ISSN 1978-6506 Terakreditasi LIPI No. 706/AU/P2MI-LIPI/10/2015 Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Hal. 251 - 359 IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN I Jurnal isi edit arnis ok.indd 1 1/18/2016 12:09:28 PM Jurnal isi edit arnis ok.indd 2 1/18/2016 12:09:28 PM ISSN 1978-6506 Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Hal. 251 - 359 J urnal Yudisial merupakan majalah ilmiah yang memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Jurnal Yudisial terbit berkala empat bulanan di bulan April, Agustus, dan Desember. Penanggung Jawab: Danang Wijayanto, Ak., M.Si. Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial RI Redaktur: 1. Roejito, S.Sos., M.Si. (Administrasi Negara dan Kebijakan Publik) 2. Dra. Titik A. Winahyu (Komunikasi) Penyunting: 1. Hermansyah, S.H., M.Hum. (Hukum Ekonomi/Bisnis) 2. Imran, S.H., M.H. (Hukum Pidana) 3. Nur Agus Susanto, S.H., M.M. (Hukum Internasional) 4. Muhammad Ilham, S.H. (Hukum Administrasi Negara) 5. Ikhsan Azhar, S.H. (Hukum Tata Negara) Mitra Bestari: 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. (Filsafat Hukum dan Penalaran Hukum) 2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. (Metodologi Hukum dan Etika) 3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. (Hukum Pidana dan Viktimologi) 4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. (Hukum Pidana, HAM dan Gender) 5. Dr. An An Chandrawulan, S.H., LL.M. (Hukum Perdata) 6. Mohamad Nasir, S.H., M.H. (Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam) 7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. (Filsafat Hukum dan Sosiologi Hukum) III Jurnal isi edit arnis ok.indd 3 1/18/2016 12:09:28 PM 8. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. (Hukum Internasional) 9. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. (Ilmu Perundang-undangan) 10. Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum) 11. Prof. Dr. Ronald Z. Titahelu, S.H., M.S. (Hukum Agraria dan Hukum Adat) 12. Dr. H. Mukti Fajar Nur Dewata, S.H., M.Hum. (Ilmu Hukum/Ilmu Politik) 13. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. (Hukum Perdata/Hukum Agraria) Sekretariat: 1. Agus Susanto, S.Sos., M.Si. 2. Arnis Duwita Purnama, S.Kom. 3. Yuni Yulianita, S.S. 4. Wirawan Negoro, A.Md. 5. Didik Prayitno, A.Md. 6. Eka Desmi Hayati, A.Md. 7. Lia Puspitasari, S.IP. dan Fotografer: 1. Dinal Fedrian, S.IP. 2. Widya Eka Putra, A.Md. Desain Grafis Alamat: Sekretariat Jurnal Yudisial Komisi Yudisial Republik Indonesia Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat,Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906189 E-mail: [email protected] Website: www.komisiyudisial.go.id IV Jurnal isi edit arnis ok.indd 4 1/18/2016 12:09:28 PM PENGANTAR A IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN ntara idealitas dan realitas keadilan menjadi pilihan tema Jurnal Komisi Yudisial dalam edisi Desember 2015. Tema ini di dipilih setelah mempertimbangkan banyak argumen dan pendapat dari tim redaksi dan mitra bestari dalam rapat redaksi Jurnal Yudisial. Dari hasil rapat itu terpilih beberapa tulisan dengan karakteristik berbeda, namun menyajikan hal yang sama yaitu membahas mengenai keadilan. Apakah yang dimaksud dengan idealitas dan realitas keadilan dalam tema Jurnal Yudisial kali ini, tidak lain bercerita tentang kehidupan hukum yang selalu senantiasa berada pada tatanan yang labil, tatanan yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun saling berkaitan. Demikian pula dengan tujuan hukumyang senantiasa memperlihatkan tensi atau ketegangan antara das Sollen dan das Sein, antara harapan dan kenyataan, antara cita cita dengan apa yang yang telah dicapai, antara yang formal dengan yang substansial, dan antara yang ideal dengan yang real.Hal itulah yang mendapat sorotan utama dari edisi Junal Yudisial kali ini. Terdapat enam tulisan dengan tema yang menggambarkan lika-liku keadilan dalam putusan. Mulai dari tulisan tentang kepastian, kemanfaatan dan keadilan dalam perkara anak, implementasi keadilan dalam hukum waris beda agama, implementasi tentang hukum progresif dalam pembangunan berkelanjutan ekologis, perspektif hukum progresif tentang keadilan, disusul tulisan tentang penerapan perjanjian bersama dalam pemutusan hubungan kerja, hingga tulisan terakhir yang membahas tentang urgensi peradilan afirmatif bagi difabel. Bagaimana putusan berbicara tentang keadilan? Keadilan seperti apa yang diinginkan para pihak yang bersengketa? Kapan para penegak hukum dapat membumikan keadilan? Dan kapan Jurnal Yudisial mampu mengaitkan idealitas dengan realitas keadilan? Untuk menjawab kesemuanya itu, kami persilahkan untuk membaca lebih lengkap uraiannya pada bagian dalam. Setiap orang memiliki sudut pandang dan setiap argumen memiliki landasannya, tetapi yang harus kita lakukan adalah tetap kritis dan selalu rendah hati. Selamat membaca! Terima kasih. Tertanda Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial V Jurnal isi edit arnis ok.indd 5 1/18/2016 12:09:28 PM Jurnal isi edit arnis ok.indd 6 1/18/2016 12:09:28 PM DAFTAR ISI Vol. 8 No. 3 Desember 2015 ISSN 1978-6505 KEPASTIAN HUKUM, KEMANFAATAN, DAN KEADILAN TERHADAP PERKARA PIDANA ANAK ............................................................... Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt Sulardi & Yohana Puspitasari Wardoyo Fakultas Hukum & Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Malang 251 - 268 PENEGAKAN KEADILAN DALAM KEWARISAN BEDA AGAMA ................................... 269 - 288 Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama Muhamad Isna Wahyudi Pengadilan Agama Badung, Badung IMPLEMENTASI HUKUM PROGRESIF DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN EKOLOGIS ................................................. Kajian Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 Subarkah Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus, Kudus 289 - 306 KEADILAN PEMULIHAN BAGI SUBJEK HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF .................... 307 - 318 Kajian Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012 Muhammad Junaidi Fakultas Hukum Universitas Semarang, Semarang PENERAPAN PERJANJIAN BERSAMA DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA ............................. Kajian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 Indi Nuroini Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya, Surabaya 319 - 338 VII Jurnal isi edit arnis ok.indd 7 1/18/2016 12:09:28 PM DAFTAR ISI URGENSI PROSES PERADILAN AFIRMATIf BAGI PEREMPUAN DIFABEL KORBAN PERKOSAAN ................................................................. Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl Faiq Tobroni, Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, Tulungagung 339 - 359 VIII Jurnal isi edit arnis ok.indd 8 1/18/2016 12:09:28 PM JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506.............................................................................. Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya. pelaku masih di bawah umur hendaknya perkara ini bisa diselesaikan di luar pengadilan yaitu melalui diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. UDC 343.137.5 Sulardi & Wardoyo YP (Fakultas Hukum & Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang) Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana Puspitasari Wardoyo) Kata kunci: sistem peradilan anak, keadilan, kepastian, kemanfaatan. Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt Jurnal Yudisial 2015 8(3), 251-268 Penelitian ini merupakan kajian Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 210/Pid.Sus/2014/PN.Blt mengenai tindakan asusila yang mana pelaku dan korban merupakan anak di bawah umur. Majelis hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada tiga terdakwa masing-masing selama dua tahun tiga bulan, denda masing-masing sebesar enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka digantikan dengan Wajib Latihan Kerja selama tiga bulan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan UDC 348.18 Wahyudi MI (Pengadilan Agama Badung, Badung) Penegakan Agama Keadilan dalam Kewarisan Beda Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama Jurnal Yudisial 2015 8(3), 269-288 Peradilan agama merupakan peradilan khusus bagi orang-orang Islam. Namun, dalam perkara waris yang ditangani oleh peradilan agama dapat melibatkan pihak muslim dan nonmuslim. Hal ini karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Persoalan penegakan keadilan dalam perkara waris beda agama di pengadilan agama menjadi menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengkaji lima penetapan dan dua putusan pengadilan agama dalam perkara waris beda agama dengan menggunakan pendekatan kasus. Perkara waris beda agama yang ditangani pengadilan agama dalam penelitian ini dibedakan dalam dua kasus. Pertama, perkara waris yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau ahli waris muslim dan nonmuslim. Kedua, perkara waris yang terdiri dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim. Pada kasus pertama, bahwa majelis hakim dalam menegakkan hukum mengutamakan tiga aspek yaitu yuridis (kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan). Menurut majelis hakim penjatuhan pidana terhadap para terdakwa bukan untuk pembalasan dendam melainkan suatu bentuk pemberian bimbingan dan pengayoman serta suatu terapi kejut. Melalui penjatuhan pidana tersebut diharapkan para terdakwa tidak mengulangi perbuatannya di masa datang dan perasaan malu yang dihadapi keluarga terdakwa dapat dimaknai sebagai sebuah sanksi moral. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 penjatuhan pidana terhadap pelaku anak tidak berbeda dengan pelaku dewasa, salah satunya dengan pidana penjara. Namun, dalam kasus ini mengingat IX Jurnal isi edit arnis ok.indd 9 1/18/2016 12:09:28 PM SG yang dianggap akan merusak lingkungan hidup, merusak sistem ekologi, dan menghilangkan hakhak hidup masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya bertani sehingga sangat tergantung pada tanah dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep yang tersebar di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati memiliki karakteristik yang unik. Oleh karena itu, hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih mendalam baik secara doktrinal maupun non doktrinal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal study, yang dalam arti hukum tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku, sehingga penelusuran realitas yang sesungguhnya diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum positif yang ada maupun hukum yang lahir dari polapola antar subjek dalam masyarakat itu merupakan hukum yang sudah adil atau tidak. penegakan keadilan oleh pengadilan agama masih terbatas bagi ahli waris muslim, dan mengabaikan keadilan bagi ahli waris nonmuslim. Pertimbangan hukum hakim lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi dalam penggunaan logika hukum. Pada kasus kedua, pengadilan agama telah mampu menegakkan keadilan bagi semua, dengan memberikan bagian harta warisan kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat wajibah berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim pengadilan agama menggunakan wasiat wajibah dalam perkara waris beda agama dari pada menyelidiki alasan hukum (ratio legis) hadis yang melarang waris beda agama. (Muhamad Isna Wahyudi) Kata kunci: keadilan, waris beda agama, wasiat wajibah, ‘illat. (Subarkah) UDC 349.601 Kata kunci: sumber daya alam, hukum progresif, hukum lingkungan, pembangunan berkelanjutan ekologis. Subarkah (Fakultas Hukum, Universitas Muria Kudus, Kudus) Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis UDC 340.131 Kajian Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN.2010 Junaidi M (Fakultas Hukum, Universitas Semarang, Semarang) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 289-306 Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mencakup keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Demikian juga dengan keanekaragaman suku, agama, dan ras, dari masyarakat Indonesia sehingga membentuk masyarakat plural, yang di dalamnya terdapat tata nilai, norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga kebijakan penataannya secara luas melalui konsep berkelanjutan ekologis untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kajian ini membahas Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN. Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 yang merupakan hasil perlawanan masyarakat Sedulur Sikep atas kebijakan pembangunan pabrik dari PT. Kajian Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012 Jurnal Yudisial 2015 8(3), 307-318 Penelitian ini mengkaji secara deskriptif analitis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/ Pid/2012 yang mengadili terdakwa SM. Melalui putusan tersebut SM dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan serta mendapat ganti rugi sebesar lima juta rupiah setelah menjalani hukuman kurungan selama tiga belas bulan atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Pada putusan pengadilan di tingkat pertama dan banding ia dinyatakan X Jurnal isi edit arnis ok.indd 10 1/18/2016 12:09:28 PM barang dan jasa. Tulisan ini merupakan suatu kajian terhadap putusan perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja yang telah diputus di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012. Dalam putusan tersebut, majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya hanya menggunakan perjanjian bersama yang telah dibuat oleh penggugat dan tergugat pada saat penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit, padahal perjanjian bersama tersebut isinya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penulis berkesimpulan bahwa putusan hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak tepat dalam menggunakan pertimbangan hukum. Putusan Nomor 237 K/Pdt. Sus/2012 tersebut belum mencerminkan adanya peradilan hubungan industrial yang akuntabel, jujur, dan adil. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan keadilan hukum. bersalah dan menjalani hukuman. Nilai keadilan yang sesungguhnya harusnya memperhatikan kerugian moril maupun materiil yang dialami SM atas putusan-putusan hakim sebelumnya. SM selayaknya bukan hanya dibebaskan tetapi juga mendapat ganti rugi saat menjalani proses hukum sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup yang layak. Jika hal tersebut diterapkan maka hukum tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari peraturan melainkan menjalankan semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum. Untuk menguatkan kehadiran hukum progresif dalam putusan pengadilan maka harus mengacu pada norma dan asas dalam sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Muhammad Junaidi) Kata kunci: putusan pengadilan, keadilan, hukum progresif. (Indi Nuroini) UDC 347.75 Nuroini I (Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Surabaya, Surabaya) Kata kunci: perjanjian bersama, hubungan kerja, hubungan industrial. Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja UDC 343.541 Kajian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 pemutusan Tobroni F (Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, Tulungagung) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 319-338 Hubungan industrial merupakan suatu hubungan yang terbentuk antara para pemangku kepentingan di dalam proses produksi barang dan jasa yang memiliki dampak sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara, sehingga stablitasnya perlu dijaga dengan baik. Oleh karena itu setiap putusan pengadilan hubungan industrial haruslah tepat dan disertai rasa keadilan, akuntabilitas, dan kejujuran, untuk menghindari timbulnya gejolak dalam hubungan industrial. Putusan pengadilan hubungan industrial yang tidak akuntabel, tidak jujur, dan tidak mencerminkan rasa keadilan tentu akan berdampak pada stabilitas proses produksi Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl Jurnal Yudisial 2015 8(3), 339-359 Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah mengenai kasus perkosaan yang melibatkan korban seorang perempuan tuna rungu berinisial SW. Berdasarkan salinan putusan, SW tidak mendapatkan penerjemah selama proses persidangan. Dari beberapa permasalahan yang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusan masalah. Pertama, apakah XI Jurnal isi edit arnis ok.indd 11 1/18/2016 12:09:28 PM kerugian dari hasil peradilan yang diterima SW terkait akses atas keadilan? Kedua, bagaimanakah perlakuan yang seharusnya diterapkan bagi korban difabel seperti SW? Ketiga, apa yang harus dilakukan negara untuk menjamin proses peradilan affirmative bagi kaum difabel? Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan data sekunder dan analisis kualitatif. Hasil penelitian memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, tanpa adanya penerjemah atau bahkan pendamping, kerugian berkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SW menyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan jaminan keuntungan formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilan yang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative. Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi bagi kaum difabel. Ketiga, dalam merealisasikan jaminan perlakuan affirmative bagi kaum difabel, harus terdapat revisi terhadap peraturan hukum terkait dan penajaman wawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas. (Faiq Tobroni) Kata kunci: aksi afirmatif, diskriminasi hukum, difabel. XII Jurnal isi edit arnis ok.indd 12 1/18/2016 12:09:28 PM JURNAL YUDISIAL ISSN 1978-6506.............................................................................. Vol. 8 No. 3 Desember 2015 The Descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission or charge. UDC 343.137.5 Sulardi & Wardoyo YP (Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang) Legal Certainty, Purposiveness, and Justice in the Juvenile Crime Case An Analysis of Court Decisions Number 201/Pid. Sus/2014/PN.Blt (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 251-268 This is an analysis of Court Decision Number 210/ Pid.Sus/2014/PN.Blt concerning a crime of an immoral act where both defendant and victim are minors. The panel of judges, in the verdict, sentenced the three defendants 2 years and 3 months in prison respectively, and a total of sixty million in fines, which if not paid, the defendants would have to undergo Mandatory Work Activity for three months. This analysis employs the descriptive analytical method. The results show that the judges seemed to give emphasis to three aspects: the juridical (legal certainty), the sociological (purposiveness), and philosophical aspects (justice) in law enforcement efforts. According to the panel of judges, the sentence imposed on the defendants are not intended as vengeance for the criminal act but supposed to be a form of guidance and protection as well as a shock therapy. Through sentencing, the defendants hopefully would not repeat the wrongdoings in the future and the shame to their families should be regarded as a moral sanction. Pursuant to Law Number 3 of 1997, imposing criminal sentence to minors is no different from adult offenders, and one of the sentences is imprisonment. However the defendants are minors, and in this case, it should be resolved amicably out of court through a diversion as stipulated in Law Number 11 of 2012 concerning Juvenile Justice System. (Sulardi & Yohana Puspitasari Wardoyo) Keywords: juvenile justice system, justice, legal certainty, purposiveness. UDC 348.18 Wahyudi MI (Pengadilan Agama Badung, Badung) Upholding Justice in the Case of Interfaith Inheritance An Analysis of Five Court Determinations and Two Court Decisions on the Case of Interfaith Inheritance (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 269-288 Religious court is a special court for Muslims. However, the religious court can try cases of inheritance involving Muslims and non-Muslims. This is due to the diversity of Indonesian society. The arising problem at that point is how to enforce law in the case of inheritance involving the parties of different faiths tried in the religious court. This is an interesting issue to analyse. Employing a casebased approach, this analysis examines five court determinations and two court decisions on the case of interfaith inheritance. The cases of interfaith inheritance tried by the religious courts in this analysis are divided into two cases: first, the case of a Muslim child, or two or more children of Muslim and non-Muslim, inherits from a non-Muslim father/testator; second, the case of a non-Muslim child, or two or more children of Muslim and nonMuslim, inherits from a Muslim father/testator. In the first case, the enforcement of law in the religious court is finite to Muslim heirs, and disregard those XIII Jurnal isi edit arnis ok.indd 13 1/18/2016 12:09:28 PM of non-Muslim. Judge’s considerations seem to reflect a religious bias and inconsistency in the legal logic application. In the second case, the religious court could enforce justice for all parties to divide all portions of the inheritance to the nonMuslim heirs by means of wassiyah wajibah based on the jurisprudence. Religious court judge would apply the wasiyah wajibah in deciding the case of interfaith inheritance rather than investigate the legal reasonings (ratio legis) of the hadith that prohibits the interfaith inheritance. (Muhamad Isna Wahyudi) Keywords: justice, interfaith inheritance, wassiyah wajibah, ‘illat. UDC 349.601 Subarkah (Fakultas Hukum, Universitas Muria Kudus, Kudus) The Implementation of Progressive Law in Ecologically Sustainable Development An Analysis of Court Decision Number 04/G/2009/ PTUN.Smg jo. Number 103 K/TUN/2010 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 289-306 Indonesia is endowed with abundant natural resources and all of the biological diversity, along with the diversity of ethnicity, religion, and race that make up the plural society with prevailing values and customary norms, so that the development policy is through generally by the concept of ecologically sustainable development for the welfare of the Indonesian People. This is an analysis of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Number 103 K/TUN/2010, which is the result on opposition of the Sedulur Sikep society against the policy of factory construction of PT. SG, deemed to be harmful to the environment, ecological systems, and threaten the rights of the Sedulur Sikep society, who mostly live on farming, and are highly dependent on the soil and water. Community livelihood in Sedulur Sikep located in Sukolilo District of Pati Regency has unique characteristics. Therefore, it is interesting to do a profound analysis either doctrinally or non-doctrinally. The approach used in this analysis is a socio-legal study, which is in the sense that the law is not merely conceived as the norm and it necessarily interprets the law as a behavior. Thus, the exploration of the true reality, is expected to figure out if the existing positive law, as well the law originated from the pattern among the subjects in society has been impartial, or not. (Subarkah) Keywords: natural resources, progressive law, environmental law, ecologically sustainable development. UDC 340.131 Junaidi M (Fakultas Hukum, Universitas Semarang, Semarang) Restorative Justice for the Legal Subject in the Perspective Progressive Law An Analysis of Court Decison Number 1262 K/ Pid/2012 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 307-318 This is a descriptive analysis examining the Supreme Court Decision Number 1262 K/Pid/2012 which adjudicate the defendant initials SM. Through this decision, SM has been proved innocent and released, then got a compensation of five million rupiahs, after serving thirteen months imprisonment for crimes she did not commit. In the court decision at first instance and the appellate she was found guilty and serving a sentence. The ultimate justice should take close consideration on the actual moral and material losses suffered by SM for the judges previous decisions against her. SM should not only be acquitted, but also be compensated during the legal process in accordance to the level of a decent XIV Jurnal isi edit arnis ok.indd 14 1/18/2016 12:09:29 PM living. If it is implemented, then the law would not just a black and white regulation, rather run the spirit and the meaning the statute or laws in greater depth. To reinforce the presence of progressive law in the court decision, it must refer to the norms and principles in the fifth principle of Pancasila, which is of social justice for all Indonesian people. (Muhammad Junaidi) discussion in this analysis concludes that the panel of judges ruling the case is not supposed to use the Joint Agreement as legal considerations. Court Decision Number 237 K/Pdt.Sus/2012 could not reflect an accountable, honest, and fair industrial relations judiciary. The fixed (inkracht) court decision has not yet provided legal certainty and legal justice. (Indi Nuroini) Keywords: court decision, justice, progressive law. Keywords: joint agreement, termination employment, legal consideration. UDC 347.75 Nuroini I (Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Surabaya, Surabaya) The Implementation of Joint Agreement in the Termination of Employment An Analysis of Court Decision Number 237 K/Pdt. Sus/2012 (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 319-338 Industrial relation is a relationship that is formed by stakeholders in the process of producing goods and services, which is so essential for national economic growth that its stability should be maintained properly. Therefore any court decisions related to cases of industrial relation dispute must be decided appropriately over and done with a high sense of justice, accountability, and reliability, to prevent a turmoil in the industrial relations. Such a court decision will influence the stability of the production process of goods and services. This article is an analysis of judge’s decision that discusses a case of industrial relations dispute concerning termination of employment, which was decided by cassation in the Supreme Court Decision Number 237 K/Pdt. Sus/2012. In the decision, the panel of judges in the legal considerations only uses the Joint Agreement agreed upon by the plaintiffs and defendant at the time of settlement of disputes at a bipartite level, though the contents are against the Law Number 13 of 2003 concerning Manpower. The result of of UDC 343.541 Tobroni F (Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Institut Agama Islam Negeri Tulungagung, Tulungagung) The Urgency of Judicial Affirmative Action for the Diffable Woman in a Case of Rape An Analysis of Court Decisions Number 33/ Pid.B/2013/PN.Kdl (Org. Ind) Jurnal Yudisial 2015 8(3), 339-359 Court Decision Number 33/Pid.B/2013/PN.Kdr is a ruling regarding a rape of a deaf woman initials SW. Based on the copy of the decision, court did not provide SW an interpreter during the trial process. Of the several issues came upon, there are three formulations of the problem in questions reviewed in this analysis. Firstly, regarding access to justice, what are the losses suffered by SW from such trial process? Secondly, how should the legal treatment in judicial process to victims or persons with different ability like SW? Thirdly, what should be through by the state to warrant a judicial affirmative action for the diffable? This study is done with the method of qualitative research using secondary data and qualitative analysis. The study results bring about several conclusions. First, in the absence of an interpreter or an assistant, the loss of the SW’s rights of access to justice has caused her inability to XV Jurnal isi edit arnis ok.indd 15 1/18/2016 12:09:29 PM take advantage of the formal justice warranty on the provision of Article 98 Paragraph (1) of the Code of Criminal Procedure. Second, special treatment in the judicial process required by a diffable person is a judicial affirmative action. This action aims to eliminate discrimination for the difables. Third, in the realization of judicial affirmative action for the diffables, there should be revision of the relevant legal regulations and efforts to give insights and understanding to law enforcement authorities on the issue of diffability. (Faiq Tobroni) Keywords: affirmative action, legal discrimination, diffable. XVI Jurnal isi edit arnis ok.indd 16 1/18/2016 12:09:29 PM KEPASTIAN HUKUM, KEMANFAATAN, DAN KEADILAN TERHADAP PERKARA PIDANA ANAK Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt LEGAL CERTAINTY, PURPOSIVENESS, AND JUSTICE IN THE JUVENILE CRIME CASE An Analysis of Court Decission Number 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt Sulardi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas 246 Malang 65114 E-mail: [email protected] Yohana Puspitasari Wardoyo Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Bandung No. 1 Malang 65113 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 6 Maret 2015; revisi: 30 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015 ABSTRAK Penelitian ini merupakan kajian Putusan Pengadilan Negeri Blitar Nomor 210/Pid.Sus/2014/PN.Blt mengenai tindakan asusila yang mana pelaku dan korban merupakan anak di bawah umur. Majelis hakim dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman pidana penjara kepada tiga terdakwa masing-masing selama dua tahun tiga bulan, denda masing-masing sebesar enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka digantikan dengan Wajib Latihan Kerja selama tiga bulan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim dalam menegakkan hukum mengutamakan tiga aspek yaitu yuridis (kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan). Menurut majelis hakim penjatuhan pidana terhadap para terdakwa bukan untuk pembalasan dendam melainkan suatu bentuk pemberian bimbingan dan pengayoman serta suatu terapi kejut. Melalui penjatuhan pidana tersebut diharapkan para terdakwa tidak mengulangi perbuatannya di masa datang dan perasaan malu yang dihadapi keluarga terdakwa dapat dimaknai sebagai sebuah sanksi moral. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 penjatuhan pidana terhadap pelaku anak tidak berbeda dengan pelaku dewasa, salah satunya dengan pidana penjara. Namun, dalam kasus ini mengingat pelaku masih di bawah umur hendaknya perkara ini bisa diselesaikan di luar pengadilan yaitu melalui diversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Kata kunci: sistem peradilan anak, keadilan, kepastian, kemanfaatan. ABSTRACT This is an analysis of Court Decision Number 210/Pid. Sus/2014/PN.Blt concerning a crime of an immoral act where both defendant and victim are minors. The panel of judges, in the verdict, sentenced the three defendants 2 years and 3 months in prison respectively, and a total of sixty million in fines, which if not paid, the defendants Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 251 | 251 1/18/2016 12:09:29 PM would have to undergo Mandatory Work Activity for three months. This analysis employs the descriptive analytical method. The results show that the judges seemed to give emphasis to three aspects: the juridical (legal certainty), the sociological (purposiveness), and philosophical aspects (justice) in law enforcement efforts. According to the panel of judges, the sentence imposed on the defendants are not intended as vengeance for the criminal act but supposed to be a form of guidance and protection as well as a shock therapy. Through sentencing, the defendants hopefully would not repeat the wrongdoings I. in the future and the shame to their families should be regarded as a moral sanction. Pursuant to Law Number 3 of 1997, imposing criminal sentence to minors is no different from adult offenders, and one of the sentences is imprisonment. However the defendants are minors, and in this case, it should be resolved amicably out of court through a diversion as stipulated in Law Number 11 of 2012 concerning Juvenile Justice System. Keywords: juvenile justice system, justice, legal certainty, purposiveness. PENDAHULUAN dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, A. Latar Belakang negara dan pemerintah bertanggung jawab Anak merupakan anugerah dari Sang Maha menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi Pencipta di mana dalam dirinya melekat harkat anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak dan perkembangan anak secara optimal dan sebagai generasi muda mempunyai potensi terarah sebagaimana termaktub dalam penjelasan dalam diri pribadinya sebagai penerus cita-cita Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, Perlindungan Anak. mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin Dalam hal anak terlibat dengan kasus kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di hukum maka Undang-Undang Nomor 11 masa mendatang. Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Konsideran Undang-Undang Nomor mengkategorikannya sebagai anak yang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berkonflik dengan hukum. Menurut Pasal 1 ayat menyebutkan agar setiap anak kelak mampu (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 anak memikul tanggung jawab tersebut, maka ia yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak (delapan belas) tahun yang diduga melakukan mulia. Untuk itu diperlukan upaya perlindungan tindak pidana. untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan Sebelum adanya Undang-Undang Nomor memberikan jaminan terhadap pemenuhan 11 Tahun 2012, proses pengadilan anak diatur oleh hak-hak anak serta adanya perlakuan tanpa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang diskriminasi. Sistem Pengadilan Anak sebagai upaya pembinaan Orang tua, keluarga, dan masyarakat dan perlindungan dalam rangka menjamin bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, hak-hak anak sesuai dengan kewajiban yang dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras dan 252 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 252 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:29 PM seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian hukum acara yang berlaku (KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. Pada prinsipnya tugas dan kewenangan pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara pidana lainnya (Waluyo, 2008). sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan melakukan tipu muslihat memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain jo. Pasal 82, yaitu sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, penyelesaian perkara anak lebih mengedepankan proses di luar peradilan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan untuk mencari keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Tuntutan jaksa menyatakan bahwa terdakwa S, FY, dan MS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama dengan sengaja dan tipu muslihat mencabuli anak“ sebagaimana diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dalam dakwaan subsidair serta menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) tahun dan 3 (tiga) bulan dikurangi selama para terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar para terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp60.000.000,(enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan wajib latihan kerja. Salah satu contoh perkara pidana anak terjadi di Blitar dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Blitar dengan Nomor Perkara 201/Pid. Sus/2014/PN.Blt pada tanggal 20 Mei 2014. Adapun kronologis dari kasus tersebut pada tanggal 6 Oktober 2013 para terdakwa yang masing-masing pada saat itu berusia 17 tahun dengan sengaja melakukan persetubuhan dengan korban LDS yang pada saat itu berusia 14 tahun. Sebelum disetubuhi, korban terlebih dahulu diberi minuman keras oleh para terdakwa, kemudian setelah korban tidak sadarkan diri para terdakwa menyetubuhi korban secara bergantian. Atas perbuatan tersebut jaksa penuntut umum mendakwa S, FY, dan MS melakukan tindak pidana sebagaimana rumusan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu dengan Hakim diberi wewenang oleh undangundang untuk menerima, memeriksa, dan memutus suatu perkara pidana, ia harus berbuat adil dalam menangani suatu perkara. Dalam memberikan putusan hakim dipengaruhi banyak hal baik yang ada pada dirinya maupun sekitarnya antara lain agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma, dan sebagainya sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan cara pandang yang mempengaruhi pertimbangan dalam memberikan putusan. Namun yang perlu diperhatikan adalah putusan yang ideal adalah putusan yang mengandung aspek kepastian, kemanfaatan, dan keadilan Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 253 | 253 1/18/2016 12:09:29 PM agar pelaku pidana anak jera atas tindak pidana yang telah diperbuat, namun di sisi lain hakhak sebagai anak tetap terpenuhi serta membuat ketertiban hukum dalam masyarakat sehingga penegakan hukum dalam kehidupan masyarakat bisa terwujud. Aspek kepastian menghendaki dalam putusannya, hakim harus berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana prinsip Negara Indonesia adalah negara hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengatur bahwa anak yang melakukan tindak pidana dijatuhi dengan pidana pokok dan pidana tambahan. Berbeda dengan penjatuhan pidana menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang menghendaki proses peradilan anak harus mengutamakan dan mengedapankan upaya diversi. Hal ini dimaksudkan untuk menarik penyelesaian perkara pidana anak keluar dari ranah justisi ke dalam penyelesaian kekeluargaan dengan mekanisme musyawarah mufakat. Berdasarkan asas kemanfaatan, putusan hakim tidak serta-merta berpedoman pada ketentuan undang-undang. Namun lebih dari itu hakim harus memandang bahwa masyarakat dan negara berperan serta terhadap pemenuhan hakhak anak. Hal ini sebagai wujud perlindungan terhadap tumbuh kembang anak baik anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban sesuai dengan prinsip Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir. Dengan adanya penjatuhan pidana tersebut menjadi shock therapy bagi terdakwa dengan harapan tidak 254 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 254 mengulangi tindak pidana di masa yang akan, sehingga putusan hakim membawa kemanfaatan bagi terdakwa. Sedangkan keadilan pada hakikatnya bersifat abstrak dan relatif. Dalam hukum pidana khususnya dalam sebuah kasus pidana keadilan sangat sulit diciptakan karena terdapat dua pihak berbeda kepentingan yang menuntut terciptanya sebuah keadilan, kedua pihak tersebut adalah pelaku dan korban, keadilan bagi pelaku tentu pidana yang ringan dan hal itu tentu akan bertentangan dengan keadilan bagi pihak korban, begitupun sebaliknya, keadilan bagi pihak korban adalah pidana seberat-beratnya kepada pelaku dan hal itu tentu ditentang oleh pelaku yang merasa tidak adil, dengan demikian sangat sulit menentukan sebuah keadilan yang bisa memberikan kepuasan kedua belah pihak. Di sinilah peran hakim untuk bisa mengakomodir kepuasan para pihak akan keadilan melalui putusan hakim (Prabowo, 2013, hal. 114-115). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan kronologis kasus di atas, maka yang akan dijawab dalam kajian ini adalah: Apakah hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/ PN.Blt tersebut sudah memenuhi aspek yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan)? C. Tujuan dan Kegunaan Dari penelitian hukum yang akan dilakukan tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan menganalisis aspek yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan) bagi terdakwa dalam Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:29 PM D. Studi Pustaka 1. Tinjauan Tentang Pidana Anak 1.2 Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 1.1 Pengadilan dan Perlindungan Anak menyatakan bahwa dapat anak dapat dijatuhkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana atau tindakan. Dengan menyimak Pasal 71 ayat Anak menyatakan Sistem Peradilan Pidana (1) dan ayat (2) diatur pidana pokok dan pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian tambahan bagi anak: perkara anak yang berhadapan dengan hukum, a. Pidana pokok mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. 1. Pidana peringatan Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak (sidang anak) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara anak dilakukan oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri yang bersangkutan melalui ketua pengadilan tinggi. Pasal 53 menegaskan bahwa: (1) Anak b. disidangkan dalam ruang sidang khusus anak; (2) Ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa; (3) Waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Dalam Pasal 55 ayat (1) dinyatakan pula dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak. 2. Pidana dengan syarat: a. Pembinaan di luar lembaga b. Pelayanan masyarakat c. Pengawasan 3. Pelatihan kerja 4. Pembinaan dalam lembaga 5. Penjara Pidana tambahan 1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. Pemenuhan kewajiban adat. Yang dimaksud dengan “kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental anak. Pada prinsipnya, tugas dan kewenangan pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara c. Tindakan pidana lainnya. Meski prinsipnya sama, namun Beberapa tindakan yang dapat dikenakan yang tetap harus diperhatikan ialah perlindungan kepada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 anak merupakan tujuan utama. Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 255 | 255 1/18/2016 12:09:29 PM ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak meliputi: • Pengembalian kepada orang tua/ wali; • Penyerahan kepada seseorang; • Perawatan di rumah sakit jiwa; • Perawatan di LPKS; • • 2. Tinjauan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak di Bawah Umur Pengertian mengenai istilah persetubuhan tidak diatur dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam kedua peraturan tersebut hanya mengatur ketentuan pidananya saja. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah “kejahatan terhadap kesusilaan,” tidak Kewajiban mengikuti pendidikan menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual formal dan/atau pelatihan yang violence) yang diartikan sebagai perbuatan diadakan oleh pemerintah atau badan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat swasta; dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Pencabutan surat izin mengemudi; Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dan/atau dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan • Perbaikan akibat tindak pidana. semata-mata sebagai persoalan pelanggaran Yang dimaksud dengan ”penyerahan terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, kepada seseorang” adalah penyerahan kepada atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu orang dewasa yang dinilai cakap, berkelakuan perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap baik, dan bertanggung jawab, oleh hakim serta tubuh dan jiwa seseorang. dipercaya oleh anak. Perawatan di rumah sakit Pasal 287 ayat (1) KUHP menyatakan: jiwa diberikan kepada anak yang pada waktu ”Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita melakukan tindak pidana menderita gangguan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau jiwa atau penyakit jiwa. sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, Tindakan penyerahan anak diancam dengan pidana penjara paling lama kepada seseorang dilakukan sembilan tahun.” untuk kepentingan anak yang Sedangkan Pasal 81 Undang-Undang bersangkutan. Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Tindakan perawatan terhadap anak Anak berbunyi: dimaksudkan untuk membantu orang tua/wali dalam mendidik dan (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman memberikan pembimbingan kepada kekerasan memaksa anak melakukan anak yang bersangkutan. persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling Selain itu pula dalam Pasal 83 disebutkan: • • 256 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 256 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:29 PM lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,(enam puluh juta rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dengan berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis (aturan yang sifatnya khusus mengesampingkan aturan itu, diuacapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu sengketa antara para pihak” (Prabowo, 2013, hal. 54-55). Putusan hakim adalah sebuah produk hukum yang dihasilkan dari serangkaian proses persidangan dalam: 1. Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT) dalam lingkungan Peradilan Umum. 2. Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan Peradilan Agama. 3. