3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spirulina Spirulina merupakan alga

advertisement
3
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spirulina
Spirulina merupakan alga hijau biru foto-autotrof dapat ditemukan pada
perairan tawar maupun asin. Mikroalga ini telah lama digunakan sebagai sumber
bahan makanan di Meksiko dan Afrika dan merupakan salah satu sumber
makanan alami paling potensial baik untuk hewan dan manusia. Kandungan
proteinnya yang tinggi mencapai 60-70% (basis kering) serta kandungan
asam-asam
amino
Spirulina
sesuai
dengan
rekomendasi
badan
pangan dunia FAO (Choi et al. 2003). Spirulina merupakan salah satu sumber
pangan berpotensi, sebagai contoh 1 are (0,4646 hektar) Spirulina dapat
menghasilkan protein 20 kali lebih baik dari 1 are kedelai atau jagung dan
200 kali lebih baik dari pada daging sapi (Kozlenko dan Henson 1998).
Spirulina termasuk cyanobacteria atau yang lebih dikenal dengan alga
hijau biru, ada di bumi sejak 3500 juta tahun lalu. Mikroorganisme ini berukuran
3,5-10 mikron dan memiliki filamen berbentuk spiral dengan diameter 20-100
mikron. Spirulina mengandung 60% protein dengan asam-asam amino esensial,
sepuluh vitamin, juga berkhasiat sebagai obat (therapeutic). Selain itu pula,
Spirulina memiliki pigmen fikosianin yang merupakan antioksidan dan
antiinflamatori (Romay et al 1998 diacu dalam Desmorieux 2006), polisakarida
yang memiliki efek antitumor dan antiviral (Gao dan Wu 2000; Mishima et al
1998 diacu dalam Desmorieux 2006), γ-asam linoleat (GLA) dari Spirulina dapat
berfungsi dalam penurun kolesterol (Samuels et al. 2002 diacu dalam
Desmorieux 2006).
Spirulina fusiformis adalah salah satu jenis varian mikroalga Spirulina
yang berasal dari Madurai, India. Tiga jenis varian dari Spirulina fusiformis, yaitu:
(1) varian tipe S dengan ciri-ciri gulungan yang jaraknya lebar; (2) varian tipe C
dengan ciri-ciri gulungan yang jaraknya dekat; dan (3) varian tipe H yang jarak
gulungannya
paling
dalam Richmond 1988).
dekat
dan
tipis
(Bai
dan
Seshadri
1980
4
Klasifikasi Spirulina secara taksonomi menurut Bold dan Wyne (1978)
sebagai berikut:
Kingdom
: Protista
Divisi
: Cyanophyta
Kelas
: Cyanophyceae
Ordo
: Nostocales
Famili
: Oscilatoriaceae
Genus
: Spirulina
Spesies
: Spirulina sp.
Gambar 1 Spirulina fusiformis
(koleksi pribadi)
Mikroalga seperti jenis Spirulina, Chlorella, Dunaliella, dan lainnya,
memegang peranan penting dalam dunia perairan, karena organisme air
fotosintetik bersel tunggal menunjukkan kandungan protein yang tinggi.
Spirulina
menunjukkan
kandungan
protein
sebesar
46-62,5%
(Becker dan Venkatamaran 1984). Komposisi kimia beberapa mikroalga dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi umum beberapa jenis mikroalga (% berat kering)
Jenis Mikroalga
Protein
51-58
Chlorella
57
Dunaliella
28-39
Porphyridium
50-56
Scenedesmus
60-71
Spirulina
Sumber: Spolaore (2006)
Karbohidrat
12-17
32
40-57
10-17
13-16
Lemak
14-22
6
9-14
12-14
6-7
Spirulina memiliki kandungan 62% protein, asam amino, sebagai sumber
vitamin B-12 alami paling kaya, mengandung keseluruhan spektrum alami dari
campuran karoten dan xantofil (Kozlenko dan Henson 2007). Spirulina telah teruji
5
aman untuk dikonsumsi. Selama bertahun-tahun berbagai badan internasional
telah melaporkan efek toksisitas yang negatif dari produk-produk Spirulina
(Angka dan Suhartono 2000). Spirulina merupakan bahan makanan tradisional
penduduk asli Meksiko yang tinggal di dekat danau Texcoco dan penduduk
Afrika yang bermukim di dekat danau Chad (Tietze 2004).
Pada umumnya kecilnya kandungan protein nabati dalam tumbuhan
disebabkan karena protein biasanya terikat dengan senyawa lain seperti
lignoselulosa yang sulit dicerna atau senyawa toksik seperti tannin, yang juga
akan menurunkan nilai kecernaan protein tersebut. Spirulina memiliki dinding sel
yang lembut tersusun dari kompleks gula dan protein yang mudah dicerna, tidak
seperti alga lain pada umumnya (Kozlenko dan Henson 2007). Kandungan asam
amino Spirulina dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi asam amino Spirulina
Asam amino nonAsam amino
Kandungan
esensial
esensial
(g(16 g N)-1)
Isoleusin
5,7
Alanin
Leusin
8,7
Asam Aspartat
Lisin
5,1
Sistin
Metionin
2,6
Asam glutamat
Fenilalanin
5,0
Glisin
Treonin
5,4
Prolin
Triptofan
1,5
Serin
Valin
7,5
Tirosin
Arginin
7,6
Histidin
1,5
Sumber: Switzer (1980) dalam Richmond (1988)
Kandungan
(g(16 g N)-1)
7,9
9,1
0,9
12,7
4,8
4,1
5,3
4,6
2.2 Faktor-faktor Pertumbuhan Spirulina
Pertumbuhan alga dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya
ukuran sel atau bertambahnya jumlah sel. Pertumbuhan ini dapat dilihat dari
semakin meningkatnya tingkat kepadatan sel pada kultur. Lingkungan tempat
tumbuh Spirulina harus dapat memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan untuk
mendapatkan pertumbuhan Spirulina yang baik. Faktor lingkungan utama yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain adalah nutrien, cahaya, suhu,
pH dan agitasi (Richmond 1988).
6
2.2.1 Nutrien
Nutrien merupakan faktor yang sangat penting untuk pertumbuhan dan
komposisi biokimia mikroalga. Kondisi nutrien yang optimum sangat penting
untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur mikroalga yang tinggi disertai
kualitas biomasa yang baik. Konsentrasi nutrien yang rendah dapat menyebabkan
penurunan laju pertumbuhan, karena sel-sel mikroalga kekurangan makanan,
sedangkan konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan penurunan bahkan
kematian kultur karena perubahan sifat nutrien menjadi toksik bagi mikroalga
tersebut (Anonimous 1998)
Pertumbuhan Spirulina membutuhkan bermacam-macam nutrien yang
secara umum dibagi menjadi unsur makro dan unsur mikro. Unsur makro
merupakan nutrien yang dibutuhkan dalam jumlah besar, terdiri dari N, P, K, Na,
S, C, H, O, Mg, sedangkan unsur mikro merupakan nutrien yang dibutuhkan
dalam jumlah sedikit namun penting, terdiri dari Bo, Mo, Cu, Zn dan Co
(Fogg 1987). Penentuan komposisi unsur makro dan unsur mikro harus tepat,
karena apabila tidak tepat dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan
mikroalga (Fay 1983).
Nitrogen (N) merupakan komponen esensial dari struktur dan fungsional
protein pada sel alga. Secara umum, mikroalga memiliki kemampuan yang
terbatas untuk memproduksi material penyimpan nitrogen ketika tumbuh pada
kondisi nitrogen yang mencukupi kecuali cyanophycin dan phycocyanin
(Boussiba dan Richmond 1980). Mikroalga yang tumbuh pada kondisi nitrogen
terbatas akan mengalami degradasi fikobillisome. Fotosintesis terus berlanjut
meskipun dengan laju yang terus menurun ketika nitrogen dalam sel turun hingga
di bawah nilai ambang batasnya (Hu 2004).
Fosfor (P) adalah makro nutrient yang memegang peranan penting dalam
proses metabolisme seluler dengan membentuk berbagai struktur dan fungsi dari
komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroalga. Beberapa gejala dari kekurangan fosfor mirip dengan kultur dengan
nitrogen terbatas. Kandungan klorofil a cenderung mengalami penurunan
sedangkan kandungan karbohidrat akan mengalami peningkatan pada kondisi
penurunan senyawa fosfor (Healey 1982).
