BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian kepercayaan diri Kepercayaan diri secara sederhana bisa dikatakan sebagai suatu keyakinan seseorang sebagai aspek yang kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa memcapai berbagai tujuan dalam hidupnya. Hal ini dapat dipahami karena dengan kepercayaan diri yang tingggi individu akan dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya dengan yakin dan mantap.kenyataan sesungguhnya menunjukan hal yang berbeda,banyak orang yang tidak percaya diri dan sebagian besar diantaranya adalah remaja (Arifin,dkk,1994). Lauster (dalam Purnamaningsih,dkk,2003) menyatakan bahwa percaya diri bukan merupakan sikap yang diturunkan atau bawaan melaikan di peroleh dari pengalaman hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan dengan demikian upaya-upaya tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meninhkatkan kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar didalam interaksi seseorang dengan lingkungannya. Menurut Louster (Elvina,2005) percaya diri merupakan sikap yakin terhadap kemampuan diri sehinggga individu yang bersangkutan tidak berhati-hati secara berkebihan,yakin terhadap kebebasan atau kemandirian. Keyakianan diri inilah maka individu tidak mementinghkan diri secara berlebihan, cendrung menjadi toleran dan berambisi normal. Louster menggambarkan bahwa orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi memiliki ciri-ciri tidak mementingkan diri sendiri (toleransi), tidak membutuhkan dorongan orang lain, optimis dan gembira. Salah satu langkah pertama dan utama dalam membangun kepercayaan diri adalah dengan memahami dan meyakini bahwa setiap manusia memilki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kelebihan yang ada dalam diri seseorang harus dikembangkan dan dimanfaatkan agar menjadi produktif dan berguna bagi orang lain (Hakim,2002). Menurut Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri. 2.1.2 Karakterisitik Orang Yang Memiliki Kepercayan Diri. Menurut Louster (dalam ismayati 2003), terdapat berbagai karaktristik kepercayaan diri, yaitu: a. Cinta diri Orang yang cinta diri berarti mencintai dirinya sendiri dan cinta diri ini bukanlah sesuatu yang diharuskan bagi orang lain. Cinta diri sendiri merupakan perilaku sesorang utnuk memelihara diri. b. Pemahaman diri Orang yang percaya diri tidak hanya merenung, memikirka perasaan dan perilaku sendiri. Orang yang percaya diri selalu ingin tahu bagaimana pendapat oarang lain tentang dirinya. c. Tujuan hidup yang jelas Orang yang percaya diri selalu tahu tujuab hidupnya disebabkan mempunyai pikiran yang jelas mengapa melakukan tindakan tertentu dan tahu hasil apa yang bisa diharapkan. d. Berfikir positif Orang yang percaya diri biasanya menyenangkan karena bisa melihat dari isi yang cerah serta mencai pengalaman dan hasil yang bagus. Menurut Frida (dalam Rini, 2005) terdapat berbagai karakteristik kepercayaan diri, yaitu: a. Percaya akan potensi/kemampuan diri sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan ataupun rasa hormat dari orang lain. b. Tidak terdorong untuk menunjukan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok. c. Berani menerima dan menghadapai penolakan oarang lain, yaitu berani menjadi diri sendiri. d. Mempunai pengendalian diri yanng baik (tidak moody dan emosinya stabil) e. Memiliki Locus of control (memandang keberhasilan dan kegagalan tergantung pada usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pda nasip atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain). f. Mempunyai cara pandang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi diluar dirinya. g. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri sehingga ketika harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat cara pandang positif terhadap dirinya dan situasi yang terjadi. 2.1.3 Aspek Kepercayaan Diri Lauster (1990), mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam kepercayaan diri antara lain: a. Ambisi. Ambisi merupakan dorongan untuk mencapai hasil yang diperlihatkan kepada orang lain. Orang yang percaya diri cenderung memiliki ambisi yang tinggi. Mereka selalu berpikiran positif dan berkeyakinan bahwa mereka mampu untuk melakukan sesuatu b. Mandiri. Individu yang mandiri adalah individu yang tidak tergantung pada individu lain karena mereka merasa mampu untuk menyelesaikan segala tugasnya, tahan terhadap tekanan. c. Optimis. Individu yang optimis akan selalu berpikiran positif, selalu beranggapan bahwa akan berhasil, yakin dan dapat menggunakan