analisis pengaruh nilai tukar riil terhadap neraca

advertisement
ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RIIL TERHADAP
NERACA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA
DENGAN TIGA MITRA DAGANG: FENOMENA J-CURVE
HAPSARI ADININGSIH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pengaruh Nilai Tukar
Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra
Dagang: Fenomena J-Curve adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Hapsari Adiningsih
NIM H14090060
ABSTRAK
HAPSARI ADININGSIH. Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap
Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena
kurva-J. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh nilai tukar riil (Real
Exchange Rate/RER) terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga
mitra dagang utamanya, yaitu: Amerika Serikat, Cina, dan Jepang, baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini juga menginvestigasi
terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner dan keberadaan fenomena kurva-J pada
neraca perdagangan bilateral Indonesia antara 1996:Q1 hingga 2011:Q4 dengan
menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian ini
mengindikasikan bahwa (i) dalam jangka panjang, RER memiliki pengaruh
negatif terhadap neraca perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat dan
pengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China
dan Jepang. (ii) Dalam jangka pendek, RER tidak memiliki pengaruh terhadap
neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dan memiliki
pengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China
dan Jepang. (iii) kondisi Marshall-Lerner dan fenomena kurva-J hanya terlihat
pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dan Jepang.
Kata kunci: fenomena kurva-J, neraca perdagangan, nilai tukar riil, VECM
ABSTRACT
HAPSARI ADININGSIH. Analyze the Effect of Real Exchange Rate on the
Indonesia’s Bilateral Trade Balance With Three Trading Partner: J-Curve
Phenomenon. Supervised by HERMANTO SIREGAR.
The purpose of this study is to analyze the effect of real exchange rate
(RER) on the Indonesia’s bilateral trade balance with its three major trading
partners, namely: the United States, China, and Japan, both in the short run and in
the long run. This study also investigates Marshall-Lerner Condition and the
existence of J-Curve on the Indonesia’s bilateral trade balance between 1996:Q1
to 2011:Q4 within a Vector Error Correction Model (VECM). The study indicates
that (i) in the long-run, RER has a positive impact in long-run on Indonesia’s
bilateral trade balance with China and Japan. In the other hand, RER has a
negative impact on Indonesia’s bilateral trade balance with United States. (ii) In
the short-run, RER doesn’t has an impact on Indonesia’s bilateral trade balance
with United States and has a positive impact on Indonesia’s bilateral trade balance
with China and Japan. (iii) Marshall-Lerner Condition and J-Curve Phenomenon
only seen on Indonesia’s bilateral trade balance with China and Japan.
Keyword: J-Curve phenomenon, Real Exchange Rate (RER), trade balance,
VECM
ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RIIL TERHADAP
NERACA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA
DENGAN TIGA MITRA DAGANG: FENOMENA J-CURVE
HAPSARI ADININGSIH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan
Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena J- Curve
Nama
: Hapsari Adiningsih
NIM
: H14090060
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan
Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena J-Curve”. Shalawat
dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi
tauladan bagi umatnya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor.
Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis pengaruh nilai tukar riil
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang
utamanya (Amerika Serikat, Cina, dan Jepang) baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Penelitian ini juga menginvestigasi terpenuhinya kondisi
Marshall-Lerner dan keberadaan fenomena kurva-J pada neraca perdagangan
bilateral Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi
pemerintah dan pihak terkait (eksportir dan importir) dalam membuat kebijakan
dan mengambil keputusan terkait dengan kegiatan perdagangan (ekspor dan
impor) dengan negara lain (terutama mitra dagang).
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Ayahanda Sogol Sugiarto
dan Ibunda Sri Sukanti, kakak dan adik tersayang Fani Budiman dan Astika Indira
Khansa beserta keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan, dan perhatian
yang telah senantiasa diberikan. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku dosen pembimbing
skripsi yang dengan sabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Noer Azam Achsani selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir.
Dewi Ulfah Wardani, M.Si, selaku dosen penguji dari komisi pendidikan
yang telah memberi saran-saran yang membangun serta ilmu yang
bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
4. Kak vevi, staf Ecthink, dan staf Kementrian Perdagangan atas bantuan yang
diberikan selama proses pencarian data.
5. Kak Rina dan Kak Heni atas saran dan ilmu-ilmu yang telah diberikan
selama proses pengolahan data.
6. Sahabat satu bimbingan, Bronson Marpaung atas segala dukungan,
semangat, dan suka dukanya selama proses penyelesaian skripsi kita masingmasing.
7. Sahabat penulis Bagastari, Yeni, Ika, Indri, Risma, serta teman-teman Ilmu
Ekonomi 46 atas kebersamaannya selama tiga tahun serta doa dan
dukungannya.
8. Sahabat penulis Devi, Abieta, Nisa, Mona, Arsy, Icha, Yulis, Chika, Indie
serta teman-teman kostan Rumah Warna lainnya atas kebersamaan,
keceriaan, doa, dan dukungannya.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi
ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat
kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis maupun pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2013
Hapsari Adiningsih
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
5
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
6
METODOLOGI PENELITIAN
19
GAMBARAN UMUM NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
SIMPULAN DAN SARAN
55
Simpulan
55
Saran
55
DAFTAR PUSTAKA
56
LAMPIRAN
58
RIWAYAT HIDUP
89
DAFTAR TABEL
1 Pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang
negara mitra dagang utama Indonesia periode 2005-2011
2 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat level
3 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat first difference
4 Hasil uji stabilitas VAR
5 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
6 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-China
7 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Jepang
8 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Amerika Serikat dalam beberapa titik kuartal
9 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–China dalam beberapa titik kuartal
10 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Jepang dalam beberapa titik kuartal54
4
33
34
35
36
40
43
51
53
DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata pangsa ekspor Indonesia selama periode 2005-2011
2 Rata-rata pangsa ekspor Indonesia selama periode 2005-2011
3 Pergerakan neraca perdagangan (nilai ekspor-nilai impor)
Indonesia dengan mitra dagang utama tahun 2005-2011
4 Hubungan kurs riil dengan net ekspor
5 Hubungan tingkat suku bunga dengan neraca perdagangan
6 Kurva-J
7 Kerangka Pemikiran
8 Perkembangan neraca perdagangan bilateral Indonesia
dengan tiga mitra dagang utamanya selama periode 1996-2011
9 Perkembangan PDB riil Jepang triwulanan selama periode 1996-2011
10 Perkembangan PDB riil China triwulanan selama periode 1996-2011
11 Perkembangan PDB riil Amerika Serikat triwulanan selama periode
1996-2011
12 Perkembangan PDB riil Indonesia triwulanan selama periode 1996-2011
13 Perkembangan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara
mitra dagang utama Indonesia triwulanan selama periode 1996-2011
14 Perkembangan Suku Bunga di Empat Negara triwulanan selama
periode 1996-2011
15 Respon neraca perdagangan bilateral IndonesiaAmerikaSerikat terhadap guncangan nilai tukar efektif riil
16 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–China terhadap
guncangan nilai tukar efektif riil
17 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang terhadap
guncangan nilai tukar efektif riil
18 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Amerika Serikat
19 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–China
20 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Jepang
2
3
5
9
10
11
19
24
27
28
29
30
31
32
47
48
50
51
52
54
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komoditas utama dalam kegiatan ekspor antara Indonesia
Dengan mitra dagang utama dan rata-rata pangsa ekspor selama
periode 2006-2011
2 Komoditas utama dalam kegiatan impor antara Indonesia
Dengan mitra dagang utama dan rata-rata pangsa ekspor selama
periode 2006-2011
59
3 Uji Stasionerritas pada tingkat level
4 Uji stasionaritas pada tingkat first difference
5 Uji Lag Optimal
6 Uji Stabilitas VAR
7 Uji Kointegrasi
8 Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)
9 Impuls Response Function (IRF)
10 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
58
60
63
67
68
70
72
84
85
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Era baru yang kini membuka kesempatan kerjasama antar negara adalah
integrasi ekonomi yang timbul karena negara yang bersangkutan menganut sistem
perekonomian terbuka. Era ini ditandai dengan semakin berkembangnya
kesepakatan integrasi bilateral terutama integrasi ekonomi antar negara dan antar
kawasan dunia. Integrasi ekonomi dilaksanakan dengan konsep memberikan
manfaat ekonomi bagi negara-negara anggota maupun non-anggota. Prinsip dasar
integrasi ekonomi adalah mengurangi atau menghilangkan semua hambatan
perdagangan di antara negara anggota dalam kawasan tertentu untuk dapat
meningkatkan arus barang dan jasa dengan bebas ke luar masuk melintasi batas
negara masing-masing anggota, sehingga volume perdagangan semakin tinggi.
Peningkatan volume perdagangan ini mendorong peningkatan produksi,
peningkatan efisiensi produksi, peningkatan kesempatan kerja, dan penurunan
biaya produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing produk dan pada
akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang turut aktif dalam integrasi
ekonomi dan kerjasama perdagangan baik yang bersifat bilateral, regional maupun
internasional. Meskipun keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerjasama
perdagangan tersebut memberikan tantangan terhadap produk dalam negeri,
tujuan dari semua perjanjian tersebut adalah adanya dampak positif bagi
perekonomian negara-negara yang terlibat dan ekonomi Indonesia pada khususnya.
Terkait dengan kawasan regional, Indonesia tergabung dalam integrasi
ekonomi di antara negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dimulai sejak tahun
1967 dalam deklarasi di Bangkok. Selanjutnya berlaku Asean Free Trade Area
(AFTA) yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992. Dalam
perkembangannya, kerjasama diperluas dengan melibatkan berbagai negara
lainnya termasuk dengan Cina yang dikenal sebagai ACFTA.
Tidak hanya di tingkat regional, Indonesia juga memiliki hubungan
perdagangan bilateral dengan beberapa negara di dunia, misalnya hubungan
perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika, Indonesia dengan Jepang,
dan sebagainya. Hubungan perdagangan ini dilakukan oleh Indonesia karena
perdagangan internasional tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pendapatan nasional bagi Indonesia. Terjadinya perdagangan
internasional diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara terutama dari
permintaan barang ekspor. Peningkatan nilai ekspor yang lebih besar dari nilai
impor mampu memperbaiki nilai neraca perdagangan dan pada akhirnya akan
mempengaruhi balance of payment.
Berdasarkan data rata-rata pangsa pasar ekspor Indonesia (Gambar 1),
Jepang, Amerika Serikat, China, dan Korea Selatan merupakan empat negara
tujuan ekspor utama Indonesia selama enam tahun terakhir. Total pangsa pasar
empat negara ini mencapai 45,39% dari total kegiatan ekspor Indonesia. Produk
ekspor Indonesia ditujukan mayoritas untuk negara Jepang sebesar 18,92%.
Urutan kedua tujuan ekspor Indonesia adalah ke negara Amerika Serikat sebesar
9,85% diikuti urutan ketiga yaitu China sebesar 9,16%. Korea Selatan berada di
2
urutan keempat dengan pangsa sebesar 9,16% dan 7.46%. Pangsa ekspor
Indonesia ke empat negara ini secara total mencapai angka 45,93% dari ekspor
total Indonesia. Sementara itu, pangsa ekspor sebesar 54,61% diambil alih oleh
berbagai negara lain yang menjadi tujuan ekspor Indonesia seperti india, negaranegara di kawasan eropa, dan sebagainya.
PANGSA PASAR EKSPOR
JEPANG
18.92%
AMERIKA SERIKAT
9.85%
54.61%
CHINA
KOREA SELATAN
9.16%
LAINNYA
7.46%
Gambar 1 Rata-rata pangsa ekspor Indonesia selama periode 2005-2011
Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah (2013)
Pada tahun 2011, nilai total barang yang diekspor ke Jepang mencapai
US$ 33,714 M atau meningkat 30,77% dibanding tahun 2010 (US$ 25,781 M).
Sementara untuk nilai total barang yang diekspor ke Amerika Serikat mencapai
US$ 16,497 M atau meningkat 15.35% dibanding tahun 2010 (US$ 14,301 M).
Untuk negara China, nilai total barang yang diekspor mencapai angka US$ 22,941
M atau meningkat sebanyak 46.19% dibanding tahun 2010 (US$ 15,692 M).
Berdasarkan data pangsa impor Indonesia secara total (Gambar 2), secara
umum Jepang, Amerika Serikat, China, masih menjadi mitra dagang untuk
pemenuhan kebutuhan barang impor Indonesia disamping menjadi pasar ekspor
utama untuk barang-barang Indonesia. Produk yang diimpor oleh Indonesia
mayoritas berasal dari negara Singapura yakni sebesar 15,50%. Urutan kedua
negara asal barang yang diimpor oleh Indonesia adalah dari negara China sebesar
12,65%, diikuti Negara Jepang sebesar 10,72%, Amerika Serikat sebesar 6,61%.
Malaysia menempati posisi kelima untuk negara yang menjadi mitra dagang untuk
barang-barang yang diimpor yakni sebesar 6,08%. Sementara itu, pangsa impor
sebesar 48,44% diambil alih oleh berbagai negara lain yang menjadi negara asal
barang yang diimpor Indonesia.
Pada tahun 2011, nilai total barang yang diimpor dari Singapura mencapai
US$ 25,964 M atau meningkat 28,28% dibanding tahun 2010 (US$ 20,240 M).
Sementara untuk nilai total barang yang diimpor dari China mencapai US$ 26,212
M atau meningkat 28,34% dibanding tahun 2010 (US$ 20,424 M). Untuk negara
Jepang, nilai total barang yang diimpor mencapai angka US$ 19,436 M atau
3
meningkat sebanyak 14,56% dibanding tahun 2010 (US$ 16,965 M). Di sisi lain,
nilai total barang yang diimpor oleh Indonesia dari Amerika Serikat mencapai
angka US$ 10,834 M atau meningkat sebanyak 15,06% dibanding tahun 2010
(US$ 9,415 M).
PANGSA PASAR IMPOR
15.50%
SINGAPURA
CHINA
12.65%
48.44%
JEPANG
AMERIKA SERIKAT
10.72%
6.08%
6.61%
MALAYSIA
LAINNYA
Gambar 2 Rata-rata pangsa impor Indonesia selama periode 2005-2011
Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah (2013)
Salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan perdagangan internasional
suatu negara adalah nilai tukar mata uang domestik terhadap nilai mata uang asing.
Dengan kata lain, nilai tukar menjadi indikator penting dalam sebuah negara yang
menganut sistem perekonomian terbuka. Semakin tinggi nilai tukar riil, berarti
harga barang-barang domestik relatif lebih murah dibandingkan harga barangbarang luar negeri. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya transaksi ekspor di
negara tersebut, sehingga berpengaruh terhadap nilai ekspor bersih (neraca
perdagangan) (Mankiw, 2006). Oleh karena itu, nilai tukar sangat penting dalam
menentukan daya saing produk suatu negara.
Indonesia telah memberlakukan kebijakan nilai tukar mengambang bebas
sejak 14 Agustus 1997 atau sejak terjadinya krisis Asia pada tahun 1997. Dengan
diterapkannya sistem nilai mengambang maka penentuan nilai tukar rupiah
diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Penentuan nilai tukar rupiah
berdasarkan mekanisme pasar ini membuat nilai tukar berfluktuasi dan tidak stabil
setiap tahunnya (tabel 1). Dampak dari tidak stabilnya nilai rupiah akan membawa
pengaruh terhadap nilai ekspor Indonesia yang berkaitan dengan neraca
perdagangan, mengingat nilai tukar merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi nilai neraca perdagangan suatu negara. Beberapa ahli ekonomi
berpendapat bahwa terdapat hubungan positif antara nilai tukar dengan neraca
perdagangan.
4
Tabel 1 Pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara mitra
dagang utama Indonesia periode 2005-2011
Rp/US$
RP/Yen
RP/Yuan
2005
9,170.97
76.33
1,129.83
2006
8,130.45
67.33
1,035.46
2007
8,169.54
68.25
1,098.59
2008
8,929.69
91.32
1,300.11
2009
7,444.81
74.67
1,090.11
2010
6,769.01
72.13
1,032.34
2011
6,732.74
74.13
1,100.73
Sumber: FX Sauder (2013), diolah
Berdasarkan data pada Tabel 1, nilai tukar rupiah terhadap mata uang
negara lain berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2005, nilai Rp/US$ sebesar
Rp 9,170.97/US$. Kemudian di tahun-tahun berikutnya rupiah sedikit berfluktuasi
hingga tahun 2011 pada level Rp 6,732.74/US$. Di sisi lain, nilai tukar Rp/Yen
pada tahun 2005 sebesar Rp 76.33/Yen. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai tukar
Rp/Yen sangat berfluktuasi dalam rentang Rp 67.33/Yen (nilai Rupiah terkuat
pada tahun 2006) hingga Rp 91.32/Yen (nilai Rupiah terlemah pada tahun 2008).
Sementara itu, nilai tukar Rp/Yuan pada tahun 2005 sebesar Rp 1,129.83/Yuan.
Nilai tukar ini terus berfluktuasi dalam rentang Rp 1,032.34/Yuan (nilai Rupiah
terkuat pada tahun 2010) hingga Rp 1,300.11/Yuan (nilai Rupiah terlemah pada
tahun 2008).
Sedangkan untuk perdagangan internasional, neraca perdagangan
Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya (China, Jepang, dan Amerika
Serikat) juga turut berfluktuasi (Gambar 3). Depresiasi Rupiah memang turut
memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Sebaliknya, apresiasi Rupiah akan
memperburuk neraca perdagangan Indonesia. Misalnya, saat Rupiah terdepresiasi
dari Rp 72.13/Yen pada tahun 2007 menjadi Rp 74.13/Yen pada tahun 2008,
neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang meningkat dari US$ 8.82
M menjadi US$ 14.28 M. Kasus dengan China, depresiasi Rupiah yang terjadi
pada tahun 2011 yaitu dari Rp 1,032.34/Yuan pada tahun 2010 menjadi Rp
1,100.73/Yuan pada tahun 2008 juga meningkatkan kinerja neraca perdagangan.
Hal ini terbukti dari menurunnya atau mengecilnya defisit neraca perdagangan
bilateral Indonesia dengan China dari deficit US$ 4.73 M pada tahun 2010
menjadi defisit US$ 3.27 M pada tahun 2011.
Namun lain halnya dengan kasus Amerika Serikat. Apresiasi Rupiah pada
tahun yang terjadi yaitu dari Rp 6,769.01/US$ di tahun 2010 menjadi Rp
6,732.74/US$ di tahun 2011 tidak membuat neraca perdagangan memburuk,
melainkan membaik. Kinerja neraca perdagangan meningkat dari US$ 4.88 M di
tahun 2010 menjadi US$ 5.66 M di tahun 2011.
5
20.00
MILYAR US$
15.00
10.00
Jepang
5.00
Amerika Serikat
China
0.00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
-5.00
-10.00
Gambar 3 Pergerakan neraca perdagangan (nilai ekspor-nilai impor) Indonesia
dengan mitra dagang utama tahun 2005-201
Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraiaan di atas, berikut merupakan perumusan masalah yang
akan diteliti:
1. Bagaimana pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar riil
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat?
Apakah kondisi Marshall-Lerner terpenuhi? Dan Apakah terjadi fenomena JCurve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat?
2. Bagaimana pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar riil
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China? Apakah
kondisi Marshall-Lerner terpenuhi? Dan Apakah terjadi fenomena J-Curve
pada kasus bilateral antara Indonesia dengan China?
3. Bagaimana pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar riil
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang? Apakah
kondisi Marshall-Lerner terpenuhi? Dan Apakah terjadi fenomena J-Curve
pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Jepang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar bilateral
riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat,
menguji terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner serta melihat terjadinya
fenomena J-Curve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika
Serikat
2. Menganalisa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar bilateral
riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China, menguji
6
terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner serta melihat terjadinya fenomena JCurve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan China.
3. Menganalisa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar bilateral
riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang, menguji
terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner serta melihat terjadinya fenomena JCurve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Jepang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat bagi beberapa pihak, Adapun manfaat-manfaat
penelitian sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah dan pihak terkait (eksportir dan importir), penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan
mengambil keputusan terkait dengan kegiatan perdagangan (ekspor dan impor)
dengan negara lain (terutama mitra dagang);
2. Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai bahan kajian mengenai pengaruh nilai
tukar terhadap neraca perdagangan bilateral secara lebih mendalam dan sebagai
rujukan untuk penelitian selanjutnya;
3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai
kondisi Marshall-Lerner dan fenomena J-Curve yang terjadi di neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan mitra dagang utamanya
Ruang Lingkup Penelitian
Fokus penelitian ini adalah melihat bagaimana hubungan jangka pendek
dan jangka panjang antara nilai tukar riil (Real Exchange Rate/RER) dan neraca
perdagangan serta mengestimasi apakah fenomena J-Curve terjadi di kasus neraca
perdagangan Indonesia dengan ketiga mitra dagang utamanya. Nilai ekspor dan
impor yang digunakan adalah nilai ekspor dan impor barang secara agregat, tidak
hanya terbatas pada salah satu sektor misalnya hanya sektor migas dan atau non
migas. Variabel yang digunakan dalam penelitian mencakup PDB domestik
(Indonesia), PDB mitra dagang, RER, serta suku bunga (Indonesia dan mitra
dagang).
TINJAUAN PUSTAKA
Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional merupakan konsekuensi dari adanya sistem
perekonomian terbuka yaitu mengekspor barang dan jasa ke luar negeri,
mengimpor barang dan jasa dari luar negeri, serta meminjam dan memberi
pinjaman pada pasar modal dunia (Mankiw, 2006). Manfaat adanya perdagangan
adalah memungkinkan setiap negara untuk memperoleh barang yang tidak
memiliki keunggulan komparatif pada biaya oportunitas yang lebih rendah
7
daripada yang mereka jumpai jika mereka harus memproduksi sendiri semua
komoditi yang dibutuhkan (Lipsey RG, Steiner PO, dan Purcvis DD, 1992).
Kegiatan perdagangan internasional ini juga akan mempengaruhi balance
of payment atau neraca pembayaran suatu negara. Neraca pembayaran suatu
negara merupakan suatu catatan sistematis mengenai semua transaksi ekonomi
antarpenduduk negara tersebut dengan negara-negara lainnya selama periode
tertentu. Komponen neraca pembayaran terdiri dari tiga komponen. Komponen
pertama yaitu neraca perdagangan yang merupakan selisih nilai ekspor dan impor
barang. Komponen kedua yaitu neraca jasa-jasa yang merupakan selisih antara
ekspor jasa dan impor jasa. Apabila kedua neraca itu digabung, akan diperoleh
neraca transaksi berjalan atau current account. Komponen ketiga dalam neraca
pembayaran adalah neraca yang menyangkut lalu lintas modal atau capital
account. (Halwani, 2002).
Kegiatan perdagangan internasional akan mempengaruhi current account.
Jika dalam suatu negara kegiatan ekspornya lebih banyak daripada kegiatan
impornya maka akan terjadi surplus dalam current account. Dan sebaliknya jika
nilai ekspor lebih kecil daripada nilai impor maka current account akan
mengalami defisit.
Neraca Perdagangan
Neraca perdagangan (balance of trade) adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara nilai ekspor dan impor barang.
Neraca perdagangan dikatakan surplus apabila nilai ekspor barang melebihi nilai
impornya (Halwani, 2002). Neraca perdagangan biasa disebut dengan ekspor netto.
Di dalam neraca tersebut, transaksi yang dicatat adalah seluruh transaksi ekspor
dan impor barang dengan ketentuan sebagai berikut (Hady, 2004):
1. Ekspor barang dicatat sebagai transaksi kredit atau positif
2. Impor barang dicatat sebagai transaksi debit atau negatif
Bagi setiap negara tentunya kondisi surplus lebih diharapkan. Terjadinya
surplus perdagangan berarti jumlah ekspor yang dilakukan oleh sebuah negara
lebih banyak dibandingkan impornya. Kondisi ini berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Model neraca perdagangan dapat dijelaskan oleh model dua negara seperti
yang dituliskan oleh Rose dan Yellen (1989) dalam Bahmani-Oskooee dan
Kantipong (2001). Secara matematis, kita dapat menuliskan fungsi dari
permintaan impor domestik dan permintaan impor luar negeri sebagai berikut,
M = M (Y, P m ,)
(1)
(2)
M* = M*(Y*, P* m )
Dimana M adalah volume impor dalam negeri, M* adalah volume impor
luar negeri (ekspor oleh domestik), Y adalah PDB riil domestik, Y* adalah PDB
riil luar negeri, P m adalah harga relatif barang impor terhadap barang domestik di
dalam negeri, dan P* m adalah harga relatif barang impor terhadap barang
domestik di luar negeri. Di sisi lain, penawaran ekspor dapat diasumsikan hanya
tergantung pada harga relatif seperti dalam fungsi sebagai berikut,
(3)
X = X (P x )
8
X* = X*(P* x )
(4)
dimana X adalah penawaran barang ekspor dari negara asal, X* adalah
penawaran barang ekspor dari luar negeri, P x adalah harga relatif barang ekspor
domestik, dan P* x adalah harga relatif barang ekspor di negara asal (mitra
dagang).
Berdasarkan persamaan permintaan dan penawaran di atas, maka kondisi
keseimbangan dapat dirumuskan sebagai berikut:
M = X*
(5)
M* = X
(6)
Telah diketahui bahwa P m = RER.P* x dan P* m = P x /RER dimana nilai
tukar riil RER = (P*.E/P), sehingga kuantitas perdagangan dalam keseimbangan
dengan harga relatif merupakan fungsi dari RER, Y, dan Y*. Oleh karena itu,
model neraca perdagangan juga merupakan fungsi dari RER, Y, dan Y*. atau
dengan kata lain nilai tukar riil, pendapatan riil domestik, pendapatan riil luar
negeri merupakan faktor utama penentu neraca perdagangan atau ekspor neto.
