Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua dengan Kepercayaan Diri

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Kepercayaan Diri
2.1.1 Pengertian kepercayaan diri
Kepercayaan diri secara sederhana bisa dikatakan sebagai suatu keyakinan
seseorang sebagai aspek yang kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut
membuatnya merasa mampu untuk bisa memcapai berbagai tujuan dalam hidupnya.
Hal ini dapat dipahami karena dengan kepercayaan diri yang tingggi individu akan
dapat
mengaktualisasikan
potensi
yang
dimilikinya
dengan
yakin
dan
mantap.kenyataan sesungguhnya menunjukan hal yang berbeda,banyak orang yang
tidak percaya diri dan sebagian besar diantaranya adalah remaja (Arifin,dkk,1994).
Lauster (dalam Purnamaningsih,dkk,2003) menyatakan bahwa percaya diri bukan
merupakan sikap yang diturunkan atau bawaan melaikan di peroleh dari pengalaman
hidup, serta dapat diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan dengan demikian
upaya-upaya tertentu dapat dilakukan guna membentuk dan meninhkatkan
kepercayaan diri terbentuk dan berkembang melalui proses belajar didalam interaksi
seseorang dengan lingkungannya.
Menurut Louster (Elvina,2005) percaya diri merupakan sikap yakin terhadap
kemampuan diri sehinggga individu yang bersangkutan tidak berhati-hati secara
berkebihan,yakin terhadap kebebasan atau kemandirian. Keyakianan diri inilah
maka individu tidak mementinghkan diri secara berlebihan, cendrung menjadi
toleran dan berambisi normal. Louster menggambarkan bahwa orang yang
mempunyai kepercayaan diri tinggi memiliki ciri-ciri tidak mementingkan diri
sendiri (toleransi), tidak membutuhkan dorongan orang lain, optimis dan gembira.
Salah satu langkah pertama dan utama dalam membangun kepercayaan diri
adalah dengan memahami dan meyakini bahwa setiap manusia memilki kelebihan
dan kelemahan masing-masing. Kelebihan yang ada dalam diri seseorang harus
dikembangkan dan dimanfaatkan agar menjadi produktif dan berguna bagi orang
lain (Hakim,2002).
Menurut Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005),
percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi
keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang
yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada
kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
2.1.2 Karakterisitik Orang Yang Memiliki Kepercayan Diri.
Menurut Louster (dalam ismayati 2003), terdapat berbagai karaktristik
kepercayaan diri, yaitu:
a. Cinta diri
Orang yang cinta diri berarti mencintai dirinya sendiri dan cinta
diri ini bukanlah sesuatu yang diharuskan bagi orang lain. Cinta diri
sendiri merupakan perilaku sesorang utnuk memelihara diri.
b. Pemahaman diri
Orang yang percaya diri tidak hanya merenung, memikirka
perasaan dan perilaku sendiri. Orang yang percaya diri selalu ingin tahu
bagaimana pendapat oarang lain tentang dirinya.
c. Tujuan hidup yang jelas
Orang yang percaya diri selalu tahu tujuab hidupnya disebabkan
mempunyai pikiran yang jelas mengapa melakukan tindakan tertentu dan
tahu hasil apa yang bisa diharapkan.
d. Berfikir positif
Orang yang percaya diri biasanya menyenangkan karena bisa
melihat dari isi yang cerah serta mencai pengalaman dan hasil yang bagus.
Menurut Frida (dalam Rini, 2005) terdapat berbagai karakteristik kepercayaan
diri, yaitu:
a. Percaya akan potensi/kemampuan diri sehingga tidak membutuhkan pujian,
pengakuan, penerimaan ataupun rasa hormat dari orang lain.
b. Tidak terdorong untuk menunjukan sikap konformis demi diterima oleh
orang lain atau kelompok.
c. Berani menerima dan menghadapai penolakan oarang lain, yaitu berani
menjadi diri sendiri.
d. Mempunai pengendalian diri yanng baik (tidak moody dan emosinya stabil)
e. Memiliki Locus of control (memandang keberhasilan dan kegagalan
tergantung pada usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pda nasip
atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain).
f. Mempunyai cara pandang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan
situasi diluar dirinya.
g. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri sehingga ketika
harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat cara pandang positif terhadap
dirinya dan situasi yang terjadi.
