BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chronic lung disease (CLD) merupakan suatu diagnosis klinis, yang berarti ketergantungan terhadap suplementasi oksigen pada periode tertentu setelah kelahiran disertai kelainan gambaran radiologis dari anatomi paru1. CLD pertama kali didefinisikan oleh Northway pada tahun 1967 sebagai suatu sindroma akibat kerusakan berat pada paru-paru dari bayi prematur yang mendapat terapi oksigen konsentrasi tinggi dan penggunaan ventilator mekanik. Berat rata-rata bayi yang dapat bertahan hidup dengan CLD pada saat itu 2,3 kg dengan usia kehamilan 34 minggu2,3. Faktor risiko terjadinya CLD sangat beragam, tergantung kepada beratnya penyakit yang mendasari dan lamanya penggunaan ventilator mekanik dan pemberian oksigen. CLD berhubungan secara tidak langsung dengan berat lahir, umur kehamilan, dimana semakin kecil berat lahir dan semakin muda usia kehamilan maka semakin besar risiko menderita CLD4,5. Dalam 20 tahun terakhir, penanganan terhadap bayi prematur mengalami perkembangan yang pesat dengan digunakannya continuous positive airway pressure (CPAP) atau aliran udara bertekanan positif, pemberian kortikosteroid antenatal, surfaktan, kemajuan teknologi ventilator dan kemajuan dalam pemberian nutrisi. Saat ini definisi yang dikemukakan Northway tidak digunakan lagi karena kejadian CLD tidak hanya dijumpai pada bayi prematur yang menggunakan ventilator, tetapi juga terjadi pada bayi-bayi cukup umur dengan faktor risiko yang lain, seperti sepsis neonatorum, patent ductus arteriosus (PDA) dan chorioamnionitis antenatal6. Bayi cukup umur juga berisiko terhadap terjadinya CLD jika pernah menjalani perawatan dan mendapat terapi oksigen konsentrasi tinggi dan ventilator mekanik serta oksigenasi dengan membran extrakorporal karena gagal napas berat. CLD terjadi hampir pada 27% bayi cukup umur yang mengalami penyakit paru primer yang berat (RDS, sindrom aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis) dan sampai 50% pada bayi dengan adanya kelainan hipoplasia paru dan congenital diaphragmatic hernia. Sejalan dengan perkembangan definisi dan perubahan faktor risiko terjadinya CLD, kriteria diagnosis CLD mengalami perubahan. Saat ini diagnosis CLD ditegakkan dengan adanya perubahan gambaran 1 radiologi paru, ketergantungan terhadap oksigen sampai usia 28 hari kelahiran atau ketergantungan terhadap oksigen sampai 36 minggu usia biologis 2,6. Anak dengan CLD memerlukan pemantauan jangka panjang karena rentan mengalami berbagai masalah kesehatan akibat komplikasi CLD. Sebanyak 25% penderita CLD memiliki masalah pada sistem respirasi sampai remaja dan dewasa muda, seperti asma, infeksi saluran nafas bawah (pneumonia) berulang dan bronkitis7. Pada sistem gastrointestinal masalah yang sering di jumpai adalah GERD dan intoleransi diet. Hipoksia yang berulang dan kerusakan paru yang permanen akan memicu terjadinya hipertensi pulmonal pada 8-11% penderita CLD, juga dapat menyebabkan cor pulmonal bahkan sampai gagal jantung8. Monitoring, intervensi dan evaluasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita CLD9. B. Deskripsi Kasus Singkat IDENTITAS PASIEN Nama : An. DDP Nama Ayah : Bpk. NI Tanggal Lahir : 31 Maret 2013 Umur : 32 tahun Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : SLTA Alamat : Pundak, Kulonprogo Pekerjaan : Montir Masuk RS : 19 Oktober 2013 Nama ibu : Ny. WL No. CM : 01.63.58.83 Umur : 31 tahun Tanggal diperiksa : 20 Oktober 2013 Pendidikan : SLTA Usia saat ini : 9 bulan 20 hari Pekerjaan : Ibu rumah tangga Seorang anak perempuan, usia 4 bulan saat datang pertama kali ke IGD RS Sardjito dengan keluhan utama sesak napas, pasien merupakan rujukan dari RSUD Wates dengan pneumonia, palatoschisis, gizi buruk tipe marasmik, susp. GERD. Alloanamnesis dengan orang tua pasien mendapatkan informasi bahwa sejak anak berumur 2 minggu anak sering gumoh, kadang tersedak dan napas grok-grok, kontrol rutin di poliklinik anak RSUD Wates. 