Studi Politik Edisi 1, Vol. I, N0.1, 2010 Intelektual, Modal dan Negara di Indonesia: Faktor-Faktor yang Menkondisikan dan Implikasinya M. Fajar Penulis adalah staf pada Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) ', Abstract "Reformesi" era, there are hvo factors determine how relations omong intellectual, capital and stqte are formed. Structurally, the first factor is about state's seeking effort of the drive to loo(< for. political legitimacy tion by the state, and the second is aboutthe influence of neoliberqlism. Both coses show us thatit cqnbe traced on relations qmong between Bokrie Group-Freedom Institute-State and relations between Asian Agri-university basedcollege intellectuql. First, intellectual group (community) are affirmating bourgeoisie behaviour, with liberqlism as their medium. The second case still show us that intellectuql community are supporting claims of truth in the low fteld thr ough r es ear ch pr oj ects. ln Indonesia's lntelle ctual, C apital, State, N e olib er alism, C apitalism. Dalam pengalaman relasi intelektual, modal dan negara pada era Reformasi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi bagaimana relasi tersebut terbentuk. Secara struktural, faktor pertar-na ialah dorongan pencarian legitimasi politik oleh negara dan faktor kedua, pengaruh neo-liberalisme. Dua kasus yang menunjukkan relasi tersebut dapat dilacak pada kasus Kelompok Bakrie-Freedom Institute-negara dan relasi Asian Agri-intelektual kampus. Pada kasus pertama, kelompok intelektual mengafirmasi perilaku kelas borjuis dengan perantara ideologi liberalisme. Sementara kasus kedua menunjukkan kelompok intelektual yang mendukung klaim-klaim kebenaran dalam ranah hukum lewat kerjakerja penelitian. Kata inteleletuql, modal, negqr a, neo -liber qlisme, kapitalisme e Baru, dimana poHtik terbuka lebih luas unfuk masyarakat, yakni fase'Transisi demokrasi'. Dua halyangperlu ditekankan di sini. Pertama, "transisi" tidak berarti dengan sendirinya seluruh sifat dan kondisi yang membentuk otoritarianisme Orde Baru hilang. Mengkoreksi dilrtum Marx 'all that solids melts into the air", peralihan ke era demolrrasi justru masih a-, I meninggalkan watak otoritariannya. Kedua, kondisi otoritarian yang masih bertahan ini ternyata mempengaruhi kelompok-kelompok (ama maupun baru) yang berada di dalam era reformasi dengan dampak yang berbeda-beda. Salah satu yang merasakan dampaknya ialah kelompok intelektual.' Sudah sering I Daoiel Dhfidae dengan menggunakan istilah cendekian-an. mendefinisikannya sebagai "...senan- M. Faiar, Intelektud. \todel dm \egara dibicarakan bahwa intelektual pada masa Orde Baru meruPakan sebuah Posisi sosial yang ditempa oleh kekuatan negara dan modal. Beberapa studi terkemuka menunjukkan hal tersebut.' Intinya, mereka menyimpulkan kalau intelektual Indonesia masa Orde Baru sulit lepas dari modal. Modal kerja akademis bahkan afiliasi politiknya. ' Sebenarnya, kaum intelektual dapat dan agen yang Penulis adoPsi dari Menurutnya, Archer.' pendapat Margaret struktur dan agen harus dianalisis dalam tiga momen utama Yang bersilangan dengan variabel ruang dan u'aktu. Pertama, momen dimana strulrtur dan kultur mengkondisikan tindakan agen (structural conditioning) . Kedua, momen dimana pengkondisian itu melahirkan jenis interaksi tertentu antar-agen (sociocultural interaction). Terakhir, output interaksi antar-agen berupa perluasan struktural ktructurql elaboration) dalam bentuk reproduksi atau transformasi struktural. Sejalan dengan Penjelasan Archer, bagian pertama tulisan ini akan membahas pengkondisian historis-struktural yang terdiri dari faktor pencarian legitimasi oleh negara dan Pengaruh neo- liberalisme. Bagian kedua, penulis akan modal di Indonesia era Reformasi. Contoh akan diambil dari kasu s Freedom Institute (FD dan perseteruan Tempo -PT AsianAgri yang melibatkan lembaga penelitian. Dua kasus ini dipilih karena rentang pengaruh modal yang berbeda. Satu kasus melintas wilayah negara, bisnis dan masyarakat sipil (kasu s Freedom Institute), sementara kasus lainnya mencakup wilayah bisnis dan universitas, suatu wilayah yang kerap diasosiasikan sebagai tempat intelektual bermukim. Keduanya memiliki potensi munculnya kontradiksi peranan intelektual dan hubungannya dengan akumulasi modal. Kerangka penulisan tulisan ini dibagi berdasarkan logika hubungan struktur tiasa terlibat di dalam apa yang disebut sebagai speech 2 Dhukidu. menjelaskan relasi ini delga-n cukup baik dalam C ende k iaw an dan Ke kaasaan. Ibid' menggambarkan kasus FI dan Asian Agri, serta peranan intelektuai di dalamnva' Bagian ketiga adalah penelusuran penulis terhadap dampak kasus FI dan -'a<!ar Agri terhadap strukfur modai-inie^ekua^Terakhir, bagian kesimPulan - Pengkondisian Historis-S tmkrural A.Pencarian Legitimasi Politik Masih terbukanya potensi dominasi modal terhadap kelompok intelektual bukanlah berlangsung tanpa sebab. Terdapat beberapa faktor historis- Studi Polirik Edisi 1, Vol. I, No.t, 2010 struktural yang mempengaruhinya. Pada era Orde Baru, modal berkembang mengikuti jalur yang dibuat oleh negara. Hal ini bukanlah tanpa alasan. Saat kolonialisme tidak memproduksi kelas borjuasi yang tangguh, maka inisiatif pembangunan terpaksa diambil alih oleh negara.n Kegagalan kebijakan ekonomi Orde Lama, yang ditandai dengan melonjaknya angka inflasi (hiperinflasi) dan infrastruktur yang minim, mengakibatkan negara Orde Baru mengambil inisiatif untuk memegang kendali atas pembangunan. Setelah percobaan kudeta 