Relasi Kekuasaan di Kalangan Calon Anggota

advertisement
Relasi Kekuasaan di Kalangan Calon Anggota Legislatif dalam Pemilihan
Umum Legislatif DPRD Kota Surabaya Periode 2014-2019
Oleh : Anin Khoirunnisa
(Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga)
ABSTRAK
Studi ini mengkaji relasi kekuasaan pada saat pemilu legislatif dari sudut
pandang relasi gender yang mempengaruhi dan mengatur relasi politik caleg
perempuan dan laki-laki, dengan menggunakan teori relasi kekuasaan Michel
Foucault. Relasi kekuasaan berada di mana–mana dan tidak terlokalisir dalam sebuah
struktur, menjadikan segala hal sebagai sumber kuasa untuk menundukkan relasi
dalam wacana yang kemudian mewujud dalam praktik–praktik politik yang ada.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara mendalam. Subyek
penelitian didapatkan dari metode snowball, dimana caleg perempuan sebagai
informan subyek, dan informan non subyeknya adalah keluarga, pemilih perempuan
dan tim sukses caleg perempuan.
Pemilu legislatif DPRD Surabaya dari tahun 2009 hingga 2014 telah
menunjukkan bahwa partai politik memenuhi kuota caleg perempuan sekurangkurangnya 30%. Namun, tidak semua partai politik mencerminkan keterwakilan
perempuan sebesar 30%. Walaupun kemudian dalam persebaran struktur / jabatan
DPRD Kota Surabaya, para anggota DPRD perempuan masih ditempatkan dalam
posisi subordinat.
Relasi kekuasaan caleg perempuan dalam upaya pemenangan pemilu legislatif
beragam. Relasi kekuasaan caleg perempuan dengan parpol, pengurus parpol, caleg
laki-laki saat pendaftaran dan pennetuan nomor urut tidak menguntungkan, tetapi
dengan tim sukses saling menguntungkan. Relasi kekuasaan saat penentuan dapil dan
kampanye politik dengan parpol dan lembaga penyelenggara pemilu tidak
menguntungkan. sedangkan saling menguntungkan dengan partai politik, antar caleg
perempuan, tim sukses, konstituen. Saat pemungutan suara, relasi kekuasaan dengan
saksi tidak menguntungkan dan saling menguntungkan. Sedangkan dengan caleg lakilaki, parpol, dan lembaga penyelenggara pemilu tidak menguntungkan, serta dengan
antar caleg perempuan dan tim sukses saling menguntungkan.
Kata kunci : Relasi Kekuasaan, Caleg Perempuan, pemilu legislatif.
ABSTRACT
This study investigates the power relations at the time of legislative elections
from the point of view of gender relations that influence and regulate the political
relations of women candidates and men, using Michel Foucault's theory of power
relations. Power relations are everywhere and not localized in a structure, making all
things as a source of power to subdue the relations in the discourse which then
manifests in practice - political practices. This study used a qualitative approach and
in-depth interviews. The subjects of the study was obtained from the snowball
method, whereby women candidates as an informant subject, and the subject is a non
informant families, women voters and women candidates successful team.
Surabaya Parliament legislative elections from 2009 to 2014 have shown that
the political parties meet quotas of women candidates at least 30%. However, not all
political parties reflect the representation of women by 30%. Although later in the
distribution structure/position Surabaya City Council, council members still placed
women in a subordinate position.
Power relations women candidates in legislative elections diverse winning
effort. Power relations women candidates to political parties, political party officials,
candidates males during registration and serial numbers are not profitable, but with a
mutual successful team. Power relations when determining electoral district and
political campaigns by political parties and election management bodies are not
profitable. whereas mutual benefit with political parties, among female candidates,
successful team, constituents. When voting, power relations with the witness is not
profitable and mutually beneficial. While the male candidates, political parties and
election management bodies are not profitable, as well as with women candidates
among mutually beneficial and successful team.
Keywords: Power Relations, Women candidates, legislative elections.
Ringkasan
Studi ini mengkaji relasi kekuasaan di kalangan caleg perempuan dalam
upaya pemenangan pemilu legislatif DPRD Surabaya 2014-2019, dengan
menggunakan teori relasi kekuasaan Michel Foucault. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan wawancara mendalam. Subyek penelitian didapatkan dari
metode snowball, dimana caleg perempuan sebagai informan subyek, dan informan
non subyeknya adalah keluarga, pemilih perempuan dan tim sukses caleg perempuan.
Pemilu legislatif DPRD Surabaya dari tahun 2009 hingga 2014 telah menunjukkan
bahwa partai politik memenuhi kuota caleg perempuan sekurang-kurangnya 30%,
walaupun persebaran tiap parpol belum merata. Relasi kekuasaan caleg perempuan
dalam upaya pemenangan pemilu legislatif beragam. Relasi kekuasaan caleg
perempuan dengan parpol, pengurus parpol, caleg laki-laki saat pendaftaran dan
penentuan nomor urut tidak menguntungkan, tetapi dengan tim sukses saling
menguntungkan. Relasi kekuasaan saat penentuan dapil dan kampanye politik dengan
parpol
dan
lembaga
penyelenggara
pemilu
tidak
menguntungkan.
saling
menguntungkan dengan partai politik, antar caleg perempuan, tim sukses, konstituen.