Neraca perdagangan barang (TB) = f(Y, Y*, RER)
(7)
Produk Domestik Bruto (PDB)
Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP)
adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi
aktivitas perekonomian nasionalnya. Tetapi pada dasarnya PDB mengukur seluruh
volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis.
Gross domestic product (GDP) hanya mencakup barang dan jasa akhir,
yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang
dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa
intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double
counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu
kali (Lipsey RG, Steiner PO, dan Purcvis DD, 1992).
Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki dua tipe, yaitu PDB nominal dan
PDB riil. PDB nominal yaitu nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga
berlaku. Artinya PDB nominal yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun
dinilai tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sementara, PDB riil yaitu nilai
barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut
harga konstan. Artinya, PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap
pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak berubah (Mankiw,
2006).
Setiap perbedaan antara pendapatan nasional nominal (GDP nominal)
dengan pendapatan nasional riil (GDP riil) untuk suatu tahun tertentu pasti
disebabkan oleh perubahan harga-harga antara tahun itu dengan tahun dasar yang
digunakan dalam menghitung pendapatan riil. Jadi, perbandingan semacam itu
menunjukkan suatu indeks harga yang berkaitan dengan kedua tahun itu
(Lipsey,dkk, 1987). Indeks harga implisit (deflator implisit) atau bisa juga disebut
GDB deflator ini didefinisikan sebagai berikut:
Deflator GDP = GDP nominal
GDP riil
(8)
9
Kita juga dapat menuliskan persamaan (8) dengan,
GDP riil = GDP nominal
(9)
Deflator GDP
Dengan bentuk persamaan ini, kita dapat melihat bagaimana deflator
memperoleh namanya: yaitu digunakan untuk mendeflasi (menghilangkan inflasi)
dari GDP nominal untuk menghasilkan GDP riil (Mankiw, 2006).
Nilai Tukar
Kurs (exchange rate) atau nilai tukar antara dua negara adalah tingkat
harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan
perdagangan. Para ekonom membedakan nilai tukar mata uang domestik terhadap
mata uang asing menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai
tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua
negara. Sedangkan, nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif
barang-barang di kedua negara.
Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan
barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain
(Mankiw,2006). Dengan kata lain, nilai tukar riil ialah rasio harga-harga di luar
negeri dengan harga domestik yang diukur dengan mata uang yang sama. Hal ini
mengukur daya saing suatu negara dalam perdagangan internasional. Nilai tukar
riil didefinisikan sebagai (Dornbusch dkk, 2008):
Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x Rasio tingkat harga
ϵ
=
E
x
(P f /P)
(10)
dimana;
P = Tingkat harga barang domestik
P f = Tingkat harga barang luar negeri
Nilai tukar riil diasumsikan sama dengan 1. Jika nilai tukar lebih dari 1
berarti barang di luar negeri lebih mahal dari barang dalam negeri. Hal ini
berimplikasi bahwa masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, mengalihkan
sebagian pengeluaran mereka ke barang-barang produksi dalam negeri. Hal ini
sering digambarkan sebagai kenaikan daya saing produk-produk dalam negeri
(Dornbusch, dkk, 2008). Hubungan antara nilai tukar riil dengan neraca
perdagangan dapat dijelaskan dalam Gambar 4 (Mankiw, 2006).
Kurs riil,ϵ
NX(ϵ)
Ekspor neto, NX
Gambar 4 Hubungan Kurs riil dengan Net Ekspor
10
Sumber: Mankiw (2006)
Suku Bunga
Dalam perekonomian terbuka, pasar uang dan pasar barang memiliki
keterkaitan satu sama lain. Selain neraca perdagangan, dalam sistem
perekonomian terbuka terjadi pula arus modal internasional. Hubungan antara
pasar uang dan pasar barang dapat dijelaskan oleh persamaan pendapatan nasional
dalam bentuk tabungan dan investasi (Mankiw, 2000).
Y = C + I + G + NX
Y – C – G = I + NX
S = I + NX
S – I = NX
NX = S – I(r*)
(11)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa ekspor neto suatu perekonomian
harus selalu sama dengan selisih antara tabungan dan investasi atau arus modal
keluar neto. Investasi bergantung pada tingkat bunga riil dunia. Mengingat
Indonesia merupakan negara dengan perekonomian kecil terbuka, sehingga
tingkat bunga riil sama dengan tingkat bunga riil dunia (r = r*). Hubungan antara
tingkat suku bunga dengan neraca perdagangan dijelaskan dalam Gambar 5.
S
Tingkat bunga (r)
r = r*
NX
I(r) 2
I(r) 1
Investasi, Tabungan, I,S
Gambar 5 Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Neraca Perdagangan
Sumber: Mankiw (2006)
Jika tingkat suku bunga menurun maka permintaan terhadap barangbarang investasi akan meningkat pada setiap tingkat bunga (asumsi r = r*).
Meningkatnya investasi menyebabkan kurva investasi bergeser dari I(r)1 ke I(r)2
pada tingkat dunia tertentu. Dampak dari investasi yang meningkat akan
menyebabkan investasi harus dibiayai dengan utang luar negeri karena tabungan
tidak berubah, yang berarti arus modal keluar neto adalah negatif. Karena NX = S
– I, kenaikan dalam I menunjukkan penurunan dalam NX atau neraca
perdagangan.
11
Konsep J-Curve
Devaluasi pada dasarnya merupakan penyesuaian harga pesaing di luar
negeri terhadap biaya dalam negeri. Ketika mata uang domestik terhadap mata
uang luar negeri didevaluasi, maka barang yang diimpor harganya dalam rupiah
menjadi naik secara proporsional. Penyesuaian yang lambat untuk peningkatan
volume perdagangan dari perubahan harga yang disebabkan oleh devaluasi
menyebabkan perubahan dengan fenomena yang dikenal dengan Kurva-J (JCurve) (Halwani, 2002).
Current
Account
Surplus
+5
T3
(+)
Time
T1
Current
Account
berkurang
Deficit (-)
T2
-2
T 1 = Posisi Defisit
T 2 = Posisi defisit
T 3 = Posisi surplus
Gambar 6 Kurva-J (J-Curve)
Sumber : Hamdy Hady (2004)
Keterangan:
1. Kebijakan devaluasi biasanya dalam jangka pendek justru akan lebih
memperberat sisi deficit current account
2. Hal ini dapat terjadi karena perubahan kuantitas ekspor dan impor sebagai
akibat perubahan harga yang disebabkan oleh devaluasi memerlukan waktu
penyesuaian.
3. Biasanya dalam waktu singkat justru penerimaan devisa ekspor relatif akan
lebih cepat menurun karena adanya penyesuaian-penyesuaian harga barang
ekspor di dalam negeri sehingga ekspor menjadi tertunda dan diperlukan
kontrak baru, sedangkan pengeluaran devisa untuk impor menurun lebih
lambat karena harga barang impor di luar negeri dalam valas tidak akan
berubah.
4. Biasanya setelah periode tertentu (satu hingga tiga bulan penyesuaian harga
ekspor dan impor), kurva J akan mulai menaik dan ini berarti devaluasi akan
memperbaiki posisi current account (lebih tepatnya neraca perdagangan).
12
Marshall-Lerner Condition
Alfred Marshall dan Abba Lerner menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar
riil akan meningkatkan kinerja current account apabila volume ekspor dan volume
impor elastis (lebih besar dari 1) terhadap perubahan nilai tukar riil. Dampak
perubahan nilai tukar riil terhadap current account dibagai ke dalam volume effect
dan value effect.
Volume effect adalah dampak perubahan unit output ekspor dan impor
akibat dari perubahan nilai tukar riil. Mereka beragumen bahwa nilai volume effect
adalah positf karena elatisitas ekspor positif (perubahan permintaan volume
ekspor terhadap perubahan nilai tukar riil > 0) dan elastisitas impor negatif
(perubahan permintaan volume ekspor terhadap perubahan nilai tukar riil < 0).
Sementara value effect adalah kenaikan nilai impor atas dasar harga domestik
akibat dari perubahan nilai tukar riil. Sehingga perubahan current account secara
netto dapat menjadi positif atau negatif tergantung pada elastisitas ekspor dan
impor.
Dalam analisa Marshall-Lerner Condition diasumsikan bahwa neraca
jasa=0 sehingga current account (CA) sama dengan trade balance (neraca
perdagangan. Jika CA dinyatakan dalam unit output domestik maka dapat ditulis
sebagai berikut:
CA (EP*/P,Y d ) = EX(EP*/P)-IM(EP*/P,Y d )
(12)
Dimana CA= Current Account, EX= ekspor, IM= impor, EP*/P= nilai tukar
riil, dan Y d = pendapatan domestik riil. Dalam persamaan (12) diasumsikan bahwa
pendapatan luar negeri (Y f ) adalah konstan.
Misalkan q sebagai nilai tukar riil dan EX* sebagai domestic import dilihat
dari sisi luar negeri (volume ekspor luar negeri ke domestik), maka:
IM= q x EX*
(13)
Sehingga, jika persamaan (13) disubstitusikan ke persamaan (12), maka:
CA (q,Y d ) = EX(q) - q x EX*(q,Y d )
(14)
Jika EX q merepresentasikan dampak dari kenaikan 1 (depresiasi nilai tukar
riil) pada permintaan ekspor dan EX* q merepresentasikan dampak dari kenaikan q
pada volume impor, maka dapat ditulis:
EX q = ∆EX/∆q
(15)
EX* q = ∆EX*/∆q
(16)
Dimana, EX q > 0 sedangkan EX* q < 0. Dengan depresiasi nilai tukar riil
maka harga produk di pasar global menjadi lebih murah sehingga daya saing
meningkat. Oleh karena itu, depresiasi akan meningkatkan permintaan ekspor
(EX*) dan menrunkan permintaan impor dari luar neger (EX*).
Jika superscript 1 mewakili nilai awal CA dan superscript 2 mewakili nilai
setelah q berubah, maka dampak perubahan nilai tukar riil terhadap current
account adalah sebagai berikut:
∆CA = CA2 – CA1 = (EX2 – q2. EX*2) – (EX1 – q1.EX*1)
(17)
2
1
2
2
1
1
2
1
2
1
∆CA = (EX – EX ) – q . ∆EX* + q .EX* + (q .EX* – q .EX* ) (18)
∆CA = ∆EX – (q2. ∆EX*) – (∆q.EX*1)
(19)
Dengan membagi sisi kiri dan kanan dengan ∆q maka akan diperoleh reaksi
current account terhadap perubahan nilai tukar, yaitu:
∆CA/∆q = EX q – (q2. EX* q ) – EX*1
(20)
13
Dampak perbuhan nilai tukar riil terhadap current account dibagai ke
dalam volume effect dan value effect. Besaran EX q dan EX* q mencerminkan
volume effect. Nilai volume effect selalu posistif karena EX q > 0 dan EX* q < 0.
Sementara EX*1 mencerminkan value effect dan ini akan memperburuk CA
karena dengan meningkatnya nilai tukar riil (q) maka akan meningkatkan nilai
impor (pada volume impor semula yang tetap) dalam harga domestik (Astiyah dan
Santoso, 2005).
Selanjutnya untuk mengetahui dampak depresiasi terhadap ekspor dan
impor domestik, maka perlu mengetahui bagaimana elastisitas ekspor dan impor
terhadap perubahan nilai tukar riil, yaitu sebagai berikut:
η = (q1/EX1) . EX q
(21)
η* = -(q1/E*X1) . EX* q
(22)
Atau dengan kata lain, persamaan permintaan ekspor dan impor dalam
jangka panjang secara umum adalah:
EX q = α x + β*y* t + η reer t
EX* q = α m + βy t – η* reer t
(23)
sehingga persamaan neraca perdagangan (EX q -EX* q ) jangka panjang secara
umum adalah
tb t = α x - α m + β*y* t - βy t + (η + η* – 1) rer t
(24)
(25)
tb t = α + β*y* t - βyt + η** rer t
*
dimana tb adalah trade balance (neraca perdagangan), y adalah PDB mitra
dagang, y merupakan PDB domestik, η adalah elastisitas permintaan ekspor, η*
adalah elastisitas permintaan impor, rer adalah nilai tukar riil, α = α x - α m dan η**
= (η + η* – 1). Koefisien rer t (η**) memberikan kondisi Marshall-Lerner untuk
suatu depresiasi (peningkatan rer) yang akan meningkatkan neraca perdagangan.
Menurut Marshall-Lerner Condition, depresiasi riil dari suatu mata uang
akan meningkatkan kinerja trade balance jika jumlah dari elastisitas permintaan
impor dan ekspor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari 1 (>1). Sehingga, jika
persamaan (25) tersebut terpenuhi maka dikatakan bahwa Marshall-Lerner
Condition terpenuhi (Batiz, 1994).
Metode Analisis (Vector Error Correction Model/VECM)
Vector Error Correction Model (VECM) adalah VAR yang terestriksi
yang digunakan untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi
terkointegrasi. Setelah dilakukan pengujian pada model yang digunakan maka
dianjurkan untuk memasukan persamaan kointegrasi ke dalam model yang
digunakan. Pada data time series kebanyakan memiliki tingkat stasioneritas pada
first difference atau I(1). VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi
kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu, VECM sering
disebut sebagai desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan
kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari
jangka pendek ke jangka panjang. Adapun spesifikasi model VECM secara
Umum adalah sebagai berikut :
Δyt = µ 0x + µ 1x t + π x yt-1 + ∑𝑘−1
𝑖=1 Г ix Δy t-i + ε t
R
(26)
14
Dimana :
Yt
= Vektor yang berisi variabel yang akan dianalisis dalam penelitian
(vektor dari variabel endogen : X/M, RER, Y, Y*, R, R*)
i
= Lag order
µ 0x
= vektor intersep
μ 1x
= Vektor Koefisien Regresi,
t
= Time trend
Πx
= α x β’, dimana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang,
α
= Matriks Loading atau matriks parameter speed of adjusment,
Y t-i
= Variabel in-level
(k-1) = Ordo VECM dari VAR,
Γ
= Matriks Koefisien Regresi
εt
= Error term
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai analisis efek Kurva-J telah dilakukan sebelumnya
oleh Yasmina Guechari (2012) menggunakan teknik kointegrasi dan analisis
Error Correction Model (ECM) adalah. Yasmina Guechari menganalisis pengaruh
jangka pendek dan jangka panjang dari nilai tukar riil efektif (Real Effective
Exchange Rate/REER) pada neraca perdagangan Algeria baik secara agregat
maupun bilateral (Amerika Serikat dan Perancis). Dalam analisis ini, Yasmina
menggunakan data time series selama periode 1981:Q1 hingga 2009:Q4. Varabel
yang digunakan adalah log neraca perdagangan (agregat dan bilateral) yang
didefinisikan sebagai rasio ekspor dan impor, log REER, log pendapatan domestik
(Algeria), dan log pendapatan luar negeri sebagai mitra dagang utamanya
(Amerika dan Perancis).
Hasil yang diperoleh Yasmina Guechari yaitu REER memiliki pengaruh
yang signifikan (negatif dalam jangka pendek dan positif dalam jangka panjang)
pada neraca perdagangan bilateral dan agregat. Melalui uji granger causality antar
variabel, didapatkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara nilai tukar dengan
neraca perdagangan agregat dan bilateral (Amerika Serikat dan Perancis). Hasil
analisis generalized impulse response membuktikan bahwa kurva-J terjadi pada
neraca perdagangan Algeria secara agregat dan bilateral dengan Amerika Serikat.
Sementara, neraca perdagangan Algeria dengan Perancis menunjukkan kurva-J
yang lemah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa devaluasi mata uang Algeria
akan memberikan keuntungan bagi neraca perdagangan Algeria.
Penelitian mengenai analisis efek Kurva-J juga telah dilakukan oleh
Hassan Kimbugwe (2006). Kimbugwe menguji hipotesis Kurva-J dalam jangka
pendek dan jangka panjang dari hubungan perdagangan bilateral Turki dengan 9
mitra dagang utamanya (Austria, Belgia, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Italia,
Swiss, Amerika). Penelitian ini menggunakan data agregat dan data disagregat
secara tahunan pada periode 1960-2000. Data-data tersebut diuji menggunakan
metode yang berlandaskan pada pendekatan Bound Testing baru untuk teknik
kointegrasi yaitu Autoregressive Distributed Lag (ARDL), teknik kointegrasi
multivariasi, analisis generalized impulse response functions serta uji CUSUM
15
and CUSUMQ untuk melihat kestabilan hubungan jangka panjang antar variabelvariabel yang diuji yaitu antara neraca perdagangan dengan nilai tukar riil, PDB
riil domestik (Turki), dan PDB riil mitra dagang utamanya (Austria, Belgia,
Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Italia, Swiss, Amerika).
Hasil yang diperoleh Kimbugwe adalah adanya hubungan kointegrasi
dalam jangka panjang antara variabel neraca perdagangan riil, nilai tukar riil, PDB
riil domestik (PDB Turki) dan PDB riil 9 mitra utama dagangnya. Namun di sisi
lain, penulis tidak dapat menemukan fakta yang mendukung hipotesis Kurva-J
dalam jangka pendek untuk negara Turki. Bagaimanapun, penggunaan
generalised impulse response function ternyata tetap dapat membuktikan bahwa
depresisi nilai mata uang Turki (Lira) akan meningkatkan neraca perdagangan
dalam keseimbangan jangka panjang hanya untuk kasus perdagangan bilateral
antara Turki dengan Inggris dan Belgia.
Peneliti lain yang menguji fenomena J-Curve dengan menggunakan teknik
pendekatan Bound Testing untuk teknik kointegrasi yaitu Autoregressive
Distributed Lag (ARDL) seperti yang digunakan Kimbugwe adalah Mohsen
Bahmani-Oskoee dan Jehanzeb Cheema (2009), Abdorreza Soleymani, Soo Y.
Chua, dan Behnaz Saboori (2011), serta Mohsen Bahmani-Oskooee and
Tatchawan Kantipong (2001). Ketiga kelompok peneliti tersebut secara umum
menggunakan teknik pendekatan Bound Testing untuk meneliti fenomena J-Curve
di negara yang berbeda.
Adapun masing-masing tujuan penelitian yang dilakukan oleh ketiga
kelompok peneliti tersebut yaitu: Mohsen Bahmani-Oskoee dan Jehanzeb
Cheema (2009) menggunakan pendekatan Bound Testing untuk menguji
fenomena J-Curve antara Pakistan dengan 13 mitra dagang utamanya yaitu China,
Perancis, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, Korea, Kuwait, Malaysia, Arab Saudi,
U.A.E., Inggris, dan Amerika dengan menggunakan data perdagangan bilateral
secara kuartalan selama periode 1980:Q1 hingga 2003:Q4. Variabel yang
digunakan adalah neraca perdagangan Pakistan dengan mitra dagang utamanaya
yang didefinisikan sebagai rasio impor impor nominal terhadap ekspor
nominalnya dengan mitra dagang utama, PDB riil Pakistan, PDB riil negara lain
yang menjadi mitra dagang utamanya, dan nilai tukar riil bilateral. Di samping
menggunakan pendekatan Bound Testing, Bahmani-Oskoee Cheema juga
menggunakan pendekatan kointegrasi Johansen untuk melihat hubungan jangka
panjang antar variabel. Sementara Abdorreza Soleymani, Soo Y. Chua, dan
Behnaz Saboori (2011) menggunakan teknik pendekatan Bound Testing dan juga
error correction model (ECM) untuk menginvestigasi respon jangka pendek dan
jangka panjang neraca perdagangan antara Malaysia dengan China terhadap
depresiasi nilai riil mata uang Ringgit. Penulis menggunakan data 53 industri
secara kuartalan selama periode 1993Q1-2009Q4. Sedangkan di sisi lain, Mohsen
Bahmani-Oskooee and Tatchawan Kantipong (2001) juga menguji fenomena
J-Curve (respon jangka pendek dan jangka panjang neraca perdagangan terhadap
depresiasi nilai tukar) antara Thailand dengan lima mitra dagang utamanya yaitu
Jerman, Jepang, singapura, Inggris, dan Amerika Serikat. Data yang dianalisis
adalah data kuartalan selama periode 1973:Q1 hingga 1997:Q4.
Dengan menggunakan pendekatan Bound Testing, Bahmani-Oskoee dan
Cheema (2009) dapat membuktikan bahwa depresiasi nilai tukar memberikan
memberikan pengaruh jangka pendek terhadap neraca perdagangan walaupun
16
tidak konsisten dengan hipotesis kurva-J. Dalam jangka panjang, terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara nilai tukar riil dan neraca
perdagangan antara Pakistan dengan hampir setengah dari mitra dagang utamanya
yaitu China, Hong Kong, Jepang, Kuwait, dan U.A.E. implikasi kebijakan dari
penemuan kedua penulis ini adalah tidak semua mitra dagang terpengaruh
terhadap depresiasi riil nilai mata uang Pakistan (Rupee). Di sisi lain, penggunaan
pendekatan kointegrasi Johansen tidak dapat membuktikan hipotesis Kurva–J
maupun dampak jangka panjang yang signifikan dari perubahan nilai tukar riil
terhadap neraca perdagangan bilateral.
Pengujian yang telah dilakukan oleh Abdorreza Soleymani, Soo Y. Chua,
dan Behnaz Saboori (2011) dengan menggunakan metode pendekatan Bound
testing dan ECM didapatkan hasil bahwa meskipun depresiasi mata uang Ringgit
memberikan pengaruh yang signifikan dalam jangka pendek terhadap neraca
perdagangan di level industri secara mayoritas, pengaruh dalam jangka pendek
tersebut jika diterjemahkan ke dalam jangka panjang hanya akan memberikan
pengaruh yang positif hanya kepaada 11 industri dari 53 industri yang diteliti.
Mohsen Bahmani-Oskooee and Tatchawan Kantipong (2001) juga
menggunakan metode penelitian Autoregressive Distributed Lag (ARDL) untuk
meneliti kasus fenomena J-Curve untuk negara Thailand. Hasil yang diperoleh
adalah fenomena J-Curve hanya terjadi antara hubungan perdagangan bilateral
Thailand dengan Jepang serta hubungan perdagangan bilateral Thailand dengan
Amerika Serikat. Sementara hubungan perdagangan bilateral antara Thailand
dengan Jerman, Inggris, dan Singapura tidak menunjukkan adanya fenomena Jcurve.
Hasil yang diperoleh Mohsen Bahmani-Oskooee and Tatchawan
Kantipong tersebut sedikit berbeda dengan hasil penelitian selanjutnya yang
dilakukan oleh Olugbenga Onafowora (2003). Onafowora menggunakan metode
yang berbeda yaitu Vector Error Correction Model (VECM) dan analisis
Generalized Impulse Response Function untuk meneliti pengaruh jangka pendek
dan jangka panjang dari perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan riil
(fenomena J-Curve) antara tiga Negara di ASEAN (Thailand, Malaysia, dan
Indonesia) dalam hubungan perdagangan bilateral dengan Amerika dan Jepang.
Dalam analisis ekonometrika ini, Onafowora menggunakan data untuk variabel
neraca perdagangan Thailand, Malaysia, dan Indonesia dengan mitra dagangnya
yaitu Amerika dan Jepang, PDB riil Thailand PDB riil Malaysia, PDB riil
Indonesia, PDB riil Amerika, PDB riil Jepang sebagai menjadi mitra dagangnya,
dan nilai tukar riil bilateral secara kuartalan selama periode 1980:Q1 hingga
2001:Q4.
Onafowora menemukan bahwa terdapat fenomena J-Curve dalam jangka
pendek di dalam hubungan perdagangan bilateral Indonesia dan Malaysia dengan
Amerika dan Jepang serta perdagangan bilateral antara Thailand dengan Amerika.
Depresiasi nilai tukar riil pada awalnya akan memperburuk neraca perdagangan
(paling tidak berlangsung selama 4 kuarter) kemudian dalam jangka panjang akan
terjadi peningkatan neraca perdagangan. Sementara kasus hubungan bilateral
perdagangan antara Thailand dengan Jepang menunjukkan hasil yang berbeda. Di
awal, terjadinya perubahan nilai tukar riil justru akan meningkatkan neraca
perdagangan Thailand. Namun saat beberapa waktu neraca perdagangan akan
memburuk kemudian akan meningkat lagi. Dengan kata lain, hasil pengujian
17
dampak perubahan nilai tukar terhadap neraca perdagangan anatara Thailand
dengan Jepang tidak sesuai dengan hipotesis J-Curve melainkan menunjukkan
hasil S-Curve.
Penelitian lain yang juga menggunakan VECM sebagai alat analisisnya
adalah Suresh, K G;Sreejesh, S (2010) serta Guilherme Moura dan Sergio Da
Silva (2005). Keduanya memang menggunakan VECM sebagai model analisisnya,
namun ada sedikit variasi terhadap model VECM yang dilakukan oleh Guilherme
Moura dan Sergio Da Silva.
Suresh, K G,Sreejesh, S (2010) menggunakan uji kointegrasi JohansenJuselius dan VECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka
panjang dari volatilitas nilai tukar riil Rupee India dengan Dolar Amerika,
Poundsterling dan Euro terhadap ekspor riil bilateral antara India dengan Amerika,
Inggris, dan Eropa (11 Negara di Eropa) dalam peiode 1994-2007 (khusus untuk
Eropa, data yang digunakan adalah periode 1999-2007). Hasil yang didapatkan
menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar riil memberikan pengaruh yang negatif
terhadap ekspor riil antara India dengan Inggris, sementara itu ekspor riil dengan
wilayah Eropa mendapatkan pengaruh yang positif. Di sisi lain, pengaruh
volatilitas nilai tukar riil terhadap ekspor riil dengan Amerika memberikan
pengaruh yang tidak signifikan.