3 bulan SMRS (usia 1,5 bulan) anak mengalami muntah dan sesak napas, dirawat selama 7 hari di RS Bhaktiningsih, dikatakan infeksi saluran napas. Pada saat 2 dirawat anak dikatakan palatoschisis, sejak itu anak minum dengan NGT. Anak kemudian dirujuk ke RS Panti Rapih dirawat selama 12 hari. Selama perawatan muntah dan sesak berkurang, kemudian anak diperbolehkan pulang 1 bulan SMRS anak kembali dirawat di RSUD Wates dengan vomitus profus dengan dehidrasi tak berat, palatoschisis, gizi buruk tipe marasmik. Hasil rontgen thoraks tampak gambaran bronchopneumonia. Selama perawatan anak batuk, sesak dan demam, didiagnosis pneumonia dan diberikan terapi kotrimoksazol kemudian diganti ampisillin dan gentamisin. 2 minggu SMRS sesak napas semakin meningkat, pada pemeriksaan didapatkan peningkatan usaha napas, saturasi oksigen menurun dan tanda distress napas sehingga perawatan di pindah ke PICU dengan Nasal CPAP (FiO2 60%, PEEP 5) selama 3 hari, antibiotik diganti dengan ceftriaxon. Selama perawatan di PICU klinis membaik, sehingga Nasal CPAP diganti oksigen headbox dan akhirnya alih rawat ke bangsal dengan oksigen nasal kanul 1 liter/menit (saturasi oksigen 95-96%). Pada saat pindah bangsal, sesak berkurang, demam menurun, kadang anak masih batuk dan muntah. Antibiotik diganti dengan amoksisilin per oral dan selanjutnya dilakukan penyapihan oksigen tetapi selalu gagal dilakukan karena setiap kali nasal kanul dicoba dilepaskan, saturasi menurun hingga 75-80% sehingga akhirnya dirujuk ke RSS. Pada saat dirujuk ke RSS anak masih demam sub febris, batuk dan sesak napas berkurang dibanding sebelumnya, sesekali anak gumoh. Dari alloanamnesis dengan ibu pasien didapatkan keterangan bahwa selama hamil, ibu kontrol rutin di bidan mendapatkan vitamin, penambah darah, kalk, mendapatkan suntikan TT 2x, tidak mengkonsumsi jamu-jamuan, kenaikan BB ibu saat lahir sekitar 10 kg, tidak demam, tidak bengkak di kaki, tekanan darah tidak tinggi, tidak menderita DM, asma dan penyakit jantung. Anak lahir dari ibu usia 30 tahun, P2A0, umur kehamilan cukup bulan (37+4 minggu), lahir SC a.i. induksi gagal, ditolong dokter SpOG, tidak ada ketuban pecah dini, air ketuban jernih, BBL 2400 gram, PBL 46 cm dan LK ? cm (tidak diketahui). Setelah lahir dikatakan langsung menangis. Bayi dirawat selama 3 hari, kemudian diperbolehkan pulang dengan kondisi umum baik, gerak aktif, menangis kuat, intake ASI setiap 2-3 jam 3 Riwayat pasca persalinan dikatakan kontrol di puskesmas, anak mendapatkan imunisasi BCG pada umur 1 minggu, imunisasi Hepatitis B 2 kali saat lahir dan umur 2 bulan, imunisasi DPT-1 pada umur 2 bulan, imunisasi Polio-1 pada umur 2 bulan. Imunisasi DPT-2 dan Polio-2 belum dilakukan karena anak menjalani rawat inap Tidak terdapat faktor risiko penyakit yang diturunkan dan tidak terdapat faktor risiko penyakit yang ditularkan dalam keluarga. Gambar 1.Pedigree keluarga pasien Riwayat makanan sejak lahir sampai umur 1,5 bulan anak mendapatkan ASI setiap 2-3 jam. Sejak umur 1,5 bulan hingga saat masuk rumah sakit, anak mendapatkan ASI dan susu formula per NGT 8 x 60 cc. Perkembangan motorik kasar anak mulai bisa miring usia 3 bulan, hingga saat ini belum dapat tengkurap sendiri. Perkembangan motorik halus mulai dapat menggenggam pada usia 3 bulan hingga sekarang. Perkembangan bahasa anak baru dapat bersuara tanpa arti sejak usia 4 bulan. Perkembangan sosial bisa tersenyum sejak usia 3 bulan hingga saat ini. Anak tinggal bersama ayah, ibu, kakak, kakek dan nenek di rumah seluas 6x8 m2, terletak di wilayah pedesaan. Sejak 7 tahun sebelum hamil ibu bekerja sebagai buruh di pabrik