pola penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi yang berpengaruh terhadap
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang. Ciriciri individu yang normal atau sehat pada umumnya adalah mampu mengelola
emosi, mampu mengaktualkan potensi-potensi yang dimiliki, dapat mengikuti
kebiasaan-kebiasaan sosial, dapat mengenali risiko dari setiap perbuatan, dan
kemampuan tersebut digunakan untuk menuntun tingkah lakunya pada normanorma sosial yang diakui (Siswanto, 2007).
Salah satu masalah dalam kesehatan jiwa yang paling sering ditemui
kejadiannya
adalah
skizofrenia.
Skizofrenia
merupakan
penyakit
yang
melemahkan tubuh dan merusak emosi sehingga bisa menimbulkan pengaruh
jangka panjang pada kehidupan penderita. Banyak ahli menduga bahwa
skizofrenia merupakan ekspresi terburuk dari penyakit psikis, yang meliputi
perubahan berarti pada pikiran, persepsi, emosi, dan kebiasaan (Endow-Eyer dkk.,
2009)
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang sangat berat. Penyakit ini
menyerang 4 sampai 7 dari 1000 orang. Menurut World Health Organization
tahun 2012, Skizofrenia biasanya menyerang pasien dewasa yang berusia 15-35
tahun. Diperkirakan terdapat 50 juta penderita di dunia, 50% dari penderita tidak
menerima pengobatan yang sesuai, dan 90% dari penderita yang tidak mendapat
1
2
pengobatan tepat tersebut terjadi di negara berkembang. Indonesia merupakan
salah satu dari negara berkembang tersebut. Meskipun angka kejadian skizofrenia
rendah namun untuk prevalensi kronisitas penyakit ini tergolong tinggi.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, sebesar
14,1% penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga
berat. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kasus gangguan jiwa berat di
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencapai 0,4% - 0,5%. (Anonim, 2008)
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan prevalensi skizofrenia
secara umum berkisar antara 0,1 % sampai 2,0 % , tergantung di daerah mana
studi dilakukan. Angka insiden penyakit ini (incidence rate), dianggap lebih
rendah dari angka prevalensi (prevalence rate) dan diperkirakan mendekati 1 per
10.000 orang per tahun, karena skizofrenia cenderung menjadi penyakit menahun
(kronis). Salah satu penanganan skizofrenia yaitu dengan menggunakan
pengobatan antipsikotik. Antipsikotik merupakan terapi obat-obatan pertama yang
efektif mengobati skizofrenia (Irwan dkk., 2008).
Skizofrenia diobati dengan obat antipsikotik yang tipikal dan atipikal.
Antipsikotik tipikal meliputi klorpromazin, flufenazin, haloperidol, dan lain-lain,
sedangkan antipsikotik atipikal meliputi klozapin, olanzapin, risperidon, dan lainlain.
Peneliti memilih tempat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta
dikarenakan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pemerintah yang
menjadi rujukan pasien dengan penyakit gangguan jiwa di Provinsi Daerah
3
Istimewa Yogyakarta. Skizofrenia adalah salah satu penyakit gangguan jiwa yang
banyak ditangani di rumah sakit tersebut dan prevalensi kejadiannya lebih tinggi
dibandingkan dengan rumah sakit umum lainnya.
B.
1.
Perumusan Masalah
Bagaimana gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang diterapi dengan
antipsikotik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta
pada tahun 2014, yang meliputi distribusi jenis kelamin, umur, diagnosis
skizofrenia, status pernikahan, domisili, sistem pembayaran, cara masuk
rumah sakit, riwayat obat, dan lama rawat inap?
2.
Bagaimana pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada Tahun
2014?
C.
1.
Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran karakteristik pasien skizofrenia yang diterapi dengan
antipsikotik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta
pada tahun 2014, yang meliputi distribusi jenis kelamin, umur, diagnosis
skizofrenia, status pernikahan, domisili, sistem pembayaran, cara masuk
rumah sakit, riwayat obat, dan lama rawat inap.
2.
Mengetahui pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta pada tahun
2014.
4
D.
1.
Manfaat Penelitian
Sebagai salah satu sumber informasi mengenai pola penggunaan
antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Grhasia.
2.
Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian berikutnya.
3.
Menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti.
E.
1.
Tinjauan Pustaka
Penyakit Skizofrenia
a.
