TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Diatom Chaetoceros gracilis Karakteristik Umum Diatom Diatom adalah nama populer untuk semua organisme yang masuk dalam kelas Bacillariophyceae. Diatom merupakan organisme uniseluler berukuran 10200 µm, memiliki pigmen klorofil a, c1, c2 dan karotenoid, hidup bebas secara fotosintetik autotrof sebagai fitoplankton. Oleh karena ukurannya kecil, maka disebut sebagai mikroalga, meskipun dapat ditemukan dalam bentuk koloni hingga mencapai panjang beberapa milimeter membentuk spiral, heliks dan zigzag (Round et al. 1990). Konstruksi dinding biosilika diatom yang disebut dengan frustule memiliki bentuk seperti petridish, yang mempunyai bagian yang saling berpotongan disebut girdle band (copulae). Bidang-bidang yang saling berpotongan tersebut, bagian atas disebut epiteka dan bagian bawah disebut hipoteka. Bagian atas permukaan setiap theca disebut valve mempunyai permukaan dengan pola pori-pori teratur disebut areolae yang memberikan karakteristik setiap jenisnya. Secara garis besar diatom, berdasarkan bentuknya digolongkan menjadi centris dengan bentuk sel bulat dan pennate bentuk sel lonjong atau bulat memanjang (Round et al. 1990). Sistem Reproduksi. Reproduksi diatom dapat terjadi secara aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual merupakan reproduksi yang paling umum untuk diatom. Reproduksi aseksual pada mahluk hidup ini terjadi dengan pembelahan sitoplasma dalam frustule, sehingga epiteka induk akan menghasilkan hipoteka yang baru dan hipoteka yang lama akan menjadi epiteka yang menghasilkan hipoteka yang baru pula pada anakannya dan seterusnya. Maka suksesi reproduksi aseksual ini akan menghasilkan ukuran sel yang semakin kecil. Ketika ukurannya mencapai minimum maka selanjutnya akan dikompensasi dengan tumbuhnya auksospora (expandable zygote cell) berukuran besar yang akan membelah dan menghasilkan sel baru berukuran besar. Pembentukan auksospora atau auksosporulasi merupakan bagian dari fase reproduksi seksual yakni melahirkan kembali ke ukuran semula (original size) melalui reproduksi 7 seksual. Skema mekanisme reproduksi aseksual pada mikroalga dapat dilihat pada Gambar 1A & 1B A auksospora B B Auksosporulasi Epiteka Hipoteka Gambar 1 Skema reproduksi aseksual diatom secara skematis (Round et al. 1990) Gordon & Parkinson (1999) menemukan bahwa frustule pada diatom mengandung silika yang berpori dengan ukuran sekitar 40 nm atau 100-200 nm. Karakteristik lainnya adalah mempunyai lipid dan crysolaminarin sebagai cadangan makanannya dan silika sekitar 90% (Round et al. 1990). Diatom ratarata mengandung lipid 1-39 % dari berat kering (Becker 1994) dan dapat mengandung asam lemak 1.6-70 pg/sel dengan PUFA antara 5-62% dari total asam lemak (Dunstan et al. 1994). Diatom juga mengandung protein sekitar 2025% per berat kering, karbohidrat 5-7% per berat kering (Brown et al. 1997). 8 Chaetoceros gracilis Chaetoceros gracilis merupakan salah satu anggota dari genus Chaetoceros, Secara morfologi merupakan diatom tunggal dengan bentuk sel sentries. Selselnya membentuk rantai atau koloni hingga panjangnya mencapai 200µm. Rantai tersebut dibentuk oleh hubungan internal antar spina. Menurut Isnansetyo & Kurniastuty (1995), Chaetoceros yang ditemukan di perairan Indonesia umumnya berukuran 3-30 µm, bentuk bulat berdiameter 4-6µm atau berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18µm. Chaetoceros toleran terhadap suhu air hingga 40 oC, namun pertumbuhan optimal pada kisaran suhu 25-30oC. Toleransi terhadap salinitas 6-50‰ dengan salinitas optimum 17-25‰. Chaetoceros gracilis mudah dikulturkan dalam medium yang mengandung silikat dengan pencahayaan minimal 3000 lx (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Bold & Wynne 1985, sistematika C. gracilis adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae filum : Chrysophyta kelas : Bacillariophyceae ordo : Centrales subordo : Biddulphioideae familia : Chaetoceraceae genus : Chaetoceros spesies : gracillis Polimer Silika, Biosilika dan Aplikasi dalam Bidang Pangan Polimer Silika dan Industri Silika Silika merupakan