MENGEJAR BAKTERI

advertisement
ILMU&TEKNOLOGI 1IN0DO0NES%IA
KAMIS, 10 NOVEMBER 2011
A12
FOTO-FOTO: DOK. PRIBADI
Z OM OUT
Cari Antibiotik,
Ilmuwan Beralih
ke Alam
WWW.VISUALPHOTOS.COM
akteri penyebab penyakit
semakin kebal terhadap
antibiotik. Pengembangan
obat-obatan harus kembali beralih pada alam. Temuan antibiotik penisilin oleh Alexander
Flemming pada 1928 menjadi
penawar ampuh bagi infeksi
yang menyerang umat manusia.
Hingga 1970, ahli biologi beranggapan penyakit yang disebabkan oleh infeksi sudah bisa
dicoret dari sejarah manusia.
Kenyataan yang terjadi kemudian menunjukkan banyak penyakit infeksi baru bermunculan, seperti pneumonia, AIDS,
dan SARS. Sementara itu, penyakit infeksi lama juga kembali muncul pada masyarakat.
“Antibiotik yang ditemukan sebelumnya belum mampu menanggulangi penyakit infeksi,”
ujar Jan Verhoef, peneliti mikrobiologi dari Utrecht University, saat berpidato pada Konferensi Internasional Eijkman, Selasa lalu.
Selama puluhan tahun, bakteri memodifikasi diri agar lebih
kebal terhadap antibiotik. Salah
satu enzim yang berperan dalam peningkatan kekebalan ini
adalah beta-lactamase, yang
dapat dengan mudah dipindahkan dari bakteri ke bakteri lain.
Di sisi lain, penyebaran enzim kebal antibiotik ini menjadi
lebih mudah bersamaan dengan meluasnya kegiatan peternakan di seluruh dunia. Hasil
produksi peternakan juga menyebar lebih cepat ke penduduk
sehingga beta-lactamase berpindah cepat ke bakteri penyebab infeksi pada manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir, ahli mikrobiologi berupaya menemukan antibiotik baru
untuk mengatasi infeksi. Pengembangan antibiotik dilakukan dengan rekayasa ekstrak
kimia. Sayangnya, upaya serius
ini berujung kegagalan.
Pengembangan antibiotik kini
beralih pada bahan-bahan yang
ditemukan alami di alam. Namun pencarian ini tak mudah.
Banyak antibiotik alam yang
ampuh menangkis infeksi tapi
bersifat racun bagi manusia.
Akibatnya, antibiotik baru ini tidak bisa ditemukan.
Menurut Jan, penemuan antibiotik alam masih sangat terbuka. Saat ini ilmuwan baru bisa
menemukan 1 persen dari keanekaragaman hayati yang ada
di alam. Jika pencatatan ini diperluas, antibiotik alam semakin dekat untuk ditemukan.
B
● ANTON WILLIAM
Yosmina Helena
Tapilatu, peneliti
mikrobiologi kelautan LIPI, meraih
penghargaan
L’Oreal-UNESCO
Indonesia National
Fellowship for
Women in Science
2011 kategori Life
Sciences.
MENGEJAR BAKTERI
DI KEDALAMAN
LAUT BANDA
Polimer karbohidrat
dari bakteri laut
dalam dapat digunakan untuk industri kosmetik, farmasi, pangan,
dan bioremediasi.
JAKARTA — Yosmina Helena Tapilatu
menyendok air dari gelasnya. Air
pada ujung sendok makan itu hanya
sedikit, tak sampai separuhnya.“Dalam 1 mililiter air laut. kira-kira sebanyak ini, ada 1 juta sel bakteri
yang berguna untuk berbagai hal,”
kata peneliti mikrobiologi kelautan
dari Unit Pelaksana Teknis Balai
Konservasi Biota Laut (UPT BKBL)
Ambon di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia itu akhir bulan lalu.
Melimpahnya bakteri dalam air
laut itulah yang menggugah Yosmina meneliti mikroorganisme tersebut.“Bakteri itu makhluk yang menarik bagi saya,”ujarnya.“Tidak banyak peneliti yang menekuni mikrobiologi laut di Indonesia, padahal
potensinya sangat besar.”
Ketika menempuh pendidikan
untuk meraih gelar doktor dari Universite Aix-Marseille II, Prancis, perempuan kelahiran Ternate itu ber-
hasil mengisolasi bakteri dari kedalaman Laut Mediterania, yang sanggup mengurai hidrokarbon dan
menghasilkan senyawa yang memiliki khasiat, seperti jojoba.