kemampuan dan kekuatannya secara efektif, serta terbuka. d. Tidak mementingkan diri sendiri. Sikap percaya diri tidak hanya mementingkan kebutuhan pribadi akan tetapi selalu peduli pada orang lain. e. Toleransi. Sikap toleransi selalu mau menerima pendapat dan perilaku orang lain yang berbeda dengan dirinya. Berkaitan dengan aspek-aspek kepercayaan diri, Kumara (dalam Yulianto dan Nashori, 2006) menyatakan bahwa ada empat aspek kepercayaan diri, yaitu: a. Kemampuan menghadapi masalah b. Bertanggung jawab terhadap keputusan dan tindakannya c. Kemampuan dalam bergaul d. Kemampuan menerima kritik 2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kepercayaan Diri Menurut Jacinta F rini (2002), kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal: A. Faktor internal, meliputi: 1. Konsep diri. Terbentuknya keperayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Menurut Centi (1995), “konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri.” Seseorang yang mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif. 2. Harga diri. Meadow (2005) mengungkapkan mengenai definisi harga diri yaitu “penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri.” Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan. 3. Kondisi fisik. Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Anthony (1992) mengatakan “penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang.” Lauster (1997) juga berpendapat bahwa: ”ketidakmampuan fisik dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.” 4. Pengalaman hidup. Lauster (1997) mengatakan bahwa “kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah diri.” Lebih-lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang kasih sayang dan kurang perhatian. B. Faktor eksternal meliputi: 1. Pendidikan. Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Anthony (1992) lebih lanjut mengungkapkan bahwa: Tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari sudut kenyataan. 2. Pekerjaan. Rogers (2005) mengemukakan bahwa “bekerja dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandirian serta rasa percaya diri.” Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh. Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan diri. 3. Lingkungan dan Pengalaman hidup. Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dukungan yang baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. “Begitu juga dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang” Centi (1995). Sedangkan pembentukan kepercayaan diri juga bersumber dari pengalaman pribadi yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan keadaan fisik. Faktor eksternal meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan pengalaman hidup. 4. Perkembangan Rasa Percaya Diri a. Pola Asuh Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik terhadap dirinya. Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan tantangannya sendiri segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan, selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan temantemannya. Orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membandingbandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anakanak tersebut. Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir bahwa untuk bisa diterima, dihargai, dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri, mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah, sementara ketakutannya terlalu besar. b. Pola Pikir Negatif Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal. 5. Memupuk Rasa Percaya Diri. Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang sedang dialaminya. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memupuk rasa percaya diri antara lain: evaluasi diri secara obyektif, beri penghargaan yang jujur terhadap diri, positive thinking, gunakan self-affirmation, berani mengambil resiko, belajar mensyukuri dan menikmati rahmat tuhan menetapkan tujuan yang realistik. 2.2 Pola Asuh 2.2.1 Definisi Pola Asuh Menurut Hurlock (1999) orangtua adalah orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orangtua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing orangtua kerena setiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain. Menurut Chabib Thoha (1996) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal Pola asuh menurut Meichati (1983) dalam Fenty (2011) adalah perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan dan pendidikan anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh merupakan pengaruh paling besar dalam kehidupan anak. Apa yang terjadi pada anak di masa mendatang dipengaruhi oleh pola asuh orangtua di masa lalu. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan pola asuh terhadap anak, orangtua tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik anak namun juga harus memenuhi kebutuhan psikis anak. Baumrind (dalam Patricia 2011) mendefinisikan bahwa pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kaalamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang. Baumrind juga berpendapat bahwa pola asuh didasarkan pada dua aspek pengasuhan yang sangat penting. Pertama adalah respon orangtua yang mengacu pada tingkat orangtua merespon kebutuhan anak, kedua adalah harapan orangtua yang mengacu pada sejauh mana orangtua mengharapkan perilaku yang lebih matang dan bertanggung jawab dari seorang anak. Darling (2003), mendefinisikan pengasuhan orangtua adalah aktivitas komplek termasuk banyak perilaku spesifik yang dikerjakan secara individu dan bersama- sama untuk mempengaruhi pembentukan karakter anak. Berk (2000) dalam socialization with in the family (Anonim, 2003) pola asuh orangtua adalah daya upaya orangtua dalam memainkan aturan secara luas di dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Berk (2000), dalam socialization with in the family (Anonim, 2003), pola asuh orang tua adalah daya upaya ortu dalam memainkan aturan secara luas di dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Pendidikan anak dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruhpertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa, dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik anak-anaknya. Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi antara orangtua dan anak dalam hubungan sehari-hari yang berevolusi sepanjang waktu,sehingga orang tua akan menghasilkan anak-anak sealiran, karena orang tua tidak hanya mengajarkan dengan kata-kata tetapi juga dengan contoh-contoh (Shochib, 1998). Dari beberapa pengertian tersebut maka diketahui bahwa, pola asuh Orangtua adalah hubungan orangtua dan anak dalam mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik dan membimbing anak untuk mencapai kedewasaan sesuai norma-norma yang ada dalam masyarakat. 2.2.2 Macam-Macam Pola Asuh Baumrind (1994) menjelaskan bahwa ada tigapola asuh orangtua dan dampaknya pada anak, dari keempat perlakuan hanya tiga yang dilaporkan Baumrind, untuk memperoleh kejelasan tentang gambaran hasil penelitian tersebut, dapat disimak dalam tabel dibawah ini : Tabel 2.1 Tipe Pola Aush Orangtua P e r r o i f l i a l k u p e o r r i a l n a g k t u u a a n a k 1. Authortarian 2. Permissive 3. Authoritativ e 1. Accaptance rendah namun kontrol tinggi 2. Suka menghukum secara fisik 3. Bersikap mengkomando 4. Kaku 5. Emosional dan bersikap menolak 1. Accaptance tinggi namun kontrol rendah 2. Memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongannya 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mudah tersinggng Penakut Pemurung Mudah terpengaruh Mudah stres Tidak punya arah masa depan 1. Accaptance tinggi dan kontrol tinggi 2. Kasih sayang dan cinta yang tinggi terhadap 3. Responsif kebutuhan anak 1. Bersahabat 2. Memiliki rasa percaya diri 3. Mampu mengendalikan diri 4. Sopan 1. Agresif dan impulsif 2. Suka memberontak kurang percaya diri 3. Suka mendominasi 4. Prestasi rendah 4. Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk 5. Mendorong anak untuk menyatakan pendapat 5. Mau bekerja sama 6. Orientasi tujuan jelas Menurut Baumrind (1996) pola asuh authoritative menunjukkan dampak yang lebih dan cenderung tidak menunjukkan perilaku kekacauan atau nakal. Pola asuh yang menunjukkan kasih sayang mempunyai kontribusi kepada pengembangan kepribadian anak yang sehat. 2.2.3Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua Menurut Baumrind (2011) ada dua faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua. a. Ketegangan Ketegangan menyebabkan ketidakkonsistenan dalam mengasuh anak. Menyebabkan pola asuh orangtua berbeda dri waktu ke waktu b. Cara orangtua dibesarkan Para orangtua cenderung membesarkan anak anak mereka dengan cara yang sama dengan waktu mereka dibesarkan. 2.2.4 Aspek-Aspek Dalam Pola Asuh Menurut baumrind (1994) ada empat aspek yang terkandung dalam pola asuh orangtua yaitu strickness, supervision, acceptance, dan involment. 