2.1.3
Aspek Kepercayaan Diri
Lauster (1990), mengemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam
kepercayaan diri antara lain:
a.
Ambisi. Ambisi merupakan dorongan untuk mencapai hasil yang diperlihatkan kepada
orang lain. Orang yang percaya diri cenderung memiliki ambisi yang tinggi. Mereka
selalu berpikiran positif dan berkeyakinan bahwa mereka mampu untuk melakukan
sesuatu
b. Mandiri. Individu yang mandiri adalah individu yang tidak tergantung pada individu
lain karena mereka merasa mampu untuk menyelesaikan segala tugasnya, tahan terhadap
tekanan.
c. Optimis. Individu yang optimis akan selalu berpikiran positif, selalu beranggapan
bahwa akan berhasil, yakin dan dapat menggunakan kemampuan dan kekuatannya
secara efektif, serta terbuka.
d. Tidak mementingkan diri sendiri. Sikap percaya diri tidak hanya mementingkan
kebutuhan pribadi akan tetapi selalu peduli pada orang lain.
e. Toleransi. Sikap toleransi selalu mau menerima pendapat dan perilaku orang lain yang
berbeda dengan dirinya.
Berkaitan dengan aspek-aspek
kepercayaan diri, Kumara (dalam Yulianto dan
Nashori, 2006) menyatakan bahwa ada empat aspek kepercayaan diri, yaitu:
a. Kemampuan menghadapi masalah
b. Bertanggung jawab terhadap keputusan dan tindakannya
c. Kemampuan dalam bergaul
d. Kemampuan menerima kritik
2.1.4
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Kepercayaan Diri
Menurut Jacinta F rini (2002), kepercayaan diri dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:
A. Faktor internal, meliputi:
1. Konsep diri.
Terbentuknya keperayaan diri pada seseorang diawali dengan perkembangan
konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan suatu kelompok. Menurut Centi (1995),
“konsep diri merupakan gagasan tentang dirinya sendiri.” Seseorang yang
mempunyai rasa rendah diri biasanya mempunyai konsep diri negatif, sebaliknya
orang yang mempunyai rasa percaya diri akan memiliki konsep diri positif.
2. Harga diri.
Meadow (2005) mengungkapkan mengenai definisi harga diri yaitu “penilaian yang
dilakukan terhadap diri sendiri.” Orang yang memiliki harga diri tinggi akan menilai
pribadi secara rasional dan benar bagi dirinya serta mudah mengadakan hubungan
dengan individu lain. Orang yang mempunyai harga diri tinggi cenderung melihat
dirinya sebagai individu yang berhasil percaya bahwa usahanya mudah menerima
orang lain sebagaimana menerima dirinya sendiri. Akan tetapi orang yang mempuyai
harga diri rendah bersifat tergantung, kurang percaya diri dan biasanya terbentur pada
kesulitan sosial serta pesimis dalam pergaulan.
3. Kondisi fisik.
Perubahan kondisi fisik juga berpengaruh pada kepercayaan diri. Anthony (1992)
mengatakan “penampilan fisik merupakan penyebab utama rendahnya harga diri dan
percaya diri seseorang.” Lauster (1997) juga berpendapat bahwa: ”ketidakmampuan
fisik dapat menyebabkan rasa rendah diri yang kentara.”
4. Pengalaman hidup.
Lauster (1997) mengatakan bahwa “kepercayaan diri diperoleh dari pengalaman
yang mengecewakan adalah paling sering menjadi sumber timbulnya rasa rendah
diri.” Lebih-lebih jika pada dasarnya seseorang memiliki rasa tidak aman, kurang
kasih sayang dan kurang perhatian.