Definisi
Skizofrenia adalah salah satu gangguan kejiwaan yang paling
kompleks dan menantang. Skizofrenia menggambarkan sindrom
heterogen yang meliputi pemikiran aneh dan tidak terorganisir, delusi,
halusinasi, pengaruh yang tidak tepat, serta gangguan fungsi
psikososial (Crismon dkk., 2008).
b.
Etiologi
Sampai saat ini, faktor yang menyebabkan terjadinya skizofrenia
belum diketahui secara pasti dan merupakan tantangan riset bagi
pengobatan kontemporer, namun ditemukan kelainan pada area otak
tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, dan basal ganglia,
misalnya pelebaran sulkus, fisura, serta ventrikel lateral III dan IV,
perubahan asimetris hemisphere serebri, dan gangguan densitas otak,
namun tidak ada satupun yang patognomonik atau selalu ditemukan
pada pasien skizofrenia (Crismon dkk., 2008).
5
Faktor genetik memberikan pengaruh terhadap terjadinya
penyakit skizofrenia. Risiko terkena penyakit skizofrenia pada
populasi umum berkisar antara 0,6%-1,9%, akan tetapi kemungkinan
tersebut masih dapat meningkat. Jika kedua orangtuanya skizofrenia,
risiko anaknya menderita penyakit skizofrenia dapat meningkat
hingga 40%. Pada kembar dizigot, jika salah satu menderita
skizofrenia maka kemungkinan kembarannya menderita penyakit yang
sama adalah 12%-14%. Pada kembar monozigot, risiko terkena
skizofrenia meningkat menjadi 48% (Crismon dkk., 2008).
c.
Patofisiologi
Patofisiologi skizofrenia melibatkan sistem dopaminergik dan
serotonergik. Terdapat hubungan kuat antara sistem dopaminergik dan
serotonergik dimana serotonergik memodulasi fungsi dopamin
sehingga penurunan aktivitas serotonin akan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas dopamin. Computed Axial Tomography scans
(CAT-scans) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada subtipe
dari skizofrenia menggambarkan terjadinya peningkatan ukuran
ventrikel, terutama pada bagian ventrikel lateral. Studi terakhir juga
menyebutkan bahwa terjadi penurunan otak yang jelas dibandingkan
dengan kontrol (Crismon dkk., 2008).
Beberapa hipotesis atau teori mengenai patofisiologi skizofrenia:
6
1)
Hipotesis dopaminergik
Sejak ditemukan dopamin sebagai neurotransmiter pada
tahun 1958 dan observasi mengenai obat-obat antipsikotik yang
merupakan antagonis reseptor dopamin, maka muncullah
hipotesis dopaminergik sebagai patofisiologi dari skizofrenia.
Banyak bukti yang mendukung bahwa
terjadi kerusakan
reseptor dopamin pada penderita skizofrenia. Berdasarkan studi
positron emission tomography (PET) tampak adanya kerusakan
pada otak meliputi peningkatan metabolisme glukosa pada
frontal
lobe dan temporal
lobe
bagian
kiri.
Hal
ini
mengindikasikan adanya hiperaktivitas dopaminergik pada
daerah mesolimbik dan hipoaktivitas dopaminergik pada
prefrontal korteks. Dari studi di atas juga dijumpai bahwa terjadi
peningkatan densitas reseptor D2 pada jaringan otak pasien
skizofrenia (Crismon dkk., 2008).
Jalur dopaminergik pada otak ada empat macam. Masingmasing jalur mempunyai fungsi tersendiri. Keempat jalur
tersebut adalah nigrostriatal, mesolimbik, mesokortik, dan
tuberoinfendibular.
Perubahan dopamin baik terlalu banyak maupun terlalu
sedikit akan menimbulkan simptom skizofrenia. Hiperaktivitas
dopamin pada jalur mesolimbik akan menimbulkan gejala
7
positif, namun hipoaktivitas dopamin pada jalur mesokortik
akan menimbulkan gejala negatif (Crismon dkk., 2008).
Tabel I. Jalur dopaminergik (Crismon dkk., 2008)
No
.