Saat pemungutan suara, relasi kekuasaan dengan saksi tidak menguntungkan dan
saling menguntungkan. Sedangkan dengan caleg laki-laki, parpol, dan lembaga
penyelenggara pemilu tidak menguntungkan, serta antar caleg perempuan dan tim
sukses saling menguntungkan.
Kata kunci : Relasi Kekuasaan, Caleg Perempuan, pemilu legislatif.
SUMMARY
This study investigates the power relations among women candidates in
legislative elections winning effort DPRD Surabaya 2014-2019, using Michel
Foucault's theory of power relations. This study used a qualitative approach and indepth interviews. The subjects of the study was obtained from the snowball method,
whereby women candidates as an informant subject, and the subject is a non
informant families, women voters and women candidates successful team. Surabaya
Parliament legislative elections from 2009 to 2014 have shown that the political
parties meet quotas of women candidates at least 30%, even though each of the
parties has not been evenly spread. Power relations women candidates in legislative
elections diverse winning effort. Power relations women candidates to political
parties, political party officials, candidates males during registration and
determination of the serial number is not profitable, but with a mutual successful
team. Power relations when determining electoral district and political campaigns by
political parties and election management bodies are not profitable. mutually
beneficial relationship with political parties, among female candidates, successful
team, constituents. When voting, power relations with the witness is not profitable
and mutually beneficial. While the male candidates, political parties and election
management bodies are not profitable, as well as between women candidates
mutually beneficial and successful team.
Keywords: Power Relations, Women candidates, legislative elections.
Pendahuluan
Perempuan dianggap sebagai individu kedua dan tersubordinasi dalam dunia
politik. Ideologi patriarki yang mewujud dalam konstruksi masyarakat, menjadikan
budaya politik yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Affirmative action
menjadi sebuah langkah stimulus yang bersifat sementara dalam menyeimbangkan
partisipasi perempuan di bidang politik, melalui diterapkannya kebijakan kuota
keterwakilan perempuan sekurang–kurangnya 30% pada pencalonan anggota
legislatif (caleg).
Relasi gender merupakan hubungan sosial antara perempuan dan laki–laki
yang dihasilkan dari bentukan konstruksi masyarakat. Relasi gender yang mewujud
bukanlah relasi yang dihasilkan dari bentukan sederhana dan beberapa waktu saja.
Namun, relasi gender mewujud dan terlanggengkan secara sistematis selama kurun
waktu yang lama. Patriarki juga menjadi ideologi yang mengakar dan sistematis.
Patriarki sebagai sebuah ideologi, senantiasa akan melakukan sebuah upaya untuk
melanggengkan ideologinya dalam masyarakat. Jumlah keterwakilan perempuan
anggota DPRD Kota Surabaya tahun 2009 secara normatifnya sesuai dengan amanat
UU No.10 Tahun 2008 telah menunjukkan keterwakilan partisipasi politik perempuan
sebesar 30%. Namun, angka yang ditampilkan, tidak serta merta mampu
merepresentasikan secara substantif relasi kuasa antara perempuan dan laki–laki yang
adil. Misalnya dalam angka keterwakilan perempuan DPRD Surabaya, pada beberapa
partai politik masih belum mampu merepresentasikan keterwakilan perempuan 30
persen. Jumlah keterwakilan perempuan yang menggambarkan secara normatif relasi
kuasa yang nampak seimbang, namun di tengah wacana dan budaya politik yang
berkembang secara patriarki menjadi sebuah keunikan bagi penulis untuk melakukan
penelitian terhadap hal ini.
Penelitian ini mengungkap realitas yang nampak di balik angka keterwakilan
partisipasi perempuan DPRD Surabaya. Realitas yang nampak dengan angka tersebut,
apakah juga menampakkan realitas di luar yang juga sama menggambarkan secara
substantif relasi kekuasaan di kalangan caleg perempuan yang adil. Oleh karena itu
dalam penelitian ini membahas mengenai relasi kekuasaan diantara caleg perempuan
dalam pemilu legislatif DPRD Surabaya 2014. Di mana dalam setiap periodenya
memiliki perkembangan wacana di masyarakat dan dalam setiap periodenya memiliki
pembaharuan aturan dan nilai yang mengatur mengenai pemilu legislatif. Sehingga
apa yang terjadi pada periode yang lalu menjadi cerminan kondisi pada periode
selanjutnya namun tetap dalam suatu kondisi yang mengalami pembaharuan. Maka,
tujuan dalam penelitian ini dapat mengetahui relasi kekuasaan di kalangan caleg
perempuan dalam upaya pemenangan pemilu legislatif DPRD Kota Surabaya 2014.
