dampak asap terhadap perekonomian sektor riil

advertisement
Boks.3
MEWUJUDKAN KESEIMBANGAN YANG EFISIEN
MENUJU PERTUMBUHAN YANG BERKESINAMBUNGAN
Ekonomi Global 2011
Tahun 2011 merupakan tahun dengan berbagai catatan keberhasilan, namun
juga penuh dinamika dan sarat dengan berbagai tantangan, yang menjadikan
Indonesia semakin matang dalam mengelola perekonomian. Ketidakpastian atas
resolusi krisis utang Eropa dan kecemasan yang meluas terhadap resesi global menjadi
dua episentrum pemicu gejolak di pasar keuangan global selama 2011. Di sisi lain,
proses pemulihan ekonomi AS tampak masih berjalan ditempat karena semakin
terbatasnya manuver kebijakan fiskal untuk menstimulasi kegiatan ekonomi. Dengan
kombinasi antara keterbatasan manuver kebijakan fiskal dan perlambatan ekonomi
(deadly combination), pemulihan ekonomi AS menjadi hanya bertumpu pada the
Federal Reserve.
Namun demikian, di tengah persistensi gejolak global, daya tahan sektor
keuangan dan perekonomian nasional semakin teruji ketangguhannya. Selama tahun
2011 ekonomi Indonesia masih terisolasi dari dampak rambatan krisis Eropa melalui
jalur perdagangan (trade channel), karena kuatnya basis permintaan domestik dalam
struktur perekonomian. Integritas sistem keuangan juga masih terjaga di tengah
besarnya tekanan rambatan krisis Eropa melalui jalur pasar keuangan (financial market
channel). Rupiah mengalami tekanan dalam tiga bulan terakhir, di tengah kondisi
pasokan valas yang tidak berimbang (ekses permintaan). Namun, laju depresiasi rupiah
terjaga agar bergerak dalam skala yang terukur relatif terhadap mata uang regional.
Terjaganya kestabilan nilai tukar dan kondisi makro secara umum, memberikan
ruang untuk dapat mengarahkan berbagai indikator ekonomi makro agar bergerak
melaju pada jalurnya yang tepat (on-track). Pengeluaran konsumsi rumah tangga tetap
resilien, sementara investasi dan ekspor terus meningkat. Namun, sedikit catatan pada
masih minimnya realisasi belanja modal fiskal, menyebabkan dampak multiplier operasi
fiskal terhadap PDB masih terbatas.
Potret keberhasilan dalam mempertahankan tingginya pertumbuhan ekonomi,
menjadi lebih lengkap karena juga berhasil mengendalikan inflasi. Pada tahun 2011,
inflasi IHK hanya 3,79% (yoy).
Ketangguhan stabilitas sistem keuangan Indonesia juga teruji di tengah
persistensi gejolak pasar keuangan global selama 2011. Indeks Stabilitas Sistem
Keuangan Indonesia turun ke 1,68 (Oktober 2011) dari 1,75 pada awal 2011, atau
jauh lebih rendah dari periode krisis 2008 sebesar 2,43. Kondisi ini tidak terlepas dari
kemampuan perbankan yang semakin baik dalam menyerap risiko instabilitas, dengan
tetap dapat menjalankan fungsi intermediasinya.
Perbaikan kondisi permodalan dan konsistensi penerapan prinsip kehati-hatian
bank tampaknya cukup efektif dalam menahan terjadinya pemburukan kondisi industri
secara drastis. Kondisi ini tercermin dari rasio kredit bermasalah (NPL) yang secara gross
tercatat hanya 2,7% (Oktober 2011), jauh dibawah indicative threshold sebesar 5%,
sementara rasio kecukupan modal (CAR) cukup tinggi mencapai 17,2% (Oktober
2011). Fungsi intermediasi perbankan dapat berjalan sebagaimana yang direncanakan.
Pada tahun 2011 pertumbuhan kredit mencapai 25,7% (Oktober 2011), sementara
Loan to Deposit ratio (LDR) meningkat dari 75,5% pada akhir 2010 menjadi 81,4%
pada Oktober 2011. Pertumbuhan kredit semakin berkualitas sejalan dengan
meningkatnya penyaluran kredit kepada sektor produktif, tercermin dari pertumbuhan
kredit investasi yang mencapai 31% (yoy) per Oktober 2011.
