BAB 15 PEWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH Secara umum, hingga saat ini dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Namun, tantangan yang sangat berat masih akan dihadapi oleh seluruh masyarakat Indonesia di dalam mempertahankan proses demokratisasi yang sudah berjalan tersebut secara berkelanjutan. Masih belianya usia demokrasi yang ditandai dengan belum kukuhnya struktur kelembagaan demokrasi, masih lemahnya pelaksanaan proses politik yang demokratis, serta masih lemahnya penerapan budaya politik merupakan potensi yang justru dapat menghalangi dan mengganggu perjalananan proses demokratisasi ke depan. Di samping itu, berbagai kelemahan yang ada itu dapat dimanfaatkan oleh kekuatan kelompok yang tidak menginginkan demokrasi berjalan di Indonesia dengan memperlihatkan berbagai kerentanan dan kelemahan demokrasi yang terjadi di Indonesia. I. Permasalahan yang Dihadapi Perkembangan demokrasi di tanah air menunjukkan bahwa pada tingkat masyarakat, antusiasme berpolitik melalui organisasi partai politik cukup tinggi walaupun masih tetap terlihat adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi. Hal itu ditandai dengan masih kuatnya budaya kekerasan dan meluasnya praktik-praktik politik uang, terutama dalam pemilihan pimpinan elite politik. Di samping itu, peran masyarakat madani di dalam menyuarakan kepentingan masyarakat masih belum optimal. Permasalahan utama adalah belum cukup besarnya kapasitas kelas menengah yang dibutuhkan bagi pembangunan masyarakat madani (civil society), baik dari segi ekonomi maupun dari segi pendidikan. Pada tingkat negara, tampak ada konsensus yang cukup tinggi untuk terus membenahi dan memberdayakan lembaga-lembaga penting demokrasi pada semua tingkat meskipun tetap menghadapi hambatan berupa masih longgarnya nilai-nilai kepatuhan pada peraturan perundangan dan lemahnya tradisi dalam berdemokrasi. Berbagai kelemahan ini justru yang mengakibatkan tidak berfungsinya secara optimal fungsi dan peran lembaga politik yang ada. Berkenaan dengan hubungan kelembagaan pusat dan daerah, permasalahan yang ada adalah bahwa pelaksanaan otonomi daerah menghadapi kendala yang diakibatkan oleh distorsi dan inkonsistensi peraturan perundangan serta masih belum dapat menghilangkan dampak buruk sentralisasi kekuasaan. Permasalahan lain yang dihadapi dalam menjaga momentum demokrasi tersebut adalah belum adanya kesepakatan mengenai pentingnya konstitusi yang demokratis. Proses amandemen UUD 1945 yang sudah berlangsung empat tahap masih menyisakan berbagai persoalan ketidaksempurnaan dalam hal filosofi maupun substansi konstitusional, terutama dalam kaitannya dengan pelembagaan dan penerapan nilai-nilai demokrasi secara luas. Hal itu terlihat, antara lain, dengan adanya perkembangan politik yang menunjukkan belum optimalnya hubungan antara lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Konsolidasi demokrasi mensyaratkan pentingnya persatuan nasional. Stabilitas sosial politik sangat diperlukan untuk menjaga 15 - 2 konsolidasi demokrasi. Persatuan nasional perlu didasarkan aspek keanekaragaman, desentralisasi dan keadilan sosial. Namun, perkembangan politik sampai saat ini menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan politik yang berpotensi mengganggu persatuan nasional seperti masalah federalisme, masalah hubungan negara dan agama, dan seterusnya. Permasalahan politik lain adalah belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dan tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara. Permasalahan ini berpotensi mengganggu stabilitas sosial politik yang sangat diperlukan dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah diantisipasi akan berpotensi mengganggu stabilitas politik di daerah. Mobilisasi massa melalui penggunaan politik uang (money politics) akan menjadi faktor pemicu konflik di dalam pelaksanaan Pilkada. Dalam konteks persatuan dan kesatuan, pelaksanaan Pilkada yang jujur, aman, dan adil adalah sasaran utama yang akan dicapai dalam proses demokratisasi. Permasalahan lain dalam menjaga momentum konsolidasi demokrasi adalah belum terlembaganya kebebasan pers/media massa di dalam masyarakat. Akses