polimer tersusun dalam susunan tiga dimensi dari silikon dioksida (SiO 2 ). Silika (Silikon dioksida/ SiO 2 ) sangat banyak ditemukan secara alami dalam bentuk bebas sebagai quartz dan campuran sebagai silikat. Silikat adalah komponen kimia yang mengandung silikon, oksigen dan elemen metal, seperti orthosilikat mengandung gugus SiO 4 -4 dan metalsilikat gugus SiO 4 -2. Silika juga ditemukan sebagai sandstone dan silica sand. 9 Silika ditemukan dengan berbagai bentuk seperti crystalline (quartz atau heksagonal, kristabolit atau tetrahedran, tridimit atau triklinat) dan silika amorphous (bentuk opal, chaledony, flint, jasper dan diatomaceous earth) serta glass. Silika tersebut memiliki sifat tidak berwarna, tidak berasa dan secara fisiologi bersifat inert, mempunyai sifat tahan terhadap reaksi kimia pada temperatur biasa tetapi dapat mengalami berbagai transformasi pada temperatur tinggi (Ning 2002). Silika untuk keperluan industri pada umumnya memerlukan tingkat kemurnian tertentu, struktur tertentu atau bentuk spesifik berkaitan dengan bentuk dan ukuran pori-porinya. Silika murni dan berpori skala nano selama ini diperoleh antara lain dengan cara 1) acid deposition dari larutan Na 2 SiO 3 , 2) metode sol-gel dari organo-silicone compound, 3) vapour deposition dari a silica fume dan 4) metoda hidrothermal (Ono et al. 2001). Metoda hidrothermal menggunakan campuran kalsium-silikat yang diperoleh dengan mencampurkan Ca(OH) 2 dengan berbagai silika seperti silika amorf atau silika kristal, selanjutnya campuran tersebut dipanaskan dengan temperatur 140 ºC, tekanan 0,4-1 MPa selama 8 jam (Ono et al. 2001). Kalapathy et al. (2000), melaporkan silika murni yang diperoleh dari abu sekam padi dilakukan dengan ekstraksi alkali dilanjutkan dengan pengendapan asam kemudian dipanaskan hingga 80 ºC selama 12 jam. Menurut Harsono (2002), silika dari abu sekam padi diperoleh dengan memanaskan hingga 190 ºC, namun untuk memperoleh silika dengan kristalinitas tinggi, harus dipanaskan lebih lanjut hingga 650 ºC sehingga dihasilkan fasa kristabolit dan tridimit. Pada prinsipnya metoda untuk memperoleh silika atau silikon yang diaplikasikan di industri pada umumnya menggunakan temperatur tinggi dan suatu prekursor. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Maeda & Komatsu (1996), yang melaporkan bahwa ultrapure polycrystalline silicon dan silicon carbide bahan semikonduktor diperoleh dengan cara meleburkan quartz pada tungku temperatur tinggi. Brinker & Scherer (1990), memperoleh silika dengan menggunakan sodium silikat sebagai prekursor yang diperoleh dengan cara melebur quartz sand dengan sodium karbonat menggunakan temperatur 1300 ºC. 10 Silikon semikonduktor dibuat dengan mereaksikan crude metal dengan campuran gas hidrogen dan hidrogen klorida dalam fluidised bed sehingga menghasilkan SiHCl3 . Selanjutnya dilakukan destilasi dan direduksi menggunakan hidrogen menghasilkan filamen pre silikon, kemudian dipanaskan hingga 1150 ºC. Demikian juga dengan produk-produk intermediet seperti silica chip, fiber glass dan keramik juga dibuat dengan temperatur tinggi. Silica chip digunakan sebagai sparepart komputer atau assay kit, dibuat dengan beberapa tahap yang diawali dengan pembuatan lapisan silika yang disebut wafer. Wafer dibuat dari polisilikon hasil reaksi triklorosilan dengan hidrogen pada suhu 1000 ºC lalu dikristalkan dengan suhu 1200 ºC. Wafer ini sebagai template untuk lapisan silika berikutnya hingga mencapai ketebalan beberapa mikron, kemudian dilanjutkan pemberian muatan dan pengemasan menjadi chip (Richardson 2001). Fiber glass sebagai bahan utama dalam alat pendeteksi seperti stetoskop dibuat dengan cara oksidasi thermal silikon tetraklorida dan suhu sekitar 2500 ºC, dengan reaksi SiCl4 + O 2 SiO 2 + 2Cl2 (Fiber Tech 2004). Metoda sol-gel dalam pembuatan silika merupakan metoda yang menggunakan suhu ruang. Menurut Ester et al. (2005), proses sol-gel adalah suatu teknik untuk memproduksi amorphous inorganic solid seperti glass. Istilah sol didefinisikan sebagai suatu larutan koloidal dengan partikel berukuran < 100nm dan gel adalah larutan