KERAJAAN SRIWIJAYA Nama Sriwijaya berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu “sri” yang berarti bercahaya/gemilang dan “wijaya” yang berarti kemenangan/kejayaan, sehingga secara harafiah dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya berarti kemenangan yang gemilang. Sriwijaya dikenal kuat dalam bidang ekonomi dan militer. 1. Lokasi dan sumber sejarah Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang membawa kejayaan bangsa Indonesia di masa lampau. Kerajaan Sriwijaya tidak hanya dikenal di wilayah Indonesia, tetapi juga dikenal hampir setiap bangsa/kerajaan yang berada jauh di luar wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh letaknya yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka, yang pada saat itu merupakan jalur perdagangan satu-satunya yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina, India, dan Romawi. Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim bercorak Budha yang terletak di tepi Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan, dan berdiri pada abad ke-7. Daerah kekuasaannya meliputi Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Sumber-sumber sejarah yang ada antara lain : a. Berita luar negeri Berita Cina Dikatakan bahwa berdiri Sriwijaya sekitar abad ke-7 M. Di Sumatra saat itu telah ada beberapa kerajaan seperti Kerajaan Tulang Bawang, Melayu, dan Sriwijaya. Seorang pendeta Tiongkok bernama I-Tsing (yang sedang terlibat perjalanan dari Kanton ke India, dan singgah Sriwijaya) melaporkan bahwa Sriwijaya merupakan pusat pembelajaran agama Budha Mahayana di Asia Tenggara dan Timur, di sana agama Budha berkembang pesat. Banyak pendeta Cina yang datang untuk belajar bahasa Sansekerta dan menyalin kitab-kita agama Budha. Dia tinggal selama 4 tahun (685-689) di Sriwijaya untuk menerjemahkan Weda. Ia menjelaskan bahwa raja Sriwijaya merupakan pelindung rakyat dan penganut agama yang taat. Terdapat 1.000 pendeta yang belajar pada Sakyakirti, pendeta Budha yang terkenal yang mengajarkan cara menerjemahkan bahasa Sansekerta. Konon, tingginya kedudukan Sriwijaya sebagai pusat perkembangan agama Budha diawali oleh datangnya pendeta Tantris yang bernama Wajrabodhi. Kegiatan pembelajaran berbagai ilmu pengetahuan ini menunjukkan usaha Balaputradewa untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan dan perkembangan Sriwijaya selanjutnya. Pedagang-pedagang Sriwijaya menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Cina yang sering singgah di Kerajaan Sriwijaya untuk meneruskan perjalanan ke India/Romawi. Pada tahun 472, Sriwijaya mengirimkan utusannya ke Cina. Berita Tibet Seorang pendeta bernama Atica tinggal di Sriwijaya untuk belajar agama Budha dari Guru Dharma Pala. Berita Arab Diketahui bahwa banyak pedagang Arab yang berdagang di Sriwijaya dan tinggal di perkampungan sementara di pusat kerajaan. Keberadaan Sriwijaya diketahui dari sebutan orang-orang Arab terhadap Kerajaan Sriwijaya, seperti Zabaq, Sabay, dan Sribusa. Berita India Raja dari Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan yang ada di India, seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Sekitar abad ke-9 sampai 11 Kerajaan Nalanda diperintah oleh raja-raja dari Dinasti Pala. Salah seorang rajanya yang terbesar bernama Dewa Paladewa. Hubungan baik ini dibuktikan dengan pembuatan Prasasti Nalanda oleh Raja Sriwijaya. Dalam prasasti itu, dinyatakan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak. Dan sebagai gantinya, kelima desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di sana. Selain itu, hubungan ini juga ditujukan agar Balaputradewa (yang terusir dari Jawa dan diangkat menjadi Raja Sriwijaya) mendapatkan dukungan dalam memperkuat kedudukannya menjadi raja di Sriwijaya Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola/Cholamandala (terletak di India Selatan). Pada awalnya, hubungan antara kedua kerajaan ini amat baik. Raja Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan biara di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Sriwijaya. Tetapi hubungan baik ini retak dan menjadi permusuhan setelah Raja Rajendra Chola berkuasa di Kerajaan Chola dan ingin membinasakan kekuatan armada