BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Sekolah Periode usia sekolah atau masa kanak-kanak menengah adalah periode yang dimulai sejak anak masuk ke dalam lingkungan sekolah pada saat usia enam atau tujuh tahun sampai dengan anak mengalami pubertas pada usia 12 tahun. Periode ini dapat dibagi ke dalam tiga tahapan umur yaitu tahap transisi atau primer (6-7 tahun), tahap pertengahan (7-9 tahun) dan tahap praremaja (10-12 tahun) (Potter dan Perry, 2005; Wong, et al, 2008). Menurut Atmowirdjo, periode ini disebut juga sebagai periode laten dalam masa perkembangan anak, karena semua hal yeng diperoleh dan terjadi pada anak saat periode ini akan berpengaruh pada tahap perkembangan anak berikutnya (Gunarsa dan Gunarsa, 2008). Pada usia ini, akan terjadi perkembangan pada aspek fisik, mental serta psikososial anak yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan karakteristik dan kepribadian anak (Potter dan Perry, 2005). Anak akan mengalami perkembangan pada potensi diri yang dimilikinya melalui proses interaksi dengan lingkungan. Perkembangan mental pada anak meliputi perkembangan kognitif, bahasa, moral dan spiritual akan dijelaskan pada tabel 2.1. 13 14 Tabel 2.1. Dasar Teori Perkembangan Mental Anak Usia Anak Saat lahir-2 tahun 2-7 tahun Perkembangan Kognitif Piaget Tahap Sensorimotor. Pada usia ini terjadi perkembangan aktivitas refleks dari perilaku berulang sederhana ke perilaku imitatif. Terdapat rasa ingin tahu yang tinggi, eksperimentasi, dan rasa suka terhadap hal-hal yang baru. Anak mulai mampu membedakan diri dengan lingkungan dan menyadari bahwa sebuah benda memiliki sifat permanen (tetap ada meskipun tidak terlihat). Tahap Praoperasional. Ciri yang menonjol pada tahap ini adalah egosentrisme, yaitu ketidakmampuan anak untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Anak tidak dapat melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dengan yang dimilikinya dan pikirannya didominasi oleh apa yang dilihat, didengar dan dialami. Pada tahap ini, anak juga mulai untuk membuat konsep dan hubungan sederhana antar ide-ide melalui bermain imajinatif, bertanya dan interaksi lainnya. Tahapan dan Ciri Perkembangan Anak Perkembangan Perkembangan Bahasa Moral Pada tahap ini, anak mulai untuk menggunakan bahasa. Pada tahap ini, anak semakin dapat menggunakan bahasa dan simbol sederhana untuk mewakili objek yang ada lingkungan mereka. Tahap Prakonvensional. Pada tahap ini, anak mulai mempelajari adanya label “benarsalah”, “baik-buruk” serta konsekuensi yang ada. Anak mulai menetapkan baik buruknya suatu tindakan dan konsekuensi dari tindakan tersebut, kemudian akan mematuhi dan menghindari hukuman yang ada dari tindakan tersebut tanpa mempertanyakan lagi. Pada tahap ini, juga mulai terlihat unsur keadilan, serta memberi dan menerima , namun tidak disertai dengan kesetiaan dan rasa terima kasih. Perkembangan Spiritual Tahap 0 (undifferentiated) . Pada tahap ini, anak tidak memiliki keyakinan untuk membimbing perilaku mereka, dan awal keimanan terbentuk dari pengembangan rasa percaya pada anak. Tahap 1 (intuitive projective). Pada masa prasekolah, anak mulai meniru dan meyerap perilaku keagamaan orang lain tanpa memahami makna atau pentingnya perilaku tersebut. 15 Lanjutan Tabel 2.1. 7-11 Tahap Operasional tahun Konkret. Pada usia ini, cara berfikir anak menjadi semakin logis dan masuk akal. Anak mulai mampu untuk mengklasifikasi, menyusun dan mengatur fakta untuk menyelesaikan masalah. Anak mengalami perubahan progresif pada cara berfikir dan berhubungan dengan orang lain, sehingga cara berkifir anak menjadi tidak terlalu terpusat pada diri sendiri dan dapat mempertimbangkan sudut pandang orang lain. 11-15 tahun Tahap Operasional Formal. Ciri khas pada tahap ini adalah adanya cara berfikir yang adaptabilitas dan fleksbilitas. Anak mulai dapat menarik kesimpulan logis dari observasi yang sifatnya abstrak, dapat membuat hipotesis dan mengujinya, dapat mempertimbangkan hal-hal yang bersifat abstrak, teori dan filosofi. Sumber: Wong, et al, 2008:118-121 Pada tahap ini, anak sudah mulai memahami dan mnggunakan bahasa dan simbol yang lebih kompleks. Pada tahap ini, anak sudah dapat memahami dan menggunakan istilah dan simbol yang bersifat abstrak. Tahap Konvensional. Pada tahap ini, anak terfokus pada kepatuhan dan loyalitas. Anak menghargai perharapan keluarga, kelompok ataupun masyarakat tanpa mempedulikan konsekuensi yang ada. Anak akan menganggap perilaku yang disukai atau membantu orang lain sebagai perilaku yang baik, dan akan mematuhi serta menunjukkan rasa hormat terhadap aturan yang ada. Tahap Pascakonvensional, Autonomi atau Prinsip. Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa perilaku yang tepat didefinisikan berdasarkan pada standar umum yang telah ditetapkan masyarakat dan ada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan kebutuhan masyarakat dan pertimbangan rasional. Tahap 2 (mythical literal). Selama usia sekolah, terjadi perkemabngan spiritual yang berkaitan dengan pengalaman dan interaksi sosial anak. Pada usia ini sebagian besar anak sangat tertarik pada agama dan menerima Tuhan. Tahap 3 (syntethic convention). Pada masa praremaja, anak mulai menyadari bahwa tidak semua doa dapat dikabulkan dan mempertanyakan standar keagamaan orang tuanya, sehingga mulai mengabaikan dan memodifikasi praktik keagamaannya. Tahap 4 (idividuating reflexive). Pada masa remaja, anak mulai untuk membandingkan standar keagamaan orang tua ereka dengan orang lain. Remaja mulai merasa tidak yakin tentang ide-ide keagamaan. 16 2.1.1 Karakteristik Anak Usia Sekolah Karakteristik diartikan sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan antara satu dan lainnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, 2008). Karakteristik atau ciri-ciri khusus seorang individu dapat dilihat dari aspek sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, budaya, ras dan lain-lain (Sunaryo, 2004). Karakteristik seorang individu berbeda antara satu dan lainnya, yang dapat dipengaruhi oleh proses dan tahap perkembangan yang dialami (Latifah, 2012). Anak usia sekolah memiliki karakteristik perilaku yang khas yang hanya ditemukan pada periode usia ini. Perilaku tersebut memiliki perbedaan berdasarkan tingkatan usia dan tahapan perkembangan anak (Wong, et al, 2008; Potter dan Perry, 2005). Ada beberapa perilaku khas terkait dengan perkembangan anak pada usia sekolah (Wong, et al, 2008; Potter dan Perry, 2005), yang meliputi: 1) Hubungan anak dengan orang tua Pada anak usia sekolah, orang tua memiliki peranan penting terhadap proses pembentukan kepribadian anak, standar perilaku, dan sistem nilai. Anak pada usia ini belum sepenuhnya dapat mengatasi masalahnya sendiri, sehingga sangat diperlukan adanya kontrol dari orang tua. Selain itu, anak usia sekolah juga sudah mulai untuk dapat melakukan penilaian terhadap orang tuanya, dan mulai mempelajari bahwa orang tuanya dapat melakukan kesalahan dan kurang sempurna. 17 2) Hubungan anak dengan saudara kandung Pada usia sekolah, anak akan mulai saling merasa asing dengan saudaranya di rumah. Anak yang usianya lebih kecil terkadang akan mengidolakan saudaranya yang lebih tua, sedangkan anak yang usianya lebih besar akan memiliki rasa iri terhadap perhatian yang diberikan kepada saudaranya yang lebih kecil, sehingga akhirnya akan sering terjadi persaingan diantara saudara. 3) Hubungan anak dengan teman sebaya Pada usia sekolah hubungan anak dengan teman sebaya berbeda antara yang berada pada tahap primer atau transisi dengan yang berada pada tahap pertengahan dan praremaja. Pada tahap primer (6-7 tahun), pergaulan anak belum berorientasi pada jenis kelamin, sehingga anak laki-laki dan perempuan dapat bermain bersama tergantung pada siapa yang bersedia. Sedangkan setelah tahap primer (8-12 tahun), anak akan mulai membentuk kelompok dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama. 4) Konsep diri Pada usia sekolah, perasaan anak terhadap kemampuan penguasaan tugas merupakan kunci dalam membentuk harga dirinya, sehingga diperlukan umpan balik yang positif dari orang tua dan sekolah terhadap segala usaha yang telah dilakukannya. Pada usia ini sangat penting untuk mengembangkan keterampilan anak, minimal pada satu bidang tertentu, misalnya membaca, seni atau olahraga. Selain itu, pemberian hewan 18 peliharaan bagi anak juga dapat menimbulkan kasih sayang dan meningkatkan harga dirinya. 5) Ketakutan Pada anak usia sekolah, terjadi penurunan rasa takut yang berkaitan dengan keamanan tubuh, seperti petir, anjing, gelap ataupun suara, serta rasa takut terhadap supernatural seperti hantu dan penyihir juga mulai menurun secara perlahan. Pada usia ini mulai muncul ketakutan baru yang berkaitan dengan sekolah dan keluarga yaitu terhadap ketidaksetujuan dan penolakan dari guru, teman-teman ataupun orang tua, serta ketakutan terhadap kematian dan hal-hal yang didengar dalam berita. 6) Pola koping Pada anak usia sekolah, untuk mengatasi stres atau masalah yang ada, biasanya dengan menggunakan mekanisme pertahanan seperti regresi, penolakan, agresi dan supresi. Pada usia ini, perilaku koping yang ditunjukkan dapat berupa perilaku pasif/tidak aktif, kooperatif, resisten/menolak dan pengendalian. 7) Moral Pada usia sekolah, anak dapat mempelajari dan mendapatkan pendidikan moral dari orang tua dan pihak sekolah. Namun pemahaman terhadap aturan dan alasan yang ada masih terbatas sampai usia anak mencapai 10 tahun, sehingga sebelum usia tersebut anak hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri dan akan melakukan apa saja 19 untuk memenuhinya termasuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Sedangkan setelah usia 10 tahun, pemahaman anak terhadap peraturan dan segala konsekuensi yang ada mulai meningkat. 