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. sifatnya umum), maka tindakan pencabulan terhadap anak yang berumur di bawah 18 tahun menjadi domain undang-undang ini, dan KUHP hanya dapat dipergunakan terhadap tindak 4. pidana pencabulan terhadap anak yang berumur di atas 18 tahun tetapi masih di bawah 21 tahun dan belum pernah kawin (Sadiwijaya, Marlina, Mulyadi, & Baru, 2012, hal. 6). Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan Peradilan Militer. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan: 3. Tinjauan Tentang Putusan Hakim a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib; b. Putusan bebas; c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 3.1 Pengertian Putusan Hakim Dalam hukum acara pidana Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Senada dengan hal tersebut Prof. Sudikno Mertokusumo memberikan definisi putusan hakim “sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang 3.2 Syarat Formalitas Putusan Hakim Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak terpenuhi, kecuali pada huruf g, putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah: Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 257 | 257 1/18/2016 12:09:29 PM a. b. c. d. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; k. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat l. tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa; dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera (Hamzah, 2010, hal. 288). Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP pertimbangan yang disusun secara ringkas dikatakan bahwa surat keputusan ditandatangani mengenai fakta dan keadaan beserta oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan alat-pembuktian yang diperoleh dari itu diucapkan (Hamzah, 2010, hal. 289). pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa; 3.3 Syarat Materiil Putusan Hakim e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya 258 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 258 Demi untuk menjamin keadilan bagi para pihak yang berperkara di persidangan menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan) dan filosofis (keadilan). Adapun penjelasan mengenai apa yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo adalah sebagai berikut: a. Yuridis (kepastian hukum) Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenangJurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:29 PM wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. c. Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian hukum, ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah (Sanjaya, 2015, hal. 169-170). b. Nilai sosiologis (kemanfaatan) Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat. Dalam hal pertanggungjawaban atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak dapat diminimalisirkan dengan upaya diversi. Upaya diversi ini merupakan pengalihan perkara di luar peradilan, sehingga anak umur 12-15 tahun yang dianggap kemampuan berpikirnya lemah bisa dilakukan pelajaran berupa hukuman bukan hukuman pidana. Demikian juga bagi anak umur 15-18 tahun juga bisa dibantu dengan upaya diversi. Usia anak 12-18 tahun merupakan usia untuk memperoleh hak pendidikan agar menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan agama. Filosofis (keadilan) Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa dasar filosofis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, ialah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang memiliki lima asas moral yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Indonesia yang memiliki keragaman adat istiadat dan budaya mengenal penyelesaian sengketa tanpa harus diselesaikan di meja pengadilan dalam perkara anak yang sedang berhadapan dengan hukum. Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 merupakan undangundang hasil ratifikasi dari beberapa peraturan internasional mengenai perlindungan anak antara lain: Beijing Rules dan Convention on The Right of The Child. Sedangkan untuk perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum harus diupayakan penyelesaian secara damai untuk meminimalisir anak berkonflik dengan hukum. Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 259 | 259 1/18/2016 12:09:29 PM mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan. Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa- b. jasa perseorangan (Apeldoorn, 2000, hal. 11-12). II. METODE A. Pendekatan Hukum 1997 tentang Pengadilan Anak; • Dalam metode penelitian ini maka penulis melakukan pendekatan hukum yuridis normatif c. yaitu melihat hukum sebagai norma dalam masyarakat atau sebagai ide/cita-cita dengan melakukan sebuah kajian legal memorandum yaitu sebuah penelitian yang mengkaji isi dari Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt tentang C. tindak pidana persetubuhan terhadap anak dengan pelaku di bawah umur. Jenis Bahan Hukum a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum a. utama yang digunakan dalam sebuah penelitian, dan dalam penelitian ini bahan hukum primer penulis adalah Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait antara lain: • Kitab Undang-Undang Pidana; • Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; Hukum • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; • Undang-Undang Nomor 3 Tahun Jurnal isi edit arnis ok.indd 260 Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer, dan dalam penelitian ini bahan hukum sekunder penulis adalah buku terkait tindak pidana, buku terkait tindak pidana terhadap anak, artikel-artikel terkait tindak pidana persetubuhan baik dari media cetak maupun elektronik. Bahan hukum tersier yang digunakan penulis untuk mendukung terselesaikannya penelitian ini adalah hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan penulis untuk menyelesaikan penelitian ini adalah: B. 260 | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Studi dokumen Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” (Prabowo, 2013,hal. 21). Adapun dokumen yang digunakan penulis adalah yang menjadi objek penelitian ini yaitu Putusan Nomor 201/ Pid.Sus/ 2014/ PN.Blt. b. Studi kepustakaan Studi kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber hukum dan dipublikasikan secara luas serta diterbitkan dalam penulisan. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:29 PM D. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis terhadap bahan hukum yang dilakukan adalah analisis terhadap isi Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Filosofi sistem peradilan pidana anak mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat untuk kepentingan masa depannya yang masih panjang. Terhadap anak yang terlanjur menjadi pelaku tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana yaitu mengupayakan seminimal mungkin intervensi sistem peradilan pidana (Marlina, 2010, hal. 1). Pada dasarnya hakim mempertimbangkan segala sesuatunya dari beberapa aspek dalam menjatuhkan putusan yaitu: a. Aspek yuridis. Dalam teori dan doktrin hukum pidana ada yang disebut dengan perbuatan pidana (strafbaarheid van heit feit) dan pertanggungjawaban pidana (strafbaarheid van de person/ van de dader). Perbuatan pidana yang dilakukan para terdakwa harus ada pertanggungjawaban dari segi kualitas perbuatan. Setiap orang bertanggung jawab sejauh terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Hakim dengan melihat hal itu berpendapat dan berkeyakinan kesalahan yang dibebankan kepada para terdakwa memang sudah seimbang. b. Aspek filosofis. Merupakan upaya untuk menanamkan pandangan dan sikap baru bagi diri terdakwa dari segi ontologis (kenyataan yang ada), epistemologis (pengetahuan yang benar), aksiologis (nilai-nilai yang baik) yang secara radikal dan menyeluruh memberikan pemahaman dan pencerahan bahwa prinsip melakukan perbuatan baik dan jangan melakukan perbuatan jahat adalah suatu nilai, norma, dan budaya yang harus terus dijaga dan diterapkan dalam setiap aktivitas dan kehidupan sehari-hari semenjak dini agar tidak terseret ke dalam kesulitan yang lebih jauh. Dasar filosofis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah Pancasila, dan fungsi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, merupakan salah satu fungsi di samping berbagai fungsi yang lain. Fungsi-fungsi yang lain itu meliputi Pancasila sebagai ideologi, Pancasila sebagai dasar filsafat negara, Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, dan Pancasila sebagai dasar negara. Masing-masing dari fungsi tersebut memiliki konteks tertentu. Fungsi Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan pandangan dari perspektif politik dengan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, merupakan pandangan dari sudut filsafat moral atau etika dalam konteks kehidupan individu atau pribadi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara merupakan pandangan dari sudut yuridis atau hukum, yang juga menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Aspek psikologis. Yaitu upaya untuk menanamkan rasa malu yang bersifat psikis kepada siapa saja yang melakukan tindakan melanggar hukum. Hukuman yang tepat selain akan berdampak hukum bagi terdakwa juga Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 261 | 261 1/18/2016 12:09:30 PM akan berdampak psikis dalam artian akan ada sanksi moral yang kiranya sudah cukup memberikan rasa malu bagi terdakwa bahkan mungkin terhadap keluarganya juga. c. d. Aspek sosiologis. Yakni dengan melihat keadaan masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang, maka keinginan masyarakat akan aspek keamanan dan ketertiban haruslah ditangkap sebagai semangat untuk giat membangun meraih kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Pengertian anak korban menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah anak yang belum berumur delapan belas tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Perlunya penggunaan hukum adat untuk penyelesaian perkara anak sebagai upaya jalan damai dari pihak pelaku kepada pihak korban ini bisa dijadikan sebagai landasan sosiologis. Jika melihat dari pertimbangan hakim di atas kembali lagi bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik, mendeklarasikan dirinya sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi hukum. Hal ini tertulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 hasil amandemen ke-3 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, Indonesia adalah negara yang menghendaki hukum sebagai alat untuk mengendalikan tingkah laku manusia untuk terselenggaranya suatu keteraturan dan keseimbangan hubungan di antara masyarakat serta kepentingan-kepentingan yang akan timbul agar tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat (Prabowo, 2013, hal. 1). Secara universal dapat dikatakan bahwa fungsi hukum yang utama adalah sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan perkataan lain sebagai sarana kontrol sosial. Tujuan dari pemidanaan adalah untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk Aspek edukatif paedagogis. Aspek ini melakukan tindak pidana, membuat penjahatmemuat konsep tentang terapi yang tepat penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan harus dimasukkan dari setiap penghukuman tindak pidana. Menurut Sahardjo, tujuan yang dijatuhkan. Dalam artian hakim pidana penjara adalah untuk menimbulkan rasa berpendirian tindak pidana yang dilakukan derita pada terpidana karena dihilangkannya terdakwa memang benar-benar harus kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana dijatuhi hukuman yang sesuai dengan tujuan agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi pemidanaan itu sendiri bukan semata-mata seorang anggota masyarakat sosialis di Indonesia sebagai pembalasan/represif melainkan yang berguna (Asmarawati, 2014, hal. 30, 23). sebagai usaha preventif dan lebih tegas lagi bersifat edukatif, konstruktif, dan motivatif Dalam sistem peradilan pidana anak bagi kehidupan terdakwa di masa yang akan perangkat hukum mulai dari penyidik, penuntut datang. Hal itu dimaksudkan agar terdakwa umum, hakim, hakim banding, hakim kasasi tidak mengulangi perbuatan tersebut dan kesemuanya khusus untuk menangani anak. juga bagi masyarakat merupakan suatu Dalam peraturan terbaru ini penegak hukum shock therapy. diwajibkan mengupayakan penyelesaian secara 262 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 262 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:30 PM diversi pada seluruh tahapan proses hukum. Dalam memeriksa anak tersebut seluruh perangkat hukum tidak memakai pakaian dinas atau toga. Hakim pemeriksa perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup. Mengupayakan hak-hak yang terbaik bagi anak sebagai bentuk perlindungan dan pembinaan bukan sebagai pembalasan seperti dalam sistem peradilan pidana orang dewasa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mana upaya diskresi hanya bisa dilakukan oleh diskresioner dalam hal ini adalah orang tua, wali atau orang tua asuh. pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan) (Prabowo. 2013, hal. 57). Adapun penjelasan mengenai apa yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo adalah sebagai berikut: a. Yuridis (kepastian hukum) Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sebagian pakar hukum pidana, psikolog maupun pengamat perilaku anak berpendapat penanganan pidana anak harus berbeda dengan penanganan pidana orang dewasa. Selain itu mengubah pola pikir masyarakat yang mendiskreditkan pelaku dari lingkungan sekitar harus diperbaiki. Paradigma negatif masyarakat terhadap pelaku turut mempengaruhi sistem di masyarakat. Perubahan sudut pandang dengan mengedepankan norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat dengan tidak menghakimi atau mencabut hak-hak anak seperti pendidikan, bermain, perlindungan turut menjadi upaya sebagai penguatan sistem komunitas. Maka dari itu diharapkan dengan kembalinya pelaku ke Radbruch memberi pendapat yang cukup masyarakat luas mendapatkan dukungan dari mendasar mengenai kepastian hukum. Ada empat masyarakat sekitar untuk reintegrasi anak yang hal yang berhubungan dengan makna kepastian melakukan pelanggaran. hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif yakni Selain harus memenuhi syarat formil seperti perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu yang dikemukakan tersebut putusan hakim juga didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan harus memenuhi syarat materiil. Menurut Sudikno itu pasti. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus Mertokusumo dalam menegakkan hukum dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, dan samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk positif tidak boleh mudah berubah (Sanjaya, menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di 2015, hal. 169-170). Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 263 | 263 1/18/2016 12:09:30 PM Menurut penulis terhadap makna kepastian hukum yang keempat di atas adalah hukum tidak boleh mudah berubah, namun jika melihat realita yang ada di lapangan bahwasanya masyarakat bersifat dinamis sedangkan hukum adalah statis. Maka hukum seharusnya menyesuaikan dengan kebutuhan suatu masyarakat akan hukum. Sebagaimana dikutip dari Wagiati Soetedjo dan Melani menyatakan sistem peradilan pidana erat kaitannya dengan perundangan itu sendiri, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Perundang-undangan pidana anak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah terutama didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-undang Pengadilan Pidana (Sutedjo & Melani, 2013, hal. 135). Sedangkan prinsip Baijing Rules mengatur anak pelaku tindak pidana dihindarkan dari pidana penjara. Penjatuhan pidana merupakan upaya terakhir, karena penjatuhan pidana terhadap pelaku anak berakibat anak masuk lembaga pemasyarakatan anak (Marlina, 2010, hal. 12). Putusan hakim di atas menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama dua tahun dan tiga bulan; Menjatuhkan pula pidana kepada para terdakwa untuk membayar denda masing-masing sebesar enam puluh juta rupiah, dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka akan digantikan dengan wajib latihan kerja selama tiga bulan. Undang-Undang terbaru diberlakukan kepada para terdakwa akan lebih tepat. Penyelesaian secara diversi dalam peradilan pidana yang dilakukan oleh anak sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dilaksanakan berdasarkan asas: a. Perlindungan b. Keadilan c. Non diskriminasi d. Kepentingan terbaik bagi anak e. Penghargaan terhadap pendapat anak f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak g. Pembinaan dan pembimbingan anak h. Proporsional i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir j. Menghindari pembalasan Bila dikaitkan dengan restorative justice dalam penyelesaian perkara anak yang sedang berhadapan dengan hukum, ternyata Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki lebih dari satu suku, budaya, agama yang mana tiap daerahnya berbeda-beda, telah lebih dahulu mengenal istilah penyelesaian sengketa tanpa harus diselesaikan di meja pengadilan. Berbagai upaya dilakukan untuk menemukan jalan damai dari pihak pelaku kepada pihak korban yang mana dengan ini bisa dijadikan sebagai landasan sosiologis untuk penerapan diversi itu sendiri. Dalam perkara ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 masih berlaku berdasarkan perkara yang diputus oleh hakim pada 20 Mei 2014 yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan Dengan adanya upaya damai, penciptaan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. keamanan dan ketertiban dalam aspek apapun Jika proses diversi yang diatur dalam Pasal 6 264 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 264 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:30 PM akan menjadi lebih tertata dengan apik dan rapi serta menjamin keselamatan dan ketenangan masyarakat dari tindakan balas dendam yang berimplikasi ke semua persoalan hidup. Pencegahan kejahatan secara dini mampu melindungi masyarakat dari terulangnya lagi suatu tindak pidana yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mulai berlaku pada 30 Juli 2014, sedangkan perkara diputus pada pada tanggal 20 Mei 2014. Sangat disayangkan jika proses peradilan anak masih terdapat intervensi peradilan pidana layaknya orang dewasa. di dalam masyarakat bahwa tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur akan terulang kembali bahkan merajalela. Dalam pertimbangannya hakim memandang dari sisi tindak pidana yang dilakukan terdakwa memang benar-benar harus dijatuhi hukuman yang sesuai dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Menurut Marlina, tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan jiwa anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan b. Kemanfaatan putusan hakim atau telah melakukan perbuatan menyimpang Masyarakat mengharapkan manfaat dalam (Marlina, 2010, hal. 158). pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum Selain itu penjatuhan pidana dimaksudkan adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum agar terdakwa tidak mengulangi perbuatan atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau tersebut dan juga bagi masyarakat merupakan kegunaan bagi masyarakat jangan sampai justru suatu shock therapy. Sekali lagi penjatuhan pidana karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam timbul keresahan di dalam masyarakat. tetapi yang paling penting adalah pemberian Dari catatan atas pengalaman penanganan bimbingan dan pengayoman bagi anak. anak yang diduga melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) yang berkedudukan di Bandung, ternyata 95% anak dikenakan penahanan dan 100% vonis hakim berupa pidana penjara. Banyaknya anakanak yang masuk tahanan dan/atau divonis hakim untuk masuk penjara di samping dapat menimbulkan dampak frustasi pada si anak juga dapat menimbulkan masalah berat kelak di kemudian hari dan dapat menimbulkan faktor kriminogen (Sutedjo & Melani, 2013, hal. 132133). Konsepsi baru fungsi pemidanaan adalah bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga fungsi pemidanaan sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial (pemasyarakatan) sehingga seseorang yang telah menjalani pidana dapat dengan cepat kembali lagi beradaptasi di tengah masyarakat, sebagaimana layaknya warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. c. Filosofis (keadilan) Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum Namun apabila ketiga terdakwa tersebut hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam tidak diberi sanksi sesuai dengan putusan pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. hakim justru hal ini akan membuat keresahan Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 265 | 265 1/18/2016 12:09:30 PM Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Contohnya bahwa barang siapa yang mencuri harus dihukum, jadi setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan tetapi sebaliknya keadilan itu bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan perkataan lain sebagai sarana kontrol sosial. Tujuan dari pemidanaan adalah untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana, membuat penjahatpenjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan tindak pidana (Asmarawati, 2014, hal. 30, 23). Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan. Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan (Apeldoorn, 2000, hal. 11-12). Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian apabila suatu perbuatan yang disangkakan sebagai perbuatan pidana apabila tidak memenuhi unsur sekurangkurangnya dua alat bukti maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana. Sejalan dengan hal tersebut mengenai penjelasan tentang alat bukti yang sah telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Dapat digambarkan bahwa penjatuhan pidana kepada seseorang berdasarkan alat bukti yang cukup. Secara universal dapat dikatakan bahwa fungsi hukum yang utama adalah sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan 266 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 266 a. Keterangan Saksi b. Keterangan Ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan Terdakwa Alat bukti yang dimaksudkan di atas adalah alat bukti yang sah menurut KUHAP. Sehingga dalam hal terdakwa masih di bawah umur ketika melakukan tindakan pidana tersebut tentunya ada banyak perbedaan dengan terdakwa usia dewasa dari tahap penyidikan hingga persidangan di pengadilan anak, hukum acara yang digunakan sampai kepada sanksi penjatuhan pidana yang Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:30 PM berbeda dengan terdakwa usia dewasa termasuk penggunaan alat bukti. Bahwa dari ketiga terdakwa dijatuhi pidana penjara sama rata walaupun dalam pemeriksaan di muka persidangan terdakwa MS bersikeras tidak mengakui perbuatannya sehingga dalam pledoinya, penasihat hukum terdakwa meminta kepada hakim untuk membebaskan terdakwa MS dari segala tuntutan jaksa penuntut umum namun keterangan tersebut tidak didukung bukti maupun keterangan terdakwa atau saksi. Apabila pledoi penasihat hukum ini diterima oleh hakim maka akan mencederai rasa keadilan bagi terdakwa yang lain. satu terdakwa, MS, bersikeras tidak mengakui perbuatannya. Dalam pledoinya, penasihat hukum terdakwa meminta kepada hakim untuk membebaskan terdakwa MS dari segala tuntutan jaksa penuntut umum namun keterangan tersebut tidak didukung bukti maupun keterangan terdakwa atau saksi. Apabila pledoi penasihat hukum ini diterima oleh hakim maka akan mencederai rasa keadilan bagi terdakwa yang lain. Menurut penulis penting bagi hakim untuk memperhatikan setiap syarat materiil karena dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil. V. SARAN IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan kesimpulan di atas diperoleh suatu gagasan untuk pembaruan sistem Dalam menjatuhkan putusan, hakim anak hukum di Indonesia khususnya pembaruan sistem pemeriksa perkara di atas mengutamakan tiga hukum peradilan anak. Dalam pembaruan sistem aspek. Pertama, aspek yuridis (kepastian hukum) hukum tersebut dihasilkan beberapa saran: untuk menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan 1. Untuk menghindari stigma negatif dari oleh bunyi hukum/ peraturannya. Oleh karena masyarakat terhadap pelaku anak dengan perkara ini diputus hakim pada 20 Mei 2014 berlakunya Undang-Undang Nomor 11 sedangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, 2012 mulai berlaku pada 30 Juli 2014. Sangat terutama yang mengatur tentang diversi, disayangkan jika proses peradilan anak masih maka pihak-pihak penegak hukum harus terdapat intervensi peradilan pidana layaknya mengupayakan tindakan diversi terhadap orang dewasa. perkara anak dalam hal ancaman pidana di Kedua, aspek sosiologis (kemanfaatan hukum). Dalam pertimbangannya hakim memandang dari sisi tindak pidana yang 2. dilakukan terdakwa memang benar-benar harus dijatuhi hukuman yang sesuai dengan tujuan pemidanaan itu sendiri agar kelak para terdakwa tidak mengulangi perbuatannya. Ketiga, aspek filosofis (keadilan) dengan menjatuhkan pidana penjara yang sama kepada ketiga terdakwa. Dalam pemeriksaan di muka persidangan salah bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan suatu tindak pidana. Penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan proses diversi harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas, dukungan keluarga dan masyarakat dengan memperhatikan kesejahteraan anak, pendidikan anak, kepentingan Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan terhadap Perkara Pidana Anak (Sulardi & Yohana) Jurnal isi edit arnis ok.indd 267 | 267 1/18/2016 12:09:30 PM korban, upaya menghindari stigma negatif, perlindungan, dan norma-norma ketertiban umum. 3. U. M. Penegakan hukum pidana dalam tindak pidana pencabulan terhadap anak (Studi putusan no. 396/Pid.B/2012/Pn-Lp di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam). Diakses Dengan dibentuknya peraturan pemerintah dari http://download.portalgaruda.org/article. yang mengatur ketentuan mengenai php?article=109986&val=4099. pedoman pelaksanaan proses diversi, tata Sanjaya, A. W. (2015). Kewenangan penyidikan tindak cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi pidana pencucian uang yang dilakukan oleh harus dimaksimalkan dalam pelaksanaan. anggota Tentara Nasional Indonesia. Tesis. 4. Jember: Program Studi Magister Ilmu Hukum, Perlunya proses pendampingan penyerahan Fakultas Hukum Universitas Jember. anak kepada orang tua atau masyarakat untuk menghindari reaksi negatif Sutedjo, W., & Melani. (2013). Hukum pidana anak masyarakat. Melakukan pendekatan kepada edisi revisi. Cetakan keempat. Bandung: PT. masyarakat agar bisa menerima kembali Refika Aditama. anak di lingkungan sosialnya. Waluyo, B. (2008). Pidana dan pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika. DAFTAR ACUAN Apeldoorn, L. J. V. (2000). Pengantar ilmu hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht). Sadino, O (Ed). Cetakan kedua puluh delapan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Asmarawati, T. (2014). Pidana dan pemidanaan dalam sistem hukum Indonesia. Yogyakarta: Deepublish. Hamzah, A. (2010). Hukum acara pidana Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Marlina. (2010). Pengantar konsep diversi dan restorative justice dalam hukum pidana. Medan: USU Press. Prabowo, G. A. (2013). Analisis terhadap putusan hakim nomor 547/Pid.B/2009/Pn.Mlg tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan karena perintah atasan. Skripsi. Malang: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Sadiwijaya, B., Marlina., Mulyadi, M., & Baru, 268 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 268 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 251 - 268 1/18/2016 12:09:30 PM PENEGAKAN KEADILAN DALAM KEWARISAN BEDA AGAMA Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama UPHOLDING JUSTICE IN THE CASE OF INTERFAITH INHERITANCE An Analysis of Five Court Determinations and Two Court Decisions on the Case of Interfaith Inheritance Muhamad Isna Wahyudi Pengadilan Agama Badung Jl. Sempidi No.1 Mengwi Badung 80351 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 6 Maret 2015; revisi: 30 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015 ABSTRAK Peradilan agama merupakan peradilan khusus bagi orang-orang Islam. Namun, dalam perkara waris yang ditangani oleh peradilan agama dapat melibatkan pihak muslim dan nonmuslim. Hal ini karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. Persoalan penegakan keadilan dalam perkara waris beda agama di pengadilan agama menjadi menarik untuk diteliti. Penelitian ini mengkaji lima penetapan dan dua putusan pengadilan agama dalam perkara waris beda agama dengan menggunakan pendekatan kasus. Perkara waris beda agama yang ditangani pengadilan agama dalam penelitian ini dibedakan dalam dua kasus. Pertama, perkara waris yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau ahli waris muslim dan nonmuslim. Kedua, perkara waris yang terdiri dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim. Pada kasus pertama, penegakan keadilan oleh pengadilan agama masih terbatas bagi ahli waris muslim, dan mengabaikan keadilan bagi ahli waris nonmuslim. Pertimbangan hukum hakim lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi dalam penggunaan logika hukum. Pada kasus kedua, pengadilan agama telah mampu menegakkan keadilan bagi semua, dengan memberikan bagian harta warisan kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat wajibah berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim pengadilan agama menggunakan wasiat wajibah dalam perkara waris beda agama dari pada menyelidiki alasan hukum (ratio legis) hadis yang melarang waris beda agama. Kata kunci: keadilan, waris beda agama, wasiat wajibah, ‘illat. ABSTRACT Religious court is a special court for Muslims. However, the religious court can try cases of inheritance involving Muslims and non-Muslims. This is due to the diversity of Indonesian society. The arising problem at that point is how to enforce law in the case of inheritance involving the parties of different faiths tried in the religious court. This is an interesting issue to analyse. Employing a case-based approach, this analysis examines five court determinations and two court decisions on the case of interfaith inheritance. The cases of interfaith inheritance tried by the religious courts in this analysis are divided into two cases: first, the case of a Muslim child, or two or more children of Muslim and non-Muslim, inherits from a non-Muslim father/testator; second, the case of a non-Muslim child, or two or more children of Muslim and non-Muslim, inherits from a Muslim father/testator. In the first case, the enforcement of law in the religious Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 269 | 269 1/18/2016 12:09:30 PM court is finite to Muslim heirs, and disregard those of non-Muslim. Judge’s considerations seem to reflect a religious bias and inconsistency in the legal logic application. In the second case, the religious court could enforce justice for all parties to divide all portions of the inheritance to the non-Muslim heirs by means of wassiyah wajibah based on the jurisprudence. Religious I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dari segi kewenangan, peradilan agama di Indonesia dapat digolongkan ke dalam peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 disebutkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Perkara tertentu yang menjadi kewenangan peradilan agama dijelaskan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Eksistensi peradilan agama ─sebagai peradilan khusus bagi orang-orang yang beragama Islam─ dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tidak dapat dihindarkan dari persoalan penegakan keadilan bagi semua warga negara terlepas dari agama seseorang, atau penegakan keadilan atas nama agama (hanya bagi orangorang Islam). Hal ini karena dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan beragam suku, agama, dan budaya, hubungan hukum yang terjadi antara para pihak yang berbeda agama 270 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 270 court judge would apply the wasiyah wajibah in deciding the case of interfaith inheritance rather than investigate the legal reasonings (ratio legis) of the hadith that prohibits the interfaith inheritance. Keywords: justice, interfaith inheritance, wassiyah wajibah, ‘illat. tidak dapat dihindari, khususnya dalam bidang hukum keluarga. Dalam perkara waris dimungkinkan terdapat para pihak yang berbeda agama. Ketika pewaris meninggal dalam keadaan beragama Islam, sementara para ahli waris ada yang beragama Islam, dan ada yang beragama non-Islam. Atau sebaliknya, ketika pewaris nonmuslim, sementara para ahli waris ada yang muslim dan ada yang nonmuslim, dan berbagai variasi lainnya. Dalam praktik hukum di pengadilan, perkara waris merupakan salah satu yang berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri dalam hal agama pewaris, penggugat, dan tergugat tidak dijelaskan dalam surat gugatan, sehingga dianggap menundukkan diri kepada hukum adat, atau karena sengketa waris dianggap sebagai perbuatan melawan hukum meski para pihak beragama Islam (Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 62-63). Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan pengadilan negeri dalam menangani perkara waris hanya terbatas bagi nonmuslim. Penyelesaian perkara waris bagi nonmuslim di pengadilan negeri berdasarkan KUH Perdata bagi para pihak yang menundukkan diri kepada KUH Perdata, karena adanya tuntutan kesetaraan di antara ahli waris untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta warisan, tanpa Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:30 PM membedakan agama dan jenis kelamin, seperti yang masih dijumpai dalam hukum adat dan hukum Islam. Sementara hukum adat diterapkan bagi para pihak nonmuslim yang masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 1 Juni 2005. Setelah MS meninggal, ahli waris MS yang terdiri dari satu orang istri dan lima orang anak mengajukan permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan Agama Tebing Tinggi untuk mengurus peralihan hak atas sebidang tanah peninggalan HBS. Dalam praktik hukum di pengadilan agama, Dalam penetapan tersebut, majelis hakim agama pewaris dan ahli waris menjadi dasar memberikan pertimbangan hukum sebagai penentu kewenangan pengadilan agama dalam berikut: memeriksa dan mengadili perkara waris. Hal ini “Menimbang, bahwa demikian juga halnya, karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut bilamana pewaris yang kemudian memeluk asas kesamaan agama antara pewaris dan ahli dan meninggal dunia dalam agama Islam sementara kerabatnya tetap nonmuslim, waris, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf maka nonmuslim tersebut tidak dapat b dan c. menuntut warisan dari pewarisnya yang Islam, akan tetapi, menurut pendapat Namun demikian, dalam praktik juga majelis hakim, kerabat nonmuslim tersebut tetap juga diberi hak dari harta warisan ditemukan, pengadilan agama menangani sekadar memandang adanya pertalian darah perkara waris yang melibatkan pihak muslim dan antara nonmuslim dengan pewaris muslim. nonmuslim dalam dua kasus. Pertama, pewaris Menimbang, bahwa sebaliknya, bilamana nonmuslim, sementara ahli waris terdiri dari pewaris murtad (keluar dari Islam) dan muslim, atau muslim dan nonmuslim. Kedua, kemudian meninggal dunia dalam keadaan pewaris muslim, sementara ahli waris terdiri dari nonmuslim sementara kerabatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim dan nonmuslim. muslim tersebut dapat menjadi ahli waris dan menuntut pembagian harta warisan Kasus pertama dapat ditemukan dalam dari pewaris nonmuslim berdasarkan Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd dan hukum Islam. Sistem kewarisan seperti ini menurut pendapat majelis, disebut dengan Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Duduk sistem kekerabatan (sepertalian darah).” perkara dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/ PA.Ttd adalah HBS yang berstatus janda meninggal dunia pada 28 April 2001 karena sakit dan dalam keadaan beragama Kristen. HBS sebelumnya beragama Islam. HBS ketika meninggal hanya memiliki ahli waris seorang saudara laki-laki bernama MS yang beragama Islam. MS memiliki seorang istri dan lima orang anak yang beragama Islam. Ketika HBS meninggal, HBS memiliki harta peninggalan berupa sebidang tanah. Namun, ketika HBS meninggal, harta peninggalan tersebut belum beralih haknya ke MS hingga MS meninggal pada Pertimbangan hukum di atas dapat menimbulkan ketidakadilan dalam hal pewaris nonmuslim namun ahli warisnya terdiri dari muslim dan nonmuslim, seperti dapat ditemukan dalam Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg. Kasus kedua dapat ditemukan dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU, Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby, Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby, Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby. Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 271 | 271 1/18/2016 12:09:30 PM Duduk perkara dalam Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby adalah para ahli waris yang terdiri dari 12 orang, dengan 7 orang beragama Islam, dan 5 orang beragama Kristen mengajukan permohonan penetapan ahli waris melalui kuasa hukum ke Pengadilan Agama Surabaya. Dalam permohonan tersebut, para ahli waris yang beragama Kristen tidak dimohonkan sebagai ahli waris, tetapi di dalam posita dinyatakan berhak mendapatkan wasiat wajibah dari harta peninggalan pewaris. kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat wajibah dari pewaris muslim. Penyelesaian perkara waris yang mencakup pihak muslim dan nonmuslim dalam kenyataan menghadapi hambatan dalam hal akses terhadap keadilan, yaitu pada tahapan akses terhadap forum yang sesuai. Ketiadaan aturan tentang kewenangan pengadilan dalam menangani perkara waris beda agama telah menimbulkan persinggungan kewenangan pengadilan antara pengadilan negeri dengan pengadilan agama, Dalam penetapan tersebut, majelis hakim yang dapat mengantarkan pada ketidakpastian memberikan pertimbangan hukum sebagai dan ketidakadilan bagi para pencari keadilan. berikut: Ketidakadilan muncul karena hukum waris yang diterapkan di pengadilan negeri dan di pengadilan “Menimbang, bahwa walaupun pemohon IV, pemohon VIII tidak dapat menjadi agama berbeda. ahli waris dari XXXX , demikian pula pemohon IX, pemohon XI dan pemohon XII tidak dapat menjadi ahli waris dari B. Rumusan Masalah XXXX yang berarti juga tidak dapat Berdasarkan latar belakang di atas, dapat menjadi ahli waris dari almarhum XXXX alias XXXX dan almarhumah XXXX alias dirumuskan pokok masalah yang akan dikaji dalam XXXX, namun yang bersangkutan tetap penelitian ini yaitu bagaimana penegakan keadilan berhak memperoleh harta warisan dari pewaris (almarhum XXXX alias XXXX dalam perkara waris yang mencakup pihak muslim dan almarhumah XXXX alias XXXX) dan nonmuslim di pengadilan agama, baik dalam yang beragama Islam berdasarkan wasiat wajibah, bukan dalam kapasitas sebagai bentuk penetapan maupun putusan? ahli waris tetapi dalam kapasitas sebagai penerima wasiat wajibah (secara serta merta walau tidak diwasiatkan), sesuai dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 yang antara lain dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa anak kandung nonmuslim bukan ahli waris, namun berhak mendapatkan bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah dari pewaris muslim.” Pertimbangan hukum di atas lebih mampu mewujudkan keadilan bagi ahli waris nonmuslim, meski bukan sebagai ahli waris, dengan memberikan bagian dari harta warisan 272 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 272 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penegakan keadilan dalam perkara waris yang melibatkan pihak muslim dan nonmuslim di pengadilan agama dan apa pertimbangan hukum hakim pengadilan agama dalam hal memberikan atau tidak memberikan bagian harta warisan terhadap ahli waris nonmuslim. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam upaya mewujudkan kepastian hukum dan keadilan dalam penyelesaian Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:30 PM perkara waris beda agama di Indonesia baik dalam Menurut Aristoteles, keadilan mesti hal penerapan hukum terkait waris beda agama, dipahami dalam pengertian kesetaraan. Namun, maupun pengaturan tentang forum yang sesuai kesetaraan perlu dibedakan antara kesetaraan dalam penyelesaian perkara waris beda agama. numerik dan kesetaraan proporsional. Kesetaraan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang dimaksud sekarang dengan D. Studi Pustaka prinsip kesetaraan di depan hukum bagi semua 1. Perspektif Keadilan warga (equality before the law). Sementara Keadilan merupakan salah satu ajaran kesetaraan proporsional memberikan kepada pokok dalam Islam yang bersifat universal. setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai Melalui sejumlah ayat dalam Al Quran, yaitu: dengan kemampuan, prestasi, dan sebagainya (QS. 4: 58, 135), (QS. 5: 8, 42), (QS. 7: 29), (QS. (Friedrich, 2004, hal. 24). 16: 90), (QS. 42: 15), (QS. 49: 9), dan (QS. 57: 25), Islam memerintahkan penegakan keadilan bagi semua orang. Bahkan, Islam memerintahkan untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap nonmuslim selama mereka tidak menyerang dan mengusir umat muslim (QS. 60: 8). Menurut Radbruch, keadilan berarti menjatuhkan putusan tanpa memandang kedudukan seseorang, memperlakukan setiap orang dengan standar yang sama. Keadilan, merupakan salah satu nilai hukum, selain kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketiga nilai hukum tersebut tidak selalu menyatu secara harmonis di dalam hukum. Hukum yang bertentangan dengan nilainilai tersebut tidak memiliki keabsahan (Radbruch, 2006, hal. 13-14). Ketiga nilai hukum tersebut memiliki tingkatan secara hierarkis, kepastian hukum berada di tengah antara kemanfaatan dan keadilan. Ketika muncul pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, sebenarnya terdapat pertentangan antara keadilan yang tampak (apparent) dan keadilan yang sejati (real). Kepastian hukum yang menjadi karakter hukum positif harus mengalah kepada keadilan (Radbruch, 2006, hal. 6-7). Aristoteles juga membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik, sementara keadilan korektif berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif mengandaikan imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Keadilan jenis ini berfokus pada distribusi honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga. Distribusi yang adil merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yaitu nilainya bagi masyarakat (Friedrich, 2004, hal. 25). Sedangkan keadilan korektif mengandaikan ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi, dan dihilangkan. Keadilan jenis ini berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu larangan dilanggar atau kesalahan dilakukan, keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 273 | 273 1/18/2016 12:09:31 PM terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus kembali kesetaraan tersebut (Friedrich, 2004, hal. dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa 25). (Kelsen, 2011, hal. 16). Teori keadilan Rawls menawarkan dua prinsip keadilan. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan dasar yang sama secara luas yang sesuai dengan pola kebebasan yang serupa bagi yang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga layak diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan ketidaksamaan sosial dan ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan yang terbuka bagi semua orang (Rawls, 1971, hal. 53). Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Teori keadilan Rawlsian, tujuan utamanya bukanlah menghapus ketidaksamaan, melainkan memastikan adanya kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang terlemah. Hal demikian dapat dipenuhi dengan syarat, pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi orang yang lemah, artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang yang paling lemah. Pilihan dengan asas maximum minimorum yang digunakan orang dalam kontrak hipotetis di mana masing-masing berada di balik “cadar ketidaktahuan” (veil of ignorence) guna memilih prinsip keadilan. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang (Rawls, 1971, hal. 72-73). Berdasarkan kerangka Rolax, ada enam tahapan proses pencarian keadilan. Pertama, seseorang menyadari bahwa situasi atau pengalaman tertentu merugikan, dan merupakan ketidakadilan. Kedua, seseorang merasa ketidakadilan tersebut disebabkan perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh orang lain, dan atas dasar itu merumuskan sebuah keluhan. Ketiga, pencari keadilan mengadukan keluhan tersebut terkait dengan pelanggaran hukum (adat, negara, Islam) yang merugikan, dan menuntut pemulihan atas pelanggaran tersebut. Keempat, pencari keadilan dapat mengungkapkan keluhan dan mengadukannya di hadapan sebuah forum (pengadilan, dewan adat, kepala kampung, dll) yang dapat membantunya untuk memperoleh pemulihan. Kelima, penanganan pengaduan oleh forum yang dipilih dengan menerapkan normanorma yang berlaku secara imparsial. Keenam, pencari keadilan memperoleh ganti rugi atas keluhannya ketika putusan atau kesepakatan dilaksanakan (Berenschot & Bedner, 2010, hal. 13-14). 