Respon Kebijakan
Di bidang moneter, kebijakan Bank Indonesia selama tahun 2011 pada dasarnya
merupakan penguatan dari bauran kebijakan yang telah diimplementasikan pada
yang dihadapi selama tahun 2011. Kebijakan suku bunga selama 2011 tetap diarahkan
agar konsisten terhadap pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan, yaitu
5%±1% dan 4,5%±1% pada tahun 2011 dan 2012. Pada Februari 2011 Bank
Indonesia menaikkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,75% sebagai respon atas
meningkatnya ekspektasi inflasi, yang dipengaruhi tingginya inflasi volatile food.
Sejak September 2011, stance kebijakan moneter mulai memberikan sinyal kuat
memasuki fase longgar, dengan diturunkannya batas bawah koridor suku bunga pasar
uang antar bank (PUAB) O/Ndari 100 bps menjadi 150 bps. Selanjutnya, pada Oktober
dan November 2011 Bank Indonesia menurunkan BI rate masing-masing 25 bps dan
50 bps sehingga BI Rate menjadi 6,0% saat ini.
Perekonomian nasional juga dipagari dari sumber-sumber instabilitas seperti lalu
lintas modal jangka pendek dengan kebijakan manajemen lalu lintas modal. Di
samping itu, struktur aliran modal perlu diperbaiki dengan menggesernya ke
instrument yang lebih panjang. Oleh karena itu, pada 13 Mei 2011, masa tahan
kepemilikan SBI diperpanjang menjadi 6 bulan (six month holding period) dari
sebelumnya 1 bulan.
Dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas nilai tukar dan pendalaman
pasar valas, perlu juga mencari terobosan kebijakan struktural meskipun tetap dalam
koridor rezim devisa bebas (UU No. 24 tahun 1999). Kebijakan perlu ditempuh untuk
memperkuat ketersediaan pasokan valas yang lebih permanen. Hal ini mengingat
sampai saat ini keseimbangan pasar valas domestik masih sangat tergantung pada
pasokan valas yang bersumber dari investasi portofolio asing, yang rentan terhadap
risiko pembalikan dalam skala besar dan mendadak. Oleh karena itu, pada akhir
September 2011 telah diterbitkan peraturan yang mewajibkan penerimaan devisa hasil
ekspor (DHE) dan devisa utang luar negeri (DULN) diterima melalui bank devisa di
dalam negeri. Kebijakan ini berlaku efektif Januari 2012.
Di bidang perbankan, selama 2011 beberapa langkah kebijakan yang dibingkai
oleh empat pilar, yaitu:
a)
Kebijakan untuk mendorong peran intermediasi perbankan, agar
intermediasi dapat berjalan secara lebih efisien dan transparan, serta untuk
lebih membuka akses masyarakat kecil terhadap jasa keuangan. Termasuk
dalam kebijakan ini adalah kebijakan mengenai Transparansi Informasi
Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), serta kelanjutan program financial
inclusion.
b)
Kebijakan untuk meningkatkan ketahanan perbankan, agar bank
tetap kuat dan sehat dalam menghadapi persaingan, melalui pengelolaan
yang lebih transparan dengan mengacu pada prinsip tata kelola yang baik.
Kebijakan termasuk penyempurnaan perhitungan permodalan agar lebih
sesuai risiko, serta mewajibkan bank menerapkan strategi anti fraud,
prinsip kehati-hatian dalam melakukan alih daya, dan manajemen risiko
dalam melakukan layanan nasabah prima.
c)
Kebijakan untuk penguatan fungsi pengawasan, yang ditujukan
untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengawasan bank, terutama
dalam hal kualitas early warning system.
d)
Penguatan kebijakan makroprudensial. Kebijakan ini bertujuan untuk
lebih memperkuat stabilitas sistem keuangan melalui pelaksanaan
macropudential surveillance yang lebih baik. Termasuk dalam kebijakan ini
adalah kenaikkan GWM Valas dan GWM-LDR.
Tantangan
Tantangan eksternal yang semakin menguat intensitasnya adalah terkait risiko
kerentanan pemulihan ekonomi global, yang dapat lebih buruk dari perkiraan awal
(downside risk). Kompleksitas krisis yang dihadapi Eropa dari jeratan utang, dapat
cukup berpengaruh terhadap ekonomi global. Di sisi lain, kombinasi antara risiko
pemburukan ekonomi global, tingkat suku bunga di negara maju yang sangat rendah,
dan ekses likuiditas global berpotensi menggerakkan modal portofolio global dengan
pola dua arah (two-way capital flows). Ini merupakan sumber instabilitas yang akan
menjadi tantangan kebijakan bagi otoritas di negara emerging market dalam menjaga
stabilitas makro dan sistem keuangannya.