196b. pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (pKD, pelarangan 4 Untuk ideologi Marxisme. penjelasan klasik, terutama dalam konteks fuia Tenggara, lihat yoshihara Kurrio. (1??1. Knpitalisrne Sernu Asia Tenggara. [akarta: LP3ES). Hlm 3-5. negara-negara Komunisme dan Leninisme; kebijakan pembangunan Indonesia berbalik arah menuju ideologi liberalisme. Berbeda dari rezim Orde Lama yang berkiblat pada bantuan ekonomi Uni Soviet, kali ini pembangunan hampir sepenuhnya mengandalkan bantuan dari negaranegara Blok Barat.u Tidak hanva dari segi modal, tetapi juga melalui pengaruh pemikiran modernisasi dan liberalisme M.Fajag Intelektual, llodal dan \egara yang diadopsi oleh rezim pembangunan Orde Baru.u Dalam proses demikian, negara memerlukan segala dukungan politik untuk melindungi pembangunan ekonomi. Kerap disinggung kalau proses ini menjadikan ekonomi sebagai panglima dan politik sebagai persoalan sekunder. Maksudnya, politik dianggap tidak penting jika inisiatif politik datang dari masyarakat. Hanya partisipasi yang menguntungkan atau sejalan dengan pembangunan-lah yang diizinkan. Salah satu contohnya adalah upaya penyederhanaan partai politik (Golkar, PPP dan PDI) atau strategi korporatisme untuk merangkul sebanyak mungkin kelompok-kelompok di masyarakat sebagai bagian dari negara, termasuk kelompok intelektual. Secara khusus, manifestasi strategi korporatisme' Orde Baru pada kelompok 6 Herbert Feith. Reprusiue-Dealopnrentalist Regimes in Asia: Old Strengtbs, New Vulnerabilities. Dalam PRISMA No 19, Desember 1980 7 Banding'kan misalnya dengan penjelasan Huntington mengenai absorbsi kekuatan politik. Ia mengemukakannya dalam kerangka relasi sistem politik dengan kekuatan politik eksternal. Relasi tersebut menentukan otonom-tidaknya suatu sistem politik. Pada sistem politik yang maju, derajat otonomi lebih tinggi daripada sistem politik pada politik yang lebih maju mampu mengurangi atau bahkan meniadakan efek penggunaan kekerasan dalam sistem. Huntington neg-ara berkembang karena sistem melanjutkan dengan mengkaitkannya pada perubahan sosial. Saat sistem politik berada di tengah perubahan, maka terdapat pula kecenderungan munculnya kelompok-kelompok baru yang berpartisipasi dalam politik. Saat suatu sistem politik tidak memiliki otonomi, kelompok ini masuk ke dalam proses politik tanpa mengikuti aturan dalam sistem tersebut. Dalam kasus Indonesia bukan hal ini yang terjadi karena bukan semata-mata pengaruh dari sistem politik, tetapi perkembangan ekonomilah yang menarik kekuatan politik untuk masuk ke dalam negata. Efek penguatan sistem politik melalui penrbahan di sistem ekonomi iustru meniadi fakor penarik potel memperebutkan posisi di dalam negara. Untuk penjelasan mengenai pemikiran mengapa kekuatan Huntington dapat dilihat pada Samuel P Huntington. (197 5). Political Ord,er in Changing Societies. Bombay: Vakils, Feffer & Simons Private ltd. Hlm 22. intelektual transformasi intelektual menjadi teknokrat. Guna mendukung argumen ini, dapat diambil contoh kelompok Mafia Berkeley', sekelompok ekonom lulusan Universitas tserkeley yang menjadi penasihat ekonomi Soeharto dengan halauan utama ideologi liberalisme ekonomi. Keiompok ini mengikuti model pembangunan negara-negara Blok Barat dan mengacu kepada teori-teori modernisasi sepeni yang dikemukakan oleh Rostow.e Dalam model ini, perkembangan menuju masyarakat modern dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah modal. Vadasinr-a. pandangan ini juga menekankan perlunr-a mentalitas modern masyarakat ] ang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. adalah misalnya pengutamaan rasio da:: perhitungan dalam mengambil seijai tindakan. Pelaksanaan program pembanguna:l Orde Baru sangat terbanru dengar kenaikan harga minyak dunia pad.a periode I973-L982. Penl'ebab oa:-mengalirnya rejeki minyak ini berada o: Timur Tengah. Konflik antara Israel dan negara-negara Arab pada Perang Yomm Kippur berhasil menggalang solidaritas negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEC. Bentuk dari solidaritas 8 Otung-ot"ng yang termasuk generasi pertama kelompok ini adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, JB Sumarlin, Emil Salim dan Mohammad Sadli. Kelompok ini muncul sebagai konsekuensi kebij akan donor asing (Ford Foundation) di Indonesia pasca jatuhnya Soekarno untuk menyekolahkan mereka agar dapat menjadi tulang pungg-ung kebiiakan ekonomi pasca rezim Soekarno. Untuk penjelasan tentang kelompok Mafia Berkeley ini, lihat Alexander Irwan, "Institutions, Discourses and Conflicts in Economic Tltought," dalam Vedi Hadiz & Daniel Dhakidae. (2005). Social Indonesia. Singapore: ISEAS. Sciences and Power Hlm 42 -43 in . 9 Menurut Lwan, pembagian aliran pemikiran ekonomi ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana suatu pemikiran sudah sampai ke tahap intitusionalisasinya. Saat tahap ini sudah dicapai, maka pemikiran tersebut telah mencakup statusnya sebagai ide dan praktik sekaligus posisi strukturalnya. Lebih lengkapnya lihat Alexander Irwan. Ibid. HIm 51. Studi Politik Edisi t, Vol. I, N0.1, 2010 tersebut ialah mereka menaikkan harga minyak sehingga negara-negara pengimpor minyak rnengalami kesulitan. Bagi negara pengekspo4 konflik politik itu merupakan berkah. Sebagai salah satu negara pengekspor rninyak, Indonesia mengalami lonjakan penerirnaan nninyak yang cukup signifikan. Tahun lg70 trndonesia mengalami peningkatan ekspor minyak sebesar hampir 40% dan tahun 1975 hidrokarbon menyurnbang 70"h d,ari total ekspor Indonesia, dan puncaknya pada tahun 