Jurnal Desember 2015

advertisement
ISSN 1978-6506
Terakreditasi LIPI
No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015
Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Hal. 251 - 359
IDEALITAS
DAN REALITAS
KEADILAN
I
Jurnal isi edit arnis ok.indd 1
1/18/2016 12:09:28 PM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 2
1/18/2016 12:09:28 PM
ISSN 1978-6506
Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Hal. 251 - 359
J
urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan
pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit
berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember.
Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si.
Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI
Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik)
2. Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi)
Penyunting: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis)
2. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana)
3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional)
4. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara)
5. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara)
Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum)
2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika)
3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi)
4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender)
5. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata)
6. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam)
7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum)
III
Jurnal isi edit arnis ok.indd 3
1/18/2016 12:09:28 PM
8. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional)
9. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan)
10. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum)
11. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat)
12. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik)
13.
Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. (Hukum Perdata/Hukum Agraria)
Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si.
2. Arnis Duwita Purnama, S.Kom.
3. Yuni Yulianita, S.S.
4. Wirawan Negoro, A.Md.
5. Didik Prayitno, A.Md.
6. Eka Desmi Hayati, A.Md.
7. Lia Puspitasari, S.IP.
dan Fotografer: 1. Dinal Fedrian, S.IP.
2.
Widya Eka Putra, A.Md.
Desain Grafis
Alamat:
Sekretariat Jurnal Yudisial
Komisi Yudisial Republik Indonesia
Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189
E-mail: [email protected]
Website: www.komisiyudisial.go.id
IV
Jurnal isi edit arnis ok.indd 4
1/18/2016 12:09:28 PM
PENGANTAR
A
IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN
ntara idealitas dan realitas keadilan menjadi pilihan tema Jurnal Komisi Yudisial
dalam edisi Desember 2015. Tema ini di dipilih setelah mempertimbangkan
banyak argumen dan pendapat dari tim redaksi dan mitra bestari dalam rapat
redaksi Jurnal Yudisial. Dari hasil rapat itu terpilih beberapa tulisan dengan karakteristik
berbeda, namun menyajikan hal yang sama yaitu membahas mengenai keadilan.
Apakah yang dimaksud dengan idealitas dan realitas keadilan dalam tema Jurnal
Yudisial kali ini, tidak lain bercerita tentang kehidupan hukum yang selalu senantiasa
berada pada tatanan yang labil, tatanan yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun
saling berkaitan. Demikian pula dengan tujuan hukumyang senantiasa memperlihatkan
tensi atau ketegangan antara das Sollen dan das Sein, antara harapan dan kenyataan,
antara cita cita dengan apa yang yang telah dicapai, antara yang formal dengan yang
substansial, dan antara yang ideal dengan yang real.Hal itulah yang mendapat sorotan
utama dari edisi Junal Yudisial kali ini.
Terdapat enam tulisan dengan tema yang menggambarkan lika-liku keadilan dalam
putusan. Mulai dari tulisan tentang kepastian, kemanfaatan dan keadilan dalam perkara
anak, implementasi keadilan dalam hukum waris beda agama, implementasi tentang
hukum progresif dalam pembangunan berkelanjutan ekologis, perspektif hukum
progresif tentang keadilan, disusul tulisan tentang penerapan perjanjian bersama dalam
pemutusan hubungan kerja, hingga tulisan terakhir yang membahas tentang urgensi
peradilan afirmatif bagi difabel.
Bagaimana putusan berbicara tentang keadilan? Keadilan seperti apa yang diinginkan
para pihak yang bersengketa? Kapan para penegak hukum dapat membumikan keadilan?
Dan kapan Jurnal Yudisial mampu mengaitkan idealitas dengan realitas keadilan? Untuk
menjawab kesemuanya itu, kami persilahkan untuk membaca lebih lengkap uraiannya
pada bagian dalam. Setiap orang memiliki sudut pandang dan setiap argumen memiliki
landasannya, tetapi yang harus kita lakukan adalah tetap kritis dan selalu rendah hati.
Selamat membaca! Terima kasih.
Tertanda
Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial
V
Jurnal isi edit arnis ok.indd 5
1/18/2016 12:09:28 PM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 6
1/18/2016 12:09:28 PM
DAFTAR ISI
Vol. 8 No. 3 Desember 2015
ISSN 1978-6505
KEPASTIAN HUKUM, KEMANFAATAN,
DAN KEADILAN TERHADAP
PERKARA PIDANA ANAK ...............................................................
Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt
Sulardi & Yohana Puspitasari Wardoyo
Fakultas Hukum & Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang
251 - 268
PENEGAKAN KEADILAN
DALAM KEWARISAN BEDA AGAMA
................................... 269 - 288
Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama
dalam Perkara Waris Beda Agama
Muhamad Isna Wahyudi
Pengadilan Agama Badung, Badung
IMPLEMENTASI HUKUM PROGRESIF
DALAM PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN EKOLOGIS
.................................................
Kajian Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg
jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010
Subarkah
Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus, Kudus
289 - 306
KEADILAN PEMULIHAN BAGI SUBJEK HUKUM
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF
.................... 307 - 318
Kajian Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012
Muhammad Junaidi
Fakultas Hukum Universitas Semarang, Semarang
PENERAPAN PERJANJIAN BERSAMA
DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
.............................
Kajian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012
Indi Nuroini
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Surabaya
319 - 338
VII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 7
1/18/2016 12:09:28 PM
DAFTAR ISI
URGENSI PROSES PERADILAN AFIRMATIf
BAGI PEREMPUAN DIFABEL
KORBAN PERKOSAAN
.................................................................
Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl
Faiq Tobroni, Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, Tulungagung
339 - 359
VIII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 8
1/18/2016 12:09:28 PM
JURNAL YUDISIAL
ISSN 1978-6506.............................................................................. Vol. 8 No. 3 Desember 2015
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
pelaku masih di bawah umur hendaknya perkara ini
bisa diselesaikan di luar pengadilan yaitu melalui
diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak.
UDC 343.137.5
Sulardi & Wardoyo YP (Fakultas Hukum & Magister
Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang,
Malang)
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan
terhadap Perkara Pidana Anak
(Sulardi & Yohana Puspitasari Wardoyo)
Kata kunci: sistem peradilan anak, keadilan,
kepastian, kemanfaatan.
Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 251-268
Penelitian ini merupakan kajian Putusan Pengadilan
Negeri Blitar Nomor 210/Pid.Sus/2014/PN.Blt
mengenai tindakan asusila yang mana pelaku dan
korban merupakan anak di bawah umur. Majelis
hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman
pidana penjara kepada tiga terdakwa masing-masing
selama dua tahun tiga bulan, denda masing-masing
sebesar enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan
jika denda tersebut tidak dibayar maka digantikan
dengan Wajib Latihan Kerja selama tiga bulan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan
UDC 348.18
Wahyudi MI (Pengadilan Agama Badung, Badung)
Penegakan
Agama
Keadilan
dalam
Kewarisan
Beda
Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan
Agama dalam Perkara Waris Beda Agama
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 269-288
Peradilan agama merupakan peradilan khusus
bagi orang-orang Islam. Namun, dalam perkara
waris yang ditangani oleh peradilan agama dapat
melibatkan pihak muslim dan nonmuslim. Hal ini
karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
yang majemuk. Persoalan penegakan keadilan
dalam perkara waris beda agama di pengadilan
agama menjadi menarik untuk diteliti. Penelitian
ini mengkaji lima penetapan dan dua putusan
pengadilan agama dalam perkara waris beda agama
dengan menggunakan pendekatan kasus. Perkara
waris beda agama yang ditangani pengadilan agama
dalam penelitian ini dibedakan dalam dua kasus.
Pertama, perkara waris yang terdiri dari pewaris
nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau ahli
waris muslim dan nonmuslim. Kedua, perkara
waris yang terdiri dari pewaris muslim dengan ahli
waris muslim dan nonmuslim. Pada kasus pertama,
bahwa majelis hakim dalam menegakkan hukum
mengutamakan tiga aspek yaitu yuridis (kepastian
hukum), sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis
(keadilan). Menurut majelis hakim penjatuhan pidana
terhadap para terdakwa bukan untuk pembalasan
dendam melainkan suatu bentuk pemberian
bimbingan dan pengayoman serta suatu terapi kejut.
Melalui penjatuhan pidana tersebut diharapkan para
terdakwa tidak mengulangi perbuatannya di masa
datang dan perasaan malu yang dihadapi keluarga
terdakwa dapat dimaknai sebagai sebuah sanksi
moral. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 penjatuhan pidana terhadap pelaku anak tidak
berbeda dengan pelaku dewasa, salah satunya dengan
pidana penjara. Namun, dalam kasus ini mengingat
IX
Jurnal isi edit arnis ok.indd 9
1/18/2016 12:09:28 PM
SG yang dianggap akan merusak lingkungan hidup,
merusak sistem ekologi, dan menghilangkan hakhak hidup masyarakat Sedulur Sikep yang selama
ini hanya bertani sehingga sangat tergantung pada
tanah dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep
yang tersebar di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
memiliki karakteristik yang unik. Oleh karena itu, hal
ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih mendalam
baik secara doktrinal maupun non doktrinal.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah socio-legal study, yang dalam arti hukum
tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan
sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku,
sehingga penelusuran realitas yang sesungguhnya
diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum
positif yang ada maupun hukum yang lahir dari polapola antar subjek dalam masyarakat itu merupakan
hukum yang sudah adil atau tidak.
penegakan keadilan oleh pengadilan agama masih
terbatas bagi ahli waris muslim, dan mengabaikan
keadilan bagi ahli waris nonmuslim. Pertimbangan
hukum hakim lebih mencerminkan bias keagamaan
dan inkonsistensi dalam penggunaan logika
hukum. Pada kasus kedua, pengadilan agama telah
mampu menegakkan keadilan bagi semua, dengan
memberikan bagian harta warisan kepada ahli waris
nonmuslim melalui wasiat wajibah berdasarkan
yurisprudensi. Hakim-hakim pengadilan agama
menggunakan wasiat wajibah dalam perkara waris
beda agama dari pada menyelidiki alasan hukum
(ratio legis) hadis yang melarang waris beda agama.
(Muhamad Isna Wahyudi)
Kata kunci: keadilan, waris beda agama, wasiat
wajibah, ‘illat.
(Subarkah)
UDC 349.601
Kata kunci: sumber daya alam, hukum progresif,
hukum lingkungan, pembangunan berkelanjutan
ekologis.
Subarkah (Fakultas Hukum, Universitas Muria
Kudus, Kudus)
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan
Berkelanjutan Ekologis
UDC 340.131
Kajian Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo.
Putusan Nomor 103 K/TUN.2010
Junaidi M (Fakultas Hukum, Universitas Semarang,
Semarang)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 289-306
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam
Perspektif Hukum Progresif
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mencakup
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya
merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia.
Demikian juga dengan keanekaragaman suku,
agama, dan ras, dari masyarakat Indonesia sehingga
membentuk masyarakat plural, yang di dalamnya
terdapat tata nilai, norma-norma adat yang berlaku
dalam masyarakat, sehingga kebijakan penataannya
secara luas melalui konsep berkelanjutan ekologis
untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kajian
ini membahas Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.
Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 yang
merupakan hasil perlawanan masyarakat Sedulur
Sikep atas kebijakan pembangunan pabrik dari PT.
Kajian Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 307-318
Penelitian ini mengkaji secara deskriptif analitis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/
Pid/2012 yang mengadili terdakwa SM. Melalui
putusan tersebut SM dinyatakan tidak bersalah
dan dibebaskan serta mendapat ganti rugi sebesar
lima juta rupiah setelah menjalani hukuman
kurungan selama tiga belas bulan atas perbuatan
yang tidak dilakukannya. Pada putusan pengadilan
di tingkat pertama dan banding ia dinyatakan
X
Jurnal isi edit arnis ok.indd 10
1/18/2016 12:09:28 PM
barang dan jasa. Tulisan ini merupakan suatu kajian
terhadap putusan perselisihan hubungan industrial
mengenai pemutusan hubungan kerja yang telah
diputus di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung
dengan Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012. Dalam
putusan tersebut, majelis hakim dalam pertimbangan
hukumnya hanya menggunakan perjanjian bersama
yang telah dibuat oleh penggugat dan tergugat
pada saat penyelesaian perselisihan di tingkat
bipartit, padahal perjanjian bersama tersebut isinya
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penulis
berkesimpulan bahwa putusan hakim yang memeriksa
perkara tersebut tidak tepat dalam menggunakan
pertimbangan hukum. Putusan Nomor 237 K/Pdt.
Sus/2012 tersebut belum mencerminkan adanya
peradilan hubungan industrial yang akuntabel, jujur,
dan adil. Putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut tidak mencerminkan adanya kepastian
hukum dan keadilan hukum.
bersalah dan menjalani hukuman. Nilai keadilan
yang sesungguhnya harusnya memperhatikan
kerugian moril maupun materiil yang dialami
SM atas putusan-putusan hakim sebelumnya. SM
selayaknya bukan hanya dibebaskan tetapi juga
mendapat ganti rugi saat menjalani proses hukum
sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup yang layak.
Jika hal tersebut diterapkan maka hukum tidak
hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari peraturan
melainkan menjalankan semangat dan makna lebih
dalam dari undang-undang atau hukum. Untuk
menguatkan kehadiran hukum progresif dalam
putusan pengadilan maka harus mengacu pada
norma dan asas dalam sila kelima Pancasila yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(Muhammad Junaidi)
Kata kunci: putusan pengadilan, keadilan, hukum
progresif.
(Indi Nuroini)
UDC 347.75
Nuroini I (Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara
Surabaya, Surabaya)
Kata kunci: perjanjian bersama,
hubungan kerja, hubungan industrial.
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan
Hubungan Kerja
UDC 343.541
Kajian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012
pemutusan
Tobroni F (Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum,
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
Tulungagung)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 319-338
Hubungan industrial merupakan suatu hubungan
yang terbentuk antara para pemangku kepentingan
di dalam proses produksi barang dan jasa yang
memiliki dampak sangat penting bagi pertumbuhan
ekonomi negara, sehingga stablitasnya perlu
dijaga dengan baik. Oleh karena itu setiap putusan
pengadilan hubungan industrial haruslah tepat
dan disertai rasa keadilan, akuntabilitas, dan
kejujuran, untuk menghindari timbulnya gejolak
dalam hubungan industrial. Putusan pengadilan
hubungan industrial yang tidak akuntabel, tidak
jujur, dan tidak mencerminkan rasa keadilan tentu
akan berdampak pada stabilitas proses produksi
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan
Difabel Korban Perkosaan
Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 339-359
Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah
mengenai kasus perkosaan yang melibatkan korban
seorang perempuan tuna rungu berinisial SW.
Berdasarkan salinan putusan, SW tidak mendapatkan
penerjemah selama proses persidangan. Dari
beberapa permasalahan yang ditemui, penelitian ini
mengulas tiga rumusan masalah. Pertama, apakah
XI
Jurnal isi edit arnis ok.indd 11
1/18/2016 12:09:28 PM
kerugian dari hasil peradilan yang diterima SW
terkait akses atas keadilan? Kedua, bagaimanakah
perlakuan yang seharusnya diterapkan bagi korban
difabel seperti SW? Ketiga, apa yang harus dilakukan
negara untuk menjamin proses peradilan affirmative
bagi kaum difabel? Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan data sekunder
dan analisis kualitatif. Hasil penelitian memberikan
beberapa kesimpulan. Pertama, tanpa adanya
penerjemah atau bahkan pendamping, kerugian
berkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SW
menyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan
jaminan keuntungan formil dari ketentuan Pasal
98 ayat (1) KUHAP. Kedua, perlakuan khusus
dalam proses peradilan yang dibutuhkan difabel
adalah proses affirmative. Proses ini bertujuan
menghilangkan diskriminasi bagi kaum difabel.
Ketiga, dalam merealisasikan jaminan perlakuan
affirmative bagi kaum difabel, harus terdapat revisi
terhadap peraturan hukum terkait dan penajaman
wawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas.
(Faiq Tobroni)
Kata kunci: aksi afirmatif, diskriminasi hukum,
difabel.
XII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 12
1/18/2016 12:09:28 PM
JURNAL YUDISIAL
ISSN 1978-6506.............................................................................. Vol. 8 No. 3 Desember 2015
The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge.
UDC 343.137.5
Sulardi & Wardoyo YP (Fakultas Hukum dan
Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang)
Legal Certainty, Purposiveness, and Justice in the
Juvenile Crime Case
An Analysis of Court Decisions Number 201/Pid.
Sus/2014/PN.Blt (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 251-268
This is an analysis of Court Decision Number 210/
Pid.Sus/2014/PN.Blt concerning a crime of an
immoral act where both defendant and victim are
minors. The panel of judges, in the verdict, sentenced
the three defendants 2 years and 3 months in prison
respectively, and a total of sixty million in fines,
which if not paid, the defendants would have to
undergo Mandatory Work Activity for three months.
This analysis employs the descriptive analytical
method. The results show that the judges seemed to
give emphasis to three aspects: the juridical (legal
certainty), the sociological (purposiveness), and
philosophical aspects (justice) in law enforcement
efforts. According to the panel of judges, the
sentence imposed on the defendants are not intended
as vengeance for the criminal act but supposed to
be a form of guidance and protection as well as a
shock therapy. Through sentencing, the defendants
hopefully would not repeat the wrongdoings in
the future and the shame to their families should
be regarded as a moral sanction. Pursuant to Law
Number 3 of 1997, imposing criminal sentence to
minors is no different from adult offenders, and
one of the sentences is imprisonment. However the
defendants are minors, and in this case, it should be
resolved amicably out of court through a diversion
as stipulated in Law Number 11 of 2012 concerning
Juvenile Justice System.
(Sulardi & Yohana Puspitasari Wardoyo)
Keywords: juvenile justice system, justice, legal
certainty, purposiveness.
UDC 348.18
Wahyudi MI (Pengadilan Agama Badung, Badung)
Upholding Justice in the Case of Interfaith
Inheritance
An Analysis of Five Court Determinations and
Two Court Decisions on the Case of Interfaith
Inheritance (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 269-288
Religious court is a special court for Muslims.
However, the religious court can try cases of
inheritance involving Muslims and non-Muslims.
This is due to the diversity of Indonesian society.
The arising problem at that point is how to enforce
law in the case of inheritance involving the parties
of different faiths tried in the religious court. This is
an interesting issue to analyse. Employing a casebased approach, this analysis examines five court
determinations and two court decisions on the case
of interfaith inheritance. The cases of interfaith
inheritance tried by the religious courts in this
analysis are divided into two cases: first, the case of
a Muslim child, or two or more children of Muslim
and non-Muslim, inherits from a non-Muslim
father/testator; second, the case of a non-Muslim
child, or two or more children of Muslim and nonMuslim, inherits from a Muslim father/testator. In
the first case, the enforcement of law in the religious
court is finite to Muslim heirs, and disregard those
XIII
Jurnal isi edit arnis ok.indd 13
1/18/2016 12:09:28 PM
of non-Muslim. Judge’s considerations seem to
reflect a religious bias and inconsistency in the
legal logic application. In the second case, the
religious court could enforce justice for all parties
to divide all portions of the inheritance to the nonMuslim heirs by means of wassiyah wajibah based
on the jurisprudence. Religious court judge would
apply the wasiyah wajibah in deciding the case of
interfaith inheritance rather than investigate the legal
reasonings (ratio legis) of the hadith that prohibits
the interfaith inheritance.
(Muhamad Isna Wahyudi)
Keywords: justice, interfaith inheritance, wassiyah
wajibah, ‘illat.
UDC 349.601
Subarkah (Fakultas Hukum, Universitas Muria
Kudus, Kudus)
The Implementation of Progressive Law in
Ecologically Sustainable Development
An Analysis of Court Decision Number 04/G/2009/
PTUN.Smg jo. Number 103 K/TUN/2010 (Org.
Ind)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 289-306
Indonesia is endowed with abundant natural
resources and all of the biological diversity, along
with the diversity of ethnicity, religion, and race that
make up the plural society with prevailing values
and customary norms, so that the development
policy is through generally by the concept of
ecologically sustainable development for the
welfare of the Indonesian People. This is an analysis
of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN.Smg
jo. Number 103 K/TUN/2010, which is the result on
opposition of the Sedulur Sikep society against the
policy of factory construction of PT. SG, deemed
to be harmful to the environment, ecological
systems, and threaten the rights of the Sedulur
Sikep society, who mostly live on farming, and are
highly dependent on the soil and water. Community
livelihood in Sedulur Sikep located in Sukolilo
District of Pati Regency has unique characteristics.
Therefore, it is interesting to do a profound analysis
either doctrinally or non-doctrinally. The approach
used in this analysis is a socio-legal study, which is
in the sense that the law is not merely conceived as
the norm and it necessarily interprets the law as a
behavior. Thus, the exploration of the true reality, is
expected to figure out if the existing positive law, as
well the law originated from the pattern among the
subjects in society has been impartial, or not.
(Subarkah)
Keywords: natural resources, progressive law,
environmental law, ecologically sustainable
development.
UDC 340.131
Junaidi M (Fakultas Hukum, Universitas Semarang,
Semarang)
Restorative Justice for the Legal Subject in the
Perspective Progressive Law
An Analysis of Court Decison Number 1262 K/
Pid/2012 (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 307-318
This is a descriptive analysis examining the Supreme
Court Decision Number 1262 K/Pid/2012 which
adjudicate the defendant initials SM. Through
this decision, SM has been proved innocent and
released, then got a compensation of five million
rupiahs, after serving thirteen months imprisonment
for crimes she did not commit. In the court decision
at first instance and the appellate she was found
guilty and serving a sentence. The ultimate justice
should take close consideration on the actual moral
and material losses suffered by SM for the judges
previous decisions against her. SM should not only
be acquitted, but also be compensated during the
legal process in accordance to the level of a decent
XIV
Jurnal isi edit arnis ok.indd 14
1/18/2016 12:09:29 PM
living. If it is implemented, then the law would not
just a black and white regulation, rather run the
spirit and the meaning the statute or laws in greater
depth. To reinforce the presence of progressive law
in the court decision, it must refer to the norms and
principles in the fifth principle of Pancasila, which
is of social justice for all Indonesian people.
(Muhammad Junaidi)
discussion in this analysis concludes that the panel
of judges ruling the case is not supposed to use
the Joint Agreement as legal considerations. Court
Decision Number 237 K/Pdt.Sus/2012 could not
reflect an accountable, honest, and fair industrial
relations judiciary. The fixed (inkracht) court
decision has not yet provided legal certainty and
legal justice.
(Indi Nuroini)
Keywords: court decision, justice, progressive law.
Keywords: joint agreement, termination
employment, legal consideration.
UDC 347.75
Nuroini I (Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara
Surabaya, Surabaya)
The Implementation of Joint Agreement in the
Termination of Employment
An Analysis of Court Decision Number 237 K/Pdt.
Sus/2012 (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 319-338
Industrial relation is a relationship that is formed by
stakeholders in the process of producing goods and
services, which is so essential for national economic
growth that its stability should be maintained
properly. Therefore any court decisions related to
cases of industrial relation dispute must be decided
appropriately over and done with a high sense of
justice, accountability, and reliability, to prevent
a turmoil in the industrial relations. Such a court
decision will influence the stability of the production
process of goods and services. This article is an
analysis of judge’s decision that discusses a case of
industrial relations dispute concerning termination
of employment, which was decided by cassation in
the Supreme Court Decision Number 237 K/Pdt.
Sus/2012. In the decision, the panel of judges in the
legal considerations only uses the Joint Agreement
agreed upon by the plaintiffs and defendant at the
time of settlement of disputes at a bipartite level,
though the contents are against the Law Number
13 of 2003 concerning Manpower. The result of
of
UDC 343.541
Tobroni F (Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum,
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung,
Tulungagung)
The Urgency of Judicial Affirmative Action for the
Diffable Woman in a Case of Rape
An Analysis of Court Decisions Number 33/
Pid.B/2013/PN.Kdl (Org. Ind)
Jurnal Yudisial 2015 8(3), 339-359
Court Decision Number 33/Pid.B/2013/PN.Kdr is
a ruling regarding a rape of a deaf woman initials
SW. Based on the copy of the decision, court did not
provide SW an interpreter during the trial process.
Of the several issues came upon, there are three
formulations of the problem in questions reviewed
in this analysis. Firstly, regarding access to justice,
what are the losses suffered by SW from such trial
process? Secondly, how should the legal treatment
in judicial process to victims or persons with
different ability like SW? Thirdly, what should be
through by the state to warrant a judicial affirmative
action for the diffable? This study is done with the
method of qualitative research using secondary data
and qualitative analysis. The study results bring
about several conclusions. First, in the absence of
an interpreter or an assistant, the loss of the SW’s
rights of access to justice has caused her inability to
XV
Jurnal isi edit arnis ok.indd 15
1/18/2016 12:09:29 PM
take advantage of the formal justice warranty on the
provision of Article 98 Paragraph (1) of the Code
of Criminal Procedure. Second, special treatment
in the judicial process required by a diffable person
is a judicial affirmative action. This action aims to
eliminate discrimination for the difables. Third, in
the realization of judicial affirmative action for the
diffables, there should be revision of the relevant
legal regulations and efforts to give insights and
understanding to law enforcement authorities on the
issue of diffability.
(Faiq Tobroni)
Keywords: affirmative action, legal discrimination,
diffable.
XVI
Jurnal isi edit arnis ok.indd 16
1/18/2016 12:09:29 PM
KEPASTIAN HUKUM, KEMANFAATAN, DAN KEADILAN
TERHADAP PERKARA PIDANA ANAK
Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt
LEGAL CERTAINTY, PURPOSIVENESS, AND JUSTICE
IN THE JUVENILE CRIME CASE
An Analysis of Court Decission Number 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt
Sulardi
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65114
E-mail: [email protected]
Yohana Puspitasari Wardoyo
Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Bandung No. 1 Malang 65113
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 6 Maret 2015; revisi: 30 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan kajian Putusan Pengadilan
Negeri Blitar Nomor 210/Pid.Sus/2014/PN.Blt
mengenai tindakan asusila yang mana pelaku dan
korban merupakan anak di bawah umur. Majelis hakim
dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman pidana
penjara kepada tiga terdakwa masing-masing selama
dua tahun tiga bulan, denda masing-masing sebesar
enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda
tersebut tidak dibayar maka digantikan dengan Wajib
Latihan Kerja selama tiga bulan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim dalam
menegakkan hukum mengutamakan tiga aspek yaitu
yuridis (kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan),
dan filosofis (keadilan). Menurut
majelis hakim
penjatuhan pidana terhadap para terdakwa bukan untuk
pembalasan dendam melainkan suatu bentuk pemberian
bimbingan dan pengayoman serta suatu terapi kejut.
Melalui penjatuhan pidana tersebut diharapkan para
terdakwa tidak mengulangi perbuatannya di masa datang
dan perasaan malu yang dihadapi keluarga terdakwa
dapat dimaknai sebagai sebuah sanksi moral. Menurut
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 penjatuhan
pidana terhadap pelaku anak tidak berbeda dengan
pelaku dewasa, salah satunya dengan pidana penjara.
Namun, dalam kasus ini mengingat pelaku masih di
bawah umur hendaknya perkara ini bisa diselesaikan di
luar pengadilan yaitu melalui diversi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Anak.
Kata kunci: sistem peradilan anak, keadilan, kepastian,
kemanfaatan.
ABSTRACT
This is an analysis of Court Decision Number 210/Pid.
Sus/2014/PN.Blt concerning a crime of an immoral act
where both defendant and victim are minors. The panel
of judges, in the verdict, sentenced the three defendants
2 years and 3 months in prison respectively, and a total
of sixty million in fines, which if not paid, the defendants
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 251
| 251
1/18/2016 12:09:29 PM
would have to undergo Mandatory Work Activity for three
months. This analysis employs the descriptive analytical
method. The results show that the judges seemed to give
emphasis to three aspects: the juridical (legal certainty),
the sociological (purposiveness), and philosophical
aspects (justice) in law enforcement efforts. According
to the panel of judges, the sentence imposed on the
defendants are not intended as vengeance for the criminal
act but supposed to be a form of guidance and protection
as well as a shock therapy. Through sentencing, the
defendants hopefully would not repeat the wrongdoings
I.
in the future and the shame to their families should be
regarded as a moral sanction. Pursuant to Law Number
3 of 1997, imposing criminal sentence to minors is no
different from adult offenders, and one of the sentences
is imprisonment. However the defendants are minors,
and in this case, it should be resolved amicably out of
court through a diversion as stipulated in Law Number
11 of 2012 concerning Juvenile Justice System.
Keywords: juvenile justice system, justice, legal certainty,
purposiveness.
PENDAHULUAN
dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam
rangka penyelenggaraan perlindungan anak,
A. Latar Belakang
negara dan pemerintah bertanggung jawab
Anak merupakan anugerah dari Sang Maha menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi
Pencipta di mana dalam dirinya melekat harkat anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan
dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak dan perkembangan anak secara optimal dan
sebagai generasi muda mempunyai potensi terarah sebagaimana termaktub dalam penjelasan
dalam diri pribadinya sebagai penerus cita-cita Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, Perlindungan Anak.
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
Dalam hal anak terlibat dengan kasus
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di
hukum maka Undang-Undang Nomor 11
masa mendatang.
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Konsideran
Undang-Undang
Nomor mengkategorikannya sebagai anak yang
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berkonflik dengan hukum. Menurut Pasal 1 ayat
menyebutkan agar setiap anak kelak mampu (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 anak
memikul tanggung jawab tersebut, maka ia yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur
untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
mulia. Untuk itu diperlukan upaya perlindungan tindak pidana.
untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
Sebelum adanya Undang-Undang Nomor
memberikan jaminan terhadap pemenuhan
11 Tahun 2012, proses pengadilan anak diatur oleh
hak-hak anak serta adanya perlakuan tanpa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
diskriminasi.
Sistem Pengadilan Anak sebagai upaya pembinaan
Orang tua, keluarga, dan masyarakat dan perlindungan dalam rangka menjamin
bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
hak-hak anak sesuai dengan kewajiban yang dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras dan
252 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 252
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:29 PM
seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai
penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan
secara khusus. Meskipun demikian hukum acara
yang berlaku (KUHAP) diterapkan pula dalam
acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Pada prinsipnya tugas dan kewenangan pengadilan
anak sama dengan pengadilan perkara pidana
lainnya (Waluyo, 2008).
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan melakukan tipu muslihat memaksa
anak untuk melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain jo. Pasal 82, yaitu
sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012, penyelesaian perkara anak lebih
mengedepankan proses di luar peradilan dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/
korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan untuk
mencari keadilan restoratif sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012.
Tuntutan jaksa menyatakan bahwa terdakwa
S, FY, dan MS terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Secara
bersama-sama dengan sengaja dan tipu muslihat
mencabuli anak“ sebagaimana diatur dan diancam
pidana melanggar Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dalam
dakwaan subsidair serta menjatuhkan pidana
terhadap para terdakwa dengan pidana penjara
masing-masing selama 3 (tiga) tahun dan 3 (tiga)
bulan dikurangi selama para terdakwa berada
dalam tahanan dengan perintah agar para terdakwa
tetap ditahan dan denda sebesar Rp60.000.000,(enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan
wajib latihan kerja.
Salah satu contoh perkara pidana anak
terjadi di Blitar dan telah diputus oleh Pengadilan
Negeri Blitar dengan Nomor Perkara 201/Pid.
Sus/2014/PN.Blt pada tanggal 20 Mei 2014.
Adapun kronologis dari kasus tersebut pada
tanggal 6 Oktober 2013 para terdakwa yang
masing-masing pada saat itu berusia 17 tahun
dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan
korban LDS yang pada saat itu berusia 14 tahun.
Sebelum disetubuhi, korban terlebih dahulu diberi
minuman keras oleh para terdakwa, kemudian
setelah korban tidak sadarkan diri para terdakwa
menyetubuhi korban secara bergantian.
Atas perbuatan tersebut jaksa penuntut
umum mendakwa S, FY, dan MS melakukan
tindak pidana sebagaimana rumusan Pasal 81
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yaitu dengan
Hakim diberi wewenang oleh undangundang untuk menerima, memeriksa, dan memutus
suatu perkara pidana, ia harus berbuat adil dalam
menangani suatu perkara. Dalam memberikan
putusan hakim dipengaruhi banyak hal baik yang
ada pada dirinya maupun sekitarnya antara lain
agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan
sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya
perbedaan cara pandang yang mempengaruhi
pertimbangan dalam memberikan putusan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah putusan
yang ideal adalah putusan yang mengandung
aspek kepastian, kemanfaatan, dan keadilan
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 253
| 253
1/18/2016 12:09:29 PM
agar pelaku pidana anak jera atas tindak pidana
yang telah diperbuat, namun di sisi lain hakhak sebagai anak tetap terpenuhi serta membuat
ketertiban hukum dalam masyarakat sehingga
penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat
bisa terwujud.
Aspek kepastian menghendaki dalam
putusannya, hakim harus berpedoman pada
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana prinsip Negara Indonesia adalah
negara hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 mengatur bahwa anak yang melakukan
tindak pidana dijatuhi dengan pidana pokok dan
pidana tambahan. Berbeda dengan penjatuhan
pidana menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 yang menghendaki proses peradilan
anak harus mengutamakan dan mengedapankan
upaya diversi. Hal ini dimaksudkan untuk menarik
penyelesaian perkara pidana anak keluar dari
ranah justisi ke dalam penyelesaian kekeluargaan
dengan mekanisme musyawarah mufakat.
Berdasarkan asas kemanfaatan, putusan
hakim tidak serta-merta berpedoman pada
ketentuan undang-undang. Namun lebih dari itu
hakim harus memandang bahwa masyarakat dan
negara berperan serta terhadap pemenuhan hakhak anak. Hal ini sebagai wujud perlindungan
terhadap tumbuh kembang anak baik anak yang
berhadapan dengan hukum dan anak korban
sesuai dengan prinsip Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 yaitu perlindungan, keadilan,
nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, penghargaan terhadap pendapat anak,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
anak, pembinaan dan pembimbingan anak,
proporsional, perampasan kemerdekaan dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir. Dengan
adanya penjatuhan pidana tersebut menjadi shock
therapy bagi terdakwa dengan harapan tidak
254 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 254
mengulangi tindak pidana di masa yang akan,
sehingga putusan hakim membawa kemanfaatan
bagi terdakwa.
Sedangkan keadilan pada hakikatnya
bersifat abstrak dan relatif. Dalam hukum pidana
khususnya dalam sebuah kasus pidana keadilan
sangat sulit diciptakan karena terdapat dua pihak
berbeda kepentingan yang menuntut terciptanya
sebuah keadilan, kedua pihak tersebut adalah
pelaku dan korban, keadilan bagi pelaku tentu
pidana yang ringan dan hal itu tentu akan
bertentangan dengan keadilan bagi pihak korban,
begitupun sebaliknya, keadilan bagi pihak
korban adalah pidana seberat-beratnya kepada
pelaku dan hal itu tentu ditentang oleh pelaku
yang merasa tidak adil, dengan demikian sangat
sulit menentukan sebuah keadilan yang bisa
memberikan kepuasan kedua belah pihak. Di
sinilah peran hakim untuk bisa mengakomodir
kepuasan para pihak akan keadilan melalui
putusan hakim (Prabowo, 2013, hal. 114-115).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kronologis
kasus di atas, maka yang akan dijawab dalam
kajian ini adalah: Apakah hakim dalam
menjatuhkan Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/
PN.Blt tersebut sudah memenuhi aspek yuridis
(kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),
dan filosofis (keadilan)?
C.
Tujuan dan Kegunaan
Dari penelitian hukum yang akan dilakukan
tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui
dan menganalisis aspek yuridis (kepastian
hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan
filosofis (keadilan) bagi terdakwa dalam Putusan
Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:29 PM
D.
Studi Pustaka
1.
Tinjauan Tentang Pidana Anak
1.2 Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
1.1 Pengadilan dan Perlindungan Anak
menyatakan bahwa dapat anak dapat dijatuhkan
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 71 ayat
Anak menyatakan Sistem Peradilan Pidana (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana
Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian tambahan bagi anak:
perkara anak yang berhadapan dengan hukum,
a. Pidana pokok
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
1. Pidana peringatan
Mengenai
tugas
dan
kewenangan
pengadilan anak (sidang anak) Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyatakan bahwa pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap perkara anak dilakukan oleh
hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas
usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan
melalui ketua pengadilan tinggi.
Pasal 53 menegaskan bahwa: (1) Anak b.
disidangkan dalam ruang sidang khusus anak;
(2) Ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari
ruang tunggu sidang orang dewasa; (3) Waktu
sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang
dewasa.
Dalam Pasal 55 ayat (1) dinyatakan pula
dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan
orang tua/wali atau pendamping, advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing
kemasyarakatan untuk mendampingi anak.
2.
Pidana dengan syarat:
a.
Pembinaan di luar lembaga
b.
Pelayanan masyarakat
c.
Pengawasan
3.
Pelatihan kerja
4.
Pembinaan dalam lembaga
5.
Penjara
Pidana tambahan
1.
Perampasan
keuntungan
yang
diperoleh dari tindak pidana; atau
2.
Pemenuhan kewajiban adat.
Yang dimaksud dengan “kewajiban
adat” adalah denda atau tindakan
yang harus dipenuhi berdasarkan
norma adat setempat yang tetap
menghormati harkat dan martabat
anak serta tidak membahayakan
kesehatan fisik dan mental anak.
Pada prinsipnya, tugas dan kewenangan
pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara
c. Tindakan
pidana lainnya. Meski prinsipnya sama, namun
Beberapa tindakan yang dapat dikenakan
yang tetap harus diperhatikan ialah perlindungan
kepada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82
anak merupakan tujuan utama.
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 255
| 255
1/18/2016 12:09:29 PM
ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi:
•
Pengembalian kepada orang tua/
wali;
•
Penyerahan kepada seseorang;
•
Perawatan di rumah sakit jiwa;
•
Perawatan di LPKS;
•
•
2.
Tinjauan Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak di Bawah Umur
Pengertian mengenai istilah persetubuhan
tidak diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Di dalam kedua peraturan tersebut hanya
mengatur ketentuan pidananya saja.
Istilah yang digunakan dalam KUHP
adalah “kejahatan terhadap kesusilaan,” tidak
Kewajiban mengikuti pendidikan
menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual
formal dan/atau pelatihan yang
violence) yang diartikan sebagai perbuatan
diadakan oleh pemerintah atau badan
pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat
swasta;
dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan.
Pencabutan surat izin mengemudi; Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan
masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak
dan/atau
dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan
•
Perbaikan akibat tindak pidana.
semata-mata sebagai persoalan pelanggaran
Yang dimaksud dengan ”penyerahan terhadap nilai-nilai budaya, norma agama,
kepada seseorang” adalah penyerahan kepada atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu
orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap
baik, dan bertanggung jawab, oleh hakim serta tubuh dan jiwa seseorang.
dipercaya oleh anak. Perawatan di rumah sakit
Pasal 287 ayat (1) KUHP menyatakan:
jiwa diberikan kepada anak yang pada waktu ”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita
melakukan tindak pidana menderita gangguan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau
jiwa atau penyakit jiwa.
sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak
jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan,
Tindakan
penyerahan
anak diancam dengan pidana penjara paling lama
kepada
seseorang
dilakukan sembilan tahun.”
untuk kepentingan anak yang
Sedangkan Pasal 81 Undang-Undang
bersangkutan.
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Tindakan perawatan terhadap anak Anak berbunyi:
dimaksudkan
untuk
membantu
orang tua/wali dalam mendidik dan (1) Setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman
memberikan pembimbingan kepada
kekerasan memaksa anak melakukan
anak yang bersangkutan.
persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling
Selain itu pula dalam Pasal 83 disebutkan:
•
•
256 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 256
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:29 PM
lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,(enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain.”
Berlakunya
Undang-Undang
Nomor
23 Tahun 2002, dengan berdasarkan asas lex
specialis derogat legi generalis (aturan yang
sifatnya khusus mengesampingkan aturan
itu, diuacapkan di persidangan dan bertujuan
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atau suatu sengketa antara para pihak” (Prabowo,
2013, hal. 54-55).
Putusan hakim adalah sebuah produk
hukum yang dihasilkan dari serangkaian proses
persidangan dalam:
1.
Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan
Tinggi (PT) dalam lingkungan Peradilan
Umum.
2.
Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan
Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan
Peradilan Agama.
3.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.
sifatnya umum), maka tindakan pencabulan
terhadap anak yang berumur di bawah 18 tahun
menjadi domain undang-undang ini, dan KUHP
hanya dapat dipergunakan terhadap tindak
4.
pidana pencabulan terhadap anak yang berumur
di atas 18 tahun tetapi masih di bawah 21 tahun
dan belum pernah kawin (Sadiwijaya, Marlina,
Mulyadi, & Baru, 2012, hal. 6).
Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan
Tinggi Militer dalam lingkungan Peradilan
Militer.
Setiap keputusan hakim merupakan salah
satu dari tiga kemungkinan:
3.
Tinjauan Tentang Putusan Hakim
a.
Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan
atau tata tertib;
b.
Putusan bebas;
c.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
3.1 Pengertian Putusan Hakim
Dalam hukum acara pidana Pasal 1 butir 11
KUHAP menyebutkan bahwa “Putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam
sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.”
Senada dengan hal tersebut Prof. Sudikno
Mertokusumo memberikan definisi putusan
hakim “sebagai suatu pernyataan yang oleh
hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang
3.2 Syarat Formalitas Putusan Hakim
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur
formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan
hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau
ketentuan tersebut tidak terpenuhi, kecuali pada
huruf g, putusan batal demi hukum. Ketentuan
tersebut adalah:
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 257
| 257
1/18/2016 12:09:29 PM
a.
b.
c.
d.
kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
k.
nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
l.
tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
dakwaan, sebagaimana terdapat dalam
surat dakwaan;
perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap
dalam tahanan atau dibebaskan;
hari dan tanggal putusan, nama penuntut
umum, nama hakim yang memutus, dan
nama panitera (Hamzah, 2010, hal. 288).
Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP
pertimbangan yang disusun secara ringkas dikatakan bahwa surat keputusan ditandatangani
mengenai fakta dan keadaan beserta oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan
alat-pembuktian yang diperoleh dari itu diucapkan (Hamzah, 2010, hal. 289).
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa;
3.3 Syarat Materiil Putusan Hakim
e.
tuntutan pidana, sebagaimana terdapat
dalam surat tuntutan;
f.
pasal peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pemidanaan atau tindakan
dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan terdakwa;
g.
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik
dianggap palsu;
hari dan tanggal diadakannya musyawarah
majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;
h.
pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan
telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan
tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang
dijatuhkan;
i.
ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya
yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
j.
keterangan bahwa seluruh surat ternyata
palsu atau keterangan di mana letaknya
258 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 258
Demi untuk menjamin keadilan bagi para
pihak yang berperkara di persidangan menurut
Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum
ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan
yaitu: yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis
(kemanfaatan) dan filosofis (keadilan).
Adapun penjelasan mengenai apa yang
disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo adalah
sebagai berikut:
a.
Yuridis (kepastian hukum)
Kepastian hukum menekankan agar hukum
atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana
yang diinginkan oleh bunyi hukum/
peraturannya. Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal
terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana
hukumnya itulah yang harus berlaku,
sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang, meskipun dunia ini runtuh
namun hukum harus ditegakkan. Inilah
yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Kepastian hukum sebagai perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenangJurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:29 PM
wenang, yang berarti bahwa seseorang akan
dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Masyarakat
mengharapkan adanya kepastian hukum,
karena dengan adanya kepastian hukum
masyarakat akan lebih tertib. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum
karena bertujuan ketertiban masyarakat.
c.
Radbruch memberi pendapat yang cukup
mendasar mengenai kepastian hukum, ada empat hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu
positif. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan
pada fakta atau hukum yang ditetapkan
itu pasti yaitu dengan adanya keterangan.
Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus
dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan
di samping mudah dilaksanakan. Keempat,
hukum positif tidak boleh mudah berubah
(Sanjaya, 2015, hal. 169-170).
b.
Nilai sosiologis (kemanfaatan)
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum.
Hukum adalah untuk manusia, maka
pelaksanaan hukum atau penegakan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat. Jangan sampai justru karena
hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan
timbul keresahan di dalam masyarakat.
Dalam hal pertanggungjawaban atas
perbuatan pidana yang dilakukan oleh
anak dapat diminimalisirkan dengan upaya diversi. Upaya diversi ini merupakan
pengalihan perkara di luar peradilan,
sehingga anak umur 12-15 tahun yang
dianggap kemampuan berpikirnya lemah
bisa dilakukan pelajaran berupa hukuman
bukan hukuman pidana. Demikian juga bagi
anak umur 15-18 tahun juga bisa dibantu
dengan upaya diversi. Usia anak 12-18
tahun merupakan usia untuk memperoleh
hak pendidikan agar menjadi manusia yang
berguna bagi keluarga, masyarakat, dan
agama.
Filosofis (keadilan)
Dari pembahasan di atas dapat dikatakan
bahwa dasar filosofis Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012, ialah Pancasila
yang merupakan sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia yang memiliki lima
asas moral yakni ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Indonesia yang memiliki keragaman adat
istiadat dan budaya mengenal penyelesaian
sengketa tanpa harus diselesaikan di meja
pengadilan dalam perkara anak yang sedang
berhadapan dengan hukum.
Perlu diketahui bahwa Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 merupakan undangundang hasil ratifikasi dari beberapa
peraturan
internasional
mengenai
perlindungan anak antara lain: Beijing
Rules dan Convention on The Right of
The Child. Sedangkan untuk perlindungan
hukum bagi anak yang berkonflik dengan
hukum harus diupayakan penyelesaian
secara damai untuk meminimalisir anak
berkonflik dengan hukum.
Aristoteles mengajarkan dua macam
keadilan yaitu keadilan distributif dan
keadilan komutatif. Keadilan distributif
ialah keadilan yang memberikan kepada
tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia
tidak menuntut supaya tiap-tiap orang
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 259
| 259
1/18/2016 12:09:29 PM
mendapat bagian yang sama banyaknya,
bukan persamaan melainkan kesebandingan.
Keadilan komutatif ialah keadilan yang
memberikan pada setiap orang sama
banyaknya dengan tidak mengingat jasa- b.
jasa perseorangan (Apeldoorn, 2000, hal.
11-12).
II.
METODE
A.
