11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN

advertisement
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang ungkapan larangan ini menggunakan beberapa pustaka
atau hasil penelitian terdahulu yang terkait sebagai acuan. Beberapa pustaka atau
hasil penelitian yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Frazer (1955) yang penelitiannya telah banyak diacu menggunakan
berbagai bahasa yang umumnya tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia
sebagai sumber data untuk membahas masalah tabu. Secara garis besar, Frazer
membagi tabu menjadi (1) tabu tindakan, (2) tabu orang, (3) tabu benda/hal, dan
(4) tabu kata-kata. Di samping itu, juga digolongkan tabu kata-kata menjadi (1)
tabu nama orang tua, (2) tabu nama kerabat, (3) tabu nama orang yang meninggal,
(4) tabu nama orang dan binatang, (5) tabu nama Tuhan, dan (6) tabu kata-kata
tertentu. Pendapat Frazer tentang tabu memberikan inspirasi kepada peneliti
tentang larangan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan larangan secara prinsip
berkaitan dengan tabu. Demikian selanjutnya, pembagian tabu oleh Frazer ini
diacu dalam penelitian ini.
Mbete (1996) menggunakan bahasa Sumba Dialek Kambera sebagai objek
penelitiannya. Menurutnya, bahasa Sumba Dialek Kambera sebagai budaya,
mencerminkan pula nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penuturnya. Hal ini
dapat ditunjukkan pada seperangkat kata yang ditabukan oleh masyarakat
penuturnya. Lebih lanjut dijelaskan, sejumlah kata yang ditabukan dalam bahasa
12
Sumba Dialek Kambera dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor yang
memengaruhi atau yang melatarinya, menjadi (1) tabu dalam kepercayaan (religi),
(2) tabu dalam dunia ketakhayulan, (3) tabu dalam hubungan kekerabatan, dan (4)
tabu atas bagian tubuh manusia.
Menurut Mbete, penghindaran itu selain tidak disebutkan sama sekali
(dipantangkan),
memberikan
peluang
kepada
masyarakatnya
untuk
menggantikannya dengan bentuk lain atau juga mengembangkan/menciptakan
ungkapan baru dengan makna baru yang mendukung satuan makna yang
ditabukan. Dengan demikian, penelitian terdahulu relevan dengan penelitian ini.
Hal ini disebabkan dalam masyarakat petani Tabanan juga ditemukan larangan
yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai budaya dan norma-norma dalam
kehidupannya.
Laksana (2009) menggunakan penggolongan tabu yang dikemukakan oleh
Frazer sebagai pegangan. Menurutnya, tabu bahasa adalah larangan menggunakan
kata atau ungkapan tertentu karena dianggap dapat membahayakan jiwa atau
mencemarkan nama baik seseorang. Untuk menghindarinya, dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu (1) penutur diam, (2) penutur berbisik, dan (3) penutur
menggantikan/menyulih kata atau ungkapan tabu dengan kata atau ungkapan lain
yang dilazimkan dalam masyarakat itu. Cara ketiga inilah yang berkaitan dengan
tabu bahasa, yang selanjutnya disebut ”tabu nama dan tabu kata-kata”. Di samping
tabu nama dan tabu kata-kata, juga dibahas tentang tabu sumpah serapah.
Bahasa sebagai bagian dari kebudayaan juga menentukan kebudayaan
mengisyaratkan bahwa pemahaman tabu bahasa harus dilihat dari sudut pandang
13
kebudayaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tabu dalam bahasa Bali dapat
dihindari dengan bentuk-bentuk linguistik berupa majas (metafora dan metonimi),
eufemisme, parafrase, diglosia/alih kode, dan teknonim. Dengan cara itu penutur
dapat menghindarkan dirinya dari bahaya/kecemaran.
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui penelitian terdahulu dan
penelitian ini ada kesamaan. Penelitian terdahulu mengkaji masalah tabu bahasa
bahasa Bali, sedangkan penelitian ini mengkaji masalah larangan yang pada
prinsipsipnya juga tabu.
Akan tetapi, penelitian terdahulu lebih menekankan
pada ”tabu nama dan tabu kata-kata”, sedangkan penelitian ini penekanannya
adalah larangan yang ada pada masyarakat petani di Tabanan. Di samping itu,
kajian kualitatif pada penelitian terdahulu juga diacu dalam penelitian ini. Oleh
karena itu, penelitian terdahulu relevan dengan penelitian ini.