B. Faktor eksternal meliputi:
1. Pendidikan.
Pendidikan mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Anthony (1992) lebih lanjut
mengungkapkan bahwa: Tingkat pendidikan yang rendah cenderung membuat
individu merasa dibawah kekuasaan yang lebih pandai, sebaliknya individu yang
pendidikannya lebih tinggi cenderung akan menjadi mandiri dan tidak perlu
bergantung pada individu lain. Individu tersebut akan mampu memenuhi keperluan
hidup dengan rasa percaya diri dan kekuatannya dengan memperhatikan situasi dari
sudut kenyataan.
2. Pekerjaan.
Rogers (2005) mengemukakan bahwa “bekerja dapat mengembangkan kreatifitas
dan kemandirian serta rasa percaya diri.” Lebih lanjut dikemukakan bahwa rasa
percaya diri dapat muncul dengan melakukan pekerjaan, selain materi yang diperoleh.
Kepuasan dan rasa bangga di dapat karena mampu mengembangkan kemampuan
diri.
3. Lingkungan dan Pengalaman hidup.
Lingkungan disini merupakan lingkungan keluarga dan masyarakat. Dukungan yang
baik yang diterima dari lingkungan keluarga seperti anggota keluarga yang saling
berinteraksi dengan baik akan memberi rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi.
“Begitu juga dengan lingkungan masyarakat semakin bisa memenuhi norma dan
diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar harga diri berkembang” Centi (1995).
Sedangkan pembentukan kepercayaan diri juga bersumber dari pengalaman pribadi
yang dialami seseorang dalam perjalanan hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang
mempengaruhi rasa percaya diri pada individu, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal meliputi konsep diri, harga diri dan keadaan fisik. Faktor eksternal
meliputi pendidikan, pekerjaan, lingkungan dan pengalaman hidup.
4. Perkembangan Rasa Percaya Diri
a. Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara instant,
melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam kehidupan bersama
orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri seseorang,
namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini, merupakan faktor yang amat
mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap orangtua, akan diterima oleh
anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu. orangtua yang menunjukkan kasih,
perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang serta kelekatan emosional yang tulus
dengan anak, akan membangkitkan rasa percara diri pada anak tersebut.
Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan bernilai di mata orangtuanya. Dan,
meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap orangtua anak melihat bahwa dirinya
tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak dicintai dan dihargai bukan tergantung pada
prestasi atau perbuatan baiknya, namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak
tersebut akan tumbuh menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan
mempunyai harapan yang realistik terhadap diri seperti orangtuanya meletakkan
harapan realistik terhadap dirinya. Lain halnya dengan orangtua yang kurang
memberikan perhatian pada anak, atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun
kalau anak berbuat baik tidak pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang
dicapai oleh anak, atau pun seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada
kemampuan dan kemandirian anak dengan sikap
overprotective yang makin
meningkatkan ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat
perkembangan kepercayaan diri pada anak
karena anak tidak belajar mengatasi
problem dan tantangannya sendiri segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua.
Anak akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan,
selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan
merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan temantemannya.
Orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan standar dan harapan yang kurang
realistik terhadap seorang anak atau pun individu. Sikap suka membandingbandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau pun membicarakan
kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar menjatuhkan harga diri anakanak tersebut. Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu
yang tidak bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga
kini), setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang
bukan dirinya sendiri. Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak
tumbuh menjadi individu yang punya pola pikir bahwa untuk bisa diterima, dihargai,
dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan
mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri, mereka tidak
punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu lemah,
sementara ketakutannya terlalu besar.
b. Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian,
bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang atau pun sebuah
peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu dengan rasa percaya diri
yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari sisi negatif. Ia tidak
menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme itu berasal.