Pendekatan Hukum
1997 tentang Pengadilan Anak;
•
Dalam metode penelitian ini maka penulis
melakukan pendekatan hukum yuridis normatif
c.
yaitu melihat hukum sebagai norma dalam
masyarakat atau sebagai ide/cita-cita dengan
melakukan sebuah kajian legal memorandum
yaitu sebuah penelitian yang mengkaji isi dari
Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt tentang
C.
tindak pidana persetubuhan terhadap anak dengan
pelaku di bawah umur.
Jenis Bahan Hukum
a.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum a.
utama yang digunakan dalam sebuah
penelitian, dan dalam penelitian ini bahan
hukum primer penulis adalah Putusan
Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt serta
berbagai peraturan perundang-undangan
yang terkait antara lain:
•
Kitab Undang-Undang
Pidana;
•
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana;
Hukum
•
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak;
•
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
Jurnal isi edit arnis ok.indd 260
Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang mendukung bahan hukum
primer, dan dalam penelitian ini bahan
hukum sekunder penulis adalah buku
terkait tindak pidana, buku terkait tindak
pidana terhadap anak, artikel-artikel terkait
tindak pidana persetubuhan baik dari media
cetak maupun elektronik.
Bahan hukum tersier yang digunakan
penulis untuk mendukung terselesaikannya
penelitian ini adalah hasil penelitian yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang
dilakukan penulis untuk menyelesaikan penelitian
ini adalah:
B.
260 |
Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Studi dokumen
Studi dokumen merupakan suatu alat
pengumpulan data yang dilakukan melalui
data tertulis dengan mempergunakan
“content analysis” (Prabowo, 2013,hal. 21).
Adapun dokumen yang digunakan penulis
adalah yang menjadi objek penelitian ini
yaitu Putusan Nomor 201/ Pid.Sus/ 2014/
PN.Blt.
b.
Studi kepustakaan
Studi kepustakaan adalah pengkajian
informasi tertulis mengenai hukum yang
berasal dari berbagai sumber hukum dan
dipublikasikan secara luas serta diterbitkan
dalam penulisan.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:29 PM
D.
Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis terhadap bahan hukum yang
dilakukan adalah analisis terhadap isi Putusan
Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Filosofi sistem peradilan pidana anak
mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi
terhadap pelaku anak (emphasized the
rehabilitation of youthful offender) sebagai orang
yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan
dibandingkan orang dewasa. Anak memerlukan
perlindungan dari negara dan masyarakat untuk
kepentingan masa depannya yang masih panjang.
Terhadap anak yang terlanjur menjadi pelaku
tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan
pidana yaitu mengupayakan seminimal mungkin
intervensi sistem peradilan pidana (Marlina,
2010, hal. 1).
Pada dasarnya hakim mempertimbangkan
segala sesuatunya dari beberapa aspek dalam
menjatuhkan putusan yaitu:
a.
Aspek yuridis. Dalam teori dan doktrin
hukum pidana ada yang disebut dengan
perbuatan pidana (strafbaarheid van heit
feit) dan pertanggungjawaban pidana
(strafbaarheid van de person/ van de dader).
Perbuatan pidana yang dilakukan para
terdakwa harus ada pertanggungjawaban
dari segi kualitas perbuatan. Setiap orang
bertanggung jawab sejauh terhadap
perbuatan yang telah dilakukannya. Hakim
dengan melihat hal itu berpendapat dan
berkeyakinan kesalahan yang dibebankan
kepada para terdakwa memang sudah
seimbang.
b.
Aspek filosofis. Merupakan upaya untuk
menanamkan pandangan dan sikap baru bagi
diri terdakwa dari segi ontologis (kenyataan
yang ada), epistemologis (pengetahuan
yang benar), aksiologis (nilai-nilai yang
baik) yang secara radikal dan menyeluruh
memberikan pemahaman dan pencerahan
bahwa prinsip melakukan perbuatan baik
dan jangan melakukan perbuatan jahat
adalah suatu nilai, norma, dan budaya yang
harus terus dijaga dan diterapkan dalam
setiap aktivitas dan kehidupan sehari-hari
semenjak dini agar tidak terseret ke dalam
kesulitan yang lebih jauh. Dasar filosofis
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
adalah Pancasila, dan fungsi Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum,
merupakan salah satu fungsi di samping
berbagai fungsi yang lain. Fungsi-fungsi
yang lain itu meliputi Pancasila sebagai
ideologi, Pancasila sebagai dasar filsafat
negara, Pancasila sebagai filsafat hidup
bangsa, dan Pancasila sebagai dasar negara.
Masing-masing dari fungsi tersebut memiliki
konteks tertentu. Fungsi Pancasila sebagai
ideologi negara, merupakan pandangan
dari perspektif politik dengan konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa,
merupakan pandangan dari sudut filsafat
moral atau etika dalam konteks kehidupan
individu atau pribadi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan
pandangan dari sudut yuridis atau hukum,
yang juga menempatkan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum. Aspek
psikologis. Yaitu upaya untuk menanamkan
rasa malu yang bersifat psikis kepada siapa
saja yang melakukan tindakan melanggar
hukum. Hukuman yang tepat selain akan
berdampak hukum bagi terdakwa juga
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 261
| 261
1/18/2016 12:09:30 PM
akan berdampak psikis dalam artian akan
ada sanksi moral yang kiranya sudah cukup
memberikan rasa malu bagi terdakwa
bahkan mungkin terhadap keluarganya
juga.
c.
d.
Aspek sosiologis. Yakni dengan melihat
keadaan masyarakat yang terus tumbuh dan
berkembang, maka keinginan masyarakat
akan aspek keamanan dan ketertiban
haruslah ditangkap sebagai semangat untuk
giat membangun meraih kesejahteraan dan
kemakmuran hidup. Pengertian anak korban
menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
adalah anak yang belum berumur delapan
belas tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh tindak pidana.
Perlunya penggunaan hukum adat untuk
penyelesaian perkara anak sebagai upaya
jalan damai dari pihak pelaku kepada pihak
korban ini bisa dijadikan sebagai landasan
sosiologis.
Jika melihat dari pertimbangan hakim
di atas kembali lagi bahwa Indonesia sebagai
negara kesatuan yang berbentuk republik,
mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah
negara yang menjunjung tinggi hukum. Hal ini
tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945
hasil amandemen ke-3 yang menyebutkan
bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum. Dengan demikian, Indonesia adalah
negara yang menghendaki hukum sebagai alat
untuk mengendalikan tingkah laku manusia
untuk terselenggaranya suatu keteraturan dan
keseimbangan hubungan di antara masyarakat
serta kepentingan-kepentingan yang akan timbul
agar tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat
(Prabowo, 2013, hal. 1).
Secara universal dapat dikatakan bahwa
fungsi hukum yang utama adalah sebagai sarana
pengendalian hidup bermasyarakat dengan
menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang
ada dalam masyarakat atau dengan perkataan
lain sebagai sarana kontrol sosial. Tujuan dari
pemidanaan adalah untuk memperbaiki pribadi
penjahat sendiri, membuat orang jera untuk
Aspek edukatif paedagogis. Aspek ini
melakukan tindak pidana, membuat penjahatmemuat konsep tentang terapi yang tepat
penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan
harus dimasukkan dari setiap penghukuman
tindak pidana. Menurut Sahardjo, tujuan
yang dijatuhkan. Dalam artian hakim
pidana penjara adalah untuk menimbulkan rasa
berpendirian tindak pidana yang dilakukan
derita pada terpidana karena dihilangkannya
terdakwa memang benar-benar harus
kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana
dijatuhi hukuman yang sesuai dengan tujuan
agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi
pemidanaan itu sendiri bukan semata-mata
seorang anggota masyarakat sosialis di Indonesia
sebagai pembalasan/represif melainkan
yang berguna (Asmarawati, 2014, hal. 30, 23).
sebagai usaha preventif dan lebih tegas lagi
bersifat edukatif, konstruktif, dan motivatif
Dalam sistem peradilan pidana anak
bagi kehidupan terdakwa di masa yang akan perangkat hukum mulai dari penyidik, penuntut
datang. Hal itu dimaksudkan agar terdakwa umum, hakim, hakim banding, hakim kasasi
tidak mengulangi perbuatan tersebut dan kesemuanya khusus untuk menangani anak.
juga bagi masyarakat merupakan suatu Dalam peraturan terbaru ini penegak hukum
shock therapy.
diwajibkan mengupayakan penyelesaian secara
262 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 262
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:30 PM
diversi pada seluruh tahapan proses hukum.
Dalam memeriksa anak tersebut seluruh perangkat
hukum tidak memakai pakaian dinas atau toga.
Hakim pemeriksa perkara anak dilakukan dalam
sidang tertutup. Mengupayakan hak-hak yang
terbaik bagi anak sebagai bentuk perlindungan
dan pembinaan bukan sebagai pembalasan seperti
dalam sistem peradilan pidana orang dewasa
sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yang mana upaya diskresi hanya bisa dilakukan
oleh diskresioner dalam hal ini adalah orang tua,
wali atau orang tua asuh.
pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah
yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis
(kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan), dan
filosofis (keadilan) (Prabowo. 2013, hal. 57).
Adapun penjelasan mengenai apa yang
disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo adalah
sebagai berikut:
a.
Yuridis (kepastian hukum)
Kepastian hukum menekankan agar hukum
atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang
diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya.
Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret.
Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku,
sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun
hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan
oleh kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan
adanya kepastian hukum, karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum
karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Sebagian pakar hukum pidana, psikolog
maupun pengamat perilaku anak berpendapat
penanganan pidana anak harus berbeda dengan
penanganan pidana orang dewasa. Selain
itu mengubah pola pikir masyarakat yang
mendiskreditkan pelaku dari lingkungan sekitar
harus diperbaiki. Paradigma negatif masyarakat
terhadap pelaku turut mempengaruhi sistem di
masyarakat. Perubahan sudut pandang dengan
mengedepankan norma-norma hukum yang
berlaku di masyarakat dengan tidak menghakimi
atau mencabut hak-hak anak seperti pendidikan,
bermain, perlindungan turut menjadi upaya
sebagai penguatan sistem komunitas. Maka dari
itu diharapkan dengan kembalinya pelaku ke
Radbruch memberi pendapat yang cukup
masyarakat luas mendapatkan dukungan dari
mendasar mengenai kepastian hukum. Ada empat
masyarakat sekitar untuk reintegrasi anak yang
hal yang berhubungan dengan makna kepastian
melakukan pelanggaran.
hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif yakni
Selain harus memenuhi syarat formil seperti perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu
yang dikemukakan tersebut putusan hakim juga didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan
harus memenuhi syarat materiil. Menurut Sudikno itu pasti. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus
Mertokusumo dalam menegakkan hukum dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di
yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, dan samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum
keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk positif tidak boleh mudah berubah (Sanjaya,
menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di 2015, hal. 169-170).
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 263
| 263
1/18/2016 12:09:30 PM
Menurut penulis terhadap makna kepastian
hukum yang keempat di atas adalah hukum tidak
boleh mudah berubah, namun jika melihat realita
yang ada di lapangan bahwasanya masyarakat
bersifat dinamis sedangkan hukum adalah statis.
Maka hukum seharusnya menyesuaikan dengan
kebutuhan suatu masyarakat akan hukum.
Sebagaimana dikutip dari Wagiati Soetedjo dan
Melani menyatakan sistem peradilan pidana erat
kaitannya dengan perundangan itu sendiri, baik
hukum pidana materiil maupun hukum pidana
formil. Perundang-undangan pidana anak yang
berlaku di Indonesia saat ini adalah terutama
didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-undang
Pengadilan Pidana (Sutedjo & Melani, 2013, hal.
135). Sedangkan prinsip Baijing Rules mengatur
anak pelaku tindak pidana dihindarkan dari
pidana penjara. Penjatuhan pidana merupakan
upaya terakhir, karena penjatuhan pidana terhadap
pelaku anak berakibat anak masuk lembaga
pemasyarakatan anak (Marlina, 2010, hal. 12).
Putusan hakim di atas menjatuhkan pidana
terhadap para terdakwa dengan pidana penjara
masing-masing selama dua tahun dan tiga bulan;
Menjatuhkan pula pidana kepada para terdakwa
untuk membayar denda masing-masing sebesar
enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika
denda tersebut tidak dibayar maka akan digantikan
dengan wajib latihan kerja selama tiga bulan.
Undang-Undang terbaru diberlakukan kepada
para terdakwa akan lebih tepat. Penyelesaian
secara diversi dalam peradilan pidana yang
dilakukan oleh anak sebagaimana dimuat dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak dilaksanakan
berdasarkan asas:
a.
Perlindungan
b.
Keadilan
c.
Non diskriminasi
d.
Kepentingan terbaik bagi anak
e.
Penghargaan terhadap pendapat anak
f.
Kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak
g.
Pembinaan dan pembimbingan anak
h.
Proporsional
i.
Perampasan
kemerdekaan
dan
pemidanaan sebagai upaya terakhir
j.
Menghindari pembalasan
Bila dikaitkan dengan restorative justice
dalam penyelesaian perkara anak yang sedang
berhadapan dengan hukum, ternyata Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki lebih
dari satu suku, budaya, agama yang mana tiap
daerahnya berbeda-beda, telah lebih dahulu
mengenal istilah penyelesaian sengketa tanpa
harus diselesaikan di meja pengadilan. Berbagai
upaya dilakukan untuk menemukan jalan damai
dari pihak pelaku kepada pihak korban yang
mana dengan ini bisa dijadikan sebagai landasan
sosiologis untuk penerapan diversi itu sendiri.
Dalam perkara ini Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 masih berlaku berdasarkan perkara
yang diputus oleh hakim pada 20 Mei 2014 yang
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum
secara komprehensif memberikan perlindungan
Dengan adanya upaya damai, penciptaan
kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
keamanan dan ketertiban dalam aspek apapun
Jika proses diversi yang diatur dalam Pasal 6
264 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 264
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:30 PM
akan menjadi lebih tertata dengan apik dan rapi
serta menjamin keselamatan dan ketenangan
masyarakat dari tindakan balas dendam yang
berimplikasi ke semua persoalan hidup.
Pencegahan kejahatan secara dini mampu
melindungi masyarakat dari terulangnya lagi
suatu tindak pidana yang dapat meresahkan
kehidupan masyarakat. Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 mulai berlaku pada 30 Juli 2014,
sedangkan perkara diputus pada pada tanggal
20 Mei 2014. Sangat disayangkan jika proses
peradilan anak masih terdapat intervensi peradilan
pidana layaknya orang dewasa.
di dalam masyarakat bahwa tindak pidana
persetubuhan terhadap anak di bawah umur akan
terulang kembali bahkan merajalela. Dalam
pertimbangannya hakim memandang dari sisi
tindak pidana yang dilakukan terdakwa memang
benar-benar harus dijatuhi hukuman yang sesuai
dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.
Menurut Marlina, tujuan dari hukum pidana
anak adalah untuk menyembuhkan kembali
keadaan jiwa anak yang telah terguncang akibat
perbuatan pidana yang dilakukannya. Jadi tujuan
pidana tidak semata-mata menghukum anak yang
bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan
kembali anak yang telah melakukan kekeliruan
b. Kemanfaatan putusan hakim
atau telah melakukan perbuatan menyimpang
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam (Marlina, 2010, hal. 158).
pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum
Selain itu penjatuhan pidana dimaksudkan
adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum
agar terdakwa tidak mengulangi perbuatan
atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau
tersebut dan juga bagi masyarakat merupakan
kegunaan bagi masyarakat jangan sampai justru
suatu shock therapy. Sekali lagi penjatuhan pidana
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan
bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam
timbul keresahan di dalam masyarakat.
tetapi yang paling penting adalah pemberian
Dari catatan atas pengalaman penanganan bimbingan dan pengayoman bagi anak.
anak yang diduga melakukan tindak pidana yang
dilakukan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak
(LAHA) yang berkedudukan di Bandung, ternyata
95% anak dikenakan penahanan dan 100% vonis
hakim berupa pidana penjara. Banyaknya anakanak yang masuk tahanan dan/atau divonis
hakim untuk masuk penjara di samping dapat
menimbulkan dampak frustasi pada si anak
juga dapat menimbulkan masalah berat kelak di
kemudian hari dan dapat menimbulkan faktor
kriminogen (Sutedjo & Melani, 2013, hal. 132133).
Konsepsi baru fungsi pemidanaan adalah
bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga
fungsi pemidanaan sebagai upaya rehabilitasi
dan reintegrasi sosial (pemasyarakatan) sehingga
seseorang yang telah menjalani pidana dapat
dengan cepat kembali lagi beradaptasi di tengah
masyarakat, sebagaimana layaknya warga negara
yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
c.
Filosofis (keadilan)
Masyarakat sangat berkepentingan bahwa
dalam pelaksanaan atau penegakan hukum
Namun apabila ketiga terdakwa tersebut
hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam
tidak diberi sanksi sesuai dengan putusan
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
hakim justru hal ini akan membuat keresahan
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 265
| 265
1/18/2016 12:09:30 PM
Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan.
Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Contohnya bahwa
barang siapa yang mencuri harus dihukum, jadi
setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan
tetapi sebaliknya keadilan itu bersifat subjektif,
individualistis, dan tidak menyamaratakan.
menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang
ada dalam masyarakat atau dengan perkataan
lain sebagai sarana kontrol sosial. Tujuan dari
pemidanaan adalah untuk memperbaiki pribadi
penjahat sendiri, membuat orang jera untuk
melakukan tindak pidana, membuat penjahatpenjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan
tindak pidana (Asmarawati, 2014, hal. 30, 23).
Aristoteles mengajarkan dua macam
keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan
komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut
jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang
mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan
persamaan melainkan kesebandingan. Keadilan
komutatif ialah keadilan yang memberikan
pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan (Apeldoorn,
2000, hal. 11-12).
Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Dengan demikian apabila suatu
perbuatan yang disangkakan sebagai perbuatan
pidana apabila tidak memenuhi unsur sekurangkurangnya dua alat bukti maka perbuatan tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana.
Sejalan dengan hal tersebut mengenai penjelasan
tentang alat bukti yang sah telah diatur dalam
Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan bahwa
alat bukti yang sah adalah:
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa “Setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.” Sedangkan Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan “Tidak seorang pun
dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas
dirinya.” Dapat digambarkan bahwa penjatuhan
pidana kepada seseorang berdasarkan alat bukti
yang cukup. Secara universal dapat dikatakan
bahwa fungsi hukum yang utama adalah sebagai
sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan
266 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 266
a.
Keterangan Saksi
b.
Keterangan Ahli
c.
Surat
d.
Petunjuk
e.
Keterangan Terdakwa
Alat bukti yang dimaksudkan di atas adalah
alat bukti yang sah menurut KUHAP. Sehingga
dalam hal terdakwa masih di bawah umur ketika
melakukan tindakan pidana tersebut tentunya ada
banyak perbedaan dengan terdakwa usia dewasa
dari tahap penyidikan hingga persidangan di
pengadilan anak, hukum acara yang digunakan
sampai kepada sanksi penjatuhan pidana yang
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:30 PM
berbeda dengan terdakwa usia dewasa termasuk
penggunaan alat bukti.
Bahwa dari ketiga terdakwa dijatuhi pidana
penjara sama rata walaupun dalam pemeriksaan
di muka persidangan terdakwa MS bersikeras
tidak mengakui perbuatannya sehingga dalam
pledoinya, penasihat hukum terdakwa meminta
kepada hakim untuk membebaskan terdakwa MS
dari segala tuntutan jaksa penuntut umum namun
keterangan tersebut tidak didukung bukti maupun
keterangan terdakwa atau saksi. Apabila pledoi
penasihat hukum ini diterima oleh hakim maka
akan mencederai rasa keadilan bagi terdakwa
yang lain.
satu terdakwa, MS, bersikeras tidak mengakui
perbuatannya. Dalam pledoinya, penasihat
hukum terdakwa meminta kepada hakim untuk
membebaskan terdakwa MS dari segala tuntutan
jaksa penuntut umum namun keterangan tersebut
tidak didukung bukti maupun keterangan terdakwa
atau saksi. Apabila pledoi penasihat hukum ini
diterima oleh hakim maka akan mencederai
rasa keadilan bagi terdakwa yang lain. Menurut
penulis penting bagi hakim untuk memperhatikan
setiap syarat materiil karena dalam hukum pidana
yang dicari adalah kebenaran materiil dan bukan
kebenaran formil.
V.
SARAN
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas
diperoleh suatu gagasan untuk pembaruan sistem
Dalam menjatuhkan putusan, hakim anak
hukum di Indonesia khususnya pembaruan sistem
pemeriksa perkara di atas mengutamakan tiga
hukum peradilan anak. Dalam pembaruan sistem
aspek. Pertama, aspek yuridis (kepastian hukum)
hukum tersebut dihasilkan beberapa saran:
untuk menekankan agar hukum atau peraturan
itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan 1. Untuk menghindari stigma negatif dari
oleh bunyi hukum/ peraturannya. Oleh karena
masyarakat terhadap pelaku anak dengan
perkara ini diputus hakim pada 20 Mei 2014
berlakunya Undang-Undang Nomor 11
sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak,
2012 mulai berlaku pada 30 Juli 2014. Sangat
terutama yang mengatur tentang diversi,
disayangkan jika proses peradilan anak masih
maka pihak-pihak penegak hukum harus
terdapat intervensi peradilan pidana layaknya
mengupayakan tindakan diversi terhadap
orang dewasa.
perkara anak dalam hal ancaman pidana di
Kedua, aspek sosiologis (kemanfaatan
hukum). Dalam pertimbangannya hakim
memandang dari sisi tindak pidana yang 2.
dilakukan terdakwa memang benar-benar harus
dijatuhi hukuman yang sesuai dengan tujuan
pemidanaan itu sendiri agar kelak para terdakwa
tidak mengulangi perbuatannya. Ketiga, aspek
filosofis (keadilan) dengan menjatuhkan pidana
penjara yang sama kepada ketiga terdakwa.
Dalam pemeriksaan di muka persidangan salah
bawah tujuh tahun dan bukan merupakan
pengulangan suatu tindak pidana.
Penyidik, penuntut umum dan hakim
dalam melakukan proses diversi harus
mempertimbangkan
hal-hal
sebagai
berikut: kategori tindak pidana, umur
anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari
Bapas, dukungan keluarga dan masyarakat
dengan memperhatikan kesejahteraan
anak, pendidikan anak, kepentingan
Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 267
| 267
1/18/2016 12:09:30 PM
korban, upaya menghindari stigma negatif,
perlindungan, dan norma-norma ketertiban
umum.
3.
U. M. Penegakan hukum pidana dalam
tindak pidana pencabulan terhadap anak
(Studi putusan no. 396/Pid.B/2012/Pn-Lp di
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam). Diakses
Dengan dibentuknya peraturan pemerintah
dari http://download.portalgaruda.org/article.
yang mengatur ketentuan mengenai
php?article=109986&val=4099.
pedoman pelaksanaan proses diversi, tata
Sanjaya, A. W. (2015). Kewenangan penyidikan tindak
cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi
pidana pencucian uang yang dilakukan oleh
harus dimaksimalkan dalam pelaksanaan.
anggota Tentara Nasional Indonesia. Tesis.
4.
Jember: Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Perlunya proses pendampingan penyerahan
Fakultas Hukum Universitas Jember.
anak kepada orang tua atau masyarakat
untuk
menghindari
reaksi
negatif
Sutedjo, W., & Melani. (2013). Hukum pidana anak
masyarakat. Melakukan pendekatan kepada
edisi revisi. Cetakan keempat. Bandung: PT.
masyarakat agar bisa menerima kembali
Refika Aditama.
anak di lingkungan sosialnya.
Waluyo, B. (2008). Pidana dan pemidanaan. Jakarta:
Sinar Grafika.
DAFTAR ACUAN
Apeldoorn, L. J. V. (2000). Pengantar ilmu hukum
(Inleiding tot de studie van het Nederlandse
recht). Sadino, O (Ed). Cetakan kedua puluh
delapan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Asmarawati, T. (2014). Pidana dan pemidanaan
dalam sistem hukum Indonesia. Yogyakarta:
Deepublish.
Hamzah, A. (2010). Hukum acara pidana Indonesia.
Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
Marlina. (2010). Pengantar konsep diversi dan
restorative justice dalam hukum pidana.
Medan: USU Press.
Prabowo, G. A. (2013). Analisis terhadap putusan
hakim nomor 547/Pid.B/2009/Pn.Mlg tentang
tindak pidana korupsi yang dilakukan karena
perintah atasan. Skripsi. Malang: Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Sadiwijaya, B., Marlina., Mulyadi, M., & Baru,
268 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 268
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268
1/18/2016 12:09:30 PM
PENEGAKAN KEADILAN DALAM KEWARISAN BEDA AGAMA
Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama
dalam Perkara Waris Beda Agama
UPHOLDING JUSTICE IN THE CASE OF
INTERFAITH INHERITANCE
An Analysis of Five Court Determinations and Two Court Decisions
on the Case of Interfaith Inheritance
Muhamad Isna Wahyudi
Pengadilan Agama Badung
Jl. Sempidi No.1 Mengwi Badung 80351
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 6 Maret 2015; revisi: 30 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015
ABSTRAK
Peradilan agama merupakan peradilan khusus bagi
orang-orang Islam. Namun, dalam perkara waris yang
ditangani oleh peradilan agama dapat melibatkan pihak
muslim dan nonmuslim. Hal ini karena masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk.
Persoalan penegakan keadilan dalam perkara waris
beda agama di pengadilan agama menjadi menarik
untuk diteliti. Penelitian ini mengkaji lima penetapan
dan dua putusan pengadilan agama dalam perkara waris
beda agama dengan menggunakan pendekatan kasus.
Perkara waris beda agama yang ditangani pengadilan
agama dalam penelitian ini dibedakan dalam dua
kasus. Pertama, perkara waris yang terdiri dari pewaris
nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau ahli waris
muslim dan nonmuslim. Kedua, perkara waris yang
terdiri dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim
dan nonmuslim. Pada kasus pertama, penegakan
keadilan oleh pengadilan agama masih terbatas bagi
ahli waris muslim, dan mengabaikan keadilan bagi
ahli waris nonmuslim. Pertimbangan hukum hakim
lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi
dalam penggunaan logika hukum. Pada kasus kedua,
pengadilan agama telah mampu menegakkan keadilan
bagi semua, dengan memberikan bagian harta warisan
kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat wajibah
berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim pengadilan
agama menggunakan wasiat wajibah dalam perkara
waris beda agama dari pada menyelidiki alasan hukum
(ratio legis) hadis yang melarang waris beda agama.
Kata kunci: keadilan, waris beda agama, wasiat wajibah,
‘illat.
ABSTRACT
Religious court is a special court for Muslims. However,
the religious court can try cases of inheritance involving
Muslims and non-Muslims. This is due to the diversity of
Indonesian society. The arising problem at that point is
how to enforce law in the case of inheritance involving
the parties of different faiths tried in the religious court.
This is an interesting issue to analyse. Employing a
case-based approach, this analysis examines five court
determinations and two court decisions on the case of
interfaith inheritance. The cases of interfaith inheritance
tried by the religious courts in this analysis are divided
into two cases: first, the case of a Muslim child, or two
or more children of Muslim and non-Muslim, inherits
from a non-Muslim father/testator; second, the case of
a non-Muslim child, or two or more children of Muslim
and non-Muslim, inherits from a Muslim father/testator.
In the first case, the enforcement of law in the religious
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 269
| 269
1/18/2016 12:09:30 PM
court is finite to Muslim heirs, and disregard those of
non-Muslim. Judge’s considerations seem to reflect
a religious bias and inconsistency in the legal logic
application. In the second case, the religious court could
enforce justice for all parties to divide all portions of
the inheritance to the non-Muslim heirs by means of
wassiyah wajibah based on the jurisprudence. Religious
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dari segi kewenangan, peradilan agama di
Indonesia dapat digolongkan ke dalam peradilan
khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu
atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu. Perkara tertentu yang menjadi
kewenangan peradilan agama dijelaskan dalam
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syariah.
Eksistensi peradilan agama ─sebagai
peradilan khusus bagi orang-orang yang beragama
Islam─ dalam masyarakat Indonesia yang
majemuk tidak dapat dihindarkan dari persoalan
penegakan keadilan bagi semua warga negara
terlepas dari agama seseorang, atau penegakan
keadilan atas nama agama (hanya bagi orangorang Islam). Hal ini karena dalam masyarakat
Indonesia yang majemuk, dengan beragam suku,
agama, dan budaya, hubungan hukum yang
terjadi antara para pihak yang berbeda agama
270 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 270
court judge would apply the wasiyah wajibah in deciding
the case of interfaith inheritance rather than investigate
the legal reasonings (ratio legis) of the hadith that
prohibits the interfaith inheritance.
Keywords: justice, interfaith inheritance, wassiyah
wajibah, ‘illat.
tidak dapat dihindari, khususnya dalam bidang
hukum keluarga.
Dalam perkara waris dimungkinkan terdapat
para pihak yang berbeda agama. Ketika pewaris
meninggal dalam keadaan beragama Islam,
sementara para ahli waris ada yang beragama
Islam, dan ada yang beragama non-Islam. Atau
sebaliknya, ketika pewaris nonmuslim, sementara
para ahli waris ada yang muslim dan ada yang
nonmuslim, dan berbagai variasi lainnya.
Dalam praktik hukum di pengadilan, perkara
waris merupakan salah satu yang berpotensi
menimbulkan sengketa kewenangan antara
pengadilan agama dan pengadilan negeri dalam
hal agama pewaris, penggugat, dan tergugat
tidak dijelaskan dalam surat gugatan, sehingga
dianggap menundukkan diri kepada hukum adat,
atau karena sengketa waris dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum meski para pihak
beragama Islam (Puslitbang Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 62-63).
Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006, kewenangan pengadilan negeri dalam
menangani perkara waris hanya terbatas bagi
nonmuslim. Penyelesaian perkara waris bagi
nonmuslim di pengadilan negeri berdasarkan
KUH Perdata bagi para pihak yang menundukkan
diri kepada KUH Perdata, karena adanya tuntutan
kesetaraan di antara ahli waris untuk mendapatkan
bagian yang sama dari harta warisan, tanpa
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:30 PM
membedakan agama dan jenis kelamin, seperti
yang masih dijumpai dalam hukum adat dan
hukum Islam. Sementara hukum adat diterapkan
bagi para pihak nonmuslim yang masih erat
hubungannya dengan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan.
1 Juni 2005. Setelah MS meninggal, ahli waris
MS yang terdiri dari satu orang istri dan lima
orang anak mengajukan permohonan penetapan
ahli waris ke Pengadilan Agama Tebing Tinggi
untuk mengurus peralihan hak atas sebidang
tanah peninggalan HBS.
Dalam praktik hukum di pengadilan agama,
Dalam penetapan tersebut, majelis hakim
agama pewaris dan ahli waris menjadi dasar memberikan pertimbangan hukum sebagai
penentu kewenangan pengadilan agama dalam berikut:
memeriksa dan mengadili perkara waris. Hal ini
“Menimbang, bahwa demikian juga halnya,
karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut
bilamana pewaris yang kemudian memeluk
asas kesamaan agama antara pewaris dan ahli
dan meninggal dunia dalam agama Islam
sementara kerabatnya tetap nonmuslim,
waris, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf
maka nonmuslim tersebut tidak dapat
b dan c.
menuntut warisan dari pewarisnya yang
Islam, akan tetapi, menurut pendapat
Namun demikian, dalam praktik juga
majelis hakim, kerabat nonmuslim tersebut
tetap juga diberi hak dari harta warisan
ditemukan, pengadilan agama menangani
sekadar memandang adanya pertalian darah
perkara waris yang melibatkan pihak muslim dan
antara nonmuslim dengan pewaris muslim.
nonmuslim dalam dua kasus. Pertama, pewaris
Menimbang, bahwa sebaliknya, bilamana
nonmuslim, sementara ahli waris terdiri dari pewaris murtad (keluar dari Islam) dan
muslim, atau muslim dan nonmuslim. Kedua,
kemudian meninggal dunia dalam keadaan
pewaris muslim, sementara ahli waris terdiri dari
nonmuslim sementara kerabatnya tetap
memeluk agama Islam, maka kerabat
muslim dan nonmuslim.
muslim tersebut dapat menjadi ahli waris
dan menuntut pembagian harta warisan
Kasus pertama dapat ditemukan dalam
dari pewaris nonmuslim berdasarkan
Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd dan
hukum Islam. Sistem kewarisan seperti ini
menurut pendapat majelis, disebut dengan
Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Duduk
sistem kekerabatan (sepertalian darah).”
perkara dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/
PA.Ttd adalah HBS yang berstatus janda
meninggal dunia pada 28 April 2001 karena
sakit dan dalam keadaan beragama Kristen.
HBS sebelumnya beragama Islam. HBS ketika
meninggal hanya memiliki ahli waris seorang
saudara laki-laki bernama MS yang beragama
Islam. MS memiliki seorang istri dan lima
orang anak yang beragama Islam. Ketika HBS
meninggal, HBS memiliki harta peninggalan
berupa sebidang tanah. Namun, ketika HBS
meninggal, harta peninggalan tersebut belum
beralih haknya ke MS hingga MS meninggal pada
Pertimbangan hukum di atas dapat
menimbulkan ketidakadilan dalam hal pewaris
nonmuslim namun ahli warisnya terdiri dari
muslim dan nonmuslim, seperti dapat ditemukan
dalam Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg.
Kasus kedua dapat ditemukan dalam
Penetapan
Nomor
84/Pdt.P/2012/PA.JU,
Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan
Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby.
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 271
| 271
1/18/2016 12:09:30 PM
Duduk perkara dalam Penetapan Nomor
473/Pdt.P/2010/PA.Sby adalah para ahli waris
yang terdiri dari 12 orang, dengan 7 orang
beragama Islam, dan 5 orang beragama Kristen
mengajukan permohonan penetapan ahli waris
melalui kuasa hukum ke Pengadilan Agama
Surabaya. Dalam permohonan tersebut, para ahli
waris yang beragama Kristen tidak dimohonkan
sebagai ahli waris, tetapi di dalam posita
dinyatakan berhak mendapatkan wasiat wajibah
dari harta peninggalan pewaris.
kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat
wajibah dari pewaris muslim.
Penyelesaian perkara waris yang mencakup
pihak muslim dan nonmuslim dalam kenyataan
menghadapi hambatan dalam hal akses terhadap
keadilan, yaitu pada tahapan akses terhadap
forum yang sesuai. Ketiadaan aturan tentang
kewenangan pengadilan dalam menangani
perkara waris beda agama telah menimbulkan
persinggungan kewenangan pengadilan antara
pengadilan negeri dengan pengadilan agama,
Dalam penetapan tersebut, majelis hakim yang dapat mengantarkan pada ketidakpastian
memberikan pertimbangan hukum sebagai dan ketidakadilan bagi para pencari keadilan.
berikut:
Ketidakadilan muncul karena hukum waris yang
diterapkan di pengadilan negeri dan di pengadilan
“Menimbang, bahwa walaupun pemohon
IV, pemohon VIII tidak dapat menjadi agama berbeda.
ahli waris dari XXXX , demikian pula
pemohon IX, pemohon XI dan pemohon
XII tidak dapat menjadi ahli waris dari B. Rumusan Masalah
XXXX yang berarti juga tidak dapat
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat
menjadi ahli waris dari almarhum XXXX
alias XXXX dan almarhumah XXXX alias dirumuskan pokok masalah yang akan dikaji dalam
XXXX, namun yang bersangkutan tetap
penelitian ini yaitu bagaimana penegakan keadilan
berhak memperoleh harta warisan dari
pewaris (almarhum XXXX alias XXXX dalam perkara waris yang mencakup pihak muslim
dan almarhumah XXXX alias XXXX) dan nonmuslim di pengadilan agama, baik dalam
yang beragama Islam berdasarkan wasiat
wajibah, bukan dalam kapasitas sebagai bentuk penetapan maupun putusan?
ahli waris tetapi dalam kapasitas sebagai
penerima wasiat wajibah (secara serta
merta walau tidak diwasiatkan), sesuai
dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal
16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal
29 September 1999 yang antara lain dalam
salah satu pertimbangannya dinyatakan
bahwa anak kandung nonmuslim bukan
ahli waris, namun berhak mendapatkan
bagian dari harta warisan berdasarkan
wasiat wajibah dari pewaris muslim.”
Pertimbangan hukum di atas lebih
mampu mewujudkan keadilan bagi ahli waris
nonmuslim, meski bukan sebagai ahli waris,
dengan memberikan bagian dari harta warisan
272 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 272
C.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana penegakan keadilan dalam perkara
waris yang melibatkan pihak muslim dan
nonmuslim di pengadilan agama dan apa
pertimbangan hukum hakim pengadilan agama
dalam hal memberikan atau tidak memberikan
bagian harta warisan terhadap ahli waris
nonmuslim.
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi dalam upaya mewujudkan
kepastian hukum dan keadilan dalam penyelesaian
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:30 PM
perkara waris beda agama di Indonesia baik dalam
Menurut Aristoteles, keadilan mesti
hal penerapan hukum terkait waris beda agama, dipahami dalam pengertian kesetaraan. Namun,
maupun pengaturan tentang forum yang sesuai kesetaraan perlu dibedakan antara kesetaraan
dalam penyelesaian perkara waris beda agama.
numerik dan kesetaraan proporsional. Kesetaraan
numerik mempersamakan setiap manusia sebagai
satu unit. Inilah yang dimaksud sekarang dengan
D. Studi Pustaka
prinsip kesetaraan di depan hukum bagi semua
1. Perspektif Keadilan
warga (equality before the law). Sementara
Keadilan merupakan salah satu ajaran kesetaraan proporsional memberikan kepada
pokok dalam Islam yang bersifat universal. setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
Melalui sejumlah ayat dalam Al Quran, yaitu: dengan kemampuan, prestasi, dan sebagainya
(QS. 4: 58, 135), (QS. 5: 8, 42), (QS. 7: 29), (QS. (Friedrich, 2004, hal. 24).
16: 90), (QS. 42: 15), (QS. 49: 9), dan (QS. 57:
25), Islam memerintahkan penegakan keadilan
bagi semua orang. Bahkan, Islam memerintahkan
untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap
nonmuslim selama mereka tidak menyerang dan
mengusir umat muslim (QS. 60: 8).
Menurut Radbruch, keadilan berarti
menjatuhkan putusan tanpa memandang
kedudukan seseorang, memperlakukan setiap orang
dengan standar yang sama. Keadilan, merupakan
salah satu nilai hukum, selain kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Ketiga nilai hukum tersebut
tidak selalu menyatu secara harmonis di dalam
hukum. Hukum yang bertentangan dengan nilainilai tersebut tidak memiliki keabsahan (Radbruch,
2006, hal. 13-14).
Ketiga nilai hukum tersebut memiliki
tingkatan secara hierarkis, kepastian hukum
berada di tengah antara kemanfaatan dan
keadilan. Ketika muncul pertentangan antara
kepastian hukum dan keadilan, sebenarnya
terdapat pertentangan antara keadilan yang
tampak (apparent) dan keadilan yang sejati
(real). Kepastian hukum yang menjadi karakter
hukum positif harus mengalah kepada keadilan
(Radbruch, 2006, hal. 6-7).
Aristoteles juga membedakan keadilan
menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif.
Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik,
sementara keadilan korektif berlaku dalam
hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif
mengandaikan imbalan yang sama rata diberikan
atas pencapaian yang sama rata. Keadilan jenis
ini berfokus pada distribusi honor, kekayaan,
dan barang-barang lain yang sama-sama bisa
didapatkan dalam masyarakat. Distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan
nilai yang berlaku di kalangan warga. Distribusi
yang adil merupakan distribusi yang sesuai
dengan nilai kebaikannya, yaitu nilainya bagi
masyarakat (Friedrich, 2004, hal. 25).
Sedangkan keadilan korektif mengandaikan
ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya,
pelanggaran kesepakatan, dikoreksi, dan
dihilangkan. Keadilan jenis ini berfokus pada
pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu larangan
dilanggar atau kesalahan dilakukan, keadilan
korektif berusaha memberikan kompensasi yang
memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu
kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang
sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku.
Ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
“kesetaraan” yang sudah mapan atau telah
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 273
| 273
1/18/2016 12:09:31 PM
terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus
kembali kesetaraan tersebut (Friedrich, 2004, hal. dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa
25).
(Kelsen, 2011, hal. 16).
Teori keadilan Rawls menawarkan dua
prinsip keadilan. Pertama, setiap orang memiliki
hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan
dasar yang sama secara luas yang sesuai dengan
pola kebebasan yang serupa bagi yang lain.
Kedua, ketidaksamaan sosial ekonomi perlu diatur
sedemikian rupa sehingga layak diharapkan dapat
memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan
ketidaksamaan sosial dan ekonomi tersebut harus
dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan yang
terbuka bagi semua orang (Rawls, 1971, hal. 53).
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan
harus diberikan aturan yang sedemikian rupa
sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat yang paling lemah. Teori keadilan
Rawlsian, tujuan utamanya bukanlah menghapus
ketidaksamaan, melainkan memastikan adanya
kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan
dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan
semua, terutama golongan yang terlemah. Hal
demikian dapat dipenuhi dengan syarat, pertama,
situasi ketidaksamaan menjamin maximum
minimorum bagi orang yang lemah, artinya
situasi masyarakat harus sedemikian rupa,
sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi
yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang yang
paling lemah. Pilihan dengan asas maximum
minimorum yang digunakan orang dalam kontrak
hipotetis di mana masing-masing berada di balik
“cadar ketidaktahuan” (veil of ignorence) guna
memilih prinsip keadilan. Kedua, ketidaksamaan
diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi
semua orang (Rawls, 1971, hal. 72-73).
Berdasarkan kerangka Rolax, ada enam
tahapan proses pencarian keadilan. Pertama,
seseorang menyadari bahwa situasi atau
pengalaman tertentu merugikan, dan merupakan
ketidakadilan. Kedua, seseorang merasa
ketidakadilan tersebut disebabkan perbuatan yang
dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang lain,
dan atas dasar itu merumuskan sebuah keluhan.
Ketiga, pencari keadilan mengadukan keluhan
tersebut terkait dengan pelanggaran hukum (adat,
negara, Islam) yang merugikan, dan menuntut
pemulihan atas pelanggaran tersebut. Keempat,
pencari keadilan dapat mengungkapkan keluhan
dan mengadukannya di hadapan sebuah forum
(pengadilan, dewan adat, kepala kampung, dll)
yang dapat membantunya untuk memperoleh
pemulihan. Kelima, penanganan pengaduan oleh
forum yang dipilih dengan menerapkan normanorma yang berlaku secara imparsial. Keenam,
pencari keadilan memperoleh ganti rugi atas
keluhannya ketika putusan atau kesepakatan
dilaksanakan (Berenschot & Bedner, 2010, hal.
13-14).
2.
Kewarisan Beda Agama dalam Hukum
Islam
Menurut hukum positif tentang kewarisan
Islam yang diatur dalam KHI, untuk dapat
mewarisi, antara ahli waris dan pewaris harus
beragama Islam, memiliki hubungan darah atau
hubungan perkawinan dan tidak terhalang karena
hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf
b dan c), sedangkan dalam hal terjadi perbedaan
Menurut Kelsen, pengertian keadilan agama antara pewaris dan ahli waris tidak diatur
bermakna legalitas. Suatu peraturan umum secara jelas.
274 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 274
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:31 PM
Dalam Al Quran juga tidak ditemukan satu
ayat pun yang secara jelas dan tegas melarang
waris beda agama. Dasar hukum yang secara
jelas dan tegas melarang waris beda agama
justru ditemukan dalam hadis riwayat Bukhari,
bahwa Nabi Saw bersabda: ”Orang muslim tidak
mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak
mewarisi dari orang muslim” (Shahih Bukhari,
Kitab Faraidh, Hadis No. 6267). Hadis tersebut
juga diriwayatkan oleh Muslim, Tirmizi, Abu
Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Malik, dan AdDarimi. Menurut Riadi, dari segi sanad (rangkaian
periwayat) hadis tersebut merupakan hadis sahih,
akan tetapi dari segi matan (isi) hadis tersebut
diragukan kesahihannya, karena Mu’adz bin
Jabal pernah memutus kasus, dalam mana harta
warisan dari pewaris Yahudi diberikan kepada
ahli waris muslim (Riadi, 2011, hal. 284).
II.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
hukum. Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu
memberikan penilaian mengenai sesuatu yang
seyogianya dilakukan (Marzuki, 2014, hal. 6970). Penelitian ini menggunakan pendekatan
kasus (case approach), yaitu dengan mengkaji
alasan-alasan hukum (ratio decidendi) yang
digunakan oleh hakim dalam putusan atau
penetapan (Marzuki, 2014, hal. 158-166). Bahan
hukum primer penelitian ini merupakan putusan
dan penetapan pengadilan agama yang melibatkan
pihak berperkara muslim dan nonmuslim dalam
perkara waris.
Dalam penelitian ini, peneliti telah
mengumpulkan lima penetapan ahli waris,
yaitu Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd,
Penetapan
Nomor
4/Pdt.P/2013/PA.Bdg,
Terhadap hadis yang melarang waris beda
Penetapan
Nomor
84/Pdt.P/2012/PA.JU,
agama tersebut, beberapa sahabat seperti Mu’adz,
Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Mu’awiyah, Hasan, Ibn Hanafiyah, Muhammad
Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby, dan
bin Ali bin Husain, dan Masruq berpendapat
dua putusan sengketa waris, yaitu Putusan Nomor
bahwa orang muslim dapat mewarisi dari orang
2/Pdt.G/2011/PA.Kbj dan Putusan Nomor 3321/
nonmuslim, tetapi tidak sebaliknya. Pendapat
Pdt.G/2010/PA.Sby. Sedangkan bahan hukum
tersebut berdasarkan hadis: “Islam itu tinggi dan
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari
tidak dilampaui” (Az-Zuhaili, 1985, VIII, hal.
buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum yang
263).
relevan dan mendukung penelitian ini.
Dalam praktik penerapan hukum di
lingkungan peradilan agama, seorang ahli waris
nonmuslim dapat memperoleh bagian dari harta
peninggalan pewaris muslim melalui wasiat
wajibah sejak Putusan Kasasi Nomor 368 K/
AG/1995 tanggal 16 Juli 1998. Dalam putusan
tersebut, seorang anak kandung perempuan
nonmuslim mendapat bagian warisan dari orang
tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah
sebesar bagian ahli waris seorang anak perempuan.
Putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi tetap
dan diikuti oleh para hakim di pengadilan agama.
