BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi yang berpengaruh terhadap perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang. Ciriciri individu yang normal atau sehat pada umumnya adalah mampu mengelola emosi, mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki, dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial, dapat mengenali risiko dari setiap perbuatan, dan kemampuan tersebut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya pada normanorma sosial yang diakui (Siswanto, 2007). Salah satu masalah dalam kesehatan jiwa yang paling sering ditemui kejadiannya adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan penyakit yang melemahkan tubuh dan merusak emosi sehingga bisa menimbulkan pengaruh jangka panjang pada kehidupan penderita. Banyak ahli menduga bahwa skizofrenia merupakan ekspresi terburuk dari penyakit psikis, yang meliputi perubahan berarti pada pikiran, persepsi, emosi, dan kebiasaan (Endow-Eyer dkk., 2009) Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Penyakit ini menyerang 4 sampai 7 dari 1000 orang. Menurut World Health Organization tahun 2012, Skizofrenia biasanya menyerang pasien dewasa yang berusia 15-35 tahun. Diperkirakan terdapat 50 juta penderita di dunia, 50% dari penderita tidak menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat 1 2 pengobatan tepat tersebut terjadi di negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu dari negara berkembang tersebut. Meskipun angka kejadian skizofrenia rendah namun untuk prevalensi kronisitas penyakit ini tergolong tinggi. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, sebesar 14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kasus gangguan jiwa berat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 0,4% - 0,5%. (Anonim, 2008) Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan prevalensi skizofrenia secara umum berkisar antara 0,1 % sampai 2,0 % , tergantung di daerah mana studi dilakukan. Angka insiden penyakit ini (incidence rate), dianggap lebih rendah dari angka prevalensi (prevalence rate) dan diperkirakan mendekati 1 per 10.000 orang per tahun, karena skizofrenia cenderung menjadi penyakit menahun (kronis). Salah satu penanganan skizofrenia yaitu dengan menggunakan pengobatan antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif mengobati skizofrenia (Irwan dkk., 2008). Skizofrenia diobati dengan obat antipsikotik yang tipikal dan atipikal. Antipsikotik tipikal meliputi klorpromazin, flufenazin, haloperidol, dan lain-lain, sedangkan antipsikotik atipikal meliputi klozapin, olanzapin, risperidon, dan lainlain. Peneliti memilih tempat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta dikarenakan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pemerintah yang menjadi rujukan pasien dengan penyakit gangguan jiwa di Provinsi Daerah 3 Istimewa Yogyakarta. Skizofrenia adalah salah satu penyakit gangguan jiwa yang banyak ditangani di rumah sakit tersebut dan prevalensi kejadiannya lebih tinggi dibandingkan dengan rumah sakit umum lainnya. B. 1. Perumusan Masalah Bagaimana gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang diterapi dengan antipsikotik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada tahun 2014, yang meliputi distribusi jenis kelamin, umur, diagnosis skizofrenia, status pernikahan, domisili, sistem pembayaran, cara masuk rumah sakit, riwayat obat, dan lama rawat inap? 2. Bagaimana pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada Tahun 2014? C. 1. Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang diterapi dengan antipsikotik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada tahun 2014, yang meliputi distribusi jenis kelamin, umur, diagnosis skizofrenia, status pernikahan, domisili, sistem pembayaran, cara masuk rumah sakit, riwayat obat, dan lama rawat inap. 2. Mengetahui pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada tahun 2014. 4 D. 1. Manfaat Penelitian Sebagai salah satu sumber informasi mengenai pola penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia. 2. Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian berikutnya. 3. Menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti. E. 1. Tinjauan Pustaka Penyakit Skizofrenia a. Definisi Skizofrenia adalah salah satu gangguan kejiwaan yang paling kompleks dan menantang. Skizofrenia menggambarkan sindrom heterogen yang meliputi pemikiran aneh dan tidak terorganisir, delusi, halusinasi, pengaruh yang tidak tepat, serta gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008). b. Etiologi Sampai saat ini, faktor yang menyebabkan terjadinya skizofrenia belum diketahui secara pasti dan merupakan tantangan riset bagi pengobatan kontemporer, namun ditemukan kelainan pada area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, dan basal ganglia, misalnya pelebaran sulkus, fisura, serta ventrikel lateral III dan IV, perubahan asimetris hemisphere serebri, dan gangguan densitas otak, namun tidak ada satupun yang patognomonik atau selalu ditemukan pada pasien skizofrenia (Crismon dkk., 2008). 5 Faktor genetik memberikan pengaruh terhadap terjadinya penyakit skizofrenia. Risiko terkena penyakit skizofrenia pada populasi umum berkisar antara 0,6%-1,9%, akan tetapi kemungkinan tersebut masih dapat meningkat. Jika kedua orangtuanya skizofrenia, risiko anaknya menderita penyakit skizofrenia dapat meningkat hingga 40%. Pada kembar dizigot, jika salah satu menderita skizofrenia maka kemungkinan kembarannya menderita penyakit yang sama adalah 12%-14%. Pada kembar monozigot, risiko terkena skizofrenia meningkat menjadi 48% (Crismon dkk., 2008). c. Patofisiologi Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan serotonergik. Terdapat hubungan kuat antara sistem dopaminergik dan serotonergik dimana serotonergik memodulasi fungsi dopamin sehingga penurunan aktivitas serotonin akan berhubungan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Computed Axial Tomography scans (CAT-scans) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada subtipe dari skizofrenia menggambarkan terjadinya peningkatan ukuran ventrikel, terutama pada bagian ventrikel lateral. Studi terakhir juga menyebutkan bahwa terjadi penurunan otak yang jelas dibandingkan dengan kontrol (Crismon dkk., 2008). Beberapa hipotesis atau teori mengenai patofisiologi skizofrenia: 6 1) Hipotesis dopaminergik Sejak ditemukan dopamin sebagai neurotransmiter pada tahun 1958 dan observasi mengenai obat-obat antipsikotik yang merupakan antagonis reseptor dopamin, maka muncullah hipotesis dopaminergik sebagai patofisiologi dari skizofrenia. Banyak bukti yang mendukung bahwa terjadi kerusakan reseptor dopamin pada penderita skizofrenia. Berdasarkan studi positron emission tomography (PET) tampak adanya kerusakan pada otak meliputi peningkatan metabolisme glukosa pada frontal lobe dan temporal lobe bagian kiri. Hal ini mengindikasikan adanya hiperaktivitas dopaminergik pada daerah mesolimbik dan hipoaktivitas dopaminergik pada prefrontal korteks. Dari studi di atas juga dijumpai bahwa terjadi peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien skizofrenia (Crismon dkk., 2008). Jalur dopaminergik pada otak ada empat macam. Masingmasing jalur mempunyai fungsi tersendiri. Keempat jalur tersebut adalah nigrostriatal, mesolimbik, mesokortik, dan tuberoinfendibular. Perubahan dopamin baik terlalu banyak maupun terlalu sedikit akan menimbulkan simptom skizofrenia. Hiperaktivitas dopamin pada jalur mesolimbik akan menimbulkan gejala 7 positif, namun hipoaktivitas dopamin pada jalur mesokortik akan menimbulkan gejala negatif (Crismon dkk., 2008). Tabel I. Jalur dopaminergik (Crismon dkk., 2008) No . Jalur Asal Inervasi Fungsi 1 Nigrostriatal Substansia nigra Caudate nucleus putamen Sistem ekstrapiramidal, gerakan Mesolimbik Area tregmental otak tengah Sistem limbik Memori, proses stimulus, sikap, kesadaran 3 Mesokortik Area tregmental otak tengah Lobus frontal dan prefrontal Kognisi, komunikasi, fungsi sosial, respon terhadap stres 4 Tuberoinfen dibular Hipotalamus Kelenjar pituitari Regulasi pengeluaran prolaktin 2 2) Disfungsi glutamatergik Glutamat dihipotesiskan terlibat dalam patofisiologi skizofrenia karena ketika reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat) diblok menggunakan antagonisnya yaitu ketamin dan PCP (phencyclidine), muncul efek yang mirip dengan simptom kognitif yang terkait dengan skizofrenia (Ikawati, 2011). Glutamatergik adalah salah satu sistem neurotransmitter eksitatori yang tersebar luas di otak. Jalur glutamat kortikostriatal memilik efek yang berlawanan yaitu menghambat fungsi dopaminergik dari stratum ventral yang menyebabkan 8 meningkatnya aktivitas penghambatan sistem limbik. Penurunan jalur glutamatergik berpengaruh secara langsung pada jalur dopaminergik melalui interneuron GABA (gamma-aminobutiryc acid). Defisiensi glutamatergik menyebabkan gejala yang mirip dengan hiperaktivitas dopaminergik (Crismon dkk., 2008). 