masyarakat ke informasi yang bebas dan terbuka dalam banyak hal akan lebih memudahkan kontrol pemenuhan kepentingan publik. Peran media massa seringkali menjadi penting dalam proses menemukan dan mencegah penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Kebijakan komunikasi dan informasi nasional juga belum optimal, karena intervensi kebijakannya terlalu besar dalam diseminasi informasi, seperti kebijakan sensor yang berlebihan dan informasi sepihak yang berakibat pada kontraproduktif dalam masyarakat. Berdasarkan hasil pengkajian akademik, pelaksanan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masih dirasa belum cukup memberikan perlindungan bagi pers itu sendiri, khususnya bagi wartawan dan masyarakat. Walaupun sudah berada di tangan insan pers sendiri, kemerdekaan pers itu belum dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, masih ada ketentuan peraturan perundangan di bidang pers yang tidak implementatif, yang dapat menyebabkan penafsiran beragam, bahkan dimungkinkan menimbulkan masalah dalam pelaksanaan kebebasan pers. 15 - 3 II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai Langkah kebijakan di dalam menjaga proses konsolidasi demokrasi, antara lain, adalah penyempurnaan dan penguatan struktur politik dan peraturan perundangan, tata kelembagaan, dan hubungan antarlembaga negara sebagai dasar bagi konsolidasi demokrasi selanjutnya. Hal penting di dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah penguatan fondasi demokrasi melalui penerapan nilai-nilai demokrasi terhadap lembaga politik sehingga diharapkan dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Terkait dengan pelaksanaan kebijakan ini, berbagai upaya sedang dan terus dilakukan, antara lain, dengan melaksanakan pembangunan kapasitas (capacity building) bagi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah pemilihan umum langsung pada tahun 2004, Pemerintah telah memfasilitasi pelaksanaan kegiatan orientasi atau pendidikan dan pelatihan pembekalan 11.735 orang anggota DPRD. Muatan materi pembangunan kapasitas DPRD tersebut adalah konsep politik dalam negeri, wawasan kebangsaan, pemerintahan umum, dan otonomi daerah, serta kedudukan, tugas, dan fungsi DPRD dalam tatanan politik pemerintahan. Dampak pembekalan ini dapat terlihat pada realitas politik penyelenggaraan pemerintahan di dalam parlemen itu sendiri. Dalam rangka mendukung peran DPRD, Pemerintah telah pula memfasilitasi pembahasan rumusan revisi PP No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Sementara itu, pada tataran lembaga eksekutif, Pemerintah telah pula merumuskan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Diharapkan dengan adanya mekanisme yang jelas, tegas, dan pasti mengenai laporan kepala daerah itu akan dapat mengefektifkan pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintah daerah yang akuntabel dan transparan. Pembangunan kapasitas lembaga-lembaga eksekutif masih dipersiapkan untuk dilakukan tidak hanya akan dibiayai dari dana pemerintah, tetapi juga mendapatkan dukungan bantuan teknis dari masyarakat internasional seperti UNDP dan USAID. 15 - 4 Upaya lain yang dilakukan untuk memperkuat lembaga politik pada tatatan infrastruktur politik adalah fasilitasi pemberian bantuan keuangan terhadap partai politik (parpol) yang memiliki kursi di lembaga perwakilan rakyat hasil Pemilihan Umum Tahun 2004. Upaya pemberian bantuan keuangan tersebut diharapkan dapat juga menghindari terjadinya praktik-praktik politik uang (money politics) oleh partai-partai politik. Lebih jauh lagi, bantuan tersebut diharapkan dapat turut mendukung terwujudnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Saat ini, telah ditetapkan PP No. 29 Tahun 2005 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol yang diharapkan dapat segera dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Upaya melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan masih terus dilakukan melalui berbagai kajian dan evaluasi, serta pelaksanaan dialog/forum untuk memperkaya materi rumusan bagi revisi UU itu. Diharapkan dengan dukungan masyarakat, revisi terhadap UU itu akan segera dilakukan. UU No. 8 Tahun 1985 memang