5. Memupuk Rasa Percaya Diri.
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus
memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa hanya
individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri yang
sedang dialaminya. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memupuk rasa percaya
diri antara lain: evaluasi diri secara obyektif, beri penghargaan yang jujur terhadap
diri, positive thinking, gunakan self-affirmation, berani mengambil resiko, belajar
mensyukuri dan menikmati rahmat tuhan menetapkan tujuan yang realistik.
2.2 Pola Asuh
2.2.1 Definisi Pola Asuh
Menurut Hurlock (1999) orangtua adalah orang dewasa yang membawa anak ke
dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orangtua melengkapi dan
mempersiapkan anak menuju ke kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan
pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan. Dalam memberikan
bimbingan dan pengarahan pada anak akan berbeda pada masing-masing orangtua kerena
setiap keluarga memiliki kondisi-kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara
keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Menurut Chabib Thoha (1996) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua
adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai
perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak. Jika pendidikan keluarga dapat
berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak
menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang
kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara
optimal
Pola asuh menurut Meichati (1983) dalam Fenty (2011) adalah perlakuan
orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan dan pendidikan
anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh merupakan pengaruh paling besar dalam
kehidupan anak. Apa yang terjadi pada anak di masa mendatang dipengaruhi oleh pola
asuh orangtua di masa lalu. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam menerapkan pola asuh
terhadap anak, orangtua tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik anak namun juga harus
memenuhi kebutuhan psikis anak.
Baumrind (dalam Patricia 2011) mendefinisikan bahwa pola asuh adalah
kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kaalamian
dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang. Baumrind juga
berpendapat bahwa pola asuh didasarkan pada dua aspek pengasuhan yang sangat penting.
Pertama adalah respon orangtua yang mengacu pada tingkat orangtua merespon
kebutuhan anak, kedua adalah harapan orangtua yang mengacu pada sejauh mana
orangtua mengharapkan perilaku yang lebih matang dan bertanggung jawab dari seorang
anak.
Darling (2003), mendefinisikan pengasuhan orangtua adalah aktivitas komplek
termasuk banyak perilaku spesifik yang dikerjakan secara individu dan bersama- sama
untuk mempengaruhi pembentukan karakter anak. Berk (2000) dalam socialization with
in the family (Anonim, 2003) pola asuh orangtua adalah daya upaya orangtua dalam
memainkan aturan secara luas di dalam meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
anaknya. Dalam mengasuh anaknya, orang tua cenderung menggunakan pola asuh
tertentu. Berk (2000), dalam socialization with in the family (Anonim, 2003), pola asuh
orang tua adalah daya upaya ortu dalam memainkan aturan secara luas di dalam
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Dalam mengasuh anaknya,
orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu.
Pendidikan
anak
dalam
keluarga
merupakan
awal
dan
pusat
bagi
seluruhpertumbuhan dan perkembangan anak untuk menjadi dewasa, dengan demikian
menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama dalam
mendidik anak-anaknya. Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan
pengawasan yang dapat membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan
sukses.
Pola asuh pada dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi antara orangtua dan
anak dalam hubungan sehari-hari yang berevolusi sepanjang waktu,sehingga orang tua
akan menghasilkan anak-anak sealiran, karena orang tua tidak hanya mengajarkan
dengan kata-kata tetapi juga dengan contoh-contoh (Shochib, 1998).
Dari beberapa pengertian tersebut maka diketahui bahwa, pola asuh Orangtua
adalah hubungan orangtua dan anak dalam mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan
ini berarti orangtua mendidik dan membimbing anak untuk mencapai kedewasaan sesuai
norma-norma yang ada dalam masyarakat.