Indra (2007) menjelaskan bentuk wacana larangan yang ada pada
masyarakat Singaraja secara umum disampaikan dengan ungkapan verbal, yaitu
menggunakan bahasa Bali lumrah atau kepara. Fungsi wacana larangan pada
masyarakat Singaraja melibatkan pembicara orang pertama (O1) yang tingkat
usianya lebih tua daripada pendengar/orang kedua (O2), sedangkan dari makna,
disebutkan ada yang mengandung makna etika dan sopan santun. Penelitian ini
merupakan penelitian awal, dengan jumlah data yang sangat terbatas, yaitu (1)
larangan bagi seorang suami memotong rambutnya pada saat istrinya sedang
hamil, (2) larangan menanam pohon sawo di halaman rumah, (3) larangan
bersiul di malam hari, dan (4) larangan anak-anak menduduki bantal.
14
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, memang ada persamaan, yaitu
sama-sama mengenai larangan. Akan tetapi, dengan daerah penelitian dan sumber
data yang berbeda tentu akan mendapatkan data yang berbeda pula sehingga
akhirnya penelitian terdahulu dan penelitian ini jelas perbedaannya. Hal ini
didasari bahwa setiap daerah umumnya memiliki kekhasan budaya termasuk
larangan yang berbeda antara satu daerah dan daerah yang lain.
Di samping daerah penelitiannya yang berbeda, penelitian ini juga
menggunakan teori yang berbeda. Penelitian terdahulu menggunakan teori
Linguistik Kebudayaan dan Etnografi Komunikasi sebagai landasannya untuk
mengkaji bentuk, fungsi, dan makna, sedangkan penelitian ini menggunakan
Teori Linguistik Struktural untuk mengkaji bentuk ungkapan larangan, Teori
Fungsi Bahasa untuk mengkaji fungsi ungkapan larangan, dan Teori Semiotik
Sosial untuk mengkaji makna wacana larangan.
Almos (2008) mengkaji struktur lingual, fungsi, dan makna pantang dalam
bahasa Minangkabau. Menurut Almos, struktur lingual pantang dalam bahasa
Minangkabau terdapat pada tataran kata, frasa, dan kalimat. Selanjutnya, struktur
lingual pantang dalam tataran kata dapat dikelompokkan menjadi leksem tunggal,
reduplikasi, dan komposisi. Fungsi pantang dalam bahasa Minangkabau
merupakan fungsi tindak ilokusional, seperti asertif, direktif, komisif, ekspresi,
dan deklaratif, sedangkan maknanya diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis
pantang, yaitu nama orang, nama binatang, nama anggota tubuh, nama penyakit,
kata-kata tertentu, sumpah serapah, dan pantang yang berisikan nasihat.
15
Penelitian terdahulu memiliki relevansi dengan penelitian ini, yaitu samasama menyangkut tabu karena baik pantang maupun larangan pada hakikatnya
adalah tabu. Walaupun sama-sama menyangkut masalah tabu, penelitian terdahulu
dan penelitian ini sangat jelas perbedaannya. Di samping objeknya berbeda, teori
yang digunakan juga berbeda. Penelitian terdahulu mendasarkan penelitiannya
pada Teori Komposit Bentuk Makna, Teori Tindak Tutur, dan Teori Semiotik
Sosial, sedangkan penelitian ini menggunakan Teori Linguistik Struktural, Teori
Fungsi Bahasa, dan Teori Semiotik Sosial.
Mandra (2003) meneliti Aksara Bali dalam Upacara Caru Rsi Gana dan
Mayuni (2005) meneliti Makna Sekar Rare. Kedua penelitian terdahulu
menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian ini. Akan tetapi, kedua
penelitian terdahulu dan penelitian ini sama-sama mengkaji bentuk, fungsi, dan
makna pemakaian bahasa sebagai objek materi kajiannya yang merupakan fokus
kajian Linguistik Kebudayaan. Dengan demikian,
kedua penelitian terdahulu
dijadikan rujukan dalam penelitian ini.
2.2 Konsep
Dalam penelitian ini dibicarakan beberapa konsep yang relevan. Konsepkonsep tersebut adalah (1) ungkapan, (2) larangan, (3) ungkapan larangan, (4)
petani dan masyarakat petani, (5) bentuk, (6) fungsi, (7) makna, dan (8) modus
dan modalitas. Berikut diuraikan konsep-konsep tersebut secara terperinci.