1981 saat kontribusinya mencapai hampir 80%. Angka perturnbuhan ekonorni trndonesia pun mencapai 7'/" dan hanya sekali mengalarni penurunan di bawah 6% dalam periode n967-1981.10 Membengkaknya kas negara pada periode boom minyak membuat negara begitu leluasa berinvestasi di segala bidang, yang berarti rnenopang ideologi pembangunanisme, sernbari tetap mempertahankan represi terhadap oposisi politik." Dalam kondisi ini, peranan teknokrat liberal adalah membantu mengoperasionalkan ideologi liberalisme dan modernisasi dalam kebijakan pembangunan" Dalarn perjalanannya, para teknokrat liberal ini memiliki teknokrat Orde tsaru lainnya. Berdasarkan paham ekonominya, perseteruan itu timbul ke permukaan antara teknokrat liberal dengan teknokrat nasionalis'" yung perseteruan dengan faksi l0Philip Barnes. !!,:r9,. Hlm 20. l Ind.onesia: The political Economy of (Oxford: Oxford University Press, 1995). lHerbert Feith menyebutnya sebagai *rezim pembanzunan represif'. Lihat Herbert Feith. Repressit'e-Deit/optnentalist Regirues in Asia: Ot(l Stt'englts, l:eiL' Vuhrernltilities. Dalam PRISMA No 19, Desernber 1980. semakin mernperlihatkan pengaruhnya dalam rnenentukan kebi.jakan ekonomi nasional. Bila faksi teknokrat liberal berhasil mendorong liberalisasi secara luas" pada dekade 1g80-an akibat desakan penerimaan rninyak yang rnakin ntrenurun, faksi teknokrat nasionalis berusaha mernpertahankan intervensi negara lewat konsesi monopoli yang diberikan negara. Persaingan kedua faksi teknokrat ini pada akhirnya menghasilkan era keterbukaan yang secara prosedur bercorak liberal, tetapi dalarn praktiknya masih mengizinkan intervensi negara. Pada contoh ekstrimnya, karakter intervensionis justrul ditunggangi oleh kepentingan koruptif kroni-kroni dan lingkaran keluarga Soeharto.'* Apa yang dapat dikatakan dari berkumpulnya intelektual di sekitar negara adalah pembentukan pola dimana selain aparatus militer dan birokrasi yang menjaga halaman kekuasaan Orde Baru, kaurn teknokrat juga dibutuhkan untuk merubah sesuatu yang teoritis menjadi 13 ini dimulai dari tahun 19g3 gram seperti mobilisasi modal derhanaan sistem perpajakan impor terhadap 32eti:{i,'f,ff;, ltrnnt8, impor terhadap 548 jenis barang (1987), ;:j:f:i akses bebas terhadap kepemilikan asing (1987), kesempatan asing (1988), dan merger pe din Djafar. Re takaJaya,2006 l4Pitrto masuk bagi krom ke sektor bisniJdilakuk mempertahankan kontr terhadap restrukturisasi, sektor monopoli ti negara manufaktur dan proyek membentuk aliansi bisnis kapitalis Cina dan investor ur ke modal asing dan akan sektor perbankan s jangkauan bisnis mereka menyerahkamila pada mektrnisme pasar. Lihat Inlan. Op. cit. Hlm -i3-4-i. Alexander . Richard Robison & Vedi Power in Ind.onesia: Tbe Age of Marker. London: 3-7 4. il M.Fajag Intelektual, Modal dan Negara ft fl B. Pengaruh (Neo) Liberal Fengkondisian relasi intelektualmodal juga berhubungan dengan penganuh neo-liberal. Krisis finansial ketika itu (1998) mernperlernah posisi reztm terhadap oposisi politik dan segera rnengungkap realitas buruknya kinerja ekonomi rezirn" Pengelolaan pernbangunan yang buruk di masa Orde tsaru terasa efek sampingnya saat otoritas negara di tahun 1998 goyah oleh krisis. Di tengah-tengah krisis ekonomi, lembaga multitrateral t seperti IMF dan Bank Dunia mendesak diterapkannya agenda liberalisme sebagai resep mengatasi krisis ekonorni. Melalui Letter of Intent (I-oI) trndonesia diharuskan menerapkan program-progranl yang memaksa negara mengurangi intervensi pada kornoditas-komoditas vital. Hai ini dilakukan dengan mencabut subsidi dibeberapa sektor penting seperti ' Bahan Bakar Minyak @BM) dan , kebutuhan pokok. : Akselerasi agenda neo-liberal I di Indonesia berlangsung dengan menumpang pada kesepakatan . antara keduanya, program IMF dan , pemerintah Indonesia. Konsensus .: pefiamamunculdalarnpaketkebijakan I pertama pada bulan November 1997. Bentuk implementasi dari kebijakan .,,,1 ini adalah penutupan 16 bank swasta . I yangdinilai tidak mampu nxenghadapi badai krisis finansial. Konsensus j kedua muncul pada pertengahan teknis dan kemudian preskriptif.t5 Kedekatan antara intelektual dengan modal dan negara kemudian direplikasi dalam berbagai bentuk yang kemudian menjadi semacam praktik yang wajar dilakukan. Pembentukan kultur inilah yang masih bertahan sampai era Reformasi. iSlgnas Kleden, "Model Rasionalitas Teknokrasi", dilam Ignas Kleden. (1987). Sikap Iltniab dan Kritik Kebud,nyaan. J akarra: LP3ES. Hlm 101. bulan Januari 1998. Bentuk konkrit konsensus kedua adalah independensi yang lebih besar kepada Bank Indonesia (BI), penarikan privilise pajak terhadap proyek mobil nasional (rnobnas) milik anak dari Presiden Soeharto, yaitu Tommy Soeharto, penghilangan kartel semen, kertas dan kayu lapis, penarikan privilise kredit dan dukungan budget negara atas Industri Pener bangan dan Teknologi Negara (IPTI.