2.2.2 Macam-Macam Pola Asuh
Baumrind (1994) menjelaskan bahwa ada tigapola asuh orangtua dan dampaknya
pada anak, dari keempat perlakuan hanya tiga yang dilaporkan Baumrind, untuk
memperoleh kejelasan tentang gambaran hasil penelitian tersebut, dapat disimak dalam
tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Tipe Pola Aush Orangtua
P
e
r
r
o
i
f
l
i
a
l
k
u
p
e
o
r
r
i
a
l
n
a
g
k
t
u
u
a
a
n
a
k
1. Authortarian
2. Permissive
3. Authoritativ
e
1. Accaptance rendah namun
kontrol tinggi
2. Suka menghukum secara
fisik
3. Bersikap mengkomando
4. Kaku
5. Emosional dan bersikap
menolak
1. Accaptance tinggi namun
kontrol rendah
2. Memberi
kebebasan
kepada
anak
untuk
menyatakan dorongannya
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Mudah tersinggng
Penakut
Pemurung
Mudah terpengaruh
Mudah stres
Tidak punya arah
masa depan
1. Accaptance tinggi dan
kontrol tinggi
2. Kasih sayang dan cinta
yang tinggi
terhadap
3. Responsif
kebutuhan anak
1. Bersahabat
2. Memiliki
rasa
percaya diri
3. Mampu
mengendalikan diri
4. Sopan
1. Agresif dan impulsif
2. Suka memberontak
kurang percaya diri
3. Suka mendominasi
4. Prestasi rendah
4. Memberikan
penjelasan
tentang dampak perbuatan
yang baik dan buruk
5. Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat
5. Mau bekerja sama
6. Orientasi tujuan jelas
Menurut Baumrind (1996) pola asuh authoritative menunjukkan dampak yang
lebih dan cenderung tidak menunjukkan perilaku kekacauan atau nakal. Pola asuh
yang menunjukkan kasih sayang mempunyai kontribusi kepada pengembangan
kepribadian anak yang sehat.
2.2.3Faktor Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua
Menurut Baumrind (2011) ada dua faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua.
a. Ketegangan
Ketegangan
menyebabkan
ketidakkonsistenan
dalam
mengasuh
anak.
Menyebabkan pola asuh orangtua berbeda dri waktu ke waktu
b. Cara orangtua dibesarkan
Para orangtua cenderung membesarkan anak anak mereka dengan cara yang sama
dengan waktu mereka dibesarkan.
2.2.4
Aspek-Aspek Dalam Pola Asuh
Menurut baumrind (1994) ada empat aspek yang terkandung dalam pola asuh
orangtua yaitu strickness, supervision, acceptance, dan involment.
1. srickness adalah ketaatan orangtua dalam membuat banyak peraturan untuk mengatur
perilaku anak.
2. Supervision adalah pengawasan orangtua terhadap perilaku dan aktivitas anak.
3. Acceptance adalah penerimaan orangtua teradap perilaku anak.
4. Involment adalah keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak.
Pola asuh demokratis dikenal dengan sebutan trinitas demokratis yaitu hangat,
terbuka serta bebas terkendali. Seperti pada tabel 2.2 , pola asuh demokratis terjadi pada
tingkat penerimaan dan keterlibatan yang tinggi dan juga tingkat ketetatan serta
pengawasan yang tinggi, termasuk didalamnya terdapat kehangatan, keterbukaan dan
dibentuknya kebebasan yang terkendali dalam saling bertukar pendapat. Pola asuh
otoriter terjadi karena adanya keketatan dan tingkat kontrol yang tinggi tanpa adanya
kehangatan serta keterlibatan didalamnya, sehingga tingkat penerimaan rendah
dikarenakan tidak adanya kterbukaan dalam komunikasi antar orangtua dengan anak.
Pola asuh permisif terjadi saat tingkat penerimaan dan kasih sayangserta keterlibatan
tinggi sehingga tingkat keketatan dan tingkat pengawasan tergolong rendah. Pola asuh
neglactfull atau penelantar memiliki tingkat keterlibatan dan penerimaan yang sangat
rendah serta tingkat keketatan dan pengawasan yang rendah.
