vi. dampak guncangan eksternal terhadap

advertisement
69
VI. DAMPAK GUNCANGAN EKSTERNAL TERHADAP
MAKROEKONOMI INDONESIA
6.1
Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan
Eksternal
Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk menganalisis respon
dinamis setiap variabel dalam model terhadap guncangan sebesar 1 standar
deviasi pada variabel endogen lain.
6.1.1 Guncangan Penawaran (Harga Minyak Dunia)
Shock harga minyak dunia sebesar 1 standar deviasi menyebabkan harga
minyak dunia langsung meningkat sekitar 13% pada periode impact. Selanjutnya
harga minyak dunia menurun dan mencapai respon terendah pada triwulan ke-3.
Respon harga minyak dunia mencapai keseimbangan jangka panjangnya pada
triwulan ke-8 atau sekitar 2 tahun setelah guncangan, dengan level baru yang lebih
tinggi dibanding level sebelum ada guncangan. Guncangan 1 standar deviasi atas
harga minyak dunia menyebabkan harga minyak dunia lebih tinggi 10% di
keseimbangan jangka panjangnya (Gambar 22).
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 22 Respon harga minyak dunia terhadap guncangan dirinya sendiri
Bagi perekonomian domestik, ternyata guncangan harga minyak ini tidak
direspon secara signifikan. Gambar 23 menunjukkan selang kepercayaan dari IRF
masih mengandung nol artinya respon dari makroekonomi domestik tidak berbeda
nyata dari nol.
70
Respon PDB
Respon kurs riil
Respon permintaan uang riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 23 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan harga minyak
dunia
Respon suku bunga domestik sedikit berbeda dengan respon makroekonomi
domestik lainnya. IRF suku bunga domestik pada beberapa periode terlihat
signifikan terutama di triwulan pertama hingga triwulan ke-3 dimana suku bunga
domestik meningkat hingga 0,6%. Bank sentral menanggapi guncangan kenaikan
harga minyak dunia dengan tight money policy sehingga meningkatkan suku
bunga dalam rangka stabilisasi inflasi. Di jangka panjang, suku bunga domestik
lebih tinggi 0,4% dibanding tingkat sebelum ada guncangan.
Meski PDB merespon negatif atas kenaikan harga minyak dunia, namun
respon tersebut tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan hasil hubungan
contemporaneous
pada
bab
sebelumnya
disampaikan
bahwa
ada
dua
kemungkinan atas tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia
terhadap PDB, dimana ketika harga minyak dunia meningkat tidak langsung
direspon oleh PDB secara signifikan pada triwulan yang sama. Kemungkinan
71
pertama adalah PDB memerlukan lag dalam merespon perubahan harga minyak
dunia atau kemungkinan kedua yaitu memang perubahan harga minyak dunia
tidak memiliki efek pada PDB. Hasil IRF pada sub bab ini memperjelas temuan
tidak signifikannya hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia
terhadap PDB di sub bab sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa guncangan harga minyak dunia memang tidak
berdampak signifikan terhadap PDB. Kondisi ini disebabkan karena pemerintah
terus mengakomodasi kenaikan harga minyak dunia dengan menaikkan subsidi
BBM. Hal ini dilakukan agar harga BBM domestik tidak ikut mengalami
kenaikan atau setidaknya harga BBM domestik naik namun tidak sampai pada
harga keekonomiannya, sehingga masih terjangkau oleh masyarakat domestik.
0
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
-0.5
-1
-1.5
-2
% thd PDB
triliun rupiah
Realita ini ditunjukkan oleh perkembangan subsidi BBM pada Gambar 24.
-2.5
-3
2005
2006 2007
subsidi BBM
2008 2009 2010 2011
defisit APBN (sumbu kanan)
Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah
Gambar 24 Perkembangan subsidi BBM dan defisit APBN
Besaran subsidi BBM mengalami kenaikan yang sekaligus memperbesar
defisit fiskal ketika harga minyak dunia meningkat tajam pada tahun 2008 dan
2011. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005, juga direspon pemerintah
dengan kenaikan subsidi BBM. Ketika harga minyak dunia meningkat hingga
mencapai rata-rata 60 US$/barel pada tahun 2005 (dari sekitar 40 US$/barel pada
tahun 2004), subsidi juga ikut meningkat menjadi 95,6 triliun rupiah (dari sekitar
69 triliun di tahun 2004. Tambahan subsidi BBM untuk tahun 2005 dari tahun
sebelumnya sekitar 26,58 triliun rupiah.