Bahan-bahan tersebut akan ditelaah sebagai
dasar untuk menjawab pokok masalah dalam
penelitian ini. Bahan-bahan hukum primer akan
dikelompokkan ke dalam dua kasus, pertama,
pewaris nonmuslim, sementara ahli waris terdiri
dari muslim, atau muslim dan nonmuslim.
Kedua, pewaris muslim, sementara ahli waris
terdiri dari muslim dan nonmuslim. Kemudian
peneliti akan menganalisis pertimbangan hukum
(ratio decidendi) dari bahan-bahan hukum primer
tersebut. Hasil analisis tersebut akan dijadikan
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 275
| 275
1/18/2016 12:09:31 PM
dasar untuk menarik kesimpulan dalam bentuk
argumentasi yang menjawab pokok masalah
dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti akan
memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi
yang telah dibangun dalam kesimpulan.
cermat. Perbedaan agama itu ditujukan
semata-mata kepada ahli waris. Bilamana
seseorang ingin menjadi ahli waris untuk
mendapatkan harta warisan dari pewaris,
jangan sekali-kali berbeda agama dengan
pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal
itu terjadi, maka nonmuslim tersebut tidak
dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli
waris dan mendapatkan harta warisan dari
pewaris menurut hukum Islam. Hanyalah
karena kemurahan hati ahli waris yang lain,
nonmuslim tersebut mendapatkan bahagian
sekadar memandang ada pertalian darah
antara nonmuslim itu dengan pewaris.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkara Waris yang Terdiri Dari Pewaris
Nonmuslim dengan Ahli Waris Muslim atau
Muslim dan Nonmuslim. Ada dua penetapan
pengadilan agama dalam perkara waris yang
terdiri dari pewaris nonmuslim, dengan ahli waris
muslim dan nonmuslim, yaitu Penetapan Nomor
9/Pdt.P/2008/PA.Ttd dan Penetapan Nomor 4/
Pdt.P/2013/PA.Bdg.
Dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/
PA.Ttd, majelis hakim menetapkan ahli waris
yang beragama Islam sebagai ahli waris dari
pewaris yang beragama Kristen, yang sebelumnya
beragama Islam, dengan pertimbangan hukum
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa menurut pendapat
majelis hakim, sistem kewarisan Islam
menganut sistem kekerabatan, baik secara
nasabiyah maupun secara hukmiyah.
Sistem kekerabatan ini lebih utama bila
disandingkan dengan perbedaan agama
sebagai penghalang mewarisi, karena
hukum kewarisan selain mengandung unsur
ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara
seorang dengan seseorang tidak akan
pernah terputus sekalipun agama mereka
itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui
ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya
itu tidak satu agama dengannya. Islam
tidak mengajarkan permusuhan dengan
memutuskan hubungan horizontal dengan
nonmuslim, terlebih-lebih mereka itu
sepertalian darah.
Menimbang, bahwa penghalang kewarisan
karena berbeda agama dalam kajian
kewarisan Islam, haruslah dipahami secara
276 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 276
Menimbang, bahwa demikian juga halnya,
bilamana pewaris yang kemudian memeluk
dan meninggal dunia dalam agama Islam
sementara kerabatnya tetap nonmuslim,
maka nonmuslim tersebut tidak dapat
menuntut warisan dari pewarisnya yang
Islam, akan tetapi, menurut pendapat
majelis hakim, kerabat nonmuslim tersebut
tetap juga diberi hak dari harta warisan
sekedar memandang adanya pertalian darah
antara nonmuslim dengan pewaris muslim.
Menimbang, bahwa sebaliknya, bilamana
pewaris murtad (keluar dari Islam) dan
kemudian meninggal dunia dalam keadaan
nonmuslim sementara kerabatnya tetap
memeluk agama Islam, maka kerabat
muslim tersebut dapat menjadi ahli waris
dan menuntut pembagian harta warisan
dari pewaris nonmuslim berdasarkan
hukum Islam. Sistem kewarisan seperti ini
menurut pendapat majelis, disebut dengan
sistem kekerabatan (sepertalian darah).
Menimbang, bahwa dari uraian di atas,
majelis hakim berpendapat, aturan dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf
b dan c harus dipahami sebagai aturan
umum dalam kasus-kasus ideal. Dalam
kasus-kasus yang insidentil, pendapat
majelis tersebut perlu mendapat perhatian
yang memadai dan dapat menjadi alternatif
hukum materil dalam hukum kewarisan.
Menimbang, bahwa oleh karena itu,
dalam menyelesaikan permohonan para
pemohon dalam hal mana pewaris dan ahli
warisnya beragama Islam, majelis hakim
akan merujuk kepada Pasal 171 Kompilasi
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:31 PM
Hukum Islam, sementara itu, dalam hal
mana pewarisnya murtad (telah keluar dari
Islam), majelis hakim akan merujuk kepada
pendapat hukum yang majelis hakim
uraikan di atas.”
Ishaq, Sa’id bin al-Musayyib, Masruq, dan
Ibrahim an-Nakha’i, bahwa orang muslim boleh
mewarisi dari orang nonmuslim, dan tidak boleh
sebaliknya (Al-‘Asqalani, XII, hal. 50).
Pertimbangan hukum majelis hakim
Pengadilan Agama Tebing Tinggi dalam
Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd tanggal
27 Februari 2008, telah menyimpangi ketentuan
Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam
sehingga memungkinkan ahli waris muslim untuk
mewarisi pewaris nonmuslim yang sebelumnya
beragama Islam.
Inkonsistensi logika hukum yang demikian
telah menunjukkan adanya bias keagamaan
dalam menyelesaikan perkara permohonan waris
yang melibatkan pihak muslim dan nonmuslim.
Bias keagamaan tersebut telah mengantarkan
pada ketidakadilan bagi ahli waris nonmuslim
yang kehilangan hak untuk mendapatkan bagian
warisan dari pewaris nonmuslim, meski memiliki
hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris
dan seagama dengan pewaris.
Argumentasi hukum yang digunakan adalah
bahwa sistem kewarisan Islam menganut sistem
kekerabatan yang lebih utama bila disandingkan
dengan perbedaan agama sebagai penghalang
mewarisi. Penghalang kewarisan karena berbeda
agama ditujukan semata-mata kepada ahli waris,
sehingga ahli waris muslim untuk mendapatkan
harta warisan dari pewaris tidak boleh keluar dari
agama Islam.
Dalam Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/
PA.Bdg, majelis hakim menetapkan suami dan
dua orang anak pewaris yang beragama Islam
sebagai ahli waris dari pewaris yang beragama
Hindu, sedangkan dua orang anak pewaris yang
beragama Hindu bukan sebagai ahli waris. Duduk
perkaranya adalah RS (Islam) menikah dengan
NMRN (Hindu) secara Islam dan memiliki
Namun demikian, dalam pertimbangan
keturunan empat orang anak yaitu: 1) NLES
hukumnya, majelis hakim tampak tidak konsisten
(sudah meninggal), perempuan, agama Hindu 2)
dengan logika hukum yang dibangunnya, ketika
RAP, laki-laki, agama Islam, 3) REP, laki-laki,
membedakan kedudukan ahli waris muslim
agama Hindu, 4) RMS, laki-laki, agama Islam.
dengan ahli waris nonmuslim dalam hal pewaris
berbeda agama dengan ahli waris. Dalam hal
NMRN meninggal pada 29 Mei 2004 dalam
pewaris muslim dan ahli waris nonmuslim, keadaan nonmuslim dan RS meninggal pada 10
maka ahli waris nonmuslim bukan ahli waris dan Februari 2010. Almarhum RS meninggalkan
tidak dapat menuntut warisan dari pewarisnya. harta berupa dua bidang tanah di Kuta. Kedua
Sementara dalam hal pewaris nonmuslim dan ahli anak almarhum RS dan almarhumah NMRN
waris muslim, ahli waris muslim dapat menjadi yang beragama Islam, yaitu RAP dan RMS,
ahli waris dan menuntut pembagian harta warisan mengajukan permohonan penetapan ahli waris
dari pewaris nonmuslim berdasarkan hukum ke Pengadilan Agama Badung dengan petitum
Islam.
yang hanya menetapkan anak dari pewaris yang
beragama Islam yang menjadi ahli waris.
Pendapat majelis hakim tersebut sesuai
dengan pendapat Mua’dz bin Jabal dan
Pertimbangan hukum hakim dalam
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang diikuti Sya’bi, penetapan tersebut sebagai berikut:
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 277
| 277
1/18/2016 12:09:31 PM
“Menimbang, bahwa dari dalil permohonan pemohon, bukti P6 dan keterangan para
saksi, NMRN telah meninggal dunia dalam
keadaan beragama Hindu meski sebelumnya
beragama Islam, halmana menurut Pasal
171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia tahun 1991, seorang pewaris
pada saat meninggal dunia harus beragama
Islam. Bilamana dihubungkan dengan
Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam,
secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam
menganut sistem persamaan agama, yakni
agama Islam untuk dapat saling mewarisi.
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur
bagaimana sekiranya pewaris itu murtad
(keluar dari Islam), apakah hartanya
dapat diwarisi oleh muslim ataukah tidak.
Sepanjang mengenai hal ini majelis hakim
memberikan pendapat hukum sebagai
berikut;
Menimbang, bahwa menurut pendapat
majelis hakim, sistem kewarisan Islam
menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah.
Sistem kekerabatan ini lebih utama bila
dibandingkan dengan perbedaan agama
sebagai penghalang mewarisi, karena
hukum kewarisan selain mengandung unsur
ibadah, lebih banyak juga mengandung
unsur muamalah. Kekerabatan antara
seorang dengan seseorang tidak akan
pernah terputus sekalipun agama mereka
itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya
itu tidak satu agama dengannya. Islam
tidak mengajarkan permusuhan dengan
memutuskan hubungan horizontal dengan
nonmuslim, terlebih-lebih mereka itu ada
pertalian darah;
Menimbang, bahwa majelis hakim
memandang penghalang kewarisan karena
berbeda agama, haruslah dipahami secara
cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata kepada ahli waris. Bilamana
seseorang ingin menjadi ahli waris untuk
mendapatkan harta warisan dari pewaris,
jangan sekali-kali berbeda agama dengan
pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal
itu terjadi, maka nonmuslim tersebut tidak
dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli
waris dan mendapatkan harta warisan dari
pewaris menurut hukum Islam;
278 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 278
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo,
pewaris yang bernama NMRN sebelumnya
beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan
kemudian meninggal dunia dalam keadaan
nonmuslim sementara kerabat terdekatnya
tetap memeluk agama Islam, maka kerabat
muslim tersebut tetap menjadi ahli waris,
dalam hal ini majelis hakim sejalan dan
mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal,
Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah,
Muhammad bin Ali, dan Al Masruq yang
bersandar pada hadits Nabi Muhammad
Saw (HR. Daruqutni dan Baihaqi): ‘‘AlIslaamu ya’luu wa la yu’la ‘alaihi’’ (Wahbah
Al Zuhaili, A-Fiqhul Islamy wa adillatuhu
Juz 8 hal. 263), dan lebih spesifik majelis
hakim mengambil alih pendapat Imam
Abu Hanifah yang menyatakan semua
peninggalan wanita yang keluar dari Islam
(murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya
yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul
Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal. 265);
Menimbang, bahwa pertimbangan hukum
di atas, tidak berarti majelis hakim
menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 171 huruf b dan c, majelis
hakim memandang Pasal 171 huruf b dan
c tersebut di atas harus dipahami sebagai
aturan umum dalam kasus-kasus ideal,
sementara perkara a quo adalah perkara
yang bersifat insidental;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam
menyelesaikan perkara waris dalam kasus
yang ideal di mana pewaris dan ahli
warisnya beragama Islam, majelis hakim
akan merujuk kepada Pasal 171 Kompilasi
Hukum Islam, sementara itu, dalam
halmana pewarisnya murtad (telah keluar
dari Islam), majelis hakim akan merujuk
kepada pendapat hukum yang majelis
hakim uraikan di atas;
Menimbang, bahwa dari keterangan saksisaksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum,
ternyata NMRN yang kemudian menjadi
nonmuslim telah meninggal dunia dalam
keadaan nonmuslim pada tanggal 29
September 2004 dengan meninggalkan
seorang suami bernama RS yang beragama
Islam, dan empat orang anak yakni NLES
beragama Hindu, RAP beragama Islam, REP
beragama Hindu, dan RMS beragama Islam,
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:31 PM
oleh karena itu dengan menunjuk uraian
pertimbangan hukum yang dikemukakan di
atas, majelis hakim menyimpulkan bahwa
ahli waris dari NMRN adalah RS, RAP,
dan RMS;
Dalam sistem hukum Indonesia, khususnya
bidang hukum waris, selain hukum Islam yang
berlaku bagi orang-orang Islam, juga berlaku
hukum adat dan KUH Perdata bagi nonmuslim.
Penyelesaian perkara waris di atas berdasarkan
Pertimbangan hukum majelis hakim
hukum adat atau KUH Perdata justru lebih
Pengadilan Agama Badung dalam Penetapan
mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak,
Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg tanggal 7 Maret
karena dalam kedua hukum tersebut perbedaan
2013 juga menerapkan pertimbangan hukum
agama tidak menjadi halangan waris.
dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd
tanggal 27 Februari 2008, namun dilengkapi
Dalam kasus di atas, memang terdapat
dengan pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, halangan akses terhadap keadilan, yaitu pada
Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali, tahapan akses terhadap forum yang sesuai. Forum
dan Al Masruq yang bersandar pada hadis Nabi mana yang sesuai untuk menyelesaikan perkara
Muhammad Saw: “Islam itu tinggi dan tidak dapat waris di atas? Pengadilan agama atau pengadilan
dilampaui atasnya,” dan pendapat Imam Abu negeri? Dalam perkara waris yang melibatkan para
Hanifah yang menyatakan semua peninggalan pihak yang berbeda agama, belum terdapat aturan
wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi yang menentukan pengadilan yang berwenang.
oleh ahli warisnya yang Islam.
Akibatnya, sering muncul persinggungan
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka
ahli waris dari pewaris NMRN yang beragama
Hindu adalah ahli waris yang beragama Islam
yaitu RS, RAP, dan RMS, sementara ahli waris
yang beragama Hindu yaitu NLES dan REP,
tidak berhak mendapatkan bagian warisan, meski
seagama dan memiliki hubungan darah dengan
pewaris. Dalam hal ini timbul ketidakadilan
bagi ahli waris nonmuslim dan tampak bahwa
ada bias keagamaan dalam pertimbangan hukum
yang memungkinkan ahli waris muslim dapat
mewarisi pewaris nonmuslim, namun tidak
berlaku sebaliknya.
Berdasarkan kedua penetapan waris di atas,
maka penegakan keadilan dalam perkara waris
yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan
ahli waris muslim dan/atau nonmuslim oleh
pengadilan agama hanya terbatas kepada pihak
yang beragama Islam, dan mengabaikan keadilan
bagi pihak nonmuslim.
kewenangan antara pengadilan agama dan
pengadilan negeri. Sementara kedua pengadilan
tersebut menerapkan hukum waris yang berbeda,
yang pada gilirannya dapat menimbulkan
ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Jika merujuk kepada Pasal 171 huruf b dan
c KHI, maka perkara waris yang ditangani oleh
pengadilan agama mengandaikan persamaan
agama antara pewaris dan ahli waris. Jadi,
selama terdapat pewaris muslim dan ahli waris
muslim sudah memenuhi syarat untuk menjadi
kewenangan di pengadilan agama, meski terdapat
ahli waris lain yang nonmuslim.
Dalam kedua penetapan waris di atas, meski
majelis hakim telah menyimpangi ketentuan
Pasal 171 huruf b dan c KHI, majelis hakim tidak
berusaha menyelidiki apa yang menjadi ‘illat
hukum atau ratio legis dari hadis yang menjadi
dasar hukum larangan waris beda agama, yaitu
hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 279
| 279
1/18/2016 12:09:31 PM
r.a, bahwa Nabi Saw bersabda: ”Orang muslim
tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir
tidak mewarisi dari orang muslim” (hadis riwayat
Bukhari, Kitab al-faraidh, bab XXVI, No. hadis:
6764).
(619 M) dan terjadi hijrah (622 M), Thalib belum
memeluk Islam, sementara ‘Aqil baru masuk Islam
di waktu akhir. ‘Aqil dan Thalib menguasai harta
yang ditinggalkan oleh Abu Thalib. Kemudian
Thalib meninggal sebelum terjadi Perang Badar
(4 H/626 M), dan ‘Aqil meninggal lebih akhir.
Maka ketika hukum Islam menjadi tetap dengan
meninggalkan pewarisan muslim dari orang
kafir, maka harta peninggalan Abu Thalib tetap
berada di tangan ‘Aqil. Maka Rasulullah Saw
memberi petunjuk kepada hal itu (muslim tidak
mewarisi kafir dan sebaliknya), sementara ‘Aqil
telah menjual semua harta peninggalan tersebut.
Terhadap penetapan Nabi Saw terdapat perbedaan
pendapat, ada pendapat yang menilai Nabi Saw
meninggalkan peninggalan tersebut kepada ‘Aqil
sebagai anugerah Nabi Saw kepada ‘Aqil, ada
yang menilai untuk memberi harta dan kasihan
kepada ‘Aqil, dan ada pendapat yang mengatakan
sebagai pembenaran (tashih) atas pengaturan
harta peninggalan masa Jahiliyyah sebagaimana
telah menjadi sah perkawinan mereka yang
terjadi pada masa Jahiliyyah (Al-‘Asqalani, VIII,
hal. 13-5).
Dalam hal ini, perlu dilacak latar belakang
munculnya (asbabul wurud mikro) hadis larangan
waris beda agama tersebut. Dalam Shahih Bukhari,
Kitab Maghazi, Hadis No. 3946 dijelaskan
bahwa hadis tersebut muncul pada saat Fathul
Makkah (8 H/630 M), yaitu ketika Usamah bin
Zaid bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai
tempat di mana Rasulullah Saw akan tinggal di
Makkah. Kemudian Rasulullah Saw bertanya
“Apakah ‘Aqil (anak Abu Thalib) meninggalkan
rumah bagi kami?” Kemudian Rasulullah Saw
berkata: “Orang mukmin tidak mewarisi dari
orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari
orang muslim.” Dan dikatakan menurut riwayat
Zuhri, Rasulullah berkata: ”Siapa yang mewarisi
Abu Thalib?” Usamah bin Zaid menjawab: “’Aqil
dan Thalib yang mewarisinya.” Menurut riwayat
Ma’mar dari Zuhri, Usamah bin Zaid bertanya
mengenai tempat di mana Rasulullah Saw besok
Dalam Sunan Ibn Majah, Kitab Fara’id,
akan tinggal dalam kepergiannya. Sementara
menurut riwayat Yunus tidak disebutkan dalam Hadis No. 2720, dijelaskan bahwa Ja’far dan Ali
tidak mewarisi apapun dari Abu Thalib karena
kepergiannya dan pada saat Fathul Makkah.
keduanya muslim, sementara ‘Aqil dan Thalib
Mengenai hadis tersebut, ‘Asqalani
masih kafir.
menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan
Berdasarkan keterangan di atas, dapat
kepada hukum yang diperkenalkan pada masamasa awal Islam, karena Abu Thalib meninggal dipahami bahwa hadis larangan waris beda
sebelum hijrah. Pada saat hijrah terjadi, ‘Aqil dan agama muncul sebagai petunjuk Nabi Saw dalam
Thalib menguasai harta yang ditinggalkan Abu menyelesaikan persoalan waris yang terjadi
Thalib. Sementara Abu Thalib telah memiliki antara Nabi Saw, dan sepupunya dari keturunan
apa yang ditinggalkan oleh Abdullah, ayah paman Nabi Saw, Abu Thalib, yaitu ‘Aqil, Thalib,
Rasulullah Saw, karena Abu Thalib adalah saudara Ja’far, dan Ali. Petunjuk Nabi Saw tersebut lebih
kandungnya, dan Rasulullah Saw hidup bersama merupakan sebuah kebijakan untuk menghindari
Abu Thalib setelah kakeknya Abdul Muthalib sengketa antara Ja’far, Ali, dengan ‘Aqil dalam
meninggal. Maka ketika Abu Thalib meninggal pembagian harta peninggalan Abu Thalib.
280 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 280
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:31 PM
Terlebih ketika hal itu baru muncul pada saat
Fathul Makkah, sementara setelah hijrah hingga
Fathul Makkah telah terjadi berbagai peperangan
antara kaum muslim dan kafir Qurays yang tidak
memungkinkan Ali dan Ja’far untuk memiliki
harta peninggalan Abu Thalib yang terletak
di Makkah, sehingga ‘Aqil dan Thalib yang
menguasai harta peninggalan Abu Thalib. Selain
itu, ternyata ‘Aqil sudah menjual seluruh harta
peninggalan Abu Thalib ketika Fathul Makkah.
berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah
ayat 51: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi
dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain” (Al-‘Asqalani, XII, hal. 50).
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
hubungan saling mewarisi terkait dengan
adanya hubungan dekat untuk saling membantu
(wilayah), baik karena hubungan nasab atau
Kebijakan Nabi Saw tersebut lebih bersifat perkawinan. Menurut Qardhawi, ‘illat dari masalah
legal-specific, yaitu berlaku pada suatu kasus dan waris adalah semangat tolong menolong, bukan
waktu tertentu, dan bukan bersifat normative- perbedaan agama (Qardhawi, 2007, hal. 306). Oleh
universal, yang berlaku sepanjang waktu dan di karena itu, untuk mengetahui ‘illat hukum hadis
yang melarang waris beda agama, perlu ditelaah
semua tempat.
mengenai larangan menjalin hubungan dekat/
Kemudian, bagaimana dengan ‘illat hukum
bersekutu (wala’/wilayah) dengan orang-orang
hadis larangan waris beda agama? Metode
kafir dalam Al Quran.
yang dapat digunakan untuk menyelidiki ‘illat
Jika ditelusuri, maka ayat-ayat yang
hukum hadis tersebut adalah metode konformitas
(munasabah), yaitu menyelidiki kesesuaian berkaitan dengan pelarangan bersekutu dengan
antara hukum yang ditetapkan dengan atribut orang-orang kafir, semuanya dalam konteks
yang menjadi alasan ditetapkannya hukum itu peperangan dan permusuhan. Ayat-ayat tersebut
(‘illat). Maksud kesesuaian adalah terdapat adalah sebagai berikut:
hubungan yang logis yang tegas makna antara
1.
‘illat dan hukum (Wahyudi, 2014, hal. 24).
Menurut Zuhaili, hilangnya hubungan
saling mewarisi antara muslim dan nonmuslim
karena dengan perbedaan agama maka hubungan
dekat untuk saling menolong, membantu,
membela, melindungi (wala’/wilayah) antara
muslim dengan nonmuslim telah terputus (AzZuhaili, 1985, VIII, hal. 263).
Asqalani menyebutkan terdapat analogi
2.
(qiyas) antara hubungan saling mewarisi dengan
hubungan dekat (wilayah), sehingga tidak ada
saling mewarisi antara muslim dengan nonmuslim
karena terdapat larangan untuk menjalin hubungan
dekat antara muslim dengan nonmuslim,
QS. An-Nisa’ (4): 89
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir,
lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara
mereka penolong-penolong(mu), hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka
jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu menemuinya,
dan janganlah kamu ambil seorangpun
di antara mereka menjadi pelindung, dan
jangan (pula) menjadi penolong.”
QS. Ali Imran (3): 28
“Janganlah
orang-orang
mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali
(teman yang akrab, pemimpin, pelindung
atau penolong) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 281
| 281
1/18/2016 12:09:31 PM
3.
4.
5.
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
Dari segi kronologi, ayat-ayat di atas
pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) termasuk dalam ayat-ayat yang diturunkan dalam
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. Dan Allah memperingatkan periode Madinah (madaniyyah) atau setelah
kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya hijrah (Amal, 2005, hal. 103-22). Berdasarkan
kepada Allah kembali(mu).”
riwayat sejarah, peristiwa hijrah dilatarbelakangi
QS. Al-Ma’idah (5): 51
oleh sikap permusuhan dan pertentangan kaum
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kafir Quraisy yang semakin meningkat terhadap
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya.
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); Bahkan terjadi penyiksaan kepada para pengikut
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di ajaran Islam, pemboikotan ekonomi kepada
antara kamu mengambil mereka menjadi Bani Hasyim yang saat itu melindungi Nabi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
Muhammad Saw, dan upaya pembunuhan
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada terhadap Nabi Muhammad Saw. Selama periode
orang-orang yang zalim.”
Madinah terjadi beberapa peperangan antara kaum
muslim dengan kaum kafir Qurays. Kondisi sosio
QS. Al-Ma’idah (5): 57
historis yang demikian ini merupakan asababul
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang- wurud makro hadis larangan waris beda agama
orang yang membuat agamamu jadi buah dan asbabun nuzul ayat-ayat di atas.
ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi kitab
Dengan demikian, dalam konteks ayat-ayat
sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). dan bertakwalah di atas, kafir atau nonmuslim lebih merujuk kepada
kepada Allah jika kamu betul-betul orang- mereka yang secara terang-terangan memusuhi
orang yang beriman.”
dan melakukan tindak kejahatan terhadap umat
Islam. Orang-orang tersebut dilarang Al Quran
QS. Al-Mumtahanah (60): 1
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah untuk dijadikan pelindung dan pendukung
kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu (wali). Sementara orang-orang kafir yang tidak
menjadi teman-teman setia yang kamu memerangi dan tidak memusuhi, Al Quran tidak
sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang; melarang umat Islam untuk berbuat baik dan adil
Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar terhadap mereka, sebagaimana dijelaskan dalam
kepada kebenaran yang datang kepadamu, QS. Al-Mumtahanah [60]: 8:
mereka mengusir Rasul dan (mengusir)
kamu karena kamu beriman kepada Allah,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar
baik dan berlaku adil terhadap oranguntuk berjihad di jalan-Ku dan mencari
orang yang tiada memerangimu karena
keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
demikian). kamu memberitahukan secara
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
rahasia
(berita-berita
Muhammad)
orang-orang yang berlaku adil.”
kepada mereka, karena rasa kasih sayang.
Aku lebih mengetahui apa yang kamu
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.
Dan barangsiapa di antara kamu yang bahwa ’illat hukum yang melarang untuk
melakukannya, maka sesungguhnya dia menjalin hubungan baik, saling membantu, saling
telah tersesat dari jalan yang lurus.”
membela, saling melindungi, dengan orang kafir
282 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 282
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:31 PM
adalah karena unsur permusuhan dan kejahatan,
Dalam kondisi terdapat hubungan yang
dan bukan karena unsur perbedaan agama.
harmonis antara para anggota keluarga meski
berbeda agama, menjadikan perbedaan agama
Dengan menggunakan metode interpretasi
sebagai penghalang untuk saling mewarisi,
ekstensif (ma’nawiyah), maka ’illat hukum berupa
justru akan bertentangan dengan kemaslahatan,
permusuhan dan kejahatan dapat diperluas ke
menimbulkan ketidakadilan, dan dapat memicu
dalam larangan hubungan saling mewarisi antara
konflik antar anggota keluarga. Hukum Islam
muslim dan nonmuslim. ’Illat ini sesuai dengan
akan terkesan diskriminatif dan eksklusif, yang
ketentuan hukum (munasib) karena berdasarkan
hanya menegakkan keadilan bagi orang-orang
pertimbangan akal sehat, hubungan saling mewarisi
Islam. Sementara, Al Quran mengajarkan untuk
merupakan perwujudan adanya hubungan dekat
menegakkan keadilan kepada semua orang,
dan kasih sayang antara dua pihak, dan hubungan
terlepas dari status maupun agama seseorang.
dekat tersebut tidak akan terjadi ketika terdapat
permusuhan dan kejahatan antara ahli waris dan
pewaris. ’Illat ini juga selaras (mula’im) dengan B. Perkara Waris yang Terdiri Dari Pewaris
Muslim dengan Ahli Waris Muslim dan
ketentuan hadis yang menyatakan: ”Pembunuh
Nonmuslim
tidak mewarisi suatu apa pun dari orang yang
dibunuhnya (Sunan ad-Darimi, Hadis No. 2951,
Perkara waris yang terdiri dari pewaris
Kitab Fara’idh, Bab Mirats al-Qatil).”
muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim,
Dengan demikian, dalam menerapkan
hadis yang melarang waris beda agama harus
dengan mempertimbangkan ’illat hukum yang
terkandung dalam hadis tersebut, sesuai dengan
kaidah fikih ”hukum berlaku bersamaan dengan
ada atau tidaknya ’illat hukum tersebut (al-hukmu
yaduru ma’a ’illatihi wujudan wa ’adaman).”
Penerapan yang demikian ini dapat mewujudkan
apa yang oleh Aristoteles sebut sebagai keadilan
korektif.
sejauh penelusuran peneliti, dapat ditemukan
dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU,
Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan
Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby.
Ahli waris nonmuslim dalam penetapan dan
putusan di atas, oleh majelis hakim pengadilan
agama ditetapkan memiliki hak atas bagian harta
warisan, sebagai penerima wasiat wajibah, dan
Dalam konteks saat ini, khususnya di bukan sebagai ahli waris, karena berbeda agama
Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai dengan pewaris muslim. Pertimbangan hukum
macam suku dan agama, ketika dalam sebuah yang digunakan adalah berdasarkan Yurisprudensi
keluarga terdapat anggota-anggota keluarga yang Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/
berbeda agama, namun tidak ada permusuhan, AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor 51 K/
tidak ada pertentangan, tidak ada kejahatan AG/1999 tanggal 29 September 1999.
yang terjadi antar anggota keluarga, dan mereka
Dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/
memiliki hubungan dekat dan harmonis, maka PA.JU, duduk perkaranya adalah seorang ahli
perbedaan agama tidak sepatutnya menjadi waris, bertindak untuk diri sendiri dan sebagai
halangan untuk saling mewarisi.
kuasa atas ahli waris yang lain yang berjumlah
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 283
| 283
1/18/2016 12:09:31 PM
enam orang, mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari almarhum pewaris ke Pengadilan
Agama Jakarta Utara. Di antara ahli waris yang
dimohonkan untuk ditetapkan sebagai ahli waris
terdapat dua orang yang beragama Kristen.
Majelis hakim memberikan pertimbangan hukum
sebagai berikut:
“Menimbang bahwa meskipun pemohon II
terhalang untuk mendapatkan harta warisan
dari almarhum pewaris, sebagaimana
tersebut pada pertimbangan di atas,
namun pemohon II masih dapat menerima
harta warisan dari almarhum pewaris
dengan jalan wasiat. Apabila almarhum
pewaris ketika masih hidupnya tidak ada
memberikan wasiat, maka pemohon II
dapat menerima harta dengan jalan wasiat
wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat
yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi
atau tidak bergantung kepada kemauan
atau kehendak si yang meninggal dunia,
melainkan didasarkan kepada putusan
pengadilan agama. Hal ini sejalan dengan
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 368. K/AG/1995, tanggal 16 Juli
1998 jo. Nomor 51.K/AG/1995, tanggal 29
September 1999;”
Dalam Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/
PA.Sby, duduk perkaranya adalah para ahli
waris yang terdiri dari 12 orang, dengan 7 orang
beragama Islam, dan 5 orang lainnya beragama
Kristen mengajukan permohonan penetapan ahli
waris melalui kuasa hukum ke Pengadilan Agama
Surabaya. Dalam permohonan tersebut, para ahli
waris yang beragama Kristen tidak dimohonkan
sebagai ahli waris, tetapi di dalam posita dinyatakan
berhak mendapatkan wasiat wajibah dari harta
peninggalan pewaris. Majelis hakim memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/
PA.Sby, duduk perkaranya adalah seorang
perempuan meninggal dunia tanpa meninggalkan
keturunan tetapi meninggalkan harta berupa
sebidang tanah. Kedua orang tua perempuan
tersebut sudah meninggal. Perempuan tersebut
juga tidak memiliki saudara. Ibu kandung perempuan tersebut memiliki satu saudara
perempuan (bibi) yang telah menikah dan memiliki
keturunan tiga orang anak. Baik bibi almarhumah
pewaris dan suaminya telah meninggal dunia.
Ketiga orang anak dari bibi almarhumah pewaris
yang masih hidup (saudara sepupu almarhumah
pewaris) mengajukan permohonan penetapan ahli
waris almarhumah pewaris, dan salah satunya
beragama nonmuslim. Majelis hakim memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:
284 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 284
“Menimbang, bahwa walaupun pemohon
I terhalang untuk ditetapkan sebagai ahli
waris dari almarhumah XXXX, namun
ia/pemohon I berhak memperoleh harta
warisan dari pewaris (almarhumah XXXX)
yang beragama Islam berdasarkan wasiat
wajibah sebesar yang seharusnya ia terima
sebagai ahli waris, bukan dalam kapasitas
sebagai ahli waris tetapi dalam kapasitas
sebagai penerima wasiat secara serta merta
walau tidak diwasiatkan, sesuai dengan
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli
1998 dan Yurisprudensi Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal
29 September 1999 yang antara lain dalam
salah satu pertimbangannya dinyatakan
bahwa anak kandung nonmuslim bukan
ahli waris, namun berhak mendapatkan
bagian dari harta warisan berdasarkan
wasiat wajibah.”
“Menimbang, bahwa walaupun pemohon
IV, pemohon VIII tidak dapat menjadi
ahli waris dari XXXX , demikian pula
pemohon IX, pemohon XI dan pemohon
XII tidak dapat menjadi ahli waris dari
XXXX yang berarti juga tidak dapat
menjadi ahli waris dari almarhum XXXX
alias XXXX dan almarhumah XXXX alias
XXXX, namun yang bersangkutan tetap
berhak memperoleh harta warisan dari
pewaris (almarhum XXXX alias XXXX
dan almarhumah XXXX alias XXXX)
yang beragama Islam berdasarkan wasiat
wajibah, bukan dalam kapasitas sebagai
ahli waris tetapi dalam kapasitas sebagai
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:31 PM
penerima wasiat wajibah (secara serta
merta walau tidak diwasiatkan), sesuai
dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal
16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal
29 September 1999 yang antara lain dalam
salah satu pertimbangannya dinyatakan
bahwa anak kandung nonmuslim bukan
ahli waris, namun berhak mendapatkan
bagian dari harta warisan berdasarkan
wasiat wajibah dari pewaris muslim.”
Dalam Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/
PA.Kbj, duduk perkaranya adalah JG yang
beragama Kristen (penggugat) menggugat waris
saudara kandung laki-lakinya yang bernama
EG dan ibu tirinya yang bernama M, keduanya
beragama Islam. Ayah kandung JG dan EG yang
bernama NG telah meninggal pada 28 Agustus
2010. Ibu kandung JG dan EG telah meninggal
terlebih dahulu, kemudian ayah kandung JG dan
EG menikah lagi dengan perempuan yang berama
M (ibu tiri) tetapi tidak memiliki keturunan. JG
menuntut ditetapkan sebagai penerima wasiat
wajibah dari almarhum NG karena ia beragama
Kristen. Majelis hakim memberikan pertimbangan
hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa meskipun penggugat
tidak berhak sebagai ahli waris, akan tetapi
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Nomor 51 K/AG/1999,
penggugat berhak mendapatkan bagian
sebagai penerima wasiat wajibah atas harta
warisan almarhum pewaris;”
dalam pembagian waris, dan sebagian harta
warisan dikuasai oleh salah satu ahli waris,
maka diajukan gugatan waris ke Pengadilan
Agama Surabaya. Majelis hakim memberikan
pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang bahwa namun begitu karena
pemberian bagian untuk XXXX dan XXXX
dan ahli waris lainnya tersebut sampai saat
ini belum dituntaskan secara formal sampai
dengan balik nama, maka sebagai ahli waris
nonmuslim yang terhalang hak warisnya
terhadap XXXX, dengan pertimbangan
bahwa karena ternyata keduanya dalam
keadaan yang membutuhkan biaya
penghidupan, maka sebagai ahli waris
nonmuslim, bagian untuk keduanya
didasarkan pada kriteria wasiat wajibah,
sesuai dengan pembagian yang telah
ditentukan/disepakati ketika XXXX masih
hidup; hal mana sesuai dengan Yurisprudensi
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
368 K/AG/1995 dan 51 K/AG/1999; pula
karena bagian yang diperuntukkan XXXX
binti XXXX dan XXXX dipandang tidak
melebihi sepertiga dari seluruh harta warisan
XXXX, dengan mempertimbangkan pula
bahwa di dalam harta-harta tersebut terdapat
harta bersama XXXX-XXXX, di mana
sebenarnya XXXX sebagai janda XXXX
berhak mendapatkan seperduanya, tetapi
yang bersangkutan telah merelakannya, dan
menganggap bahwa semua harta tersebut
adalah peninggalan XXXX;”
Dalam putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998,
majelis hakim memberikan bagian harta warisan
kepada seorang anak kandung perempuan
Dalam Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/ nonmuslim sebesar bagian ahli waris anak
PA.Sby, duduk perkaranya adalah seorang laki- perempuan melalui wasiat wajibah. Sementara
laki meninggal dan meninggalkan ahli waris yang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51
terdiri dari seorang istri dan lima orang anak. K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, majelis
Selain ahli waris, pewaris juga meninggalkan hakim memberikan bagian harta warisan kepada
harta warisan berupa tanah dan bangunan. Istri ahli waris nonmuslim dengan bagian yang sama
dan salah seorang anak pewaris telah berpindah dengan ahli waris muslim, yang sama-sama
agama sehingga memeluk agama Kristen. Karena merupakan saudara pewaris, melalui wasiat
tidak ada kesepakatan di antara para ahli waris wajibah.
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 285
| 285
1/18/2016 12:09:31 PM
Pertimbangan hukum Mahkamah Agung
yang memberikan bagian harta peninggalan
pewaris muslim kepada ahli waris nonmuslim
melalui wasiat wajibah sesuai dengan pendapat Ibn
Hazm Adh-Dhahiri, Ath-Thabari, dan Abu Bakar
bin Abdil Aziz dari ulama mazhab Hanbali (AzZuhaili, 1985, hal. 122). Pertanyaan yang muncul
adalah mengapa dalam memberikan bagian harta
warisan kepada pihak nonmuslim Mahkamah
Agung menggunakan lembaga wasiat wajibah?
Konsep wasiat wajibah berawal dari
penafsiran QS. 2: 180. Berdasarkan ayat tersebut,
Ibn Hazm, dalam kitab Al-Muhalla berpendapat:
“Diwajibkan atas setiap muslim untuk
berwasiat bagi kerabatnya yang tidak
mewarisi disebabkan adanya perbudakan,
adanya kekufuran (nonmuslim), karena
terhijab atau karena tidak mendapat warisan
(karena bukan ahli waris), maka hendaknya
ia berwasiat untuk mereka serelanya, dalam
hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila
ia tidak berwasiat (bagi mereka), maka
tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang
mengurus wasiat untuk memberikan wasiat
tersebut kepada mereka (kerabat) menurut
kepatutan (Hazm, IX, hal. 314).”
Dalam Pasal 209 KHI, lembaga wasiat
wajibah secara tegas diakui dan digunakan untuk
memberikan bagian harta warisan kepada anak
angkat atau bapak angkat yang tidak menerima
wasiat. Berdasarkan ketentuan Pasal 209 KHI,
hakim dapat menggunakan metode penemuan
hukum argumentum per analogium, untuk
memperluas keberlakuan wasiat wajibah kepada
ahli waris nonmuslim. Dalam hal ini, antara anak
angkat dengan ahli waris nonmuslim sama-sama
terhalang untuk mendapatkan harta warisan,
namun keduanya sama-sama memiliki ikatan
kekeluargaan dengan pewaris. Adanya kesamaan
‘illat berupa ikatan kekeluargaan inilah digunakan
untuk menerapkan wasiat wajibah kepada ahli
waris nonmuslim.
286 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 286
Dengan memperluas keberlakuan wasiat
wajibah kepada ahli waris nonmuslim melalui
metode argumentum per analogium, putusan
hakim tidak bertentangan dengan sistem hukum
yang berlaku, yang menurut ketentuan Pasal 171
huruf b dan c KHI mengandaikan persamaan agama
antara pewaris dan ahli waris. Pertimbangan hakim
dalam hal ini lebih merupakan bentuk kompromi
untuk dapat memberikan keadilan kepada ahli
waris nonmuslim tanpa harus menentang sistem
hukum yang berlaku, seperti dengan menyelidiki
‘illat hukum hadis yang melarang waris beda
agama, sehingga hadis tersebut tidak dapat
diterapkan ketika ‘illat hukumnya tidak ditemui.
Dalam perkara waris yang terdiri dari
pewaris muslim dengan ahli waris muslim
dan nonmuslim, berdasarkan penetapan dan
putusan yang berhasil dihimpun oleh peneliti,
hakim-hakim pengadilan agama telah mampu
mewujudkan keadilan bagi semua ahli waris,
terlepas dari agama para pihak. Hal ini sesuai
dengan prinsip keadilan dalam Al Quran, yaitu
keadilan bagi semua orang.
Keadilan yang diwujudkan kepada ahli waris
nonmuslim lebih merupakan keadilan substantif.
Meski menurut peraturan perundang-undangan
ahli waris nonmuslim tidak berhak mewarisi
pewaris muslim, ahli waris nonmuslim tetap
berhak mendapatkan bagian harta warisan dari
pewaris muslim, sama dengan ahli waris muslim
lainnya, meski sebagai penerima wasiat wajibah,
dan bukan sebagai ahli waris. Hal ini sesuai dengan
keadilan distributif Aristoteles, tetapi dasar hak
bukan atas jasa yang telah dilakukan, melainkan
adanya hubungan keluarga, baik karena nasab
atau perkawinan, dengan pewaris.
Pemberian bagian harta warisan pewaris
muslim kepada ahli waris nonmuslim melalui
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:32 PM
wasiat wajibah juga sesuai dengan teori keadilan
Rawls, bahwa setiap orang memiliki hak yang
sama terhadap kebebasan-kebebasan dasar
yang sama secara luas yang sesuai dengan pola
kebebasan yang serupa bagi yang lain. Dalam hal
ini, kebebasan seseorang untuk beragama jika
mengakibatkan seseorang tidak menerima bagian
warisan karena perbedaan agama merupakan
ketidakadilan.
Namun demikian, penggunaan wasiat
wajibah dalam hal ini, jika ditinjau dari
perkembangan teori hukum Islam, justru
menunjukkan kemunduran. Dengan memilih
pendapat Ibn Hazm sebagai pengikut mazhab
Dzahiri terkait wasiat wajibah, berarti kembali
kepada aliran literalism yang termasuk ke dalam
teori hukum di era Islam tradisional. Sementara
dalam perkembangannya, teori hukum Islam
telah berkembang di era Islam modern, hingga
era Islam posmodern.
Hal
ini
secara
tidak
langsung
mengungkapkan masalah authority dalam
pemikiran hukum Islam. Dari segi tujuan hukum
untuk mewujudkan keadilan bagi ahli waris
nonmuslim, memang telah dapat dipenuhi dengan
menggunakan wasiat wajibah. Akan tetapi,
penggunaan wasiat wajibah masih menyisakan
persoalan terkait diskriminasi berdasarkan agama,
dan bertentangan dengan prinsip kebebasan
beragama, yang merupakan hak asasi setiap
manusia.
ahli waris muslim dan nonmuslim, penetapan
waris hakim pengadilan agama belum mampu
menegakkan keadilan bagi semua orang. Hal
ini karena hanya ahli waris muslim yang dapat
mewarisi dari pewaris nonmuslim, sedangkan
bagi ahli waris nonmuslim yang justru seagama
dengan pewaris tidak mendapat bagian dari harta
warisan. Dalam hal ini, pertimbangan hukum
hakim pengadilan agama lebih mencerminkan bias
keagamaan dan inkonsistensi dalam penggunaan
logika hukum.
Namun, dalam perkara waris yang terdiri
dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim
dan nonmuslim, putusan atau penetapan
waris hakim pengadilan agama telah mampu
mewujudkan keadilan bagi semua pihak dengan
memberi bagian harta warisan kepada ahli waris
nonmuslim, meski bukan sebagai ahli waris,
melalui lembaga wasiat wajibah berdasarkan
yurisprudensi. Hakim-hakim di lingkungan peradilan
agama lebih cenderung menggunakan lembaga
wasiat wajibah dalam memberi bagian warisan
kepada ahli waris nonmuslim, dan tidak
berusaha untuk menyelidiki ‘illat hukum hadis
yang melarang waris beda agama. Akibatnya,
perbedaan agama masih menjadi halangan untuk
saling mewarisi karena penerapan hukum yang
tidak mempertimbangkan ‘illat hukumnya. Di
sinilah, ketidakadilan dalam perkara waris yang
terdiri dari pewaris nonmuslim dengan ahli waris
muslim dan nonmuslim muncul.
IV. KESIMPULAN
V. SARAN
Berdasarkan analisis terhadap pertimbangan
Untuk mewujudkan kepastian hukum
hukum dari penetapan dan putusan waris dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa dan menghindari konflik kewenangan dalam
dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris perkara waris yang melibatkan pihak muslim
nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau dan nonmuslim perlu dibuat peraturan yang
Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 287
| 287
1/18/2016 12:09:32 PM
struggle to make the law work for everyone.
menentukan dasar kewenangan suatu pengadilan
Ttp: tnp.
dalam menangani perkara waris beda agama.
Ketidakjelasan penyelesaian perkara waris beda
Friedrich, C. J. (2004). Filsafat hukum perspektif
agama dapat menimbulkan halangan akses
historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia.
terhadap keadilan pada tahap akses terhadap forum
yang sesuai. Hal ini karena pengadilan agama dan Hazm, I. (Tt). Al-Muhalla. Juz IX. Beirut: Dar AlAlaq.
pengadilan negeri menerapkan hukum waris yang
berbeda, yang pada gilirannya dapat menimbulkan Kelsen, H. (2011). General theory of law and state.
ketidakadilan bagi pencari keadilan.
Muttaqien, R (Ed.). Bandung: Nusa Media.
Jika merujuk kepada Pasal 171 huruf b dan
c KHI, maka perkara waris yang ditangani oleh
pengadilan agama mengandaikan persamaan
agama antara pewaris dan ahli waris. Jadi,
selama terdapat pewaris muslim dan ahli waris
muslim sudah memenuhi syarat untuk menjadi
kewenangan pengadilan agama, meski terdapat
ahli waris lain yang nonmuslim. Namun, ketika
syarat pewaris muslim dan ahli waris muslim
tidak terpenuhi, maka lebih tepat menjadi
kewenangan pengadilan negeri. Pengadilan negeri
menerapkan hukum adat dan KUH Perdata yang
tidak mengenal halangan waris karena perbedaan
agama, sehingga lebih mampu mewujudkan
keadilan dalam perkara waris beda agama.