2. Kewarisan Beda Agama dalam Hukum Islam Menurut hukum positif tentang kewarisan Islam yang diatur dalam KHI, untuk dapat mewarisi, antara ahli waris dan pewaris harus beragama Islam, memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf b dan c), sedangkan dalam hal terjadi perbedaan Menurut Kelsen, pengertian keadilan agama antara pewaris dan ahli waris tidak diatur bermakna legalitas. Suatu peraturan umum secara jelas. 274 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 274 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:31 PM Dalam Al Quran juga tidak ditemukan satu ayat pun yang secara jelas dan tegas melarang waris beda agama. Dasar hukum yang secara jelas dan tegas melarang waris beda agama justru ditemukan dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa Nabi Saw bersabda: ”Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (Shahih Bukhari, Kitab Faraidh, Hadis No. 6267). Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim, Tirmizi, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Malik, dan AdDarimi. Menurut Riadi, dari segi sanad (rangkaian periwayat) hadis tersebut merupakan hadis sahih, akan tetapi dari segi matan (isi) hadis tersebut diragukan kesahihannya, karena Mu’adz bin Jabal pernah memutus kasus, dalam mana harta warisan dari pewaris Yahudi diberikan kepada ahli waris muslim (Riadi, 2011, hal. 284). II. METODE Penelitian ini merupakan penelitian hukum. Penelitian ini bersifat preskriptif, yaitu memberikan penilaian mengenai sesuatu yang seyogianya dilakukan (Marzuki, 2014, hal. 6970). Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach), yaitu dengan mengkaji alasan-alasan hukum (ratio decidendi) yang digunakan oleh hakim dalam putusan atau penetapan (Marzuki, 2014, hal. 158-166). Bahan hukum primer penelitian ini merupakan putusan dan penetapan pengadilan agama yang melibatkan pihak berperkara muslim dan nonmuslim dalam perkara waris. Dalam penelitian ini, peneliti telah mengumpulkan lima penetapan ahli waris, yaitu Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd, Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg, Terhadap hadis yang melarang waris beda Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU, agama tersebut, beberapa sahabat seperti Mu’adz, Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby, Mu’awiyah, Hasan, Ibn Hanafiyah, Muhammad Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby, dan bin Ali bin Husain, dan Masruq berpendapat dua putusan sengketa waris, yaitu Putusan Nomor bahwa orang muslim dapat mewarisi dari orang 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj dan Putusan Nomor 3321/ nonmuslim, tetapi tidak sebaliknya. Pendapat Pdt.G/2010/PA.Sby. Sedangkan bahan hukum tersebut berdasarkan hadis: “Islam itu tinggi dan sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari tidak dilampaui” (Az-Zuhaili, 1985, VIII, hal. buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum yang 263). relevan dan mendukung penelitian ini. Dalam praktik penerapan hukum di lingkungan peradilan agama, seorang ahli waris nonmuslim dapat memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim melalui wasiat wajibah sejak Putusan Kasasi Nomor 368 K/ AG/1995 tanggal 16 Juli 1998. Dalam putusan tersebut, seorang anak kandung perempuan nonmuslim mendapat bagian warisan dari orang tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris seorang anak perempuan. Putusan tersebut telah menjadi yurisprudensi tetap dan diikuti oleh para hakim di pengadilan agama. Bahan-bahan tersebut akan ditelaah sebagai dasar untuk menjawab pokok masalah dalam penelitian ini. Bahan-bahan hukum primer akan dikelompokkan ke dalam dua kasus, pertama, pewaris nonmuslim, sementara ahli waris terdiri dari muslim, atau muslim dan nonmuslim. Kedua, pewaris muslim, sementara ahli waris terdiri dari muslim dan nonmuslim. Kemudian peneliti akan menganalisis pertimbangan hukum (ratio decidendi) dari bahan-bahan hukum primer tersebut. Hasil analisis tersebut akan dijadikan Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 275 | 275 1/18/2016 12:09:31 PM dasar untuk menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab pokok masalah dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti akan memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan. cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal itu terjadi, maka nonmuslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam. Hanyalah karena kemurahan hati ahli waris yang lain, nonmuslim tersebut mendapatkan bahagian sekadar memandang ada pertalian darah antara nonmuslim itu dengan pewaris. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkara Waris yang Terdiri Dari Pewaris Nonmuslim dengan Ahli Waris Muslim atau Muslim dan Nonmuslim. Ada dua penetapan pengadilan agama dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris nonmuslim, dengan ahli waris muslim dan nonmuslim, yaitu Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd dan Penetapan Nomor 4/ Pdt.P/2013/PA.Bdg. Dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/ PA.Ttd, majelis hakim menetapkan ahli waris yang beragama Islam sebagai ahli waris dari pewaris yang beragama Kristen, yang sebelumnya beragama Islam, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut pendapat majelis hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila disandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan nonmuslim, terlebih-lebih mereka itu sepertalian darah. Menimbang, bahwa penghalang kewarisan karena berbeda agama dalam kajian kewarisan Islam, haruslah dipahami secara 276 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 276 Menimbang, bahwa demikian juga halnya, bilamana pewaris yang kemudian memeluk dan meninggal dunia dalam agama Islam sementara kerabatnya tetap nonmuslim, maka nonmuslim tersebut tidak dapat menuntut warisan dari pewarisnya yang Islam, akan tetapi, menurut pendapat majelis hakim, kerabat nonmuslim tersebut tetap juga diberi hak dari harta warisan sekedar memandang adanya pertalian darah antara nonmuslim dengan pewaris muslim. Menimbang, bahwa sebaliknya, bilamana pewaris murtad (keluar dari Islam) dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan nonmuslim sementara kerabatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut dapat menjadi ahli waris dan menuntut pembagian harta warisan dari pewaris nonmuslim berdasarkan hukum Islam. Sistem kewarisan seperti ini menurut pendapat majelis, disebut dengan sistem kekerabatan (sepertalian darah). Menimbang, bahwa dari uraian di atas, majelis hakim berpendapat, aturan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b dan c harus dipahami sebagai aturan umum dalam kasus-kasus ideal. Dalam kasus-kasus yang insidentil, pendapat majelis tersebut perlu mendapat perhatian yang memadai dan dapat menjadi alternatif hukum materil dalam hukum kewarisan. Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan permohonan para pemohon dalam hal mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, majelis hakim akan merujuk kepada Pasal 171 Kompilasi Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:31 PM Hukum Islam, sementara itu, dalam hal mana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), majelis hakim akan merujuk kepada pendapat hukum yang majelis hakim uraikan di atas.” Ishaq, Sa’id bin al-Musayyib, Masruq, dan Ibrahim an-Nakha’i, bahwa orang muslim boleh mewarisi dari orang nonmuslim, dan tidak boleh sebaliknya (Al-‘Asqalani, XII, hal. 50). Pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Agama Tebing Tinggi dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd tanggal 27 Februari 2008, telah menyimpangi ketentuan Pasal 171 huruf b dan c Kompilasi Hukum Islam sehingga memungkinkan ahli waris muslim untuk mewarisi pewaris nonmuslim yang sebelumnya beragama Islam. Inkonsistensi logika hukum yang demikian telah menunjukkan adanya bias keagamaan dalam menyelesaikan perkara permohonan waris yang melibatkan pihak muslim dan nonmuslim. Bias keagamaan tersebut telah mengantarkan pada ketidakadilan bagi ahli waris nonmuslim yang kehilangan hak untuk mendapatkan bagian warisan dari pewaris nonmuslim, meski memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris dan seagama dengan pewaris. Argumentasi hukum yang digunakan adalah bahwa sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan yang lebih utama bila disandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi. Penghalang kewarisan karena berbeda agama ditujukan semata-mata kepada ahli waris, sehingga ahli waris muslim untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris tidak boleh keluar dari agama Islam. Dalam Penetapan Nomor 4/Pdt.P/2013/ PA.Bdg, majelis hakim menetapkan suami dan dua orang anak pewaris yang beragama Islam sebagai ahli waris dari pewaris yang beragama Hindu, sedangkan dua orang anak pewaris yang beragama Hindu bukan sebagai ahli waris. Duduk perkaranya adalah RS (Islam) menikah dengan NMRN (Hindu) secara Islam dan memiliki Namun demikian, dalam pertimbangan keturunan empat orang anak yaitu: 1) NLES hukumnya, majelis hakim tampak tidak konsisten (sudah meninggal), perempuan, agama Hindu 2) dengan logika hukum yang dibangunnya, ketika RAP, laki-laki, agama Islam, 3) REP, laki-laki, membedakan kedudukan ahli waris muslim agama Hindu, 4) RMS, laki-laki, agama Islam. dengan ahli waris nonmuslim dalam hal pewaris berbeda agama dengan ahli waris. Dalam hal NMRN meninggal pada 29 Mei 2004 dalam pewaris muslim dan ahli waris nonmuslim, keadaan nonmuslim dan RS meninggal pada 10 maka ahli waris nonmuslim bukan ahli waris dan Februari 2010. Almarhum RS meninggalkan tidak dapat menuntut warisan dari pewarisnya. harta berupa dua bidang tanah di Kuta. Kedua Sementara dalam hal pewaris nonmuslim dan ahli anak almarhum RS dan almarhumah NMRN waris muslim, ahli waris muslim dapat menjadi yang beragama Islam, yaitu RAP dan RMS, ahli waris dan menuntut pembagian harta warisan mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari pewaris nonmuslim berdasarkan hukum ke Pengadilan Agama Badung dengan petitum Islam. yang hanya menetapkan anak dari pewaris yang beragama Islam yang menjadi ahli waris. Pendapat majelis hakim tersebut sesuai dengan pendapat Mua’dz bin Jabal dan Pertimbangan hukum hakim dalam Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang diikuti Sya’bi, penetapan tersebut sebagai berikut: Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 277 | 277 1/18/2016 12:09:31 PM “Menimbang, bahwa dari dalil permohonan pemohon, bukti P6 dan keterangan para saksi, NMRN telah meninggal dunia dalam keadaan beragama Hindu meski sebelumnya beragama Islam, halmana menurut Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tahun 1991, seorang pewaris pada saat meninggal dunia harus beragama Islam. Bilamana dihubungkan dengan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam, secara eksplisit Kompilasi Hukum Islam menganut sistem persamaan agama, yakni agama Islam untuk dapat saling mewarisi. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bagaimana sekiranya pewaris itu murtad (keluar dari Islam), apakah hartanya dapat diwarisi oleh muslim ataukah tidak. Sepanjang mengenai hal ini majelis hakim memberikan pendapat hukum sebagai berikut; Menimbang, bahwa menurut pendapat majelis hakim, sistem kewarisan Islam menganut sistem kekerabatan, baik secara nasabiyah maupun secara hukmiyah. Sistem kekerabatan ini lebih utama bila dibandingkan dengan perbedaan agama sebagai penghalang mewarisi, karena hukum kewarisan selain mengandung unsur ibadah, lebih banyak juga mengandung unsur muamalah. Kekerabatan antara seorang dengan seseorang tidak akan pernah terputus sekalipun agama mereka itu berbeda. Seorang anak tetap mengakui ibu kandungnya sekalipun ibu kandungnya itu tidak satu agama dengannya. Islam tidak mengajarkan permusuhan dengan memutuskan hubungan horizontal dengan nonmuslim, terlebih-lebih mereka itu ada pertalian darah; Menimbang, bahwa majelis hakim memandang penghalang kewarisan karena berbeda agama, haruslah dipahami secara cermat. Perbedaan agama itu ditujukan semata-mata kepada ahli waris. Bilamana seseorang ingin menjadi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris, jangan sekali-kali berbeda agama dengan pewarisnya yang muslim. Sekiranya hal itu terjadi, maka nonmuslim tersebut tidak dapat menuntut agar dirinya menjadi ahli waris dan mendapatkan harta warisan dari pewaris menurut hukum Islam; 278 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 278 Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, pewaris yang bernama NMRN sebelumnya beragama Islam, lalu keluar dari Islam dan kemudian meninggal dunia dalam keadaan nonmuslim sementara kerabat terdekatnya tetap memeluk agama Islam, maka kerabat muslim tersebut tetap menjadi ahli waris, dalam hal ini majelis hakim sejalan dan mengambil alih pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali, dan Al Masruq yang bersandar pada hadits Nabi Muhammad Saw (HR. Daruqutni dan Baihaqi): ‘‘AlIslaamu ya’luu wa la yu’la ‘alaihi’’ (Wahbah Al Zuhaili, A-Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal. 263), dan lebih spesifik majelis hakim mengambil alih pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan semua peninggalan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi oleh ahli warisnya yang Islam (Wahbah Al Zuhaili, A- Fiqhul Islamy wa adillatuhu Juz 8 hal. 265); Menimbang, bahwa pertimbangan hukum di atas, tidak berarti majelis hakim menyalahi aturan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf b dan c, majelis hakim memandang Pasal 171 huruf b dan c tersebut di atas harus dipahami sebagai aturan umum dalam kasus-kasus ideal, sementara perkara a quo adalah perkara yang bersifat insidental; Menimbang, bahwa oleh karena itu, dalam menyelesaikan perkara waris dalam kasus yang ideal di mana pewaris dan ahli warisnya beragama Islam, majelis hakim akan merujuk kepada Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, sementara itu, dalam halmana pewarisnya murtad (telah keluar dari Islam), majelis hakim akan merujuk kepada pendapat hukum yang majelis hakim uraikan di atas; Menimbang, bahwa dari keterangan saksisaksi dan bukti P6 diperoleh fakta hukum, ternyata NMRN yang kemudian menjadi nonmuslim telah meninggal dunia dalam keadaan nonmuslim pada tanggal 29 September 2004 dengan meninggalkan seorang suami bernama RS yang beragama Islam, dan empat orang anak yakni NLES beragama Hindu, RAP beragama Islam, REP beragama Hindu, dan RMS beragama Islam, Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:31 PM oleh karena itu dengan menunjuk uraian pertimbangan hukum yang dikemukakan di atas, majelis hakim menyimpulkan bahwa ahli waris dari NMRN adalah RS, RAP, dan RMS; Dalam sistem hukum Indonesia, khususnya bidang hukum waris, selain hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang Islam, juga berlaku hukum adat dan KUH Perdata bagi nonmuslim. Penyelesaian perkara waris di atas berdasarkan Pertimbangan hukum majelis hakim hukum adat atau KUH Perdata justru lebih Pengadilan Agama Badung dalam Penetapan mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak, Nomor 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg tanggal 7 Maret karena dalam kedua hukum tersebut perbedaan 2013 juga menerapkan pertimbangan hukum agama tidak menjadi halangan waris. dalam Penetapan Nomor 9/Pdt.P/2008/PA.Ttd tanggal 27 Februari 2008, namun dilengkapi Dalam kasus di atas, memang terdapat dengan pendapat Muadz bin Jabal, Mu’awiyah, halangan akses terhadap keadilan, yaitu pada Al Hasan, Ibnul Hanafiyah, Muhammad bin Ali, tahapan akses terhadap forum yang sesuai. Forum dan Al Masruq yang bersandar pada hadis Nabi mana yang sesuai untuk menyelesaikan perkara Muhammad Saw: “Islam itu tinggi dan tidak dapat waris di atas? Pengadilan agama atau pengadilan dilampaui atasnya,” dan pendapat Imam Abu negeri? Dalam perkara waris yang melibatkan para Hanifah yang menyatakan semua peninggalan pihak yang berbeda agama, belum terdapat aturan wanita yang keluar dari Islam (murtadah) diwarisi yang menentukan pengadilan yang berwenang. oleh ahli warisnya yang Islam. Akibatnya, sering muncul persinggungan Berdasarkan pertimbangan di atas, maka ahli waris dari pewaris NMRN yang beragama Hindu adalah ahli waris yang beragama Islam yaitu RS, RAP, dan RMS, sementara ahli waris yang beragama Hindu yaitu NLES dan REP, tidak berhak mendapatkan bagian warisan, meski seagama dan memiliki hubungan darah dengan pewaris. Dalam hal ini timbul ketidakadilan bagi ahli waris nonmuslim dan tampak bahwa ada bias keagamaan dalam pertimbangan hukum yang memungkinkan ahli waris muslim dapat mewarisi pewaris nonmuslim, namun tidak berlaku sebaliknya. Berdasarkan kedua penetapan waris di atas, maka penegakan keadilan dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan ahli waris muslim dan/atau nonmuslim oleh pengadilan agama hanya terbatas kepada pihak yang beragama Islam, dan mengabaikan keadilan bagi pihak nonmuslim. kewenangan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri. Sementara kedua pengadilan tersebut menerapkan hukum waris yang berbeda, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketidakadilan bagi pencari keadilan. Jika merujuk kepada Pasal 171 huruf b dan c KHI, maka perkara waris yang ditangani oleh pengadilan agama mengandaikan persamaan agama antara pewaris dan ahli waris. Jadi, selama terdapat pewaris muslim dan ahli waris muslim sudah memenuhi syarat untuk menjadi kewenangan di pengadilan agama, meski terdapat ahli waris lain yang nonmuslim. Dalam kedua penetapan waris di atas, meski majelis hakim telah menyimpangi ketentuan Pasal 171 huruf b dan c KHI, majelis hakim tidak berusaha menyelidiki apa yang menjadi ‘illat hukum atau ratio legis dari hadis yang menjadi dasar hukum larangan waris beda agama, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 279 | 279 1/18/2016 12:09:31 PM r.a, bahwa Nabi Saw bersabda: ”Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (hadis riwayat Bukhari, Kitab al-faraidh, bab XXVI, No. hadis: 6764). (619 M) dan terjadi hijrah (622 M), Thalib belum memeluk Islam, sementara ‘Aqil baru masuk Islam di waktu akhir. ‘Aqil dan Thalib menguasai harta yang ditinggalkan oleh Abu Thalib. Kemudian Thalib meninggal sebelum terjadi Perang Badar (4 H/626 M), dan ‘Aqil meninggal lebih akhir. Maka ketika hukum Islam menjadi tetap dengan meninggalkan pewarisan muslim dari orang kafir, maka harta peninggalan Abu Thalib tetap berada di tangan ‘Aqil. Maka Rasulullah Saw memberi petunjuk kepada hal itu (muslim tidak mewarisi kafir dan sebaliknya), sementara ‘Aqil telah menjual semua harta peninggalan tersebut. Terhadap penetapan Nabi Saw terdapat perbedaan pendapat, ada pendapat yang menilai Nabi Saw meninggalkan peninggalan tersebut kepada ‘Aqil sebagai anugerah Nabi Saw kepada ‘Aqil, ada yang menilai untuk memberi harta dan kasihan kepada ‘Aqil, dan ada pendapat yang mengatakan sebagai pembenaran (tashih) atas pengaturan harta peninggalan masa Jahiliyyah sebagaimana telah menjadi sah perkawinan mereka yang terjadi pada masa Jahiliyyah (Al-‘Asqalani, VIII, hal. 13-5). Dalam hal ini, perlu dilacak latar belakang munculnya (asbabul wurud mikro) hadis larangan waris beda agama tersebut. Dalam Shahih Bukhari, Kitab Maghazi, Hadis No. 3946 dijelaskan bahwa hadis tersebut muncul pada saat Fathul Makkah (8 H/630 M), yaitu ketika Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah Saw mengenai tempat di mana Rasulullah Saw akan tinggal di Makkah. Kemudian Rasulullah Saw bertanya “Apakah ‘Aqil (anak Abu Thalib) meninggalkan rumah bagi kami?” Kemudian Rasulullah Saw berkata: “Orang mukmin tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim.” Dan dikatakan menurut riwayat Zuhri, Rasulullah berkata: ”Siapa yang mewarisi Abu Thalib?” Usamah bin Zaid menjawab: “’Aqil dan Thalib yang mewarisinya.” Menurut riwayat Ma’mar dari Zuhri, Usamah bin Zaid bertanya mengenai tempat di mana Rasulullah Saw besok Dalam Sunan Ibn Majah, Kitab Fara’id, akan tinggal dalam kepergiannya. Sementara menurut riwayat Yunus tidak disebutkan dalam Hadis No. 2720, dijelaskan bahwa Ja’far dan Ali tidak mewarisi apapun dari Abu Thalib karena kepergiannya dan pada saat Fathul Makkah. keduanya muslim, sementara ‘Aqil dan Thalib Mengenai hadis tersebut, ‘Asqalani masih kafir. menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan Berdasarkan keterangan di atas, dapat kepada hukum yang diperkenalkan pada masamasa awal Islam, karena Abu Thalib meninggal dipahami bahwa hadis larangan waris beda sebelum hijrah. Pada saat hijrah terjadi, ‘Aqil dan agama muncul sebagai petunjuk Nabi Saw dalam Thalib menguasai harta yang ditinggalkan Abu menyelesaikan persoalan waris yang terjadi Thalib. Sementara Abu Thalib telah memiliki antara Nabi Saw, dan sepupunya dari keturunan apa yang ditinggalkan oleh Abdullah, ayah paman Nabi Saw, Abu Thalib, yaitu ‘Aqil, Thalib, Rasulullah Saw, karena Abu Thalib adalah saudara Ja’far, dan Ali. Petunjuk Nabi Saw tersebut lebih kandungnya, dan Rasulullah Saw hidup bersama merupakan sebuah kebijakan untuk menghindari Abu Thalib setelah kakeknya Abdul Muthalib sengketa antara Ja’far, Ali, dengan ‘Aqil dalam meninggal. Maka ketika Abu Thalib meninggal pembagian harta peninggalan Abu Thalib. 280 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 280 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:31 PM Terlebih ketika hal itu baru muncul pada saat Fathul Makkah, sementara setelah hijrah hingga Fathul Makkah telah terjadi berbagai peperangan antara kaum muslim dan kafir Qurays yang tidak memungkinkan Ali dan Ja’far untuk memiliki harta peninggalan Abu Thalib yang terletak di Makkah, sehingga ‘Aqil dan Thalib yang menguasai harta peninggalan Abu Thalib. Selain itu, ternyata ‘Aqil sudah menjual seluruh harta peninggalan Abu Thalib ketika Fathul Makkah. berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Ma’idah ayat 51: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain” (Al-‘Asqalani, XII, hal. 50). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hubungan saling mewarisi terkait dengan adanya hubungan dekat untuk saling membantu (wilayah), baik karena hubungan nasab atau Kebijakan Nabi Saw tersebut lebih bersifat perkawinan. Menurut Qardhawi, ‘illat dari masalah legal-specific, yaitu berlaku pada suatu kasus dan waris adalah semangat tolong menolong, bukan waktu tertentu, dan bukan bersifat normative- perbedaan agama (Qardhawi, 2007, hal. 306). Oleh universal, yang berlaku sepanjang waktu dan di karena itu, untuk mengetahui ‘illat hukum hadis yang melarang waris beda agama, perlu ditelaah semua tempat. mengenai larangan menjalin hubungan dekat/ Kemudian, bagaimana dengan ‘illat hukum bersekutu (wala’/wilayah) dengan orang-orang hadis larangan waris beda agama? Metode kafir dalam Al Quran. yang dapat digunakan untuk menyelidiki ‘illat Jika ditelusuri, maka ayat-ayat yang hukum hadis tersebut adalah metode konformitas (munasabah), yaitu menyelidiki kesesuaian berkaitan dengan pelarangan bersekutu dengan antara hukum yang ditetapkan dengan atribut orang-orang kafir, semuanya dalam konteks yang menjadi alasan ditetapkannya hukum itu peperangan dan permusuhan. Ayat-ayat tersebut (‘illat). Maksud kesesuaian adalah terdapat adalah sebagai berikut: hubungan yang logis yang tegas makna antara 1. ‘illat dan hukum (Wahyudi, 2014, hal. 24). Menurut Zuhaili, hilangnya hubungan saling mewarisi antara muslim dan nonmuslim karena dengan perbedaan agama maka hubungan dekat untuk saling menolong, membantu, membela, melindungi (wala’/wilayah) antara muslim dengan nonmuslim telah terputus (AzZuhaili, 1985, VIII, hal. 263). Asqalani menyebutkan terdapat analogi 2. (qiyas) antara hubungan saling mewarisi dengan hubungan dekat (wilayah), sehingga tidak ada saling mewarisi antara muslim dengan nonmuslim karena terdapat larangan untuk menjalin hubungan dekat antara muslim dengan nonmuslim, QS. An-Nisa’ (4): 89 “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.” QS. Ali Imran (3): 28 “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman yang akrab, pemimpin, pelindung atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 281 | 281 1/18/2016 12:09:31 PM 3. 4. 5. berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Dari segi kronologi, ayat-ayat di atas pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) termasuk dalam ayat-ayat yang diturunkan dalam memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan periode Madinah (madaniyyah) atau setelah kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya hijrah (Amal, 2005, hal. 103-22). Berdasarkan kepada Allah kembali(mu).” riwayat sejarah, peristiwa hijrah dilatarbelakangi QS. Al-Ma’idah (5): 51 oleh sikap permusuhan dan pertentangan kaum “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kafir Quraisy yang semakin meningkat terhadap kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya. Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); Bahkan terjadi penyiksaan kepada para pengikut sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di ajaran Islam, pemboikotan ekonomi kepada antara kamu mengambil mereka menjadi Bani Hasyim yang saat itu melindungi Nabi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu Muhammad Saw, dan upaya pembunuhan termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada terhadap Nabi Muhammad Saw. Selama periode orang-orang yang zalim.” Madinah terjadi beberapa peperangan antara kaum muslim dengan kaum kafir Qurays. Kondisi sosio QS. Al-Ma’idah (5): 57 historis yang demikian ini merupakan asababul “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang- wurud makro hadis larangan waris beda agama orang yang membuat agamamu jadi buah dan asbabun nuzul ayat-ayat di atas. ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab Dengan demikian, dalam konteks ayat-ayat sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah di atas, kafir atau nonmuslim lebih merujuk kepada kepada Allah jika kamu betul-betul orang- mereka yang secara terang-terangan memusuhi orang yang beriman.” dan melakukan tindak kejahatan terhadap umat Islam. Orang-orang tersebut dilarang Al Quran QS. Al-Mumtahanah (60): 1 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah untuk dijadikan pelindung dan pendukung kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu (wali). Sementara orang-orang kafir yang tidak menjadi teman-teman setia yang kamu memerangi dan tidak memusuhi, Al Quran tidak sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; melarang umat Islam untuk berbuat baik dan adil Padahal sesungguhnya mereka telah ingkar terhadap mereka, sebagaimana dijelaskan dalam kepada kebenaran yang datang kepadamu, QS. Al-Mumtahanah [60]: 8: mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar baik dan berlaku adil terhadap oranguntuk berjihad di jalan-Ku dan mencari orang yang tiada memerangimu karena keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari demikian). kamu memberitahukan secara negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai rahasia (berita-berita Muhammad) orang-orang yang berlaku adil.” kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang bahwa ’illat hukum yang melarang untuk melakukannya, maka sesungguhnya dia menjalin hubungan baik, saling membantu, saling telah tersesat dari jalan yang lurus.” membela, saling melindungi, dengan orang kafir 282 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 282 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:31 PM adalah karena unsur permusuhan dan kejahatan, Dalam kondisi terdapat hubungan yang dan bukan karena unsur perbedaan agama. harmonis antara para anggota keluarga meski berbeda agama, menjadikan perbedaan agama Dengan menggunakan metode interpretasi sebagai penghalang untuk saling mewarisi, ekstensif (ma’nawiyah), maka ’illat hukum berupa justru akan bertentangan dengan kemaslahatan, permusuhan dan kejahatan dapat diperluas ke menimbulkan ketidakadilan, dan dapat memicu dalam larangan hubungan saling mewarisi antara konflik antar anggota keluarga. Hukum Islam muslim dan nonmuslim. ’Illat ini sesuai dengan akan terkesan diskriminatif dan eksklusif, yang ketentuan hukum (munasib) karena berdasarkan hanya menegakkan keadilan bagi orang-orang pertimbangan akal sehat, hubungan saling mewarisi Islam. Sementara, Al Quran mengajarkan untuk merupakan perwujudan adanya hubungan dekat menegakkan keadilan kepada semua orang, dan kasih sayang antara dua pihak, dan hubungan terlepas dari status maupun agama seseorang. dekat tersebut tidak akan terjadi ketika terdapat permusuhan dan kejahatan antara ahli waris dan pewaris. ’Illat ini juga selaras (mula’im) dengan B. Perkara Waris yang Terdiri Dari Pewaris Muslim dengan Ahli Waris Muslim dan ketentuan hadis yang menyatakan: ”Pembunuh Nonmuslim tidak mewarisi suatu apa pun dari orang yang dibunuhnya (Sunan ad-Darimi, Hadis No. 2951, Perkara waris yang terdiri dari pewaris Kitab Fara’idh, Bab Mirats al-Qatil).” muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim, Dengan demikian, dalam menerapkan hadis yang melarang waris beda agama harus dengan mempertimbangkan ’illat hukum yang terkandung dalam hadis tersebut, sesuai dengan kaidah fikih ”hukum berlaku bersamaan dengan ada atau tidaknya ’illat hukum tersebut (al-hukmu yaduru ma’a ’illatihi wujudan wa ’adaman).” Penerapan yang demikian ini dapat mewujudkan apa yang oleh Aristoteles sebut sebagai keadilan korektif. sejauh penelusuran peneliti, dapat ditemukan dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU, Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby, Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby, Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, dan Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby. Ahli waris nonmuslim dalam penetapan dan putusan di atas, oleh majelis hakim pengadilan agama ditetapkan memiliki hak atas bagian harta warisan, sebagai penerima wasiat wajibah, dan Dalam konteks saat ini, khususnya di bukan sebagai ahli waris, karena berbeda agama Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai dengan pewaris muslim. Pertimbangan hukum macam suku dan agama, ketika dalam sebuah yang digunakan adalah berdasarkan Yurisprudensi keluarga terdapat anggota-anggota keluarga yang Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/ berbeda agama, namun tidak ada permusuhan, AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor 51 K/ tidak ada pertentangan, tidak ada kejahatan AG/1999 tanggal 29 September 1999. yang terjadi antar anggota keluarga, dan mereka Dalam Penetapan Nomor 84/Pdt.P/2012/ memiliki hubungan dekat dan harmonis, maka PA.JU, duduk perkaranya adalah seorang ahli perbedaan agama tidak sepatutnya menjadi waris, bertindak untuk diri sendiri dan sebagai halangan untuk saling mewarisi. kuasa atas ahli waris yang lain yang berjumlah Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 283 | 283 1/18/2016 12:09:31 PM enam orang, mengajukan permohonan penetapan ahli waris dari almarhum pewaris ke Pengadilan Agama Jakarta Utara. Di antara ahli waris yang dimohonkan untuk ditetapkan sebagai ahli waris terdapat dua orang yang beragama Kristen. Majelis hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: “Menimbang bahwa meskipun pemohon II terhalang untuk mendapatkan harta warisan dari almarhum pewaris, sebagaimana tersebut pada pertimbangan di atas, namun pemohon II masih dapat menerima harta warisan dari almarhum pewaris dengan jalan wasiat. Apabila almarhum pewaris ketika masih hidupnya tidak ada memberikan wasiat, maka pemohon II dapat menerima harta dengan jalan wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia, melainkan didasarkan kepada putusan pengadilan agama. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368. K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 jo. Nomor 51.K/AG/1995, tanggal 29 September 1999;” Dalam Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/ PA.Sby, duduk perkaranya adalah para ahli waris yang terdiri dari 12 orang, dengan 7 orang beragama Islam, dan 5 orang lainnya beragama Kristen mengajukan permohonan penetapan ahli waris melalui kuasa hukum ke Pengadilan Agama Surabaya. Dalam permohonan tersebut, para ahli waris yang beragama Kristen tidak dimohonkan sebagai ahli waris, tetapi di dalam posita dinyatakan berhak mendapatkan wasiat wajibah dari harta peninggalan pewaris. Majelis hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/ PA.Sby, duduk perkaranya adalah seorang perempuan meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan tetapi meninggalkan harta berupa sebidang tanah. Kedua orang tua perempuan tersebut sudah meninggal. Perempuan tersebut juga tidak memiliki saudara. Ibu kandung perempuan tersebut memiliki satu saudara perempuan (bibi) yang telah menikah dan memiliki keturunan tiga orang anak. Baik bibi almarhumah pewaris dan suaminya telah meninggal dunia. Ketiga orang anak dari bibi almarhumah pewaris yang masih hidup (saudara sepupu almarhumah pewaris) mengajukan permohonan penetapan ahli waris almarhumah pewaris, dan salah satunya beragama nonmuslim. Majelis hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: 284 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 284 “Menimbang, bahwa walaupun pemohon I terhalang untuk ditetapkan sebagai ahli waris dari almarhumah XXXX, namun ia/pemohon I berhak memperoleh harta warisan dari pewaris (almarhumah XXXX) yang beragama Islam berdasarkan wasiat wajibah sebesar yang seharusnya ia terima sebagai ahli waris, bukan dalam kapasitas sebagai ahli waris tetapi dalam kapasitas sebagai penerima wasiat secara serta merta walau tidak diwasiatkan, sesuai dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 yang antara lain dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa anak kandung nonmuslim bukan ahli waris, namun berhak mendapatkan bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah.” “Menimbang, bahwa walaupun pemohon IV, pemohon VIII tidak dapat menjadi ahli waris dari XXXX , demikian pula pemohon IX, pemohon XI dan pemohon XII tidak dapat menjadi ahli waris dari XXXX yang berarti juga tidak dapat menjadi ahli waris dari almarhum XXXX alias XXXX dan almarhumah XXXX alias XXXX, namun yang bersangkutan tetap berhak memperoleh harta warisan dari pewaris (almarhum XXXX alias XXXX dan almarhumah XXXX alias XXXX) yang beragama Islam berdasarkan wasiat wajibah, bukan dalam kapasitas sebagai ahli waris tetapi dalam kapasitas sebagai Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:31 PM penerima wasiat wajibah (secara serta merta walau tidak diwasiatkan), sesuai dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 yang antara lain dalam salah satu pertimbangannya dinyatakan bahwa anak kandung nonmuslim bukan ahli waris, namun berhak mendapatkan bagian dari harta warisan berdasarkan wasiat wajibah dari pewaris muslim.” Dalam Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/ PA.Kbj, duduk perkaranya adalah JG yang beragama Kristen (penggugat) menggugat waris saudara kandung laki-lakinya yang bernama EG dan ibu tirinya yang bernama M, keduanya beragama Islam. Ayah kandung JG dan EG yang bernama NG telah meninggal pada 28 Agustus 2010. Ibu kandung JG dan EG telah meninggal terlebih dahulu, kemudian ayah kandung JG dan EG menikah lagi dengan perempuan yang berama M (ibu tiri) tetapi tidak memiliki keturunan. JG menuntut ditetapkan sebagai penerima wasiat wajibah dari almarhum NG karena ia beragama Kristen. Majelis hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: “Menimbang, bahwa meskipun penggugat tidak berhak sebagai ahli waris, akan tetapi berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 51 K/AG/1999, penggugat berhak mendapatkan bagian sebagai penerima wasiat wajibah atas harta warisan almarhum pewaris;” dalam pembagian waris, dan sebagian harta warisan dikuasai oleh salah satu ahli waris, maka diajukan gugatan waris ke Pengadilan Agama Surabaya. Majelis hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: “Menimbang bahwa namun begitu karena pemberian bagian untuk XXXX dan XXXX dan ahli waris lainnya tersebut sampai saat ini belum dituntaskan secara formal sampai dengan balik nama, maka sebagai ahli waris nonmuslim yang terhalang hak warisnya terhadap XXXX, dengan pertimbangan bahwa karena ternyata keduanya dalam keadaan yang membutuhkan biaya penghidupan, maka sebagai ahli waris nonmuslim, bagian untuk keduanya didasarkan pada kriteria wasiat wajibah, sesuai dengan pembagian yang telah ditentukan/disepakati ketika XXXX masih hidup; hal mana sesuai dengan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 dan 51 K/AG/1999; pula karena bagian yang diperuntukkan XXXX binti XXXX dan XXXX dipandang tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta warisan XXXX, dengan mempertimbangkan pula bahwa di dalam harta-harta tersebut terdapat harta bersama XXXX-XXXX, di mana sebenarnya XXXX sebagai janda XXXX berhak mendapatkan seperduanya, tetapi yang bersangkutan telah merelakannya, dan menganggap bahwa semua harta tersebut adalah peninggalan XXXX;” Dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998, majelis hakim memberikan bagian harta warisan kepada seorang anak kandung perempuan Dalam Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/ nonmuslim sebesar bagian ahli waris anak PA.Sby, duduk perkaranya adalah seorang laki- perempuan melalui wasiat wajibah. Sementara laki meninggal dan meninggalkan ahli waris yang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51 terdiri dari seorang istri dan lima orang anak. K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, majelis Selain ahli waris, pewaris juga meninggalkan hakim memberikan bagian harta warisan kepada harta warisan berupa tanah dan bangunan. Istri ahli waris nonmuslim dengan bagian yang sama dan salah seorang anak pewaris telah berpindah dengan ahli waris muslim, yang sama-sama agama sehingga memeluk agama Kristen. Karena merupakan saudara pewaris, melalui wasiat tidak ada kesepakatan di antara para ahli waris wajibah. Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 285 | 285 1/18/2016 12:09:31 PM Pertimbangan hukum Mahkamah Agung yang memberikan bagian harta peninggalan pewaris muslim kepada ahli waris nonmuslim melalui wasiat wajibah sesuai dengan pendapat Ibn Hazm Adh-Dhahiri, Ath-Thabari, dan Abu Bakar bin Abdil Aziz dari ulama mazhab Hanbali (AzZuhaili, 1985, hal. 122). Pertanyaan yang muncul adalah mengapa dalam memberikan bagian harta warisan kepada pihak nonmuslim Mahkamah Agung menggunakan lembaga wasiat wajibah? Konsep wasiat wajibah berawal dari penafsiran QS. 2: 180. Berdasarkan ayat tersebut, Ibn Hazm, dalam kitab Al-Muhalla berpendapat: “Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan, adanya kekufuran (nonmuslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena bukan ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya, dalam hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia tidak berwasiat (bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan (Hazm, IX, hal. 314).” Dalam Pasal 209 KHI, lembaga wasiat wajibah secara tegas diakui dan digunakan untuk memberikan bagian harta warisan kepada anak angkat atau bapak angkat yang tidak menerima wasiat. Berdasarkan ketentuan Pasal 209 KHI, hakim dapat menggunakan metode penemuan hukum argumentum per analogium, untuk memperluas keberlakuan wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim. Dalam hal ini, antara anak angkat dengan ahli waris nonmuslim sama-sama terhalang untuk mendapatkan harta warisan, namun keduanya sama-sama memiliki ikatan kekeluargaan dengan pewaris. Adanya kesamaan ‘illat berupa ikatan kekeluargaan inilah digunakan untuk menerapkan wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim. 286 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 286 Dengan memperluas keberlakuan wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim melalui metode argumentum per analogium, putusan hakim tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku, yang menurut ketentuan Pasal 171 huruf b dan c KHI mengandaikan persamaan agama antara pewaris dan ahli waris. Pertimbangan hakim dalam hal ini lebih merupakan bentuk kompromi untuk dapat memberikan keadilan kepada ahli waris nonmuslim tanpa harus menentang sistem hukum yang berlaku, seperti dengan menyelidiki ‘illat hukum hadis yang melarang waris beda agama, sehingga hadis tersebut tidak dapat diterapkan ketika ‘illat hukumnya tidak ditemui. Dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim, berdasarkan penetapan dan putusan yang berhasil dihimpun oleh peneliti, hakim-hakim pengadilan agama telah mampu mewujudkan keadilan bagi semua ahli waris, terlepas dari agama para pihak. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan dalam Al Quran, yaitu keadilan bagi semua orang. Keadilan yang diwujudkan kepada ahli waris nonmuslim lebih merupakan keadilan substantif. Meski menurut peraturan perundang-undangan ahli waris nonmuslim tidak berhak mewarisi pewaris muslim, ahli waris nonmuslim tetap berhak mendapatkan bagian harta warisan dari pewaris muslim, sama dengan ahli waris muslim lainnya, meski sebagai penerima wasiat wajibah, dan bukan sebagai ahli waris. Hal ini sesuai dengan keadilan distributif Aristoteles, tetapi dasar hak bukan atas jasa yang telah dilakukan, melainkan adanya hubungan keluarga, baik karena nasab atau perkawinan, dengan pewaris. Pemberian bagian harta warisan pewaris muslim kepada ahli waris nonmuslim melalui Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:32 PM wasiat wajibah juga sesuai dengan teori keadilan Rawls, bahwa setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan dasar yang sama secara luas yang sesuai dengan pola kebebasan yang serupa bagi yang lain. Dalam hal ini, kebebasan seseorang untuk beragama jika mengakibatkan seseorang tidak menerima bagian warisan karena perbedaan agama merupakan ketidakadilan. Namun demikian, penggunaan wasiat wajibah dalam hal ini, jika ditinjau dari perkembangan teori hukum Islam, justru menunjukkan kemunduran. Dengan memilih pendapat Ibn Hazm sebagai pengikut mazhab Dzahiri terkait wasiat wajibah, berarti kembali kepada aliran literalism yang termasuk ke dalam teori hukum di era Islam tradisional. Sementara dalam perkembangannya, teori hukum Islam telah berkembang di era Islam modern, hingga era Islam posmodern. Hal ini secara tidak langsung mengungkapkan masalah authority dalam pemikiran hukum Islam. Dari segi tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan bagi ahli waris nonmuslim, memang telah dapat dipenuhi dengan menggunakan wasiat wajibah. Akan tetapi, penggunaan wasiat wajibah masih menyisakan persoalan terkait diskriminasi berdasarkan agama, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama, yang merupakan hak asasi setiap manusia. ahli waris muslim dan nonmuslim, penetapan waris hakim pengadilan agama belum mampu menegakkan keadilan bagi semua orang. Hal ini karena hanya ahli waris muslim yang dapat mewarisi dari pewaris nonmuslim, sedangkan bagi ahli waris nonmuslim yang justru seagama dengan pewaris tidak mendapat bagian dari harta warisan. Dalam hal ini, pertimbangan hukum hakim pengadilan agama lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi dalam penggunaan logika hukum. Namun, dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim, putusan atau penetapan waris hakim pengadilan agama telah mampu mewujudkan keadilan bagi semua pihak dengan memberi bagian harta warisan kepada ahli waris nonmuslim, meski bukan sebagai ahli waris, melalui lembaga wasiat wajibah berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim di lingkungan peradilan agama lebih cenderung menggunakan lembaga wasiat wajibah dalam memberi bagian warisan kepada ahli waris nonmuslim, dan tidak berusaha untuk menyelidiki ‘illat hukum hadis yang melarang waris beda agama. Akibatnya, perbedaan agama masih menjadi halangan untuk saling mewarisi karena penerapan hukum yang tidak mempertimbangkan ‘illat hukumnya. Di sinilah, ketidakadilan dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris nonmuslim dengan ahli waris muslim dan nonmuslim muncul. IV. KESIMPULAN V. SARAN Berdasarkan analisis terhadap pertimbangan Untuk mewujudkan kepastian hukum hukum dari penetapan dan putusan waris dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa dan menghindari konflik kewenangan dalam dalam perkara waris yang terdiri dari pewaris perkara waris yang melibatkan pihak muslim nonmuslim dengan ahli waris muslim, atau dan nonmuslim perlu dibuat peraturan yang Penegakan Keadilan dalam Kewarisan Beda Agama (Muhamad Isna Wahyudi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 287 | 287 1/18/2016 12:09:32 PM struggle to make the law work for everyone. menentukan dasar kewenangan suatu pengadilan Ttp: tnp. dalam menangani perkara waris beda agama. Ketidakjelasan penyelesaian perkara waris beda Friedrich, C. J. (2004). Filsafat hukum perspektif agama dapat menimbulkan halangan akses historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia. terhadap keadilan pada tahap akses terhadap forum yang sesuai. Hal ini karena pengadilan agama dan Hazm, I. (Tt). Al-Muhalla. Juz IX. Beirut: Dar AlAlaq. pengadilan negeri menerapkan hukum waris yang berbeda, yang pada gilirannya dapat menimbulkan Kelsen, H. (2011). General theory of law and state. ketidakadilan bagi pencari keadilan. Muttaqien, R (Ed.). Bandung: Nusa Media. Jika merujuk kepada Pasal 171 huruf b dan c KHI, maka perkara waris yang ditangani oleh pengadilan agama mengandaikan persamaan agama antara pewaris dan ahli waris. Jadi, selama terdapat pewaris muslim dan ahli waris muslim sudah memenuhi syarat untuk menjadi kewenangan pengadilan agama, meski terdapat ahli waris lain yang nonmuslim. Namun, ketika syarat pewaris muslim dan ahli waris muslim tidak terpenuhi, maka lebih tepat menjadi kewenangan pengadilan negeri. Pengadilan negeri menerapkan hukum adat dan KUH Perdata yang tidak mengenal halangan waris karena perbedaan agama, sehingga lebih mampu mewujudkan keadilan dalam perkara waris beda agama. Marzuki, P. M. (2014). Penelitian hukum. Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. (2010). Titik singgung kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Laporan Penelitian 2010. Jakarta: MARI. Qardhawi, Y. (2007). Fiqh maqashid syar’i. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Radbruch, G. (2006). Five minutes of legal philosophy. Oxford Journal of Legal Studies, 26(1), 13-15. __________. (2006). Statutory lawlesness and suprastatutory law. Oxford Journal of Legal Studies, 26(1), 1-11. Rawls, J. (1971). A theory of justice. Revised Edition. Cambridge: The Belknap Press. DAFTAR ACUAN Al-‘Asqalani, A. A. I. H. Fath al-Bari. Lebanon: Dar al-Ma’rifah. 13 juz. Amal, T. A. (2005). Rekonstruksi sejarah Al Quran. Cet. I. Jakarta: Pustaka Alvabet. Riadi, E. (2011). Dinamika putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam bidang perdata Islam. Jakarta: Gramata Publishing. Wahyudi, M. I. (2014). Pembaruan hukum perdata Islam: Pendekatan dan penerapan. Cet. I. Bandung: Mandar Maju. Az-Zuhaili, W. (1985). Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah. Damaskus: Dar al-Fikr. 8 juz. Berenschot, W., & Bedner, A. (2010). Akses terhadap keadilan: An introduction to Indonesia’s 288 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 288 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 269 - 288 1/18/2016 12:09:32 PM IMPLEMENTASI HUKUM PROGRESIF DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN EKOLOGIS Kajian Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 THE IMPLEMENTATION OF PROGRESSIVE LAW IN ECOLOGICALLY SUSTAINABLE DEVELOPMENT An Analysis of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Number 103 K/TUN/2010 Subarkah Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus Jl. UMK Kampus UMK Gondangmanis, Bae PO. BOX 53 Kudus 59324 Indonesia E-mail: [email protected] Naskah diterima: 27 April 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015 ABSTRAK Kekayaan sumber daya alam di Indonesia mencakup keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia. Demikian juga dengan keanekaragaman suku, agama, dan ras, dari masyarakat Indonesia sehingga membentuk masyarakat plural, yang di dalamnya terdapat tata nilai, norma-norma adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga kebijakan penataannya secara luas melalui konsep berkelanjutan ekologis untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kajian ini membahas Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 yang merupakan hasil perlawanan masyarakat Sedulur Sikep atas kebijakan pembangunan pabrik dari PT. SG yang dianggap akan merusak lingkungan hidup, merusak sistem ekologi, dan menghilangkan hak-hak hidup masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya bertani sehingga sangat tergantung pada tanah dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep yang tersebar di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati memiliki karakteristik yang unik. Oleh karena itu, hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih mendalam baik secara doktrinal maupun non doktrinal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio-legal study, yang dalam arti hukum tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku, sehingga penelusuran realitas yang sesungguhnya diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum positif yang ada maupun hukum yang lahir dari pola-pola antar subjek dalam masyarakat itu merupakan hukum yang sudah adil atau tidak. Kata kunci: sumber daya alam, hukum progresif, hukum lingkungan, pembangunan berkelanjutan ekologis. ABSTRACT Indonesia is endowed with abundant natural resources and all of the biological diversity, along with the diversity of ethnicity, religion, and race that make up the plural society with prevailing values and customary norms, so that the development policy is through generally by the concept of ecologically sustainable development for the welfare of the Indonesian People. This is an analysis of Court Decision Number 04/G/2009/PTUN. Smg jo. Number 103 K/TUN/2010, which is the result on opposition of the Sedulur Sikep society against the policy of factory construction of PT. SG, deemed to be harmful to the environment, ecological systems, and threaten the rights of the Sedulur Sikep society, who mostly live on farming, and are highly dependent on Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 289 | 289 1/18/2016 12:09:32 PM the soil and water. Community livelihood in Sedulur Sikep located in Sukolilo District of Pati Regency has unique characteristics. Therefore, it is interesting to do a profound analysis either doctrinally or non-doctrinally. The approach used in this analysis is a socio-legal study, which is in the sense that the law is not merely conceived as the norm and it necessarily interprets the law as a behavior. Thus, the exploration of the true reality, is expected to figure out if the existing positive law, as well the law originated from the pattern among the subjects in society has been impartial, or not. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang prural (pluralistic society). Pluralistik masyarakat Indonesia ini ditandai dengan ciri yang bersifat horizontal dan vertikal. Ciri horizontal terlihat pada kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial yang berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan, sedangkan ciri vertikal adalah gambaran lain struktur masyarakat Indonesia yang berbentuk perbedaan-perbedaan lapisan sosial antara lapisan atas dan lapisan bawah (Ismail, 2004, hal. 105). Selanjutnya dikatakan pelapisan yang bersifat kentara tersebut terlihat pada sejumlah orang berdasarkan kemampuan dan penguasaan yang bersifat ekonomis, politis, ilmu pengetahuan, yang jelas menunjukkan perbedan-perbedaan dan derajat sosial sehingga berpotensi sebagai salah satu sumber konflik. Salah satu cara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat adalah dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada bagi kesejahteraan masyarakat. Pasal 3 ayat (3) UUD NRI 1945 juga mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Seiring dengan pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar. Tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kenyataan betapa pembukaan hutan, kegiatan pertambangan, dan eksploitasi sumber daya alam lainnya dari tahun ke tahun bukannya menurun, akan tetapi semakin besar. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan budidaya maupun kawasan lindung semakin terancam habis, sementara recovery sumber daya alam yang dapat diperbaharui membutuhkan waktu yang lama untuk dapat diperbaiki kembali. Keywords: natural resources, progressive law, environmental law, ecologically sustainable development. Salah satu konflik yang terjadi adalah mengenai perizinan pertambangan galian C batu kapur kawasan karst di Sukolilo Kab. Pati sebagaimana Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN. Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010, sedangkan kawasan karst sebagaimana dimaksud di atas, telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 0398 K/40/MEM/2005 tentang Penetapan Kawasan Karst Sukolilo, yang menyatakan bahwa kawasan perbukitan batu gamping yang terletak di Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Sudah menjadi takdir bangsa Indonesia Kayen, Kecamatan Tambakkromo, di Kabupaten sebagai bagsa yang bercorak msyarakat yang 290 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 290 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:32 PM Pati dan Kecamatan Brati, Kecamatan Grobogan, Kecamatan Tawangharjo, Kecamatan Wirosari, Kecamatan Ngaringan di Kabupaten Grobogan serta Kecamatan Todanan, di Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah sebagai Kawasan Karst Sukolilo. dikenal di Blora dan Pati, dan juga sebagian di Kudus yang menurut beberapa tulisan, nama ini diambil dari salah satu tokohnya yaitu Sedulur Sikep Surosentiko, memang sudah menjadi kajian para cendekiawan, baik Sedulur sikep sebagai gerakan maupun sedulur sikep sebagai falsafah hidup. Belakangan, nama Sedulur Sikep Dalam kasus PTUN tergugat mendalilkan menjadi sangat dikenal di masyarakat terutama eksplorasi bukanlah kegiatan yang membahayakan Jawa Tengah, karena di wilayah perkampungan dan merugikan bagi lingkungan hidup inilah yang Sedulur sikep di Sukolilo, Kabupaten Pati, akan menyebabkan kenapa dalam lampiran Peraturan didirikan perusahaan SG. Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan Perlawanan pertama kali dilakukan oleh atau Kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis masyarakat Sedulur Sikep karena kebijakan Mengenai Dampak Lingkungan (Permen LH pembangunan pabrik oleh PT. SG dianggap akan Nomor 11/2006”) disebutkan bahwa kegiatan merusak lingkungan hidup, merusak ekologi eksplorasi untuk pertambangan bahan galian lingkungan, menghilangkan hak-hak hidup C tidak wajib AMDAL, karena usaha dan/ masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya atau kegiatan eksplorasi sifatnya masih sebatas bertani sehingga sangat tergantung pada tanah kajian/penyelidikan untuk memperoleh informasi dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep sebelum melakukan kegiatan (eksploitasi), yang berjumlah sekitar 230 KK, yang tersebar sedang penggugat mengatakan eksplorasi sudah di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati memiliki mewajibkan adanya AMDAL. karakteristik yang unik. Oleh karenanya sangatlah Eksplorasi industri pertambangan memerlukan AMDAL karena bukan kegiatannya tapi usahanya; eksplorasi tidak mungkin tidak dilanjutkan dengan eksploitasi, sehingga eksplorasi adalah bagian dari rangkaian kegiatan sebuah usaha. Sebelum eksplorasi wajib AMDAL, karena akan memberi masukan kepada pemrakarsa dan esensi AMDAL yang mencegah dampak. Terkait dengan konteks pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan sudah semestinya masyarakat adat dan nilai-nilai lokal (local wisdom) senantiasa diperhatikan dan dilindungi ketika suatu kegiatan dilakukan atas nama pembangunan yang sudah sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 beserta perubahannya. Komunitas masyarakat Sedulur Sikep yang menarik untuk dikaji atau dilakukan penelitian lebih mendalam baik secara doktrinal maupun non doktrinal. Persoalan perlindungan lingkungan hidup dan kearifan lokal suatu masyarakat adat mengemuka ketika pada tahun 2008 di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, akan dibangun pabrik oleh PT. SG dan persoalan ini mengemuka dan diajukan ke pengadilan tata usaha negara di Semarang setelah dikeluarkannya izin eksplorasi Nomor 540/052/2008, tanggal 5 November 2008, yang merupakan Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Nomor 540/040/2008 kepada PT. SG di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 291 | 291 1/18/2016 12:09:32 PM Secara doktrinal terkait dengan dikeluarkannya surat perizinan pendirian pabrik semen oleh PT. SG Nomor 540/052/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Nomor 540/040/2008 yang telah memberikan izin eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur kepada PT. SG untuk melakukan eksplorasi penambangan batu kapur oleh Pemerintah Kabupaten Pati dianggap bertentangan dengan hukum yang ada dan secara non doktrinal kebijakan yang dilakukan tidak memberikan perlindungan pada lingkungan hidup yang berkelanjutan, dan perlindungan masyarakat adat Sedulur Sikep yang hidupnya dari pertanian. Pembentukan hukum dan konstruksi hukum sangat diperlukan untuk dapat memberikan rasa nyaman terhadap masyarakat sebagai adresatnya (acces to justice). Pembentukan hukum tidak lepas dari produk putusan-putusan hakim (judge made law) yang terkait dengan penegakan hukum, sedangkan penegakan hukum pada hakikatnya adalah merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan (Warassih P, 2005, hal. 11). Penegakan hukum konvensional tidak selalu dapat mewujudkan nilai keadilan masyarakat, maka perlu ada konstruksi penegakan hukum progresif yang dapat mewujudkan nilai keadilan lingkungan yang berorientasi pada kesejahteraan Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.SMG dan perlindungan masyarakat. jo. Nomor 103 K/TUN/2010 menjadi menarik untuk dikaji karena hakim (PTUN penekanannya pada judex factie dan MA pada judex juris) tidak B. Rumusan Masalah sekedar memperhatikan prosedur dan dasar hukum Berdasarkan pendahuluan di atas maka dikelurkannya perizinan, akan tetapi juga melihat permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan bagaimana semangat politik hukum/kebijakan ini adalah sebaggai berikut: dikeluarkannya peraturan perundangan-undangan 1. Mengapa dibutuhkan penegakan hukum tersebut dengan pendekatan hukum progresif. progresif dalam memutus perkara dalam Konsep pemikiran Satjipto Rahardjo menkonstruksi hukum menuju keadilan tentang ‘hukum progresif’ adalah hukum yang dalam perlindungan dan pengelolaan membahagiakan manusia dan bangsanya, berawal lingkungan hidup? dari suatu realita bahwa hukum dipahami hanya sebatas rumusan undang-undang, dan diterapkan 2. Apakah Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN. Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 dengan silogisme. Pemikiran hukum progresif mencerminkan asas keadilan lingkungan? muncul karena ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum C. Tujuan dan Kegunaan yang ada dalam masyarakat. Menurut Bernard L. Tanya hukum progresif adalah hukum pro keadilan dan pro rakyat (Tanya et. al., 2010, hal. 212) Artinya dalam berhukum para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran, empati, kepedulian kepada rakyat dan ketulusan dalam penegakan hukum. 292 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 292 Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 04/G/2009/PTUN.SMG tertanggal 6 Agustus 2009 terkait dengan eksplorasi kegiatan/usaha yang dilakukan PT. SG, tidak hanya memberikan gambaran apakah suatu kegiatan itu wajib amdal atau tidak akan tetapi lebih pada Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:32 PM dari itu digunakan pendekatan hukum progresif. Putusan PTUN Semarang yang mengabulkan gugatan penggugat kemudian dibanding oleh PT. SG di PTUN Surabaya karena dianggap putusan tidak prosedural dan bertentangan dengan hukum positif. Putusan Nomor 138/B/2009/PT.TUN.SBY. tanggal 30 November 2009 yang memberikan putusan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang. Putusan kembali berubah ketika Walhi mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 tertanggal 27 Mei 2010 yang menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. Putusan ini akan memberikan manfaat/kegunaan akan arti pentingnya kebijakan pembangunan yang tidak hanya berorientasi ekonomi akan tetapi juga berkelanjutan ekologis, khususnya masyarakat Sedulur Sikep dengan kearifan lokalnya di pegunungan kendeng utara sebagai kawasan karst (penyerap air) untuk bahan baku semen agar diperoleh keadilan lingkungan. D. Studi Pustaka Konsep pemikiran Satjipto Rahardjo tentang ‘hukum progresif’ adalah hukum yang membahagiakan manusia dan bangsanya, berawal dari suatu realitas bahwa hukum dipahami hanya sebatas rumusan undang-undang, dan diterapkan dengan silogisme. Pemikiran hukum progresif muncul karena ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang ada dalam masyarakat. Penegakan hukum yang dilakukan memunculkan masalah yaitu ketidakadilan. Banyak kasus hukum berakhir dengan ketidakadilan. dalam berhukum para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus mempunyai empati dan kepedulian kepada penderitaan yang dialami oleh rakyat. Kepentingan rakyat dalam hal ini kesejahteraan harus menjadi orientasi dan tujuan akhir dalam penyelenggaraan hukum. Teori hukum progresif bertolak dari dua asumsi dasar. Pertama, bahwa hukum adalah untuk manusia (Rahardjo, 2010, hal. 3). Artinya bahwa manusia menjadi penentu dan orientasi dari hukum. Hukum yang dibuat harus dapat melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Fungsi hukum ditentukan oleh manusia dalam mewujudkan kesejahteraan manusia, maka jika terjadi permasalahan hukum, hukumlah yang harus ditinjau kembali atau diperbaikinya, dan bukan manusia yang dipaksa untuk mengikuti skema hukum. Manusia berada di atas hukum, dan hukum sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga kepentingan manusia. Kedua, bahwa hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final, karena hukum ada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making) (Rahardjo, 2009, hal. 3). Untuk memahami hukum dan cara berhukum di Indonesia yang pluralis, tidak bisa lagi didekati dengan tiga pendekatan seperti pendekatan filosofische, pendekatan normative, dan pendekatan socio-legal, tetapi menurut Menski dan Suteki, perlu ada pendekatan yang keempat yaitu Legal Pluralism Approach (Menski, 2006, hal. 187 & Suteki, 2010, hal. 43). Pendekatan legal pluralism adalah pendekatan yang menggabungkan antara state (positive law), kemasyarakatan (socio-legal) dan natural Menurut Bernard L. Tanya hukum progresif law (moral/ethic/relegion). Penegakan hukum adalah hukum pro keadilan dan pro rakyat. Artinya yang menggunakan legal plurasism approach Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 293 | 293 1/18/2016 12:09:32 PM diharapkan dapat mewujudkan keadilan Penegak hukum akan selalu menggunakan lingkungan, artinya lebih berkarakter pro keadilan pasal undang-undang sebagai senjata utama dalam sosial, pro lingkungan, dan pro kemiskinan. menangani suatu perkara, karena “pasal undangundang adalah sesuatu yang logis, rasional dan Berdasarkan pemikiran di atas, dalam hal demi kepastian hukum” (Wignyosoebroto, 2008, revitalisasi hukum dapat dilakukan kapan saja, hal.50). Pasal undang-undang dijadikan sebagai karena hukum progresif tidak hanya berpusat alat untuk memutus persoalan hukum, sehingga pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku putusan (hakim) berdasarkan undang-undang. hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan Putusan undang-undang adalah putusan yang pemerintah/birokrasi) dalam mengaktualisasi legalitas formal, sehingga keadilannya adalah hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Di keadilan formal yaitu keadilan menurut ketentuan sini pelaku hukum dapat melakukan ‘pemaknaan pasal undang-undang. hukum yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan’ 1. Konsep hukum progresif: (Tanya, 2010, hal. 213). Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum untuk menghadirkan keadilan lingkunagn berkarakter pro keadilan sosial, pro lingkungan, dan pro kemiskinan, dalam memenuhi hak atas lingkungan yang baik dan sehat kepada masyarakat sebagaimana ketentuan Pasal 65 ayat (2) UUPPLH. Caranya dengan menginterpretasikan terhadap suatu peraturan sesuai dengan ruang dan waktu yang tepat. Hukum progresif adalah hukum merespon kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Agar hukum dirasakan manfaatnya maka ‘maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum dalam fora kepentingankepentingan sosial yang memang seharusnya dilayani. Dengan demikian hukum progresif dapat mengatasi ketertinggalan dan ketimpangan hukum, sehingga bisa melakukan terobosanterobosan hukum dan bila perlu melakukan rule breaking (Rahardjo, 2010, hal. 83) sehingga tujuan hukum yaitu membuat manusia bahagia terwujud dan keadilan substansial berkarakter pro keadilan sosial, pro lingkungan, dan pro kemiskinan yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya dan khususnya Sedulur Sikep juga bisa terwujud. 294 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 294 a. Spirit Hukum Pembebasan Progresif adalah Spirit dalam hukum progresif adalah pembebasan yang artinya: 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas, teori yang selama ini dipakai. 2. Pembebasan terhadap kultur penegak hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyelesaikan persoalan. b. Karakter Hukum Progresif Hukum progresif selain mempunyai asumsi, spirit, juga memiliki karakter yang progresif dalam hal sebagai berikut (Rahardjo, 2010, hal. 16-17 & Warassih P, 2009, hal. 6): 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses menjadi (law in the making). Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:32 PM 2. 3. Peka terhadap perubahan yang terjadi 2. Konsep Keadilan Lingkungan di masyarakat, baik lokal, nasional The Fund for Peace, sebuah lembaga maupun global. penelitian nirlaba independen dari Washington DC, Menolak status quo manakala Amerika Serikat, mengeluarkan hasil penelitian menimbulkan dekadensi suasana mereka tentang indeks negara gagal. Disebutkan korup dan sangat merugikan bahwa Indonesia ada di peringkat 63 dari 178 kepentingan rakyat, sehingga negara di dunia. Artinya, dengan indeks 80,6 (ratamenimbulkan perlawanan dan rata dari 12 indikator, termasuk kualitas pelayanan pemberontakan yang berujung publik dan penegakan hukum) Indonesia sudah pada penafsiran progresif terhadap di ambang bahaya masuk kategori negara gagal! (Binawan & Sabastian, 2012, hal. 4). hukum. Negara Indonesia yang berdasarkan Konstruksi penegakan hukum berbasis nilai keadilan lingkungan yang menggunakan pancasila adalah negara kebangsaan yang pendekatan legal pluralism dalam putusan berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara pengadilan tata usaha negara dengan cermat sebagai penjelmaan manusia sebagai Makhluk memperhatikan struktur masyarakat Kabupaten Tuhan yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan Pati khususnya dan struktur masyarakat Indonesia makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan pada umumnya yang ditandai oleh dua ciri yang suatu keadilan dalam hidup bersama, yang bersifat unik yaitu secara horizontal dan vertical dipahami sebagai keadilan sosial. Keadilan (Suteki, 2010, hal. 39). Secara horizontal adanya sosial tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat kesatuan-kesatuan sosial seperti suku, agama, keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab adat, dan budaya. Pendekatan legal pluralism menurut Suteki, adalah pendekatan yang sudah tidak lagi terpenjara oleh ketentuan legal formalism melainkan telah melompat ke arah pertimbangan living law dan natural law. Pendekatan ini tidak hanya mengandalkan hukum formal seperti undang-undang dalam menyelesaikan masalah, tetapi menggunakan hukum yang berkembang dalam masyarakat. Masyarakat yang plural membutuhkan penanganan yang berbeda, maka dalam penegakan hukum juga harus memperhatikan pluralitasnya. Pendekatan legal pluralism adalah pendekatan yang menggunakan nilai moral, etik, dan religius serta nilai-nilai lokal (local wisdom) yang dapat digunakan dalam penegakan hukum. yang tercermin dalam kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alamnya. Oleh karenanya keadilan sosial tidak bisa dilepaskan dari masalah ekologis (baca: lingkungan). Untuk merumuskan “keadilan” tidaklah mudah apalagi merumuskan keadilan lingkungan, namun paham keadilan ini, ada beberapa jenis pandangan. Pertama, keadilan dapat dipandang sebagai sebuah keutamaan (virtue). Pendapat ini menekankan makna bahwa keadilan adalah sebentuk virtue yang muncul dari upaya reflektif individu mengenai cara hidup yang baik dan yang sesuai dengan etika. Konsep keadilan seperti ini Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 295 | 295 1/18/2016 12:09:32 PM dapat kita temukan dari gagasan Plato. Kedua, keadilan yang dipandang sebagai keutamaan tadi tidak hanya melulu muncul dan eksis di relung pribadi masing‐masing individu, namun lebih jauh lagi, keadilan hadir pada suatu situasi dan komunitas kehidupan manusia, termasuk di dalamnya keadilan lingkungan. Oleh karenanya Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945 dikatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh 2. lingkungan hidup yang baik dan sehat yang termasuk kategori hak asasi manusia. II. masyarakat di “rumah sonokeling” dan “rumah kendeng” di Kecamatan Sukolilo Kab. Pati dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD). Data primer dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai data dalam perilaku hukum dari masyarakat, khususnya perlawanan masyarakat Sedulur Sikep terhadap kebijakan pembangunan SG terkait dengan kebijakan penambangan batu kapur untuk semen di lingkungan wilayah kendeng utara, khususnya Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati berpotensi merusak alam dan kehidupan masyarakat Sedulur Sikep yang hidup dari pertanian. Data sekunder diperoleh dari bahan pustaka, data sekunder meliputi: a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, seperti UUD NRI 1945, Undang-UndangNomor 32 Tahun 2009, Undang-UndangNomor 26 Tahun 2007, PP Nomor 26 Tahun 2008, PP Nomor 1 Tahun 2010 dan tidak kalah pentingnya adalah Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN. SMG dan Putusan Nomor 103 K/ TUN/2010 yang menjadi fokus kajian pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan ekologis. Putusan ini menjadi perhatian peneliti karena “potensi” gugatan akan muncul kembali terhadap pemanfaatan karst pegunungan kendeng oleh pabrik semen lainnya. b. Bahan hukum sekunder, buku-buku referensi, dan artikel ilmiah. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah socio legal study. Menurut kajian dalam socio legal study (Samekto, 2008, hal. 28) hukum tidak sekedar dikonsepsikan sebagai norma dan sekaligus memaknai hukum sebagai perilaku, sehingga penelusuran realitas yang sesungguhnya diharapkan akan dapat diketahui apakah hukum positif yang ada maupun hukum yang lahir dari pola-pola antar subjek dalam masyarakat itu merupakan hukum yang sudah adil atau tidak. Oleh karena itu kajian ini juga menggunakan data di luar putusan hakim berupa: 1. Data primer diperoleh dari lapangan dengan melakukan observasi, wawancara yang mendalam dengan narasumber/ informan kunci yaitu dari Gunritno seorang tokoh Sedulur Sikep yang menjadi Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), dan diskusi kelompok 296 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 296 Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan model participative yang Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:32 PM telah memberikan izin eksplorasi bahan galian golongan C batu kapur kepada PT. SG untuk melakukan eksplorasi penambangan batu kapur seluas kurang lebih 700 hektar di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko yang berada di wilayah Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati yang merupakan kawasan karst, dianggap sangat bertentangan dengan hukum. Pertimbangan 1. Observasi: observasi diharapkan pemerintah Kabupaten Pati untuk mendukung memperoleh gambaran tentang situasi, program penambangan untuk pendirian pabrik fenomena, peristiwa, dan perilaku yang semen oleh PT. SG di kawasan karst Sukolilo mampu memberikan gambaran tentang lebih banyak didasarkan pada pertimbangan fokus penelitian yang hendak dikaji. ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan observasi akan diperoleh gambaran Penerbitan pemberian izin Nomor situasi dan kondisi lokasi atau social setting 540/052/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan penelitian secara menyeluruh. Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu 2. Wawancara: teknik ini dilakukan kepada Nomor 540/040/2008 atas ekplorasi yang informan dengan menggunakan wawancara dilakukan oleh PT. SG belum dilengkapi analisa tertutup dan terbuka. Wawancara tertutup mengenai dampak lingkungan (AMDAL) oleh adalah wawancara yang jawabannya sudah karena itu komunitas Sedulur Sikep beserta diarahkan atau jawaban sudah ada, sedang masyarakat yang menolak berdirinya pabrik SG wawancara terbuka adalah wawancara yang memberikan kuasa kepada Wahana Lingkungan jawabannya bebas. Teknik ini digunakan Hidup (Walhi) untuk melakukan gugatan kepada untuk mengungkap makna dan ungkapan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati atas terbitnya simbolik dari fenomena yang terjadi dalam pemberian izin dimaksud. realitas masyarakat. Teknik wawancara Pemberian izin itu dianggap melanggar dilakukan secara mendalam (in depth interview) dengan menggunakan pedoman hukum karena sesuai ketentuan hukum, penerbitan izin harus sudah ada AMDAL terlebih wawancara. dahulu di samping itu juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Lingkungan Hidup (Sekarang Persoalan bermula dari Kebijakan Undang-UndangNomor 32 Tahun 2009 tentang Pemerintah Kabupaten Pati melalui keputusan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pati yang dilakukan oleh Hidup); Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Nomor 540/052/2008 tentang Perubahan Lingkungan; dan Peraturan Menteri Negara Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 Perizinan Terpadu Nomor 540/040/2008 yang tentang jenis usaha dan atau kegiatan yang wajib mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transaksi sosial. Pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara yang mendalam dengan para key informan berdasarkan karakteristik penelitian. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 297 | 297 1/18/2016 12:09:32 PM dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan yang dapat memiliki dampak besar dan hidup. penting bagi lingkungan hidup, karena eksplorasi sifatnya hanyalah sebatas penyelidikan geologi/ Sebaliknya tidak demikian dengan sikap pertambangan untuk memperoleh informasi pemerintah yang menganggap apa yang telah secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dilakukan sudah sesuai dengan peraturan dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya perundang-undangan. Diterbitkannya keputusan terukur dari bahan galian, sifat letakan bahan Pemerintah Kabupaten Pati yang dilakukan oleh galian serta informasi mengenai lingkungan sosial Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan lingkungan hidup. Perbedaan pandangan Nomor 540/052/2008 tentang Perubahan Atas inilah terutama yang memicu persoalan sampai Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan pada ranah pengadilan. Terpadu Nomor 540/040/2008 dengan memberikan izin eksplorasi bahan galian golongan C batu Secara normatif politik hukum pengelolaan kapur kepada PT. SG sudah sesuai dengan: sumber daya alam di Indonesia sudah ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Ketentuan Pasal 15, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang pasal tersebut mengandung konstruksi yuridis Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan bahwa sumber daya alam yang ada di wilayah Lingkungan Hidup (sekarang Undangkedaulatan Indonesia, adalah milik bangsa UndangNomor 32 Tahun 2009). Indonesia. Selanjutnya pengelolaan sumber daya b. Pasal 3, Pasal 7, Pasal 19 Peraturan alam yang ada diserahkan kepada negara untuk Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sisi normatif ini bisa disebut sebagai konstruksi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. hukum yang dibangun berdasarkan Pasal 33 ayat c. Peraturan Menteri Negara Lingkungan (3) UUD NRI 1945. Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jelas bahwa di dalam pelaksanaannya, Jenis Usaha dan atau kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis Mengenai Dampak pengelolaan sumber daya alam oleh negara tidak terlepas dari kepentingan perekonomian nasional Lingkungan Hidup. dan keselarasannya dengan perlindungan d. Pertambangan dan rencana pertambangan lingkungan hidup. Oleh karenanya memang tidak pabrik sudah sesuai dengan Rencana bisa dipungkiri bahwa harus ada harmonisasi Tata Ruang dan Tata Wilayah (”RTRW”) antara pengelolaan sumber daya alam – Kabupaten Pati, sesuai dengan Surat Bupati pembangunan – dan perlindungan lingkungan Pati Nomor 131/1814/2008 tanggal 17 April hidup, yang diperuntukkan sebesar-besarnya bagi 2008 yang dijadikan rujukan dalam menilai kemakmuran rakyat. kesesuaian rencana kegiatan dengan tata Realitas sosial penambangan batu kapur ruang kabupaten. (karst) di Kecamatan Sukolilo Kab. Pati Alasan lain yang dikemukakan adalah sekalipun kalau bisa disebutkan, tentu hampir kegiatan ekplorasi bukanlah kegiatan di semua daerah penyebab terjadinya eksploitasi (pertambangan) yang dapat dikategorikan sebagai sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab a. 298 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 298 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:33 PM dan buruknya pengelolaan sumber daya alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup bersumber dari: (1) kemiskinan; (2) lemahnya penegakan hukum; (3) rendahnya taraf sinkronisasi peraturan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam; (4) dorongan peningkatan pendapatan asli daerah; (5) perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tidak menjadi agenda politik utama; (6) masih belum kuatnya pengakuan peran masyarakat lokal; (7) upaya pemaksaan kehendak melalui instrumen hokum. Oleh karena itu untuk mengembalikan kepada filosofi lingkungan hidup dibutuhkan hukum progresif di mana hukum ditentukan oleh manusia dalam mewujudkan kesejahteraan manusia, maka jika terjadi permasalahan hukum, hukumlah yang harus ditinjau kembali atau diperbaiki, dan bukan manusia yang dipaksa untuk mengikuti skema hukum. hukum menjadi kenyataan. Tujuan atau ide para pembuat hukum diwujudkan dalam penegakan hukum (law enforcement). 1. Faktor-faktor yang mempengaruh penegakan hukum di pengadilan a. Pengaruh kekuatan-kekuatan terhadap penegakan hukum lain: 1) The way in which the issues are presented; 2) The sources of theory; 3) The Personal attributes of the judge; 4) The professional sosialization of Judges; 5) Situational pressures on the judge; 6) Organizational pressures on him; 7) The alternative Permissible Rules of Judges. Keberhasilan dalam penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh sistem hukumnya. Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1. Komponen Struktural penegak hukum); (lembaga 2. Komponen Substansial (peraturan perundang-undangan); dan 3. Komponen Kultural, baik internal legal culture (polisi, hakim, lawyers) atau external legal culture (masyarakat, role occupant) (Friedman, 1986, hal. 17). Dari tiga komponen di atas komponen Persoalan dan telaah hukum praktis dalam struktural menjadi faktor yang sangat penting memahami sebuah kasus setidaknya akan dalam proses penegakan hukum. Dalam perspektif dihadapkan tiga persoalan yaitu: perbedaan social, pengadilan adalah sebagai institusi sosial penafsiran teks peraturan karena peraturan dalam melaksanakan tugasnya akan dipengaruhi tidak jelas, perbedaan penafsiran atas fakta, dan oleh kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi, kekosongan aturan hukum. Putusan Nomor 04/ budaya, dan sebagainya. G/2009/PTUN.Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/ TUN/2010 lebih pada perbedaan penafsiran atas b. Faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam memutus perkara fakta, sehingga dapat diketahui putusan yang bagaimanakah yang dihasilkan, apakah sudah Faktor-faktor yang mempengaruhi hakim mengarah pada hukum progresif atau masih dalam memutus perkara, menurut William J. konvensional, hal ini akan dipengaruhi berbagai Chambliss dan Robert B. Seidman (Chambliss & faktor sebagai berikut: Seidman, 1971, hal. 90): ada tujuh macam antara sosial Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 299 | 299 1/18/2016 12:09:33 PM 2. Prinsip-prinsip hakim dalam memutus dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa perkara keadilan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim dalam memutus perkara wajib menggali, Dalam memutus perkara hakim harus mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum memperhatikan pada nilai-nilai hukum seperti dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. yang dikemukakan oleh Radbruch sebagai nilai Hakim tidak hanya menggunakan peraturan dasar hukum. Tiga nilai dasar itu yaitu: perundang-undangan yang berlaku saja dalam 1. Keadilan, artinya bahwa dalam memutus perkara. Hakim harus memperhatikan memutus perkara hakim harus adil nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. sesuai dengan fakta. Pertimbangan hakim PTUN tampak sekali dalam memutus perkara harus dapat dalam pertimbangannya dikatakan “fakta-fakta hukum yang diperoleh selama persidangan menyelesaikan masalah. berlangsung dengan tidak hanya berpijak pada 3. Kepastian hukum, artinya adanya norma yuridis dogmatis atau legal positivism peraturan. Apabila putusan hakim saja, melainkan juga memperhatikan aspek dalam memutus perkara berdasarkan socio-cultural, karena masalah lingkungan hidup nilai kemanfaatan, kepastian hokum, merupakan problema krusial dan aktual yang dan keadilan bertentangan dan menyangkut benturan-benturan kepentingan menimbulkan masalah maka nilai sehingga memerlukan pengkajian multidisipliner keadilan yang diutamakan, karena dengan pendekatan penafsiran hukum progresif hukum untuk keadilan. (Radbruch yang bersifat evolutif-dinamikal.” dalam Satjipto, 2006, hal. 19). Hubungannya dengan Putusan Pengadilan Putusan hakim harus berdasarkan nilai Tata Usaha Negara Semarang Nomor 04/ ketuhanan, hal ini sesuai dengan ketentuan G/2009/PTUN.Smg. tertanggal 6 Agustus 2009 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 mengenai penambangan batu kapur oleh PT. Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman SG di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. yang berbunyi peradilan dilakukan “DEMI Putusan PTUN tersebut merupakan putusan KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN yang berkeadilan dan menggali nilai-nilai dan YANG MAHA ESA”. Artinya bahwa hakim rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dalam memutus perkara harus berdasarkan nilai yang menggambarkan nilai keadilan lingkunagn ketuhanan seperti jujur, adil, dan benar. Selain yang berorientasi pada kesejahteraan dan itu putusan hakim yang dibuat harus dapat perlindungan masyarakat Sedulur Sikep, karena dipertanggung jawabkan kepada Tuhan yang dapat memberikan rasa keadilan yang sebenarnya Maha Esa. keadilan sesuai dengan tujuan ingin diwujudkan Demikian juga Pasal 5 ayat (1) Undang- dalam penegakan hukum. 2. Kemanfaatan artinya bahwa hakim UndangNomor 48 Tahun 2009 dikatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, 300 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 300 Keadilan lingkungan ini tercermin dalam pertimbangan hakim “meskipun dalam kawasan Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:33 PM karst kelas II dan III dimungkinkan adanya usaha pertambangan, akan tetapi harus memperhatikan salah satu konsep etika lingkungan yaitu deep ecology yang menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia saja, melainkan berpusat pada makhluk hidup seluruhnya yang berkaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup untuk jangka panjang dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, yang menurut Dr. A. Sonny Keraf (Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kepala Bapedal) berupaya mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek lingkungan hidup, maka ketiga aspek tersebut harus dipandang saling berhubungan dan berkaitan secara erat antara yang satu sama lainnya.” Sehingga putusan MA mengatakan, dengan demikian “Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang yang menyatakan bahwa terhadap penerbitan izin eksplorasi harus dilengkapi AMDAL karena dilakukan di daerah resapan air dan kawasan sekitar mata air atau kawasan karst” sudah tepat. prosedur peradilan dan proses peradilan yang menggunakan hukum undang-undang (formal) dalam menyelesaikan masalah. Undang-undang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara dengan jargonnya demi kepastian hukum (legalitas). Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor 540/052/2008, tanggal 5 November 2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Nomor 540/040/2008 tentang Izin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur oleh PT. SG di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah. Dalam pertimbangan hakim dikatakan tindakan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati dalam menerbitkan objek sengketa bertentangan dengan asas keterbukaan dan asas kebijaksanaan (sapientia) yang menginginkan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Di kawasan karst Sukolilo yang ada di Kabupaten Pati ketika akan menerbitkan suatu Kecamatan Sukolilo ada masyarakat samin/ keputusan terlebih dahulu harus memberitahukan Sedulur Sikep yang hidupnya hanya dari pertanian kepada pihak yang akan terkena dampak dan yang berarti mengandalkan sumber air di didengar pendapatnya, apabila terdapat kendala kawasan karst yang banyak sekali perlu mendapat diselesaikan dengan jalur musyawarah. “perlindungan” (wawancara dengan Maftuh Effendi, salah satu hakim TUN Semarang). Selain Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati dituntut untuk membuka peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok dan masyarakat di sekitar lokasi diterbitkannya Penegakan hukum konvensional adalah objek sengketa, sudah menjadi kewajiban bagi penegakan hukum yang prosedural dan formal. Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Penegakan hukum yang prosedural dan formal Kabupaten Pati untuk memperhatikan eksistensi adalah penegakan hukum yang sesuai dengan masyarakat adat di Kecamatan Sukolilo, yaitu 3. Keterbatasan konvensional penegakan hukum Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 301 | 301 1/18/2016 12:09:33 PM komunitas masyarakat adat Samin atau Sedulur Sikep yang memiliki budaya, karakteristik, ajaran, dan agama tersendiri yang khas (Rosyid, 2008, hal. 167). menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL yang mempunyai paradigma baru yang bersifat lengkap dan holistik, yaitu dengan mengkaji semua aspek yang relevan yang terdiri dari aspek Pemikiran ini juga menjadi pertimbangan sosial, budaya, moral, estetis, dan spiritual, serta hakim PTUN, dikatakan “bahwa selain tergugat mengesampingkan prosedur formalitas yang dituntut untuk membuka peluang dan akses yang bersifat teknis dan kuantitatif semata, karena sama bagi semua kelompok dan masyarakat di lingkungan hidup berkarakter multidisiplin dan sekitar lokasi diterbitkannya objek sengketa, multiaspek, khususnya ekologi (baca: kawasan sudah menjadi kewajiban bagi tergugat untuk karst). memperhatikan eksistensi masyarakat adat di Kecamatan Sukolilo, yaitu komunitas Kawasan karst adalah kawasan batuan masyarakat adat Samin atau Sedulur Sikep karbonat (batu gamping dan dolomite) yang yang memiliki budaya, karakteristik, ajaran, memperlihatkan morfologi karst, sedangkan karst dan agama tersendiri yang khas” dan kebijakan itu sendiri artinya adalah bentukan bentang alam pembangunan pabrik oleh PT. SG dianggap akan pada batuan karbonat yang bentuknya sangat merusak lingkungan hidup, merusak ekologi khas berupa bukit, lembah, dolina, dan gua, hal lingkungan, menghilangkan hak-hak hidup ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka masyarakat Sedulur Sikep yang selama ini hanya 1 dan 2 Keputusan Menteri Energi dan Sumber bertani sehingga sangat tergantung pada tanah Daya Mineral Nomor 1456 K/20/MEM/2000 dan air. Kehidupan masyarakat Sedulur Sikep tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst. yang berjumlah sekitar 230 KK (Wawancara Kawasan karst tersebut mempunyai beberapa dengan Gunritno, tokoh Sedulur Sikep). nilai yang sifatnya strategis yaitu: pertama, nilai Selanjutnya dikatakan mata air di ekonomi yang berkaitan dengan usaha pertanian, Pegunungan Kendeng merupakan sumber kehutanan, pertambangan, pengelolaan air, dan pengairan 15.873,900 ha sawah di Kecamatan pariwisata. Kedua, nilai ilmiah yang berkaitan Sukolilo dan 9 603,232 ha di Kecamatan Kayen. dengan ilmu-ilmu kebumian, speologi, biologi, Sawah yang berada di kaki Gunung Kendeng arkeologi, dan paleontology. Ketiga, nilai Utara menggunakan irigasi teknis sementara yang kemanusiaan, berkaitan dengan keindahan, terletak di sebelah utara sepanjang Sungai Juana rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual, dan II dan Juana I menggunakan sistem pompanisasi agama atau kepercayaan. dengan bersumber dari sumber air yang berada Salah satu area yang mengandung batuan pada Pegunungan Kendeng. kapur besar (karst) adalah Pegunungan Kendeng Di samping itu hakim tidak sekedar melihat Utara, yang disebut sebagai kawasan karst Sukolilo secara prosedural bagaimana permohonan izin yang membentang di bagian utara Provinsi Jawa oleh PT. SG itu diperoleh akan tetapi hakim Tengah seluas 19.472 hektar. Kawasan tersebut juga mengaitkan dengan setiap rencana usaha meliputi wilayah Kabupaten Pati (11.802 hektar), dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat Grobogan (721 hektar) dan Blora (45,3 hektar). 