72
Dilihat dari perkembangan penerimaan negara (Gambar 25), ternyata ada
kenaikan penerimaan negara berupa pajak, yang mengalami peningkatan
pertumbuhan dari 16,89% di tahun 2004 menjadi 23,48% di tahun 2005.
Tingginya penerimaan pajak memungkinkan pemerintah dapat membiayai
belanjanya termasuk subsidi yang lebih besar tanpa meningkatkan defisit
anggaran. Sehingga kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 relatif tidak
terlalu membebani APBN mengingat besarnya penerimaan pajak pada tahun
bersangkutan.
Selain pemerintah tetap mensubsidi harga BBM domestik atas kenaikan
harga minyak mentah dunia pada tahun 2005, pemerintah juga menaikkan harga
BBM domestik meski tidak sampai pada harga keekonomian. Akibatnya terjadi
inflasi tinggi pada tahun 2005 yaitu sekitar 17,11%. Untuk mengurangi dampak
negatif bagi perekonomian, pemerintah memberikan kompensasi bagi masyarakat
tidak mampu melalui program Bantuan Langsung Tunai (BLT), program
pemberdayaan usaha rakyat misalnya dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta
berbagai stimulus fiskal. Oleh karena itu, dampak kenaikan harga minyak dunia
yang direspon pemerintah dengan menaikkan harga BBM domestik tidak terlalu
mengkontraksi perekonomian domestik karena pemerintah melakukan ekspansi
fiskal.
900
140
800
120
700
100
600
80
500
60
400
40
300
20
200
0
100
-20
0
-40
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
penerimaan
pajak
triliun rupiah
160
triliun rupiah
1,000
pembiayaan DN
(sumbu kanan)
pembiayaan LN
neto (sumbu
kanan)
Sumber: Kemenkeu, 2012, diolah
Gambar 25 Perkembangan penerimaan pajak dan pembiayaan defisit anggaran
73
Kenaikan harga minyak dunia juga terjadi pada tahun 2008 dan 2011. Hal
ini juga direspon pemerintah dengan menaikkan subsidi yang berdampak pada
membesarnya defisit fiskal. Minyak dunia mencapai harga tertinggi pada tahun
2008 sekitar 139,96 US$/barel (dari harga tertinggi tahun 2007 sebesar 95,95
US$/barel). Agar tidak menyebabkan kontraksi perekonomian, pemerintah
menaikkan subsidi BBM domestik menjadi 139,11 triliun rupiah dari 83,79 triliun
rupiah di tahun 2007. Sehingga tambahan subsidi untuk tahun 2008 dibanding
tahun sebelumnya sekitar 55,31 triliun rupiah. Bila dibandingkan dengan
tambahan subsidi pada tahun 2005, maka tambahan subsidi pada tahun 2008
adalah sebesar dua kali lipatnya.
Penerimaan pajak di tahun 2008 yang tumbuh 34,15% tidak mampu
menutupi membengkaknya subsidi tersebut sehingga defisit fiskal meningkat dari
1,5% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun 2008. Untuk membiayai defisit fiskal
tersebut, pemerintah mengutamakan perolehan tambahan dana dari pinjaman
dalam negeri yang resikonya lebih rendah, dalam rangka menurunkan
ketergantungan pada pinjaman luar negeri.