Marzuki, P. M. (2014). Penelitian hukum. Edisi
Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung
RI.
(2010).
Titik
singgung
kewenangan
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
dan peradilan agama. Laporan Penelitian 2010.
Jakarta: MARI.
Qardhawi, Y. (2007). Fiqh maqashid syar’i. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Radbruch, G. (2006). Five minutes of legal philosophy.
Oxford Journal of Legal Studies, 26(1), 13-15.
__________. (2006). Statutory lawlesness and suprastatutory law. Oxford Journal of Legal Studies,
26(1), 1-11.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Revised Edition.
Cambridge: The Belknap Press.
DAFTAR ACUAN
Al-‘Asqalani, A. A. I. H. Fath al-Bari. Lebanon: Dar
al-Ma’rifah. 13 juz.
Amal, T. A. (2005). Rekonstruksi sejarah Al Quran.
Cet. I. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Riadi, E. (2011). Dinamika putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam bidang perdata
Islam. Jakarta: Gramata Publishing.
Wahyudi, M. I. (2014). Pembaruan hukum perdata
Islam: Pendekatan dan penerapan. Cet. I.
Bandung: Mandar Maju.
Az-Zuhaili, W. (1985). Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib
al-Arba’ah. Damaskus: Dar al-Fikr. 8 juz.
Berenschot, W., & Bedner, A. (2010). Akses terhadap
keadilan: An introduction to Indonesia’s
288 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 288
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288
1/18/2016 12:09:32 PM
IMPLEMENTASI HUKUM PROGRESIF
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN EKOLOGIS
Kajian Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010
THE IMPLEMENTATION OF PROGRESSIVE LAW
IN ECOLOGICALLY SUSTAINABLE DEVELOPMENT
An Analysis of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN.Smg
jo. Number 103 K/TUN/2010
Subarkah
Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus
Jl. UMK Kampus UMK Gondangmanis, Bae PO. BOX 53 Kudus 59324 Indonesia
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 27 April 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015
ABSTRAK
Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mencakup
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya
merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia.
Demikian juga dengan keanekaragaman suku, agama,
dan ras, dari masyarakat Indonesia sehingga membentuk
masyarakat plural, yang di dalamnya terdapat tata nilai,
norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat,
sehingga kebijakan penataannya secara luas melalui
konsep berkelanjutan ekologis untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Kajian ini membahas Putusan
Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor
103 K/TUN/2010 yang merupakan hasil perlawanan
masyarakat Sedulur Sikep atas kebijakan pembangunan
pabrik dari PT. SG yang dianggap akan merusak
lingkungan hidup, merusak sistem ekologi, dan
menghilangkan hak-hak hidup masyarakat Sedulur
Sikep yang selama ini hanya bertani sehingga sangat
tergantung pada tanah dan air. Kehidupan masyarakat
Sedulur Sikep yang tersebar di Kecamatan Sukolilo
Kabupaten Pati memiliki karakteristik yang unik. Oleh
karena itu, hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih
mendalam baik secara doktrinal maupun non doktrinal.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
socio-legal study, yang dalam arti hukum tidak sekedar
dikonsepsikan sebagai norma dan sekaligus memaknai
hukum sebagai perilaku, sehingga penelusuran realitas
yang sesungguhnya diharapkan akan dapat diketahui
apakah hukum positif yang ada maupun hukum yang
lahir dari pola-pola antar subjek dalam masyarakat itu
merupakan hukum yang sudah adil atau tidak.
Kata kunci: sumber daya alam, hukum progresif, hukum
lingkungan, pembangunan berkelanjutan ekologis.
ABSTRACT
Indonesia is endowed with abundant natural resources
and all of the biological diversity, along with the diversity
of ethnicity, religion, and race that make up the plural
society with prevailing values and customary norms,
so that the development policy is through generally by
the concept of ecologically sustainable development
for the welfare of the Indonesian People. This is an
analysis of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN.
Smg jo. Number 103 K/TUN/2010, which is the result
on opposition of the Sedulur Sikep society against the
policy of factory construction of PT. SG, deemed to be
harmful to the environment, ecological systems, and
threaten the rights of the Sedulur Sikep society, who
mostly live on farming, and are highly dependent on
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 289
| 289
1/18/2016 12:09:32 PM
the soil and water. Community livelihood in Sedulur
Sikep located in Sukolilo District of Pati Regency has
unique characteristics. Therefore, it is interesting to do
a profound analysis either doctrinally or non-doctrinally.
The approach used in this analysis is a socio-legal study,
which is in the sense that the law is not merely conceived
as the norm and it necessarily interprets the law as a
behavior. Thus, the exploration of the true reality, is
expected to figure out if the existing positive law, as well
the law originated from the pattern among the subjects
in society has been impartial, or not.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
prural (pluralistic society). Pluralistik masyarakat
Indonesia ini ditandai dengan ciri yang bersifat
horizontal dan vertikal. Ciri horizontal terlihat
pada kenyataan adanya kesatuan-kesatuan
sosial yang berdasarkan perbedaan-perbedaan
suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan,
sedangkan ciri vertikal adalah gambaran lain
struktur masyarakat Indonesia yang berbentuk
perbedaan-perbedaan lapisan sosial antara lapisan
atas dan lapisan bawah (Ismail, 2004, hal. 105).
Selanjutnya dikatakan pelapisan yang bersifat
kentara tersebut terlihat pada sejumlah orang
berdasarkan kemampuan dan penguasaan yang
bersifat ekonomis, politis, ilmu pengetahuan,
yang jelas menunjukkan perbedan-perbedaan dan
derajat sosial sehingga berpotensi sebagai salah
satu sumber konflik.
Salah satu cara untuk mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang
termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945
alinea keempat adalah dengan memanfaatkan
sumber daya alam yang ada bagi kesejahteraan
masyarakat. Pasal 3 ayat (3) UUD NRI 1945 juga
mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Seiring dengan pertambahan penduduk,
pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi
maka tekanan terhadap sumber daya alam
menjadi semakin besar. Tingkat kebutuhan dan
kepentingan terhadap sumber daya alam juga
semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan
pertambangan, dan eksploitasi sumber daya alam
lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun,
akan tetapi semakin besar. Dengan demikian
tentunya kawasan-kawasan budidaya maupun
kawasan lindung semakin terancam habis,
sementara recovery sumber daya alam yang dapat
diperbaharui membutuhkan waktu yang lama
untuk dapat diperbaiki kembali.
Keywords: natural resources, progressive law,
environmental
law,
ecologically
sustainable
development.
Salah satu konflik yang terjadi adalah
mengenai perizinan pertambangan galian C
batu kapur kawasan karst di Sukolilo Kab. Pati
sebagaimana Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.
Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010,
sedangkan kawasan karst sebagaimana dimaksud
di atas, telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Nomor 0398 K/40/MEM/2005 tentang Penetapan
Kawasan Karst Sukolilo, yang menyatakan
bahwa kawasan perbukitan batu gamping yang
terletak di Kecamatan Sukolilo, Kecamatan
Sudah menjadi takdir bangsa Indonesia
Kayen, Kecamatan Tambakkromo, di Kabupaten
sebagai bagsa yang bercorak msyarakat yang
290 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 290
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:32 PM
Pati dan Kecamatan Brati, Kecamatan Grobogan,
Kecamatan Tawangharjo, Kecamatan Wirosari,
Kecamatan Ngaringan di Kabupaten Grobogan
serta Kecamatan Todanan, di Kabupaten Blora,
Provinsi Jawa Tengah sebagai Kawasan Karst
Sukolilo.
dikenal di Blora dan Pati, dan juga sebagian di
Kudus yang menurut beberapa tulisan, nama ini
diambil dari salah satu tokohnya yaitu Sedulur
Sikep Surosentiko, memang sudah menjadi
kajian para cendekiawan, baik Sedulur sikep
sebagai gerakan maupun sedulur sikep sebagai
falsafah hidup. Belakangan, nama Sedulur Sikep
Dalam kasus PTUN tergugat mendalilkan
menjadi sangat dikenal di masyarakat terutama
eksplorasi bukanlah kegiatan yang membahayakan
Jawa Tengah, karena di wilayah perkampungan
dan merugikan bagi lingkungan hidup inilah yang
Sedulur sikep di Sukolilo, Kabupaten Pati, akan
menyebabkan kenapa dalam lampiran Peraturan
didirikan perusahaan SG.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan
Perlawanan pertama kali dilakukan oleh
atau Kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis masyarakat Sedulur Sikep karena kebijakan
Mengenai Dampak Lingkungan (Permen LH pembangunan pabrik oleh PT. SG dianggap akan
Nomor 11/2006”) disebutkan bahwa kegiatan merusak lingkungan hidup, merusak ekologi
eksplorasi untuk pertambangan bahan galian lingkungan, menghilangkan hak-hak hidup
C tidak wajib AMDAL, karena usaha dan/ masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya
atau kegiatan eksplorasi sifatnya masih sebatas bertani sehingga sangat tergantung pada tanah
kajian/penyelidikan untuk memperoleh informasi dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep
sebelum melakukan kegiatan (eksploitasi), yang berjumlah sekitar 230 KK, yang tersebar
sedang penggugat mengatakan eksplorasi sudah di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati memiliki
mewajibkan adanya AMDAL.
karakteristik yang unik. Oleh karenanya sangatlah
Eksplorasi
industri
pertambangan
memerlukan AMDAL karena bukan kegiatannya
tapi usahanya; eksplorasi tidak mungkin tidak
dilanjutkan dengan eksploitasi, sehingga eksplorasi
adalah bagian dari rangkaian kegiatan sebuah
usaha. Sebelum eksplorasi wajib AMDAL, karena
akan memberi masukan kepada pemrakarsa dan
esensi AMDAL yang mencegah dampak.
Terkait dengan konteks pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
sudah semestinya masyarakat adat dan nilai-nilai
lokal (local wisdom) senantiasa diperhatikan dan
dilindungi ketika suatu kegiatan dilakukan atas
nama pembangunan yang sudah sesuai dengan
amanat UUD NRI 1945 beserta perubahannya.
Komunitas masyarakat Sedulur Sikep yang
menarik untuk dikaji atau dilakukan penelitian
lebih mendalam baik secara doktrinal maupun
non doktrinal.
Persoalan
perlindungan
lingkungan
hidup dan kearifan lokal suatu masyarakat adat
mengemuka ketika pada tahun 2008 di Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati, akan dibangun pabrik
oleh PT. SG dan persoalan ini mengemuka dan
diajukan ke pengadilan tata usaha negara di
Semarang setelah dikeluarkannya izin eksplorasi
Nomor 540/052/2008, tanggal 5 November 2008,
yang merupakan Perubahan Atas Keputusan
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Nomor 540/040/2008 kepada PT. SG di Desa
Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung,
Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati.
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 291
| 291
1/18/2016 12:09:32 PM
Secara
doktrinal
terkait
dengan
dikeluarkannya surat perizinan pendirian pabrik
semen oleh PT. SG Nomor 540/052/2008 tentang
Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Nomor 540/040/2008
yang telah memberikan izin eksplorasi bahan
galian golongan C batu kapur kepada PT. SG
untuk melakukan eksplorasi penambangan batu
kapur oleh Pemerintah Kabupaten Pati dianggap
bertentangan dengan hukum yang ada dan secara
non doktrinal kebijakan yang dilakukan tidak
memberikan perlindungan pada lingkungan hidup
yang berkelanjutan, dan perlindungan masyarakat
adat Sedulur Sikep yang hidupnya dari pertanian.
Pembentukan hukum dan konstruksi hukum
sangat diperlukan untuk dapat memberikan
rasa nyaman terhadap masyarakat sebagai
adresatnya (acces to justice). Pembentukan
hukum tidak lepas dari produk putusan-putusan
hakim (judge made law) yang terkait dengan
penegakan hukum, sedangkan penegakan hukum
pada hakikatnya adalah merupakan suatu proses
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide
hukum menjadi kenyataan (Warassih P, 2005, hal.
11). Penegakan hukum konvensional tidak selalu
dapat mewujudkan nilai keadilan masyarakat,
maka perlu ada konstruksi penegakan hukum
progresif yang dapat mewujudkan nilai keadilan
lingkungan yang berorientasi pada kesejahteraan
Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.SMG
dan perlindungan masyarakat.
jo. Nomor 103 K/TUN/2010 menjadi menarik
untuk dikaji karena hakim (PTUN penekanannya
pada judex factie dan MA pada judex juris) tidak B. Rumusan Masalah
sekedar memperhatikan prosedur dan dasar hukum
Berdasarkan pendahuluan di atas maka
dikelurkannya perizinan, akan tetapi juga melihat permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan
bagaimana semangat politik hukum/kebijakan ini adalah sebaggai berikut:
dikeluarkannya peraturan perundangan-undangan
1. Mengapa dibutuhkan penegakan hukum
tersebut dengan pendekatan hukum progresif.
progresif dalam memutus perkara dalam
Konsep pemikiran Satjipto Rahardjo
menkonstruksi hukum menuju keadilan
tentang ‘hukum progresif’ adalah hukum yang
dalam perlindungan dan pengelolaan
membahagiakan manusia dan bangsanya, berawal
lingkungan hidup?
dari suatu realita bahwa hukum dipahami hanya
sebatas rumusan undang-undang, dan diterapkan 2. Apakah Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.
Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010
dengan silogisme. Pemikiran hukum progresif
mencerminkan asas keadilan lingkungan?
muncul karena ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum
C. Tujuan dan Kegunaan
yang ada dalam masyarakat.
Menurut Bernard L. Tanya hukum progresif
adalah hukum pro keadilan dan pro rakyat (Tanya
et. al., 2010, hal. 212) Artinya dalam berhukum
para pelaku hukum dituntut mengedepankan
kejujuran, empati, kepedulian kepada rakyat dan
ketulusan dalam penegakan hukum.
292 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 292
Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang
Nomor
04/G/2009/PTUN.SMG
tertanggal 6 Agustus 2009 terkait dengan eksplorasi
kegiatan/usaha yang dilakukan PT. SG, tidak hanya
memberikan gambaran apakah suatu kegiatan itu
wajib amdal atau tidak akan tetapi lebih pada
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:32 PM
dari itu digunakan pendekatan hukum progresif.
Putusan PTUN Semarang yang mengabulkan
gugatan penggugat kemudian dibanding oleh PT.
SG di PTUN Surabaya karena dianggap putusan
tidak prosedural dan bertentangan dengan hukum
positif. Putusan Nomor 138/B/2009/PT.TUN.SBY.
tanggal 30 November 2009 yang memberikan
putusan membatalkan putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang.
Putusan kembali berubah ketika Walhi
mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah
Agung dengan Putusan Nomor 103 K/TUN/2010
tertanggal 27 Mei 2010 yang menguatkan
putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan ini
akan memberikan manfaat/kegunaan akan arti
pentingnya kebijakan pembangunan yang tidak
hanya berorientasi ekonomi akan tetapi juga
berkelanjutan ekologis, khususnya masyarakat
Sedulur Sikep dengan kearifan lokalnya di
pegunungan kendeng utara sebagai kawasan
karst (penyerap air) untuk bahan baku semen
agar diperoleh keadilan lingkungan.
D.
Studi Pustaka
Konsep pemikiran Satjipto Rahardjo
tentang ‘hukum progresif’ adalah hukum yang
membahagiakan manusia dan bangsanya, berawal
dari suatu realitas bahwa hukum dipahami hanya
sebatas rumusan undang-undang, dan diterapkan
dengan silogisme. Pemikiran hukum progresif
muncul karena ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum
yang ada dalam masyarakat. Penegakan hukum
yang dilakukan memunculkan masalah yaitu
ketidakadilan. Banyak kasus hukum berakhir
dengan ketidakadilan.
dalam berhukum para pelaku hukum dituntut
mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam
penegakan hukum. Mereka harus mempunyai
empati dan kepedulian kepada penderitaan yang
dialami oleh rakyat. Kepentingan rakyat dalam
hal ini kesejahteraan harus menjadi orientasi dan
tujuan akhir dalam penyelenggaraan hukum.
Teori hukum progresif bertolak dari dua
asumsi dasar. Pertama, bahwa hukum adalah
untuk manusia (Rahardjo, 2010, hal. 3). Artinya
bahwa manusia menjadi penentu dan orientasi
dari hukum. Hukum yang dibuat harus dapat
melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh
karena itu hukum bukan institusi yang lepas dari
kepentingan manusia. Fungsi hukum ditentukan
oleh manusia dalam mewujudkan kesejahteraan
manusia, maka jika terjadi permasalahan hukum,
hukumlah yang harus ditinjau kembali atau
diperbaikinya, dan bukan manusia yang dipaksa
untuk mengikuti skema hukum. Manusia berada
di atas hukum, dan hukum sebagai sarana untuk
menjamin dan menjaga kepentingan manusia.
Kedua, bahwa hukum bukan merupakan institusi
yang mutlak dan final, karena hukum ada dalam
proses untuk terus menjadi (law as a process, law
in the making) (Rahardjo, 2009, hal. 3).
Untuk memahami hukum dan cara
berhukum di Indonesia yang pluralis, tidak bisa
lagi didekati dengan tiga pendekatan seperti
pendekatan filosofische, pendekatan normative,
dan pendekatan socio-legal, tetapi menurut
Menski dan Suteki, perlu ada pendekatan yang
keempat yaitu Legal Pluralism Approach
(Menski, 2006, hal. 187 & Suteki, 2010, hal. 43).
Pendekatan legal pluralism adalah pendekatan
yang menggabungkan antara state (positive
law), kemasyarakatan (socio-legal) dan natural
Menurut Bernard L. Tanya hukum progresif law (moral/ethic/relegion). Penegakan hukum
adalah hukum pro keadilan dan pro rakyat. Artinya yang menggunakan legal plurasism approach
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 293
| 293
1/18/2016 12:09:32 PM
diharapkan dapat mewujudkan keadilan
Penegak hukum akan selalu menggunakan
lingkungan, artinya lebih berkarakter pro keadilan pasal undang-undang sebagai senjata utama dalam
sosial, pro lingkungan, dan pro kemiskinan.
menangani suatu perkara, karena “pasal undangundang adalah sesuatu yang logis, rasional dan
Berdasarkan pemikiran di atas, dalam hal
demi kepastian hukum” (Wignyosoebroto, 2008,
revitalisasi hukum dapat dilakukan kapan saja,
hal.50). Pasal undang-undang dijadikan sebagai
karena hukum progresif tidak hanya berpusat
alat untuk memutus persoalan hukum, sehingga
pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku
putusan (hakim) berdasarkan undang-undang.
hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan
Putusan undang-undang adalah putusan yang
pemerintah/birokrasi) dalam mengaktualisasi
legalitas formal, sehingga keadilannya adalah
hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Di
keadilan formal yaitu keadilan menurut ketentuan
sini pelaku hukum dapat melakukan ‘pemaknaan
pasal undang-undang.
hukum yang kreatif terhadap peraturan yang ada,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan’
1. Konsep hukum progresif:
(Tanya, 2010, hal. 213).
Peraturan yang buruk tidak harus menjadi
penghalang bagi para pelaku hukum untuk
menghadirkan keadilan lingkunagn berkarakter
pro keadilan sosial, pro lingkungan, dan pro
kemiskinan, dalam memenuhi hak atas lingkungan
yang baik dan sehat
kepada masyarakat
sebagaimana ketentuan Pasal 65 ayat (2)
UUPPLH. Caranya dengan menginterpretasikan
terhadap suatu peraturan sesuai dengan ruang dan
waktu yang tepat. Hukum progresif adalah hukum
merespon kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Agar hukum dirasakan manfaatnya maka ‘maka
dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif
menerjemahkan hukum dalam fora kepentingankepentingan sosial yang memang seharusnya
dilayani. Dengan demikian hukum progresif
dapat mengatasi ketertinggalan dan ketimpangan
hukum, sehingga bisa melakukan terobosanterobosan hukum dan bila perlu melakukan rule
breaking (Rahardjo, 2010, hal. 83) sehingga tujuan
hukum yaitu membuat manusia bahagia terwujud
dan keadilan substansial berkarakter pro keadilan
sosial, pro lingkungan, dan pro kemiskinan yang
diharapkan oleh masyarakat pada umumnya dan
khususnya Sedulur Sikep juga bisa terwujud.
294 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 294
a.
Spirit
Hukum
Pembebasan
Progresif
adalah
Spirit dalam hukum progresif adalah
pembebasan yang artinya:
1.
Pembebasan terhadap tipe, cara
berpikir, asas, teori yang selama ini
dipakai.
2.
Pembebasan terhadap kultur penegak
hukum (administration of justice)
yang selama ini berkuasa dan dirasa
menghambat usaha hukum untuk
menyelesaikan persoalan.
b.
Karakter Hukum Progresif
Hukum progresif selain mempunyai asumsi,
spirit, juga memiliki karakter yang progresif
dalam hal sebagai berikut (Rahardjo, 2010,
hal. 16-17 & Warassih P, 2009, hal. 6):
1.
Bertujuan untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia dan oleh
karenanya memandang hukum selalu
dalam proses menjadi (law in the
making).
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:32 PM
2.
3.
Peka terhadap perubahan yang terjadi 2. Konsep Keadilan Lingkungan
di masyarakat, baik lokal, nasional
The Fund for Peace, sebuah lembaga
maupun global.
penelitian nirlaba independen dari Washington DC,
Menolak status quo manakala Amerika Serikat, mengeluarkan hasil penelitian
menimbulkan dekadensi suasana mereka tentang indeks negara gagal. Disebutkan
korup dan sangat merugikan bahwa Indonesia ada di peringkat 63 dari 178
kepentingan
rakyat,
sehingga negara di dunia. Artinya, dengan indeks 80,6 (ratamenimbulkan
perlawanan
dan rata dari 12 indikator, termasuk kualitas pelayanan
pemberontakan
yang
berujung publik dan penegakan hukum) Indonesia sudah
pada penafsiran progresif terhadap di ambang bahaya masuk kategori negara gagal!
(Binawan & Sabastian, 2012, hal. 4).
hukum.
Negara Indonesia yang berdasarkan
Konstruksi penegakan hukum berbasis
nilai keadilan lingkungan yang menggunakan pancasila adalah negara kebangsaan yang
pendekatan legal pluralism dalam putusan berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara
pengadilan tata usaha negara dengan cermat sebagai penjelmaan manusia sebagai Makhluk
memperhatikan struktur masyarakat Kabupaten Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan
Pati khususnya dan struktur masyarakat Indonesia makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan
pada umumnya yang ditandai oleh dua ciri yang suatu keadilan dalam hidup bersama, yang
bersifat unik yaitu secara horizontal dan vertical dipahami sebagai keadilan sosial. Keadilan
(Suteki, 2010, hal. 39). Secara horizontal adanya sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat
kesatuan-kesatuan sosial seperti suku, agama, keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab
adat, dan budaya.
Pendekatan legal pluralism menurut
Suteki, adalah pendekatan yang sudah tidak
lagi terpenjara oleh ketentuan legal formalism
melainkan telah melompat ke arah pertimbangan
living law dan natural law. Pendekatan ini tidak
hanya mengandalkan hukum formal seperti
undang-undang dalam menyelesaikan masalah,
tetapi menggunakan hukum yang berkembang
dalam masyarakat. Masyarakat yang plural
membutuhkan penanganan yang berbeda,
maka dalam penegakan hukum juga harus
memperhatikan pluralitasnya. Pendekatan legal
pluralism adalah pendekatan yang menggunakan
nilai moral, etik, dan religius serta nilai-nilai
lokal (local wisdom) yang dapat digunakan dalam
penegakan hukum.
yang tercermin dalam kemanusiaan yang adil
dan beradab. Manusia pada hakikatnya adalah
adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil
terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya,
adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil
terhadap lingkungan alamnya. Oleh karenanya
keadilan sosial tidak bisa dilepaskan dari masalah
ekologis (baca: lingkungan).
Untuk merumuskan “keadilan” tidaklah
mudah apalagi merumuskan keadilan lingkungan,
namun paham keadilan ini, ada beberapa jenis
pandangan. Pertama, keadilan dapat dipandang
sebagai sebuah keutamaan (virtue). Pendapat
ini menekankan makna bahwa keadilan adalah
sebentuk virtue yang muncul dari upaya reflektif
individu mengenai cara hidup yang baik dan yang
sesuai dengan etika. Konsep keadilan seperti ini
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 295
| 295
1/18/2016 12:09:32 PM
dapat kita temukan dari gagasan Plato. Kedua,
keadilan yang dipandang sebagai keutamaan tadi
tidak hanya melulu muncul dan eksis di relung
pribadi masing‐masing individu, namun lebih
jauh lagi, keadilan hadir pada suatu situasi dan
komunitas kehidupan manusia, termasuk di
dalamnya keadilan lingkungan. Oleh karenanya
Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 dikatakan:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang
itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin
terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh
2.
lingkungan hidup yang baik dan sehat yang
termasuk kategori hak asasi manusia.
II.
masyarakat di “rumah sonokeling” dan
“rumah kendeng” di Kecamatan Sukolilo
Kab. Pati dalam bentuk Focus Group
Discussion (FGD). Data primer dalam
penelitian ini dapat dilihat sebagai data
dalam perilaku hukum dari masyarakat,
khususnya perlawanan masyarakat Sedulur
Sikep terhadap kebijakan pembangunan SG
terkait dengan kebijakan penambangan batu
kapur untuk semen di lingkungan wilayah
kendeng utara, khususnya Kecamatan
Sukolilo Kabupaten Pati berpotensi
merusak alam dan kehidupan masyarakat
Sedulur Sikep yang hidup dari pertanian.
Data sekunder diperoleh dari bahan pustaka,
data sekunder meliputi:
a.
Bahan hukum primer, berupa peraturan
perundang-undangan yang terkait
dengan penelitian, seperti UUD NRI
1945, Undang-UndangNomor 32
Tahun 2009, Undang-UndangNomor
26 Tahun 2007, PP Nomor 26 Tahun
2008, PP Nomor 1 Tahun 2010
dan tidak kalah pentingnya adalah
Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.
SMG dan Putusan Nomor 103 K/
TUN/2010 yang menjadi fokus kajian
pembangunan lingkungan hidup
yang berkelanjutan ekologis. Putusan
ini menjadi perhatian peneliti karena
“potensi” gugatan akan muncul
kembali terhadap pemanfaatan karst
pegunungan kendeng oleh pabrik
semen lainnya.
b.
Bahan hukum sekunder, buku-buku
referensi, dan artikel ilmiah.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah socio legal study. Menurut kajian dalam
socio legal study (Samekto, 2008, hal. 28) hukum
tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan
sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku,
sehingga penelusuran realitas yang sesungguhnya
diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum
positif yang ada maupun hukum yang lahir dari
pola-pola antar subjek dalam masyarakat itu
merupakan hukum yang sudah adil atau tidak.
Oleh karena itu kajian ini juga menggunakan data
di luar putusan hakim berupa:
1.
Data primer diperoleh dari lapangan
dengan melakukan observasi, wawancara
yang mendalam dengan narasumber/
informan kunci yaitu dari Gunritno seorang
tokoh Sedulur Sikep yang menjadi Ketua
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng (JMPPK), dan diskusi kelompok
296 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 296
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan model participative yang
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:32 PM
telah memberikan izin eksplorasi bahan galian
golongan C batu kapur kepada PT. SG untuk
melakukan eksplorasi penambangan batu kapur
seluas kurang lebih 700 hektar di Desa Gadudero,
Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa
Sukolilo, Desa Sumbersoko yang berada di
wilayah Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
yang merupakan kawasan karst, dianggap sangat
bertentangan dengan hukum. Pertimbangan
1. Observasi:
observasi
diharapkan
pemerintah Kabupaten Pati untuk mendukung
memperoleh gambaran tentang situasi,
program penambangan untuk pendirian pabrik
fenomena, peristiwa, dan perilaku yang
semen oleh PT. SG di kawasan karst Sukolilo
mampu memberikan gambaran tentang
lebih banyak didasarkan pada pertimbangan
fokus penelitian yang hendak dikaji.
ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD).
Dengan observasi akan diperoleh gambaran
Penerbitan pemberian izin Nomor
situasi dan kondisi lokasi atau social setting
540/052/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan
penelitian secara menyeluruh.
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
2. Wawancara: teknik ini dilakukan kepada
Nomor 540/040/2008 atas ekplorasi yang
informan dengan menggunakan wawancara
dilakukan oleh PT. SG belum dilengkapi analisa
tertutup dan terbuka. Wawancara tertutup
mengenai dampak lingkungan (AMDAL) oleh
adalah wawancara yang jawabannya sudah
karena itu komunitas Sedulur Sikep beserta
diarahkan atau jawaban sudah ada, sedang
masyarakat yang menolak berdirinya pabrik SG
wawancara terbuka adalah wawancara yang
memberikan kuasa kepada Wahana Lingkungan
jawabannya bebas. Teknik ini digunakan
Hidup (Walhi) untuk melakukan gugatan kepada
untuk mengungkap makna dan ungkapan
Pemerintah Daerah Kabupaten Pati atas terbitnya
simbolik dari fenomena yang terjadi dalam
pemberian izin dimaksud.
realitas masyarakat. Teknik wawancara
Pemberian izin itu dianggap melanggar
dilakukan secara mendalam (in depth
interview) dengan menggunakan pedoman hukum karena sesuai ketentuan hukum,
penerbitan izin harus sudah ada AMDAL terlebih
wawancara.
dahulu di samping itu juga bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Sekarang
Persoalan bermula dari Kebijakan Undang-UndangNomor 32 Tahun 2009 tentang
Pemerintah Kabupaten Pati melalui keputusan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Pati yang dilakukan oleh Hidup); Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Nomor 540/052/2008 tentang Perubahan Lingkungan; dan Peraturan Menteri Negara
Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006
Perizinan Terpadu Nomor 540/040/2008 yang tentang jenis usaha dan atau kegiatan yang wajib
mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual,
dan multilevel analysis yang bisa dilakukan melalui
penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam
proses transaksi sosial. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan observasi dan wawancara yang
mendalam dengan para key informan berdasarkan
karakteristik penelitian. Pengumpulan data dapat
dilakukan dengan cara:
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 297
| 297
1/18/2016 12:09:32 PM
dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan yang dapat memiliki dampak besar dan
hidup.
penting bagi lingkungan hidup, karena eksplorasi
sifatnya hanyalah sebatas penyelidikan geologi/
Sebaliknya tidak demikian dengan sikap
pertambangan untuk memperoleh informasi
pemerintah yang menganggap apa yang telah
secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk,
dilakukan sudah sesuai dengan peraturan
dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya
perundang-undangan. Diterbitkannya keputusan
terukur dari bahan galian, sifat letakan bahan
Pemerintah Kabupaten Pati yang dilakukan oleh
galian serta informasi mengenai lingkungan sosial
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
dan lingkungan hidup. Perbedaan pandangan
Nomor 540/052/2008 tentang Perubahan Atas
inilah terutama yang memicu persoalan sampai
Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan
pada ranah pengadilan.
Terpadu Nomor 540/040/2008 dengan memberikan
izin eksplorasi bahan galian golongan C batu
Secara normatif politik hukum pengelolaan
kapur kepada PT. SG sudah sesuai dengan:
sumber daya alam di Indonesia sudah ditentukan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ketentuan
Pasal 15, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
pasal tersebut mengandung konstruksi yuridis
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
bahwa sumber daya alam yang ada di wilayah
Lingkungan Hidup (sekarang Undangkedaulatan Indonesia, adalah milik bangsa
UndangNomor 32 Tahun 2009).
Indonesia. Selanjutnya pengelolaan sumber daya
b. Pasal 3, Pasal 7, Pasal 19 Peraturan alam yang ada diserahkan kepada negara untuk
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sisi
normatif ini bisa disebut sebagai konstruksi
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
hukum yang dibangun berdasarkan Pasal 33 ayat
c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan
(3) UUD NRI 1945.
Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Jelas bahwa di dalam pelaksanaannya,
Jenis Usaha dan atau kegiatan yang wajib
dilengkapi Analisis Mengenai Dampak pengelolaan sumber daya alam oleh negara tidak
terlepas dari kepentingan perekonomian nasional
Lingkungan Hidup.
dan keselarasannya dengan perlindungan
d. Pertambangan dan rencana pertambangan
lingkungan hidup. Oleh karenanya memang tidak
pabrik sudah sesuai dengan Rencana
bisa dipungkiri bahwa harus ada harmonisasi
Tata Ruang dan Tata Wilayah (”RTRW”)
antara pengelolaan sumber daya alam –
Kabupaten Pati, sesuai dengan Surat Bupati
pembangunan – dan perlindungan lingkungan
Pati Nomor 131/1814/2008 tanggal 17 April
hidup, yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi
2008 yang dijadikan rujukan dalam menilai
kemakmuran rakyat.
kesesuaian rencana kegiatan dengan tata
Realitas sosial penambangan batu kapur
ruang kabupaten.
(karst) di Kecamatan Sukolilo Kab. Pati
Alasan lain yang dikemukakan adalah
sekalipun kalau bisa disebutkan, tentu hampir
kegiatan
ekplorasi
bukanlah
kegiatan
di semua daerah penyebab terjadinya eksploitasi
(pertambangan) yang dapat dikategorikan sebagai
sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab
a.
298 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 298
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:33 PM
dan buruknya pengelolaan sumber daya alam
yang mengakibatkan kerusakan lingkungan
hidup bersumber dari: (1) kemiskinan; (2)
lemahnya penegakan hukum; (3) rendahnya taraf
sinkronisasi peraturan terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam; (4) dorongan peningkatan
pendapatan asli daerah; (5) perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup tidak menjadi
agenda politik utama; (6) masih belum kuatnya
pengakuan peran masyarakat lokal; (7) upaya
pemaksaan kehendak melalui instrumen hokum.
Oleh karena itu untuk mengembalikan kepada
filosofi lingkungan hidup dibutuhkan hukum
progresif di mana hukum ditentukan oleh manusia
dalam mewujudkan kesejahteraan manusia, maka
jika terjadi permasalahan hukum, hukumlah yang
harus ditinjau kembali atau diperbaiki, dan bukan
manusia yang dipaksa untuk mengikuti skema
hukum.
hukum menjadi kenyataan. Tujuan atau ide para
pembuat hukum diwujudkan dalam penegakan
hukum (law enforcement).
1.
Faktor-faktor
yang
mempengaruh
penegakan hukum di pengadilan
a.
Pengaruh
kekuatan-kekuatan
terhadap penegakan hukum
lain: 1) The way in which the issues are presented;
2) The sources of theory; 3) The Personal
attributes of the judge; 4) The professional
sosialization of Judges; 5) Situational pressures
on the judge; 6) Organizational pressures on him;
7) The alternative Permissible Rules of Judges.
Keberhasilan dalam penegakan hukum
sangat dipengaruhi oleh sistem hukumnya.
Menurut Lawrence M. Friedman, sistem
hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu:
1.
Komponen Struktural
penegak hukum);
(lembaga
2.
Komponen Substansial (peraturan
perundang-undangan); dan
3.
Komponen Kultural, baik internal
legal
culture
(polisi,
hakim,
lawyers) atau external legal culture
(masyarakat,
role
occupant)
(Friedman, 1986, hal. 17).
Dari tiga komponen di atas komponen
Persoalan dan telaah hukum praktis dalam struktural menjadi faktor yang sangat penting
memahami sebuah kasus setidaknya akan dalam proses penegakan hukum. Dalam perspektif
dihadapkan tiga persoalan yaitu: perbedaan social, pengadilan adalah sebagai institusi sosial
penafsiran teks peraturan karena peraturan dalam melaksanakan tugasnya akan dipengaruhi
tidak jelas, perbedaan penafsiran atas fakta, dan oleh kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi,
kekosongan aturan hukum. Putusan Nomor 04/ budaya, dan sebagainya.
G/2009/PTUN.Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/
TUN/2010 lebih pada perbedaan penafsiran atas b. Faktor-faktor yang mempengaruhi hakim
dalam memutus perkara
fakta, sehingga dapat diketahui putusan yang
bagaimanakah yang dihasilkan, apakah sudah
Faktor-faktor yang mempengaruhi hakim
mengarah pada hukum progresif atau masih dalam memutus perkara, menurut William J.
konvensional, hal ini akan dipengaruhi berbagai Chambliss dan Robert B. Seidman (Chambliss &
faktor sebagai berikut:
Seidman, 1971, hal. 90): ada tujuh macam antara
sosial
Penegakan hukum adalah suatu proses
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 299
| 299
1/18/2016 12:09:33 PM
2.
Prinsip-prinsip hakim dalam memutus dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
perkara
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya
hakim dalam memutus perkara wajib menggali,
Dalam memutus perkara hakim harus
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
memperhatikan pada nilai-nilai hukum seperti
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
yang dikemukakan oleh Radbruch sebagai nilai
Hakim tidak hanya menggunakan peraturan
dasar hukum. Tiga nilai dasar itu yaitu:
perundang-undangan yang berlaku saja dalam
1. Keadilan, artinya bahwa dalam memutus perkara. Hakim harus memperhatikan
memutus perkara hakim harus adil nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
berkembang dalam masyarakat.
sesuai dengan fakta.
Pertimbangan hakim PTUN tampak sekali
dalam memutus perkara harus dapat dalam pertimbangannya dikatakan “fakta-fakta
hukum yang diperoleh selama persidangan
menyelesaikan masalah.
berlangsung dengan tidak hanya berpijak pada
3. Kepastian hukum, artinya adanya
norma yuridis dogmatis atau legal positivism
peraturan. Apabila putusan hakim
saja, melainkan juga memperhatikan aspek
dalam memutus perkara berdasarkan
socio-cultural, karena masalah lingkungan hidup
nilai kemanfaatan, kepastian hokum,
merupakan problema krusial dan aktual yang
dan keadilan bertentangan dan
menyangkut benturan-benturan kepentingan
menimbulkan masalah maka nilai
sehingga memerlukan pengkajian multidisipliner
keadilan yang diutamakan, karena
dengan pendekatan penafsiran hukum progresif
hukum untuk keadilan. (Radbruch
yang bersifat evolutif-dinamikal.”
dalam Satjipto, 2006, hal. 19).
Hubungannya dengan Putusan Pengadilan
Putusan hakim harus berdasarkan nilai
Tata Usaha Negara Semarang Nomor 04/
ketuhanan, hal ini sesuai dengan ketentuan
G/2009/PTUN.Smg. tertanggal 6 Agustus 2009
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
mengenai penambangan batu kapur oleh PT.
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
SG di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati.
yang berbunyi peradilan dilakukan “DEMI
Putusan PTUN tersebut merupakan putusan
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
yang berkeadilan dan menggali nilai-nilai dan
YANG MAHA ESA”. Artinya bahwa hakim
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
dalam memutus perkara harus berdasarkan nilai
yang menggambarkan nilai keadilan lingkunagn
ketuhanan seperti jujur, adil, dan benar. Selain
yang berorientasi pada kesejahteraan dan
itu putusan hakim yang dibuat harus dapat
perlindungan masyarakat Sedulur Sikep, karena
dipertanggung jawabkan kepada Tuhan yang
dapat memberikan rasa keadilan yang sebenarnya
Maha Esa.
keadilan sesuai dengan tujuan ingin diwujudkan
Demikian juga Pasal 5 ayat (1) Undang- dalam penegakan hukum.
2.
Kemanfaatan artinya bahwa hakim
UndangNomor 48 Tahun 2009 dikatakan hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
300 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 300
Keadilan lingkungan ini tercermin dalam
pertimbangan hakim “meskipun dalam kawasan
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:33 PM
karst kelas II dan III dimungkinkan adanya usaha
pertambangan, akan tetapi harus memperhatikan
salah satu konsep etika lingkungan yaitu deep
ecology yang menuntut suatu etika baru yang
tidak berpusat pada manusia saja, melainkan
berpusat pada makhluk hidup seluruhnya yang
berkaitan dengan upaya mengatasi persoalan
lingkungan hidup untuk jangka panjang dan tidak
boleh bertentangan dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan, yang menurut Dr. A. Sonny Keraf
(Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup
dan Kepala Bapedal) berupaya mensinkronkan,
mengintegrasikan, dan memberi bobot yang
sama bagi tiga aspek utama pembangunan,
yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan
aspek lingkungan hidup, maka ketiga aspek
tersebut harus dipandang saling berhubungan
dan berkaitan secara erat antara yang satu sama
lainnya.” Sehingga putusan MA mengatakan,
dengan demikian “Judex Factie Pengadilan
Tata Usaha Negara Semarang yang menyatakan
bahwa terhadap penerbitan izin eksplorasi harus
dilengkapi AMDAL karena dilakukan di daerah
resapan air dan kawasan sekitar mata air atau
kawasan karst” sudah tepat.
prosedur peradilan dan proses peradilan yang
menggunakan hukum undang-undang (formal)
dalam menyelesaikan masalah. Undang-undang
digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan
suatu perkara dengan jargonnya demi kepastian
hukum (legalitas).
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Semarang Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg terkait
dengan dikeluarkannya Keputusan Kepala
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten
Pati Nomor 540/052/2008, tanggal 5 November
2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor
540/040/2008 tentang Izin Pertambangan Daerah
Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur
oleh PT. SG di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo,
Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa
Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati
Jawa Tengah.
Dalam pertimbangan hakim dikatakan
tindakan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupaten Pati dalam menerbitkan objek
sengketa bertentangan dengan asas keterbukaan dan
asas kebijaksanaan (sapientia) yang menginginkan
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Di kawasan karst Sukolilo yang ada di
Kabupaten Pati ketika akan menerbitkan suatu
Kecamatan Sukolilo ada masyarakat samin/
keputusan terlebih dahulu harus memberitahukan
Sedulur Sikep yang hidupnya hanya dari pertanian
kepada pihak yang akan terkena dampak dan
yang berarti mengandalkan sumber air di
didengar pendapatnya, apabila terdapat kendala
kawasan karst yang banyak sekali perlu mendapat
diselesaikan dengan jalur musyawarah.
“perlindungan” (wawancara dengan Maftuh
Effendi, salah satu hakim TUN Semarang).
Selain Kepala Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu Kabupaten Pati dituntut untuk membuka
peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok
dan masyarakat di sekitar lokasi diterbitkannya
Penegakan hukum konvensional adalah objek sengketa, sudah menjadi kewajiban bagi
penegakan hukum yang prosedural dan formal. Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Penegakan hukum yang prosedural dan formal Kabupaten Pati untuk memperhatikan eksistensi
adalah penegakan hukum yang sesuai dengan masyarakat adat di Kecamatan Sukolilo, yaitu
3.
Keterbatasan
konvensional
penegakan
hukum
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 301
| 301
1/18/2016 12:09:33 PM
komunitas masyarakat adat Samin atau Sedulur
Sikep yang memiliki budaya, karakteristik,
ajaran, dan agama tersendiri yang khas (Rosyid,
2008, hal. 167).
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL
yang mempunyai paradigma baru yang bersifat
lengkap dan holistik, yaitu dengan mengkaji
semua aspek yang relevan yang terdiri dari aspek
Pemikiran ini juga menjadi pertimbangan
sosial, budaya, moral, estetis, dan spiritual, serta
hakim PTUN, dikatakan “bahwa selain tergugat
mengesampingkan prosedur formalitas yang
dituntut untuk membuka peluang dan akses yang
bersifat teknis dan kuantitatif semata, karena
sama bagi semua kelompok dan masyarakat di
lingkungan hidup berkarakter multidisiplin dan
sekitar lokasi diterbitkannya objek sengketa,
multiaspek, khususnya ekologi (baca: kawasan
sudah menjadi kewajiban bagi tergugat untuk
karst).
memperhatikan eksistensi masyarakat adat
di Kecamatan Sukolilo, yaitu komunitas
Kawasan karst adalah kawasan batuan
masyarakat adat Samin atau Sedulur Sikep karbonat (batu gamping dan dolomite) yang
yang memiliki budaya, karakteristik, ajaran, memperlihatkan morfologi karst, sedangkan karst
dan agama tersendiri yang khas” dan kebijakan itu sendiri artinya adalah bentukan bentang alam
pembangunan pabrik oleh PT. SG dianggap akan pada batuan karbonat yang bentuknya sangat
merusak lingkungan hidup, merusak ekologi khas berupa bukit, lembah, dolina, dan gua, hal
lingkungan, menghilangkan hak-hak hidup ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya 1 dan 2 Keputusan Menteri Energi dan Sumber
bertani sehingga sangat tergantung pada tanah Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000
dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst.
yang berjumlah sekitar 230 KK (Wawancara
Kawasan karst tersebut mempunyai beberapa
dengan Gunritno, tokoh Sedulur Sikep).
nilai yang sifatnya strategis yaitu: pertama, nilai
Selanjutnya dikatakan mata air di ekonomi yang berkaitan dengan usaha pertanian,
Pegunungan Kendeng merupakan sumber kehutanan, pertambangan, pengelolaan air, dan
pengairan 15.873,900 ha sawah di Kecamatan pariwisata. Kedua, nilai ilmiah yang berkaitan
Sukolilo dan 9 603,232 ha di Kecamatan Kayen. dengan ilmu-ilmu kebumian, speologi, biologi,
Sawah yang berada di kaki Gunung Kendeng arkeologi, dan paleontology. Ketiga, nilai
Utara menggunakan irigasi teknis sementara yang kemanusiaan, berkaitan dengan keindahan,
terletak di sebelah utara sepanjang Sungai Juana rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual, dan
II dan Juana I menggunakan sistem pompanisasi agama atau kepercayaan.
dengan bersumber dari sumber air yang berada
Salah satu area yang mengandung batuan
pada Pegunungan Kendeng.
kapur besar (karst) adalah Pegunungan Kendeng
Di samping itu hakim tidak sekedar melihat Utara, yang disebut sebagai kawasan karst Sukolilo
secara prosedural bagaimana permohonan izin yang membentang di bagian utara Provinsi Jawa
oleh PT. SG itu diperoleh akan tetapi hakim Tengah seluas 19.472 hektar. Kawasan tersebut
juga mengaitkan dengan setiap rencana usaha meliputi wilayah Kabupaten Pati (11.802 hektar),
dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat Grobogan (721 hektar) dan Blora (45,3 hektar).
302 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 302
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:33 PM
Kini area tersebut menjadi tujuan investasi dari
perusahaan-perusahaan semen, seperti PT. SI
(sebelumnya bernama PT. SG), PT. SMS, PT.