Tabel 2.2 Aspek-aspek pola asuh orangtua
P
e
n
e
r
i
m
a
a
n
d
a
n
K
e
t
e
r
l
i
b
a
t
a
n
2.3 Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan penelitian Sevianingrum Hasty (2009),yang berjudul Hubungan
antara Pola Asuh Orang Tua dan Kepercayaan Diri Siswa Kelas X SMAN 2 Trenggalek,
menunjukkan bahwa sebaran pola asuh orang tua siswa kelas X SMAN 2 Trenggalek
sebagianbesar berada pada pola asuh permisif dengan persentase 60%. Sedangkan,
sebaran kepercayaan diri siswa kelas X SMAN 2 Trenggalek, sebagian besar berada pada
kriteria tinggi dengan persentase 32,9%. Dari hasil uji korelasi product moment diketahui
bahwa nilai rxy (0,660) > dari rtabel (0,235) dan nilai sig.(0,000) < 0,05 maka dapat
dinyatakan bahwa ada hubungan yang siknifikan antara pola asuh orang tua dan
kepercayaan diri siswa kelas X SMAN 2 Trenggalek dan hubungan ini termasuk dalam
kategori kuat karena berada di atas 50%.
Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dewi Pertiwi (2010), tentang Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan kepercayaan
diri Pada SMA Negeri 2 Subang, berdasarkan analisis data pola asuh orangtua dan
kepercayaan diri menggunakan korelasi spearman rho (SPSS seri15) ditemukan hasil
analisis korelasi spearman rho yaitu rs = 0,028, P-value = 0,815 lebih besar dari r > 0,05.
Berdasarkan hasil korelasi biserial yang menguji item dari polaasuh otoriter dan
demokratis ditemukan bahwa untuk polaasuh otoriter 0,82 sedangkan polaasuh
demokratis 0,593. Hal ini menunjukan bahwa polaasuh otoriter lebih besar hubungannya
pada empati anak di sekolah. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara pola asuh Orangtua dengan kepercayaan diri anak di sekolah.
Mengkaji dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, maka dapat dilihat
dengan pola asuh orangtua yang berbeda-beda pada anak dapat menghasilkan
Kepercayaan diri yang berbeda-beda pula. Hal tersebut ditujukan pada sikap hubungan
sosial anak di lingkungannya.
2.4 Kerangka Berfikir
Pola asuh masing masing orangtua mempunyai pengaruh tersendiri terhadap
kepribadian anak. Produk dari pola asuh masing-masing Orangtua menunjukkan
kepekaan perasaan yang berbeda. Pola asuh yang lebih menunjukkan kasih sayang
kepada anak, secara langsung melatih anak untuk percaya terhadap kemampuan diri
sendiri terhadap apa yang dilakukan dan dikerjakan. Lebih jauh kepercayaan dan
kemampuan diri
adalah kepercayaan diri, kepercyaan diri tumbuh melalui cara
membesarkan anak dengan kepedulian dan kasih sayang dari orang tua.
Pembentukan kepercayaan diri memang tidak lepas dari pengaruh peranan pola
asuh orang tua, orang tua merupakan pihak yang memiliki peranan dalam mengatur dan
mendidik anak agar tumbuh kembang dengan baik.
Penalarannya adalah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan
kepercayaan diri. Asumsinya pola asuh yang menunjukkan kasih sayang yang tinggi yaitu
pola asuh authoritatif menumbuhkan kepercyaan diri yang tinggi, sedangkan pola asuh
yang kadar kasih sayangnya kurang tinggi yaitu pola asuh otoriter dan permisif,
kepercayaan diri yang di miliki oleh anak tergolong sedang bahkan rendah.
Gambar 2.1 Model Hubungan Antar variabel X dan Y
X
Y
Keterangan :
X
: Pola Asuh
Y
: Kepercayaan Diri
: Korelasi / hubungan
2.5 Hipotesis
Berdasarkan uraian teori diatas maka dapat diajukan hipotesis yaitu ada hubungan yang
signifikan antara pola asuh orangtua dengan kepercayaan diri siswa kelas VII SMP
Kristen 2 Salatiga
Download