Kajian Teoritik
Buku pertama Foucault yang berjudul The History of Sexuality, memusatkan
perhatian pada relasi kekuasaan yang dilakukan oleh laki–laki terhadap seksualitas
perempuan. Seksualitas menjadi titik perpindahan secara khusus yang padat bagi
relasi kekuasaan. Kekuasaan seksualitas tidak bertempat dalam satu lingkup sumber
utama, namun berada di berbagai pengaturan. Kekuasaan seksualitas atas kehidupan
memiliki dua bentuk (Ritzer, 2012:1055). Pertama, kekuasaan politik-anatomis tubuh
manusia. Kekuasaan mendisiplinkan tubuh manusia dan seksualitasnya. Kedua,
kekuasaan terhadap bio-politik populasi, dimana kekuasaan mengendalikan dan
mengatur pertumbuhan populasi, kesehatan, harap hidup, dan sebagainya. Adanya
kedua kekuasaan tersebut, muncul kesadaran yang dilihat oleh masyarakat bahwa
kehidupan sebagai obyek politik.
Foucault mengatakan bahwa penguasaan terhadap perempuan pada awalnya
berasal dari penguasaan laki–laki atas tubuh perempuan. Pengetahuan yang cukup
tentang seksualitas, menjadikan masyarakat menggunakan kekuasaan yang lebih
besar dalam kehidupan mereka sendiri. Konsep diskursus seksualitas dalam dunia
sosial yang dipahami dari Foucault berarti bahwa segala sesuatu yang dapat
menjadikan seorang dalam konstruksi yang melekat pada perempuan menjadi
berkuasa, berdaya, atau sebaliknya. Seperti misalnya seorang istri yang merayu
suaminya dengan suara yang lembut untuk diberikan uang belanja tambahan.
Lembutnya suara, gerak-gerik tubuh perempuan dapat mempengaruhi kehendak dari
laki-laki. Dengan demikian, tidak hanya dipahami penguasaan seksualitas adalah
yang berkenaan dengan fisik tubuh perempuan saja, tapi hal – hal yang melekat pada
diri perempuan.
Foucault sama sekali tidak mendefenisikan secara konseptual apa itu
kekuasaan tetapi lebih menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan, diterima
dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupan
(Kebung, 2008 : 212). Foucault melihat kekuasaan bukanlah sebagai sesuatu yang
dimiliki. Kekuasaan adalah sebuah strategi, sebuah kata kerja, bukan kata benda.
Konsep kekuasaan tersebut mengandung pengertian bahwa kekuasaan berfungsi
dalam sebuah jalinan atau relasi, bukan hanya sebagai hubungan antara menindas dan
ditindas. Jalinan tersebut mewujud dalam suatu relasi yang berlangsung terus–
menerus. Relasi kuasa bisa berupa hubungan keluarga, hubungan yang terjadi dalam
suatu institusi, dan lain sebagainya. Individu bukan dilihat sebagai objek yang
menerima praktek kekuasaan, tetapi harus dilihat sebagai aktor yang ikut ‘bertarung’
atau dilihat sebagai ‘tempat’ dimana kekuasaan itu ditetapkan dan ditentang (Mills
dalam Yunitamurti, 2015:25). Dalam arti inilah, kekuasaan tidak hanya disempitkan
dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi milik orang atau institusi tertentu seperti
pandangan umum bahwa kekuasan itu selalu dikaitkan dengan negara atau institusi
pemerintah tertentu. Namun kekuasaan sebagai suatu yang niscaya selalu hadir dalam
setiap interaksi manusia. Relasi kekuasaan tidak dilihat sebagai suatu yang linier atau
vertical, yang diopresi dari atas ke bawah yang digunakan untuk menindas.
Kekuasaan dilihat sebagai suatu potensi yang bersikulasi terus–menerus membentuk
kreatifitas dan produktifitas budaya.
Foucault mengatakan “kuasa tidak selalu bekerja melalui represif dan
intimidasi melainkan pertama-tama bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi”
(Kebung, 2008:121). Kekuasaan selalu hadir dalam aturan–aturan, sistem–sistem
regulasi. Di mana saja manusia juga memiliki hubungan tertentu. Dalam hal ini
kemudian kuasa bekerja. Kekuasaan tidak datang dari luar tetapi menentukan
susunan, aturan–aturan, dan hubungan dari dalam (Foucault dalam Yunitamurti,
2015:25). Dengan adanya normalisasi/pendisiplinan diri kemudian, Foucault
menyebut menghasilkan bentuk subjection (penyerahan diri kepada seseorang) seperti
seorang pasien kepada psikiater. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah
membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar menjadi
pribadi yang produktif (Haryatmoko, 2003 : 22). Segala hukum dan aturan diarahkan
untuk mencapai tujuan tersebut. Namun bagi Foucault, kekuasaan bukan suatu yang
absolut, melainkan diperebutkan terus menerus dalam sebuah relasi kuasa. ‘where
there is power, there is resistence’ (dalam Yunitamurti, 2015:26).
Pembahasan
Proses pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik
snowball, dimana peneliti mendapatkan data informan dari informan pertama ke
informan selanjutnya. Peneliti mendapatkan data informan pertama dari DA (selaku
tim sukses EC), lalu mendapatkan data informan EC, RA, CH, dan seterusnya.