koloid semisolid. Silika glass yang dibuat dengan metoda sol-gel menghasilkan homogenitas yang baik, kemurnian tinggi dan porous. Hal ini memungkinkan dibuat suatu matriks berpori, bening dan bersifat optik sehingga dapat digunakan sebagai sensor. Lebih jauh, dengan ditemukan proses sol-gel dapat membuat silica glass bening mengandung bahan organik maupun inorganik pada suhu rendah. Pada proses sol-gel, bentuk sol koloidal diperoleh dari hasil hidrolisis dan polikondensasi prekursor metalorganik. Prekursor tersebut adalah metal alkoxide dengan rumus molekul M(OR) n , dan OR- nya dapat berbentuk metoxy (OCH 3 ) atau ethoxy (OC 2 H 5 ). Bahan yang paling sering digunakan untuk membuat material berbasis silika metode sol gel adalah tetramethoxysilane (TMOS) dan tetraethoxysilane (TEOS). Dalam reaksi hidrolisis prekursor direaksikan dengan air yang mengandung katalis, alkohol ditambahkan sebagai co-solvent. Tahap 11 hidrolisis merupakan tahap pembentukan gugus silanol (Si-OH) dengan melepaskan alkohol atau H 2 O sebagai by product, kemudian dilanjutkan dengan kondensasi membentuk gugus siloxane (Si-O-Si). Partikel silika amorphous yang dapat dihasilkan dengan metoda sol-gel berdiameter 5-10 nm (Ester et al.2005). Substrat TEOS juga digunakan dalam pembuatan thin-film dari silika dengan metoda vacum ultraviolet radiation (Takezoe et al. 1999). Adamson (2004) membuat lapisan tipis silika secara kimia dengan surfaktan dan TEOS sebagai prekursor, tetap memerlukan template untuk dasar lapisan tipis tersebut, namun juga dapat dilakukan tanpa template. Proses sintesis silika secara kimia baik dengan temperatur rendah maupun temperatur tinggi memerlukan prekursor, katalis dan template. Penggunaan ke tiga unsur tersebut juga ditemukan dalam pembuatan polimer silika secara in vitro menggunakan katalis biologi protein atau sering disebut sebagai proses biosilika yang berasal dari organisme penghasil silika. Biosilika Silika juga diproduksi oleh banyak organisme termasuk binatang dan tumbuhan tinggi, bakteri, protista, tanaman, invertebrata maupun vertebrata. Mineral silika yang terjadi di alam menunjukkan sifat fisik dan memiliki derajat hidrasi dengan struktur yang bervariasi. Selain itu, pembentukannya berada di bawah kondisi sekelilingnya dengan pH netral dan suhu rendah kira-kira 4-40º C (Perry 2003). Menurut Perry (2003), biosilika oleh organisme dapat terjadi secara intraseluler atau ekstraseluler di suatu organel khusus yang juga terdapat karbohidrat, lipid dan protein. Organel khusus tempat terdepositnya silika dan pembentukannya disebut silica deposition vesicle yang dimiliki oleh diatom (Kröger et al. 1999), sedangkan vakuola sel sclerocytes yang terletak di jaringan mesophyl merupakan tempat terdepositnya asam silikat untuk membentuk spikula silika pada spons (Brusca & Brusca 1990). Diatom merupakan penyumbang terbesar silika di alam karena sebagian besar selnya mengandung silika sebagai penyusun utama dinding sel endoskeleton maupun eksosekeleton. Biota lain yang mengandung silika sebagai bagian penyusun organ atau jaringan adalah dari kelompok Serealia, Sponge dan 12 Radiolaria. Dinding sel diatom silicaseous mengandung silika amorf atau opaline 96.5%, berpola teratur rapi (ornicate) dan berpori dengan skala nanometer. Gambar 2 memperlihatkan struktur dinding sel dari jenis diatom berbeda. A B Gambar 2 Struktur dinding sel silicaseous dari jenis diatom yang berbeda. A. Diatom Cymathoneis sp. B. Diatom Anorthoneis sp (Round et al. 1990) Pembentukan silika sebagai bagian dari penyusun endo mapun eksoskeleton terkait dengan pembelahan sel itu sendiri. Menurut Kröger & Wetherbee (2000), mekanisme pembentukan dinding sel silicaseous dimulai pada awal sitokinesis. Menurut Kröger & Wetherbee (2000), secara umum mekanisme pembelahan sel meliputi sitokinesis, perluasan valve SDV, eksositosis, pemisahan sel dan pertumbuhan sel. Pada tahap sitokinesis, sitoplasma terbagi menjadi 2 bagian masing-masing mengandung ruangan khusus yang disebut valve SDV yang merupakan tempat terdepositnya silika, dilanjutkan dengan perluasan valve SDV sebagai calon valve