3 TINJAUAN PUSTAKA Kacang Bogor: Sejarah, Botani, Morfologi, dan Syarat Tumbuh Kacang Bogor termasuk ke dalam keluarga kelompok kacang-kacangan (Leguminosa). Selain itu kacang Bogor juga disebut dengan kwaruru di Sakoto, nyimo di Zimbabwe, jugo di Afrika Selatan, dan bambara di Timbuktu (NAS, 1979; De Kock, 2004; Abdulsalami dan Sheriff, 2010). Komoditas ini kemungkinan berasal dari Bambara, daerah di dekat Timbuktu wilayah Mali, Afrika Barat (De Kock, 2004). Namun, sumber lain menyebutkan daerah asal dan penyebaran kacang bogor adalah wilayah utara Nigeria dan Kamerun (Goli, 1995). Penyebaran tanaman ini meliputi seluruh daerah terkering di Afrika tropis, menuju Amerika, Australia, Asia Tengah termasuk ke Indonesia (PROHATI, 2010). Kacang bogor di Indonesia banyak diusahakan di daerah Bogor, Bandung, dan Sukabumi, (Samsoedin dan Harmastin, 1989). Terdapat kontroversi dari penanamaan tanaman ini. Nama ilmiah awal dari tanaman ini adalah Glycine subterranea, yang kemudian berubah menjadi Voandzeia subterranea (L.) Thouars. Kemudian, penamaan kacang bogor berubah menjadi Vigna subterranea (L.) Verdc. karena ditemukan kesamaan antara kacang bogor dengan jenis vigna (Goli, 1995). Kacang bogor memiliki dua bentuk botani yaitu var. spontanea (kultivar liar) yang terbatas di wilayah Kamerun dan var. subterranean (kultivar budidaya) yang umumnya ditemukan di daerah Afrika Sub-Sahara (Basu et al., 2004). Kacang bogor merupakan tumbuhan berhari pendek yang ditanam di atas ketinggian 1 600 m. Tanaman ini menyukai sinar matahari yang rata-rata temperatur hariannya antara 20 hingga 28°C. Curah hujan yang tepat untuk kacang bogor adalah 600 hingga 750 mm per tahun, tetapi untuk hasil yang optimum rata-rata curah hujan yang diperlukan adalah 900 hingga 1 200 mm per tahun. Kacang bogor dapat tumbuh dengan sangat baik pada tanah liat berpasir dengan pH 5.0 - 6.5, tetapi kacang bogor juga dapat tumbuh di tanah dengan tekstur dan jenis tanah yang lain (PROHATI, 2010). 4 Satu rumpun kacang bogor memiliki batang, akar, daun, dan polong. Tipe perkecambahan kacang bogor adalah hipogeal (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Batang kacang bogor sangat pendek dan mempunyai banyak cabang yang berwarna merah muda, ungu atau hijau kebiru-biruan (Doku dan Karikari, 1971). Elia (1985) menyatakan bahwa cabang per tanaman merupakan komponen hasil yang penting pada kacang bogor. Selanjutnya, Doku dan Karikari (1971) menyatakan bahwa cabang terbentuk sekitar satu minggu setelah berkecambah. Setiap cabang tanaman terdiri dari 12 ruas. Tanaman membentuk ruas pertama kurang lebih 10 hari setelah biji berkecambah yang selanjutnya terbentuk lagi dengan interval waktu seminggu. PROHATI (2010) melaporkan bahwa tanaman kacang bogor memiliki akar yang mempunyai bintil bercuping. Berdaun trifoliet, gundul, tegak dengan panjang hingga 30 cm, dan tangkai daun beralur. Daun berbentuk menjorong atau melanset yang berukuran hingga 8 cm x 4 cm. Bunga kacang bogor berwarna kuning, yang setelah diserbuki tangkai dari bunga akan memanjang dan masuk ke dalam permukaan tanah (Rukmana dan Oesman, 2000). Tanaman kacang bogor mengadakan penyerbukan sendiri (Purseglove, 1981). Pernyataan yang sama dikemukakan oleh Duke et al. (1977) bahwa kacang bogor adalah tanaman menyerbuk sendiri dan menyerbuk silang dengan perantara semut. Ezedinma dan Maneke (1985) menggolongkan tanaman berdasar diameter kanopinya ke dalam tiga tipe, yaitu bunch (kompak) jika diameter kanopi kurang dari 40 cm, semi bunch (semi kompak) jika diameter kanopi antara 40 hingga 80 cm, dan open (menyebar) apabila diameternya lebih dari 80 cm. Tanaman yang mempunyai tipe menyebar mempunyai periode pembungaan yang lebih lama dibandingkan tipe kompak. Setelah dilakukan penyerbukan, maka terbentuklah polong. PROHATI (2010) melaporkan bahwa polong dalam tanah, berbentuk agak membulat, berdiameter sekitar 2.5 cm, dan umumnya dihasilkan hanya satu biji berwarna putih, kuning, merah kehitaman atau bermoreng-moreng. Duke et al. (1977) dan Mergeai (1986) menyatakan bahwa kacang bogor mempunyai beberapa kultivar yang dapat dibedakan atas dasar morfologi tanaman, ukuran