{), penghilangan Studi Politik Edisi 1, Vol. I, No.l, 2010 larangan disektor ll n _L _ _ -.,_ tidak sebesar dua retait, penghilan;;; SebenornYa, demokroftsosl tidok sektor sebelummonopoli industri sepenuh nYa membeboskon mosyara- f,ya,, tetapi men- komoditi seperri to bulan Maret ori tekqnqn elit. Dolqm ber- jadi lima besar dari onloh, kekuoton politik don sektor yang paling banyak memberiru fposco Reformosi) ternyo- kan penerimaan mosih memainkctn perannyo ber- dari privatisasi." Iogiko potron-klien seperfi Hubungan konpodo sensus neo-liberal teriodi moso sebepy 1998. sempat terjadi perdebatan antara pemerintah dan IME Pemerintah menginginkan peranan Bulog sebagai pemberi subsidi pada barang kebutuhan pokok impor tetap dipertahankan. Menyetujui hal tersebut, IMF menukarnya dengan keharusan pemerintah untuk mendivestasikan s aham enam perusahaan milik negara, privatisasi tujuh perusahaan negara lainnya dan menghilangkan monopoli. Tiga konsensus ini kemudian menjadi dasar dari pengaruh neo-liberal di Indonesia era Reformasi. Khusus mengenai program privatisasi, beberapa kasus menunjukan kecende rungan yang mengarah pada pengorga nisasian negara neo-liberal. Hal itu dapat dilihat pada kasus privatisasi sektor-sektor vital perekonomian Indonesia. Sampai tahun 200I, selrtor perbankan merupakan penyumbang terbesar penerimaan privatisasi dengan jumlah Rp. 64.169 miliar dan total aset sebesar Rp. 475. 361 miliar. Sektor lain yang menyumbang cukup banyak terhadap privatisasi adalah energi. penerimaan dari sektor ini mencapai Rp. 33.491 miliar dengan total aset Rp 83.823 miliar. Sektor lainnya seperti telekomunikasi, penerbangan dan asuransi menyumbang di atas dengan demokratisasi adalah bahwa demokratisasi ternvata membawa konsekuensi tersembunyi. Disatu sisi, demokratisasi memang membuka lebih luas ruang-ruang partisipasi politik dibanding masa Orde Baru. Dulu kegiatan politik selalu berada dalam pengawasan aparatus negara. Sekarang, aktualisasi kepentingan dari kelompok-kelompok di masyarakat bebas untuk muncul. Namun, pada sisi yang lain, demokratisasi juga disertai oleh kepentingan neo-liberal yang berlangsung di sekitar lingkaran rezim demokrasi." Sebenarnya, demokratisasi tidak sepenuhnya membebaskan masyarakat sipil dari tekanan elit. Dalam berbagai contoh, kekuatan politik dan bisnis baru (pasca Reformasi) ternyata masih memainkan perannya berdasarkan logika patron-klien seperti halnya yang terjadi pada masa sebelumnya.ls perbedaannya, liberalisme saat ini sudah menvertakan kebebasan politik, disamping juga l TTotry Prasetianton o. Political Economy of Priaatisatiott of State-Owned Enterprises in Indoiesia. Dalam M Chatib Basri & Pierre Van Der Eng. (2004). Business in Indonesia: New Cballengu, Old Problems. pasir Panjang: ISEAS. IJlm 144.- l8Richard Robison. What Son and. Ne o - L ib era I A gend, as Kinnvall of Democraw? pred,atott, e s i a. D alam Catarini in In ion & Krisiina Jonsson. Q002). and. Democratization in Asia. Roudedge. Hlm 93. Globalization London & New York: lgPendapat ini dapat diwakili oleh studi Robison dan Hadiz. Lihat Richard Robison & Vedi R Hadiz. Reorganising Power in Indonesia. Bab 2. M. Fajar, Intelektual, Modal dan Negara liberalisasi ekonomi.'o Sebagai bahan pertimbangan, perlu diselidiki bahwa liberalisasi politik secara struktural telah membuka kesempatan sebuah kompetisi yang tidak seimbang antata aktor-aktor lama dan kelomPok-kelomPok Prodemokrasi sehingga memungkinkan "pembajakan" demokrasi." Hal Yang dikarenakan ketiadaan kekuatan politik pro-demokrasi yang menguasai negara sesaat setelhh Soeharto jatuh. Absennya kekuatan potitik pro-demokrasi yang menguasai negara berkontribusi terhadap kemunculan liberalisme politik yang memasukkan unsur kekuatan politik lama maupun pro-demokrasi secara bersamaan dalam sistem politik. Kondisi inilah yar'g juga menjadi latar belakang bagi kasus FI dan Asiqn Agri-lembaga penelitian. Freedom Institute (FI), KelomPok Bakrie dan Negara Secara singkat, FI meruPakan pertemuan kelompok intelektual dengan kelas borjuis. Yang pertama diwakili oleh kelompok intelektual "lingkaran Ohio"", 20Ktitik yang sama pernah terlontar saat periode liberalisasi di perten Bahkan pendapat itu d sendiri. sedangkan yang kedtla direpresentasikan oleh kelompok Bakrie. Secara singkat, kelahiran kelompok Bakrie dibidani oleh Achmad Bakrie pada tahun 1942 di Teluk Betung, Lampung. Awalnya mereka berkonsentrasi di sektor perkebunan. Dalam sejarah perkembangannya, unit bisnis mereka mengalami kemajuan pesat dan mencakup sektor Pertambangan, infrastruktur dan telekomunikasi. Kinerja kelompok ini sempat menurun, terutama akibat imbas krisis regional kawasan Asia Tenggara pada 1997. Seperti kebanyakan konglomerasi lainnya, kelompok Bakrie menumpuk hutang dalam jumlah besar. Tercatat sampai dengan tahun 2004, kelompok Bakrie masih memiliki hutang sejumlah US$ I miliar. Kondisi tersebut berbalik secara drastis pada tahun 2005. Dari kondisi berhutang, kelompok Bakrie membukukan keuntungan pada tahun yang sama sejumlah Rp.267 miliar dan Rp. 223 miliar secara berurutan." Pada saat yang sama, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Menteri Koordinator Perekonomian & Perindustrian Menko Ekuin) dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Pertama' Pada tahun 2001, FI terbentuk sebagai hasit pertemuan antara kelomPok Pansestu mengapa liberilisasi ini setengah", terutama pad Persamaannya dengan kalau selalu ranah zulasi Indonesia, lihat Mari Pangestu. Onll Hatf H"en'rted Deregulation Dalam Ia L Chalmers & Vedi Hadiz. (1997). The Politia in Indonesia: Conrcn Routledse. Kritik oolitik nlo-marxian I Hadiz.Ibid Bab 2. 2 1 Istilah " pembajakan demokrasi" dipopulerkan oleh lemb demokrasi alih oleh Lihat A.E rarg-umen bahwa keadaan diambil studi kelas dominan. ist et al' Q007). Meniadikan Demokrasi Bennakna: Masalah dan Pilihan di lidonuia. J akarta: DEMOS. 