VPL, dan PT. SMP (Kompas, 2 Maret 2013).
Tidak berlebihan jika kemudian karena
memiliki cadangan karst yang besar, Kabupaten
Pati, tepatnya bagian selatan menjadi target
perluasan dan pendirian pabrik semen baru.
Meskipun persetujuan dari pemerintah daerah
tidak sulit diperoleh, bukan berarti proses
pembangunan pabrik semen bisa berjalan mudah.
Hingga awal tahun 2013, belum ada satupun
investor atau perusahaan yang telah berhasil
melakukan pembangunan fisik pabrik semen
di Kabupaten Pati. Pada tahun 2009, PT. SG
hampir saja mewujudkan pembangunan pabrik
di Kecamatan Sukolilo, sebelum kemudian
mengurungkan rencananya karena penolakan
keras dari masyarakat setempat yang didukung
sejumlah LSM (NGOs).
Pandangan majelis hakim ternyata tidak
antroposentris semata melainkan sudah mengarah
pada ekosentris karena menganggap alam
termasuk “natural objects” yang mempunyai
“legal rights,” karena sifatnya yang inanimatif
alam termasuk benda yang tidak mempunyai
kemampuan membela hak atau kepentingannya
di hadapan hukum manusia. Oleh sebab itu dalam
membela kepentingan terhadap suatu kegiatan
yang dapat merugikan lingkungan hidup diwakili
oleh organisasi lingkungan hidup yang ditunjuk
sebagai guardian.
Pendapat dari tergugat yang mengatakan
eksplorasi adalah studi kelayakan, maka tidak
perlu amdal. Menurut Kepmen ESDM Nomor
11 Tahun 2006 tidak mengatur untuk kegiatan
eksplorasi, yang diatur adalah untuk kegiatan
eskploitasi bahan galian C batu kapur, maka
eksplorasi tidak wajib amdal. Sedangkan untuk
kawasan karst sudah pernah dilakukan penelitian,
sehingga menghasilkan Peraturan Gubernur
Nomor 128 Tahun 2008 yang mengatur kawasan
karst Sukolilo.
Apa yang disampaikan oleh tergugat, masih
pada doktrin hukum perdata yang bertumpu pada
hubungan hukum privat antara para pihak dan
berkaitan dengan hak keperdataan, sedangkan
keputusan tata usaha negara adalah keputusan
yang bertumpu pada tindakan hukum publik
sesuai dengan prinsip erga omnes. Menurut saksi
penggugat pada saat eksplorasi sudah wajib,
karena bukan menilai kegiatannya tapi menilai
usahanya, jika usahanya industri besar atau
pertambangan, izin ekplorasinya perlu amdal.
Jadi wajib amdal tergantung usahanya, sedangkan
kegiatannya adalah tahapan dari usahanya.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 11 Tahun 2006 merupakan AMDAL
terpadu, jadi wajib AMDAL, tidak boleh terpisah
antara kegiatan eksplorasi dengan eksploitasi,
dan berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1456
Tahun 2005 Pasal 14 dan 15 dikatakan bahwa
di kawasan karst tidak tertutup kemungkinan
untuk dilakukan penambangan memang betul,
tapi menurut saksi Kepmen ESDM 1456 Tahun
2005 tersebut bertentangan dengan PP Nomor 26
Tahun 2009 tentang Tata Ruang dan Wilayah.
Sebagaimana diuraikan di atas, hukum
progresif selain mempunyai asumsi, spirit, juga
memiliki karakter yang progresif dalam hal
sebagai berikut:
1.
Bertujuan untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia dan oleh karenanya
memandang hukum selalu dalam proses
menjadi (law in the making).
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 303
| 303
1/18/2016 12:09:33 PM
2.
Peka terhadap perubahan yang terjadi di
masyarakat, baik lokal, nasional maupun
global.
3.
Menolak
status
quo
manakala
menimbulkan dekadensi suasana korup
dan sangat merugikan kepentingan rakyat,
sehingga menimbulkan perlawanan dan
pemberontakan yang berujung pada
penafsiran progresif terhadap hukum.
Dalam konteks eksplorasi memang
tidak mempunyai dampak besar atau penting,
tapi dalam amdal dilihat semua, diputuskan
seluruhnya jadi tidak hanya kegiatannya saja, tapi
dari semua aspek baik lingkungan hidup, airnya,
keanekaragaman hayati, sosial ekonomi dari
tahun eksplorasi sampai pasca eksploitasi. Jadi
tidak bisa dibuat secara subbagian atau secara
parsial tapi secara keseluruhan. Karena mungkin
pada tahap eksplorasi belum mempunyai dampak
tapi bisa jadi pada tahap eksploitasi menimbulkan
dampak. Namun majelis melihat setiap kegiatan
mempunyai dampak besar atau penting, dan
“berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan
hidup” wajib dilengkapi dengan AMDAL.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan
di atas bahwa penegakan hukum konvensional
memiliki keterbatasan dalam mewujudkan
keadilan lingkungan dan hukum progresif dengan
pendekatan legal pluralism merupakan konstruksi
penegakan hukum yang dapat mewujudkan nilai
keadilan lingkunagn, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Hukum dan masyarakat dapat digambarkan
sebagai
seperangkat
norma-norma
hukum, tetapi merupakan hasil dari
304 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 304
suatu proses sosial, artinya bahwa usaha
manusia untuk membuat dan merubah
tatanan hukum senantiasa berada dalam
konteks sosial yang terus berubah.
Robert B. Seidman mengatakan, tindakan
apa saja yang diambil oleh pemegang
peran, lembaga-lembaga pelaksana atau
pembuat undang-undang akan berada
dalam kompleksitas kekuatan-kekuatan
sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain
sebagainya, sehingga penegakan hukum
konvensional yang prosedural dan formal
memiliki keterbatasan, yaitu tidak selalu
dapat mewujudkan keadilan lingkungan
yang melindungi lingkungan menuju
pembangunan berkelanjutan ekologis
sebagaimana amanat konstitusi. Dalam
prosesnya hukum selalu mengutamakan
peraturan perundang-undangan dalam
menyelesaikan masalah demi kepastian
hukum, sekaligus mengabaikan nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Hakim kadang-kadang hanya menjadi
corong undang-undang, sehingga tidak
memperhatikan nilai-nilai, norma-norma
yang berkembang di masyarakat. Oleh
karena itu untuk mengembalikan kepada
filosofi lingkungan hidup dibutuhkan
hukum progresif di mana hukum ditentukan
oleh
manusia
dalam
mewujudkan
kesejahteraan manusia, maka jika terjadi
permasalahan hukum, hukumlah yang
harus ditinjau kembali atau diperbaiki,
dan bukan manusia yang dipaksa untuk
mengikuti skema hukum. Konstruksi
penegakan hukum progresif yang berupa
produk-produk legislatif berupa peraturan
perundangan-undangan dan kebijakan
eksekutif dalam melaksanakan asas-asas
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:33 PM
pemerintahan yang baik. Oleh karenanya
dalam konteks lingkungan hidup, hukum
progresif sangat diperlukan agar nafas
pembangunan berkelanjutan ekologis sudah
menjadi pedoman dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
2.
Putusan PTUN Semarang Nomor 04/
G/2009/PTUN.Smg. jo. Putusan Nomor 103
K/TUN/2010 terkait dengan dikeluarkannya
Keputusan Kepala Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor
540/052/2008, tanggal 5 November
2008 tentang Perubahan Atas Keputusan
Kepala Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu Nomor 540/040/2008 tentang Izin
Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan
Galian Golongan C Batu Kapur oleh PT.
SG di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo,
Desa Tompegunung, Desa Sukolilo,
Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo
Kabupaten Pati Jawa Tengah merupakan
salah satu konstruksi penegakan hukum
progresif yang menggunakan pendekatan
legal pluralism dengan mengkaji semua
aspek yang relevan yang terdiri dari aspek
sosial, budaya, moral, estetis, dan spiritual,
serta mengesampingkan prosedur formalitas
yang bersifat teknis dan kuantitatif semata,
karena lingkungan hidup berkarakter
multidisiplin dan multiaspek sehingga
dapat mewujudkan keadilan lingkungan.
Salah satu pertimbangan hakim dalam
Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg.
dikatakan “saksi ahli dari penggugat yang
bernama TN, pada pokoknya menyatakan
kawasan karst itu adalah kawasan yang
spesifik dan unik karena perkembangan
bentangan alamnya tidak saja terdapat di
permukaan bumi saja tetapi juga terdapat
bentangan bawah permukaan. Di bawah
permukaan banyak terdapat gua-gua yang
indah, sungai bawah tanah, dan biotabiotanya bagus, menurut statemen ahli
speologi (ahli gua) menyatakan bahwa
hampir 35% cadangan air berada di kawasan
karst dan arti penting kawasan karst adalah
merupakan kawasan resapan air bagi
penduduk yang tinggal di sekitarnya, dan
sebagai ekosistem yang mempunyai fungsi
vital sebagai penyeimbang ekosistem
serta berfungsi sebagai media untuk
menangkap sekaligus menyimpan air hujan
serta melepaskannya secara pelan-pelan”
disamping itu juga “membuka peluang dan
akses yang sama bagi semua kelompok dan
masyarakat di sekitar lokasi diterbitkannya
objek sengketa, sudah menjadi kewajiban
bagi tergugat untuk memperhatikan
eksistensi masyarakat adat di Kecamatan
Sukolilo, yaitu komunitas masyarakat adat
Samin atau Sedulur Sikep yang memiliki
budaya, karakteristik, ajaran, dan agama
tersendiri yang khas.” Demikian juga dalam
Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 dikatakan
“Kesaksian saksi Gunretno pada pokoknya
mengatakan: di Kecamatan Sukolilo, dari
5 desa saja ada 49 mata air. Di Sukolilo
ada lebih dari 9 mata air. Sumber terbesar
di Sukolilo ada!ah Sumber Sentul. Di
Gadudero ada 4 mata air, Kedumulyo ada 4
mata air, Gua Wareh berada di Kedumulyo.
Tompegunung ada 9 mata air, Sumbersoka
ada 3-4 mata air.” Sehingga dengan
demikian “Judex Factie Pengadilan Tata
Usaha Negara Semarang yang menyatakan
bahwa berdasarkan peraturan perundangan
terhadap penerbitan izin eksplorasi harus
dilengkapi dengan AMDAL” sudah tepat.
Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 305
| 305
1/18/2016 12:09:33 PM
DAFTAR ACUAN
Warassih P, Esmi. (2005). Lembaga prana hukum
Binawan, A. A., & Sabastian, T. (2012). Menim(b)ang
keadilan eko-sosial. Kertas Kerja Epistema.
Chambliss, W. J., & and Seidman, R. B. (1971). Law,
order, and power. California: Addision-Wesley
Publishing Company Massashussets, Menzo.
Friedman, L. M. (1986). The legal system, a social
science perspective. New York: Russel Sage
Foundation.
Ismail, F. (2004). Keteladanan dalam konteks
nasional
telaah
sosiologis.
Semarang:
Suryandaru Utama.
__________. (2009). Hukum progresif jawaban
Jakarta: Epistema Institute.
kepemimpinan
sebuah
dan
realitas
kemajemukan bangsa. Jurnal Ilmu Sosial
UNISIA, No.52/XXVII/II.
alternatif
menuju
pembangunan
Indonesia
menghadapi
mafia
hukum
peradilan.
Seminar nasional. Semarang: Undip.
Werner, M. (2006). Comparative law in a global
context (The legal system of Asia and Africa).
Second edition. Cambridge: University Press.
Wignyosoebroto, S. (2008). Hukum dalam masyarakat,
perkembangan dan masalah, sebuah pengantar
ke arah kajian sosiologi hokum. Malang:
Bayumedia Publishing.
Kompas, 2 Maret 2013.
Rahardjo, S. (2009). Hukum dan perilaku. Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara.
__________. (2010). Penegakan hukum progresif.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Rosyid, Moh. (2008). Samin kudus barsahaja di
tengah asketisme local. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Samekto, A. (2008). Justice not or all. Semarang,
Yogyakarta: Genta Press.
Suteki. (2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi
hakim dalam memutus perkara; Perspektif
sociologist jurisprudence. Semarang: Fakultas
Hukum Undip.
__________. (2010). Kebijakan tidak menegakkan
hukum (Non enforcement of law) demi keadilan
substantif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu
Hukum. Semarang: Fakultas Hukum Undip.
Tanya, B. L. et. al. (2010). Teori hukum strategi tertib
manusia lintas ruang dan generasi. Yogyakarta:
Genta Publishing.
306 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 306
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306
1/18/2016 12:09:33 PM
KEADILAN PEMULIHAN BAGI SUBJEK HUKUM
DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF
Kajian Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012
RESTORATIVE JUSTICE FOR THE LEGAL SUBJECT
IN THE PERSPECTIVE PROGRESSIVE LAW
An Analysis of Court Decision Number 1262 K/Pid/2012
Muhammad Junaidi
Fakultas Hukum Universitas Semarang
Jl. Soekarno Hatta Semarang 50196
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 20 November 2014; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015
ABSTRAK
ABSTRACT
Penelitian ini mengkaji secara deskriptif analitis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012
yang mengadili terdakwa SM. Melalui putusan tersebut
SM dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan serta
mendapat ganti rugi sebesar lima juta rupiah setelah
menjalani hukuman kurungan selama tiga belas bulan
atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Pada putusan
pengadilan di tingkat pertama dan banding ia dinyatakan
bersalah dan menjalani hukuman. Nilai keadilan yang
sesungguhnya harusnya memperhatikan kerugian
moril maupun materiil yang dialami SM atas putusanputusan hakim sebelumnya. SM selayaknya bukan
hanya dibebaskan tetapi juga mendapat ganti rugi saat
menjalani proses hukum sesuai dengan ukuran kebutuhan
hidup yang layak. Jika hal tersebut diterapkan maka
This is a descriptive analysis examining the Supreme
Court Decision Number 1262 K/Pid/2012 which
adjudicate the defendant initials SM. Through this
decision, SM has been proved innocent and released,
then got a compensation of five million rupiahs, after
serving thirteen months imprisonment for crimes she did
not commit. In the court decision at first instance and the
appellate she was found guilty and serving a sentence.
The ultimate justice should take close consideration on
the actual moral and material losses suffered by SM for
the judges previous decisions against her. SM should
not only be acquitted, but also be compensated during
the legal process in accordance to the level of a decent
living. If it is implemented, then the law would not just
a black and white regulation, rather run the spirit and
the meaning the statute or laws in greater depth. To
reinforce the presence of progressive law in the court
decision, it must refer to the norms and principles in the
fifth principle of Pancasila, which is of social justice for
all Indonesian people.
hukum tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari
peraturan melainkan menjalankan semangat dan makna
lebih dalam dari undang-undang atau hukum. Untuk
menguatkan kehadiran hukum progresif dalam putusan
pengadilan maka harus mengacu pada norma dan asas
dalam sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Keywords: court decision, justice, progressive law.
Kata kunci: putusan pengadilan, keadilan, hukum
progresif.
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 307
| 307
1/18/2016 12:09:33 PM
I.
PENDAHULUAN
lembaga peradilan. Putusan hakim yang memiliki
kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde)
A. Latar belakang
menjadi modal besar keadilan tercipta atau tidak
Proses untuk mencapai keadilan merupakan di institusi peradilan.
mata rantai yang tidak boleh dilepas-pisahkan
UUD NRI 1945 menyatakan dengan tegas
paling tidak sejak pembuatan peraturan perundangbahwa kekuasaan hukum salah satunya dilakukan
undangan, terjadinya kasus atau peristiwa
melalui kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 24
hukum, sampai proses verbal di kepolisian serta
UUD NRI 1945 disebutkan bahwa:
penuntutan jaksa, atau gugatan dalam perkara
perdata maupun pidana dan kemudian diakhiri 1. Kekuasaan
kehakiman
merupakan
dengan vonis hakim yang telah memperoleh
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde)
menyelenggarakan
peradilan
guna
(Utsman, 2008, hal. 13).
menegakkan hukum dan keadilan.
Keadilan adalah inti atau hakikat 2.
hukum yang sebenarnya. Keadilan tidak dapat
dirumuskan secara matematis, yaitu dinamakan
adil bila seseorang mendapatkan bagian
yang sama dengan orang lain. Keadilan juga
tidak cukup dimaknai dengan simbol angka
sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP,
misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun, dan
seterusnya. Keadilan sesungguhnya terdapat di
3.
balik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut
(metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas
hukum/hakim (Saleh, 2006, hal. 70).
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang.
Amandemen UUD NRI 1945 telah membawa
perubahan penting terhadap penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, sehingga Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
perlu dilakukan penyesuaian dengan UUD NRI
1945. Karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang kemudian diubah dan diganti menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
Peran semua pihak untuk menjalankan memungkinkan kekuasaan kehakiman dalam
reformulasi keadilan yang sesungguhnya menjalankan kekuasaan penegakan hukum lebih
harus dijalankan, salah satunya adalah melalui maksimal.
Dalam praktik sistem penegakan hukum,
keadilan menjadi objek perburuan, khususnya
melalui lembaga pengadilan. Keadilan adalah
hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem
hukum baik hukum adat, eropa continental,
sistem hukum Islam dan sistem hukum anglo
saxon. Sistem hukum tersebut sesungguhnya
merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk
mencapai konsep keadilan yang telah disepakati
bersama (Rahardjo, 2006, hal. 270).
308 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 308
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318
1/18/2016 12:09:33 PM
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, dinyatakan bahwa ”Kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.” Sedangkan Pasal 2 undang-undang
tersebut, menyatakan bahwa ”Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Pasal 2 ini dipertegas lagi dalam Pasal 10 undangundang tersebut, yang berbunyi:
1.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
2.
membawa kita untuk memahami hukum sebagai
proses dan proyek kemanusiaan (Kusuma, 2009,
hal. 74). Hal yang disampaikan oleh Rahardjo
seakan dapat kita simpulkan bahwa tidak akan
mungkin menghadirkan keadilan tanpa adanya
hakim dan jaksa yang baik.
Kritik atas belum maksimalnya misi
keadilan yang dijalankan oleh hakim di antaranya
adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262
K/Pid/2012. Keabsahan dalam putusan tersebut
mempunyai karakteristik yang dominan sifat
keadilan berdasarkan legal positivisme. Menurut
pandangan penulis, makna dari legal positivisme
merupakan suatu bentuk keputusan keadilan
dikonsepsikan hanya untuk menutupi amar
putusan dengan didasarkan perundang-undangan
yang tertulis tanpa melihat adanya esensi nilainilai lain yang ideal untuk diterapkan. Praktik
legal positivisme tersebut adalah ganti rugi sebesar
lima juta rupiah yang diberikan kepada SM setelah
menjalani hukuman kurungan selama tiga belas
bulan atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
Keputusan ganti rugi tersebut dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung pada 6 Januari 2014.
Badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung meliputi badan
peradilan dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer,
Substansi Putusan Mahkamah Agung
dan peradilan tata usaha negara.
Nomor 1262 K/Pid/2012 dalam penilaian penulis
hanyalah bentuk penyikapan hakim atas aturan
Berdasarkan uraian di atas, posisi
tertulis. Hakim tidak mempertimbangkan putusan
hakim telah dilegitimasi dalam mewujudkan
sebelumnya yang telah mencederai rasa keadilan
kewenangannya secara mutlak untuk memberikan
karena menghukum SM selama tiga belas bulan
rasa keadilan. Namun, dalam praktiknya masih
atas perbuatan yang tidak dilakukannya.
saja kita temukan perihal adanya ketidakadilan
dalam putusan hakim. Rahardjo mengutip
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan 1262 K/Pid/2012 tidak nampak landasan yuridis
hakim yang baik, maka dengan peraturan yang dan latar belakang yang diuraikan secara jelas
buruk sekalipun saya bisa membuat putusan kenapa hakim hanya memberikan ganti rugi lima
yang baik.” Mengutamakan perilaku (manusia) juta rupiah setelah SM mendekam di penjara
daripada peraturan perundang-undangan sebagai selama tiga belas bulan atas perbuatan yang tidak
titik tolak paradigma penegakan hukum, akan dilakukannya. Di sisi lain, korban merupakan
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 309
| 309
1/18/2016 12:09:33 PM
masyarakat dalam klasifikasi buta terhadap C.
aturan hukum sehingga yang dia pikirkan hanya
1.
sebuah kebebasan, dan inilah yang acapkali
terlewatkan untuk disoroti dalam kerangka dan a.
makna mewujudkan keadilan.
Fenomena yang terjadi dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012
sangat menarik dikaji secara komprehensif. b.
Hal yang perlu diuji dalam putusan tersebut
adalah apakah memang nilai sebuah keadilan
hanya memiliki sifat memutus pada masalah
ketidakadilan kasusnya, dengan menghiraukan
2.
terjadinya persoalan ketidakadilan yang terjadi
dalam proses hukum yang dijalani oleh SM.
a.
Rumusan Masalah
2.
Untuk mengetahui pemenuhan keadilan
secara substantif dari Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 pada aspek
ganti rugi untuk SM;
Kegunaan
Diharapkan dari hasil kajian dan analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262
K/Pid/2012 dapat dijadikan bahan evaluasi
bagi putusan tersebut dan pembuatan
putusan yang akan datang, pada masalah
ganti rugi bagi terdakwa;
Diharapkan hasil kajian dan analisis
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262
K/Pid/2012 dapat dijadikan rujukan bagi
putusan-putusan yang akan datang sehingga
dapat memaksimalkan nilai keadilan;
c.
Berangkat dari uraian di atas, maka
permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1.
Tujuan
Untuk mengetahui tinjauan dari sudut
pandang konsep hukum progresif atas
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/
Pid/2012 pada aspek ganti rugi untuk SM.
Pentingnya mengkaji fenomena dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262
K/Pid/2012 karena tradisi menggunakan
yurisprudensi sebagai acuan putusan hakim
yang akan datang mengharuskan kita selalu
mengkritisi setiap putusan hakim. Harapannya b.
dengan mengkritisi tersebut kita dapat menguji
kualitas putusan, agar nantinya dapat diukur
layak tidaknya untuk digunakan sebagai acuan
pada putusan-putusan yang akan datang.
B.
Tujuan dan Kegunaan
Apakah dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1262 K/Pid/2012 pada aspek
D.
ganti rugi untuk SM telah mampu menilai
keadilan secara substantif?
1.
Diharapkan berdasarkan hasil kajian dan
analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor
1262 K/Pid/2012 dapat ditemukan rumusan
baru model penggalian putusan hakim yang
lebih bernilai pada teraksesnya keadilan
Studi Pustaka
Keadilan
Bagaimana tinjauan dari sudut pandang
Soekanto menjelaskan fungsi hukum
konsep hukum progresif atas Putusan adalah mengatur hubungan antara negara atau
Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 masyarakat dengan warganya dan hubungan
pada aspek ganti rugi untuk SM?
antar manusia, agar kehidupan di dalam
masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Hal
310 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 310
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318
1/18/2016 12:09:33 PM
ini mengakibatkan, bahwa tugas hukum adalah 2.
untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan di
dalam masyarakat (Soekanto, 1976, hal. 41).
Berbeda dengan kepastian hukum yang
bersifat umum, maka keadilan lebih menekankan
pada faktor atau keadaan-keadaan yang khusus.
Hal tersebut disebabkan oleh karena keadilan itu
sebenarnya merupakan soal perasaan. Selain itu,
keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan
keseimbangan yang membawa ketenteraman di
dalam hati orang yang apabila diganggu akan
menimbulkan kegelisahan. Secara sederhana
dapat dikatakan, bahwa keadilan senantiasa
mengandung unsur penghargaan, penilaian, atau
pertimbangan (Soekanto, 1976, hal. 43).
Rawls menegaskan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan
haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan,
yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan
yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas
seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik
(reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik
mereka yang berasal dari kelompok beruntung
maupun tidak beruntung (Fauzan & Prasetyo,
2006, hal. 37).
Keadilan dalam Perspektif Hukum
Progresif
Menurut Rahardjo, penegakan dan keadilan
dalam hukum progresif adalah menjalankan
hukum tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih
dari peraturan (according to the letter), melainkan
menurut semangat dan makna lebih dalam (to
very meaning) dari undang-undang atau hukum.
Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan
intelektual, melainkan dengan kecerdasan
spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum
dilakukan dengan penuh determinasi, empati,
dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa
dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain
daripada yang biasa dilakukan (Rahardjo, 2009,
hal. xiii).
Gagasan hukum progresif bertolak dari dua
komponen basis dalam hukum yaitu peraturan dan
perilaku (rules and behavior). Konsep dasarnya
adalah: 1) hukum sebagai peraturan; dan 2)
hukum sebagai perilaku (Mujahidin, 2006, hal.
72). Antara hukum sebagai peraturan dan hukum
sebagai perilaku memiliki sebuah identitas yang
saling berkaitan dan sangat berhubungan erat,
bahkan tidak dapat dipisahkan. Hal inilah yang
kemudian membedakan antara hukum progresif
dengan teori hukum yang lain, yang acapkali
terlalu mengedepankan aturan yang sifatnya
mengikat sehingga tidak mampu mengakses nilai
Di samping itu, hal yang paling utama
keadilan yang ada sesungguhnya.
memahami keadilan adalah keadilan merupakan
Raharjo mencoba menyoroti kondisi di atas
nilai penting dalam hukum. Hanya saja, berbeda
dengan nilai kepastian hukum yang lebih bersifat ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu
umum, nilai keadilan ini lebih bersifat personal hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika,
atau individual kasuistik (Sidharta, 2006, hal. tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang
80). Prinsip dasar keadilan ini tentunya sangat fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya
penting menjadikan kualitas penegakan hukum dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi
rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi
nantinya untuk lebih baik.
satu kesatuan.” Inilah yang disebutnya sebagai
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 311
| 311
1/18/2016 12:09:33 PM
“pandangan holistik dalam ilmu (hukum).
Pandangan holistik ini memberikan kesadaran
visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu
memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan
bagian lainnya atau dengan keseluruhannya.
Misalnya saja untuk memahami manusia secara
utuh tidak cukup hanya memahami, mata,
telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus
dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh
gagasan Wilson melalui tulisannya menjadi
acuan para penstudi hukum yaitu Consilience;
The Unity of Knowledge, membawa kita
kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan
pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Barbour,
“Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains
merupakan awal untuk melakukan penyatuan
(unifikasi) antara sains alam, sains social, dan
sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar
disiplin merupakan tugas yang sangat penting,
dan Wilson menghimpun beberapa disiplin secara
luas dan anggun” (Rahardjo, 2004, hal. 18).
Hukum progresif menolak segala anggapan
bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final
dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya
bahwa institusi hukum selalu berada dalam
proses untuk terus menjadi (law as a process,
law in the making). Anggapan ini dijelaskan
oleh Rahardjo sebagai berikut: Hukum progresif
tidak memahami hukum sebagai institusi yang
mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Dalam konteks pemikiran yang
demikian itu, hukum selalu berada dalam proses
untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang
secara terus menerus membangun dan mengubah
dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan
yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini
bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat, dan
312 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 312
lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu
dalam proses menjadi (law as a process, law in
the making) (Rahardjo, 2004, hal. 72).
Dalam bentuk upaya merekonstruksi
perwujudan keadilan tentunya memang menjadi
perhatian yang serius bagi kita saat ini. Melihat
tantangan ini Rahardjo
mengemukakan
bahwa kita perlu belajar memahami dengan
cerdas apa yang terjadi di sekeliling kita untuk
kemudian mengambil strategi yang tepat guna
menanggulangi keterpurukan sekarang ini
(Rahardjo, 1999, hal. 11-12). Hal ini membawa
kita kepada pertimbangan untuk memilih langkah
dengan menguji kembali apakah yang kita
lakukan selama ini sudah benar.
II.
METODE
Metode yang penulis gunakan adalah
socio-legal
studies.
Socio-legal
studies
mengkonsepsikan hukum sebagai norma dan
sekaligus sebagai realitas. Kajian di dalam sociolegal studies menuntut penguasaan doktrindoktrin ajaran hukum yang telah dibangun
dalam hukum itu sendiri (sebagai ilmu yang
bersifat apriori dan tidak terbebas dari nilai), dan
penguasaan akan teori-teori bekerjanya hukum,
sebagai konsekuensi yang melihat hukum sebagai
realitas (Samekto, 2012, hal. 61).
Tulisan ini bersifat deskriptif analitis.
Jenis data yang mendukung penulisan adalah
data sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yaitu
bahan-bahan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum sekunder
yaitu bahan-bahan yang bersumber dari pendapat
ilmiah para sarjana dan buku-buku literatur yang
ada kaitannya dengan judul atau fokus penulisan.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318
1/18/2016 12:09:34 PM
Sedangkan bahan hukum tersier yaitu berupa
kamus-kamus yang ada kaitannya dengan judul
penulisan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan Kamus Hukum. Untuk metode analisis data
penulis menggunakan metode analisis kualitatif.
23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yaitu
diduga telah mengeksploitasi ekonomi anak di
bawah umur bernama EP yang bekerja di karaoke
ACC.
SM dijadikan tersangka seorang diri
berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/90/A/
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
VI/2011/Reskrim tanggal 8 Juni 2011 (formulir
A. Subtansi Keadilan dalam Putusan MA Laporan Model A), di Kepolisian Resor Kota
Semarang. Dengan pelapor Iptu Endang Suprobo,
Nomor 1262 K/Pid/2012
S.H. (Kanit PPA), yaitu penyidik perkara ini.
Kasus yang menimpa SM cukup unik Namun anehnya SW selaku pemilik karaoke ACC
dicermati. Kasus ini unik bukan karena putusan dan yang menggaji EP justru tidak dilaporkan
pengadilan sebelumnya yang memutus SM penyidik yang bersangkutan.
bersalah, namun karena putusan kasasi Mahkamah
Pada tanggal 4 Januari 2011 Pengadilan
Agung yang merupakan salah satu upaya hukum
terakhir menyatakan SM tidak bersalah dan Negeri Semarang telah memutus perkara SM
dibebaskan serta mendapat ganti rugi sebesar dengan Putusan Pengadilan Negeri Semarang
Nomor 140/Pid.Sus/2011/PN.Smg dengan amar
lima juta rupiah.
putusan berbunyi sebagai berikut:
Meskipun Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1262 K/Pid/2012 mampu menunjukkan 1. Menyatakan bahwa terdakwa SM telah
terbukti secara sah dan meyakinkan
kebenaran yang ada, namun dalam substansi
bersalah melakukan tindak pidana
putusan nampaknya nilai keadilan bagi SM
“MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU
belum cukup hanya dengan keputusan bebas dan
SEKSUAL ANAK DENGAN MAKSUD
ganti rugi sebesar lima juta rupiah.
MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI
SM merupakan karyawan pada Karaoke
ATAU ORANG LAIN;”
ACC milik SW yang beralamat di Komplek Ruko
Dargo Blok D Nomor 123 Jl. Dargo Semarang 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
dengan pidana penjara selama 8 (delapan)
(dahulu Jl. Dargo Nomor 15 Semarang). Pada
bulan dan denda Rp2.000.000,- (dua juta
tanggal 8 Juni 2011 ada razia tempat hiburan di
rupiah), apabila denda tidak dibayar diganti
tempat pemohon bekerja oleh polisi dan pemohon
dengan pidana kurungan selama 2 (dua)
saat itu tidak berada di karaoke ACC. Sm
bulan;
ditelepon J (manajer karaoke ACC) untuk datang.
Sesampainya di karaoke ACC, SM langsung
3. Menetapkan masa penahanan yang telah
dimasukkan ke mobil polisi, serta pada hari itu
dijalani oleh terdakwa akan dikurangkan
juga dijadikan tersangka oleh penyidik. SM
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana
mengeksploitasi ekonomi anak sebagaimana 4. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam
tahanan;
dimaksud dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 313
| 313
1/18/2016 12:09:34 PM
5.
Membebankan terdakwa untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp2.500,- (dua ribu
lima ratus rupiah).
Dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang
di atas, hakim belum mampu membuktikan
secara materil. Hakim dalam dasar hukumnya
lebih mengadopsi pada sumber hukum formil
di mana kesalahan SM ditentukan paradigma
legalitas sebagai penentu kesalahan subjek
hukum. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan spirit
progresivitas di mana hakim wajib melakukan
upaya penggalian hukum dan mengungkapkan
nilai-nilai yang terkandung di dalam makna
perundang-undangan yang mampu menjabarkan
keadilan secara objektif bagi SM.
LAIN.”
2.
Menjatuhkan
pidana
terhadap
terdakwa dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan denda
Rp2.000.000,- (dua juta rupiah),
apabila denda tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 2
(dua) bulan;
3.
Menetapkan masa penahanan yang
telah dijalani oleh terdakwa akan
dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan;
4.
Memerintahkan agar terdakwa tetap
dalam tahanan;
5. Membebankan terdakwa untuk
Substansi pokok materi dalam Putusan
membayar biaya perkara sebesar
Pengadilan Negeri Semarang di atas, tidak jauh
Rp2.500,- (dua ribu lima ratus
berbeda dengan putusan pengadilan tinggi. Dalam
rupiah).
Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 64/
Pid.Sus/2012/PT.Smg tanggal 19 Maret 2012
Pemahaman yang terlalu mengacu pada
memberikan putusan yang berbunyi sebagai
sumber hukum formil masih menjadi latar
berikut:
belakang hakim pengadilan tinggi sebagai
a. Menerima permintaan banding dari jaksa dasar pertimbangan putusan bagi SM. Hakim
hanya melihat celah keadilan secara formil dan
penuntut umum;
mengesampingkan keadilan secara substantif.
b. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Hal ini tentunya berimplikasi pada terjadinya
Semarang tanggal 4 Januari 2012 Nomor ketidakpastian dalam menggagas citra keadilan
140/Pid.Sus/2011/PN.Smg yang dimintakan yang diterapkan dan bertentangan dengan
banding tersebut, sekadar mengenai pidana karakter sifat progresif bagi seorang hakim dalam
yang dijatuhkan sehingga amar putusan membuat keputusan.
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Upaya mengadopsi hukum progresif
1. Menyatakan bahwa terdakwa SM telah dalam putusan hukum idealnya memang harus
terbukti secara sah dan meyakinkan menempatkan manusia sebagai objek utama dalam
bersalah melakukan tindak pidana penggalian hukum, bukan malah menempatkan
“MENGEKSPLOITASI EKONOMI aturan sebagai objek penemuan hukum. Dalam
ATAU SEKSUAL ANAK DENGAN catatan pemikirannya Rahardjo menegaskan arti
MAKSUD MENGUNTUNGKAN penting memahami hukum untuk manusia, bukan
DIRI SENDIRI ATAU ORANG manusia untuk hukum.
314 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 314
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318
1/18/2016 12:09:34 PM
Proses hukum kasus SM berlanjut sampai
kasasi di Mahkamah Agung dan diputus melalui
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1262 K/Pid/2012. Putusan Mahkamah
Agung tersebut berbunyi sebagai berikut:
1.
Mengabulkan permohonan kasasi dari
pemohon kasasi terdakwa SM tersebut;
2.
Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Semarang Nomor 64/ Pid.Sus/2012/PT.Smg
tanggal 19 Maret 2012 yang memperbaiki
Putusan Pengadilan Negeri Semarang
Nomor 140/Pid.Sus/2011/PN.Smg tanggal
4 Januari 2011;
3.
diperuntukkan pada wilayah norma yang
tertulis saja yaitu menghapus kewajiban dengan
menjalankan Pasal 1 ayat (22) KUHAP yang
menyebutkan “Ganti kerugian adalah hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.” Nilai keadilan
adalah kepuasan seseorang terdakwa yang tidak
mendapatkan keadilan bahkan mendapatkan
dampak yang secara psikologis berakibat buruk
bagi kondisi pencari keadilan pada saat ini dan
masa yang akan datang.
Menyatakan bahwa terdakwa SM tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
Nilai keadilan yang sesungguhnya bukan
melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan jaksa/penuntut umum dalam hanya dinilai dari pembebasan SM dan adanya
dakwaan Pasal 88 Undang-Undang Nomor ganti rugi yang dikatakan layak menurut hakim.
Lebih dari itu, nilai sebuah ganti rugi harusnya
23 Tahun 2002;
memperhatikan betul ketidakadilan yang dialami
4. Membebaskan terdakwa oleh karena itu
oleh SM atas putusan-putusan hakim sebelumnya,
dari dakwaan tersebut;
di mana ia mendapatkan kerugian baik moril
5. Memulihkan
hak
terdakwa
dalam maupun materiil. Jika hal tersebut diterapkan,
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta maka secara ideal telah dijalankan hukum yang
tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari
martabatnya.
peraturan (according to the letter), melainkan
Dibandingkan dengan putusan sebelumnya menurut semangat, dan makna lebih dalam (to
upaya mengadopsi nilai-nilai progresif hukum very meaning) dari undang-undang atau hokum
dalam putusan memang cukup banyak ditonjolkan, (Rahardjo, 2009, hal. xiii).
akan tetapi hanya pada wilayah salah atau
Jika hal-hal tersebut dapat dipertimbangkan,
tidaknya SM dalam hal tuntutan mengeksploitasi
ekonomi atau seksual anak dengan maksud maka sebuah putusan hakim akan menjadi
menguntungkan diri sendiri atau orang lain. perwujudan dan nilai-nilai yang melembaga di
Putusan yang demikian sangat normatif dan dalam masyarakat yang menjadi sasarannya,
sederhana bagi sebuah penemuan hukum serta kemudian dengan arif menata dan mensinergikan
persilangan kepentingan yang juga harus
keadilan yang diberikan bagi sosok SM.
dipelihara, senyatanya terjadi dalam hidup
Atas kronologis di atas, menurut analisis masyarakat (Utsman, 2008, hal. 29). Di sini dapat
penulis, keadilan selayaknya bukan hanya diberikan hasil analisis bahwa eksistensi Putusan
Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 315
| 315
1/18/2016 12:09:34 PM
Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012
kurang mengedepankan nilai keadilan bagi SM.
bukti nyata dari ketidakadilan tersebut melalui
lahirnya kegelisahan nilai-nilai norma yang ada
di masyarakat ketika masyarakat diwawancarai
Dalam putusan tersebut, telah terjadi
maka rasa tidak menerima atas putusan tersebut
pertentangan antara pandangan yang ingin
akan nampak ke permukaan.
lebih mengakuisisi nilai akan tetapi kemudian
mengedepankan
positivisme
melahirkan
Masyarakat secara tidak langsung bisa
pandangan empirisme di mana realitas direduksi melakukan penilaian yang tentunya akan dirasakan
menjadi sekadar fakta-fakta yang dapat diamati bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/
terasa sangat penting untuk dilakukan. Pengaruh Pid/2012 terhadap bentuk ganti rugi bagi SM, tidak
salah satunya yang terjadi pada pengembangan mengakui cita rasa keadilan yang sesungguhnya.
pemikiran Comte (1798-1857). Menurut ajaran Dalam alam sadar masyarakat nilai keadilan yang
Comte yang tertuang dalam bukunya Cours sesungguhnya bukan terletak pada aturan tertulis,
de Philosophie Positive, filsafat positivisme akan tetapi pada sebuah otoritas dominan dari
bertolak dari pandangan bahwa terdapat hukum pemahaman terhadap bentuk pembebasan dan
perkembangan yang menguasai manusia dan itu ganti rugi yang layak bagi SM. Namun, jika posisi
bersifat tetap. Hukum perkembangan itu meliputi putusan pembebasan dan pemberian ganti rugi
tiga tahap, yaitu: 1) Tahap teologi, dalam tahap ini bagi SM dalam putusan tersebut hanya sekadar
manusia percaya pada kekuatan kekuatan illahi di dipahami adopsi putusan berlandaskan norma
belakang gejala alam; 2) Tahap metafisik, dalam tertulis, maka dapat dikatakan bahwa teks dalam
tahap ini ide-ide teologis digantikan dengan ide- hukum dalam Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012
ide abstrak dan metafisik; dan 3) Tahap positif, merupakan teks yang mati.
dalam tahap ini gejala alam tidak lagi diterangkan
dengan ide abstrak. Gejala alam diterangkan B. Tinjauan Hukum Progresif terhadap
melalui gejala lain dengan mendapatkan hukumPutusan MA Nomor 1262 K/Pid/2012
hukum yang ada di antara gejala-gejala yang
Rahardjo menegaskan bahwa hukum
bersangkutan. Melalui metode ilmiahnya,
positivisme menempatkan fenomena yang dikaji harus mengikuti manusia, bukan manusia yang
sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi mengikuti hukum. Jika kita tampilkan dalam
sebagai gejala ke depan yang dapat diprediksikan kasus SM, artinya jika pemberian kompensasi
kepada SM hanya pembebasan dan ganti rugi
kepastiannya (Samekto, 2012, hal. 23).
yang belum sebanding dengan masa kurungan,
Berlakunya wujud keadilan mazhab legal maka selayaknya itulah praktik dari posisi
positivisme memang nampak yaitu keadilan manusia yang mengikuti hukum yang ditentang
yang diterima SM melalui pembebasan dan oleh hukum progresif. Namun sebaliknya jika
ganti rugi. Namun tentunya model keadilan ganti rugi disesuaikan dengan upah minimum di
yang demikian bukan merupakan tradisi dari Semarang, hal tersebut akan mendekati praktik
keadilan yang diinginkan oleh masyarakat yang dari hukum yang sedang mengikuti manusia.
sesungguhnya yang terdapat dalam putusan
Keadilan hukum progresif harus dibuka
Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012.
Ketidaksepahaman masyarakat terjadi ketika lebar-lebar dengan memberikan kepada SM yaitu
316 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 316
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318
1/18/2016 12:09:34 PM
pembebasan atas tuntutan dan pengembalian
nama baik serta ganti rugi yang seharusnya
diberikan. Bukan keadilan hakim yang hanya
berwujud sebagai alat undang-undang yang
selalu taat aturan tertulis namun buta terhadap
realitas sosial. Realitas yang harusnya dihadirkan
dari keadilan hukum progresif dalam kerangka
putusan bermazhab legal positivisme pada kasus
SM adalah dengan membayar kerugian yang
dialami SM sesuai dengan ukuran kebutuhan
hidup selama menjalani hukuman.
benarnya, hakim selalu berdalih kebenaran melalui
tuntutan aturan tertulis bukan melalui aturan yang
dibangun atas dilema dan fakta sosial.
Hakim sudah selayaknya bukan hanya
menjadi corong berlakunya undang-undang.
Berangkat dari Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1262 K/Pid/2012
kita melihat secara langsung bahwa putusan
hakim adalah putusan undang-undang, padahal
yang diharapkan dari masyarakat adalah putusan
hakim adalah putusan keadilan. Jika diterapkan
Hal lain yang tidak bisa dilupakan adalah maka ganti rugi yang diberikan harus sesuai
mengganti kerugian moril yang dialami SM dengan dampak yang selama ini dirasakan oleh
dengan ganti rugi materiil. Keadilan dalam SM dan hal tersebut harus disesuaikan dengan
putusan tersebut mengakomodir sebuah bentuk angka kelayakan hidup di Semarang.
keadilan yang lebih menekankan pada faktor
Jika kita cermati dalam Putusan Mahkamah
atau keadaan-keadaan yang khusus. Hal
Agung Republik Indonesia Nomor 1262 K/
tersebut disebabkan oleh karena keadilan itu
Pid/2012, keadilan terlalu sederhana jika diukur
sebenarnya merupakan soal perasaan. Selain itu,
melalui sebuah aturan yang telah disepakati
keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan
kemudian berbentuk norma tertulis. Keadilan yang
keseimbangan yang membawa ketenteraman di
sebenarnya harus dibangun dari konstruksi kondisi
dalam hati orang yang apabila diganggu akan
sosial masa lampau yang kemudian dijadikan
menimbulkan kegoncangan.
aturan tertulis, kondisi sosial saat ini, dan terlebih
Di sini kemudian para aktor yang salah lagi kondisi sosial pada masa yang akan datang.
satunya hakim menjadi faktor penting dalam Melalui kondisi sosial masa lampau, kondisi sosial
menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia saat ini, dan terlebih lagi kondisi sosial pada masa
bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari yang akan datang diharapkan putusan hukum dapat
menang, melainkan mencari kebenaran dan menyikapi sebuah nilai keadilan yang semestinya
keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari diberikan kepada pencari keadilan.
cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan
Untuk mewujudkan itu semua memang kita
biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan
butuh kepastian, dan nampaknya kepastian secara
didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses
legalitas sudah dimiliki yaitu perundang-undangan
pengadilan yang disebut fair trial di negeri ini
yang mengatur kewenangan hakim dalam memutus
hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan
perkara di antaranya Undang-Undang Nomor
di mana hakim memegang kendali aktif untuk
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
mencari kebenaran (Rahardjo, 2006, hal. 276). Jika
Kepastian yang dibutuhkan selanjutnya adalah
hakim masih berkutat pada norma tertulis maka
kepastian secara personal yaitu bagaimana
paradigma berpikir hakim hanya dibatasi pada
individu-individu hakim mampu mengambil
ketakutan untuk mencari keadilan yang sebenarKeadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 317
| 317
1/18/2016 12:09:34 PM
DAFTAR ACUAN
terobosan hukum. Kepastian secara personal
tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat
Fauzan, U., & Prasetyo, H. (2006), Teori keadilan
dan kita berharap itu semua segera terwujud
(terjemahan karangan Rawls, John A. Dalam
sempurna di negara hukum yang kita cintai.
bukunya berjudul A Theory of Justice, London:
Oxford University Press, 1973). Yogyakarta:
IV. KESIMPULAN
Putusan SM sudah selayaknya dapat lebih
mengedepankan aspek sebuah putusan yang
melahirkan kedekatan dan kepercayaan masyarakat
dengan penegakan hukum yang bercita rasa
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Putusan
pada kasus SM sudah selayaknya bukan hanya
membebaskan SM dari tuntutan, akan tetapi juga
membayar kerugian SM sesuai dengan kerugian
yang dialami pada saat menjalani proses hukum
sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup yang
Pustaka Pelajar.
Kusuma, M. (2009). Menyelami semangat hukum
progresif: Terapi paradigmatik atas lemahnya
penegakan hukum Indonesia. Yogyakarta:
Antony Lib bekerjasama LSHP.
Mujahidin, A. (2006). Menuju produk hukum progresif.
Varia Peradilan No. 247.
Rahardjo, S. (1999). Ilmu hukum. Bandung: Alumni.
__________.
(2004).
pembebasan
dan
Ilmu
hukum;
Pencarian,
pencerahan.