1. srickness adalah ketaatan orangtua dalam membuat banyak peraturan untuk mengatur perilaku anak. 2. Supervision adalah pengawasan orangtua terhadap perilaku dan aktivitas anak. 3. Acceptance adalah penerimaan orangtua teradap perilaku anak. 4. Involment adalah keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak. Pola asuh demokratis dikenal dengan sebutan trinitas demokratis yaitu hangat, terbuka serta bebas terkendali. Seperti pada tabel 2.2 , pola asuh demokratis terjadi pada tingkat penerimaan dan keterlibatan yang tinggi dan juga tingkat ketetatan serta pengawasan yang tinggi, termasuk didalamnya terdapat kehangatan, keterbukaan dan dibentuknya kebebasan yang terkendali dalam saling bertukar pendapat. Pola asuh otoriter terjadi karena adanya keketatan dan tingkat kontrol yang tinggi tanpa adanya kehangatan serta keterlibatan didalamnya, sehingga tingkat penerimaan rendah dikarenakan tidak adanya kterbukaan dalam komunikasi antar orangtua dengan anak. Pola asuh permisif terjadi saat tingkat penerimaan dan kasih sayangserta keterlibatan tinggi sehingga tingkat keketatan dan tingkat pengawasan tergolong rendah. Pola asuh neglactfull atau penelantar memiliki tingkat keterlibatan dan penerimaan yang sangat rendah serta tingkat keketatan dan pengawasan yang rendah. Tabel 2.2 Aspek-aspek pola asuh orangtua P e n e r i m a a n d a n K e t e r l i b a t a n 2.3 Penelitian Yang Relevan Berdasarkan penelitian Sevianingrum Hasty (2009),yang berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dan Kepercayaan Diri Siswa Kelas X SMAN 2 Trenggalek, menunjukkan bahwa sebaran pola asuh orang tua siswa kelas X SMAN 2 Trenggalek sebagianbesar berada pada pola asuh permisif dengan persentase 60%. Sedangkan, sebaran kepercayaan diri siswa kelas X SMAN 2 Trenggalek, sebagian besar berada pada kriteria tinggi dengan persentase 32,9%. Dari hasil uji korelasi product moment diketahui bahwa nilai rxy (0,660) > dari rtabel (0,235) dan nilai sig.(0,000) < 0,05 maka dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang siknifikan antara pola asuh orang tua dan kepercayaan diri siswa kelas X SMAN 2 Trenggalek dan hubungan ini termasuk dalam kategori kuat karena berada di atas 50%. Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Pertiwi (2010), tentang Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan kepercayaan diri Pada SMA Negeri 2 Subang, berdasarkan analisis data pola asuh orangtua dan kepercayaan diri menggunakan korelasi spearman rho (SPSS seri15) ditemukan hasil analisis korelasi spearman rho yaitu rs = 0,028, P-value = 0,815 lebih besar dari r > 0,05. Berdasarkan hasil korelasi biserial yang menguji item dari polaasuh otoriter dan demokratis ditemukan bahwa untuk polaasuh otoriter 0,82 sedangkan polaasuh demokratis 0,593. Hal ini menunjukan bahwa polaasuh otoriter lebih besar hubungannya pada empati anak di sekolah. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh Orangtua dengan kepercayaan diri anak di sekolah. Mengkaji dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, maka dapat dilihat dengan pola asuh orangtua yang berbeda-beda pada anak dapat menghasilkan Kepercayaan diri yang berbeda-beda pula. Hal tersebut ditujukan pada sikap hubungan sosial anak di lingkungannya. 2.4 Kerangka Berfikir Pola asuh masing masing orangtua mempunyai pengaruh tersendiri terhadap kepribadian anak. Produk dari pola asuh masing-masing Orangtua menunjukkan kepekaan perasaan yang berbeda. Pola asuh yang lebih menunjukkan kasih sayang kepada anak, secara langsung melatih anak untuk percaya terhadap kemampuan diri sendiri terhadap apa yang dilakukan dan dikerjakan. Lebih jauh kepercayaan dan kemampuan diri adalah kepercayaan diri, kepercyaan diri tumbuh melalui cara membesarkan anak dengan kepedulian dan kasih sayang dari orang tua. Pembentukan kepercayaan diri memang tidak lepas dari pengaruh peranan pola asuh orang tua, orang tua merupakan pihak yang memiliki peranan dalam mengatur dan mendidik anak agar tumbuh kembang dengan baik. Penalarannya adalah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kepercayaan diri. Asumsinya pola asuh yang menunjukkan kasih sayang yang tinggi yaitu pola asuh authoritatif menumbuhkan kepercyaan diri yang tinggi, sedangkan pola asuh yang kadar kasih sayangnya kurang tinggi yaitu pola asuh otoriter dan permisif, kepercayaan diri yang di miliki oleh anak tergolong sedang bahkan rendah. Gambar 2.1 Model Hubungan Antar variabel X dan Y X Y Keterangan : X : Pola Asuh Y : Kepercayaan Diri : Korelasi / hubungan 2.5 Hipotesis Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat diajukan hipotesis yaitu ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dengan kepercayaan diri siswa kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga