun 2007-2010.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagi
pemerintah
dan
instansi
terkait:
dapat
memberikan
bahan
pertimbangan dan masukan sebagai pengambil kebijakan dalam menyusun
rencana-rencana
atau
strategi pembangunan
daerah
dalam
rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu wilayah.
2.
Bagi akademisi dan peneliti: dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk
penelitian selanjutnya.
3.
Bagi penulis: dapat mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan
mengenai ekonomi regional.
4.
Bagi pembaca dan pemerhati: dapat memberikan informasi dan gambaran
mengenai kondisi kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT.
7
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meneliti kesenjangan antarkabupaten/kota di Provinsi NTT
dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000, laju
pertumbuhan PDRB, dan jumlah penduduk kabupaten/kota. PDRB atas dasar
harga konstan digunakan karena dapat melihat pergerakan kuantum produksi dan
tidak memasukkan unsur fluktuasi harga sehingga lebih baik bila digunakan untuk
melihat pertumbuhan ekonomi.
Periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2007-2010. Periode
tersebut menunjukkan kondisi setelah pemekaran sehingga jumlah kabupaten/kota
sebanyak 21 kabupaten/kota di Provinsi NTT.
Download