13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anak Usia Sekolah Periode usia

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Usia Sekolah
Periode usia sekolah atau masa kanak-kanak menengah adalah periode
yang dimulai sejak anak masuk ke dalam lingkungan sekolah pada saat usia
enam atau tujuh tahun sampai dengan anak mengalami pubertas pada usia 12
tahun. Periode ini dapat dibagi ke dalam tiga tahapan umur yaitu tahap transisi
atau primer (6-7 tahun), tahap pertengahan (7-9 tahun) dan tahap praremaja
(10-12 tahun) (Potter dan Perry, 2005; Wong, et al, 2008). Menurut
Atmowirdjo, periode ini disebut juga sebagai periode laten dalam masa
perkembangan anak, karena semua hal yeng diperoleh dan terjadi pada anak
saat periode ini akan berpengaruh pada tahap perkembangan anak berikutnya
(Gunarsa dan Gunarsa, 2008).
Pada usia ini, akan terjadi perkembangan pada aspek fisik, mental serta
psikososial
anak
yang kemudian
akan
mempengaruhi
pembentukan
karakteristik dan kepribadian anak (Potter dan Perry, 2005). Anak akan
mengalami perkembangan pada potensi diri yang dimilikinya melalui proses
interaksi dengan lingkungan. Perkembangan mental pada anak meliputi
perkembangan kognitif, bahasa, moral dan spiritual akan dijelaskan pada tabel
2.1.
13
14
Tabel 2.1. Dasar Teori Perkembangan Mental Anak
Usia
Anak
Saat
lahir-2
tahun
2-7
tahun
Perkembangan
Kognitif Piaget
Tahap Sensorimotor.
Pada usia ini terjadi
perkembangan
aktivitas refleks dari
perilaku berulang
sederhana ke perilaku
imitatif. Terdapat rasa
ingin tahu yang
tinggi,
eksperimentasi, dan
rasa suka terhadap
hal-hal yang baru.
Anak mulai mampu
membedakan diri
dengan lingkungan
dan menyadari bahwa
sebuah benda
memiliki sifat
permanen (tetap ada
meskipun tidak
terlihat).
Tahap
Praoperasional.
Ciri yang menonjol
pada tahap ini adalah
egosentrisme, yaitu
ketidakmampuan
anak untuk
menempatkan diri
pada posisi orang
lain. Anak tidak dapat
melihat sesuatu dari
sudut pandang yang
berbeda dengan yang
dimilikinya dan
pikirannya
didominasi oleh apa
yang dilihat, didengar
dan dialami.
Pada tahap ini, anak
juga mulai untuk
membuat konsep dan
hubungan sederhana
antar ide-ide melalui
bermain imajinatif,
bertanya dan interaksi
lainnya.
Tahapan dan Ciri Perkembangan Anak
Perkembangan
Perkembangan
Bahasa
Moral
Pada tahap ini,
anak mulai
untuk
menggunakan
bahasa.
Pada tahap ini,
anak semakin
dapat
menggunakan
bahasa dan
simbol
sederhana untuk
mewakili objek
yang ada
lingkungan
mereka.
Tahap
Prakonvensional.
Pada tahap ini, anak
mulai mempelajari
adanya label “benarsalah”, “baik-buruk”
serta konsekuensi
yang ada. Anak mulai
menetapkan baik
buruknya suatu
tindakan dan
konsekuensi dari
tindakan tersebut,
kemudian akan
mematuhi dan
menghindari
hukuman yang ada
dari tindakan tersebut
tanpa
mempertanyakan lagi.
Pada tahap ini, juga
mulai terlihat unsur
keadilan, serta
memberi dan
menerima , namun
tidak disertai dengan
kesetiaan dan rasa
terima kasih.
Perkembangan
Spiritual
Tahap 0
(undifferentiated)
.
Pada tahap ini,
anak tidak
memiliki
keyakinan untuk
membimbing
perilaku mereka,
dan awal
keimanan
terbentuk dari
pengembangan
rasa percaya pada
anak.
Tahap 1 (intuitive
projective).
Pada masa
prasekolah, anak
mulai meniru dan
meyerap perilaku
keagamaan orang
lain tanpa
memahami
makna atau
pentingnya
perilaku tersebut.
15
Lanjutan Tabel 2.1.
7-11
Tahap Operasional
tahun
Konkret.
Pada usia ini, cara
berfikir anak menjadi
semakin logis dan
masuk akal. Anak
mulai mampu untuk
mengklasifikasi,
menyusun dan
mengatur fakta untuk
menyelesaikan
masalah. Anak
mengalami perubahan
progresif pada cara
berfikir dan
berhubungan dengan
orang lain, sehingga
cara berkifir anak
menjadi tidak terlalu
terpusat pada diri
sendiri dan dapat
mempertimbangkan
sudut pandang orang
lain.
11-15
tahun
Tahap Operasional
Formal.
Ciri khas pada tahap
ini adalah adanya
cara berfikir yang
adaptabilitas dan
fleksbilitas. Anak
mulai dapat menarik
kesimpulan logis dari
observasi yang
sifatnya abstrak,
dapat membuat
hipotesis dan
mengujinya, dapat
mempertimbangkan
hal-hal yang bersifat
abstrak, teori dan
filosofi.
Sumber: Wong, et al, 2008:118-121
Pada tahap ini,
anak sudah
mulai
memahami dan
mnggunakan
bahasa dan
simbol yang
lebih kompleks.
Pada tahap ini,
anak sudah dapat
memahami dan
menggunakan
istilah dan
simbol yang
bersifat abstrak.
Tahap
Konvensional.