3) Abnormalitas serotonin (5-HT) Pada beberapa kasus skizofrenia ditemukan terjadi peningkatan konsentrasi serotonin perifer. Reseptor serotoninergik terdapat pada akson dopaminergik dan diketahui bahwa adanya stimulasi pada reseptor tersebut akan menurunkan pelepasan dopamin. Pasien skizofrenia dengan abnormalitas otak memiliki konsentrasi 5-HT lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan membesarnya ukuran ventrikular (Crismon dkk., 2008). 4) Abnormalitas norepinefrin (NE) Pada beberapa kasus skizofrenia ditemukan terjadi peningkatan konsentrasi NE pada struktur limbik dari pasien skizofrenia paranoid kronis (Crismon dkk., 2008). d. Tipe Skizofrenia Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III, Tipe Skizofrenia dapat dibedakan menjadi 7 macam (Anonim, 1993) : 1) Skizofrenia Paranoid (F 20.0) 9 Tipe ini merupakan tipe skizofrenia yang paling sering ditemukan. Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh waham yang bersifat stabil, biasanya disertai oleh halusinasi, dan gangguan persepsi. Pada tipe paranoid: a) Halusinasi dan waham harus menonjol. b) Terdapat gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan, serta gejala katatonik yang tidak nyata. c) Terdapat halusinasi pendengaran (berupa ancaman atau perintah terhadap pasien), atau halusinasi tanpa bentuk verbal seperti bunyi peluit, mendengung, atau bunyi tawa. Terdapat pula halusinasi penciuman, atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual. d) Terdapat waham dikendalikan, dipengaruhi, atau kejar, yang paling khas adalah waham kejar. 2) Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1) Pada skizofrenia tipe ini, terdapat gangguan afektif, dorongan kehendak, dan gangguan proses pikir yang menonjol. Tipe khas dari hebefrenik adalah adanya perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud. 3) Skizofrenia Katatonik (F 20.2) Skizofrenia ini jarang ditemukan. Individu skizofrenia tipe ini, selain memenuhi kriteria diagnosis umum skizofrenia juga memiliki satu atau lebih gejala stupor atau mutisme, 10 kegelisahan, posturing, negativisme, rigiditas, waxy flexibility, atau command automatis. Fenomena ini dapat dikombinasi dengan suatu keadaan seperti bermimpi dengan halusinasi pemandangan yang jelas. 4) Skizofrenia Tak Terinci (F 20.3) Skizofrenia ini memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, residual, atau pascaskizofrenia. 5) Skizofrenia Pasca-Skizofrenia (F 20.4) Penderita skizofrenia dikategorikan tipe ini jika sudah menderita skizofrenia selama 12 bulan dan gejalanya masih ada, serta terdapat gejala-gejala depresif yang menonjol dan mengganggu, memenuhi episode depresif dan berlangsung minimal dua minggu. 6) Skizofrenia Residual (F 20.5) Suatu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresif yang jelas dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang, walaupun belum tentu irreversible. Kriteria dari tipe residual adalah a) Gejala negatif skizofrenia yang menonjol. 11 b) Adanya riwayat satu episodik psikotik yang jelas di masa lalu yang memenuhi kriteria skizofrenia. c) Paling sedikit melewati kurun waktu satu tahun, intensitas, dan frekuensi gejala yang nyata sangat berkurang dan telah menimbulkan sindrom negatif. d) Tidak terdapat dimensia, penyakit otak organik, atau depresi kronik. 7) Skizofrenia Simpleks (F 20.6) Penderita Skizofrenia tipe simpleks tidak terdapat waham dan halusinasi serta kurang nyata gejala psikotiknya jika dibandingkan dengan skizofrenia tipe lain. Simptom negatif timbul tanpa didahului oleh gejala psikotik yang nyata serta bersifat perlahan-lahan tetapi progresif. 8) Skizofrenia Lainnya (F 20.7) Termasuk skizofrenia chenesthopatic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu). 9) Skizofrenia Tak Spesifik (F 20.8) Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tipe yang telah disebutkan (Anonim, 1993). 12 e. Tanda dan Gejala Klinik Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif (Kadir dkk., 2009). 