laut Sriwijaya (yang makmur dalam bidang pelayaran dan perdagangan), sehingga jaringan pelayaran perdagangan di Asia Tenggara hingga India dikuasai Kerajaan Chola. Kerajaan Chola menyerang Sriwijaya 3 kali. Serangan pertama pada tahun 1023 gagal, namun serangan kedua pada tahun 1030 berhasil menawan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dan merebut dua pusat Kerajaan Sriwijaya. Meski tidak meruntuhkan Sriwijaya, serangan-serangan ini dapat melumpuhkan Sriwijaya. Keadaan ini memberi peluang bagi Airlangga di Jawa Timur untuk menyusun kekuatan angkatan perangnya, dan dalam waktu singkat, di Jawa Timur berdiri kerajaan yang kuat dan besar (Kerajaan Medang Kamulan) sebagai saingannya. Berita Malaka dan Ceylon Berita Persia b. Berita dalam negeri Berupa prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja Kerajaan Sriwijaya. Sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti Kota Kapur Ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 686 M. Kata “Sriwijaya” pertama kali dikenal dalam prasasti ini. Merupakan sebuah kota yang didirikan oleh Dapunta Hyang setelah berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke Minangatamwan dan daerah-daerah di sekitar Palembang. Terdapat permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedaulatan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang durhaka terhadap kekuasaan Sriwijaya. Di dalamnya terdapat kisah bahwa bumi Jawa (Kerajaan Tarumanegara) tidak mau tunduk pada Sriwijaya. Prasasti Kedukan Bukit Berangka tahun 684 M, ditemukan di tepi Sungai Tatang, Palembang. Pada tahun 683 Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci “siddayatra”/ekspedisi militer/penaklukan ke wilayah lain dengan membawa tentara sebanyak 20.000 orang menggunakan perahu dan berhasil memperluas kekuasaan Sriwijaya ke Minangatamwan (sekarang bernama Binaga, Jambi), yaitu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri, yang merupakan wilayah Kerajaan Melayu. Perjalanan ini berlangsung selama 8 hari. Menunjukkan bahwa pusat pemerintahan Sriwijaya awalnya bukan di Palembang, tetapi di Muara Takus, Riau. Didukung dengan penemuan arkeologis berupa stupa di Muara Takus. Pemindahan ibukota ke Palembang bertujuan agar Sriwijaya mudah menguasai daerah-daerah sekitarnya, serta mengawasi daerah-daerah yang telah ditaklukan agar tidak melepaskan diri dari Sriwijaya. Terbukti, pada abad ke-7 M, Sriwijaya berhasil menguasai jalur-jalur kunci perdagangan seperti Selat Sunda, Bangka, Malaka, dan barat Laut Jawa. Prasasti Talang Tuo Berangka tahun 684 M, ditemukan di Desa Gandus, sebelah barat Palembang. Dapunta Hyang memiliki istri bernama Sobakencana (Tejakencana), putri kedua dari Raja Linggawarman, raja terakhir Tarumanegara. Ia juga memerintahkan pendirian suatu tempat upacara/ibadah, sebagai rasa syukur atas kesuksesannya dalam ekspedisi militernya, namanya Taman Srikestra/”Srikserta”. Konon, pendirian taman ini juga diartikan sebagai usaha raja untuk memikat hati rakyat dari kerajaankerajaan yang telah ditaklukannya. Terlihat dalam sistem pemerintahannya, di mana raja-raja yang daerahnya telah berhasil ditaklukan Sriwijaya tetap menjadi raja di daerahnya sendiri, tetapi tunduk dan taat terhadap perintah-perintah Raja Sriwijaya. Prasasti Telaga Batu Tidak berangka tahun Berbentuk batu lempeng, mirip segilima. Menyebutkan tentang kutukan raja terhadap siapa saja yang tidak taat terhadap Raja Sriwijaya dan melakukan tindakan kejahatan. Prasasti Karang Berahi Berangka tahun 686, ditemukan di daerah pedalaman Jambi. Menunjukkan penguasaan Sriwijaya atas daerah tersebut. Prasasti Ligor Berangka tahun 775, ditemukan di Tanah Genting Kra, Malaysia. Ditulis oleh Raja Wisnu dari Dinasti Syailendra (diduga sama dengan Raja Sanggramadananjaya yang namanya terdapat pada Prasasti Klurak di Jawa Tengah). Berdasarkan prasasti ini, ibukota Sriwijaya berpindah-pindah dari Muara Takus (Sriwijaya) ke Palembang. Letak Palembang yang merupakan pedalaman, tetapi dari segi keamanan sangat menguntungkan, menyebabkan Sriwijaya dapat mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka dan menjadi kerajaan maritim yang tangguh. Disebutkan bahwa Raja Dharmasetu