Jalur
Asal
Inervasi
Fungsi
1
Nigrostriatal
Substansia
nigra
Caudate
nucleus
putamen
Sistem
ekstrapiramidal,
gerakan
Mesolimbik
Area
tregmental
otak tengah
Sistem
limbik
Memori, proses
stimulus, sikap,
kesadaran
3
Mesokortik
Area
tregmental
otak tengah
Lobus
frontal dan
prefrontal
Kognisi,
komunikasi,
fungsi sosial,
respon terhadap
stres
4
Tuberoinfen
dibular
Hipotalamus
Kelenjar
pituitari
Regulasi
pengeluaran
prolaktin
2
2)
Disfungsi glutamatergik
Glutamat dihipotesiskan terlibat dalam patofisiologi
skizofrenia karena ketika reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat)
diblok menggunakan antagonisnya yaitu ketamin dan PCP
(phencyclidine), muncul efek yang mirip dengan simptom
kognitif yang terkait dengan skizofrenia (Ikawati, 2011).
Glutamatergik adalah salah satu sistem neurotransmitter
eksitatori
yang
tersebar
luas
di
otak.
Jalur
glutamat
kortikostriatal memilik efek yang berlawanan yaitu menghambat
fungsi dopaminergik dari stratum ventral yang menyebabkan
8
meningkatnya aktivitas penghambatan sistem limbik. Penurunan
jalur glutamatergik berpengaruh secara langsung pada jalur
dopaminergik melalui interneuron GABA (gamma-aminobutiryc
acid). Defisiensi glutamatergik menyebabkan gejala yang mirip
dengan hiperaktivitas dopaminergik (Crismon dkk., 2008).
3)
Abnormalitas serotonin (5-HT)
Pada beberapa kasus skizofrenia ditemukan terjadi
peningkatan
konsentrasi
serotonin
perifer.
Reseptor
serotoninergik terdapat pada akson dopaminergik dan diketahui
bahwa adanya stimulasi pada reseptor tersebut akan menurunkan
pelepasan dopamin. Pasien skizofrenia dengan abnormalitas
otak memiliki konsentrasi 5-HT lebih tinggi. Hal ini
berhubungan dengan membesarnya ukuran ventrikular (Crismon
dkk., 2008).
4)
Abnormalitas norepinefrin (NE)
Pada beberapa kasus skizofrenia ditemukan terjadi
peningkatan konsentrasi NE pada struktur limbik dari pasien
skizofrenia paranoid kronis (Crismon dkk., 2008).
d.
Tipe Skizofrenia
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, Tipe Skizofrenia dapat dibedakan menjadi 7 macam
(Anonim, 1993) :
1)
Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
9
Tipe ini merupakan tipe skizofrenia yang paling sering
ditemukan. Gambaran klinis tipe ini didominasi oleh waham
yang bersifat stabil, biasanya disertai oleh halusinasi, dan
gangguan persepsi. Pada tipe paranoid:
a)
Halusinasi dan waham harus menonjol.
b)
Terdapat gangguan afektif, dorongan kehendak, dan
pembicaraan, serta gejala katatonik yang tidak nyata.
c)
Terdapat halusinasi pendengaran (berupa ancaman atau
perintah terhadap pasien), atau halusinasi tanpa bentuk
verbal seperti bunyi peluit, mendengung, atau bunyi tawa.
Terdapat pula halusinasi penciuman, atau pengecapan
rasa, atau bersifat seksual.
d)
Terdapat waham dikendalikan, dipengaruhi, atau kejar,
yang paling khas adalah waham kejar.
2)
Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)
Pada skizofrenia tipe ini, terdapat gangguan afektif,
dorongan kehendak, dan gangguan proses pikir yang menonjol.
Tipe khas dari hebefrenik adalah adanya perilaku tanpa tujuan
dan tanpa maksud.
3)
Skizofrenia Katatonik (F 20.2)
Skizofrenia ini jarang ditemukan. Individu skizofrenia tipe
ini, selain memenuhi kriteria diagnosis umum skizofrenia juga
memiliki satu atau lebih gejala stupor atau mutisme,
10
kegelisahan, posturing, negativisme, rigiditas, waxy flexibility,
atau command automatis. Fenomena ini dapat dikombinasi
dengan suatu keadaan seperti bermimpi dengan halusinasi
pemandangan yang jelas.
4)
Skizofrenia Tak Terinci (F 20.3)
Skizofrenia ini memenuhi kriteria diagnostik untuk
skizofrenia tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia
paranoid, hebefrenik, katatonik, residual, atau pascaskizofrenia.