22Petryebotan lingkaran Hlm 86-87 . Ohio penulis adaptasi dari 23Bil1 Go..in. "Politics and Basiness Asia Times,22 juli 2006. Mix in Indonesia" Studi Politik Edisi 1, Vol. I, No.1, 2010 intelektual lingkaran Ohio dengan kelompok Bakrie. Relasi ini bisa disimpulkan sementara, yakni pada awal berdirinya, FI sangat tergantung dari keberadaan kelompok Bakrie. Semenjak awal berdirinya, FI melakukan sederet program yang berorientasi p ada penguatan diskursus liberalisme di ranah masyarakat sipil dan akademis. Hal ini tidak lepas dari orientasi intelektual para punggawanya. Promosi nilai-nilai demokrasi liberal dilakukan melalui kegiatan diskusi tema-tema aktual, penerbitan buku dan pemberian penghargaan terhadap pencapaian dalam bidang ilmu sosial maupun kesusasteraan."n Penghargaan itu mengambil nama Achmad Bakrie Award, merujuk pada pendiri kelompok Bakrie. Signifikansi relasi FI dengan kelompok Bakrie dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, aksis antara poros negara dengan civil sociely. Kedua, kesesuaian dengan konteks demokratisasi. Secara vertikal, relasinya dengan negara teraktualisasi saat Aburizal Bakrie, pendiri dan pendonor utama FI, masuk dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Pertama sebagai Menko Ekuin. Hal tersebut diperkuat oleh kehadiran Rizal Mallarangeng sebagai staf ahli Menko Ekuin saat itu. Penempatan anggota FI dalam ranah negara dapat diartikan sebagai potensi lobi yang cukup kuat terhadap kebijakan negara yang memanfaatkan jaringan yang merentang dari wilayah masyarakat sipil sampai negara. Kedua, secara horizontal, FI merupakan organisasi yang memiliki jaringan luas, terutama dengan sesama organisasi yang berhaluan liberal, sesuai dengan ideologi utama FI. Tercatat, FI mempunyai karakteristik keanggotaan dengan komitmen pada perkembangan demokrasi liberal Indonesia. 2 4http, / / wrvw. fr Pada e e d o m - i n s ti tu te . o r g / i d / in d ex. php?page=penghargaan diunduh pada 2 5 Desember 2010, jam 12.31 tingkatan individu, orang seperti Rizal Mallarangeng ataupun Ulil Abshar Abdalla adalah orang yang umum diketahui aktif dalam promosi nilainilai demokrasi liberal dan pluralisme. Sedangkan pada tingkat hubungan antar LSM, FI berafiliasi dengan LSM yang turut serta, pertama, dalam pengembangan demokrasi, dan kedua, tentu saja, berkarakteristik liberal, misalnya Jaringan Islam Liberal (JIL), Institut Studi Arus Informasi (ISAI), The Indonesian Institute dan Komunitas Utan Kayu.'u Biografi individu anggota FI saling bersilangan dengan keanggotaan dalam afiliasi jaringan FI di atas. Misalnya, Saiful Mujani, doktor ilmu politik dari Ohio State University, yang selain tergabung dalam FI juga menjadi dewan penasihat dari The Indonesian Institute. Sedangkan persilangan jaringan FI dengan LSM lainnya terwujud dalam bentuk keanggotaan FI pada Pustq.ka Bersama, sebuah gabungan perpustakaan LSM yang bertujuan memudahkan penca rian literatur sekaligus penyebaran penge tahuan bagi masy arakat. PT Asian Agri dan Intelektual Kampus Aliansi modal dan intelektual pada kasus PT. Asian Agri terbentuk saat mereka memiliki persoalan hukum dengan salah satu media terkemuka di Indonesia, TEMPO. Pangkal masalahnya berawal dari pemberitaan TEMPO yang dianggap mendiskreditkan PT. Asian Agri. Pemberitaan itu dimuat di majalah TEMPO edisi 2l Mei-27 Mei 2007 yang menjelaskan tentang bagaimana Asian Agri melakukan PT. penggelapan pajak. Hal ini diungkap TEMPO dengan mewawancarai salah satu sumber dalam Asiqn Agri, Vincentius Irawan, yang justru ditetapkan statusnya sebagai tersangka oleh kepolisian. 25 tbid. M. Frjar, Intelektual, Modal dan Negara Awal masalah dimulai dengan Asiqn Agri oleh penggeledahan kantor petugas pajak pada bulan Januari 2007 di daerah Duta Merlin dan kantot Asian Agri di Jakarta dan Medan. Dalam penggeledahan itu ditemukan bukti penggelapan pajak yang merugikan negara sebesar Rp. 800 miliar. Aksi penggeledahan ini merupakan tindak lanjut dari laporan Vincetius Irawan mengenai 'penggelapan pajak Asian Agri. Menurutnya, Asian Agri memakai untuk melakukan penggelapan, semisal membuat biaya beragam modus fihif, menjual Produk murah perusahaan afiliasi dan ke merekayasa pembukuan.'u Budi Irawanto melancarkan Menanggapi pemberitaan tersebut, Asion Agri menyewa jasa beberaPa penetiti guna membuktikan kalau berita yang ditulis oleh TEMPO telah menyudutkan mereka. Para peneliti iru berasal dari kampus terkemuka, antara lain Wahyu Wibowo, peneliti komunikasi dari Universitas Indonesia, Hermin Wahyuni, doktor di bidang komunikasi dari Universitas Gajah \Iada dan Tjipta Lesmana, ahli ilmu komunikasi Universitas Pelita Harapan. Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa berita-berita yang ditulis oleh TEMPO dianggap bias dan menempatkan posisi Asian Agri dalam posisi bersalah sepenuhnya terhadap kasus itu. Menindaklanjuti hasil penelitian itu, -{sian Agri bersama dengan lembaga penelitian Veloxxe Consulting membuat >-uatu seminar bertajuk "Menguak Misteri Cibalik Tabir Berita 'Kasus Pajak Asian -{gri' Pertaruhan Kredibilitas, Nama Baik dan Objektifitas", di Hotel Sultan, Jakarta, pada tanggal 18 Desember 2r107. Undangan menghadiri seminar disebar melalui media berskala nasional seperti Bisnis lndonesia, Investor Daily, Kontan, Media Indonesia, Rakyat MerdeL<.a, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, dan Wartq Kotq. Dari seminartersebut, makabergulirlah berbagai persoalan yang menyangkut pemberitaan TEMPO terhadaP Asiqn Agri. Konflik terj adi tidak terelakkan, dan meletup pada masing-masing institusi asal para peneliti tersebut. Misalnya saja, di Universitas Gajah Mada, institusi asal Hermin Wahyuni, perdebatan muncul mengenai sah tidaknya penelitian itu dari segi etikanya, mengingat Asian Agri adalah perusahaan yang sedang bermasalah secara hukum. Salah satu dosen di Jurusan Komunikasi UGM, Menurutnya, dikalangan dosen jurusan komunikasi sendiri sudah ada beberapa orang yang menolak untuk ikut serta dalam penelitian itu karena alasan etis." Tidak hanya itu, berbagai elemen masyarakat pun turut melakukan protes terhadap pihak universitas yang dianggap melindungi para peneliti Asian Agri. Misalnya saja, aksi demonstrasi oleh mahasiswa kepada pihak Universitas Gajah Mada pada 26 Desember 2007.'" Gabungan elemen tersebut menuntut pihak universitas untuk mencabut hasil penelitian pesanan yang disponsori Asiqn Agri. Efek lanjutan dari penelitian tersebut terlihat melebar dan menyeret tidak hanya para penelitinya, tetapi juga institusi lain seperti universitas dan negara sebagai pihak yang seharusnya menyelesaikan persoalan hukum dari kasus tersebut. 