Sementara itu, Guilherme Moura dan Sergio Da Silva (2005)
menggunakan variasi terhadap VECM yaitu dengan metode Non Linier Markovswitching, VECM untuk menguji fenomena J-curve antara Brazil dengan 16 mitra
dagang utamanya yang didasarkan pada analisis pangsa ekspor Brazil pada tahun
2001. Penggunaan metode Non Linier Markov-switching, VECM dimaksudkan
untuk menangkap guncangan yang terjadi pada neraca perdagangan Brazil saat
periode di bawah sistem pengawasan ketat. Guncangan yang dimaksud disini
adalah perubahan rezim nilai tukar, rencana stabilisasi, dan guncangan dari krisis
keuangan internasional. Variabel yang diteliti adalah rasio ekspor dan impor
Brazil, nilai tukar riil, PDB Brazil, indeks harga konsumen (IHK) Brazil, impor
dunia (sebagai acuan untuk penentuan pendapatan di seluruh dunia), dan indeks
harga impor dunia.
Hasil yang didapat oleh Guilherme Moura dan Sergio Da Silva adalah
terbukti bahwa kondisi Marshall-Lerner terjadi pada neraca perdagangan Brazil,
namun tidak terbukti terjadinya kurva-J dalam jangka pendek. Artinya, neraca
perdagangan Brazil akan meningkat seiring dengan depresiasi nilai tukar. Namun,
tidak ada dinamisasi jangka pendek secara temporer akibat dari memburuknya
neraca perdagangan ini.
Metode analisis VECM juga digunakan oleh Jardine A Hausman (2005)
dalam menganalisis kondisi Marshall-Lerner dan menginvestigasi keberadaan
Kurva-J dari perdagangan Indonesia dengan 8 mitra dagang utamanya. Hausman
menggunakan data secara kuarter dari tahun 1993:Q1 hungga 2004:Q4. Hasil
menunjukkan bahwa kondisi Marshall-Lerner tidak terpenuhi untuk kasus
perdagangan Indonesia dengan Singapura dan Inggris karena permintaan ekspor
dari sisi Indonesia terutama barang-barang konsumsi inelastis. Di sisi lain,
fenomena kurva-J hanya ditemui di kasus neraca perdagangan dengan Jepang,
Korea Selatan, dan Jerman. Artinya, depresiasi Rupiah akan meningkatkan ekspor
Indonesia. Hasil estimasi yang didapatkan menunjukkan bahwa 1% depresiasi
rupiah hanya akan meningkatkan rasio ekspor-impor sebanyak 0,37%. Angka
18
yang kecil ini mengindikasikan bahwa nilai tukar riil hanya memiliki peran yang
kecil bagi performa ekspor Indonesia.
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Anju Gupta-Kapoor
dan Uma Ramakrishnan (1999). Kedua peneliti ini fokus pada penggunaan alat
analisis ekonometrika Error Correction Term (ECM) dan impulse response
function untuk menentukan apakah terjadi fenomena J-Curve pada Negara Jepang.
Penelitian ini menggunakan data secara kuartalan dalam periode 1975:Q1 hingga
1996:Q4 dimana variable yang digunakan adalah rasio ekspor dan impor Jepang,
nilai tukar riil Jepang dengan tujuh mitra dagang utamanya (Amerika, Kanada,
Jerman, Perancis, Inggris, Italia, dan Korea), PDB Jepang, serta PDB tujuh mitra
dagang utama Jepang.
Hasil yang didapat oleh Anju Gupta-Kapoor dan Uma Ramakrishnan
adalah terdapatnya hubungan jangka panjang antara neraca perdagangan (M/X)
dengan nilai tukar Yen. Kapoor dan Ramakrishnan juga menemukan bahwa
terdapatnya fenomena J-Curve pada saat Jepang menganut rezim nilai tukar
mengambang melalui analisis Impulse Response Function.
Setelah mempelajari berbagai litaratur, maka posisi penulis dalam
melakukan penelitian ini adalah sejalan dengan Olugbenga Onafowora (2003)
namun diaplikasikan pada kasus perdagangan antara Indonesia dengan tiga mitra
dagang utamanya. Penulis melakukan variasi dalam modelnya. Jika model neraca
perdagangan (Trade Balance/TB) dalam penelitian Olugbenga Onafowora
merupakan fungsi dari pendapatan domestik, pendapatan luar negeri (mitra
dagang) dan nilai tukar riil, penulis menambahkan satu variabel yaitu suku bunga
(r) sebagai variabel yang juga memiliki hubungan dengan neraca perdagangan.
Kerangka Pemikiran
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh nilai tukar
riil terhadap neraca perdagangan baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Selain itu, penelitian ini lebih khusus ingin melihat fenomena J-Curve:
apakah terjadi atau tidak pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga
mitra dagang utamanya (China, Jepang, dan Amerika Serikat).
Neraca perdagangan merupakan selisih antara nilai ekspor dan nilai impor.
Namun dalam penelitian ini, nilai neraca perdagangan dihitung dengan rasio
ekspor terhadap impor. Hal ini dilakukan karena memungkinkan untuk
menggunakan logaritma pada variabel tersebut tanpa memperhatikan apakah nilai
ekspor lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai impor. Berdasarkan uraian
beberapa teori di sub bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa neraca perdagangan
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu PDB Indonesia, PDB mitra dagang
(penelitian ini menggunakan data PDB mitra dagang utama Indonesia yaitu China,
Jepang, dan Amerika Serikat), dan juga nilai tukar riil secara bilateral. Variabel
suku bunga (r) juga dimasukkan sebagai variabel penelitian. Adapun alat analisis
yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis Vector Error
Correction Model (VECM) untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka
panjang).
19
PDB riil Indonesia
PDB riil China
PDB riil Jepang
PDB riil Amerika Serikat
Suku bunga di Indonesia
Suku bunga di China
Suku bunga di Jepang
Suku bunga di Amerika Serikat
RER Rp/US$
RER Rp/Yuan
RER Rp/Yen
Neraca
Perdagangan (X/M)
Ekspor
Indonesia-China
Indonesia-Jepang
Indonesia-Amerika Serikat
Impor
Indonesia-China
Indonesia-Jepang
Indonesia-Amerika Serikat
Pengaruh
variabel
dalam jangka pendek
(VECM)
Pengaruh
variabel
dalam jangka panjang
(VECM)
Mashall-Lerner Condition dan Fenomena J-Curve
Gambar 7 Kerangka Pemikiran
METODOLOGI PENELITIAN
Model Penelitian
Bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat
∆lnTB INA-US(t)
=
𝑝
𝑝
β0 + ∑𝑗=1 δj ∆ LnTB INA-US(t-j) + ∑𝑗=1 λj ∆ lnY INA(t-j) +
∑𝑝𝑗=1 φj ∆ lnY US(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Øj ∆ lnRER_RPUS t-j
+
p
𝑝
∑𝑗=1 αj ∆ lnR_INA (t-j)
+ ∑𝑗=1 γj ∆ lnR _ US (t-j)
+
𝑝
𝑝
∑𝑗=1 Πj ∆ Dummy08 + CointEq [ ∑𝑗=1 Ln TB INA-US(t-j) +
∑𝑝𝑗=1 𝐿n Y INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿nY US(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 LnRER_RPUS t-j +
∑p𝑗=1 LnR_INA (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 LnR _ US (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Dummy08] +
ε t -1
20
Bilateral antara Indonesia dengan Jepang
∆lnTB INA-JPN(t)
=
𝑝
𝑝
β0 + ∑𝑗=1 δj ∆ LnTB INA-JPN(t-j) + ∑𝑗=1 λj ∆ lnY INA(t-j) +
∑𝑝𝑗=1 φj ∆ lnY JPN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Øj ∆ lnRER_RPYEN t-j
+
p
𝑝
∑𝑗=1 αj ∆ lnR_INA (t-j) + ∑𝑗=1 γj ∆ lnR _ JPN (t-j) + CointEq
[∑𝑝𝑗=1 LnTB INA-JPN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿n Y INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿nY JPN(t-j) +
p
∑𝑝𝑗=1 Ln RER_RPYEN t-j
+ ∑𝑗=1 Ln R_INA (t-j) +
∑𝑝𝑗=1 LnR _ JPN (t-j) ] + ε t -1
Bilateral antara Indonesia dengan China
∆lnTB INA-CHN(t)
Dimana:
=
𝑝
𝑝
β0 + ∑𝑗=1 δj ∆ LnTB INA-CHN(t-j) + ∑𝑗=1 λj ∆ lnY INA(t-j) +
∑𝑝𝑗=1 φj ∆ lnY CHN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Øj ∆ lnRER_RPYUAN t-j +
∑p𝑗=1 αj ∆ lnR_INA (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 γj ∆ lnR _ CHN (t-j) + CointEq
[∑𝑝𝑗=1 LnTB INA-CHN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿n Y INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿nY CHN(t-j) +
p
∑𝑝𝑗=1 Ln RER_RPYUAN t-j
+ ∑𝑗=1 Ln R_INA (t-j) +
∑𝑝𝑗=1 LnR _ CHN (t-j) ] + ε t -1
β0
TB INAUS
= Intersep
= Neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika
Serikat
= Neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang
TB INAJPN
TB INACHN
= Neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China
Y INA
= PDB riil Indonesia
Y US
= PDB riil Amerika Serikat
Y JPN
= PDB riil Jepang
= PDB riil China
Y CHN
RER_RPUS
= Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika
RER_RPYEN
= Nilai tukar riil Rupiah terhadap Yen
RER_RPYUAN = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Yuan
R_INA
= suku bunga di Indonesia
R_US
= suku bunga di Amerika Serikat
R_JPN
= suku bunga di Jepang
R_CHN
= suku bunga di China
Dummy08
= Dummy krisis global tahun 2008 (D=0 untuk sebelum krisis,
dan D=1 untuk saat dan setelah terjadinya krisis)
ε t-1
= Error
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersumber dari International Financial Statistic (IFS), World Bank (WB), FX
Sauder, dan Kementrian Perdagangan dalam bentuk time series secara kuartalan
dari tahun 1996:Q1 hingga tahun 2011:Q4. Variabel-variabel ekonomi yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah neraca perdagangan (TB) antara Indonesia
21
dengan China, Jepang, Amerika, dan Singapura, Real Exchange Rate (RER)
secara bilateral, PDB riil (Y) serta suku bunga (R) masing-masing negara
(Indonesia, China, Jepang, dan Amerika). Untuk mencari studi pustaka maka
peneliti melakukan pengumpulan literatur berupa kumpulan materi jurnal, artikel,
dan buku-buku yang relevan sebagai sumber literatur penelitian.
Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis yang bersifat deskriptif dan
kuantitatif. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
Vector Autoregression (VAR) apabila data yang digunakan stasioner pada level.
Namun bila data belum stasioner pada tingkat level maka dilanjutkan dengan
metode Vector Error Correction Model (VECM). Semua data dalam penelitian ini
ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali untuk variabel
suku bunga. Data-data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak (software)
Microsoft Excel 2010 dan Eviews 6.
Vector Autoregression (VAR)
Pada tahun 1980, christoper Sims memperkenalkan sebuah
macroeconomics framework yang menjanjikan, yakni Vector Auto Regression
(VAR). Stock dan Watson dalam Firdaus (2011) memaparkan bahwa jika
sebelumnya univariate autoregression merupakan sebuah persamaan tunggal
(single equation) dengan model linier variabel tunggal (Single-variable linier
model), dimana nilai sekarang dari masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai
lag-nya sendiri, maka VAR merupakan n-persamaan (n-equation) dengan nvariabel (n-variable), dimana masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lagnya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (current and past values).
Dengan demikian, dalam konteks ekonometrika modern VAR termasuk ke dalam
multivariate time series analysis (Firdaus, 2011).
VAR menyediakan cara yang sistematis untuk menangkap perubahan yang
dinamis dalam multiple time series, serta memilki pendekatan yang kredibel dan
mudah untuk dipahami bagi pendeskripsian data, forecasting (peramalan),
inferensi structural, serta analisis kebijakan. Alat analisa yang disediakan oleh
VAR bagi deskripsi data, peramalan, inferensi structural, dan analisis kebijakan
melalui empat macam penggunaannya, yakni Forecasting, Impulse Response
Function (IRF), Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), dan Granger
Causality test (Firdaus, 2011).
22
Vector Error Correction Model (VECM)
Vector Error Correction Model atau VECM merupakan bentuk VAR yang
terestriksi Enders (2007) dalam Firdaus (2011). Restriksi tambahan ini harus
diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi
terkointegrasi. VECM kemudian memanfaaatkan informasi restriksi kointegrasi
tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itu, VECM sering disebut sebagai desain
VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan
demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke
jangka panjang (Firdaus, 2011).
Uji Stasioneritas Data
Uji stasioneritas sangat penting dalam analisis time series. Pengujian
stasioneritas ini dilakukan dengan menguji akar-akar unit atau unit root test. Data
yang tidak stasioner akan mempunyai akar-akar unit, sebaliknya data yang
stasioner tidak ada akar-akar unit. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan
regresi lancung (spurious regression) yaitu regresi yang menggambarkan
hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik
padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut.
Menurut Gujarati (2003), ADF dapat diuji dengan persamaan sebagai berikut:
(28)
∆Y t = β 1 + β 2 t + δY t-1 + α t + ∑m
𝑖=1 ∆Y t-i +ε t
dimana ε t = pure white noise error term, ∆Y t-i = (Yt- 1 , Y t-2 ) dan seterusnya.
Selain itu, perlu dilakukan juga uji nilai t-statistik dan estimasi δ, untuk
mengetahui apakah data time series bersifat stasioner atau tidak. Uji statistik
memiliki rumus sebagai berikut:
t hit = δ / S δ
(29)
dimana δ adalah nilai dugaan dan S δ adalah simpangan baku dari δ.
Pengujian hipotesis yaitu H 0 = δ = 0 (tidak stasioner) dan hipotesis alternatifnya
yaitu H 1 = δ < 0 (stasioner). Apabila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai statistik
ADF, maka hasil yang didapat adalah tolak H 0 . Dimana, jika H 0 ditolak, maka
data yang digunakan bersifat stasioner atau tidak mengandung unit root, dan
begitu juga sebaliknya.
Uji Lag Optimal
Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR
adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunkaan dalam model. Pengujian
panjang lag optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan
menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC),
Final Prediction Error (FPE), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Setelah
didapatkan lag yang optimal maka pendekatan VECM ordo lag tersebut akan
dikurangi satu menjadi (k-1) sebagai tahapan untuk memperoleh rank kointegrasi
berdasarkan pengujian Johansen yang akan diset sebagai persamaan kointegrasi
jangka panjang (Firdaus 2011).
23
Uji Stabilitas VAR
Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi
polynomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua
akar dari fungsi polynomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai
absolutnya < 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil sehingga Impulse
Response Function (IRF) dan Forecasting Error Variance Decomposition
(FEVD) yang dihasilkan dianggap valid (Firdaus, 2011).
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang
tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh
Engle dan Granger (1987) sebagai kombinasi linier dari dua atau lebih variabel
yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linier
ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretassikan
sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel.
Dalam penelitian ini, Johanssen Cointegration Test digunakan untuk
membantu mendeteksi hubungan jangka panjang antara variabel independen
dengan variabel dependennya. Hal yang perlu diingat dalam uji kointegrasi adalah
data series yang kita miliki harus bersifat tidak stasioner.
Hipotesis nol dalam uji ini adalah tidak ada kointegrasi. Jika dalam
pengujian menghasilkan nilai trace statistic yang lebih besar dibandingkan dengan
critical value (trace statistic > critical value), maka tolak hipotesis awal atau
dengan kata lain persamaan tersebut terkointegrasi. Setelah jumlah persamaan
yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis dilanjutkan dengan
analisis Vector Error Correction Model (VECM) (Firdaus, 2011).
Impulse Response Function (IRF)
Impuls Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan untuk
menentukan respons suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Hal ini
dikarenakan shock variabel misalnya ke-i itu saja tetapi ditransmisikan kepada
semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam
VECM. Dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu
kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang.
Sementara itu IRF bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih
spesifik yang artinya suatu variabel dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan
tertentu. Apabila suatu variabel tidak dapat dipengaruhi oleh shock, maka shock
spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum (Firdaus,
2011).
Dalam penelitian ini, penggunaan impulse response function adalah untuk
mengestimasi fenomena J-Curve masing-masing negara. Impulse response
function akan menunjukkan bagaimana respon neraca perdagangan bilateral saat
ini dan masa yang akan datang akibat adanya perubahan dalam nilai tukar riil.
24
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Metode FEVD dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu
variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh
variabel-variabel lainnya. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam
model VAR/VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan
masing-masing variabel memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang
panjang (Firdaus, 2011). FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen
dalam model. Dalam penelitian ini, penggunaan metode FEVD yang utama
adalah untuk mengestimasi kontribusi perubahan faktor-faktor pengaruh neraca
perdagangan terutama niali tukar efektif riil terhadap peramalan galat dari neraca
perdagangan.
GAMBARAN UMUM NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Gambaran Umum Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia
Neraca perdagangan secara bilateral dengan mitra dagang utamanya
menunjukkan pergerakan yang fluktuatif. Neraca perdagangan mencerminkan
kinerja ekspor dan impor keseluruhan komoditas. Secara umum dapat dikatakan
bahwa neraca perdagangan Indonesia dari tahun 1996 hingga tahun 2011 memiliki
pergerakan yang fluktuatif dan memiliki trend yang positif, kecuali pada neraca
perdagangan bilateral dengan China. Pergerakan neraca perdagangan Indonesia
dapat dilihat pada Gambar 8.
20.00
Jepang
15.00
China
5.00
TAHUN
0.00
-5.00
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
MILYAR US$
Amerika Serikat
10.00
-10.00
Gambar 8 Perkembangan neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga
mitra dagang utamanya selama periode 1996-2011
Sumber : International Financial Statistic (2013), diolah
25
Pada periode tersebut, nilai neraca perdagangan secara bilateral dengan
Jepang memiliki nilai tertinggi pada tahun 2007 sebesar US$ 17,11 M. surplus
neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang meningkat sebanyak 5,49 % dari
tahun 2006. Pada tahun 2008, nilai neraca perdagangan secara total turun 26,26 %
menjadi sebesar US$ 12,61 M. Kemudian pada tahun 2009, nilai neraca
perdagangan terus menurun, bahkan lebih buruk yakni turun sebanyak 30,79 %,
hingga sebesar US$ 8,73 M. Penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2008
ini diakibatkan oleh tetap tingginya nilai impor Indonesia dari Jepang walaupun
kinerja ekspor menunjukkan kondisi yang baik. Ekspor pada tahun 2008
meningkat 17,39% dari US$ 23,63 M menjadi US$ 27,74 M karena nilai rupiah
secara riil mengalami depresiasi dari Rp 68,25/Yen menjadi 91,32/Yen. Namun,
kenaikan nilai ekspor ini juga diikuti oleh kenaikan nilai impor yang lebih tinggi.
Impor Indonesia dari Jepang meningkat 131,80% dari US$ 6,53 M menjadi 15,13
M.
Lain halnya dengan penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2009.
Menurunnya nilai neraca perdagangan ini diakibatkan oleh buruknya kinerja
ekspor Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang menurun 33,05% dari
US$ 27,74 M pada tahun 2008 menjadi US$ 18,57 M pada tahun 2009. Penurunan
nilai ekspor ini disebabkan oleh rupiah yang terapresiasi dari Rp 91,32/Yen di
tahun 2008 menjadi Rp 74,67/Yen di tahun 2009. Pada tahun 2010, Indonesia
mulai dapat memperbaiki kondisi neraca perdagangannya dengan Jepang. Hingga
di tahun 2011, nilai neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang
mencapai US$ 14,28 M atau meningkat sebanyak 61,96 % dari tahun 2010
(US$ 8,82 M) .
Nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat
selama periode 1996-2011 memiliki trend yang positif. Nilai neraca perdagangan
yang tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar US$ 7,19 M. Nilai ini meningkat
sebanyak 19,81 % dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$ 6 M. Pada
tahun berikutnya, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat terus
menurun hingga tahun 2009. Nilai neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika
Serikat di tahun 2009 turun sebanyak 26,77 % menjadi sebesar US$ 3,78 M dari
US$ 5,18 M di tahun 2008. Penurunan nilai neraca perdagangan ini diakibatkan
oleh penurunan nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Pada saat itu, kinerja
ekspor memburuk karena nilai rupiah secara riil terapresiasi terhadap dolar dari
Rp 8.363/US$ pada tahun 2006 menjadi Rp 8.063/US$ pada tahun 2007 dan Rp
8.059/US$ pada tahun 2008. Namun, pada tahun 2009, nilai rupiah secara riil
terdepresiasi menjadi Rp 8.233/US$. Sehingga, penyebab menurunnya nilai
neraca perdagangan pada tahun 2009 bukan dipengaruhi oleh nilai tukar
melainkan oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Nilai neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terus membaik hingga
pada tahun 2011, nilai neraca perdagangan mencapai US$ 5,66 M atau meningkat
15,92% dari tahun 2010 (US$ 4,88 M).
Nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China memiliki trend
yang negatif (menurun). Selama periode 1996-2011, nilai neraca perdagangan
bilateral Indonesia dengan China tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar
US$ 1,71 M. Pada tahun berikutnya, nilai neraca perdagangan ini terus menurun
karena walaupun nilai ekspor terus meningkat akibat rupiah terdepresiasi, namun
nilai impor Indonesia dari China juga ikut terus meningkat.
26
Kondisi neraca perdagangan Indonesia dengan China pada tahun 2008
turun drastis sebanyak 423,24% yaitu dari US$ 1,12 M pada tahun 2007 menjadi
US$ -3,61 M di tahun 2008. Nilai neraca perdagangan sempat membaik pada
tahun 2009 karena Indonesia bisa menekan nilai impornya yaitu US$ 15,24 M
pada tahun 2008 menjadi US$ 14 M pada tahun 2009. Namun pada tahun 2010,
nilai neraca perdagangan kembali memburuk sebesar (-US$ 4,73 M). Nilai ini
adalah yang nilai neraca perdagangan Indonesia dengan China terburuk sepanjang
periode 1996-2011. Hal ini terjadi karena rupiah terapresiasi dari Rp 1.225/Yuan
pada tahun 2009 menjadi Rp 1.063/Yuan pada tahun 2010. Indonesia mulai
meperbaiki neraca perdagangannya dengan China di tahun 2011 dengan
meningkatkan nilai ekspornya dari US$ 15,62 M pada tahun 2010 menjadi
US$ 22,94 M. Kenaikan ekspor ini memperbaiki neraca perdagangan hingga
menjadi sebesar (-US$ 3,27 M) pada tahun 2011 walaupun pada kenyataannya
impor Indonesia dari China juga meningkat pada tahun tersebut. Namun
peningkatan impor ini tidak sebesar peningkatan ekspornya.
Gambaran Umum Komoditas Utama Dalam Kegiatan EksporImpor Antara Indonesia Dengan Ketiga Mitra Dagang Utama Dalam
Lima Tahun Terakhir (Periode 2006-2011)
Berdasarkan sisitem HS 1996 (2 digit), jenis barang atau komoditas yang
diekspor ke negara tujuan utama cukup bervariasi antara negara yang satu dengan
lainnya (Lampiran 1). Komoditas ekspor ke pasar Amerika Serikat yang dominan
dalam lima tahun terakhir (2006-2011) adalah Karet perkebunan dan pakaian
dengan pangsa ekspor masing-masing sebesar 14,28% dan 12,53% dari total
ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Komoditas peralatan mesin dan elektronik
berada di urutan ketiga dengan pangsa ekspor 8,25% dari total ekspor Indonesia
ke Amerika Serikat. Diurutan keempat dan kelima terdapat komoditas barang
tambang serta budidaya ikan dan sejenisnya dengan pangsa pasar 5,20% dan
4,27% dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.
Untuk pasar Jepang, ekspor lebih berupa komoditas barang tambang dan
bijih besi dengan pangsa ekspor masing-masing 51,52% dan 8,13% dari total
ekspor Indonesia ke Jepang. Sementara komoditas nikel menjadi komoditas ketiga
yang paling banyak diekspor Indonesia ke pasar Jepang dengan pangsa 5,32% dari
total ekspor Indonesia ke Jepang. Diurutan keempat dan kelima terdapat
komoditas karet serta mesin dan peralatan dengan pangsa pasar 4,68% dan 4,51%
dari total ekspor Indonesia ke Jepang.
Sedangkan untuk pasar China, barang tambang serta lemak dan minyak
hewani serta nabati merupakan komoditas ekspor yang dominan dengan pangsa
ekspor masing-masing sebesar 38,36% dan 15,49% dari total ekspor Indonesia ke
China. Sementara komoditas karet menjadi komoditas ketiga yang paling banyak
diekspor Indonesia ke pasar China dengan pangsa 8,15% dari total ekspor
Indonesia ke China. Diurutan keempat dan kelima terdapat komoditas bijih dan
kimia organik dengan pangsa pasar masing-masing 7,12% dan 5,16% dari total
ekspor Indonesia ke China.