Berdasarkan dinamika dan pengalaman yang terjadi di lapangan dengan asumsi
waktu, tenaga, dan kesediaan subyek untuk memberikan data, dan hasil yang
diharapkan bisa mewakili dan mampu menjelaskan permasalahan penelitian.
Informan subyek pada penelitian ini, yaitu caleg perempuan dari latar belakang partai
politik yang berbeda, caleg perempuan yang berlatar belakang profesi berbeda, caleg
perempuan yang baru berkecimpung di dunia politik atau incumbent, dan caleg
perempuan yang berasal dari nomor dan daerah pemilihan (dapil) yang berbeda-beda.
Sedangkan informan non subyeknya yaitu pemilih perempuan, keluarga caleg
perempuan, dan tim sukses caleg perempuan.
Relasi wacana pengetahuan politik caleg perempuan beragam. Caleg
perempuan incumbent yang berasal dari partai politik agamis memiliki wacana politik
sebagai alat untuk berdakwah dan menyerukan ideologi di masyarakat dan alat untuk
melakukan perubahan di masyarakat yang lebih baik. Berbeda wacana pengetahuan
politik yang dimiliki caleg baru dari interaksinya dengan pengurus partai agamis
berjenis kelamin laki – laki. Wacana pengetahuan politik yang dipahami yaitu alat
untuk mendapatkan jabatan tertinggi dan strategis yang diinginkan. Bagi subyek
caleg perempuan yang mendapatkan pengetahuan tentang politik dari LSM bidang
keperempuanan, menganggap bahwa politik bukanlah partai dan permainan kotor
seperti pandangan yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Bagi caleg
perempuan yang mendapatkan wacana pengetahuan politik dari suaminya yang
notabene merupakan pengurus partai dan caleg laki–laki memiliki pengetahuan
politik adalah kekuasaan yang dapat melakukan apapun dengan kekuasaan yang
dimilikinya.
Relasi kekuasaan yang terjadi antara caleg perempuan dengan partai politik
beserta pengurusnya. Dari hasil temuan data mengenai pola rekrutmen, prosedur
menjadi caleg, peran pengkaderan dan pendidikan politik, sensitifitas gender, dan
kendala yang dihadapi caleg ditemukan bahwa terdapat relasi kekuasaan yang
seimbang dan tidak seimbang. Pada caleg perempuan yang merupakan kader partai,
memiliki wacana pengetahuan politik dan berada pada relasi yang saling
menguntungkan dengan partai politik. Partai politik tidak membuat relasi yang
menyulitkan langkah bagi caleg perempuan tersebut untuk lolos menjadi caleg dalam
partainya. Sedangkan relasi kekuasaan diantara caleg perempuan dengan partai
politik ada yang menguntungkan dan tidak menguntungkan terjadi pada saat caleg
perempuan tidak memiliki wacana pengetahuan politik sebelumnya sehingga direkrut
hanya karena kekerabatan dan untuk kewajiban pemenuhan kuota 30% saja. Serta
dari temuan data diatas mengenai bagaimana relasi kekuasaan yang terjadi antara
caleg perempuan baru dengan pengurus partai politik menunjuk pada sebuah relasi
kekuasaan yang tidak menguntungkan pihak caleg perempuan baru daripada partai
politik.
Caleg perempuan baru dengan caleg yang merupakan kader partai terdapat
pembedaan dalam hal kemudahan prosedur pendaftaran menjadi caleg yang
merupakan kebijakan partai politik masing–masing. Secara spesifik relasi gender
dalam kekuasaan tahapan pendaftaran menjadi caleg, caleg laki–laki lebih mudah
untuk menguasai, mengatur tata aturan yang ada di partai politik untuk membuat
kebijakan prosedur, penetapan siapa–siapa saja yang lolos bagi partai yang mayoritas
laki–laki. Bagi caleg laki–laki juga lebih mudah untuk mendapatkan kekuasaan dalam
penetapan menjadi caleg, karena modal dana yang tidak diragukan lagi. Sedangkan
bagi mereka caleg perempuan yang termarjinalkan posisinya sebagai pengurus partai
dan memiliki modal dana yang minim menunjukkan relasi kekuasaan yang lebih
lemah dibandingkan caleg laki–laki. Walaupun kemudian relasi caleg perempuan
terbantukan oleh relasi kekuasaan yang dimilikinya dari adanya peraturan pemenuhan
kuota 30% pada caleg perempuan. Dalam tahap pendaftaran menjadi caleg, caleg
perempuan bersama dengan tim sukses menjalin kerjasama yang baik untuk
mempersiapkan caleg perempuan menjadi caleg yang handal, tidak saja hanya lolos
menjadi caleg namun juga sekaligus menjadi caleg yang dapat memenangkan pemilu
legislatif.