telah ditengarai tidak lagi cukup akomodatif memberikan ruang kebebasan dan tanggung jawab kepada masyarakat sipil yang jauh lebih besar, yang kemudian telah berdampak pada belum cukup optimalnya peran masyarakat sipil di dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat secara mandiri. Terkait dengan DPD, rumusan program pembangunan kapasitas terutama bagi peningkatan peran dan fungsi serta kewenangannya saat ini, masih disusun. Melalui program penguatan kelembagaan tersebut, diharapkan peran DPD pada masa mendatang segera dapat dirasakan manfaatnya, terutama bagi masyarakat yang menitipkan aspirasinya untuk diperjuangkan melalui lembaga DPD tersebut. Peran Mahkamah Konstitusi semakin mantap. Kesadaran masyarakat mengenai keberadaan dan pentingnya peran Mahkamah Konstitusi ini sudah semakin meluas walaupun ada kekhawatiran beberapa pihak akan tumbuhnya lembaga superbody karena dengan kewenangannya dapat menyelesaikan berbagai sengketa hukum, terutama antara peraturan perundangan yang berlaku dengan konstitusi itu sendiri. Peran masyarakat untuk mengawasi penyelenggaraan Mahkamah Konstitusi menjadi faktor signifikan dalam menjaga integritas institusi itu. 15 - 5 Berkenaan dengan konstitusi, pada tataran masyarakat diskusi mengenai substansi konstitusi menjadi isu yang sangat menarik. Pada tataran suprastruktur politik, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah memfasilitasi suatu forum yang melibatkan berbagai pemilik kepentingan bangsa untuk mendiskusikan substansi dari konstitusi tersebut. Komisi Konstitusi seringkali memfasilitasi forum untuk membahas berbagai persoalan sekitar substansi pelaksanaan konstitusi. Kebijakan lain yang diterapkan adalah dengan meningkatkan komitmen semua pihak mengenai pentingnya pemberdayaan dan pelindungan hak-hak sosial politik masyarakat melalui jaminan kebebasan berekspresi serta jaminan kebebasan pers dan media. Jaminan terhadap kebebasan berekpresi masyarakat membutuhkan juga peran masyarakat sipil di luar media massa. Terhadap jaminan kebebasan pers, Pemerintah saat ini telah memfasilitasi suatu upaya untuk melakukan revisi terhadap UU tentang Pers. Sementara itu, yang berkenaan dengan jaminan kebebasan berekspresi serta pelindungan hak-hak sosial politik masyarakat serta penciptaan masyarakat informasi menuju good governance, Pemerintah saat ini sedang menyusun piranti lunak dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Informasi Publik, RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), RUU tentang Cybercrime, serta melaksanakan sosialisasi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengurangi kesenjangan digital (digital devide) di masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan literasi media informasi, dan program One School One Computer’s Laboratory (OSOL). Di samping itu, dalam rangka memberikan pelayanan informasi sebagai wujud nyata untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak sosial politik masyarakat, telah disusun pula Standar Kompetensi Sumber Daya Manusia Teknologi Informasi yang dilakukan setelah melalui berbagai diskusi dengan TKTI, Asosiasi di Bidang ICT dan Lembaga Pemerintah Terkait (Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Pusat Statistik, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara). Kompetensi pengguna diharapkan dapat dijadikan instrumen dalam menyiapkan SDM yang memiliki kemampuan 15 - 6 standar dalam pelaksanaan pekerjaan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Terkait dengan peningkatan pelayanan Pemerintah, upaya lain yang dilakukan adalah melaksanakan sosialisasi dan implementasi pengembangan e-government. Pelaksanaan program ini merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-government sebagai pewujudan niat Pemerintah menuju good governance dengan penerapan e-government di seluruh lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah. Lebih jauh dapat disampaikan bahwa pelaksanaan instruksi ini merupakan juga prasyarat bagi Indonesia agar tetap menjadi bagian dari komunitas internasional, yang telah menetapkan pemanfaatan secara optimal teknologi komunikasi dan informatika untuk mendukung kegiatan di