Berdasarkan sistem HS 1996 (2 digit), komoditas yang diimpor dari negara
mitra dagang utama juga cukup bervariasi antara negara yang satu dengan lainnya
27
(Lampiran 2). Komoditas yang diimpor dari pasar Amerika Serikat dalam lima
tahun terakhir (2006-2011) adalah mesin pemanas serta pesawat dengan pangsa
impor masing-masing sebesar 16,85% dan 16,81% dari total impor Indonesia yang
berasal dari Amerika Serikat.
Sementara, komoditas yang diimpor oleh Indonesia dari pasar Jepang
berupa komoditas mesin pemanas dan kendaraan dengan pangsa impor masingmasing 30,52% dan 14,29% dari total impor Indonesia yang berasal dari Jepang.
Sedangkan untuk pasar China, komoditas mesin pemanas serta mesin-mesin listrik
merupakan komoditas impor yang dominan dengan pangsa masing-masing
sebesar 21,54% dan 18,30% dari total impor Indonesia yang berasal dari China.
Gambaran Umum GDP Riil Mitra Dagang Utama Indonesia
Selama periode 1996-2011, GDP riil Amerika Serikat, China, dan Jepang,
menunjukkan trend yang positif. Seperti halnya Indonesia, Krisis Asia juga
berdampak pada perekonomian Jepang (Gambar 9). Pada tahun 1997, GDP riil
Jepang meningkat dari tahun sebelumnya hingga mencapai ¥ 474,57 T. Ketika
terjadi Krisis Asia pada akhir 1997, perekonomian Jepang mengalami penurunan
walaupun tidak drastis. Hal ini dapat dilihat dari GDP riil pada tahun 1998 yang
turun 2,15% menjadi ¥ 464,27 T.
540.00
Trillions Yen
520.00
500.00
480.00
460.00
440.00
2011:Q1
2010:Q1
2009:Q1
2008:Q1
2007:Q1
2006:Q1
2005:Q1
2004:Q1
2003:Q1
2002:Q1
2001:Q1
2000:Q1
1999:Q1
1998:Q1
1997:Q1
1996:Q1
420.00
Tahun
Gambar 9 Perkembangan PDB riil Jepang triwulanan selama periode 1996-2011
Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah
Pada tahun-tahun berikutnya, Krisis Asia sudah mulai mereda dan
perekonomian Jepang secara perlahan mulai membaik. GDP riil Jepang terus
bergerak secara positif atau meningkat hingga mencapai ¥ 523,61 T pada tahun
2007. Namun, pada tahun 2008-2009, perekonomian Jepang kembali mengalami
guncangan. GDP riil Jepang pada tahun 2009 turun sebanyak 5,51% dari tahun
2008 hingga mencapai ¥ 489,38 T. Setelah mengalami guncangan di tahun 20082009, Jepang kembali memperbaiki perekonomiannya. Hal ini ditandai dengan
28
meningkatnya GDP riil jepang di tahun 2010 sebanyak 4,55% hingga mencapai
¥ 511,66 T. Namun, nilai GDP riil Jepang pada tahun 2011 kembali turun
sebanyak 0,94% dibandingkan tahun 2010 yakni sebesar ¥ 506,84 T. meskipun
demikian, penurunan GDP riil ini tidak seburuk yang terjadi pada tahun 2009.
China merupakan bagian dari Asia. Namun ketika Krisis Asia terjadi,
China tidak mengalami dampak buruknya seperti Indonesia, Jepang, dan
Singapura. Pergerakan GDP riil China pada periode 1996-2011 terus meningkat
setiap tahunnya. Pada tahun 1997, GDP riil China sebesar CNY 9,23 T. nilai
meningkat 9,29% dari tahun 1996 (CNY 8,44 T). Kemudian, Krisis Asia terjadi di
akhir tahun 1997. Perekonomian China tidak mengalami guncangan karena Krisis
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari GDP riil China di tahun 1998 tetap meningkat
sebesar 7,83% dibanding tahun 1997 yaitu menjadi sebesar CNY 9,95 T. Pada
tahun 2011, GDP riil China berada di posisi CNY 34,36 T. Nilai ini meningkat
9,35% dari tahun 2010 (CNY 31,43 T). Perkembangan GDP riil China dapat
dilihat pada Gambar 10.
40.00
35.00
Trillions Yuan
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
Tahun
2011:Q1
2010:Q1
2009:Q1
2008:Q1
2007:Q1
2006:Q1
2005:Q1
2004:Q1
2003:Q1
2002:Q1
2001:Q1
2000:Q1
1999:Q1
1998:Q1
1997:Q1
1996:Q1
0.00
Gambar 10 Perkembangan PDB riil China triwulanan selama periode 1996-2011
Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah
Perkembangan GDP riil Amerika Serikat periode 1996-2011 secara umum
memiliki trend yang positif. Pada tahun 1997, nilai GDP riil Amerika Serikat
adalah US$ 9,84 T. Nilai ini meningkat 4,46% dibandingkan dengan tahun 1996
yaitu sebesar US$ 9,42 T. Pada tahun-tahun berikutnya, kondisi perekonomian
Amerika Serikat semakin membaik. Pendapatan Amerika Serikat meningkat
setiap tahunnya. Pada tahun 2008, Amerika Serikat mengalami krisis “Subprime
Mortgage”. Krisis ini timbul karena ada kegagalan dalam mengelola Kredit
Perumahan Rakyat (KPR). Pada awal tahun 2004, suku bunga dollar AS atau
sering disebut Fed Funds Target Rate (FFTR) hanya 1%, sehingga pada debitor
subprime (nasabah yang keadaan ekonominya tidak stabil) masih mampu mencicil
KPR. Krisis terjadi ketika bank sentral AS menaikkan FFTR dari 1% pada Mei
2004 menjadi 5.25% pada Juni 2006. Akibatnya para debitur subprime, yang pada
umumnya memang berpenghasilan kecil mulai mengalami gagal bayar dan
29
menunggak KPR-nya dalam skala yang besar. Pada saat yang hampir bersamaan,
harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR
banyak yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar.
Akibat dari krisis “Subprime Mortgage” adalah GDP riil Amerika Serikat
pada tahun 2008 turun 0,34% dari tahun 2007 menjadi US$ 13,21 T. sedangkan
GDP riil Amerika Serikat pada tahun 2009 turun sebanyak 3,07% dari tahun 2008
yakni menjadi US$ 12,76 T. Pada tahun berikutnya, krisis tersebut mulai mereda
dan perekonomian Amerika Serikat kembali membaik. GDP riil Amerika Serikat
pada tahun 2011 mencapai US$ 13,29 T atau telah meningkat 4,24%
dibandingkan dengan GDP riil di tahun 2009. Perkembangan GDP riil Amerika
Serikat dapat dilihat pada Gambar 11.
16.00
14.00
Trillions US$
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
Tahun
2011:Q1
2010:Q1
2009:Q1
2008:Q1
2007:Q1
2006:Q1
2005:Q1
2004:Q1
2003:Q1
2002:Q1
2001:Q1
2000:Q1
1999:Q1
1998:Q1
1997:Q1
1996:Q1
0.00
Gambar 11 Perkembangan PDB riil Amerika Serikat triwulanan selama periode
1996-2011
Sumber : International Financial Statistic (2013), diolah
Gambaran Umum GDP Riil Indonesia
GDP riil Indonesia secara umum mengalami pergerakan yang positif
(Gambar 12). Pada tahun 1996, GDP riil Indonesia berada pada posisi sebesar Rp
2.287,35 T kemudian meningkat menjadi Rp 2.397,10 T pada tahun 1997. Namun
pada periode berikutnya, krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara Asia
termasuk Indonesia memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya GDP riil Indonesia.
Pada tahun 1998 GDP riil Indonesia turun sebanyak 13,01% menjadi
sebesar Rp 2.085,29 T sebagai akibat dari Krisis Asia yang terjadi pada waktu itu.
Pada tahun berikutnya, Krisis Asia ini mulai mereda dan Indonesia mulai
memperbaiki kondisi perekonomiannya secara perlahan. Hal ini ditunjukkan
dengan peningkatan GDP riil Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun 2011, GDP
riil Indonesia mencapai Rp 3.903,16 T atau meningkat sebanyak 6,46% dari tahun
2010 (Rp 3.666,42 T).
30
1,200.00
Trillions Rp
1,000.00
800.00
600.00
400.00
200.00
Tahun
2011:Q1
2010:Q1
2009:Q1
2008:Q1
2007:Q1
2006:Q1
2005:Q1
2004:Q1
2003:Q1
2002:Q1
2001:Q1
2000:Q1
1999:Q1
1998:Q1
1997:Q1
1996:Q1
0.00
Gambar 12 Perkembangan PDB riil Indonesia triwulanan selama periode 19962011
Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah
Gambaran Umum Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Mata Uang Negara
Yang Menjadi Mitra Dagang Utama Indonesia
Pada akhir 1997, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami
dampak dari Krisis Asia. Krisis ini bermula dari jatuhnya nilai mata uang Bath
Thailand. Nilai tukar riil rupiah mulai mengalami guncangan dan berdampak
buruk bagi perekonomian Indonesia seperti tingkat inflasi yang tinggi, tingkat
pengangguran yang tinggi, serta tingkat prtumbuhan ekonomi yang rendah. Sejak
saat itu lah sistem nilai tukar Indonesia berganti. Nilai rupiah riil di akhir tahun
1997 sangat terdepresiasi terhadap mata uang negara asing (dalam hal ini US$,
Yuan, dan Yen). Nilai rupiah riil terdepresiasi dari Rp 6.204,57/US$ menjadi Rp
11.575,76/US$ di tahun 1997, dari Rp 67,86/Yen menjadi Rp 111.63/Yen, dan
dari Rp 1.003,93/Yuan menjadi Rp 1.942,45/Yuan.
Nilai tukar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi neraca
perdagangan suatu negara. Sejak Krisis Asia yang terjadi pada akhir yahun 1997,
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain (dalam hal ini US$, Yuan, dan
Yen) bergerak secara fluktuatif dikarenakan sistem nilai tukar berganti yang
semula sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange
rate) menjadi sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Setelah
sistem nilai tukar berganti, pergerakan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang
negara lain menjadi fluktuatif (depresiasi atau apresiasi). Nilai tukar riil rupiah ini
bergerak mengikuti mekanisme pasar. Hingga pada tahun 2011, posisi nilai tukar
rupiah riil terhadap mata uang Amerika, China, dan Jepang secara berturut-turut
adalah Rp 6.732,74/US$, Rp 1.100,73/Yuan, dan Rp 74,13/Yen. Perkembangan
nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara mitra dagang utama Indonesia dapat
dilihat pada Gambar 13.
31
Rp/US$, Rp/Yuan
Rp/Yen
25,000.00
250.00
20,000.00
200.00
15,000.00
150.00
10,000.00
100.00
5,000.00
50.00
0.00
Rp/US$
Rp/Yuan
Rp/Yen
1996:Q1
1997:Q1
1998:Q1
1999:Q1
2000:Q1
2001:Q1
2002:Q1
2003:Q1
2004:Q1
2005:Q1
2006:Q1
2007:Q1
2008:Q1
2009:Q1
2010:Q1
2011:Q1
0.00
Tahun
Gambar 13 Perkembangan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara yang
menjadi mitra dagang utama Indonesia triwulanan selama periode
1996-2011
Sumber: FX Sauder (2013), diolah
Gambaran Umum Suku Bunga
Suku bunga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi laju
neraca perdagangan. Suku bunga domestik akan berhubungan positif dengan
neraca perdagangan. Sementara suku bunga luar negeri akan berhubungan
negative dengan neraca perdagangan. Dengan naiknya suku bunga domestik
(dalam hal ini Indonesia), maka neraca perdagangan akan meningkat karena
permintaan inestasi menurun (NX= S - I). Perkembangan suku bunga di empat
negara dapat dilihat pada Gambar 14.
Untuk kasus Indonesia, peningkatan suku bunga yang cukup tinggi terjadi
pada saat terjadi kriris yaitu tahun 1997 yang mencapai 20% bahkan pada tahun
1998, tingkat suku bunga mencapai 38.44%. Kenaikan ini terjadi karena adanya
ekspektasi inflasi yang cukup tinggi serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar Amerika. Pasca krisis moneter, BI selaku otoritas moneter mulai
menurunkan tingkat suku bunga, Penurunan tingkat suku bunga ini dilakukan
dengan mempertimbangkan kondisi makroekonomi yang mulai stabil yang
tercermin pada perkembangan nilai tukar, tingkat inflasi, dan kondisi moneter.
Sejak tahun 1998, tingkat suku bunga di Indonesia bergerak secara fluktuatif.
Posisi tingkat suku bunga di Indonesia pada tahun 2011 yaitu 6%.
Sementara, Negara China dan Jepang yang merupakan bagian dari Asia
tidak mengalami peningkatan suku bunga seperti yang terjadi di Indonesia.
Tingkat suku bunga di China dan Jepang pada tahun 1997 masing-masing yaitu
sebesar 8.55% dan 0.5%. Pada tahun 1998, suku bunga di China menurun menjadi
4.59% sementara suku bunga di Jepang tetap berada di posisi 0.5%.
32
R_INA, R_CHN, R_US (%)
R_JPN (%)
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
2011:Q1
2010:Q1
2009:Q1
2008:Q1
2007:Q1
2006:Q1
2005:Q1
2004:Q1
2003:Q1
2002:Q1
2001:Q1
2000:Q1
1999:Q1
1998:Q1
1997:Q1
1996:Q1
80
70
60
50
40
30
20
10
0
R_INA
R_CHN
R_US
R_JPN
Tahun
Gambar 14 Perkembangan suku bunga di empat negara triwulanan selama periode
1996-2011
Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah
Jika dilihat pergerakannya selama periode 1996 hingga 2011, tingkat suku
bunga di China dan Jepang memang bergerak fluktuatif namun tidak terlalu
ekstrim. Rata-rata pergerakan tingkat suku bunga di China selama periode 1996
hingga 2011 yaitu 3.92%, sementara rata-rata tingkat suku bunga lebih rendah
yakni 0.33%. Pada tahun 2011, posisi tingkat suku bunga di China yaitu sebesar
3.25% dan di Jepang sebesar 0.3%.
Di lain pihak, pergerakan tingkat suku bunga di Amerika Serikat lebih
fluktuatif dibandingkan dengan pergerakan tingkat suku bunga di China dan di
Jepang. Titik tertinggi dari tingkat suku bunga di Amerika berada di tahun 1997
dengan nilai 5.5%. Sementara titik terendah berada di sepanjang tahun 2009
hingga 2011 dengan nilai 0.125%. Rata-rata pergerakan tingkat suku bunga di
Amerika Serikat selama periode 1996 hingga 2011 yakni sebesar 3.024%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Stasionaritas Data
Uji yang pertama dilakukan dalam analisis data adalah uji kestasioneran
data. Untuk mengetahui kestasioneran data diperlukan uji akar unit (unit root test).
Jika suatu variabel pada data level mempunyai suatu unit root, maka variabel
tersebut nonstasioner. Selanjutnya dilakukan pengujian pada first difference dan
seterusnya hingga diperoleh data yang stasioner.
Metode yang digunakan untuk melakukan unit root test adalah Augmented
Dickey Fuller (ADF) test. Untuk menentukan bahwa suatu series mempunyai unit
root atau tidak, maka diperlukan pembandingan antara nilai t-statistik ADF
dengan nilai ADF tabel. Suatu variabel akan memiliki unit root (tidak stasioner)
apabila t-statistik ADF lebih kecil daripada nilai kritis ADF tabel dengan tingkat
33
signifikansi tertentu. Nilai kritis yang digunakan sebagai batas pengujian statistik
tersebut adalah nilai kritis MacKinnon dengan batasan nilai α < 5%. Hasil uji
ADF untuk setiap variabel pada data time series pada tingkat level dapat dilihat
pada Tabel 2.
Hasil uji akar unit yang dapat dilihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
hampir semua variabel bersifat tidak stasioner pada tingkat level. Ini dapat dilihat
dari nilai ADF t-statistic dari beberapa variabel tersebut yang nilainya lebih besar
dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5%. Hanya variabel GDP riil Indonesia dan
suku bunga Indonesia yang bersifat stasioner pada level dengan taraf nyata 5%.
Tabel 2 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat level
Nilai kritis MacKinnon
Nilai ADF
Variabel
t-statistic
1%
5%
10%
LTBina-us
Probability
-1.553943
-4.118444
-3.486509
-3.171541
0.7993
-1.907200
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.6391
-2.750838
-3.538362
-2.908420
-2.591799
0.0713
-6.050031
-4.127338
-3.490662
-3.173943
0.0000
LYus
-1.567534
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7945
LYjpn
-2.741213
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.2244
LYchn
-1.654140
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7597
LR_ina
-4.478199
-4.118444
-3.486509
-3.171541
0.0036
LR_us
-2.481855
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.3358
LR_jpn
-1.702146
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7388
LR_chn
-2.634777
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.2669
-2.806666
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.2005
-2.688139
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.2450
-2.809245
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.1996
-1.714395
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7333
LTBinajpn
LTBinachn
LYina
LRER_
RPUS
LRER_
RPYEN
LRER_
RPYUAN
Dummy
08
Keterangan
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
*
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
*
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
stasioner
Sumber: Lampiran 3
Keterangan: tanda asterik (*) menandakan variabel signifikan pada taraf 5 persen
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah uji akar unit pada tingkat
first difference. Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat satu) dilakukan
untuk mengetahui apakah semua variabel sudah bersifat stasioner mengingat pada
tingkat level (I(0)) hampir semua data time series bersifat tidak stasioner pada taraf
34
nyata 5%. Berikut hasil uji ADF semua variabel pada tingkat derajat satu (I(1)) yang
terangkum dalam Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua variabel bersifat stasioner pada tingkat
derajat satu (I(1)). Hal ini dapat dianalisis dengan melihat nilai t-statistik ADF
dari semua variabel yang ada bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon
dimana taraf nyata yang digunakan dalam penelitian itu adalah 5%. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini
terintegrasi pada derajat satu (I(1)).
Tabel 3 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat first difference
Nilai kritis Mac Kinnon
Nilai ADF
Variabel
probability
t-statistic
1%
5%
10%
∆LTB
-7.387719 -4.118444 -3.486509 -3.171541
0.0000
ina-us
∆LTB
-7.763835 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0000
ina-jpn
∆LTB
-10.34039 -3.540198 -2.909206 -2.592215
0.0000
ina-chn
∆LREER
-5.881675 -3.540198 -2.909206 -2.592215
0.0000
∆LYina
-3.906780 -4.124265 -3.489228 -3.173114
0.0179
∆LYus
-5.064816 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0006
∆LYjpn
-5.794282 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0000
∆LYchn
-6.032995 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0000
∆LR_ina
-4.736812 -4.124265 -3.489228 -3.173114
0.0017
∆LR_us
-3.913621 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0172
∆LR_jpn
-3.995483 -4.115684 -3.485218 -3.170793
0.0139
∆LR_chn
-8.217323 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0000
∆ LRER_
-5.709130 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0001
RPUS
∆ LRER_
-6.355737 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0000
RPYEN
∆ LRER_
-5.560526 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0001
RPYUAN
∆Dummy08 -7.935903 -4.113017 -3.483970 -3.170071
0.0000
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Sumber: Lampiran 4
Pengujian Lag Optimal
Sebelum dilakukan uji kointegrasi, terlebih dahulu dilakukan pemilihan
panjang lag yang optimal. Penetapan lag optimal bertujuan untuk menunjukkan
berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan
masalah autokorelasi dalam sebuah system VAR (Firdaus, 2011). Ada lima
kriteria yang dapat membantu menentukan panjang lag optimal, yaitu Likelihood
Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC),
Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Namun,
kriteria yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah kriteria Akaike
Information Criterion (AIC) dengan mengambil nilai AIC yang paling kecil. Lag
35
optimum yang diperoleh yaitu lag 2 untuk model bilateral Indonesia dengan dua
mitra dagang utamanya (Amerika Serikat dan China). Sementara untuk model
bilateral Indonesia dengan Jepang, lag yang digunakan adalah lag 3. Hasil
penetapan lag optimum dapat dilihat pada Lampiran 5.
Uji Stabilitas VAR
Panjang lag yang telah diperoleh pada uji lag optimum di atas selanjutnya
akan diuji stabilitasnya sebelum masuk pada tahapan analisis lebih jauh lagi. Uji
stabilitas VAR perlu dilakukan untuk memastikan bahwa model yang digunakan
akan menghasilkan IRF dan FEVD yang valid dan konsisten. Uji stabilitas VAR
dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polynomial atau dikenal
dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua akar fungsi polinomial
tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 maka
model VAR tersebut dianggap stabil. Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat
disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil. Hasil uji stabilitas VAR dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil uji stabilitas VAR
Model Bilateral
Indonesia – Amerika Serikat
Indonesia – China
Indonesia – Jepang
Sumber: Lampiran 6
Kisaran Modulus
0.294758 - 0.966801
0.031888 - 0.999762
0.362618 - 0.995140
Uji Kointegrasi
Berdasarkan hasil pengujian kestasioneran data menunjukkan bahwa tidak
semua data stasioner pada tingkat level, melainkan stasioner pada first difference.
Data yang stasioner pada first difference kemungkinan besar menggunakan
metode VAR first difference atau VECM. Oleh karena itu perlu dilakukan uji
kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi hubungan jangka panjang.
Uji ini dilakukan dengan menggunakan Johansen Trace Statsistic test yaitu
dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang
digunakan, yaitu 5 persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value 5%,
maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut.
Berdasarkan uji kointegrasi (Lampiran 7), hasil estimasi memberikan
gambaran bahwa untuk masing-masing model bilateral terdapat lebih dari satu
kointegrasi pada taraf nyata 5 persen. Untuk model bilateral Indonesia dengan
Amerika Serikat (US), hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat 6 persamaan
kointegrasi. Sementara untuk model bilateral Indonesia dengan China dan
Indonesia dengan Jepang, hasil estimasi masing-masing menunjukkan bahwa
terdapat 4 persamaan kointegrasi. Dengan adanya kointegrasi dan tidak
stasionernya variabel yang digunakan pada level, maka metode VECM akan
dipilih sebagai alat estimasi untuk menjawab tujuan penelitian.
36
Hasil Estimasi VECM
VECM merupakan bentuk VAR terestriksi. Restriksi tambahan ini
dilakukan karena adanya data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM
mampu melihat hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar
konvergen ke dalam kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan
dinamisasi jangka pendek. Dengan kata lain, estimasi VECM menghasilkan
informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan
hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Penelitian ini
menggunakan signifikansi dengan taraf nyata lima persen.
Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat
Tabel 5 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan
Amerika Serikat yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka
panjang. Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah
neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (TBINAUS),
sedangkan variabel independennya adalah PDB Indonesia (Yina), PDB Amerika
Serikat (Yus), nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (RER_RPUS), suku
bunga domestik (R_INA), suku bunga luar negeri (R_US), dan dummy krisis
tahun 2008 (Dummy08).
Tabel 5 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Variabel
Koefisien
T-statistik
Jangka pendek
D(R_US(-3))
-0.143472
-1.98543
D(LRER_RPUS(-1))
1.230200
2.82105
Cointeq1
-0.926567
-2.23710
Cointeq2
-3.311094
-1.97916
Cointeq3
5.753162
2.03406
Jangka panjang
R_US (-1)
-0.01588
2.12514
R_INA (-1)
0.007063
8.32041
LRER_RPUS(-1)
-0.76565
3.95521
Dummy08
-0.05552
4.79789
C
-52.4403
-19.8580
Sumber: Lampiran 8, diolah
Pada analisis jangka pendek untuk model bilateral Indonesia dengan
Amerika Serikat, terdapat 2 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen.
Variabel RER_RPUS berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral
Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar 1.230200.
Dengan meningkatnya nilai tukar riil (depresiasi) 1 persen maka neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan meningkat
37
sebesar 1.230200 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Jika
dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER
yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya MarshallLerner Condition dalam jangka pendek. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang
akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka pendek.
Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga
barang di Amerika Serikat menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga
barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat Amerika Serikat lebih memilih
membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca
perdagangan Indonesia. Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka
pendek pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini sesuai
dengan hasil penelitian Husman (2005). Namun, lain halnya dengan hasil
penelitian Onafowora (2003). Onafowora tidak menemukan adanya MarshallLerner Conditon dalam jangka pendek pada kasusu bilateral antara Indonesia
dengan Amerika Serikat.
Di samping nilai tukar riil, hasil estimasi VECM jangka pendek juga
menggambarkan bahwa R_US berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan
bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar 0.143472. Dengan meningkatnya suku bunga di Amerika Serikat sebesar 1 persen
maka nilai neraca perdagangan bilateral akan menurun atau mengalami defisit
sebesar 0.143472 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku
bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di Amerika Serikat
naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor
tidak tertarik untuk berinvestasi di Amerika. Penurunan investasi ini menyebabkan
meningkatnya neraca perdagangan Amerika (surplus bagi Amerika) karena neraca
perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I).
Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat
neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Hasil estimasi VECM lainnya menunjukkan bahwa terdapat dugaan
parameter koreksi kesalahan (error correction) persamaan kointegrasi pertama
(TBINAUS) secara statistik signifikan dengan koefisien sebesar -0.926567. Tanda
negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.926567
persen setiap kuartal pada persamaan neraca perdagangan untuk menuju
keseimbangan jangka panjang.
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA)
secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Indonesia
terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat
dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah 3.311094. Artinya, dalam jangka panjang, PDB Indonesia berpengaruh negatif
terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis
awal. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka nilai neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika akan turun atau mengalami
defisit sebesar 3.311094 persen. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya
pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada
meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk neraca perdagangan.
Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara PDB Indonesia
dan neraca perdagangan bilateral dengan Amerika sesuai dengan hasil penelitian
Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012),
38
Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lainlain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara PDB domestik
dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan
penelitian mereka.
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi ketiga (YUS)
yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Amerika
Serikat terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika
Serikat dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut
adalah 5.753162. Artinya, dalam jangka panjang, PDB Amerika Serikat
berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini sesuai dengan
teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya PDB Amerika sebesar 1 persen
maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika akan
meningkat sebesar 5.753162 persen. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya
pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada
meningkatnya permintaan impor oleh masyarakat Amerika. Sehingga akan
meningkatkan kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika. Pada akhirnya hal ini akan
memperbaiki neraca perdagangan. Hasil estimasi yang menunjukkan adanya
hubungan positif antara PDB Amerika Serikat dan neraca perdagangan bilateral
dengan Amerika sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman
(2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005),
Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lain-lain juga menemukan hasil
bahwa terdapat hubungan positif antara PDB mitra dagang dengan neraca
perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka.
Adapun dalam jangka panjang, terdapat 4 variabel bebas yang signifikan
pada taraf nyata 5 persen. Variabel R_US berpengaruh negatif terhadap neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien
sebesar -0.01588. Dengan meningkatnya suku bunga di Amerika Serikat sebesar 1
persen maka nilai neraca perdagangan bilateral akan menurun atau mengalami
defisit sebesar 0.01588 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal.
Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di Amerika
Serikat naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan
investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Amerika. Penurunan investasi ini
meningkatkan neraca perdagangan Amerika (surplus bagi Amerika) karena neraca
perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I).
Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat
neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Variabel suku bunga domestik (R_INA) berpengaruh positif terhadap
neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Besarnya nilai
koefisien R_INA yaitu 0.007063. Artinya, jika suku bunga domestik naik 1 persen
maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan
meningkat sebesar 0.007063 persen. Hasil ini sesuai dengan teori dan hipotesis
awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Dengan meningkatnya
suku bunga domestik, maka biaya untuk berinvestasi di dalam negeri akan
meningkat yang menyebabkan permintaan investasi di Indonesia menurun.
Penurunan investasi akan membuat neraca perdagangan meningkat karena neraca
perdagangan merupakan fungsi dari selisish antara tabungan dengan investasi
(NX= S-I). Dengan kata lain, kondisi ini akan membuat neraca perdagangan
bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi surplus.
39
Variabel RER_RPUS dalam jangka panjang siginifikan terhadap neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Nilai koefisien RER
yaitu -0.76565. Artinya, apabila RER naik (depresiasi) 1 persen, maka neraca
perdagangan bilateral akan memburuk sebesar 0.76565 persen. Hal ini tidak sesuai
dengan teori dan hipotesis awal. Dengan nilai koefisien RER yang negatif (kurang
dari 0), maka dapat dikatakan bahwa Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi
dalam jangka panjang karena jumlah dari elastisitas impor dan ekspor tidak lebih
dari 1. Tidak terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada
kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005).
Alasan tidak terpenuhinya Marshall-Lerner Condition dalam jangka
panjang adalah rendahnya elastisitas ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang
terlihat dari kecilnya kenaikan ekspor ke Amerika Serikat meskipun harga relatif
ekspor sudah lebih murah. Kecilnya elastisitas ekspor ke Amerika Serikat antara
lain dapat dijelaskan bahwa jika dilihat dari komoditas berdasarkan kelompok
barang yang diekspor ke Amerika Serikat, secara umum merupakan barang
konsumsi atau barang kebutuhan seperti karet, energi, dan sebagainya (lihat
lampiran 1). Permintaan barang-barang kebutuhan umumnya inelastis. Walaupun
harga barang kebutuhan meningkat ataupun menurun maka jumlah yang diminta
kurang lebih akan tetap sama.
Variabel Dummy krisis tahun 2008 (Dummy08) secara statistik signifikan
terhadap neraca perdagangan bilateral. Nilai koefisien variabel Dummy08 yaitu
sebesar -0.05552. Dengan demikian, krisis yang terjadi di Amerika pada tahun
2008 akan menurunkan kinerja neraca perdagangan bilateral antara Indonesia
dengan Amerika Serikat sebesar 0.05552 persen. Alasan yang dapat menjelaskan
keadaan ini adalah ketika krisis global melanda Amerika Serikat, PDB Amerika
Serikat akan menurun. Penurunan PDB ini akan menyebabkan keinginan
masyarakat Amerika untuk mengimpor barang dari Indonesia juga menurun. Pada
akhirnya, hal ini akan menurunkan kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat.
Dengan kata lain, neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat
akan memburuk.
Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan China
Tabel 6 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan
China yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan China (TBINACHN), sedangkan variabel
independennya adalah PDB Indonesia (YINA), PDB China (YCHN), nilai tukar
riil Rupiah terhadap Yuan (RER_RPYUAN), suku bunga domestik (R_INA),
serta suku bunga luar negeri (R_CHN).
Pada analisis jangka pendek untuk model bilateral Indonesia dengan China,
terdapat 3 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel YINA pada
lag kedua berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral dengan nilai
koefisien yaitu 2.116732. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal
dimana hubungan antara pendapatan dengan neraca perdagangan bertanda negatif.
40
Meningkatnya pendapatan seharusnya mampu meningkatkan konsumsi
sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan
memperburuk nilai neraca perdagangan. Di Indonesia, dengan meningkatnya
pendapatan tidak langsung meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terjadi karena di
Indonesia memiliki tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak pada
menurunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, Sehingga, nilai impor akan
menurun dan nilai neraca perdagangan Indonesia akan membaik.
Husman (2005) dan Onafowora (2003) menjelaskan bahwa hubungan
positif antara PDB domestik (dalam hal ini PDB Indonesia) dengan neraca
perdagangan bilateral juga dapat terjadi apabila kenaikan PDB domestik ini terjadi
karena ada peningkatan produksi barang substitusi impor. Ketika produksi
meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di
dalam negeri.
Tabel 6 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-China
Variabel
Koefisien
Jangka pendek
YINA(-2)
2.116732
R_INA (-1)
-0.020030
RER_RPYUAN(-2)
0.625038
Cointeq1
-0.288808
Cointeq2
3.356715
Jangka panjang
R_CHN(-1)
-0.11017
R_INA(-1)
0.015358
YCHN(-1)
-1.75134
RER_RPYUAN(-1)
0.121182
C
-62.2547
Sumber: lampiran 8, diolah
T-statistik
2.18765
-2.73912
2.17743
-2.50124
2.27666
-7.06297
-7.50615
-40.4326
3.18526
-35.5655
Variabel RER_RPYUAN pada lag kedua dalam jangka pendek
berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan
China dengan nilai koefisien sebesar 0.625038. Dengan meningkatnya (depresaisi)
nilai tukar riil 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan
China akan meningkat sebesar 0.625038 persen. Hal ini sesuai dengan teori. Jika
dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER
yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya MarshallLerner Condition dalam jangka pendek. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang
akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka pendek.
Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga
barang di China menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi
Indonesia. Sehingga masyarakat China lebih memilih membeli barang produksi
Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia.
Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka pendek pada kasus
41
bilateral antara Indonesia dengan China ini sesuai dengan hasil penelitian Husman
(2005).
Variabel R_INA secara statistik signifikan terhadap neraca perdagangan
bilateral Indonesia dengan China dengan nilai koefisien sebesar -0.020030. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya tingkat suku bunga 1 persen
akan menyebabkan menurunnya neraca perdagangan sebesar 0.020030 persen.
Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal.
Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Seharusnya, jika suku
bunga domestik (Indonesia) meningkat, maka investasi akan turun sehingga
membuat neraca perdagangan membaik (NX = S-I). Untuk kasus ini, suku bunga
domestik justru menyebabkan adanya kenaikan dalam investasi. Hal ini terjadi
karena Indonesia masih butuh investasi sebagai sarana untuk meningkatkan
perekonomian. Begitu suku bunga di Indonesia meningkat, maka akan ada aliran
modal masuk ke Indonesia karena investor menganggap akan ada tingkat
pengembalian yang lebih di tinggi jika berinvestasi di Indonesia. Dengan kata lain
arus modal keluar netto di Indonesia menjadi negatif. Aliran modal masuk ke
Indonesia ini akan membuat Rupiah terapresiasi, barang-barang domestik
(Indonesia) menjadi relatif lebih mahal dibandingkan barang-barang luar negeri
(Jepang). Sehingga, neraca perdagangan Indonesia akan turun (defisit bagi
Indonesia).
Pada jangka pendek terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan
persamaan kointegrasi pertama (TBINACHN) yang secara statistik signifikan.
dengan koefisien sebesar -0.288808. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan
bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.288808 persen setiap kuartal pada persamaan
neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang.
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA)
yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB
Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China
dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut
adalah 3.356715. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka
nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan meningkat atau
mengalami surplus sebesar 3.356715 persen. Hal tersebut tidak sesuai dengan
teori dan hipotesis awal dimana hubungan antara pendapatan dengan neraca
perdaganagn bertanda negatif.
Meningkatnya pendapatan seharusnya mampu meningkatkan konsumsi
sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan
memperburuk nilai neraca perdagangan. Di Indonesia, dengan meningkatnya
pendapatan tidak langsung meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terjadi karena di
Indonesia memiliki tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak pada
menurunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, nilai impor akan menurun dan
nilai neraca perdagangan Indonesia akan membaik.
Husman (2005) dan Onafowora (2003) menjelaskan bahwa hubungan
positif antara PDB domestik (dalam hal ini PDB Indonesia) dengan neraca
perdagangan bilateral juga dapat terjadi apabila kenaikan PDB domestik ini terjadi
karena ada peningkatan produksi barang substitusi impor. Ketika produksi
meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di
dalam negeri.
42
Dalam jangka panjang, variabel R_CHN secara statistik signifikan.
Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah -0.11017. Dengan
meningkatnya suku bunga di China sebesar 1 persen maka nilai neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan menurun atau mengalami
defisit sebesar 0.11017 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal.
Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di China naik,
maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak
tertarik untuk berinvestasi di China. Penurunan investasi ini menyebabkan
meningkatnya neraca perdagangan China (surplus bagi China) karena neraca
perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I).
Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat
neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Variabel R_INA akan memberikan pengaruh yang positif terhadap neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Nilai koefisien variabel R_INA
yaitu sebesar 0.015358. Dengan meningkatnya suku bunga di Indonesia sebesar 1
persen, maka neraca perdagangan bilateral akan meningkat 0.015358 persen. Hal
ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk
berinvestasi. Dengan meningkatnya suku bunga domestik, maka biaya untuk
berinvestasi di dalam negeri akan meningkat yang menyebabkan permintaan
investasi di Indonesia menurun. Penurunan investasi akan membuat neraca
perdagangan meningkat karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari
selisish antara tabungan dengan investasi (NX= S-I). Dengan kata lain, kondisi ini
akan membuat neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China menjadi
surplus.
Variabel YCHN dalam jangka panjang berhubungan negatif dan signifikan
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Nilai koefisien
YCHN yaitu -1.75134. Dengan meningkatnya PDB China 1 persen, maka neraca
perdagangan bilateral akan menurun sebesar 1.75134 persen. Hal ini tidak sesuai
dengan teori dan hipotesis awal. Sebagaimana penjelasan mengenai hubungan
positif antara PDB domestik dan neraca perdagangan bilateral sebelumnya,
hubungan negatif antara PDB luar negeri (dalam hal ini PDB China) dengan
neraca perdagangan juga dapat dijelaskan dengan alasan peningkatan PDB karena
adanya peningkatan produksi barang-barang substitusi impor di Negara China.
Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi
excess supply di dalam negeri (Husman, 2005 dan Onafowora, 2003)
Variabel RER_RPYUAN dalam jangka panjang berpengaruh positif
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dengan nilai
koefisien sebesar 0.121182. Dengan meningkatnya (depresiasi) nilai tukar riil 1
persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan
meningkat sebesar 0.121182 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal.
Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel
RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya MarshallLerner Condition dalam jangka panjang. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang
akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka panjang.
Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga
barang di China menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi
Indonesia. Sehingga masyarakat China lebih memilih membeli barang produksi
Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia.
43
Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada kasus
bilateral antara Indonesia dengan China ini sesuai dengan hasil penelitian Husman
(2005).
Sekalipun Marshall-Lerner Condition pada model bilateral dengan China
terpenuhi dalam jangka panjang, pengaruh depresiasi nilai tukar riil terhadap
neraca perdagangan relatif kecil. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa dampak
depresiasi nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan kinerja neraca
perdagangan tidak lebih dari 1 persen yaitu hanya 0.121182 persen. Kondisi ini
menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah tidak memberikan manfaat yang terlalu
besar dalam meningkatkan neraca perdagangan bilateral dengan China.
Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan Jepang
Tabel 7 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan
Jepang yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang (TBINAJPN), sedangkan variabel
independennya adalah PDB Indonesia (YINA), PDB Jepang (YJPN), nilai tukar
efektif riil (REER), suku bunga domestik (R_INA), serta suku bunga luar negeri
(R_JPN).
Tabel 7 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Jepang
Variabel
Koefisien
T-statistik
Jangka pendek
R_JPN(-2)
0.621051
2.08821
LYJPN(-1)
Cointeq1
Cointeq2
Cointeq3
R_INA(-1)
YJPN(-1)
RER_RPYEN(-1)
Sumber: Lampiran 8, diolah
-5.322381
-0.232966
-0.143486
-0.253215
Jangka panjang
0.004916
0.134011
0.131762
-2.16223
-3.17201
-2.20148
-3.49373
-6.69293
-18.7791
-4.86884
Dalam jangka pendek, terdapat satu variabel yang signifikan pada taraf
nyata 5 persen. Variabel R_JPN secara statistik signifikan dengan nilai koefisien
sebesar 0.621051. Dengan meningkatnya suku bunga Jepang 1 persen maka akan
meningkat pula neraca perdagangan sebesar 0.621051 persen. Hasil tersebut tidak
sesuai dengan teori dan hipotesis awal penulis.
Dengan meningkatnya suku bunga di Jepang, maka biaya untuk
berinvestasi di Jepang akan meningkat sehingga menyebabkan permintaan
investasi di Jepang menurun. Penurunan investasi Jepang seharusnya dapat
44
memperburuk neraca perdagangan bilateral dari sisi Indonesia (defisit bagi
Indonesia). Hal ini terjadi karena jika suku bunga di Jepang naik, maka biaya
untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk
berinvestasi di Jepang. Penurunan investasi ini menyebabkan meningkatnya
neraca perdagangan Jepang (surplus bagi Jepang) karena neraca perdagangan
merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan
demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca
perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Namun berdasarkan hasil estimasi VECM model bilateral dengan Jepang,
peningkatan suku bunga di Jepang akan memperbaiki neraca perdagangan
bilateral (surplus untuk Indonesia). Begitu suku bunga di Jepang meningkat, maka
akan ada aliran modal masuk ke Jepang karena investor menganggap akan ada
tingkat pengembalian yang lebih di tinggi jika berinvestasi di Jepang. Dengan kata
lain arus modal keluar netto di Jepang menjadi negatif. Aliran modal masuk ke
Jepang membuat Yen terapresiasi, barang-barang domestik (Jepang) menjadi
relatif lebih mahal dibandingkan barang-barang Indonesia. Sehingga, ekspor neto
Jepang akan turun (defisit bagi Jepang) atau dengan kata lain neraca perdagangan
Indonesia akan membaik (surplus bagi Indonesia).
Di samping suku bunga Jepang, hasil estimasi jangka pendek juga
menggambarkan bahwa variabel YJPN berhubungan negatif terhadap neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Nilai koefisien YJPN yaitu 5.322381. Dengan meningkatnya PDB Jepang 1 persen, maka neraca perdagangan
bilateral akan menurun sebesar 5.322381 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori
dan hipotesis awal. Sebagaimana penjelasan mengenai hubungan positif antara
PDB domestik dan neraca perdagangan bilateral sebelumnya, hubungan negatif
antara PDB luar negeri (dalam hal ini PDB Jepang) dengan neraca perdagangan
juga dapat dijelaskan dengan alasan peningkatan PDB karena adanya peningkatan
produksi barang-barang substitusi impor di Negara Jepang. Ketika produksi
meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di
dalam negeri (Husman, 2005 dan Onafowora, 2003).
Dugaan parameter koreksi kesalahan (error correction) persamaan
kointegrasi pertama (TBINAJPN) secara statistik signifikan dengan koefisien
sebesar -0.232966. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan
dikoreksi sebesar 0.232966 persen setiap kuartal pada persamaan neraca
perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang.
Selain itu, terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan
kointegrasi kedua (YINA) yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat
diketahui pengaruh PDB Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara
Indonesia dengan Jepang dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi
kesalahan tersebut adalah -0.143486. Dengan meningkatnya PDB Indonesia
sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang
akan turun atau mengalami defisit sebesar 0.143486 persen. Hal ini sesuai dengan
teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya pendapatan maka akan
meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor dari
Jepang yang pada akhirnya akan memperburuk neraca perdagangan (defisit bagi
Indonesia). Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara
PDB Indonesia dan neraca perdagangan bilateral dengan Jepang sesuai dengan
hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti
45
Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J
(2009), dan lain-lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif
antara PDB domestik dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus
yang menjadi tujuan penelitian mereka
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi ketiga
(R_JPN) secara statistik juga signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral.
Sehingga dapat diketahui pengaruh suku bunga di Jepang terhadap neraca
perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang dalam jangka panjang.
Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah -0.253215. Dengan
meningkatnya suku bunga di Jepang sebesar 1 persen maka nilai neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan turun atau mengalami defisit
sebesar 0.253215 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Jika suku
bunga di Jepang naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan
menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Jepang. Penurunan
investasi ini menyebabkan meningkatnya neraca perdagangan Jepang (surplus
bagi Jepang) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan
dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan
Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Dalam jangka panjang, terdapat 3 variabel yang signifikan pada taraf nyata
5 persen. Variabel R_INA berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan
bilateral. Nilai koefisien R_INA yaitu 0.004916. Dengan meningkatnya suku
bunga di Indonesia sebesar 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral Indonesia
akan meningkat sebesar 0.004916 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan
hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga
domestik (Indonesia) meningkat, maka investasi akan turun sehingga membuat
neraca perdagangan membaik (NX = S-I).
Variabel YJPN berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral
Indonesia dengan Jepang. Nilai koefisien YJPN yaitu 0.134011. Dengan
meningkatnya PDB Jepang 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia
dengan Jepang akan meningkat 0.134011 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis
awal. Dengan meningkatnya pendapatan Jepang maka akan meningkatkan
konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor Jepang dari Indonesia
yang pada akhirnya akan memperbaiki neraca perdagangan bilateral Indonesia
(surplus bagi Indonesia). Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan
positif antara PDB Jepang dan neraca perdagangan bilateral dengan Jepang sesuai
dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain
seperti Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan
Cheema J (2009), dan lain-lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan
positif antara PDB mitra dagang dengan neraca perdagangan untuk masingmasing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka
Variabel RER_RPYEN berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan
bilateral. Nilai koefisien RER yaitu 0.131762. Dengan meningkatnya nilai tukar
riil 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan
meningkat sebesar 0.131762 persen. Hal ini sesuai dengan teori. Jika dikaitkan
dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif
(lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya Marshall-Lerner Condition
dalam jangka panjang. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan
kinerja neraca perdagangan dalam jangka panjang. Terdepresiasi atau
46
melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di Jepang
menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia.
Sehingga masyarakat Jepang lebih memilih membeli barang produksi Indonesia.
Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia (surplus bagi
Indonesia). Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada
kasus bilateral antara Indonesia dengan Jepang ini sesuai dengan hasil penelitian
Onafowora (2003) dan Husman (2005).
Sekalipun Marshall-Lerner Condition pada model bilateral dengan Jepang
terpenuhi dalam jangka panjang, pengaruh depresiasi nilai tukar riil terhadap
neraca perdagangan relatif kecil. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa dampak
depresiasi nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan kinerja neraca
perdagangan tidak lebih dari 1 persen yaitu hanya 0.131762 persen. Kondisi ini
menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah tidak memberikan manfaat yang terlalu
besar dalam meningkatkan neraca perdagangan bilateral dengan Jepang.
Analisis Impuls Response Function (IRF)
IRF bermanfaat untuk menunjukkan respon suatu variabel dari sebuah
shock dari variabel lainnya, dimana analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek
tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon ke depan (kuartal) sebagai
informasi jangka panjang. Sumbu horizontal menunjukkan waktu dalam periode
kuartal ke depan setelah terjadinya shock. Sumbu vertikal menunjukkan besarnya
respon atau tingkat laju perubahan shock variabel gangguan dalam variabel
endogen. Penelitian ini hanya fokus menganalisis respon atau pola penyesuaian
dinamis neraca perdagangan yang terjadi bila terdapat shock pada nilai tukar riil.
Analisis Respon Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Dollar Amerika
Gambar 16 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi
nilai tukar riil pada kuartal pertama tidak menyebabkan perubahan pada neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Guncangan nilai tukar
riil mulai menyebabkan perubahan yang positif pada neraca perdagangan bilateral
pada kuartal kedua. Hingga kuartal tiga, guncangan nilai tukar riil sebesar satu
standar deviasi akan menyebabkan peningkatan neraca perdagangan bilateral
sebesar 0.080138 persen. Namun pada kuartal keempat, respon neraca
perdagangan menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Respon neraca perdagangan
akan melemah yaitu hanya sebesar 0.051226 persen. Pada kuartal kelima dan
selanjutnya, respon neraca perdagangan kembali positif namun tetap bergerak
fluktuatif. Pada akhirnya, respon neraca perdagangan bilateral terhadap guncangan
nilai tukar mulai pada akhir periode kuartal ke-50, beradapada kisaran 0.074801
persen.
Jika dikaitkan dengan Marshall-Lerner Condition dan fenomena J-Curve,
depresiasi rupiah pada awalnya tidak akan memperburuk neraca perdagangan
terlebih dahulu sebelum meningkatkan neraca perdagangan dalam jangka panjang.
Neraca perdagangan dalam jangka pendek langsung merespon positif (membaik)
47
seiring dengan terdepresiasinya nilai tukar. Hal ini demikian karena dalam model
neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat, MarshallLerner Condition pun sudah terpenuhi di jangka pendek. Neraca perdagangan
dapat merespon positif atas terdepresiasinya nilai tukar hingga kuartal ketiga.
Kondisi neraca perdagangan sempat memburuk pada kuartal keempat
dikarenakan kinerja ekspor Indonesia menurun akibat adanya penurunan
permintaan barang ekspor oleh Amerika Serikat dari Indonesia. Penurunan
permintaan barang ekspor ini disebabkan oleh adanya penurunan PDB Amerika
Serikat sebagai dampak dari krisis global pada tahun 2008. Namun, menurunnya
kinerja ekspor diartikan sebagai penurunan surplus neraca perdagangan bukan
berarti neraca perdagangan bilateral menjadi defisit. Setelah melewati krisis global,
perekonomian Amerika Serikat secara perlahan meningkat sehingga dapat
kembali permintaan akan barang produksi Indonesia dan menjadikan neraca
perdagangan Indonesia surplus.
Namun dalam jangka panjang, guncangan pada nilai tukar akan
memperburuk neraca perdagangan. Berdasarkan hasil estimasi VECM
sebelumnya, dalam jangka panjang RER berpengaruh negatif terhadap neraca
perdagangan bilateral. Hal ini ditunjukkan dengan hasil guncangan RER
menyebabkan menurunnya neraca perdagangan yang dimulai dari kuartal ke-16
dengan respon 0.09476 persen. Kondisi neraca perdagangan terus menurun hingga
akir periode guncangan yang ke-50 dimana respon neraca perdagangan terhadap
guncangan RER sebesar 0.074801 persen.
Response of LTBINAUS to Cholesky
One S.D. LRER_RPUS Innovation
.10
.08
.06
.04
.02
.00
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 15 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia-Amerika Serikat
terhadap guncangan nilai tukar efektif riil
Sumber: Lampiran 9
Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat
tidak sejalan dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005).
Onafowora (2003) dapat membuktikan terbentuknya pola kurva-J pada hasil
analisis IRF. Artinya dalam jangka pendek, neraca perdagangan bilateral
Indonesia dengan Amerika Serikat akan memburuk pada tahap awal depresiasi
kemudian akan meningkat seiring berjalannya waktu. Sementara hasil analisis IRF
48
yang dilakukan oleh Husman (2005) sedikit menunjukkan pola kurva-J. Hal ini
terjadi karena Marshall-Lerner Condition terpenuhi baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Secara umum, kedua peneliti ini membuktikan bahwa
neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat akan membaik dalam
jangka panjang seiring dengan terdepresiasinya Rupiah.
Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat
yang dapat dilihat pada Gambar 16 tidak menunjukkan adanya pola kurva-J.
Sebagaimana penjelasan pada bagian hasil estimasi VECM, Marshall-Lerner
Condition hanya terpenuhi pada jangka pendek. Sehingga, neraca perdagangan
akan membaik dalam jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang, depresasi
Rupiah akan membuat neraca perdagangan memburuk. Hal ini terjadi karena
rendahnya elastisitas ekspor barang Indonesia ke pasar Amerika Serikat.