mendirikan pelabuhan/pangkalan di Semenanjung Malaya, dekat Ligor dan membangun beberapa bangunan suci agama Budha. Prasasti Nalanda Berangka tahun 860 Sriwijaya mendirikan asrama untuk para pendeta yang sedang belajar di Benggala, India. Oleh Raja Chola, asrama ini diberi nama Wihara Nalanda. Balaputradewa, keturunan dari Dinasti Syailendra dengan ayah bernama Samaragwira dan ibu bernama Dewi Tara (putri raja Sriwijaya, Dharmasetu), meninggalkan Pulau Jawa. Terdapat 2 pendapat populer yang menjelaskan hal ini : Memang sejak awal dia tidak mempunyai yang menjelaskan hal ini, yaitu memang sejak awal dia tidak memiliki hak atas tahta kerajaan, karena hanyalah adik dari Samaratungga. Terjadi perebutan takhta antara Balaputradewa dan Rakai Pikatan, karena kalah perang pada tahun 856, Balaputradewa menyingkir ke Sumatra dan menjadi raja Sriwijaya yang telah dikuasai Wangsa Syailendra. Sriwijaya dikuasai Syailendra sejak zaman Raja Wisnu. Balaputradewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda Prasasti-prasasti Siddhayatrra Ditemukan di daerah Palembang Prasasti Palas Pasemah Ditemukan di Lampung Selatan Menyebutkan bahwa pada abad ke-7, Lampung Selatan jatuh ke tangan Sriwijaya. Benda purbakala 2. Kehidupan politik Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya di antaranya : a. Raja Dapunta Hyang Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit. Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, dengan menduduki daerah Minangatamwan. Daerah ini sangat strategis dalam bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim. b. Raja Balaputradewa Raja Balaputradewa masih keturunan Raja Syailendra. Kisah pelariannya ke Kerajaan Sriwijaya diceritakan dalam Prasasti Nalanda. Sebelumnya, di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakek Balaputradewa) yang tidak memiliki putra mahkota, sehingga kedatangan Balaputradewa saat itu disambut baik, dan diangkatlah dia menjadi raja. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya berkembang semakin pesat di segala aspek kehidupan. Ia meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyatnya, juga menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada di luar wilayah Indonesia, terutama dengan Kerajaan Nalanda/Benggala dan Cholamandala di India. Bahkan pada masa pemerintahannya, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Balaputradewa juga selalu berusaha untuk mendapatkan kembali daerah kekuasaannya yang ada di Pulau Jawa (Kerajaan Mataram Kuno), bahkan menekankan pada keturunannya untuk mendapatkan kembali daerah tersebut. Kerajaan Sriwijaya bekerjasama dengan Kerajaan Wurawari untuk melancarkan serangan terhadap Mataram Kuno. Serangan itu terjadi pada tahun 1016 terhadap Raja Dharmawangsa. c. Raja Sanggrama Wijayattunggawarman Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya mendapat ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah pemerintahan Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya dengan menawan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulotungga I, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali. 3. Kehidupan sosial-politik Masyarakat Sriwijaya hidup dari perdagangan dan pelayaran. Letaknya yang strategis (di antara jalur perdagangan India dan Cina) menjadikan Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritim di Sumatra dan menjadi pengendali jalur serta pusat perdagangan di Asia Tenggara (ditambah lagi dengan Selat Sunda yang berhasil ditaklukannya). Pelayaran perdagangan Sriwijaya tidak hanya melalui Selat Malaka, tetapi juga Selat Sunda yang telah ditaklukannya. Hasil bumi yang diperdagangkan antara lain kemenyan, lada, damar, penyu, emas, perak, gading gajah, kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kapulaga, dan timah. Pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan keramik, kain katun, dan sutra. Untuk menjaga monopoli dan dominasi perdagangan, Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk memperluas wilayah kekuasaannya, menaklukan pelabuhan pesaing serta daerah-daerah bandar strategis di sekitarnya, dan menyerang mereka di bawah kekuasan Sriwijaya, sehingga Sriwijaya tidak mendapat saingan dalam