Surakarta:
layak bukan hanya lima juta rupiah seperti yang
Muhamadyah Press University
diputuskan oleh Mahkamah Agung. Keadilan
__________. (2006). Membedah hukum progresif.
inilah yang nantinya sangat sesuai dengan bentuk
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
keadilan perbaikan dan keadilan kodrat alam.
Adanya upaya memformulasikan keadilan
dalam setiap keputusan juga berarti menempatkan
keadilan bermazhab legal positivisme akan
tetapi masih berupaya mengakomodir karakter
progresivitas dalam kerangka putusan. Melalui
upaya memadukan antara dua kekuatan yang ada
dalam sebuah putusan, maka pengadilan bukan
lagi menjadi mesin kalkulator perkara, akan tetapi
lebih sebagai bentuk kepemilikan kekuasaan
hukum dengan modal kekuatan hukum tetap
(inkracht vangeweisde) yang menjadikan lahirnya
keadilan yang lebih bermartabat. Untuk lebih
menguatkan kehadiran hukum progresif dalam
bentuk putusan pengadilan, yang perlu dilakukan
adalah menjalankan putusan dengan lebih
mengedepankan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut
dapat mengacu pada konsep norma dan asas yang
telah dijadikan patokan oleh masyarakat.
318 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 318
__________. (2009). Penegakan hukum suatu tinjauan
sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing.
Saleh, A. A. (2006). Tamasya perenungan hukum
dalam “Law in book and law in action” menuju
penemuan hukum (rechtsvinding). Jakarta:
Yarsif Watampone.
Samekto, F.A. (2012). Ilmu hukum dalam perkembangan
pemikiran menuju post-modernisme. Bandar
Lampung: Indept Publishing.
Sidharta. (2006). Moralitas profesi hukum suatu
tawaran kerangka berpikir. Bandung: Refika
Aditama.
Soekanto, S. (1976). Beberapa permasalahan hukum
dalam kerangka pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Utsman, S. (2008). Menuju penegakan hukum
progresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318
1/18/2016 12:09:34 PM
PENERAPAN PERJANJIAN BERSAMA
DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Kajian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012
THE IMPLEMENTATION OF JOINT AGREEMENT
IN THE TERMINATION OF EMPLOYMENT
An Analysis of Court Decision Number 237 K/Pdt.Sus/2012
Indi Nuroini
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya
Jl. A. Yani 114 Surabaya 60234
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 11 Februari 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015
ABSTRAK
Hubungan industrial merupakan suatu hubungan yang
terbentuk antara para pemangku kepentingan di dalam
proses produksi barang dan jasa yang memiliki dampak
sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara,
sehingga stablitasnya perlu dijaga dengan baik. Oleh
karena itu setiap putusan pengadilan hubungan industrial
haruslah tepat dan disertai rasa keadilan, akuntabilitas,
dan kejujuran, untuk menghindari timbulnya gejolak
dalam hubungan industrial. Putusan pengadilan
hubungan industrial yang tidak akuntabel, tidak jujur,
dan tidak mencerminkan rasa keadilan tentu akan
berdampak pada stabilitas proses produksi barang dan
jasa. Tulisan ini merupakan suatu kajian terhadap putusan
perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan
hubungan kerja yang telah diputus di tingkat kasasi oleh
Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 237 K/Pdt.
Sus/2012. Dalam putusan tersebut, majelis hakim dalam
pertimbangan hukumnya hanya menggunakan perjanjian
bersama yang telah dibuat oleh penggugat dan tergugat
pada saat penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit,
padahal perjanjian bersama tersebut isinya bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Penulis berkesimpulan bahwa putusan
hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak tepat dalam
menggunakan pertimbangan hukum. Putusan Nomor
237 K/Pdt.Sus/2012 tersebut belum mencerminkan
adanya peradilan hubungan industrial yang akuntabel,
jujur, dan adil. Putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut tidak mencerminkan adanya kepastian
hukum dan keadilan hukum.
Kata kunci: perjanjian bersama, pemutusan hubungan
kerja, hubungan industrial.
ABSTRACT
Industrial relation is a relationship that is formed by
stakeholders in the process of producing goods and
services, which is so essential for national economic
growth that its stability should be maintained
properly. Therefore any court decisions related to
cases of industrial relation dispute must be decided
appropriately over and done with a high sense of justice,
accountability, and reliability, to prevent a turmoil in the
industrial relations. Such a court decision will influence
the stability of the production process of goods and
services. This article is an analysis of judge’s decision
that discusses a case of industrial relations dispute
concerning termination of employment, which was
decided by cassation in the Supreme Court Decision
Number 237 K/Pdt.Sus/2012. In the decision, the panel
of judges in the legal considerations only uses the Joint
Agreement agreed upon by the plaintiffs and defendant
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 319
| 319
1/18/2016 12:09:34 PM
at the time of settlement of disputes at a bipartite level,
though the contents are against the Law Number 13 of
2003 concerning Manpower. The result of discussion in
this analysis concludes that the panel of judges ruling
the case is not supposed to use the Joint Agreement as
legal considerations. Court Decision Number 237 K/Pdt.
I.
Sus/2012 could not reflect an accountable, honest, and
fair industrial relations judiciary. The fixed (inkracht)
court decision has not yet provided legal certainty and
legal justice.
Keywords: joint agreement, termination of employment,
industrial relation.
PENDAHULUAN
atas, dalam menciptakan hubungan industrial
yang berkemanusiaan dan berkeadilan sosial,
A. Latar Belakang
masih diperlukan peran yang sangat penting
Indonesia merupakan suatu
negara dari lembaga peradilan, khususnya pengadilan
kesatuan yang menjadikan Pancasila sebagai hubungan industrial sebagai tempat mencari
satu-satunya ideologi negara, hal ini mengandung keadilan yang telah dijanjikan dalam peraturan
konsekuensi bahwa segala tatanan kehidupan di perundang-undangan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus
Sebagaimana halnya sebuah negara
didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di
hukum, terdapat suatu lembaga peradilan yang
dalam Pancasila, termasuk di dalamnya adalah
berwibawa, independen, tidak berpihak, dan
tatanan dalam hubungan industrial. Hubungan
mampu menegakkan peraturan perundangindustrial yang Pancasilais yaitu suatu sistem
undangan dengan baik adalah hal utama yang
hubungan industrial yang dalam pelaksanaannya
harus dimiliki oleh suatu negara hukum. Hanya
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yaitu
pengadilan yang memiliki semua kriteria
nilai ketuhanan, kemanusiaaan, persatuan,
tersebut yang dapat menghadirkan suatu keadilan
permusyawaratan perwakilan dan khususnya
bagi masyarakat. Dalam lembaga peradilan,
nilai keadilan sosial.
peran hakim menjadi sangat penting dengan
Dalam hal mewujudkan hubungan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui
industrial yang demikian itu tentu diperlukan putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan
suatu kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan
atau pegangan untuk menjalankan hubungan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan
pemerintah
terhadap
industrial yang dicita-citakan. Mengenai kaidah- sewenang-wenang
kaidah hukum dalam hubungan industrial, masyarakat, sampai dengan memerintahkan
pemerintah telah membuat peraturan perundang- penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab
undangan di bidang hubungan industrial yang itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim
berfungsi untuk menjamin hak dan kewajiban harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan
para pelaku hubungan industrial termasuk dalam hukum, kebenaran, dan keadilan. Kewenangan
hal penyelesaian persoalan hubungan industrial hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung
dan tata cara dalam menyelesaikan perselisihan jawab yang tinggi, baik secara horizontal kepada
hubungan industrial yang terjadi. Selain peraturan masyarakat, maupun secara vertikal kepada
perundang-undangan sebagaimana tersebut di Tuhan Yang Maha Esa.
320 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 320
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:34 PM
Mengingat pentingnya peran lembaga
peradilan untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa melalui putusan-putusan pengadilannya,
maka penulis melakukan suatu kajian terhadap
satu putusan pengadilan yang telah diputus
di tingkat kasasi oleh majelis hakim kasasi
di Mahkamah Agung yang telah berkekuatan
hukum tetap. Penulis menganggap dalam
putusan tersebut pertimbangan hukum yang
digunakan oleh majelis hakim kasasi tidak tepat
dan dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk
bagi para hakim di kemudian hari yang memutus
perkara yang sama dengan menggunakan putusan
tersebut sebagai yurisprudensi.
dengan 37 pekerja yang di PHK, termasuk para
penggugat untuk membicarakan PHK dan jumlah
uang pesangonnya. Dalam pertemuan tersebut
terjadi kesepakatan antara 37 pekerja yang di
PHK termasuk penggugat dengan tergugat yang
kemudian dituangkan dalam surat perjanjian
bersama serta tergugat membuat surat PHK yang
dalam proses persidangan diajukan bukti terkait
surat tersebut dengan tanda bukti T-1 dan T-2.
Dalam surat PHK dan surat perjanjian
bersama sebagaimana tersebut di atas, disampaikan
bahwa PHK dilakukan karena efisiensi, hal ini
sebagaimana bukti yang diajukan dalam proses
persidangan yang diberi tanda P-1 dan T-3.
Mengenai jumlah uang pesangon, dalam surat
Putusan Mahkamah Agung tersebut adalah perjanjian bersama disebutkan bahwa besaran
Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012. Yang uang pesangon bagi para pekerja yang mengalami
merupakan putusan dalam tingkat kasasi antara PHK yaitu satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2)
PT. SMM melawan 13 orang mantan [ekerja PT. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
SMM. PT. SMM yang berkedudukan di Tambusai
Terkait dengan alasan PHK yang dalam
Pekanbaru, Riau. Dalam hal ini diwakili oleh
perjanjian bersama tersebut dinyatakan bahwa
direktur utama yang memberikan kuasa kepada
PHK dilakukan karena efisiensi, hal itu kemudian
advokat yang berkantor di Pekanbaru Riau
dibantah oleh kuasa hukum tergugat dalam
berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 8 Juli
memori kasasinya yang menyatakan bahwa alasan
2011. Dalam hal ini selaku pemohon kasasi dahulu
PHK yang sesungguhnya adalah karena tergugat
tergugat. 13 orang mantan pekerja PT. SMM
telah habis masa kontrak dengan PT. CPI yang
menunjuk dua orang dari mereka berdasarkan
memberi proyek/pekerjaan kepada tergugat. Hal
surat kuasa khusus tertanggal 8 Juli 2011 sebagai
ini dikarenakan tergugat tidak terlalu mengerti
wakil dari para tergugat sekaligus bertindak untuk
makna efisiensi, sehingga yang betul adalah PHK
dirinya sendiri. Dalam hal ini sebagai termohon
tersebut terjadi karena keadaan memaksa (force
kasasi dahulu penggugat.
majeure).
Adapun kronologi singkat perkara tersebut
Dalam surat gugatannya yang didaftarkan
adalah para penggugat merupakan pekerja/buruh
di pengadilan hubungan industrial (PHI) pada
tergugat dengan hubungan kerja menggunakan
Pengadilan Negeri Pekanbaru, tuntutan penggugat
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
adalah tergugat harus membayar pesangon dua
yang diputus hubungan kerja (PHK) oleh
kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor
tergugat per tanggal 1 Januari 2011. Sebelum
13 Tahun 2003 karena tergugat melakukan PHK
terjadinya PHK tersebut, pada tanggal 30
berdasarkan alasan efisiensi.
Desember 2010 tergugat melakukan pertemuan
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 321
| 321
1/18/2016 12:09:34 PM
Hal tersebut juga sesuai dengan anjuran
yang dikeluarkan oleh mediator hubungan
industrial pada Dinas Ketenagakerjaan Provinsi
Riau, Nomor 560/Disnakertransduk-HK/1308
tanggal 17 Juni 2011. Dalam anjurannya tersebut,
mediator menganjurkan kepada tergugat untuk
membayar pesangon dua kali ketentuan Pasal
156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, hal
ini dikarenakan PHK yang terjadi adalah karena
efisiensi sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan
tergugat dalam hal ini karena telah membayarkan
pesangon satu kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), maka dianjurkan membayar kekurangan
pesangon sebesar satu kali yang belum diterima
para penggugat dengan jumlah keseluruhan dari
13 orang penggugat sebesar Rp226.678.403,-
Atas putusan PHI Pekanbaru tersebut,
tergugat mengajukan kasasi secara lisan pada 5
Desember 2011 dengan akta permohonan kasasi
Nomor 29/Kas/G/2011/PHI.PBR yang dibuat
oleh panitera PHI Pekanbaru.
Terhadap kasasi yang diajukan tersebut,
majelis hakim kasasi pada tanggal 25 Juli
2012 memutuskan Putusan Nomor 237 K/Pdt.
Sus/2012. Dalam putusan tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan hukumnya:
MENGADILI:
Mengabulkan permohonan kasasi pemohon
kasasi yaitu PT. SMM.
Membatalkan putusan PHI Pekanbaru
Nomor 23/G/2011/PHI.Pbr tanggal 24
November 2011.
Setelah proses persidangan berlangsung di PHI Pekanbaru, pada tanggal 24 November 2011,
PHI Pekanbaru memutuskan dengan Putusan
Nomor 23/G/2011/PHI.Pbr yang amarnya sebagai berikut:
Dalam eksepsi:
Menolak
eksepsi
seluruhnya.
tergugat
untuk
Mengabulkan gugatan penggugatpenggugat untuk sebagian.
2.
Memerintahkan tergugat untuk
membayar hak-hak penggugatpenggugat sebesar Rp226.678.403,dengan rincian sesuai yang termuat
dalam pertimbangan yaitu halaman
21 putusan ini.
3.
322 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 322
Membebankan biaya perkara ini pada
tergugat sebesar Rp219.000,-
Dalam eksepsi:
Menolak
eksepsi
seluruhnya.
tergugat
untuk
Dalam pokok perkara:
Menolak gugatan para penggugat untuk
seluruhnya.
Menghukum para termohon kasasi untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp500.000,-
Dalam pokok perkara:
1.
MENGADILI SENDIRI:
Adapun pertimbangan hukum majelis
hakim kasasi dalam putusan tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Bahwa pertimbangan hukum judex facti
yang menilai bukti T-2 di mana antara surat
perjanjian bersama tanggal 30 Desember
2010 dengan lampiran surat tersebut tidak
ada hubungan satu sama lain sehingga
bukti a quo harus dikesampingkan tidak
dapat dibenarkan.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:34 PM
b.
c.
d.
Bahwa menurut pertimbangan hukum
Mahkamah Agung, bukti T-2 khususnya
tentang surat perjanjian bersama tanggal
30 Desember 2010 dan lampirannya yang
berupa tanda terima oleh para penggugat
atas surat PHK, rekomendasi, dan slip
pesangon, kedua lembar dokumen dalam
T-2 tersebut tidak hanya mempunyai
hubungan satu sama lain, akan tetapi
bahkan merupakan kesatuan dokumen
yang tak terpisahkan, hal mana adanya
hubungan antara lampiran sebagaimana
dimaksud dapat diketahui dari bunyi
kalimat dalam perjanjian bersama a quo
yang di antaranya berunyi sebagai berikut:
“terlampir surat PT. SMM tanda terima surat
PHK, rekomendasi, dan slip pesangon yang
ditandatangani masing-masing pekerja atau
karyawan yang bersangkutan sebagai tanda
persetujuannya.”
Nomor 2 Tahun 2004, maka seluruh gugatan
para penggugat yang pada pokoknya
menuntut penyelesaian atas PHK a quo
harus ditolak.
Bahwa majelis hakim kasasi dalam
memutuskan perkara tersebut menggunakan
kesepakatan bersama yang telah dibuat oleh
para penggugat dan tergugat yang dituangkan
dalam suatu surat perjanjian bersama tanggal 30
Desember 2010 sebagai pertimbangan hukum
yang utama untuk mengabulkan permohonan
kasasi pemohon kasasi PT. SMM dan membatalkan
putusan PHI Pekanbaru Nomor 23/G/2011/PHI.
Pbr.
Bahwa dari beberapa pertimbangan hukum
yang menyangkut adanya perjanjian bersama
tersebut, penulis menganggap pertimbangan
hukum tersebut tidak tepat khususnya
pertimbangan hukum pada poin c yang di
dalamnya terdapat klausul “Bahwa terlepas dari
Bahwa terlepas dari apapun alasan PHK
apapun alasan PHK a quo, menimbang bahwa
a quo, menimbang bahwa terhadap PHK
terhadap PHK yang diperkarakan a quo telah
yang diperkarakan a quo telah dilakukan
dilakukan kesepakatan yang disertai dengan
kesepakatan
yang
disertai
dengan
penerimaan penyelesaian/kompensasi PHK.”
penerimaan penyelesaian/kompensasi PHK
oleh para penggugat dari tergugat berupa
Hal tersebut seolah-olah menegasikan
surat PHK, rekomendasi, dan slip pesangon, pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor
maka menurut Mahkamah Agung antara 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
para penggugat dan tergugat telah tercapai mengatur mengenai sebab-sebab dilakukannya
kesepakatan dalam penyelesaian PHK PHK beserta jumlah uang pesangon, penghargaan
yang tertuang dalam kesepakatan bersama masa kerja, dan pengganti hak yang seharusnya
tertanggal 30 Desember 2010 sebagaimana diterima oleh pekerja/buruh yang terkena PHK
dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang- berkaitan dengan sebab PHK tersebut.
Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Menimbang bahwa karena antara para B. Rumusan Masalah
penggugat dan tergugat telah tercapai
Bahwa berdasarkan latar belakang tersebut
kesepakatan
dalam
penyelesaian di atas, maka dapat dirumuskan suatu rumusan
perselisihan PHK sebagaimana dimaksud masalah yaitu apakah dalam proses penyelesaian
dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 323
| 323
1/18/2016 12:09:34 PM
perselisihan hubungan industrial pada tingkat
bipartit dan tripartit setiap kesepakatan bersama
antara pekerja dan pengusaha yang telah
dituangkan dalam suatu perjanjian bersama dapat
dijadikan sebagai dasar hukum dalam memutus
perkara perselisihan hubungan industrial di
tingkat pengadilan?
D.
Studi Pustaka
1.
Ketentuan Hukum Mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK)
Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu
secara teoritis dapat menjadi acuan dalam kajiankajian hukum ketenagakerjaan yang lebih jauh
dan mendalam khususnya mengenai penggunaan
perjanjian bersama dalam upaya penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Di samping
itu dari segi praktik hukum, hasil penelitian ini
dapat juga digunakan sebagai rujukan dalam
memberikan pertimbangan-pertimbangan yuridis
bagi para hakim berikutnya khususnya dalam
memeriksa dan memutus perkara yang serupa.
Dalam hal terjadi PHK, Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
telah mengatur ketentuan-ketentuan hukum
mengenai hak-hak pekerja/buruh ketika
mengalami PHK, di antaranya yaitu Pasal 156
ayat (1) yang menyatakan: “Dalam hal terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan
atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.”
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/
buruh dan pengusaha. Di dalam hukum
ketenagakerjaan, terdapat dua jenis PHK, yaitu
C. Tujuan dan Kegunaan
PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak
Penelitian ini merupakan telaah terhadap sukarela. PHK sukarela biasa diartikan sebagai
putusan pengadilan yang telah berkekuatan pengunduran diri pekerja/buruh tanpa paksaan
hukum tetap yaitu putusan Mahkamah Agung dan tekanan dari pihak pengusaha, termasuk juga
Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 terkait dengan karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa
pertimbangan hukum hakim yang menggunakan percobaan (probation), memasuki usia pensiun,
perjanjian bersama antara penggugat dengan dan buruh meninggal dunia.
tergugat sebagai satu-satunya pertimbangan
Sedangkan PHK tidak sukarela merupakan
dalam memutus perkara tersebut, padahal isi
dari perjanjian bersama tersebut bertentangan PHK yang terjadi bukan karena inisiatif
dengan beberapa pasal yang mengatur PHK dari pekerja/buruh, melainkan inisiatif dari
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena beberapa
tentang Ketenagakerjaan, sehingga penelitian ini faktor di antaranya yaitu adanya pelanggaran
bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah yang dilakukan buruh, perusahaan tutup karena
perjanjian bersama yang telah disepakati memiliki mengalami kerugian dua tahun berturut-turut,
kekuatan hukum yang mengikat meskipun isinya karena keadaan memaksa (force majeure) hingga
karena pengusaha melakukan efisiensi.
bertentangan dengan undang-undang.
324 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 324
Adapun besaran jumlah uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima oleh
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:34 PM
pekerja/buruh sebagaimana disampaikan dalam Pasal 156 ayat (1) tersebut telah diatur dalam
Pasal 156 ayat (2), (3), dan (4).
Pasal 156 ayat (2) sebagai berikut:
1.
“Perhitungan uang pesangon sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
sebagai berikut:
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2
(dua) bulan upah;
2.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun,
3 (tiga) bulan upah;
3.
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau
1.
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1
(satu) bulan upah;
2.
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
3.
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
4.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
5.
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
6.
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
7.
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah.
8.
9.
“Perhitungan uang penghargaan masa kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan sebagai berikut:
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9
(sembilan) bulan upah.”
Pasal 156 ayat (3) sebagai berikut:
lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas)
tahun, 4 (empat) bulan upah;
4.
masa kerja 12 (dua belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
5.
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 18 (delapan
belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
6.
masa kerja 18 (delapan belas) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua
puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah;
7.
masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun
atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua
puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan
upah;
8.
masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun
atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.”
Pasal 156 ayat (4) sebagai berikut:
“Uang penggantian hak yang seharusnya
diterima sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi:
1.
cuti tahunan yang belum diambil dan
belum gugur;
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 325
| 325
1/18/2016 12:09:34 PM
2.
3.
biaya atau ongkos pulang untuk
Keadaan memaksa (force majeure) sendiri
pekerja/buruh dan keluarganya merupakan keadaan di mana seorang debitor
ke tempat di mana pekerja/buruh terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena
diterima bekerja;
keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada
saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa
penggantian
perumahan
serta
tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,
pengobatan dan perawatan ditetapkan
sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan
15% (lima belas perseratus) dari uang
beriktikad buruk.
pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja bagi yang memenuhi
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
syarat;
1244 KUHPerdata, yaitu: “Dalam hal ini,
kejadian-kejadian yang merupakan force majeure
hal-hal lain yang ditetapkan dalam
tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak
perjanjian kerja, peraturan perusahaan
sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat
atau perjanjian kerja bersama.”
menduga sebelumnya akan adanya peristiwa
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus
PHK dapat terjadi karena berbagai faktor yang sudah dinegosiasikan di antara para pihak.”
melatarbelakanginya, di antaranya adalah karena
Beberapa pasal dalam KUHPerdata yang
keadaan memaksa (force majeure) dan karena
dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan
pengusaha melakukan efisiensi sebagaimana
force majeure selain Pasal 1244 yang sudah
diatur dalam Pasal 164 ayat (1) dan (3). Faktortersebut di atas, antara lain adalah Pasal 1245,
faktor yang melatarbelakangi terjadinya PHK
yaitu: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
tersebut secara hukum akan berdampak pada
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa
jumlah uang pesangon yang seharusnya diterima
atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si
oleh pekerja/buruh.
berhutang berhalangan memberikan atau berbuat
Terkait dengan PHK yang terjadi karena sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal
keadaan memaksa (force majeure) Pasal 164 yang sama telah melakukan perbuatan yang
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun terlarang.”
4.
2003 mengatur sebagai berikut: “Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang disebabkan perusahaan mengalami
kerugian secara terus menerus selama 2 (dua)
tahun, atau keadaan memaksa (force majeure),
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).”
326 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 326
Dari rumusan pasal-pasal tersebut,
setidaknya terdapat tiga unsur yang harus
dipenuhi untuk force majeure ini, yaitu:
1.
Tidak memenuhi prestasi.
2.
Ada sebab yang terletak di luar kesalahan
yang bersangkutan.
3.
Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada yang bersangkutan.
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:35 PM
Sedangkan PHK yang terjadi karena
perusahaan melakukan efisiensi, terdapat
ketentuan hukum dalam Pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang
mengatur sebagai berikut: “Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan
karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturutturut atau bukan karena keadaan memaksa (force
majeure) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas
uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4).”
perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
2.
1.
Dalam hal musyawarah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai
kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
perjanjian bersama yang ditandatangani
oleh para pihak.
Perselisihan hubungan industrial adalah 2.
perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan
3.
mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan. Perselisihan hubungan
industrial dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 dibagi menjadi empat macam, yaitu
Perjanjian bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) mengikat dan menjadi
hukum serta wajib dilaksanakan oleh para
pihak.
Pada saat terjadi perselisihan hubungan
industrial, pekerja/buruh dan pengusaha
diwajibkan untuk melakukan upaya penyelesaian
perselisihan dengan cara musyawarah untuk
mufakat, upaya penyelesaian secara mufakat
termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 disebut dengan upaya penyelesaian
secara bipartit. Jika pada proses bipartit tersebut
terjadi suatu kesepakatan yang menjadikan
perdamaian bagi kedua belah pihak, maka
kesepakatan-kesepakatan tersebut dituangkan
dalam sebuah perjanjian bersama yang bersifat
mengikat bagi kedua belah pihak sesuai dengan
Berdasarkan ketentuan hukum dalam Pasal asas pacta sunt servanda.
164 ayat (3) tersebut, maka setiap pekerja/buruh
Mengenai perjanjian bersama dalam
yang mengalami PHK karena alasan efisiensi,
penyelesaian bipartit, telah diatur dalam Pasal 7
pekerja/buruh tersebut berhak atas uang pesangon
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai
sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2).
berikut:
Ketentuan
Hukum
Mengenai
Perjanjian Bersama dalam Penyelesaian
Perselisihan
Hubungan
Industrial
Menurut Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004
Perjanjian bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para
pihak yang melakukan perjanjian pada
pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri di wilayah para pihak
mengadakan perjanjian bersama.
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 327
| 327
1/18/2016 12:09:35 PM
4.
Perjanjian bersama yang telah didaftar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian
bersama dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian bersama.
5.
Apabila perjanjian bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak
dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi kepada pengadilan
hubungan industrial pada pengadilan negeri
di wilayah perjanjian bersama didaftar
untuk mendapat penetapan eksekusi.
6.
Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di
luar pengadilan negeri tempat pendaftaran
perjanjian bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi
dapat mengajukan permohonan eksekusi
melalui pengadilan hubungan industrial
pada pengadilan negeri di wilayah domisili
pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
pengadilan hubungan industrial pada
pengadilan negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
3.
Asas-Asas Dalam Perjanjian
1)
Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut hukum perjanjian di Indonesia
terdapat beberapa asas terkait dengan perjanjian,
di antaranya yaitu pacta sunt servanda dan asas
kebebasan berkontrak. Yang dimaksud dengan
asas kebebasan berkontrak yaitu adanya suatu
kebebasan yang seluas-luasnya bagi masyarakat
untuk mengadakan suatu perjanjian mengenai
hal apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ketertiban
umum, dan kepatutan dalam masyarakat. Hal ini
sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa
setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pacta sunt servanda). Artinya
setiap perjanjian yang sah memiliki kekuatan
yang sama dengan undang-undang.
Asas kebebasan berkontrak dan asas pacta
sunt servanda sebagaimana terkandung dalam
Pasal 1338 KUHPerdata tersebut bukan berarti
tanpa batas, yang kemudian dapat memungkinkan
untuk terjadinya suatu pemaksaan dan eksploitasi
oleh satu pihak kepada pihak lainnya sehingga
terjadi ketidakadilan. Penafsiran dan pelaksanaan
dari Pasal 1338 tersebut tentu harus diselaraskan
dengan pasal-pasal maupun asas-asas hukum lain
agar tercipta suatu sistem hukum kontrak yang
berkeadilan. Asas kebebasan berkontrak ini juga
merupakan refleksi dari sistem terbuka dari buku
Istilah perjanjian yang seringkali juga III KUHPerdata.
disebut dengan kontrak adalah merupakan suatu
peristiwa di mana dua orang atau lebih saling
2) Asas Konsensualisme
berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan
Menurut asas konsensualisme, suatu
sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara
tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai perjanjian sudah terbentuk dengan adanya
hal-hal yang diperjanjikan berkewajiban kesepakatan dari para pihak yang membuatnya.
untuk menaati dan melaksanakannya sehingga Kemudian agar perjanjian itu sah adanya maka
perjanjian tersebut menimbulkan hubungan harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal
1320 KUHPerdata. Namun, asas tersebut tidak
hukum yang disebut perikatan (verbintenis).
328 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 328
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:35 PM
cukup untuk perjanjian formil karena masih ada
formalitas lain yang diatur dalam undang-undang
yang harus dipatuhi (Erawati & Boediono, 2010,
hal. 7).
menyetujui atau sepakat mengenai substansi
yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat
unsur paksaan ataupun penipuan. Kata “sepakat”
tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan
mengenai hakikat barang yang menjadi pokok
4. Syarat Sahnya Perjanjian dalam persetujuan atau kekhilafan mengenai diri
pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat
KUHPerdata
terutama mengingat dirinya orang tersebut.
Pasal 1313 KUHPerdata memberikan
Adanya paksaan di mana seseorang
definisi mengenai istilah perjanjian, yaitu suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih melakukan perbuatan karena takut ancaman
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain (Pasal 1324 KUHPerdata), adanya penipuan yang
atau lebih. Pengertian perjanjian ini mengandung tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga
adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata).
tiga unsur yaitu:
Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
1) Perbuatan,
yaitu perbuatan “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut,
hukum atau tindakan hukum, karena dapat diajukan pembatalan.
perbuatan tersebut membawa akibat hukum
2) Kecakapan para pihak untuk membuat
bagi para pihak yang memperjanjikan.
perjanjian
2) Dua orang atau lebih, untuk adanya suatu
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal
perjanjian, paling sedikit harus ada dua
pihak yang saling berhadap-hadapan dan ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan
saling memberikan pernyataan yang cocok dewasa oleh hukum, ukuran dewasa sesuai
atau pas satu sama lain. Pihak tersebut ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia
21 tahun, sudah atau pernah kawin. Jadi, dapat
adalah orang atau badan hukum.
dinyatakan bahwa setiap orang cakap untuk
3) Mengikatkan dirinya, di dalam perjanjian membuat perjanjian-perjanjian kecuali oleh
terdapat unsur janji yang diberikan oleh undang-undang tidak menghendaki. pihak yang satu kepada pihak yang
lain. Dalam perjanjian ini orang terikat 3) Mengenai suatu hal tertentu
kepada akibat hukum yang muncul karena
Suatu perjanjian harus menentukan jenis
kehendaknya sendiri.
objek yang diperjanjikan dengan jelas. Jika tidak
Berdasarkan ketentuan hukum dalam Pasal maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332
1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dinyatakan KUHPerdata menentukan hanya barang-barang
sah apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu: yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi
objek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334
1) Adanya kesepakatan para pihak untuk KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada
mengikatkan diri di kemudian hari dapat menjadi objek perjanjian
Adanya kesepakatan para pihak untuk kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara
mengikatkan diri artinya bahwa semua pihak tegas.
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 329
| 329
1/18/2016 12:09:35 PM
4)
Mengenai suatu sebab yang halal
keempat mengenai objek tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum.
Sahnya causa dari suatu persetujuan
ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian
Terkait dengan adanya ketentuan hukum
tanpa causa yang halal adalah batal demi mengenai syarat sahnya suatu perjanjian
hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang- dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka setiap
undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila:
subjek hukum dalam membuat suatu perjanjian
harus mengacu pada syarat tersebut, kecuali
a. Tidak bertentangan dengan undangterdapat suatu aturan hukum yang lebih khusus
undang.
yang menyimpang dari ketentuan Pasal 1320
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban KUHPerdata karena akan berlaku asas lex
specialis derogat legi generalis.
umum.
c.
Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Hal ini sebagaimana dipertegas dalam Pasal
1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa
suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang
oleh undang-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Dalam konteks penyelesaian perselisihan
hubungan industrial pada tingkat bipartit dan
tripartit, ketika terjadi suatu kesepakatan yang
menjadikan perdamaian bagi kedua belah
pihak, maka kesepakatan tersebut berdasarkan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 dituangkan dalam suatu surat perjanjian
bersama. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tidak mengatur ketentuan hukum
yang menyimpang dari ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata. Artinya bahwa syarat sahnya suatu
perjanjian bersama mengacu pada syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 KUHPedata.
Terkait dengan suatu perjanjian yang
mengandung causa bertentangan dengan
undang-undang, terdapat asas lex dura sed
tamen scripta atau lex dura sed ita scripta yang
artinya bahwa undang-undang bersifat keras
(memaksa), sehingga tidak dapat diganggu
gugat dan telah tertulis. Oleh karena itu suatu
perjanjian yang mengandung causa bertentangan
dengan undang-undang secara otomatis batal II. METODE
demi hukum, artinya perjanjian tersebut tidak
Penelitian ini menggunakan metode
memiliki kekuatan hukum yang mengikat para
penelitian hukum yang bertujuan untuk mencari
pihak.
pemecahan atas isu hukum serta permasalahan
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat yang timbul di dalamnya, sehingga hasil yang
subjektif karena menyangkut subjek. Sedangkan akan dicapai kemudian adalah memberikan
syarat ketiga dan keempat merupakan syarat perskripsi mengenai apa yang seyogianya atas
objektif karena menyangkut objek. Terdapatnya isu yang diajukan (Marzuki, 2001, hal. 103).
cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau Hal yang sama juga dikatakan oleh Marzuki,
tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai bahwa penelitian hukum merupakan proses
subjek
mengakibatkan
perjanjian
dapat untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
330 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 330
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:35 PM
menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki, 3.
2005, hal. 35).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
Objek kajian dalam penelitian ini adalah
putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/Pdt.
Sus/2012 yang diperoleh penulis dari situs resmi
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penulis
memilih putusan tersebut sebagai objek kajian
karena terdapat suatu permasalahan hukum
dalam pertimbangan hukum majelis hakim
kasasi yang tidak tepat dan dikhawatirkan
akan menjadi preseden buruk bagi para hakim
di kemudian hari yang memutus perkara yang
sama dengan menggunakan putusan tersebut
sebagai yurisprudensi. Mengingat perselisihan
hubungan industrial merupakan persoalan yang
rentan terhadap konflik horizontal antara pekerja/
buruh dengan pengusaha yang akan berdampak
negatif pada proses produksi barang dan jasa,
sehingga dikhawatirkan terhadap konflik yang
terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha
pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan
perekonomian negara.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang
Penyelesaian
Perselisihan
Selain Putusan Mahkamah Agung Nomor
237 K/Pdt.Sus/2012, terdapat sumber data
lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
berupa sumber data berupa bahan hukum primer
dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan
data yang keberadaannya didasarkan atau
dihasilkan oleh suatu otoritas tertentu, misalnya
undang-undang dan peraturan hukum yang lain
sepanjang materinya terkait dengan masalah
yang diteliti. Adapun bahan hukum primer yang
akan digunakan dalam penelitian ini di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
UUD NRI 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
4.
Hubungan Industrial.
Bahan hukum sekunder merupakan data
yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, yang diketemukan melalui studi
kepustakaan. Misalnya buku, karya ilmiah baik
berupa literatur, jurnal/majalah ilmiah, maupun
melalui informasi ilmiah lainnya.
Prosedur pengumpulan data dilakukan
melalui inventarisasi hukum positif dan
penelusuran kepustakaan (studi pustaka) terkait
dengan masalah yang diteliti.
Terhadap semua bahan hukum primer
dan sekunder yang sudah bisa dikumpulkan
kemudian dilakukan pengorganisasian dan
pengklasifikasian data sesuai dengan rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan sistematika
penyusunan hasil penelitian. Setelah semua
bahan hukum itu diorganisasi dan diklasifikasi,
kemudian dilakukan analisis dan/atau interpretasi.
Melalui cara ini diharapkan permasalahan
dalam penelitian ini bisa dikaji dan ditemukan
jawabnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlu dicatat bahwa pembahasan penelitian
ini menggunakan argumentasi hipotetis, dalam
arti bahwa penulis tidak mendasarkan analisisnya
mengikuti realitas seperti apa yang dimohonkan
oleh para penggugat. Dalam kenyataannya,
penggugat tidak mengajukan permintaan agar
perjanjian bersama dibatalkan, melainkan
meminta agar para buruh diberikan pesangon
dua kali lipat daripada yang telah diterima.
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 331
| 331
1/18/2016 12:09:35 PM
Penulis berkeyakinan bahwa perjanjian tersebut
seharusnya dinyatakan batal demi hukum,
sehingga seharusnya (secara hipotetis) hal
inilah yang diajukan oleh penggugat. Bertolak
dari ketentuan hukum acara, penulis juga
menyadari bahwa hakim pun biasanya tidak akan
menjatuhkan diktum atas apa-apa yang memang
tidak dimintakan karena akan mengarah kepada
putusan yang ultra petita.
masyarakat (Mertokusumo, 1993, hal. 1-2).
Mengingat bahwa keadilan merupakan hal
abstrak, maka teori mengenai keadilan hukum
agaknya lebih tepat diterapkan dalam sebuah
negara hukum mengingat keadilan hukum
memiliki ukuran yang lebih konkret dalam
menilai suatu keadilan yaitu kepastian hukum.
Hal ini sebagaimana pendapat para ahli berikut
yang memberikan definisi mengenai keadilan:
Dalam melaksanakan peranannya sebagai
1.
penegak keadilan, sesungguhnya hakim tidak
cukup hanya berhenti pada pencapaian keadilan
hukum (legal justice). Keadilan yang lebih ideal
perlu juga diupayakan, yakni suatu keadilan
yang substantif (subtantial justice). Meskipun
sesuai ajaran hukum positivisme, hakikat hukum
tidak lain dari pada norma-norma positif dalam 2.
sistem perundang-undangan (Susanto, 2008, hal.
11). Sehingga keadaan yang telah mencerminkan
keadilan hukum dipandang telah memenuhi rasa
keadilan mengingat keadilan sendiri merupakan
3.
suatu hal yang abstrak dan memiliki ukuran
yang berbeda bagi setiap orang dalam merasakan
keadilan. Hal ini dapat dilihat dari selalu adanya
pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan
hakim.
Dengan demikian putusan hakim yang telah
sejalan dengan bunyi undang-undang dipandang
telah memenuhi rasa keadilan karena telah sesuai
dengan kepastian hukum. Prinsip ini dinyatakan
sebagai “undang-undang adalah undang-undang”
(Gesetz ist Gesetz), “Undang-undang itu memang
keras isi ketentuannya, tetapi bagaimanapun itu
telah tertulis, semua itu demi kepastian di dalam
penegakannya” (lex dura set tamen scripta)
(Koesnoe, 1997, hal. 130). Kepastian hukum akan
menciptakan tertib masyarakat, sebagaimana
menurut Mertokusumo tujuan hukum adalah
menciptakan kepastian hukum demi ketertiban
332 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 332
Aristoteles adalah seorang filosof pertama
kali yang merumuskan arti keadilan.
Ia mengatakan bahwa keadilan adalah
memberikan kepada setiap orang apa
yang menjadi haknya, (fiat jutitia bereat
mundus) (Rato, 2010, hal. 63) .
Plato, keadilan hanya dapat ada di
dalam hukum dan perundang-undangan
yang dibuat oleh para ahli yang khusus
memikirkan hal itu (Rato, 2010, hal. 64).
Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu
saja juga digunakan dalam hukum, dari
segi kecocokan dengan hukum positif
-terutama kecocokan dengan undangundang. Ia menggangap sesuatu yang adil
hanya mengungkapkan nilai kecocokan
relatif dengan sebuah norma “adil” hanya
kata lain dari “benar” (Kelsen, 2010, hal.
48).
Sebagai negara hukum yang berkeadilan
sosial, Indonesia menganut sistem hukum civil
law meskipun tidak sepenuhnya. Karakteristik
utama yang menjadi dasar sistem hukum civil
law adalah hukum memperoleh kekuatan
mengikat, karena diwujudkan dalam peraturanperaturan yang berbentuk undang-undang dan
tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi.
Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:35 PM
nilai utama yang merupakan tujuan hukum
Terkait dengan ketertiban dalam masyarakat,
adalah keadilan berdasarkan suatu kepastian khususnya dalam pelaksanaan hubungan
hukum (rechts zekerheid).
industrial, dalam rangka terciptanya hubungan
industrial yang berkemanusiaan dan berkeadilan
Adanya kepastian hukum juga merupakan
sosial sebagaimana di dalam cita-cita terwujudnya
suatu jaminan perlindungan bagi masyarakat
hubungan industrial Pancasila, pemerintah telah
pencari keadilan terhadap tindakan sewenangmenciptakan seperangkat aturan hukum sebagai
wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang
pedoman bagi pengusaha dan pekerja dalam
bertindak di luar hukum dalam menjalankan
menjalankan hak dan kewajibannya di dalam
tugasnya sebagai penegak hukum. Kepastian
suatu proses hubungan industrial, di antaranya
hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan
yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang
tentang Ketenagakerjaan.
dan juga jelas dalam penerapannya. Dengan kata
lain kepastian hukum itu berarti menjadikan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
peraturan perundang-undang sebagai dasar bagi tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai
setiap tindakan aparat penegak hukum termasuk pelaksanaan hubungan industrial sejak akan
hakim dalam menjalankan proses persidangan.
terbentuknya hubungan industrial tersebut
Dalam praktik penegakan hukum, kita
seringkali menjumpai ada norma-norma tertentu
dalam undang-undang yang tidak dipatuhi
bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali oleh
aparat penegak hukum termasuk oleh hakim.
Hal ini tentu akan berdampak secara langsung
terhadap buruknya penegakan hukum yang
jauh dari nilai keadilan, undang-undang sebagai
sumber hukum yang utama dalam negara civil
law akan kehilangan maknanya serta penegakan
hukum menjadi tidak efektif.
hingga telah berakhirnya hubungan industrial
yang telah dibangun antara pekerja/buruh dengan
pengusaha tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terdapat
beberapa ketentuan hukum yang mengatur
mengenai pembuatan perjanjian kerja hingga
hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha pasca
pemutusan hubungan kerja.
Seluruh ketentuan hukum yang telah
dibuat oleh pemerintah khususnya UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan
pedoman bagi para pihak dalam menciptakan
hubungan industrial yang berkemanusiaan dan
berkeadilan sosial, bukan hanya untuk pekerja/
buruh dan pengusaha saja, tetapi juga bagi para
hakim di pengadilan hubungan industrial yang
memeriksa dan memutus perkara perselisihan
hubungan industrial agar tercipta suatu keadilan
berdasarkan suatu kepastian hukum bagi para
pekerja dan pengusaha.
Ketidakefektifan undang-undang sebagai
hukum positif akan berdampak nyata terhadap
perilaku hukum masyarakat, termasuk perilaku
untuk cenderung melanggar hukum dan main
hakim sendiri. Hal ini dikarenakan rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
penegak hukum sebagai akibat dari tidak adanya
kepastian hukum dalam lembaga penegak hukum
tersebut. Kondisi ini tentu akan membuat tatanan
masyarakat yang tertib dan penuh rasa keadilan
Terkait dengan perkara perselisihan
menjadi tidak tercapai.
pemutusan hubungan kerja yang telah diperiksa
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 333
| 333
1/18/2016 12:09:35 PM
dan diputus oleh pengadilan di tingkat kasasi
dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 237
K/Pdt.Sus/2012, tidak terlihat adanya kepastian
hukum yang mencerminkan rasa keadilan, di
mana dalam pertimbangan hukumnya, majelis
hakim mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum
mengenai sebab-sebab dapat dilakukannya
pemutusan hubungan kerja. Mengingat bahwa
suatu sebab dilakukannya pemutusan hubungan
kerja tersebut akan berimplikasi dalam penentuan
hak pekerja/buruh yang berupa jumlah uang
pesangon yag berhak dia terima.
keadaan memaksa (force majeure) (Pasal
164 ayat (1));
6.
Perusahaan melakukan efisiensi (Pasal 164
ayat (3));
7.
Perusahaan pailit (Pasal 165);
8.
Pekerja meninggal dunia (Pasal 166);
9.
Pekerja memasuki usia pensiun (Pasal 167);
10. Pekerja/buruh mangkir selama 5 hari
berturut-turut (Pasal 168);
Terkait dengan pemutusan hubungan kerja, 11. Pekerja/buruh mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
penyelesaian
perselisihan
hubungan
pada Bab XII telah diatur secara jelas mengenai
industrial (Pasal 169);
pemutusan hubungan kerja, tepatnya pada Pasal
150 s/d 172. Adapun mengenai suatu sebab untuk 12. Pekerja/buruh yang mengalami sakit
dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja
berkepanjangan, mengalami cacat akibat
berdasarkan ketentuan hukum tersebut adalah
kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan
sebagai berikut:
pekerjaannya setelah melampaui batas 12
bulan (Pasal 172).
1. Pekerja/buruh ditahan oleh pihak berwajib
karena diduga melakukan tindak pidana
(Pasal 160);
2.
3.
4.
5.
Terkait dengan perselisihan pemutusan
hubungan kerja sebagaimana dalam perkara yang
Pekerja/buruh melakukan pelanggaran telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan
terhadap peraturan perusahaan, perjanjian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012, bahwa
kerja, perjanjian kerja bersama, dan telah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
diberikan surat peringatan hingga ketiga PT. SMM terhadap para penggugat adalah karena
alasan efisiensi sebagaimana diatur dalam Pasal
kali secara berturut-turut (Pasal 161);
164 ayat (3), hal ini sebagaimana diuraikan oleh
Pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal penggugat dalam surat gugatannya pada poin
162);
ke-4, dan telah dibenarkan oleh tergugat dalam
jawabannya.
Perusahaan melakukan perubahan status,
penggabungan, peleburan, atau perubahan
Adapun ketentuan Pasal 164 ayat (3)
kepemilikan perusahaan (Pasal 163);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah
berikut:
Perusahaan tutup yang disebabkan
perusahaan mengalami kerugian secara “Pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh
terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
karena perusahaan tutup bukan karena
334 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 334
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:35 PM
mengalami kerugian 2 (dua) tahun g.
berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa (force majeure) tetapi perusahaan
melakukan efisiensi, dengan ketentuan
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 h.
ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).“
i.
Sedangkan mengenai hak pekerja/buruh
yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan
Pasal 164 ayat (3) adalah berhak mendapatkan
uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal
156 ayat (2).
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah.
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9
(sembilan) bulan upah.”
