CD Kampus - IPB Repository

advertisement
PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK
(Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang
Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)
Oleh
DYAH ISTYAWATI
A 14202002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
DYAH ISTYAWATI. PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN
M EROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan
Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan). (Di bawah bimbingan DWI
SADONO).
Rokok memang isu yang tidak pernah bisa tuntas dibahas penanganannya.
Rokok telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Di sejumlah negara, baik di
negara maju maupun kawasan ASEAN, konsumsi rokok mengalami penurunan,
kecuali Indonesia. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok,
Gubernur DKI Jakarta mencanangkan program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR) di
tempat-tempat umum.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1) Mendapat gambaran
mengenai persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok; 2) Mengkaji
faktor- faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif terhadap
peraturan larangan merokok; 3) Mengkaji hubungan antara persepsi perokok aktif
terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku
merokok.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Pela Mampang yang terletak di
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Responden penelitian ini adalah
perokok aktif yang tinggal di wilayah Kelurahan Pela Mampang. Penelitian ini
dilakukan selama dua bulan yaitu bulan Juli sampai dengan Agustus 2007.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif yang
didukung oleh data kualitatif. Adapun metode penelitian kuantitatif yang digunakan
adalah penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi
dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok. Data kualitatif
diperoleh dari informan dan beberapa kasus responden terpilih. Data kuantitatif yang
diperoleh diolah dan diuji secara statistik dengan menggunakan bantuan program
SPSS 12.0 untuk Windows. Uji yang dilakukan adalah Uji Chi-Square (Kai-Kuadrat)
dan Uji Korelasi Rank Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar perokok aktif memiliki persepsi
tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok karena jumlah denda yang terlalu
besar dan ancaman pidana yang terlalu berat. Perokok aktif merasa dengan adanya
peraturan larangan merokok ruang lingkup untuk merokok dibatasi karena para
perokok jika ingin merokok harus berada di ruangan khusus merokok.
Karakteristik individu pada jenis kelamin tidak ada perbedaan antara laki- laki
dan perempuan dimana sama -sama memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan
larangan merokok. Sebagian besar responden memiliki pendidikan akhir perguruan
tinggi dimana diharapkan lebih memahami dan mentaati peraturan larangan merokok
tetapi mereka umumnya tidak menyetujui diterapkannya peraturan larangan merokok.
Tingkat pendapatan tidak mempengaruhi dalam mengurangi kebiasaan merokok
dikarenakan merokok bagi responden sudah menjadi kebiasaan. Motif merokok
karena pengaruh orangtua merokok dan teman merokok berpengaruh besar terhadap
munculnya keinginan menjadi perokok aktif dan motif ini dalam uji statistik
berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok yang ditunjukkan dengan
nilai P Value sebesar 0,01 dan 0,032. Tingkat pengetahuan tentang dampak merokok
tidak berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok. Walaupun tingkat
pengetahuan perokok aktif tinggi namun tidak berkeinginan untuk berhenti merokok
karena merokok sudah menjadi kebiasaan dan untuk menguranginya memerlukan
waktu yang cukup lama.
Perokok aktif mentaati peraturan larangan merokok jika berada di gedung
perkantoran dan pusat perbelanjaan dikarenakan adanya aparat penegak hukum
(pengawas) dan untuk menghindari dari ancaman pidana serta denda yang dirasakan
cukup berat. Peraturan larangan merokok tidak dilaksanakan responden di lingkungan
tempat tinggalnya dikarenakan tidak adanya aparat penegak hukum.
PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK
(Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang
Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan )
Oleh
DYAH ISTYAWATI
A14202002
SKRIPSI
Sebagai Bagian Persyaratan Kelulusan untuk Memperoleh Gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh :
Nama Mahasiswa
: Dyah Istyawati
No Pokok
: A14202002
Judul
: Persepsi Terhadap Peraturan Larangan Merokok
(Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang,
Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Dwi Sadono, M.Si.
NIP. 132 009 375
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian :
15 Februari 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN
MEROKOK (KASUS : PEROKOK AKTIF DI KELURAHAN PELA
M AMPANG,
KECAMATAN
MAMPANG
PRAPATAN,
KOTAMADYA
JAKARTA SELATAN)”. BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI
PADA
PERGURUAN
TINGGI
ATAU
LEMBAGA
LAINNYA. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR
HASIL
KARYA
SENDIRI
DAN
TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Februari 2008
Dyah Istyawati
A14202002
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, pada tanggal 15 Agustus 1984,
sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ir. Muhammad Yudi
Siswanto dan Sri Istatik.
Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah 12 Pamulang
pada tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Pamulang dan lulus pada
tahun 1999. Penulis menyelesaikan sekolah menengah umum di SMU MADANiA
Boarding School pada tahun 2002, dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi
masuk IPB melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang dapat penulis haturkan selain puji syukur kepada Allah SWT
yang
telah
memberikan
rahmat
dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam senantiasa
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi ini berjudul “Persepsi Terhadap Peraturan Larangan Merokok (Kasus :
Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan,
Kotamadya Jakarta Selatan)”. Judul skripsi tersebut dipilih untuk mendapat gambaran
mengenai persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok, untuk
mengkaji faktor- faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif
terhadap peraturan larangan merokok dan untuk mengkaji hubungan antara persepsi
perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok dengan implementasi (penerapan)
perilaku merokok pada peraturan larangan merokok. Skripsi ini diajukan sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan moril dan materil se lama proses penyusunan skripsi
ini. Penulis menyadari bahwa ada keterbatasan yang terjadi pada saat penulisan skripsi
ini.
Bogor, Februari 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis
menghaturkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan masukan,
dorongan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain:
1. Ir. Dwi Sadono, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan
untuk meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi
kepada penulis dengan penuh kesabaran dan kesungguhan hati mulai dari proses
penulisan proposal, penelitian, dan penulisan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Pudji Muljono, MS, selaku dosen penguji utama dalam ujian siding skripsi.
3. Martua Sihaloho, M.Si. selaku dosen penguji dari departemen.
4. Ir. Bambang S. Utomo, MDS. selaku dosen pembimbing akademik atas semangat,
saran dan kesabaran membantu penulis dalam bidang akademik.
5. Ayahku Ir. Muhammad Yudi Siswanto dan Ibuku Sri Istatik dan Nina Alfiana
tersayang atas ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, dukungan dan
pengorbanan yang tiada akhirnya serta doa yang tiada hentinya, selalu diberikan
kepada penulis.
6. Ibuku Kasmilah tersayang atas ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran, dukungan
dan pengorbanan yang tiada akhirnya serta doa yang tiada hentinya, selalu
diberikan kepada penulis.
7. Suamiku tercinta Tri Joko Sunaryo atas ketulusan cinta, kasih sayang, kesabaran,
dukungan dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis. Anakku tercinta Aira
Rahmania Saqina yang selalu memberikan keceriaan dan canda tawa kepada ibu.
8. Tim sukses Focus Comp. (Herdy dan Ranto) atas bantuan selama proses
pengerjaan skripsi penulis.
9. Seluruh staf pengajar Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan pengetahuan selama penulis
mengikuti pendidikan.
10. Untuk teman-teman KPM’39 terima kasih untuk canda tawa dan kebersamaannya.
11. Sahabat-sahabatku tercinta : Mbak Aida, Ida, Ulan, Mbak Desi, yang selalu ada di
saat penulis membutuhkan masukan dan saran selama ini. Terima kasih atas
semua kebersamaan yang kita lalui.
12. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penulisan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga mendapat balasan
yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Akhir kata, semoga
skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Februari 2008
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………....
xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
xiii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………
1.1
1.2
1.3
1.4
1
Latar Belakang ………………………………………………..
Perumusan Masalah …………………………………………..
Tujuan Penelitian ……………………………………………..
Kegunaan Penelitian …………………………………………..
1
2
4
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN …...
5
2.1 Perokok Aktif …………………………………………………
2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok
2.1.2 Tipe-tipe Perokok Aktif ..................................................
2.2 Dampak dari Sebatang Rokok ...................................................
2.3 Peraturan Larangan Merokok ....................................................
2.4 Persepsi ......................................................................................
2.4.1 Pengertian Persepsi ........................................................
2.4.2 Proses Terbentuknya Persepsi ………… .......................
2.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi ................
2.4.4 Hubungan Antara Persepsi dan Perilaku ......................
2.5 Kerangka Pemikiran …………..................................................
2.6 Hipotesa Penelitian ……………………………………………
2.7 Definisi Operasional …………………………………………..
5
9
11
14
16
17
17
19
21
24
24
27
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………………
32
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………
Penentuan Sampel …………………………............................
Sumber Data Penelitian ………………………………...........
Metode Pengumpulan Data ………………………………….
Teknik Pengolahan dan Analisis Data ……………………….
Penafsiran Data ………………………………………………
BAB IV GAMBARAN UMUM ……………………………………………
4.1
4.2
Provinsi DKI Jakarta ………………………………………...
Kotamadya Jakarta Selatan ………………………………….
4.2.1 Visi da n Misi Jakarta Selatan ……………………….
32
32
34
34
35
36
37
37
38
40
4.3
4.4
4.2.2 Kelurahan Pela Mampang …………………………..
Gambaran Perokok Aktif ……………………………………
Gambaran Umum Responden ……………………………….
4.4.1 Karakteristik Individu Perokok Aktif ……………….
4.4.1.1 Jenis Kelamin Perokok Aktif ……………….
4.4.1.2 Tingkat Pendidikan …………………………
4.4.1.3 Tingkat Pendapatan …………………………
4.4.1.4 Motif Merokok ………………………………
4.4.1.5 Status Perkawinan …………………………..
4.4.2 Tingkat Pengetahuan ………………………………...
4.4.3 Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………
40
42
43
43
43
44
45
47
48
50
51
BAB V HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU, TINGKAT
PENGETAHUAN DENGAN PERSEPSI PERATURAN LARANGAN
MEROKOK ………………………………………………………..
53
5.1
5.2
Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Persepsi
Peraturan Larangan Merokok ……………………………….
5.1.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin Individu dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………
5.1.2 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………
5.1.3 Hubungan Antara Pendapatan dengan Persepsi
Peraturan Larangan Merokok ………………………..
5.1.4 Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi
Peraturan Larangan Merokok ………………………..
5.1.5 Hubungan Antara Status Perkawinan dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………
Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Dampak Merokok
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ……………...
53
53
54
55
56
58
60
BAB VI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PERATURAN LARANGAN
M EROKOK DENGAN PENERAPAN PERILAKU
M EROKOK ………………………………………………………
62
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………
66
7.1
7.2
Kesimpulan …………………………………………………
Saran ………………………………………………………..
66
67
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
68
LAMPIRAN ………………………………………………………………..
70
DAFTAR TABEL`
Nomor
Halaman
Teks
1.
Negara- negara dengan Konsumsi Tembakau Tertinggi …………...
5
2.
Produksi dan Konsumsi Rokok Nasional Tahun 1996 – 2002 ….....
6
3.
Persebaran Kelurahan Kotamadya Jakarta Selatan ………………...
39
4.
Persebaran Kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan …………
40
5.
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin …………………………………………………….............
43
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Pendidikan ………………………………………………………….
45
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan
Pendapatan …………………………………………………………
46
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Motif
Merokok ……………………………………………………………
47
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Status
Perkawinan …………………………………………………………
49
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat
Pengetahuan ………………………………………………………..
50
Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Persepsi
Terhadap Peraturan Larangan Merokok ……………………………
51
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Jenis
Kelamin …………………………………………………………….
54
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat
Pendidikan ……………………………………………….................
55
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat
Pendapatan ………………………………………………................
56
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Motif
Merokok …………………………………………………………....
57
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan
Larangan Merokok ………………………………………………...
58
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Status
Perkawinan ………………………………………………………
59
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat
Pengetahuan Mengenai Dampak Merokok ……………………...
61
Lampiran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Jenis Kelamin
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok ………………….
71
Hasil Uji SPSS Tentang Hub ungan Antara Tingkat Pendidikan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
72
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Pendapatan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
73
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Motif Me rokok
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
74
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
79
Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Status Perkawinan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok …………………
80
Kuesioner ……………………………………………………….
81
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Teks
8.
Perokok Pria Dewasa Berdasarkan Pendidikan …………………....
7
9.
Usia Mulai Merokok ……………………………………………….
8
10.
Proses Terbentuknya Persepsi ……………………………………...
20
11.
Kerangka Pemikiran Persepsi Perokok Aktif Terhadap
Peraturan Larangan Merokok ………………………………………
27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Rokok tidak pernah bisa tuntas dibahas penanganannya. Ia dibutuhkan bagi
sebagian orang tetapi juga menyimpan bahaya penderitaan dan kematian jika
mengkonsumsinya. Rokok telah menjadi bagia n dari budaya masyarakat. Rokok juga
dianggap sebagai simbol dari keakraban diantara warga, contohnya di daerah Jawa
Barat, bila ada acara selamatan yang disajikan sebelum makanan lain adalah rokok
yang ditempatkan di dalam gelas pada saat acara pembacaan do’a telah selesai
dilakukan.
Sejumlah negara, baik di negara maju maupun kawasan ASEAN, konsumsi
rokok mengalami penurunan, kecuali di Indonesia. Pakar penyakit paru FKUI Prof.
Dr. Hadiarto Mangunnegoro dalam Singgih (2002) menyatakan jumlah perokok aktif
di Indonesia naik dari 22,5 persen pada tahun 1990-an menjadi 60 persen dari jumlah
penduduk pada tahun 2000. Lebih menyedihkan lagi, 60 persen diantara perokok
adalah kelompok berpenghasilan rendah. Tingginya konsumsi merokok dipercaya
menimbulkan implikasi negatif yang sangat luas, tidak saja terhadap kualitas
kesehatan tetapi juga menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi.
Direktur WHO Kawasan Asia Pasifik Prof. Uton Muchtar Rafei dalam Singgih
(2002) menyatakan bahwa kenyataan tersebut menunjukkan masala h rokok di
Indonesia tampaknya tidak bisa diselesaikan lagi dengan hanya mengingatkan bahaya
rokok bagi kesehatan, seminar, penyuluhan, kampanye. Cara-cara seperti itu sudah
dianggap tidak ampuh sehingga sudah waktunya diperlukan alat lain yang lebih
ampuh, yakni alat legalitas hukum atau perundang-undangan. Untuk itu, diperlukan
komitmen yang kuat dari para pemimpin baik itu dari pemerintah, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), tokoh masyarakat, artis, LSM dan sebagainya, yang muaranya
menghasilkan Undang-undang (UU) mengenai rokok.
Salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok, WHO mencanangkan
program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR) di tempat-tempat umum. Program seperti
ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN; Singapura, Malaysia
bahkan Vietnam. Di Malaysia, orang merokok di tempat umum didenda 500 ringgit,
di Bangkok didenda 2.000 baht.
Oleh sebab itu, kebijakan Gubernur DKI Jakarta menjadi rasional dan layak
mendapatkan dukungan masyarakat. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang digagas
oleh Pemda DKI Jakarta, sebenarnya, bukan yang pertama kali. Peraturan Pemerintah
No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang kemudian diubah
menjadi PP No. 19/2003; sudah lebih dahulu mengatur tentang larangan merokok di
tempat-tempat umum tetapi Peraturan Pemerintah tersebut tidak bisa memberikan
sanksi.
1.2
Perumusan Masalah
Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok,
perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih
dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari
di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap
saat dapat disaksikan dan dijumpai orang yang sedang merokok. Hal yang
memprihatinkan adalah usia mulai merokok yang setiap tahun semakin muda. Dua
puluh tahun yang lalu orang mulai berani merokok ketika masih dibangku SMP tetapi
sekarang dapat dijumpai anak-anak SD sudah mulai banyak yang merokok secara
diam-diam.
Kebijakan peraturan larangan merokok ditujukan untuk menekan jumlah
perokok aktif dan pasif yang semakin meninggi. Peraturan larangan merokok ini
menimbulkan reaksi dan persepsi yang berbeda antara perokok aktif di Jakarta.
Pembentukan persepsi terhadap peraturan larangan merokok dapat dilihat kaitannya
pada karakteristik perokok aktif dan pengetahuan terhadap dampak merokok.
Karakteristik individu yang berbeda-beda dapat dinilai sebagai indikator terbentuknya
persepsi, dimana karakteristik tersebut ditunjukkan dengan jenis kelamin, pendapatan,
tingkat pendidikan, dan motif merokok.
Berdasarkan uraian di atas maka masalah penelitian yang akan dianalisis dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok saat ini?
2. Faktor-faktor apa saja yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif
terhadap peraturan larangan merokok?
3. Bagaimana hubungan antara persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan
merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan
larangan merokok?
1.3
Tujuan Pene litian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendapat gambaran mengenai persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan
merokok.
2. Mengkaji faktor-faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi perokok aktif
terhadap peratur an larangan merokok.
3. Mengkaji hubungan antara persepsi perokok aktif terhadap peraturan larangan
merokok dengan implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan
larangan merokok?
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi para pihak, yaitu :
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan akan lebih mempertajam pengetahuan
yang selama ini diperoleh dari proses belajar baik melalui bangku perkuliahan
maupun penelaahan sumber-sumber informasi yang relevan.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan
umum yang memperluas wawasan masyarakat mengenai pengendalian perilaku
merokok, khususnya yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perokok Aktif
Rokok telah menjadi konsumsi rutin bagi para perokok, dimana mereka
mengkonsumsinya setiap hari. Bagi para perokok, merokok adalah kebiasaan yang
sulit ditinggalkan. Pada Tabel 1 disajikan negara-negara dengan jumlah konsumsi
tembakau tertinggi di dunia.
Tabel 1. Negara-negara dengan Konsumsi Tembakau Tertinggi
Negara
China
Amerika Serikat
Rusia
Jepang
Indonesia
Jerman
Turki
Brasilia
Italia
Spanyol
Konsumsi
(dalam miliar batang)
1.697.291
463.504
375.000
299.085
181.958
148.400
116.000
108.200
102.357
94.307
Sumber: WHO (2002)
Dari hasil survai Departemen Kesehatan jumlah perokok pada tahun 2003
sebanyak 59,04 persen laki- laki dan 4,83 persen perempuan. Indonesia menempati
urutan kelima negara pengkonsumsi rokok terbesar di dunia setelah China, Amerika
Serikat, Jepang dan Rusia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tingkat produksi dan konsumsi rokok di Indonesia termasuk sangat tinggi di
dunia. Indonesia termasuk memiliki kecenderungan konsumsi rokok yang terus
meningkat. Mengacu data dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia
(GAPPRI), produksi dan konsumsi rokok memiliki kecenderungan meningkat. Data
tersebut ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Rokok Nasional Tahun 1996-2002
Tahun
Produksi
(dalam miliar batang)
Konsumsi
(dalam miliar batang)
1996
201,16
196,181
1997
207,64
190,944
1998
196,20
166,345
1999
225,40
187,685
2000
232,46
194,760
2001
210,29
206,354
2002
226,95
214,931
Sumber: GAPPRI (2002)
Keinginan merokok di kalangan orang dewasa meningkat menjadi 31,5 persen
tahun 2001 dari 26,9 persen pada tahun 1995. Keinginan merokok di kalangan lakilaki dewasa di pedesaan adalah 67,0 persen dibandingkan dengan 58,3 persen di
perkotaan. Sebagian besar penduduk Indonesia banyak yang tidak menikmati
pendidikan formal di bangku sekolah. Perokok dengan pendidikan formal rendah
mungkin tidak mengerti sepenuhnya peringatan kesehatan dalam bentuk tulisan,
sehingga gambar akan lebih efektif. Keinginan merokok tertinggi (73,3%) terdapat
pada laki- laki tanpa pendidikan dan yang tidak lulus SD dibandingkan dengan 44,2
persen pada mereka dengan latar belakang akademik, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Perokok Pria Dewasa Berdasarkan Pendidikan
80
73.3
65.9
70
60
53.3
58.2
44.6
50
40
30
20
10
0
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMU
Universitas
S
umber: Depkes (2001)
Keterangan : Persentase terhadap jumlah penduduk yang pendidikannya sama.
Anak-anak dan remaja belum mampu untuk menimbang bahaya merokok bagi
kesehatan dan dampak adiktif dari nikotin. Kebiasaan merokok yang dimulai pada
masa anak-anak lebih sulit dihentikan. Anak-anak yang merokok mempunyai resiko
tinggi untuk mengidap penyakit akibat tembakau pada usia paruh baya. Hampir 70
persen perokok Indonesia mulai merokok sebelum mereka berumur 19 tahun, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Usia Mulai Merokok
80
60
59.1
40
20
0
%
23.8
9.4
0.3
5-9 tahun
10-14
tahun
15-19
tahun
20-24
tahun
4.8
2.6
25-29
tahun
30 tahun
ke atas
Sumber: Depkes (2001)
Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001 menyebutkan bahwa :
1. Sejumlah 27 persen penduduk berusia di atas 10 tahun menyatakan merokok
dalam satu bulan terakhir.
2. Sejumlah 54,5 persen penduduk laki- laki merupakan perokok dan hanya 1,2
persen perempuan yang merokok.
3. Terdapat peningkatan sebesar 4 persen penduduk umur di atas 10 tahun yang
merokok dalam kurun waktu 6 tahun.
4. Sejumlah 92,0 persen dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam
rumah, ketika bersama anggota keluarga lainnya dengan demikian sebagian besar
anggota keluarga lainnya merupakan perokok pasif.
5. Sejumlah 68,5 persen penduduk mulai merokok pada usia 20 tahun meningkat 8
persen dari Susenas 1995 yaitu 60,0 persen.
6. Peningkatan usia muda yang merokok, kelompok umur 25-29 tahun (75 %) dan
kelompok umur 20-24 tahun (84,0 %).
2.1.1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok
Departemen
Kesehatan
(2001)
mendapati
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi remaja memulai untuk merokok, yaitu (1) Adanya anggota keluarga
yang merokok, seperti orang tua maupun saudara kandung, (2) Teman dan kelompok
seusia, kaum remaja pada umumnya ingin sekali diterima oleh kelompok seusia dan
tidak ingin merasa dikucilk an karena merasa kurang cocok, (3) Kelegaan dari
perasaan negatif, pendapat bahwa merokok menimbulkan rasa santai dan merupakan
cara untuk mengatasi stress, (4) Mempunyai tujuan untuk merokok, para pelajar yang
menyatakan bahwa mereka ingin merokok kemungkinan besar akan mulai merokok
daripada mereka yang menyatakan tidak mempunyai keinginan untuk merokok, (5)
Promosi tembakau melalui iklan di televisi, majalah, dan sponsor pada acara konser
musik dikalangan remaja.
Al-Bachri (1991) menerangkan beberapa alasan para perokok memulai untuk
merokok berdasarkan hasil penelitian yang didapatnya, yaitu :
1. Pengaruh Orangtua
Remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menekankan nilai- nilai sosial
dan agama dengan baik dengan tujuan jangka panjang lebih sulit untuk terlibat
dengan rokok, tembakau, obat-obatan dibandingkan dengan keluarga yang
permisif dengan penekanan pada falsafah “kerjakan urusanmu sendiri-sendiri”.
Paling kuat pengaruhnya adalah bila orangtua sendiri menjadi figur contoh yaitu
sebagai perokok berat, maka anak-anaknya akan mungkin sekali untuk
mencontohnya. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada mereka yang tinggal
dengan satu orangtua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai
perokok bila ibu mereka merokok daripada ayah yang merokok, hal ini lebih
terlibat pada remaja putri.
2. Pengaruh Teman
Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka
semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian
sebaliknya. Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi, pertama remaja
tadi terpengaruh oleh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut
dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi
perokok. Diantara remaja perokok terdapat 87% mempunyai sekurang-kurangnya
satu atau lebih sahabat yang perokok.
3. Faktor Kepribadian
Orang mencoba untuk merokok karena alas an ingin tahu atau ingin melepaskan
diri dari rasa sakit fisik atau jiwa, membebaskan diri dari kebosanan. Namun satu
sifat kepribadian yang bersifat prediktif pada pengguna obat-obatan (termasuk
rokok) ialah konformitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi pada berbagai
tes konformitas sosial lebih mudah menjadi pengguna dibandingkan dengan
mereka yang memiliki skor yang rendah.
4. Pengaruh Ikla n
Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa
perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali
terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.
2.1.2
Tipe -tipe Perokok Aktif
Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat merokok,
perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih
dapat ditolerir oleh masyarakat. Hal ini dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari
di lingkungan rumah, kantor, angkutan umum maupun di jalan-jalan. Hampir setiap
saat dapat dijumpai orang yang sedang merokok.
Al-Bachri (1991) membagi empat tipe perokok, yaitu :
1. Perokok sangat berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang per
hari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi.
2. Perokok berat adalah bila mengkonsumsi sekitar 21-30 batang sehari dengan
selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6-30 menit.
3. Perokok sedang adalah bila menghabiskan rokok sekitar 11-21 batang sehari
dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.
4. Perokok ringan adalah bila menghabiskan rokok sekitar 10 batang sehari dengan
selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
Menurut Silvan Tomkins dalam Al- Bachri (1991) ada empat tipe perilaku
merokok berdasarkan Management of Affect Theory, ke empat tipe tersebut adalah :
1. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan merokok seseorang
merasakan penambahan rasa yang positif. Tipe perokok ini dibagi dalam 3 sub
tipe, yaitu :
a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau
meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah
minum kopi atau makan.
b. Stimulation to pick them up, perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya
untuk menyenangkan perasaan.
c. Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh dengan
memegang rokok. Spesifik pada perokok pipa, perokok pipa akan
menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk
menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja atau perokok
lebih senang berlama- lama untuk memainkan rokoknya dengan jari- jarinya
sebelum menyalakan dengan api.
2. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang
menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila ia marah,
cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat. Mereka menggunakan rokok
bila perasaan tidak enak terjadi sehingga terhindar dari perasaan yang lebih tidak
enak. Perokok yang memiliki perilaku seperti ini digolongkan pada tipe perokok
kadang-kadang, karena mereka merokok pada saat perasaan mereka tidak nyaman.
Tipe perokok kadang-kadang termasuk perokok aktif, walaupun rutinitas untuk
merokok tidak setiap hari.
3. Perilaku merokok yang adiktif, disebut sebagai psychological addiction. Mereka
yang sudah adiksi akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah
efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Mereka umumnya akan pergi keluar
rumah membeli rokok walau tengah malam sekalipun karena khawatir kalau rokok
tidak tersedia setiap saat diinginkan.
4. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok
sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena
benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutin. Dapat dikatakan pada orang-orang
tipe ini merokok sudah merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis,
seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Perokok akan menghidupkan api
rokoknya bila rokok yang sebelumnya telah benar-benar habis.
Al-Bachri
(1991)
juga
menyatakan
bahwa
tempat
merokok
juga
mencerminkan pola perilaku perokok. Tempat merokok dibedakan berdasarkan
tempat-tempat dimana seseorang menghisap rokok, maka dapat digolongkan :
1. Merokok di tempat-tempat umum atau ruang publik, yaitu :
•
Kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka
menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain,
karena itu mereka menempatkan diri di smoking area.
•
Kelompok yang heterogen (merokok ditengah-tengah orang lain yang tidak
merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll). Mereka yang berani
merokok di tempat tersebut tergolong sebagai orang yang tidak berperasaan,
kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang terpuji dan
kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar “racun” kepada
orang lain yang tidak bersalah.
2. Merokok di tempat-tempa t yang bersifat pribadi, yaitu :
•
Di kantor atau di kamar tidur pribadi. Mereka yang memilih tempat-tempat
seperti ini sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang
menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gelisah yang mencekam.
•
Di toilet. Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka
berfantasi.
Menurut Dariyo (2003) bahwa tipe perokok ada dua jenis, yaitu perokok aktif
(active sm ooker) dan perokok pasif (passive smooker) :
a. Perokok aktif adalah individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok.