berbagai sektor kehidupan, termasuk di pemerintahan dan kerja sama internasional seperti ASEAN, APEC, WTO, dan World Summit on Information Society (WSIS). Lebih jauh lagi, Pemerintah telah juga menyiapkan kebijakankebijakan pendukung yang merupakan operasionalisasi (policy deployment) dari Inpres No. 3 Tahun 2003. Saat ini, telah diselesaikan penyusunan enam belas kebijakan operasional dan disosialisasikan bersama Pemerintah Daerah dan swasta. Sosialisasi secara khusus juga dilaksanakan untuk pejabat dan staf KBRI/Konsulat Jenderal di wilayah Afrika dan Timur Tengah. Secara keseluruhan, sosialisasi kebijakan di bidang e-government telah diselenggarakan di 23 kota sebanyak 46 kali di instansi pusat dan daerah. Untuk mendukung implementasi kebijakan, di samping kegiatan sosialisasi, Pemerintah telah menyiapkan aplikasi e-government yang bersifat generik yang bisa diterapkan di seluruh instansi seperti aplikasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement), aplikasi Intra-Governmental Access to Shared Information System (IGASIS), aplikasi sistem pengelolaan arsip berbasis teknologi informasi (SiPATI), sistem informasi kepegawaian, serta aplikasi-aplikasi yang bersifat spesifik seperti perpajakan, bea cukai, dan lain-lain. Sebenarnya, inisiatif untuk menerapkan e-government di pemerintah daerah telah dimulai sebelum dikeluarkannya Inpres No. 3 Tahun 2003. Pemerintah melakukan pembinaan agar dicapai keseragaman arah dan 15 - 7 memanfaatkan secara optimal sumber daya nasional yang terbatas menuju sistem secara nasional. Pengembangan e-government diarahkan untuk mengikuti tahapan-tahapan yang benar dan realistik yang disesuaikan dengan kesiapan faktor-faktor kunci keberhasilan egovernment, yaitu ketersediaan infrastruktur jaringan komunikasi dan informasi, penetrasi komputer dan internet, SDM pengelola egovernment, dukungan pimpinan (e-leadership), literasi masyarakat dan dunia usaha sebagai pihak pengguna/yang menerima jasa layanan pemerintahan, peraturan perundang-undangan, dan dana. Dari penerapan e-government di daerah diperoleh hasil bahwa sebagian besar Pemda masih berada pada tahap awal implementasi egovernment, yaitu mulai memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung proses administrasi internal dan membangun situs web untuk menyampaikan informasi melalui internet tentang instansinya. Dari total 471 Pemda, 48 persen atau 226 Pemda telah memiliki situs web dan baru 198 situs yang dikelola secara aktif. Beberapa Pemda bahkan mulai menyelenggarakan layanan pemerintahan melalui internet, seperti mengunduh (download) dokumen-dokumen (perizinan, pendaftaran, dan lain-lain) yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan dunia usaha. Pemda yang dinilai cukup maju, antara lain, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Pemprov D.I. Yogyakarta, Pemprov Jawa Timur, Pemprov Sulawesi Utara, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, Pemkot Bogor, Pemkot Tarakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kebumen, Pemkab Kutai Timur, Pemkab Kutai Kartanegara, Pemkab Bantul, Pemkab Malang, dan Pemkot Surabaya. Wujud konkret yang lain dari pelaksanaan e-government adalah upaya untuk menerapkan e-procurement oleh instansi pemerintah. Hal ini penting untuk menunjukkan komitmen Pemerintah dalam menyelenggarakan proses pengadaan barang dan jasa secara transparan, akuntabel, dan adil sejalan dengan Inpres No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerja Sama dengan International Monetary Fund dan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Sistem aplikasi e-procurement dikembangkan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Sistem aplikasi e-procurement tersebut telah diuji coba dan perluasan 15 - 8 operasinya akan dilaksanakan pada tahun 2006. Selanjutnya, sistem aplikasi e-procurement akan ditawarkan secara cuma-cuma kepada seluruh instansi pusat dan daerah, serta BUMN/BUMD. Untuk mendukung implementasi e-procurement, sedang disiapkan konsep Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik (e-Pengadaan) sebagai landasan hukum penerapan e-procurement, di samping RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang saat ini sedang dalam penyelesaian di DPR. Upaya lain yang telah dilakukan dalam rangka peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi adalah pelaksanaan dialog interaktif yang melibatkan berbagai kalangan dari tokoh masyarakat, baik bidang pendidikan, agama, dunia usaha, organisasi masayarakat, maupun instansi pemerintah. Di samping itu, juga dilaksanakan kegiatan Fasilitasi Pemberdayaan Perempuan dalam upaya pengembangan kemampuan akses informasi. Kebijakan lain dalam rangka menjaga proses konsolidasi demokrasi adalah peningkatan advokasi dan sosialisasi terhadap penerapan nilai-nilai persatuan bangsa. Wujud nyata pelaksanaan kebijakan ini adalah berbagai langkah yang dilakukan pemerintah untuk mempersiapkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) agar dapat berjalan dengan aman dan damai. Persiapan pelaksanaan Pilkada ini sekaligus juga dalam konteks melaksanakan kebijakan untuk memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan kata lain, peningkatan kualitas desentralisasi dan otonomi daerah akan berhasil apabila ditunjang oleh kepala daerah yang profesional dan kompeten serta memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan perannya di dalam proses demokrasi. Kepala daerah yang profesional akan muncul apabila kepala daerah terpilih telah melalui proses pemilu yang jujur dan adil. Dari aspek hukum, dalam rangka mendukung kesuksesan Pilkada, Pemerintah telah menetapkan PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sementara itu, dari aspek sosiologis psikologis, upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dengan melaksanakan sosialisasi dan dialog interaktif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memantapkan 15 - 9 persiapan pelaksanaan Pilkada. Untuk memastikan komitmen untuk menyukseskan Pilkada, Pemerintah menetapkan Inpres No. 7 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Hubungan kerja sama yang konstruktif tidak hanya pada tataran instansi Pemerintah, tetapi juga dengan masyarakat secara menyeluruh akan memberikan dukungan yang positif terhadap keberhasilan pelaksanaan Pilkada. Untuk para kandidat pemimpin provinsi dan kabupaten/kota, telah pula diupayakan pengembangan budaya berkompetisi ”siap menang siap kalah” sebagai bentuk nyata penerapan nilai demokrasi. Sementara itu, hal teknis dalam rangka memperlancar dan mempercepat pengadaan dan pendistribusian perlengkapan Pilkada, telah ditetapkan Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Mengingat Pilkada secara langsung baru pertama kali dilakukan, Pemerintah telah pula membentuk Tim (Desk) Pilkada Pusat dengan Menteri Dalam Negeri sebagai penanggung jawab di tingkat pusat, serta Tim (Desk) Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hasil dari berbagai upaya menjaga persatuan dan kesatuan di dalam masyarakat terutama yang berkenaan dengan Pilkada, berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Pilkada yang dilakukan sejak tanggal 1 Juni 2005 sampai dengan 2 Agustus 2005 adalah bahwa Pilkada yang aman dan damai telah dilaksanakan di 170 daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 133 kabupaten, dan 30 kota. Perlu diakui bahwa peran masyarakat justru memiliki porsi yang jauh lebih besar dalam menciptakan suasana dan iklim yang aman dan damai selama masa Pilkada. Walaupun, di satu sisi masih ditemukan beberapa persoalan, seperti masih banyak warga yang tidak dapat memperoleh hak pilihnya yang disebabkan tidak terdaftarnya sebagai pemilih, dan juga beberapa bentuk protes dan unjuk rasa yang disebabkan tidak puasnya warga terhadap hasil Pilkada di wilayahnya akibat munculnya praktik politik uang. Terhadap masalah tersebut, Pemerintah mengambil kebijakan agar pihak yang tidak puas terhadap hasil Pilkada menempuh jalur hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pilkada ini mendapat dukungan anggaran APBD dan APBN senilai Rp744 miliar. 