1) Gejala positif a) Delusi (berkhayal). b) Halusinasi. c) Pembicaraan yang tidak teratur dan topik melompatlompat dan tidak saling berhubungan. d) 2) Perilaku aneh dan tidak terorganisir. Gejala negatif a) Alogia (kehilangan kemampuan berpikir atau berbicara).. b) Perasaan/ emosi menjadi tumpul. c) Avoliation (kehilangan motivasi). d) Anhedonia/asosiality (kurangnya kemampuan merasakan kesenangan, mengisolasi diri dari kehidupan sosial). 3) e) Tidak mampu berkonsentrasi. f) Simptom kognitif. Gejala kognitif Mengacu pada kesulitan pasien untuk menyimpan memori dan berkonsentrasi. Gejala kognitif meliputi: a) Disorentasi pikiran. 13 b) Lambat berpikir. c) Kesulitan dalam pemahaman bahasa. d) Sukar berkonsentrasi. e) Pikun. f) Kesulitan dalam mengungkapkan pikiran. g) Kesulitan dalam mengintegrasikan pikiran dan perasaan dalam perilakunya. f. Diagnosis Sampai saat ini, belum ada pemeriksaan fisik dan uji laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis skizofrenia. Dokter biasanya hanya mendiagnosis penyakit berdasarkan gejala klinik yang muncul. 1) Kriteria diagnostik harus ada satu gejala berikut yang amat jelas: a) Thought Echo yaitu Isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda atau Thought insertion or withdrawal yaitu isi pikiran yang asing dari luar, masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu diluar dirinya (withdrawal) atau Tought broadcasting yaitu isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain mengetahui. 14 b) Waham atau Delusi (1) Delusion of control yaitu waham tentang dirinya sendiri dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu. (2) Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya sendiri dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar. (3) Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan tubuh, pikiran maupun tindakan tak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar. (4) Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar yang bermakna sangat khas dan biasanya bersifat mistik atau mukjizat. c) Halusinasi Auditorik (1) Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus terhadap perilaku pasien. (2) Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). (3) Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari satu bagian tubuh. d). Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan mustahil misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya 15 mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan makhluk lain atau dunia lain). 2) Gejala di bawah ini harus ada minimal 2 gejala secara jelas: a) Halusinasi yang menetap dari setiap panca indera baik disertai waham yang melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau ide-ide berlebihan yang terjadi setiap hari selama bermingguminggu atau berbulan-bulan secara terus menerus. b) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme. c) Perilaku katatonik (excitement) sikap seperti tubuh keadaan tertentu gaduh, gelisah (posturing) atau negativisme, mutisme dan stupor. d) Gejala-gejala negatif seperti apatis, bicara jarang serta respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau neuroleptika. 3) Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase non-psikotik prodromal). 16 4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi, menyebabkan hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial. 2. Terapi Skizofrenia Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut/ kronis. Oleh karena itu, terapi skizofrenia memerlukan waktu relatif lama yaitu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (Hawari, 2006). a. Tujuan terapi Skizofrenia Tujuan dari pengobatan skizofrenia pada fase akut adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik, sedangkan tujuan pengobatan pada fase stabilisasi adalah mengurangi risiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat (Crismon dkk., 2008) b. Obat Antipsikotik Obat-obat yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi, dan perubahan pola pikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan 17 merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional (antipsikotik tipikal), newer atypical antipsycotics (antipsikotik atipikal), dan klozapin (Baihaqi, 2007). 1) Antipsikotik Konvensional (antipsikotik tipikal) Obat antipsikotik yang paling lama penggunaanya disebut antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Antipsikotik konvensional antara lain haloperidol, klorpromazin, trifluoperazin, flufenazin (Baihaqi, 2007) Antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik klasik, terutama efektif mengatasi gejala positif. Antipsikotik tipikal bekerja dengan cara menghambat reseptor dopamin (D2) di sistem limbik, termasuk daerah ventral stratum. Akibat blokade dopaminergik di stratum tersebut menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal. Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan antipsikotik atipikal. Ada dua pengecualian (harus dengan antipsikotik konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli 18 merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipsikotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama dengan interval 2-4 minggu, ini disebut depot formulations. Dengan ini, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem ini tidak dapat digunakan pada antipsikotik atipikal (Baihaqi, 2007) 2) Newer atypical antipsycotic (antipsikotik atipikal) Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda. Antipsikotik atipikal bekerja dengan menghambat reseptor dopamin, namun relatif lebih spesifik pada D1,D4, dan D5, selain itu, lebih selektif sehingga efek ekstrapiramidal dapat diminimalisir. Beberapa contoh antipsikotik atipikal yang tersedia antara lain risperidon, quetiapin, olanzapin. Para ahli banyak merekomendasikan obatobat ini untuk menangani pasien-pasien dengan skizofrenia. (Baihaqi, 2007). 3) Klozapin Klozapin mulai dikenalkan tahun 1990, merupakan antipsikotik atipikal yang pertama. Klozapin dapat membantu ± 25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, klozapin 19 memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana pada kasus-kasus yang jarang (1%), klozapin dapat membunuh sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Para ahli merekomendasikan penggunaan klozapin bila paling sedikit dua dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil (Andri, 2009). C. Algoritma Terapi Gambar 1. Merupakan Panduan Praktik Klinis (PPK) dari RS Grhasia Yogyakarta yang telah diperbarui tahun 2014. PPK ini digunakan sebagai guideline, yang pada penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk melihat dan membandingkan ketepatan pola penggunaan antipsikotik yang diresepkan dokter jiwa Grhasia Yogyakarta. Peneliti menggunakan dua algoritma, yaitu PPK Grhasia tahun 2014 (Gambar 1.) dan algoritma penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia dari Crismon tahun 2008 (Gambar 2.). Praktik penggunaannya lebih membandingkan pola peresepan antipsikotik dari Dokter Grhasia dengan PPK Grhasia tahun 2014 karena lebih sesuai dengan kondisi pasien, sedangkan algoritma dari Crismon digunakan untuk menambahkan informasi yang kurang lengkap dari PPK Grhasia. Berdasarkan PPK Grhasia, pasien yang datang ke rumah sakit dengan keadaan gaduh gelisah atau pasien sulit diberi obat oral maka dibawa ke UGD dan diberi obat injeksi olanzapin 10mg/hari atau injeksi haloperidol 5mg/hari, setelah kondisi pasien cukup tenang dan memungkinkan diberi obat oral, maka pasien dipindah ke Unit Rawat Inap psikiatri dan diberi antipsikotik oral tunggal atipikal 20 atau tipikal, kemudian dievaluasi perbaikan klinisnya pada hari ke-3. Dosis obat tersebut ditingkatkan apabila tidak berespon, dan dievaluasi perbaikan klinisnya pada hari ke-14. Obat diganti dengan antipsikotik atipikal atau tipikal selain yang digunakan di tahap sebelumnya apabila hasil evaluasi masih belum berespon atau hanyak berespon parsial, kemudian dievaluasi perbaikan klinisnya lagi pada hari ke-28. Obat diganti dengan klozapin (25-600)mg/hari, apabila masih belum berespon dosis dapat ditingkatkan atau bisa juga mulai dipertimbangkan terapi elektrokonvulsi 2-3 kali per minggu. Dosis penggunaan obat yang diresepkan dokter juga dibandingkan dengan dosis anjuran. Tabel II. menunjukkan macammacam antipsikotik dan dosis anjuran penggunaan perhari menurut Panduan Praktik Klinis Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta tahun 2014. Tabel II. Sediaan Obat Anpsikotik dan Dosis Anjuran No. Nama Generik Dosis Anjuran 1. Haloperidol 1,5-20 mg/hari 2. Trifluoperazin 15-50 mg/hari 3. Klorpromazin 50-1000 mg/hari 4. Flufenazin 12,5-25 mg/hari 5. Risperidon 2-8 mg/hari 6. Klozapin 25-600 mg/hari 7. Olanzapin 10-30 mg/hari 8. Quetiapin 50-800 mg/hari Diambil dari: Rumah Sakit Jiwa Grhasia, Panduan Praktik Klinis Departemen Psikiatri. Grhasia 2014. Yogyakarta: Rumah Sakit Jiwa Grhasia; 2014 21 Gambar 1. Algoritma Terapi