BAB V KESIMPULAN Tidak dapat dipungkiri, setelah dianutnya gagasan hak asasi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masyarakat internasional sejak saat itu telah memiliki satu standar bersama dalam melakukan hubungan internasional satu sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana masyarakat internasional melakukan interaksi, namun juga memberi dampak yang cukup signifikan dalam segala hal. Salah satu dampaknya mengenai kedudukan hukuman mati yang kini masih menjadi kebijakan nasional beberapa warga internasional. Mencuatnya hak asasi manusia sebagai standarisasi yang diimani mayoritas warga internasional dewasa ini, pada akhirnya semakin menguatkan wacana penghapusan hukuman mati. Seperti yang diungkap Forsythe, bahwa pandangan mengenai hak asasi manusia timbul dari tiga orientasi umum filosofis, yaitu, konservatisme, liberalisme, dan komunalisme. Namun, terlepas dari perdebatan pandangan hak asasi mana yang dianut dunia internasional. Pada hakikatnya, esensi ajaran hak asasi dewasa ini mengacu pada satu kata kunci “kemanusiaan”. Pengakuan terhadap kata kunci ini adalah pengakuan terhadap norma dasar moral universal yang mendasari norma-norma lain, baik di bidang etika maupun hukum. Implikasi dari pengakuan ini jelas, bahwa prinsip ini mengubah segala ketetapan lama yang sama sekali tidak mementingkan kata kunci hak asasi ini. Terjadi perubahan 120 121 paradigma (shifting paradigm) dalam masyarakat internasional, jika dulunya individu bukan merupakan subjek hukum, kini, karena kata kunci “kemanusiaan” individu juga telah menjadi subjek hukum internasional. Berkaitan dengan posisi ini, upaya penghapusan hukuman mati pada akhirnya sering ditemui, karena sejalan dengan dinamika hukum internasional yang lagi-lagi penulis katakan telah memberikan posisi yang teramat sangat penting terhadap hak asasi. Tuntutan penghapusan hukuman mati, sebagai sebuah isu telah menjadi sebuah perjuangan tanpa henti dari para aktivis hak asasi manusia. Dalam konteks internasional, Amnesty Internasional merupakan satu contoh organisasi yang paling gigih untuk menghapuskan hukuman ini. Sampai saat ini berdasarkan laporan Amnesty Internasional, penghapusan hukuman mati di dunia telah dilakukan oleh 129 negara yang terbagi ke dalam tiga kategori yakni: 88 negara telah menghapuskan hukuman mati secara menyeluruh, 11 negara menghapuskan secara sebagian dan tetap mempertahankannya terhadap kejahatan-kejahatan tertentu seperti kejahatan di kala perang, dan 30 negara dalam kurun 10 tahun belakangan tidak mempraktekan hukuman mati namun tetap mempertahankannya di dalam sistem pemidanannya. Sedangkan untuk negaranegara yang masih mempraktekan hukuman mati tersisa 68 negara. Pada dasarnya isu sentral dari hukuman mati tidak terlepas dari pernyataan Beccaria dalam bukunya On Crime and Punishment yang mempertanyakan hak negara untuk mencabut nyawa seorang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan gagasan hak asasi manusia. Negara dalam perspektif hak asasi manusia diposisikan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan bukan sebaliknya, justru 122 negara yang melakukan pelanggaran hak asasi ini. Gagasan perlindungan hak asasi manusia dari negara terhadap warga negaranya, dikonstruksikan berdasarkan konsep hubungan kontraktual antara negara dengan masyarakatnya di mana penguasa (negara) diberikan kewenangan untuk mengatur serta membatasi hak relatif dari individu anggota masyarakat, namun negara tidak memiliki kewenangan atas hak asasi dari individu masyarakat karena tidak pernah diserahkan oleh masyarakat kepada negara. Oleh karenanya, terdapat hak-hak yang tetap melekat pada individu anggota masyarakat yang berlaku universal dan tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights) dan negara harus menghormati serta melindunginya. Hak hidup dalam perspektif ini merupakan bagian hak-hak asasi yang tidak diserahkan kepada negara, negara tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak tersebut. Namun demikian, di beberapa negara, hak hidup ini menjadi relatif dikarenakan pandangan bahwa negara mencabut hak hidup justru untuk mempertahankan hak-hak asasi anggota masyarakat lainnya. Hal ini tidak terlepas dari fungsi perlindungan negara terhadap hak warga negara baik yang bersifat relatif maupun asasi, fungsi perlindungan negara secara operasional berlaku ketika ada anggota masyarakat yang melanggar hak anggota masyarakat lainnya. Setiap