Pada tahap ini, anak
terfokus pada
kepatuhan dan
loyalitas. Anak
menghargai
perharapan keluarga,
kelompok ataupun
masyarakat tanpa
mempedulikan
konsekuensi yang
ada. Anak akan
menganggap
perilaku yang
disukai atau
membantu orang
lain sebagai perilaku
yang baik, dan akan
mematuhi serta
menunjukkan rasa
hormat terhadap
aturan yang ada.
Tahap
Pascakonvensional,
Autonomi atau
Prinsip.
Pada tahap ini, anak
mulai memahami
bahwa perilaku yang
tepat didefinisikan
berdasarkan pada
standar umum yang
telah ditetapkan
masyarakat dan ada
kemungkinan untuk
mengubah hukum
berdasarkan
kebutuhan
masyarakat dan
pertimbangan
rasional.
Tahap 2 (mythical
literal).
Selama usia
sekolah, terjadi
perkemabngan
spiritual yang
berkaitan dengan
pengalaman dan
interaksi sosial
anak. Pada usia ini
sebagian besar
anak sangat
tertarik pada
agama dan
menerima Tuhan.
Tahap 3 (syntethic
convention). Pada
masa praremaja,
anak mulai
menyadari bahwa
tidak semua doa
dapat dikabulkan
dan
mempertanyakan
standar keagamaan
orang tuanya,
sehingga mulai
mengabaikan dan
memodifikasi
praktik
keagamaannya.
Tahap 4
(idividuating
reflexive).
Pada masa remaja,
anak mulai untuk
membandingkan
standar keagamaan
orang tua ereka
dengan orang lain.
Remaja mulai
merasa tidak yakin
tentang ide-ide
keagamaan.
16
2.1.1 Karakteristik Anak Usia Sekolah
Karakteristik diartikan sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan
antara satu dan lainnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, 2008).
Karakteristik atau ciri-ciri khusus seorang individu dapat dilihat dari aspek
sosial demografi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,
status ekonomi, budaya, ras dan lain-lain (Sunaryo, 2004). Karakteristik
seorang individu berbeda antara satu dan lainnya, yang dapat dipengaruhi
oleh proses dan tahap perkembangan yang dialami (Latifah, 2012).
Anak usia sekolah memiliki karakteristik perilaku yang khas yang
hanya ditemukan pada periode usia ini. Perilaku tersebut memiliki
perbedaan berdasarkan tingkatan usia dan tahapan perkembangan anak
(Wong, et al, 2008; Potter dan Perry, 2005). Ada beberapa perilaku khas
terkait dengan perkembangan anak pada usia sekolah (Wong, et al, 2008;
Potter dan Perry, 2005), yang meliputi:
1) Hubungan anak dengan orang tua
Pada anak usia sekolah, orang tua memiliki peranan penting
terhadap proses pembentukan kepribadian anak, standar perilaku, dan
sistem nilai. Anak pada usia ini belum sepenuhnya dapat mengatasi
masalahnya sendiri, sehingga sangat diperlukan adanya kontrol dari
orang tua. Selain itu, anak usia sekolah juga sudah mulai untuk dapat
melakukan penilaian terhadap orang tuanya, dan mulai mempelajari
bahwa orang tuanya dapat melakukan kesalahan dan kurang sempurna.
17
2) Hubungan anak dengan saudara kandung
Pada usia sekolah, anak akan mulai saling merasa asing dengan
saudaranya di rumah. Anak yang usianya lebih kecil terkadang akan
mengidolakan saudaranya yang lebih tua, sedangkan anak yang usianya
lebih besar akan memiliki rasa iri terhadap perhatian yang diberikan
kepada saudaranya yang lebih kecil, sehingga akhirnya akan sering
terjadi persaingan diantara saudara.
3) Hubungan anak dengan teman sebaya
Pada usia sekolah hubungan anak dengan teman sebaya berbeda
antara yang berada pada tahap primer atau transisi dengan yang berada
pada tahap pertengahan dan praremaja. Pada tahap primer (6-7 tahun),
pergaulan anak belum berorientasi pada jenis kelamin, sehingga anak
laki-laki dan perempuan dapat bermain bersama tergantung pada siapa
yang bersedia. Sedangkan setelah tahap primer (8-12 tahun), anak akan
mulai membentuk kelompok dengan teman sebaya yang berjenis
kelamin sama.
4) Konsep diri
Pada usia sekolah, perasaan anak terhadap kemampuan penguasaan
tugas merupakan kunci dalam membentuk harga dirinya, sehingga
diperlukan umpan balik yang positif dari orang tua dan sekolah terhadap
segala usaha yang telah dilakukannya. Pada usia ini sangat penting untuk
mengembangkan keterampilan anak, minimal pada satu bidang tertentu,
misalnya membaca, seni atau olahraga. Selain itu, pemberian hewan
18
peliharaan bagi anak juga dapat menimbulkan kasih sayang dan
meningkatkan harga dirinya.
5) Ketakutan
Pada anak usia sekolah, terjadi penurunan rasa takut yang berkaitan
dengan keamanan tubuh, seperti petir, anjing, gelap ataupun suara, serta
rasa takut terhadap supernatural seperti hantu dan penyihir juga mulai
menurun secara perlahan. Pada usia ini mulai muncul ketakutan baru
yang
berkaitan
dengan
sekolah
dan
keluarga
yaitu
terhadap
ketidaksetujuan dan penolakan dari guru, teman-teman ataupun orang
tua, serta ketakutan terhadap kematian dan hal-hal yang didengar dalam
berita.
6) Pola koping
Pada anak usia sekolah, untuk mengatasi stres atau masalah yang
ada, biasanya dengan menggunakan mekanisme pertahanan seperti
regresi, penolakan, agresi dan supresi. Pada usia ini, perilaku koping
yang ditunjukkan dapat berupa perilaku pasif/tidak aktif, kooperatif,
resisten/menolak dan pengendalian.