302 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 302 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:33 PM Kini area tersebut menjadi tujuan investasi dari perusahaan-perusahaan semen, seperti PT. SI (sebelumnya bernama PT. SG), PT. SMS, PT. VPL, dan PT. SMP (Kompas, 2 Maret 2013). Tidak berlebihan jika kemudian karena memiliki cadangan karst yang besar, Kabupaten Pati, tepatnya bagian selatan menjadi target perluasan dan pendirian pabrik semen baru. Meskipun persetujuan dari pemerintah daerah tidak sulit diperoleh, bukan berarti proses pembangunan pabrik semen bisa berjalan mudah. Hingga awal tahun 2013, belum ada satupun investor atau perusahaan yang telah berhasil melakukan pembangunan fisik pabrik semen di Kabupaten Pati. Pada tahun 2009, PT. SG hampir saja mewujudkan pembangunan pabrik di Kecamatan Sukolilo, sebelum kemudian mengurungkan rencananya karena penolakan keras dari masyarakat setempat yang didukung sejumlah LSM (NGOs). Pandangan majelis hakim ternyata tidak antroposentris semata melainkan sudah mengarah pada ekosentris karena menganggap alam termasuk “natural objects” yang mempunyai “legal rights,” karena sifatnya yang inanimatif alam termasuk benda yang tidak mempunyai kemampuan membela hak atau kepentingannya di hadapan hukum manusia. Oleh sebab itu dalam membela kepentingan terhadap suatu kegiatan yang dapat merugikan lingkungan hidup diwakili oleh organisasi lingkungan hidup yang ditunjuk sebagai guardian. Pendapat dari tergugat yang mengatakan eksplorasi adalah studi kelayakan, maka tidak perlu amdal. Menurut Kepmen ESDM Nomor 11 Tahun 2006 tidak mengatur untuk kegiatan eksplorasi, yang diatur adalah untuk kegiatan eskploitasi bahan galian C batu kapur, maka eksplorasi tidak wajib amdal. Sedangkan untuk kawasan karst sudah pernah dilakukan penelitian, sehingga menghasilkan Peraturan Gubernur Nomor 128 Tahun 2008 yang mengatur kawasan karst Sukolilo. Apa yang disampaikan oleh tergugat, masih pada doktrin hukum perdata yang bertumpu pada hubungan hukum privat antara para pihak dan berkaitan dengan hak keperdataan, sedangkan keputusan tata usaha negara adalah keputusan yang bertumpu pada tindakan hukum publik sesuai dengan prinsip erga omnes. Menurut saksi penggugat pada saat eksplorasi sudah wajib, karena bukan menilai kegiatannya tapi menilai usahanya, jika usahanya industri besar atau pertambangan, izin ekplorasinya perlu amdal. Jadi wajib amdal tergantung usahanya, sedangkan kegiatannya adalah tahapan dari usahanya. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 merupakan AMDAL terpadu, jadi wajib AMDAL, tidak boleh terpisah antara kegiatan eksplorasi dengan eksploitasi, dan berdasarkan Kepmen ESDM Nomor 1456 Tahun 2005 Pasal 14 dan 15 dikatakan bahwa di kawasan karst tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan penambangan memang betul, tapi menurut saksi Kepmen ESDM 1456 Tahun 2005 tersebut bertentangan dengan PP Nomor 26 Tahun 2009 tentang Tata Ruang dan Wilayah. Sebagaimana diuraikan di atas, hukum progresif selain mempunyai asumsi, spirit, juga memiliki karakter yang progresif dalam hal sebagai berikut: 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses menjadi (law in the making). Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 303 | 303 1/18/2016 12:09:33 PM 2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global. 3. Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum. Dalam konteks eksplorasi memang tidak mempunyai dampak besar atau penting, tapi dalam amdal dilihat semua, diputuskan seluruhnya jadi tidak hanya kegiatannya saja, tapi dari semua aspek baik lingkungan hidup, airnya, keanekaragaman hayati, sosial ekonomi dari tahun eksplorasi sampai pasca eksploitasi. Jadi tidak bisa dibuat secara subbagian atau secara parsial tapi secara keseluruhan. Karena mungkin pada tahap eksplorasi belum mempunyai dampak tapi bisa jadi pada tahap eksploitasi menimbulkan dampak. Namun majelis melihat setiap kegiatan mempunyai dampak besar atau penting, dan “berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan hidup” wajib dilengkapi dengan AMDAL. IV. KESIMPULAN Berdasarkan permasalahan dan pembahasan di atas bahwa penegakan hukum konvensional memiliki keterbatasan dalam mewujudkan keadilan lingkungan dan hukum progresif dengan pendekatan legal pluralism merupakan konstruksi penegakan hukum yang dapat mewujudkan nilai keadilan lingkunagn, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hukum dan masyarakat dapat digambarkan sebagai seperangkat norma-norma hukum, tetapi merupakan hasil dari 304 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 304 suatu proses sosial, artinya bahwa usaha manusia untuk membuat dan merubah tatanan hukum senantiasa berada dalam konteks sosial yang terus berubah. Robert B. Seidman mengatakan, tindakan apa saja yang diambil oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana atau pembuat undang-undang akan berada dalam kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya, sehingga penegakan hukum konvensional yang prosedural dan formal memiliki keterbatasan, yaitu tidak selalu dapat mewujudkan keadilan lingkungan yang melindungi lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan ekologis sebagaimana amanat konstitusi. Dalam prosesnya hukum selalu mengutamakan peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan masalah demi kepastian hukum, sekaligus mengabaikan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hakim kadang-kadang hanya menjadi corong undang-undang, sehingga tidak memperhatikan nilai-nilai, norma-norma yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu untuk mengembalikan kepada filosofi lingkungan hidup dibutuhkan hukum progresif di mana hukum ditentukan oleh manusia dalam mewujudkan kesejahteraan manusia, maka jika terjadi permasalahan hukum, hukumlah yang harus ditinjau kembali atau diperbaiki, dan bukan manusia yang dipaksa untuk mengikuti skema hukum. Konstruksi penegakan hukum progresif yang berupa produk-produk legislatif berupa peraturan perundangan-undangan dan kebijakan eksekutif dalam melaksanakan asas-asas Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:33 PM pemerintahan yang baik. Oleh karenanya dalam konteks lingkungan hidup, hukum progresif sangat diperlukan agar nafas pembangunan berkelanjutan ekologis sudah menjadi pedoman dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Putusan PTUN Semarang Nomor 04/ G/2009/PTUN.Smg. jo. Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Pati Nomor 540/052/2008, tanggal 5 November 2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Nomor 540/040/2008 tentang Izin Pertambangan Daerah Eksplorasi Bahan Galian Golongan C Batu Kapur oleh PT. SG di Desa Gadudero, Desa Kedumulyo, Desa Tompegunung, Desa Sukolilo, Desa Sumbersoko Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah merupakan salah satu konstruksi penegakan hukum progresif yang menggunakan pendekatan legal pluralism dengan mengkaji semua aspek yang relevan yang terdiri dari aspek sosial, budaya, moral, estetis, dan spiritual, serta mengesampingkan prosedur formalitas yang bersifat teknis dan kuantitatif semata, karena lingkungan hidup berkarakter multidisiplin dan multiaspek sehingga dapat mewujudkan keadilan lingkungan. Salah satu pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 04/G/2009/PTUN.Smg. dikatakan “saksi ahli dari penggugat yang bernama TN, pada pokoknya menyatakan kawasan karst itu adalah kawasan yang spesifik dan unik karena perkembangan bentangan alamnya tidak saja terdapat di permukaan bumi saja tetapi juga terdapat bentangan bawah permukaan. Di bawah permukaan banyak terdapat gua-gua yang indah, sungai bawah tanah, dan biotabiotanya bagus, menurut statemen ahli speologi (ahli gua) menyatakan bahwa hampir 35% cadangan air berada di kawasan karst dan arti penting kawasan karst adalah merupakan kawasan resapan air bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya, dan sebagai ekosistem yang mempunyai fungsi vital sebagai penyeimbang ekosistem serta berfungsi sebagai media untuk menangkap sekaligus menyimpan air hujan serta melepaskannya secara pelan-pelan” disamping itu juga “membuka peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok dan masyarakat di sekitar lokasi diterbitkannya objek sengketa, sudah menjadi kewajiban bagi tergugat untuk memperhatikan eksistensi masyarakat adat di Kecamatan Sukolilo, yaitu komunitas masyarakat adat Samin atau Sedulur Sikep yang memiliki budaya, karakteristik, ajaran, dan agama tersendiri yang khas.” Demikian juga dalam Putusan Nomor 103 K/TUN/2010 dikatakan “Kesaksian saksi Gunretno pada pokoknya mengatakan: di Kecamatan Sukolilo, dari 5 desa saja ada 49 mata air. Di Sukolilo ada lebih dari 9 mata air. Sumber terbesar di Sukolilo ada!ah Sumber Sentul. Di Gadudero ada 4 mata air, Kedumulyo ada 4 mata air, Gua Wareh berada di Kedumulyo. Tompegunung ada 9 mata air, Sumbersoka ada 3-4 mata air.” Sehingga dengan demikian “Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang yang menyatakan bahwa berdasarkan peraturan perundangan terhadap penerbitan izin eksplorasi harus dilengkapi dengan AMDAL” sudah tepat. Implementasi Hukum Progresif dalam Pembangunan Berkelanjutan Ekologis (Subarkah) Jurnal isi edit arnis ok.indd 305 | 305 1/18/2016 12:09:33 PM DAFTAR ACUAN Warassih P, Esmi. (2005). Lembaga prana hukum Binawan, A. A., & Sabastian, T. (2012). Menim(b)ang keadilan eko-sosial. Kertas Kerja Epistema. Chambliss, W. J., & and Seidman, R. B. (1971). Law, order, and power. California: Addision-Wesley Publishing Company Massashussets, Menzo. Friedman, L. M. (1986). The legal system, a social science perspective. New York: Russel Sage Foundation. Ismail, F. (2004). Keteladanan dalam konteks nasional telaah sosiologis. Semarang: Suryandaru Utama. __________. (2009). Hukum progresif jawaban Jakarta: Epistema Institute. kepemimpinan sebuah dan realitas kemajemukan bangsa. Jurnal Ilmu Sosial UNISIA, No.52/XXVII/II. alternatif menuju pembangunan Indonesia menghadapi mafia hukum peradilan. Seminar nasional. Semarang: Undip. Werner, M. (2006). Comparative law in a global context (The legal system of Asia and Africa). Second edition. Cambridge: University Press. Wignyosoebroto, S. (2008). Hukum dalam masyarakat, perkembangan dan masalah, sebuah pengantar ke arah kajian sosiologi hokum. Malang: Bayumedia Publishing. Kompas, 2 Maret 2013. Rahardjo, S. (2009). Hukum dan perilaku. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. __________. (2010). Penegakan hukum progresif. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Rosyid, Moh. (2008). Samin kudus barsahaja di tengah asketisme local. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samekto, A. (2008). Justice not or all. Semarang, Yogyakarta: Genta Press. Suteki. (2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam memutus perkara; Perspektif sociologist jurisprudence. Semarang: Fakultas Hukum Undip. __________. (2010). Kebijakan tidak menegakkan hukum (Non enforcement of law) demi keadilan substantif. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Semarang: Fakultas Hukum Undip. Tanya, B. L. et. al. (2010). Teori hukum strategi tertib manusia lintas ruang dan generasi. Yogyakarta: Genta Publishing. 306 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 306 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 289 - 306 1/18/2016 12:09:33 PM KEADILAN PEMULIHAN BAGI SUBJEK HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF Kajian Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012 RESTORATIVE JUSTICE FOR THE LEGAL SUBJECT IN THE PERSPECTIVE PROGRESSIVE LAW An Analysis of Court Decision Number 1262 K/Pid/2012 Muhammad Junaidi Fakultas Hukum Universitas Semarang Jl. Soekarno Hatta Semarang 50196 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 20 November 2014; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015 ABSTRAK ABSTRACT Penelitian ini mengkaji secara deskriptif analitis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 yang mengadili terdakwa SM. Melalui putusan tersebut SM dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan serta mendapat ganti rugi sebesar lima juta rupiah setelah menjalani hukuman kurungan selama tiga belas bulan atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Pada putusan pengadilan di tingkat pertama dan banding ia dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman. Nilai keadilan yang sesungguhnya harusnya memperhatikan kerugian moril maupun materiil yang dialami SM atas putusanputusan hakim sebelumnya. SM selayaknya bukan hanya dibebaskan tetapi juga mendapat ganti rugi saat menjalani proses hukum sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup yang layak. Jika hal tersebut diterapkan maka This is a descriptive analysis examining the Supreme Court Decision Number 1262 K/Pid/2012 which adjudicate the defendant initials SM. Through this decision, SM has been proved innocent and released, then got a compensation of five million rupiahs, after serving thirteen months imprisonment for crimes she did not commit. In the court decision at first instance and the appellate she was found guilty and serving a sentence. The ultimate justice should take close consideration on the actual moral and material losses suffered by SM for the judges previous decisions against her. SM should not only be acquitted, but also be compensated during the legal process in accordance to the level of a decent living. If it is implemented, then the law would not just a black and white regulation, rather run the spirit and the meaning the statute or laws in greater depth. To reinforce the presence of progressive law in the court decision, it must refer to the norms and principles in the fifth principle of Pancasila, which is of social justice for all Indonesian people. hukum tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari peraturan melainkan menjalankan semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum. Untuk menguatkan kehadiran hukum progresif dalam putusan pengadilan maka harus mengacu pada norma dan asas dalam sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keywords: court decision, justice, progressive law. Kata kunci: putusan pengadilan, keadilan, hukum progresif. Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 307 | 307 1/18/2016 12:09:33 PM I. PENDAHULUAN lembaga peradilan. Putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) A. Latar belakang menjadi modal besar keadilan tercipta atau tidak Proses untuk mencapai keadilan merupakan di institusi peradilan. mata rantai yang tidak boleh dilepas-pisahkan UUD NRI 1945 menyatakan dengan tegas paling tidak sejak pembuatan peraturan perundangbahwa kekuasaan hukum salah satunya dilakukan undangan, terjadinya kasus atau peristiwa melalui kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 24 hukum, sampai proses verbal di kepolisian serta UUD NRI 1945 disebutkan bahwa: penuntutan jaksa, atau gugatan dalam perkara perdata maupun pidana dan kemudian diakhiri 1. Kekuasaan kehakiman merupakan dengan vonis hakim yang telah memperoleh kekuasaan yang merdeka untuk kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) menyelenggarakan peradilan guna (Utsman, 2008, hal. 13). menegakkan hukum dan keadilan. Keadilan adalah inti atau hakikat 2. hukum yang sebenarnya. Keadilan tidak dapat dirumuskan secara matematis, yaitu dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Keadilan juga tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun, dan seterusnya. Keadilan sesungguhnya terdapat di 3. balik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim (Saleh, 2006, hal. 70). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Amandemen UUD NRI 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan UUD NRI 1945. Karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah dan diganti menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang Peran semua pihak untuk menjalankan memungkinkan kekuasaan kehakiman dalam reformulasi keadilan yang sesungguhnya menjalankan kekuasaan penegakan hukum lebih harus dijalankan, salah satunya adalah melalui maksimal. Dalam praktik sistem penegakan hukum, keadilan menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilan. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum baik hukum adat, eropa continental, sistem hukum Islam dan sistem hukum anglo saxon. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama (Rahardjo, 2006, hal. 270). 308 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 308 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318 1/18/2016 12:09:33 PM Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, dinyatakan bahwa ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Sedangkan Pasal 2 undang-undang tersebut, menyatakan bahwa ”Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Pasal 2 ini dipertegas lagi dalam Pasal 10 undangundang tersebut, yang berbunyi: 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 2. membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan (Kusuma, 2009, hal. 74). Hal yang disampaikan oleh Rahardjo seakan dapat kita simpulkan bahwa tidak akan mungkin menghadirkan keadilan tanpa adanya hakim dan jaksa yang baik. Kritik atas belum maksimalnya misi keadilan yang dijalankan oleh hakim di antaranya adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012. Keabsahan dalam putusan tersebut mempunyai karakteristik yang dominan sifat keadilan berdasarkan legal positivisme. Menurut pandangan penulis, makna dari legal positivisme merupakan suatu bentuk keputusan keadilan dikonsepsikan hanya untuk menutupi amar putusan dengan didasarkan perundang-undangan yang tertulis tanpa melihat adanya esensi nilainilai lain yang ideal untuk diterapkan. Praktik legal positivisme tersebut adalah ganti rugi sebesar lima juta rupiah yang diberikan kepada SM setelah menjalani hukuman kurungan selama tiga belas bulan atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Keputusan ganti rugi tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Agung pada 6 Januari 2014. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, Substansi Putusan Mahkamah Agung dan peradilan tata usaha negara. Nomor 1262 K/Pid/2012 dalam penilaian penulis hanyalah bentuk penyikapan hakim atas aturan Berdasarkan uraian di atas, posisi tertulis. Hakim tidak mempertimbangkan putusan hakim telah dilegitimasi dalam mewujudkan sebelumnya yang telah mencederai rasa keadilan kewenangannya secara mutlak untuk memberikan karena menghukum SM selama tiga belas bulan rasa keadilan. Namun, dalam praktiknya masih atas perbuatan yang tidak dilakukannya. saja kita temukan perihal adanya ketidakadilan dalam putusan hakim. Rahardjo mengutip Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan 1262 K/Pid/2012 tidak nampak landasan yuridis hakim yang baik, maka dengan peraturan yang dan latar belakang yang diuraikan secara jelas buruk sekalipun saya bisa membuat putusan kenapa hakim hanya memberikan ganti rugi lima yang baik.” Mengutamakan perilaku (manusia) juta rupiah setelah SM mendekam di penjara daripada peraturan perundang-undangan sebagai selama tiga belas bulan atas perbuatan yang tidak titik tolak paradigma penegakan hukum, akan dilakukannya. Di sisi lain, korban merupakan Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 309 | 309 1/18/2016 12:09:33 PM masyarakat dalam klasifikasi buta terhadap C. aturan hukum sehingga yang dia pikirkan hanya 1. sebuah kebebasan, dan inilah yang acapkali terlewatkan untuk disoroti dalam kerangka dan a. makna mewujudkan keadilan. Fenomena yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 sangat menarik dikaji secara komprehensif. b. Hal yang perlu diuji dalam putusan tersebut adalah apakah memang nilai sebuah keadilan hanya memiliki sifat memutus pada masalah ketidakadilan kasusnya, dengan menghiraukan 2. terjadinya persoalan ketidakadilan yang terjadi dalam proses hukum yang dijalani oleh SM. a. Rumusan Masalah 2. Untuk mengetahui pemenuhan keadilan secara substantif dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 pada aspek ganti rugi untuk SM; Kegunaan Diharapkan dari hasil kajian dan analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 dapat dijadikan bahan evaluasi bagi putusan tersebut dan pembuatan putusan yang akan datang, pada masalah ganti rugi bagi terdakwa; Diharapkan hasil kajian dan analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 dapat dijadikan rujukan bagi putusan-putusan yang akan datang sehingga dapat memaksimalkan nilai keadilan; c. Berangkat dari uraian di atas, maka permasalahan yang dibahas sebagai berikut: 1. Tujuan Untuk mengetahui tinjauan dari sudut pandang konsep hukum progresif atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/ Pid/2012 pada aspek ganti rugi untuk SM. Pentingnya mengkaji fenomena dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 karena tradisi menggunakan yurisprudensi sebagai acuan putusan hakim yang akan datang mengharuskan kita selalu mengkritisi setiap putusan hakim. Harapannya b. dengan mengkritisi tersebut kita dapat menguji kualitas putusan, agar nantinya dapat diukur layak tidaknya untuk digunakan sebagai acuan pada putusan-putusan yang akan datang. B. Tujuan dan Kegunaan Apakah dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 pada aspek D. ganti rugi untuk SM telah mampu menilai keadilan secara substantif? 1. Diharapkan berdasarkan hasil kajian dan analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 dapat ditemukan rumusan baru model penggalian putusan hakim yang lebih bernilai pada teraksesnya keadilan Studi Pustaka Keadilan Bagaimana tinjauan dari sudut pandang Soekanto menjelaskan fungsi hukum konsep hukum progresif atas Putusan adalah mengatur hubungan antara negara atau Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 masyarakat dengan warganya dan hubungan pada aspek ganti rugi untuk SM? antar manusia, agar kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Hal 310 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 310 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318 1/18/2016 12:09:33 PM ini mengakibatkan, bahwa tugas hukum adalah 2. untuk mencapai kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat (Soekanto, 1976, hal. 41). Berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat umum, maka keadilan lebih menekankan pada faktor atau keadaan-keadaan yang khusus. Hal tersebut disebabkan oleh karena keadilan itu sebenarnya merupakan soal perasaan. Selain itu, keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketenteraman di dalam hati orang yang apabila diganggu akan menimbulkan kegelisahan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan, penilaian, atau pertimbangan (Soekanto, 1976, hal. 43). Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung (Fauzan & Prasetyo, 2006, hal. 37). Keadilan dalam Perspektif Hukum Progresif Menurut Rahardjo, penegakan dan keadilan dalam hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan (Rahardjo, 2009, hal. xiii). Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Konsep dasarnya adalah: 1) hukum sebagai peraturan; dan 2) hukum sebagai perilaku (Mujahidin, 2006, hal. 72). Antara hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai perilaku memiliki sebuah identitas yang saling berkaitan dan sangat berhubungan erat, bahkan tidak dapat dipisahkan. Hal inilah yang kemudian membedakan antara hukum progresif dengan teori hukum yang lain, yang acapkali terlalu mengedepankan aturan yang sifatnya mengikat sehingga tidak mampu mengakses nilai Di samping itu, hal yang paling utama keadilan yang ada sesungguhnya. memahami keadilan adalah keadilan merupakan Raharjo mencoba menyoroti kondisi di atas nilai penting dalam hukum. Hanya saja, berbeda dengan nilai kepastian hukum yang lebih bersifat ke dalam situasi ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu umum, nilai keadilan ini lebih bersifat personal hukum, meski tidak sedramatis dalam ilmu fisika, atau individual kasuistik (Sidharta, 2006, hal. tetapi pada dasarnya terjadi perubahan yang 80). Prinsip dasar keadilan ini tentunya sangat fenomenal mengenai hukum yang dirumuskannya penting menjadikan kualitas penegakan hukum dengan kalimat “dari yang sederhana menjadi rumit” dan “dari yang terkotak-kotak menjadi nantinya untuk lebih baik. satu kesatuan.” Inilah yang disebutnya sebagai Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 311 | 311 1/18/2016 12:09:33 PM “pandangan holistik dalam ilmu (hukum). Pandangan holistik ini memberikan kesadaran visioner bahwa sesuatu dalam tatanan tertentu memiliki bagian yang saling berkaitan baik dengan bagian lainnya atau dengan keseluruhannya. Misalnya saja untuk memahami manusia secara utuh tidak cukup hanya memahami, mata, telinga, tangan, kaki atau otak saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh. Diilhami oleh gagasan Wilson melalui tulisannya menjadi acuan para penstudi hukum yaitu Consilience; The Unity of Knowledge, membawa kita kepada pandangan pencerahan tentang kesatuan pengetahuan, sebagaimana dijelaskan Barbour, “Wilson berpendapat bahwa kemajuan sains merupakan awal untuk melakukan penyatuan (unifikasi) antara sains alam, sains social, dan sains kemanusiaan. Pencarian hubungan antar disiplin merupakan tugas yang sangat penting, dan Wilson menghimpun beberapa disiplin secara luas dan anggun” (Rahardjo, 2004, hal. 18). Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Rahardjo sebagai berikut: Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat, dan 312 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 312 lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making) (Rahardjo, 2004, hal. 72). Dalam bentuk upaya merekonstruksi perwujudan keadilan tentunya memang menjadi perhatian yang serius bagi kita saat ini. Melihat tantangan ini Rahardjo mengemukakan bahwa kita perlu belajar memahami dengan cerdas apa yang terjadi di sekeliling kita untuk kemudian mengambil strategi yang tepat guna menanggulangi keterpurukan sekarang ini (Rahardjo, 1999, hal. 11-12). Hal ini membawa kita kepada pertimbangan untuk memilih langkah dengan menguji kembali apakah yang kita lakukan selama ini sudah benar. II. METODE Metode yang penulis gunakan adalah socio-legal studies. Socio-legal studies mengkonsepsikan hukum sebagai norma dan sekaligus sebagai realitas. Kajian di dalam sociolegal studies menuntut penguasaan doktrindoktrin ajaran hukum yang telah dibangun dalam hukum itu sendiri (sebagai ilmu yang bersifat apriori dan tidak terbebas dari nilai), dan penguasaan akan teori-teori bekerjanya hukum, sebagai konsekuensi yang melihat hukum sebagai realitas (Samekto, 2012, hal. 61). Tulisan ini bersifat deskriptif analitis. Jenis data yang mendukung penulisan adalah data sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah para sarjana dan buku-buku literatur yang ada kaitannya dengan judul atau fokus penulisan. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318 1/18/2016 12:09:34 PM Sedangkan bahan hukum tersier yaitu berupa kamus-kamus yang ada kaitannya dengan judul penulisan yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Untuk metode analisis data penulis menggunakan metode analisis kualitatif. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, yaitu diduga telah mengeksploitasi ekonomi anak di bawah umur bernama EP yang bekerja di karaoke ACC. SM dijadikan tersangka seorang diri berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/90/A/ III. HASIL DAN PEMBAHASAN VI/2011/Reskrim tanggal 8 Juni 2011 (formulir A. Subtansi Keadilan dalam Putusan MA Laporan Model A), di Kepolisian Resor Kota Semarang. Dengan pelapor Iptu Endang Suprobo, Nomor 1262 K/Pid/2012 S.H. (Kanit PPA), yaitu penyidik perkara ini. Kasus yang menimpa SM cukup unik Namun anehnya SW selaku pemilik karaoke ACC dicermati. Kasus ini unik bukan karena putusan dan yang menggaji EP justru tidak dilaporkan pengadilan sebelumnya yang memutus SM penyidik yang bersangkutan. bersalah, namun karena putusan kasasi Mahkamah Pada tanggal 4 Januari 2011 Pengadilan Agung yang merupakan salah satu upaya hukum terakhir menyatakan SM tidak bersalah dan Negeri Semarang telah memutus perkara SM dibebaskan serta mendapat ganti rugi sebesar dengan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 140/Pid.Sus/2011/PN.Smg dengan amar lima juta rupiah. putusan berbunyi sebagai berikut: Meskipun Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 mampu menunjukkan 1. Menyatakan bahwa terdakwa SM telah terbukti secara sah dan meyakinkan kebenaran yang ada, namun dalam substansi bersalah melakukan tindak pidana putusan nampaknya nilai keadilan bagi SM “MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU belum cukup hanya dengan keputusan bebas dan SEKSUAL ANAK DENGAN MAKSUD ganti rugi sebesar lima juta rupiah. MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI SM merupakan karyawan pada Karaoke ATAU ORANG LAIN;” ACC milik SW yang beralamat di Komplek Ruko Dargo Blok D Nomor 123 Jl. Dargo Semarang 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) (dahulu Jl. Dargo Nomor 15 Semarang). Pada bulan dan denda Rp2.000.000,- (dua juta tanggal 8 Juni 2011 ada razia tempat hiburan di rupiah), apabila denda tidak dibayar diganti tempat pemohon bekerja oleh polisi dan pemohon dengan pidana kurungan selama 2 (dua) saat itu tidak berada di karaoke ACC. Sm bulan; ditelepon J (manajer karaoke ACC) untuk datang. Sesampainya di karaoke ACC, SM langsung 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dimasukkan ke mobil polisi, serta pada hari itu dijalani oleh terdakwa akan dikurangkan juga dijadikan tersangka oleh penyidik. SM seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana mengeksploitasi ekonomi anak sebagaimana 4. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; dimaksud dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 313 | 313 1/18/2016 12:09:34 PM 5. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). Dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang di atas, hakim belum mampu membuktikan secara materil. Hakim dalam dasar hukumnya lebih mengadopsi pada sumber hukum formil di mana kesalahan SM ditentukan paradigma legalitas sebagai penentu kesalahan subjek hukum. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan spirit progresivitas di mana hakim wajib melakukan upaya penggalian hukum dan mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalam makna perundang-undangan yang mampu menjabarkan keadilan secara objektif bagi SM. LAIN.” 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda Rp2.000.000,- (dua juta rupiah), apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan agar terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Membebankan terdakwa untuk Substansi pokok materi dalam Putusan membayar biaya perkara sebesar Pengadilan Negeri Semarang di atas, tidak jauh Rp2.500,- (dua ribu lima ratus berbeda dengan putusan pengadilan tinggi. Dalam rupiah). Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 64/ Pid.Sus/2012/PT.Smg tanggal 19 Maret 2012 Pemahaman yang terlalu mengacu pada memberikan putusan yang berbunyi sebagai sumber hukum formil masih menjadi latar berikut: belakang hakim pengadilan tinggi sebagai a. Menerima permintaan banding dari jaksa dasar pertimbangan putusan bagi SM. Hakim hanya melihat celah keadilan secara formil dan penuntut umum; mengesampingkan keadilan secara substantif. b. Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Hal ini tentunya berimplikasi pada terjadinya Semarang tanggal 4 Januari 2012 Nomor ketidakpastian dalam menggagas citra keadilan 140/Pid.Sus/2011/PN.Smg yang dimintakan yang diterapkan dan bertentangan dengan banding tersebut, sekadar mengenai pidana karakter sifat progresif bagi seorang hakim dalam yang dijatuhkan sehingga amar putusan membuat keputusan. selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Upaya mengadopsi hukum progresif 1. Menyatakan bahwa terdakwa SM telah dalam putusan hukum idealnya memang harus terbukti secara sah dan meyakinkan menempatkan manusia sebagai objek utama dalam bersalah melakukan tindak pidana penggalian hukum, bukan malah menempatkan “MENGEKSPLOITASI EKONOMI aturan sebagai objek penemuan hukum. Dalam ATAU SEKSUAL ANAK DENGAN catatan pemikirannya Rahardjo menegaskan arti MAKSUD MENGUNTUNGKAN penting memahami hukum untuk manusia, bukan DIRI SENDIRI ATAU ORANG manusia untuk hukum. 314 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 314 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318 1/18/2016 12:09:34 PM Proses hukum kasus SM berlanjut sampai kasasi di Mahkamah Agung dan diputus melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1262 K/Pid/2012. Putusan Mahkamah Agung tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi terdakwa SM tersebut; 2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 64/ Pid.Sus/2012/PT.Smg tanggal 19 Maret 2012 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 140/Pid.Sus/2011/PN.Smg tanggal 4 Januari 2011; 3. diperuntukkan pada wilayah norma yang tertulis saja yaitu menghapus kewajiban dengan menjalankan Pasal 1 ayat (22) KUHAP yang menyebutkan “Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Nilai keadilan adalah kepuasan seseorang terdakwa yang tidak mendapatkan keadilan bahkan mendapatkan dampak yang secara psikologis berakibat buruk bagi kondisi pencari keadilan pada saat ini dan masa yang akan datang. Menyatakan bahwa terdakwa SM tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah Nilai keadilan yang sesungguhnya bukan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam hanya dinilai dari pembebasan SM dan adanya dakwaan Pasal 88 Undang-Undang Nomor ganti rugi yang dikatakan layak menurut hakim. Lebih dari itu, nilai sebuah ganti rugi harusnya 23 Tahun 2002; memperhatikan betul ketidakadilan yang dialami 4. Membebaskan terdakwa oleh karena itu oleh SM atas putusan-putusan hakim sebelumnya, dari dakwaan tersebut; di mana ia mendapatkan kerugian baik moril 5. Memulihkan hak terdakwa dalam maupun materiil. Jika hal tersebut diterapkan, kemampuan, kedudukan, dan harkat serta maka secara ideal telah dijalankan hukum yang tidak hanya sekadar kata-kata hitam-putih dari martabatnya. peraturan (according to the letter), melainkan Dibandingkan dengan putusan sebelumnya menurut semangat, dan makna lebih dalam (to upaya mengadopsi nilai-nilai progresif hukum very meaning) dari undang-undang atau hokum dalam putusan memang cukup banyak ditonjolkan, (Rahardjo, 2009, hal. xiii). akan tetapi hanya pada wilayah salah atau Jika hal-hal tersebut dapat dipertimbangkan, tidaknya SM dalam hal tuntutan mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud maka sebuah putusan hakim akan menjadi menguntungkan diri sendiri atau orang lain. perwujudan dan nilai-nilai yang melembaga di Putusan yang demikian sangat normatif dan dalam masyarakat yang menjadi sasarannya, sederhana bagi sebuah penemuan hukum serta kemudian dengan arif menata dan mensinergikan persilangan kepentingan yang juga harus keadilan yang diberikan bagi sosok SM. dipelihara, senyatanya terjadi dalam hidup Atas kronologis di atas, menurut analisis masyarakat (Utsman, 2008, hal. 29). Di sini dapat penulis, keadilan selayaknya bukan hanya diberikan hasil analisis bahwa eksistensi Putusan Keadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 315 | 315 1/18/2016 12:09:34 PM Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012 kurang mengedepankan nilai keadilan bagi SM. bukti nyata dari ketidakadilan tersebut melalui lahirnya kegelisahan nilai-nilai norma yang ada di masyarakat ketika masyarakat diwawancarai Dalam putusan tersebut, telah terjadi maka rasa tidak menerima atas putusan tersebut pertentangan antara pandangan yang ingin akan nampak ke permukaan. lebih mengakuisisi nilai akan tetapi kemudian mengedepankan positivisme melahirkan Masyarakat secara tidak langsung bisa pandangan empirisme di mana realitas direduksi melakukan penilaian yang tentunya akan dirasakan menjadi sekadar fakta-fakta yang dapat diamati bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 1262 K/ terasa sangat penting untuk dilakukan. Pengaruh Pid/2012 terhadap bentuk ganti rugi bagi SM, tidak salah satunya yang terjadi pada pengembangan mengakui cita rasa keadilan yang sesungguhnya. pemikiran Comte (1798-1857). Menurut ajaran Dalam alam sadar masyarakat nilai keadilan yang Comte yang tertuang dalam bukunya Cours sesungguhnya bukan terletak pada aturan tertulis, de Philosophie Positive, filsafat positivisme akan tetapi pada sebuah otoritas dominan dari bertolak dari pandangan bahwa terdapat hukum pemahaman terhadap bentuk pembebasan dan perkembangan yang menguasai manusia dan itu ganti rugi yang layak bagi SM. Namun, jika posisi bersifat tetap. Hukum perkembangan itu meliputi putusan pembebasan dan pemberian ganti rugi tiga tahap, yaitu: 1) Tahap teologi, dalam tahap ini bagi SM dalam putusan tersebut hanya sekadar manusia percaya pada kekuatan kekuatan illahi di dipahami adopsi putusan berlandaskan norma belakang gejala alam; 2) Tahap metafisik, dalam tertulis, maka dapat dikatakan bahwa teks dalam tahap ini ide-ide teologis digantikan dengan ide- hukum dalam Putusan Nomor 1262 K/Pid/2012 ide abstrak dan metafisik; dan 3) Tahap positif, merupakan teks yang mati. dalam tahap ini gejala alam tidak lagi diterangkan dengan ide abstrak. Gejala alam diterangkan B. Tinjauan Hukum Progresif terhadap melalui gejala lain dengan mendapatkan hukumPutusan MA Nomor 1262 K/Pid/2012 hukum yang ada di antara gejala-gejala yang Rahardjo menegaskan bahwa hukum bersangkutan. Melalui metode ilmiahnya, positivisme menempatkan fenomena yang dikaji harus mengikuti manusia, bukan manusia yang sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi mengikuti hukum. Jika kita tampilkan dalam sebagai gejala ke depan yang dapat diprediksikan kasus SM, artinya jika pemberian kompensasi kepada SM hanya pembebasan dan ganti rugi kepastiannya (Samekto, 2012, hal. 23). yang belum sebanding dengan masa kurungan, Berlakunya wujud keadilan mazhab legal maka selayaknya itulah praktik dari posisi positivisme memang nampak yaitu keadilan manusia yang mengikuti hukum yang ditentang yang diterima SM melalui pembebasan dan oleh hukum progresif. Namun sebaliknya jika ganti rugi. Namun tentunya model keadilan ganti rugi disesuaikan dengan upah minimum di yang demikian bukan merupakan tradisi dari Semarang, hal tersebut akan mendekati praktik keadilan yang diinginkan oleh masyarakat yang dari hukum yang sedang mengikuti manusia. sesungguhnya yang terdapat dalam putusan Keadilan hukum progresif harus dibuka Mahkamah Agung Nomor 1262 K/Pid/2012. Ketidaksepahaman masyarakat terjadi ketika lebar-lebar dengan memberikan kepada SM yaitu 316 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 316 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318 1/18/2016 12:09:34 PM pembebasan atas tuntutan dan pengembalian nama baik serta ganti rugi yang seharusnya diberikan. Bukan keadilan hakim yang hanya berwujud sebagai alat undang-undang yang selalu taat aturan tertulis namun buta terhadap realitas sosial. Realitas yang harusnya dihadirkan dari keadilan hukum progresif dalam kerangka putusan bermazhab legal positivisme pada kasus SM adalah dengan membayar kerugian yang dialami SM sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup selama menjalani hukuman. benarnya, hakim selalu berdalih kebenaran melalui tuntutan aturan tertulis bukan melalui aturan yang dibangun atas dilema dan fakta sosial. Hakim sudah selayaknya bukan hanya menjadi corong berlakunya undang-undang. Berangkat dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1262 K/Pid/2012 kita melihat secara langsung bahwa putusan hakim adalah putusan undang-undang, padahal yang diharapkan dari masyarakat adalah putusan hakim adalah putusan keadilan. Jika diterapkan Hal lain yang tidak bisa dilupakan adalah maka ganti rugi yang diberikan harus sesuai mengganti kerugian moril yang dialami SM dengan dampak yang selama ini dirasakan oleh dengan ganti rugi materiil. Keadilan dalam SM dan hal tersebut harus disesuaikan dengan putusan tersebut mengakomodir sebuah bentuk angka kelayakan hidup di Semarang. keadilan yang lebih menekankan pada faktor Jika kita cermati dalam Putusan Mahkamah atau keadaan-keadaan yang khusus. Hal Agung Republik Indonesia Nomor 1262 K/ tersebut disebabkan oleh karena keadilan itu Pid/2012, keadilan terlalu sederhana jika diukur sebenarnya merupakan soal perasaan. Selain itu, melalui sebuah aturan yang telah disepakati keadilan sebenarnya merupakan suatu keadaan kemudian berbentuk norma tertulis. Keadilan yang keseimbangan yang membawa ketenteraman di sebenarnya harus dibangun dari konstruksi kondisi dalam hati orang yang apabila diganggu akan sosial masa lampau yang kemudian dijadikan menimbulkan kegoncangan. aturan tertulis, kondisi sosial saat ini, dan terlebih Di sini kemudian para aktor yang salah lagi kondisi sosial pada masa yang akan datang. satunya hakim menjadi faktor penting dalam Melalui kondisi sosial masa lampau, kondisi sosial menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia saat ini, dan terlebih lagi kondisi sosial pada masa bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari yang akan datang diharapkan putusan hukum dapat menang, melainkan mencari kebenaran dan menyikapi sebuah nilai keadilan yang semestinya keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari diberikan kepada pencari keadilan. cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan Untuk mewujudkan itu semua memang kita biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan butuh kepastian, dan nampaknya kepastian secara didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses legalitas sudah dimiliki yaitu perundang-undangan pengadilan yang disebut fair trial di negeri ini yang mengatur kewenangan hakim dalam memutus hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan perkara di antaranya Undang-Undang Nomor di mana hakim memegang kendali aktif untuk 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. mencari kebenaran (Rahardjo, 2006, hal. 276). Jika Kepastian yang dibutuhkan selanjutnya adalah hakim masih berkutat pada norma tertulis maka kepastian secara personal yaitu bagaimana paradigma berpikir hakim hanya dibatasi pada individu-individu hakim mampu mengambil ketakutan untuk mencari keadilan yang sebenarKeadilan Pemulihan Bagi Subjek Hukum dalam Perspektif Hukum Progresif (Muhammad Junaidi) Jurnal isi edit arnis ok.indd 317 | 317 1/18/2016 12:09:34 PM DAFTAR ACUAN terobosan hukum. Kepastian secara personal tentunya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Fauzan, U., & Prasetyo, H. (2006), Teori keadilan dan kita berharap itu semua segera terwujud (terjemahan karangan Rawls, John A. Dalam sempurna di negara hukum yang kita cintai. bukunya berjudul A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973). Yogyakarta: IV. KESIMPULAN Putusan SM sudah selayaknya dapat lebih mengedepankan aspek sebuah putusan yang melahirkan kedekatan dan kepercayaan masyarakat dengan penegakan hukum yang bercita rasa nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Putusan pada kasus SM sudah selayaknya bukan hanya membebaskan SM dari tuntutan, akan tetapi juga membayar kerugian SM sesuai dengan kerugian yang dialami pada saat menjalani proses hukum sesuai dengan ukuran kebutuhan hidup yang Pustaka Pelajar. Kusuma, M. (2009). Menyelami semangat hukum progresif: Terapi paradigmatik atas lemahnya penegakan hukum Indonesia. Yogyakarta: Antony Lib bekerjasama LSHP. Mujahidin, A. (2006). Menuju produk hukum progresif. Varia Peradilan No. 247. Rahardjo, S. (1999). Ilmu hukum. Bandung: Alumni. __________. (2004). pembebasan dan Ilmu hukum; Pencarian, pencerahan. Surakarta: layak bukan hanya lima juta rupiah seperti yang Muhamadyah Press University diputuskan oleh Mahkamah Agung. Keadilan __________. (2006). Membedah hukum progresif. inilah yang nantinya sangat sesuai dengan bentuk Jakarta: Penerbit Buku Kompas. keadilan perbaikan dan keadilan kodrat alam. Adanya upaya memformulasikan keadilan dalam setiap keputusan juga berarti menempatkan keadilan bermazhab legal positivisme akan tetapi masih berupaya mengakomodir karakter progresivitas dalam kerangka putusan. Melalui upaya memadukan antara dua kekuatan yang ada dalam sebuah putusan, maka pengadilan bukan lagi menjadi mesin kalkulator perkara, akan tetapi lebih sebagai bentuk kepemilikan kekuasaan hukum dengan modal kekuatan hukum tetap (inkracht vangeweisde) yang menjadikan lahirnya keadilan yang lebih bermartabat. Untuk lebih menguatkan kehadiran hukum progresif dalam bentuk putusan pengadilan, yang perlu dilakukan adalah menjalankan putusan dengan lebih mengedepankan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut dapat mengacu pada konsep norma dan asas yang telah dijadikan patokan oleh masyarakat. 