Analisis Respon Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-China
Terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Yuan
Gambar 17 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi
nilai tukar riil pada kuartal pertama tidak menyebabkan perubahan pada neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Guncangan nilai tukar riil mulai
menyebabkan perubahan yang positif pada neraca perdagangan bilateral pada
kuartal kedua. Hingga kuartal tiga, guncangan nilai tukar riil sebesar satu standar
deviasi akan menyebabkan peningkatan neraca perdagangan bilateral sebesar
0.081993 persen. Namun pada kuartal keempat dan kelima, respon neraca
perdagangan menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Respon neraca perdagangan
pada kuartal kelima akan mengalami penurunan menjadi menjadi sebesar
0.024123 persen. Pada kuartal keenam dan selanjutnya, respon neraca
perdagangan berfluktuasi. Pada akhirnya, respon neraca perdagangan bilateral
terhadap guncangan nilai tukar mulai mencapai keseimbangan pada kuartal ke-14,
dimana neraca perdagangan merespon positif guncangan tersebut pada kisaran
0.043 persen.
Response of LTBINACHN to Cholesky
One S.D. LRER_RPYUAN Innovation
.09
.08
.07
.06
.05
.04
.03
.02
.01
.00
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 16 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–China terhadap
guncangan nilai tukar efektif riil
Sumber: Lampiran 9
49
Jika dikaitkan dengan Marshall-Lerner Condition dan fenomena J-Curve,
depresiasi rupiah pada awalnya tidak akan memperburuk neraca perdagangan
terlebih dahulu sebelum meningkatkan neraca perdagangan dalam jangka panjang.
Neraca perdagangan akan merespon positif hingga kuartal ketiga. Fenomena Jcurve terjadi pada kuartal keempat dan kelima. Hal ini demikian karena dalam
model neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China, MarshallLerner Condition pun sudah terpenuhi di jangka pendek. Sehingga, dalam jangka
pendek neraca perdagangan langsung membaik. Penurunan neraca perdagangan
sesaat pada kuartal keempat dan kelima terjadi karena sebagian besar pemesanan
ekspor dan impor dilakukan beberapa periode sebelumnya. Sehingga nilai impor
meningkat dalam mata uang domestik. Sementara itu ekspor yang dihitung dalam
mata uang domestik tidak meningkat sehingga terjadilah penurunan kinerja neraca
perdagangan untuk mencapai keseimbangan baru dalam jangka panjang.
Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan China sejalan
dengan hasil penelitian Husman (2005). Analisis IRF yang dilakukan oleh
Husman (2005) kurang lebih juga menunjukkan pola seperti Gambar 17. Hal ini
terjadi karena Marshall-Lerner Condition terpenuhi baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Analisis Respon Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang
Terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Yen
Gambar 18 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi
nilai tukar riil pada kuartal pertama tidak menyebabkan perubahan pada neraca
perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Guncangan nilai tukar riil mulai
menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan bilateral pada kuartal kedua,
ketiga, dan seterusnya. Pada kuartal kedua, neraca perdagangan bilateral akan
merespon -0.0008 persen ketika terjadi guncangan pada nilai tukar riil. Kemudian,
respon tersebut akan kembali mengalami penurunan di kuartal ketiga menjadi
sebesar -0.0042 persen. Beberapa periode selanjutnya, respon neraca perdagangan
akan meningkat cukup signifikan. Hingga kuartal ke-8, guncangan satu standar
deviasi nilai tukar riil akan menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan
bilateral menjadi sebesar 0.098968 persen. Pada akhirnya, respon neraca
perdagangan terhadap guncangan nilai tukar riil akan berfluktuasi hingga kuartal
ke-50 sebesar 0.069381 persen.
Jika dikaitkan dengan Marshall-Lerner Condition dan fenomena J-Curve,
depresiasi rupiah pada awalnya akan memperburuk neraca perdagangan terlebih
dahulu sebelum meningkatkan neraca perdagangan dalam jangka panjang. Dengan
kata lain, fenomena J-curve terjadi pada neraca perdagangan bilateral Indonesia
dengan Jepang. Depresiasi nilai tukar akan meperburuk neraca perdagangan untuk
menuju keseimbangan baru di jangka panjangnya dimana neraca perdagangan
akan membaik seiring dengan depresiasi nilai tukar.
Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan Jepang sejalan
dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Marshall-Lerner
Condition terpenuhi dalam jangka panjang. Artinya dalam jangka pendek, neraca
50
perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan memburuk pada tahap awal
depresiasi kemudian akan meningkat seiring berjalannya waktu.
Response of LTBINAJPN to Cholesky
One S.D. LRER_RPYEN Innovation
.10
.08
.06
.04
.02
.00
-.02
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Gambar 17 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang terhadap
guncangan nilai tukar efektif riil
Sumber: Lampiran 9
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel
terhadap shock (guncangan) yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen
utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain
dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam
kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana
kontribusi berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian
dalam menjelaskan neraca perdagangan bilateral Indonesia.
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Model Neraca
Perdagangan Bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Berdasarkan hasil dekomposisi varians bilateral Indonesia dengan
Amerika Serikat (Gambar 19), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu
kuartal pertama, variabilitas laju neraca perdagangan disebabkan oleh guncangan
neraca perdagangan itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada bulan kuartal,
tampak variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju neraca
perdagangan. Hingga kuartal ketiga, kontribusi neraca perdagangan itu sendiri
dalam menjelaskan neraca perdagangan masih dominan namun berkurang yaitu
menjadi sebesar 59.14 persen. Variabel nilai tukar riil (RER_RPUS) menempati
posisi kedua sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral
pada kuartal ketiga yaitu sebesar 18.14 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi
variabel PDB Indonesia (YINA) dengan nilai 9.74 persen, Dummy08 dengan nilai
4.72 persen, dan suku bunga Indonesia (R_INA) dengan nilai 3.18 persen.
51
Sedangkan kontribusi variabel suku bunga Amerika Serikat (R_US) dan PDB
Amerika Serikat (YUS) masing-masing sebesar 3.52persen dan 1.57 persen.
Pada akhir periode peramalan (kuartal ke-50), kontribusi nilai tukar
menjadi paling dominan dengan nilai sebesar 40.59 persen. Variabel berikutnya
yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu neraca perdagangan itu sendiri
(TBINAUS), R_INA, dan YINA, dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar
36.75 persen, 9.30 persen, dan 8.78 persen. Sedangkan variabel lain seperti
Dummy08, R_US, dan YUS masing-masing memiliki kontribusi sebesar 3.14
persen, 1.21 persen, dan 0.23 persen terhadap laju neraca perdagangan. Untuk
lebih jelasnya, Tabel 8 merangkum hasil analisis FEVD dalam beberapa titik
kuartal ke depan.
100%
90%
80%
DUMMY08
70%
LRER_RPUS
60%
R_INA
50%
R_US
40%
LYUS
30%
20%
LYINA
10%
LTBINAUS
0%
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49
Gambar 18 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Amerika Serikat
Sumber: Lampiran 10
Tabel 8 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Amerika Serikat dalam beberapa titik kuartal
Variabel
Kuartal
Dijelaskan oleh variabel (%)
Ke depan TBINAUS YINA YUS R_US R_INA RER_RPUS DUMMY08
TBINAUS
1
100
0
0
0
0
0
0
3
59.14
9.74
1.57
3.52
3.18
18.14
4.72
5
51.01
10.52
1.35
2.86
9.01
21.08
4.17
10
38.14
11.47
0.72
1.49
11.44
33.91
2.83
20
33.37
10.71
0.34
0.79
11.86
40.74
2.19
35
34.78
9.56
0.24
0.89
10.49
41.45
2.58
50
36.75
8.78
0.23
1.21
9.30
40.59
3.14
Sumber: Lampiran 10
52
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Model Neraca
Perdagangan Bilateral Indonesia-China
Berdasarkan hasil dekomposisi varian bilateral Indonesia dengan China
(Gambar 20), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu kuartal pertama,
variabilitas laju neraca perdagangan disebabkan oleh guncangan neraca
perdagangan itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada kuartal kedua, tampak
variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju neraca perdagangan.
Hingga kuartal ketiga, kontribusi neraca perdagangan itu sendiri dalam
menjelaskan neraca perdagangan masih dominan namun berkurang yaitu menjadi
sebesar 60.18 persen. Variabel PDB Indonesia (YINA) menempati posisi kedua
sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral pada kuartal
ketiga yaitu sebesar 17.49 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi variabel nilai
tukar riil (RER_RPYUAN) dan suku bunga di China (R_CHN) dengan nilai
kontribusi masing-masing sebesar 16.48 persen dan 4.89 persen. Sedangkan
variabel suku bunga Indonesia (R_INA) dan PDB China (YCHN) masing-masing
sebesar 0.83 persen dan 0.13 persen.
Pada akhir periode peramalan (kuartal ke-50), neraca perdagangan
bilateral itu sendiri masih menjadi yang paling dominan dalam menjelaskan
neraca perdagangan dengan nilai kontribusi sebesar 59.45 persen. Variabel
berikutnya yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu PDB Indonesia (YINA)
menempati posisi kedua sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan
bilateral pada kuartal ketiga yaitu sebesar 17.86 persen. Setelah itu diikuti oleh
kontribusi variabel nilai tukar riil (RER_RPYUAN) dan suku bunga di China
(R_CHN) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 16.02 persen dan 2.91
persen. Sedangkan variabel PDB China (YCHN) dan suku bunga Indonesia
(R_INA) masing-masing sebesar 2.81 persen dan 0.95 persen.
100%
90%
80%
LRER_RPYUAN
70%
60%
LYCHN
50%
R_INA
40%
R_CHN
30%
LYINA
20%
LTBINACHN
10%
0%
1 3 5 7 9 1113151719212325272931333537394143454749
Gambar 19 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–China
Sumber: Lampiran 10
53
Hasil variance decompotition menunjukkan bahwa selama 50 kuartal ke
depan, neraca perdagangan bilateral itu sendiri memberikan kontribusi terbesar
dalam menjelaskan laju neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China.
Nilai tukar tidak terlalu berkontribusi terhadap model neraca perdagangan ini.
Sehingga, jika pemerintah melakukan kebijakan yang dapat membuat rupiah
terdepresiasi maka hal tersebut tidak efektif karena hanya memberikan kontribusi
yang kecil dalam mempengaruhi pergerakan neraca perdagangan bilateral
Indonesia dengan China. Untuk lebih jelasnya, Tabel 9 merangkum hasil analisis
FEVD dalam beberapa kuartal ke depan.
Tabel 9 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–China dalam beberapa titik kuartal
Variabel
TBINACHN
Kuartal
Dijelaskan oleh variabel (%)
Ke depan TBINACHN YINA R_CHN R_INA YCHN RER_RPYUAN
1
100
0
0
0
0
0
3
60.18 17.49
4.89
0.83
0.13
16.48
5
61.59 17.14
3.95
1.13
0.56
15.62
10
61.62 17.03
3.52
1.19
0.80
15.84
20
60.91 17.22
3.27
1.20
1.26
16.14
35
60.18 17.56
3.05
1.08
2.00
16.13
50
59.45 17.86
2.91
0.95
2.81
16.02
Sumber: lampiran 10
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Model Neraca
Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang
Berdasarkan hasil dekomposisi varians bilateral Indonesia dengan Jepang
(Gambar 21), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu kuartal pertama,
variabilitas laju neraca perdagangan disebabkan oleh guncangan neraca
perdagangan itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada kuartal kedua, tampak
variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju neraca perdagangan.
Hingga kuartal ketiga, kontribusi neraca perdagangan itu sendiri dalam
menjelaskan neraca perdagangan masih dominan namun berkurang yaitu menjadi
sebesar 95.01 persen. Variabel PDB Jepang (YJPN) menempati posisi kedua
sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral pada kuartal
ketiga yaitu sebesar 3.13 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi variabel suku
bunga di Jepang (R_JPN), PDB Indonesia (YINA) dan suku bunga Indonesia
(R_INA) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 0.67 persen, 0.58 persen,
dan 0,57 persen. Sedangkan kontribusi variaebel nilai tukar riil (RER_RPYEN)
hanya sebesar 0.04 persen.
Pada akhir periode peramalan (kuartal ke-50), neraca perdagangan
bilateral itu sendiri masih dominan dalam menjelaskan kondisi neraca
perdagangan (48.41 persen). Variabel berikutnya yang mempengaruhi neraca
perdagangan yaitu nilai tukar riil (RER_RPYEN), suku bunga Jepang (R_JPN),
54
dan PDB Indonesia (YINA) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 37.76
persen, 7.34 persen, dan 4.93 persen. Sementara variabel suku bunga di Indonesia
(R_INA), dan PDB Jepang (YJPN) memiliki nilai kontribusi masing-masing
sebesar 0.78 persen.
100%
90%
80%
LRER_RPYEN
70%
60%
LYJPN
50%
R_INA
40%
R_JPN
30%
LYINA
20%
LTBINAJPN
10%
0%
1 3 5 7 9 1113151719212325272931333537394143454749
Gambar 20 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Jepang
Sumber: Lampiran 10
Hasil variance decompotition menunjukkan bahwa selama 50 kuartal ke
depan, variabel TBINAJPN memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan
laju neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Sementara itu nila
tukar menjadi variabel dominan kedua yang dapat mempengaruhi neraca
perdagangan ini. Sehingga, kebijakan pemerintah yang dapat mendepresiasi nilai
tukar memiliki potensi untuk meningkatkan neraca perdagangan bilateral
Indonesia dengan Jepang. Untuk lebih jelasnya, Tabel 10 merangkum hasil
analisis FEVD dalam beberapa kuartal ke depan.
‘
Tabel 10 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral
Indonesia–Jepang dalam beberapa titik kuartal
Variabel
TBINAJPN
Kuartal
Dijelaskan oleh variabel (%)
Ke depan TBINAJPN YINA R_JPN R_INA YJPN LRER_RPYEN
1
100
0
0
0
0
0
3
95.01
0.58
0.67
0.57
3.13
0.04
5
84.32
2.38
3.87
4.30
3.35
1.78
10
52.48
3.00
4.92
4.39
2.23
32.99
20
48.78
4.07
7.91
2.34
1.50
35.39
35
48.43
4.73
7.43
1.18
0.96
37.27
50
48.41
4.93
7.34
0.78
0.78
37.76
Sumber: lampiran 10
55
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh nilai tukar riil
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang
utamanya (Amerika Serikat, China, dan Jepang) maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil estimasi untuk model neraca perdagangan bilateral dengan Amerika
Serikat, dalam jangka pendek RER_RPUS berpengaruh positif terhadap
neraca perdagangan sehingga Marshall-Lerner Condition terpenuhi dalam
jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang shock RER_RPUS
berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan sehingga Marshall-Lerner
Condition tidak terpenuhi dalam jangka panjang. Pada akhirnya hasil analisis
Impuls Respons Function (IRF) menunjukkan bahwa fenomena J-Curve tidak
terlihat dalam model neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika
Serikat
2. Hasil estimasi untuk model neraca perdagangan bilateral dengan China,
RER_RPYUAN berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini berarti Marshall-Lerner
Condition terpenuhi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pada
akhirnya hasil analisis Impuls Respons Function (IRF) menunjukkan bahwa
fenomena J-Curve baru terlihat setelah beberapa periode guncangan karena
dalam jangka pendek Marshall-Lerner Condition juga sudah terpenuhi.
3. Hasil estimasi untuk model neraca perdagangan bilateral dengan Jepang,
RER_RPYEN tidak berpengaruh dalam jangka pendek namun berpengaruh
positif terhadap neraca perdagangan bilateral dalam jangka panjang. Hal ini
berarti Marshall-Lerner Condition terpenuhi dalam jangka panjang. Pada
akhirnya hasil analisis Impuls Respons Function (IRF) menunjukkan bahwa
fenomena J-Curve terlihat pada model neraca perdagangan bilateral Indonesia
dengan Jepang.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka saran yang dapat
dianjurkan adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kinerja neraca perdagangan
sebaiknya tidak selalu difokuskan melalui kebijakan nilai tukar tetapi lebih
ditekankan pada faktor lain yang menunjang daya saing misalkan peningkatan
produktivitas, efisiensi sistem produksi, kualitas produk, pengurangan
pungutan resmi, serta penciptaan iklim usaha yang lebih kondusif.
2. Pemerintah juga perlu melakukan perbaikan pada struktur industri melalui
penciptaan industri penunjuang dalam negeri. Hal ini mengingat bahwa
indutsri Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor (dan juga barang
modal).
56
3. Penelitian ini hanya membahas pengaruh dari perubahan nilai tukar efektif riil
terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan mitra dagang
utamanya. Variabel-variabel seperti PDB (Indonesia dan mitra dagang), serta
suku bunga (Indonesia dan mitra dagang) dimasukkan dalam permodelan
penelitian ini untuk mengidentifikasi perubahan neraca perdagangan. Oleh
karena itu dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk membahas
bagaimana pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap neraca
perdagangan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, R. 2006. Analisis Pengaruh Neraca Pembayaan Terhadap Nilai Tukar
Rupiah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Astiyah S, Santoso S. 2005. Nilai Tukar dan Trade Flows. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan.
Bahmani-Oskoee M, Cheema J. 2009. Short Run and Long Run Effectes of
Currency Depreciation on the Bilateral Trade Balance Between Pakistan and
Her Major Trading Partners. Journal of Economic Development Vol. 34, No. 1.
Bahmani-Oskoee M, Kantipong T. 2001. Bilateral J-Curve Between Thailand and
Her Trading Partners. Journal of Economic Development Vol. 26 No. 2.
Batiz FR, Batiz LR. 1994. International Finance and Open Economy,
Macroeconomics. New York (US): Mcmillan Publishing co.
Betliy O. 2002. Measurement of the Real Effective Exchange Rate and the
Observed J-Curve: Case of Ukraine [Thesis]. Ukraine (UA): Institut for
Economics Forecasting at National Academy of Science of Ukraine.
Dornbusch R, Fischer S. 2008. Makroekonomi, Edisi kesepuluh. Mirazudin RI,
penerjemah; Wibisono Y, editor. Jakarta (ID): Penerbit PT Media Global
Edukasi. Terjemahan dari: Macroeconomics 10th Edition.
Fx Sauder. 2013. Pacific Exchange Rate Service [internet]. [diacu januari 2013].
Tersedia dari: http://fx.sauder.ubc.ca/
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor (ID): IPB Press.
Guechari Y. 2012. An Empirical Study on the Effects of Real Effective Exchange
Rate on Algeria’s Trade Balance. International Journal of Financial Research
Vol. 3, No.4.
Hady H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan
Internasional. Jakarta (ID): PT. Galia Indonesia.
Halwani H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi.
Hadisubijantoro J, editor. Jakarta (ID): PT. Galia Indonesia.
Hassan K. 2007. The Bilateral J-Curve Hypothesis Between Turkey and Her 9
Trading Partner. MPRA Paper, No.4254.
Husman JA. 2005. Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan
Bilateral Indonesia: Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-Curve. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan.
57
International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistic (IFS)
[internet]. [diacu Februari hingga Maret 2013]. Tersedia dari: http://elibrarydata.imf.org/
Kapoor AG, Ramakrishnan U. 1999. Is There a J-Curve? A New Estimation For
Japan. International Economic Journal Vol 13, No. 4.
Ling NY, Mun HW, Mei TG. 2008. Real Exchange Rate and Trade Balance
Relationship: An Empirical Study on Malaysia. International Journal of
Business and Management Vol. 3 No. 8.
Lipsey RG, Steiner PO, Purvis DD. 1992. Pengantar Makroekonomi, Edisi
kedelapan. Wasana AJ, Kirbandoko, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit
Erlangga. Terjemahan dari: Economics,8th Edition.
Mankiw NG. 2006. Makroekonomi, Edisi keenam. Liza F dan Nurmawan I,
penerjemah; Hardani W, Barnadi D, dan Saat S, editor. Jakarta (ID): Penerbit
Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics, 6th Edition.
Moura G, Siergo DS. 2005. Is There a Brazillian J-Curve?. Economics Bulletein,
Vol 6, No. 10 pp 1-17.
Onafowora O. 2003. Exchange Rate and Trade Balance in East Asia: Is There a
J-Curve?. Economics Bulletin, Vol 5, No. 18 pp 1-3.
Soleymani A, Chua SY, Saboori B. 2011. The J-Curve at Industry Level:
Evidence From Malaysia-China Trade. International Journal of Economics
and Finance, Vol 3, No.6.
Suresh KG, Sreejesh S. 2010. Real Exchange Rate Volatility and India’s Bilateral
Export Volume: A VECM Approach. Journal of Global Business Issues, pg:
75.
Widyasanti AA. 2010. Perdagangan Bebas Regional dan Daya Saing Ekspor:
Kasus Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan.
Wilson P. 2001. Exchange Rates and Trade Balance for Dynamic Asian
Economies-Does The J-Curve Exist for Singapore, Malaysia, and Korea?.
Open Economies Review 12: 389-413.
58
Lampiran 1
Komoditas utama dalam kegiatan ekspor antara Indonesia dengan mitra dagang
utama dan rata-rata pangsa ekspor selama periode 2006-2011 (berdasarkan sistem
HS 1996, 2 digit)
Amerika Serikat
Komoditi
pangsa
Jepang
Komoditi
Pangsa
Mineral fuels,
Rubber and
oils & product
articles
14,28% of
their 51,52%
thereof (HS
distillation;etc
40)
(HS 27)
Art of apparel
Ores, slag and
&
clothing
ash.
access,
12,53% (HS 26)
8,13%
knitted
or
crocheted
(HS 61)
Electrical
mchy equip
parts thereof;
Nickel
and
sound
8,25% articles thereof. 5,32%
(HS75)
recorder etc
(HS 85)
Mineral fuels,
oils
&
product
of
their
distillation;etc
(HS 27)
5,20%
Rubber
and
articles thereof
(HS 40)
4,68%
Fish
&
Electrical mchy
crustacean,
equip
parts
mollusc
&
4,72% thereof; sound 4,513
other aquatic
recorder etc
invertebrate
(HS 85)
(HS 03)
Sumber: UN Comtrade, World Bank (2013), diolah
China
Komoditi
pangsa
Mineral fuels,
oils & product
of
their 38,36%
distillation;etc
(HS 27)
Animal/veg fats
& oils & their
cleavage
15,49%
products; etc
(HS 15)
Rubber
and
articles thereof
(HS 40)
Ores, slag and
ash. (HS 26)
Organic
chemicals.
(HS29)
8,15%
7,12%
5,16%
59
Lampiran 2
Komoditas utama dalam kegiatan impor antara Indonesia dengan mitra dagang
utama dan rata-rata pangsa ekspor selama periode 2006-2011 (berdasarkan sistem
HS 1996, 2 digit)
Amerika Serikat (M)
Komoditi
pangsa
Nuclear
reactors,
boilers, mchy
&
mech 16.85%
appliance;
parts
(HS 84)
Aircraft,
spacecraft,
and
parts
thereof (HS
88)
Oil
seed,
oleagi fruits;
miscell
gr
(HS 12)
Cotton (HS
52)
Residues &
waste from
the
food
indust; prepr
ani
fodder
(HS 23)
Jepang
Komoditi
pangsa
Nuclear
reactors,
boilers, mchy
&
mech
appliance; parts
(HS 84)
Vehicles
o/t
railw/tramw
16,81% roll-stock, pts
& accessories
(HS 87)
8,17%
4,96%
4,73%
Electrical mchy
equip
parts
thereof; sound
recorder etc
(HS 85)
Iron and steel.
(HS 72)
Articles of iron
or steel. (HS
73)
China
Komoditi
Pangsa
30,52%
Nuclear
reactors, boilers,
mchy & mech
appliance; parts
(HS 84)
14,29%
Electrical mchy
equip
parts
thereof; sound 18,30%
recorder etc
(HS 85)
10,37%
9,90%
4,74%
Sumber: UN Comtrade, World Bank (2013), diolah
Mineral fuels,
oils & product
of
their
distillation;etc
(HS 27)
Iron and steel
(HS 72)
Articles of iron
or steel.
(HS 73)
21,54%
6,19%
5,83%
4,36%
60
Lampiran 3. Uji Stasionaritas pada tingkat level
Null Hypothesis: LTBINAUS has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.553943
-4.118444
-3.486509
-3.171541
0.7993
t-Statistic
Prob.*
-1.907200
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.6391
t-Statistic
Prob.*
-2.750838
-3.538362
-2.908420
-2.591799
0.0713
t-Statistic
Prob.*
-6.050031
-4.127338
-3.490662
-3.173943
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LTBINAJPN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LTBINACHN has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LYINA has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
61
Null Hypothesis: LYUS has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.567534
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.7945
t-Statistic
Prob.*
-1.654140
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7597
t-Statistic
Prob.*
-2.741213
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.2244
t-Statistic
Prob.*
-4.478199
-4.118444
-3.486509
-3.171541
0.0036
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LYCHN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LYJPN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: R_INA has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
62
Null Hypothesis: R_US has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.481855
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.3358
t-Statistic
Prob.*
-1.702146
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7388
t-Statistic
Prob.*
-2.634777
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.2669
t-Statistic
Prob.*
-2.806666
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.2005
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: R_JPN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: R_CHN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LRER_RPUS has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
63
Null Hypothesis: LRER_RPYEN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.688139
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.2450
t-Statistic
Prob.*
-2.809245
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.1996
t-Statistic
Prob.*
-1.714395
-4.110440
-3.482763
-3.169372
0.7333
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: LRER_RPYUAN has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: DUMMY08 has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 4. Uji stasionaritas pada tingkat first difference
Null Hypothesis: D(LTBINAUS) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-7.387719
-4.118444
-3.486509
-3.171541
0.0000
64
Null Hypothesis: D(LTBINAJPN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.763835
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-10.34039
-3.540198
-2.909206
-2.592215
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.906780
-4.124265
-3.489228
-3.173114
0.0179
t-Statistic
Prob.*
-6.032995
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LTBINACHN) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LYINA) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LYCHN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
65
Null Hypothesis: D(LYJPN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.794282
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-5.064816
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0006
t-Statistic
Prob.*
-4.736812
-4.124265
-3.489228
-3.173114
0.0017
t-Statistic
Prob.*
-3.913621
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0172
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LYUS) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R_INA) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R_US) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
66
Null Hypothesis: D(R_CHN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.217323
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0000
t-Statistic
Prob.*
-3.995483
-4.115684
-3.485218
-3.170793
0.0139
t-Statistic
Prob.*
-5.709130
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0001
t-Statistic
Prob.*
-6.355737
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(R_JPN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LRER_RPUS) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(LRER_RPYEN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
67
Null Hypothesis: D(LRER_RPYUAN) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.560526
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0001
t-Statistic
Prob.*
-7.935903
-4.113017
-3.483970
-3.170071
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Null Hypothesis: D(DUMMY08) has a unit root
Exogenous: Constant, Linear Trend
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Lampiran 5. Uji Lag Optimal
1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: LTBINAUS LYINA R_US R_INA LYUS LREER
DUMMY08
Exogenous variables: C
Date: 05/01/13 Time: 15:56
Sample: 1996Q1 2011Q4
Included observations: 62
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
-172.3671
322.7530
409.8872
NA
862.4674
132.1065*
7.68e-07
4.37e-13
1.35e-13*
5.786036
-8.604937
-9.835069*
6.026197
-6.683654*
-6.232664
5.880329
-7.850593
-8.420674*
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
68
4.