Merokok sudah menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tak enak kalau sehari
tidak merokok. Oleh karena itu, ia akan berupaya untuk mendapatkannya.
b. Perokok pasif adalah individu yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun
terpaksa harus menghisap asap rokok yang dihembuskan orang lain yang
kebetulan di dekatnya. Dalam keseharian mereka tidak berniat dan tidak
mempunyai kebiasaan merokok. Jika tidak merokok, mereka tidak merasakan apaapa dan tidak terganggu aktivitasnya. Tipe perokok ini dapat ditemui pada mereka
yang duduk di halte, di dalam bus kota atau di tempat-tempat umum dimana
didekat mereka ada seseorang atau beberapa orang yang sedang merokok. Jadi
perokok pasif dianggap sebagai korban dari perokok aktif.
2.2
Dampak dari Sebatang Rokok
Departemen Kesehatan (2000) mendapati bahwa kerugian yang ditimbulkan
dari rokok sangat banyak terutama bagi kesehatan tetapi masih banyak orang yang
tetap memilih untuk menikmatinya. Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia
berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan
tar yang bersifat karsinogenik. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran
tembakau dapat memicu terjadinya kanker. Pada awalnya rokok mengandung 8-20
miligram nikotin dan setelah dibakar nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah
hanya 25 persen. Walau demikian jumlah kecil tersebut memiliki waktu hanya 15
detik untuk sampai ke otak manusia.
Nikotin itu diterima oleh reseptor asetilkolin- nikotinik yang kemudian
membaginya ke jalur imbalan dan jalur adrenergik. Pada jalur imbalan, perokok akan
merasakan rasa nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa
lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar.
Sementara di jalur adrenergik, za t ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada
bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin
menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal
inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalk an rokok, karena sudah
ketergantungan pada nikotin. Ketika perokok berhenti merokok maka rasa nikmat
yang diperoleh dari rokok akan berkurang. Efek dari rokok atau tembakau memberi
stimulasi depresi ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran,
tingkah laku dan fungsi psikomotor.
Perokok pasif adalah orang yang menghisap asap rokok orang lain. Perokok
pasif mempunyai resiko kesehatan yang sama seperti resiko perokok aktif. Ibu hamil
yang terpapar asap rokok beresiko keguguran, lahir mati, bayi dengan berat badan
lahir rendah, kurang gizi, gangguan pertumbuhan bayi, bayi lahir prematur. Bayi dan
anak yang terpapar asap rokok beresiko perkembangan parunya lambat, infeksi
saluran nafas, infeksi telinga, kekambuhan asma dan bayi mati mendadak.
2.3
Peraturan Larangan Merokok
Rokok merupakan salah satu barang konsumsi yang dikenai tarif cukai oleh
pemerintah, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah negara-negara lainnya.
Dalam UU No.11 tahun 1995 tentang cukai, tujuan dikenakannya tarif cukai pada
rokok adalah untuk mengendalikan dan membatasi jumlah konsumsi rokok itu sendiri,
dengan alasan mengganggu kesehatan baik kesehatan orang yang tidak mengkonsumsi
(perokok pasif).
Undang-undang yang ada di Indonesia mensyaratkan peringatan kesehatan
untuk rokok, tapi tidak pada produk tembakau lainnya. Tidak ada peraturan tentang
ukuran minimum tanda peringatan dan hanya satu pesan saja yang digunakan pada
kemasan rokok. Masyarakat begitu terbiasa melihat pesan yang sama di semua merk
sehingga pesan itu malah menjadi semacam iklan tembakau.
Pemerintah menetapkan dan membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan rokok, seperti tarif cukai sebagai salah satu bentuk kebijakan pemerintah guna
mengendalikan konsumsi rokok, serta menetapkan dan mengeluarkan peraturanperaturan, antara lain, PP No.81 tahun 1999, PP No.38 tahun 2000, PP No.19 tahun
2003 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan.
Pemerintah sudah lebih dulu melindungi yang tidak merokok dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 1999 pada pasal 23 yang
mewajibkan semua tempat umum serta sarana pelayanan kesehatan, proses belajarmengajar, kegiatan ibadah, dan angkutan umum untuk bebas dari asap rokok.
Penerapan PP ini belum berjalan sesuai dengan isinya.
Pada tahun 2005 Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur
(Pergub) Nomor 75 Tahun 2005 dengan tujuan menurunkan angka kesakitan atau
angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat,
meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara yang
sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan angka perokok dan mencegah
perokok pemula, serta mewujudkan generasi muda yang sehat.
Larangan merokok tertuang pada Pasal 13 Perda Nomor 02 Tahun 2005 antara
lain berisi tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara
spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah
dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok. Perda ini
mencantumkan ancaman pidana bagi yang melanggar, dalam pasal 41 ayat 2 bab
tentang Ketentuan Pidana disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan
beberapa pasal dalam Perda termasuk pasal 13, diancam dengan pidana kurungan
paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp50 juta.
WHO dan YKI (Yayasan Kanker Indonesia) melakukan upaya-upaya berupa
kampanye -kampanye anti rokok dan menetapkan tanggal 31 Mei sebagai hari bebas
asap rokok sedunia. Upaya tersebut dimaksudkan untuk menggugah kesadaran
masyarakat agar jangan mulai merokok bagi orang yang belum merokok dan berhenti
merokok bagi para perokok.
2.4
Persepsi
2.4.1
Pengertian Persepsi
Persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami (Sarwono, 1999).
Veitch dan Arkkelin (1995) dalam Handoko (2003) menyatakan bahwa persepsi
merupakan dasar utama dan fundamental dari proses psikologi dalam kehidupan
manusia. Proses persepsi tersebut dimulai sejak manusia lahir dan terus berlangsung
serta mempunyai peran penting sepanjang hidup manusia. Persepsi ditandai dengan
adanya indera manusia yang menangkap stimuli. Persepsi terhadap lingkungan tidak
sekedar proses indera yang menangkap stimuli semata, namun persepsi juga
merupakan proses “menamai”, melukiskan, menggambarkan serta memberikan arti
bagi stimuli atau dunia sekitarnya. Handoko (2003) mendefinisikan persepsi sebagai
interpretasi atau penafsiran seseorang akan makna sesuatu baginya di dalam
memahami informasi tentang “dunianya” baik melalui penglihatan, pendengaran,
perasaan dan penalaran.
Pasaribu (1994) dikutip oleh Syahyuni (1999) mengatakan bahwa persepsi
adalah pandangan atau sikap seseorang terhadap sesuatu hal, yang menumbuhkan
motivasi atau kekuatan, dorongan atau tekanan yang menyebabkan seseorang
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Definisi persepsi lainnya dikemukakan oleh
Wibowo (1987) dikutip oleh Syahyuni (1999), menyatakan bahwa persepsi adalah
suatu gambaran, pengertian serta interpretasi seseorang mengenai suatu obyek,
terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan informasi itu dengan dirinya dan
lingkungan dimana ia berada.
Sadli (1976) sebagaimana dikutip oleh Soesetiyo (1990) mengemukakan
bahwa persepsi adalah penilaian seseorang mengenai suatu obyek tertentu berdasarkan
perasaannya sendiri. Sementara Kristono (1994) mendefinisikan persepsi sebagai
proses aktif baik mengenai stimuli yang mengenai seseorang, juga mencakup
pengalaman, motivasi, dan sikap-sikap yang relevan terhadap stimuli tersebut. Apa
yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari caranya mempersepsikan situasi,
mengapresiasikannya, atau apa yang ia ingat mengenai hal yang dihadapinya.
2.4.2
Proses Terbentuknya Persepsi
Menurut Calhoun dan Acocella (1990) pembentukan persepsi sosial dimulai
pada masa bayi, ketika pertama kali anak menyadari kehadiran manusia lain, pada
masa kanak-kanak, hingga berlanjut sampai dengan masa remaja, ketika si remaja itu
belajar bersimpati kepada orang lain dan untuk berpikir secara abstrak. De Vito (1997)
menyatakan bahwa proses persepsi berlangsung dalam tiga tahap, yaitu stimulasi alat
indera, penataan stimulasi, dan penafsiran pengevaluasian stimulasi.
Pada tahap pertama alat-alat indera distimulasi (dirangsang). Pada tahap ini
seseorang bisa mendengar musik, bisa melihat seseorang, mencium parfum orang
yang berdekatan, mencicipi sepotong kue, merasakan telapak tangan yang berkeringat.
Meskipun seseorang memiliki kemampuan penginderaan untuk merasakan stimulus
(rangsangan), namun stimulus tersebut tidak selalu digunakan.
Pada tahap kedua, rangsangan terhadap alat indera diatur menurut berbagai
prinsip. Prinsip yang digunakan adalah prinsip proksimitas (proximity), atau
kemiripan maksudnya seseorang mempersepsikan pesan yang datang, segera setelah
pesan yang lain sebagai satu unit dan menganggap bahwa keduanya tentu saling
berkaitan. Prinsip yang lain adalah kelengkapan (closure), maksudnya seseorang
memandang atau mempersepsikan suatu gambar atau pesan yang dalam kenyataannya
tidak lengkap sebagai suatu gambar atau pesan yang lengkap.
Tahap ketiga dalam proses perseptual adalah penafsiran-evaluasi. Kedua
istilah ini sengaja digabungkan untuk menegaskan bahwa keduanya tidak dapat
dipisahkan. Tahap ketiga ini merupakan proses subyektif yang melibatkan evaluasi di
pihak penerima. Penafsiran-evaluasi tidak semata- mata didasarkan pada rangsangan
luar, melainkan yang dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, kebutuhan, keinginan,
sistem nilai, keyakinan tentang seharusnya, keadaan fisik dan emosi pada saat itu, dan
sebagainya yang ada pada diri seseorang. Proses terbentuknya persepsi secara jelas
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Proses Terbentuknya Persepsi
Terjadinya
stimulasi alat
indera
Stimulasi
alat indera
diatur
Stimulasi alat
indera
dievaluasiditafsirkan
Sumber : De Vito (1997)
Proses
terbentuknya
persepsi
menurut
Veitch
dan
Arkellin
(1995)
sebagaimana dikutip oleh Handoko (2003) dibedakan menjadi empat tahapan, yakni
detection, recognition, discrimination, dan scaling terhadap stimuli yang diterima dari
lingkungan. Proses awal terbentuknya persepsi adalah mendeteksi stimulus berupa
perubahan energi dalam lingkungan seperti energi elektromagnetik, mekanik, kimia,
atau perubahan suhu lingkungan. Proses deteksi ini merupakan proses mengenali jenis
stimuli, tingkat stimuli, intensitas atau jumlah stimuli yang dapat diterima oleh
individu.
Tahap berikutnya adalah recognition atau proses mengetahui. Setelah mampu
mendeteksi objek atau stimuli dari lingkungannya maka proses selanjutnya adalah
individu harus mengetahui stimulus atau objek apa yang dideteksi tersebut. Tahap
ketiga
adalah
diskriminasi
terhadap
stimuli.
Individu
harus
mampu
mendiskriminasikan atau membedakan antara stimulus yang satu dengan stimulus
yang lain. Proses diskriminasi ini juga berkaitan dengan keadaan serba seimbang
antara
individu
dengan
lingkungannya,
artinya
ketika
individu
mampu
mendiskriminasikan bahwa stimulus tertentu dapat diterima maka hubungan antara
stimulus dengan individu cenderung dipertahankan. Hal ini yang kemudian disebut
sebagai kondisi serba seimbang. Namun bila individu telah mendiskriminasikan
bahwa stimulus tertentu telah berada di luar batas kemampuan individu untuk
menerimanya, maka cenderung akan dilakukan proses adaptasi atau adjustment.
Tahap keempat adalah scaling atau kemampuan mengukur dari individu
terhadap stimuli di lingkungannya merupakan proses dimana individu mampu
mengukur seberapa besar stimuli yang dapat diterima oleh individu tersebut atau bisa
juga seberapa besar stimuli yang ada dibutuhkan oleh individu tersebut.
2.4.3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Asngari (1984) dikutip oleh Sumitra (2003), persepsi dipengaruhi
oleh karakteristik pengalaman masa silam, selain itu juga dipengaruhi oleh
karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan status
kependudukan. Selanjutnya Rakhmat (1994) dikutip oleh Sumitra (2003) mengatakan
bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi persepsi adalah faktor personal dan faktor
situasional. Krech dan Crutchfield (1977) sebagaimana dikutip oleh Rakhmat (1994)
dalam Sumitra (2003) menyebut faktor personal sebagai fungsi fungsional dan faktor
situasional sebagai faktor struktural. Faktor- faktor tersebut dijelaskan oleh Sumitra
(2003) sebagai berikut :
1. Faktor personal atau fungsional
Dikatakan bahwa menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi
karakteristik seseorang yang memberikan respon pada stimuli. Faktor fungsional
yang lazim disebut kerangka rujukan, faktor ini berkaitan dengan persepsi objek,
sehingga para psikolog sosial menerapkan konsep ini untuk menjelaskan persepsi
sosial. Dalam kegiatan komunikasi, faktor fungsional ini mempengaruhi
bagaimana orang memberi makna pada pesan yang diterimanya.
2. Faktor situasional atau struktural
Faktor situasional terkadang disebut sebagai determinan perhatian yang bersifat
eksternal atau penarik perhatian (attention getter). Stimuli diperhatikan karena
mempunyai sifat-sifat yang menonjol seperti : gerakan, intensitas stimuli,
kebaruan, dan perulangan. Faktor struktural berasal semata- mata dari sifat stimuli
fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Kohler et al
(1959) dikutip oleh Sumitra (2003) merumuskan prinsip-prinsip yang bersifat
struktural
yang
disebut
Prinsip
Gestalt. Menurut
teori
ini
bila
kita
mempersepsikan sesuatu, kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan untuk
memahami seseorang, kita harus bisa melihatnya dalam konteksnya, dalam
lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya.
Selanjutnya Robbin (1988) dikutip oleh Yuniarti (2000) menyatakan ada
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan
persepsi
selain
juga
memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi antar individu terhadap objek yang
sama. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Keadaan pribadi orang yang mempersepsi
Adalah faktor yang terdapat dalam diri individu yang mempersepsikan, misalnya
kebutuhan, suasana hati, pengalaman masa lalu dan karakteristik lain yang
terdapat dalam diri individu. Adanya faktor fungsional yang dapat menyebabkan
perbedaan persepsi pada setiap orang terhadap suatu objek yang sama.
2. Karakteristik target yang dipersepsi
Karena target tidak dilihat sebagai suatu yang terisolasi, maka hubungan antar
target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal- hal yang dipersepsi
dapat mempengaruhi persepsi seseorang.