baru. Perluasan ini akan memperjelas pemisahan sitoplasma, kemudian dilanjutkan dengan tahap eksositosis yakni menuju pemisahan sel. Pada tahap ini, valve SDV yang mengalami perluasan akan menjadi calon valve. Selanjutnya diikuti terbentuknya girdle band SDV yang diikuti proses diferensiasi membentuk girdle band baru selama tahap pertumbuhan sel. Tahap pembentukan girdle band baru diikuti dengan pematangan valve SDV atau diferensiasi menjadi valve baru dan akhirnya membentuk sel utuh baru hasil pembelahan dengan dinding sel silicaseous (Kröger & Wetherbee, 2000). Gambar 3 memperlihatkan 13 proses pembentukan dinding sel ketika sel mengalami pembelahan dalam siklus sel diatom. Replikasi DNA sitokinesis SDV ekspansi Pertumbuh an sel eksositosis Pemisahan sel Gambar 3 Pembentukan dinding sel silicaseous dalam siklus sel diatom (Kröger & Wetherbee, 2000). Silika yang terbentuk sebagai penyusun dinding sel diatom merupakan salah satu contoh peristiwa biologi organisme yang memanfaatkan langsung komponen disekitarnya untuk menyusun bagian tubuhnya. Menurut Poulsen & Kröger (2004), selama terjadi evolusi, diatom dan organisme penghasil silika lain seperti spons dan radiolaria memerlukan asam monosilikat Si(OH) 4 yang ada di habitat untuk pembentukan struktur yang spesifik pada setiap endo dan eksoskeleton. Asam silikat Si(OH) 3 O- yang banyak terdapat diperairan laut ditransport secara aktif masuk ke dalam appratus golgi. Dari apparatus golgi ini asam silikat masuk ke dalam organel yang disebut a small silicon-laden vesicle oleh mikrofilamen (Lee 1989). Hildenbrand et al. (1998) menemukan bahwa mikrofilamen tersebut adalah sejenis protein transporter yang memiliki atom Na+ 14 yang disebut protein silica transpoter. Selanjutnya a small silicon-laden vesicle menjadi silica deposition vesicle (SDV) yakni organel yang mempolimerisasi asam silikat menjadi polimer silika. Di dalam SDV asam silikat mengalami reaksi kondensasi dengan gugus hidroksi dari suatu protein. Kröger et al. (1997) dan Kröger et al. (1999) memastikan adanya peran molekul organik yang terlibat dalam pembentukan silika di dalam SDV. Mereka berhasil mengisolasi serta mengkarakterisasi sebagai satu set peptida polikationik berberat molekul rendah dan peptida berberat molekul tinggi. Selain itu ada komponen lain yakni non protein rantai poliamin panjang dengan rantai spesifik yang berperan dalam penyusunan pola silika (Sumper 2002). SDV silicaseous dalam pertumbuhan sel diatom mengalami perluasan dan bergabung dengan silicalemma membentuk jaringan skeletal yang diduga melibatkan protein trans-silicalemma dan elemen skeletal (Lee 1989). Mekanisme pemindahan silika menjadi dinding sel silicaseous belum jelas meskipun telah diketahui sebagian dari komponen yang terlibat biosilifikasi diatom (Sumper & Kröger 2004). Protein yang Terlibat dalam Biosilika Diatom Kröger et al. (1997) telah menemukan adanya protein yang terlibat dalam pembentukan silika dari diatom Cylindrotheca fucifomis yang kemudian dikenal dengan protein silaffin. Protein tersebut bertanggungjawab pada tingkat molekuler dalam membentuk struktur silika berukuran nano dari asam silikat (silikon) di dalam lingkungannya. Protein silaffin sangat kuat terikat dengan silika dan hanya ditemukan di dalam SDV yang telah terintegrasi menjadi dinding sel. Protein silaffin diatom Cylindrotheca fuciformis terdiri tiga polipeptida yaitu silaffin 1A (4 kDa), silaffin 1B (8 kDa) dan silaffin 2 (17 kDa), serta komponen non-protein yakni poliamin (<3,5 kDa). Hasil analisis sekuens protein menunjukkan silaffin 1A terdiri dari dua campuran peptida yang sama dan disebut silaffin 1A1, 1A2, masing-masing mengandung 15 dan 18 asam amino dan memiliki homologi sekuens yang cukup tinggi dengan silaffin 1B. Poulsen & Kröger (2004), mengkarakterisasi protein silaffin diatom Thalassiosira pseudonana dan Cylindrotheca fuciformis. Protein silaffin T. 15 pseudonana mengandung 5 peptida, yakni tpSil 1H (35 kDa), tpSil 2H (35 kDa), tpSil 1L (19 kDa), tpSil 2L (18 kDa) dan tpSil 3 (35 kda). Peptida tpSil 1H dan 2H mempunyai berat molekul yang lebih tiggi dari tpSil 