Model Bilateral Indonesia-China
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN
LRER_RPYUAN
Exogenous variables: C
Date: 06/08/13 Time: 15:06
Sample: 1996Q1 2011Q4
Included observations: 61
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
-176.4804
324.3422
373.4846
400.7382
NA
886.7024
77.33891*
37.52955
1.60e-05
3.87e-12
2.60e-12*
3.78e-12
5.982965
-9.257121
-9.688021*
-9.401254
6.190592
-7.803733*
-6.988871
-5.456342
6.064336
-8.687525*
-8.630199
-7.855206
* indicates lag order selected by the criterion
5. Model bilateral Indonesia-Jepang
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: LTBINAJPN
LRER_RPYEN
Exogenous variables: C
Date: 06/09/13 Time: 14:58
Sample: 1996Q1 2011Q4
Included observations: 61
LYINA
R_JPN
R_INA
LYJPN
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
-32.59406
294.7940
358.4953
403.9243
NA
579.6379
100.2511
62.55806*
1.43e-07
1.02e-11
4.25e-12
3.41e-12*
1.265379
-8.288329
-9.196566
-9.505715*
1.473006
-6.834940*
-6.497416
-5.560804
1.346750
-7.718732
-8.138744*
-7.959668
* indicates lag order selected by the criterion
Lampiran 6. Uji Stabilitas VAR
1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: LTBINAUS LYINA LYUS R_US
R_INA LRER_RPUS DUMMY08
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 3
Date: 06/09/13 Time: 17:32
Root
0.966775 - 0.007091i
0.966775 + 0.007091i
0.905352 - 0.225355i
0.905352 + 0.225355i
0.728507 - 0.397180i
Modulus
0.966801
0.966801
0.932978
0.932978
0.829744
69
0.728507 + 0.397180i
0.170253 + 0.799129i
0.170253 - 0.799129i
0.795036
-0.781431
0.561985 - 0.506786i
0.561985 + 0.506786i
-0.080570 - 0.686574i
-0.080570 + 0.686574i
-0.450167 - 0.385292i
-0.450167 + 0.385292i
-0.456961 - 0.132946i
-0.456961 + 0.132946i
-0.155121 - 0.319897i
-0.155121 + 0.319897i
0.294758
0.829744
0.817064
0.817064
0.795036
0.781431
0.756742
0.756742
0.691285
0.691285
0.592537
0.592537
0.475908
0.475908
0.355523
0.355523
0.294758
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
2. Model bilateral Indonesia-China
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: LTBINACHN LYINA R_CHN
R_INA LYCHN LRER_RPYUAN
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 2
Date: 06/08/13 Time: 15:05
Root
0.999762
0.862555 - 0.130330i
0.862555 + 0.130330i
0.635031 - 0.193603i
0.635031 + 0.193603i
0.456624 - 0.346961i
0.456624 + 0.346961i
-0.509609 - 0.193574i
-0.509609 + 0.193574i
0.110943 - 0.415549i
0.110943 + 0.415549i
0.031888
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Modulus
0.999762
0.872346
0.872346
0.663888
0.663888
0.573487
0.573487
0.545135
0.545135
0.430104
0.430104
0.031888
70
3. Model bilateral Indonesia-Jepang
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: LTBINAJPN LYINA R_JPN
R_INA LYJPN LRER_RPYEN
Exogenous variables: C
Lag specification: 1 3
Date: 06/09/13 Time: 14:56
Root
Modulus
0.995140
0.941965
0.916881 - 0.214797i
0.916881 + 0.214797i
0.790430 - 0.372136i
0.790430 + 0.372136i
0.603398 - 0.589162i
0.603398 + 0.589162i
-0.499294 + 0.387663i
-0.499294 - 0.387663i
-0.123655 + 0.599385i
-0.123655 - 0.599385i
0.193529 + 0.563711i
0.193529 - 0.563711i
-0.593783
-0.400071
-0.183923 - 0.312513i
-0.183923 + 0.312513i
0.995140
0.941965
0.941705
0.941705
0.873650
0.873650
0.843328
0.843328
0.632121
0.632121
0.612007
0.612007
0.596006
0.596006
0.593783
0.400071
0.362618
0.362618
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Lampiran 7. Uji Kointegrasi
1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Date: 06/09/13 Time: 15:42
Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4
Included observations: 60 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant)
Series: LTBINAUS LYINA LYUS R_US R_INA LRER_RPUS DUMMY08
Lags interval (in first differences): 1 to 3
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3 *
At most 4 *
At most 5 *
At most 6
0.844364
0.673107
0.434283
0.349452
0.286383
0.187205
0.127431
279.5373
167.9233
100.8359
66.65625
40.85988
20.61538
8.178793
134.6780
103.8473
76.97277
54.07904
35.19275
20.26184
9.164546
0.0000
0.0000
0.0003
0.0026
0.0110
0.0447
0.0767
Trace test indicates 6 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
71
2. Model bilateral Indonesia-China
Date: 06/09/13 Time: 19:06
Sample (adjusted): 1996Q4 2011Q4
Included observations: 61 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant)
Series: LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN LRER_RPYUAN
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3 *
At most 4
At most 5
0.592509
0.415191
0.352082
0.274790
0.178663
0.070682
150.0368
95.27484
62.55013
36.07665
16.47768
4.471551
103.8473
76.97277
54.07904
35.19275
20.26184
9.164546
0.0000
0.0011
0.0073
0.0400
0.1532
0.3464
Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
3. Model bilateral Indonesia-Jepang
Date: 06/09/13 Time: 16:48
Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4
Included observations: 60 after adjustments
Trend assumption: No deterministic trend
Series: LTBINAJPN LYINA R_JPN R_INA LYJPN LRER_RPYEN
Lags interval (in first differences): 1 to 3
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
0.05
Critical Value
Prob.**
None *
At most 1 *
At most 2 *
At most 3 *
At most 4
At most 5
0.893408
0.386243
0.289387
0.253813
0.171703
0.000916
213.0366
78.71174
49.42235
28.92475
11.35800
0.054992
83.93712
60.06141
40.17493
24.27596
12.32090
4.129906
0.0000
0.0006
0.0046
0.0121
0.0721
0.8476
Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
CointEq1
1.000000
0.000000
0.000000
-0.010545
(0.03069)
[-0.34358]
0.080193
(0.00964)
[ 8.32041]
-0.170190
(0.26446)
[-0.64353]
0.791105
(0.16489)
[ 4.79789]
-1.414205
Cointegrating Eq:
LTBINAUS(-1)
LYINA(-1)
LYUS(-1)
R_US(-1)
R_INA(-1)
LRER_RPUS(-1)
DUMMY08(-1)
C
Vector Error Correction Estimates
Date: 06/09/13 Time: 15:40
Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4
Included observations: 60 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
-44.86707
0.222920
(0.17580)
[ 1.26801]
1.115264
(0.28197)
[ 3.95521]
-0.021047
(0.01028)
[-2.04809]
0.069541
(0.03272)
[ 2.12514]
0.000000
1.000000
0.000000
CointEq2
1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
-35.16497
0.246056
(0.11948)
[ 2.05945]
0.481370
(0.19163)
[ 2.51197]
0.002030
(0.00698)
[ 0.29074]
0.035564
(0.02224)
[ 1.59921]
1.000000
0.000000
0.000000
CointEq3
Lampiran 8. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)
1
72
2
D(LTBINAUS)
-0.926567
(0.41418)
[-2.23710]
-3.311094
(1.67298)
[-1.97916]
5.753162
(2.82842)
[ 2.03406]
0.094689
(0.31988)
[ 0.29601]
-0.082065
(0.24170)
[-0.33954]
0.021610
(0.19282)
[ 0.11207]
0.157156
(1.68416)
[ 0.09331]
-0.254295
Error Correction:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
D(LTBINAUS(-1))
D(LTBINAUS(-2))
D(LTBINAUS(-3))
D(LYINA(-1))
D(LYINA(-2))
(2.44386)
[-0.57868]
-0.917500
-0.781594
(0.13793)
[-5.66644]
0.032973
(0.01579)
[ 2.08787]
0.051335
(0.01980)
[ 2.59333]
0.055091
(0.02620)
[ 2.10282]
0.099340
(0.23165)
[ 0.42884]
-0.044810
(0.13702)
[-0.32704]
-0.063266
(0.03392)
[-1.86506]
D(LYINA)
(2.60567)
[-17.2190]
-0.081103
-0.023695
(0.04400)
[-0.53853]
-0.007940
(0.00504)
[-1.57617]
-0.004978
(0.00631)
[-0.78839]
-0.009826
(0.00836)
[-1.17577]
-0.090968
(0.07389)
[-1.23104]
0.042560
(0.04371)
[ 0.97373]
0.013697
(0.01082)
[ 1.26579]
D(LYUS)
(1.77082)
[-19.8580]
-2.493989
-0.212594
(3.94178)
[-0.05393]
0.333223
(0.45130)
[ 0.73835]
0.849129
(0.56569)
[ 1.50105]
0.985864
(0.74868)
[ 1.31680]
7.447939
(6.61991)
[ 1.12508]
-4.762761
(3.91561)
[-1.21635]
-1.167220
(0.96939)
[-1.20407]
D(R_US)
-114.1242
-168.5325
(32.9076)
[-5.12138]
-2.811609
(3.76768)
[-0.74624]
-8.391351
(4.72263)
[-1.77684]
-8.898688
(6.25031)
[-1.42372]
-162.1265
(55.2658)
[-2.93358]
103.8965
(32.6891)
[ 3.17832]
18.52075
(8.09289)
[ 2.28852]
D(R_INA)
0.451256
0.764114
(1.20203)
[ 0.63569]
-0.082968
(0.13762)
[-0.60286]
-0.140401
(0.17251)
[-0.81389]
-0.171999
(0.22831)
[-0.75336]
0.073822
(2.01871)
[ 0.03657]
-0.029952
(1.19405)
[-0.02508]
-0.013172
(0.29561)
[-0.04456]
1.647049
1.201579
(1.53015)
[ 0.78527]
-0.205333
(0.17519)
[-1.17206]
0.122570
(0.21959)
[ 0.55817]
0.179145
(0.29063)
[ 0.61640]
3.150561
(2.56976)
[ 1.22601]
-1.793964
(1.51999)
[-1.18025]
-0.459671
(0.37631)
[-1.22154]
D(LRER_RPUS
)
D(DUMMY08)
73
-1.929970
(1.60125)
[-1.20529]
-2.440533
(4.63295)
[-0.52678]
2.644616
(4.87809)
[ 0.54214]
-1.782509
(5.18827)
[-0.34357]
0.057566
(0.07412)
[ 0.77663]
0.008995
(0.08001)
[ 0.11242]
-0.143472
(0.07226)
[-1.98543]
-0.006744
(0.00612)
[-1.10159]
D(LYINA(-3))
D(LYUS(-1))
D(LYUS(-2))
D(LYUS(-3))
D(R_US(-1))
D(R_US(-2))
D(R_US(-3))
D(R_INA(-1))
(1.84100)
[-0.13813]
0.002544
(0.00050)
[ 5.07312]
0.007135
(0.00592)
[ 1.20557]
0.002046
(0.00655)
[ 0.31220]
-0.009743
(0.00607)
[-1.60492]
0.186810
(0.42492)
[ 0.43963]
-0.464974
(0.39952)
[-1.16383]
-0.803231
(0.37944)
[-2.11688]
-1.033647
(0.13114)
[-7.88182]
(0.15078)
[-6.08506]
-0.000387
(0.00016)
[-2.41883]
-0.000972
(0.00189)
[-0.51462]
0.001124
(0.00209)
[ 0.53786]
0.003409
(0.00194)
[ 1.76021]
-0.186284
(0.13555)
[-1.37431]
0.288503
(0.12744)
[ 2.26377]
0.139504
(0.12104)
[ 1.15256]
0.006330
(0.04183)
[ 0.15131]
(0.04810)
[-1.68622]
-0.017791
(0.01433)
[-1.24160]
0.001199
(0.16913)
[ 0.00709]
0.165539
(0.18727)
[ 0.88396]
0.728415
(0.17349)
[ 4.19871]
-25.07852
(12.1431)
[-2.06525]
-10.08484
(11.4172)
[-0.88331]
-4.593102
(10.8434)
[-0.42358]
-1.139768
(3.74772)
[-0.30412]
(4.30886)
[-0.57881]
-0.142962
(0.11962)
[-1.19511]
-1.678521
(1.41197)
[-1.18878]
1.089163
(1.56340)
[ 0.69666]
0.047619
(1.44833)
[ 0.03288]
30.52454
(101.376)
[ 0.30110]
222.3512
(95.3153)
[ 2.33280]
119.7146
(90.5253)
[ 1.32244]
-71.46473
(31.2875)
[-2.28413]
(35.9721)
[-3.17257]
3
-0.010273
(0.00437)
[-2.35108]
-0.058813
(0.05158)
[-1.14033]
0.053363
(0.05711)
[ 0.93444]
0.016328
(0.05290)
[ 0.30863]
-2.557621
(3.70300)
[-0.69069]
7.738527
(3.48162)
[ 2.22268]
-3.764600
(3.30665)
[-1.13849]
-0.255958
(1.14285)
[-0.22396]
(1.31397)
[ 0.34343]
-0.002038
(0.00556)
[-0.36649]
0.006885
(0.06565)
[ 0.10486]
-0.051298
(0.07270)
[-0.70566]
-0.041199
(0.06734)
[-0.61176]
0.171452
(4.71380)
[ 0.03637]
0.050853
(4.43199)
[ 0.01147]
2.031908
(4.20927)
[ 0.48272]
2.276527
(1.45481)
[ 1.56482]
(1.67264)
[ 0.98470]
74
0.005210
(0.00469)
[ 1.11096]
1.230200
(0.43608)
[ 2.82105]
0.609676
(0.42136)
[ 1.44693]
0.030978
(0.33675)
[ 0.09199]
-0.263095
(0.21193)
[-1.24141]
-0.467399
(0.25007)
[-1.86906]
-0.181556
(0.27468)
[-0.66097]
D(R_INA(-3))
D(LRER_RPUS(-1))
D(LRER_RPUS(-2))
D(LRER_RPUS(-3))
D(DUMMY08(-1))
D(DUMMY08(-2))
D(DUMMY08(-3))
0.630965
0.395193
0.902024
0.002473
(0.00564)
[ 0.43873]
D(R_INA(-2))
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
4
0.901625
0.838775
0.006051
0.007890
(0.02250)
[ 0.35070]
0.018768
(0.02048)
[ 0.91638]
0.006075
(0.01736)
[ 0.35001]
-0.092397
(0.02758)
[-3.35008]
-0.134387
(0.03451)
[-3.89420]
-0.115138
(0.03572)
[-3.22380]
-0.000675
(0.00038)
[-1.75739]
-0.000622
(0.00046)
[-1.34767]
0.788929
0.654079
0.000616
-0.023409
(0.00718)
[-3.26208]
-0.002964
(0.00653)
[-0.45366]
0.008593
(0.00554)
[ 1.55190]
0.018707
(0.00880)
[ 2.12628]
-0.004694
(0.01101)
[-0.42642]
0.002774
(0.01139)
[ 0.24345]
-0.000249
(0.00012)
[-2.02851]
-8.84E-05
(0.00015)
[-0.60005]
0.667598
0.455229
4.941221
-1.622584
(0.64289)
[-2.52389]
0.545984
(0.58529)
[ 0.93284]
0.675969
(0.49603)
[ 1.36276]
-0.158297
(0.78817)
[-0.20084]
-0.516413
(0.98618)
[-0.52365]
2.333317
(1.02064)
[ 2.28613]
-0.006167
(0.01098)
[-0.56182]
0.004395
(0.01319)
[ 0.33323]
0.863657
0.776550
344.3838
11.02067
(5.36711)
[ 2.05337]
10.60594
(4.88626)
[ 2.17057]
7.382747
(4.14105)
[ 1.78282]
-3.083311
(6.57999)
[-0.46859]
0.402376
(8.23308)
[ 0.04887]
-6.472350
(8.52074)
[-0.75960]
0.204756
(0.09164)
[ 2.23432]
-0.094754
(0.11012)
[-0.86045]
0.594693
0.335746
0.459494
-0.047008
(0.19605)
[-0.23978]
0.001202
(0.17848)
[ 0.00673]
-0.000627
(0.15126)
[-0.00414]
-0.152321
(0.24035)
[-0.63374]
0.180296
(0.30073)
[ 0.59952]
0.691366
(0.31124)
[ 2.22132]
-0.000606
(0.00335)
[-0.18110]
0.007539
(0.00402)
[ 1.87424]
0.242792
-0.240980
0.744588
-0.262348
(0.24956)
[-1.05124]
-0.269409
(0.22720)
[-1.18577]
-0.230382
(0.19255)
[-1.19647]
0.400760
(0.30596)
[ 1.30985]
0.347435
(0.38282)
[ 0.90756]
0.179065
(0.39620)
[ 0.45196]
0.002915
(0.00426)
[ 0.68398]
-0.001686
(0.00512)
[-0.32932]
75
0.158292
2.676162
40.78746
-0.559582
0.278156
-0.002087
0.203540
CointEq1
1.000000
0.000000
0.107632
(0.03268)
[ 3.29401]
-0.056292
Cointegrating Eq:
LTBINACHN(-1)
LYINA(-1)
R_CHN(-1)
R_INA(-1)
Vector Error Correction Estimates
Date: 06/09/13 Time: 18:49
Sample (adjusted): 1996Q4 2011Q4
Included observations: 61 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
2. Model bilateral Indonesia-China
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
-0.000268
-0.023561
(0.00334)
[-7.06297]
1.000000
0.000000
CointEq2
4.83E-15
1.35E-16
500.2328
-10.27443
-3.572523
0.012964
14.34555
190.9224
-5.564078
-4.726341
0.008427
0.032287
0.004135
5.850390
259.4775
-7.849250
-7.011512
0.005636
0.007031
0.370481
3.143585
-10.23435
1.141145
1.978883
-0.085417
0.501948
3.092930
9.914821
-137.5587
5.385289
6.223027
-0.113333
6.543042
5
0.112977
2.296587
61.02289
-1.234096
-0.396359
0.001333
0.138619
0.143816
0.501873
46.54176
-0.751392
0.086346
0.016667
0.129099
76
6
0.588983
(0.11412)
[ 5.16107]
0.867291
(0.34049)
[ 2.54720]
-23.89032
(5.67398)
[-4.21051]
D(LTBINACHN)
-0.288808
(0.11547)
[-2.50124]
3.356715
(1.47441)
[ 2.27666]
-0.341853
(0.15931)
[-2.14582]
-0.107518
(0.14004)
[-0.76779]
-0.313123
LYCHN(-1)
LRER_RPYUAN(-1)
C
Error Correction:
CointEq1
CointEq2
D(LTBINACHN(-1))
D(LTBINACHN(-2))
D(LYINA(-1))
(0.00750)
[-7.50615]
-0.053373
-0.007397
(0.02096)
[-0.35283]
-0.041097
(0.02385)
[-1.72318]
-0.702853
(0.22072)
[-3.18432]
0.025052
(0.01729)
[ 1.44927]
D(LYINA)
-20.60181
(0.57926)
[-35.5655]
0.110722
(0.03476)
[ 3.18526]
-0.471068
(0.01165)
[-40.4326]
(0.00077)
[-0.34965]
-2.044056
-0.578005
(0.32265)
[-1.79143]
-0.796857
(0.36706)
[-2.17091]
1.600040
(3.39710)
[ 0.47100]
1.236842
(0.26604)
[ 4.64911]
D(R_CHN)
-103.6245
-4.543393
(3.14146)
[-1.44627]
-8.397382
(3.57386)
[-2.34967]
73.11763
(33.0756)
[ 2.21062]
13.52188
(2.59026)
[ 5.22028]
D(R_INA)
0.017717
0.001762
(0.00252)
[ 0.69909]
0.002187
(0.00287)
[ 0.76274]
-0.021799
(0.02654)
[-0.82150]
-0.001066
(0.00208)
[-0.51316]
D(LYCHN)
0.474714
-0.066606
(0.10314)
[-0.64578]
-0.126207
(0.11734)
[-1.07558]
0.499531
(1.08595)
[ 0.45999]
0.104178
(0.08504)
[ 1.22498]
D(LRER_RPYU
AN)
77
2.116732
(0.96758)
[ 2.18765]
0.136717
(0.08158)
[ 1.67585]
0.016371
(0.06101)
[ 0.26832]
-0.020030
(0.00731)
[-2.73912]
-0.006959
(0.00488)
[-1.42607]
3.350942
(8.49537)
[ 0.39444]
11.40493
(8.53083)
[ 1.33691]
0.558132
(0.30227)
[ 1.84646]
D(LYINA(-2))
D(R_CHN(-1))
D(R_CHN(-2))
D(R_INA(-1))
D(R_INA(-2))
D(LYCHN(-1))
D(LYCHN(-2))
D(LRER_RPYUAN(-1))
(1.20380)
[-0.26011]
-0.038910
(0.04525)
[-0.85987]
-1.846837
(1.27709)
[-1.44613]
-0.815074
(1.27178)
[-0.64089]
0.000132
(0.00073)
[ 0.18027]
0.000652
(0.00109)
[ 0.59514]
-0.006060
(0.00913)
[-0.66352]
0.006861
(0.01221)
[ 0.56179]
0.023025
(0.14485)
[ 0.15896]
(0.18021)
[-0.29616]
-3.376162
(0.69645)
[-4.84769]
7.680564
(19.6554)
[ 0.39076]
-9.632384
(19.5737)
[-0.49211]
-0.004039
(0.01124)
[-0.35930]
0.031124
(0.01685)
[ 1.84730]
-0.146022
(0.14058)
[-1.03874]
-0.402443
(0.18797)
[-2.14103]
-0.801490
(2.22935)
[-0.35952]
(2.77362)
[-0.73696]
-3.797001
(6.78090)
[-0.55996]
194.5311
(191.373)
[ 1.01650]
96.23862
(190.578)
[ 0.50498]
0.004410
(0.10946)
[ 0.04028]
0.024195
(0.16405)
[ 0.14749]
-3.041689
(1.36870)
[-2.22231]
-1.568991
(1.83012)
[-0.85732]
-34.74207
(21.7059)
[-1.60058]
(27.0051)
[-3.83722]
0.000478
(0.00544)
[ 0.08795]
0.202147
(0.15354)
[ 1.31662]
0.693770
(0.15290)
[ 4.53749]
-6.17E-05
(8.8E-05)
[-0.70212]
1.38E-05
(0.00013)
[ 0.10457]
-3.56E-06
(0.00110)
[-0.00324]
-1.56E-05
(0.00147)
[-0.01061]
0.007823
(0.01741)
[ 0.44923]
(0.02167)
[ 0.81776]
7
0.291654
(0.22263)
[ 1.31002]
6.267106
(6.28324)
[ 0.99743]
-5.128034
(6.25712)
[-0.81955]
0.002943
(0.00359)
[ 0.81901]
-0.007132
(0.00539)
[-1.32412]
0.030688
(0.04494)
[ 0.68290]
-0.035556
(0.06009)
[-0.59175]
0.918596
(0.71266)
[ 1.28897]
(0.88664)
[ 0.53541]
78
D(LRER_RPYUAN(-2))
0.520360
0.387694
1.121800
0.154493
3.922322
35.32090
-0.699046
-0.214583
0.000252
0.197435
0.625038
(0.28705)
[ 2.17743]
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
8
1.06E-12
2.21E-13
369.4632
-8.900432
-5.509192
0.592856
0.480242
0.025141
0.023128
5.264480
151.1661
-4.497248
-4.012785
0.008686
0.032080
-0.004851
(0.04297)
[-0.11288]
0.472667
0.326809
5.955220
0.355959
3.240596
-15.59378
0.970288
1.454751
-0.094262
0.433841
-0.959941
(0.66138)
[-1.45141]
0.776592
0.714798
564.5421
3.465766
12.56746
-154.4221
5.522035
6.006497
-0.130492
6.489671
-2.574884
(6.43952)
[-0.39986]
0.682968
0.595279
0.000363
0.002781
7.788477
280.3890
-8.734066
-8.249603
0.023344
0.004371
0.003429
(0.00517)
[ 0.66381]
0.492744
0.352439
0.608556
0.113789
3.511954
53.97474
-1.310647
-0.826184
0.001803
0.141404
0.104265
(0.21142)
[ 0.49315]
79
CointEq1
1.000000
0.000000
0.000000
0.061962
(0.02172)
[ 2.85276]
0.406381
(0.08797)
[ 4.61962]
-3.416651
(0.70174)
[-4.86884]
D(LTBINAJPN)
-0.232966
(0.07344)
[-3.17201]
-0.143486
Cointegrating Eq:
LTBINAJPN(-1)
LYINA(-1)
R_JPN(-1)
R_INA(-1)
LYJPN(-1)
LRER_RPYEN(-1)
Error Correction:
CointEq1
CointEq2
Vector Error Correction Estimates
Date: 06/09/13 Time: 14:14
Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4
Included observations: 60 after adjustments
Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