Respon pemerintah dengan meningkatkan subsidi tetap disertai dengan
kenaikan harga BBM meski tidak sampai pada harga keekonomiannya. Akibatnya
terjadi inflasi karena peningkatan biaya produksi sehingga harga output juga ikut
meningkat. Inflasi pada tahun 2008 tercatat 11,06%, meningkat dari sekitar 6,59%
pada tahun 2007. Ketika pendapatan tetap maka terjadi penurunan daya beli
masyarakat. Hal ini menjadi disinsentif bagi produsen untuk meningkatkan output
di periode selanjutnya. Selain itu, terjadi krisis keuangan global yang bermula dari
krisis perumahan di AS serta krisis hutang di zona Euro, yang sedikit banyak
berdampak bagi perekonomian domestik pada tahun 2009 (misalnya melalui jalur
penurunan ekspor ke Amerika Serikat dan Eropa). Faktor-faktor ini berkontribusi
pada perlambatan PDB di tahun 2009 dan akhirnya berpengaruh pada turunnya
penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak. Oleh karena itu terjadi
defisit fiskal yang mencapai tingkat tertinggi sepanjang tahun 2000 yaitu sekitar
minus 2,4% terhadap PDB pada tahun 2009.
Setelah sempat melambat di tahun 2009, perekonomian mulai membaik
sehingga penerimaan negara dari pajak pada tahun 2010 ikut meningkat yaitu
74
mampu tumbuh sekitar 21,48% dibanding penerimaan pajak tahun sebelumnya.
Harga minyak pun sempat turun bahkan mencapai 44,60 US$/barel. Namun pada
tahun 2011, harga minyak dunia kembali meningkat. Pemerintah kembali
meresponnya dengan meningkatkan subsidi BBM dalam jumlah yang sangat
besar.
Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2008 yang direspon pemerintah
dengan menaikkan subsidi atas harga BBM domestik ternyata tidak dilakukan
dengan menurunkan subsidi non energi seperti subsidi pupuk, subsidi pangan dan
lainnya (Gambar 26). Subsidi non energi ikut meningkat untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi seluruh sektor tetap baik meski harga minyak dunia
meningkat. Konsekuensi dari hal ini adalah pada membesarnya subsidi yang
memperbesar defisit anggaran. Meski demikian, besaran defisit anggaran terhadap
PDB masih dalam batas wajar yaitu masih dibawah 3%. Oleh karena itu
perekonomian domestik tidak terlalu terimbas dampak kenaikan harga minyak
dunia yang negatif.
2011
2010
2009
2008
subsidi non energi
2007
subsidi BBM
2006
2005
-
50.00
100.00
150.00
200.00
triliun rupiah
Sumber: Kementrian Keuangan 2012 (diolah)
Gambar 26 Perkembangan subsidi BBM dan subsidi non energi
Wangke (2012) menemukan bahwa dampak kenaikan subsidi BBM adalah
pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Subsidi tersebut menjaga harga BBM
domestik tetap terjangkau masyarakat sehingga tidak menekan inflasi dan
akhirnya dapat menurunkan kemiskinan. Penurunan subsidi BBM dan realokasi
75
dana subsidi BBM ke sektor produktif mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2011 yang menembus angka
diatas 100 US$/barel ternyata banyak menyedot anggaran pemerintah sehingga
alokasi subsidi non energi menjadi lebih rendah dari tahun sebelumnya. Untuk
membiayai defisit anggaran utamanya pada tahun 2008 dan 2011, pemerintah
memperoleh pinjaman dari dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama,
pemerintah memperolah penerimaan dari pajak yang melonjak tinggi akibat
membaiknya perekonomian dan reformasi di bidang perpajakan dalam hal
transparansi dan akuntabilitas administrasi perpajakan.
Seiring dengan kenaikan harga minyak mentah maka sumber energi
alternatif seperti biofuel mulai diminati. Hal ini menjadi pemicu naiknya harga
produk pertanian seperti minyak sawit di pasar komoditas internasional. Indonesia
merupakan negara pengekspor produk-produk pertanian ini sehingga ikut
memperoleh keuntungan atas kenaikan harga tersebut. Pemerintah memperoleh
tambahan penerimaan dari peningkatan pajak ekspor, sehingga bisa dipergunakan
untuk membiayai impor minyak mentah dan produk-produk olahannya.