3. Konteks situasi terjadinya persepsi
Waktu dipersepsinya suatu kejadian juga dapat mempengaruhi persepsi, demikian
pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya.
Menurut Sumitra (2003), persepsi pada umumnya dipengaruhi oleh faktorfaktor baik internal maupun eksternal. Dengan kata lain persepsi dipengaruhi oleh
faktor personal dan situasional. Faktor personal meliputi; pengalaman, motivasi,
kepribadian. Faktor-faktor situasional terdiri dari deskripsi verbal misalnya efek
primasi (primacy effect) dan petunjuk-petunjuk non verbal (proksemik, kinesik, fasial,
para linguistic, dan petunjuk artifaktual atau appearance).
Hubungan Antara Persepsi dan Perilaku
Pengalaman, tingkah laku, dan persepsi merupakan tiga aspek yang saling
berhubungan.
Apa
yang
dilakukan
seseorang
tidak
terlepas
dari
caranya
mempersepsikan situasi, mengapresiasikannya atau apa yang ia ingat mengenai hal
yang dihadapi (Sadli (1977) dikutip oleh Yuniarti (2000). Hal yang dikemukakan oleh
Rahmat (1991), menurutnya perilaku seseorang dalam melakukan komunikasi
interpersonal amat bergantung pada persepsi interpersonal orang tersebut.
2.5
Kerangka Pemikiran
Awal kecanduan rokok hampir semuanya berawal dari coba-coba, terkait
dengan kondisi lingkungan masyarakat yang selalu mendukung pemikiran tersebut.
Budaya yang terjadi di Indonesia saat ini mendorong anak-anak untuk mencoba
rokok. Contoh saja, para remaja akan lebih merasa akrab dan percaya diri saat ia
bercengkrama dengan menghisap rokok. Budaya merokok di lingkungan umum yang
sebebas-bebasnya juga termasuk faktor yang mendorong seseorang untuk mencoba
dan ingin tahu bagaimana rasa dari kenikmatan sebatang rokok.
Sebagian orang menganggap bahwa rokok mampu menghilangkan stress,
teman dalam kesendirian, bahkan ada yang mengatakan sebagai pemuncul ide atau
perangsang logika. Masih banyak asumsi-asumsi tentang rokok yang tetap mampu
mendorong masyarakat mempercayainya. Sebagian besar masyarakat sud ah mengerti
bahaya dari merokok, karena dalam setiap bungkus rokok tertulis peringatan
kesehatan :”merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan
gangguan kehamilan dan janin”. Peringatan kesehatan ini tidak hanya dicantumkan
pada bungk us rokok tetapi media iklan rokok di televisi juga melampirkan peringatan
yang sama. Meskipun demikian masih ada yang tidak tahu akan bahaya rokok yang
bisa berdampak pada diri sendiri maupun orang lain yang tidak merokok.
Masyarakat DKI Jakarta dibuat kaget dengan kebijakan baru bertajuk larangan
merokok di tempat umum, yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda No.2 Tahun 2005 tentang
pencemaran udara dan Peraturan Gubernur (Pergub) No.75 Tahun 2005 tentang
kawasan dilarang merokok. Kebijakan peraturan larangan merokok ini bertujuan
untuk menekan jumlah perokok aktif yang semakin meninggi, menurunkan angka
kesakitan atau angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup
sehat, meningkatkan produktivitas kerja yang optimal, mewujudkan kualitas udara
yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok, menurunkan dan mencegah perokok
pemula, serta mewujudkan generasi muda yang sehat. Namun, selama ini larangan ini
belum berlaku efektif karena masih banyak warga Jakarta khususnya para perokok
aktif yang belum mematuhi peraturan tersebut. Munculnya peraturan larangan
merokok ini menimbulkan berbagai macam reaksi dan persepsi yang berbeda pada
perokok aktif.
Karakteristik individu diduga berhubungan dengan persepsi terhadap peraturan
larangan merokok. Karakteristik individu yang dilihat dalam penelitian ini adalah
jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, motif merokok dan status perkawinan.
Pengetahuan tentang dampak merokok diduga berhubungan dengan persepsi terhadap
peraturan larangan merokok. Pemahaman terhadap kandungan yang terkandung di
dalam rokok, media komunikasi yang mengiklankan rokok dan peringatan
kesehatannya serta dampak dari merokok bagi kesehatan, pemahaman inilah ya ng
menjadi ukuran pada tingkat pengetahuan tentang dampak merokok.
Persepsi
peraturan
larangan
merokok
diduga
berhubungan
dengan
implementasi (penerapan) perilaku merokok, karena munculnya peraturan larangan
merokok menimbulkan berbagai macam reaksi yang berbeda pada perokok aktif.
Maka diduga perokok aktif yang memiliki persepsi positif terhadap peraturan larangan
merokok akan mematuhi peraturan tersebut sesuai dengan tujuannya.
Untuk menunjukkan faktor- faktor yang memiliki hubungan dengan persepsi
perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok yang telah dikemukakan di atas
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Persepsi Perokok Aktif Terhadap
Larangan Merokok
Karakteristik
Individu
Persepsi
Peraturan
Larangan
Merokok
§
Jenis Kelamin
§
Tingkat
Pendidikan
§
Tingkat
Pendapatan
§
Tujuan
peraturan
§
Motif merokok
§
Isi peraturan
§
Status Perkawinan
§
Kebijakan
pemerintah
Peraturan
Pengetahuan
Tentang Dampak
Merokok
§
Kandungan
rokok
§
Media
Komunikasi
§
Dampak
Merokok
Implementasi (Penerapan)
Perilaku Merokok
Keterangan :
2.6
: Mempengaruhi
Hipotesa Penelitian
Hipotesa menurut Surachmad (1990) dalam Suprayogo dan Tobroni (2003)
merupakan sarana untuk menjelaskan permasalahan yang sedang dicarikan
pemecahannya. Oleh karena itu, untuk lebih mengarahkan pelaksanaan penelitian ini
sehingga dapat menjawab perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
dirumuskan secara khusus hipotesa dalam penelitian ini yaitu:
1. Terdapat hubungan nyata antara jenis kelamin dengan persepsi peraturan larangan
merokok.
2. Terdapat hubungan nyata antara tingkat pendidikan dengan persepsi peraturan
larangan merokok.
3. Terdapat hubungan nyata antara tingkat pendapatan dengan persepsi peraturan
larangan merokok.
4. Terdapat hubungan nyata antara motif merokok dengan persepsi peraturan
larangan merokok.
5. Terdapat hubungan nyata antara status perkawinan dengan persepsi peraturan
larangan merokok.
6. Terdapat hubungan nyata antara tingkat pengetahuan tentang dampak merokok
(kandungan rokok, media komunikasi, dampak merokok) dengan persepsi
peraturan larangan merokok.
7. Terdapat hubungan nyata antara persepsi peraturan larangan merokok dengan
implementasi (penerapan) perilaku merokok pada peraturan larangan merokok.
2.7
Definisi Operasional
Berikut ini diuraikan definisi operasional dari variabel- variabel yang
digunakan dalam penelitian guna memperoleh batasan yang jelas.
1. Karakteristik individu : Suatu kondisi yang menggambarkan kondisi seseorang
yang terkait langsung dengan diri individu, terdiri atas variabel jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pendapatan dan motif merokok.
•
Jenis kelamin, yaitu perbedaan individu berdasarkan kondisi biologis. Jenis
kelamin dibedakan menjadi dua kategori, yaitu :
a. Laki- laki, kode 1
b. Perempuan, kode 2
•
Tingkat pendidikan, yaitu pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh
seseorang yang diuk ur berdasarkan jenjang pendidikan formal. Tingkat
pendidikan diukur dalam skala ordinal : tidak pernah sekolah, SD/sederajat,
SLTP/sederajat, SLTA/sederajat, dan perguruan tinggi.
•
Pendapatan, yaitu penghasilan yang diperoleh setelah bekerja selama sebulan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pendapatan dapat dibedakan
menjadi tiga kategori, yaitu :
a. Pendapatan rendah : < Rp 500.000
b. Pendapatan sedang : Rp 500.000 – Rp 1.000.000
c. Pendapatan tinggi : > Rp 1.000.000
•
Motif, yaitu faktor awal yang mendorong seseorang berkeinginan untuk
merokok, dibedakan menjadi lima kategori yaitu : ingin coba-coba, pengaruh
orangtua merokok, pengaruh teman merokok, pengaruh iklan/TV dan gaya
hidup. Motif merokok ini dipilih sebagai alasan seseorang mulai menjadi
perokok, dimana lima kategori ini dipilih salah satunya. Pada kategori yang
dipilih diberi skor 1 dan kategori yang tidak dipilih diberi skor 0, kemudian
skor untuk setiap kategori tersebut dijumlah.
•
Status Perkawinan, yaitu ikatan rumahtangga yang didasarkan pada undangundang negara dan hukum agama. Status perkawinan dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu :
a. Belum menikah, kode 1
b. Menikah, kode 2
2. Pengetahuan dampak merokok, menunjukkan tinggi atau rendahnya pengetahuan
perokok aktif tentang kandungan yang terkandung dalam rokok dan dampaknya
pada kesehatan. Tingkat pengetahuan diukur dengan skala ordinal yang
dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan rendah, semakin banyak perokok aktif
mengetahui tentang rokok dan dampaknya pada kesehatan maka tingkat
pengetahuannya akan tinggi, begitu pula sebaliknya jika perokok aktif banyak
tidak tahu tentang rokok dan dampaknya pada kesehatan maka tingkat
pengetahuannya akan rendah. Pengukuran untuk pengetahuan dampak merokok
dilakukan dengan mengajukan 20 pernyataan. Skor setiap pilihan adalah sebagai
berikut :
T = Tahu
TT = Tidak Tahu
Pada pernyataan yang mengukur nilai positif, “Tahu” diberi skor 3, dan “Tidak
Tahu” diberi skor 1. Pada pernyataan yang mengukur nilai negatif, “Tahu” diberi
skor 1, dan “Tidak Setuju” diberi skor 3. Pengetahuan dampak merokok
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu :
Skor :
a. Rendah
: 20-33
b. Sedang
: 34-47
c. Tinggi
: 48-60
3. Persepsi terhadap perda larangan merokok : Pandangan, gambaran, atau penilaian
perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok yang meliputi keefektifan
dalam pelaksanaan peraturan larangan merokok pada masyarakat. Persepsi diukur
dengan 10 pertanyaan dimana responden yang menjawab “Tidak setuju” untuk
satu pernyataan diberi skor 1, responden yang menjawab “Setuju” untuk sa tu
pernyataan diberi skor 2, kemudian skor untuk setiap pernyataan tersebut
dijumlahkan. Skor persepsi terhadap perda larangan merokok dikategorikan
menjadi dua, yaitu :
a. Tidak setuju, skor 10-14
b. Setuju, skor 15-20
4. Implementasi (penerapan) perilaku merokok, yaitu tindakan responden untuk
merokok atau tidak merokok. Penerapan perilaku ini ditunjukkan dengan tindakan
responden saat merokok di lingkungan keluarga dan sekitarnya. Implementasi
(penerapan) perilaku merokok dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu :
a. Mentaati
b. Kadang-kadang
c. Tidak mentaati
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kelurahan Pela Mampang yang terletak
di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Wilayah Kelurahan Pela Mampang
berbatasan dengan Kelurahan Kuningan Barat di sebelah utara, Kecamatan Kebayoran
Baru di sebelah barat, Kelurahan Mampang Prapatan, Tegal Parang dan Kecamatan
Pancoran di sebelah timur, dan Kelurahan Bangka di sebelah selatan.
Lokasi
penelitian
dipilih
secara
sengaja
(purposive),
berdasarkan
pertimbangan : 1) lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti untuk memperoleh
data dan informasi karena keterbatasan pada tenaga, biaya dan waktu; dan 2) wilayah
tersebut memiliki jumlah perokok aktif cuk up banyak dan memiliki karakteristik
individu yang ragam. Pengumpulan data di lapangan berlangsung selama dua bulan
dimulai pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2007.
3.2
Penentuan Sampel
Kuesioner diberikan kepada 100 responden khususnya perokok aktif yang
tinggal di wilayah Kelurahan Pela Mampang. Kelurahan Pela Mampang terdiri dari
lima lingkungan, yaitu Kemang Raya, Kemang Selatan, Kemang Utara, Kemang
Timur, dan Bangka Raya. Kelurahan Pela Mampang memiliki 13 RW, dengan jumlah
Kepala Keluarga (KK) sebanyak 8.919. Penentuan sampel diperoleh berdasarkan
daftar nomor urut kependudukan dimana sampel diambil dengan nomor urut kelipatan
10. Jika pada saat pengambilan sampel didapatkan sampel bukan perokok aktif maka
nomor urut diteruskan pada nomor berikutnya.
Jumlah responden diperoleh berdasarkan rumus Slovin yang dikutip oleh
Syahyuni (1999), yaitu :
n =
N
1 + N(e)2
Dimana :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan
sampel yang masih ditolerir atau diinginkan.
Jumlah penduduk di wilayah Kelurahan Pela Mampang sebanyak 8.919
Kepala Keluarga (KK) dengan luas wilayah 1,62 km2 . Persen kelonggaran ketelitian
yang diinginkan adalah 10 persen, maka jumlah sampel yang diperlukan :
n = _____8.919_____ = _8.919_ = 98,89 ˜ 100
1 + 8.919(0.1)2
90,19
Dengan demikian, jumlah responden yang diambil sebanyak 100 orang.
Sampel sebanyak 100 orang perokok aktif ini dianggap sud ah mewakili populasi yang
ada, karena dalam pengolahan data analisis statistik yang dibutuhkan minimal 30
sampel (Singarimbun dan Effendi, 1995).
3.3
Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian yang dipakai dalam penelitian ini berupa sumber data
primer dan sekunder. Data primer didefinisikan sebagai data yang didapat dari sumber
pertama. Data sekunder adalah data primer yang telah diolah dalam bentuk lebih
lanjut.
Sumber data primer utama dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan kuesioner ya ng meliputi karakteristik individu atau responden,
pengetahuan tentang dampak merokok dan persepsi peraturan larangan merokok.