7) Moral
Pada usia sekolah, anak dapat mempelajari dan mendapatkan
pendidikan moral dari orang tua dan pihak sekolah. Namun pemahaman
terhadap aturan dan alasan yang ada masih terbatas sampai usia anak
mencapai 10 tahun, sehingga sebelum usia tersebut anak hanya
memperhatikan kebutuhannya sendiri dan akan melakukan apa saja
19
untuk memenuhinya termasuk melakukan perbuatan yang tidak baik.
Sedangkan setelah usia 10 tahun, pemahaman anak terhadap peraturan
dan segala konsekuensi yang ada mulai meningkat.
8) Aktivitas pengalih
Pada usia sekolah, anak cenderung menghabiskan waktunya untuk
bermain bersama dengan teman kelompoknya. Permainan yang awalnya
dilakukan secara kooperatif dapat berkembang menjadi persaingan
diantara sesama teman, dan akhirnya anak yang memiliki kemampuan
belajar yang kurang akan sulit untuk dapat beradaptasi. Karakteristik
pada usia ini, selain memiliki kelompok sebaya adalah adanya perilaku
saling mengejek, menghina, dan menantang diantara teman sebayanya.
Periode usia sekolah menurut Atmowirdjo (2006) merupakan masa
berkelompok (gang-age), dimana anak mulai mengalihkan perhatiannya dari
keluarga menuju ke kelompok sebayanya (Gunarsa dan Gunarsa, 2008).
Periode usia ini merupakan tahap dimulainya proses perkembangan
persahabatan pada diri seseorang. Damon (1988) dalam Dariyo (2008)
menyebutkan terdapat tiga tahapan perkembangan persahabatan, yang
meliputi:
1) Frienship as Handy Playmate (persahabatan sebagai teman dalam
kegiatan bermain)
Anak-anak pada usia 4-7 tahun memerlukan teman untuk
melakukan kegiatan bermain. Persahabatan pada anak usia ini terjadi
karena adanya persamaan kepentingan (kebutuhan), dimana anak-anak
20
akan saling bertemu, bertukar mainan serta bermain bersama pada satu
waktu. Jenis persahabatan ini bersifat sementara, dan tidak dapat
dipertahankan dalam jangka waktu lama jika masing-masing anak tidak
dapat memenuhi kebutuhan temannya sehingga akan memicu terjadinya
konflik diantara mereka.
2) Frienship as Mutual Trust and Assisstance (persahabatan sebagai upaya
untuk saling membantu dan saling mempercayai antara satu dan yang
lain)
Anak-anak pada usia 8-10 tahun memiliki konsep persahabatan
yang lebih mendalam daripada anak pada usia prasekolah. Pada usia ini
persahabatan terjadi karena adanya rasa percaya dan saling memberikan
bantuan yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga psikologis seperti
mendengarkan, menemani serta memberikan nasihat.
3) Frienship as Intimacy and Loyalty (persahabatan sebagai suatu
kehidupan relasi yang diwarnai dengan keakraban dan kesetiaan)
Jenis persahabatan ini berlangsung pada usia 11-15 tahun
(praremaja dan remaja awal). Pada usia ini persahabatan dibangun
karena adanya kesetiaan dan keakraban, masing-masing anak dapat
mencurahkan perasaan, pengalaman, atau pemikiran pada anak yang lain
dan percaya bahwa temanya akan dapat menyimpan rahasia tersebut.
Persahabatan jenis ini akan putus jika terjadi penghianatan atau
ketidaksetiaan diantara masing-masing anak.
21
Gottam dan Parker (1987) dalam Dariyo (2008), menyatakan ada enam
fungsi persahabatan, yang terdiri dari sebagai teman, sebagai stimulasi
kompetensi (memacu potensi, bakat, serta minat), sebagai dukungan fisik,
sebagai dukungan ego, sebagai cermin untuk membandingkan diri, serta
sebagai dukungan emosional dan sosial. Ini menunjukkan bahwa ikatan
persahabatan yang kuat dengan kelompok, atau yang disebut juga dengan
geng, dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak
positif yang bisa ditimbulkan adalah meningkatnya kemampuan sosialisasi
dan kemandirian anak, sedangkan dampak negatifnya adalah timbulnya
tekanan dari teman sebaya yang dapat memaksa anak untuk berani
mengambil risiko, melawan perintah atau aturan, serta menyebabkan
terjadinya kekerasan antara masing-masing anak (Wong, et al, 2008; Potter
dan Perry, 2005).
2.1.2 Kepribadian Anak
a. Definisi Kepribadian
Kepribadian dalam bahasa Inggris disebut “personality”, yang
berasal dari bahasa Latin “persona” yang berarti topeng atau yang
mengacu pada gambaran sosial dan peran tertentu pada diri individu.
Kepribadian dalam pengertian modern diartikan sebagai kualitas
seseorang yang menyebabkan ia disenangi atau tidak disenangi oleh
orang lain (Sunaryo, 2004). Istilah kepribadian memiliki banyak
pengertian yang berbeda, yang disebabkan karena belum adanya
kesepakatan dan masih terdapatnya perbedaan sudut pandang dari para
22
ahli yang didasarkan pada hasil penelitian, cara pengukuran dan teori
yang dikemukakan.
Ada beberapa definisi mengenai kepribadian (Sunaryo, 2004),
yaitu:
1) Koswara (1991), menyatakan bahwa kepribadian dalam pengertian
sehari-hari adalah bagaimana seorang individu menampilkan dan
menimbulkan kesan bagi individu yang lainnya.
2) Allport (1937), yang dikutip oleh Gunarsa dan Gunarsa (1989),
menyatakan kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari
sistem-sistem psikofisik yang ada di dalam diri individu yang akan
menentukan penyesuaian yang khas terhadap lingkungan.