8) Aktivitas pengalih Pada usia sekolah, anak cenderung menghabiskan waktunya untuk bermain bersama dengan teman kelompoknya. Permainan yang awalnya dilakukan secara kooperatif dapat berkembang menjadi persaingan diantara sesama teman, dan akhirnya anak yang memiliki kemampuan belajar yang kurang akan sulit untuk dapat beradaptasi. Karakteristik pada usia ini, selain memiliki kelompok sebaya adalah adanya perilaku saling mengejek, menghina, dan menantang diantara teman sebayanya. Periode usia sekolah menurut Atmowirdjo (2006) merupakan masa berkelompok (gang-age), dimana anak mulai mengalihkan perhatiannya dari keluarga menuju ke kelompok sebayanya (Gunarsa dan Gunarsa, 2008). Periode usia ini merupakan tahap dimulainya proses perkembangan persahabatan pada diri seseorang. Damon (1988) dalam Dariyo (2008) menyebutkan terdapat tiga tahapan perkembangan persahabatan, yang meliputi: 1) Frienship as Handy Playmate (persahabatan sebagai teman dalam kegiatan bermain) Anak-anak pada usia 4-7 tahun memerlukan teman untuk melakukan kegiatan bermain. Persahabatan pada anak usia ini terjadi karena adanya persamaan kepentingan (kebutuhan), dimana anak-anak 20 akan saling bertemu, bertukar mainan serta bermain bersama pada satu waktu. Jenis persahabatan ini bersifat sementara, dan tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama jika masing-masing anak tidak dapat memenuhi kebutuhan temannya sehingga akan memicu terjadinya konflik diantara mereka. 2) Frienship as Mutual Trust and Assisstance (persahabatan sebagai upaya untuk saling membantu dan saling mempercayai antara satu dan yang lain) Anak-anak pada usia 8-10 tahun memiliki konsep persahabatan yang lebih mendalam daripada anak pada usia prasekolah. Pada usia ini persahabatan terjadi karena adanya rasa percaya dan saling memberikan bantuan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga psikologis seperti mendengarkan, menemani serta memberikan nasihat. 3) Frienship as Intimacy and Loyalty (persahabatan sebagai suatu kehidupan relasi yang diwarnai dengan keakraban dan kesetiaan) Jenis persahabatan ini berlangsung pada usia 11-15 tahun (praremaja dan remaja awal). Pada usia ini persahabatan dibangun karena adanya kesetiaan dan keakraban, masing-masing anak dapat mencurahkan perasaan, pengalaman, atau pemikiran pada anak yang lain dan percaya bahwa temanya akan dapat menyimpan rahasia tersebut. Persahabatan jenis ini akan putus jika terjadi penghianatan atau ketidaksetiaan diantara masing-masing anak. 21 Gottam dan Parker (1987) dalam Dariyo (2008), menyatakan ada enam fungsi persahabatan, yang terdiri dari sebagai teman, sebagai stimulasi kompetensi (memacu potensi, bakat, serta minat), sebagai dukungan fisik, sebagai dukungan ego, sebagai cermin untuk membandingkan diri, serta sebagai dukungan emosional dan sosial. Ini menunjukkan bahwa ikatan persahabatan yang kuat dengan kelompok, atau yang disebut juga dengan geng, dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif yang bisa ditimbulkan adalah meningkatnya kemampuan sosialisasi dan kemandirian anak, sedangkan dampak negatifnya adalah timbulnya tekanan dari teman sebaya yang dapat memaksa anak untuk berani mengambil risiko, melawan perintah atau aturan, serta menyebabkan terjadinya kekerasan antara masing-masing anak (Wong, et al, 2008; Potter dan Perry, 2005). 2.1.2 Kepribadian Anak a. Definisi Kepribadian Kepribadian dalam bahasa Inggris disebut “personality”, yang berasal dari bahasa Latin “persona” yang berarti topeng atau yang mengacu pada gambaran sosial dan peran tertentu pada diri individu. Kepribadian dalam pengertian modern diartikan sebagai kualitas seseorang yang menyebabkan ia disenangi atau tidak disenangi oleh orang lain (Sunaryo, 2004). Istilah kepribadian memiliki banyak pengertian yang berbeda, yang disebabkan karena belum adanya kesepakatan dan masih terdapatnya perbedaan sudut pandang dari para 22 ahli yang didasarkan pada hasil penelitian, cara pengukuran dan teori yang dikemukakan. Ada beberapa definisi mengenai kepribadian (Sunaryo, 2004), yaitu: 1) Koswara (1991), menyatakan bahwa kepribadian dalam pengertian sehari-hari adalah bagaimana seorang individu menampilkan dan menimbulkan kesan bagi individu yang lainnya. 2) Allport (1937), yang dikutip oleh Gunarsa dan Gunarsa (1989), menyatakan kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem-sistem psikofisik yang ada di dalam diri individu yang akan menentukan penyesuaian yang khas terhadap lingkungan. 3) Maramis (1999), menyatakan kepribadian adalah keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang sering digunakan oleh seseorang untuk beradaptasi dalam hidupnya. 4) Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey (2000), menyatakan bahwa kepribadian adalah sebagai segala sesuatu yang memberikan tata tertib dan keharmonisan terhadap semua tingkah laku yang berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah keseluruhan pola pikiran, perasaan dan perilaku yang ditunjukkan secara khas oleh individu, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungan. 