1L dan 2L. Analisis sekuen N-terminal terhadap 5 protein silaffin utama dari T. pseudonana ternyata tidak homolog dengan protein silaffin C. fucifrmis, namun mempunyai kemiripan komposisi asam amino. Protein tpSil 1 & 2H mempunyai komposisi asam amino yang tidak jelas karena banyaknya asam amino yang tidak teridentifikasi dan mengandung campuran 2 peptida yang mempunyai sekuen berbeda sama sekali. Pada tpSil 1L dan 2L merupakan sekuen yang mirip, namun juga mengandung asam amino yang tidak teridentifikasi. Spons juga memiliki silika yang juga dikontrol oleh protein yang disebut protein silicatein. Menurut Shimizu et al. (1998), protein silicatein dari spons Tethya aurantia terdiri dari 3 protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian disebut sebagai 3 subunit α, β dan γ. Tiga protein tersebut sebagai protein isomer, karena satu subunit mampu melakukan reaksi katalis dan susunan asam aminonya juga hampir sama. Hasil sekuen silicatein α mempunyai kemiripan yang tinggi dengan famili cathepsin-L. Tiga ratus tiga puluh satu asam amino yang menyusun silicatein didominasi oleh residu serin, tirosin dan treonin (Shimizu et al.1998). Protein silicatein yang diisolasi dari spons Suberitas domuncula mempunyai 79% kemiripan dengan silicatein T. aurantia, tersusun atas 331 asam amino dengan berat molekul 36. 30 kDa dan 23. 12 kDa (Krasco et al. 2000). Pembentukan Silika secara In Vitro Menggunakan Katalis Protein Kröger et al. (1999), menunjukkan bahwa protein silaffin Cylindrotheca fuciformis secara in vitro mampu menghasilkan silika nanosphere pada pH < 7 dan temperatur ruang ketika ditambahkan larutan asam silikat dalam beberapa detik. Lebih lanjut diungkapkan bahwa protein silaffin Sil 1A mampu secara tunggal menghasilkan silika nanosphere berdiameter 500-700 nm, sedangkan hasil katalisis menggunakan protein silaffin Sil 2 menghasilkan silika nanosphere berdiamter kurang dari 50 nm. 16 Gambar 4 dan 5 memperlihatkan hasil Scanning Electron Microscope (SEM) perbedaan presipitasi silika nanosphere yang dihasilkan dari protein silaffin Sil 1A dan protein silaffin Sil 2 dari hasil isolasi C. fuciformis. Jumlah presipitasi silika tergantung dari yang ditambahkan. Sedangkan Poulsen et al. (2003) menjelaskan bahwa protein silaffin Sil 2 tidak berkontribusi dalam pembentukan silika tetapi diduga hanya memiliki peran regulasi aktivitas Sil 1A sehingga presipitasi silika yang dihasilkan memiliki struktur pori yang tidak beraturan. A B Gambar 4 Hasil SEM presipitasi silika yang terbentuk dari protein sil 1A (A) dan (B) gabungan Sil 1A dan Sil 2 dari C. fuciformis (Kröger et al. 1999) Gambar 5 Hasil SEM presipitasi silika dengan pori tak beraturan menggunakan protein silaffin gabungan natSil 2 dan natSil 1A dari C. fuciformis (kiri ke kanan : rasio semakin kecil) Reaksi in vitro menggunakan substrat TEOS dengan mengkombinasikan fraksi-fraksi dari protein silaffin T. pseudonana sebagai katalis menghasilkan berbagai struktur seperti silika spherical (diameter 230 nm); silika porous sheet (susunan pori tidak teratur dan bentuk yang tidak seragam, diamter 20-200 nm); silika plates of densely packed (partikel silika kecil dan besar); dan silika sphere 17 polydisperse (diameter dari 900 nm hingga 4,2 μm) (Poulsen et al. 2003). Struktur silika yang terbentuk tergantung jenis peptida silaffin yang menyusun dan keterlibatan long-chain polyamin (Poulsen & Kröger 2004). Hasil penelitian Manurung et al. (2007), memperlihatkan protein biosilika yag diisolasi dari diatom C. gracilis mampu mengkatalisa pembentukan silika sphere dalam waktu 10 menit menggunakan TEOS yang dihidrolisis dengan asam klorida sebagai substrat. Menurut Poulsen et al. (2003), protein pada mekanisme biosintesis silika bertindak sebagai template dan asam monosilikat hasil hidrolisis TMOS (Tetramethoxyorthosilicate) bertindak sebagai prekursor. Berdasarkan mekanisme polimerisasi yang diajukan oleh Poulsen & Kroger (2004) dan Shimizu et al. (1999), katalis protein silicatein dan silaffin memiliki keistimewaan karena selain sebagai katalis juga menjadi tempat melekatnya silika yang terbentuk