600.00
500.00
400.00
300.00
200.00
100.00
2001:1
2001:3
2002:1
2002:3
2003:1
2003:3
2004:1
2004:3
2005:1
2005:3
2006:1
2006:3
2007:1
2007:3
2008:1
2008:3
2009:1
2009:3
2010:1
2010:3
2011:1
2011:3
2012:1
0.00
minyak mentah
karet
kopi
minyak sawit
Sumber: IFS 2012 (diolah)
Keterangan: indeks harga terhadap base year 2000=100
Gambar 27 Perkembangan indeks harga minyak mentah dan indeks harga produk
pertanian
Gambar 27 menunjukkan bahwa pergerakan indeks harga karet, kopi dan
minyak sawit mengikuti pergerakan indeks harga minyak mentah dunia. Kenaikan
harga minyak dunia utamanya pada tahun 2008 dan 2011 memicu kenaikan harga
76
ekspor produk pertanian Indonesia di pasar komoditas internasional, sehingga
pendapatan pemerintah dari pajak ekspor ikut meningkat.
Meski tidak signifikan, namun efek kenaikan harga minyak dunia bagi
perekonomian Indonesia adalah negatif. Ketika pemerintah tetap menjaga harga
BBM domestik dibawah harga keekonomiannya atas kenaikan harga minyak
dunia, maka pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang dapat memperbesar
defisit anggaran dan menyebabkan postur belanja APBN menjadi tidak sehat.
Selain itu, peningkatan penerimaan dari pajak ekspor ini seharusnya bisa
dialokasikan ke belanja yang lebih produktif seandainya tidak ada kenaikan
subsidi BBM.
Dijadikannya minyak mentah sebagai salah satu komoditas spekulasi
sepertinya dapat menjawab penyebab kenaikan harga minyak dunia yang terjadi
akhir-akhir ini. Seperti ulasan di Bab 4 bahwa kenaikan harga minyak dunia pada
era 2000an ternyata tidak disebabkan oleh penawaran dan permintaan secara riil.
Temuan dalam penelitian ini bahwa dampak guncangan harga minyak dunia
ternyata tidak signifikan bagi perekonomian didukung oleh temuan Nordhaus
(2007). Nordhaus menyatakan bahwa invasi AS ke Irak tahun 2002 yang
diperkirakan akan menurunkan supply minyak dunia ternyata memang
menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Namun dampak negatif dari
kenaikan harga minyak ini pada perekonomian tidak terjadi dimana pertumbuhan
ekonomi tetap positif dengan inflasi yang moderat.
Kemungkinan
penyebab
respon
perekonomian
yang
moderat
atas
guncangan harga minyak tahun 2003 menurut Nordhaus adalah penurunan
volatilitas perekonomian secara keseluruhan. Kondisi ini disebabkan oleh tiga
alasan. Pertama, guncangan di era 2000-an lebih kecil dibanding era 1970-an
untuk dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kedua,
mekanisme transmisi harga energi terhadap output telah berubah dari negatif
menjadi netral selama 3 dekade terakhir. Ada bukti bahwa The Fed bereaksi lebih
sensitif terhadap harga energi di tahun 2000-an, lebih memperhatikan core
inflation dibanding total inflasi. Selain itu adanya ingatan tentang sejarah
tingginya inflasi dan memutuskan untuk berusaha agar tidak terulang kembali.
Ketiga, adanya faktor lain misalnya variabel lain yang mungkin memperkuat
77
dampak kontraksi atas guncangan di tahun 1970-an sedangkan di tahun 2000-an
variabel lain tersebut cenderung meminimalisir dampak negatif guncangan.
Faktor lain tersebut diantaranya adalah ekspektasi perilaku ekonomi yaitu
konsumen, pelaku bisnis dan pekerja yang memandang bahwa pergerakan harga
minyak di tahun 2000-an adalah fluktuatif dan hanya sementara dibandingkan
kenaikan harga yang sangat mengguncang di tahun 1970-an. Oleh karena itu,
rumahtangga menganggap guncangan harga minyak seperti guncangan pajak,
sehingga reaksi mereka tidak seperti reaksi pada era 1970-an. Bagi pelaku bisnis,
saat ini mereka sudah memperhitungkan perubahan harga minyak yang besar
dalam perencanaan dan investasi mereka sehingga perubahan besar dalam harga
minyak tidak merubah operasi bisnis mereka. Sedangkan pekerja dan serikat
pekerja tidak banyak menuntut kenaikan upah karena ternyata upah menjadi lebih
fleksibel dalam merespon guncangan harga minyak dunia dibanding pada era
1970-an.
