BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menurut

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab
kematian pada manusia adalah penyakit kronis (dalam Sarafino, 2006). Penyakit
kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau bertahan
dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan (Sarafino,
2006).
Menderita penyakit kronis merupakan salah satu pengalaman yang bersifat
stressful bagi hampir semua penderita. Orang yang menderita penyakit kronis
cenderung
memiliki
tingkat
kecemasan
yang
tinggi
dan
cenderung
mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness karena berbagai macam
pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis (Sarafino,
2006). Rasa sakit yang diderita akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari, tujuan
dalam hidup, dan kualitas tidurnya (Affleck et al., dalam Sarafino, 2006). Masalah
lain yang dihadapi oleh penderita kronis adalah kehilangan pekerjaan dengan
alasan emosional atau fisik yang menyebabkan pendapatannya berkurang
sedangkan biaya pengobatan meningkat (Sarafino, 2006).
Berdasarkan pada faktor keberbahayaan dan tingkat ketidaknyamanan
yang dirasakan, Dennis Turk, Donald Meichenbaum, dan Myles Genest (dalam
Sarafino, 2006) menggambarkan tiga tipe penyakit kronis, yakni: (1) chronicrecurrent pain yang ditandai oleh adanya pengulangan dan episode rasa sakit yang
Universitas Sumatera Utara
dipisahkan dengan periode tanpa rasa sakit (seperti migraine headache dan
tension-type headache); (2) chonic-intracable-beningn pain yang ditandai oleh
ketidaknyamanan yang dirasakan sepanjang waktu dengan tingkat bervariasi,
namun bukan merupakan kondisi yang berbahaya (seperti chronic low back pain);
(3) chronic-progressive pain yang ditandai oleh ketidaknyamanan berkelanjutan
yang merupakan kondisi berbahaya, dimana rasa sakit akan semakin meningkat
saat kondisi semakin memburuk (seperti rheumatoid arthritis dan kanker).
Penyakit kanker merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang
dikarakteristikkan dengan pembelahan sel-sel yang tidak terkontrol dan biasanya
akan membentuk neoplasma yang berbahaya (Sarafino, 2006). Kanker merupakan
suatu penyakit akibat adanya pertumbuhan yang abnormal dari sel-sel jaringan
tubuh yang dapat mengakibatkan invasi ke jaringan-jaringan normal atau
menyebar ke organ-organ yang jauh. Definisi yang paling sederhana untuk kanker
adalah pertumbuhan sel-sel yang kehilangan kendalinya (Sitorus, 2006).
Penyakit kanker merupakan jenis penyakit yang ditakuti oleh kebanyakan
orang. Hal ini dikarenakan tingginya angka kematian yang disebabkan oleh
penyakit kanker (Bunish et al., dalam Sarafino, 2006). Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), setiap 11 menit ada satu penduduk meninggal karena
kanker dan setiap 3 menit ada satu penderita kanker baru. Data yang diperoleh
dari Pusat Kanker di Amerika, setiap tahunnya penyakit kanker akan menjangkiti
lebih dari 550.000 jiwa, dan hampir 1,4 juta kasus kanker baru akan didiagnosis
(ACS, dalam Sarafino, 2006). Menurut laporan WHO pada tahun 2003, setiap
tahun timbul lebih dari 10 juta kasus penderita baru kanker dengan prediksi
Universitas Sumatera Utara
peningkatan setiap tahun kurang lebih 20%. Diperkirakan pada tahun 2020,
jumlah penderita baru penyakit kanker meningkat hampir 20 juta penderita, 84
juta di antaranya akan meninggal pada sepuluh tahun ke depan bila tidak
dilakukan intervensi yang memadai (Supari, 2009).
Menurut Menteri Kesehatan RI, jumlah penderita kanker di Indonesia
mencapai 6% dari populasi. Angka tersebut hampir sama di negara-negara
berkembang lainnya (Siswono, 2005). Data di Departemen Kesehatan
menyebutkan bahwa sekitar 6% atau 13,2 juta jiwa penduduk Indonesia menderita
penyakit kanker (Supari, 2009). Jumlah pasien penderita berbagai jenis penyakit
kanker di RS Pirngadi Medan tercatat terus meningkat. Pada bulan Juli 2010
sebanyak 59 orang, Agustus 2010 sebanyak 62 orang, dan September 2010
sebanyak 64 orang (Reyno, 2010).