Industri perbankan nasional, meskipun jauh lebih tangguh pasca krisis 1998,
namun kontribusi dalam pembangunan ekonomi nasional masih sub-optimal.
Tingginya aset industri perbankan tidak diikuti secara seimbang dengan peningkatan
kontribusinya bagi perekonomian. Ini karena terdapat bagian dari aset perbankan,
yang dari perspektif makro tidak produktif, yaitu dalam bentuk ekses likuiditas yang
ditempatkan dalam instrument moneter dan Surat Bendahara Negara (SBN). Ekses
likuiditas tersebut juga menjadi fakta hubungan yang masih merenggang (decoupling)
antara sektor perbankan dan sektor riil.
Tingkat efisiensi industri perbankan yang masih rendah memberikan kontribusi
pada penetapan suku bunga kredit yang tinggi. Meskipun fungsi intermediasi berjalan,
ketidakefisienan operasional perbankan akan melahirkan biaya ekonomi tinggi,
sehingga perekonomian menjadi kurang memiliki daya saing.
Di pasar barang, inefisiensi juga menimbulkan beban bagi perekonomian akibat
lemahnya struktur mikro pasar, yang menghambat kemampuan pasar untuk
mengalokasikan sumber daya secara efisien.
Prospek Perekonomian 2012
Di tengah melambatnya ekonomi global, perekonomian nasional di tahun 2012
diperkirakan akan tumbuh 6,3% - 6,7%. Penurunan BI rate sejak Oktober 2011 lalu
akan mampu menghidupkan sumber-sumber pembiayaan domestik, terutama yang
berasal dari sektor perbankan. Tekanan inflasi pada 2012 tetap akan terkendali. Dalam
kondisi ekonomi global yang melambat, perkembangan harga komoditas global yang
melaju rendah, dan didukung kapasitas produksi di domestik yang memadai, kami
memperkirakan inflasi pada 2012 akan stabil di tingkat sekitar 4,5%. Hal ini masih
konsisten dengan sasaran inflasi 2012-2013 yaitu 4,5 ± 1%..
Arah Kebijakan Moneter dan Perbankan
1. Pertama, mengoptimalkan peran kebijakan moneter dalam mendorong
kapasitas perekonomian sekaligus memitigasi risiko perlambatan ekonomi
global. Respon suku bunga akan diarahkan agar konsisten untuk pencapaian
sasaran inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) sekaligus untuk menjaga
momentum penguatan ekonomi, memitigasi risiko dari perlambatan ekonomi
global
serta
risiko
pertumbuhannya
kerentanan
tidak
pada
sustainable
sektor-sektor
atau
konsumtif
berpotensi
yang
mengalami
pengelembungan harga aset (asset bubble).
Dalam rangka pengendalian inflasi di daerah, fungsi Kantor Bank Indonesia
(KBI) akan semakin dioptimalkan sebagai fasilitator dan katalisator percepatan
pembangunan di daerah dengan memperkuat jalinan hubungan dengan
Pemerintah Daerah. Pelaksanaan tugas TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah)
ke depan perlu ditopang dengan sistem informasi harga barang strategis
terutama mencakup informasi mengenai produksi dan stok secara nasional.
2. Kedua,
Meningkatkan
efisiensi
perbankan
untuk
mengoptimalkan
kontribusinya dalam perekonomian, dengan tetap memperkuat ketahanan
perbankan. Dalam rangka meningkatkan daya saing perbankan, kebijakan
Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) akan dilanjutkan untuk memastikan
mekanisme pasar berjalan dengan baik.
Sebagai tindak lanjut dari sisi pengawasan bank, akan ditingkatkan
enforcement ketentuan dengan mewajibkan Rencana Bisnis Bank (RBB)
mencantumkan target-target peningkatan efisiensi dan penurunan suku bunga
kredit pada level yang wajar.
3. Ketiga,
Meningkatkan
efisiensi,
kehandalan,
dan
keamanan
sistem
pembayaran, baik dalam sistem pembayaran nasional maupun hubungan
sistem pembayaran dengan luar negeri.
4. Keempat, Memperkuat ketahanan makro dengan memantapkan koordinasi
dalam manajemen pencegahan dan penanganan krisis (PMK).
5. Kelima, Mendukung pemberdayaan sektor riil termasuk melanjutkan upaya
perluasan akses perbankan (financial inclusion) kepada masyarakat melalui
peningkatan kualitas program Tabunganku, pengembangan edukasi keuangan,
pelaksanaan Financial Identity Number dan pelaksanaan survei literacy.
Download