Dampak guncangan harga minyak dunia yang tidak memperburuk
perekonomian juga ditemukan oleh Blanchard dan Gali (2010). Mereka
menyatakan bahwa dampak kenaikan harga minyak terhadap makroekonomi
berbeda antara era 1970-an dibandingkan era 2000-an. Ketika era 1970-an
berbagai konflik seperti perang Yom Kippur dan revolusi Iran menyebabkan
produksi atau supply minyak mentah dunia menurun dan memicu kenaikan harga
minyak mentah dunia. Dampaknya bagi perekonomian adalah terjadinya stagflasi,
yaitu inflasi tinggi disertai kontraksi perekonomian, dan tingginya pengangguran.
Sehingga guncangan harga minyak dunia pada era tersebut sangat signifikan
memiliki efek negatif bagi perekonomian. Di akhir era 1990-an, dunia juga
menghadapi guncangan harga minyak dunia dengan besar guncangan relatif sama
dengan era 1970-an namun dampaknya pada makroekonomi ternyata berbeda
dimana inflasi dan PDB di negara-negara industri ternyata relatif stabil. Blanchard
dan Gali menyatakan bahwa kredibilitas bank sentral dalam menjaga inflasi
meningkat setelah era 1970-an, sehingga mampu membatasi ekspektasi inflasi.
Purwanti (2011) menemukan bahwa guncangan harga minyak dunia justru
berpengaruh positif dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena
ada peningkatan pendapatan ekspor minyak mentah dan produk olahannya,
78
pendapatan ekspor komoditi lain yang harganya mengikuti kenaikan harga
minyak, peningkatan permintaan agregat dan pemberian subsidi bahan bakar.
Dapat disimpulkan dari uraian-uraian diatas mengenai alasan-alasan tidak
signifikannya dampak guncangan harga minyak bagi perekonomian domestik
adalah sebagai berikut:
1. Harga BBM domestik masih disubsidi atas setiap kenaikan harga minyak
dunia. Meski subsidi tersebut memperbesar defisit anggaran namun tingkat
defisit anggaran terhadap PDB masih dalam batas sehat yaitu masih dibawah
3%. Dalam pembiayaan defisit anggaran tersebut, pemerintah mengandalkan
penerimaan pajak dan pinjaman dalam negeri yang beresiko rendah serta
menurunkan pinjaman luar negeri untuk mengurangi ketergantungan dengan
asing.
2. Adanya kenaikan pendapatan pemerintah dari pajak ekspor yang mampu
membiayai pengeluaran pemerintah untuk impor minyak. Kenaikan pendapatan
ini bersumber dari kenaikan harga ekspor produk pertanian unggulan Indonesia
serta kenaikan harga ekspor batu bara dan gas alam, yang ikut meningkat
seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.
3. Ada indikasi bahwa Bank Indonesia serius menjaga stabilitas inflasi. Temuan
Nordhaus (2007) serta Blanchard dan Gali (2010), bahwa bank sentral makin
sensitif dalam menanggapi guncangan harga minyak dunia, mendukung respon
suku bunga domestik atas guncangan harga minyak dunia hasil IRF dalam
penelitian ini. Satu-satunya makroekonomi domestik yang merespon signifikan
atas guncangan ini adalah suku bunga domestik. Sedangkan bagi pelaku
ekonomi seperti rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja, kenaikan harga
minyak dunia dianggap hanya sementara dan reaksi mereka tidak berlebihan.
4. Adanya penurunan volatilitas perekonomian domestik. Analisis deskriptif pada
Bab 4 menemukan bahwa fluktuasi pertumbuhan triwulanan PDB sebelum
krisis masih dalam rentang plus minus 10%, namun rentang tersebut menjadi
makin pendek di era 2000-an yang menjadi plus minus 4%. Kondisi ini
merupakan representasi fundamental makroekonomi domestik yang bertambah
baik sehingga berbagai guncangan yang terjadi pada era 2000-an tidak sampai
mengkontraksi perekonomian.
79
Selain itu ada fenomena kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2000-an
lebih disebabkan ulah spekulasi, bukan faktor penawaran dan permintaan.
Berbagai faktor ini yang cenderung mengurangi dampak guncangan harga minyak
dunia terhadap makroekonomi Indonesia setelah tahun 2000-an meski Indonesia
sudah menjadi negara net importir minyak.