Selain partai politik dan pengurusnya, serta tim sukses caleg, keluarga
memiliki peranan dalam tahapan seorang perempuan menjadi caleg atau tidak. Caleg
perempuan merupakan salah satu anggota dari bagian keluarga, yaitu istri, anak
perempuan dari sebuah keluarga, saudara perempuan, dan sebagainya. Sebagai
seorang anggota keluarga, caleg perempuan juga dilekatkan dengan fungsi dan
peranannya dalam keluarga. Fungsi dari adanya keluarga adalah fungsi pendidikan,
perlindungan, sosialisasi, perasaan, agama, ekonomi, biologis, dan rekreatif. Salah
satu fungsi dari adanya peran keluarga adalah fungsi perlindungan dan perasaan,
dapat diartikan sebagai konsep keluarga yang mampu memberikan dukungan dan rasa
aman diantara anggota keluarganya.
Pengalaman perjuangan para caleg perempuan dalam upaya pemenangannya
pada pemilu legislatif DPRD Surabaya tidak pernah lepas dari perannya sebagai
seorang istri dan ibu bagi anak–anaknya di rumah. Artinya bahwa caleg perempuan
tidak pernah meninggalkan pekerjaan domestiknya. Mereka caleg perempuan
memang mendapatkan dukungan dan bantuan dari para keluarganya. Namun, secara
kesadaran mereka wacana seksualitas yang menempatkan perempuan berada pada
ranah domestik dan berada dalam kekuasaan suami tidak berubah walaupun mereka
telah memutuskan untuk terjun dalam ranah publik pula. Sedangkan relasi kekuasaan
caleg perempuan dengan keluarga besarnya menghasilkan relasi kekuasaan yang
saling seimbang dan bekerja sama
Matriks Relasi Kekuasaan Dalam Upaya Pendaftaran Caleg Perempuan dengan
Keluarga
Subyek yang berinteraksi Pola relasi
Caleg perempuan dengan Caleg perempuan tidak meninggalkan kewajibannya
suami
dalam ranah domestik sebagai seorang istri dan telah
berhasil
menyelesaikan
segala
urusan
dan
permasalahannya di dunia domestik. (peran ganda)
Suami berkuasa dalam ranah domestik dan
mendukung peran istrinya sebagai caleg perempuan
dan membantu dalam aktivitas pemenangan.
(membantu dalam peran publik)
Caleg perempuan dengan Caleg perempuan dengan keluarga memiliki relasi
keluarga
kekuasaan yang saling mendukung dan bekerja sama.
Pada tahapan penentuan nomor urut terdapat interaksi caleg perempuan
dengan partai politik, caleg laki–laki, dan pengurus partai politik. Relasi kekuasaan
caleg perempuan dengan partai politik menunjukkan relasi kekuasaan yang timpang,
dimana caleg perempuan berada pada relasi yang lebih lemah daripada partai politik.
Karena partai politik yang menjadi subyek utama dalam penentuan caleg mana yang
berhak menempatkan nomor urut atas dan bawah. Aturan perundangan juga
melegalkan hal tersebut. Dengan mekanisme kompetisi uang, menempatkan relasi
kekuasaan caleg perempuan berada pada posisi yang lebih lemah juga daripada caleg
laki–laki. Caleg laki–laki memiliki modal dana yang lebih besar daripada caleg
perempuan, sehingga lebih mudah untuk caleg laki–laki berada pada posisi nomor
atas di tiap tiga nomor, seperti 1,2,4,5,7,8. Sedangkan caleg perempuan menempati
nomor urut bawah di tiap 3 nomor, seperti 3,6,9. Selain mekanisme kompetisi uang,
kader/pengurus partai politik ditempatkan dalam nomor urut atas daripada caleg yang
bukan berasal dari kader partai. Caleg perempuan notabene merupakan mayoritas
merupakan caleg baru, baik caleg yang baru terjun di dunia politik atau menjadi caleg
akibat dari perundangan kuota keterwakilan caleg perempuan sebesar 30%. Dengan
adanya kebijakan partai demikian menempatkan caleg perempuan baru berada pada
relasi kekuasaan yang lebih lemah daripada caleg yang merupakan pengurus partai
politik, baik caleg laki–laki maupun perempuan.
Caleg perempuan yang merupakan kader partai atau tidak, caleg perempuan
yang berasal dari partai agamis atau tidak, sama–sama melakukan praktik politik
membeli nomor urut. Bahkan harga yang tinggi untuk dibayar caleg dalam
mendapatkan nomor urut yang diinginkan, mencerminkan harga yang cukup mahal.
Apabila untuk mendapatkan nomor 3 harus mengeluarkan 10 juta rupiah dalam partai
agamis, maka nomor urut 1 pasti membayar dengan uang yang lebih besar daripada
10 juta. Secara rasionalisasi, penentuan nomor urut tidak membutuhkan sarana,
fasilitas apapun. Sehingga uang yang besar itu sebenarnya difungsikan untuk apa
tidak dikonsumsi secara terbuka transparansinya oleh partai. Memang ada partai yang
sudah transparan, dengan kompetisi uang yang terbuka, masing–masing calon
mengetahui berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk membeli nomor urut, dan
jelas juga penggunaan uangnya untuk aktivitas kampanye. Namun juga ada partai
politik yang melakukan kompetisi uang secara illegal dan tertutup. Sehingga
penggunaan dana tersebut untuk apa menjadi tidak jelas dan patut dicurigai.