7
Natrium (Na+) dan Kalium (K+) adalah dua komponen yang tidak dapat
tergantikan pada media pertumbuhan Spirulina. Penghambatan terjadi ketika rasio
K+ : Na+ >5. Selama nilai dari rasio ini di bawah 5, pertumbuhan tidak mengalami
penghambatan meski dengan konsentrasi Na+ yang sangat tinggi seperti 18 g/L
(Richmond 1988).
2.2.2 Suhu
Suhu merupakan faktor pembatas yang sangat penting di dalam kultivasi
mikroalga baik indoor maupun outdoor (Richmond et al. 1992). Mikroalga,
seperti halnya mikroorganisme lain memiliki suhu optimum untuk tumbuh.
Peningkatan suhu akan merangsang aktivitas molekul sehingga laju difusi
meningkat, sedangkan penurunan suhu dapat menyebabkan penurunan laju
fotosintesis (Borowitzka dan Borowitzka1988). Penurunan suhu pertumbuhan di
bawah suhu optimalnya biasanya meningkatkan derajat tidak jenuh lipid di dalam
sistem membran. Meningkatnya stabilitas dan fluiditas dari membran sel,
khususnya pada membran tilakoid (melalui peningkatan sejumlah asam lemak
tidak jenuh di dalam membran lipid) melindungi perangkat fotosintesis dari fotoinhibisi pada suhu rendah (Nishida dan Murata 1996 dalam Hu 2004).
Spirulina termasuk ke dalam mikroalga mesofilik, yang dapat tumbuh
pada temperatur 20-40 oC dengan suhu optimum pertumbuhannya 25-33 oC. Suhu
minimum untuk pertumbuhannya adalah antara 18-20 oC. Umumnya kisaran
temperatur untuk pertumbuhan mikroalga hijau biru lebih besar dibandingkan
jenis mikroalga lainnya (Borowitzka dan Borowitzka1988).
2.2.3 Cahaya
Ketika nutrien dan suhu tidak lagi membatasi pertumbuhan Spirulina,
cahaya menjadi faktor dominan yang memengaruhi proses kultivasi. Cahaya
dibutuhkan oleh semua organisme fotosintetik dan apabila kekurangan maka
fotosintesis berlangsung tidak normal. Pencahayaan pada kultur dapat dipengaruhi
oleh tingkat intensitas pencahayaan, lamanya pencahayaan dan bergantung dari
kepadatan sel yang akan memengaruhi pembentukan bayangan sel itu sendiri
(Richmond 1988).
8
Pada skala laboratorium sumber pencahayaan berasal dari lampu TL (tube
light) yang digunakan sebagai penyuplai energi bagi mikroalga pada kultur. Untuk
media cair, intensitas cahaya dari lampu TL sebesar 2150-4300 lux. Intensitas
5400 lux digunakan untuk mempercepat pertumbuhan maksimum sedangkan
untuk stok kultur diperlukan intensitas 540-1100 lux (Vonshak 1985 diacu dalam
Diharmi 2001). Intensitas cahaya yang optimal untuk pertumbuhan Spirulina
berkisar antara 1500-3000 lux dan tidak melebihi 4000 lux untuk menghindari
foto inhibisi (Chen et al. 1996).
2.2.4 Nilai pH dan Agitasi
Penentuan nilai pH media tumbuh sangatlah penting untuk pertumbuhan
Spirulina sp. Nilai pH merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan
Spirulina yang dapat menentukan kemampuan biologi mikroalga dalam
memanfaatkan unsur hara (Fogg dan Thake 1987). Besarnya nilai pH pada media
pertumbuhan Spirulina umumnya antara 8-11, namun ada beberapa jenis
Spirulina yang dapat bertahan hidup pada lingkungan dengan pH mendekati
7 atau di atas 11 (Richmond 1988).