mendirikan bandar perdagangan yang besar. Armada Kerajaan Sriwijaya yang kuat dan perkasa menjamin keamanan para pedagang dalam melakukan pelayaran dan perdagangan. Armada Sriwijaya juga dapat memaksa perahu dagang untuk singgah di pusat/bandar Sriwijaya. Setelah berhasil menguasai Palembang, ibukota kerajaan dipindahkan dari Muara Takus ke Palembang yang memudahkan mereka untuk menguasai daerah-daerah di sekitarnya. Pada abad ke-7, Sriwijaya berhasil menguasai kunci-kunci jalur perdagangan yang penting. Dengan ramainya aktivitas perdagangan, Sriwijaya menjadi tempat pertemuan para pedagang atau pusat perdagangan di Asia Tenggara, pengaruh dan peranan Sriwijaya juga semakin besar di laut. Pada abad ke-8, perluasan Sriwijaya ditujukan ke arah utara, menduduki Semenanjung Malaya (berhasil menguasai daerah penghasil lada dan timah) dan Tanah Genting Kra (berhasil menguasai lalu lintas jalur perdagangan antara Cina dan India). Kerajaan-kerajaan lain yang berhasil ditaklukan dan dijadikan kerajaan bawahan antara lain : Ligor Kelantan Pahang Jambi Sunda Dari kerajaan-kerajaan ini, Sriwijaya mendapatkan banyak upeti. Untuk menghindari lingkungan perdagangan yang tidak aman, Sriwijaya melindungi daerah perdagangan yang berada di bawah kekuasaannya. Misalnya dengan Cina, Sriwijaya tidak menaklukan Cina, melainkan melindungi jalur yang dilalui para pedagang Cina agar merasa aman, sehingga Sriwijaya tidak harus membayar upeti kepada Cina, melainkan mendapat biaya masuk bandar. Pada akhir abad ke-9, Sriwijaya berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara. Sriwijaya mencapai zaman keemasan di bawah Raja Balaputradewa yang bertakhta pada tahun 856, Sriwijaya berkembang dengan pasar. Rakyat hidup dengan aman dan makmur. Dia menjalin hubungan yang baik dengan kerajaan-kerajaan lain, seperti Kerajaan Nalanda dan Cholamandala dari India, Kerajaan Cina, Kamboja, dan Siam untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakatnya. Sriwijaya merupakan kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangganya, dan dikenal sebagai kerajaan besar pertama di Indonesia. Kemajuan pesat Sriwijaya didukung oleh faktor-faktor berikut : Letak strategis, di jalur perdagangan antara India dan Cina Semakin pesatnya perkembangan perdagangan yang dilakukan India dan Cina melalui Selat Malaka membuat posisi Sriwijaya semakin penting Keberhasil dalam menguasai jalur-jalur perdagangan yang strategis Hasil buminya menjadi komoditi perdagangan yang berharga Armada lautnya kuat karena bekerjasama dengan armada laut India dan Cina Pendapatan melimpah dari upeti kerajaan bawahan dan cuka terhadap kapal asing Keruntuhan Kerajaan Fu-Nan di Asia Tenggara sehingga tergantikan oleh Sriwijaya Pada abad ke-7, Kerajaan Fu-Nan di Vietnam runtuh karena perang saudara. Sebelum itu, Kerajaan Fu-Nan merupakan satu-satunya kerajaan di Asia Tenggara yang menguasai bidang politik, perdagangan, dan kebudayaan di daerah Laut Selatan. Dengan runtuhnya Kerajaan Fu-Nan, maka hilanglah penguasa tunggal di Asia Tenggara. Kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Kerajaan Sriwijaya dan berhasil mengambil alih kedudukan Fu-Nan dalam menguasai jalur perdagangan antara India dan Cina. Dengan adanya pusat perdagangan yang strategis dan armada laut yang kuat, wilayah Sriwijaya menjadi luas, antara lain daerah Malaka, Tulang Bawang, Kedah, Pulau Bangka, Semenanjung Kra, Jambi, Palembang, Lampung, dan Jawa Tengah. 4. Kehidupan kebudayaan Kerajaan Sriwijaya yang wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah Indonesia bagian barat dan adanya hubungan dengan Cina, India, dan negara-negara lainnya memungkinkan masyarakat Sriwijaya untuk menyerap budaya bangsa-bangsa tersebut, sehingga semakin beragam kebudayaan yang ada di Sriwijaya. Meskipun begitu masalah kebudayaan bukanlah masalah utama dalam kehidupan kerajaan. Hampir tidak pernah ditemukan peninggalan-peninggalan kebudayaan yang berharga dari Kerajaan Sriwijaya. Dan meskipun merupakan pusat pembelajaran agama Budha, tidak banyak peninggalan-peninggalan purbakala seperti candi dan arca. Salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya adalah Biaro Bahal yang merupakan