16
2.2.1
Ungkapan
Ungkapan (expression) adalah ”aspek fonologis atau grafemis dari unsur
bahasa yang mendukung makna” (Kridalaksana, 2008: 250). Sementara itu, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Departemen Pendidikan Nasional,
2008: 1529) disebutkan ungkapan dapat berarti (1) apa-apa yang diungkapkan, (2)
kelompok kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna
unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur).
Berdasarkan dua pengertian di atas, yang diacu dalam penelitian ini adalah
konsep ungkapan (expression) yang dikemukakan oleh Kridalaksana. Hal ini
disebabkan oleh konsep ungkapan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa lebih mengarah pada idiom sehingga tidak pas kalau
dihubungkan dengan larangan sebagai objek penelitian ini.
2.2.2 Larangan
Larangan menurut Kridalaksana (2008: 140) adalah ”makna ujaran yang
bersifat melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk, antara lain dengan
bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak dibenarkan”.
Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia yang berlaku
dalam masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat,
norma/hukum, yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari nenek
moyangnya. Di samping itu, larangan juga diartikan sebagai (1) perintah (aturan)
yang melarang suatu perbuatan; (2) sesuatu yang terlarang karena dipandang
17
keramat atau suci; dan (3) sesuatu yang terlarang karena kekecualian (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008: 791).
Di samping kata larangan, dikenal juga kata tabu. Tabu pada hakikatnya
adalah ”larangan” atau ”yang dilarang”. Tabu adalah larangan yang jika dilanggar
mendatangkan hukuman otomatis yang diakibatkan oleh pengaruh magi dan religi
(Winick, 1958: 502 dalam Laksana, 2009: 17). Di samping istilah tabu ada juga
istilah pantang (pantangan) yang juga berarti ’larangan’ sebagaimana halnya
tabu. Lebih lanjut dijelaskan walaupun tabu pada hakikatnya adalah ”larangan”,
keduanya
menunjukkan
perbedaan.
Tabu,
pelanggarannya
menyebabkan
pelanggar terkena tulah, sedangkan pada larangan atau pantangan pelanggar
hanya terkena sanksi fisik atau sanksi sosial.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, larangan yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah suatu ujaran yang mengandung perintah (aturan) yang
melarang suatu perbuatan. Larangan itu diungkapkan dengan pelbagai bentuk,
antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frasa ingkar tidak
dibenarkan.
2.2.3 Ungkapan Larangan
Berdasarkan konsep ungkapan dan larangan di atas, yang dimaksud
ungkapan larangan dalam penelitian ini adalah aspek fonologis atau grafemis dari
unsur bahasa yang mendukung makna larangan. Dengan kata lain, ungkapan
larangan maksudnya ungkapan yang mengandung larangan.
18
2.2.4 Petani dan Masyarakat Petani
Ditinjau dari mata pencaharian, penduduk Bali kebanyakan sebagai petani
dan hidup di pedesaan (Bali dalam Angka, 2010). Petani adalah orang yang
pekerjaannya bercocok tanam, mengusahakan tanah (Departemen Pendidikan
Nasional, 2008: 1400; Budiono, 2005: 505). Seseorang dikatakan petani apabila
mata pencahariannya berhubungan dengan pertanian. Pertanian di sini adalah
pertanian dalam arti luas, yang meliputi sawah, ladang (abian), ternak, dan
nelayan. Dengan demikian, yang dimaksud petani dalam penelitian ini adalah
orang yang mempunyai mata pencaharian terkait dengan pertanian, sedangkan
masyarakat petani adalah masyarakat yang mata pencahariannya berhubungan
dengan pertanian.
2.2.5 Bentuk
Bahasa pada hakikatnya mempunyai bentuk, fungsi, dan makna. Bentuk
bahasa adalah berupa simbol bunyi ujaran, yang dalam hal ini dibatasi pada bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, sedangkan fungsi bahasa secara praktis
adalah sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi,
dan mengidentifikasikan diri.
Sejalan dengan itu, Kridalaksana (2008: 32) menyatakan bahwa bentuk
(form) adalah penampakan atau rupa satuan bahasa; penampakan atau rupa satuan
gramatikal atau leksikal dipandang secara fonis atau grafemis. Sementara itu,
Ngafenan (1985: 11) menyatakan bentuk sama dengan bentuk linguistik adalah
kesatuan yang mengandung arti, baik arti leksikal maupun arti gramatikal. Satuan
19
gramatikal itu bisa berupa morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat (Ramlan,
1983: 22). Jadi, konsep bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
mencakup aspek struktur linguistik atau struktur bahasa dari tataran paling rendah
sampai dengan tataran paling luas, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan
wacana, yang membentuk suatu tuturan yang utuh dalam satu tindak bicara
(speech act) (Pastika, 2005: 108).