Agitasi atau proses pengadukan merupakan faktor yang penting dalam
mengoptimalkan proses pertumbuhan Spirulina. Agitasi dilakukan untuk menjaga
kelarutan CO2, meratakan penyebaran nutrien dan cahaya serta mencegah
pengendapan sel-sel alga (Fogg dan Thake 1987). Salah satu cara agitasi yang
termudah dan efektif adalah dengan aerasi, yaitu dengan memberikan udara ke
dalam media tumbuh (Umebayashi 1975).
2.3 Kultivasi Spirulina
Kultivasi atau produksi Spirulina pada dasarnya meliputi penumbuhan
ganggang (kultur), pemanenan, pencucian, pengeringan dan penyimpanan produk
(Angka dan Suhartono 2000). Faktor lingkungan yang berpengaruh utama pada
kultivasi Spirulina adalah nutrien, suhu, dan cahaya (Richmond 1988).
Berdasarkan hasil penelitian Arylza (2005), waktu pertumbuhan optimum
mikroalga Spirulina platensis untuk menghasilkan pigmen fikosianin adalah
28 hari. Pertumbuhan sel akan ditandai dengan bertambah pekatnya warna hijau
kultur pada media dan bertambah tingginya nilai absorbansi.
9
Alkali tinggi merupakan hal penting dalam pertumbuhan Spirulina dimana
dapat diwakili oleh pH optimum pertumbuhan 8,3-11,0. Spirulina dapat
mentoleransi perubahan pH namun kultur akan cepat memburuk jika perubahan
nilai pH terjadi secara tiba-tiba. Hal itu dapat terjadi jika media tidak diberi
larutan penyangga dengan baik. Larutan penyangga yang baik pada media tumbuh
adalah 0,2 M NaHCO3 (Zarrouk 1966 diacu dalam Richmond 1988).
Fikosianin juga dapat dikatakan sebagai senyawa penyimpan nitrogen
sejak diketahui bahwa konsentrasi fikosianin tertinggi didapat ketika Spirulina
platensis dikultivasi pada konsentrasi nitrogen yang tinggi (Boussiba dan
Richmond 1980 diacu dalam Richmond 1988). Sumber nitrogen yang utama
berupa ion nitrat dapat digantikan oleh ion amonium yang berasal dari urea
(Vonshak 1988 diacu dalam Diharmi 2001). Nitrat biasa digunakan sebagai
sumber nitrogen pada kultivasi Spirulina sp. Namun demikian Stanca dan
Popovici (1996) mendemonstrasikan penggunaan urea sebagai sumber nitrogen
untuk kultivasi Spirulina platensis menyebabkan peningkatan produksi biomasa
sel dan juga kandungan klorofil. Hal ini disebabkan karena penangkapan urea
menyediakan perolehan energi karena urea secara spontan terhidrolisis menjadi
ammonium di dalam media alkali dan mudah diasimilasi oleh Spirulina (Danesi et
al. 2002). Secara umum, urutan kesukaan dari komponen bernitrogen bagi
cyanobakteria dan alga lainya yaitu ammonium> nitrat atau urea > komponen
organik lainnya (Shehawi dan Klener 2001 diacu dalam Choi et al. 2003).
Spirulina merupakan alga mesofilik.
Mikroorganisme mesofilik dapat
tumbuh optimal pada temperatur antara 35-40 °C. Kultur Spirulina di
laboratorium memiliki suhu optimum pertumbuhannya antara 35-37 °C. Suhu
minimum berkisar antara 18-20 °C (Richmond et al. 1980 diacu dalam Richmond
1988).
Ukuran Spirulina cukup besar, sehingga dapat dipisahkan dari medium
melalui filtrasi. Di negara berkembang seperti Chad Afrika, pemisahan Spiruina
cukup dilakukan dengan kain penyaring sederhana (Angka dan Suhartono 2000).
Spirulina
segar
difiltrasi
dengan
filter
berukuran
20
μm
(Desmorieux dan Decaen 2006). Proses pengeringan pada produksi Spirulina
10
komersial merupakan pertimbangan ekonomi yang sangat penting dan dapat
mencpaai 30% dari biaya produksi.
Pengeringan dilakukan dengan aliran udara dan pemanasan yang
dirancang sedemikian rupa hingga suhu berkisar antara 40-60 °C dan dengan
kecepatan udara 1,9 hingga 3,8 m/s.