Mengingat penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, maka sumber data manusia
diistilahkan dengan responden. Selain itu sumber data primer dalam penelitian ini
dapat berupa data hasil pengamatan terhadap perilaku merokok para perokok aktif
yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Hal ini didasari bahwa melalui
pengamatan, peneliti dapat melakukan pemeriksaan silang (cross check) terhadap
informasi verbal yang didapat dari responden.
Sumber data sekunder penelitian ini berupa data gambaran umum tempat
penelitian dilaksanakan, yaitu data dari kantor Kelurahan Pela Mampang. Data
sekunder dimaksudkan untuk memenuhi dan melengkapi data.
3.4
Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode penelitian
kuantitatif yang didukung oleh data-data kualitatif. Adapun metode penelitian
kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil
sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data
pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995).
Data kuantitatif diperoleh juga dari data-data dokumen dari instasi terkait.
Metode pengumpulan data pendukung dalam penelitian ini adalah wawancara
terstruktur, melalui metode ini data diperoleh dengan cara bertanya langsung kepada
informan dengan menggunakan panduan pertanyaan (Singarimbun dan Effendi,
1995). Dalam menguatkan hasil penelitian digunakan data kualitatif, yang digunakan
untuk menjelaskan lebih lanjut informasi dalam mendukung metode penelitian
kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari informan dan beberapa kasus responden
terpilih.
Setelah diperoleh dua jenis data yaitu data kuantitatif dan data kualitatif, data
tersebut dapat dikelompokkan menjadi data primer dan sekunder. Data primer adalah
data yang berupa hasil jawaban responden dan informasi yang diperoleh secara
langsung di lapangan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, yang
diperkirakan peneliti dapat menjawab pertanyaan peneliti atau mendekati keinginan
peneliti. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperdalam kesimpulan yang
diperoleh dari analisa statistik. Data sekunder didapatkan melalui analisa dokumen
yang berupa data gambaran umum tempat penelitian dilaksanakan, yaitu data dari
kantor Kelurahan Pela Mampang.
3.5
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan secara manual dan dengan bantuan komputer,
terdiri atas tiga kegiatan yaitu: penyuntingan (editing), dengan memeriksa kembali
setiap lembar kuesioner untuk memastikan bahwa setiap pertanyaan telah diisi dengan
baik oleh setiap responden, kemudian pengkodean (coding), yaitu melakukan
pengkodean pada setiap jawaban responden dalam kuesioner, dan tabulasi
(tabulating), yaitu dengan memasukkan data yang telah dikoding ke dalam bentuk
tabel-tabel manual dan kemudian diolah dengan menggunakan software komputer
berupa program SPSS 12.0 untuk Windows.
Untuk menguji ada tidaknya hubungan antar variabel pengaruh dengan
variabel terpengaruh dimana salah satu variabel minimal nominal dilakukan uji
statistik Chi-Square atau Kai-Kuadrat. Untuk menguji ada tidaknya hubungan antar
variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh dimana salah satu variabel minimal
ordinal dilakukan uji korelasi Rank Spearman. Uji statistik Chi-Square dan uji
korelasi Rank Spearman diperoleh dengan bantuan program SPSS 12.0
3.6
Penafsiran Data
Setelah dianalisis, langkah selanjutnya adalah menafsirkan atau memaknai
hasil analisis tersebut. Penafsiran atau pemaknaan hasil analisis tersebut bertujuan
untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan ini didasarkan atas
perumusan masalah yang difokuskan secara lebih spesifik dalam bentuk hipotesa
penelitian. Hasil analisis ini merupakan jawaban dari perumusan masalah penelitian
yang telah ditetapkan berupa bab-bab pembahasan masalah yang terepresentasi dalam
rancangan outline skripsi.
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1
Provinsi DKI Jakarta
Jakarta merupakan Ibukota Republik Indonesia, sebuah negara kepulauan
dengan sekitar 13.000 pulau dan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa. Negara
Kesatuan Republik Indonesia memiliki kebhinekaan dalam suku bangsa, bahasa,
budaya, serta adat dan agama. Kebhinekaan tersebut tercermin pula di ibukota negara,
Jakarta.
Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter
di atas permukaan laut, terletak pada posisi 6°12' Lintang Selatan dan 106°48'
Bujur Timur. Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta berdasarkan SK Gubernur DKI
Jakarta Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 661,52 km2 dan berupa
lautan seluas 6.977,5 km2 , terdapat tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di
Kepulauan Seribu dan terdapat pula sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang
digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan.
Di sebelah utara membentang pantai dari Barat ke Timur sepanjang ± 35 kilo
meter yang menjadi tempat bermuaranya sembilan buah sungai dan dua buah kanal,
sementara di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa
Barat, sebelah Barat dengan Provinsi Banten, sedangkan di sebelah Utara berbatasan
dengan Laut Jawa.
Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima Wilayah
Kotamadya dan 1 Kabupaten Administratif yaitu Kotamadya : Jakarta Selatan, Jakarta
Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara serta Kabupaten Administratif
Kepulauan Seribu. Pembagian wilayah administrasi pemerintahannya adalah sebagai
berikut :
§
Kotamadya Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Utara dengan luas 142,30 km2 .
§
Kotamadya Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2 .
§
Kabupaten Kepulauan Seribu dengan luas 11,71 km2.
Keadaan iklim kota Jakarta secara umum beriklim panas dengan suhu
maksimum 30,8°C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 26,1°C pada
malam hari. Jumlah penduduk Propinsi DKI Jakarta berdasarkan data BPS tahun 2005
sebesar 8.603.776 dengan rincian 4.312.158 orang penduduk Laki- laki, 4.291.618
orang penduduk Wanita, yang tersebar di lima Kotamadya dan satu Kabupaten, 44
Kecamatan, 267 Kelurahan, 2.657 Rukun Warga dan Rukun Tetangga 29.769 serta
Rukun Warga Kumuh (slum areas) berjumlah 561. Pertumbuhan penduduk 1,26% per
tahun dan tingkat kepadatan penduduk sebesar 13.006 orang per km2 lahan.
4.2
Kotamadya Jakarta Selatan
Luas wilayah Kotamadya Jakarta Selatan adalah 145,73 km2 . Wilayah
Kotamadya Jakarta Selatan secara administrasi meliputi 10 Kecamatan yang terdiri
dari 65 Kelurahan. Kelurahan merupakan ujung tombak pelayanan Pemerintah Daerah
(Pemda) Jakarta Selatan kepada masyarakat. Persebaran 65 kelurahan tersebut adalah
tujuh kelurahan di Kecamatan Tebet, delapan kelurahan di Kecamatan Setiabudi, lima
kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan, sepuluh kelurahan di Kecamatan
Kebayoran Baru, lima kelurahan di Kecamatan Cilandak, tujuh kelurahan di
Kecamatan Pasar Minggu, lima kelurahan di Kecamatan Pesanggrahan, enam
kelurahan di Kecamatan Pancoran dan enam kelurahan di Kecamatan Jagakarsa.
Nama- nama kecamatan dan jumlah kelurahan di Kotamadya Jakarta Selatan dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persebaran Kelurahan Kotamadya Jakarta Selatan
LUAS (Km2 ) KELURAHAN
Tebet
9,53
7
Setiabudi
9,05
8
Mampang Prapatan
7,74
5
Pasar Minggu
21,91
7
Kebayoran Lama
19,31
6
Cilandak
18,20
5
Kebayoran Baru
12,91
10
Pancoran
8,23
6
Jagakarsa
25,38
6
Pesanggrahan
13,47
5
TOTAL
145,73
65
Sumber : Data Kelurahan Pela Mampang (2007)
KECAMATAN
RW
81
49
35
65
74
44
85
42
54
48
577
RT
950
511
396
723
839
461
683
456
537
509
6.065
Kecamatan Setiabudi, Kecamatan Tebet dan sebagian Kecamatan Mampang
Prapatan merupakan bagian wilayah Jakarta Selatan yang berkembang sangat pesat
sebagai pusat kegiatan perekonomian seperti perdagangan jasa dan perkantoran.
Nama- nama kelurahan yang termasuk dalam kecamatan Mampang Prapatan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persebaran Kelurahan di Kecamatan Mampang Prapatan
KELURAHAN
LUAS (Km2 )
Kuningan Barat
0,98
Mampang Prapatan
0,78
Pela Mampang
1,62
Tegal Parang
1,06
Bangka
3,30
TOTAL
7,74
Sumber : Data Kelurahan Pela Mampang (2007)
4.2.1
§
KK
2.400
3.211
8.919
4.290
4.375
23.195
RT
46
71
150
64
65
396
RW
5
6
13
6
5
35
Visi dan Misi Jakarta Selatan
Visi
Mewujudkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang sejajar
dengan kota-kota besar Negara maju dunia, dihuni oleh masyarakat yang sejahtera dan
berbudaya dalam lingkungan kehidupan yang berkembang.
§
Misi
Mempertahankan wilayah bagian selatan Jakarta Selatan sebagai daerah
resapan air serta mewujudkan wilayah bagian utara Jakarta Selatan sebagai pusat
niaga terpadu.
4.2.2
Kelurahan Pela Mampang
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Pela Mampang yang terletak di
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Wilayah Kelurahan Pela Mampang
berbatasan dengan Kelurahan Kuningan Barat di sebelah Utara, Kecamatan
Kebayoran Baru di sebelah Barat, Kelurahan Mampang Prapatan, Tegal Parang dan
Kecamatan Pancoran di sebelah Timur, dan Kelurahan Bangka di sebelah Selatan.
Kelurahan Pela Mampang terdiri dari lima lingkungan, yaitu Kemang Raya,
Kemang Selatan, Kemang Utara, Kemang Timur, dan Bangka Raya. Kelurahan Pela
Mampang memiliki luas wilayah ± 1,62 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 8.919
kepala keluarga dan terbagi dalam 150 RT dan 13 RW. Kelurahan Pela Mampang
merupakan kawasan hiburan dan perkantoran karena sepanjang wilayah ini berdiri
restaurant, café dan kantor.
Kawasan Kemang merupakan kawasan hiburan karena sepanjang wilayah
Kemang dipenuhi tempat-tempat café, bar, restaurant dan boutique. Tempat hiburan
di kawasan Kemang dibuka dari jam 9.00 pagi hingga jam 3.00 pagi. Gaya hidup
moderenisasi dapat dijumpai di kawasan ini karena warga negara asing banyak yang
tinggal sebagai penduduk tetap. Banyaknya warga negara asing yang menetap
memberi dampak pada munculnya bar, tempat ini menyediakan minuman alkohol,
ruangan khusus untuk clubbing, dan bebas merokok. Munculnya tempat hiburan ini
memberi dampak negatif pada penduduk disekitarnya seperti salah satunya
meningkatnya jumlah perokok aktif.
Berdasarkan keterangan penduduk yang tinggal di Kelurahan Pela Mampang,
mulanya kawasan Kemang belum menjadi kawasan hiburan tetapi semenjak warga
negara asing mulai banyak yang tinggal sebagai penduduk tetap para penduduk mulai
meraup rezeki dengan membuka restaurant. Setelah banyak restaurant yang berd iri
diikuti dengan munculnya bar dan boutique, bisnis hiburan ini kebanyakan dikelola
oleh penduduk sekitar dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan warga asing.
Kebudayaan barat berbeda dengan kebudayaan di Indonesia karena bisnis ini
bercondong pada kebudayaan barat maka munculnya tempat-tempat hiburan di
kawasan Kemang memberi dampak negatif pada penduduk di sekitarnya seperti
banyak tempat yang menjual minuman keras dan segala macam jenis rokok. Hal ini
seperti dikemukakan oleh seorang responden (T) :
“Karena disini lingkungannya banyak orang asing makanya Kemang
udah seperti kota kecil lengkap dengan pusat hiburan seperti bar, di
Kemang kalau mau cari rokok dari luar negeri banyak” (T 65 tahun,
Laki-laki).
4.3
Gambaran Perokok Aktif
Perokok aktif adalah individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok.
Merokok sudah menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tidak enak kalau sehari
tidak merokok. Penduduk di Kelurahan Pela Mampang sebagian besar adalah perokok
aktif, baik laki- laki maupun wanita. Munculnya tempat-tempat hiburan di sekitar
kawasan Pela Mampang telah memberi dampak negatif yaitu meningkatnya jumlah
perokok aktif.
Perokok aktif dapat di jumpai di setiap sudut sarana umum karena tempat
khusus untuk merokok tidak ada. Mudahnya para perokok membeli rokok
dikarenakan setiap tempat hiburan menjual berbagai jenis rokok dan di setiap sudut
jalan terdapat warung rokok. Sebagian besar para perokok menghilangkan stress dan
mencari ide dengan cara merokok. Bagi para perokok, rokok adalah penyelamat dalam
kebimbangan walaupun hanya sekejap. Para perokok rela mengeluarkan uang cukup
banyak untuk membeli rokok asalkan kebutuhan jiwa terpenuhi. Hal ini seperti
diungkapkan oleh seorang responden (RT) :
“Kalau sudah ga bisa mikir rokok wajib dihisap biar ide muncul lagi.
Kalau ga ngisap bakal linglung kaya’ orang lupa ingatan” (RT 32
tahun, laki- laki).
4.4
Gambaran Umum Responden
4.4.1
Karakteristik Individu Perokok Aktif
Responden yang dipilih merupakan perokok aktif yang tinggal di Kelurahan
Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Propinsi DKI Jakarta. Jumlah sampel
yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang. Ada lima karakteristik
individu yang diamati dalam penelitian ini antara lain jenis kelamin, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, motif merokok dan status perkawinan. Untuk lebih
jelasnya, kelima identitas responden tersebut akan diuraikan di bawah ini.
4.4.1.1 Jenis Kelamin Perokok Aktif
Jenis kelamin merupakan perbedaan individu perokok aktif yang dibedakan
menjadi laki- laki dan perempuan. Data jenis kelamin perokok aktif pada Tabel 5
menunjukkan bahwa perokok aktif laki- laki lebih banyak daripada perokok aktif
perempuan. Jumlah perokok aktif laki- laki sebanyak 85 orang atau 85 persen,
sedangkan jumlah perokok aktif perempuan sebanyak 15 orang atau 15 persen.