27 IndoPos, Hlm 104-112. 2007. http, / / *ww. t e m p o in t e r akti f . c o m/h g/n a s i o n av 2007 / 12 / 2 | /brk,2007 122 | - | 13 9 5 3,id html, diunduh pada 25 Desember 2010 jam 10.18 28 l'5\trirlah rEMpo No. 13l)oo(v/21-27 Mei Protes terkait penelitian pesanan tersebut. http, / / w\4r\4,. t e m p o . c o . i d / h g / nu s a/ j aw am a d u t tz t z 6 /brk,2 007 122 6 - | I +l 63,id html, diunr al I oo7 duh pada 25 Desember 2010 jam10.22 Sodi Politik Fdisi l, !bl. I, No.l, 2010 (hrQut Interaksi Modal-Intelektual Era Reformasi Fenjelasan Teoritik Menganalisis relasi negara-intelektualmodal dalam kasus FI dan Asian AgriLembaga Penelitian, penulis meminjam argumen Nicholas Abercrombie. Ia kalau eksistensi suatu mode produksi perlu diperkuat menyatakan dengan . sokongan ideologi. Misalnya saja, perlunya ideologi liberalisme membenarkan praktik akumulasi modal oleh kelas borjuis. Karena tidak mungkin berlaku sebaliknya, yaitu mode produksi kapitalisme yang dibenarkan oleh ideologi komunisme yang mensyaratkan kepemilikan kolektif. Abercrombie pun melanjutkan bahwa mode produksi dan ideologi perlu diperantarai oleh variabel kepentingan." Mode produksi tidak mungkin membutuhkan suatu ideologi tertentu tanpa adanya kepentingan yang dibawa aktor dalam mode produksi tersebut. Ideologi liberalisme dibutuhkan oleh mode produksi kapitalisme melalui kepentingan yang dimiliki oleh kelas borjuis. Kepentingan itu adalah kepentingan pntuk mengakumulasi modal. Tanpa adanya kepentingan akumulasi modal, ideologi liberalisme tentu tidak dibutuhkan untuk. membenarkan praktik yang memang tidak ada. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat pada bagan berikut: Mode of production Faktor-faktor -----------> Classformation kondisional yang telah diungkap di bagian pendahuluan memberikan pengaruh terhadap interaksi modal-negara-intelektual saat ini. Ada dua dampak dari relasi tersebut. Pertama, reproduksi kondisi intelektualmodal-negara. Struktur yang cenderung menghimpun kelompok intelektual di sekitar modal masih bertahan dan karenanya hanya membutuhkan aktor baru untuk masuk ke dalamnya dan menjalankan logika lama itu lagi. FIkelompok Bakrie merepetisi pola tersebut dengan memakai terbukanya kesempatan partisipasi politik dalam konteks demokratisasi Indonesia. Keterbukaan kesempatan politik memberikan kesempatan kepada kongsi Fl-kelompok Bakrie menjelma menjadi aksis intelektual-kelas borjuis yang solid. Pada saat yang bersamaan, semenjak demokratisasi barisan tertampung dalam gerbong patronase teknokrat-negara. Mereka menghasilkan paduan serasi antara basis ekonomi kapitalisme (kelompok Bakrie) dengan sistem pengetahuan liberal (FD. pihak pertama memberi penopang dalam hal materi bagi pihak kedua, begitu juga sebaliknya, pihak kedua melegitimasi perilaku pihak pertama. Mode produksi yang berlaku dan ditegaskan oleh FI sendiri bukanlah kapitalisme yang umum dikenal seperti di negara-negara Barat. Intervensi negara yang masih -----------+ Ideologl,, kental pada beberapa sektor dan masih kuatnya kepentingan kroni dalam sistem kapitalisme yang menjadi 29 filih"t Mcholas Abercrombie- (1980). Chss, Suzrmtre and Knrutledge. fford: Basil Blackwell. Hlm 175. hadir pula intelektual yang di era sebelumnya tidak pe y liberalisme bagi FI. Nl, Fajar, Intelektual, Modal dan Untuk kasus Asian Agri, kehadiran intelektual berperan mendukung gugatan Asian Agri terhadap TEMPO, baik pada ranah diskursus publik maupun ranah hukum. Melaluipenelitianyang dilakukan oleh tiga orang peneliti sewaan, diperoleh kesimpulan bahwa isi pemberitaan TEMPO telah merusak citra Asian Agri. Karena faktor historis-struktural yang sama, relasi tersebut dalam kasus Asian Agri-lembaga penelitian menjadi terwujud. Sedangkan FI yang mengusung ideologi liberalisme diuntungkan oleh konteks demokratisasi. Kandungan liberalisme dalam sistem politik maupun ekonomi Indonesia saat ini memudahkan gerak FI. FI pun mudah menyesuaikan diri dengan Kelompok Bakrie sebagai representasi dari sistem kapitalisme Indonesia. Implikasinya bisa bercabang ke dua arah: pertama, akan terus terjadi reproduksi gagasan demokrasi liberal oleh FI, dan kedua, penumpukan modal )'ang dilakukan oleh Kelompok Bakrie juga mendapat legitimasi oleh FI. Mengenai implikasi kedua, bisa dilihat contoh kasus dukungan FI atas kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Saat pemerintahan Yudhoyono dipaksa untuk menaikkan harga BBM, dukungan muncul dari FI melalui iklan di beberapa surat kabar dengan menghimpun intelektual-intelektual terkemuka. Dukungan FI tentu tidak lepas dari keberadaan Aburizal Bakrie sebagai Menko Ekuin, selain memang taham liberalisme pasar yang dianut lembaga ini. Contoh