23 Kepribadian dan karakter (watak) adalah satu dan sama, tetapi dapat dipandang secara berlainan (Allport, 1937, dalam Sunaryo, 2004). Allport berpendapat bahwa “character is personality evaluated, and personality is character devaluated”. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa karakter adalah watak atau sifat-sifat kejiwaan yang membedakan seseorang dari yang lainnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, 2008). Jadi, dapat diartikan bahwa karakter (watak) seseorang merupakan cerminan dari kepribadian yang dimilikinya. b. Perkembangan Kepribadian Anak Dasar teori mengenai perkembangan kepribadian anak dijelaskan melalui teori perkembangan psikoseksual Freud dan teori perkembangan psikososial Erikson (Potter dan Perry, 2005; Wong, et al, 2008), yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Teori Perkembangan Psikoseksual Freud Menurut Freud, semua perilaku manusia digerakkan oleh kekuatan psikodinamik atau energi fisik. Energi fisik ini dapat dibagi menjadi tiga komponen kepribadian yaitu id atau pikiran bawah sadar, ego atau pikiran sadar dan superego atau suara hati. Freud menganggap insting seksual sebagai sesuatu yang signifikan dalam perkembangan kepribadian, yang diistilahkan sebagai psikoseksual atau segala kesenangan sensual. Selama masa kanak-kanak, bagian tubuh tertentu memiliki makna psikologis sebagai sumber kesenangan dan konflik yang baru. 24 Sumber kesenangan dan konflik ini secara bertahap akan bergeser dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain sesuai dengan tahap perkembangan anak. Tahap perkembangan psikoseksual menurut Freud dibagi menjadi tahap oral (saat lahir-usia 1 tahun), tahap anal (usia 1-3 tahun), tahap falik (usia 3-6 tahun), tahap laten (usia 6-12 tahun) dan tahap genital (usia 12 tahun ke atas). Penjelasan mengenai tahapan perkembangan psikoseksual Freud akan dijelaskan dalam tabel 2. 2) Teori Perkembangan Psikososial Erikson Teori perkembangan kepribadian Erikson atau yang dikenal sebagai perkembangan psikososial Erikson adalah teori yang dikembangan berdasarkan teori Freud. Teori ini menekankan pada perkembangan kepribadian yang sehat yang sesuai dengan tahapan perkembangan yang ada. Setiap tahap perkembangan psikososial Erikson memiliki dua komponen aspek yaitu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dari situasi yang dialami seorang anak. Pendekatan rentang kehidupan Erikson terhadap perkembangan kepribadian meliputi delapan tahap perkembangan, tetapi yang berkaitan dengan masa kanak-kanak adalah lima tahap pertama. Lima tahap pertama dari perkembangan kepribadian Erikson terdiri dari tahap percaya vs tidak percaya (saat lahir-usia 1 tahun), tahap autonomi vs malu-malu dan ragu-ragu (usia 1-3 tahun), tahap inisiatif vs rasa bersalah (usia 3-6 tahun), tahap industry vs 25 inferioritas (usia 6-12 tahun), dan tahap identitas vs kebingungan peran (usia 12-18 tahun). Penjelasan mengenai tahapan perkembangan psikososial Erikson akan dijelaskan dalam tabel 2.2. Tabel 2.2. Dasar Teori Perkembangan Kepribadian Anak Usia Anak Saat lahir-1 tahun 1-3 tahun 3-6 tahun Tahapan dan Ciri Perkembangan Anak Teori Psikoseksual Freud Teori Psikososial Erikson Tahap Oral. Tahap Percaya vs Tidak Percaya. Selama masa bayi, sumber Tahap ini adalah tahap pertama dan yang paling kesenangan utama anak penting bagi perkembangan kepribadian anak. berpusat pada aktivitas oral Pembentukan rasa percaya dasar mendominasi seperti menghisap, menggigit, tahun pertama kehidupan dan menggambarkan mengunyah dan berbicara yang semua pengalaman kepuasan anak pada usia ini. dapat mengindikasikan adanya Perkembangan dan pembentukan rasa percaya dari pembentukan kepribadian anak. seorang anak sangat dipengaruhi oleh asuhan yang konsisten dan penuh kasih dari orang terdekat, yang akhirnya dapat menimbulkan kepercayaan dan optimisme anak. Sedangkan rasa tidak percaya terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar atau rasa percaya secara konsisten atau adekuat. Tahap Anal. Tahap Autonomi vs Malu-malu dan Ragu-ragu. Pada tahun kedua kehidupan, Perkembangan autonomi pada masa kanak-kanak ketertarikan anak berpusat berpusat pada kemampuan anak untuk pada bagian anal saat otot-otot mengendalikan tubuh mereka, diri dan lingkungan. sfingter berkembang dan anak Anak ingin melakukan hal untuk diri mereka mampu untuk menahan atau sendiri menggunakan ketrampilan motorik yang mengeluarkn feses sesuai baru dipelajari seperti berjalan, memanjat, keinginannya. Suasana tersebut menggunakan kekuatan mental, memilih atau dapat menimbulkan efek yang membuat keputusan, yang sebagian besar diperoleh dirasakan seumur hidup pada dari meniru aktivitas orang lain. Sedangkan kepribadian anak. perasaan negatif seperti ragu dan malu muncul ketika anak-anak merasa diremehkan atau ketika dipaksa untuk bergantung dalam melakukan beberapa hal yang sebenarnya mampu mereka lakukan. Tahap Falik. Tahap Inisiatif vs Rasa Bersalah. Pada tahap ini genitalia Tahap inisiatif berkaitan dengan tahap falik dari