cat, sedangkan ayah bekerja sebagai montir di bengkel sepeda motor 4 Sejak melahirkan ibu tidak bekerja, dan sejak anak dirawat inap ayah berhenti bekerja. Sebelum melahirkan ibu tinggal di rumah kost seukuran 2x3 m2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ketika datang anak tampak sesak, tampak kurus, denyut jantung 130x/menit, frekuensi napas 46-50x/menit, SpO2 77-80% (O2 room air) namun bila dengan O2 NK 1 liter/menit saturasi oksigen mencapai 95%, suhu tubuh 38,50C, berat badan 4,4 kg, panjang badan 54 cm dengan dengan status gizi BB/U Z score < -3 SD; TB/U Z score -3 SD < z-score <-2 SD ; BB/TB <-3 SD kesan gizi buruk. Pada pemeriksaan daerah leher tidak teraba pembesaran limfonodi servikal. Bentuk dada pectus excavatum, dinding dada simetris, tidak ada ketinggalan gerak, terdapat retraksi subkostal, suara jantung I tunggal dan suara jantung II split tak konstan, tidak ada bising. Pada pemeriksaan paru didapatkan suara pernapasan vesicular, suara tambahan ronki di kedua lapang paru, tidak dijumpai krepitasi. Abdomen tidak distended, peristaltik normal, hepar teraba 1-2cm dibawah arkus kostarum, lien tidak teraba. Akral hangat, perfusi jaringan baik, ujung-ujung jari tidak sianosis. Pada pemeriksaan kepala, ubun-ubun besar (UUB) teraba 2,5 x 2,5cm2 tidak membonjol, tidak terdapat sianosis pada mulut, tampak cleft pada palatum. Pemeriksaan laboratorium mendapatkan hasil hemoglobin (Hb) 10,5 g/dL, hematokrit (Hct) 31,9%, jumlah lekosit 11,270/mm3, jumlah trombosit 487.000/mm3. Rontgen thoraks mendukung gambaran pneumonia bilateral. Anak didiagnosis sebagai chronic lung disease, recurrent pneumonia, susp. GERD, palatoschizis, gizi buruk. Diberikan terapi 02 NK 1 liter/m, antibiotik amoxicillin 100 mg/kgbb/hr (3x50mg) per oral, 10 langkah manajemen gizi buruk dan ranitidin 2mg/kgBB/x. Anak dirawat selama 2 bulan di bangsal melati 2, dilakukan pemeriksaan Rontgen thoraks dengan hasil dysplasia brochopulmoner grade 2 dan CT Scan Thoraks dengan hasil pneumonia dextra (lobus superior, media dan inferior) dan dilakukan konsultasi dengan bagian bedah mulut dengan hasil tidak didapatkan celah langit-langit, hanya dijumpai palatum letak tinggi. Berdasarkan evaluasi klinis dan laboratorium selama perawatan, antibiotika diganti dengan klindamisin kemudian diganti azitromicin serta diberikan steroid berupa metilprednisolon 0,5-1mg/kgBB/x per oral selama 3 hari kemudian dilanjutkan flutikason (seretide) 2x50 μg dengan spaser. Elektrokardiografi dilanjutkan ekocardiografi dilakukan untuk melacak adanya kelainan jantung, dan didapatkan kondisi patent foramen ovale, TI mild dan PH mild 5 yang hanya memerlukan pemantauan berkala tanpa pengobatan. Selama perawatan didapatkan perbaikan klinis dan pertambahan berat badan sehingga dikatakan pneumonia dan GERD membaik, anak direncanakan pulang dengan meneruskan terapi seretide 2x50 µg dengan spacer, ranitidin oral, fisioterapi dada dan oral. Nutrisi tetap diberikan melalui NGT. Edukasi persiapan dipulangkan dengan persediaan oksigen selama di rumah. Pada hari perawatan ke-61 pasien berhasil weaning oksigen, kemudian dipulangkan. Berat badan saat pulang 4,9 kg. Kejar imunisasi pada saat itu belum dilakukan. Selama di rumah anak masih menggunakan oksigen secara intermitten bila tampak napas cepat dan saturasi menurun di bawah 92%, sedangkan nutrisi masih diberikan melalui pipa lambung berupa F100. Anak kontrol 5 hari setelah dirawat inap dan selanjutnya setiap bulan ke poli respirologi, poli gizi, poli gastroenterologi. Saat kontrol pertama (umur 7 bulan), anak tidak sesak, muntah jarang, hanya jika diberikan minum lebih dari 100cc, berat badan meningkat menjadi 5 kg. Terapi oksigen masih dipakai sesekali terutama saat malam hari dimana anak tampak nafas cepat, nafas berbunyi