Matriks Relasi Kekuasaan Di Kalangan Caleg Perempuan Pada Tahap Penentuan
Dapil
Subyek yang berinteraksi
Pola relasi
Caleg perempuan dan partai politik memiliki relasi
kekuasaan yang sama.
Caleg perempuan dengan
Caleg perempuan berada pada relasi kekuasaan yang
partai politik
lemah
Partai politik berada pada relasi kekuasaan yang kuat
Caleg perempuan dengan Melalui mekanisme kompetisi uang, menempatkan
caleg laki–laki
relasi kekuasaan caleg perempuan lebih lemah
dibandingkan dengan relasi kekuasaan caleg laki-laki
Semua caleg perempuan menggunakan jasa saksi untuk mengawal suara
mereka, baik saksi partai, saksi non partai, dan saksi yang merupakan komunitas
perempuan. Saksi partai yang dimaksud adalah saksi yang diberikan mandat oleh
partai untuk mengawal jalannya suara partai politik secara keseluruhan. Saksi non
partai adalah saksi yang diberikan mandat secara langsung oleh caleg untuk
mengawal suaranya secara individu. Sedangkan saksi yang merupakan komunitas
perempuan, adalah saksi diluar partai maupun individu yang dibentuk oleh beberapa
perempuan untuk mengawal suara caleg perempuan secara umum. Saksi dari
komunitas perempuan ini lahir untuk membendung perilaku kecurangan dan
pencurian suara yang selama ini sering dialami oleh perempuan. Komunitas
perempuan ini merupakan bentuk relasi kuasa yang dimiliki oleg caleg perempuan
untuk menandingi relasi kuasa saksi yang ada selama ini merugikan perempuan.
Karena peran saksi ini juga digunakan dalam strategi pemenangan seorang caleg
untuk melakukan pencurian suara dari partai lain atau caleg lain, melakukan lobi–lobi
politik dengan penyelenggara pemilu setempat.
Caleg perempuan gagal maupun lolos, sama–sama mengalami relasi
kekuasaan transaksional (relasi berdasarkan pertukaran hak pilih dengan materi) yang
dilakukan oleh mereka para pemilih. Pemilih dengan kekuatan yang dimiliki yaitu
hak pilihnya, menawarkan hak pilih mereka ditukar dengan materi/uang. Padahal
relasi sebelumnya yang hendak diciptakan oleh caleg perempuan kepada pemilih
adalah relasi kekuasaan yang menawarkan program, mengajak pemilih untuk
melakukan pilihan politik dengan benar, cerdas, tanpa menciderai peraturan yang
berlaku untuk melakukan money politic. Kenyataannya dalam hal ini relasi yang
terjadi diantara caleg perempuan dan pemilih tidak terjadi konsensus bersama dan
tidak terjadi relasi kekuasaan yang bersifat produktif, namun tidak menguntungkan
salah satu pihak.
Diskursus uang sebagai representasi politik sangat jelas. Sekalipun caleg
perempuan melakukan tindakan kampanye dengan menekankan pada intensitas dan
kedekatan emosional dengan pemilih/konstituen, kenyataannya tetap memainkan
peran uang sebagai sumber kuasa meskipun bukan suatu hal yang utama. Bahkan dari
data diatas, menunjukkan bahwa caleg yang menggunakan nominal uang besar,
mereka adalah caleg perempuan yang menang. Dan mereka caleg perempuan yang
gagal adalah mereka yang mengeluarkan dana untuk kampanye yang sedikit.
Diskursus uang sebagai sumber kuasa pemenangan pemilu, pada akhirnya
berhasil menundukkan perempuan yang memiliki keterbatasan dana. Selain itu juga
berhasil menundukkan para caleg perempuan yang masih memiliki kesadaran untuk
tidak terjebak dalam diskursus pikiran laki–laki, menggunakan uang untuk sumber
kuasa untuk menang. Karena wacana pemikiran berkampanye dan menang dengan
jalan kejujuran, tidak menciderai hukum dan politik, masih terdiskursus pada caleg
perempuan. Adanya komitmen bersama diantara caleg perempuan untuk tidak terlibat
dalam politik uang, sebagai sebuah upaya membangun kekuatan diskursus tandingan
sesama caleg perempuan, bahwa memperjuangkan perempuan tidak harus melalui
politik, tidak harus dengan jalan menduduki kursi legislatif. Tetapi masih banyak
jalan lain untuk merubah kondisi perempuan menjadi lebih baik.
Kampaye politik yang dilakukan oleh para caleg perempuan dalam
membangun kekuatan dan diskursus wacana sesama perempuan. Perempuan lebih
mudah memahami sesama perempuan. Para caleg perempuan lebih mudah
memahami kebutuhan pemilih perempuan. Pemilih perempuan lebih mudah untuk
terikat secara emosional kepada caleg perempuan. Selain sasaran kampanye caleg
perempuan kepada para pemilih yang berjenis kelamin perempuan, para caleg
perempuan mendekati pemilih perempuan dengan membangun ikatan emosional.