2.2.6 Fungsi
Fungsi bahasa secara praktis adalah sebagai alat komunikasi yang
digunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Fungsi ini sejalan dengan pendapat Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 20--23)
yang menyatakan bahwa kata ’fungsi’ dapat dipandang sebagai padanan kata
’penggunaan’. Dengan demikian, fungsi bahasa dalam hal ini tidak dapat
dipisahkan dari konteks situasi dan konteks budaya yang melatarbelakangi bahasa
itu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa digunakan untuk mengungkapkan
banyak hal menyangkut penutur dan petutur, seperti informatif-naratifrefresentasional, diri sendiri, memengaruhi orang lain, dan imajinatif atau estetis.
Fungsi bahasa dalam arti pemakaian atau penggunaan bahasa oleh
penuturnya merupakan suatu peristiwa sosial. Hal ini disebabkan berhubungan
dengan pihak-pihak bertutur dalam sistuasi dan tempat tertentu, yang merupakan
rangkian sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan
(Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 49--50).
20
Berdasarkan paparan di atas, konsep fungsi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah hubungan antara struktur linguistik atau struktur bahasa yang
menjadi konsep bentuk dan latar belakang sosial budaya penggunaannya. Dengan
demikian, dapat ditemukan pola-pola hubungan bentuk-fungsi yang unik dalam
bahasa dari sudut pandang budaya (Pastika, 2005: 108).
2.2.7 Makna
Saussure (1988: 11--13) menyatakan tanda bahasa (sign) adalah sebuah
sistem tanda yang terdiri atas unsur signifie dan signifiant. Signifie berarti ’yang
ditandai’ atau ’petanda’ merupakan makna yang ada pada benak kita, sedangkan
signifiant berarti ’yang menandai’ atau ’penanda’ adalah bentuk yang dapat
ditangkap oleh pancaindra. Dengan kata lain, signifie itu adalah konsep atau
makna suatu tanda bunyi, sedangkan signifiant adalah bunyi-bunyi yang terbentuk
dari fonem-fonem bahasa tersebut. Jadi, tanda bahasa itu terdiri atas unsur bentuk
dan unsur makna dan makna adalah pengertian atau konsep.
Ogden dan Richard (1923) dalam Chaer (1995: 31) menyatakan bahwa
pembentukan
makna
dalam
suatu
bahasa
dapat
dijelaskan
dengan
menghubungkan tiga hal, yaitu symbol, reference, dan referent. Hubungan ketiga
unsur ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan segi tiga makna Ogden dan
Richard, yang dapat digambarkan sebagai berikut.
21
Referent
Symbol --------------------------- Referen
Hubungan ketiga unsur itu adalah sebagai berikut. Symbol melambangkan
referen, sedangkan referen merujuk kepada referent. Symbol meliputi kata, frasa,
klausa, dan kalimat. Referent adalah konsep yang terpikirkan di benak penutur
suatu bahasa, sedangkan referen adalah sesuatu yang dirujuk. Antara symbol dan
referen tidak menunjukkan hubungan langsung.
Sementara itu, Frawley (1992: 18--50)
memberikan lima rumusan
pendekatan tentang makna. Kelima pendekatan itu adalah (1) meanning as
reference (makna sebagai referensi), (2) meaning as logical form (makna sebagai
bentuk logika), (3) meaning as context and use (makna sebagai konteks dan
penggunaan), (4) meaning as culture (makna sebagai budaya), dan (5) meaning
as conceptual structure (makna sebagai struktur konseptual). Dari kelima
pendekatan makna yang dikemukaan di atas, yang terkait dengan penelitian ini
adalah pendekatan ketiga meaning as context and use (makna sebagai konteks dan
penggunaan) dan keempat meaning as culture (makna sebagai budaya).
Berdasarkan paparan di atas dapat dinyatakan bahwa konsep makna
merupakan hasil interaksi antara konsep bentuk dan konsep fungsi yang
disebutkan di atas. Artinya, hubungan antara bentuk (struktur linguistik) dan
fungsi (penggunaannya) menimbulkan makna, baik makna lingual maupun makna
kultural (Pastika, 2005: 108). Dalam pandangan semiotik sosial, makna lingual
22
identik dengan makna tersurat, sedangkan makna kultural identik dengan makna
tersirat. Makna tersurat adalah makna bahasa yang dapat dilihat dalam kamus,
sedangkan makna tersirat maksudnya adalah makna bahasa yang tidak terdapat
dalam kamus, tetapi dapat ditelusuri dengan melihat konteksnya (Riana, 2003:
10).