15 - 10 Terkait dengan penyelesaian persoalan-persoalan masa lalu yang dapat berpotensi mengganggu stabilitas politik dan dapat menghambat proses konsolidasi demokrasi, Pemerintah mendukung peran dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai dengan UU No. 27 Tahun 2004 untuk dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional, transparan, dan akuntabel. Saat ini lembaga KKR sedang meningkatkan pembangunan kapasitasnya untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenangnya di dalam proses politik pemerintahan. III. Tindak Lanjut yang Diperlukan Dalam konteks mempertahankan konsolidasi demokrasi, beberapa upaya tindak lanjut akan dilaksanakan, antara lain, terus melaksanakan reformasi lebih lanjut atas peraturan perundangan yang sudah ada, seperti UU Parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta terus meningkatkan pembangunan kapasitas bagi lembaga-lembaga demokrasi yang ada. Berbagai evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang bidang politik itu akan menjadi langkah signifikan untuk menentukan perjalanan reformasi bidang politik selanjutnya. Terkait dengan DPRD, Pemerintah akan memfinalisasi revisi terhadap PP No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Berkenaan dengan peningkatan kualitas desentralisasi dan otonomi daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah melakukan berbagai evaluasi dan kajian mengenai pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah untuk selanjutnya disusun rumusan desain menyeluruh (grand design) politik desentralisasi dan otonomi daerah. Hal ini penting untuk memberikan arah dan tahapan desentralisasi dan otonomi daerah agar berjalan mantap. Dalam konteks menjaga stabilitas politik dan pemerintahan dalam negeri, upaya tindak lanjut yang diperlukan adalah penanganan berbagai implikasi pasca pelaksanaan Pilkada 2005 serta upaya peningkatan persatuan dan kesatuan, termasuk pada beberapa daerah dengan dinamika politik tinggi, serta mendukung terciptanya sistem budaya politik pada tataran lokal yang semakin demokratis. Dalam 15 - 11 konteks Pilkada, pemantauan dan evaluasi akan terus dilakukan untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan negatif yang timbul yang justru akan menghambat perlaksanaan Pilkada itu sendiri. Pemantauan ini akan dilakukan pada sejumlah 4 provinsi dan 60 kabupaten/kota. Upaya memberikan dukungan dan dorongan melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985 akan terus dilakukan. Hal ini penting sebagai langkah signifikan yang dapat memberikan ruang yang jauh lebih besar bagi masyarakat sipil untuk berperan di dalam proses konsolidasi demokrasi ke depan. Berkenaan dengan upaya menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi secara bebas dan transparan serta bertanggung jawab, kegiatan tindak lanjut yang akan dilakukan adalah (1) penelitian dan pengembangan kualitas penyiaran; (2) penyusunan kebijakan di bidang sarana komunikasi dan diseminasi informasi; (3) penyusunan RPP Penyiaran; (4) penyempurnaan UU Pers; (5) penyusunan Standar Digital Penyiaran; (6) penyusunan Rencana Dasar Teknik Penyiaran; (7) penyusunan Rancangan Perpres tentang Pengembangan Publikasi Pemerintah; (8) pengkajian strategi kebijakan dan program dalam pemecahan masalah dan peningkatan kinerja di bidang komunikasi dan informasi; (9) penelitian penyelesaian restrukturisasi sektor Postel; (10) penelitian, pemerataan, dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana postel; (11) pengkajian tentang masalah komunikasi dan informatika yang dihadapi dalam interrelasi penyelenggaraan komunikasi, informatika, regulasi, iptek, lingkungan, kelembagaan, investasi, pendanaan, tarif, produksi, manajemen, dan informasi; (12) penelitian kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam mendayagunakan teknologi serta aplikasi teknologi telekomunikasi; (13) penelitian dan pengembangan tentang: (a) peran lembaga komunikasi sosial dalam masyarakat; (b) kerja sama kemitraan antara Pemerintah dengan masyarakat; (c) pengembangan kualitas, kuantitas, dan efektivitas informasi publik; (d) pemanfaatan dan pendayagunaan aplikasi telematika dalam meningkatkan kualitas layanan Pemerintah dan bisnis; (14) peningkatan akses ke masyarakat untuk memperoleh dan menikmati layanan publik di bidang komunikasi dan informasi; (15) pelaksanaan kerja sama dan kemitraan lembaga komunikasi dan informasi, Pemerintah, dan masyarakat. 15 - 12