sebagai hasil polimerisasi atau bertindak sebagai template. Silika dan Aplikasinya dalam Bidang Pangan Menurut Singh (1979), sudah sejak lama silika sebagai fosil diatom di dasar laut yang disebut tanah diatomite mempunyai pori-pori yang ideal untuk filter oil dan sebagai clearing solvent, demikian juga untuk industri yang memerlukan filtration devices untuk industri minuman. Tanah diatom atau diatomite atau diatomaceous earth atau kieselguhr dieksplorasi sebagai bahan pembuatan pasta gigi, metal polishes dan sebagai absorben liquid nitroglycerins dalam pembuatan dinamit (Lee 1989). Oleh karena sifat yang tidak membahayakan bagi kesehatan terutama yang berbentuk amorf, mempunyai daya serap tinggi, berpori halus dan secara kimia stabil banyak dimanfaatkan di dalam industri pangan terutama banyak digunakan sebagai filtering agent yang banyak ditemui di industri minuman seperti beer dan wine. Menurut Sumper & Kröger (2004) berdasarkan sifat struktur nanosilika pada dinding sel diatom ini dapat berfungsi sebagai filtrasi. Apabila dapat mengidentifikasi dan menyeleksi sifat dinding sel diatom, akan berpeluang membuat membran dari frustule dinding diatom dengan struktur yang poriporinya sesuai dengan kebutuhan. Dalam bidang pangan, sistem filtrasi 18 merupakan aspek yang menentukan untuk produk yang tidak tahan panas. Sistem filtrasi yang digunakan biasanya menggunakan membran ultrafiltrasi. Salah satu alat analitik untuk bidang pangan penting saat ini adalah biosensor, yakni suatu alat deteksi yang menggunakan agen biologi dan sensing. Biosensor membutuhkan suatu komponen yang dapat merespon sesuai ukuran molekul targetnya yang disebut biochip. Penggunaan struktur nanosilika akan meningkatkan respon sensornya karena bersifat highly refractive native (Tamiya et al. 2005). Silika yang bersifat fiber optic dalam biosensor merupakan transducer yang mengirimkan sinyal kimia ke sinyal elektrik untuk menghasilkan secara proposional konsentrasi yang menjadi target deteksi (Turner & Newman 1989). Bahan nanokomposit silika dan emas merupakan elemen pelapis pada tip nanosensor yang berbahan serat optik. Pelapis komposit silica-gold merupakan nanosensor devises yang penting untuk mengurangi pantulan cahaya (Dinh 2005). Industri pengemasan makanan silika dimanfaatkan dalam pengembangan sensor dan elektronik pada lapisan transistor thin berbasis thin-film silico. Lapisan ini untuk melapisi material kemasan seperti kertas dan plastik, sehingga secara aktif menjaga kesegaran dan kondisi produk. Asam Lemak dan Biosintesis Polyunsaturated Fatty Acid Diatom Diatom merupakan salah satu kelas mikrolga yang berpotensi menghasikan asam lemak. Komposisi asam lemak diatom beragam dari rantai pendek hingga tantai panjang, dari asam lemak jenuh (saturated fatty acid) hingga rantai panjang dengan banyak ikatan rangkap atau polyunsaturated fatty acid. Telah diketahui, diatom dikenal menghasilkan PUFA EPA dan DHA yang tinggi. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap berbagai jenis diatom, menunjukkan konsentrasi rata-rata EPA adalah 0.6 hingga 40.7% dari total asam lemak dan DHA 0.1-6.6 % dari total asam lemak (Dunstan et al. 1994). Kemampuannya menghasilkan asam lemak EPA dan DHA tinggi terkait selain diatom memiliki lipid sebagai cadangan makanan, mensintesis PUFA rantai panjang (long chain PUFA atau LC-PUFA) secara de novo. Kemampuan seperti 19 ini terkait dengan mekanisme sintesisnya yang secara genetis memiliki protein enzim yang mensintesis hingga PUFA DHA. Biosintesis Asam Lemak PUFA adalah asam lemak dengan jumlah atom C minimal 20 dan mempunyai ikatan rangkap lebih dari satu dalam bentuk cis (Gurr et al. 2002). Diatom merupakan organisme fotoautotrof yang menggunakan karbondioksida sebagai satu-satunya sumber karbon untuk membentuk molekul organik baik glukosa, protein, lipid dan lain-lain. Sintesis asam lemak diatom dan mikroalga lain secara umum mempunyai kesamaan dengan tumbuhan. Pembentukan asam lemak tersebut mutlak menggunakan asetil KoA yang dihasilkan dari proses fotosintesis. Proses tersebut terjadi di dalam plastida, yakni suatu organel sel