Jojoba adalah minyak lilin yang
diekstrak dari biji jojoba, semak
yang banyak tumbuh di California
dan Meksiko. Minyak jojoba ini banyak digunakan sebagai bahan kosmetik dan pelembap kulit.“Senyawa
dari bakteri tersebut dapat dimanfaatkan sebagai alternatif jojoba
yang mahal,”katanya.
Kembali ke Indonesia, Yosmina
tertarik untuk lebih menekuni penelitian eksploratif.
Apalagi belum ada
satu pun penelitian
tentang bakteri laut
dalam di Maluku,
bahkan di perairan
Indonesia.“Itu yang
buat saya tertarik
melakukan eksplorasi bakteri peng- MIKROBIOLOGI
hasil eksopolisakarida (EPS) di perairan laut dalam
Maluku,”kata putri dosen teologi di
salah satu universitas swasta di Ambon itu.
Perburuan bakteri EPS dari perairan laut dalam Maluku ini membuat Yosmina terpilih sebagai salah
satu dari tiga pemenang L’Oreal-
UNESCO Indonesia National Fellowship for Women in Science 2011
kategori Life Sciences. Hasil penelitian Yosmina diharapkan mampu
membuka peluang baru bagi pemanfaatan polisakarida bakteri laut
dalam tropis pada berbagai aplikasi
industri di Indonesia.
Bakteri laut dalam yang diburu
Yosmina bukan sembarang bakteri.
Dia mencari bakteri yang menghasilkan polimer karbohidrat khusus
itu sebagai strategi untuk bertahan
hidup di habitatnya terhadap perubahan drastis beberapa parameter
fisika-kimia lingkungan, seperti suhu, salinitas, dan ketersediaan nutrien. EPS, polimer dengan berat molekuler tinggi, sering digunakan dalam industri kosmetik, farmasi, pangan, dan bioremediasi.
Pada kebanyakan sel mikroorganisme laut, EPS berbentuk seperti
selaput pelindung. Sebagian besar
polimer yang dihasilkan bakteri laut
merupakan
heteropolisakarida,
yang terdiri atas tiga atau empat
monosakarida yang berbeda. Polimer alamiah ini merupakan bagian
terbesar dari reservoir karbon di laut.
Dalam beberapa tahun belakangan, permintaan akan polimer alamiah untuk aplikasi dalam industri
kosmetik, farmasi, pangan, dan bio-
remediasi meningkat.
Konsekuensinya, intensitas kajian terhadap mikroorganisme penghasil polisakarida juga ikut meningkat, terutama menyangkut isolasi dan identifikasi polisakarida mikrobial baru,
yang berpotensi digunakan sebagai
agen pembuat gel, pengemulsi, dan
stabilisator. Dibanding mikroorganisme daratan, yang pemanfaatannya secara intensif sudah berlangsung selama beberapa dekade, mikroba yang berasal dari ekosistem laut relatif belum dieksplorasi secara
maksimal.
“Mikroorganisme laut selama ini
cenderung diabaikan dalam penelitian yang dilakukan untuk mengeksplorasi sumber-sumber polisakarida,”kata Yosmina.“Padahal dibandingkan dengan EPS dari tumbuhan dan organisme laut lainnya, EPS
mikroorganisme laut lebih unggul
karena memiliki struktur kimia dengan karakteristik fisika-kimia
yang beraneka ragam, serta lebih
ekonomis dan berlimpah.
Selain memiliki keanekaragaman
tinggi, metode pengulturan mikroorganisme laut relatif lebih mudah,
cepat, dan dapat dilakukan secara
berkesinambungan tanpa batasan
lokasi serta iklim setempat. “Potensinya sangat besar untuk dikembangkan dalam skala industri,”ujarnya.
Yosmina berharap dapat mengkaji keberadaan bakteri laut penghasil
polisakarida yang terdapat di perairan laut dalam Maluku, khususnya
Laut Banda. Dia sengaja memilih
Laut Banda, yang memiliki kedalaman lebih dari 5.000 meter.
“Dari lingkungan ekstrem seperti
itu, kami berpotensi menyeleksi galur-galur baru bakteri laut tropis
dengan tingkat keanekaragaman
yang tinggi, yang mampu menghasilkan berbagai jenis EPS sebagai
Download