bangunan suci agama Budha yang terletak di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Di Rumah Bari (museum di Palembang) terdapat beberapa arca Budha yang ditemukan dari daerah sekitar Palembang, namun jumlahnya sedikit 5. Kehidupan ekonomi Dilihat dari letak geografis, Kerajaan Sriwijaya mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu di tengah-tengah jalur pelayaran perdagangan antara India dan Cina. Di samping itu, letak Kerajaan Sriwijaya dekat dengan Selat Malaka yang merupakan urat nadi perhubungan bagi daerah-daerah di Asia Tenggara. Setelah runtuhnya Kerajaan Fu-Nan, Kerajaan Sriwijaya berusaha untuk menguasai daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Fu-Nan, termasuk menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka. Hal tersebut mempunyai arti penting terhadap perkembangan Kerajaan Sriwijaya di dunia maritima, karena banyak kapalkapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makan, beristirahat, bahkan melakukan aktivitas perdagangan. Bertambah ramainya aktivitas pelayaran perdagangan di Selat Malaka menguntungkan Kerajaan Sriwijaya sehingga dibangunlah ibukota baru di Ligor, Semenanjung Malaya. Pendirian ibukota ini ditujukan agar pengawasan terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka dapat dilakukan secara lebih dekat, menghindari penyebrangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra. Ibukota di Palembang tidak dipindahkan. Saat Balaputradewa bertakhta, aktivitas pelayaran dan perdagangan berkembang sangat pesat, disebabkan terjalinnya hubungan yang erat dengan Kerajaan Nalanda dan Chola. Abu Zaid Hasan menyebutkan bahwa wilayah Kerajaan Sriwijaya sangat luas, tanahnya subuh dan memiliki daerah kekuasaan di seberang lautan. Hasil bumi Kerajaan Sriwijaya merupakan modal utama bagi masyarakatnya untuk terjun dalam aktivitas pelayaran dan perdagangan. 6. Keruntuhan Sriwijaya Setelah Balaputradewa tidak memerintah lagi, hubungan baik Sriwijaya dengan Kerajaan Chola berkurang, disebabkan Kerajaan Chola menginginkan jalur perdagangan Sriwijaya yang menguntungkan dan masalah politik. Pada tahun 1023, di bawah pimpinan Raja Rayendra, Kerajaan Chola menyerang Sriwijaya, kemudian dilanjutkan dengan serangan berikutnya pada tahun 1030. Pada serangannya yang kedua ini, Kerajaan Chola berhasil merebut kedua pusat Kerajaan Sriwijaya dan menawan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman. Selama bertahun-tahun, kabar Raja Sanggrama Wijayattunggawarman tidak terdengar. Meski tidak runtuh, akibat dari serangan-serangan tersebut mulai dirasakan Sriwijaya. Pada tahun 1068, di bawah Raja Wirayendra, Kerajaan Chola kembali menyerang, tetapi belum dapat meruntuhkan Sriwijaya. Pada tahun 1089, saat Raja Kulotungga I bertakhta, ia membebaskan tanah-tanah tawanan dan Kerajaan Sriwijaya dapat kembali berkembang dengan bebas. Pada tahun 1275, Sriwijaya mendapat ancaman lain dari Raja Kertanegara, dari Singasari. Raja Kertanegara melakukan Ekspedisi Pamalayu untuk memperluas kekuasaannya dan mempersatukan Nusantara. Raja Kertanegara berhasil menguasai Kerajaan Melayu (salah satu wilayah kekuasaan Sriwijaya), ditandai dengan pengiriman patung Amoghapasa dari Singasari ke Dharmacraya (ibukota Kerajaan Melayu). Hal ini menandakan bahwa kedudukan Kerajaan Sriwijaya saat itu sudah lemah. Karena seandainya Sriwijaya masih kuat, tidak mungkin Sriwijaya membiarkan Kertanegara bertindak di daerah kekuasaannya. Pada tahun 1292, Kerajaan Sukhodaya di Thailand berkembang di bawah pemerintahan Raja Kambheng. Kerajaan ini berhasil menduduki Ligor dan daerah-daerah lain di Ligor dan Malaka utara. Akhirnya, pada abad ke-14, Sriwijaya lenyap akibat gempuran Kerajaan Majapahit yang ingin melebarkan kekuasaan ke seluruh Nusantara. Penyebab-penyebab lain dari kemunduran Sriwijaya antara lain : Serangan Raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang Kamulan pada tahun 990 Mundurnya perekonomian dan perdagangan Sriwijaya karena bandar-bandar penting melepaskan diri Kerajaan-kerajaan bawahannya melepaskan diri satu per satu karena kemunduran ekonomi dan perdagangan Munculnya Kerajaan Samudra Pasai yang mengambil alih pengaruh Sriwijaya