Pada umumnya, orang-orang percaya bahwa penyakit kanker merupakan
penyakit yang hopeless, disebabkan karena penyakit kanker memiliki penyebab
yang sulit diidentifikasi, perkembangannya sulit diprediksi, serta belum adanya
pengobatan yang pasti (Peters-Golden, dalam Taylor, 2000). Bagi banyak orang,
diagnosis kanker bukan saja berdampak pada fisiknya, tetapi juga pada emosi dan
mentalnya yang kemudian dapat berpengaruh terhadap hubungannya dengan
orang lain, seperti hubungan dengan teman, pasangan, anak, dan anggota keluarga
lainnya. Hal ini senada dengan yang dikemukan oleh Katherine Puckett, Direktur
Nasional Mind-Body Medicine, di Pusat Pengobatan Kanker di Chicago, Amerika,
bahwa kanker mempunyai dampak yang lebih parah terhadap emosi serta
hubungan emosional penderita daripada penyakit berat lainnya (Detak, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Pada penderita kanker akan terlihat adanya simtom-simtom depresi di
setiap tahap perkembangan penyakitnya, dimulai dari saat menemukan gejala
pertama sewaktu didiagnosis kanker, selama proses treatment, dan bahkan setelah
menjalani pengobatan. Dari banyak studi yang dilakukan terhadap penderita
kanker, ditemukan bahwa prevalensi penderita kanker yang mengalami depresi
bervariasi dari 1% hingga 50%. Kesedihan dan kekhawatiran akan masa depan
merupakan respon yang kerap timbul, karena adanya suatu arti tertentu yang
melekat pada penyakit kanker, yakni ketakutan akan ketidakmampuan atau
kematian (Holland and Evcimen, 2009).
Fenomena ini banyak terlihat pada individu yang menerima diagnosa
kanker. Salah satunya adalah seorang pemuda bernama Barens Hidayat yang
didiagnosis dokter menderita kanker kelenjar otot. Saat menerima diagnosa
tersebut, Barens merasa putus asa. Keputusasaan Barens dapat dilihat pada
kutipan pernyataannya seperti berikut ini.
“Mau mati aja? Mau banget, saat itu biar gak ngebebanin orang di sekitar
gue. Dammed.. gue udah sedekat ini sama mati! Mati!” (dalam Hidayat,
2006).
Dari kutipan tersebut, dapat terlihat bahwa Barens begitu pesimis dan
putus asa saat harus menerima diagnosa kanker kelenjar otot yang diberikan
dokter kepadanya. Pernyataan Barens yang menyatakan, “Mau mati aja? Mau
banget, saat itu biar gak ngebebanin orang di sekitar gue.” mencerminkan bahwa
Barens merasa dirinya akan menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Selain
itu, pernyataan Barens yang menyatakan, “gue udah sedekat ini sama mati!” ini
menunjukkan bahwa ia melihat penyakitnya akan membawanya menuju kematian,
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sesuai dengan pandangan Seligman yang menyatakan bahwa orang yang
pesimis akan cenderung memandang kejadian buruk yang dialaminya bersifat
permanen dan tidak dapat berubah lagi (dalam Carr, 2004).
Meskipun penyakit kanker sering membawa penderita pada keadaan
depresi, fakta menunjukkan bahwa tidak semua penderita kanker merasa hopeless
dan depresi. Fenomena seperti itu dapat dilihat pada pengalaman Titiek Puspa,
seorang artis senior Indonesia yang berusia 72 tahun, yang divonis dokter
menderita kanker rahim stadium dua. Vonis kanker tersebut tidak membuat Titiek
menjadi putus asa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan pernyataannya berikut ini.
“Kalaupun pilihannya harus diangkat rahimnya, buat saya nggak apa-apa,
ambil aja. Udah gak perlu dan digunakan lagi kok. Waktu vonis dokter,
anak dan cucu menangis. Aku cuma bilang, masih bisa diperbaiki kok,
baru stadium dua.” (dalam Octaviata, 2010).
Dari kutipan tersebut, dapat terlihat bahwa Titiek begitu optimis dalam
menghadapi diagnosa kanker rahim yang diberikan kepadanya. Pernyataan Titiek
“masih bisa diperbaiki kok..” mencerminkan bahwa dirinya percaya kejadian
buruk yang dialaminya hanya bersifat sementara dan bisa diperbaiki.
Keyakinannya akan kesementaraan atas kejadian buruk yang dialami ini, selaras
dengan pandangan Seligman bahwa orang yang optimis menjelaskan kejadian
buruk sebagai sesuatu yang bersifat sementara (dalam Carr, 2004). Hal ini juga
tercermin dari ucapannya yang lain, “baru stadium dua..” mencerminkan bahwa
dirinya percaya penyakit kanker yang dialaminya masih sangat ringan.
Universitas Sumatera Utara
Pemikiran yang optimis dapat meningkatkan harapan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup penderita kanker (Peters-Golden, dalam Taylor,
2009). Hal ini juga sejalan dengan Carr (2004) yang menyatakan bahwa pada
umumnya, orang yang optimis lebih sehat dan lebih bahagia. Sistem imun akan
bekerja dengan lebih baik dan mereka dapat mengatasi stres dengan strategi yang
lebih efektif.