6.1.2 Guncangan Permintaan (Guncangan Suku Bunga Amerika Serikat)
Ketika ada guncangan 1 standar deviasi pada suku bunga AS (T-bill) maka
suku bunga AS langsung meningkat sekitar 0,3% pada periode impact. Respon ini
terus meningkat hingga stabil pada level jangka panjangnya setelah triwulan ke-8
yang 0,8% lebih tinggi dibanding level sebelum guncangan (Gambar 28).
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 28 Respon suku bunga AS terhadap guncangan dirinya sendiri
Guncangan eksternal ini belum direspon oleh PDB pada periode impact.
Respon PDB selanjunya atas guncangan suku bunga AS juga tidak signifikan,
begitu pula respon kurs riil dan permintaan uang riil yang tidak signifikan. Satusatunya variabel domestik yang merespon guncangan suku bunga AS dengan
signifikan adalah suku bunga domestik. Meningkatnya suku bunga AS ternyata
mampu meningkatkan suku bunga domestik secara permanen. Sesuai dengan teori
UIP, maka ketika ekspektasi inflasi sama dengan nol, maka ekspektasi depresiasi
kurs juga sama dengan nol. Oleh karena itu suku bunga domestik sama dengan
suku bunga AS. Respon terbesar suku bunga domestik terjadi pada triwulan ke-6
setelah guncangan yang hampir mencapai 1,4%. Selanjutnya keseimbangan
80
jangka panjang suku bunga domestik dicapai setelah triwulan ke-16 atau 4 tahun
setelah guncangan dengan level yang lebih tinggi 1,2% dibanding level sebelum
guncangan. Respon tersebut ditunjukkan oleh Gambar 29.
Respon PDB
Respon permintaan uang riil
Respon kurs riil
Respon suku bunga domestik
Sumber: Hasil pengolahan
Gambar 29 Respon makroekonomi domestik terhadap guncangan suku bunga AS
Respon yang ditunjukkan oleh makroekonomi domestik seperti PDB, kurs
riil dan permintaan uang riil dalam penelitian ini sama dengan temuan Siregar dan
Ward (2000) yaitu tidak signifikan.
6.2
Peran Guncangan Eksternal terhadap Fluktuasi Makroekonomi
Indonesia
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk
menganalisa peran setiap guncangan dalam menjelaskan fluktuasi setiap variabel
dalam model. Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa variabilitas harga minyak dunia
ditentukan oleh guncangannya sendiri dalam jangka pendek. Pada triwulan
pertama, 100% fluktuasi harga minyak dunia dijelaskan oleh guncangannya
sendiri dan pada triwulan kedua menjelaskan sekitar 99%. Peran guncangan harga
81
minyak dunia terhadap dirinya sendiri perlahan makin menurun, namun dalam
jangka panjang (triwulan ke-30) perannya tetap dominan sekitar 86%.
Selain itu juga ditemukan bahwa guncangan makroekonomi domestik yaitu
guncangan output, guncangan kurs riil, guncangan permintaan uang serta
guncangan kebijakan moneter domestik ternyata tidak ada yang mampu
menjelaskan variabilitas harga minyak dunia baik di jangka pendek dan jangka
panjang.
Tabel 7 Peran guncangan domestik terhadap fluktuasi variabel eksternal
Guncangan
Variabel
Harga
Minyak
Dunia
Suku
Bunga AS
Triwulan
kedepan
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
Harga
Minyak
Dunia
100
99
91
90
86
86
7
8
6
6
6
6
Suku
Bunga
AS
0
0
1
1
1
2
93
88
88
80
67
66
Output Kurs Riil
0
0
1
1
3
3
0
0
0
1
4
4
0
0
5
4
5
5
0
1
2
5
15
16
Money
Demand
0
0
1
1
1
1
0
2
3
4
5
5
Kebijakan
Moneter
Domestik
0
0
0
3
3
3
0
1
1
3
3
3
Sumber: Hasil pengolahan
Fluktuasi suku bunga AS banyak disumbang dari guncangannya sendiri di
seluruh horizon waktu. Di jangka pertama 93% fluktuasi suku bunga AS mampu
dijelaskan oleh guncangannya sendiri dan di jangka panjang perannya sekitar
66%.