menjadi area tubuh yang teori Freud yang dicirikan dengan perilaku yang menarik dan sensitive bagi instrusif dan penuh semangat, berani berupaya dan anak. Anak pada tahap ini majinasi yang kuat, serta anak akan mulai ingin tahu dan mengeksplorasi dunia fisik dengan semua indra mengetahui mengenai dan kekuatan mereka. Anak terkadang memiliki perbedaan jenis kelamin. tujuan atau melakukan aktivitas yang bertentangan dengan orang lain, yang dapat membuat mereka merasa bahwa aktivitas yang dilakukan adalah tidak benar sehingga akan menimbulkan rasa bersalah bagi anak. Pada tahap ini anak diharapkan dapat belajar mempertahankan rasa ingin tahu 26 Lanjutan Tabel 2.2. mereka dengan tetap memperhatikan hak-hak yang dimiliki orang lain. 6-12 Tahap Laten. Tahap Industry vs Inferioritas. tahun Pada periode laten, anak Tahap industri adalah tahap laten dari Freud, yang melakukan sifat dan dicirikan dengan anak mulai mau untuk terlibat ketrampilan yang telah dalam tugas dan aktivitas, mulai belajar diperoleh sebelumnya. Selain berkompetisi dan bekerja sama dengan orang lain itu anak diarahkan untuk serta mulai mempelajari aturan-aturan yang ada di menggunakan energi fisik dan sekitarnya. Tahap ini merupakan pemantapan psikis dalam dirinya untuk dalam hubungan sosial anak dengan orang lain. mendapatkan pengetahuan dan Rasa ketidakadekuatan atau inferioritas dapat bermain. terjadi jika anak merasa tidak mampu memenuhi standar yang telah ditetapkan bagi mereka atau terlalu banyak yang diharapkan dari mereka. 12 Tahap Genital. Tahap Identitas vs Kebingungan Peran. tahun Tahap ini dimulai pada saat Tahap ini berhubungan dengan tahap genital dari ke atas anak memasuki masa pubertas Freud. Perkembangan identitas anak dicirikan yang ditandai dengan adanya dengan terjadinya perubahan fisik yang cepat dan pematangan pada sistem jelas, munculnya rasa percaya terhadap diri sendiri reproduksi anak. Pada tahap ini dan terbentuknya konsep diri. Remaja berusaha sumber kesenangan seksual menyesuaikan diri dengan peran yang sedang utama adalah organ genital, dan dimainkan dan berharap dapat bermain dalam energi yang dimiliki digunakan peran dan gaya baru yang dimiliki teman untuk membentuk persahabatan sebayanya, yang jika tidak mampu dilakukan serta persiapan pernikahan. dengan baik akan dapat menimbulkan kebingungan peran bagi mereka. Sumber: Potter dan Perry, 2005:641-642; Wong, et al, 2008:117-118 c. Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian Menurut Purwanto (2006), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepribadian, yaitu: 1) Faktor Biologis Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani, seperti keadaan genetik, pencernaan, pernafasan, peredaran darah, saraf, tinggi badan, berat badan, dan lainnya. Faktor ini berbeda antara satu orang dengan yang lainnya yang diperoleh dari keturunan atau pembawaan. 27 2) Faktor Sosial Sejak lahir anak telah mulai untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Keluarga adalah lingkungan pertama sebagai tempat perkembangan anak yang memiliki peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari keluarga merupakan pengalaman pertama yang diterima oleh anak. Keadaan dan suasana keluarga yang berbeda antara satu dengan lainnya akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan kepribadian anak. Lingkungan sekolah dan masyarakat juga merupakan tempat perkembangan anak selanjutnya. Lingkungan ini merupakan tempat terjadinya transisi dari kehidupan anak yang relatif bebas menjadi lebih terstruktur, yang menuntut anak untuk bisa menyesuaikan diri dengan segala harapan dan peraturan yang ada (Potter dan Perry, 2005). Keadaan dan kondisi tersebut menyebabkan lingkungan ini dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. 3) Faktor Kebudayaan Perkembangan dan pembentukan kepribadian seseorang dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada di lingkungannya, seperti nilai (value), adat istiadat, tradisi, pengetahuan, ketrampilan, dan bahasa. Adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat akan menentukan cara-cara seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku untuk bisa diterima dalam lingkungan tempat 28 tinggalnya yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan kepribadian orang tersebut. Tinggi rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan berbahasa yang dimiliki seseorang dapat menunjukkan bagaimana seseorang bersikap, bertindak dan bergaul dengan orang lain. d. Tipe Kepribadian Ada beberapa teori kepribadian yang menjelaskan mengenai tipologi atau tipe kepribadian, salah satunya yang mudah dan masih digunakan sampai saat ini adalah tipologi kepribadian menurut Carl Gustav Jung. Teori kepribadian ini sering disebut juga sebagai teori “psikologi analitis” atau “psikologi kompleks”. Menurut Jung, kepribadian atau psyche terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi satu sama lain, yang dapat dibagi menjadi dua tipe kepribadian yaitu introvert dan extrovert (Sunaryo, 2004; Semiun, 2013). 