PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Susu merupakan hasil

advertisement
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Susu merupakan hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang
dapat dimakan atau digunakan sebagai bahan makanan yang aman, sehat tanpa
dikurangi komponennya atau ditambah bahan lain. Komponen-komponen penting
dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa serta enzim-enzim
dan beberapa mikroba (Anonim, 1998). Susu sebagai salah satu sumber protein
hewani, menurut data Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP),
Departemen Pertanian menunjukkan bahwa produksi susu nasional hanya
memenuhi 25 % kebutuhan nasional (Rachman, 2008). Kondisi produksi susu
segar Indonesia saat ini, sebagian besar (91%) dihasilkan oleh usaha rakyat
dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak (Daryanto, 2007).
Penurunan produksi susu sebagian besar disebabkan oleh mastitis. Radang
ambing (mastitis) hampir selalu merupakan radang infeksi, berlangsung secara
akut, subakut, maupun kronis dan ditandai dengan kenaikan jumlah sel radang
dalam susu, perubahan fisik maupun susunan kimiawi susu, serta perubahan
patologis atas kelenjarnya sendiri (Soebronto, 2003). Mastitis dibagi menjadi dua
macam yaitu klinis dan subklinis. Mastitis subklinis terjadi apabila gejala-gejala
klinis radang tidak dapat ditemukan pada waktu pemeriksaan ambing. Adanya
bakteri di dalam ambing tanpa diikuti perubahan fisis ambing dan susunya
dikatakan sebagai infeksi laten. Bakteri penyebab mastitis subklinis antara lain
Streptococcus agalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus zooepidermicus umumnya menjadi penyebab utama radang
1 2 ambing. Staphylococcal mastitis adalah kasus yang sering ditemukan pada ternak
perah. Kasus mastitis akibat infeksi S. aureus di suatu kandang kadang-kadang
mencapai 35% (Soebronto, 2003). Dalam diagnosis mastitis, Staphylococci dibagi
menjadi Staphylococcus koagulase positif dan Staphylococcus koagulase negatif.
Staphylococcus aureus yang merupakan patogen utama mastitis, umumnya adalah
koagulase positif meskipun beberapa spesies adalah koagulase negatif (Fox dkk.,
2005).
Patogenesitas S. aureus dalam mengakibatkan mastitis dan penurunan
kualitas susu sangat dipengaruhi oleh adanya protein permukaan sel bakteri yang
berperan dalam mekanisme adesi maupun menghindar dari respon imun hospes.
Salah satu protein terbanyak yang ditemukan pada permukaan sel S. aureus adalah
protein A. Protein A memiliki peranan dalam mekanisme patogenesis munculnya
mastitis antara lain sebagai protein adesi dan kolonisasi, perusakan sel hospes, dan
sebagai faktor antifagositosis sehingga mampu menurunkan sistem imun hospes
(Carlton dan Charles, 1983; Cox dkk., 1986; Tizard, 1988; Teranishi dkk., 1988
disitasi oleh Suarsana, 2002; ).
Mekanisme antifagositosis protein A dilakukan dengan mengikat reseptor
Fc dari semua subkelas imunoglobulin G (IgG) kecuali IgG3 (manusia); IgG1
(mencit); IgG1, IgG2a dan IgG2b (tikus); juga tidak berikatan dengan IgY ayam
(Boyle dkk., 1985; Harlow dan Lane, 1988; Takeuchi dkk., 1990). Mekanisme
pengikatan reseptor Fc ini berperan penting dan efektif dalam mencegah antibodi
berikatan dengan sel respon imun yang lain (O’seaghdha dkk., 2006). Umumnya
terdapat sekitar 80.000 tempat mengikat imunoglobulin untuk setiap sel S. aureus
3 (Mims, 1982; Cheung dkk.,1987). Protein A juga dapat berikatan dengan reseptor
Fc pada leukosit polimorfonuklear (PMN) sehingga opsonin tidak dapat melekat
dan proses fagositosis dihambat (Cunningham dkk., 1996). Protein A S. aureus
disandi oleh gen spa yang terbagi menjadi dua macam yaitu spa-IgG dan spa-X
region. Gen spa-IgG merupakan gen penyandi protein A yang mampu berikatan
dengan immunoglobulin G (IgG) sedangkan gen spa-X region merupakan gen
yang selalu ditemukan pada semua strain S. aureus dan menunjukkan variasi
tandem repeats sekitar 24 bp dalam jumlah bervariasi (2-16 kali) pada daerah
conserve genom S. aureus (Atkins dkk., 2008; Mehndiratta dkk., 2009). Adanya
delesi dan tandem repeat pada gen spa mengakibatkan munculnya sifat
polimorfisme gen spa yang ternyata mampu mempengaruhi patogenesitas S.