Tabel 5. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Laki- laki
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
85
85
Perempuan
15
15
Total
100
100
Melalui wawancara yang dilakukan pada responden perokok aktif perempuan,
diperoleh keterangan alasan responden menjadi perokok aktif dimana responden
mengkaitkannya dengan emansipasi wanita bahwa perempuan sejajar dengan laki- laki
dalam melakukan hal- hal yang menjadi kebiasaan laki- laki salah satunya yaitu
merokok. Responden MS menyatakan merokok merupakan hak asasi manusia baik
laki- laki maupun perempuan, seperti yang diungkapkannya di bawah ini :
“Zaman moderen sekarang ini zaman emansipasi bagi wanita dan ga
ada larangan perempuan untuk tidak merokok. Perempuan dan lakilaki punya hak yang sama untuk merokok dan melakukan tugas yang
biasa dilakukan laki- laki” (MS 24 tahun, Perempuan).
4.4.1.2 Tingkat Pendidikan
Data tingkat pendidikan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa perokok aktif
dengan tingkat pendidikan akhir perguruan tinggi sebanyak 56 orang atau 56 persen.
Responden perokok aktif dengan tingkat pendidikan akhir SLTA/sederajat sebanyak
29 orang atau 29 persen sedangkan tingkat pendidikan akhir SLTP/sederajat sebanyak
enam orang atau 6 persen. Sisanya sebanyak 5 persen atau lima orang responden
dengan tingkat pendidikan akhir SD/sederajat dan 4 persen atau 4 orang responden
tidak sekolah. Berdasarkan data Tabel 6 terlihat bahwa sebagian besar responden
berlatar pendidikan perguruan tinggi dikarenakan responden menyatakan menjadi
perokok aktif saat dibangku kuliah (kampus). Bagi para responden saat menjadi
mahasiswa/mahasiswi beban tigas kuliah yang dihadapi sangat berat dan cara yang
dipakai untuk menghilangkan kepenatan dengan merokok, walaupun responden
mengetahui akan dampak dari merokok. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
responden (R) :
“Jadi perokok waktu masih kuliah, gara-garanya sih sepele, pusing
sama tugas kuliah yang bejibun aja. Ya dari pada mabuk-mabukan
mending ngerokok aja kan ga terlalu parah banget” (R 27 tahun,
Laki-laki).
Tabel 6. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Tidak Sekolah
4
4
SD/sederajat
5
5
SLTP/sederajat
6
6
SLTA/sederajat
29
29
Perguruan Tinggi
56
56
Total
100
100
4.4.1.3 Tingkat Pendapatan
Pendapatan merupakan penghasilan yang diperoleh setelah bekerja selama
sebulan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan Tabel 7 terlihat
bahwa cukup beragam tingkat pendapatan yang diperoleh para responden. Kisaran
pendapatan yang dimiliki responden yang terbanyak adalah lebih dari Rp1.000.000
sebanyak 43 orang (43 persen). Responden yang memiliki pendapatan antara
Rp500.000 – Rp1.000.000 sebanyak 40 orang atau 40 persen sedangkan responden
berkategori pendapatan rendah di bawah Rp500 ribu per bulannya sebanyak 17 orang
atau 17 persen.
Tabel 7. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan
Pendapatan
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Rendah (<Rp500.000)
17
17
Sedang (Rp500.000 – Rp1.000.000)
40
40
Tinggi (>Rp1.000.000)
43
43
Total
100
100
Data Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar perokok aktif memiliki
pendapatan tinggi yaitu lebih dari Rp 1.000.000. Melalui wawancara yang dilakukan
pada responden, diperoleh keterangan bahwa dengan pendapatan yang tinggi mereka
dapat menyisakan uang pendapatan yang lumayan untuk membeli rokok. Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh seorang responden (M) :
“Harga rokok sekarang makin mahal nggak seperti dulu. Kalau cuma
ngandelin uang gaji yang Rp 1 juta mana kuat buat beli rokok
makanya saya harus nyari usaha sampingan. Seminggu paling ngga
bisa habis Rp 50 ribu buat beli rokok aja”
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa perokok aktif dengan
pendapatan rendah sering membeli rokok dalam bentuk eceran (ketengan) karena
harga dalam eceran sangat terjangkau bagi perokok aktif yang berpendapatan rendah.
Hal ini diungkapkan oleh UD yang berpendapat sebagai berikut :
“Untung warung-warung kecil banyak yang jual rokok ketengan kalo
ga ada wah bisa kecut nih mulut, pendapatan sehari aja cuma bisa
beli lima batang rokok. Saya sih berharap mudah- mudahan harga
rokok ga naik mulu, bingung buat nyisain uang untuk beli rokok.
Kalau uang dikantong lagi nipis biasanya saya beli rokok kretek yang
ga bermerek, lumayanlah murah yang penting mulut bisa ngisap.”
4.4.1.4 Motif Merokok
Motif merokok merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk merokok.
Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa 25 orang responden atau 25 persen dari
jumlah 100 responden perokok aktif, memilih motif coba-coba. Responden yang
memilih motif pengaruh orangtua merokok sebanyak 24 orang atau 24 persen
sedangkan responden yang memilih motif pengaruh teman merokok sebanyak 20
orang atau 20 persen dari jumlah 100 responden perokok aktif. Sebanyak sembilan
orang (9 persen) dari jumlah 100 responden memilih motif pengaruh iklan/TV dan 22
orang (22 persen) dari jumlah 100 responden perokok aktif memilih motif gaya hidup.
Tabel 8. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Motif Merokok
Motif Merokok
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Coba-coba
25
25
Pengaruh Orangtua Merokok
24
24
Pengaruh Teman Merokok
20
20
Pengaruh Iklan/TV
9
9
Gaya Hidup
22
22
Total
100
100
Data tersebut menunjukkan bahwa responden perokok aktif menyatakan
mereka menjadi perokok karena keinginan untuk coba-coba, pengaruh orangtua yang
merokok dan pengaruh teman yang merokok. Hal ini diungkapkan salah seorang
responden (R) yang menjadi perokok aktif karena pengaruh teman merokok :
“Pengaruh teman yang merokok lebih cepat ngerubah kita jadi
perokok aktif, apalagi pas lagi nongkrong sama teman-teman
semuanya pada ngerokok trus salah satunya ga ngerokok pasti
diledekin mulu deh. Mau ga mau yang ga ngerokok jadi ikut- ikutan
ngerokok.” (R, 24 tahun, Laki- laki).
Bagi para responden rasa ingin coba-coba untuk mulai merokok lebih besar
muncul pada individu yang belum pernah merokok dan dalam kesehariannya hidup
berdampingan dengan perokok aktif. Selain itu beberapa responden yaitu MS, AP dan
AA memberikan pernyataan bahwa mereka menjadi perokok aktif karena pengaruh
orangtua yang merokok, seperti yang diungkapkan salah satu responden AA sebagai
berikut :
“Bapak dan ibu saya merokok di rumah, kami sebagai anak-anaknya
tidak pernah dilarang merokok kok. Kata Bapak, Saya kalo merokok
boleh saja asal jangan minum-minuman keras.”
Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa motif gaya hidup juga menjadi pilihan
pengaruh responden menjadi perokok. Hal ini dikarenakan merokok dikalangan anak
muda dianggap sebagai hal yang moderen, mereka menilai bagi yang tidak merokok
dianggap sebagai orang yang tidak moderen, seperti yang diungkapkan oleh responden
(S) :
“Zaman anak muda sekarang beda sama zaman babe gue, merokok
pas zaman babe gue jadi hal yang tabu kalau sekarang mah hal yang
wajib, kalo kaga ngerokok gak bakal bisa jadi orang moderen kan
moderen itu hidup bebas berekspresi. Anak muda kan kudu bebas
berekspresi.”
4.4.1.5 Status Perkawinan
Status perkawinan merupakan ikatan rumah tangga yang didasarkan pada
undang-undang negara dan hukum agama. Data status perkawinan pada Tabel 9
menunjukkan bahwa perokok aktif dengan status belum menikah sebanyak 34 orang
atau 34 persen dan perokok aktif dengan status menikah sebanyak 66 orang atau 66
persen. Responden dengan status menikah diantaranya menjadi perokok aktif setelah
menikah dan sebagian besar responden menjadi perokok aktif sebelum menikah.
Melalui hasil wawancara dengan responden yang menjadi perokok aktif
setelah menikah diperoleh keterangan dari AD yang menyatakan alasannya menjadi
perokok untuk menghilangkan pikiran selama bekerja, seperti yang diungkapkan di
bawah ini :
“Saya mulai merokok setelah menikah, kalau sudah menikah yang
dipikirin tambah banyak ya soal kerjaan, istri dan anak. Pikiran ini
yang bikin saya tergoda buat ngerokok. Awalnya teman kantor bilang
kalau merokok bisa sedikit membantu menghilangkan pikiran di
kepala, setelah saya mencoba merokok memang merokok cukup
membantu untuk menghilangkan stress”
Jadi berdasarkan pernyataan tersebut diketahui tujuannya bahwa responden
yang menjadi perokok setelah menikah untuk menghilangkan pikiran dan penat
setelah beraktivitas.
Tabel 9. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Status Perkawinan
Status Perkawinan
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Belum Menikah
34
34
Menikah
66
66
Total
100
100
4.4.2
Tingkat Pengetahuan
Data tingkat pengetahuan pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden perokok aktif memiliki pengetahuan tentang dampak merokok pada
kategori sedang, yaitu sebanyak 89 orang atau 89 persen. Responden perokok aktif
dengan kategori pengetahuan rendah sebanyak 4 orang atau 4 persen dan responden
perokok aktif dengan kategori pengetahun tinggi sebanyak 7 orang atau 7 persen.
Tabel
10.
Frekuensi dan Persentase Responden
Pengetahuan Mengenai Dampak Merokok
Tingkat Pengetahuan
Frekuensi (Orang)
Berdasarkan
Tingkat
Persentase (%)
Rendah
4
4
Sedang
91
91
Tinggi
5
5
Total
100
100
Berdasarkan data Tabel 10 responden perokok aktif sesungguhnya tahu akan
bahaya merokok untuk kesehatan tetapi peringatan kesehatan yang terlampir di setiap
bungkus rokok tidak bisa menjadi ajakan para responden untuk berhenti merokok. Hal
ini seperti dikemukakan oleh responden (S) :
“Peringatan bahaya rokok ada dimana- mana, contohnya di bungkus
rokok. Tiap beli juga kebaca tulisannya cuma ya mau gimana susah
mau berhentinya, paling-paling nanti kalau udah sakit trus dokter
nyaranin untuk berhenti ya saya baru berhenti ngerokok”
4.4.3
Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Persepsi responden perokok aktif terhadap peraturan larangan merokok
mencakup pandangan, gambaran dan penilaian terhadap isi dan pelaksanaan pada
peraturan larangan merokok yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Pada Tabel
11 menunjukkan bahwa sebagian besar responden perokok aktif memiliki persepsi
tidak setuju terhadap peraturan larangan merokok yang berjumlah 77 orang atau 77
persen dan perokok aktif yang memiliki persepsi setuju pada peraturan larangan
merokok sebanyak 23 orang atau 23 persen.
Tabel 11. Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Perseps i Terhadap
Peraturan Larangan Merokok
Persepsi
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Tidak Setuju
77
77
Setuju
23
23
Total
100
100
Berdasarkan hasil jawaban responden melalui kuesioner dan wawancara yang
diperoleh di lapangan diperoleh keterangan bahwa sebagian besar responden tidak
setuju pada peraturan larangan merokok. Hal ini dikarenakan responden merasa
dengan adanya peraturan larangan merokok secara tidak langsung ruang lingkup
perokok aktif dibatasi. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang responden (OP) :
“Sebelum ada peraturan larangan merokok dimana - mana bisa bebas
merokok. Nah sekarang kalo mau merokok harus cari ruangan khusus
untuk merokok jadi ribet rasanya. Mending ruangannya enak, lha
tempatnya aja seperti penjara. Satu gedung kantor ini aja cuma
disediain satu ruangan khusus merokok, ya mana muat untuk orang
banyak” (OP 32 tahun, Laki- laki).
Persepsi tidak setuju responden pada peraturan larangan merokok juga
dikarenakan jumlah denda yang terlalu besar serta sosialisasi pemerintah tentang
peraturan larangan merokok kepada masyarakat kurang jelas sehingga banyak para
perokok aktif kurang mengerti pada maksud dan tujuannya. Hal ini seperti
diungkapkan oleh responden (UD):
“Saya ini khan kerjanya tidak di kantor cuma wiraswasta di rumah
yang pasti dirumah ga ada ruangan khusus buat ngerokok. Ya kalau
mau ngerokok cari tempat aja yang jauh dari anak-anak kecil. Saya
cuma bingung, tempat mana aja yang dilarang untuk merokok
soalnya ga jelas sih pemberitahuannya. Kita-kita ini kan orang awam,
nah kita mah taunya gedung-gedung bertingkat aja yang ga dibolehin
ngerokok didalamnya. Tapi saya kemaren liat koran kok orang yang
lagi jalan di daerah Thamrin didenda ya ma petugas, saya jadi takut
kalau mau ngerokok ya takut didenda aja”
BAB V
HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK INDIVIDU, TINGKAT
PENGETAHUAN DENGAN PERSEPSI PERATURAN
LARANGAN MEROKOK
5.1
Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Persepsi Peraturan
Larangan Merokok
5.1.1
Hubungan Antara Jenis Kelamin Individu dengan Persepsi Peraturan
Larangan Merokok
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden laki- laki
(77%) cenderung menunjukkan keyakinan tidak setuju terhadap peraturan larangan
merokok di tempat umum. Sebagian besar responden perempuan (80%) juga tidak
setuju dengan peraturan tersebut. Hal ini menggambarkan keyakinan bahwa perokok
aktif laki- laki dan perempuan sama-sama memiliki persepsi tidak setuju terhadap
peraturan larangan merokok.
Dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai P Value sebesar 0,765. Nilai ini
lebih besar dari 0,10. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan persepsi peraturan larangan merokok. Perokok
aktif laki- laki maupun perempuan cenderung memiliki persepsi tidak setuju karena
merasa memiliki hak yang sama untuk merokok dan dengan adanya peraturan
larangan merokok hak perokok aktif untuk merokok dibatasi. Hal tersebut
dikarenakan perokok aktif belum mengerti sepenuhnya pada tujuan peraturan larangan
merokok.