3. Model bilateral Indonesia-Jepang
-0.045660
-0.009004
(0.00726)
[-1.23996]
D(LYINA)
1.795573
(0.54064)
[ 3.32121]
-1.272722
(0.06777)
[-18.7791]
0.017506
(0.01673)
[ 1.04616]
0.000000
1.000000
0.000000
CointEq2
-0.012258
0.038539
(0.04682)
[ 0.82309]
D(R_JPN)
1.605599
(0.41678)
[ 3.85237]
-0.181926
(0.05225)
[-3.48203]
-0.086340
(0.01290)
[-6.69293]
1.000000
0.000000
0.000000
CointEq3
-1.696507
-2.356423
(2.22416)
[-1.05947]
D(R_INA)
-0.005982
-0.008287
(0.00458)
[-1.80813]
D(LYJPN)
9
-0.023336
-0.015908
(0.05834)
[-0.27267]
D(LRER_RPYE
N)
80
10
-0.253215
(0.07248)
[-3.49373]
-0.118956
(0.14062)
[-0.84593]
0.036801
(0.14286)
[ 0.25760]
-0.199530
(0.13395)
[-1.48960]
-0.087102
(0.80943)
[-0.10761]
1.171897
(1.10947)
[ 1.05627]
0.581902
(0.91521)
[ 0.63582]
0.304041
(0.26616)
[ 1.14233]
CointEq3
D(LTBINAJPN(-1))
D(LTBINAJPN(-2))
D(LTBINAJPN(-3))
D(LYINA(-1))
D(LYINA(-2))
D(LYINA(-3))
D(R_JPN(-1))
(0.06518)
[-2.20148]
-0.028496
(0.02632)
[-1.08281]
-0.938456
(0.09049)
[-10.3708]
-0.953139
(0.10970)
[-8.68874]
-0.849732
(0.08003)
[-10.6174]
0.014601
(0.01324)
[ 1.10242]
0.009813
(0.01413)
[ 0.69473]
0.006695
(0.01390)
[ 0.48151]
0.030101
(0.00717)
[ 4.20045]
(0.00644)
[-7.08531]
-0.074296
(0.16968)
[-0.43785]
-0.598472
(0.58346)
[-1.02572]
-1.145342
(0.70731)
[-1.61928]
-0.801353
(0.51603)
[-1.55291]
0.245723
(0.08539)
[ 2.87749]
-0.067213
(0.09108)
[-0.73798]
0.082904
(0.08965)
[ 0.92477]
0.035549
(0.04621)
[ 0.76937]
(0.04155)
[-0.29500]
17.10817
(8.06027)
[ 2.12253]
-6.861318
(27.7157)
[-0.24756]
-39.13258
(33.5988)
[-1.16470]
-84.00957
(24.5126)
[-3.42721]
-0.802514
(4.05643)
[-0.19784]
2.935972
(4.32635)
[ 0.67863]
4.035644
(4.25851)
[ 0.94767]
4.454766
(2.19486)
[ 2.02963]
(1.97380)
[-0.85951]
0.042717
(0.01661)
[ 2.57199]
-0.094726
(0.05711)
[-1.65868]
-0.098431
(0.06923)
[-1.42177]
-0.007642
(0.05051)
[-0.15130]
0.036543
(0.00836)
[ 4.37203]
-0.002260
(0.00891)
[-0.25353]
0.017707
(0.00877)
[ 2.01791]
0.003030
(0.00452)
[ 0.67008]
(0.00407)
[-1.47084]
0.058752
(0.21143)
[ 0.27788]
0.431730
(0.72702)
[ 0.59384]
0.423126
(0.88134)
[ 0.48010]
0.925151
(0.64299)
[ 1.43882]
-0.169986
(0.10641)
[-1.59754]
-0.214390
(0.11349)
[-1.88914]
0.076861
(0.11171)
[ 0.68806]
-0.063507
(0.05757)
[-1.10305]
(0.05178)
[-0.45072]
81
0.621051
(0.29741)
[ 2.08821]
0.245254
(0.29387)
[ 0.83455]
-0.007003
(0.00465)
[-1.50495]
-0.000365
(0.00520)
[-0.07024]
0.005226
(0.00387)
[ 1.34867]
-5.322381
(2.46152)
[-2.16223]
-0.839672
(2.79083)
[-0.30087]
1.786858
(2.17543)
[ 0.82138]
-0.077509
(0.22793)
[-0.34006]
D(R_JPN(-2))
D(R_JPN(-3))
D(R_INA(-1))
D(R_INA(-2))
D(R_INA(-3))
D(LYJPN(-1))
D(LYJPN(-2))
D(LYJPN(-3))
D(LRER_RPYEN(-1))
-0.093920
(0.02254)
[-4.16748]
0.238238
(0.21509)
[ 1.10760]
-0.389794
(0.27594)
[-1.41260]
0.026122
(0.24338)
[ 0.10733]
-0.000526
(0.00038)
[-1.37318]
-0.000402
(0.00051)
[-0.78301]
0.001880
(0.00046)
[ 4.08571]
0.015723
(0.02906)
[ 0.54110]
-0.028527
(0.02941)
[-0.97011]
0.202864
(0.14531)
[ 1.39608]
0.229232
(1.38689)
[ 0.16529]
-0.586997
(1.77922)
[-0.32992]
2.504632
(1.56928)
[ 1.59604]
0.000137
(0.00247)
[ 0.05535]
0.003415
(0.00331)
[ 1.03086]
-0.001010
(0.00297)
[-0.34040]
-0.144825
(0.18735)
[-0.77301]
0.132521
(0.18960)
[ 0.69893]
16.92773
(6.90249)
[ 2.45241]
27.00532
(65.8798)
[ 0.40992]
-25.49146
(84.5162)
[-0.30162]
-24.91474
(74.5437)
[-0.33423]
0.266077
(0.11734)
[ 2.26752]
0.198278
(0.15738)
[ 1.25990]
0.046629
(0.14091)
[ 0.33091]
-7.728327
(8.89958)
[-0.86839]
14.05497
(9.00659)
[ 1.56052]
-0.031564
(0.01422)
[-2.21922]
0.009052
(0.13575)
[ 0.06668]
-0.380737
(0.17415)
[-2.18628]
0.391530
(0.15360)
[ 2.54903]
0.000165
(0.00024)
[ 0.68163]
-9.15E-05
(0.00032)
[-0.28210]
0.000524
(0.00029)
[ 1.80536]
0.030512
(0.01834)
[ 1.66388]
0.004532
(0.01856)
[ 0.24420]
11
0.638290
(0.18106)
[ 3.52528]
1.182109
(1.72811)
[ 0.68405]
-3.736159
(2.21696)
[-1.68526]
1.505375
(1.95537)
[ 0.76987]
-0.006926
(0.00308)
[-2.25002]
0.008627
(0.00413)
[ 2.08985]
-0.013211
(0.00370)
[-3.57419]
-0.125419
(0.23345)
[-0.53725]
0.427447
(0.23625)
[ 1.80927]
82
-0.006369
(0.25641)
[-0.02484]
D(LRER_RPYEN(-3))
Determinant resid covariance (dof adj.)
Determinant resid covariance
Log likelihood
Akaike information criterion
Schwarz criterion
0.538663
0.302080
0.744376
0.138154
2.276844
46.55029
-0.851676
-0.118656
-0.001371
0.165372
-0.170508
(0.26039)
[-0.65483]
D(LRER_RPYEN(-2))
R-squared
Adj. R-squared
Sum sq. resids
S.E. equation
F-statistic
Log likelihood
Akaike AIC
Schwarz SC
Mean dependent
S.D. dependent
12
1.57E-13
1.19E-14
451.1365
-10.23788
-5.211457
0.881682
0.821007
0.007277
0.013660
14.53105
185.3847
-5.479489
-4.746468
0.008427
0.032287
-0.082860
(0.02535)
[-3.26826]
-0.132622
(0.02575)
[-5.15128]
0.394111
0.083398
0.302541
0.088076
1.268410
73.56021
-1.752007
-1.018987
-0.003333
0.091996
-0.298482
(0.16347)
[-1.82591]
0.035540
(0.16600)
[ 0.21410]
0.729732
0.591133
682.6630
4.183800
5.265055
-158.0860
5.969534
6.702554
-0.113333
6.543042
-6.354022
(7.76514)
[-0.81828]
3.809648
(7.88541)
[ 0.48313]
0.621513
0.427417
0.002898
0.008621
3.202088
213.0014
-6.400048
-5.667027
0.001239
0.011393
-0.028938
(0.01600)
[-1.80861]
-0.000415
(0.01625)
[-0.02553]
0.549106
0.317879
0.469725
0.109746
2.374745
60.36225
-1.312075
-0.579054
0.001500
0.132880
-0.119456
(0.20369)
[-0.58646]
0.128522
(0.20684)
[ 0.62135]
83
84
84
Lampiran 9. Impuls Response Function (IRF)
1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
periode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
respon
(%)
0
0.05513
0.080138
0.051226
0.054522
0.081172
0.086736
0.092115
0.09298
0.089824
0.091027
0.095246
0.095682
0.096591
0.096876
periode
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
respon
(%)
0.09476
0.093475
0.092055
0.089031
0.087886
0.088271
0.087185
0.085325
0.084735
0.084697
0.08434
0.083258
0.082346
0.082148
0.081953
periode
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
respon
(%)
0.080997
0.080316
0.08026
0.080108
0.079436
0.078922
0.078715
0.078509
0.077974
0.077494
0.077253
0.077074
0.076636
0.076242
0.07603
periode
46
47
48
49
50
respon
(%)
0.075861
0.0755
0.075175
0.074965
0.074801
2. Model bilateral Indonesia-China
periode
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
respon
(%)
0
0.064084
0.081993
0.040416
0.024123
0.036862
0.048045
0.046562
0.040056
0.040514
0.043334
0.045285
0.044296
0.043063
0.043022
periode
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
respon
periode
(%)
31
0.043578
32
0.043612
33
0.043304
34
0.043109
35
0.043209
36
0.043349
37
0.043386
38
0.043354
39
0.043358
40
0.043396
41
0.043425
42
0.043423
43
0.043415
44
0.043416
45
0.043425
respon
(%)
0.043432
0.043436
0.043441
0.043449
0.043458
0.043466
0.043474
0.04348
0.043488
0.043495
0.043501
0.043508
0.043514
0.043521
0.043527
periode
46
47
48
49
50
respon
(%)
0.043534
0.04354
0.043547
0.043553
0.04356
85
3. Model bilateral Indonesia-Jepang
respon
respon
periode
periode
(%)
(%)
1
16
0
0.066076
2
17
-0.0008
0.063391
3
18
-0.0042
0.060916
4
19
0.001285
0.06642
5
20
0.030237
0.072036
6
21
0.061484
0.069753
7
22
0.087444
0.066268
8
23
0.098968
0.069764
9
24
0.076275
0.073024
10
25
0.047728
0.070361
11
26
0.047445
0.067121
12
27
0.052345
0.068971
13
28
0.047006
0.071475
14
29
0.048318
0.070185
15
30
0.059864
0.067678
periode
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
respon
(%)
0.068884
0.071096
0.070256
0.068096
0.068833
0.070558
0.070131
0.068527
0.068958
0.070331
0.070218
0.06896
0.069148
0.070213
0.07023
periode
46
47
48
49
50
respon
(%)
0.069236
0.069269
0.070054
0.070145
0.069381
Lampiran 10. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Period LTBINAUS LYINA
LYUS
R_US
R_INA
LRER_RPUS DUMMY08
1
100
0
0
0
0
0
0
2
77.87225 8.820786 0.372562 1.35616 0.555437
8.183831
2.838969
3
59.13667 9.735087 1.56588 3.524387 3.17754
18.13815
4.722285
4
52.87631 11.34801 1.322483 3.194412 8.122073
19.09809
4.038615
5
51.01112 10.51787 1.350209 2.862334 9.006387
21.08137
4.170705
6
46.60853 11.5818 1.296807 2.631792 8.801427
25.02219
4.057449
7
43.29192 10.97821 1.100818 2.195204 10.73576
28.09377
3.604323
8
41.04296 11.47787 0.930411 1.917998 10.40961
30.64984
3.571315
9
39.91894 10.88586 0.811254 1.688525 10.71534
32.84264
3.137444
10
38.141 11.46792 0.720472 1.49125 11.43896
33.90549
2.834912
11
37.58881 11.20686 0.651129 1.338842 11.59388
34.99444
2.62605
12
36.22451 11.5504 0.587791 1.20942 11.73351
36.11219
2.58217
13
35.51758 11.11338 0.537953 1.116678 12.17028
37.14743
2.396697
14
34.83381 11.24132 0.498472 1.038321 12.07968
37.99283
2.315565
15
34.3946
10.988 0.461786 0.971495 12.10456
38.85707
2.22248
16
33.86591 11.09447 0.429079 0.909056
12.112
39.35292
2.236561
17
33.74878 10.80628 0.402513 0.877054 12.11754
39.87787
2.169962
18
33.45095 10.8674 0.379299 0.841088 11.9955
40.28676
2.179004
86
Period LTBINAUS
LYINA
19
33.45179 10.67245
20
33.3728 10.70798
21
33.43953 10.50536
22
33.37369 10.52045
23
33.48938 10.36723
24
33.50192 10.37476
25
33.62567 10.21729
26
33.65557 10.20647
27
33.79405 10.07942
28
33.86481 10.06666
29
34.02692 9.938941
30
34.10536 9.91751
31
34.26082 9.811029
32
34.36359 9.788197
33
34.52708 9.682476
34
34.62632 9.653686
35
34.78303 9.561483
36
34.89444 9.532406
37
35.05348 9.442091
38
35.16506 9.408918
39
35.31877 9.328264
40
35.43624 9.295658
41
35.59096 9.217254
42
35.70758 9.182187
43
35.85586 9.110913
44
35.97476 9.076596
45
36.12178 9.007656
46
36.23855 8.971925
47
36.37985 8.90828
48
36.49703 8.873434
49
36.63603 8.81214
50
36.75099 8.776613
LYUS
0.360276
0.342459
0.328088
0.313543
0.302776
0.292474
0.284364
0.2753
0.269324
0.262797
0.258178
0.252556
0.249206
0.24523
0.242828
0.239317
0.237635
0.235378
0.23438
0.232429
0.231977
0.230936
0.230949
0.230148
0.230531
0.230382
0.231125
0.231155
0.232132
0.232638
0.233881
0.234516
2. Model bilateral Indonesia-China
Period LTBINACHN LYINA R_CHN
1
100
0
0
2
79.8951 8.03653 1.34085
3
60.177 17.4924 4.88795
4
59.3458 18.0151 4.35027
5
61.5925 17.1412 3.94557
6
62.6829 16.4738 3.73667
7
62.088 16.7872 3.78106
8
61.447 17.1173 3.64343
9
61.4567 17.1561 3.59349
10
61.6233 17.034 3.51886
11
61.618 16.9833 3.49886
R_US
0.818934
0.794811
0.783658
0.773295
0.77416
0.767798
0.773868
0.777226
0.7865
0.790536
0.80342
0.812197
0.827025
0.837906
0.855408
0.869772
0.889182
0.904565
0.925314
0.94321
0.96485
0.98312
1.005719
1.025701
1.048838
1.069149
1.092798
1.114171
1.138107
1.159531
1.183556
1.205599
R_INA
11.97538
11.85903
11.79503
11.68973
11.61517
11.49919
11.43567
11.32104
11.23366
11.12722
11.04701
10.93779
10.8547
10.75303
10.67198
10.57367
10.49165
10.39649
10.3181
10.22635
10.14688
10.05878
9.982848
9.897603
9.822397
9.740659
9.668244
9.589496
9.518433
9.442565
9.374139
9.301172
LRER_RPUS
40.57565
40.73546
40.97286
41.11893
41.24819
41.31404
41.41075
41.46751
41.52871
41.53034
41.55323
41.55406
41.55696
41.52284
41.50968
41.47953
41.4548
41.40648
41.37085
41.32218
41.27945
41.21891
41.16759
41.10744
41.0525
40.98504
40.92516
40.8587
40.79678
40.72605
40.66107
40.59114
DUMMY08
2.145528
2.187463
2.175476
2.210365
2.203095
2.249818
2.252398
2.296881
2.308327
2.35763
2.372297
2.420517
2.440265
2.489204
2.510548
2.557707
2.582223
2.630242
2.655787
2.70186
2.729804
2.776345
2.804683
2.849333
2.878962
2.923419
2.95323
2.995996
3.026413
3.068753
3.099188
3.139966
R_INA LYCHN LRER_RPYUAN
0
0
0
0.05265 0.21161
10.4633
0.83447 0.12993
16.4782
1.16356 0.29836
16.8269
1.13495 0.56459
15.6211
1.02738 0.63345
15.4458
1.05996 0.64986
15.634
1.14531 0.69109
15.9559
1.17941 0.75065
15.8638
1.18798 0.79942
15.8364
1.19345 0.84507
15.8613
87
Periode LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN LRER_RPYUAN
12
61.4049 17.0414 3.48065 1.20607 0.88571
15.9814
13
61.2481
17.1 3.45813 1.21981 0.93079
16.0432
14
61.1978 17.1103 3.4211 1.22299 0.98027
16.0676
15
61.1729 17.1112 3.39186 1.21932 1.02888
16.0759
16
61.1174 17.1289 3.36447 1.21493
1.0753
16.0991
17
61.0503 17.1591 3.33946 1.21146 1.12175
16.118
18
60.9958 17.1853 3.31357 1.20723 1.16883
16.1292
19
60.9548 17.2052 3.28978 1.2017 1.21615
16.1324
20
60.9122 17.2244 3.2681 1.19551 1.26316
16.1367
21
60.863 17.2468 3.24889 1.18932
1.31
16.142
22
60.8115 17.2703 3.23082 1.18306 1.35707
16.1473
23
60.7619 17.2929 3.21372 1.17644 1.40456
16.1505
24
60.7137 17.3145 3.19745 1.16935 1.45239
16.1526
25
60.6649 17.3364 3.1821 1.16194 1.50047
16.1542
26
60.6154 17.3588 3.16737 1.1543 1.54887
16.1552
27
60.5663 17.3813 3.15314 1.14645 1.59763
16.1553
28
60.5178 17.4034 3.13934 1.13838 1.64676
16.1543
29
60.4696 17.4255
3.126 1.13014 1.69622
16.1526
30
60.4215 17.4475 3.1131 1.12177
1.746
16.1502
31
60.3732 17.4695 3.10061 1.11331
1.7961
16.1473
32
60.3251 17.4913 3.08849 1.10478 1.84653
16.1438
33
60.2769 17.513 3.07673 1.09618 1.89729
16.1398
34
60.2288 17.5346 3.06529 1.08754 1.94838
16.1354
35
60.1805 17.5561 3.05416 1.07887 1.99978
16.1306
36
60.1321 17.5774 3.04331 1.07017
2.0515
16.1255
37
60.0837 17.5986 3.03271 1.06145 2.10355
16.12
38
60.0352 17.6197 3.02235 1.05273 2.15591
16.1141
39
59.9867 17.6406 3.01221 1.04401 2.20858
16.1079
40
59.938 17.6614 3.00227 1.03529 2.26156
16.1015
41
59.8893 17.682 2.99252 1.02659 2.31483
16.0947
42
59.8406 17.7025 2.98295 1.0179
2.3684
16.0877
43
59.7917 17.7228 2.97355 1.00924 2.42226
16.0804
44
59.7428 17.743 2.9643 1.00061 2.47641
16.0729
45
59.6938 17.763 2.95521 0.99201 2.53083
16.0652
46
59.6447 17.7829 2.94626 0.98345 2.58552
16.0573
47
59.5955 17.8026 2.93745 0.97493 2.64048
16.0491
48
59.5462 17.8221 2.92876 0.96645
2.6957
16.0408
49
59.4968 17.8415 2.9202 0.95802 2.75117
16.0323
50
59.4474 17.8607 2.91175 0.94964 2.80689
16.0236
3. Model bilateral Indonesia-Jepang
Periode LTBINAJPN LYINA
R_JPN
R_INA
LYJPN
LRER_RPYEN
1
100
0
0
0
0
0
2
96.83811 0.067833 0.002634 0.47831 2.611195
0.001919
88
Periode LTBINAJPN LYINA
R_JPN
R_INA
LYJPN
LRER_RPYEN
3
95.01119 0.581342 0.669496 0.567151 3.128812
0.042012
4
88.97761 1.314015 2.603638 3.877479 3.186265
0.040994
5
84.32275 2.377547 3.866159 4.301612
3.34766
1.78427
6
76.44626 3.648125 3.990335 4.669895 3.150096
8.095292
7
65.82789 3.501143 4.193798 5.606741 2.707949
18.16248
8
56.77299 3.120121 4.760038 4.837839 2.446498
28.06251
9
52.74694 2.891226 5.088713 4.656437 2.261948
32.35473
10
52.47851 2.999754 4.917248
4.39126 2.226062
32.98717
11
52.43083 2.925765 4.704111 4.145893 2.338269
33.45514
12
51.5841 3.012593 4.941509 3.998916 2.489896
33.97298
13
50.96364 3.188507
5.53533 3.831828 2.386674
34.09402
14
50.50855 3.402436 6.124591 3.634745 2.245946
34.08373
15
49.80259 3.399319 6.652994 3.391462 2.097022
34.65662
16
49.16406 3.561917 7.070851
3.13051 1.948825
35.12384
17
48.98569 3.689677 7.400281 2.915597 1.801991
35.20676
18
49.06393 3.905002 7.642863 2.709476 1.678597
35.00014
19
48.98749 3.965016 7.828364 2.525353 1.581989
35.11179
20
48.77837 4.074821 7.908841 2.343827 1.502908
35.39123
21
48.71245 4.151024 7.930516 2.198571 1.420421
35.58702
22
48.80781 4.293862 7.898526 2.068329 1.355342
35.57613
23
48.78673 4.314079 7.854699 1.955302 1.303098
35.78609
24
48.64857 4.371707 7.788996 1.847132 1.268405
36.07519
25
48.59239 4.413166 7.730928 1.756546 1.223294
36.28368
26
48.63217 4.496494 7.671116 1.675839 1.183853
36.34053
27
48.60762 4.509578 7.626702 1.603117 1.151653
36.50133
28
48.51662 4.550772 7.580096 1.532246 1.129061
36.69121
29
48.4652 4.573777 7.544809 1.470359 1.097173
36.84868
30
48.48203 4.631446 7.511318 1.413574 1.068616
36.89302
31
48.47404 4.642093 7.489201 1.360717 1.043201
36.99075
32
48.42406 4.669129 7.465589 1.309196 1.024157
37.10787
33
48.39691 4.682458 7.450034 1.263082 1.000234
37.20728
34
48.42185 4.723576
7.43479 1.220296 0.978532
37.22095
35
48.43253 4.731274 7.427401 1.179823 0.958569
37.27041
36
48.41057 4.752075 7.418246 1.140753 0.943928
37.33442
37
48.39714 4.761826 7.413135 1.105125 0.925849
37.39692
38
48.41635 4.792481 7.405836 1.071999 0.909095
37.40424
39
48.42683 4.799882 7.402475 1.040404 0.893348
37.43706
40
48.41435 4.817226 7.396104 1.009909 0.881574
37.48084
41
48.40355 4.824703 7.391532 0.981725 0.867474
37.53102
42
48.41507
4.84848 7.384455 0.955354 0.854445
37.54219
43
48.42291
4.85544 7.379869 0.930122
0.84185
37.56981
44
48.41474 4.869703 7.372881 0.905766
0.83227
37.60464
45
48.40561 4.875668 7.367403 0.882999 0.821161
37.64716
46
48.41233 4.894187 7.360143 0.861577 0.810827
37.66093
47
48.41797 4.900252 7.355062 0.841015 0.800573
37.68513
48
48.4128 4.912064 7.348516 0.821153 0.792637
37.71283
49
48.40569 4.916921 7.343476 0.802418 0.783625
37.74786
50
48.40964 4.931455 7.337286 0.784703 0.775201
37.76171
89
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Hapsari Adiningsih lahir di Jakarta pada tanggal 13
November 1991. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan
Sogol Sugiarto dan Sri Sukanti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa ada
hambatan yang berarti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Harapan
Jaya XVI Bekasi, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Bekasi dan lulus pada
tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan jenjang pendidikan di
SMU Negeri 4 Bekasi dan lulus pada tahun 2009.
Pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis untuk memperoleh ilmu
dan dapat mengembangkan wawasan sehingga dapat menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti
Gentra Kaheman (2010) divisi tarian jaipong, BEM FEM IPB periode 2011-2012,
dan Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
(Hipotesa) periode 2012-2013. Selain itu penulis juga aktif menjadi panitia acara
yang dilaksanakan di kampus.
Download