Guncangan makroekonomi domestik juga tidak mampu berperan dalam
fluktuasi suku bunga AS. Temuan ini sesuai dengan penelitian sebelumnya seperti
Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004) dimana variabel ekonomi makro
domestik tidak mampu menjelaskan variabilitas indikator eksternal seperti suku
bunga AS.
Temuan penelitian ini, bahwa makroekonomi domestik tidak mampu
menjelaskan variabilitas variabel eksternal seperti harga minyak dunia dan suku
bunga AS, sesuai dengan teori small open economy. Indonesia merupakan negara
kecil terbuka yang tidak mampu memengaruhi perekonomian dunia. Meski posisi
82
Indonesia saat ini menjadi salah satu anggota G-20 pada urutan ke-17, namun
kebijakan
makroekonomi
nasional
masih
belum
mampu
memengaruhi
perekonomian dunia.
Tabel 8 Peran guncangan eksternal terhadap fluktuasi makroekonomi domestik
Variabel
PDB
Kurs Riil
Permintaan Uang
Riil
Suku Bunga
Domestik
Triwulan
kedepan
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
1
2
4
8
16
30
Guncangan Eksternal
Harga Minyak Dunia
Suku Bunga AS
0
0
0
0
1
0
1
3
1
4
0
4
0
1
0
0
1
3
2
4
2
4
2
4
0
0
0
0
3
2
3
2
2
5
2
6
0
5
2
5
4
6
3
26
4
37
5
51
Sumber: Hasil pengolahan
Guncangan eksternal yaitu guncangan harga minyak dunia tidak penting
dalam menjelaskan fluktuasi PDB di semua horizon waktu. Hal ini mendukung
temuan IRF dan hubungan contemporaneous antara harga minyak dunia terhadap
PDB di bab sebelumnya. Temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Nordhaus (2007), Blanchard dan Gali (2010) dan Purwanti (2011) bahwa
guncangan harga minyak pada era 2000an tidak menyebabkan resesi dalam
perekonomian. Selain itu, guncangan harga minyak dunia juga tidak berperan
penting dalam fluktuasi makroekonomi domestik seperti kurs riil, permintaan
uang riil dan suku bunga domestik di seluruh horizon waktu.
Guncangan eksternal berupa guncangan suku bunga AS juga ditemukan
tidak berperan penting dalam fluktuasi PDB. Temuan ini sama dengan temuan
83
Siregar dan Ward (2000) dan Supriana (2004). Bagi makroekonomi domestik
lainnya seperti kurs riil dan permintaan uang riil, ternyata guncangan suku bunga
AS juga tidak berperan banyak. Peran guncangan suku bunga AS hanya penting
bagi fluktuasi suku bunga domestik.
6.3
Implikasi Kebijakan
Temuan penelitian mengenai hubungan harga minyak dunia dan PDB
berdasarkan pengujian hubungan contemporaneous, IRF dan FEVD masingmasing adalah tidak signifikannya efek contemporaneous harga minyak dunia
terhadap PDB, respon PDB atas guncangan harga minyak dunia tidak signifikan
serta guncangan harga minyak dunia tidak mampu menjelaskan fluktuasi PDB dan
indikator makroekonomi Indonesia lainnya. Temuan tersebut saling mendukung
satu sama lain, memperkuat bukti empiris bahwa guncangan harga minyak dunia
tidak memengaruhi fluktuasi makroekonomi Indonesia. Berbagai hal yang
menjadi penyebab tidak signifikannya hubungan tersebut telah diulas pada sub
bab sebelumnya. Diantaranya terkait dengan masih disubsidinya harga BBM
domestik. Selama ini pemerintah merespon kenaikan harga minyak dunia dengan
menaikkan subsidi harga BBM domestik.
Temuan tersebut tidak menjadi dasar bagi penelitian ini untuk kemudian
merekomendasikan bahwa pemerintah terus mensubsidi harga BBM domestik atas
kenaikan harga minyak dunia dalam rangka menjaga kestabilan perekonomian
domestik. Karena meski dampaknya tidak signifikan secara statistik, namun arah
respon PDB terhadap guncangan harga minyak dunia adalah negatif. Oleh karena
itu pelaksanaan subsidi harga BBM domestik yang memperbesar defisit anggaran
harus dilakukan secara hati-hati. Bila subsidi BBM terus meningkat maka dapat
menyebabkan rasio defisit APBN terhadap PDB melebihi batas aman 3%.