Ketentuan-ketentuan hukum mengenai
pemutusan hubungan kerja sebagaimana telah
diatur dalam pasal-pasal di atas, baik mengenai
sebab pemutusan hubungan kerja maupun jumlah
Adapun ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang pesangon yang berhak diterima pekerja/
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah buruh seolah tidak dipertimbangkan sama sekali
oleh majelis hakim yang memeriksa Perkara
berikut:
Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 tersebut, hal ini
“Perhitungan uang pesangon sebagaimana
dapat terlihat dengan jelas ketika pertimbangan
dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit
hukum majelis hakim khususnya pada poin c
sebagai berikut:
yang menyatakan sebagai berikut:
a.
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1
(satu) bulan upah;
b.
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
c.
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d.
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e.
f.
“Bahwa terlepas dari apapun alasan PHK
a quo, menimbang bahwa terhadap PHK
yang diperkarakan a quo, telah dilakukan
kesepakatan yang disertai penerimaan
penyelesaian/kompensasi PHK oleh para
penggugat dari tergugat berupa surat
PHK, rekomendasi, dan slip pesangon,
maka menurut Mahkamah Agung antara
para penggugat dan tergugat telah tercapai
kesepakatan dalam penyelesaian PHK yang
tertuang dalam “kesepakatan bersama”
tertanggal 30 Desember 2010 sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.”
Pada pertimbangan hukum tersebut terdapat
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi
kalimat “Bahwa terlepas dari apapun alasan PHK
kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
a quo,” hal ini seolah-olah majelis hakim tidak
upah;
mempertimbangkan sama sekali ketentuanmasa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi ketentuan hukum dalam Undang-Undang
kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Nomor 13 Tahun 2003 yang secara substansial
dalam beberapa pasal mengatur tentang sebabupah;
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 335
| 335
1/18/2016 12:09:35 PM
sebab/alasan-alasan dilakukannya PHK beserta
perhitungan jumlah pesangonnya. Majelis hakim
seolah-olah menjadikan perjanjian bersama tanggal
30 Desember 2010 sebagai satu-satunya dasar
pertimbangan hukum dengan mengesampingkan
ketentuan-ketentuan hukum yang lain.
pesangon para pekerja yang di PHK berdasarkan
alasan force majeure dalam ketentuan Pasal 164
ayat (1) adalah satu kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2).
Hal inilah yang melahirkan ketidakpastian
hukum bagi para pekerja maupun bagi PT. SMM,
Dalam Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012, karena sesungguhnya para pihak dalam Perkara
majelis hakim secara nyata tidak menyinggung Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 mengharapkan suatu
sama sekali substansi persoalan dalam perkara kepastian hukum mengenai alasan pemutusan
tersebut, yaitu apakah pemutusan hubungan kerja hubungan kerja antara penggugat dengan
antara PT. SMM dan para pekerja terjadi karena tergugat, apakah karena efisiensi atau karena force
alasan efisiensi atau force majeure. Karena kedua majeure, sehingga jelas dalam penyelesaian hak
alasan PHK tersebut menurut Undang-Undang atas pesangon bagi para pekerja selaku penggugat
Nomor 13 Tahun 2003 memiliki akibat hukum yang terkena pemutusan hubungan kerja.
yang berbeda dalam hal jumlah pesangon.
Majelis hakim tampaknya juga kurang
Majelis hakim hanya mempertimbangkan cermat dalam menilai bukti surat perjanjian
bahwa terhadap pemutusan hubungan kerja bersama tertanggal 30 Desember 2010 yang
tersebut telah terjadi kesepakatan antara PT. SMM diajukan dalam perkara tersebut. Seharusnya
dengan para pekerja yang dituangkan dalam majelis hakim menilai apakah perjanjian
perjanjian bersama tanggal 30 Desember 2010, bersama tersebut mengandung cacat hukum
di mana alasan PHK dalam perjanjian bersama atau tidak, mengingat Pasal 1320 KUHPerdata
tersebut adalah karena efisiensi dengan jumlah mensyaratkan bahwa setiap isi perjanjian tidak
pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 boleh bertentangan dengan undang-undang
ayat (2).
(syarat objektif), jika terdapat suatu perjanjian
isinya ternyata bertentangan dengan undangSehingga menurut Mahkama Agung antara
undang maka perjanjian tersebut berdasarkan
para penggugat dan tergugat telah tercapai
Pasal 1355 KUHPerdata batal demi hukum.
kesepakatan dalam penyelesaian PHK, meskipun
secara hukum sebenarnya perjanjian bersama
Berikut Pasal 1320 dan Pasal 1335
tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan KUHPerdata:
Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan jumlah
Pasal 1320:
pesangon untuk alasan efisiensi adalah dua kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2).
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu
Sementara pihak PT. SMM dalam memori
kasasinya kemudian menyatakan bahwa alasan
PHK yang sesungguhnya bukanlah efisiensi
melainkan force majeure, karena PT. SMM telah
habis masa kontrak dengan PT. CPI perusahaan
yang memberi pekerjaan. Sehingga jumlah
336 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 336
dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan
mereka
mengikatkan dirinya;
yang
2. kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:35 PM
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.“
Pasal 1335
juga tidak serta merta berkekuatan hukum
mengikat, mengingat Pasal 1320 dan Pasal 1335
KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya
suatu perjanjian.
Hal ini tentu saja suatu perjanjian bersama
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau
dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu yang tidak memenuhi persyaratan dalam Pasal 1320
atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
dan 1335 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan
kekuatan.”
hukum yang mengikat dan secara otomatis batal
Berdasarkan Pasal 1320 dan 1335 demi hukum. Perjanjian bersama yang dibuat
KUHPerdata tersebut, jelas bahwa perjanjian antara penggugat dengan tergugat pada tanggal
bersama yang telah dibuat oleh para penggugat 30 Desember 2010 tersebut adalah termasuk
dan tergugat tidak memiliki kekuatan hukum perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan Pasal
karena isi dari kesepakatan yang dituangkan 1320 dan 1335 KUH Perdata karena secara
dalam perjanjian kerjasama tersebut terlarang/ substansial bertentangan dengan Pasal 164 ayat
bertentangan dengan Pasal 164 ayat (3) Undang- (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hal inilah yang karenanya Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012
merupakan suatu bentuk ketidakpastian hukum yang menggunakan perjanjian bersama tersebut
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/ sebagai satu-satunya pertimbangan hukum dalam
memutus perkara tanpa mempertimbangkan
Pdt.Sus/2012 tersebut.
ketentuan hukum yang lain tentang PHK tidak
mencerminkan adanya suatu kepastian hukum.
IV. KESIMPULAN
Terkait dengan hasil analisis terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/Pdt.
Sus/2012 serta rumusan masalah yang telah
ditentukan, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian bersama merupakan hasil perundingan
antara pekerja dengan pengusaha dalam hal
telah terjadi perselisihan hubungan industrial, di
mana perundingan ini merupakan upaya untuk
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang telah terjadi dengan mengutamakan prinsip
musyawarah untuk mufakat. Jika dalam proses
perundingan tersebut terjadi suatu kesepakatan
maka kesepakatan tersebut akan dituangkan
dalam suatu perjanjian bersama, hal ini sesuai
dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004, namun hasil kesepakatan yang dituangkan
dalam suatu perjanjian bersama tersebut tentu
DAFTAR ACUAN
Susanto, A. F. (2008). Butir-butir pemikiran dalam
hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Rato, D. (2010). Filsafat hukum, mencari, menemukan,
dan memahami hukum. Surabaya: Laks Bang
Yustisia.
Erawati, E., & Budiono, H. (2010). Penjelasan
hukum tentang kebatalan perjanjian. Jakarta:
Nasional Legal Reform Program.
Kelsen, H. (2010). Pengantar teori hukum. Bandung:
Penerbit Nusa Media.
Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 337
| 337
1/18/2016 12:09:36 PM
Mertokusumo, S. (1993). Bab-bab tentang penemuan
hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Marzuki, P. M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
___________.
(2001,
Maret-April).
Penelitian
hukum. Yuridika, 16(1).
Koesnoe, M. (1997, Agustus). Yuridisme yang
dianut dalam Tap MPRS No. XIX/1966. Varia
Peradilan, XII(143), 130.
338 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 338
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338
1/18/2016 12:09:36 PM
URGENSI PROSES PERADILAN AFIRMATIf
BAGI PEREMPUAN DIFABEL KORBAN PERKOSAAN
Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl
THE URGENCY OF JUDICIAL AFFIRMATIVE ACTION\
FOR THE DIFFABLE WOMAN IN A CASE OF RAPE
An Analysis of Court Decision Number 33/Pid.B/2013/PN.Kdl
Faiq Tobroni
Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung-Jawa Timur 66221
E-mail: [email protected]
Naskah diterima: 11 Februari 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015
ABSTRAK
Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah mengenai
kasus perkosaan yang melibatkan korban seorang
perempuan tuna rungu berinisial SW. Berdasarkan
salinan putusan, SW tidak mendapatkan penerjemah
selama proses persidangan. Dari beberapa permasalahan
yang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusan
masalah. Pertama, apakah kerugian dari hasil peradilan
yang diterima SW terkait akses atas keadilan? Kedua,
bagaimanakah perlakuan yang seharusnya diterapkan
bagi korban difabel seperti SW? Ketiga, apa yang
harus dilakukan negara untuk menjamin proses
peradilan affirmative bagi kaum difabel? Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
data sekunder dan analisis kualitatif. Hasil penelitian
memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, tanpa
adanya penerjemah atau bahkan pendamping, kerugian
berkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SW
menyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan jaminan
keuntungan formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1)
KUHAP. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilan
yang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative.
Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi bagi
kaum difabel. Ketiga, dalam merealisasikan jaminan
perlakuan affirmative bagi kaum difabel, harus terdapat
revisi terhadap peraturan hukum terkait dan penajaman
wawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas.
Kata kunci: aksi afirmatif, diskriminasi hukum, difabel.
ABSTRACT
Court Decision Number 33/Pid.B/2013/PN.Kdr is a
ruling regarding a rape of a deaf woman initials SW.
Based on the copy of the decision, court did not provide
SW an interpreter during the trial process. Of the several
issues came upon, there are three formulations of the
problem in questions reviewed in this analysis. Firstly,
regarding access to justice, what are the losses suffered
by SW from such trial process? Secondly, how should the
legal treatment in judicial process to victims or persons
with different ability like SW? Thirdly, what should be
through by the state to warrant a judicial affirmative
action for the diffable? This study is done with the
method of qualitative research using secondary data and
qualitative analysis. The study results bring about several
conclusions. First, in the absence of an interpreter or an
assistant, the loss of the SW’s rights of access to justice
has caused her inability to take advantage of the formal
justice warranty on the provision of Article 98 Paragraph
(1) of the Code of Criminal Procedure. Second, special
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 339
| 339
1/18/2016 12:09:36 PM
treatment in the judicial process required by a diffable
person is a judicial affirmative action. This action aims
to eliminate discrimination for the difables. Third, in the
realization of judicial affirmative action for the diffables,
there should be revision of the relevant legal regulations
and efforts to give insights and understanding to law
enforcement authorities on the issue of diffability.
Keywords: affirmative action, legal discrimination,
diffable.
I.
PENDAHULUAN
mulut orang yang diajak bicara.
A.
Latar Belakang
Berdasarkan kondisi demikian, majelis
hakim telah menyimpulkan bahwa saksi korban
SW adalah seorang tuna rungu. Kesimpulan hakim
tersebut dikemukakan dalam bagian hal-hal yang
memberatkan bagi hukuman RR. Berdasarkan
salinan Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl,
hakim menyatakan:
Pasal 178 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) telah mencoba untuk
memberikan perhatian khusus kepada difabel
yang berhadapan hukum. Perhatian khusus
tersebut diwujudkan dengan pengaturan bahwa
hakim bisa mengangkat penerjemah bagi difabel
tuna rungu yang berhadapan dengan hukum.
Pemberian perhatian khusus tersebut sangat
dibutuhkan bagi difabel mengingat difabel tidak
mempunyai kemampuan yang sama dengan
orang normal. Sayangnya, idealitas yang hendak
dibangun KUHAP tersebut masih menunjukkan
hasil yang tidak memuaskan pada tataran
penerapannya.
“Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan
terdakwa mengakibatkan saksi korban (SW)
trauma dan korban adalah tuna rungu.”
Kesadaran seperti itu pulalah yang
mendorong, menurut pendapat majelis hakim
sendiri, adanya pertimbangan untuk memperberat
hukuman bagi pelaku pemerkosaan. Namun
begitu, pernyataan majelis hakim menjadikan
keadaan korban SW yang seorang tuna rungu
sebagai faktor untuk memperberat hukuman
Baru-baru ini terdapat satu putusan
RR terasa agak ganjil jika dibandingkan dengan
mencerminkan paradoks upaya pemberian
perlakuan hakim kepada SW selama proses
perhatian khusus tersebut. Putusan tersebut
persidangan.
berasal dari Pengadilan Negeri Kendal dengan
Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Singkat cerita,
Permasalahan di sini adalah bagaimana
terdapat seorang perempuan (berinisial SW) mungkin kesadaran akan difabilitas saksi korban
yang telah diperkosa oleh seorang laki-laki tidak mendorong hakim untuk memberikan
(berinisial RR). Korban perkosaan tersebut bantuan penerjemah selama persidangan. Dengan
adalah perempuan yang selama ini dianggap demikian, bisa dikatakan bahwa putusan ini
oleh warga sekitar mengalami gangguan dalam mengandung masalah mengenai komitmen proses
komunikasi. Menurut salah seorang saksi yang peradilan dalam memberikan perhatian khusus
masih berhubungan sebagai bibi bagi korban, kepada difabel. Proses peradilan yang biasa-biasa
korban memang susah diajak bicara akan tetapi saja seperti ini tentunya akan menyulitkan difabel
korban bisa diajak bicara dengan cara melihat memanfaatkan akses keadilan seluas-luasnya.
340 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 340
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:36 PM
Akses keadilan yang dimaksud di sini adalah
aktualisasi hak difabel untuk mendapatkan akses
memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan
2.
yang merupakan hak asasi manusia bagi dirinya.
Ketika difabel diperlakukan seperti orang normal
pada umumnya, maka difabel dipastikan tidak
memiliki kesempatan pemenuhan hak akses yang
sebanding untuk memperoleh keadilan melalu
lembaga peradilan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan
masalah yang diajukan dalam tulisan ini adalah:
1.
Apakah kerugian atas akses keadilan bagi
SW yang diakibatkan proses peradilan
yang tidak mencerminkan konsistensi atas
difabilitas SW?
2.
Apakah perlakuan yang seharusnya
diterapkan bagi difabel dalam menghadapi
proses peradilan?
3.
3.
SW, terutama dalam hal hak akses atas
keadilan.
Menawarkan perlakuan yang harus
diterapkan bagi difabel dalam menjalani
proses peradilan. Tawaran yang diajukan
berangkat dari pertimbangan akan kondisi
difabel yang membutuhkan perhatian
khusus dibandingkan dengan kondisi
orang normal pada umumnya. Perhatian
khusus sangat dibutuhkan difabel agar bisa
menikmati proses peradilan yang fair.
Merumuskan kebutuhan apa yang
seharusnya dilakukan negara dalam
menjamin proses peradilan yang affirmative
bagi difabel. Kebutuhan tersebut meliputi
revisi peraturan hukum dan perbaikan
perspektif penegak hukum. Kasus
persidangan SW hanya sekedar digunakan
sebagai pintu masuk untuk menyodorkan
argumentasi atas urgensi penyelenggaraan
proses affirmative bagi difabel yang
menghadapi hukum.
Apa yang harus dilakukan negara untuk
menjamin proses peradilan affirmative bagi
Sementara itu, kegunaan tulisan ini adalah
difabel?
menjadikan kasus yang menimpa saksi korban
difabel pada Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/
C. Tujuan dan Kegunaan
PN.Kdl untuk memperbaiki proses persidangan
di pengadilan agar lebih membuka akses keadilan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
bagi difabel secara umum. Difabilitas saksi
tulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut:
korban SW yang sebagai tuna rungu sekedar
1. Mendiskripsikan difabilitas SW, kejahatan dijadikan pintu masuk untuk memperbaiki proses
yang menimpa SW, dan proses peradilan persidangan di pengadilan, tidak hanya untuk
yang dialami SW. Selanjutya, penulis difabel tuna rungu tetapi juga berkemungkinan
menganalisis bagaimana anomali pengaruh untuk seluruh jenis difabel. Perlakuan affirmative
status difabel korban SW terhadap proses di sini juga dimaksudkan untuk memberikan
peradilan dan putusan hakimnya. Jalannya penyelenggaraan peradilan yang fair.
proses persidangan dan putusan hakim
dijadikan analisis untuk melihat kerugian
yang dialami oleh korban difabel seperti
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 341
| 341
1/18/2016 12:09:36 PM
D.
Studi Pustaka
Difabel merupakan istilah serapan Indonesia
yang diperoleh dari bahasa Inggris diffable
(people with different abilities). Selain istilah ini,
masyarakat Barat juga terkadang menyebutnya
sebagai disable (tidak mampu). Disable
diterjemahkan sebagai penyandang cacat. Istilah
yang terakhir ini mengkonotasikan penyandang
nama tersebut sebagai seseorang yang gagal
dan tidak berguna dalam kehidupan. Selain itu,
konotasi istilah seperti ini hanya terbatas kepada
orang yang menyandang cacat dari bawaan.
Konotasi difabel menawarkan penilaian
yang lebih bijak, karena menempatkan orang
yang memiliki hambatan sementara maupun
permanen dalam menjalankan keseharian mereka
dalam perspektif luas dan luwes. Setidaknya
mereka tidak dianggap sebagai orang yang tidak
berguna dan menerima stereotipe negatif selama
hidupnya. Penggunaan istilah difabel juga
mengajak kita memahami adanya keberagaman
dan menghargai tingkat kemampuan antara satu
orang dan lainnya.
O’Connel (2012) mempunyai penjabaran
yang menarik mengenai perbedaan antara disability
dengan different abilities. Menurutnya, disability
lebih berkonotasi untuk memarjinalkan seseorang
karena lebih mengarah untuk mempermasalahkan
keterbatasan kondisi fisik. Hal ini tentunya
sangatlah tidak adil. Karena, pada dasarnya setiap
orang akan mempunyai perbedaan kemampuan
dalam mengelola kehidupannya. Oleh sebab itu,
dia lebih menyukai istilah different abilities.
Para aktivis difabel seperti Sasana
Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)
juga mempermasalahkan penyebutan dan
pengkonotasian seperti itu. Syafi’e dan Purwanti
(2014) juga menggarisbawahi pengertian dari
CRPD yang juga masih menekankan kepada
ketidakmampuan karena cacat. Penyandang
disabilitas didefinisikan sebagai mereka yang
memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau
sensorik jangka panjang. Kelemahan ini dapat
Istilah ini lebih membebaskan seseorang
merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat karena keterbatasannya dari stereotipe atau stigma
secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas yang memarjinalkannya dalam berkehidupan
kesetaraan (hal. 4).
dengan lingkungan sosial masyarakatnya. Istilah
seperti inilah yang lebih logis dan faktual dalam
Sementara itu, istilah difabel memberikan
memvisualisasikan kebernyataan kehidupan
perspektif berbeda dan berkonotasi lebih halus
sosial masyarakat, yang antara satu individu
dibandingkan dengan disable. Konotasi istilah
dengan individu lain memiliki kemampuan yang
difabel tidak mempermasalahkan kepada kondisi
berbeda. Kemampuan berbeda tidak sama dengan
kecacatan seseorang, tetapi lebih memperhatikan
ketidakmampuan. Mungkin orang ini mempunyai
kepada kondisi seseorang dengan kemampuannya
keterbatasan dalam bidang satu, tetapi memiliki
yang berbeda. Oleh sebab itu, istilah difabel
kelebihan di bidang lain (hal. 12).
tidak hanya mencakup orang yang mengalami
kecacatan dari bawaan lahir, tetapi juga mencakup
Seorang difabel mempunyai keterbatasan
orang tua lanjut usia (lansia), wanita hamil, anak- untuk tidak melakukan suatu hal, tetapi
anak, lanjut usia, pengguna kursi roda, penderita sebenarnya dia bisa mengerjakan hal yang lain.
cacat fisik karena kecelakaan, dst.
Seorang difabel bukannya tidak bisa berbuat
apa-apa sama sekali. Penamaannya sebagai
342 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 342
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:36 PM
difabel hanya berdasarkan dengan kategori
keterbatasan yang dialaminya. Sekarang, adalah
memang tugas masyarakat Indonesia untuk
pandai-pandai mengolah bahasa yang bijak
dalam mendifinisikan difabel. Masyarakat perlu
diarahkan agar tidak larut untuk menstigmakan
difabel karena ketidakmampuannya. Masyarakat
harus diarahkan agar lebih bijaksana untuk
mengkonotasikan difabel karena kemampuannya
yang berbeda.
Terhadap difabel yang menghadapi
hukum, karena kerentanannya, negara harus
mengupayakan perlakuan affirmative. Dalam
kehidupan demokrasi, Hepple (2014) menyatakan
bahwa affirmative action adalah sebuah skema
konsep yang digunakan untuk memberikan
equality yang dimaksudkan agar orang-orang
yang tidak beruntung/lemah mendapat tambahan
kekuatan yang sama untuk berpartisipasi dalam
masyarakat (hal. 43-44).
Konsep affirmative action juga dapat
ditemukan dalam The Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination
against Women (CEDAW). Dalam penjelasan
Alston dan Goodman (2013), yang dimaksud
dengan affirmative action adalah perlakuan khusus
sementara (temporary special measures). Mereka
menjabarkan dari Pasal 1 bahwa pengertian dari
temporary tersebut, dengan demikian, perlakuan
khusus tidak bisa dilakukan selamanya.
Walapun dikatakan sementara dan tidak bisa
berlaku selamanya, tetapi pelaksanaannya boleh
diterapkan dalam waktu yang lama. Kemudian,
mereka juga menjelaskan bahwa sarana untuk
menjamin pelaksanaan perlakuan tersebut
(measures) adalah melalui legislatif, yudikatif, dan
eksekutif dengan berbagai program kebijakannya
(hal. 205-206).
Dalam kajian ini, penulis ingin
menggarisbawahi
bahwa
penulis
ingin
mengembangkan affirmative action tersebut
tidak hanya berdasarkan semangat yang dibawa
CEDAW. Memang betul CEDAW tersebut
dimaksudkan untuk menghapus eliminasi atas
diksriminasi yang menimpa perempuan, dan
sekaligus yang menjadi fokus dalam tulisan
ini kebetulan juga ketidakadilan yang dialami
perempuan. Akan tetapi, karena perempuan yang
mengalami ketidakadilan di sini tidak sembarang
perempuan (perempuan difabel), maka konsep
affirmative action di sini tidak hanya perlakuan
khusus yang sementara. Perlakuan khusus –yang
dalam praktiknya melahirkan diskriminasi
positif– yang dibutuhkan difabel adalah dalam
waktu selamanya. Ketidakadilan kepada
perempuan normal hanya berkaitan dengan
setting sosial, sementara ketidakadilan yang
menimpa perempuan difabel berkaitan dengan
setting sosial masyarakat sekaligus kondisi
bawaan biologis. Dengan demikian, affirmative
action kepada difabel perempuan dibutuhkan
waktu selamanya.
Wacana untuk menerapkan perlakuan
affirmative action juga semakin menguat dalam
rangka menghapus multiple discrimination.
Mengutip dokumen dari Decision 771/2006/EC
(European Commission) tentang Penetapan the
European Year of Equal Opportunities for All,
Roseberry (2011) menjelaskan bahwa multiple
discrimination mempunyai definisi sebagai
kombinasi diskriminasi atas dasar agama atau
keyakinan, kecacatan, usia, atau jenis kelamin
(hal. 17). Merujuk kepada keadaan fisik SW,
diskriminasi yang terjadi kepada SW bisa
dikategorikan kepada multiple discrimination
karena menyangkut kondisi kecacatan (seorang
tuna rungu) dan jenis kelamin (seorang
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 343
| 343
1/18/2016 12:09:36 PM
perempuan). Dengan kondisi demikian, SW pihak atas dasar kesamaan bagian. Keadilan
sangat membutuhkan affirmative action.
model ini tidak membedakan faktor khusus yang
dimiliki oleh penerima. Prinsipnya adalah segala
Konsep affirmative action ini bisa
sesuatu diberikan sama jumlahnya dan sama rata.
digunakan untuk mengawal pemberlakuan
Berbeda dengan retributif, keadilan distributif
equality before the law (EBL). Maksudnya,
adalah konsep keadilan yang diterapkan dengan
konsep EBL jangan sampai hanya digunakan
pemberian kepada beberapa pihak atas dasar
untuk memberi perlakuan sama kepada semua
proporsionalitas bagian.
orang di hadapan hukum, tetapi konsep EBL
harus digunakan untuk selalu mengupayakan
Penerapan keadilan model ini sangat
setiap orang bisa memperoleh pemenuhan hak memperhatikan faktor khusus yang dimiliki oleh
yang sama agar memiliki kesempatan yang sama penerima (hal. 117-120). Sebagai contoh dalam
dalam mengakses keadilan di hadapan hukum. konsep pekerjaan, pekerja yang menghasilkan
Sadurski (1985) menyatakan bahwa EBL tidak banyak produk akan lebih banyak mendapatkan
hanya dimaksudkan sebagai perlakuan yang imbalan gaji semakin banyak. Sementara itu,
sama kepada subjek hukum (same treatment of pekerja yang menghasilkan sedikit hasil produk
person), tetapi juga perlindungan yang sama atas akan mendapatkan imbalan gaji lebih sedikit.
pemenuhan hak semua subjek hukum (equal Kedua pekerja tersebut bisa jadi menghabiskan
protection to the righst of all) (hal. 78).
waktu yang sama, atau bisa jadi produknya yang
Dalam praktiknya, upaya memberikan
hak kesempatan akses keadilan yang sama
tersebut pasti akan membutuhkan perlakuan
yang khusus bagi kelompok yang lemah. Dalam
kasus kelompok difabel, mereka perlu mendapat
perlakuan affirmative karena mereka adalah
kelompok yang rentan. Tanpa perlakuan seperti
ini, difabel justru tidak mendapat kesempatan
yang sama dibanding orang normal dalam
mengakses keadilan.
Selain landasan konstitusional yang
akan dibahas nanti, perlakuan affirmative juga
didukung dengan konsep keadilan distributif hasil
pengembangan dari Aristoteles. Sebelumnya,
sebagaimana telah diterjemahkan Ostwald
(1962), Aristoteles telah membangun konsep atas
beberapa macam kategori keadilan. Di antaranya
adalah keadilan retributif dan distributif.
Keadilan retributif adalah konsep keadilan yang
diterapkan dengan pemberian kepada beberapa
344 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 344
sedikit justru telah bekerja dalam waktu yang
lebih banyak.
Allingham (2014) telah memodifikasi
konsep keadilan distributif tersebut untuk konsep
keadilan sosial. Selama ini dalam dunia modern,
perlakuan negara terhadap warga negaranya
berdasarkan prinsip meritokrasi. Berdasarkan
prinsip ini, semakin banyak sumbangan yang
diberikan oleh sebuah kelompok warga negara
kepada negaranya, maka pelayanan negara
semakin istimewa. Sebagai contoh, semakin
besar pajak yang diberikan seorang warga negara
kepada negara, semakin terbuka kemungkinan
kemudahan-kemudahan khusus pula dari negara
kepada si warga negara tersebut. Dalam penerapan
keadilan distributif untuk keadilan sosial, logika
tersebut diperluas. Perlakuan istimewa juga tidak
hanya diberikan negara kepada kelompok yang
kontribusinya besar bagi negara. Kelompok
tersebut tentunya adalah kelompok yang secara
sosial adalah golongan yang kuat, mapan,
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:36 PM
terpandang, pengusaha dan sederet kelebihan
sosial, ekonomi, pendidikan dan politik lainnya.
Negara juga harus memberikan perlakuan
khusus kepada kelompok lemah yang dalam
kehidupan sehari-hari pun tidak memberikan
kontribusi material kepada negara dalam jumlah
banyak. Mereka adalah kelompok yang rentan.
Keadaannya yang rentan tersebut memerlukan
perhatian khusus untuk paling tidak mengejar
ketertinggalannya dengan kelompok normal
(hal. 14). Pemberlakuan keadilan distributif
kepada difabel adalah kewajiban negara untuk
memberikan perlakuan affirmative karena
kerentanannya.
Semua data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder dengan hanya
mengambil dari dua bahan hukum sebagaimana
dijelaskan di atas. Bahan hukum pertama adalah
bahan hukum primer yang terdiri dari UUD NRI
1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK),
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK
Revisi), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
II. METODE
tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum),
Penelitian ini menggunakan metode Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
penelitian hukum normatif. Fokus yang dikaji Ratifikasi CRPD (UU CRPD), dan Peraturan
adalah bertumpu pada norma hukum. Dalam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor
hal ini, penulis mengambil pembahasan Putusan 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendampingan
Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Untuk lebih Saksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
detailnya, data yang digali terdiri dari dua bahan
Bahan hukum kedua adalah bahan
hukum. Data dari bahan hukum pertama adalah
mengenai ketentuan perundangan yang sebenarnya hukum sekunder yang terdiri dari buku dan
bisa digali dalam rangka memberikan perhatian artikel berkaitan dengan tema penelitian, yang
khusus kepada difabel dalam penyelenggaraan di antaranya adalah Syafi’ie, Potret Difabel
proses peradilan dan kemudian mengenai dampak Berhadapan dengan Hukum Negara; Kathy
kerugian secara hukum yang diterima oleh saksi O’Connel, Firewalk: Embracing Different
Abilities; Bob Hepple, Democratic Participation
korban SW dalam mengakses keadilan.
in Making and Enforcing Affirmative Action
Data dari bahan hukum kedua adalah Schemes; Aristotle, Nicomachean Ethics; Torts,
mengenai teori tentang bagaimana sebenarnya Egalitarianism and Distributive Justice; Philip
proses peradilan yang mendukung pemberian Alston dan Ryan Goodman, The International
perlakuan khusus kepada difabel dan teori Human Rights; Lynn Roseberry, Multiple
kedudukan perlakuan affirmative dilihat dari Discrimination; dan Michael Allingham, Justice
analisis konstitutif serta filosofis; kemudian as fairness, Distributive Justice.
literatur tentang apa yang seharusnya dilakukan
Teknik pengumpulan data dilaksanakan
negara untuk menjamin proses peradilan
melalui kegiatan dokumentasi. Dalam hal ini,
affirmative bagi difabel.
pertama-tama peneliti mengunduh hasil Putusan
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 345
| 345
1/18/2016 12:09:36 PM
Nomor
33/Pid.B/2013/PN.Kdl.
Kemudian
peneliti mengumpulkan seluruh peraturan hukum
yang relevan dengan perkara. Yang terakhir
adalah peneliti mengumpulkan buku dan artikel
yang relevan digunakan sebagai pisau analisis
atas perkara yang dibahas.
Analisis
data
dilaksanakan
secara
kualitatif. Meminjam prosedur yang ditawarkan
Syamsuddin (2007, hal. 143-146), penulis akan
mengidentifikasi fakta proses persidangan
yang menimpa saksi korban SW dan perspektif
difabilitas dari hakim dalam memperlakukan
saksi korban SW. Selanjutnya, peneliti mengkritisi
perlakuan tersebut dengan berbagai argumentasi
seperti bagaimana perlakuan affirmative yang
seharusnya diterapkan kepada difabel dilihat dari
tinjauan konstitusi dan filosofis. Kemudian yang
terakhir, peneliti menawarkan solusi apa yang
seharusnya dilaksanakan negara untuk menjamin
perlakuan affirmative kepada difabel berhadapan
hukum.
psikososial. Difabel kategori intelektual meliputi
retardasi mental (tuna grahita) dan lamban belajar
(slow learner). Difabel kategori mobilitas meliputi
gangguan anggota tubuh (kaki, tangan, dll) dan
gangguan fungsi tubuh yang penyebabnya antara
lain: akibat cerebral palsy, akibat spina bifida,
akibat spinal cord injury (cedera tulang belakang),
akibat amputasi, akibat paraphlegia, dan akibat
hemiphlegia. Difabel psikososial meliputi
autism, gangguan perilaku dan hiperaktivitas
(ADHD), kleptomani, bipolar, dan penyakit jiwa.
Difabel kategori komunikasi meliputi gangguan
wicara, pendengaran, autis, ADHD, dan tuna
grahita berat. Difabel kategori sensorik meliputi
gangguan pendengaran, penglihatan, dan kusta
(hal. 53-91).
Salah satu di antara kategori difabilitas
yang dibuat oleh ICF tersebut kebetulan sekarang
sedang dialami perempuan korban perkosaan,
bernama SW. Berdasarkan keterangan saksi yang
masih bibi bagi korban, SW memang susah diajak
bicara, akan tetapi korban bisa diajak bicara
dengan cara melihat mulut orang yang diajak
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
bicara dan menjawabnya dengan bahasa isyarat.
A. Tantangan Akses Keadilan Bagi Difabel Dalam hal ini, korban SW bisa dikategorikan
di Muka Persidangan
sebagai difabel tuna rungu. Oleh sebab itu, adalah
1. Difable SW Menghadapi Proses sebuah kebenaran pula apabila majelis hakim
menyimpulkan SW sebagai seorang tuna rungu.
Peradilan
a.
Difabilitas SW
Sebelum melakukan pembahasan lebih
lanjut, terlebih dahulu penulis perlu menjelaskan
mengenai status difabilitas saksi korban SW.
Sebagaimana dikutip Syafi’ie et al. (2014),
International Classification of Functioning
Health and Disability (ICF) telah membuat
klasifikasi mengenai difabilitas sebagai berikut:
kategori intelektual, kategori mobilitas, kategori
komunikasi, kategori sensorik, dan kategori
346 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 346
b.
Proses Peradilan SW
1.
Duduk Perkara
Peristiwa perkosaan yang dialami SW,
seorang perempuan difabel, terjadi pada tanggal
4 Desember 2013. Pelakunya adalah seorang pria
berinisial RR. SW sebenarnya tidak mempunyai
hubungan khusus karena baru mengenal RR
seminggu dari kejadian. Keseharian SW adalah
sebagai pekerja di sebuah salon milik tetangga
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:36 PM
berinisial IL. Untuk melancarkan aksinya, RR
melakukan tipuan dengan mengirimkan sebuah
sms kepada SW sekira pukul 10.00 WIB. Isi
pesan sms tersebut adalah ajakan dari RR kepada
SW untuk berjalan-jalan. Sebenarnya SW tidak
langsung membalas sms tersebut, tetapi RR terus
mengirimi sms untuk meyakinkan SW. Sampai
akhirnya, sms berikutnya dari RR berhasil
meluluhkan hati SW dan SW bersedia menemui
RR di suatu tempat pada pukul 13.30 WIB.
Setelah bertemu di tempat yang ditentukan,
RR menyuruh SW naik ke atas motor jenis
bebek. Satu motor tersebut ditumpangi oleh tiga
orang, yakni IV (yang merupakan teman RR)
berada di depan untuk mengemudikan motor,
RR duduk di tengah dan SW mengambil duduk
di bagian paling belakang. Mereka bertiga
langsung menuju tempat yang dijanjikan oleh
RR sebagai tempat keramaian untuk jalan-jalan.
Untuk melancarkan aksinya, IV dan RR sepakat
berhenti di satu rumah kosong (semacam gubuk).
Awalnya SW merasa ragu dan takut menuruti RR
untuk memasuki rumah tersebut. Tetapi karena
RR terus memaksa dan membohongi bahwa
itu adalah rumah orang bahkan RR melakukan
kekerasan dengan mendorong punggungnya,
akhirnya SW menuruti untuk memasuki rumah
itu juga.
Seperti yang telah direncanakan, RR
menyuruh IV untuk menunggu di luar. Yang di
dalam rumah hanyalah RR dan SW. Setelah dirasa
sebagai waktu yang tepat, RR menutup pintu
dan menguncinya dengan kayu yang diputar.
Perbuatan RR yang ganjil tersebut mendorong
keinginan SW untuk segera ingin keluar. Tidak
mau kehilangan kesempatan, RR menghadang
dan menangkap tangan SW. Tangkapan sempat
terlepas sehingga terjadi aksi kejar-kejaran di
dalam rumah. Karena kalah cepat, RR berhasil
menangkap SW untuk kesekian kalinya. Mendapati
targetnya, kemudian RR menggelandang SW ke
dalam kamar dan merebahkannya ke atas dipan.
Untuk lebih memastikan keamanan, sama seperti
yang dilakukannya pada pintu rumah depan, RR
juga mengunci pintu kamar dengan kayu yang
diputar.
Berbagai perlawanan diupayakan SW untuk
menyelamatkan diri dari kebuasan RR. Namun,
ikhtiar penyelamatan kehormatan dengan upaya
sekuat tenaga tersebut masih terlalu lemah
dibandingkan dengan sikap agresif RR. Untuk
mempercepat aksinya, RR melakukan sejumlah
kekerasan; diawali dengan mendorong tubuh
SW beberapa kali hingga tersungkur di atas
dipan, melepas pakaian bawah SW secara paksa,
memegangi kedua tangan SW, dan menggunakan
kedua kakinya untuk merenggangkan kedua
paha SW secara paksa. Pada akhirnya, setelah
SW tidak berdaya, RR memperkosa SW selama
kurang lebih dua menit.
Tindakan yang dilakukan oleh RR kepada
SW tersebut masuk kategori tindakan pidana
pelecehan seksual, sebagaimana diatur dalam
Pasal 285 KUHP. Tindakan yang dilakukan
RR masuk kategori memaksa seorang wanita
bersetubuh di luar perkawinan. Sedangkan,
cara yang ditempuh RR untuk memperkosa SW
termasuk kategori kekerasan. Pasal 285 KUHP
mengancam pelakunya dengan tuntutan hukuman
maksimal selama 12 tahun penjara.
2.
Proses Persidangan
Selama persidangan tersebut, jaksa penuntut
umum (JPU) mengajukan lima orang saksi,
termasuk saksi korban. Mereka adalah SW Binti
S (saksi korban), C Binti HS (bulik/tante dari
korban), M Bin N (tetangga saksi korban), R Bin
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 347
| 347
1/18/2016 12:09:36 PM
M (tetangga korban), dan IL Binti MM (majikan
korban). Kedudukan SW yang menjadi korban dan
sekaligus saksi ini diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan
angka 1 UU PSK yang menjelaskan bahwa korban
adalah orang perseorangan atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/
atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana; sedangkan saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
perkara tindak pidana yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri, dan alami sendiri.
Melalui tuntutannya No. Reg. Perk. PDM20/KNDAL/Ep.p.2/02/2013 tertanggal 28 Maret
2013, JPU menuntut RR telah bersalah melakukan
tindak pidana Pasal 285 KUHP. Sayangnya
jauh atau selisih separuh dari jumlah tuntutan
hukuman penjara yang disediakan undangundang, JPU hanya menuntut hakim untuk
menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun
dikurangi masa penahanan. Selama persidangan,
JPU menunjukkan barang bukti berupa kaos,
celana jeans, celana dalam, BH, dan HP yang
dibawa SW pada saat kejadian. Selain itu, JPU
juga memperkuat dengan visum et repertum dari
UPTD Puskesmas Sukorejo 01 Kendal Nomor
445.465.200801 dengan ditandatangani dr. ICB.
Visum tersebut menyatakan adanya luka memar
pada lengan atas kanan saksi korban SW, serta
membenarkan adanya luka pada vagina SW
yang dibuktikan dengan keadaan dinding liang
senggama mengeluarkan darah segar.
Berdasarkan barang bukti dan segala
keterangan dari saksi, hakim memutuskan
untuk menjatuhkan pidana kepada RR selama
lima tahun dikurangi masa penahanan. Dalam
analisis hakim, RR telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana perkosaan
348 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 348
sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan
primair Pasal 285 KUHP. Selain itu, hakim
juga menilai bahwa tidak ditemukan adanya
alasan pembenar maupun alasan pemaaf tentang
kesalahan RR. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya
RR mempertanggungjawabkan atas perbuatan
yang dilakukannya.
Dalam hal ini, ada sesuatu yang menarik
dari pertimbangan hakim dalam konteks analisis
upaya perlakuan affirmative bagi difabel. Hakim
menyatakan bahwa hal yang memperberat
sebagai pertimbangan bagi hukuman adalah
perbuatan RR telah mengakibatkan saksi korban
SW trauma dan korban adalah tuna rungu.
Berdasarkan salinan Putusan Nomor 33/
Pid.B/2013/PN.Kdl, hakim menyatakan:
“Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan
terdakwa mengakibatkan saksi korban (SW)
trauma dan korban adalah tuna rungu” (hal.
25).
Sayangnya, pertimbangan ini tidak
memancing inisiatif hakim untuk menyediakan
semacam penerjemah bagi saksi korban
SW. Bahkan dinyatakan tegas dalam risalah
persidangan bahwa seluruh saksi termasuk saksi
korban memberikan kesaksian sendiri-sendiri
selama proses persidangan.
Proses seperti ini menunjukkan keganjilan
dalam upaya pemberian perlakuan affirmative
bagi difabel. Bagaimana mungkin di satu sisi
hakim mengakui bahwa saksi korban SW adalah
seorang tuna rungu, tetapi di sisi lain tidak ada
inisiatif untuk memberikan bantuan penerjemah.
Salinan Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl
sama sekali tidak menyebutkan bahwa SW
ditemani oleh penerjemah –baik selama proses
pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan maupun
dalam persidangan di pengadilan. Persidangan
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:36 PM
tersebut tidak melaksanakan amanat Pasal 178
ayat (1) KUHAP yang menyatakan:
Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli
serta tidak dapat menulis, hakim ketua
sidang mengangkat sebagai penerjemah
orang yang pandai bergaul dengan terdakwa
atau saksi itu.
Perlakuan proses peradilan tersebut pasti
akan menyulitkan kondisi SW. Sebagaimana
keterangan saksi II C, yang juga merupakan bibi
korban, SW susah diajak bicara. Berdasarkan
salinan, bibi korban menyatakan:
SW. Dalam hal ini, hakim telah mengabaikan
Pasal 178 ayat (1) KUHAP; tidak mengangkat
saksi lain (yang pandai bergaul dengan SW)
sebagai penerjemah begitupula sama sekali
tidak mengangkat penerjemah. Hakim juga telah
mengabaikan amanat UU PSK Revisi dan UU
PSK. Sebelumnya, Pasal 5 ayat (1) huruf d UU
PSK menyatakan bahwa kaum difabel hanya
memperoleh perlindungan berupa penerjemah.
Ketentuan yang terbaru, Pasal 5 ayat (1) huruf p
UU PSK Revisi menyatakan bahwa kaum difabel
mendapat tambahan perlindungan hukum untuk
mendapatkan pendampingan.
“Bahwa korban memang susah diajak
bicara akan tetapi korban bisa diajak bicara
dengan cara memihat mulut orang yang
Tidak
hanya
hakim
yang
perlu
diajak bicara dan korban menjawab dengan dipermasalahkan di sini, Lembaga Perlindungan
bahasa isyarat…… korban kondisinya
mengalami keterbelakangan mental yaitu Saksi dan Korban (LPSK) juga patut dipertanyakan
susah diajak berbicara atau komunikasi di sini. Seandainya LPSK bisa turun tangan,
karena pendengarannya kurang” (hal. 13).
tentu tidak perlu kaum difabel dikhawatirkan
Berdasarkan keterangan saksi tersebut, ketika menghadapi hukum. Keyakinan seperti
dengan demikian, perlakuan khusus yang ini mengingat tugas pendampingan sangatlah
dibutuhkan SW tidak hanya bantuan pendengaran menjamin keberadaan difabel. Sebagaimana
tetapi juga bantuan komunikasi berbicara. diatur dalam Peraturan Lembaga Perlindungan
Perlakuan yang terjadi di persidangan tersebut Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2012 tentang
tentunya sangat dan jelas bertentangan dengan Tata Cara Pendampingan Saksi Lembaga
Pasal 13 ayat (1) UU CRPD, yang menyatakan Perlindungan Saksi dan Korban (PLPSK tentang
bahwa negara pihak wajib menjamin secara TCPSK LPSK), bahwa tugas pendampingan tidak
efektif akses penyandang disabilitas pada keadilan hanya berkaitan dengan materi inti hukum tetapi
didasarkan atas kesamaan dengan yang lain dalam juga di luar hukum. Pasal 9 ayat (1) PLPSK tentang
rangka memfasilitasi peran efektif penyandang TCPSK LPSK menyatakan bahwa pendamping
disabilitas sebagai partisipan langsung maupun dalam melaksanakan tugas pendampingan wajib
tidak langsung, termasuk sebagai saksi dalam mempelajari: kepribadian saksi; kondisi fisik dan
semua persidangan. Salah satu bentuk jaminan psikologis saksi; rekam jejak saksi; kompetensi
yang harus dipenuhi dalam kasus ini adalah dan kemampuan saksi; dan potensi ancaman dan
resiko saksi.
menyediakan penerjemah.
2.
Kerugian SW Atas Akses Keadilan
Hakim tidak memberikan perlakuan khusus
kepada perempuan difabel korban perkosaaan
Selanjutnya Pasal 9 ayat (2) PLPSK
tentang TCPSK LPSK menambahi kewajiban
pendamping adalah memahami ketentuan
mengenai hukum materil saksi, hukum formil
saksi, kualifikasi kejahatan saksi, hubungan sebab
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 349
| 349
1/18/2016 12:09:36 PM
akibat, hubungan saksi dengan alat-alat bukti
lainnya, alat-alat bukti yang dimiliki oleh saksi,
agenda proses hukum saksi, konstruksi hukum/
peristiwa hukum yang dialami, dan kedudukan
hukum saksi.
Belum lagi kalau ternyata setelah pemerkosaan
tersebut, SW bakal mengalami kehamilan.