aureus. Tingginya jumlah tandem repeat pada gen spa ternyata mampu
meningkatkan patogenesitas S. aureus dan tampak pada strain-strain S. aureus
yang menimbulkan kasus epidemik (Montesinos dkk., 2002)
Penelitian mengenai deteksi dan analisis gen spa S. aureus dari susu sapi
perah telah banyak dilakukan di dunia termasuk di Indonesia, namun demikian
hanya sedikit yang menghubungkannya dengan deteksi keberadaan protein A
menggunakan uji sederhana dan juga terhadap respon antifogositosis oleh sel
PMN yang ditimbulkannya. Keberadaan gen spa yang menyandi protein A akan
mengikat reseptor Fc dari IgG sehingga mengakibatkan disorientasi IgG. Adanya
disorientasi IgG akan mendorong S. aureus dapat melakukan adesi pada sel
hospes dan menimbulkan keradangan.
4 Sedikitnya jumlah penelitian yang menghubungkan deteksi dan analisis
gen spa dengan pengujian keberadaan protein A dengan metode sederhana
menggunakan serum soft agar (SSA), juga terhadap respon antifagositosis yang
ditimbulkan mendorong dilakukannya penelitian ini. Deteksi keberadaan gen spa
dilakukan dengan menggunakan metode polymerase chain reaction (PCR)
terhadap isolat S. aureus dari kabupaten Boyolali, Pacitan dan Ponorogo. Hasil
PCR selanjutnya disekuensing untuk memastikan kebenaran gen spa hasil PCR.
Respon antifagositosis dilihat melalui uji kapasitas fagositosis dengan
mereaksikan S. aureus dengan sel PMN yang diperoleh dari buffy coat darah sapi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat disusun
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apakah metode sederhana pengujian keberadaan protein A dengan serum
soft agar (SSA) memberikan hasil yang memiliki kesesuaian dengan
deteksi gen spa S. aureus secara PCR?
2.
Apakah terdapat hubungan antara keberadaan gen spa S. aureus terhadap
respon antifagositosis oleh sel polimorfonuklear?
3.
Apakah terdapat hubungan antara jumlah tandem repeat di dalam gen spa
hasil sekuensing dengan respon antifagositosis yang ditimbulkannya?
4.
Apakah terdapat hubungan kekerabatan antara isolat S. aureus dari
kabupaten Boyolali, Pacitan dan Ponorogo berdasarkan analisis hasil
sekuensing gen spa hasil PCR?
5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. menemukan kesesuaian antara hasil pengujian keberadaan protein A
secara sederhana dengan serum soft agar (SSA) terhadap deteksi gen spa
secara PCR.
2. mendeteksi keberadaan gen spa isolat S. aureus asal susu sapi perah dan
membuktikan adanya hubungan keberadaan gen tersebut terhadap respon
antifagositosis oleh sel PMN.
3. membuktikan adanya hubungan antara jumlah tandem repeat di dalam gen
spa hasil sekuensing dengan respon antifagositosis dan patogenesitas yang
ditimbulkan.
4. menentukan keragaman genetik gen spa isolat S. aureus asal susu di
kabupaten Boyolali, Pacitan dan Ponorogo berdasarkan sekuensing gen
spa hasil PCR.
Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terdeteksinya gen spa S.
aureus dan membuktikan adanya hubungan antara keberadaan gen tersebut
terhadap mekanisme antifagositosis oleh sel PMN dan status keradangan ambing
yang terjadi. Berdasarkan hasil tersebut, pada nantinya diharapkan dapat
membantu proses pembuatan kit diagnostik protein A S. aureus untuk
menentukan status Staphylococcal mastitis secara cepat. Adanya hubungan antara
6 keberadaan gen spa dengan mekanisme antifagositosis oleh sel PMN juga
berpeluang dalam pembuatan vaksin protein A non-toksigenik untuk pengendalian
mastitis subklinis akibat S. aureus. Pembuktian adanya hubungan yang nyata
antara pengujian protein A secara sederhana dengan serum soft agar (SSA)
terhadap deteksi gen spa secara PCR, diharapkan pada nantinya dapat
mempermudah uji deteksi protein A yaitu menggunakan SSA yang cukup
representatif. Adanya keragaman genetik dan hubungan kekerabatan S. aureus
antara isolat Boyolali, Pacitan dan Ponorogo berdasarkan hasil sekuensing gen
spa yang
terbukti,
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
mengenai
kemungkinan adanya variasi gen dan hubungan klonal antar isolat sehingga dapat
dijadikan dasar strategi pengendalian mastitis subklinis.
Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Staphylococcal protein A (SpA) dalam mekanisme
patogenesisnya terhadap sistem immun hospes telah banyak diteliti di dunia
maupun di Indonesia. Penelitian di dunia salah satunya dilakukan oleh Atkins
dkk. (2008) yang meneliti mengenai kemampuan SpA dalam menginvasi sistem
immun hospes yang dibandingkan dengan Sbi pada IgG beragam hospes.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa SpA dalam membentuk ikatan kompleks
dengan fragmen Fc IgG, dimediasi oleh perlekatan SpA pada reseptor Fab sel-B
terlebih dahulu. Sbi merupakan protein kedua pengikat IgG yang dimiliki oleh
Staphylococcus aureus yang mampu mengikat fragmen Fc IgG tanpa dimediasi
oleh perlekatan fragmen Fab sel-B terlebih dahulu. Penelitian ini menunjukkan
7 bahwa SpA dan Sbi mampu berikatan dengan IgG pada beragam hospes tanpa
spesifisitas hospes tertentu. Hasil penelitian menunjukkan Sbi mampu
menimbulkan implikasi klinis yang lebih signifikan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode pengukuran SPR bindingimmunoglobulin dengan perangkat Autolab ESPRIT.
Uji fagositosis S. aureus oleh sel neutrofil salah satunya dilakukan
Suwanpanya dkk. (2007) yang melihat rata-rata angka fagositosis dari sel bakteri
yang terfagogitosis oleh 200 sel neutrofil. Penelitian tersebut membandingkan
kelompok perlakuan yang diberi tambahan vitamin E pada ransumnnya,
menunjukkan jumlah sel neutrofil yang lebih tinggi dan juga angka fagositosis S.
aureus yang meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Kajian mengenai faktor virulensi S. aureus terhadap fagositosis tidak
dibahas dalam penelitian tersebut.
Khusnan dan Salasia (2006) juga telah melakukan penelitian mengenai
respon neutrofil terhadap S. aureus yang dihubungkan dengan kajian
hidrofobisitas in vitro. Penelitian tersebut mereaksikan buffy coat yang
mengandung sel neutrofil dengan 10 isolat S. aureus yang berasal dari susu sapi
perah untuk mengetahui kapasitas fagositosis. Indeks fagositosis neutrofil
ditentukan dengan menghitung jumlah bakteri yang difagositosis oleh 50 sel
neutrofil pada setiap preparat apusnya. Kajian respon neutrofil terhadap
keberadaan protein A secara uji fenotipe dan genotipe tidak dilakukan dalam
penelitian ini.
8 Wahyuni (2012) juga telah meneliti karakter fenotipe S. aureus yang
berasal dari susu kambing Peranakan Ettawah (PE) terhadap respon fagositosis
oleh sel PMN dan menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan di antara
karakter fenotipe terhadap respon fagositosis PMN. Salah satu karakter fenotipe
yang dilihat adalah keberadaan protein A dengan metode sederhana serum soft
agar (SSA), aktivitas hemaglutinasi dan uji hidrofobisitas, sementara kajian
genotipe keberadaan protein A tidak dilakukan dalam penelitian ini.
Penelitian mengenai deteksi gen spa juga telah banyak dilakukan di dunia
dan di Indonesia. Karahan (2011) melakukan penelitian mengenai deteksi gen
spa-IgG dan spa-X region dari S. aureus isolat susu sapi dengan mastitis subklinis
di Turki. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 92 isolat S. aureus
yang kesemuanya merupakan S. aureus koagulase positif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa semua isolat S. aureus koagulase positif menunjukkan gen
spa-IgG dan spa-X region. Deteksi gen toksin S. aureus dari susu sapi yang
terbukti mastitis juga dilakukan oleh Akineden dkk. (2001) yang dilakukan di
Jerman. Penelitian tersebut mendeteksi gen toksin S. aureus diantaranya gen
koagulase, clumping factor, Staphylococcal enterotoxin (SEA, SEC, SED, SEG,
SEI dan SEJ), TSST-1, spa-IgG dan spa-X region menggunakan metode PCR.