3) Maramis (1999), menyatakan kepribadian adalah keseluruhan pola
pikiran, perasaan dan perilaku yang sering digunakan oleh seseorang
untuk beradaptasi dalam hidupnya.
4) Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey (2000), menyatakan bahwa
kepribadian adalah sebagai segala sesuatu yang memberikan tata
tertib dan keharmonisan terhadap semua tingkah laku yang berbeda
yang ditunjukkan oleh individu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah keseluruhan pola
pikiran, perasaan dan perilaku yang ditunjukkan secara khas oleh
individu, yang digunakan untuk bereaksi dan menyesuaikan diri dengan
orang lain dan lingkungan.
23
Kepribadian dan karakter (watak) adalah satu dan sama, tetapi
dapat dipandang secara berlainan (Allport, 1937, dalam Sunaryo, 2004).
Allport berpendapat bahwa “character is personality evaluated, and
personality is character devaluated”. Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyatakan bahwa karakter adalah watak atau sifat-sifat kejiwaan yang
membedakan seseorang dari yang lainnya (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Online, 2008). Jadi, dapat diartikan bahwa karakter (watak)
seseorang merupakan cerminan dari kepribadian yang dimilikinya.
b. Perkembangan Kepribadian Anak
Dasar teori mengenai perkembangan kepribadian anak dijelaskan
melalui teori perkembangan psikoseksual Freud dan teori perkembangan
psikososial Erikson (Potter dan Perry, 2005; Wong, et al, 2008), yang
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Teori Perkembangan Psikoseksual Freud
Menurut Freud, semua perilaku manusia digerakkan oleh
kekuatan psikodinamik atau energi fisik. Energi fisik ini dapat dibagi
menjadi tiga komponen kepribadian yaitu id atau pikiran bawah
sadar, ego atau pikiran sadar dan superego atau suara hati. Freud
menganggap insting seksual sebagai sesuatu yang signifikan dalam
perkembangan kepribadian, yang diistilahkan sebagai psikoseksual
atau segala kesenangan sensual.
Selama masa kanak-kanak, bagian tubuh tertentu memiliki
makna psikologis sebagai sumber kesenangan dan konflik yang baru.
24
Sumber kesenangan dan konflik ini secara bertahap akan bergeser
dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain sesuai dengan tahap
perkembangan anak. Tahap perkembangan psikoseksual menurut
Freud dibagi menjadi tahap oral (saat lahir-usia 1 tahun), tahap anal
(usia 1-3 tahun), tahap falik (usia 3-6 tahun), tahap laten (usia 6-12
tahun) dan tahap genital (usia 12 tahun ke atas). Penjelasan mengenai
tahapan perkembangan psikoseksual Freud akan dijelaskan dalam
tabel 2.
2) Teori Perkembangan Psikososial Erikson
Teori perkembangan kepribadian Erikson atau yang dikenal
sebagai perkembangan psikososial Erikson adalah teori yang
dikembangan berdasarkan teori Freud. Teori ini menekankan pada
perkembangan kepribadian yang sehat yang sesuai dengan tahapan
perkembangan yang ada. Setiap tahap perkembangan psikososial
Erikson memiliki dua komponen aspek yaitu yang menyenangkan
dan tidak menyenangkan dari situasi yang dialami seorang anak.
Pendekatan rentang kehidupan Erikson terhadap perkembangan
kepribadian meliputi delapan tahap perkembangan, tetapi yang
berkaitan dengan masa kanak-kanak adalah lima tahap pertama.
Lima tahap pertama dari perkembangan kepribadian Erikson terdiri
dari tahap percaya vs tidak percaya (saat lahir-usia 1 tahun), tahap
autonomi vs malu-malu dan ragu-ragu (usia 1-3 tahun), tahap
inisiatif vs rasa bersalah (usia 3-6 tahun), tahap industry vs
25
inferioritas (usia 6-12 tahun), dan tahap identitas vs kebingungan
peran
(usia
12-18
tahun).
Penjelasan
mengenai
tahapan
perkembangan psikososial Erikson akan dijelaskan dalam tabel 2.2.
Tabel 2.2. Dasar Teori Perkembangan Kepribadian Anak
Usia
Anak
Saat
lahir-1
tahun
1-3
tahun
3-6
tahun
Tahapan dan Ciri Perkembangan Anak
Teori Psikoseksual Freud
Teori Psikososial Erikson
Tahap Oral.
Tahap Percaya vs Tidak Percaya.
Selama masa bayi, sumber
Tahap ini adalah tahap pertama dan yang paling
kesenangan utama anak
penting bagi perkembangan kepribadian anak.
berpusat pada aktivitas oral
Pembentukan rasa percaya dasar mendominasi
seperti menghisap, menggigit,
tahun pertama kehidupan dan menggambarkan
mengunyah dan berbicara yang semua pengalaman kepuasan anak pada usia ini.
dapat mengindikasikan adanya
Perkembangan dan pembentukan rasa percaya dari
pembentukan kepribadian anak. seorang anak sangat dipengaruhi oleh asuhan yang
konsisten dan penuh kasih dari orang terdekat,
yang akhirnya dapat menimbulkan kepercayaan
dan optimisme anak. Sedangkan rasa tidak percaya
terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
atau rasa percaya secara konsisten atau adekuat.
Tahap Anal.
Tahap Autonomi vs Malu-malu dan Ragu-ragu.