2.2.8 Modus dan Modalitas
Modus adalah ”bentuk verba yang mengungkapkan suasana kejiwaan
sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara tentang apa yang
diucapkannya” (Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 925 ; Kridalaksana,
2008: 154). Modalitas adalah ”makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dsb.
yang dinyatakan dalam kalimat (dalam bahasa Indonesia modalitas dinyatakan
dengan kata-kata, seperti barangkali, harus, akan, dsb. atau dengan adverbia
kalimat, seperti pada hakikatnya dan menurut hemat saya) (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008: 923 ; Kridalaksana, 2008: 156).
Lebih lanjut disebutkan, ada beberapa jenis modus, yaitu (a) modus
desideratif adalah modus yang menyatakan keinginan, (b) modus imperatif adalah
modus yang menyatakan perintah atau larangan, (c) modus indikatif adalah modus
yang menyatakan sikap objektif atau netral, (d) modus interogatif adalah modus
yang menyatakan pertanyaan, (e) modus operandi adalah modus yang menyatakan
cara atau teknik yang berciri khusus, dan (f) modus optatif adalah modus yang
menyatakan harapan.
23
Berdasarkan batasan di atas dapat dikatakan bahwa modus menekankan
pada masalah sikap pembicara sesuai dengan amanat ujarannya, sedangkan
modalitas menyangkut masalah besar kecilnya kemungkinan kebenaran yang
dikandung oleh suatu ujaran. Unsur modus direalisasikan oleh bentuk verba itu
sendiri, sedangkan unsur modalitas memiliki lingkungan kelompok verbal dan
direalisasikan oleh pemarkah modalitas (Suwarno, 1985: 101).
2.3 Landasan Teori
Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini. Teori-teori itu
adalah Teori Linguistik Kebudayaan, Teori Linguistik Struktural, Teori Fungsi
Bahasa, dan Semiotik Sosial. Teori Linguistik Kebudayaan yang merupakan teori
antardisiplin ilmu digunakan karena penelitian ini merupakan kajian bidang
Linguistik Kebudayaan; Teori Linguistik Struktural digunakan untuk menentukan
bentuk ungkapan larangan; Teori Fungsi Bahasa digunakan untuk menentukan
fungsi ungkapan larangan; dan Teori Semiotik Sosial digunakan untuk menelaah
makna ungkapan larangan. Berikut diuraikan tiap-tiap teori yang dimaksud.
2.3.1 Teori Linguistik Kebudayaan
Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya
saling memengaruhi, saling mengisi, dan berjalan berdampingan. Bahasa adalah
bagian dari kebudayaan sehingga mempelajari suatu bahasa secara tidak langsung
juga mempelajari kebudayaan. Artinya, bahasa harus dipelajari dalam konteks
24
kebudayaan dan demikian sebaliknya kebudayaan baru bisa dipelajari melalui
bahasa.
Eratnya hubungan antara bahasa dan kebudayaan memunculkan kajian
untuk mengetahui hubungan tersebut. Kajian tentang hubungan antara bahasa dan
kebudayaan pada umumnya dilihat dari ilmu yang mepelajarinya. Antropologi
sebagai ilmu yang mengkaji kebudayaan dan linguistik sebagai ilmu yang
mengkaji bahasa. Selanjutnya, Linguistik dan Antropologi bekerja sama dalam
mempelajari hubungan bahasa dan aspek-aspek budaya dengan sebutan
antropolinguistik.
Antropolinguistik
maksudnya
cabang
linguistik
yang
mepelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
perkembangan waktu, perbedaan tempat komunikasi, sistem kekerabatan,
pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat dan polapola kebudayaan lain dari suatu suku bangsa (Sibarani, 2004: 49--50).
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut kajian tentang
hubungan antara bahasa dan budaya. Istilah-istilah itu adalah Linguistic
Anthropology (Duranti, 1997) dan Anthropological Linguistics (Foley, 1997).
Selanjutnya, dalam rangka pengembangan kajian interdisipliner antara linguistik
dan
kebudayaan
yang
terpadu
dengan
Antropologi
Budaya
(Cultural
Anthropology), Bagus (1995) menamakan ”Linguistik Kebudayaan” (Mbete,
2004: 18) yang merupakan telaah bahasa dalam kaitannya dengan budaya
(Yadnya, 2004: 57).