5)
Skizofrenia Pasca-Skizofrenia (F 20.4)
Penderita skizofrenia dikategorikan tipe ini jika sudah
menderita skizofrenia selama 12 bulan dan gejalanya masih ada,
serta terdapat gejala-gejala depresif yang menonjol dan
mengganggu, memenuhi episode depresif dan berlangsung
minimal dua minggu.
6)
Skizofrenia Residual (F 20.5)
Suatu
stadium
kronis
dalam
perkembangan
suatu
gangguan skizofrenik dimana telah terjadi progresif yang jelas
dari stadium awal ke stadium lebih lanjut yang ditandai secara
khas oleh gejala-gejala negatif jangka panjang, walaupun belum
tentu irreversible.
Kriteria dari tipe residual adalah
a)
Gejala negatif skizofrenia yang menonjol.
11
b)
Adanya riwayat satu episodik psikotik yang jelas di masa
lalu yang memenuhi kriteria skizofrenia.
c)
Paling sedikit melewati kurun waktu satu tahun, intensitas,
dan frekuensi gejala yang nyata sangat berkurang dan
telah menimbulkan sindrom negatif.
d)
Tidak terdapat dimensia, penyakit otak organik, atau
depresi kronik.
7)
Skizofrenia Simpleks (F 20.6)
Penderita Skizofrenia tipe simpleks tidak terdapat waham
dan halusinasi serta kurang nyata gejala psikotiknya jika
dibandingkan dengan skizofrenia tipe lain. Simptom negatif
timbul tanpa didahului oleh gejala psikotik yang nyata serta
bersifat perlahan-lahan tetapi progresif.
8)
Skizofrenia Lainnya (F 20.7)
Termasuk skizofrenia chenesthopatic (terdapat suatu
perasaan yang tidak nyaman, tidak sehat pada bagian tubuh
tertentu).
9)
Skizofrenia Tak Spesifik (F 20.8)
Merupakan
tipe
skizofrenia
yang
tidak
dapat
diklasifikasikan ke dalam tipe yang telah disebutkan (Anonim,
1993).
12
e.
Tanda dan Gejala Klinik
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi dalam tiga
kelompok, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif
(Kadir dkk., 2009).
1)
Gejala positif
a)
Delusi (berkhayal).
b)
Halusinasi.
c)
Pembicaraan yang tidak teratur dan topik melompatlompat dan tidak saling berhubungan.
d)
2)
Perilaku aneh dan tidak terorganisir.
Gejala negatif
a)
Alogia (kehilangan kemampuan berpikir atau berbicara)..
b)
Perasaan/ emosi menjadi tumpul.
c)
Avoliation (kehilangan motivasi).
d)
Anhedonia/asosiality (kurangnya kemampuan merasakan
kesenangan, mengisolasi diri dari kehidupan sosial).
3)
e)
Tidak mampu berkonsentrasi.
f)
Simptom kognitif.
Gejala kognitif
Mengacu pada kesulitan pasien untuk menyimpan memori
dan berkonsentrasi.
Gejala kognitif meliputi:
a)
Disorentasi pikiran.
13
b)
Lambat berpikir.
c)
Kesulitan dalam pemahaman bahasa.
d)
Sukar berkonsentrasi.
e)
Pikun.
f)
Kesulitan dalam mengungkapkan pikiran.
g)
Kesulitan dalam mengintegrasikan pikiran dan perasaan
dalam perilakunya.
f.
Diagnosis
Sampai saat ini, belum ada pemeriksaan fisik dan uji
laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis skizofrenia.
Dokter biasanya hanya mendiagnosis penyakit berdasarkan gejala
klinik yang muncul.
1)
Kriteria diagnostik harus ada satu gejala berikut yang amat jelas:
a)
Thought Echo yaitu Isi pikiran dirinya sendiri yang
berulang atau bergema dalam kepalanya dan isi pikiran
ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitas berbeda
atau Thought insertion or withdrawal yaitu isi pikiran
yang asing dari luar, masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
diluar dirinya (withdrawal) atau Tought broadcasting
yaitu isi pikiran tersiar keluar sehingga orang lain
mengetahui.
14
b)
Waham atau Delusi
(1)
Delusion of control yaitu waham tentang dirinya
sendiri dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu.
(2)
Delusion of influen yaitu waham tentang dirinya
sendiri dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari
luar.