1) Tipe introvert Tipe kepribadian ini memiliki minat yang lebih mengarah ke dalam pikiran dan pengalaman individu sendiri dengan orientasi pada hal-hal yang bersifat subjektif. Sifat dari tipe kepribadian ini adalah tertutup, suka memikirkan diri sendiri, berfikir teoritis, tidak terpengaruh pujian, kurang peduli dengan lingkungan sosial, menahan ekspresi emosi, suka menyendiri dan sulit bergaul, sulit dimengerti orang lain, dan suka membesarkan kesalahan sendiri 29 (Sunaryo, 2004; Semiun, 2013). Kelebihan dari tipe ini adalah lebih mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain, mampu bekerja sendiri, mampu berkonsentrasi, lebih berhati-hati, serta memiliki ide dan arah yang jelas dalam melakukan suatu hal (Champagne & Hogan, 2002). 2) Tipe extrovert Tipe kepribadian ini adalah tipe yang sikap dan tindakannya dipengaruhi oleh dunia di luar diri individu dengan berorientasi pada hal-hal yang bersifat objektif. Tipe ini bersifat terbuka, bersemangat, periang, ramah, suka bergaul dan mudah berhubungan dengan orang lain, mudah berubah-ubah dan terpengaruh lingkungan sosial, berfikir logis dan realistis, kreatif serta memiliki ekspresi emosi yang spontan (Sunaryo, 2004; Semiun, 2013). Kelebihan dari tipe ini adalah mampu memahami apa yang dunia luar inginkan, mampu mengikuti keputusan orang lain dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama (Champagne & Hogan, 2002). e. Alat Ukur Tipe Kepribadian Salah satu alat ukur dari tipe kepribadian Jung (introvert dan ekstrovert) adalah Personality Style Inventory (PSI), yang disusun oleh dua orang ilmuwan yaitu D.W. Champagne, EdD. dan R.C. Hogan, PhD. dari University of Minnesota pada tahun 1979. Personality Style Inventory ini bertujuan untuk melihat preferensi kepribadian berdasarkan tipologi Jung, yang terdiri dari empat dimensi yaitu introvert-ekstrovert, 30 sensing-intuiting, thinking-feeling dan judging-perceiving, yang disusun dalam 32 pasang pernyataan (a dan b). Dalam mengukur tipe kepribadian dengan PSI ini, responden harus memberikan skor dengan jumlah total 5 (5+0, 4+1, 3+2, dst, namun tidak boleh bilangan pecahan) pada masingmasing pasang pernyataan yang ada, untuk menentukan dimensi yang lebih dominan diantara 4 pasang dimensi yang ada (Champagne & Hogan, 2002). Perbedaan PSI dibandingkan dengan alat ukur kepribadian Jung yang lain seperti MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) adalah terlihat dari fungsi alat ukur tersebut. Myers-Briggs Type Indicator berfungsi untuk mengukur bagaimana perilaku yang biasa dilakukan seseorang, yang dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan dan budaya sekitar. Sedangkan PSI berfungsi untuk mengukur perilaku yang lebih dipilih untuk dilakukan seseorang, yang merupakan pendapat pribadi dari responden dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk bisa dipengaruhi oleh orang lain ataupun lingkungan (Champagne & Hogan, 2002). 2.2 Bullying di Sekolah Istilah bullying mulai digunakan pertama kali dalam penelitian yang dikembangkan di Eropa pada tahun 1970-an oleh Dan Olweus. Olweus (1993) mendefinisikan bullying di sekolah sebagai sebuah perilaku agresif atau negatif, yang dilakukan oleh seseorang atau lebih siswa secara berulang dan 31 terus menerus terhadap siswa yang lainnya, yang mengakibatkan keadaan tidak nyaman/terluka dan dengan karakteristik adanya perbedaan kekuatan diantara pelaku dan korbannya (Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Chapell, et al, 2006). Pernyataan yang hampir sama juga disampaikan oleh Heath dan Sheen (2005); National Crime Prevention Center (2008); dan American Association of School Administrators (2009), yang menyatakan bahwa perilaku bullying dapat dikarakteristikkan sebagai perilaku agresif yang bersifat merusak yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang dengan tujuan untuk merugikan korban yang disertai dengan adanya perbedaan atau ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korbannya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bullying yang terjadi di sekolah, lebih sering terjadi pada tingkat sekolah dasar dan menurun secara progresif seiring kenaikan tingkat sekolah. Hal ini disebabkan karena anakanak pada usia sekolah dasar belum memahami bahwa perilaku bullying itu tidak benar dan belum memiliki kemampuan untuk menghindari atau mencegah terjadinya bullying (Chapell, et al, 2006; Dake, Price dan Telljohann, 2003; Hasekiu, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi korban bullying di sekolah dasar cukup bervariasi. Dake, Price dan Telljohann (2003), menyatakan bahwa prevalensi kasus bullying di sekolah dasar berkisar antara 11,3% sampai dengan 49,8%. Sedangkan di Indonesia, penelitian Khairani (2006) melaporkan bahwa prevalensi bullying di sekolah dasar adalah sebesar 31,8% (n=95) (Latifah, 2012). 