Sebagai bidang kajian yang bersifat interdisipliner, Linguistik Kebudayaan
berdekatan dengan
Linguistic Anthropology (Duranti, 1997) yang lebih
25
menekankan pada aspek Antropologi dan Anthropological Linguistics (Foley,
1997) yang lebih menekankan pada bahasa. Walaupun berdekatan antara
Linguistik Kebudayaan dan Antropologi Linguistik tidak sepenuhnya sama.
Linguistik Kebudayaan lebih menekankan pada kajian atas bahasa sebagai sumber
daya kebudayaan dan tuturan sebagai praktik budaya (Duranti, 1997: 1--2).
Antropologi Linguistik lebih menekankan pada kajian deskripsi tentang bahasa
suku-suku bangsa, sedangkan Linguistik Kebudayaan mendalami makna yang ada
di balik realitas melalui tuturan (speech) dan bahasa (language).
Sementara itu, Pastika (2004: 35--37) menyatakan perbedaan antara
Antropologi Linguistik (Linguistic Anthropology) dan Linguistik Antropologi
(Anthropological Linguistics) berkaitan dengan lingkup kajian, metode, dan teori
kedua ranah linguistik makro tersebut. Akan tetapi, keduanya tetap menjadikan
aspek-aspek linguistik sebagai inti kajian. Lebih lanjut dijelaskan, apabila arah
kajiannya menjadikan linguistik sebagai titik tolak kajian yang diikuti dengan
persepsi Antropologi, disebut sebagai ”Linguistik Antropologi”. Sebaliknya,
apabila persepsi linguistik dimunculkan dari data Antropologi, dipilihlah nama
”Antropologi Linguistik”.
Inti Antropologi Linguistik adalah bahasa dalam
konteks Antropologi, sedangkan Linguistik Antropolologi merupakan “bagian
dari linguistik yang menaruh perhatian pada bahasa dalam konteks sosial dan
budaya yang lebih luas dan juga peran bahasa dalam menempa dan memelihara
praktik budaya dan struktur Sosial”(Foley, 1997: 3 dalam Pastika, 2004: 37).
Sementara itu Palmer (1996: 4--5) menyatakan Linguistik Kebudayaan
sebagai istilah untuk penggabungan antara tiga pendekatan tradisional, yaitu
26
linguistik aliran Boas, etnosemantik (etnosains), dan etnografi berbicara. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa mempelajari bahasa merupakan kegiatan mendengar
kegegeran budaya yang bergulat dengan pengalaman. Oleh karena itu,
pengetahuan budaya sangat dipentingkan untuk menafsirkan tuturan konvensional
khususnnya metafora dan metonimi yang semakin banyak ditemukan dalam
berbagai bentuk dan struktur tuturan yang kompleks. Pengetahuan budaya sering
mengambil bentuk model kognitif. Linguistik Kebudayaan juga menaruh
perhatian pada ontologi rakyat yang menentukan sifat dasar segala benda bagi
setiap kebudayaan.
Menurut Mbete (2004: 19) apabila dipadankan dengan Linguistik
Antropologi yang diajukan oleh Hymes (1963) dan Duranti (1977), Linguistik
Kebudayaan mengembangkan kajian atas bahasa sebagai sumber daya budaya dan
tuturan sebagai praktik budaya (study of language as a cultural resource and
speaking as a cultural practices). Dengan kata lain, Linguistik Kebudayaan
memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang kebermaknaannya hanya bisa
dipahami secara menyeluruh apabila dikaitkan dengan budaya penuturnya.
Linguistik Kebudayaan berusaha mengungkap the meaning behind the use, misuse or non-use of language (Yadnya, 2004: 58).
Secara ontologis Linguistik Kebudayaan menjadikan bentuk, fungsi, dan
makna pemakaian bahasa sebagai objek materi kajiannya. Bahasa yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya
mempunyai bentuk atau struktur bahasa. Bentuk atau struktur bahasa dalam
Linguistik Kebudayaan lebih menekankan pada variasi-variasi bentuk, kode, dan
27
subkode yang bisa meliputi semua pemakaian bahasa bermakna kultural dalam
pelbagai bidang kehidupan. Itu berarti bahwa bahasa yang menjadi kajian
Linguistik Kebudayaan adalah bahasa yang sudah digunakan secara kontekstual
yang dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu atau bahasa itu telah berfungsi.
Selanjutnya, struktur bahasa yang telah digunakan secara fungsional dan
kontekstual memiliki makna dan tujuan tertentu (Mbete, 2004: 25--31).