(3)
Delusion of passivity yaitu waham tentang gerakan
tubuh, pikiran maupun tindakan tak berdaya
terhadap suatu kekuatan dari luar.
(4)
Delusion of perception yaitu pengalaman indrawi
yang tidak wajar yang bermakna sangat khas dan
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c)
Halusinasi Auditorik
(1)
Suara halusinasi yang berkomentar terus menerus
terhadap perilaku pasien.
(2)
Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara).
(3)
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari satu
bagian tubuh.
d).
Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan mustahil misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
15
mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
makhluk lain atau dunia lain).
2)
Gejala di bawah ini harus ada minimal 2 gejala secara jelas:
a)
Halusinasi yang menetap dari setiap panca indera baik
disertai waham yang melayang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas atau ide-ide
berlebihan yang terjadi setiap hari selama bermingguminggu atau berbulan-bulan secara terus menerus.
b)
Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan
tidak relevan atau neologisme.
c)
Perilaku
katatonik
(excitement)
sikap
seperti
tubuh
keadaan
tertentu
gaduh,
gelisah
(posturing)
atau
negativisme, mutisme dan stupor.
d)
Gejala-gejala negatif seperti apatis, bicara jarang serta
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau neuroleptika.
3)
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung
selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase non-psikotik prodromal).
16
4)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku
pribadi, menyebabkan hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan
penarikan diri secara sosial.
2.
Terapi Skizofrenia
Gangguan jiwa skizofrenia adalah salah satu penyakit yang
cenderung berlanjut/ kronis. Oleh karena itu, terapi skizofrenia memerlukan
waktu relatif lama yaitu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hal ini
dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (Hawari, 2006).
a.
Tujuan terapi Skizofrenia
Tujuan dari pengobatan skizofrenia pada fase akut adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik, sedangkan tujuan
pengobatan
pada
fase
stabilisasi
adalah
mengurangi
risiko
kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan
dalam masyarakat (Crismon dkk., 2008)
b.
Obat Antipsikotik
Obat-obat yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi, dan
perubahan pola pikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin
dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat
atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien.
Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan
17
merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati
skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu antipsikotik konvensional (antipsikotik tipikal), newer
atypical antipsycotics (antipsikotik atipikal), dan klozapin (Baihaqi,
2007).
1)
Antipsikotik Konvensional (antipsikotik tipikal)
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaanya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius.
Antipsikotik konvensional antara lain haloperidol, klorpromazin,
trifluoperazin, flufenazin (Baihaqi, 2007)
Antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik klasik,
terutama efektif mengatasi gejala positif. Antipsikotik tipikal
bekerja dengan cara menghambat reseptor dopamin (D2) di
sistem limbik, termasuk daerah ventral stratum. Akibat blokade
dopaminergik di stratum tersebut menyebabkan efek samping
gejala ekstrapiramidal. Akibat berbagai efek samping yang
dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli
lebih merekomendasikan penggunaan antipsikotik atipikal. Ada
dua pengecualian (harus dengan antipsikotik konvensional).
Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan
(kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional
tanpa efek samping
yang berarti.
Biasanya
para
ahli
18
merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipsikotik
konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum
pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam
jangka waktu yang lama dengan interval 2-4 minggu, ini disebut
depot formulations. Dengan ini, obat dapat disimpan terlebih
dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan.
Sistem ini tidak dapat digunakan pada antipsikotik atipikal
(Baihaqi, 2007)
2)
Newer atypical antipsycotic (antipsikotik atipikal)
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal
karena prinsip kerjanya berbeda. Antipsikotik atipikal bekerja
dengan menghambat reseptor dopamin, namun relatif lebih
spesifik pada D1,D4, dan D5, selain itu, lebih selektif sehingga
efek ekstrapiramidal dapat diminimalisir. Beberapa contoh
antipsikotik atipikal yang tersedia antara lain risperidon,
quetiapin, olanzapin. Para ahli banyak merekomendasikan obatobat ini untuk menangani pasien-pasien dengan skizofrenia.
(Baihaqi, 2007).
3)
Klozapin
Klozapin mulai dikenalkan tahun 1990, merupakan
antipsikotik atipikal yang pertama. Klozapin dapat membantu ±
25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan
antipsikotik
konvensional.