Orang yang optimis secara aktif akan menghindari kejadian yang stressful
dan senantiasa membentuk jaringan dukungan sosial yang kuat. Mereka juga
cenderung mengembangkan gaya hidup yang lebih sehat untuk mencegah mereka
dari penyakit (Carr, 2004). Sebaliknya, orang yang pesimis akan mengembangkan
pola perilaku yang bersifat merusak diri sendiri, cenderung menggunakan
avoidance coping, perilaku yang merusak kesehatan, dan bahkan dorongan untuk
melarikan diri dari kehidupan secara menyeluruh. Tanpa adanya kepercayaan
akan masa depan, maka tidak akan ada dorongan untuk memperpanjang hidup
(Carver dan Scheier, 2002).
Dalam suatu studi yang dilakukan terhadap pasien penderita kanker,
Carver dan kolega (dalam Taylor, 2000) menemukan bahwa orang yang optimis
dalam menghadapi situasi krisis akan lebih sedikit mengalami distress,
meningkatkan well being, dan sembuh dalam waktu yang lebih cepat. Selain itu,
orang optimis akan berpegang teguh pada tujuannya dan terus berusaha,
sedangkan orang yang pesimis akan cenderung merasa sedih dan kemudian
menyerah.
Universitas Sumatera Utara
Mengalami kejadian uruk, seperti menerima diagnosa kanker, akan
membuat setiap individu memberikan reaksi yang berbeda-beda. Bagaimana
seorang individu menerima diagnosa kanker akan berpengaruh terhadap proses
penyesuaian diri dan treatment di kemudian hari. Orang yang optimis cenderung
menerima nasihat medis dengan lebih baik dan melakukan serangkaian pola
perilaku dalam proses penyembuhan (Carr, 2004). Sebaliknya, orang yang pesimis
akan lebih berisiko mengalami penyesuaian yang buruk terhadap diagnosis dan
proses treatment kanker (Carver, et al, dalam Taylor, 2000)
Bagaimana seorang pasien atau individu memandang kondisi yang
dihadapinya dapat dijelaskan melalui teori Explanatory Style. Abramson,
Seligman, dan Teasdale (dalam Snyder & Lopez, 2007) mengemukakan mengenai
atribusi atau penjelasan yang dibuat atas kejadian yang dihadapi, baik positif
maupun negatif. Cara yang biasanya digunakan oleh seseorang untuk menjelaskan
setiap event yang terjadi inilah yang disebut dengan explanatory style (Shaver,
dalam Peterson & Steen, 2002).
Explanatory style dapat dijelaskan melalui 3 dimensi, yakni dimensi
permanence, dimana individu merasa bahwa kejadian yang dialaminya bersifat
stabil atau tidak stabil; dimensi pervasiveness, dimana individu menjelaskan
kejadian yang dialami bersifat global atau spesifik; dan dimensi personalization,
dimana individu dalam menghadapi suatu kejadian akan cenderung menyalahkan
diri sendiri atau faktor lingkungan (Seligman, 2006).
Explanatory style yang dikarakteristikkan dengan bentuk eksternal, tidak
stabil, dan spesifik terhadap event yang buruk digambarkan sebagai seorang yang
Universitas Sumatera Utara
bersifat optimis. Sebaliknya explanatory style yang dikarakteristikkan dengan
bentuk internal, stabil, dan global terhadap event yang buruk digambarkan sebagai
orang yang bersifat pesimis (Buchanan & Seligman, dalam Peterson & Steen,
2002).
Menurut Seligman, orang yang optimis akan membuat atribusi kausal yang
adaptif dalam menjelaskan kejadian negatif yang dialami. Orang yang optimis
akan menjelaskan suatu hal yang buruk berdasarkan: (1) Peran dari orang lain
ataupun lingkungan dalam menciptakan hasil yang buruk (atribusi eksternal); (2)
Penafsiran bahwa hal buruk tidak akan terjadi lagi (atribusi variabel); serta (3)
Hasil yang buruk hanya terjadi pada satu bidang tertentu (atribusi spesifik)
(Snyder & Lopez, 2007). Sebaliknya, orang optimis dalam menjelaskan keadian
yang baik akan memiliki cara yang berbeda yaitu berdasarkan: (1) Peran dirinya
sendiri yang dapat menciptakan hasil yang baik (internal); (2) Penafsiran bahwa
hal yang baik bersifat permanen (atribusi stabil); dan (3) Hal yang baik akan
terjadi pada semua bidang (Seligman, 2006).