318 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 318 __________. (2009). Penegakan hukum suatu tinjauan sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. Saleh, A. A. (2006). Tamasya perenungan hukum dalam “Law in book and law in action” menuju penemuan hukum (rechtsvinding). Jakarta: Yarsif Watampone. Samekto, F.A. (2012). Ilmu hukum dalam perkembangan pemikiran menuju post-modernisme. Bandar Lampung: Indept Publishing. Sidharta. (2006). Moralitas profesi hukum suatu tawaran kerangka berpikir. Bandung: Refika Aditama. Soekanto, S. (1976). Beberapa permasalahan hukum dalam kerangka pembangunan di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Utsman, S. (2008). Menuju penegakan hukum progresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 307 - 318 1/18/2016 12:09:34 PM PENERAPAN PERJANJIAN BERSAMA DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Kajian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 THE IMPLEMENTATION OF JOINT AGREEMENT IN THE TERMINATION OF EMPLOYMENT An Analysis of Court Decision Number 237 K/Pdt.Sus/2012 Indi Nuroini Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya Jl. A. Yani 114 Surabaya 60234 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 11 Februari 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015 ABSTRAK Hubungan industrial merupakan suatu hubungan yang terbentuk antara para pemangku kepentingan di dalam proses produksi barang dan jasa yang memiliki dampak sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara, sehingga stablitasnya perlu dijaga dengan baik. Oleh karena itu setiap putusan pengadilan hubungan industrial haruslah tepat dan disertai rasa keadilan, akuntabilitas, dan kejujuran, untuk menghindari timbulnya gejolak dalam hubungan industrial. Putusan pengadilan hubungan industrial yang tidak akuntabel, tidak jujur, dan tidak mencerminkan rasa keadilan tentu akan berdampak pada stabilitas proses produksi barang dan jasa. Tulisan ini merupakan suatu kajian terhadap putusan perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja yang telah diputus di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 237 K/Pdt. Sus/2012. Dalam putusan tersebut, majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya hanya menggunakan perjanjian bersama yang telah dibuat oleh penggugat dan tergugat pada saat penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit, padahal perjanjian bersama tersebut isinya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penulis berkesimpulan bahwa putusan hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak tepat dalam menggunakan pertimbangan hukum. Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 tersebut belum mencerminkan adanya peradilan hubungan industrial yang akuntabel, jujur, dan adil. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan keadilan hukum. Kata kunci: perjanjian bersama, pemutusan hubungan kerja, hubungan industrial. ABSTRACT Industrial relation is a relationship that is formed by stakeholders in the process of producing goods and services, which is so essential for national economic growth that its stability should be maintained properly. Therefore any court decisions related to cases of industrial relation dispute must be decided appropriately over and done with a high sense of justice, accountability, and reliability, to prevent a turmoil in the industrial relations. Such a court decision will influence the stability of the production process of goods and services. This article is an analysis of judge’s decision that discusses a case of industrial relations dispute concerning termination of employment, which was decided by cassation in the Supreme Court Decision Number 237 K/Pdt.Sus/2012. In the decision, the panel of judges in the legal considerations only uses the Joint Agreement agreed upon by the plaintiffs and defendant Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 319 | 319 1/18/2016 12:09:34 PM at the time of settlement of disputes at a bipartite level, though the contents are against the Law Number 13 of 2003 concerning Manpower. The result of discussion in this analysis concludes that the panel of judges ruling the case is not supposed to use the Joint Agreement as legal considerations. Court Decision Number 237 K/Pdt. I. Sus/2012 could not reflect an accountable, honest, and fair industrial relations judiciary. The fixed (inkracht) court decision has not yet provided legal certainty and legal justice. Keywords: joint agreement, termination of employment, industrial relation. PENDAHULUAN atas, dalam menciptakan hubungan industrial yang berkemanusiaan dan berkeadilan sosial, A. Latar Belakang masih diperlukan peran yang sangat penting Indonesia merupakan suatu negara dari lembaga peradilan, khususnya pengadilan kesatuan yang menjadikan Pancasila sebagai hubungan industrial sebagai tempat mencari satu-satunya ideologi negara, hal ini mengandung keadilan yang telah dijanjikan dalam peraturan konsekuensi bahwa segala tatanan kehidupan di perundang-undangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia ini harus Sebagaimana halnya sebuah negara didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di hukum, terdapat suatu lembaga peradilan yang dalam Pancasila, termasuk di dalamnya adalah berwibawa, independen, tidak berpihak, dan tatanan dalam hubungan industrial. Hubungan mampu menegakkan peraturan perundangindustrial yang Pancasilais yaitu suatu sistem undangan dengan baik adalah hal utama yang hubungan industrial yang dalam pelaksanaannya harus dimiliki oleh suatu negara hukum. Hanya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yaitu pengadilan yang memiliki semua kriteria nilai ketuhanan, kemanusiaaan, persatuan, tersebut yang dapat menghadirkan suatu keadilan permusyawaratan perwakilan dan khususnya bagi masyarakat. Dalam lembaga peradilan, nilai keadilan sosial. peran hakim menjadi sangat penting dengan Dalam hal mewujudkan hubungan segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui industrial yang demikian itu tentu diperlukan putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan suatu kaidah-kaidah hukum sebagai pedoman hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan atau pegangan untuk menjalankan hubungan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan pemerintah terhadap industrial yang dicita-citakan. Mengenai kaidah- sewenang-wenang kaidah hukum dalam hubungan industrial, masyarakat, sampai dengan memerintahkan pemerintah telah membuat peraturan perundang- penghilangan hak hidup seseorang. Oleh sebab undangan di bidang hubungan industrial yang itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim berfungsi untuk menjamin hak dan kewajiban harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan para pelaku hubungan industrial termasuk dalam hukum, kebenaran, dan keadilan. Kewenangan hal penyelesaian persoalan hubungan industrial hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung dan tata cara dalam menyelesaikan perselisihan jawab yang tinggi, baik secara horizontal kepada hubungan industrial yang terjadi. Selain peraturan masyarakat, maupun secara vertikal kepada perundang-undangan sebagaimana tersebut di Tuhan Yang Maha Esa. 320 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 320 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:34 PM Mengingat pentingnya peran lembaga peradilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa melalui putusan-putusan pengadilannya, maka penulis melakukan suatu kajian terhadap satu putusan pengadilan yang telah diputus di tingkat kasasi oleh majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap. Penulis menganggap dalam putusan tersebut pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim kasasi tidak tepat dan dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi para hakim di kemudian hari yang memutus perkara yang sama dengan menggunakan putusan tersebut sebagai yurisprudensi. dengan 37 pekerja yang di PHK, termasuk para penggugat untuk membicarakan PHK dan jumlah uang pesangonnya. Dalam pertemuan tersebut terjadi kesepakatan antara 37 pekerja yang di PHK termasuk penggugat dengan tergugat yang kemudian dituangkan dalam surat perjanjian bersama serta tergugat membuat surat PHK yang dalam proses persidangan diajukan bukti terkait surat tersebut dengan tanda bukti T-1 dan T-2. Dalam surat PHK dan surat perjanjian bersama sebagaimana tersebut di atas, disampaikan bahwa PHK dilakukan karena efisiensi, hal ini sebagaimana bukti yang diajukan dalam proses persidangan yang diberi tanda P-1 dan T-3. Mengenai jumlah uang pesangon, dalam surat Putusan Mahkamah Agung tersebut adalah perjanjian bersama disebutkan bahwa besaran Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012. Yang uang pesangon bagi para pekerja yang mengalami merupakan putusan dalam tingkat kasasi antara PHK yaitu satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) PT. SMM melawan 13 orang mantan [ekerja PT. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. SMM. PT. SMM yang berkedudukan di Tambusai Terkait dengan alasan PHK yang dalam Pekanbaru, Riau. Dalam hal ini diwakili oleh perjanjian bersama tersebut dinyatakan bahwa direktur utama yang memberikan kuasa kepada PHK dilakukan karena efisiensi, hal itu kemudian advokat yang berkantor di Pekanbaru Riau dibantah oleh kuasa hukum tergugat dalam berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 8 Juli memori kasasinya yang menyatakan bahwa alasan 2011. Dalam hal ini selaku pemohon kasasi dahulu PHK yang sesungguhnya adalah karena tergugat tergugat. 13 orang mantan pekerja PT. SMM telah habis masa kontrak dengan PT. CPI yang menunjuk dua orang dari mereka berdasarkan memberi proyek/pekerjaan kepada tergugat. Hal surat kuasa khusus tertanggal 8 Juli 2011 sebagai ini dikarenakan tergugat tidak terlalu mengerti wakil dari para tergugat sekaligus bertindak untuk makna efisiensi, sehingga yang betul adalah PHK dirinya sendiri. Dalam hal ini sebagai termohon tersebut terjadi karena keadaan memaksa (force kasasi dahulu penggugat. majeure). Adapun kronologi singkat perkara tersebut Dalam surat gugatannya yang didaftarkan adalah para penggugat merupakan pekerja/buruh di pengadilan hubungan industrial (PHI) pada tergugat dengan hubungan kerja menggunakan Pengadilan Negeri Pekanbaru, tuntutan penggugat perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah tergugat harus membayar pesangon dua yang diputus hubungan kerja (PHK) oleh kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor tergugat per tanggal 1 Januari 2011. Sebelum 13 Tahun 2003 karena tergugat melakukan PHK terjadinya PHK tersebut, pada tanggal 30 berdasarkan alasan efisiensi. Desember 2010 tergugat melakukan pertemuan Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 321 | 321 1/18/2016 12:09:34 PM Hal tersebut juga sesuai dengan anjuran yang dikeluarkan oleh mediator hubungan industrial pada Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Riau, Nomor 560/Disnakertransduk-HK/1308 tanggal 17 Juni 2011. Dalam anjurannya tersebut, mediator menganjurkan kepada tergugat untuk membayar pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, hal ini dikarenakan PHK yang terjadi adalah karena efisiensi sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan tergugat dalam hal ini karena telah membayarkan pesangon satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka dianjurkan membayar kekurangan pesangon sebesar satu kali yang belum diterima para penggugat dengan jumlah keseluruhan dari 13 orang penggugat sebesar Rp226.678.403,- Atas putusan PHI Pekanbaru tersebut, tergugat mengajukan kasasi secara lisan pada 5 Desember 2011 dengan akta permohonan kasasi Nomor 29/Kas/G/2011/PHI.PBR yang dibuat oleh panitera PHI Pekanbaru. Terhadap kasasi yang diajukan tersebut, majelis hakim kasasi pada tanggal 25 Juli 2012 memutuskan Putusan Nomor 237 K/Pdt. Sus/2012. Dalam putusan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya: MENGADILI: Mengabulkan permohonan kasasi pemohon kasasi yaitu PT. SMM. Membatalkan putusan PHI Pekanbaru Nomor 23/G/2011/PHI.Pbr tanggal 24 November 2011. Setelah proses persidangan berlangsung di PHI Pekanbaru, pada tanggal 24 November 2011, PHI Pekanbaru memutuskan dengan Putusan Nomor 23/G/2011/PHI.Pbr yang amarnya sebagai berikut: Dalam eksepsi: Menolak eksepsi seluruhnya. tergugat untuk Mengabulkan gugatan penggugatpenggugat untuk sebagian. 2. Memerintahkan tergugat untuk membayar hak-hak penggugatpenggugat sebesar Rp226.678.403,dengan rincian sesuai yang termuat dalam pertimbangan yaitu halaman 21 putusan ini. 3. 322 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 322 Membebankan biaya perkara ini pada tergugat sebesar Rp219.000,- Dalam eksepsi: Menolak eksepsi seluruhnya. tergugat untuk Dalam pokok perkara: Menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya. Menghukum para termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp500.000,- Dalam pokok perkara: 1. MENGADILI SENDIRI: Adapun pertimbangan hukum majelis hakim kasasi dalam putusan tersebut adalah sebagai berikut: a. Bahwa pertimbangan hukum judex facti yang menilai bukti T-2 di mana antara surat perjanjian bersama tanggal 30 Desember 2010 dengan lampiran surat tersebut tidak ada hubungan satu sama lain sehingga bukti a quo harus dikesampingkan tidak dapat dibenarkan. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:34 PM b. c. d. Bahwa menurut pertimbangan hukum Mahkamah Agung, bukti T-2 khususnya tentang surat perjanjian bersama tanggal 30 Desember 2010 dan lampirannya yang berupa tanda terima oleh para penggugat atas surat PHK, rekomendasi, dan slip pesangon, kedua lembar dokumen dalam T-2 tersebut tidak hanya mempunyai hubungan satu sama lain, akan tetapi bahkan merupakan kesatuan dokumen yang tak terpisahkan, hal mana adanya hubungan antara lampiran sebagaimana dimaksud dapat diketahui dari bunyi kalimat dalam perjanjian bersama a quo yang di antaranya berunyi sebagai berikut: “terlampir surat PT. SMM tanda terima surat PHK, rekomendasi, dan slip pesangon yang ditandatangani masing-masing pekerja atau karyawan yang bersangkutan sebagai tanda persetujuannya.” Nomor 2 Tahun 2004, maka seluruh gugatan para penggugat yang pada pokoknya menuntut penyelesaian atas PHK a quo harus ditolak. Bahwa majelis hakim kasasi dalam memutuskan perkara tersebut menggunakan kesepakatan bersama yang telah dibuat oleh para penggugat dan tergugat yang dituangkan dalam suatu surat perjanjian bersama tanggal 30 Desember 2010 sebagai pertimbangan hukum yang utama untuk mengabulkan permohonan kasasi pemohon kasasi PT. SMM dan membatalkan putusan PHI Pekanbaru Nomor 23/G/2011/PHI. Pbr. Bahwa dari beberapa pertimbangan hukum yang menyangkut adanya perjanjian bersama tersebut, penulis menganggap pertimbangan hukum tersebut tidak tepat khususnya pertimbangan hukum pada poin c yang di dalamnya terdapat klausul “Bahwa terlepas dari Bahwa terlepas dari apapun alasan PHK apapun alasan PHK a quo, menimbang bahwa a quo, menimbang bahwa terhadap PHK terhadap PHK yang diperkarakan a quo telah yang diperkarakan a quo telah dilakukan dilakukan kesepakatan yang disertai dengan kesepakatan yang disertai dengan penerimaan penyelesaian/kompensasi PHK.” penerimaan penyelesaian/kompensasi PHK oleh para penggugat dari tergugat berupa Hal tersebut seolah-olah menegasikan surat PHK, rekomendasi, dan slip pesangon, pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor maka menurut Mahkamah Agung antara 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang para penggugat dan tergugat telah tercapai mengatur mengenai sebab-sebab dilakukannya kesepakatan dalam penyelesaian PHK PHK beserta jumlah uang pesangon, penghargaan yang tertuang dalam kesepakatan bersama masa kerja, dan pengganti hak yang seharusnya tertanggal 30 Desember 2010 sebagaimana diterima oleh pekerja/buruh yang terkena PHK dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Undang- berkaitan dengan sebab PHK tersebut. Undang Nomor 2 Tahun 2004. Menimbang bahwa karena antara para B. Rumusan Masalah penggugat dan tergugat telah tercapai Bahwa berdasarkan latar belakang tersebut kesepakatan dalam penyelesaian di atas, maka dapat dirumuskan suatu rumusan perselisihan PHK sebagaimana dimaksud masalah yaitu apakah dalam proses penyelesaian dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 323 | 323 1/18/2016 12:09:34 PM perselisihan hubungan industrial pada tingkat bipartit dan tripartit setiap kesepakatan bersama antara pekerja dan pengusaha yang telah dituangkan dalam suatu perjanjian bersama dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam memutus perkara perselisihan hubungan industrial di tingkat pengadilan? D. Studi Pustaka 1. Ketentuan Hukum Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu secara teoritis dapat menjadi acuan dalam kajiankajian hukum ketenagakerjaan yang lebih jauh dan mendalam khususnya mengenai penggunaan perjanjian bersama dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di samping itu dari segi praktik hukum, hasil penelitian ini dapat juga digunakan sebagai rujukan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan yuridis bagi para hakim berikutnya khususnya dalam memeriksa dan memutus perkara yang serupa. Dalam hal terjadi PHK, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur ketentuan-ketentuan hukum mengenai hak-hak pekerja/buruh ketika mengalami PHK, di antaranya yaitu Pasal 156 ayat (1) yang menyatakan: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/ buruh dan pengusaha. Di dalam hukum ketenagakerjaan, terdapat dua jenis PHK, yaitu C. Tujuan dan Kegunaan PHK secara sukarela dan PHK dengan tidak Penelitian ini merupakan telaah terhadap sukarela. PHK sukarela biasa diartikan sebagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan pengunduran diri pekerja/buruh tanpa paksaan hukum tetap yaitu putusan Mahkamah Agung dan tekanan dari pihak pengusaha, termasuk juga Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 terkait dengan karena habisnya masa kontrak, tidak lulus masa pertimbangan hukum hakim yang menggunakan percobaan (probation), memasuki usia pensiun, perjanjian bersama antara penggugat dengan dan buruh meninggal dunia. tergugat sebagai satu-satunya pertimbangan Sedangkan PHK tidak sukarela merupakan dalam memutus perkara tersebut, padahal isi dari perjanjian bersama tersebut bertentangan PHK yang terjadi bukan karena inisiatif dengan beberapa pasal yang mengatur PHK dari pekerja/buruh, melainkan inisiatif dari dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena beberapa tentang Ketenagakerjaan, sehingga penelitian ini faktor di antaranya yaitu adanya pelanggaran bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah yang dilakukan buruh, perusahaan tutup karena perjanjian bersama yang telah disepakati memiliki mengalami kerugian dua tahun berturut-turut, kekuatan hukum yang mengikat meskipun isinya karena keadaan memaksa (force majeure) hingga karena pengusaha melakukan efisiensi. bertentangan dengan undang-undang. 324 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 324 Adapun besaran jumlah uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:34 PM pekerja/buruh sebagaimana disampaikan dalam Pasal 156 ayat (1) tersebut telah diatur dalam Pasal 156 ayat (2), (3), dan (4). Pasal 156 ayat (2) sebagai berikut: 1. “Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; 2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; 3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau 1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; 2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; 3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; 4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; 5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; 6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; 7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. 8. 9. “Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.” Pasal 156 ayat (3) sebagai berikut: lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; 4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; 5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; 6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; 7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; 8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.” Pasal 156 ayat (4) sebagai berikut: “Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: 1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 325 | 325 1/18/2016 12:09:34 PM 2. 3. biaya atau ongkos pulang untuk Keadaan memaksa (force majeure) sendiri pekerja/buruh dan keluarganya merupakan keadaan di mana seorang debitor ke tempat di mana pekerja/buruh terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena diterima bekerja; keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa penggantian perumahan serta tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, pengobatan dan perawatan ditetapkan sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan 15% (lima belas perseratus) dari uang beriktikad buruk. pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal syarat; 1244 KUHPerdata, yaitu: “Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure hal-hal lain yang ditetapkan dalam tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak perjanjian kerja, peraturan perusahaan sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat atau perjanjian kerja bersama.” menduga sebelumnya akan adanya peristiwa Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus PHK dapat terjadi karena berbagai faktor yang sudah dinegosiasikan di antara para pihak.” melatarbelakanginya, di antaranya adalah karena Beberapa pasal dalam KUHPerdata yang keadaan memaksa (force majeure) dan karena dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan pengusaha melakukan efisiensi sebagaimana force majeure selain Pasal 1244 yang sudah diatur dalam Pasal 164 ayat (1) dan (3). Faktortersebut di atas, antara lain adalah Pasal 1245, faktor yang melatarbelakangi terjadinya PHK yaitu: “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus tersebut secara hukum akan berdampak pada digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa jumlah uang pesangon yang seharusnya diterima atau lantaran suatu kejadian tidak disengaja si oleh pekerja/buruh. berhutang berhalangan memberikan atau berbuat Terkait dengan PHK yang terjadi karena sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal keadaan memaksa (force majeure) Pasal 164 yang sama telah melakukan perbuatan yang ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun terlarang.” 4. 2003 mengatur sebagai berikut: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” 326 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 326 Dari rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi untuk force majeure ini, yaitu: 1. Tidak memenuhi prestasi. 2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan. 3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada yang bersangkutan. Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:35 PM Sedangkan PHK yang terjadi karena perusahaan melakukan efisiensi, terdapat ketentuan hukum dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang mengatur sebagai berikut: “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturutturut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeure) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. 2. 1. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Perselisihan hubungan industrial adalah 2. perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan 3. mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Perselisihan hubungan industrial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dibagi menjadi empat macam, yaitu Perjanjian bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. Pada saat terjadi perselisihan hubungan industrial, pekerja/buruh dan pengusaha diwajibkan untuk melakukan upaya penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah untuk mufakat, upaya penyelesaian secara mufakat termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 disebut dengan upaya penyelesaian secara bipartit. Jika pada proses bipartit tersebut terjadi suatu kesepakatan yang menjadikan perdamaian bagi kedua belah pihak, maka kesepakatan-kesepakatan tersebut dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak sesuai dengan Berdasarkan ketentuan hukum dalam Pasal asas pacta sunt servanda. 164 ayat (3) tersebut, maka setiap pekerja/buruh Mengenai perjanjian bersama dalam yang mengalami PHK karena alasan efisiensi, penyelesaian bipartit, telah diatur dalam Pasal 7 pekerja/buruh tersebut berhak atas uang pesangon Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). berikut: Ketentuan Hukum Mengenai Perjanjian Bersama dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Perjanjian bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama. Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 327 | 327 1/18/2016 12:09:35 PM 4. Perjanjian bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran perjanjian bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian bersama. 5. Apabila perjanjian bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah perjanjian bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi. 6. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar pengadilan negeri tempat pendaftaran perjanjian bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi. 3. Asas-Asas Dalam Perjanjian 1) Asas Kebebasan Berkontrak Menurut hukum perjanjian di Indonesia terdapat beberapa asas terkait dengan perjanjian, di antaranya yaitu pacta sunt servanda dan asas kebebasan berkontrak. Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak yaitu adanya suatu kebebasan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengadakan suatu perjanjian mengenai hal apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kepatutan dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sunt servanda). Artinya setiap perjanjian yang sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda sebagaimana terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata tersebut bukan berarti tanpa batas, yang kemudian dapat memungkinkan untuk terjadinya suatu pemaksaan dan eksploitasi oleh satu pihak kepada pihak lainnya sehingga terjadi ketidakadilan. Penafsiran dan pelaksanaan dari Pasal 1338 tersebut tentu harus diselaraskan dengan pasal-pasal maupun asas-asas hukum lain agar tercipta suatu sistem hukum kontrak yang berkeadilan. Asas kebebasan berkontrak ini juga merupakan refleksi dari sistem terbuka dari buku Istilah perjanjian yang seringkali juga III KUHPerdata. disebut dengan kontrak adalah merupakan suatu peristiwa di mana dua orang atau lebih saling 2) Asas Konsensualisme berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan Menurut asas konsensualisme, suatu sesuatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai perjanjian sudah terbentuk dengan adanya hal-hal yang diperjanjikan berkewajiban kesepakatan dari para pihak yang membuatnya. untuk menaati dan melaksanakannya sehingga Kemudian agar perjanjian itu sah adanya maka perjanjian tersebut menimbulkan hubungan harus memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, asas tersebut tidak hukum yang disebut perikatan (verbintenis). 328 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 328 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:35 PM cukup untuk perjanjian formil karena masih ada formalitas lain yang diatur dalam undang-undang yang harus dipatuhi (Erawati & Boediono, 2010, hal. 7). menyetujui atau sepakat mengenai substansi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan ataupun penipuan. Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok 4. Syarat Sahnya Perjanjian dalam persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat KUHPerdata terutama mengingat dirinya orang tersebut. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan Adanya paksaan di mana seseorang definisi mengenai istilah perjanjian, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih melakukan perbuatan karena takut ancaman mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain (Pasal 1324 KUHPerdata), adanya penipuan yang atau lebih. Pengertian perjanjian ini mengandung tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata). tiga unsur yaitu: Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar 1) Perbuatan, yaitu perbuatan “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, hukum atau tindakan hukum, karena dapat diajukan pembatalan. perbuatan tersebut membawa akibat hukum 2) Kecakapan para pihak untuk membuat bagi para pihak yang memperjanjikan. perjanjian 2) Dua orang atau lebih, untuk adanya suatu Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan saling memberikan pernyataan yang cocok dewasa oleh hukum, ukuran dewasa sesuai atau pas satu sama lain. Pihak tersebut ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah kawin. Jadi, dapat adalah orang atau badan hukum. dinyatakan bahwa setiap orang cakap untuk 3) Mengikatkan dirinya, di dalam perjanjian membuat perjanjian-perjanjian kecuali oleh terdapat unsur janji yang diberikan oleh undang-undang tidak menghendaki. pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat 3) Mengenai suatu hal tertentu kepada akibat hukum yang muncul karena Suatu perjanjian harus menentukan jenis kehendaknya sendiri. objek yang diperjanjikan dengan jelas. Jika tidak Berdasarkan ketentuan hukum dalam Pasal maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dinyatakan KUHPerdata menentukan hanya barang-barang sah apabila telah memenuhi empat syarat, yaitu: yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 1) Adanya kesepakatan para pihak untuk KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada mengikatkan diri di kemudian hari dapat menjadi objek perjanjian Adanya kesepakatan para pihak untuk kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara mengikatkan diri artinya bahwa semua pihak tegas. Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 329 | 329 1/18/2016 12:09:35 PM 4) Mengenai suatu sebab yang halal keempat mengenai objek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian Terkait dengan adanya ketentuan hukum tanpa causa yang halal adalah batal demi mengenai syarat sahnya suatu perjanjian hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang- dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka setiap undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila: subjek hukum dalam membuat suatu perjanjian harus mengacu pada syarat tersebut, kecuali a. Tidak bertentangan dengan undangterdapat suatu aturan hukum yang lebih khusus undang. yang menyimpang dari ketentuan Pasal 1320 b. Tidak bertentangan dengan ketertiban KUHPerdata karena akan berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. umum. c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan. Hal ini sebagaimana dipertegas dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dalam konteks penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada tingkat bipartit dan tripartit, ketika terjadi suatu kesepakatan yang menjadikan perdamaian bagi kedua belah pihak, maka kesepakatan tersebut berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dituangkan dalam suatu surat perjanjian bersama. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak mengatur ketentuan hukum yang menyimpang dari ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Artinya bahwa syarat sahnya suatu perjanjian bersama mengacu pada syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPedata. Terkait dengan suatu perjanjian yang mengandung causa bertentangan dengan undang-undang, terdapat asas lex dura sed tamen scripta atau lex dura sed ita scripta yang artinya bahwa undang-undang bersifat keras (memaksa), sehingga tidak dapat diganggu gugat dan telah tertulis. Oleh karena itu suatu perjanjian yang mengandung causa bertentangan dengan undang-undang secara otomatis batal II. METODE demi hukum, artinya perjanjian tersebut tidak Penelitian ini menggunakan metode memiliki kekuatan hukum yang mengikat para penelitian hukum yang bertujuan untuk mencari pihak. pemecahan atas isu hukum serta permasalahan Syarat pertama dan kedua merupakan syarat yang timbul di dalamnya, sehingga hasil yang subjektif karena menyangkut subjek. Sedangkan akan dicapai kemudian adalah memberikan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat perskripsi mengenai apa yang seyogianya atas objektif karena menyangkut objek. Terdapatnya isu yang diajukan (Marzuki, 2001, hal. 103). cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau Hal yang sama juga dikatakan oleh Marzuki, tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai bahwa penelitian hukum merupakan proses subjek mengakibatkan perjanjian dapat untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna 330 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 330 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:35 PM menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki, 3. 2005, hal. 35). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; Objek kajian dalam penelitian ini adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/Pdt. Sus/2012 yang diperoleh penulis dari situs resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Penulis memilih putusan tersebut sebagai objek kajian karena terdapat suatu permasalahan hukum dalam pertimbangan hukum majelis hakim kasasi yang tidak tepat dan dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi para hakim di kemudian hari yang memutus perkara yang sama dengan menggunakan putusan tersebut sebagai yurisprudensi. Mengingat perselisihan hubungan industrial merupakan persoalan yang rentan terhadap konflik horizontal antara pekerja/ buruh dengan pengusaha yang akan berdampak negatif pada proses produksi barang dan jasa, sehingga dikhawatirkan terhadap konflik yang terjadi antara pekerja/buruh dengan pengusaha pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan perekonomian negara. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Selain Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012, terdapat sumber data lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa sumber data berupa bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan data yang keberadaannya didasarkan atau dihasilkan oleh suatu otoritas tertentu, misalnya undang-undang dan peraturan hukum yang lain sepanjang materinya terkait dengan masalah yang diteliti. Adapun bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah sebagai berikut: 1. UUD NRI 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 4. Hubungan Industrial. Bahan hukum sekunder merupakan data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang diketemukan melalui studi kepustakaan. Misalnya buku, karya ilmiah baik berupa literatur, jurnal/majalah ilmiah, maupun melalui informasi ilmiah lainnya. Prosedur pengumpulan data dilakukan melalui inventarisasi hukum positif dan penelusuran kepustakaan (studi pustaka) terkait dengan masalah yang diteliti. Terhadap semua bahan hukum primer dan sekunder yang sudah bisa dikumpulkan kemudian dilakukan pengorganisasian dan pengklasifikasian data sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penyusunan hasil penelitian. Setelah semua bahan hukum itu diorganisasi dan diklasifikasi, kemudian dilakukan analisis dan/atau interpretasi. Melalui cara ini diharapkan permasalahan dalam penelitian ini bisa dikaji dan ditemukan jawabnya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Perlu dicatat bahwa pembahasan penelitian ini menggunakan argumentasi hipotetis, dalam arti bahwa penulis tidak mendasarkan analisisnya mengikuti realitas seperti apa yang dimohonkan oleh para penggugat. Dalam kenyataannya, penggugat tidak mengajukan permintaan agar perjanjian bersama dibatalkan, melainkan meminta agar para buruh diberikan pesangon dua kali lipat daripada yang telah diterima. Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 331 | 331 1/18/2016 12:09:35 PM Penulis berkeyakinan bahwa perjanjian tersebut seharusnya dinyatakan batal demi hukum, sehingga seharusnya (secara hipotetis) hal inilah yang diajukan oleh penggugat. Bertolak dari ketentuan hukum acara, penulis juga menyadari bahwa hakim pun biasanya tidak akan menjatuhkan diktum atas apa-apa yang memang tidak dimintakan karena akan mengarah kepada putusan yang ultra petita. masyarakat (Mertokusumo, 1993, hal. 1-2). Mengingat bahwa keadilan merupakan hal abstrak, maka teori mengenai keadilan hukum agaknya lebih tepat diterapkan dalam sebuah negara hukum mengingat keadilan hukum memiliki ukuran yang lebih konkret dalam menilai suatu keadilan yaitu kepastian hukum. Hal ini sebagaimana pendapat para ahli berikut yang memberikan definisi mengenai keadilan: Dalam melaksanakan peranannya sebagai 1. penegak keadilan, sesungguhnya hakim tidak cukup hanya berhenti pada pencapaian keadilan hukum (legal justice). Keadilan yang lebih ideal perlu juga diupayakan, yakni suatu keadilan yang substantif (subtantial justice). Meskipun sesuai ajaran hukum positivisme, hakikat hukum tidak lain dari pada norma-norma positif dalam 2. sistem perundang-undangan (Susanto, 2008, hal. 11). Sehingga keadaan yang telah mencerminkan keadilan hukum dipandang telah memenuhi rasa keadilan mengingat keadilan sendiri merupakan 3. suatu hal yang abstrak dan memiliki ukuran yang berbeda bagi setiap orang dalam merasakan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari selalu adanya pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan hakim. Dengan demikian putusan hakim yang telah sejalan dengan bunyi undang-undang dipandang telah memenuhi rasa keadilan karena telah sesuai dengan kepastian hukum. Prinsip ini dinyatakan sebagai “undang-undang adalah undang-undang” (Gesetz ist Gesetz), “Undang-undang itu memang keras isi ketentuannya, tetapi bagaimanapun itu telah tertulis, semua itu demi kepastian di dalam penegakannya” (lex dura set tamen scripta) (Koesnoe, 1997, hal. 130). Kepastian hukum akan menciptakan tertib masyarakat, sebagaimana menurut Mertokusumo tujuan hukum adalah menciptakan kepastian hukum demi ketertiban 332 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 332 Aristoteles adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, (fiat jutitia bereat mundus) (Rato, 2010, hal. 63) . Plato, keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu (Rato, 2010, hal. 64). Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif -terutama kecocokan dengan undangundang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relatif dengan sebuah norma “adil” hanya kata lain dari “benar” (Kelsen, 2010, hal. 48). Sebagai negara hukum yang berkeadilan sosial, Indonesia menganut sistem hukum civil law meskipun tidak sepenuhnya. Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem hukum civil law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturanperaturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:35 PM nilai utama yang merupakan tujuan hukum Terkait dengan ketertiban dalam masyarakat, adalah keadilan berdasarkan suatu kepastian khususnya dalam pelaksanaan hubungan hukum (rechts zekerheid). industrial, dalam rangka terciptanya hubungan industrial yang berkemanusiaan dan berkeadilan Adanya kepastian hukum juga merupakan sosial sebagaimana di dalam cita-cita terwujudnya suatu jaminan perlindungan bagi masyarakat hubungan industrial Pancasila, pemerintah telah pencari keadilan terhadap tindakan sewenangmenciptakan seperangkat aturan hukum sebagai wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang pedoman bagi pengusaha dan pekerja dalam bertindak di luar hukum dalam menjalankan menjalankan hak dan kewajibannya di dalam tugasnya sebagai penegak hukum. Kepastian suatu proses hubungan industrial, di antaranya hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang tentang Ketenagakerjaan. dan juga jelas dalam penerapannya. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti menjadikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 peraturan perundang-undang sebagai dasar bagi tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai setiap tindakan aparat penegak hukum termasuk pelaksanaan hubungan industrial sejak akan hakim dalam menjalankan proses persidangan. terbentuknya hubungan industrial tersebut Dalam praktik penegakan hukum, kita seringkali menjumpai ada norma-norma tertentu dalam undang-undang yang tidak dipatuhi bahkan tidak dipertimbangkan sama sekali oleh aparat penegak hukum termasuk oleh hakim. Hal ini tentu akan berdampak secara langsung terhadap buruknya penegakan hukum yang jauh dari nilai keadilan, undang-undang sebagai sumber hukum yang utama dalam negara civil law akan kehilangan maknanya serta penegakan hukum menjadi tidak efektif. hingga telah berakhirnya hubungan industrial yang telah dibangun antara pekerja/buruh dengan pengusaha tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 terdapat beberapa ketentuan hukum yang mengatur mengenai pembuatan perjanjian kerja hingga hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha pasca pemutusan hubungan kerja. Seluruh ketentuan hukum yang telah dibuat oleh pemerintah khususnya UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 merupakan pedoman bagi para pihak dalam menciptakan hubungan industrial yang berkemanusiaan dan berkeadilan sosial, bukan hanya untuk pekerja/ buruh dan pengusaha saja, tetapi juga bagi para hakim di pengadilan hubungan industrial yang memeriksa dan memutus perkara perselisihan hubungan industrial agar tercipta suatu keadilan berdasarkan suatu kepastian hukum bagi para pekerja dan pengusaha. Ketidakefektifan undang-undang sebagai hukum positif akan berdampak nyata terhadap perilaku hukum masyarakat, termasuk perilaku untuk cenderung melanggar hukum dan main hakim sendiri. Hal ini dikarenakan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum sebagai akibat dari tidak adanya kepastian hukum dalam lembaga penegak hukum tersebut. Kondisi ini tentu akan membuat tatanan masyarakat yang tertib dan penuh rasa keadilan Terkait dengan perkara perselisihan menjadi tidak tercapai. pemutusan hubungan kerja yang telah diperiksa Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 333 | 333 1/18/2016 12:09:35 PM dan diputus oleh pengadilan di tingkat kasasi dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012, tidak terlihat adanya kepastian hukum yang mencerminkan rasa keadilan, di mana dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum mengenai sebab-sebab dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja. Mengingat bahwa suatu sebab dilakukannya pemutusan hubungan kerja tersebut akan berimplikasi dalam penentuan hak pekerja/buruh yang berupa jumlah uang pesangon yag berhak dia terima. keadaan memaksa (force majeure) (Pasal 164 ayat (1)); 6. Perusahaan melakukan efisiensi (Pasal 164 ayat (3)); 7. Perusahaan pailit (Pasal 165); 8. Pekerja meninggal dunia (Pasal 166); 9. Pekerja memasuki usia pensiun (Pasal 167); 10. Pekerja/buruh mangkir selama 5 hari berturut-turut (Pasal 168); Terkait dengan pemutusan hubungan kerja, 11. Pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 penyelesaian perselisihan hubungan pada Bab XII telah diatur secara jelas mengenai industrial (Pasal 169); pemutusan hubungan kerja, tepatnya pada Pasal 150 s/d 172. Adapun mengenai suatu sebab untuk 12. Pekerja/buruh yang mengalami sakit dapat dilakukannya pemutusan hubungan kerja berkepanjangan, mengalami cacat akibat berdasarkan ketentuan hukum tersebut adalah kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan sebagai berikut: pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan (Pasal 172). 1. Pekerja/buruh ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana (Pasal 160); 2. 3. 4. 