Pada tahun kedua kehidupan,
Perkembangan autonomi pada masa kanak-kanak
ketertarikan anak berpusat
berpusat pada kemampuan anak untuk
pada bagian anal saat otot-otot
mengendalikan tubuh mereka, diri dan lingkungan.
sfingter berkembang dan anak
Anak ingin melakukan hal untuk diri mereka
mampu untuk menahan atau
sendiri menggunakan ketrampilan motorik yang
mengeluarkn feses sesuai
baru dipelajari seperti berjalan, memanjat,
keinginannya. Suasana tersebut menggunakan kekuatan mental, memilih atau
dapat menimbulkan efek yang
membuat keputusan, yang sebagian besar diperoleh
dirasakan seumur hidup pada
dari meniru aktivitas orang lain. Sedangkan
kepribadian anak.
perasaan negatif seperti ragu dan malu muncul
ketika anak-anak merasa diremehkan atau ketika
dipaksa untuk bergantung dalam melakukan
beberapa hal yang sebenarnya mampu mereka
lakukan.
Tahap Falik.
Tahap Inisiatif vs Rasa Bersalah.
Pada tahap ini genitalia
Tahap inisiatif berkaitan dengan tahap falik dari
menjadi area tubuh yang
teori Freud yang dicirikan dengan perilaku yang
menarik dan sensitive bagi
instrusif dan penuh semangat, berani berupaya dan
anak. Anak pada tahap ini
majinasi yang kuat, serta anak akan
mulai ingin tahu dan
mengeksplorasi dunia fisik dengan semua indra
mengetahui mengenai
dan kekuatan mereka. Anak terkadang memiliki
perbedaan jenis kelamin.
tujuan atau melakukan aktivitas yang bertentangan
dengan orang lain, yang dapat membuat mereka
merasa bahwa aktivitas yang dilakukan adalah
tidak benar sehingga akan menimbulkan rasa
bersalah bagi anak. Pada tahap ini anak diharapkan
dapat belajar mempertahankan rasa ingin tahu
26
Lanjutan Tabel 2.2.
mereka dengan tetap memperhatikan hak-hak yang
dimiliki orang lain.
6-12
Tahap Laten.
Tahap Industry vs Inferioritas.
tahun
Pada periode laten, anak
Tahap industri adalah tahap laten dari Freud, yang
melakukan sifat dan
dicirikan dengan anak mulai mau untuk terlibat
ketrampilan yang telah
dalam tugas dan aktivitas, mulai belajar
diperoleh sebelumnya. Selain
berkompetisi dan bekerja sama dengan orang lain
itu anak diarahkan untuk
serta mulai mempelajari aturan-aturan yang ada di
menggunakan energi fisik dan
sekitarnya. Tahap ini merupakan pemantapan
psikis dalam dirinya untuk
dalam hubungan sosial anak dengan orang lain.
mendapatkan pengetahuan dan
Rasa ketidakadekuatan atau inferioritas dapat
bermain.
terjadi jika anak merasa tidak mampu memenuhi
standar yang telah ditetapkan bagi mereka atau
terlalu banyak yang diharapkan dari mereka.
12
Tahap Genital.
Tahap Identitas vs Kebingungan Peran.
tahun
Tahap ini dimulai pada saat
Tahap ini berhubungan dengan tahap genital dari
ke atas
anak memasuki masa pubertas
Freud. Perkembangan identitas anak dicirikan
yang ditandai dengan adanya
dengan terjadinya perubahan fisik yang cepat dan
pematangan pada sistem
jelas, munculnya rasa percaya terhadap diri sendiri
reproduksi anak. Pada tahap ini dan terbentuknya konsep diri. Remaja berusaha
sumber kesenangan seksual
menyesuaikan diri dengan peran yang sedang
utama adalah organ genital, dan dimainkan dan berharap dapat bermain dalam
energi yang dimiliki digunakan peran dan gaya baru yang dimiliki teman
untuk membentuk persahabatan sebayanya, yang jika tidak mampu dilakukan
serta persiapan pernikahan.
dengan baik akan dapat menimbulkan kebingungan
peran bagi mereka.
Sumber: Potter dan Perry, 2005:641-642; Wong, et al, 2008:117-118
c. Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian
Menurut Purwanto (2006), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kepribadian, yaitu:
1) Faktor Biologis
Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan
keadaan jasmani, seperti keadaan genetik, pencernaan, pernafasan,
peredaran darah, saraf, tinggi badan, berat badan, dan lainnya. Faktor
ini berbeda antara satu orang dengan yang lainnya yang diperoleh
dari keturunan atau pembawaan.
27
2) Faktor Sosial
Sejak lahir anak telah mulai untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya. Keluarga adalah lingkungan pertama sebagai
tempat perkembangan anak yang memiliki peranan penting dalam
pembentukan kepribadian anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh
dari keluarga merupakan pengalaman pertama yang diterima oleh
anak. Keadaan dan suasana keluarga yang berbeda antara satu
dengan lainnya akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap
perkembangan kepribadian anak.
Lingkungan sekolah dan masyarakat juga merupakan tempat
perkembangan anak selanjutnya. Lingkungan ini merupakan tempat
terjadinya transisi dari kehidupan anak yang relatif bebas menjadi
lebih terstruktur, yang menuntut anak untuk bisa menyesuaikan diri
dengan segala harapan dan peraturan yang ada (Potter dan Perry,
2005). Keadaan dan kondisi tersebut menyebabkan lingkungan ini
dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
3) Faktor Kebudayaan
Perkembangan dan pembentukan kepribadian seseorang dapat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada di lingkungannya, seperti
nilai (value), adat istiadat, tradisi, pengetahuan, ketrampilan, dan
bahasa. Adat istiadat, tradisi dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat akan menentukan cara-cara seseorang dalam bertindak
dan bertingkah laku untuk bisa diterima dalam lingkungan tempat
28
tinggalnya yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan
kepribadian
orang
tersebut.