Dalam hal ini membangun kekuatan emosional yang dilakukan oleh caleg
perempuan, menunjukkan bahwa caleg perempuan menggunakan diskursus yang
lekat pada perempuan untuk mendekati para perempuan. Perempuan selama ini
dilekatkan pada stereotype emosional, irasional, mudah terbawa perasaan. Diskursus
seksualitas yang demikian dimanfaatkan oleh para caleg perempuan sendiri untuk
membangun kekuatannya. Maka dapat dikatakan muncul relasi kuasa dengan model
pemanfaatan diskursus seksualitas.
Masyarakat atau pemilih tidak hanya dapat diartikan sebagai obyek politik
yang bersifat pasif. Sasaran pendidikan dan sosialisasi politik caleg dan partai.
Namun, masyarakat dan pemilih juga dapat berperan menjadi subyek yang aktif
mensosialisasikan
pemahaman
politik
mereka
kepada
masyarakat
lainnya.
Masyarakat tersebut salah satunya adalah konstituen. Konstituen merupakan
seseorang yang secara aktif mengambil bagian dalam proses menjalankan organisasi
dan yang memberikan otoritas kepada orang lain untuk bertindak mewakili dirinya.
Sehingga konstituen yang memiliki sifat sebagai individu aktif dapat melakukan
peranannya dalam membantu pemenangan caleg perempuan.
Wacana pemenangan pemilu terletak pada kekuasaan politik uang menjadikan
kendala yang berarti bagi caleg perempuan. Bagi caleg perempuan yang mengakui
kekuatan dan kepercayaan sehingga membutuhkan budaya demikian untuk
pemenangannya, budaya ini akan dimanfaatkan dengan baik. Caleg perempuan
melakukan pertukaran dengan budaya demikian, bermain kotor dan menyiapkan dana
yang banyak. Bagi caleg perempuan yang tidak mengakui kekuatan tersebut untuk
pemenangan, mengganggap bahwa budaya yang berkembang ini tidak dapat
memberikan relasi kekuasaan yang menguntungkan para caleg perempuan, bahkan
perempuan menjadi korban. Budaya politik Money politic, ketidakjujuran dalam
suara, mempersulit langkah pemenangan caleg perempuan. Hal itu terjadi karena
kekuasaan mengasalkan dirinya pada kekuatan yang tidak banyak dikuasai/dimiliki
oleh para caleg perempuan, berlatarbelakang ibu rumah tangga atau mereka yang
bekerja namun tidak menempati posisi strategis bergaji besar yang seringkali di
masyarakat kita diduduki oleh laki–laki.
Pada saat pemungutan dan perhitungan suara, terjadi relasi yang tidak
menguntungkan caleg perempuan. Caleg perempuan mengalami pencurian suara,
utamanya lembaga penyelenggara pemilu dan saksi atau orang yang berhubungan
dengan lembaga penyelenggara turut dalam bermain peran disana. Namun, selain
peran dari aktor tersebut, partai politik dan caleg sesama partai pada kenyataannya
juga melakukan hal yang sama, yaitu pencurian suara. Caleg perempuan tidak pernah
terlibat dan bergabung dalam wacana diskursus upaya pemenangan pada tahapan
perhitungan suara adalah dengan melakukan pencurian suara. Karena perempuan
sendiri dengan kesadarannya yang memutuskan untuk tidak masuk dalam diskursus
pencurian suara, membuat pada akhirnya perempuan yang kemudian dimanfaatkan
suaranya untuk kemenangan mereka, para caleg laki–laki.
Wacana diskursus politik yang langgeng di masyarakat, dengan membuat
uang sebagai relasi kuasa tertinggi dan dengan permainan kotornya, tidak hanya
terjadi pada partai yang memiliki ideologi nasionalisme saja. Sekalipun partai agamis,
yang memiliki dan menciptakan nilai keluhuran budi pekerti yang baik juga turut
larut bergabung, mengikuti arus diskursus tersebut untuk memenangkannya secara
pribadi caleg, maupun partai untuk mendapatkan kursi dalam praktik politik
pencurian suara.
Dalam tahapan ini, caleg perempuan menyerahkan seluruh tanggung jawab
pengawalan dan pengamanan suara kepada tim sukses. Sedangkan tim sukses
menjalankan kewajiban dan tanggung jawab sepenuhnya peranan dan fungsi
pengawalan dan pengamanan suara. Sehingga dalam hal ini caleg perempuan
memberikan kepercayaan, kuasanya kepada tim sukses untuk melakukan peranannya,
dan tim sukses dengan konsensus bersama yang sudah disepakati menghargai kuasa
caleg perempuan yang telah diberikan untuk dilaksanakan dengan sebaik–baiknya.
Dengan adanya relasi demikian diantara kedua belah pihak, tujuan bersama tercapai
dan produktif. Namun caleg perempuan dengan tim sukses tidak hanya menghasilkan
relasi kekuasaan yang bekerja sama dan menguntungkan caleg perempuan.
Kenyataannya caleg perempuan yang notabene merupakan individu baru yang diakui
partisipasi politiknya dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dengan kewenangan yang dimiliki. Begitupun juga dengan
peranan tim sukses. Tim sukses juga tidak selamanya menghasilkan relasi kekuasaan
yang menguntungkan caleg perempuan, namun juga ada yang merugikan caleg
perempuan.