Skizofrenia di Poliklinik Jiwa Dewasa Rumah Sakit Jiwa Grhasia (PPK Grhasia, 2014) 22 Gambar 2. Algoritma Terapi Skizofrenia (Crismon dkk., 2008) 3. Pola Penggunaan Obat Obat didefinisikan sebagai zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup agar dapat digunakan untuk maksud pencegahan, pengobatan, 23 penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, diagnosis, dan kontrasepsi (Anonim, 1990). Dalam suatu unit pelayanan kesehatan, tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan obat, kualitas dan ketepatan penggunaannya merupakan salah satu komponen utama yang menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Selain itu obat juga memakan porsi terbesar dalam terapi, sehingga efektivitas dan efisiensi penggunaan obat sudah sepantasnya mendapat perhatian lebih (Suryawati, 2006). Kebiasaan buruk dalam penulisan resep menyebabkan pengobatan yang tidak efektif dan tidak aman, kambuhnya penyakit dan masa penyakit memanjang, kekhawatiran membahayakan pasien, keselamatan serta pasien menyebabkan dan menimbulkan membengkaknya biaya pengobatan (de Vries dkk, 2008) Kualitas pengobatan yang baik merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter, membutuhkan ketepatan diagnosis, pemilihan obat baik yang tersedia, pemberian resep dengan dosis dan jangka waktu yang cukup, serta berdasarkan pedoman pengobatan yang berlaku Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola peresepan yaitu : a. Komunikasi, informasi, dan pengaruh industri. b. Pelaku peresepan, pengetahuan yang kurang tentang kebiasaan dan pengalaman sebelumnya c. Hubungan pelaku peresepan dengan pasien, kepercayaan, kebudayaan, dan tekanan pasien yaitu 24 d. Kelompok kerja, yaitu kebijaksanaan prosedur dan tekanan senioritas e Tempat kerja, seperti tugas terlalu banyak dan infrastruktur yang kurang mendukung. (Quick dkk, 2007). Saat ini banyak sistem pelayanan kesehatan mengembangkan dan melaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman pengobatan dalam berbagai tingkat pelayanan baik di negara maju maupun negara berkembang. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di tingkat primer, sekunder, maupun tersier, membutuhkan suatu pedoman pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, keamanan maupun cost effectiveness tindakan farmakoterapi yang diberikan. Upaya pengembangan pedoman dan penyebarluasannya ke unit-unit kesehatan saja tidak akan memberikan banyak dampak perubahan terhadap kebiasaan penggunaan obat. Pedoman pengobatan perlu dipakai dan ditaati oleh para dokter dalam pelaksanaan pelayanan, dan secara berkala dilakukan pemeriksaan (audit) dan pemantauan (monitoring) kebiasaan penggunaan obat. Hasil pemeriksaan dan pemantauan ini perlu diumpan balikkan kepada para dokter sebagai masukan yang diharapkan akan meningkatkan mutu penggunaan obat (Anonim 2000). Pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia berdasarkan pedoman pengobatan. Tahap 1 (episode pertama psikosis) diberikan antispikotik tunggal. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama untuk kondisi ini. Pasien pada episode pertama psikosis biasanya membutuhkan 25 dosis antipsikotik rendah dan harus dimonitoring kejadian efek samping obatnya. Tahap 2 (pasien skizofrenia kronis), jika pengobatan pada tahap pertama tidak berespon maka diberikan pengobatan tunggal dengan antipsikotik atipikal atau antipsikotik tipikal namun selain antipsikotik yang diberikan pada pengobatan tahap 1. Apabila pengobatan tahap 2 tidak ada respon maka diberikan klozapin sebagai pengobatan tahap 3. Klozapin memiliki efek yang besar untuk menurunkan keinginan bunuh diri sehingga merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan kecenderungan ingin bunuh diri, riwayat kekerasan dan penyalahgunaan obat. Tahap 4 diberikan terapi klozapin dikombinasi dengan antipsikotik atipikal atau antipsikotik tipikal atau dengan Electroconvulsive therapy (ECT), terapi ini diberikan apabila pengobatan tahap 3 tidak terjadi perbaikan kondisi pasien. Tahap 5 adalah terapi yang diberikan apabila terapi kombinasi tahap 4 tidak merespon, maka diberikan antipsikotik atipikal atau antipsikotik tipikal selain yang diberikan pada tahap 1 dan 2 (Crismon dkk., 2008). F. Keterangan Empiris Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien serta pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada tahun 2014.