Suhu pengeringan di atas 60 °C akan
menyebabkan degradasi fikosianin dan timbulnya reaksi maillard.
Kondisi
pengeringan secara konfeksi pada lapisan tipis yang paling optimum dilakukan
pada kondisi suhu dibawah 40 °C dan kecepatan udara dibawah dan 2,5 m/s
(Desmorieux dan Decaen 2006). Pengeringan menggunakan cahaya matahari
langsung juga dapat dilakukan tetapi tidak direkomendasikan untuk produk bagi
konsumsi manusia selain karena dapat menimbulkan aroma yang tidak diinginkan
juga dapat meningkatkan jumlah kontaminasi bakteri. Pengeringan spray
memberikan hasil yang cukup memuaskan dan secara umum tidak berakibat
buruk terhadap kandungan gizi Spirulina.
Penyimpanan Spirulina dilakukan
dalam keadaan kering karena Spirulina kering tidak mudah terfermentasi (Angka
dan Suhartono 2000).
2.4 Biopigmen Spirulina
Pigmen yang terdapat di dalam Spirulina dikelompokkan menjadi tiga
kelas: (1) klorofil a terdiri dari 1,7% dari berat sel, (2) karotenoid dan xantofil
yang berkisar antara 0,5% berat sel, (3) fikobiliprotein yaitu fikosianin dan
allofikosianin yang secara normal terdiri dari 20% protein seluler dan secara
kuantitatif
merupakan
pigmen
yang
paling
dominan
pada
Spirulina
(Richmond 1988).
Keberadaan fikosianin ini adalah sebagai komponen penyimpan nitrogen
pada Spirulina. Ketika ketersedian nitrogen di dalam media menurun atau secara
keseluruhan media pertumbuhan kehilangan nitrogen, maka fikosianin mengalami
penurunan dan penurunan jumlah ini berkaitan dengan meningkatknya aktivitas
protease yang bertindak dalam purifikasi c-fikosianin (Richmond 1988).
Klorofil a merupakan pigmen fotosintesis mikroalga Spirulina terletak
pada tilakoid tunggal yang tersebar di dalam kromoplasma. Pada permukaan
tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari
fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga melindungi
11
pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi.
Lipofilik pigmen seperti klorofil dan karoten terkandung sebesar 5% dari biomasa
kering. Secara umum, bentuk pigmen pada chlorophyceace serupa dengan yang
ditemukan pada tanaman tingkat tinggi. Cyanobacteria tidak mengandung klorofil
b. Degradasi komponen klorofil seperti phaeophorbide a dapat menyebabkan
iritasi kulit pada manusia. Degradasi tersebut terjadi karena pemindahan
magnesium dan pembelahan enzimatis phytol ester oleh chlorophyllase. Perlakuan
pemanasan selama 3 menit pada suhu 100 oC dibutuhkan untuk menginaktivasi
enzim chlorophyllase (Richmond 1988).
Spirulina adalah salah satu mikroalga penghasil fikosianin yang relatif
cepat bereproduksi dan mudah dalam sistem pemanenannya.
Jenis ini hidup
dalam lingkungan yang sangat basa (pH 8-11) dengan kandungan senyawasenyawa karbonat-bikarbonat yang tinggi, memerlukan cahaya dan CO2 untuk
fotosintesisnya. Oksigen yang dihasilkan dari fotosintesis dapat meningkatkan
kandungan O2 dalam medium pertumbuhannya. Unsur nitrogen harus dipasok
karena mikroalga ini tidak dapat mengkonsumsinya dari udara dan jika kondisi
pertumbuhan sesuai, biomasa kering Spirulina dapat mencapai 60-70 ton/hektar
kolam (Tri-Panji et. al. 1996).
Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi saat ini menyimpulkan
Spirulina selain digunakan sebagai sumber pangan juga diketahui memiliki
pengaruh yang baik pada sistem kekebalan. Spirulina banyak mengandung
senyawa kimia yang mampu merangsang pembentukan sel darah merah dan darah
putih yang berperan penting pada sistem kekebalan tubuh.
Senyawa kimia
tersebut diketahui berupa pigmen biru gelap, fikosianin (Kozlenko dan Henson
1998; Weil 2000 diacu dalam Arylza 2005).