Tinggi
rendahnya
pengetahuan,
ketrampilan dan kemampuan berbahasa yang dimiliki seseorang
dapat menunjukkan bagaimana seseorang bersikap, bertindak dan
bergaul dengan orang lain.
d. Tipe Kepribadian
Ada beberapa teori kepribadian yang menjelaskan mengenai
tipologi atau tipe kepribadian, salah satunya yang mudah dan masih
digunakan sampai saat ini adalah tipologi kepribadian menurut Carl
Gustav Jung. Teori kepribadian ini sering disebut juga sebagai teori
“psikologi analitis” atau “psikologi kompleks”. Menurut Jung,
kepribadian atau psyche terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda
namun saling berinteraksi satu sama lain, yang dapat dibagi menjadi dua
tipe kepribadian yaitu introvert dan extrovert (Sunaryo, 2004; Semiun,
2013).
1) Tipe introvert
Tipe kepribadian ini memiliki minat yang lebih mengarah ke
dalam pikiran dan pengalaman individu sendiri dengan orientasi pada
hal-hal yang bersifat subjektif. Sifat dari tipe kepribadian ini adalah
tertutup, suka memikirkan diri sendiri, berfikir teoritis, tidak
terpengaruh pujian, kurang peduli dengan lingkungan sosial,
menahan ekspresi emosi, suka menyendiri dan sulit bergaul, sulit
dimengerti orang lain, dan suka membesarkan kesalahan sendiri
29
(Sunaryo, 2004; Semiun, 2013). Kelebihan dari tipe ini adalah lebih
mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain, mampu bekerja
sendiri, mampu berkonsentrasi, lebih berhati-hati, serta memiliki ide
dan arah yang jelas dalam melakukan suatu hal (Champagne &
Hogan, 2002).
2) Tipe extrovert
Tipe kepribadian ini adalah tipe yang sikap dan tindakannya
dipengaruhi oleh dunia di luar diri individu dengan berorientasi pada
hal-hal yang bersifat objektif. Tipe ini bersifat terbuka, bersemangat,
periang, ramah, suka bergaul dan mudah berhubungan dengan orang
lain, mudah berubah-ubah dan terpengaruh lingkungan sosial,
berfikir logis dan realistis, kreatif serta memiliki ekspresi emosi yang
spontan (Sunaryo, 2004; Semiun, 2013). Kelebihan dari tipe ini
adalah mampu memahami apa yang dunia luar inginkan, mampu
mengikuti keputusan orang lain dan menyelesaikan masalah secara
bersama-sama (Champagne & Hogan, 2002).
e. Alat Ukur Tipe Kepribadian
Salah satu alat ukur dari tipe kepribadian Jung (introvert dan
ekstrovert) adalah Personality Style Inventory (PSI), yang disusun oleh
dua orang ilmuwan yaitu D.W. Champagne, EdD. dan R.C. Hogan, PhD.
dari University of Minnesota pada tahun 1979. Personality Style
Inventory ini bertujuan untuk melihat preferensi kepribadian berdasarkan
tipologi Jung, yang terdiri dari empat dimensi yaitu introvert-ekstrovert,
30
sensing-intuiting, thinking-feeling dan judging-perceiving, yang disusun
dalam 32 pasang pernyataan (a dan b). Dalam mengukur tipe kepribadian
dengan PSI ini, responden harus memberikan skor dengan jumlah total 5
(5+0, 4+1, 3+2, dst, namun tidak boleh bilangan pecahan) pada masingmasing pasang pernyataan yang ada, untuk menentukan dimensi yang
lebih dominan diantara 4 pasang dimensi yang ada (Champagne &
Hogan, 2002).
Perbedaan PSI dibandingkan dengan alat ukur kepribadian Jung
yang lain seperti MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) adalah terlihat dari
fungsi alat ukur tersebut. Myers-Briggs Type Indicator berfungsi untuk
mengukur bagaimana perilaku yang biasa dilakukan seseorang, yang
dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan dan
budaya sekitar. Sedangkan PSI berfungsi untuk mengukur perilaku yang
lebih dipilih untuk dilakukan seseorang, yang merupakan pendapat
pribadi dari responden dan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk bisa
dipengaruhi oleh orang lain ataupun lingkungan (Champagne & Hogan,
2002).
2.2 Bullying di Sekolah
Istilah bullying mulai digunakan pertama kali dalam penelitian yang
dikembangkan di Eropa pada tahun 1970-an oleh Dan Olweus. Olweus (1993)
mendefinisikan bullying di sekolah sebagai sebuah perilaku agresif atau
negatif, yang dilakukan oleh seseorang atau lebih siswa secara berulang dan
31
terus menerus terhadap siswa yang lainnya, yang mengakibatkan keadaan
tidak nyaman/terluka dan dengan karakteristik adanya perbedaan kekuatan
diantara pelaku dan korbannya (Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Chapell, et
al, 2006). Pernyataan yang hampir sama juga disampaikan oleh Heath dan
Sheen (2005); National Crime Prevention Center (2008); dan American
Association of School Administrators (2009), yang menyatakan bahwa
perilaku bullying dapat dikarakteristikkan sebagai perilaku agresif yang
bersifat merusak yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang dengan
tujuan untuk merugikan korban yang disertai dengan adanya perbedaan atau
ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korbannya.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bullying yang terjadi di
sekolah, lebih sering terjadi pada tingkat sekolah dasar dan menurun secara
progresif seiring kenaikan tingkat sekolah. Hal ini disebabkan karena anakanak pada usia sekolah dasar belum memahami bahwa perilaku bullying itu
tidak benar dan belum memiliki kemampuan untuk menghindari atau
mencegah terjadinya bullying (Chapell, et al, 2006; Dake, Price dan
Telljohann, 2003;
Hasekiu, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
prevalensi korban bullying di sekolah dasar cukup bervariasi. Dake, Price dan
Telljohann (2003), menyatakan bahwa prevalensi kasus bullying di sekolah
dasar berkisar antara 11,3% sampai dengan 49,8%. Sedangkan di Indonesia,
penelitian Khairani (2006) melaporkan bahwa prevalensi bullying di sekolah
dasar adalah sebesar 31,8% (n=95) (Latifah, 2012).