Sangat
disayangkan,
klozapin
19
memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana
pada kasus-kasus yang jarang (1%), klozapin dapat membunuh
sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Para ahli
merekomendasikan penggunaan klozapin bila paling sedikit dua
dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil (Andri,
2009).
C.
Algoritma Terapi
Gambar 1. Merupakan Panduan Praktik Klinis (PPK) dari RS Grhasia
Yogyakarta yang telah diperbarui tahun 2014. PPK ini digunakan sebagai
guideline, yang pada penelitian ini digunakan sebagai acuan untuk melihat dan
membandingkan ketepatan pola penggunaan antipsikotik yang diresepkan dokter
jiwa Grhasia Yogyakarta. Peneliti menggunakan dua algoritma, yaitu PPK
Grhasia tahun 2014 (Gambar 1.) dan algoritma penggunaan antipsikotik pada
pasien skizofrenia dari Crismon tahun 2008 (Gambar 2.). Praktik penggunaannya
lebih membandingkan pola peresepan antipsikotik dari Dokter Grhasia dengan
PPK Grhasia tahun 2014 karena lebih sesuai dengan kondisi pasien, sedangkan
algoritma dari Crismon digunakan untuk menambahkan informasi yang kurang
lengkap dari PPK Grhasia.
Berdasarkan PPK Grhasia, pasien yang datang ke rumah sakit dengan
keadaan gaduh gelisah atau pasien sulit diberi obat oral maka dibawa ke UGD dan
diberi obat injeksi olanzapin 10mg/hari atau injeksi haloperidol 5mg/hari, setelah
kondisi pasien cukup tenang dan memungkinkan diberi obat oral, maka pasien
dipindah ke Unit Rawat Inap psikiatri dan diberi antipsikotik oral tunggal atipikal
20
atau tipikal, kemudian dievaluasi perbaikan klinisnya pada hari ke-3. Dosis obat
tersebut ditingkatkan apabila tidak berespon, dan dievaluasi perbaikan klinisnya
pada hari ke-14. Obat diganti dengan antipsikotik atipikal atau tipikal selain yang
digunakan di tahap sebelumnya apabila hasil evaluasi masih belum berespon atau
hanyak berespon parsial, kemudian dievaluasi perbaikan klinisnya lagi pada hari
ke-28. Obat diganti dengan klozapin (25-600)mg/hari, apabila masih belum
berespon dosis dapat ditingkatkan atau bisa juga mulai dipertimbangkan terapi
elektrokonvulsi 2-3 kali per minggu. Dosis penggunaan obat yang diresepkan
dokter juga dibandingkan dengan dosis anjuran. Tabel II. menunjukkan macammacam antipsikotik dan dosis anjuran penggunaan perhari menurut Panduan
Praktik Klinis Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta tahun 2014.
Tabel II. Sediaan Obat Anpsikotik dan Dosis Anjuran
No.
Nama Generik
Dosis Anjuran
1.
Haloperidol
1,5-20 mg/hari
2.
Trifluoperazin
15-50 mg/hari
3.
Klorpromazin
50-1000 mg/hari
4.
Flufenazin
12,5-25 mg/hari
5.
Risperidon
2-8 mg/hari
6.
Klozapin
25-600 mg/hari
7.
Olanzapin
10-30 mg/hari
8.
Quetiapin
50-800 mg/hari
Diambil dari: Rumah Sakit Jiwa Grhasia, Panduan Praktik Klinis Departemen Psikiatri. Grhasia
2014. Yogyakarta: Rumah Sakit Jiwa Grhasia; 2014
21
Gambar 1. Algoritma Terapi Skizofrenia di Poliklinik Jiwa Dewasa Rumah Sakit Jiwa
Grhasia (PPK Grhasia, 2014)
22
Gambar 2. Algoritma Terapi Skizofrenia (Crismon dkk., 2008)
3.
Pola Penggunaan Obat
Obat didefinisikan sebagai zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup agar dapat digunakan untuk maksud pencegahan, pengobatan,
23
penyembuhan,
pemulihan,
peningkatan
kesehatan,
diagnosis,
dan
kontrasepsi (Anonim, 1990).
Dalam suatu unit pelayanan kesehatan, tidak dapat dipungkiri bahwa
ketersediaan obat, kualitas dan ketepatan penggunaannya merupakan salah
satu komponen utama yang menentukan kualitas pelayanan kesehatan.