Menurut penelitian Boussiba dan Richmond (1980), diketahui bahwa
biomasaa sel Spirulina akan jauh lebih mudah larut dalam pelarut polar seperti
pada air dan buffer bila dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Besar maupun
kecilnya keberadaan fikosianin yang terkandung dalam biomasa sel tergantung
banyak sedikitnya suplai nitrogen yang dikonsumsi oleh Spirulina.
12
2.5 Antioksidan
Antioksidan dapat diartikan sebagai komponen yang mampu melawan
proses oksidasi. Antioksidan berfungsi untuk melindungi lemak dari peroksidasi
oleh radikal bebas. Antioksidan dapat bekerja secara efektif karena antioksidan
mampu mendonorkan sebuah elektron kepada radikal bebas. Apabila radikal
bebas telah mendapatkan elektron dari antioksidan maka radikal bebas akan
kehilangan kemampuannya untuk menyerang sel dan rantai reaksi oksidasi akan
terputus. Setelah mendonorkan sebuah elektronnya, antioksidan akan berubah
menjadi radikal bebas. Akan tetapi dalam fase ini antioksidan tidak berbahaya
karena antioksidan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan perubahan elektron
tanpa berubah menjadi reaktif (Dekkers et al. 1996 diacu dalam Helwig 2008).
Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan primer (chainbreaking antioxidant) dan antioksidan sekunder (preventive antioxidant).
Antioksidan primer dapat bereaksi dengan radikal lipid dan mengubahnya menjadi
bentuk yang lebih stabil. Sebuah senyawa dapat disebut sebagai senyawa
antioksidan primer apabila senyawa tersebut dapat mendonorkan atom
hidrogennya dengan cepat ke radikal lipid dan radikal antioksidan yang dihasilkan
lebih stabil dari radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih
stabil (Gordon 1990). Senyawa yang termasuk dalam kelompok antioksidan
primer adalah vitamin E (tokoferol), vitamin C (asam askorbat), β-karoten, dan
sistein (Taher 2003).
Antioksidan sekunder berfungsi sebagai antioksidan pencegah yaitu
menurunkan kecepatan inisiasi dengan berbagai mekanisme, seperti melalui
pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen dan penguraian hidroperoksida
menjadi produk-produk nonradikal. Contoh antioksidan sekunder antara lain
turunan-turunan asam fosfat, asam askorbat, senyawa karoten, sterol, fosfolipid
dan produk-produk reaksi Maillard (Gordon 1990).
Pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama yaitu
mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugusan hidroksi atau gugusan
amino. Penggolongan antioksidan berdasarkan strukturnya (Ketaren 1986) adalah:
13
1 Golongan fenol
Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini biasanya mempunyai
intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna dan banyak
digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian
besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan
sintetis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak.
Beberapa contoh antioksidan yang temasuk golongan ini antara lain: hidrokuinon,
gossipol, pyrogallol, cathecol, resorsinol dan eugenol. Berdasarkan aktivitas dan
efisiensi dalam menghambat proses oksidasi, maka urutan efisiensi antioksidan
golongan fenol adalah pirogalol > hidrokuinon > katekol > eugenol > timol, αnafatol, floroglusinol, resorsinol, dan fenol. Persenyawaan eresol (orto > para >
meta) dan mono-nitro fenol lebih aktif dari fenol.
2 Golongan amin
Antioksidan yang mengandung gugus amino atau diamino yang terikat
pada cincin benzena biasanya mempunyai potensi tinggi sebagai antioksidan,
namun beracun dan biasanya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi
atau bereaksi dengan ion logam, dan umumnya stabil terhadap panas serta
ekstraksi dengan kaustik. Antioksidan yang termasuk golongan amin banyak
digunakan dalam industri non pangan, terutama pada industri karet. Beberapa
contoh antioksidan ini adalah: N, N’ difenil p-fenilene diamin, difenilhidrazin,
difenilguanidine dan difenil amin.
3 Golongan amino-fenol
Antioksidan golongan ini biasanya mengandung gugusan fenolat dan
amino yang merupakan gugus fungsional penyebab aktivitas antioksidan.