atau saturasi menurun di bawah 92%. Pada saat itu didiagnosis sebagai CLD, pneumonia membaik, GERD membaik, gizi buruk fase rehabilitasi, palatum letak tinggi, PFO, TI mild, PH mild, missed opportunity of immunization. Terapi diteruskan dengan seretide inhalasi menggunakan spacer, ranitidin dihentikan. Kepada orang tua disarankan melanjutkan terapi dirumah, fisioterapi, pemberian nutrisi F100 melalui pipa lambung dan dicoba minum sedikit demi sedikit per oral. Pada saat kontrol sebulan setelah rawat inap (umur 8 bulan), anak tidak sesak, oksigen telah dapat dilepaskan, anak sudah tidak muntah, tidak gumoh, anak baru dapat tengkurap belum bisa duduk, berat badan meningkat menjadi 5,2 kg, panjang badan 60 cm. Anak diases sebagai pneumonia membaik pada chronic lung disease, gizi buruk fase rehabilitasi, palatum letak tinggi, suspek keterlambatan perkembangan motorik kasar, patent foramen ovale, TI mild, PH mild, missed opportunity of immunization. Anak mendapat imunisasi polio-2, DPaT-2, HiB-1 dan Hepatitis B. Terapi seretide inhalasi masih diteruskan dengan evaluasi pada saat kontrol bulan berikutnya, nutrisi F100 diganti dengan Bebelac complete melalui pipa lambung dan per oral serta dianjurkan mulai diberikan makanan tambahan berupa bubur susu. 6 Saat diambil sebagai kasus longitudinal, anak berumur 9 bulan 20 hari dengan diagnosis chronic lung disease, gizi buruk fase rehabilitasi, suspek keterlambatan perkembangan motorik kasar, palatum letak tinggi, patent foramen ovale, TI mild, PH mild dan missed opportunity of immunization. C. Tujuan Pemantauan bertujuan untuk mengetahui luaran klinis jangka panjang chronic lung disease berupa kejadian rehospitalisasi, morbiditas penyakit berupa gangguan pernapasan dan komplikasi penyakit seperti gangguan tumbuh kembang maupun komplikasi terhadap organ lain. Pemantauan juga dimaksudkan untuk mengetahui hasil intervensi terhadap faktor prognostik pada chronic lung disease (CLD). D. Manfaat Manfaat untuk pasien adalah dengan pemantauan dan intervensi yang baik, diharapkan pasien chronic lung disease mendapatkan tata laksana sebaik-baiknya baik jangka pendek maupun jangka panjang, serta permasalahan maupun komplikasi penyakit dapat dideteksi sedini mungkin sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan prognosis yang lebih baik, anak memiliki kualitas hidup yang baik serta dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan mencapai kemandirian dalam melakukan aktivitasnya. Manfaat untuk keluarga dan lingkungannya antara lain keluarga dapat mengetahui dan memahami mengenai penyakit anak baik kondisi-kondisi terkait, komplikasi, prognosis dan manajemen yang diterapkan sehingga dapat bekerja sama dan berkolaborasi dalam penanganan penyakit anak. Hal ini disebabkan peranan keluarga sangat penting dalam keberhasilan tatalaksana anak dengan chronic lung disease. Kemauan dan kemampuan orang tua dalam perawatan di rumah, mengenali tanda bahaya dan melakukan pertolongan awal sebelum dibawa ke rumah sakit merupakan hal yang penting dan perlu terus diberikan motivasi agar perawatan jangka panjang dapat berjalan optimal. Manfaat untuk peserta PPDS antara lain dapat mengetahui manajemen chronic lung disease sejak penegakan diagnosis, prognosis dan pengenalan komplikasinya 7 sehingga dapat merencanakan dan melaksanakan penanganan yang berkelanjutan, dapat melakukan pemantauan pada anak dengan chronic lung disease, mengenali komplikasi sehingga dapat mencapai hasil yang seoptimal mungkin dengan terapi yang komprehensif. Manfaat bagi rumah sakit antara lain dengan melakukan pemantauan dan tatalaksana anak dengan chronic lung disease yang komprehensif, maka mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat ditingkatkan dan dapat memberikan luaran yang seoptimal mungkin. 8