5. Terkait dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dalam perkara yang Pekerja/buruh melakukan pelanggaran telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan terhadap peraturan perusahaan, perjanjian Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012, bahwa kerja, perjanjian kerja bersama, dan telah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh diberikan surat peringatan hingga ketiga PT. SMM terhadap para penggugat adalah karena alasan efisiensi sebagaimana diatur dalam Pasal kali secara berturut-turut (Pasal 161); 164 ayat (3), hal ini sebagaimana diuraikan oleh Pekerja/buruh mengundurkan diri (Pasal penggugat dalam surat gugatannya pada poin 162); ke-4, dan telah dibenarkan oleh tergugat dalam jawabannya. Perusahaan melakukan perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan Adapun ketentuan Pasal 164 ayat (3) kepemilikan perusahaan (Pasal 163); Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah berikut: Perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau karena perusahaan tutup bukan karena 334 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 334 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:35 PM mengalami kerugian 2 (dua) tahun g. berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeure) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 h. ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).“ i. Sedangkan mengenai hak pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan Pasal 164 ayat (3) adalah berhak mendapatkan uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.” Ketentuan-ketentuan hukum mengenai pemutusan hubungan kerja sebagaimana telah diatur dalam pasal-pasal di atas, baik mengenai sebab pemutusan hubungan kerja maupun jumlah Adapun ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang pesangon yang berhak diterima pekerja/ Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah buruh seolah tidak dipertimbangkan sama sekali oleh majelis hakim yang memeriksa Perkara berikut: Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 tersebut, hal ini “Perhitungan uang pesangon sebagaimana dapat terlihat dengan jelas ketika pertimbangan dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit hukum majelis hakim khususnya pada poin c sebagai berikut: yang menyatakan sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. f. “Bahwa terlepas dari apapun alasan PHK a quo, menimbang bahwa terhadap PHK yang diperkarakan a quo, telah dilakukan kesepakatan yang disertai penerimaan penyelesaian/kompensasi PHK oleh para penggugat dari tergugat berupa surat PHK, rekomendasi, dan slip pesangon, maka menurut Mahkamah Agung antara para penggugat dan tergugat telah tercapai kesepakatan dalam penyelesaian PHK yang tertuang dalam “kesepakatan bersama” tertanggal 30 Desember 2010 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.” Pada pertimbangan hukum tersebut terdapat masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kalimat “Bahwa terlepas dari apapun alasan PHK kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan a quo,” hal ini seolah-olah majelis hakim tidak upah; mempertimbangkan sama sekali ketentuanmasa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi ketentuan hukum dalam Undang-Undang kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Nomor 13 Tahun 2003 yang secara substansial dalam beberapa pasal mengatur tentang sebabupah; Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 335 | 335 1/18/2016 12:09:35 PM sebab/alasan-alasan dilakukannya PHK beserta perhitungan jumlah pesangonnya. Majelis hakim seolah-olah menjadikan perjanjian bersama tanggal 30 Desember 2010 sebagai satu-satunya dasar pertimbangan hukum dengan mengesampingkan ketentuan-ketentuan hukum yang lain. pesangon para pekerja yang di PHK berdasarkan alasan force majeure dalam ketentuan Pasal 164 ayat (1) adalah satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). Hal inilah yang melahirkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja maupun bagi PT. SMM, Dalam Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012, karena sesungguhnya para pihak dalam Perkara majelis hakim secara nyata tidak menyinggung Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 mengharapkan suatu sama sekali substansi persoalan dalam perkara kepastian hukum mengenai alasan pemutusan tersebut, yaitu apakah pemutusan hubungan kerja hubungan kerja antara penggugat dengan antara PT. SMM dan para pekerja terjadi karena tergugat, apakah karena efisiensi atau karena force alasan efisiensi atau force majeure. Karena kedua majeure, sehingga jelas dalam penyelesaian hak alasan PHK tersebut menurut Undang-Undang atas pesangon bagi para pekerja selaku penggugat Nomor 13 Tahun 2003 memiliki akibat hukum yang terkena pemutusan hubungan kerja. yang berbeda dalam hal jumlah pesangon. Majelis hakim tampaknya juga kurang Majelis hakim hanya mempertimbangkan cermat dalam menilai bukti surat perjanjian bahwa terhadap pemutusan hubungan kerja bersama tertanggal 30 Desember 2010 yang tersebut telah terjadi kesepakatan antara PT. SMM diajukan dalam perkara tersebut. Seharusnya dengan para pekerja yang dituangkan dalam majelis hakim menilai apakah perjanjian perjanjian bersama tanggal 30 Desember 2010, bersama tersebut mengandung cacat hukum di mana alasan PHK dalam perjanjian bersama atau tidak, mengingat Pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah karena efisiensi dengan jumlah mensyaratkan bahwa setiap isi perjanjian tidak pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 boleh bertentangan dengan undang-undang ayat (2). (syarat objektif), jika terdapat suatu perjanjian isinya ternyata bertentangan dengan undangSehingga menurut Mahkama Agung antara undang maka perjanjian tersebut berdasarkan para penggugat dan tergugat telah tercapai Pasal 1355 KUHPerdata batal demi hukum. kesepakatan dalam penyelesaian PHK, meskipun secara hukum sebenarnya perjanjian bersama Berikut Pasal 1320 dan Pasal 1335 tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan KUHPerdata: Pasal 164 ayat (3) yang menyatakan jumlah Pasal 1320: pesangon untuk alasan efisiensi adalah dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu Sementara pihak PT. SMM dalam memori kasasinya kemudian menyatakan bahwa alasan PHK yang sesungguhnya bukanlah efisiensi melainkan force majeure, karena PT. SMM telah habis masa kontrak dengan PT. CPI perusahaan yang memberi pekerjaan. Sehingga jumlah 336 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 336 dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka mengikatkan dirinya; yang 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:35 PM 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.“ Pasal 1335 juga tidak serta merta berkekuatan hukum mengikat, mengingat Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Hal ini tentu saja suatu perjanjian bersama “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu yang tidak memenuhi persyaratan dalam Pasal 1320 atau yang terlarang, tidaklah mempunyai dan 1335 KUHPerdata tidak memiliki kekuatan kekuatan.” hukum yang mengikat dan secara otomatis batal Berdasarkan Pasal 1320 dan 1335 demi hukum. Perjanjian bersama yang dibuat KUHPerdata tersebut, jelas bahwa perjanjian antara penggugat dengan tergugat pada tanggal bersama yang telah dibuat oleh para penggugat 30 Desember 2010 tersebut adalah termasuk dan tergugat tidak memiliki kekuatan hukum perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan Pasal karena isi dari kesepakatan yang dituangkan 1320 dan 1335 KUH Perdata karena secara dalam perjanjian kerjasama tersebut terlarang/ substansial bertentangan dengan Pasal 164 ayat bertentangan dengan Pasal 164 ayat (3) Undang- (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Undang Nomor 13 Tahun 2003. Hal inilah yang karenanya Putusan Nomor 237 K/Pdt.Sus/2012 merupakan suatu bentuk ketidakpastian hukum yang menggunakan perjanjian bersama tersebut dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/ sebagai satu-satunya pertimbangan hukum dalam memutus perkara tanpa mempertimbangkan Pdt.Sus/2012 tersebut. ketentuan hukum yang lain tentang PHK tidak mencerminkan adanya suatu kepastian hukum. IV. KESIMPULAN Terkait dengan hasil analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 K/Pdt. Sus/2012 serta rumusan masalah yang telah ditentukan, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian bersama merupakan hasil perundingan antara pekerja dengan pengusaha dalam hal telah terjadi perselisihan hubungan industrial, di mana perundingan ini merupakan upaya untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah terjadi dengan mengutamakan prinsip musyawarah untuk mufakat. Jika dalam proses perundingan tersebut terjadi suatu kesepakatan maka kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam suatu perjanjian bersama, hal ini sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, namun hasil kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian bersama tersebut tentu DAFTAR ACUAN Susanto, A. F. (2008). Butir-butir pemikiran dalam hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Rato, D. (2010). Filsafat hukum, mencari, menemukan, dan memahami hukum. Surabaya: Laks Bang Yustisia. Erawati, E., & Budiono, H. (2010). Penjelasan hukum tentang kebatalan perjanjian. Jakarta: Nasional Legal Reform Program. Kelsen, H. (2010). Pengantar teori hukum. Bandung: Penerbit Nusa Media. Penerapan Perjanjian Bersama dalam Pemutusan Hubungan Kerja (Indi Nuroini) Jurnal isi edit arnis ok.indd 337 | 337 1/18/2016 12:09:36 PM Mertokusumo, S. (1993). Bab-bab tentang penemuan hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Marzuki, P. M. (2005). Penelitian hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. ___________. (2001, Maret-April). Penelitian hukum. Yuridika, 16(1). Koesnoe, M. (1997, Agustus). Yuridisme yang dianut dalam Tap MPRS No. XIX/1966. Varia Peradilan, XII(143), 130. 338 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 338 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 319 - 338 1/18/2016 12:09:36 PM URGENSI PROSES PERADILAN AFIRMATIf BAGI PEREMPUAN DIFABEL KORBAN PERKOSAAN Kajian Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl THE URGENCY OF JUDICIAL AFFIRMATIVE ACTION\ FOR THE DIFFABLE WOMAN IN A CASE OF RAPE An Analysis of Court Decision Number 33/Pid.B/2013/PN.Kdl Faiq Tobroni Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum Institut Agama Islam Negeri Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung-Jawa Timur 66221 E-mail: [email protected] Naskah diterima: 11 Februari 2015; revisi: 27 November 2015; disetujui: 1 Desember 2015 ABSTRAK Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah mengenai kasus perkosaan yang melibatkan korban seorang perempuan tuna rungu berinisial SW. Berdasarkan salinan putusan, SW tidak mendapatkan penerjemah selama proses persidangan. Dari beberapa permasalahan yang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusan masalah. Pertama, apakah kerugian dari hasil peradilan yang diterima SW terkait akses atas keadilan? Kedua, bagaimanakah perlakuan yang seharusnya diterapkan bagi korban difabel seperti SW? Ketiga, apa yang harus dilakukan negara untuk menjamin proses peradilan affirmative bagi kaum difabel? Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan data sekunder dan analisis kualitatif. Hasil penelitian memberikan beberapa kesimpulan. Pertama, tanpa adanya penerjemah atau bahkan pendamping, kerugian berkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SW menyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan jaminan keuntungan formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilan yang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative. Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi bagi kaum difabel. Ketiga, dalam merealisasikan jaminan perlakuan affirmative bagi kaum difabel, harus terdapat revisi terhadap peraturan hukum terkait dan penajaman wawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas. Kata kunci: aksi afirmatif, diskriminasi hukum, difabel. ABSTRACT Court Decision Number 33/Pid.B/2013/PN.Kdr is a ruling regarding a rape of a deaf woman initials SW. Based on the copy of the decision, court did not provide SW an interpreter during the trial process. Of the several issues came upon, there are three formulations of the problem in questions reviewed in this analysis. Firstly, regarding access to justice, what are the losses suffered by SW from such trial process? Secondly, how should the legal treatment in judicial process to victims or persons with different ability like SW? Thirdly, what should be through by the state to warrant a judicial affirmative action for the diffable? This study is done with the method of qualitative research using secondary data and qualitative analysis. The study results bring about several conclusions. First, in the absence of an interpreter or an assistant, the loss of the SW’s rights of access to justice has caused her inability to take advantage of the formal justice warranty on the provision of Article 98 Paragraph (1) of the Code of Criminal Procedure. Second, special Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 339 | 339 1/18/2016 12:09:36 PM treatment in the judicial process required by a diffable person is a judicial affirmative action. This action aims to eliminate discrimination for the difables. Third, in the realization of judicial affirmative action for the diffables, there should be revision of the relevant legal regulations and efforts to give insights and understanding to law enforcement authorities on the issue of diffability. Keywords: affirmative action, legal discrimination, diffable. I. PENDAHULUAN mulut orang yang diajak bicara. A. Latar Belakang Berdasarkan kondisi demikian, majelis hakim telah menyimpulkan bahwa saksi korban SW adalah seorang tuna rungu. Kesimpulan hakim tersebut dikemukakan dalam bagian hal-hal yang memberatkan bagi hukuman RR. Berdasarkan salinan Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl, hakim menyatakan: Pasal 178 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mencoba untuk memberikan perhatian khusus kepada difabel yang berhadapan hukum. Perhatian khusus tersebut diwujudkan dengan pengaturan bahwa hakim bisa mengangkat penerjemah bagi difabel tuna rungu yang berhadapan dengan hukum. Pemberian perhatian khusus tersebut sangat dibutuhkan bagi difabel mengingat difabel tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan orang normal. Sayangnya, idealitas yang hendak dibangun KUHAP tersebut masih menunjukkan hasil yang tidak memuaskan pada tataran penerapannya. “Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban (SW) trauma dan korban adalah tuna rungu.” Kesadaran seperti itu pulalah yang mendorong, menurut pendapat majelis hakim sendiri, adanya pertimbangan untuk memperberat hukuman bagi pelaku pemerkosaan. Namun begitu, pernyataan majelis hakim menjadikan keadaan korban SW yang seorang tuna rungu sebagai faktor untuk memperberat hukuman Baru-baru ini terdapat satu putusan RR terasa agak ganjil jika dibandingkan dengan mencerminkan paradoks upaya pemberian perlakuan hakim kepada SW selama proses perhatian khusus tersebut. Putusan tersebut persidangan. berasal dari Pengadilan Negeri Kendal dengan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Singkat cerita, Permasalahan di sini adalah bagaimana terdapat seorang perempuan (berinisial SW) mungkin kesadaran akan difabilitas saksi korban yang telah diperkosa oleh seorang laki-laki tidak mendorong hakim untuk memberikan (berinisial RR). Korban perkosaan tersebut bantuan penerjemah selama persidangan. Dengan adalah perempuan yang selama ini dianggap demikian, bisa dikatakan bahwa putusan ini oleh warga sekitar mengalami gangguan dalam mengandung masalah mengenai komitmen proses komunikasi. Menurut salah seorang saksi yang peradilan dalam memberikan perhatian khusus masih berhubungan sebagai bibi bagi korban, kepada difabel. Proses peradilan yang biasa-biasa korban memang susah diajak bicara akan tetapi saja seperti ini tentunya akan menyulitkan difabel korban bisa diajak bicara dengan cara melihat memanfaatkan akses keadilan seluas-luasnya. 340 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 340 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:36 PM Akses keadilan yang dimaksud di sini adalah aktualisasi hak difabel untuk mendapatkan akses memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan 2. yang merupakan hak asasi manusia bagi dirinya. Ketika difabel diperlakukan seperti orang normal pada umumnya, maka difabel dipastikan tidak memiliki kesempatan pemenuhan hak akses yang sebanding untuk memperoleh keadilan melalu lembaga peradilan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diajukan dalam tulisan ini adalah: 1. Apakah kerugian atas akses keadilan bagi SW yang diakibatkan proses peradilan yang tidak mencerminkan konsistensi atas difabilitas SW? 2. Apakah perlakuan yang seharusnya diterapkan bagi difabel dalam menghadapi proses peradilan? 3. 3. SW, terutama dalam hal hak akses atas keadilan. Menawarkan perlakuan yang harus diterapkan bagi difabel dalam menjalani proses peradilan. Tawaran yang diajukan berangkat dari pertimbangan akan kondisi difabel yang membutuhkan perhatian khusus dibandingkan dengan kondisi orang normal pada umumnya. Perhatian khusus sangat dibutuhkan difabel agar bisa menikmati proses peradilan yang fair. Merumuskan kebutuhan apa yang seharusnya dilakukan negara dalam menjamin proses peradilan yang affirmative bagi difabel. Kebutuhan tersebut meliputi revisi peraturan hukum dan perbaikan perspektif penegak hukum. Kasus persidangan SW hanya sekedar digunakan sebagai pintu masuk untuk menyodorkan argumentasi atas urgensi penyelenggaraan proses affirmative bagi difabel yang menghadapi hukum. Apa yang harus dilakukan negara untuk menjamin proses peradilan affirmative bagi Sementara itu, kegunaan tulisan ini adalah difabel? menjadikan kasus yang menimpa saksi korban difabel pada Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/ C. Tujuan dan Kegunaan PN.Kdl untuk memperbaiki proses persidangan di pengadilan agar lebih membuka akses keadilan Berdasarkan rumusan masalah di atas, bagi difabel secara umum. Difabilitas saksi tulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut: korban SW yang sebagai tuna rungu sekedar 1. Mendiskripsikan difabilitas SW, kejahatan dijadikan pintu masuk untuk memperbaiki proses yang menimpa SW, dan proses peradilan persidangan di pengadilan, tidak hanya untuk yang dialami SW. Selanjutya, penulis difabel tuna rungu tetapi juga berkemungkinan menganalisis bagaimana anomali pengaruh untuk seluruh jenis difabel. Perlakuan affirmative status difabel korban SW terhadap proses di sini juga dimaksudkan untuk memberikan peradilan dan putusan hakimnya. Jalannya penyelenggaraan peradilan yang fair. proses persidangan dan putusan hakim dijadikan analisis untuk melihat kerugian yang dialami oleh korban difabel seperti Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 341 | 341 1/18/2016 12:09:36 PM D. Studi Pustaka Difabel merupakan istilah serapan Indonesia yang diperoleh dari bahasa Inggris diffable (people with different abilities). Selain istilah ini, masyarakat Barat juga terkadang menyebutnya sebagai disable (tidak mampu). Disable diterjemahkan sebagai penyandang cacat. Istilah yang terakhir ini mengkonotasikan penyandang nama tersebut sebagai seseorang yang gagal dan tidak berguna dalam kehidupan. Selain itu, konotasi istilah seperti ini hanya terbatas kepada orang yang menyandang cacat dari bawaan. Konotasi difabel menawarkan penilaian yang lebih bijak, karena menempatkan orang yang memiliki hambatan sementara maupun permanen dalam menjalankan keseharian mereka dalam perspektif luas dan luwes. Setidaknya mereka tidak dianggap sebagai orang yang tidak berguna dan menerima stereotipe negatif selama hidupnya. Penggunaan istilah difabel juga mengajak kita memahami adanya keberagaman dan menghargai tingkat kemampuan antara satu orang dan lainnya. O’Connel (2012) mempunyai penjabaran yang menarik mengenai perbedaan antara disability dengan different abilities. Menurutnya, disability lebih berkonotasi untuk memarjinalkan seseorang karena lebih mengarah untuk mempermasalahkan keterbatasan kondisi fisik. Hal ini tentunya sangatlah tidak adil. Karena, pada dasarnya setiap orang akan mempunyai perbedaan kemampuan dalam mengelola kehidupannya. Oleh sebab itu, dia lebih menyukai istilah different abilities. Para aktivis difabel seperti Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) juga mempermasalahkan penyebutan dan pengkonotasian seperti itu. Syafi’e dan Purwanti (2014) juga menggarisbawahi pengertian dari CRPD yang juga masih menekankan kepada ketidakmampuan karena cacat. Penyandang disabilitas didefinisikan sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang. Kelemahan ini dapat Istilah ini lebih membebaskan seseorang merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat karena keterbatasannya dari stereotipe atau stigma secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas yang memarjinalkannya dalam berkehidupan kesetaraan (hal. 4). dengan lingkungan sosial masyarakatnya. Istilah seperti inilah yang lebih logis dan faktual dalam Sementara itu, istilah difabel memberikan memvisualisasikan kebernyataan kehidupan perspektif berbeda dan berkonotasi lebih halus sosial masyarakat, yang antara satu individu dibandingkan dengan disable. Konotasi istilah dengan individu lain memiliki kemampuan yang difabel tidak mempermasalahkan kepada kondisi berbeda. Kemampuan berbeda tidak sama dengan kecacatan seseorang, tetapi lebih memperhatikan ketidakmampuan. Mungkin orang ini mempunyai kepada kondisi seseorang dengan kemampuannya keterbatasan dalam bidang satu, tetapi memiliki yang berbeda. Oleh sebab itu, istilah difabel kelebihan di bidang lain (hal. 12). tidak hanya mencakup orang yang mengalami kecacatan dari bawaan lahir, tetapi juga mencakup Seorang difabel mempunyai keterbatasan orang tua lanjut usia (lansia), wanita hamil, anak- untuk tidak melakukan suatu hal, tetapi anak, lanjut usia, pengguna kursi roda, penderita sebenarnya dia bisa mengerjakan hal yang lain. cacat fisik karena kecelakaan, dst. Seorang difabel bukannya tidak bisa berbuat apa-apa sama sekali. Penamaannya sebagai 342 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 342 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:36 PM difabel hanya berdasarkan dengan kategori keterbatasan yang dialaminya. Sekarang, adalah memang tugas masyarakat Indonesia untuk pandai-pandai mengolah bahasa yang bijak dalam mendifinisikan difabel. Masyarakat perlu diarahkan agar tidak larut untuk menstigmakan difabel karena ketidakmampuannya. Masyarakat harus diarahkan agar lebih bijaksana untuk mengkonotasikan difabel karena kemampuannya yang berbeda. Terhadap difabel yang menghadapi hukum, karena kerentanannya, negara harus mengupayakan perlakuan affirmative. Dalam kehidupan demokrasi, Hepple (2014) menyatakan bahwa affirmative action adalah sebuah skema konsep yang digunakan untuk memberikan equality yang dimaksudkan agar orang-orang yang tidak beruntung/lemah mendapat tambahan kekuatan yang sama untuk berpartisipasi dalam masyarakat (hal. 43-44). Konsep affirmative action juga dapat ditemukan dalam The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Dalam penjelasan Alston dan Goodman (2013), yang dimaksud dengan affirmative action adalah perlakuan khusus sementara (temporary special measures). Mereka menjabarkan dari Pasal 1 bahwa pengertian dari temporary tersebut, dengan demikian, perlakuan khusus tidak bisa dilakukan selamanya. Walapun dikatakan sementara dan tidak bisa berlaku selamanya, tetapi pelaksanaannya boleh diterapkan dalam waktu yang lama. Kemudian, mereka juga menjelaskan bahwa sarana untuk menjamin pelaksanaan perlakuan tersebut (measures) adalah melalui legislatif, yudikatif, dan eksekutif dengan berbagai program kebijakannya (hal. 205-206). Dalam kajian ini, penulis ingin menggarisbawahi bahwa penulis ingin mengembangkan affirmative action tersebut tidak hanya berdasarkan semangat yang dibawa CEDAW. Memang betul CEDAW tersebut dimaksudkan untuk menghapus eliminasi atas diksriminasi yang menimpa perempuan, dan sekaligus yang menjadi fokus dalam tulisan ini kebetulan juga ketidakadilan yang dialami perempuan. Akan tetapi, karena perempuan yang mengalami ketidakadilan di sini tidak sembarang perempuan (perempuan difabel), maka konsep affirmative action di sini tidak hanya perlakuan khusus yang sementara. Perlakuan khusus –yang dalam praktiknya melahirkan diskriminasi positif– yang dibutuhkan difabel adalah dalam waktu selamanya. Ketidakadilan kepada perempuan normal hanya berkaitan dengan setting sosial, sementara ketidakadilan yang menimpa perempuan difabel berkaitan dengan setting sosial masyarakat sekaligus kondisi bawaan biologis. Dengan demikian, affirmative action kepada difabel perempuan dibutuhkan waktu selamanya. Wacana untuk menerapkan perlakuan affirmative action juga semakin menguat dalam rangka menghapus multiple discrimination. Mengutip dokumen dari Decision 771/2006/EC (European Commission) tentang Penetapan the European Year of Equal Opportunities for All, Roseberry (2011) menjelaskan bahwa multiple discrimination mempunyai definisi sebagai kombinasi diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan, kecacatan, usia, atau jenis kelamin (hal. 17). Merujuk kepada keadaan fisik SW, diskriminasi yang terjadi kepada SW bisa dikategorikan kepada multiple discrimination karena menyangkut kondisi kecacatan (seorang tuna rungu) dan jenis kelamin (seorang Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 343 | 343 1/18/2016 12:09:36 PM perempuan). Dengan kondisi demikian, SW pihak atas dasar kesamaan bagian. Keadilan sangat membutuhkan affirmative action. model ini tidak membedakan faktor khusus yang dimiliki oleh penerima. Prinsipnya adalah segala Konsep affirmative action ini bisa sesuatu diberikan sama jumlahnya dan sama rata. digunakan untuk mengawal pemberlakuan Berbeda dengan retributif, keadilan distributif equality before the law (EBL). Maksudnya, adalah konsep keadilan yang diterapkan dengan konsep EBL jangan sampai hanya digunakan pemberian kepada beberapa pihak atas dasar untuk memberi perlakuan sama kepada semua proporsionalitas bagian. orang di hadapan hukum, tetapi konsep EBL harus digunakan untuk selalu mengupayakan Penerapan keadilan model ini sangat setiap orang bisa memperoleh pemenuhan hak memperhatikan faktor khusus yang dimiliki oleh yang sama agar memiliki kesempatan yang sama penerima (hal. 117-120). Sebagai contoh dalam dalam mengakses keadilan di hadapan hukum. konsep pekerjaan, pekerja yang menghasilkan Sadurski (1985) menyatakan bahwa EBL tidak banyak produk akan lebih banyak mendapatkan hanya dimaksudkan sebagai perlakuan yang imbalan gaji semakin banyak. Sementara itu, sama kepada subjek hukum (same treatment of pekerja yang menghasilkan sedikit hasil produk person), tetapi juga perlindungan yang sama atas akan mendapatkan imbalan gaji lebih sedikit. pemenuhan hak semua subjek hukum (equal Kedua pekerja tersebut bisa jadi menghabiskan protection to the righst of all) (hal. 78). waktu yang sama, atau bisa jadi produknya yang Dalam praktiknya, upaya memberikan hak kesempatan akses keadilan yang sama tersebut pasti akan membutuhkan perlakuan yang khusus bagi kelompok yang lemah. Dalam kasus kelompok difabel, mereka perlu mendapat perlakuan affirmative karena mereka adalah kelompok yang rentan. Tanpa perlakuan seperti ini, difabel justru tidak mendapat kesempatan yang sama dibanding orang normal dalam mengakses keadilan. Selain landasan konstitusional yang akan dibahas nanti, perlakuan affirmative juga didukung dengan konsep keadilan distributif hasil pengembangan dari Aristoteles. Sebelumnya, sebagaimana telah diterjemahkan Ostwald (1962), Aristoteles telah membangun konsep atas beberapa macam kategori keadilan. Di antaranya adalah keadilan retributif dan distributif. Keadilan retributif adalah konsep keadilan yang diterapkan dengan pemberian kepada beberapa 344 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 344 sedikit justru telah bekerja dalam waktu yang lebih banyak. Allingham (2014) telah memodifikasi konsep keadilan distributif tersebut untuk konsep keadilan sosial. Selama ini dalam dunia modern, perlakuan negara terhadap warga negaranya berdasarkan prinsip meritokrasi. Berdasarkan prinsip ini, semakin banyak sumbangan yang diberikan oleh sebuah kelompok warga negara kepada negaranya, maka pelayanan negara semakin istimewa. Sebagai contoh, semakin besar pajak yang diberikan seorang warga negara kepada negara, semakin terbuka kemungkinan kemudahan-kemudahan khusus pula dari negara kepada si warga negara tersebut. Dalam penerapan keadilan distributif untuk keadilan sosial, logika tersebut diperluas. Perlakuan istimewa juga tidak hanya diberikan negara kepada kelompok yang kontribusinya besar bagi negara. Kelompok tersebut tentunya adalah kelompok yang secara sosial adalah golongan yang kuat, mapan, Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:36 PM terpandang, pengusaha dan sederet kelebihan sosial, ekonomi, pendidikan dan politik lainnya. Negara juga harus memberikan perlakuan khusus kepada kelompok lemah yang dalam kehidupan sehari-hari pun tidak memberikan kontribusi material kepada negara dalam jumlah banyak. Mereka adalah kelompok yang rentan. Keadaannya yang rentan tersebut memerlukan perhatian khusus untuk paling tidak mengejar ketertinggalannya dengan kelompok normal (hal. 14). Pemberlakuan keadilan distributif kepada difabel adalah kewajiban negara untuk memberikan perlakuan affirmative karena kerentanannya. Semua data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan hanya mengambil dari dua bahan hukum sebagaimana dijelaskan di atas. Bahan hukum pertama adalah bahan hukum primer yang terdiri dari UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK Revisi), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 II. METODE tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum), Penelitian ini menggunakan metode Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang penelitian hukum normatif. Fokus yang dikaji Ratifikasi CRPD (UU CRPD), dan Peraturan adalah bertumpu pada norma hukum. Dalam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor hal ini, penulis mengambil pembahasan Putusan 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendampingan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Untuk lebih Saksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. detailnya, data yang digali terdiri dari dua bahan Bahan hukum kedua adalah bahan hukum. Data dari bahan hukum pertama adalah mengenai ketentuan perundangan yang sebenarnya hukum sekunder yang terdiri dari buku dan bisa digali dalam rangka memberikan perhatian artikel berkaitan dengan tema penelitian, yang khusus kepada difabel dalam penyelenggaraan di antaranya adalah Syafi’ie, Potret Difabel proses peradilan dan kemudian mengenai dampak Berhadapan dengan Hukum Negara; Kathy kerugian secara hukum yang diterima oleh saksi O’Connel, Firewalk: Embracing Different Abilities; Bob Hepple, Democratic Participation korban SW dalam mengakses keadilan. in Making and Enforcing Affirmative Action Data dari bahan hukum kedua adalah Schemes; Aristotle, Nicomachean Ethics; Torts, mengenai teori tentang bagaimana sebenarnya Egalitarianism and Distributive Justice; Philip proses peradilan yang mendukung pemberian Alston dan Ryan Goodman, The International perlakuan khusus kepada difabel dan teori Human Rights; Lynn Roseberry, Multiple kedudukan perlakuan affirmative dilihat dari Discrimination; dan Michael Allingham, Justice analisis konstitutif serta filosofis; kemudian as fairness, Distributive Justice. literatur tentang apa yang seharusnya dilakukan Teknik pengumpulan data dilaksanakan negara untuk menjamin proses peradilan melalui kegiatan dokumentasi. Dalam hal ini, affirmative bagi difabel. pertama-tama peneliti mengunduh hasil Putusan Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 345 | 345 1/18/2016 12:09:36 PM Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Kemudian peneliti mengumpulkan seluruh peraturan hukum yang relevan dengan perkara. Yang terakhir adalah peneliti mengumpulkan buku dan artikel yang relevan digunakan sebagai pisau analisis atas perkara yang dibahas. Analisis data dilaksanakan secara kualitatif. Meminjam prosedur yang ditawarkan Syamsuddin (2007, hal. 143-146), penulis akan mengidentifikasi fakta proses persidangan yang menimpa saksi korban SW dan perspektif difabilitas dari hakim dalam memperlakukan saksi korban SW. Selanjutnya, peneliti mengkritisi perlakuan tersebut dengan berbagai argumentasi seperti bagaimana perlakuan affirmative yang seharusnya diterapkan kepada difabel dilihat dari tinjauan konstitusi dan filosofis. Kemudian yang terakhir, peneliti menawarkan solusi apa yang seharusnya dilaksanakan negara untuk menjamin perlakuan affirmative kepada difabel berhadapan hukum. psikososial. Difabel kategori intelektual meliputi retardasi mental (tuna grahita) dan lamban belajar (slow learner). Difabel kategori mobilitas meliputi gangguan anggota tubuh (kaki, tangan, dll) dan gangguan fungsi tubuh yang penyebabnya antara lain: akibat cerebral palsy, akibat spina bifida, akibat spinal cord injury (cedera tulang belakang), akibat amputasi, akibat paraphlegia, dan akibat hemiphlegia. Difabel psikososial meliputi autism, gangguan perilaku dan hiperaktivitas (ADHD), kleptomani, bipolar, dan penyakit jiwa. Difabel kategori komunikasi meliputi gangguan wicara, pendengaran, autis, ADHD, dan tuna grahita berat. Difabel kategori sensorik meliputi gangguan pendengaran, penglihatan, dan kusta (hal. 53-91). Salah satu di antara kategori difabilitas yang dibuat oleh ICF tersebut kebetulan sekarang sedang dialami perempuan korban perkosaan, bernama SW. Berdasarkan keterangan saksi yang masih bibi bagi korban, SW memang susah diajak bicara, akan tetapi korban bisa diajak bicara dengan cara melihat mulut orang yang diajak III. HASIL DAN PEMBAHASAN bicara dan menjawabnya dengan bahasa isyarat. A. Tantangan Akses Keadilan Bagi Difabel Dalam hal ini, korban SW bisa dikategorikan di Muka Persidangan sebagai difabel tuna rungu. Oleh sebab itu, adalah 1. Difable SW Menghadapi Proses sebuah kebenaran pula apabila majelis hakim menyimpulkan SW sebagai seorang tuna rungu. Peradilan a. Difabilitas SW Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut, terlebih dahulu penulis perlu menjelaskan mengenai status difabilitas saksi korban SW. Sebagaimana dikutip Syafi’ie et al. (2014), International Classification of Functioning Health and Disability (ICF) telah membuat klasifikasi mengenai difabilitas sebagai berikut: kategori intelektual, kategori mobilitas, kategori komunikasi, kategori sensorik, dan kategori 346 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 346 b. Proses Peradilan SW 1. Duduk Perkara Peristiwa perkosaan yang dialami SW, seorang perempuan difabel, terjadi pada tanggal 4 Desember 2013. Pelakunya adalah seorang pria berinisial RR. SW sebenarnya tidak mempunyai hubungan khusus karena baru mengenal RR seminggu dari kejadian. Keseharian SW adalah sebagai pekerja di sebuah salon milik tetangga Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:36 PM berinisial IL. Untuk melancarkan aksinya, RR melakukan tipuan dengan mengirimkan sebuah sms kepada SW sekira pukul 10.00 WIB. Isi pesan sms tersebut adalah ajakan dari RR kepada SW untuk berjalan-jalan. Sebenarnya SW tidak langsung membalas sms tersebut, tetapi RR terus mengirimi sms untuk meyakinkan SW. Sampai akhirnya, sms berikutnya dari RR berhasil meluluhkan hati SW dan SW bersedia menemui RR di suatu tempat pada pukul 13.30 WIB. Setelah bertemu di tempat yang ditentukan, RR menyuruh SW naik ke atas motor jenis bebek. Satu motor tersebut ditumpangi oleh tiga orang, yakni IV (yang merupakan teman RR) berada di depan untuk mengemudikan motor, RR duduk di tengah dan SW mengambil duduk di bagian paling belakang. Mereka bertiga langsung menuju tempat yang dijanjikan oleh RR sebagai tempat keramaian untuk jalan-jalan. Untuk melancarkan aksinya, IV dan RR sepakat berhenti di satu rumah kosong (semacam gubuk). Awalnya SW merasa ragu dan takut menuruti RR untuk memasuki rumah tersebut. Tetapi karena RR terus memaksa dan membohongi bahwa itu adalah rumah orang bahkan RR melakukan kekerasan dengan mendorong punggungnya, akhirnya SW menuruti untuk memasuki rumah itu juga. Seperti yang telah direncanakan, RR menyuruh IV untuk menunggu di luar. Yang di dalam rumah hanyalah RR dan SW. Setelah dirasa sebagai waktu yang tepat, RR menutup pintu dan menguncinya dengan kayu yang diputar. Perbuatan RR yang ganjil tersebut mendorong keinginan SW untuk segera ingin keluar. Tidak mau kehilangan kesempatan, RR menghadang dan menangkap tangan SW. Tangkapan sempat terlepas sehingga terjadi aksi kejar-kejaran di dalam rumah. Karena kalah cepat, RR berhasil menangkap SW untuk kesekian kalinya. Mendapati targetnya, kemudian RR menggelandang SW ke dalam kamar dan merebahkannya ke atas dipan. Untuk lebih memastikan keamanan, sama seperti yang dilakukannya pada pintu rumah depan, RR juga mengunci pintu kamar dengan kayu yang diputar. Berbagai perlawanan diupayakan SW untuk menyelamatkan diri dari kebuasan RR. Namun, ikhtiar penyelamatan kehormatan dengan upaya sekuat tenaga tersebut masih terlalu lemah dibandingkan dengan sikap agresif RR. Untuk mempercepat aksinya, RR melakukan sejumlah kekerasan; diawali dengan mendorong tubuh SW beberapa kali hingga tersungkur di atas dipan, melepas pakaian bawah SW secara paksa, memegangi kedua tangan SW, dan menggunakan kedua kakinya untuk merenggangkan kedua paha SW secara paksa. Pada akhirnya, setelah SW tidak berdaya, RR memperkosa SW selama kurang lebih dua menit. Tindakan yang dilakukan oleh RR kepada SW tersebut masuk kategori tindakan pidana pelecehan seksual, sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP. Tindakan yang dilakukan RR masuk kategori memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan. Sedangkan, cara yang ditempuh RR untuk memperkosa SW termasuk kategori kekerasan. Pasal 285 KUHP mengancam pelakunya dengan tuntutan hukuman maksimal selama 12 tahun penjara. 2. Proses Persidangan Selama persidangan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan lima orang saksi, termasuk saksi korban. Mereka adalah SW Binti S (saksi korban), C Binti HS (bulik/tante dari korban), M Bin N (tetangga saksi korban), R Bin Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 347 | 347 1/18/2016 12:09:36 PM M (tetangga korban), dan IL Binti MM (majikan korban). Kedudukan SW yang menjadi korban dan sekaligus saksi ini diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 1 UU PSK yang menjelaskan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana; sedangkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara tindak pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri. Melalui tuntutannya No. Reg. Perk. PDM20/KNDAL/Ep.p.2/02/2013 tertanggal 28 Maret 2013, JPU menuntut RR telah bersalah melakukan tindak pidana Pasal 285 KUHP. Sayangnya jauh atau selisih separuh dari jumlah tuntutan hukuman penjara yang disediakan undangundang, JPU hanya menuntut hakim untuk menjatuhkan pidana penjara selama enam tahun dikurangi masa penahanan. Selama persidangan, JPU menunjukkan barang bukti berupa kaos, celana jeans, celana dalam, BH, dan HP yang dibawa SW pada saat kejadian. Selain itu, JPU juga memperkuat dengan visum et repertum dari UPTD Puskesmas Sukorejo 01 Kendal Nomor 445.465.200801 dengan ditandatangani dr. ICB. Visum tersebut menyatakan adanya luka memar pada lengan atas kanan saksi korban SW, serta membenarkan adanya luka pada vagina SW yang dibuktikan dengan keadaan dinding liang senggama mengeluarkan darah segar. Berdasarkan barang bukti dan segala keterangan dari saksi, hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana kepada RR selama lima tahun dikurangi masa penahanan. Dalam analisis hakim, RR telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana perkosaan 348 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 348 sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan primair Pasal 285 KUHP. Selain itu, hakim juga menilai bahwa tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf tentang kesalahan RR. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya RR mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal ini, ada sesuatu yang menarik dari pertimbangan hakim dalam konteks analisis upaya perlakuan affirmative bagi difabel. Hakim menyatakan bahwa hal yang memperberat sebagai pertimbangan bagi hukuman adalah perbuatan RR telah mengakibatkan saksi korban SW trauma dan korban adalah tuna rungu. Berdasarkan salinan Putusan Nomor 33/ Pid.B/2013/PN.Kdl, hakim menyatakan: “Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban (SW) trauma dan korban adalah tuna rungu” (hal. 25). Sayangnya, pertimbangan ini tidak memancing inisiatif hakim untuk menyediakan semacam penerjemah bagi saksi korban SW. Bahkan dinyatakan tegas dalam risalah persidangan bahwa seluruh saksi termasuk saksi korban memberikan kesaksian sendiri-sendiri selama proses persidangan. Proses seperti ini menunjukkan keganjilan dalam upaya pemberian perlakuan affirmative bagi difabel. Bagaimana mungkin di satu sisi hakim mengakui bahwa saksi korban SW adalah seorang tuna rungu, tetapi di sisi lain tidak ada inisiatif untuk memberikan bantuan penerjemah. Salinan Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl sama sekali tidak menyebutkan bahwa SW ditemani oleh penerjemah –baik selama proses pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan maupun dalam persidangan di pengadilan. Persidangan Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:36 PM tersebut tidak melaksanakan amanat Pasal 178 ayat (1) KUHAP yang menyatakan: Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Perlakuan proses peradilan tersebut pasti akan menyulitkan kondisi SW. Sebagaimana keterangan saksi II C, yang juga merupakan bibi korban, SW susah diajak bicara. Berdasarkan salinan, bibi korban menyatakan: SW. Dalam hal ini, hakim telah mengabaikan Pasal 178 ayat (1) KUHAP; tidak mengangkat saksi lain (yang pandai bergaul dengan SW) sebagai penerjemah begitupula sama sekali tidak mengangkat penerjemah. Hakim juga telah mengabaikan amanat UU PSK Revisi dan UU PSK. Sebelumnya, Pasal 5 ayat (1) huruf d UU PSK menyatakan bahwa kaum difabel hanya memperoleh perlindungan berupa penerjemah. Ketentuan yang terbaru, Pasal 5 ayat (1) huruf p UU PSK Revisi menyatakan bahwa kaum difabel mendapat tambahan perlindungan hukum untuk mendapatkan pendampingan. “Bahwa korban memang susah diajak bicara akan tetapi korban bisa diajak bicara dengan cara memihat mulut orang yang Tidak hanya hakim yang perlu diajak bicara dan korban menjawab dengan dipermasalahkan di sini, Lembaga Perlindungan bahasa isyarat…… korban kondisinya mengalami keterbelakangan mental yaitu Saksi dan Korban (LPSK) juga patut dipertanyakan susah diajak berbicara atau komunikasi di sini. Seandainya LPSK bisa turun tangan, karena pendengarannya kurang” (hal. 13). tentu tidak perlu kaum difabel dikhawatirkan Berdasarkan keterangan saksi tersebut, ketika menghadapi hukum. Keyakinan seperti dengan demikian, perlakuan khusus yang ini mengingat tugas pendampingan sangatlah dibutuhkan SW tidak hanya bantuan pendengaran menjamin keberadaan difabel. Sebagaimana tetapi juga bantuan komunikasi berbicara. diatur dalam Peraturan Lembaga Perlindungan Perlakuan yang terjadi di persidangan tersebut Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2012 tentang tentunya sangat dan jelas bertentangan dengan Tata Cara Pendampingan Saksi Lembaga Pasal 13 ayat (1) UU CRPD, yang menyatakan Perlindungan Saksi dan Korban (PLPSK tentang bahwa negara pihak wajib menjamin secara TCPSK LPSK), bahwa tugas pendampingan tidak efektif akses penyandang disabilitas pada keadilan hanya berkaitan dengan materi inti hukum tetapi didasarkan atas kesamaan dengan yang lain dalam juga di luar hukum. Pasal 9 ayat (1) PLPSK tentang rangka memfasilitasi peran efektif penyandang TCPSK LPSK menyatakan bahwa pendamping disabilitas sebagai partisipan langsung maupun dalam melaksanakan tugas pendampingan wajib tidak langsung, termasuk sebagai saksi dalam mempelajari: kepribadian saksi; kondisi fisik dan semua persidangan. Salah satu bentuk jaminan psikologis saksi; rekam jejak saksi; kompetensi yang harus dipenuhi dalam kasus ini adalah dan kemampuan saksi; dan potensi ancaman dan resiko saksi. menyediakan penerjemah. 