Deteksi gen-gen toksin ini juga dibandingkan dengan ekspresinya secara fenotipe.
Ekspresi toksin secara fenotipe diteliti menggunakan metode. Deteksi gen spaIgG dan spa-X region S. aureus juga telah diteliti oleh Aziz (2013) dari susu segar
di Baturraden dengan metode PCR. Penelitian tersebut berhasil mendeteksi S.
aureus secara langsung dari susu segar dengan ekstraksi DNA dan analisis gen
9 23S rRNA menggunakan PCR, sementara isolasi dan identifikasi S. aureus secara
konvensional tetap dilakukan. Sebanyak 17 isolat S. aureus yang ditemukan
menunjukkan 100% keberadaan gen spa-IgG dan spa-X region, namun belum
diteliti hubungan keberadaan gen spa-IgG dan spa-X region ini dengan peran
protein A pada aktivitas antifagositosis yang terjadi.
Penelitian mengenai sifat polimorfisme gen spa S. aureus juga telah
banyak dilakukan di dunia. Afrough dkk. (2013) meneliti tentang sifat
polimorfisme gen spa dan coa dari isolat S. aureus asal manusia menunjukkan
adanya lima tipe ukuran pita yang berbeda untuk gen spa dan enam tipe ukuran
pita yang berbeda untuk gen coa melalui PCR. Musa dkk. (2009) juga
menemukan adanya polimorfisme gen spa untuk isolat S. aureus asal abses pada
domba dan menunjukkan adanya dua tipe ukuran pita yang berbeda pada uji PCR
yaitu 100 bp dan 300 bp. Kedua penelitian tersebut hanya menunjukkan sifat
polimorfisme gen spa yang terjadi melalui PCR, tanpa disertai analisa tandem
repeat untuk gen spa hasil sekuensing. Ciftci dkk. (2009) meneliti sifat
polimorfisme gen spa S. aureus yang berasal dari kasus mastitis kambing
sekaligus melakukan analisa tandem repeat gen spa menggunakan dua metode
yaitu PCR dan pulsed-field gel electrophoresis (PFGE). Penelitian ini
menghasilkan 19 tipe yang berbeda untuk gen spa dari 47 isolat S. aureus melalui
uji PFGE. Penelitian mengenai deteksi gen spa S. aureus isolat susu sapi perah di
kabupaten Boyolali, Pacitan dan Ponorogo serta hubungannya dengan respon
antifagositosis oleh sel PMN belum pernah dilaporkan. Tabel keaslian penelitian
10 yang menggambarkan perbedaan dan persamaan penelitian dengan sebagian
referensi penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Daftar persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan referensi
penelitian sebelumnya.
No.
1.
Peneliti/ tahun/ judul
Suwanpanya dkk./ 2007/ The
influence of bovine neutrophils on
in vitro phagocytosis and killing of
Staphylococcus aureus in heifers
supplemented with selenium and
vitamin E
Persamaan
Metode uji
fagositosis in
vitro yang
digunakan;
Perbedaan
Kajian mengenai
faktor virulensi S.
aureus terhadap
fagositosis tidak
diteliti
2.
Atkins dkk. / 2008/ S. aureus IgGbinding proteins SpA and Sbi: host
specificity and mechanisms of
immune complex formation
Meneliti
adanya ikatan
protein A
dengan Fc IgG
Metode pengukuran
SPR bindingimmunoglobulin
dengan perangkat
Autolab ESPRIT;
Adanya perbandingan
dengan Sbi; tidak
dilakukan uji fagosit
3.
Karahan dkk./ 2011/ Investigation
of virulence genes by PCR in
Stapylococcus aureus isolates
originated from subclinical bovine
mastitis in Turkey
Deteksi gen
spa dari S.
aureus isolat
susu sapi
dengan
mastitis
subklinis
Lokasi sampel; primer
gen spa yang
digunakan; tidak
dilakukan penelitian
mengenai karakterisasi
fenotipe protein A;
desain primer gen spa
4.
Ciftci dkk./ 2009/ Molecular typing
of Staphylococcus aureus strains
from ovine mastitis by pulse-field
gel electrophoresis (PFGE) and
PCR based on coagulase and
protein A gene polymorphisms
Deteksi gen
spa, analisa
polimorfisme
gen spa
berdasarkan
tandem repeat
Isolat susu mastitis
kambing; multipleks
PCR; metode PFGE;
desain primer gen spa;
karakterisasi fenotipe
protein A tidak
dilakukan
Download