tumbuhan yang mengandung pigmen penangkap cahaya. Plastida diatom dengan pigmen karotenoid dominan menangkap cahaya untuk menghasilkan energi ATP & NADPH yang akan digunakan untuk mereduksi karbondioksida membentuk glukosa. Piruvat yang dihasilkan dalam proses akhir glikolisis pindah ke mitokondria untuk menghasilkan asetil KoA karena keberadaan piruvat dehidrogenase, kemudian diikuti secara spontan pembebasan asam asetat yang dikatalisis oleh enzim asetil KoA thioesterase. Asam asetat yang terbentuk keluar dari mitokondria dan dikatalisa oleh enzim asetil KoA sintetase bersama energi ATP membetuk asetil KoA. Asam asetat merupakan substrat pembentukan asetil KoA yang merupakan kunci pembentukan asam lemak (Yap & Chen 2001). Asam asetat sebagai substrat pembentuk asetil KoA di dalam diatom merupakan mekanisme yang mirip pembentukan asetil KoA pada tumbuhan dalam sintesis asam lemak. Namun diatom Cyclotella cryptica, menggunakan asam sitrat sebagai prekursor asetil KoA, karena ditemukan enzim sitrat sintase yang mengkatalisa terbentuknya asetil KoA (Roessler 1988). Dalam proses fotosintesis, karbon dioksida difiksasi oleh enzim asetil KoA karboksilase menggunakan asetil KoA dan energi yang diperoleh (ATP dan NADPH) secara bertahap menghasilkan propionil-KoA dan butiril-KoA kemudian berlanjut menjadi malonil KoA melalui enzim karboksiltransferase (Moat & Foster 1995). 20 Dari malonil KoA selanjutnya terjadi rangkaian reaksi yang membentuk rantai panjang asam lemak C18 (asam stearat). Acyl Carrier Protein (ACP) bersama propionil KoA membentuk malonil-ACP yang dikatalisa oleh enzim transasilase malonil-KoA-ACP. Selanjutnya malonil-ACP dengan asetil ACP dikatalisa oleh β-ketoasil-ACP sintase menghasilkan diketobutiril-ACP, yang direduksi dengan penambahan NADPH dan ketoasil- ACP reduktase sehingga membentuk B-hidroksibutiril-ACP. Enzim β-hidroksiasil-ACP dehidrase kemudian mengkatalisa pembentukan butinil-ACP dari β-hidroksibutiril-ACP, selanjutnya dikatalisa oleh enoyl-ACP reduktase membentuk butanoil-ACP. Pada tahap ini selanjutnya pembentukan rantai panjang asam lemak dilakukan kembali bersama asetil-ACP dan β-ketoasil-ACP-sintase. Kompleks enzim untuk mengkatalisa penambahan dua atom C adalah enzim kompleks fatty acid synthase (Yap & Chen 2001). Kompleks enzim fatty acid synthase ini merupakan enzim yang berfungsi seperti lengan panjang yang memfiksasi substrat dan meneruskan dari pusat reaksi ke pusat reaksi lainnya. Pada tumbuhan dan kelompok alga, rangkaian proses panjang yang dilakukan oleh enzim fatty acid synthase berlangsung berulang kali hingga diperoleh asam lemak stearat (18:0). Asam stearat menjadi awal pembentukan asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap atau monounsaturated fatty acid (MUFA). Pembentukan asam lemak tidak jenuh dan seterusnya dalam pembentukan asam lemak dengan rantai lebih panjang dan lebih tidak jenuh menggunakan proses desaturasi dan elongasi. Kedua proses tersebut melibatkan enzim desaturase dan elongase. Pembentukan asam oleat (18:1) merupakan proses desaturasi dari enzim desaturase Δ9 pada asam stearat (18:0). Asam oleat inilah selanjutnya menjadi prekursor pembentukan PUFA baik omega 9, 6 dan 3 (Yap & Chen 2001). PUFA dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu omega-3 (ω3), omega-6 (ω-6), omega-7 (ω-7), dan omega-9 (ω-9). Omega-3 dan omega-6 merupakan golongan yang paling dominan pada mikroalga (Chen & Jiang 2000). Biosintesis PUFA MUFA diatom merupakan bagian dari proses panjang pembentukan PUFA yang diinisiasi melalui proses fotosintesis yang berlangsung di dalam plastida. 