32 2.2.1 Jenis-Jenis Bullying Perilaku bullying dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu bullying secara fisik, verbal dan psikologis/relasional (Chapell, et al, 2006; Heath and Sheen, 2005; National Crime Prevention Center, 2008; American Association of School Administrators, 2009; Andina, 2014). 1) Bullying secara fisik, yaitu perlakuan kasar secara fisik yang dapat dilihat dengan kasat mata, yang dapat berupa tindakan seperti memukul, menendang, mendorong, meludahi, menggigit, menjambak, menampar, mencuri, merusak barang milik orang lain, mengunci seseorang di dalam ruangan, mencubit, mencakar dan berbagai serangan fisik lainnya. 2) Bullying secara verbal, yaitu perlakuan kasar secara verbal, seperti memaki, menghina, memfitnah, mengancam, memanggil dengan sebutan/nama orang tua, mengeluarkan kata-kata kasar, mengolok-olok kekurangan atau kelemahan yang dimiliki anak lain, mengejek/mencela dan lain-lain. 3) Bullying secara psikologis/relasional atau disebut juga perilaku bullying yang tidak langsung, yaitu perlakukan kasar yang dilakukan secara mental dan sosial yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, seperti memandang sinis, mengucilkan, menyebarkan rumor atau gosip, mempermalukan, mengabaikan dengan sengaja, dan lain-lain. Terdapat perbedaan jenis bullying yang terjadi di sekolah berdasarkan tingkatan usia atau kelas. Penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa jenis bullying yang paling sering terjadi pada anak 33 sekolah dasar (kelas IV-VI) adalah relasional (p=-0,306) (Dwipayanti dan Indrawati, 2012), sedangkan pada tingkat sekolah menengah, adalah fisik dan verbal (Sari, 2010). Penelitian lain yang dilakukan di luar negeri, menunjukkan bahwa jenis bullying yang sering terjadi pada anak usia 7-10 tahun adalah fisik, sedangkan pada anak usia 10-15 tahun adalah verbal (Hasekiu, 2013). 2.2.2 Faktor Risiko Bullying Perilaku bullying dapat terjadi karena adanya faktor risiko yang memicu terjadinya perilaku tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya perilaku bullying, baik yang berasal dari dalam diri anak ataupun pengaruh dari luar seperti keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. American Association of School Administrators (2009), menyebutkan beberapa faktor dari individu yang dapat mempengaruhi anak untuk melakukan perilaku bullying, seperti jenis kelamin, memiliki riwayat menjadi korban bullying, memiliki perilaku manipulative, impulsive dan agresif, kurang empati, memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan korbannya, serta memiliki kemampuan yang kurang dalam menyelesaikan masalah secara kontruktif. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi terjadinya bullying pada anak adalah faktor keluarga (Latifah, 2012), yang meliputi kurangnya kehangatan dan perhatian dari orang tua, kurangnya pembatasan orang tua, sifat orang tua yang terlalu permisif sehingga kurang membatasi tingkah 34 laku anak, penerapan disiplin yang terlalu keras, serta orang tua yang mencontohkan perilaku bullying di depan anaknya seperti pada kekerasan dalam rumah tangga. Faktor lingkungan dan faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap munculnya perilaku bullying pada anak, antara lain kurangnya pengawasan di sekolah, tidak adanya kebijakan anti bullying, pengaruh media (cetak dan elektronik) yang menampilkan informasi yang mengandung kekerasan, serta pengaruh ikatan kelompok yang terlalu kuat yang dapat menumbuhkan sifat negatif (Wong, et al, 2008). Faktor kelompok teman sebaya ini, baik yang ada dalam lingkungan sekolah ataupun sekitar tempat tinggal, dapat berupa adanya teman yang melakukan bullying serta adanya teman lain yang memiliki pandangan positif mengenai kekerasan (Latifah, 2012). 2.2.3 Karakteristik Pelaku Bullying Karakteristik yang dapat ditemukan pada anak yang merupakan pelaku bullying atau bullies, meliputi memiliki kepribadian manipulative, impulsive dan agresif, kurang empati, secara fisik lebih kuat dibandingkan korbannya; mengalami kesulitan beradaptasi dengan aturan, memiliki harga diri yang tinggi, memiliki penilaian positif terhadap kekerasan, memiliki pencapaian nilai akademik yang rendah, memiliki rasa keterikatan dan tanggung jawab yang kurang terhadap sekolah (merasa tidak senang atau tidak serius bersekolah), berasal dari lingkungan keluarga yang keras, memiliki tanda gejala depresi, memiliki teman dalam jumlah yang besar, memiliki komunikasi yang kurang dengan orang tua, pernah mengalami kekerasan, 35 serta memiliki orang tua yang kurang mendukung atau kurang perhatian (Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Heath dan Sheen, 2005; American Association of School Administrators, 2009). 