Hal ini tentunya semakin menambah beban
material. Berdasarkan salinan Putusan Nomor
33/Pid.B/2013/PN.Kdl, sama sekali tidak ada
gugatan kepada RR atas kerugian SW karena
Sayangnya semua idealitas di atas tidak
peristiwa tersebut.
berlaku pada persidangan SW. Ketiadaan
pendamping benar-benar telah merugikan saksi
Padahal sebenarnyanya tugas penerjemah
korban SW mengenai pemberlakuan hukum bisa dimaksimalkan tidak hanya sekedar sebagai
formil saksi. Kerugian yang dialami saksi korban penerjemah tetapi bisa diposisikan juga sebagai
dengan ketiadaan penerjemah dan pendamping pendamping. Ketika penerjemah yang ditunjuk
sangat tampak dengan fakta bahwa SW tidak bisa adalah mereka yang profesional dan terbiasa
maksimal memanfaatkan jaminan keuntungan dengan tugas-tugas hukum semacam ini, jam
formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP. terbang tersebut tentunya akan lebih memberikan
Pasal ini menyatakan bahwa dalam kapasitasnya keuntungan bagi difabel yang sedang didampingi.
sebagai saksi korban, yaitu seorang korban Paling tidak si penerjemah profesional tersebut
dari suatu tindak pidana yang juga melakukan bisa mengawal pemanfaatan hukum formil.
kesaksian, seorang saksi berhak meminta ganti Dalam kasus ini, dampak kerugian pemanfaatan
kerugian. Namun, ganti kerugian itu hanya dapat hukum formil yang paling kelihatan dari ketiadaan
diminta apabila saksi yang sekaligus menjadi pendamping dan penerjemah profesional adalah
korban itu menggabungkan gugatan ganti kerugian saksi korban SW tidak mengajukan penggantian
kepada perkara pidana yang bersangkutan.
biaya yang telah dikeluarkan selama menjalani
Pasal 98 Ayat (1) KUHAP menyatakan:
Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar
dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain,
maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti
kerugian kepada perkara pidana itu.
Sebagai seorang korban dari perkosaan,
selain kerugian psikis, SW juga menderita
kerugian material. Kerugian ekonomi yang
paling kelihatan bisa dihitung saja seperti
biaya visum sekaligus pengobatan, kemudian
kehilangan pendapatan dari pekerjaan selama
proses persidangan dan proses hukum, dan biaya
transportasi keseluruhan proses (mulai polisi,
kejaksaan sampai kepada proses pengadilan).
350 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 350
semua tingkat pemeriksaan (Pasal 98 ayat (1)
KUHAP).
Ketiadaan pendamping secara otomatis
semakin menyebabkan ketidaktahuan pihak saksi
korban untuk mencari mekanisme gugatan atas
kerugian tersebut. Sementara di sisi lain, para
penegak hukum (baik jaksa maupun hakim) yang
lebih mengerti hukum, tidak bersikap affirmative
untuk memberikan pengetahuan mengenai
mekanisme yang demikian kepada pihak saksi
korban SW.
Kerugian lain adalah tidak sebandingnya
hukuman dengan penderitaan yang dialami
korban SW. Kehadiran penerjemah tentunya
akan membantu SW menyampaikan derita
psikisnya secara utuh kepada hakim. Melihat
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:36 PM
dari penuturan beberapa saksi, saksi korban SW
mengalami depresi berat dan trauma yang hebat.
Saksi C dan IL menyatakan bahwa SW merasa
ketakutan dan trauma setelah peristiwa perkosaan
tersebut. Akibatnya, SW tidak berani tinggal di
rumahnya sendiri. Oleh sebab itu setelah kejadian,
SW tinggal di rumah saksi IL dan selalu minta
tidur dengan saksi karena takut. Keterangan
orang terdekat seperti ini menandakan begitu
mendalamnya depresi yang dialami korban.
Tanpa hadirnya penerjemah, penderitaan psikis
terbatas disampaikan dengan bahasa yang hanya
bisa secara utuh dipahami yang mengalami.
Oleh sebab itu, JPU dan hakim
kemungkinan kesulitan menyelami perasaan
depresi yang mendalam tersebut. Bisa jadi
perasaan memilukan yang dipendam saksi korban
tereduksi karena disampaikan melalui bahasa
yang tidak sama dengan bahasa jaksa dan hakim.
Hal ini mempengaruhi tuntutan dan hukuman
yang dijatuhkan kepada RR sebagai terpidana
masih setengah lebih ringan dibandingkan dengan
hukuman yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.
Pasal 285 KUHP menyatakan:
Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar
perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
Dalam kasus ini, JPU menuntut enam tahun
penjaran. Sementara, hakim hanya menghukum
lima tahun penjara. Inilah yang penulis sebut
sebagai kerugian difabel atas hak akses keadilan.
Sesuai dengan teori, akses atas keadilan
didefiniskan sebagai kesempatan atau kemampuan
setiap warga negara tanpa membedakan latar
belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan,
atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan
melalui lembaga peradilan (Djohansjah, 2010,
hal. 1).
Dalam papernya, Djohansjah juga
menyoroti ketiadaan bantuan hukum menjadi
awal kerentenan seseorang mengalami kerugian
akses atas keadilan. Apa yang disoroti Djohansjah
tersebut menjadi kenyataan bagi SW. Tanpa
adanya penerjemah bahkan pendamping, SW
tidak bisa memanfaatkan lembaga peradilan untuk
mendapatkan ganti kerugian atas materi yang
dikeluarkan selama persidangan. Justru SW harus
mengeluarkan banyak materi untuk persidangan.
Begitupula, SW tidak bisa memaksakan peradilan
sebagai sarana untuk benar-benar mengobati
tekanan psikis akibat perkosaan tersebut. SW
mungkin hanya bisa pasrah dan harus puas dengan
hukuman lima tahun penjara bagi pelaku yang
merenggut kehormatannya, sementara SW harus
memendam tekanan batin karena kehormatannya
dirampas selama bertahun-tahun atau bahkan
seumur hidup. Lima tahun penjara tersebut masih
jauh sebagai sarana untuk benar-benar mengobati
tekanan psikis akibat perkosaan tersebut. Tentu
bisa saja SW belum terasa adil jika dibandingkan
dengan tekanan batin yang akan dialami selama
bertahun-tahun. Secara normatif, angka tersebut
juga tidak sebanding dengan hukuman dua
belas tahun penjara yang sebenarnya disediakan
KUHP.
B.
Perlakuan Affirmative Action
1.
Proses Peradilan Affirmative
Perlakuan khusus yang bisa diberikan
kepada difabel adalah melalui proses peradilan
affirmative. Penulis sengaja memilih istilah
affirmative dengan hipotesis bahwa tidak
mungkin memberikan peradilan yang fair bagi
difabel sebelum adanya proses yang affirmative,
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 351
| 351
1/18/2016 12:09:37 PM
begitupula tidak mungkin memberikan proses
hukum yang fair (mulai pemeriksaan di kepolisian
sampai kejaksanaan) sebelum adanya perlakuan
affirmative. Gerapetritis (2015) menyatakan
bahwa affirmative sebenarnya bukanlah istilah
yang baru berkaitan dengan EBL. Konsep ini
juga tidak dalam rangka menyerang EBL. Justru
konsep ini sering dipakai untuk mengawal
pelaksanaan EBL dalam arti yang sesungguhnya
(hal. 21). Arti yang sesungguhnya di sini dapat
diartikan sebagai equality yang tidak semata-mata
memberi perlakuan dengan semangat sameness,
tetapi beranjak menuju semangat fairness.
Sementara itu, definisi diskriminasi itu sendiri
adalah memberi perlakuan yang menimbulkan
ketidakadilan, baik perlakuan tersebut disengaja
(dalam bentuk tindakan) maupun tidak disengaja
(dalam bentuk pembiaran). Diskriminasi juga
mencakup sebuah tindakan biasa (dianggap telah
fair) tetapi justru menimbulkan implikasi yang
diskriminatif karena adanya kebutuhan khusus
yang tidak diakomodasi, seperti faktor agama,
disability, umur, status pernikahan. (Sales, Powell,
& Duizend, 1982, hal. 173). Dalam konteks kasus
yang dialami SW sebagai perempuan difabel
korban perkosaan, diskriminasi yang dialami
bahkan bisa dikategorikan sebagai multiple
discrimination. Istilah ini merujuk kepada
kombinasi diskriminasi atas dasar agama atau
keyakinan, kecacatan, usia, atau jenis kelamin
(Roseberry, 2011, hal. 17).
sebagai penerjemah tetapi juga bahkan sebagai
pendamping. Ketiadaan pendamping sama saja
dengan melakukan multiple discrimination atas
faktor kecacatan (tuna rungu) sekaligus jenis
kelamin (perempuan).
2.
Landasan Pemberlakuan
Berikut ini adalah rasionalisasi landasan
perlakuan affirmative.
a.
Landasan Yuridis
Landasan awal permberlakuan affirmative
kepada difabel berperkara di hadapan hukum
telah mendapatkan dasarnya melalui Pasal 178
ayat (1) KUHAP, Pasal 5 ayat (1) huruf d UU
PSK, dan Pasal 5 ayat (1) huruf p UU PSK Revisi.
Selain itu landasannya juga bisa ditemukan
dari konstitusi. Dalam mendukung perlakuan
affirmative bagi difabel, penegak hukum bisa
menggunakan konsep Equality Before the Law
(EBL) yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI 1945 yang menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.
Pasal ini menandakan bahwa EBL bagi
seluruh warga negara Indonesia dijamin secara
konstitutif. Akan tetapi, EBL dalam pasal ini tidak
bisa dimaknai tekstual sebagai “perlakuan yang
sama di hadapan hukum” sebagaimana bunyi
Dalam hal ini, saksi korban SW sebagai tekstualnya. Bahwasanya maksud perlakuan
seorang difabel mempunyai hak untuk sama tersebut bukan berarti negara menyamakan
diperlakukan affirmative. Apabila perlakuan difabel seperti orang normal pada umumnya.
kepadanya disamakan dengan perlakuan kepada Perlakuan sama tersebut menuntut negara harus
orang normal, penyamaan tersebut sama saja tidak mengupayakan segala sesuatu agar apa yang
mengakomodasi kebutuhan khusus yang terdapat diterima oleh difabel sama dengan atau setara
pada diri SW karena difabilitasnya. Kebutuhan dengan orang normal pada umumnya. Ketentuan
khusus bagi SW tersebut adalah tidak hanya tersebut harus diartikan sebagai pemenuhan hak
352 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 352
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:37 PM
yang sama. Untuk mendapatkan hak yang sama
partisipan langsung maupun tidak langsung,
termasuk sebagai saksi, dalam semua
tidak cukup diberikan perlakuan yang sama.
persidangan, termasuk dalam penyiclikan
Mengingat kondisi difabel memiliki keterbatasan
dan tahap-tahap awal lainnya.
dalam hal fisik, negara harus mengupayakan hal
Ketentuan di atas menggarisbawahi
yang lebih agar keterbatasan yang dialami difabel
tidak menghalanginya untuk mendapatkan bahwa negara wajib menjamin efektivitas akses
pemenuhan hak yang sama dibanding dengan penyandang difabel atas keadilan. Dengan
demikian, pemberian perlakuan affirmative bagi
orang normal pada umumnya.
difabel adalah sebuah kewajiban konstitusional.
Dalam kasus Putusan Nomor 33/ Ketentuan CRPD di atas merupakan representasi
Pid.B/2013/PN.Kdl, apabila majelis hakim dari tujuan prinsipal yang dimiliki oleh hukum
mengabaikan untuk memberi perhatian lebih HAM Internasional untuk melaksanakan tindakan
kepada SW dengan alasan menyamakan SW positif dalam rangka melaksanakan kepada
dengan saksi-saksi lainnya, hal ini tentu akan equality (Clifford, 2013, hal. 443), yakni negara
menghalanginya untuk mendapatkan pemenuhan harus melakukan sesuatu agar difabel memiliki
hak yang sama dalam menyampaikan kesaksian kesempatan akses keadilan yang setara dengan
sejelas-jelasnya. Untuk menerapkan EBL bagi orang normal; bukannya negara tidak melakukan
difabel, negara (dalam hal ini termasuk hakim) sesuatu sehingga difabel tidak memiliki
harus melakukan sesuatu yang lebih (comission). kesempatan akses keadilan yang setara.
Negara bukan berdiam diri membiarkan suatu
Kesamaan semangat antara produk
proses hukum bagi difabel berjalan normalinternasional (CRPD) dan landasan konstitusional
normal saja (omission).
(UUD NRI 1945) tersebut seharusnya
Penerapan EBL dalam Pasal 28D ayat menyadarkan aparat penegak hukum untuk
(1) UUD NRI 1945 harus didasarkan kepada menerapkan perlakuan affirmative bagi difabel.
semangat pada pemenuhan hak sama yang juga Dalam konteks Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/
sesuai dengan amanat UU CRPD sebagai hasil PN.Kdl, sebagai kasus khusus, kewajiban negara
ratifikasi CRPD. UU CRPD telah memperjelas seharusnya ditunjukkan dengan inisiatif hakim
konsekuensi apakah yang harus dipikul negara untuk memberikan penerjemah bagi saksi korban
dengan pengakuan atas penyandang disabilitas SW dalam rangka menyelenggarakan peradilan
untuk memiliki kapasitas hukum atas dasar yang fair; begitupula seharusnya didahului
kesetaraan dengan orang lain dalam semua dengan inisiatif kepolisian sampai kejaksanaan
aspek kehidupan. Pasal 13 ayat (1) UU CRPD untuk menyediakan pula seorang penerjemah
menyatakan:
untuk menjamin suatu proses hukum yang fair.
Selebihnya, sebagai cakupan umum, negara
Negara-negara pihak wajib menjamin
secara efektif akses penyandang disabilitas juga harus menjamin perlakuan affirmative baik
pada keadilan didasarkan atas kesamaan selama proses persidangan maupun keseluruhan
dengan yang lain, termasuk melalui
pengakomodasian
pengaturan
yang proses hukum bagi difabel dari kategori apapun.
berkaitan dengan prosedur dan kesesuaian Semua upaya ini adalah dalam rangka mendorong
usia, dalam rangka memfasilitasi peran pemenuhan hak aksesibilitas atas keadilan yang
efektif penyandang disabilitas sebagai
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 353
| 353
1/18/2016 12:09:37 PM
setara dengan kesempatan orang normal pada
umumnya.
b.
Landasan Filosofis
Penerapan perlakuan affirmative bagi
difabel adalah realisasi dari pelaksanaan konsep
keadilan distributif yang diterapkan dengan
semangat keadilan sosial. Perhatian khusus tidak
hanya perlu diberikan negara kepada kelompok
warga negara yang banyak menyumbang materi
kepada negara. Negara juga harus memberikan
perhatian khusus kepada kelompok lemah.
Meskipun dalam kehidupan sehari-hari,
kelompok lemah tersebut tidak memberikan
kontribusi material kepada negara dalam jumlah
banyak. Mereka adalah kelompok yang rentan
seperti kaum difabel. Kerentanan tersebut justru
memerlukan perhatian khusus agar mereka bisa
mengejar ketertinggalannya dengan kelompok
normal.
Dalam kasus Putusan Nomor 33/
Pid.B/2013/PN.Kdl, keadaan SW mempunyai dua
sisi kerentanan. Satu sisi, SW adalah kelompok
difabel karena seorang tuna rungu. Sisi lain,
SW adalah kelompok lemah karena berada pada
pada golongan ekonomi bawah. Indikasi posisi
ekonomi lemah tersebut dapat dibaca dalam
kesehariannya dan gambaran peristiwa kejadian
perkosaan. Sehari-harinya, SW hanyalah tukang
jaga di salon milik saksi IL yang masih tetangga
saksi korban. Selanjutnya, untuk menuju tempat
pemerkosaan, SW diboncengkan motor orang lain.
Selama persaksian di persidangan, tidak ada upaya
SW untuk mencoba mengambil motor sendiri.
Padahal ajakan RR (pelaku perkosaan) kepada
SW adalah untuk jalan-jalan. Biasanya seorang
yang sedang menuju pacaran akan lebih menjaga
gengsi dengan menampilkan kepemilikannya.
354 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 354
Kondisi seperti ini menunjukkan SW adalah
kelompok orang yang tidak berpunya.
Oleh sebab itu, sudah bisa memenuhi
panggilan sidang beberapa kali ke pengadilan serta
ditambah dengan kesediaan memenuhi panggilan
pemeriksaan di kepolisian merupakan prestasi
yang harus diapresiasi secara ekonomi. Keadaan
seperti inilah yang seharusnya mendorong
kesadaran penegak hukum untuk menyediakan
paling tidak penerjemah yang gratis. Di sisi
lain, lembaga pemerintah di daerah harus peka
melihat kejadian seperti ini untuk memastikan
SW mendapat penerjemah tanpa harus merogoh
uang saku sendiri.
Oleh sebab itu dalam rangka memberikan
perlakuan affirmative, secara landasan filosofis,
konsep keadilan distributif di sini bisa dipakai
dalam makna memberikan perlakuan tidak
semata-mata karena proporsionalitas bagian
(imbalan pelayanan negara sesuai kontribusi
si warga negara) tetapi juga perlu diperluas
sebagai proporsionalitas kebutuhan (perhatian
lebih negara karena keterbatasan warga negara).
Dengan demikian, negara harus selalu ada dan
bisa memenuhi perlakuan affirmative bagi difabel
selama proses peradilan maupun keseluruhan
proses hukum, baik si difabel bisa membayar
maupun tidak bisa membayar.
c.
Menuju Jaminan Perlakuan Affirmative
Bagi Difabel
Selain penerjemah, baik sebagai korban
pemerkosaan maupun sebagai korban tindak
pidana lain ataupun bahkan sebagai pelaku
tindak pidana, difabel yang menghadapi hukum
membutuhkan perlakuan affirmative sebagai
berikut: assessment, pendamping, lingkungan
peradilan yang aksesibel, pemeriksaan yang lebih
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:37 PM
fleksibel, kapasitas aparat penegak hukum yang ayat (1) dan (2) tersebut masih memiliki masalah
mengerti dan memahami difabel, dan bantuan dengan beberapa hal. Pertama adalah ketentuan
hukum.
redaksional. Kedua adalah keterbatasan cakupan
kategori kelompok difabel yang mendapat
Upaya memastikan jaminan perlakuan
perlakuan affirmative. Ketiga adalah ketentuan
affirmative bagi difabel dalam proses peradilan
ini tidak sinkron dengan ketentuan lainnya.
membutuhkan pekerjaan yang berat. Di
antara upaya yang perlu dilaksanakan adalah
Ketentuan redaksional dalam Pasal 178
perbaikan peraturan terkait dan penguatan ayat (1) KUHAP masih meninggalkan beberapa
perspektif difabilitas bagi penegak hukum. permasalahan, yakni: rendahnya klasifikasi
Dalam proses peradilan, terdapat beberapa penerjemah, kekuatan memaksa ketersediaan
peraturan perundangan yang bersentuhan dengan penerjemah, dan sikap negara yang setengah
keberadaan difable, yakni UU Bantuan Hukum, hati untuk menyediakan penerjemah. Pasal 178
UU PSK-PSK Revisi dan KUHAP.
ayat (1) masih menyimpan potensi masalah
3.
Revisi Peraturan
karena redaksionalnya hanya mengatur bahwa
hakim mengangkat orang yang pandai bergaul
sebagai penerjemah. Definisi orang yang pandai
bergaul tersebut bisa membuka pintu rendahnya
klasifikasi penerjemah. Bisa saja nantinya
penegak hukum mengklaim telah menyediakan
penerjemah karena telah menyertakan orang yang
sehari-hari terbiasa bergaul dengan difabel yang
bersangkutan.
Upaya negara memberi perlakuan
affirmative bagi difabel sebenarnya sudah
semakin menguat dengan kedatangan undangundang baru seperti UU Bantuan Hukum dan UU
PSK Revisi. Sekarang, yang perlu direvisi adalah
pada ketentuan acara hukum pidana. Pintu masuk
perbaikan pada KUHAP bisa diawali dari Pasal
Selanjutnya, kekuatan memaksa atas
178 KUHAP. Sebenarnya sudah terdapat pasal
yang mengatur apa yang seharusnya dilakukan ketersediaan penerjemah sebagai amanat Pasal
oleh penegak hukum apabila korban atau terdakwa 178 ayat (1) KUHAP juga patut dipertanyakan.
Ketentuan ini tidak mempertegas penyediaan
adalah seorang difabel.
penerjemah sebagai suatu kewajiban. Ketentuan
Pasal 178 ayat (1) KUHAP menyatakan redaksional dalam aturan KUHAP ini harus
bahwa hakim ketua sidang mengangkat orang direvisi. Secara bahasa, klausul wajib akan lebih
yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi memberikan kepastian. Kemudian, Pasal 178
itu sebagai penerjemah jika terdakwa atau saksi ayat (2) KUHAP di sini masih menunjukkan
bisu dan atau tuli tidak dapat menulis. Selanjutnya sikap setengah hati negara untuk memberikan
Pasal 178 ayat (2) KUHAP juga menyatakan perlakuan affirmative.
bahwa hakim ketua sidang menyampaikan
Pasal 178 ayat (2) justru bisa saja digunakan
semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara
tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut untuk melepaskan tanggung jawab negara untuk
diperintahkan untuk menulis jawabannya apabila memberikan perlakuan affirmative bagi difabel.
jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa apabila
dapat menulis. Sayangnya, ketentuan Pasal 178 saksi korban atau terdakwa difabel bisa menulis,
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 355
| 355
1/18/2016 12:09:37 PM
negara tidak perlu memberikan penerjemah.
Padahal, bagaimanapun juga suatu proses hukum
tidak semata-mata mengandalkan aspek logis,
tetapi juga harus selalu harus mempertimbangkan
aspek perasaan. Suatu perasaan penderitaan
seorang korban atau penyesalan seorang terdakwa
akan lebih bisa dirasakan penegak hukum jika
tidak hanya disampaikan melalui sarana tulisan,
tetapi juga sarana ucapan. Untuk memudahkan
ungkapan kata-kata tersebut, mau tidak mau
negara wajib menyediakan seorang penerjemah.
Permasalahan yang kedua adalah cakupan
penegak hukum dan kategori difabel. Cakupan
penegak hukum yang harus memberikan
perlakuan affirmative dalam amanat Pasal 178
ayat (1) KUHAP tersebut juga harus mendapat
perhatian serius. Langkah affirmative yang
hanya dibebankan kepada hakim selama
proses persidangan menandakan hukum hanya
menyelesaikan persoalan di tingkat hilir saja.
Pasal ini bisa menjadi legitimasi keabsahan
bagaimana proses hulu pelaporan di kepolisian
tidak perlu adanya penerjemah. Padahal, baik
pada tingkat persidangan maupun pelaporan,
peran penerjemah sama-sama pentingnya. Bahkan
peran penerjemah pada tingkat hulu bisa dikatakan
lebih penting karena akan mempengaruhi kualitas
tuntutan di tingkat kejaksaan.
Permasalahan yang ketiga adalah penerapan
Pasal 178 ayat (1) KUHAP demikian bisa
terganjal apabila penegak hukum terlalu tekstual
dalam memahami ketentuan Pasal 160 ayat
(1) KUHAP. Pasal ini membenarkan penegak
hukum menanyai saksi korban seorang diri.
Pasal 160 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa
saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang
demi seorang menurut urutan yang dipandang
sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah
mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukum. Pasal inilah yang berlaku
selama proses peradilan dalam Putusan Nomor
33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Penyampaian keterangan
dilaksanakan secara orang per orang.
4.
Penajaman
Perspektif
Penegak Hukum
Difabilitas
Masyarakat mengaharapkan keadilan dari
penegak hukum (mulai dari unsur aparatur negara
seperti kepolisian, kejaksaan sampai dengan hakim;
atau juga dari unsur non aparatur negara seperti
advokat). Kebijaksanaan penegak hukum sangat
mempengaruhi adil atau tidaknya satu putusan
hukum. Bagaimanapun konstruksi suatu peraturan
hukum telah ditata secara ideal, jerih payah
tersebut tidak akan ada manfaatnya jika penegak
hukumnya tidak memiliki visi penegakan hukum
Selanjutnya. Pasal 178 ayat (1) KUHAP yang kredibel.
juga belum merespon kebutuhan difabel jenis lain
Oleh sebab itu, adalah benar jika terdapat
dari tuna rungu dan bisu. Sebut saja masih terdapat ucapan bahwa penegakan hukum bukanlah satu
difabel kategori lemah mental, intelektual, netra, tindakan yang pasti. Penegakan hukum bukanlah
autism, gangguan perilaku dan hiperaktivitas sekedar menerapkan satu peraturan hukum pada
(ADHD), bipolar, gangguan kesehatan jiwa, tuna satu kejadian. Sebab, penerapan tersebut merupakan
grahita dan beberapa jenis difabel lain. KUHAP upaya yang membutuhkan usaha terus menerus
juga tidak mengakomodir mengenai usia mental. untuk mempertemukan antara yang ideal dengan
Padahal terdapat seorang difabel yang secara yang nyata, antara yang seharusnya dengan yang
umur bukan lagi kategori anak tetapi secara seadanya, dan berbagai tantangan paradoks lain.
mental masih seperti anak-anak.
356 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 356
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:37 PM
Para penegak hukum tidak hanya dituntut
untuk mahir menghafalkan rangkaian pasal
penegakan hukum. Mereka juga harus mampu
menyelami rasa keadilan bahkan dalam tingkatan
yang paling substantif sekalipun dari suatu
rangkaian pasal yang kompleks. Penegak hukum
harus mampu menghayati terkait konteks sosial
masyarakat, keterbatasan-keterbatasan yang
menimpa para pihak berperkara di hadapan
hukum. Kemampuan tersebutlah yang akan
membimbing penegak hukum untuk mahir
menyediakan pasal yang tepat terhadap suatu
permasalahan hukum yang tengah diselesaikan,
sekaligus untuk bijaksana mendiagnosa dosis
keadilan yang tepat diterapkan bagi permasalahan
hukum tersebut.
Oleh sebab itu, rasanya tepat apabila
menghimbau bahwa penegak hukum harus
menghindari posisi hanya sebagai robot atau
corong undang-undang. Suasana penegakan
hukum yang demikian itulah yang terutama
diperlukan dalam menangani permasalahan
hukum melibatkan kelompok rentan, salah
satunya adalah penyandang difabel. Sayangnya,
realitas yang terjadi pada proses hukum terhadap
kaum difabel selama ini adalah ketidakpastian
aparat penegak hukum. Seperti yang terjadi pada
Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Sudah
terdapat pasalnya yang memungkinkan saksi
korban SW mendapatkan perlakuan affirmative,
tetapi sayangnya peraturan hanyalah tinggal citacita ideal keadilan dalam suatu catatan.
meningkatkan pelatihan yang sesuai bagi mereka
yang bekerja di bidang penyelenggaraan hukum.
Selain itu, tanpa harus menunggu pelatihan dan
perubahan pasal pada KUHAP di atas, penegak
hukum harus menajamkan perspektif difabilitas
melalui rekonsepsi ulang terhadap equality before
the law (EBL).
EBL atau persamaan di hadapan hukum
adalah salah satu asas terpenting di dalam
sistem hukum modern. Setiap difabel berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Hal ini juga diperkuat
di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UU CRPD. Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945 juga telah mengatur
EBL. Oleh sebab itu, dalam konteks penerapan
EBL bagi difabel, perspektifnya harus dipertajam
dengan equality yang equity.
Dalam pendekatan demokrasi, Jenlink,
Stewart, dan Stewart (2012) menyatakan bahwa
konsep equity lebih pasti mengarah kepada
perlakuan atas dasar fairness dalam penyediaan
kebutuhan mendasar bagi warga negara dan
menjadikan keterbatasan individual sebagai
pertimbangan; sementara itu meskipun equality
bisa mengarah kepada fairness tetapi seringkali
bisa terhenti hanya sampai memberi perlakuan
atas dasar sameness (hal. 86).
Selanjutnya, Taket (2012) menyatakan
bahwa equity lebih tepat digunakan dalam rangka
mengawal semangat social justice. Prinsip
keadilan sosial tersebut akan memberikan keadilan
Keadaan seperti ini harus menjadi pekerjaan
yang tidak berdasarkan konsep sama rata, tetapi
rumah yang menuntut urgensi segera diselesaikan.
memberikan keadilan yang mempertimbangkan
Sehingga, perlu adanya peningkatan peraturan
kerentanan khusus yang dimiliki si pencari
teknis dan kapasitas para aparat penegak hukum
keadilan (fairness) (hal. 3). Dengan demikian,
dalam kaitannya menjawab kebutuhan-kebutuhan
dalam rangka menjamin perlakuan affirmative
difabel. Sebagaimana amanat Pasal 13 ayat (2)
bagi difabel, penegak hukum harus memiliki
UU CRPD, negara mempunyai kewajiban untuk
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 357
| 357
1/18/2016 12:09:37 PM
cara pandang pembacaan equity before the law
sebagai penajaman dari equality before the law.
Ketiga, untuk menjamin perlakuan
affirmative bagi difabel yang menghadapi hukum,
negara harus menata ulang dan bahkan merevisi
ketentuan hukum acara yang tertuang dalam
IV. KESIMPULAN
KUHAP. Di samping itu, sembari menunggu
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis perubahan KUHAP, penegak hukum sebagai
memiliki kesimpulan sebagai berikut:
pelaksana wewenang negara harus mempertajam
Pertama, kerugian yang sangat jelas perspektif difabilitas dalam penegakan hukum.
kelihatan diterima oleh korban SW adalah fakta Salah satunya adalah menajamkan pemahaman
bahwa SW tidak bisa maksimal memanfaatkan equality before the law dengan konsep equity
jaminan keuntungan formil dari ketentuan Pasal before the law.
98 ayat (1) KUHAP. Pasal ini seharusnya bisa
digunakan SW dalam kapasitasnya sebagai saksi
korban untuk meminta ganti kerugian. Sebenarnya
adanya penerjemah bisa dimaksimalkan tidak
hanya sekedar sebagai penerjemah tetapi bisa
DAFTAR ACUAN
diposisikan juga sebagai pendamping. Sayangnya
hakim tidak memberikan penerjemah selama Allingham, M. (2014). Justice as fairness, distributive
persidangan.
justice. New York: Routledge.
Kedua, perlakuan khusus dalam proses
peradilan yang dibutuhkan difabel adalah proses
affirmative. Perlakuan affirmative tersebut bisa
direalisasikan dengan pemberian tidak hanya
penerjemah tetapi juga pendamping bagi difabel.
Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi.
Apalagi dalam kasus SW sebagai perempuan
difabel korban perkosaan, diskriminasi yang
dialaminya bisa masuk kategori multiple
discrimination. Secara yuridis, proses affirmative
didukung Pasal 178 ayat (1) KUHAP, Pasal 5
ayat (1) huruf d UU PSK, Pasal 5 ayat (1) huruf
p UU PSK Revisi, Pasal 13 ayat (1) UU CRPD,
dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Secara
filosofis, perlakuan affirmative tersebut adalah
buah aplikasi dari semangat keadilan retributif
yang mengajarkan pemberian perlakuan
disesuaikan dengan kebutuhan atau keterbatasan
khusus pencari keadilan.
Alston, P., & Goodman, R. (2013). International
human rights: The successors to international
human rights in context (Law, politics and
morals). UK: Oxford University Press.
Aristotle. (1962). Nicomachean ethics. Ed. Ostwald,
M. New York: Book Five.
Clifford, J. (2013). “Equality”, dalam The oxford
hand book of international human righst law.
Ed. Shelton, D. UK: Oxford University Press.
Djohansjah.
(2010).
Akses
menuju
keadilan.
Yogyakarta: PUSHAM. Makalah Pelatihan
Hak Asasi Manusia Untuk Jejaring Komisi
Yudisial Republik Indonesia.
Gerapetritis, G. (2015). Affirmative action: Policies
and judicial review worldwide. New York:
Springer Cham Heidelberg.
Hepple, B. (2014). “Democratic participation in
making and enforcing affirmative action
358 |
Jurnal isi edit arnis ok.indd 358
Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359
1/18/2016 12:09:37 PM
schemes”, dalam Affirmative action: A view
from the global south. Ed. Dupper, O., &
Sankaran, K. Stellenbosch, South of Africa:
AFRICAN SUN MeDIA.
Jenlink, P. M., Stewart, L., & Stewart, S. (2012).
Leading for democracy. A case-based approach
to principal preparation. Maryland: Rowman
& Littlefield Education.
O’Connel, K. (2012). Firewalk: Embracing different
abilities. Bloomington Indiana U.S.A.: Balboa
Press.
Roseberry, L. (2011). “Multiple discrimination”, dalam
Age discrimination and diversity; Multiple
discrimination from an age perspective. Ed.
Sargeant, M. UK: Cambridge University
Press.
Sadurski, W. (1985). Giving desert its due; Social
justice and legal theory. Dordrecht, Holland:
Springer Science.
Sales, B. D., Powell, D. M., & Duizend, R. V.
(1982). Disabled persons and the law; State
legislative issues. United States: American
Bar Association’s Comission on the Mentally
Disabled.
Syafi’ie, M., & Purwanti. (2014). Potret difabel
berhadapan dengan hukum negara. Yogyakarta:
Sigab.
Syafi’ie, M., et al. (2014). Pemenuhan hak atas
peradilan
yang
fair
bagi
penyandang
disabilitas. Yogyakarta: PUSHAM UII.
Syamsuddin, M. (2007). Operasionalisasi penelitian
hukum. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Taket, A. (2012). Health equity, social justice and
human rights. New York: Routledge.
Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni)
Jurnal isi edit arnis ok.indd 359
| 359
1/18/2016 12:09:37 PM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 360
1/18/2016 12:09:37 PM
INDEKS
A
affirmative action XV, XVI, 339, 340, 343, 344, 358
aksi afirmatif XII, 339
C
kemanfaatan V, IX, 251, 253, 254, 258, 259, 263, 267, 273,
300
kepastian V, IX, XI, 251, 253, 254, 258, 259, 263, 267, 273,
300, 264, 273, 288, 294, 357, 301, 304, 311, 317,
319, 332, 333, 334, 336, 337, 352, 355
court decision XIV, XV, 307, 319, 320, 367
L
D
legal certainty XIII, XV, 252, 320
legal discrimination XVI, 340
difabel V, XII, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 348,
349, 350, 351, 352, 353, 354, 355, 356, 357, 358,
359
diffable XV, XVI, 339, 340, 342
diskriminasi hukum XII, 339
E
ecologically sustainable development XIV, 289, 290
environmental law XIV, 290
H
hubungan industrial XI, 319, 320, 321, 322, 324, 327, 328,
330, 331, 333, 334, 337
hukum lingkungan X, 289
hukum progresif V, X, XI, 289, 292, 293, 294, 299, 300,
303, 304, 305, 306, 307, 310, 311, 312, 314, 316,
317, 318
I
illat X, XIV, 269, 270, 280, 281, 283, 286, 287
industrial relation XV, 319, 320
interfaith inheritance XIII, XIV, 269, 270
J
joint agreement XV, 320
justice XIII, XIV, XV, XVI, 252, 264, 268, 270, 288, 292,
294, 307, 319, 320, 332, 339, 357, 358, 359
juvenile justice system XIII, 252
N
natural resources XIV, 289, 290
P
pembangunan berkelanjutan ekologis X, 289
pemutusan hubungan kerja V, XI, 319, 324, 326, 327, 333,
334, 335, 336
perjanjian bersama V, XI, 319, 321, 322, 323, 324, 327,
328, 330, 332, 336, 337
progressive law XIV, XV, 290, 307
purposiveness XIII, 252
putusan pengadilan III, IX, X, XI, 266, 269, 284, 293, 295,
307, 313, 314, 318, 319, 321, 324, 367, 368
S
sistem peradilan anak IX, 251
sumber daya alam X, 289, 290, 298, 299
T
termination of employment XV, 319, 320
W
waris beda agama V, IX, X, 269, 272, 273, 275, 280, 281,
282, 283, 286, 287, 288
wasiat wajibah X, 269, 272, 275, 283, 284, 285, 286, 287
wassiyah wajibah XIV, 270
K
keadilan V, IX, X, XI, XII, 251, 253, 254, 258, 259, 260,
263, 265, 266, 267, 269, 270, 272, 273, 274, 279,
283, 286, 287, 288, 290, 292, 293, 294, 295, 296,
300, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312,
313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 332,
333, 334, 339, 340, 341, 344, 345, 349, 351, 353,
354, 356, 357, 369, 358, V, IX, X, XI, XII, 251, 253,
254, 258, 259, 260, 263, 265, 266, 267, 369, 270,
272, 273, 274, 279, 283, 286, 287, 288, 269, 290,
292, 293, 294, 295, 296, 300, 304, 305, 306, 307,
308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317,
318, 319, 320, 321, 332, 333, 334, 339, 340, 341,
344, 345, 349, 351, 353, 354, 356, 357, 358
Jurnal isi edit arnis ok.indd 361
1/18/2016 12:09:38 PM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 362
1/18/2016 12:09:38 PM
ISSN 1978-6506
Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Hal. 251 - 359
UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI
S
egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas
sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol.
8 No. 3 Desember 2015. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT.
1.
Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
2.
Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.
3.
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum.
4.
Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL.
5.
Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum.
6. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H.
7.
Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H.
8.
Mohamad Nasir, S.H., M.H.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 363
1/18/2016 12:09:38 PM
Jurnal isi edit arnis ok.indd 364
1/18/2016 12:09:38 PM
BIODATA PENULIS
Sulardi, lahir di Magelang 12 Juli 1965, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Malang. Alumni Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 1989, lulus program doktor
ilmu hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2011. Saat ini mengajar mata kuliah Ilmu
Negara, Hukum Tata Negara, dan Filsafat Hukum. Aktif di berbagai forum ilmiah dan menulis di
berbagai media nasional dan daerah.
Yohana Puspitasari Wardoyo, lahir di Blitar tanggal 11 Juli 1991. Studi S1 Ilmu Hukum diselesaikan
di Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2013. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi
Advokat (PKPA) pada tahun 2013. Lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) pada tahun 2014, di tahun
yang sama penulis melanjutkan pendidikan S2 Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Malang sampai dengan sekarang. Penulis juga merupakan advokat magang di salah
satu kantor advokat yang berada di kota Blitar serta merupakan tim paralegal pada Lembaga Konsultasi
& Bantuan Hukum Pimpinan Daerah Aisyiyah (LKBH PDA) Kota Malang. Saat ini penulis tercatat
sebagai Instruktur Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.
Muhamad Isna Wahyudi, lahir di Semarang, 2 Mei 1981, adalah lulusan Fakultas Syari’ah, Jurusan
Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, dan Program Studi
Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2006. Suami dari Enki Fitriastuti dan ayah dari Sarah Hanifa Nasyauqi ini sejak 2010 bekerja
sebagai hakim di lingkungan peradilan agama. Bertugas di Pengadilan Agama Kotabumi Lampung
Utara sejak Juli 2010-2013, dan sejak Februari 2014 bertugas di Pengadilan Agama Badung Bali
sampai sekarang. Sebagai redaktur majalah peradilan agama yang diterbitkan oleh Dirjen Peradilan
Agama Mahkamah Agung RI sejak 2013 hingga sekarang. Aktif menulis artikel di beberapa jurnal
dan telah memiliki dua buku, Fiqh ‘Iddah: Klasik dan Kontemporer, diterbitkan Pustaka Pesantren
tahun 2009, dan Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, diterbitkan Mandar
Maju tahun 2014. Pernah menjadi pembicara dalam the 4th International Conference and Graduate
Workshop on “Islamic Justice System in Classical and Modern Times: Discourses and Practices,” yang
diselenggarakan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama
dengan the Faculty of Humanities Georg August University of Gottingen, Germany, di Yogyakarta,
pada 28-30 Oktober 2014.
Subarkah, lahir di Malang 10 Oktober 1960, adalah dosen fakultas hukum Universitas Muria Kudus
(UMK). S1 dan S2 di bidang hukum diselesaikan di Universitas Diponegoro. Pernah menjabat
dekan di fakultas hukum UMK tahun 2005-2009. Pada tahun 2009-2013, aktif mengikuti kegiatan
pengabdian masyarakat pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BAKOBAKUM) Universitas
Muria Kudus. Sekarang sedang studi program doktor di Universitas Diponegoro.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 365
1/18/2016 12:09:38 PM
Muhammad Junaidi, penulis kelahiran Pati Jawa Tengah 6 September 1985, jenjang S1 diselesaikan
di STAIN Kudus dengan gelar Sarjana Hukum Islam (SHI). Untuk S2 diselesaikan di Universitas
Muria Kudus (UMK) dengan mendapatkan gelar Magister Hukum (MH). Dan saat ini sedang
menyelesaikan studi S3 Ilmu Hukum UNISULLA. Penulis aktif sebagai dosen tetap pada Fakultas
Hukum Universitas Semarang (USM).
Indi Nuroini, lahir di Surabaya 26 Oktober 1985. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara Surabaya (2008). Di tahun yang sama juga menyelesaikan pendidikan
S1 di Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surabaya (2008). Kemudian menyelesaikan
pendidikan S2 Magister Hukum di Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (2010). Sejak tahun
2012 penulis diangkat sebagai staf pengajar mata kuliah Hukum Hubungan Industrial di Fakultas
Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya. Selain sebagai dosen, penulis juga merupakan seorang
advokat yang dilantik pada tahun 2012 dan berkantor di kota Surabaya.
Faiq Tobroni. Menyelesaikan S1 Hukum Islam UIN Yogyakarta (2008), S2 Ilmu Hukum Konsentrasi
Hukum HAM UII (2011), S2 Pembangunan Masyarakat UGM (2012) dan S2 Hukum Islam UIN
Semarang (2014). Beberapa karya tulisnya adalah Kebebasan Hak Ijtihad Atas Nikah Beda Agama
Pasca Putusan Mahakamah Konstitusi, (Jurnal Konstitusi MK RI, 2015); Rekonstruksi Kelembagaan
Atas Hak Dasar Difabel yang Lumpuh di Indonesia “Mewujudkan Komisi Nasional Disabilitas
Indonesia Berprinsip Institusio Nasional HAM,” (Jurnal Difabel, Sasana Integrasi dan Advokasi
Difabel Yogyakarta, 2015); Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat, (Jurnal Konstitusi
MK RI, 2013); Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat, (Jurnal Konstitusi
MK RI, 2012); Kajian Atas Putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VI/2008 dan Nomor 100/PHPU.DVIII/2010 tentang Pemilukada Bengkulu Selatan, (Jurnal Konstitusi MK RI-PK2P-FH UMY, 2011);
Antara Cita-cita Konservasi dan Kerentanan Masuk Sandera Eksploitasi, (Jurnal Konstitusi MK
RI, 2011); Pemilukada Sebagai Implementasi Kehidupan Demokrasi dalam Negara Hukum, (Jurnal
Konstitusi MK RI-PKHK UJB Yogyakarta, 2010); Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial
Review atas Undang-Undang Berhubungan Persoalan Agama, (Jurnal Konstitusi MK RI-UMY,
2012); Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia Perspektif HAM (Jurnal
Al Mawarid UII, 2011); Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama-Berkeyakinan
(Jurnal Konstitusi MK RI, 2010); Hukuman Mati Perbandingan Islam, HAM, KUHP, (Jurnal Unisia
UII, 2010); Kesetaraan Gender: Panggilan Nurani Membebaskan “Manusia yang Dianggap Kelas
Dua,” (Jurnal Musawa PSW UIN Yogyakarta, 2010).
Jurnal isi edit arnis ok.indd 366
1/18/2016 12:09:38 PM
PEDOMAN PENULISAN
1.
Naskah merupakan hasil kajian/riset putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus
konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan
di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan).
2.
Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan
mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal
Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat
honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
3.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung
yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris,
maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
4.
Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250
kata.
5.
Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata),
dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi
1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor
urut pada margin kanan bawah.
6.
Sistematika penulisan naskah sebagai berikut:
1.
Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia.
2.
Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris.
3.
Nama penulis.
4.
Nama lembaga/instansi.
5.
Alamat lembaga/instansi.
6.
Akun e-mail penulis.
7.
Abstrak (150 s.d. 200 kata) dan kata kunci dalam bahasa Indonesia (3 s.d. 5 kata).
8.
Abstrak dan kata kunci dalam bahasa Inggris.
9.
Pendahuluan, memuat fenomena hukum (topik) yang dianggap menarik sebagai latar
belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang
kemudian diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif
Jurnal isi edit arnis ok.indd 367
1/18/2016 12:09:38 PM
dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Bab ini
menggunakan subbab sebagai berikut:
a. Latar Belakang;
b. Rumusan Masalah;
c. Tujuan dan Kegunaan; dan
d. Studi Pustaka.
10. Metode, mencakup penjelasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian atas putusan
hakim yang dipilih secara purposif. Penulis harus menjelaskan tentang alasan mengapa
putusan tersebut yang dipilih secara objek kajian, juga tentang ada tidaknya pengayaan
data yang dilakukan (termasuk dokumen lain di luar putusan tersebut dan/atau data
primer di luar dokumen). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan
hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data yang
mencakup sumber data (primer atau sekunder), instrumen pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data, dan metode analisis data.
11. Hasil dan Pembahasan, memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil
diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim
di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan
masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam
analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya
terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus menyita
porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan.
12. Kesimpulan, mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam
bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan.
13. Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi
kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan
pembahasan.
14. Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan
dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah sepuluh, tidak termasuk
peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan
acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan.
7.
Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus
ditunjukkan dalam daftar acuan.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 368
1/18/2016 12:09:38 PM
Contoh:
Satu penulis: (Grassian, 2009, hal. 45); Menurut Grassian (2009), “..........” (hal. 45).
Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010, hal. 50-52).
Lebih dari dua penulis: (Shidarta, Shidarta, & Susanto, 2014).
Lebih dari enam penulis: (Hotstede et al., 1990, hal. 23)
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009, hal. 10).
8.
enulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association
P
(APA) yang mengacu pada https://owl.english.purdue.edu/owl/section/2/10/.
Contoh:
1).
Buku
Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory & some contemporary moral problems.
New Jersey, NJ: Prentice-Hall.
Shidarta, B. A., Shidarta, & Susanto, A. F. (2014). Pengembanan hukum teoretis: Refleksi atas
konstelasi disiplin hukum. Bandung: Logoz.
Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi
tak pernah berhenti. Jakarta: KPK.
2).
Jurnal
Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran pasal 2 & 3 uu pemberantasan
tindak pidana korupsi. Jurnal Yudisial, 7(2), 103-116.
3).
Peraturan Hukum
Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 1. (2014). Seleksi calon hakim agung.
Jakarta.
4).
Majalah/Surat Kabar
Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi
Yudisial, 11-15.
5).
Internet
Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library.
cornell.edu/resrch/intro.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 369
1/18/2016 12:09:38 PM
9.
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected];
dengan tembusan ke: [email protected]; [email protected]; dan
[email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):
1.
Ikhsan Azhar (085299618833);
2.
Arnis (08121368480); atau
3.
Yuni (085220055969).
Alamat redaksi:
Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57
Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189.
Jurnal isi edit arnis ok.indd 370
1/18/2016 12:09:38 PM
Download