Selain itu obat juga memakan porsi terbesar dalam terapi, sehingga
efektivitas dan efisiensi penggunaan obat sudah sepantasnya mendapat
perhatian lebih (Suryawati, 2006).
Kebiasaan buruk dalam penulisan resep menyebabkan pengobatan
yang tidak efektif dan tidak aman, kambuhnya penyakit dan masa penyakit
memanjang,
kekhawatiran
membahayakan
pasien,
keselamatan
serta
pasien
menyebabkan
dan
menimbulkan
membengkaknya
biaya
pengobatan (de Vries dkk, 2008)
Kualitas pengobatan yang baik merupakan suatu proses ilmiah yang
dilakukan oleh dokter, membutuhkan ketepatan diagnosis, pemilihan obat
baik yang tersedia, pemberian resep dengan dosis dan jangka waktu yang
cukup, serta berdasarkan pedoman pengobatan yang berlaku
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola peresepan yaitu :
a.
Komunikasi, informasi, dan pengaruh industri.
b.
Pelaku peresepan, pengetahuan yang kurang tentang
kebiasaan dan pengalaman sebelumnya
c.
Hubungan
pelaku
peresepan
dengan
pasien,
kepercayaan, kebudayaan, dan tekanan pasien
yaitu
24
d.
Kelompok kerja, yaitu kebijaksanaan prosedur dan
tekanan senioritas
e
Tempat
kerja,
seperti
tugas
terlalu
banyak
dan
infrastruktur yang kurang mendukung. (Quick dkk, 2007).
Saat ini banyak sistem pelayanan kesehatan mengembangkan dan
melaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman pengobatan dalam
berbagai tingkat pelayanan baik di negara maju maupun negara
berkembang. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di tingkat primer,
sekunder, maupun tersier, membutuhkan suatu pedoman pengobatan yang
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, keamanan maupun cost
effectiveness tindakan farmakoterapi yang diberikan. Upaya pengembangan
pedoman dan penyebarluasannya ke unit-unit kesehatan saja tidak akan
memberikan banyak dampak perubahan terhadap kebiasaan penggunaan
obat. Pedoman pengobatan perlu dipakai dan ditaati oleh para dokter dalam
pelaksanaan pelayanan, dan secara berkala dilakukan pemeriksaan (audit)
dan
pemantauan
(monitoring)
kebiasaan
penggunaan
obat.
Hasil
pemeriksaan dan pemantauan ini perlu diumpan balikkan kepada para
dokter sebagai masukan yang diharapkan akan meningkatkan mutu
penggunaan obat (Anonim 2000).
Pola penggunaan antipsikotik untuk pasien skizofrenia berdasarkan
pedoman pengobatan. Tahap 1 (episode pertama psikosis) diberikan
antispikotik tunggal. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama untuk
kondisi ini. Pasien pada episode pertama psikosis biasanya membutuhkan
25
dosis antipsikotik rendah dan harus dimonitoring kejadian efek samping
obatnya. Tahap 2 (pasien skizofrenia kronis), jika pengobatan pada tahap
pertama tidak berespon maka diberikan pengobatan tunggal dengan
antipsikotik atipikal atau antipsikotik tipikal namun selain antipsikotik yang
diberikan pada pengobatan tahap 1. Apabila pengobatan tahap 2 tidak ada
respon maka diberikan klozapin sebagai pengobatan tahap 3. Klozapin
memiliki efek yang besar untuk menurunkan keinginan bunuh diri sehingga
merupakan pilihan pertama untuk pasien dengan kecenderungan ingin
bunuh diri, riwayat kekerasan dan penyalahgunaan obat. Tahap 4 diberikan
terapi klozapin dikombinasi dengan antipsikotik atipikal atau antipsikotik
tipikal atau dengan Electroconvulsive therapy (ECT), terapi ini diberikan
apabila pengobatan tahap 3 tidak terjadi perbaikan kondisi pasien. Tahap 5
adalah terapi yang diberikan apabila terapi kombinasi tahap 4 tidak
merespon, maka diberikan antipsikotik atipikal atau antipsikotik tipikal
selain yang diberikan pada tahap 1 dan 2 (Crismon dkk., 2008).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang dilakukan untuk
mengetahui gambaran karakteristik pasien serta pola penggunaan antipsikotik
untuk pasien skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia
Yogyakarta pada tahun 2014.
Download