2.2.4 Karakteristik Korban Bullying Heath dan Sheen (2005) mengelompokkan anak yang menjadi target bullying ke dalam dua karakteristik, yaitu yang agresif dan yang pasif. Anak dengan karakteristik agresif yang menjadi target bullying adalah anak yang cenderung reaktif, mudah marah dan mudah tersinggung. Sedangkan anak dengan karakteristik pasif umumnya lebih suka menyendiri, sering mengalami penolakan dari lingkungan sosial dan secara fisik lebih lemah. Karakteristik yang dapat ditemukan pada anak yang merupakan korban bullying, meliputi memiliki harga diri yang rendah, terlihat ketakutan, sering menangis, lebih sering menyendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial, kehilangan percaya diri secara bertahap, sering merasa tidak berdaya, berasal dari lingkungan keluarga yang keras, memiliki orang tua yang terlalu turut campur dengan urusan sekolah, pernah mengalami kekerasan, serta memiliki tanda gejala depresi ataupun gangguan kejiwaan (Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Heath dan Sheen, 2005; American Association of School Administrators, 2009). 2.2.5 Dampak Perilaku Bullying di Sekolah Perilaku bullying dapat menimbulkan dampak yang negatif kepada pelaku bullying maupun korbannya baik pada segi fisik, psikologis ataupun sosial (Dake, Price dan Telljohann, 2003). Williams, Chamber, Logan dan 36 Robinson (1996) serta Rigby (1999) dalam Dake, Price dan Telljohann (2003), menyatakan bahwa terdapat beberapa gejala fisik yang sering dialami oleh anak yang terlibat perilaku bullying dibandingkan dengan yang tidak terlibat seperti nyeri kepala, nyeri perut, gangguan tidur, mudah lelah, dan merasa tegang. Beberapa hasil studi lain yang dilakukan di dalam dan luar negeri juga melaporkan adanya hubungan antara kejadian bullying khususnya pada korban dengan penurunan prestasi akademis, adanya kejadian depresi dan bunuh diri pada anak, merasa tidak nyaman, rendah diri, ketakutan, dan menarik diri (Dake, Price dan Telljohann, 2003; Sari, 2010; Dwipayanti dan Indrawati, 2012; Messias, Kindrick dan Castro, 2014). Dampak yang ditimbulkan tidak hanya dampak jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Beran dan Leslie (2002) dan Wharton (2009), menyebutkan dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan dari perilaku bullying di sekolah terutama pada korban, yaitu berupa munculnya perasaan tidak aman dan terancam, perasaan tidak bersemangat saat bersekolah, serta menurunnya tingkat kehadiran dan prestasi akademik di sekolah (Latifah, 2012). Dampak jangka panjang dari perilaku bullying dapat berupa munculnya risiko yang lebih besar untuk terjadinya depresi, penurunan harga diri, bunuh diri serta terpengaruh terhadap penggunaan alkohol dan obat-obatan, terutama pada anak yang menjadi korban bullying. Sedangkan pada anak yang menjadi pelaku bullying, memiliki risiko lebih besar untuk melakukan perilaku agresif, mengalami depresi, dan terlibat dalam kegiatan 37 kriminal pada masa dewasanya (Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Chapell, et al, 2006; American Association of School Administrators, 2009; Messias, Kindrick dan Castro, 2011). 2.2.6 Alat Ukur Bullying di Sekolah Alat ukur yang bisa digunakan untuk mengetahui bullying merupakan salah satu dari kumpulan alat ukur bullying yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Division of Violence Prevention, of National Center for Injury Prevention and Control, pada tahun 2011. Centers for Disease Control and Prevention mengeluarkan sebuah kumpulan alat ukur untuk mengetahui pengalaman bullying yang terjadi pada anak dan dewasa muda yang dibagi menjadi empat section, yaitu section A (Bully-Only Scales), section B (Victim-Only Scales), section C (Bully and Victim Scales) dan section D (Bystander, Bully, and/or Victim Scales). Setiap section terdiri dari beberapa instrumen pengukuran dengan karakteristik dan kelompok usia yang berbeda, serta telah dilengkapi dengan nilai validitas dan reliabilitas masing-masing (CDC, 2011). Alat ukur bullying yang sering digunakan untuk mengetahui kejadian bullying pada anak khususnya yang terjadi pada anak usia sekolah adalah yang terdapat pada section C (Bully and Victim Scales). Section C ini terdiri dari 13 jenis instrumen pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui kejadian bullying yang terjadi baik pada pelaku dan korban. Beberapa instrument pengukuran dari section ini yang sering digunakan di sekolah dasar adalah sebagai berikut (CDC, 2011). 38 1) Olweus Bullying Questionnaire, yang dikembangkan oleh Solberg dan Olweus, 2003. Instrumen ini terdiri dari 39 item pernyataan yang bertujuan untuk mengetahui frekuensi bullying yang terjadi pada anak dengan rentang usia 11 sampai 17 tahun. 2) Peer Interactions in Primary School Questionnaire, yang dikembangkan oleh Tarshis dan Huffman, 2007. Instrumen ini terdiri dari 22 item pernyataan yang terbagi kedalam dua subskala, yang digunakan untuk mengetahui jenis bullying yang terjadi pada anak dengan rentang usia delapan sampai 12 tahun. 3) School Life Survey, yang dikembangkan oleh Chan, Myron, dan Crawshaw (2005), yang terdiri dari 24 item pernyataan yang terbagi dalam dua bagian. Instrumen ini bertujuan untuk mengukur frekuensi bullying yang terjadi pada anak, baik fisik, verbal ataupun relaisonal, pada rentang usia 8-12 tahun.