lainnya ialah peran Rizal Mallarangeng sebagai negosiator Blok Cepu mewakili pemerintah dengan E:oron Mobile. Sebaliknya, FI sendiri, tentu saja, bisa mempertahankan dukungan dana dari kelompok Bakrie sebagai donor utamanya sebagai imbalan atas dukungannya terhadap kebijakan negara dimana Aburizal Bakrie ada di rl^lamnya. \ egara Implikasi Teoritis dan Strategis Relasi Modal-Intelektual pada Era Reformasi Kasus FI dan Asian Agri terjadi dalam kerangka yang hampir sama. Liberalisasi telah membuka peluang konsentrasi modal di berbagai tempat. Dalam pada itu, bukan modal saja yang menjadi salah satu faktor penentu, tetapi struktur keterbukaan ekonomi-politiklah yang menjadi arena perkembangan modal. Interaksi modal dan intelektual era Reformasi dimainkan diatas kedua faktor kondisional yang telah diungkapkan sebelumnya, yakni penyerapan kekuatan politik dan liberalisasi ekonomi. Melemahnya negara meyebabkan inisiatif pembentukan aliansi modal dengan kekuatan politik lain tumbuh tidak melalui negara saja. Kasus FI dan Asiqn Agri menunjukkan bahwa kelas borjuis dapat menjadi lokus bagi dimulainya persilangan modal dengan kelompok intelektual. Negara tidak lagi dibutuhkan sebagai induk bagi kelompok intelektual. Aksis strategis terbentuk saat basis material dan basis pengetahuan bisa disatukan sebagai alat kepentingan kelas. Jika sebelumnya modal dan kekuatan politik terkumpul di sekitar negarakarena karakter korporatis negara; maka kali ini modal mengumpulkan kekuatan politik, dimulai dari wilayah masyarakat sipil, khususnya kelompok intelektual yang berkolaborasi dengan kelas borjuasi. Jika membandingkan kasus FI dengan Asian Agri, posisi FI bisa dikatakan relatif lebih kuat karena memiliki jaringan sampai ke ranah negara. Meski demikian, bukan berarti kongsi modal-intelektual yang tidak meluas ke ranah negara bisa dianggap lemah, seperti terjadi pada kasusAsion Agri-peneliti. Bahkan, relasi tersebut cenderung akan menguat jika mempertimbangkan faktor tumbuhnya generasi baru intelektual terdidik di universitas-universitas dan agenda liberalisasi pendidikan yang menarik garis lurus antara lembaga pendidikan tinggi dan pasar. Faktor-faktor Srudi Politik Edisi 1, Vol, I, No.l, 2010 itu akan semakin 44 kuat bekerja jika menambahkan lun- turnya kritisisme dalam lingkungan akademis yang hanya mementingkan bagaimana lulusan perguruan tinggi bisa diserap oleh pasar. Kasus FI memperlihatkan bahwa ideologi liberalisme yang FI perjuang- kan dapat men- jadi alat pembenar praktik kelas bor- penjelosan mengenoi kelompok intelektuol yong mengabdi podo kepentingan modol perlu diimbongi oleh eksp/onosi ofos suoro-suara kelompok intelektuol yqng mengkritisi relosi kuoso anlara modol-negorakelompok intelektuql. Menjodi perlu kemudion memperlihotkon bogoimono suoro-suoro tersebut mompu menemukan ruangnYq guna membangun opos,si pemikiran terhqdop kelompok intelektuol dominan podo era Reformosl ini..,, tt juasi. Ideologi libe ralisme, tidak perlu disangsikan lagi, merupakan pasangan serasi pertumbuhan kapitalisme semenjak di Eropa dahulu. Akan tetapi, dalam konteks kapitalisme dan liberalisme sistem demokrasi Indonesia era Reformasi. sistem tersebut tidak lah benar-benar berjalan sesuai dengan pengalaman negara-negara Barat. Sistem kapitalisme di Indonesia masih berpotensi mengundang patronase politik sebagai alat penumpukan modal. Konsekuensi nya, akan terdapat pertanyaan-pertanyaan bagaimana jika ternyata kelompok Bakrie melakukan praktik-praktik tersebut, apakah liberalisme versi FI dapat membenarkan hal tersebut? FI dengan ideologi liberalismenya yang kuat seolah membenarkan kehadiran kelompok Bakrie. Idealnya, "kompetisi bebas" di dalam pasar merupakan tujuan ideal dari penyebaran diskursus liberalisme. Tapi dengan mempertimbangkan bahwa struktur politik Indonesia era Reformasi ternyata masih memungkinkan patronase politik, maka hubungan basis-superstruktur bersifat kontradiktif. Kontradiksi itu bisa dimengerti pada dua kondisi: pertama, kontradiksi antara basis kapitalisme dengan ideologi liberalisme yang menaunginya. Kelompok Bakrie memiliki persinggungan yang repro duktif dan seka- ligus kontradiktif dengan FI, tepat pada saat FI ternyata berusaha untuk menguatkan dan membenarkan perilaku kelompok Bakrie, tapi masih dalam warisan historis masa lalu, yaitu berkumpul- nya kekuatan politik di sekitar rezim berdasar patronase politikrente. Kedua, kontradiksi eksis dalam tubuh liberalisme yang dibawa FI sendiri. Apa yang berusaha untuk direproduksi adalah kondisi yang sebenarnya bertentangan, paling tidak, dengan liberalisme sebagai ide. Konsekuensi lanjutannya bisa bercabang ke banyak skenario. Yang terlihat cukup jelas adalah diskrepansi antara ide demokrasi liberal dan kesediaan negara menanggung efek dari semburan lumpur Sidoarjo yang banyak terkait dengan kelompok Bakrie. Bagaimana ideologi liberalisme yang diusung FI dapat membenarkan praktik penanggungan negara, sementara pada saat yang bersamaan, liberalisme dengan jelas mengharamkan campur tangan nega ra terhadap eksistensi kelas borjuasi? Sementara itu, untuk kasus Asiqn Agri, reproduksi relasi intelektual-modal memang terlihat manakala lembaga penelitian dan kelas kapitalis berkontribusi memberikan sebentuk drama dirnana modal mendominasi perilaku intelektual. Contohnya adalah saat panggung diskusi untuk memperdebatkan kasus berita TEMPO versus Asiqn Agri digelar pada 18 Desember 2007. Lakon dari drama seminar publik itu ialah Asio n Agri sebagai M, Fajar, Intelektual, Modal dan Negara