tindakan yang melanggar hak individu masyarakat akan mendapat pembalasan dari negara, termasuk di dalam pembalasan tersebut ialah hukuman mati. Munculnya hak asasi manusia dalam pentas internasional tentu tidak datang secara tiba-tiba. Hak asasi ini muncul melalui suatu proses yang relatif panjang dan lama. Sekali lagi, terlepas dari falsafah hak asasi mana yang diimani 123 dunia internasional, secara normatif, kedudukan pribadi manusia dengan segala hak-haknya yang paling asasi telah memperoleh pengakuan. Sehingga secara singkat dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia telah mencatat kemenangan historis atas bentuk-bentuk dominasi negara terhadap individu. Hal ini dapat dikatakan sebagai pengaruh awal yang berhasil ditancapkan hak asasi manusai di dalam hubungan internasional. Hak asasi manusia telah memberikan pancaran legitimasi pada kehidupan umat manusia sedemikian rupa, sehingga hukum, undang-undang, dan politik tampak absah ketika semua itu berlandaskan hak-hak asasi. Sekilas mengacu pada fakta ini, ada kemungkinan besar hak asasi manusia akan mampu memberikan pengaruh sehingga dihapuskannya hukuman mati. Apakah demikian adanya? Pada kenyataannya hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Indonesia sebagai salah satu contoh dalam hal ini. Indonesia bukan tidak terpengaruh untuk menghapus hukuman matinya disebabkan mencuatnya hak asasi, namun faktor politik, sosial, dan budaya negara ini lebih mengharuskannya melakukan hukuman mati. Perlu diakui sebagai sebuah hak asasi, hak untuk hidup telah memiliki dasar hukum yang kuat dan berlaku di dalam negara Indonesia, namun demikian persoalan hak hidup jika dipersandingkan dalam konteks penghapusan hukuman mati merupakan persoalan yang rumit dan kompleks bagi Indonesia karena lagilagi hukuman mati sangat terkait dengan doktrin politik, sosial, keagamaan dan dimensi budaya Indonesia. Sebagai kesimpulan, penulis berpendapat bahwa pengaruh hak asasi manusia terhadap eksistensi hukuman mati sampai detik ini baru sampai pada 124 tahap kontroversi atau dalam istilah Martha Finnemore sebagai tahap norm cascade di mana negara-negara sebagai penerima pengaruh masih mempertimbangakn babat-bibit-bobot hak asasi. Kemungkinan besar pudarnya hukuman mati (terhapuskannya secara total oleh seluruh dunia) dapat terjadi seiring dengan terus berkembangnya kesadaran sejarah masyarakat internasional untuk memaknai hak asasi sebagai kata kunci yang tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun. Sebagai saran, menempatkan hak hidup dalam konteks negara yang belum mau menghapus hukuman matinya (seperti Indonesia), maka tidak harus dipandang secara absolut dengan menyatakan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (hak hidup) internasional dan karenanya harus dihapuskan. Namun harus dikaitkan dengan dimensi politik, sosial, dan budaya masyarakat yang ada. Dalam posisi seperti ini, maka sikap yang dapat diambil adalah dengan menyatakan bahwa hak hidup dapat dicabut oleh negara selama si terhukum mati telah melalui sebuah proses hukum yang adil dan berimbang. Hukuman selayaknya tidak diberikan melebihi kesalahan/kerusakan yang telah diperbuat oleh terhukum. Oleh karenanya, membatasi hukuman mati hanya untuk menghukum kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap luar biasa (extra ordinary crimes), merupakan sebuah pilihan atau jawaban yang agak tepat menanggapi pengaruh hak asasi manusia yang menginternasional untuk saat ini sambil menunggu kesadaran sejarah benar-benar terjadi.. Akhirnya, dapat dikatakan, bahwa pengaruh hak asasi telah membuat dunia internasional kini ramai menanggalkan kebijakan hukuman mati. Akan 125 tetapi pengaruh ini masih sebatas imbauan solidaritas yang tidak memberikan sanksi apa-apa. Jika melihat masih terdapatnya pihak-pihak yang tidak begitu antusias menerima hak asasi manusia sebagai standarisasi mereka dalam menyelesaikan masalah utamanya yang berkaitan dengan hukuman mati, maka menurut hemat penulis membangkitkan kesadaran sejarah untuk mewujudkan penghapusan hukuman mati ini adalah solusi yang untuk saat ini paling rasional untuk dilakukan. Mungkin untuk saat ini, kesadaran sejarah ini belum menyentuh seluruh kontestan internasional, atau mungkin telah menyentuh namun para kontestan ini belum mau memahami kesadaran sejarah akan hak asasi ini karena masih terbentur kendala politik, sosial, dan budaya masing-masing kontestan internasional.