Tabel 12. Persepsi Peratura n Larangan Merokok Berdasarkan Jenis Kelamin
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Jenis Kelamin
Laki- laki
65 (77)
20 (23)
85 (100)
Perempuan
12 (80)
3 (20)
15 (100)
77
23
100
Total
Keterangan : X2 hitung = 0,765 ; a = 0,10
5.1.2
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Peraturan
Larangan Merokok
Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa responden dengan pendidikan akhir
perguruan tinggi sebagian besar cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu
sebanyak 43 orang (77%) sedangkan responden yang tidak sekolah cenderung
menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 100%. Responden perokok aktif
dengan pendidikan akhir perguruan tinggi mengerti pada tujuan peraturan larangan
merokok sedangkan responden tidak sekolah seluruhnya tidak mengerti pada tujuan
peraturan larangan merokok. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan
antara responden tidak sekolah dengan responden berlatar belakang pendidikan
perguruan tinggi dimana sama-sama memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan
larangan merokok.
Dengan uji statistik korelasi Rank Spearman diperoleh nilai probability (P)
sebesar 1,00. Nilai ini lebih besar dari 0,10 yang berarti tidak terdapat hubungan yang
signifikan. Hal ini dikarenakan perokok aktif dengan tingkat pendidikan akhir
perguruan tinggi memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok
karena merokok sudah menjadi kebiasaan dan dengan adanya peraturan larangan
merokok perokok aktif merasa ruang lingkup untuk merokok dibatasi.
Tabel 13. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
4 (100)
0 (0)
4 (100)
SD/sederajat
3 (60)
2 (40)
5 (100)
SLTP/sederajat
4 (67)
2 (33)
6 (100)
SLTA/sederajat
23 (80)
6 (20)
29 (100)
Perguruan Tinggi
43 (77)
13 (23)
56 (100)
77
23
100
Total
Keterangan : Probabilitas = 1,00; koefisien korelasi = 0,00
5.1.3
Hubungan Antara Pendapatan dengan Persepsi Peraturan Larangan
Merokok
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa responden dengan tingkat
pendapatan rendah, sedang dan tinggi cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju
yaitu sebanyak 70%, 82% dan 75%. Hal ini menggambarkan keyakinan bahwa
perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju pada peraturan larangan merokok dan
pendapatan yang diperoleh setiap bulan tidak mempengaruhi dalam mengurangi
kebiasaan merokok. Merokok bagi responden sudah menjadi kebiasaan dan untuk
mengurangi kebiasaan merokok memerlukan waktu yang cukup lama.
Dengan uji statistik korelasi Rank Spearman diperoleh nilai probability (P)
sebesar 0,895. Nilai ini lebih besar dari 0,10 yang berarti tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara pendapatan dengan persepsi peraturan larangan merokok. Hal
tersebut menunjukkan bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan dan dengan adanya
peraturan larangan merokok perokok aktif merasa ruang lingkup untuk merokok
dibatasi dan ketentuan mengenai sanksi pidana yang dibuat terlalu berat.
Tabel 14. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat
Pendapatan
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Pendapatan
Rendah
12 (70)
5 (30)
17 (100)
Sedang
33 (82)
7 (18)
40 (100)
Tinggi
32 (75)
11 (25)
43 (100)
Total
77
23
100
Keterangan : Probabilitas = 0,895; koefisien korelasi = 0,013
5.1.4
Hubungan Antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan Larangan
Merokok
Motif merokok yaitu faktor awal yang mendorong seseorang berkeinginan
untuk merokok. Berdasarkan Tabel 15 dapat dilihat bahwa responden dengan motif
coba-coba, pengaruh teman merokok, pengaruh iklan/TV dan gaya hidup cenderung
menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 88% (22 orang), 95% (19 orang),
89% (8 orang), dan 78% (17 orang) sedangkan responden dengan motif pengaruh
orangtua merokok cenderung menunjukkan persepsi setuju pada peraturan larangan
merokok yaitu sebanyak 54% (13 orang). Hal ini menggambarkan bahwa responden
dengan motif pengaruh orangtua merokok memiliki persepsi setuju pada peraturan
larangan karena responden menyadari bahwa merokok memberi dampak yang tidak
baik pada anggota keluarga yang tidak merokok sedangkan sebagian besar responden
memiliki persepsi tidak setuju karena merokok sudah menjadi kebiasaan dan untuk
menguranginya memerlukan waktu yang cukup lama.
Tabel 15. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Motif Merokok
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Motif Merokok
Coba-coba
22 (88)
3 (12)
25 (100)
Pengaruh Orangtua Merokok
11 (46)
13 (54)
24 (100)
Pengaruh Teman Merokok
19 (95)
1 (5)
20 (100)
8 (89)
1 (11)
9 (100)
17 (78)
5 (22)
22 (100)
77
23
100
Pengaruh Iklan/TV
Gaya Hidup
Total
Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat nilai P Value yang diperoleh dari hasil uji
hubungan antara kelima pilihan motif merokok dengan persepsi peraturan larangan
merokok lebih besar dari tingkat signifikansi, yaitu 0,131 lebih besar dari 0,10 untuk
uji hubungan antara motif coba-coba dengan persepsi peraturan larangan merokok.
Begitu juga untuk uji hubungan antara motif pengaruh orangtua merokok dengan
persepsi peraturan larangan merokok, yaitu 0,00 lebih kecil dari 0,10, untuk motif
pengaruh teman merokok, yaitu 0,032 lebih kecil dari 0,10, untuk motif pengaruh
iklan/TV, yaitu 0,374 lebih besar dari 0,10, serta untuk motif gaya hidup, yaitu 0,973
lebih besar dari 0,10.
Adanya hubungan yang signifikanantara motif pengaruh orangtua merokok
dan pengaruh teman merokok dengan persepsi peraturan larangan merokok
disebabkan merokok memberi dampak yang tidak baik pada anggota keluarga yang
tidak merokok dan dengan adanya pera turan larangan merokok perokok aktif
menyadari keberadaan perokok pasif di sekitarnya. Tidak terdapatnya hubungan yang
signifikan antara motif coba-coba, pengaruh iklan/TV, dan gaya hidup dengan
persepsi peraturan larangan merokok dikarenakan merokok sudah menjadi kebiasaan
dan untuk menguranginya memerlukan waktu yang lama.
Tabel 16. Hubungan antara Motif Merokok dengan Persepsi Peraturan
Larangan Merokok
Persepsi Peraturan
Larangan Merokok
Motif Coba-coba
P Value
Tingkat Signifikansi
0,131
0,10
Motif Pengaruh Orangtua Merokok
0,00*
0,10
Motif Pengaruh Teman Merokok
0,032*
0,10
Motif Pengaruh Iklan/TV
0,374
0,10
Motif Gaya Hidup
0,973
0,10
Keterangan : * Nyata pada taraf nyata 0,10
5.1.5
Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Persepsi Peraturan
Larangan Merokok
Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa responden perokok aktif dengan
status menikah dan belum menikah cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju
yaitu sebanyak 66 persen dan 100 persen. Hal ini menggambarkan bahwa tidak ada
perbedaan persepsi antara perokok aktif yang menikah dan belum menikah. Tetapi hal
ini berbanding terbalik dengan hasil uji statistik Chi-Square, dimana untuk
mengetahui hubungan antara status perkawinan dengan persepsi peraturan larangan
merokok.
Tabel 17.
Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Status
Perkawinan
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Total
Status Perkawinan
Belum Menikah
34 (100)
0 (0)
34 (100)
Menikah
43 (66)
23 (34)
66 (100)
77
23
100
Total
Keterangan : X2 hitung = 0,01; a = 0,10; keputusan = nyata
Dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai P Value sebesar 0,01. Nilai ini
lebih kecil dari 0,10. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan (nyata) antara status perkawinan dengan persepsi peraturan larangan
merokok. Adanya hubungan yang signifikan tersebut ditunjukkan dengan adanya
persepsi setuju dari perokok aktif yang berstatus menikah karena merokok memberi
dampak yang tidak baik pada anggota keluarga yang tidak merokok dan dengan
adanya peraturan larangan merokok perokok aktif menyadari keberadaan perokok
pasif di sekitarnya.
5.2
Hubungan antara Pengetahuan Tentang Dampak Merokok dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa responden perokok aktif dengan
tingkat pengetahuan mengenai dampak merokok baik tinggi, sedang maupun rendah
cenderung menunjukkan persepsi tidak setuju yaitu sebanyak 80%, 77% dan 75%. Hal
ini menggambarkan bahwa pengetahuan yang dimiliki responden mengenai dampak
merokok tidak mempengaruhi dalam mengurangi kebiasaan merokok. Untuk
mengetahui apakah tingkat pengetahuan mengenai dampak merokok berhubungan
dengan persepsi peraturan larangan merokok, maka dilakukan uji statistik.
Dengan uji statistik korelasi Rank Spearman diperoleh nilai probability (P)
sebesar 0,857. Nilai ini lebih besar dari 0,10. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang dampak merokok
dengan persepsi peraturan larangan merokok, dikarenakan meskipun tingkat
pengetahuan perokok aktif tentang dampak merokok tinggi namun hal ini tidak
membuat perokok aktif berkeinginan untuk berhenti merokok. Berdasarkan pada
jawaban wawancara dimana perokok aktif mengatakan merokok sudah membuat
perokok menjadi ketergantungan da n untuk mengurangi kebiasaan merokok
memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh seorang
responden (MT) :
“Saya yakin semua perokok pasti tahu bahayanya ngerokok tapi mau
gimana lagi ya namanya udah ketergantungan susah berhenti dalam
sekejap butuh waktu lama. Kalau mau berhenti mah kudu dari niat si
perokoknya sendiri kaga bisa dipaksa sama orang lain. Walau udah
batuk-batuk mah tetep aja tuh rokok dicari-cari” (M 42 tahun, Lakilaki).
Tabel 18. Persepsi Peraturan Larangan Merokok Berdasarkan Tingkat
Pengetahuan Mengenai Dampak Merokok
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Tingkat Pengetahuan
Rendah
3 (75)
1 (25)
Sedang
70 (77)
21 (23)
Tinggi
4 (80)
1 (20)
Total
77
23
Keterangan : Probabilitas = 0,857; koefisien korelasi = -0,018
Total
4
91
5
100
BAB VI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PERATURAN LARANGAN
MEROKOK DENGAN PENERAPAN PERILAKU MEROKOK
Pada tanggal 4 Februari 2006 Gubernur DKI Jakarta memberlakukan
Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara
dan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 75 Tahun 2005 tentang kawasan dilarang
merokok. Dalam pasal 41 ayat 2 bab tentang Ketentuan Pidana disebutkan bahwa
setiap orang yang melanggar ketentuan beberapa pasal dalam Perda termasuk pasal
13, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp50 juta.
Perda No. 2 Tahun 2005 sesungguhnya bukan berarti melarang masyarakat
merokok tetapi melarang merokok di sembarang tempat. Pengesahan perda ini
mengandung pro-kontra. Perda yang salah satunya mengatur tentang etika merokok
ditanggapi dingin oleh sebagian besar perokok aktif. Sebagian besar perokok tidak
setuju dengan larangan merokok di tempat umum namun perokok pasif menyambut
gembira perda ini.
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner didapatkan responden perokok aktif di
Kelurahan Pela Mampang sebagian besar memiliki persepsi tidak setuju terhadap
peraturan larangan merokok. Persepsi tidak setuju perokok aktif pada peraturan
larangan merokok karena ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah (Perda) No.2
Tahun 2005 yang tercantum dalam pasal 41 ayat 2. Melalui wawancara yang
dilakukan dengan responden perokok aktif di Kelurahan Pela Mampang sebagian
besar mentaati peraturan larangan merokok karena takut terhadap besarnya denda
yang harus dibayar. Hal ini diungkapkan oleh B yang berpendapat sebagai berikut :
“Pemerintah cuma bisa bikin aturan yang hukumannya denda padahal
peraturan larangan merokok menjadi polemik bagi masyarakat karena denda
yang ditetapka n untuk pelanggarannya adalah Rp 50 juta sedangkan rakyat
kecil Rp1 juta saja mungkin nggak punya”
Perokok aktif sebagian besar mentaati peraturan larangan merokok hanya di
tempat kerja dan pusat perbelanjaan dikarenakan adanya petugas pengawas peraturan
larangan merokok yang selalu bertugas mengawasi jika ada yang merokok. Sebaliknya
di lingkungan perumahan perokok aktif terlihat tidak ada yang mentaati peraturan
larangan merokok, disebabkan perokok aktif merasa petugas pengawas peraturan
larangan merokok tidak mungkin ada. Hal ini diungkapkan oleh R yang berpendapat
sebagai berikut :
“Kalau daerah tempat tinggal ga mungkin ada petugas yang
ngawasin kita ngerokok jadi cuek aja kalau ngerokok tapi kalau di
kantor dan di mal-mal pasti ada petugas nah kita ga pasti bisa
ngerokok disembarang tempat pasti disuruh ketempat khusus
merokok dan pasti didenda”
Pasal 41 ayat 2 bab tentang ketentuan pidana disebutkan bahwa setiap orang
yang melanggar, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp50 juta. Pernyataan B juga diperkuat oleh pernyataan
dari BR yaitu sebagai berikut :
“Saya setuju dengan dibentuknya Peraturan Larangan Merokok tapi
yang bikin berat dendanya itu lho yang ga kira-kira, Rp50 juta kalau
kita ngelanggar. Uang dari mana buat bayar denda sebanyak itu, beli
rokok aja masih ngitung-ngitung dari uang sisa bulanan. Biar ga
didenda lebih baik hati- hati kalau ngerokok di luar rumah.” (BR lakilaki, 28 tahun)
Perokok aktif merasa bahwa denda dan ancaman pidana yang dibuat oleh
pemerintah tidak masuk akal. Jadi berdasarkan pernyataan-pernyataan responden di
atas menggambarkan bahwa perokok aktif di wilayah Kelurahan Pela Mampang
mentaati peraturan larangan merokok bukan karena tujuan peraturan itu sendiri,
walaupun masih dijumpai perokok yang merokok di depan sekolah, masjid dan TPA.