Berdasarkan uraian di atas jelaslah penelitian “Ungkapan Larangan pada
Masyarakat Petani Tabanan: Kajian Linguistik Kebudayaan” adalah penelitian
bidang Linguistik Kebudayaan. Hal ini disebabkan oleh ungkapan larangan
merupakan pemakaian bahasa Bali yang muncul akibat perilaku budaya
masyarakat penuturnya, yaitu masyarakat petani Tabanan. Sebagai bahasa yang
digunakan, ungkapan larangan memiliki bentuk, fungsi, dan makna sesuai dengan
budaya penuturnya. Bentuk, fungsi, dan makna bahasa seperti itulah menjadi
objek kajian Linguistik Kebudayaan.
2.3.2 Teori Linguistik Struktural
Teori Linguistik Struktural yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Teori Linguistik Struktural yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure.
Pandangan-pandangannya diketahui dari buku Course Linguistique Generale
(1916) yang pada tahun 1966 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Wade
Baskin dengan judul Course in General Linguistics dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia tahun 1988 oleh Rahayu S. Hidayat dengan judul Pengantar
Linguistik Umum.
28
Ferdinand de Saussure (1988) menyatakan bahwa bahasa sebagai sistem
komunikasi mempunyai struktur yang dibangun oleh komponen atau perangkat.
Perangkat yang dimaksud dimulai dari tata urutan yang paling kecil, yaitu bunyi
bahasa sampai pada tata tingkat yang paling besar, yaitu wacana.
Tiap-tiap komponen atau perangkat dibidangi oleh ilmu masing-masing,
yaitu fonologi (ilmu bunyi), morfologi (tata bentuk kata), sintaksis (tata kalimat),
semantik (makna), dan wacana (teks). Tiap-tiap perangkat ini walaupun dibidangi
oleh ilmu yang berbeda, tetap mempunyai hubungan antara satu bidang dan
bidang yang lain. Hubungan inilah yang sering disebut dengan struktur. Jadi,
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana merupakan bidang struktur
bahasa. Selanjutnya, kajian bahasa yang dilakukan dengan pandangan Ferdinand
de Saussure disebut dengan kajian secara struktural.
Sehubungan dengan penelitian ini, Teori Linguistik Struktural digunakan
sebagai acuan dalam menentukan bentuk ungkapan larangan pada masyarakat
petani Tabanan. Bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah satuan
gramatikal bahasa yang bisa berupa morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat.
2.3.3 Teori Fungsi Bahasa
Teori fungsi bahasa ini digunakan untuk menganalisis fungsi ungkapan
larangan. Hal ini disebabkan oleh ungkapan larangan merupakan satuan lingual
yang digunakan dalam masyarakat petani Tabanan. Hal ini sesuai dengan
pandangan Halliday dan Ruqaiya Hasan (1994: 20) yang menyatakan fungsi
bahasa itu adalah penggunaan bahasa dengan cara bertutur dan menulis serta
29
membaca dan mendengar untuk mencapai sasaran dan tujuan. Ada berbagai
macam pembagian fungsi bahasa yang dikemukakan oleh para linguis terkemuka.
Salah satunya adalah pembagian fungsi bahasa menurut Leech (1997) yang
selanjutnya diacu dalam penelitian ini.
Leech (1997: 52) membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi lima, yaitu
fungsi informasional, ekspresif, direktif, estetis, dan phatik. Fungsi informasional
maksudnya fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi. Fungsi ekspresif, yaitu
digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya. Dalam fungsi
ini kata-kata sumpah serapah dan kata-kata seru merupakan contoh yang paling
jelas. Fungsi direktif bahasa digunakan untuk memengaruhi perilaku dan sikap
seseorang. Contohnya adalah perintah dan permohonan.
Fungsi bahasa lainnya adalah estetik, yaitu fungsi bahasa demi hasil karya
itu sendiri tanpa maksud yang tersembunyi. Dengan demikian, dikatakan bahwa
fungsi ini berhubungan, baik dengan makna konseptual maupun makna afektif.
Fungsi bahasa yang terakhir adalah fungsi phatik.