Dampak guncangan harga minyak dunia bagi perekonomian Indonesia yang
awalnya negatif dan tidak signifikan berpotensi untuk berubah menjadi negatif
dan signifikan dikemudian hari.
Berdasarkan uraian diatas, subsidi harga BBM domestik sebaiknya mulai
dikurangi. Hal ini bisa dicapai dengan dua cara yaitu pertama melalui pembatasan
BBM bersubsidi dan kedua melalui peningkatan harga BBM domestik secara
bertahap hingga sesuai dengan harga keekonomiannya.
84
Cara pertama yaitu mengatur pembatasan BBM bersubsidi. Hal ini sudah
dilakukan pemerintah sejak lama dan diatur dalam Instruksi Presiden. Namun
sampai saat ini belum efektif. Kuota volume BBM bersubsidi selalu tidak dapat
dipenuhi. Oleh karena itu disarankan agar aturan pembatasan BBM bersubsidi
dibuat dalam bentuk undang-undang. Adanya undang-undang berarti memuat
sanksi tegas bagi pelanggar (orang/sektor produksi yang tidak berhak menerima
BBM bersubsidi namun mengkonsumsinya) sehingga menimbulkan efek jera bagi
pelanggar. Dengan cara ini kebijakan aturan pembatasan BBM dapat efektif
dilaksanakan dan tercapai volume BBM bersubsidi sesuai dengan kuota yang
telah ditetapkan.
Cara kedua yaitu menaikkan harga BBM secara bertahap hingga sesuai
dengan harga keekonomiannya. Selain mengeliminir tindakan spekulasi akibat
disparitas harga BBM subsidi dan BBM industri, cara ini juga tidak membebani
APBN. Dana yang tadinya untuk subsidi BBM dapat dialokasikan ke sektor
produktif seperti pembangunan infrastruktur jalan, infrastruktur energi alternatif
seperti gas, infrastruktur sarana transportasi massal seperti Mass Rapid
Transportation (MRT) yang diharapkan dapat mengurangi penggunaaan BBM
bagi kendaraan pribadi, subsidi pendidikan dan kesehatan, kompensasi bagi
masyarakat tidak mampu serta pengembangan sumber energi alternatif.
Berdasarkan hasil penelitian Wangke (2012), penurunan subsidi BBM dan
realokasi anggaran dari penghematan subsidi BBM ke sektor produktif ternyata
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan jumlah penduduk
miskin.
Temuan
penelitian
Nordhaus
(2007)
bahwa
reaksi
dan
perilaku
rumahtangga, pelaku bisnis dan pekerja atas guncangan harga minyak ikut
menentukan signifikan atau tidaknya guncangan harga minyak dunia bagi
perekonomian domestik. Oleh karena itu, dalam menyikapi guncangan harga
minyak dunia, pemerintah sebaiknya lebih mengkhawatirkan ekspektasi dan
reaksi pelaku ekonomi seperti konsumen, pelaku bisnis dan pekerja. Otoritas
moneter diharapkan tetap sensitif dalam menjaga stabilitas inflasi akibat kenaikan
harga minyak dunia serta fokus pada core inflation dibanding total inflasi.
85
Hasil penelitian ini mengenai kurang pentingnya guncangan harga minyak
dunia dan guncangan suku bunga AS bagi perekonomian Indonesia menunjukkan
bahwa fundamental makroekonomi Indonesia cukup kuat. Sehingga meski
berbagai guncangan eksternal semakin sering terjadi pada era 2000an,
perekonomian Indonesia tetap mampu bertahan dan tidak sampai terjadi resesi.
Namun guncangan suku bunga AS perlu diwaspadai karena mampu memengaruhi
fluktuasi suku bunga domestik. Kebijakan moneter domestik dapat berperan
menjadi stabilisator jika terjadi fluktuasi suku bunga domestik yang berlebihan.
Download