Golongan persenyawaan aminofenol ini banyak digunakan dalam industri
petroleum untuk mencegah terbentuknya gum dalam gasoline. Contoh dari
antioksidan ini yaitu N-butil-p-amino-fenol dan N-sikloheksil-p-amino-fenol.
Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan
reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan
oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari
antioksidan; 2) pelepasan elektron dari antioksidan; 3) adisi lemak ke dalam
14
cincin aroomatik padaa antioksidaan; dan 4) pembentukann senyawa kompleks antara
a
lemak dann cincin aromatik
a
daari antioksidan. Tidakk semua anntioksidan dapat
digunakann untuk tuujuan bahann pangan. Antioksidaan yang ddigunakan harus
memenuhii persyarataan tertentu, yaitu
y
: 1) tid
dak beracunn dan tidak mempunyaii efek
fisiologis; 2) tidak menimbulka
m
an flavor yang
y
tidak enak,
e
rasa dan warna pada
lemak atauu bahan panngan; 3) larrut sempurn
na dalam miinyak atau llemak; 4) efektif
e
dalam juumlah yangg relatif kecil
k
(men
nurut rekom
mendasi F
Food and Drug
Administraation dosis yang diizinnkan dalam bahan adallah 0,01-0,1%); dan 5) tidak
mahal sertta selalu terrsedia (Ketaaren 1986).
2.6 Pengu
ujian Aktivvitas Atiok
ksidan dengan Metod
de DPPH (1,1-diphen
nyl-2picrylh
hydrazil )
Akktivitas antiioksidan suaatu bahan dapat
d
diukuur dengan bberbagai meetode.
Prinsip dasar penguukuran aktiivitas antio
oksidan adaalah mengeevaluasi ad
danya
aktivitas penghambat
p
tan proses oksidasi oleeh senyawaa antioksidaan yang terrdapat
dalam bahhan pangann atau eksttrak bahan alam (Aryyudhani 20007). Salah
h satu
metode yaang sering digunakann untuk meengetahui aktivitas anttioksidan adalah
a
dengan DPPH (1,1-ddiphenyl-2-ppicrylhydrazyl). Senyaawa DPPH (1,1-diphen
nyl-2picrylhydrrazyl) adalaah senyawaa radikal beebas yang stabil yangg dapat berreaksi
dengan attom hidrogen yang beerasal dari suatu antiooksidan meembentuk DPPH
D
tereduksi (Simanjunttak et al. 2000
2
diacu
u dalam Yuulia 2007). Kelebihan
n dari
metode DP
PPH adalahh sederhana, mudah, ceepat dan pekka, serta hannya memerlukan
sedikit sam
mpel (Bloiss 1958 diaccu dalam Aryudhani
A
20007). Strukktur moleku
ul dari
DPPH (M
Molyneux 2004) dapat dilihat
d
pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur molekul
m
DP
PPH
15
Metode DPPH merupakan model radikal lipofilik. Rantai reaksi radikal
lipofilik diinisiasi oleh autooksidasi lemak. Aktivitas penangkapan radikal bebas
dari ekstrak kasar tumbuhan dideterminasi dari hasil reduksi melalui absorbansi
pada panjang gelombang 517 nm sebagaimana penangkapan radikal bebas DPPH
yang bersifat stabil. Pengukuran kuantitatif terhadap aktivitas antioksidan suatu
bahan dapat diketahui dari terjadinya peluruhan warna ungu bahan DPPH
(Gupta et al. 2003 diacu dalam Aryudhani 2007). Jika larutan DPPH ditambahkan
pada bahan yang mengandung antioksidan, intensitas warna larutan DPPH akan
menurun sesuai dengan konsentrasi dan daya hambat bahan yang mengandung
antioksidan (Munifah 2007). Reaksi pengujian aktivitas antioksidan dengan
DPPH dapat dilhat pada Gambar 3. Parameter yang digunakan untuk
menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah EC50 (efficient
concentration) atau biasa disebut dengan IC50 (inhibition concentration). IC50
merupakan konsentrasi larutan sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap
aktivitas DPPH sebesar 50% (Molyneux 2004).
Gambar 3 Reaksi pengujian aktivitas antioksidan dengan DPPH
Download