Seligman mendefinisikan bahwa orang yang optimis cenderung percaya
bahwa kegagalan hanya bersifat sementara serta terjadi pada satu kasus tertentu
saja. Ketika berhadapan dengan situasi yang buruk, maka orang yang optimis akan
menerimanya sebagai suatu tantangan dan akan lebih berusaha lagi. Sedangkan
orang yang pesimis adalah orang yang cenderung percaya bahwa hal buruk yang
terjadi akan berlangsung lama, merusak semua yang telah dimiliki, dan hal buruk
tersebut terjadi akibat kesalahan mereka sendiri (Seligman, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pada pandangan Seligman, maka orang yang optimis dalam
menerima diagnosa kanker akan percaya bahwa penyakit kanker yang dideritanya
disebabkan faktor di luar dirinya. Hal ini dapat dilihat pada dimensi
personalization, yang mana individu yang optimis akan memandang kejadian
buruk yang terjadi padanya adalah karena faktor eksternal, sedangkan orang yang
pesimis cenderung akan menyalahkan dirinya sendiri. Demikian juga dalam
menghadapi diagnosa kanker, orang yang optimis cenderung percaya bahwa
penyakit tersebut pasti dapat disembuhkan. Hal ini dapat dilihat pada dimensi
permanence, dimana orang yang optimis akan memandang kejadian buruk yang
dialaminya hanya bersifat sementara, sedangkan orang yang pesimis akan
cenderung menyerah dan putus asa. Selain itu, orang yang optimis juga cenderung
percaya bahwa penyakit kanker tidak akan merusak atau mengganggu aspek
kehidupan lainnya. Hal ini dapat dilihat pada dimensi pervasiveness, dimana
orang yang optimis dalam menghadapi kejadian buruk akan terus berjuang dan
berusaha pada aspek lain, sedangkan orang yang pesimis akan menyerah dalam
segala hal.
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan tersebut, maka peneliti
merasa tertarik untuk melakukan penelitian pada individu yang menerima
diagnosa kanker. Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk melihat bagaimana
gambaran explanatory style individu dalam menghadapi penyakit kanker. Hasil
penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menggambarkan bagaimana umumnya
penderita kanker menjelaskan atau mengatribusikan penyakit kanker yang
dideritanya.
Universitas Sumatera Utara
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah yang dapat
dirumuskan dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran explanatory style pada
individu dalam menghadapi penyakit kanker.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai bentuk explanatory style yang ditunjukkan oleh individu dalam
menghadapi penyakit kanker.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan 2 (dua) manfaat, yakni
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Dapat memberikan kontribusi informasi di bidang Psikologi pada
umumnya dan secara khusus dapat menambah wawasan dan khasanah ilmiah
dalam bidang Psikologi Klinis mengenai explanatory style pada individu dalam
menghadapi penyakit kanker.
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis
a. Gambaran explanatory style yang diperoleh dapat membantu penderita
kanker untuk dapat lebih memahami diri mereka sendiri berkaitan dengan
diagnosa penyakit kanker yang diterimanya.
b. Gambaran explanatory style yang ditunjukkan oleh penderita kanker dapat
membantu agar pihak tim medis, keluarga, dan pihak lain yang terkait
dapat lebih memahami kondisi psikologis setiap penderita kanker.
c. Dapat membantu pihak tim medis dalam mengkomunikasikan diagnosa
penyakit kanker yang akan diberikan kepada pasien.
d. Dapat memberikan masukan dalam pengembangan konseling khusus bagi
penderita kanker.
e. Dapat menjadi bahan referensi atau rujukan bagi penelitian selanjutnya
mengenai explanatory style pada individu dalam menghadapi penyakit
kanker.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dalam proposal penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
Bab I
Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Universitas Sumatera Utara
Bab II
Landasan teori
Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang berkaitan dengan
variabel yang diteliti serta gambaran variabel tersebut.
Bab III
Metode penelitian
Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kuantitatif,
identifikasi
variabel
penelitian,
definisi
operasional
variabel
penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat
ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode
analisa data.
Bab IV
Analisa data dan pembahasan
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai analisa terhadap data yang
telah diperoleh dalam penelitian. Analisa data ini dimulai dengan
menjelaskan gambaran umum subjek penelitian, memaparkan hasil
penelitian, dan akan diakhiri dengan pembahasan terhadap hasil
penelitian yang diperoleh.
Bab V
Kesimpulan dan saran
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan secara
keseluruhan
terhadap
hasil
penelitian
yang
telah
diperoleh.
Selanjutnya dari kesimpulan yang telah dirumuskan tersebut,
diharapkan dapat memberikan saran yang membangun dan bermanfaat
bagi penderita kanker pada umumnya dan segala pihak yang terkait.
Universitas Sumatera Utara
Download