Berdasarkan hasil wawancara pada responden diperoleh alasan merokok di sarana
umum masyarakat, seperti yang dikemukakan AS sebagai berikut :
“Udah kebiasaan ngerokok dimana aja sih, apalagi kalau mulut rasanya kecut
tangan udah reflek ngambil rokok buat dihisap. Kalau udah ngisap rokok udah
ga inget yang lain- lainnya.”
Banyak dijumpai perokok aktif yang merokok di sarana umum seperti yang
tertuang dalam pasal 3 pada Peraturan Gubernur No. 75 Tahun 2005 yaitu tempat
umum, tempat kerja, tempat proses belajar-mengajar, tempat pelayanan kesehatan,
arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah dan angkutan umum. Penyebab banyaknya
perokok aktif yang masih merokok di sarana umum dikarenakan kebiasaan merokok
sudah berlangsung dengan kontinuitas yang lama sehingga untuk merubahnya
memerlukan waktu yang panjang. Berdasarkan hasil wawancara pada responden
lainnya diperoleh alasan lain mengapa memilih merokok di tempat umum, seperti
yang dikemukakan T seb agai berikut :
“Ya abis mau gimana, serba salah juga sih mau ngerokok ditempat umum
dilarang sedangkan ruang khusus merokok terbatas jumlahnya dan hanya
terdapat ditempat pusat perbelanjaan itupun sedikit sekali yang punya ruang
khusus merokok, yah masa untuk merokok kita harus datang kesana dulu mana
jaraknya jauh lagi.”
Sebagian besar masyarakat Jakarta meragukan pada pelaksanaan peraturan
larangan merokok. Aparat penegak hukum yang ditugasi mengawasi dilapangan masih
dirasa kurang sehingga masih banyak perokok aktif yang merokok di tempat-tempat
umum. Ruangan khusus merokok yang disediakan disetiap gedung perkantoran dan
pusat perbelanjaan dirasakan tidak nyaman bagi para perokok aktif dikarenakan
ruangan yang terlalu kecil dan tidak sesuai dengan jumlah perokok aktif serta ventilasi
udara yang terlalu minim sehingga ruangan akan penuh dengan asap rokok. Bagi
perokok aktif perempuan ruangan khusus merokok dirasakan tidak nyaman karena
bercampur dengan perokok aktif laki- laki sehingga toilet menjadi pilihan untuk tempat
merokok. Peraturan larangan merokok hanya ditakuti perokok aktif pada saat
peraturan itu dikeluarkan karena pemerintah mengerahkan petugas penegak hukum
untuk melakukan pengawasan di lapangan, setelah berjalannya waktu dalam
pelaksanaan peraturan larangan merokok tidak disertai petugas penegak hukum yang
seharusnya ditugaskan di lapangan untuk mentertibkan para perokok aktif yang
melanggar.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Sebagian besar perokok aktif memiliki persepsi tidak setuju terhadap peraturan
larangan merokok. Persepsi tidak setuju karena ketentuan sanksi pidana yang
tertuang di dalam peraturan larangan merokok dirasakan terlalu berat. Para
perokok aktif me laksanakan peraturan larangan merokok dengan tidak merokok di
tempat umum bukan berdasarkan tujuannya tetapi karena takut akan sanksi denda.
2. Karakteristik individu pada jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
dan motif merokok (coba-coba, pengaruh iklan/TV dan gaya hidup) tidak
berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok dikarenakan merokok
sudah menjadi kebiasaan dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok
aktif merasa ruang lingkup untuk merokok dibatasi serta ketentuan sanksi pidana
yang terlalu berat. Motif merokok (pengaruh orangtua dan pengaruh teman) dan
status perkawinan berhubungan dengan persepsi peraturan larangan merokok
dikarenakan merokok memberi dampak yang tidak baik pada anggota keluarga
yang tidak merokok dan dengan adanya peraturan larangan merokok perokok aktif
menyadari keberadaan perokok pasif di sekitarnya.
3. Tingkat pengetahuan tentang dampak merokok tidak berhubungan dengan
persepsi peraturan larangan merokok. Meskipun tingkat pengetahuan perokok
aktif tentang dampak merokok tinggi namun perokok aktif tidak berkeinginan
untuk berhenti merokok karena merokok sudah menjadi ketergantungan dan untuk
menguranginya memerlukan waktu yang cukup lama.
Saran
1. Bagi perokok aktif, sebaiknya tidak merokok di tempat sarana umum masyarakat
karena asap dari rokok yang dikeluarkan dapat mengganggu kesehatan bagi orang
yang tidak merokok (perokok pasif).
2. Bagi orangtua diharapkan dapat menjelaskan akan dampak rokok bagi kesehatan
atau perilaku merokok yang sebaiknya tidak mengganggu orang lain. Orangtua
yang merokok sebaiknya tidak merokok di dalam rumah dan memberikan contoh
yang baik pada anak-anaknya demi masa depan.
3. Penerapan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 dan
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 Tahun 2005 Pasal 13, perlu didukung dengan
penyediaan ruangan khusus merokok yang nyaman serta mudah dijangkau bagi
para perokok aktif dan peraturan larangan merokok disosialisasikan kepada
masyarakat secara jelas sehingga para perokok aktif dapat mengerti dan
melaksanakan peraturan larangan merokok sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bachri. 1991. Dampak dari Sebatang Rokok dalam Buletin RSKO. Juni 1991.
Jakarta.
Calhoun, James F. & R. Acocella 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan
Hubungan Kemanusiaan. Penerjemah R. S. Satmoko. Edisi Ketiga. IKIP
Semarang Press. Semarang.
Dariyo, Agoes. 2003. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia. Jakarta.
De Vito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Penerjemah Agus Maulana.
Edisi Kelima. Professional Books. Jakarta.
DepKes. 2001. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Departemen Kesehatan. Jakarta.
DepKes. 2003. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Departemen Kesehatan. Jakarta.
GAPPRI. 2002. Produksi dan Konsumsi Rokok Nasional. GAPPRI. Jakarta.
Handoko, Dwi Dharma. 2003. Persepsi Masyarakat Tentang Lingkungan Sungai dan
Pengaruhnya Terhadap Perilaku Pemanfaatnya. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kristono, Hidayat. 1994. Studi Migrasi dan Perubahan Nilai Kerja Pekerja Asal
Pedesaan pada Sektor Industri di Tangerang. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gubernur DKI Jakarta. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005
Tentang Kawasan Larangan Merokok. Jakarta.
Perda. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara. Jakarta..
Singarimbun, M. & Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. PT Pustaka LP3ES.
Jakarta.
Singgih, Renie. 2002. Bahaya Perokok Pasif Sama dengan Perokok Aktif. Lembaga
Menanggulangi Masalah Merokok (LM3). Jakarta.
Soesetiyo, J. Budhy. 1990. Nilai Kerja Tradisi; Telaah pada Masyarakat Pertanian
Padi Sawah di Desa Sidorejo Godean, Yogyakarta. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Sumitra, Tata. 2003. Hubungan Antara Perilaku Komunikasi dan Persepsi Petani
Hutan Kemasyarakatan (HKm dengan Partisipasinya Terhadap Pembangunan
HKm). Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. 2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Editor
Miftah F. Rakhmat. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Syahyuni, Tuti. 1999. Persepsi Pekerja Industri Terhadap Tingkat Pendidikan Anak
pada Masyarakat Transisi Agraris Ke Industri. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
WHO. 2002. The Tobacco Atlas. Departemen Kesehatan. Jakarta.
Yuniarti, Nia Tetin. 2000. Persepsi Masyarakat Nelayan Terhadap Pendidikan
Formal. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Jenis Kelamin *
Persepsi
Missing
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
Percent
100
100.0%
Jenis Kelamin * Persepsi Crosstabulation
Count
Persepsi
Tidak Setuju
Jenis Kelamin
Setuju
Total
Laki-laki
65
Perempuan
12
3
15
77
23
100
Total
20
85
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction(a)
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
.090(b)
1
.765
.000
.092
1
1
1.000
.762
Fisher's Exact Test
Exact Sig.
(2-sided)
Exact
Sig. (1sided)
1.000
Linear-by-Linear
Association
.089
N of Valid Cases
100
1
.766
a Computed only for a 2x2 table
b 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.45.
.531
Lampiran 2. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Tingkat Pendidikan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Nonparametric Correlations
Correlations
Tingkat
Pendidikan
Spearman's
rho
Tingkat
Pendidikan
Correlation Coefficient
1.000
.000
.
1.000
Sig. (2-tailed)
N
Correlation Coefficient
Persepsi
Sig. (2-tailed)
N
Persepsi
100
100
.000
1.000
1.000
100
.
100
Case Processing Summary
Cases
Valid
Percent
N
Tingkat Pendidikan
* Persepsi
100
N
100.0%
Missing
Percent
0
.0%
Total
Percent
N
100
100.0%
Tingkat Pendidikan * Persepsi Crosstabulation
Count
Persepsi
Tidak Setuju
Tingkat
Pendidikan
Total
Tidak Sekolah
Setuju
Total
4
0
4
SD/sederajat
3
2
5
SLTP/sederajat
4
2
6
SLTA/sederajat
23
6
29
Perguruan
Tinggi
43
13
56
77
23
100
Lampiran 3. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Pendapatan dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Nonparametric Correlations
Correlations
Pendapatan
(Gaji)
Spearman's
rho
Pendapatan
(Gaji)
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
1.000
.013
.
.895
100
100
.013
1.000
.895
.
100
100
N
Persepsi
Persepsi
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Pendapatan
(Gaji) * Persepsi
Missing
Percent
100
100.0%
N
Total
Percent
0
.0%
N
Percent
100
100.0%
Pendapatan (Gaji) * Persepsi Crosstabulation
Count
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
Pendapatan
(Gaji)
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Total
12
5
17
33
32
77
7
11
23
40
43
100
Lampiran 4. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Motif Merokok dengan
Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Motif Coba-coba * Persepsi
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Coba-coba * Persepsi
100
Missing
Percent
100.0%
N
0
Total
Percent
.0%
N
100
Percent
100.0%
Coba-coba * Persepsi Crosstabulation
Count
Coba-coba
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
55
20
22
3
77
23
Tidak
Ya
Total
Total
75
25
100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
a
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
2.277b
1.525
2.522
2.255
df
1
1
1
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.131
.217
.112
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
.174
.105
.133
100
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.
75.
Pengaruh Orangtua Merokok * Persepsi
Case Processing Summary
Cases
Missing
Valid
N
Pengaruh Orangtua
Merokok * Persepsi
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
100
Percent
100.0%
Pengaruh Orangtua Merokok * Persepsi Crosstabulation
Count
Pengaruh Orangtua
Merokok
Tidak
Ya
Total
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
66
10
11
13
77
23
Total
76
24
100
Chi-Square Tests
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.000
a
Continuity Correction
15.082
1
.000
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
15.566
1
.000
Pearson Chi-Square
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
17.320b
17.147
df
1
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
.000
.000
.000
100
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.
52.
Pengaruh Teman Merokok * Persepsi
Case Processing Summary
Cases
Missing
Valid
N
Pengaruh Teman
Merokok * Persepsi
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
100
Percent
100.0%
Pengaruh Teman Merokok * Persepsi Crosstabulation
Count
Pengaruh Teman
Merokok
Persepsi
Tidak Setuju
Setuju
58
22
19
1
77
23
Tidak
Ya
Total
Total
80
20
100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
a
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
4.574b
3.391
5.808
4.528
df
1
1
1
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.032
.066
.016
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
.038
.025
.033
100
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.
60.
Pengaruh Iklan/TV * Persepsi
Case Processing Summary
Cases
Missing
Valid
N
Pengaruh Iklan/TV
* Persepsi
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent
0
N
.0%
100
Percent
100.0%
Pengaruh Iklan/TV * Persepsi Crosstabulation
Count
Pengaruh
Iklan/TV
Persepsi
Tidak Setuju
69
8
77
Tidak
Ya
Total
Setuju
Total
22
1
23
91
9
100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
a
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
.789b
.224
.912
.781
df
1
1
1
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.374
.636
.339
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
.680
.339
.377
100
a. Computed only for a 2x2 table
b. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.
07.
Gaya Hidup * Persepsi
Case Processing Summary
Gaya Hidup * Persepsi
Cases
Missing
N
Percent
0
.0%
Valid
N
Percent
100
100.0%
Total
N
Percent
100
100.0%
Gaya Hidup * Persepsi Crosstabulation
Count
Gaya Hidup
Persepsi
Tidak Setuju
60
17
77
Tidak
Ya
Total
Setuju
Total
18
5
23
78
22
100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
a
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Value
.001b
.000
.001
.001
df
1
1
1
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.973
1.000
.973
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
1.000
.610
.973
100
a. Computed only for a 2x2 table
b. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.
06.
Lampiran 5. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Nonparametric Correlations
Correlations
Tingkat
Pengetahua
n
Spearman's
rho
Tingkat
Pengetahuan
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
Persepsi
Persepsi
1.000
-.018
.
.857
100
100
-.018
1.000
N
.857
.
100
100
Case Processing Summary
Cases
Valid
N
Tingkat
Pengetahuan *
Persepsi
Missing
Percent
100
N
100.0%
Total
Percent
0
.0%
N
Percent
100
100.0%
Tingkat Pengetahuan * Persepsi Crosstabulation
Count
Persepsi
Tidak Setuju
Tingkat
Pengetahuan
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Setuju
Total
3
1
4
70
4
77
21
1
23
91
5
100
Lampiran 6. Hasil Uji SPSS Tentang Hubungan Antara Status Perkawinan
dengan Persepsi Peraturan Larangan Merokok
Case Processing Summary
Cases
Valid
Percent
N
Status
Perkawinan *
Persepsi
100
Missing
Percent
N
100.0%
0
Total
Percent
N
.0%
100
100.0%
Status Perkawinan * Persepsi Crosstabulation
Count
Persepsi
Tidak
Setuju
Setuju
Status
Perkawinan
Belum Menikah
Kawin
Total
Total
34
0
34
43
77
23
23
66
100
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity
Correction(a)
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
1
Asymp. Sig.
(2-sided)
.010
13.483
1
.000
22.517
1
.000
Value
15.388(b)
df
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
.080
15.234
1
.080
100
a Computed only for a 2x2 table
b 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.82.
.000
Download