Kesimpulan
Relasi kekuasaan di kalangan caleg perempuan dalam upaya pemenangan
pemilu legislatif DPRD Surabaya 2014 menggambarkan keberagaman relasi
kekuasaan antar subyek yang berinteraksi. Proses interaksi terjadi dengan dinamis
pada setiap tahapan pemilu, mulai dari tahapan pendaftaran caleg, penentuan nomor
urut dan dapil, kampanye politik dan perhitungan suara.
Pada saat pendaftaran calon anggota legislatif, relasi kekuasaan caleg
perempuan dengan partai politik, pengurus partai politik, caleg laki-laki
menghasilkan relasi kekuasaan yang tidak menguntungkan. Karena relasi kekuasaan
caleg perempuan lebih lemah daripada partai politik, pengurus partai politik, dan
caleg laki-laki. Sedangkan relasi kekuasaan caleg perempuan dengan tim sukses
menghasilkan relasi kekuasaan yang seimbang dan saling menguntungkan.
Pada saat penentuan nomor urut caleg perempuan, relasi kekuasaan caleg
perempuan dengan partai politik, caleg laki-laki, dan pengurus partai menghasilkan
relasi kekuasaan yang tidak menguntungkan, relasi kekuasaan caleg perempuan lebih
lemah daripada ketiga aktor politik tersebut. Karena penentuan nomor urut tidak
pernah sekalipun melibatkan aspirasi dari caleg perempuan. namun, dengan
mekanisme tertutup dari dalam partai yang mengusungnya.
Pada saat penentuan daerah pemilihan, relasi kekuasaan antara caleg
perempuan dengan partai politik menghasilkan relasi kekuasaan yang seimbang
kekuatannya dan tidak seimbang, di mana relasi kekuasaan caleg perempuan lebih
lemah daripada partai politik. Sedangkan relasi kekuasaan caleg perempuan dengan
caleg laki-laki menghasilkan relasi yang tidak seimbang, karena relasi kekuasaan
caleg perempuan yang lebih lemah daripada caleg laki-laki.
Pada saat kampanye politik, relasi kekuasaan caleg perempuan lebih lemah
terjadi ketika berhubungan/berinteraksi dengan partai politik dan lembaga
penyelenggara pemilu. sedangkan relasi kekuasaan yang saling menguntungkan
terjadi ketika caleg perempuan berinteraksi/berhubungan dengan partai politik, antar
caleg perempuan, tim sukses, dan konstituen.
Pada saat pemungutan dan perhitungan suara, relasi kekuasaan caleg
perempuan dengan saksi menghasilkan relasi kekuasaan yang tidak menguntungkan
caleg perempuan dan saling menguntungkan. Relasi kekuasaan caleg perempuan dan
saksi tidak hanya juga saling menguntungkan tetapi juga saling menguatkan. Relasi
kekuasaan caleg perempuan dengan caleg laki-laki, partai politik, dan lembaga
penyelenggara pemilu tidak menguntungkan. Hal itu terjadi karena relasi kekuasaan
caleg perempuan lebih lemah daripada ketiga aktor politik tersebut. Relasi kekuasaan
antar caleg perempuan menghasilkan relasi kekuasaan yang saling menguntungkan
dan menguatkan. Sedangkan relasi kekuasaan caleg perempuan dengan tim sukses,
menghasilkan relasi kekuasaan yang saling menguntungkan karena kerjasama yang
terjadi dengan baik ataupun justru tidak menguntungkan caleg perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Pratitis. Perempuan Dalam Pusaran Politik : Konstruksi Kekuasaan
Perempuan Dalam Arena Demokrasi. (SKRIPSI. Surabaya : UNAIR, 2010)
Apriani, Fajar. Berbagai Pandangan Mengenai Gender Dan Feminisme, (Bandung :
Universitas Mulawarman, 2010)
Basrowi, dkk. Sosiologi Politik. (Bogor:Ghalia Indonesia, 2012)
Data KPU. Data Hasil Pemilihan Umum Legislatif DPRD Kota Surabaya Periode
2009 – 2014. (Surabaya : KPU Kota Surabaya, 2009)
Data KPU. Data Tentang Pemilihan Umum Legislatif DPRD Kota Surabaya Periode
2014 – 2019. (Surabaya : KPU Kota Surabaya, 2014)
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003)
Kebung, Konrad. Michel Foucault Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika.
(Jakarta: Obor, 1997)
Michel Foucault. Seks dan Kekuasaan, Rahayu S.H (Penterj.) (Jakarta: Gramedia,
2000)
Ritzer, George. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan
Terakhir Postmodern, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012)
Windyastuti, Dwi. Akomodasi Partai Politik Terhadap Kuota Perempuan Dalam
Pemilu 2004. (LPPM. Surabaya : UNAIR, 2004)
Yunitamurti, Nurisma. Wacana TKW Dalam Novel “Aku Bukan Budak” Dan ‘Dari
Tanah Haram Ke Ranah Minang’. (SKRIPSI. Surabaya : UNAIR, 2004)
Download