2. Kerugian SW Atas Akses Keadilan Hakim tidak memberikan perlakuan khusus kepada perempuan difabel korban perkosaaan Selanjutnya Pasal 9 ayat (2) PLPSK tentang TCPSK LPSK menambahi kewajiban pendamping adalah memahami ketentuan mengenai hukum materil saksi, hukum formil saksi, kualifikasi kejahatan saksi, hubungan sebab Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 349 | 349 1/18/2016 12:09:36 PM akibat, hubungan saksi dengan alat-alat bukti lainnya, alat-alat bukti yang dimiliki oleh saksi, agenda proses hukum saksi, konstruksi hukum/ peristiwa hukum yang dialami, dan kedudukan hukum saksi. Belum lagi kalau ternyata setelah pemerkosaan tersebut, SW bakal mengalami kehamilan. Hal ini tentunya semakin menambah beban material. Berdasarkan salinan Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl, sama sekali tidak ada gugatan kepada RR atas kerugian SW karena Sayangnya semua idealitas di atas tidak peristiwa tersebut. berlaku pada persidangan SW. Ketiadaan pendamping benar-benar telah merugikan saksi Padahal sebenarnyanya tugas penerjemah korban SW mengenai pemberlakuan hukum bisa dimaksimalkan tidak hanya sekedar sebagai formil saksi. Kerugian yang dialami saksi korban penerjemah tetapi bisa diposisikan juga sebagai dengan ketiadaan penerjemah dan pendamping pendamping. Ketika penerjemah yang ditunjuk sangat tampak dengan fakta bahwa SW tidak bisa adalah mereka yang profesional dan terbiasa maksimal memanfaatkan jaminan keuntungan dengan tugas-tugas hukum semacam ini, jam formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP. terbang tersebut tentunya akan lebih memberikan Pasal ini menyatakan bahwa dalam kapasitasnya keuntungan bagi difabel yang sedang didampingi. sebagai saksi korban, yaitu seorang korban Paling tidak si penerjemah profesional tersebut dari suatu tindak pidana yang juga melakukan bisa mengawal pemanfaatan hukum formil. kesaksian, seorang saksi berhak meminta ganti Dalam kasus ini, dampak kerugian pemanfaatan kerugian. Namun, ganti kerugian itu hanya dapat hukum formil yang paling kelihatan dari ketiadaan diminta apabila saksi yang sekaligus menjadi pendamping dan penerjemah profesional adalah korban itu menggabungkan gugatan ganti kerugian saksi korban SW tidak mengajukan penggantian kepada perkara pidana yang bersangkutan. biaya yang telah dikeluarkan selama menjalani Pasal 98 Ayat (1) KUHAP menyatakan: Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Sebagai seorang korban dari perkosaan, selain kerugian psikis, SW juga menderita kerugian material. Kerugian ekonomi yang paling kelihatan bisa dihitung saja seperti biaya visum sekaligus pengobatan, kemudian kehilangan pendapatan dari pekerjaan selama proses persidangan dan proses hukum, dan biaya transportasi keseluruhan proses (mulai polisi, kejaksaan sampai kepada proses pengadilan). 350 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 350 semua tingkat pemeriksaan (Pasal 98 ayat (1) KUHAP). Ketiadaan pendamping secara otomatis semakin menyebabkan ketidaktahuan pihak saksi korban untuk mencari mekanisme gugatan atas kerugian tersebut. Sementara di sisi lain, para penegak hukum (baik jaksa maupun hakim) yang lebih mengerti hukum, tidak bersikap affirmative untuk memberikan pengetahuan mengenai mekanisme yang demikian kepada pihak saksi korban SW. Kerugian lain adalah tidak sebandingnya hukuman dengan penderitaan yang dialami korban SW. Kehadiran penerjemah tentunya akan membantu SW menyampaikan derita psikisnya secara utuh kepada hakim. Melihat Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:36 PM dari penuturan beberapa saksi, saksi korban SW mengalami depresi berat dan trauma yang hebat. Saksi C dan IL menyatakan bahwa SW merasa ketakutan dan trauma setelah peristiwa perkosaan tersebut. Akibatnya, SW tidak berani tinggal di rumahnya sendiri. Oleh sebab itu setelah kejadian, SW tinggal di rumah saksi IL dan selalu minta tidur dengan saksi karena takut. Keterangan orang terdekat seperti ini menandakan begitu mendalamnya depresi yang dialami korban. Tanpa hadirnya penerjemah, penderitaan psikis terbatas disampaikan dengan bahasa yang hanya bisa secara utuh dipahami yang mengalami. Oleh sebab itu, JPU dan hakim kemungkinan kesulitan menyelami perasaan depresi yang mendalam tersebut. Bisa jadi perasaan memilukan yang dipendam saksi korban tereduksi karena disampaikan melalui bahasa yang tidak sama dengan bahasa jaksa dan hakim. Hal ini mempengaruhi tuntutan dan hukuman yang dijatuhkan kepada RR sebagai terpidana masih setengah lebih ringan dibandingkan dengan hukuman yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. Pasal 285 KUHP menyatakan: Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dalam kasus ini, JPU menuntut enam tahun penjaran. Sementara, hakim hanya menghukum lima tahun penjara. Inilah yang penulis sebut sebagai kerugian difabel atas hak akses keadilan. Sesuai dengan teori, akses atas keadilan didefiniskan sebagai kesempatan atau kemampuan setiap warga negara tanpa membedakan latar belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan, atau tempat lahirnya) untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan (Djohansjah, 2010, hal. 1). Dalam papernya, Djohansjah juga menyoroti ketiadaan bantuan hukum menjadi awal kerentenan seseorang mengalami kerugian akses atas keadilan. Apa yang disoroti Djohansjah tersebut menjadi kenyataan bagi SW. Tanpa adanya penerjemah bahkan pendamping, SW tidak bisa memanfaatkan lembaga peradilan untuk mendapatkan ganti kerugian atas materi yang dikeluarkan selama persidangan. Justru SW harus mengeluarkan banyak materi untuk persidangan. Begitupula, SW tidak bisa memaksakan peradilan sebagai sarana untuk benar-benar mengobati tekanan psikis akibat perkosaan tersebut. SW mungkin hanya bisa pasrah dan harus puas dengan hukuman lima tahun penjara bagi pelaku yang merenggut kehormatannya, sementara SW harus memendam tekanan batin karena kehormatannya dirampas selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup. Lima tahun penjara tersebut masih jauh sebagai sarana untuk benar-benar mengobati tekanan psikis akibat perkosaan tersebut. Tentu bisa saja SW belum terasa adil jika dibandingkan dengan tekanan batin yang akan dialami selama bertahun-tahun. Secara normatif, angka tersebut juga tidak sebanding dengan hukuman dua belas tahun penjara yang sebenarnya disediakan KUHP. B. Perlakuan Affirmative Action 1. Proses Peradilan Affirmative Perlakuan khusus yang bisa diberikan kepada difabel adalah melalui proses peradilan affirmative. Penulis sengaja memilih istilah affirmative dengan hipotesis bahwa tidak mungkin memberikan peradilan yang fair bagi difabel sebelum adanya proses yang affirmative, Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 351 | 351 1/18/2016 12:09:37 PM begitupula tidak mungkin memberikan proses hukum yang fair (mulai pemeriksaan di kepolisian sampai kejaksanaan) sebelum adanya perlakuan affirmative. Gerapetritis (2015) menyatakan bahwa affirmative sebenarnya bukanlah istilah yang baru berkaitan dengan EBL. Konsep ini juga tidak dalam rangka menyerang EBL. Justru konsep ini sering dipakai untuk mengawal pelaksanaan EBL dalam arti yang sesungguhnya (hal. 21). Arti yang sesungguhnya di sini dapat diartikan sebagai equality yang tidak semata-mata memberi perlakuan dengan semangat sameness, tetapi beranjak menuju semangat fairness. Sementara itu, definisi diskriminasi itu sendiri adalah memberi perlakuan yang menimbulkan ketidakadilan, baik perlakuan tersebut disengaja (dalam bentuk tindakan) maupun tidak disengaja (dalam bentuk pembiaran). Diskriminasi juga mencakup sebuah tindakan biasa (dianggap telah fair) tetapi justru menimbulkan implikasi yang diskriminatif karena adanya kebutuhan khusus yang tidak diakomodasi, seperti faktor agama, disability, umur, status pernikahan. (Sales, Powell, & Duizend, 1982, hal. 173). Dalam konteks kasus yang dialami SW sebagai perempuan difabel korban perkosaan, diskriminasi yang dialami bahkan bisa dikategorikan sebagai multiple discrimination. Istilah ini merujuk kepada kombinasi diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan, kecacatan, usia, atau jenis kelamin (Roseberry, 2011, hal. 17). sebagai penerjemah tetapi juga bahkan sebagai pendamping. Ketiadaan pendamping sama saja dengan melakukan multiple discrimination atas faktor kecacatan (tuna rungu) sekaligus jenis kelamin (perempuan). 2. Landasan Pemberlakuan Berikut ini adalah rasionalisasi landasan perlakuan affirmative. a. Landasan Yuridis Landasan awal permberlakuan affirmative kepada difabel berperkara di hadapan hukum telah mendapatkan dasarnya melalui Pasal 178 ayat (1) KUHAP, Pasal 5 ayat (1) huruf d UU PSK, dan Pasal 5 ayat (1) huruf p UU PSK Revisi. Selain itu landasannya juga bisa ditemukan dari konstitusi. Dalam mendukung perlakuan affirmative bagi difabel, penegak hukum bisa menggunakan konsep Equality Before the Law (EBL) yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal ini menandakan bahwa EBL bagi seluruh warga negara Indonesia dijamin secara konstitutif. Akan tetapi, EBL dalam pasal ini tidak bisa dimaknai tekstual sebagai “perlakuan yang sama di hadapan hukum” sebagaimana bunyi Dalam hal ini, saksi korban SW sebagai tekstualnya. Bahwasanya maksud perlakuan seorang difabel mempunyai hak untuk sama tersebut bukan berarti negara menyamakan diperlakukan affirmative. Apabila perlakuan difabel seperti orang normal pada umumnya. kepadanya disamakan dengan perlakuan kepada Perlakuan sama tersebut menuntut negara harus orang normal, penyamaan tersebut sama saja tidak mengupayakan segala sesuatu agar apa yang mengakomodasi kebutuhan khusus yang terdapat diterima oleh difabel sama dengan atau setara pada diri SW karena difabilitasnya. Kebutuhan dengan orang normal pada umumnya. Ketentuan khusus bagi SW tersebut adalah tidak hanya tersebut harus diartikan sebagai pemenuhan hak 352 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 352 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:37 PM yang sama. Untuk mendapatkan hak yang sama partisipan langsung maupun tidak langsung, termasuk sebagai saksi, dalam semua tidak cukup diberikan perlakuan yang sama. persidangan, termasuk dalam penyiclikan Mengingat kondisi difabel memiliki keterbatasan dan tahap-tahap awal lainnya. dalam hal fisik, negara harus mengupayakan hal Ketentuan di atas menggarisbawahi yang lebih agar keterbatasan yang dialami difabel tidak menghalanginya untuk mendapatkan bahwa negara wajib menjamin efektivitas akses pemenuhan hak yang sama dibanding dengan penyandang difabel atas keadilan. Dengan demikian, pemberian perlakuan affirmative bagi orang normal pada umumnya. difabel adalah sebuah kewajiban konstitusional. Dalam kasus Putusan Nomor 33/ Ketentuan CRPD di atas merupakan representasi Pid.B/2013/PN.Kdl, apabila majelis hakim dari tujuan prinsipal yang dimiliki oleh hukum mengabaikan untuk memberi perhatian lebih HAM Internasional untuk melaksanakan tindakan kepada SW dengan alasan menyamakan SW positif dalam rangka melaksanakan kepada dengan saksi-saksi lainnya, hal ini tentu akan equality (Clifford, 2013, hal. 443), yakni negara menghalanginya untuk mendapatkan pemenuhan harus melakukan sesuatu agar difabel memiliki hak yang sama dalam menyampaikan kesaksian kesempatan akses keadilan yang setara dengan sejelas-jelasnya. Untuk menerapkan EBL bagi orang normal; bukannya negara tidak melakukan difabel, negara (dalam hal ini termasuk hakim) sesuatu sehingga difabel tidak memiliki harus melakukan sesuatu yang lebih (comission). kesempatan akses keadilan yang setara. Negara bukan berdiam diri membiarkan suatu Kesamaan semangat antara produk proses hukum bagi difabel berjalan normalinternasional (CRPD) dan landasan konstitusional normal saja (omission). (UUD NRI 1945) tersebut seharusnya Penerapan EBL dalam Pasal 28D ayat menyadarkan aparat penegak hukum untuk (1) UUD NRI 1945 harus didasarkan kepada menerapkan perlakuan affirmative bagi difabel. semangat pada pemenuhan hak sama yang juga Dalam konteks Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/ sesuai dengan amanat UU CRPD sebagai hasil PN.Kdl, sebagai kasus khusus, kewajiban negara ratifikasi CRPD. UU CRPD telah memperjelas seharusnya ditunjukkan dengan inisiatif hakim konsekuensi apakah yang harus dipikul negara untuk memberikan penerjemah bagi saksi korban dengan pengakuan atas penyandang disabilitas SW dalam rangka menyelenggarakan peradilan untuk memiliki kapasitas hukum atas dasar yang fair; begitupula seharusnya didahului kesetaraan dengan orang lain dalam semua dengan inisiatif kepolisian sampai kejaksanaan aspek kehidupan. Pasal 13 ayat (1) UU CRPD untuk menyediakan pula seorang penerjemah menyatakan: untuk menjamin suatu proses hukum yang fair. Selebihnya, sebagai cakupan umum, negara Negara-negara pihak wajib menjamin secara efektif akses penyandang disabilitas juga harus menjamin perlakuan affirmative baik pada keadilan didasarkan atas kesamaan selama proses persidangan maupun keseluruhan dengan yang lain, termasuk melalui pengakomodasian pengaturan yang proses hukum bagi difabel dari kategori apapun. berkaitan dengan prosedur dan kesesuaian Semua upaya ini adalah dalam rangka mendorong usia, dalam rangka memfasilitasi peran pemenuhan hak aksesibilitas atas keadilan yang efektif penyandang disabilitas sebagai Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 353 | 353 1/18/2016 12:09:37 PM setara dengan kesempatan orang normal pada umumnya. b. Landasan Filosofis Penerapan perlakuan affirmative bagi difabel adalah realisasi dari pelaksanaan konsep keadilan distributif yang diterapkan dengan semangat keadilan sosial. Perhatian khusus tidak hanya perlu diberikan negara kepada kelompok warga negara yang banyak menyumbang materi kepada negara. Negara juga harus memberikan perhatian khusus kepada kelompok lemah. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari, kelompok lemah tersebut tidak memberikan kontribusi material kepada negara dalam jumlah banyak. Mereka adalah kelompok yang rentan seperti kaum difabel. Kerentanan tersebut justru memerlukan perhatian khusus agar mereka bisa mengejar ketertinggalannya dengan kelompok normal. Dalam kasus Putusan Nomor 33/ Pid.B/2013/PN.Kdl, keadaan SW mempunyai dua sisi kerentanan. Satu sisi, SW adalah kelompok difabel karena seorang tuna rungu. Sisi lain, SW adalah kelompok lemah karena berada pada pada golongan ekonomi bawah. Indikasi posisi ekonomi lemah tersebut dapat dibaca dalam kesehariannya dan gambaran peristiwa kejadian perkosaan. Sehari-harinya, SW hanyalah tukang jaga di salon milik saksi IL yang masih tetangga saksi korban. Selanjutnya, untuk menuju tempat pemerkosaan, SW diboncengkan motor orang lain. Selama persaksian di persidangan, tidak ada upaya SW untuk mencoba mengambil motor sendiri. Padahal ajakan RR (pelaku perkosaan) kepada SW adalah untuk jalan-jalan. Biasanya seorang yang sedang menuju pacaran akan lebih menjaga gengsi dengan menampilkan kepemilikannya. 354 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 354 Kondisi seperti ini menunjukkan SW adalah kelompok orang yang tidak berpunya. Oleh sebab itu, sudah bisa memenuhi panggilan sidang beberapa kali ke pengadilan serta ditambah dengan kesediaan memenuhi panggilan pemeriksaan di kepolisian merupakan prestasi yang harus diapresiasi secara ekonomi. Keadaan seperti inilah yang seharusnya mendorong kesadaran penegak hukum untuk menyediakan paling tidak penerjemah yang gratis. Di sisi lain, lembaga pemerintah di daerah harus peka melihat kejadian seperti ini untuk memastikan SW mendapat penerjemah tanpa harus merogoh uang saku sendiri. Oleh sebab itu dalam rangka memberikan perlakuan affirmative, secara landasan filosofis, konsep keadilan distributif di sini bisa dipakai dalam makna memberikan perlakuan tidak semata-mata karena proporsionalitas bagian (imbalan pelayanan negara sesuai kontribusi si warga negara) tetapi juga perlu diperluas sebagai proporsionalitas kebutuhan (perhatian lebih negara karena keterbatasan warga negara). Dengan demikian, negara harus selalu ada dan bisa memenuhi perlakuan affirmative bagi difabel selama proses peradilan maupun keseluruhan proses hukum, baik si difabel bisa membayar maupun tidak bisa membayar. c. Menuju Jaminan Perlakuan Affirmative Bagi Difabel Selain penerjemah, baik sebagai korban pemerkosaan maupun sebagai korban tindak pidana lain ataupun bahkan sebagai pelaku tindak pidana, difabel yang menghadapi hukum membutuhkan perlakuan affirmative sebagai berikut: assessment, pendamping, lingkungan peradilan yang aksesibel, pemeriksaan yang lebih Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:37 PM fleksibel, kapasitas aparat penegak hukum yang ayat (1) dan (2) tersebut masih memiliki masalah mengerti dan memahami difabel, dan bantuan dengan beberapa hal. Pertama adalah ketentuan hukum. redaksional. Kedua adalah keterbatasan cakupan kategori kelompok difabel yang mendapat Upaya memastikan jaminan perlakuan perlakuan affirmative. Ketiga adalah ketentuan affirmative bagi difabel dalam proses peradilan ini tidak sinkron dengan ketentuan lainnya. membutuhkan pekerjaan yang berat. Di antara upaya yang perlu dilaksanakan adalah Ketentuan redaksional dalam Pasal 178 perbaikan peraturan terkait dan penguatan ayat (1) KUHAP masih meninggalkan beberapa perspektif difabilitas bagi penegak hukum. permasalahan, yakni: rendahnya klasifikasi Dalam proses peradilan, terdapat beberapa penerjemah, kekuatan memaksa ketersediaan peraturan perundangan yang bersentuhan dengan penerjemah, dan sikap negara yang setengah keberadaan difable, yakni UU Bantuan Hukum, hati untuk menyediakan penerjemah. Pasal 178 UU PSK-PSK Revisi dan KUHAP. ayat (1) masih menyimpan potensi masalah 3. Revisi Peraturan karena redaksionalnya hanya mengatur bahwa hakim mengangkat orang yang pandai bergaul sebagai penerjemah. Definisi orang yang pandai bergaul tersebut bisa membuka pintu rendahnya klasifikasi penerjemah. Bisa saja nantinya penegak hukum mengklaim telah menyediakan penerjemah karena telah menyertakan orang yang sehari-hari terbiasa bergaul dengan difabel yang bersangkutan. Upaya negara memberi perlakuan affirmative bagi difabel sebenarnya sudah semakin menguat dengan kedatangan undangundang baru seperti UU Bantuan Hukum dan UU PSK Revisi. Sekarang, yang perlu direvisi adalah pada ketentuan acara hukum pidana. Pintu masuk perbaikan pada KUHAP bisa diawali dari Pasal Selanjutnya, kekuatan memaksa atas 178 KUHAP. Sebenarnya sudah terdapat pasal yang mengatur apa yang seharusnya dilakukan ketersediaan penerjemah sebagai amanat Pasal oleh penegak hukum apabila korban atau terdakwa 178 ayat (1) KUHAP juga patut dipertanyakan. Ketentuan ini tidak mempertegas penyediaan adalah seorang difabel. penerjemah sebagai suatu kewajiban. Ketentuan Pasal 178 ayat (1) KUHAP menyatakan redaksional dalam aturan KUHAP ini harus bahwa hakim ketua sidang mengangkat orang direvisi. Secara bahasa, klausul wajib akan lebih yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi memberikan kepastian. Kemudian, Pasal 178 itu sebagai penerjemah jika terdakwa atau saksi ayat (2) KUHAP di sini masih menunjukkan bisu dan atau tuli tidak dapat menulis. Selanjutnya sikap setengah hati negara untuk memberikan Pasal 178 ayat (2) KUHAP juga menyatakan perlakuan affirmative. bahwa hakim ketua sidang menyampaikan Pasal 178 ayat (2) justru bisa saja digunakan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut untuk melepaskan tanggung jawab negara untuk diperintahkan untuk menulis jawabannya apabila memberikan perlakuan affirmative bagi difabel. jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa apabila dapat menulis. Sayangnya, ketentuan Pasal 178 saksi korban atau terdakwa difabel bisa menulis, Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 355 | 355 1/18/2016 12:09:37 PM negara tidak perlu memberikan penerjemah. Padahal, bagaimanapun juga suatu proses hukum tidak semata-mata mengandalkan aspek logis, tetapi juga harus selalu harus mempertimbangkan aspek perasaan. Suatu perasaan penderitaan seorang korban atau penyesalan seorang terdakwa akan lebih bisa dirasakan penegak hukum jika tidak hanya disampaikan melalui sarana tulisan, tetapi juga sarana ucapan. Untuk memudahkan ungkapan kata-kata tersebut, mau tidak mau negara wajib menyediakan seorang penerjemah. Permasalahan yang kedua adalah cakupan penegak hukum dan kategori difabel. Cakupan penegak hukum yang harus memberikan perlakuan affirmative dalam amanat Pasal 178 ayat (1) KUHAP tersebut juga harus mendapat perhatian serius. Langkah affirmative yang hanya dibebankan kepada hakim selama proses persidangan menandakan hukum hanya menyelesaikan persoalan di tingkat hilir saja. Pasal ini bisa menjadi legitimasi keabsahan bagaimana proses hulu pelaporan di kepolisian tidak perlu adanya penerjemah. Padahal, baik pada tingkat persidangan maupun pelaporan, peran penerjemah sama-sama pentingnya. Bahkan peran penerjemah pada tingkat hulu bisa dikatakan lebih penting karena akan mempengaruhi kualitas tuntutan di tingkat kejaksaan. Permasalahan yang ketiga adalah penerapan Pasal 178 ayat (1) KUHAP demikian bisa terganjal apabila penegak hukum terlalu tekstual dalam memahami ketentuan Pasal 160 ayat (1) KUHAP. Pasal ini membenarkan penegak hukum menanyai saksi korban seorang diri. Pasal 160 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. Pasal inilah yang berlaku selama proses peradilan dalam Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Penyampaian keterangan dilaksanakan secara orang per orang. 4. Penajaman Perspektif Penegak Hukum Difabilitas Masyarakat mengaharapkan keadilan dari penegak hukum (mulai dari unsur aparatur negara seperti kepolisian, kejaksaan sampai dengan hakim; atau juga dari unsur non aparatur negara seperti advokat). Kebijaksanaan penegak hukum sangat mempengaruhi adil atau tidaknya satu putusan hukum. Bagaimanapun konstruksi suatu peraturan hukum telah ditata secara ideal, jerih payah tersebut tidak akan ada manfaatnya jika penegak hukumnya tidak memiliki visi penegakan hukum Selanjutnya. Pasal 178 ayat (1) KUHAP yang kredibel. juga belum merespon kebutuhan difabel jenis lain Oleh sebab itu, adalah benar jika terdapat dari tuna rungu dan bisu. Sebut saja masih terdapat ucapan bahwa penegakan hukum bukanlah satu difabel kategori lemah mental, intelektual, netra, tindakan yang pasti. Penegakan hukum bukanlah autism, gangguan perilaku dan hiperaktivitas sekedar menerapkan satu peraturan hukum pada (ADHD), bipolar, gangguan kesehatan jiwa, tuna satu kejadian. Sebab, penerapan tersebut merupakan grahita dan beberapa jenis difabel lain. KUHAP upaya yang membutuhkan usaha terus menerus juga tidak mengakomodir mengenai usia mental. untuk mempertemukan antara yang ideal dengan Padahal terdapat seorang difabel yang secara yang nyata, antara yang seharusnya dengan yang umur bukan lagi kategori anak tetapi secara seadanya, dan berbagai tantangan paradoks lain. mental masih seperti anak-anak. 356 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 356 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:37 PM Para penegak hukum tidak hanya dituntut untuk mahir menghafalkan rangkaian pasal penegakan hukum. Mereka juga harus mampu menyelami rasa keadilan bahkan dalam tingkatan yang paling substantif sekalipun dari suatu rangkaian pasal yang kompleks. Penegak hukum harus mampu menghayati terkait konteks sosial masyarakat, keterbatasan-keterbatasan yang menimpa para pihak berperkara di hadapan hukum. Kemampuan tersebutlah yang akan membimbing penegak hukum untuk mahir menyediakan pasal yang tepat terhadap suatu permasalahan hukum yang tengah diselesaikan, sekaligus untuk bijaksana mendiagnosa dosis keadilan yang tepat diterapkan bagi permasalahan hukum tersebut. Oleh sebab itu, rasanya tepat apabila menghimbau bahwa penegak hukum harus menghindari posisi hanya sebagai robot atau corong undang-undang. Suasana penegakan hukum yang demikian itulah yang terutama diperlukan dalam menangani permasalahan hukum melibatkan kelompok rentan, salah satunya adalah penyandang difabel. Sayangnya, realitas yang terjadi pada proses hukum terhadap kaum difabel selama ini adalah ketidakpastian aparat penegak hukum. Seperti yang terjadi pada Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl. Sudah terdapat pasalnya yang memungkinkan saksi korban SW mendapatkan perlakuan affirmative, tetapi sayangnya peraturan hanyalah tinggal citacita ideal keadilan dalam suatu catatan. meningkatkan pelatihan yang sesuai bagi mereka yang bekerja di bidang penyelenggaraan hukum. Selain itu, tanpa harus menunggu pelatihan dan perubahan pasal pada KUHAP di atas, penegak hukum harus menajamkan perspektif difabilitas melalui rekonsepsi ulang terhadap equality before the law (EBL). EBL atau persamaan di hadapan hukum adalah salah satu asas terpenting di dalam sistem hukum modern. Setiap difabel berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Hal ini juga diperkuat di dalam Pasal 12 dan Pasal 13 UU CRPD. Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 juga telah mengatur EBL. Oleh sebab itu, dalam konteks penerapan EBL bagi difabel, perspektifnya harus dipertajam dengan equality yang equity. Dalam pendekatan demokrasi, Jenlink, Stewart, dan Stewart (2012) menyatakan bahwa konsep equity lebih pasti mengarah kepada perlakuan atas dasar fairness dalam penyediaan kebutuhan mendasar bagi warga negara dan menjadikan keterbatasan individual sebagai pertimbangan; sementara itu meskipun equality bisa mengarah kepada fairness tetapi seringkali bisa terhenti hanya sampai memberi perlakuan atas dasar sameness (hal. 86). Selanjutnya, Taket (2012) menyatakan bahwa equity lebih tepat digunakan dalam rangka mengawal semangat social justice. Prinsip keadilan sosial tersebut akan memberikan keadilan Keadaan seperti ini harus menjadi pekerjaan yang tidak berdasarkan konsep sama rata, tetapi rumah yang menuntut urgensi segera diselesaikan. memberikan keadilan yang mempertimbangkan Sehingga, perlu adanya peningkatan peraturan kerentanan khusus yang dimiliki si pencari teknis dan kapasitas para aparat penegak hukum keadilan (fairness) (hal. 3). Dengan demikian, dalam kaitannya menjawab kebutuhan-kebutuhan dalam rangka menjamin perlakuan affirmative difabel. Sebagaimana amanat Pasal 13 ayat (2) bagi difabel, penegak hukum harus memiliki UU CRPD, negara mempunyai kewajiban untuk Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 357 | 357 1/18/2016 12:09:37 PM cara pandang pembacaan equity before the law sebagai penajaman dari equality before the law. Ketiga, untuk menjamin perlakuan affirmative bagi difabel yang menghadapi hukum, negara harus menata ulang dan bahkan merevisi ketentuan hukum acara yang tertuang dalam IV. KESIMPULAN KUHAP. Di samping itu, sembari menunggu Berdasarkan pembahasan di atas, penulis perubahan KUHAP, penegak hukum sebagai memiliki kesimpulan sebagai berikut: pelaksana wewenang negara harus mempertajam Pertama, kerugian yang sangat jelas perspektif difabilitas dalam penegakan hukum. kelihatan diterima oleh korban SW adalah fakta Salah satunya adalah menajamkan pemahaman bahwa SW tidak bisa maksimal memanfaatkan equality before the law dengan konsep equity jaminan keuntungan formil dari ketentuan Pasal before the law. 98 ayat (1) KUHAP. Pasal ini seharusnya bisa digunakan SW dalam kapasitasnya sebagai saksi korban untuk meminta ganti kerugian. Sebenarnya adanya penerjemah bisa dimaksimalkan tidak hanya sekedar sebagai penerjemah tetapi bisa DAFTAR ACUAN diposisikan juga sebagai pendamping. Sayangnya hakim tidak memberikan penerjemah selama Allingham, M. (2014). Justice as fairness, distributive persidangan. justice. New York: Routledge. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilan yang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative. Perlakuan affirmative tersebut bisa direalisasikan dengan pemberian tidak hanya penerjemah tetapi juga pendamping bagi difabel. Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi. Apalagi dalam kasus SW sebagai perempuan difabel korban perkosaan, diskriminasi yang dialaminya bisa masuk kategori multiple discrimination. Secara yuridis, proses affirmative didukung Pasal 178 ayat (1) KUHAP, Pasal 5 ayat (1) huruf d UU PSK, Pasal 5 ayat (1) huruf p UU PSK Revisi, Pasal 13 ayat (1) UU CRPD, dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. Secara filosofis, perlakuan affirmative tersebut adalah buah aplikasi dari semangat keadilan retributif yang mengajarkan pemberian perlakuan disesuaikan dengan kebutuhan atau keterbatasan khusus pencari keadilan. Alston, P., & Goodman, R. (2013). International human rights: The successors to international human rights in context (Law, politics and morals). UK: Oxford University Press. Aristotle. (1962). Nicomachean ethics. Ed. Ostwald, M. New York: Book Five. Clifford, J. (2013). “Equality”, dalam The oxford hand book of international human righst law. Ed. Shelton, D. UK: Oxford University Press. Djohansjah. (2010). Akses menuju keadilan. Yogyakarta: PUSHAM. Makalah Pelatihan Hak Asasi Manusia Untuk Jejaring Komisi Yudisial Republik Indonesia. Gerapetritis, G. (2015). Affirmative action: Policies and judicial review worldwide. New York: Springer Cham Heidelberg. Hepple, B. (2014). “Democratic participation in making and enforcing affirmative action 358 | Jurnal isi edit arnis ok.indd 358 Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015: 339 - 359 1/18/2016 12:09:37 PM schemes”, dalam Affirmative action: A view from the global south. Ed. Dupper, O., & Sankaran, K. Stellenbosch, South of Africa: AFRICAN SUN MeDIA. Jenlink, P. M., Stewart, L., & Stewart, S. (2012). Leading for democracy. A case-based approach to principal preparation. Maryland: Rowman & Littlefield Education. O’Connel, K. (2012). Firewalk: Embracing different abilities. Bloomington Indiana U.S.A.: Balboa Press. Roseberry, L. (2011). “Multiple discrimination”, dalam Age discrimination and diversity; Multiple discrimination from an age perspective. Ed. Sargeant, M. UK: Cambridge University Press. Sadurski, W. (1985). Giving desert its due; Social justice and legal theory. Dordrecht, Holland: Springer Science. Sales, B. D., Powell, D. M., & Duizend, R. V. (1982). Disabled persons and the law; State legislative issues. United States: American Bar Association’s Comission on the Mentally Disabled. Syafi’ie, M., & Purwanti. (2014). Potret difabel berhadapan dengan hukum negara. Yogyakarta: Sigab. Syafi’ie, M., et al. (2014). Pemenuhan hak atas peradilan yang fair bagi penyandang disabilitas. Yogyakarta: PUSHAM UII. Syamsuddin, M. (2007). Operasionalisasi penelitian hukum. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Taket, A. (2012). Health equity, social justice and human rights. New York: Routledge. Urgensi Proses Peradilan Afirmatif Bagi Perempuan Difabel Korban Perkosaan (Faiq Tobroni) Jurnal isi edit arnis ok.indd 359 | 359 1/18/2016 12:09:37 PM Jurnal isi edit arnis ok.indd 360 1/18/2016 12:09:37 PM INDEKS A affirmative action XV, XVI, 339, 340, 343, 344, 358 aksi afirmatif XII, 339 C kemanfaatan V, IX, 251, 253, 254, 258, 259, 263, 267, 273, 300 kepastian V, IX, XI, 251, 253, 254, 258, 259, 263, 267, 273, 300, 264, 273, 288, 294, 357, 301, 304, 311, 317, 319, 332, 333, 334, 336, 337, 352, 355 court decision XIV, XV, 307, 319, 320, 367 L D legal certainty XIII, XV, 252, 320 legal discrimination XVI, 340 difabel V, XII, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 348, 349, 350, 351, 352, 353, 354, 355, 356, 357, 358, 359 diffable XV, XVI, 339, 340, 342 diskriminasi hukum XII, 339 E ecologically sustainable development XIV, 289, 290 environmental law XIV, 290 H hubungan industrial XI, 319, 320, 321, 322, 324, 327, 328, 330, 331, 333, 334, 337 hukum lingkungan X, 289 hukum progresif V, X, XI, 289, 292, 293, 294, 299, 300, 303, 304, 305, 306, 307, 310, 311, 312, 314, 316, 317, 318 I illat X, XIV, 269, 270, 280, 281, 283, 286, 287 industrial relation XV, 319, 320 interfaith inheritance XIII, XIV, 269, 270 J joint agreement XV, 320 justice XIII, XIV, XV, XVI, 252, 264, 268, 270, 288, 292, 294, 307, 319, 320, 332, 339, 357, 358, 359 juvenile justice system XIII, 252 N natural resources XIV, 289, 290 P pembangunan berkelanjutan ekologis X, 289 pemutusan hubungan kerja V, XI, 319, 324, 326, 327, 333, 334, 335, 336 perjanjian bersama V, XI, 319, 321, 322, 323, 324, 327, 328, 330, 332, 336, 337 progressive law XIV, XV, 290, 307 purposiveness XIII, 252 putusan pengadilan III, IX, X, XI, 266, 269, 284, 293, 295, 307, 313, 314, 318, 319, 321, 324, 367, 368 S sistem peradilan anak IX, 251 sumber daya alam X, 289, 290, 298, 299 T termination of employment XV, 319, 320 W waris beda agama V, IX, X, 269, 272, 273, 275, 280, 281, 282, 283, 286, 287, 288 wasiat wajibah X, 269, 272, 275, 283, 284, 285, 286, 287 wassiyah wajibah XIV, 270 K keadilan V, IX, X, XI, XII, 251, 253, 254, 258, 259, 260, 263, 265, 266, 267, 269, 270, 272, 273, 274, 279, 283, 286, 287, 288, 290, 292, 293, 294, 295, 296, 300, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 332, 333, 334, 339, 340, 341, 344, 345, 349, 351, 353, 354, 356, 357, 369, 358, V, IX, X, XI, XII, 251, 253, 254, 258, 259, 260, 263, 265, 266, 267, 369, 270, 272, 273, 274, 279, 283, 286, 287, 288, 269, 290, 292, 293, 294, 295, 296, 300, 304, 305, 306, 307, 308, 309, 310, 311, 312, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 332, 333, 334, 339, 340, 341, 344, 345, 349, 351, 353, 354, 356, 357, 358 Jurnal isi edit arnis ok.indd 361 1/18/2016 12:09:38 PM Jurnal isi edit arnis ok.indd 362 1/18/2016 12:09:38 PM ISSN 1978-6506 Vol. 8 No. 3 Desember 2015 Hal. 251 - 359 UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI S egenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT. 1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. 2. Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum. 3. Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. 4. Dr. Niken Savitri, S.H., M.CL. 5. Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum. 6. Prof. Dr. H. Yuliandri, S.H., M.H. 7. Dr. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H. 8. Mohamad Nasir, S.H., M.H. Jurnal isi edit arnis ok.indd 363 1/18/2016 12:09:38 PM Jurnal isi edit arnis ok.indd 364 1/18/2016 12:09:38 PM BIODATA PENULIS Sulardi, lahir di Magelang 12 Juli 1965, adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Alumni Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 1989, lulus program doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2011. Saat ini mengajar mata kuliah Ilmu Negara, Hukum Tata Negara, dan Filsafat Hukum. Aktif di berbagai forum ilmiah dan menulis di berbagai media nasional dan daerah. Yohana Puspitasari Wardoyo, lahir di Blitar tanggal 11 Juli 1991. Studi S1 Ilmu Hukum diselesaikan di Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2013. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) pada tahun 2013. Lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) pada tahun 2014, di tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan S2 Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang sampai dengan sekarang. Penulis juga merupakan advokat magang di salah satu kantor advokat yang berada di kota Blitar serta merupakan tim paralegal pada Lembaga Konsultasi & Bantuan Hukum Pimpinan Daerah Aisyiyah (LKBH PDA) Kota Malang. Saat ini penulis tercatat sebagai Instruktur Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Muhamad Isna Wahyudi, lahir di Semarang, 2 Mei 1981, adalah lulusan Fakultas Syari’ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, dan Program Studi Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Keluarga, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2006. Suami dari Enki Fitriastuti dan ayah dari Sarah Hanifa Nasyauqi ini sejak 2010 bekerja sebagai hakim di lingkungan peradilan agama. Bertugas di Pengadilan Agama Kotabumi Lampung Utara sejak Juli 2010-2013, dan sejak Februari 2014 bertugas di Pengadilan Agama Badung Bali sampai sekarang. Sebagai redaktur majalah peradilan agama yang diterbitkan oleh Dirjen Peradilan Agama Mahkamah Agung RI sejak 2013 hingga sekarang. Aktif menulis artikel di beberapa jurnal dan telah memiliki dua buku, Fiqh ‘Iddah: Klasik dan Kontemporer, diterbitkan Pustaka Pesantren tahun 2009, dan Pembaruan Hukum Perdata Islam: Pendekatan dan Penerapan, diterbitkan Mandar Maju tahun 2014. Pernah menjadi pembicara dalam the 4th International Conference and Graduate Workshop on “Islamic Justice System in Classical and Modern Times: Discourses and Practices,” yang diselenggarakan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bekerja sama dengan the Faculty of Humanities Georg August University of Gottingen, Germany, di Yogyakarta, pada 28-30 Oktober 2014. Subarkah, lahir di Malang 10 Oktober 1960, adalah dosen fakultas hukum Universitas Muria Kudus (UMK). S1 dan S2 di bidang hukum diselesaikan di Universitas Diponegoro. Pernah menjabat dekan di fakultas hukum UMK tahun 2005-2009. Pada tahun 2009-2013, aktif mengikuti kegiatan pengabdian masyarakat pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BAKOBAKUM) Universitas Muria Kudus. Sekarang sedang studi program doktor di Universitas Diponegoro. Jurnal isi edit arnis ok.indd 365 1/18/2016 12:09:38 PM Muhammad Junaidi, penulis kelahiran Pati Jawa Tengah 6 September 1985, jenjang S1 diselesaikan di STAIN Kudus dengan gelar Sarjana Hukum Islam (SHI). Untuk S2 diselesaikan di Universitas Muria Kudus (UMK) dengan mendapatkan gelar Magister Hukum (MH). Dan saat ini sedang menyelesaikan studi S3 Ilmu Hukum UNISULLA. Penulis aktif sebagai dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Semarang (USM). Indi Nuroini, lahir di Surabaya 26 Oktober 1985. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya (2008). Di tahun yang sama juga menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surabaya (2008). Kemudian menyelesaikan pendidikan S2 Magister Hukum di Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya (2010). Sejak tahun 2012 penulis diangkat sebagai staf pengajar mata kuliah Hukum Hubungan Industrial di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya. Selain sebagai dosen, penulis juga merupakan seorang advokat yang dilantik pada tahun 2012 dan berkantor di kota Surabaya. Faiq Tobroni. Menyelesaikan S1 Hukum Islam UIN Yogyakarta (2008), S2 Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum HAM UII (2011), S2 Pembangunan Masyarakat UGM (2012) dan S2 Hukum Islam UIN Semarang (2014). Beberapa karya tulisnya adalah Kebebasan Hak Ijtihad Atas Nikah Beda Agama Pasca Putusan Mahakamah Konstitusi, (Jurnal Konstitusi MK RI, 2015); Rekonstruksi Kelembagaan Atas Hak Dasar Difabel yang Lumpuh di Indonesia “Mewujudkan Komisi Nasional Disabilitas Indonesia Berprinsip Institusio Nasional HAM,” (Jurnal Difabel, Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel Yogyakarta, 2015); Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat, (Jurnal Konstitusi MK RI, 2013); Mengkritisi HP-3 Perspektif Konstitusi dan Pemberdayaan Rakyat, (Jurnal Konstitusi MK RI, 2012); Kajian Atas Putusan MK Nomor 57/PHPU.D-VI/2008 dan Nomor 100/PHPU.DVIII/2010 tentang Pemilukada Bengkulu Selatan, (Jurnal Konstitusi MK RI-PK2P-FH UMY, 2011); Antara Cita-cita Konservasi dan Kerentanan Masuk Sandera Eksploitasi, (Jurnal Konstitusi MK RI, 2011); Pemilukada Sebagai Implementasi Kehidupan Demokrasi dalam Negara Hukum, (Jurnal Konstitusi MK RI-PKHK UJB Yogyakarta, 2010); Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review atas Undang-Undang Berhubungan Persoalan Agama, (Jurnal Konstitusi MK RI-UMY, 2012); Kawin Beda Agama Dalam Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia Perspektif HAM (Jurnal Al Mawarid UII, 2011); Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan Beragama-Berkeyakinan (Jurnal Konstitusi MK RI, 2010); Hukuman Mati Perbandingan Islam, HAM, KUHP, (Jurnal Unisia UII, 2010); Kesetaraan Gender: Panggilan Nurani Membebaskan “Manusia yang Dianggap Kelas Dua,” (Jurnal Musawa PSW UIN Yogyakarta, 2010). Jurnal isi edit arnis ok.indd 366 1/18/2016 12:09:38 PM PEDOMAN PENULISAN 1. Naskah merupakan hasil kajian/riset putusan pengadilan (court decision) atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). 2. Naskah yang masuk akan melalui tiga tahap penilaian yang dilakukan oleh tim penyunting dan mitra bestari. Rapat Redaksi akan menentukan diterbitkan atau tidaknya naskah dalam Jurnal Yudisial. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. 4. Pengiriman naskah disertai biodata penulis dalam bentuk narasi dengan panjang 150 s.d. 250 kata. 5. Naskah ditulis di atas kertas ukuran A4 sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan margin halaman, kiri 3 cm, atas 2 cm, kanan 2 cm, bawah 2 cm, dan jarak antar-spasi 1,5. Ditulis menggunakan huruf Times New Roman 12. Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah. 6. Sistematika penulisan naskah sebagai berikut: 1. Judul dan anak judul dalam bahasa Indonesia. 2. Judul dan anak judul dalam bahasa Inggris. 3. Nama penulis. 4. Nama lembaga/instansi. 5. Alamat lembaga/instansi. 6. Akun e-mail penulis. 7. Abstrak (150 s.d. 200 kata) dan kata kunci dalam bahasa Indonesia (3 s.d. 5 kata). 8. Abstrak dan kata kunci dalam bahasa Inggris. 9. Pendahuluan, memuat fenomena hukum (topik) yang dianggap menarik sebagai latar belakang dari putusan hakim yang akan dijadikan objek kajian dalam tulisan ini, yang kemudian diikuti dengan paparan duduk perkara, pertimbangan hukum yang selektif Jurnal isi edit arnis ok.indd 367 1/18/2016 12:09:38 PM dan problematis, identifikasi permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan tinjauan pustaka terkait konsep-konsep hukum yang relevan. Bab ini menggunakan subbab sebagai berikut: a. Latar Belakang; b. Rumusan Masalah; c. Tujuan dan Kegunaan; dan d. Studi Pustaka. 10. Metode, mencakup penjelasan bahwa penelitian ini merupakan penelitian atas putusan hakim yang dipilih secara purposif. Penulis harus menjelaskan tentang alasan mengapa putusan tersebut yang dipilih secara objek kajian, juga tentang ada tidaknya pengayaan data yang dilakukan (termasuk dokumen lain di luar putusan tersebut dan/atau data primer di luar dokumen). Apabila penulis melakukan pengayaan data di luar putusan hakim, harus dijelaskan cakupan/besaran sumber data, teknik pengumpulan data yang mencakup sumber data (primer atau sekunder), instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data. 11. Hasil dan Pembahasan, memuat lebih detail temuan-temuan problematis yang berhasil diidentifikasi oleh penulis terkait duduk perkara dan pertimbangan-pertimbangan hakim di dalam putusan tersebut, serta analisis yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah. Dalam pembahasan, tinjauan pustaka harus digunakan untuk mempertajam analisis. Pembahasan harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian pembahasan ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi tulisan. 12. Kesimpulan, mencakup penyampaian singkat dalam bentuk kalimat utuh atau dalam bentuk butir-butir jawaban rumusan masalah secara berurutan. 13. Saran (jika perlu), berisi rekomendasi akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh. Isi dari saran harus sejalan dengan pembahasan. 14. Daftar Acuan, merupakan publikasi yang digunakan sebagai referensi yang digunakan dalam penulisan tersebut. Acuan paling sedikit berjumlah sepuluh, tidak termasuk peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan/atau putusan pengadilan, dan acuan primer paling sedikit 80% dari total acuan. 7. Penulisan kutipan menggunakan model body note atau side note. Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar acuan. Jurnal isi edit arnis ok.indd 368 1/18/2016 12:09:38 PM Contoh: Satu penulis: (Grassian, 2009, hal. 45); Menurut Grassian (2009), “..........” (hal. 45). Dua penulis: (Abelson & Friquegnon, 2010, hal. 50-52). Lebih dari dua penulis: (Shidarta, Shidarta, & Susanto, 2014). Lebih dari enam penulis: (Hotstede et al., 1990, hal. 23) Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009, hal. 10). 8. enulisan daftar acuan menggunakan aturan dari Harvard-American Psycological Association P (APA) yang mengacu pada https://owl.english.purdue.edu/owl/section/2/10/. Contoh: 1). Buku Grassian, V. (2009). Moral reasoning: Ethical theory & some contemporary moral problems. New Jersey, NJ: Prentice-Hall. Shidarta, B. A., Shidarta, & Susanto, A. F. (2014). Pengembanan hukum teoretis: Refleksi atas konstelasi disiplin hukum. Bandung: Logoz. Komisi Pemberantasan Korupsi. (2009). Laporan tahunan 2009: Perjuangan melawan korupsi tak pernah berhenti. Jakarta: KPK. 2). Jurnal Melani. (2014, Agustus). Disparitas putusan terkait penafsiran pasal 2 & 3 uu pemberantasan tindak pidana korupsi. Jurnal Yudisial, 7(2), 103-116. 3). Peraturan Hukum Peraturan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 1. (2014). Seleksi calon hakim agung. Jakarta. 4). Majalah/Surat Kabar Marzuki, S. (2014, November-Desember). Pengadilan yang fair untuk keadilan. Majalah Komisi Yudisial, 11-15. 5). Internet Cornell University Library. (2009). Introduction to research. Diakses dari http://www.library. cornell.edu/resrch/intro. Jurnal isi edit arnis ok.indd 369 1/18/2016 12:09:38 PM 9. Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: [email protected]; dengan tembusan ke: [email protected]; [email protected]; dan [email protected]. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): 1. Ikhsan Azhar (085299618833); 2. Arnis (08121368480); atau 3. Yuni (085220055969). Alamat redaksi: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906189. Jurnal isi edit arnis ok.indd 370 1/18/2016 12:09:38 PM