sponsor utama diskusi, menampilkan pembicara dari ketiga peneliti yang dibayar oleh Asion Agri untuk menyelidiki pemberitaan TEMPO. Di sini terlihat dua rangkap reproduksi relasi modalintelektual. Pertama, Asian Agri yang mensponsori kegiatan diskusi, dan kedua Asiqn Agri yang mensponsori penelitian ketiga orang peneliti tersebut. Mereka pun hadir saat diskusi berlangsung. Semuanya dikemas dalam satu diskusi yang juga menghadirkan pembicara dari pihak TEMPO guna memPerlihatkan "obyektifitas". Hubungan subjek-objek muncul di sini. Subjek modal membentuk kePatuhan intelektual dan objek kajian beritanya justru bertindak sebagai afirmasi kebenaran hasil penelitian tersebut. Jika hanya mementaskan para peneliti yang notabene disewa oleh Asion Agri, maka citra j ustifikasi hanya sepihak dap at terlihat benar. Dengan menghadirkan pembicara dari pihak berlawanan (IEMPO), seolah kedua pihak berdiri dalam posisi sama kuat. Akan tetapi bukan itu yang ingin dicapai, konstruksi demikian adalah upaya menjadikan suatu ritus pengorbanan saat satu pihak diberikan kesempatan muncul untuk kemudian dihilangkan argumentasinya karena pembuktian ilmiah dari pihak lainnya berhasil dimunculkan ke permukaan. Kesimpulan Dari uraian singkat di atas, daPat diambil kesimpulan bahwa kelas borjuasi dan sistem kapitalisme membutuhkan satu kaki di wilayah pemikiran (yang bersifat ideotogis) guna mendukung praktik akumulasi modal. Argumen ini bukan eklektisme belaka, tetapi lebih kepada: pertama, alasan teoritik, yakni karena pemahaman Marxisme klasik yang menempatkan basis ekonomi sebagai penentu perkembangan superstruktur sulit dipakai untuk menjelaskan mengapa kongsi intelektual-modal bisa berjalan. Kedua, dengan menerima argumen bahwa posisi ekonomi dapat dilegitimasikan oleh superstruktur ideologis, peranan keduanya (kelas borjuasi dan kelompok intelektual) menjadi terlihat cukup signifikan dalam sistem demokrasi yang tidak hanya mengizinkan kompetisi ekonomi saja, tetapi juga kompetisi diskursus. Sebagai bahan PenYelidikan lebih lanjut, penjelasan mengenai kelompok intelektual yang mengabdi Pada kepentingan modal perlu diimbangi oleh eksplanasi atas suara-suara kelompok intelektual yang mengkritisi relasi kuasa antara modal-negara-kelompok intelektual. Menjadi perlu kemudian memperlihatkan bagaimana suara-suara tersebut mampu menemukan mangnya guna membangun oPosisi Pemikiran terhadap kelompok intelektual dominan pada era Reformasi ini. Dibutuhkan pula penyelidikan mengenai pemikiran intelektual kritis yang berkaitan erat dengan konteks demokratisasi Indonesia dan liberalisasi perekonomian. studi Politik Bdisi 1, vol. I, No,1, 2010 Referensi Mqsalah dan Pilihan Buku Abercrombie, Nicholas. (19S0). Closs, Structure and Knowledge. (Oxford: (Jakarta: DEMOS) Basil Blackwell) Archer, Margaret S.. (1995) . Rea.list Social Theory: The Morphogenetic Approach. (Cambridge: Cambridge University Press) . Barnes, Philip. (1995). Indonesia: The Political Economy of Energy. (Oxford: Oxford University Press) Dhakidae, Daniel. (2003). Cendekiawan dqn KeL?uasqqn Dulqm Negara Orde Baru. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) Djafar, Zainuddin. (2006). Rethinking lndonesian Crisis. (Jakarta: Pustaka Jaya) Green, Marshall. (1990). Indonesio": Crisis and Transformation 1965-1968. (Washington DC: Compass Press) Huntington, Samuel P. (1975). Political Order in Changing Societies. @ombay: Vakils, Feffer & Simons Private ltd). Kleden, Ignas. "Model Rasionalitas Teknokrasi", dalam Ignas Kleden. (1987). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebuday aan. (J akarta: LP3ES) akarta: LP3ES) . Pangestu, Mari. "Only Half Hearted Deregulation", dalam Ian Chalmers & Vedi Hadiz. (1997). The Politics of Economics Development in Indonesia.: Contending Perspectives. (London: Routledge) Priyono, A.E., Olle Tornquist et al. (2007). Menjadihan Demohrz"si Prasetiantono, Tony. "Political Economy of P r iv qtis ation of State - Ow n e d Enter p r is e s in Indonesie", dalam M Chatib Basri & Pierre Van Der Eng. (2004). Business in Indonesia: New Challenges, Old Problems. @asir Panjang: ISEAS) Robison, Richard. "Whqt Sort of redatory and N eo -Lib er a.l Agendas in Indonesio", dalam Catarina emocr aqt? D P & Kristina Jonsson. (2002). Globalization qnd Democratizatton in Asio. (London & NewYork: Routledge) Robison, Richard & Vedi R Hadiz. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligharchy in on Age of Mqrket. (London: Routledge Curzon) Kinnvall Robison, Richard & Andrew Rosse4 "Surviving The Meltdown: I-iberql Reform and Politicql Oligarchy in Indonesia", dalam Richard Robison (et at). (2000) . Politics and Murl?ets in The Wake of The Asian Crisis. (London & NewYork: Routledge) Guerin, Bill. '?olitics and Business Mk in Indonesiq.", Asie Times, 22 Juli 2006. Feith, Herb ert, " Repr e s siv e -D evlo p mentalist Regimes in Asia: Old Strengths,'New Vulnerabilities", dalam PRISI\4A. No 19. Desember 1980. Majalah TEMPO, No. 13D(XXVZI-27 Mei 2007. Kunio, Yoshihara. (1991). Kapitalisme (J Indonesiq. Sumber Lainnya Itwan, Alexande t, "Institutions, Disc ourses and Conflicts in Economic Thought," dalam Vedi Hadiz & Daniel Dhakidae. (2005). Sociql Sciences snd Power in Indonesiq. (Singapura: ISEAS) Semu Asia Tenggara. di BermaLznq.: http //www. temp o. co. id/hg I n:us al jawama dural2007l|2l26lbrk.2007I2261l4163,id.html : http ://www. temp ointeraktif . com/hgl nasi onaU2007ll2l2Ihrk,2007l22l113953,id.html http ://www. freedom-institute. org/id/index. php?page=penghargaan