polong, kerutan pada polong, ukuran biji, warna biji, jumlah polong per tanaman serta warna daun. Mergeai (1986) mengemukakan bahwa 5 pada umumnya biji yang berukuran besar berasal dari polong yang berkerut sedangkan biji yang kecil berasal dari polong yang licin. Kultivar berbiji besar biasanya mempunyai tipe tanaman yang lebih menyebar (open) dan kematangannya lebih lambat dibandingan kultivar berbiji kecil. Menurut Hamid (2008) pemilahan warna kulit ari dan ukuran tidak berpengaruh terhadap bobot brangkasan, jumlah polong per tanaman, bobot basah, dan bobot kering tanaman saat pemanenan. Namun, percobaan Damayanti (1991) menunjukkan bahwa pemilahan warna benih mempengaruhi bobot polong basah per tanaman, rendemen biji dan indeks biji dengan benih hitam pemurnian yang memiliki nilai lebih tinggi. Augmented Design Masalah utama dalam evaluasi pemuliaan, agronomi, dan percobaan bahan kimia (pestisida, herbisida, fumigasi tanah, obat-obatan, dan sebagainya) adalah efisiensi perancangan percobaan dalam keterbatasan bahan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan rancangan augmented yang merupakan rancangan baku. Rancangan ini dapat berupa rancangan kelompok lengkap atau tidak lengkap dengan tambahan perlakuan yang akan diuji tanpa ulangan. Rancangan ini diperkenalkan Federer pada tahun 1955 dalam penapisan tanaman tebu dan fumigasi tanah di India dan Hawaii. Federer menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan menduga rataan umum secara proporsional dengan kelompok dan mengoreksi jumlah kuadrat perlakuannya. Dalam hal lain, Federer W.T. and D. Raghavarao menggunakan RKLT dengan kontrol berulangan seperti biasa, menduga pengaruh kelompok dan galat untuk menguji perlakuan yang diujikan. Pola ini digunakan IRRISTAT untuk mengoreksi nilai perlakuan yang akan diuji. Kontrol dengan ulangannya minimal 15 unit untuk mendapatkan db galat yang cukup. Percobaan yang bertujuan untuk membandingkan kontrol dengan perlakuan cukup dengan menggunakan pola Federer dan Raghavarao. Rancangan augmented ini juga dapat berupa rancangan lingkungan acak lengkap seperti dalam percobaan seleksi generasi awal kedelai (Subadra dan Sjamsudin, 2004; Sjamsudin, 2011). 6 Seleksi Seleksi dalam bidang genetika, menurut Allard (1960), adalah pemilihan individu-individu pada populasi keturunan yang digunakan untuk generasi berikutnya. Bari et al. (1974) mengemukakan bahwa seleksi berkaitan dengan pemotongan dari populasi dasar yang digunakan dan perlakuan terhadap individu terpilih sebagai calon tetua yang akan digunakan. Seleksi akan efektif apabila keragaman dalam suatu populasi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik, yang diekspresikan sebagai keragaman fenotip, sementara penampilan suatu sifat tidak dapat dikatakan secara mutlak akibat faktor lingkungan atau faktor genetik (Bahar dan Zen, 1993). Bari et al. (1974) menambahkan bahwa faktor keturunan tidak akan memperlihatkan sifat yang dibawanya kecuali dengan adanya faktor lingkungan yang diperlukan. Manipulasi pada faktor lingkungan tidak akan menyebabkan perkembangan dari suatu sifat kecuali faktor keturunan yang diperlukan terdapat dalam individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, diperlukan pernyataan kuantitatif antara peranan faktor keturunan relatif terhadap faktor lingkungan dalam memberikan penampilan akhir yang diamati yang disebut heritabilitas. Pemilihan individu tanaman tidak terlepas dari nilai keragaman genetik serta kemajuan genetik. Kemajuan genetik (G) adalah perkiraan besarnya kemajuan hasil yang akan diperoleh (Mangoendidjojo, 2007). Berdasarkan Allard (1960) dan Mangoendidjojo (2007) nilai duga kemajuan genetik didapatkan dari perhitungan nilai k, simpangan fenotipik dan heritabilitas arti sempit. Nilai k diperoleh dengan membagi tinggi kurva (q) dibagi dengan intensitas seleksi (i) (Sjamsudin, 2011). Tinggi kurva didasarkan pada nilai sebaran z (Snedecor dan Cochran, 1971). Falconer (1981), Poespodarsono (1988), Gonzalez dan Cubero (1993) dalam bukunya menyebutkan kemajuan genetik yang mirip dengan nilai duga kemajuan genetik pada Allard (1960) dan Mongoendidjojo (2007) hanya berbeda pada simbol.