Fungsi phatik maksudnya
adalah fungsi bahasa untuk menjaga hubungan baik dalam kelompok sosial.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembagian fungsi bahasa menjadi lima
seperti di atas bukanlah klasifikasi yang ideal. Artinya, dalam praktik berbahasa
sangat dimungkinkan adanya penggabungan
sejumlah fungsi bahasa yang
berbeda-beda. Sepotong bahasa jarang yang murni informatif, murni ekspresif,
dan sebagainya. Contohnya, sebuah kalimat I feel like a cup of coffee ’Rasanya
saya suka secangkir kopi’ dalam konteks situasi tertentu bisa berfungsi sebagai
informasional, ekspresif, dan direktif. Selanjutnya, teori fungsi bahasa yang
30
dikemukakan oleh Leech inilah digunakan untuk mengetahui fungsi ungkapan
larangan pada masyarakat petani Tabanan.
2.3.4 Teori Semiotik Sosial
Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan pada perinsipnya
merupakan pemakaian bahasa yang dalam hal ini adalah bahasa Bali. Ungkapan
larangan digunakan oleh para petani untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam
berinteraksi dan berkomunikasi dengan ungkapan larangan, para petani
menggunakan tanda atau simbol-simbol tertentu yang mengandung makna
tersendiri. Oleh karena itu, teori semiotik sosial digunakan untuk menentukan
makna ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan.
Konsep semiotik mulanya berasal dari konsep tanda yang berhubungan
dengan istilah semainon (penanda) dan semainomenon (petanda) dalam bahasa
Yunani. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semiotik adalah
ilmu yang mempelajari sistem tanda, seperti bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.
( Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1994: 3 ; Santoso, 2003: 1). Sementara, kata sosial
berkaitan dengan konsep sistem sosial dan konsep struktur sosial. Dengan
demikian, ungkapan larangan yang disampaikan dengan bahasa Bali merupakan
sebuah tanda dan masyarakat petani Tabanan yang menggunakan wacana larangan
itu merupakan struktur sosial kemasyarakatan berdasarkan kelompok profesi,
yakni petani (Halliday dan Ruqaiya Hasan, 1994: 5; Riana, 2003: 9--10).
Semiotik sosial adalah semiotik yang secara khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik berupa kata maupun
31
rangkaian kata atau kalimat. Semiotik sosial lebih cenderung melihat bahasa
sebagai sistem tanda atau simbol yang sedang mengekspresikan nilai dan norma
kultural dan sosial suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses sosial
kebahasaan (Santoso, 2003: 6).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa semiotik sosial tidak lagi melihat bahasa
sebagai suatu entitas yang secara otomistis dirujuk sebagai hubungan antara ’yang
ditandai’ dan ’yang menandai’. Semiotik sosial lebih melihat bahasa sebagai
suatu realitas, realitas sosial, dan sekaligus sebagai realitas semiotik.
Sebagai suatu realitas, bahasa adalah sebuah fenomena berupa pengalaman
fisik, logis, psikis penuturnya dalam konteks situasi dan konteks budaya tertentu.
Bahasa sebagai realitas sosial, artinya bahasa merupakan fenomena sosial yang
digunakan oleh penuturnya untuk berinteraksi dan berkomunikasi dalam konteks
situasi dan budaya tertentu. Bahasa adalah realitas semiotika yang berarti bahasa
merupakan simbol yang mewujudkan realitas dan realitas sosial dalam konteks
situasi dan budaya tertentu. Dengan demikian, ketiga unsur tadi merupakan satu
kesatuan dalam mengekspresikan makna atau fungsi sosial tertentu.
Ungkapan larangan pada masyarakat petani Tabanan dipakai untuk
menyampaikan maksud-maksud yang ingin dicapai dalam berkomunikasi.
Maksud-maksud tersebut ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Oleh karena itu,
ungkapan larangan sebagai pemakaian bahasa dapat dikatakan memiliki makna
tersurat dan makna tersirat. Hal ini sejalan dengan pandangan semiotik sosial yang
menyatakan bahasa diandaikan sebagai kata yang memiliki makna tersurat dan
tersirat. Makna tersurat adalah makna bahasa yang dapat dilihat dalam kamus,
32
sedangkan makna tersirat maksudnya adalah makna bahasa yang tidak terdapat
dalam kamus, tetapi dapat ditelusuri dengan melihat konteksnya (Riana, 2003:
10).
2.4 Model Penelitian
MPT
ULPMPT
Analisis Bentuk
ULPMPT
Analisis Fungsi
ULPMPT
Analisis Makna
ULPMPT
Teori Linguistik
Struktural
Teori Fungsi
Bahasa
Teori Semiotik
Sosial
Temuan
Penelitian
Keterangan:
MPT : Masyarakat Petani Tabanan
ULPMPT : Ungkapan Larangan pada Masyarakat Petani Tabanan
Download