32
2.2.1 Jenis-Jenis Bullying
Perilaku bullying dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu
bullying secara fisik, verbal dan psikologis/relasional (Chapell, et al, 2006;
Heath and Sheen, 2005; National Crime Prevention Center, 2008; American
Association of School Administrators, 2009; Andina, 2014).
1) Bullying secara fisik, yaitu perlakuan kasar secara fisik yang dapat
dilihat dengan kasat mata, yang dapat berupa tindakan seperti memukul,
menendang, mendorong, meludahi, menggigit, menjambak, menampar,
mencuri, merusak barang milik orang lain, mengunci seseorang di dalam
ruangan, mencubit, mencakar dan berbagai serangan fisik lainnya.
2) Bullying secara verbal, yaitu perlakuan kasar secara verbal, seperti
memaki, menghina, memfitnah, mengancam, memanggil dengan
sebutan/nama orang tua, mengeluarkan kata-kata kasar, mengolok-olok
kekurangan atau kelemahan yang dimiliki anak lain, mengejek/mencela
dan lain-lain.
3) Bullying secara psikologis/relasional atau disebut juga perilaku bullying
yang tidak langsung, yaitu perlakukan kasar yang dilakukan secara
mental dan sosial yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata, seperti
memandang sinis, mengucilkan, menyebarkan rumor atau gosip,
mempermalukan, mengabaikan dengan sengaja, dan lain-lain.
Terdapat perbedaan jenis bullying yang terjadi di sekolah berdasarkan
tingkatan usia atau kelas. Penelitian yang dilakukan di Indonesia
menunjukkan bahwa jenis bullying yang paling sering terjadi pada anak
33
sekolah dasar (kelas IV-VI) adalah relasional (p=-0,306) (Dwipayanti dan
Indrawati, 2012), sedangkan pada tingkat sekolah menengah, adalah fisik
dan verbal (Sari, 2010). Penelitian lain yang dilakukan di luar negeri,
menunjukkan bahwa jenis bullying yang sering terjadi pada anak usia 7-10
tahun adalah fisik, sedangkan pada anak usia 10-15 tahun adalah verbal
(Hasekiu, 2013).
2.2.2 Faktor Risiko Bullying
Perilaku bullying dapat terjadi karena adanya faktor risiko yang
memicu terjadinya perilaku tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat
memicu terjadinya perilaku bullying, baik yang berasal dari dalam diri anak
ataupun pengaruh dari luar seperti keluarga, sekolah maupun lingkungan
masyarakat.
American Association of School Administrators (2009), menyebutkan
beberapa faktor dari individu yang dapat mempengaruhi anak untuk
melakukan perilaku bullying, seperti jenis kelamin, memiliki riwayat
menjadi korban bullying, memiliki perilaku manipulative, impulsive dan
agresif, kurang empati, memiliki fisik yang lebih kuat dibandingkan
korbannya, serta memiliki kemampuan yang kurang dalam menyelesaikan
masalah secara kontruktif.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi terjadinya bullying pada
anak adalah faktor keluarga (Latifah, 2012), yang meliputi kurangnya
kehangatan dan perhatian dari orang tua, kurangnya pembatasan orang tua,
sifat orang tua yang terlalu permisif sehingga kurang membatasi tingkah
34
laku anak, penerapan disiplin yang terlalu keras, serta orang tua yang
mencontohkan perilaku bullying di depan anaknya seperti pada kekerasan
dalam rumah tangga.
Faktor lingkungan dan faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap
munculnya perilaku bullying pada anak, antara lain kurangnya pengawasan
di sekolah, tidak adanya kebijakan anti bullying, pengaruh media (cetak dan
elektronik) yang menampilkan informasi yang mengandung kekerasan, serta
pengaruh ikatan kelompok yang terlalu kuat yang dapat menumbuhkan sifat
negatif (Wong, et al, 2008). Faktor kelompok teman sebaya ini, baik yang
ada dalam lingkungan sekolah ataupun sekitar tempat tinggal, dapat berupa
adanya teman yang melakukan bullying serta adanya teman lain yang
memiliki pandangan positif mengenai kekerasan (Latifah, 2012).
2.2.3 Karakteristik Pelaku Bullying
Karakteristik yang dapat ditemukan pada anak yang merupakan pelaku
bullying atau bullies, meliputi memiliki kepribadian manipulative, impulsive
dan agresif, kurang empati, secara fisik lebih kuat dibandingkan korbannya;
mengalami kesulitan beradaptasi dengan aturan, memiliki harga diri yang
tinggi, memiliki penilaian positif terhadap kekerasan, memiliki pencapaian
nilai akademik yang rendah, memiliki rasa keterikatan dan tanggung jawab
yang kurang terhadap sekolah (merasa tidak senang atau tidak serius
bersekolah), berasal dari lingkungan keluarga yang keras, memiliki tanda
gejala depresi, memiliki teman dalam jumlah yang besar, memiliki
komunikasi yang kurang dengan orang tua, pernah mengalami kekerasan,
35
serta memiliki orang tua yang kurang mendukung atau kurang perhatian
(Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Heath dan Sheen, 2005; American
Association of School Administrators, 2009).
2.2.4 Karakteristik Korban Bullying
Heath dan Sheen (2005) mengelompokkan anak yang menjadi target
bullying ke dalam dua karakteristik, yaitu yang agresif dan yang pasif. Anak
dengan karakteristik agresif yang menjadi target bullying adalah anak yang
cenderung reaktif, mudah marah dan mudah tersinggung. Sedangkan anak
dengan karakteristik pasif umumnya lebih suka menyendiri, sering
mengalami penolakan dari lingkungan sosial dan secara fisik lebih lemah.