21 Dengan terbentuknya prekursor asam oleat, mekanisme pembentukan asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) selanjutnya dikatalisa oleh enzim kompleks desaturase dan elongase melalui proses desaturasi dan elongasi. Pada mikroalga proses desaturasi merupakan proses aerobik (Gurr et al. 2002). Desaturasi merupakan reaksi penambahan ikatan rangkap yang melibatkan enzim-enzim desaturase sedangkan elongasi merupakan reaksi penambahan atom C yang melibatkan enzim elongase (Lobb 1992). Organisme tingkat rendah misalnya alga, mempunyai kemampuan mendesaturasi rantai asam lemak seperti organisme tingkat tinggi dan proses desaturasi dan elongasinya memiliki aktivitas yang berurutan untuk mensintesis berbagai jenis PUFA (Yap & Chen 2001). Gambar 6 memperlihatkan jalur sintesis PUFA pada umumnya mikroalga. Asam oleat (18:1Δ9) didesaturasi oleh enzim desaturase Δ12 membentuk asam linoleat (LA, 18:2Δ9,12) dilanjutkan oleh enzim desaturase Δ15 membentuk asam α-linolenat (ALA, 18:Δ9,12,15). LA merupakan prekursor keluarga PUFA omega 6 rantai lebih panjang, sedangkan ALA merupakan prekursor keluarga PUFA omega 3 rantai lebih panjang dan PUFA lebih panjang akan diproduksi oleh serangkaian aktivitas desaturasi dan elongasi dari prekursor-prekursornya (Yap & Chen 2001). Kemampuan yang dimiliki mikroalga tersebut dikarenakan keberadaan sejumlah enzim yang berperan dalam proses desaturasi dan elongasi (Yap & Chen (2001), namun jalur metabolisme sintesisnya belum jelas diketahui seperti pada tanaman atau hewan (Domergue et al. 2002). Arao dan Yamada (1994) melaporkan ada 7 hipotesis biosintesis EPA diatom Phaeodactylum tricornutum, yang diawali dengan substrat asam oleat (18:1Δ9, ω9) dengan metode analisis menggunakan penelusuran radiolabeling pada asam acetat([1-14C] asam acetat) untuk melihat asam lemak yang disintesis selama pertumbuhannya (Gambar 7). Begitu juga dengan Khozin et al. (1997) melaporkan ada 4 jalur hipotesis biosintesis EPA pada Porpyridium cruentum, dengan metode labeling ([1-14C] asam linoleat. Domergue et al. (2002), juga menggambarkan kemungkinan jalur sintesis EPA diatom P. tricornutum berdasarkan enzim yang ditemukan, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Jalur biosintesis yang terdapat pada diatom tersebut 22 masih merupakan hipotesis yang melibatkan enzim elongase Δ9 dan desaturase Δ8 untuk membuat jalur sintesis EPA melalui omega 3 asam eikosatrienoat (20:3Δ11,14,17) seperti yang digambarkan dengan anah panah putus-putus pada Gambar 8. Asam stearat 18;0 desaturase Δ9 Asam oleat 18:1Δ9 Desaturasi desaturase Δ12 Asam linoleat 18:2Δ9,12 desaturase Δ15 Asam α-linolenat 18:3Δ9,12,15 desaturase Δ6 desaturase Δ6 Asam oktadekadienoat 18:2∆ 6,9 Asam γ-linolenat 18:3Δ6,9,12 desaturase Δ6 Asam oktadekatetraenoat 18:4Δ6,9,12,15 Elongasi + C2 Eicosadienoic acid 20:2Δ8,11 Desaturasi Asam Dihomo-γ-Linolenat 20:3Δ8,11,14 desaturase Δ5 desaturase Δ5 Asam eikosatrienoat 20:3Δ5,8,11 Asam eikosatetraenoat 20:4Δ8,11,14,17 desaturase Δ5 desaturase Δ17 Asam arakidonat 20:4Δ5,8,11,14 Asam eikosapentaenoat 20:5Δ5,8,11,14,17 Elongasi + C2 Asam aurenat 22:4Δ7,10,13,16 Desaturasi Keluarga omega 9 Asam dokosapentaenoat 22:5Δ4,7,10,13,16,19 desaturase Δ4 Asam Dokosapentaenoat 22:5Δ4,7,10,13,16 Asam Dokosaheksaenoat 22:6Δ4,7,10,13,16,19 Keluarga omega 6 Keluarga omega 3 Gambar 6 Biosintesis keluarga PUFA omega 9,6 dan 3 dari mikroalga (Yap & Chen 2001) 23 Jalur I : 18:1 (ω-9) 18:2 (ω-6) 18:3 (ω-3) 20:5 (ω-3) Jalur II : 20:3 (ω-6) 20:4 (ω-6) 20:5 (ω-3) Jalur III: 18:1 (ω-9) 18:2 (ω-6) 18:3 (ω-3) 18:4 (ω-3) 20:4 (ω-3) 20:5 (ω-3) Jalur IV: 18:1 (n-9) 18:2 (n-6) 18:3 (n-3) 18:4 (n-3) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) 18:3 (n-6) Jalur V: 18:1 (n-9) 18:2 (n-6) 18:3 (n-3) 18:4 (n-3) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) 18:3 (n-6) 20:3 (n-6) 20:4 (n-6) Jalur VI: 20:3 (n-3) 18:1 (n-9) 18:2 (n-6) 18:3 (n-3) 18:4 (n-3) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) 18:3 (n-6) 20:3 (n-6) 20:4 (n-6) Jalur VII: 18:1(n-9) 18:2 (n-6) 20:1(n-9) 20:2 (n-6) 20:3 (n-6) 20:4 (n-3) 20:5 (n-3) Gambar 7 Hipotesis biosintesis EPA P. tricornutum (Arao & Yamada (1994) 18:0 desaturase Δ9 18:1Δ9 desaturase Δ12 18:2Δ9,12 desaturase Δ6 desaturase ω3 18:3Δ6,9,12 elongase Δ6 18:3Δ9,12,15 desaturase ω3 20:3Δ8,11,14 desaturase Δ5 20:4Δ5,8,11,14 desaturase ω3 elongase Δ9 18:4Δ6,9,12,15 elongase Δ6 20:4Δ8,11,14,17 desaturase Δ5 20:3Δ11,14,17 desaturase Δ8 20:5Δ5,8,11,14,17 Gambar 8 Hipotesis biosintesis EPA diatom P. tricornutum. Tanda anak panah putus-putus menunjukkan jalur yang tidak biasa ditemui pada diatom (Domergue et al. 2002).