Karakteristik yang dapat ditemukan pada anak yang merupakan korban
bullying, meliputi memiliki harga diri yang rendah, terlihat ketakutan, sering
menangis, lebih sering menyendiri dan menarik diri dari lingkungan sosial,
kehilangan percaya diri secara bertahap, sering merasa tidak berdaya,
berasal dari lingkungan keluarga yang keras, memiliki orang tua yang terlalu
turut campur dengan urusan sekolah, pernah mengalami kekerasan, serta
memiliki tanda gejala depresi ataupun gangguan kejiwaan (Dake, Price, dan
Telljohann, 2003; Heath dan Sheen, 2005; American Association of School
Administrators, 2009).
2.2.5 Dampak Perilaku Bullying di Sekolah
Perilaku bullying dapat menimbulkan dampak yang negatif kepada
pelaku bullying maupun korbannya baik pada segi fisik, psikologis ataupun
sosial (Dake, Price dan Telljohann, 2003). Williams, Chamber, Logan dan
36
Robinson (1996) serta Rigby (1999) dalam Dake, Price dan Telljohann
(2003), menyatakan bahwa terdapat beberapa gejala fisik yang sering
dialami oleh anak yang terlibat perilaku bullying dibandingkan dengan yang
tidak terlibat seperti nyeri kepala, nyeri perut, gangguan tidur, mudah lelah,
dan merasa tegang. Beberapa hasil studi lain yang dilakukan di dalam dan
luar negeri juga melaporkan adanya hubungan antara kejadian bullying
khususnya pada korban dengan penurunan prestasi akademis, adanya
kejadian depresi dan bunuh diri pada anak, merasa tidak nyaman, rendah
diri, ketakutan, dan menarik diri (Dake, Price dan Telljohann, 2003; Sari,
2010; Dwipayanti dan Indrawati, 2012; Messias, Kindrick dan Castro,
2014).
Dampak yang ditimbulkan tidak hanya dampak jangka pendek tetapi
juga jangka panjang. Beran dan Leslie (2002) dan Wharton (2009),
menyebutkan dampak jangka pendek yang dapat ditimbulkan dari perilaku
bullying di sekolah terutama pada korban, yaitu berupa munculnya perasaan
tidak aman dan terancam, perasaan tidak bersemangat saat bersekolah, serta
menurunnya tingkat kehadiran dan prestasi akademik di sekolah (Latifah,
2012). Dampak jangka panjang dari perilaku bullying dapat berupa
munculnya risiko yang lebih besar untuk terjadinya depresi, penurunan
harga diri, bunuh diri serta terpengaruh terhadap penggunaan alkohol dan
obat-obatan, terutama pada anak yang menjadi korban bullying. Sedangkan
pada anak yang menjadi pelaku bullying, memiliki risiko lebih besar untuk
melakukan perilaku agresif, mengalami depresi, dan terlibat dalam kegiatan
37
kriminal pada masa dewasanya (Dake, Price, dan Telljohann, 2003; Chapell,
et al, 2006; American Association of School Administrators, 2009; Messias,
Kindrick dan Castro, 2011).
2.2.6 Alat Ukur Bullying di Sekolah
Alat ukur yang bisa digunakan untuk mengetahui bullying merupakan
salah satu dari kumpulan alat ukur bullying yang dikeluarkan oleh Centers
for Disease Control and Prevention (CDC), Division of Violence
Prevention, of National Center for Injury Prevention and Control, pada
tahun 2011. Centers for Disease Control and Prevention mengeluarkan
sebuah kumpulan alat ukur untuk mengetahui pengalaman bullying yang
terjadi pada anak dan dewasa muda yang dibagi menjadi empat section,
yaitu section A (Bully-Only Scales), section B (Victim-Only Scales), section
C (Bully and Victim Scales) dan section D (Bystander, Bully, and/or Victim
Scales). Setiap section terdiri dari beberapa instrumen pengukuran dengan
karakteristik dan kelompok usia yang berbeda, serta telah dilengkapi dengan
nilai validitas dan reliabilitas masing-masing (CDC, 2011).
Alat ukur bullying yang sering digunakan untuk mengetahui kejadian
bullying pada anak khususnya yang terjadi pada anak usia sekolah adalah
yang terdapat pada section C (Bully and Victim Scales). Section C ini terdiri
dari 13 jenis instrumen pengukuran yang bertujuan untuk mengetahui
kejadian bullying yang terjadi baik pada pelaku dan korban.
Beberapa
instrument pengukuran dari section ini yang sering digunakan di sekolah
dasar adalah sebagai berikut (CDC, 2011).
38
1) Olweus Bullying Questionnaire, yang dikembangkan oleh Solberg dan
Olweus, 2003. Instrumen ini terdiri dari 39 item pernyataan yang
bertujuan untuk mengetahui frekuensi bullying yang terjadi pada anak
dengan rentang usia 11 sampai 17 tahun.
2) Peer Interactions in Primary School Questionnaire, yang dikembangkan
oleh Tarshis dan Huffman, 2007. Instrumen ini terdiri dari 22 item
pernyataan yang terbagi kedalam dua subskala, yang digunakan untuk
mengetahui jenis bullying yang terjadi pada anak dengan rentang usia
delapan sampai 12 tahun.
3) School Life Survey, yang dikembangkan oleh Chan, Myron, dan
Crawshaw (2005), yang terdiri dari 24 item pernyataan yang terbagi
dalam dua bagian. Instrumen ini bertujuan untuk mengukur frekuensi
bullying yang terjadi pada anak, baik fisik, verbal ataupun relaisonal,
pada rentang usia 8-12 tahun.
Download