ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RIIL TERHADAP NERACA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA DENGAN TIGA MITRA DAGANG: FENOMENA J-CURVE HAPSARI ADININGSIH DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena J-Curve adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013 Hapsari Adiningsih NIM H14090060 ABSTRAK HAPSARI ADININGSIH. Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena kurva-J. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh nilai tukar riil (Real Exchange Rate/RER) terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya, yaitu: Amerika Serikat, Cina, dan Jepang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini juga menginvestigasi terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner dan keberadaan fenomena kurva-J pada neraca perdagangan bilateral Indonesia antara 1996:Q1 hingga 2011:Q4 dengan menggunakan metode Vector Error Correction Model (VECM). Penelitian ini mengindikasikan bahwa (i) dalam jangka panjang, RER memiliki pengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat dan pengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dan Jepang. (ii) Dalam jangka pendek, RER tidak memiliki pengaruh terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dan memiliki pengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dan Jepang. (iii) kondisi Marshall-Lerner dan fenomena kurva-J hanya terlihat pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dan Jepang. Kata kunci: fenomena kurva-J, neraca perdagangan, nilai tukar riil, VECM ABSTRACT HAPSARI ADININGSIH. Analyze the Effect of Real Exchange Rate on the Indonesia’s Bilateral Trade Balance With Three Trading Partner: J-Curve Phenomenon. Supervised by HERMANTO SIREGAR. The purpose of this study is to analyze the effect of real exchange rate (RER) on the Indonesia’s bilateral trade balance with its three major trading partners, namely: the United States, China, and Japan, both in the short run and in the long run. This study also investigates Marshall-Lerner Condition and the existence of J-Curve on the Indonesia’s bilateral trade balance between 1996:Q1 to 2011:Q4 within a Vector Error Correction Model (VECM). The study indicates that (i) in the long-run, RER has a positive impact in long-run on Indonesia’s bilateral trade balance with China and Japan. In the other hand, RER has a negative impact on Indonesia’s bilateral trade balance with United States. (ii) In the short-run, RER doesn’t has an impact on Indonesia’s bilateral trade balance with United States and has a positive impact on Indonesia’s bilateral trade balance with China and Japan. (iii) Marshall-Lerner Condition and J-Curve Phenomenon only seen on Indonesia’s bilateral trade balance with China and Japan. Keyword: J-Curve phenomenon, Real Exchange Rate (RER), trade balance, VECM ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RIIL TERHADAP NERACA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA DENGAN TIGA MITRA DAGANG: FENOMENA J-CURVE HAPSARI ADININGSIH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena J- Curve Nama : Hapsari Adiningsih NIM : H14090060 Disetujui oleh Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Analisis Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Dengan Tiga Mitra Dagang: Fenomena J-Curve”. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi tauladan bagi umatnya. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Tujuan penulisan skripsi ini yaitu untuk menganalisis pengaruh nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya (Amerika Serikat, Cina, dan Jepang) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian ini juga menginvestigasi terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner dan keberadaan fenomena kurva-J pada neraca perdagangan bilateral Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah dan pihak terkait (eksportir dan importir) dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan terkait dengan kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) dengan negara lain (terutama mitra dagang). Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni Ayahanda Sogol Sugiarto dan Ibunda Sri Sukanti, kakak dan adik tersayang Fani Budiman dan Astika Indira Khansa beserta keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan, dan perhatian yang telah senantiasa diberikan. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Noer Azam Achsani selaku dosen penguji utama dan Ibu Ir. Dewi Ulfah Wardani, M.Si, selaku dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah memberi saran-saran yang membangun serta ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini. 3. Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis. 4. Kak vevi, staf Ecthink, dan staf Kementrian Perdagangan atas bantuan yang diberikan selama proses pencarian data. 5. Kak Rina dan Kak Heni atas saran dan ilmu-ilmu yang telah diberikan selama proses pengolahan data. 6. Sahabat satu bimbingan, Bronson Marpaung atas segala dukungan, semangat, dan suka dukanya selama proses penyelesaian skripsi kita masingmasing. 7. Sahabat penulis Bagastari, Yeni, Ika, Indri, Risma, serta teman-teman Ilmu Ekonomi 46 atas kebersamaannya selama tiga tahun serta doa dan dukungannya. 8. Sahabat penulis Devi, Abieta, Nisa, Mona, Arsy, Icha, Yulis, Chika, Indie serta teman-teman kostan Rumah Warna lainnya atas kebersamaan, keceriaan, doa, dan dukungannya. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis maupun pihak yang membutuhkan. Bogor, Juni 2013 Hapsari Adiningsih DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup Penelitian 6 TINJAUAN PUSTAKA 6 METODOLOGI PENELITIAN 19 GAMBARAN UMUM NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 24 HASIL DAN PEMBAHASAN 32 SIMPULAN DAN SARAN 55 Simpulan 55 Saran 55 DAFTAR PUSTAKA 56 LAMPIRAN 58 RIWAYAT HIDUP 89 DAFTAR TABEL 1 Pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara mitra dagang utama Indonesia periode 2005-2011 2 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat level 3 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat first difference 4 Hasil uji stabilitas VAR 5 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Amerika Serikat 6 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-China 7 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Jepang 8 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Amerika Serikat dalam beberapa titik kuartal 9 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–China dalam beberapa titik kuartal 10 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang dalam beberapa titik kuartal54 4 33 34 35 36 40 43 51 53 DAFTAR GAMBAR 1 Rata-rata pangsa ekspor Indonesia selama periode 2005-2011 2 Rata-rata pangsa ekspor Indonesia selama periode 2005-2011 3 Pergerakan neraca perdagangan (nilai ekspor-nilai impor) Indonesia dengan mitra dagang utama tahun 2005-2011 4 Hubungan kurs riil dengan net ekspor 5 Hubungan tingkat suku bunga dengan neraca perdagangan 6 Kurva-J 7 Kerangka Pemikiran 8 Perkembangan neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya selama periode 1996-2011 9 Perkembangan PDB riil Jepang triwulanan selama periode 1996-2011 10 Perkembangan PDB riil China triwulanan selama periode 1996-2011 11 Perkembangan PDB riil Amerika Serikat triwulanan selama periode 1996-2011 12 Perkembangan PDB riil Indonesia triwulanan selama periode 1996-2011 13 Perkembangan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara mitra dagang utama Indonesia triwulanan selama periode 1996-2011 14 Perkembangan Suku Bunga di Empat Negara triwulanan selama periode 1996-2011 15 Respon neraca perdagangan bilateral IndonesiaAmerikaSerikat terhadap guncangan nilai tukar efektif riil 16 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–China terhadap guncangan nilai tukar efektif riil 17 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang terhadap guncangan nilai tukar efektif riil 18 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Amerika Serikat 19 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–China 20 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang 2 3 5 9 10 11 19 24 27 28 29 30 31 32 47 48 50 51 52 54 DAFTAR LAMPIRAN 1 Komoditas utama dalam kegiatan ekspor antara Indonesia Dengan mitra dagang utama dan rata-rata pangsa ekspor selama periode 2006-2011 2 Komoditas utama dalam kegiatan impor antara Indonesia Dengan mitra dagang utama dan rata-rata pangsa ekspor selama periode 2006-2011 59 3 Uji Stasionerritas pada tingkat level 4 Uji stasionaritas pada tingkat first difference 5 Uji Lag Optimal 6 Uji Stabilitas VAR 7 Uji Kointegrasi 8 Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) 9 Impuls Response Function (IRF) 10 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) 58 60 63 67 68 70 72 84 85 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Era baru yang kini membuka kesempatan kerjasama antar negara adalah integrasi ekonomi yang timbul karena negara yang bersangkutan menganut sistem perekonomian terbuka. Era ini ditandai dengan semakin berkembangnya kesepakatan integrasi bilateral terutama integrasi ekonomi antar negara dan antar kawasan dunia. Integrasi ekonomi dilaksanakan dengan konsep memberikan manfaat ekonomi bagi negara-negara anggota maupun non-anggota. Prinsip dasar integrasi ekonomi adalah mengurangi atau menghilangkan semua hambatan perdagangan di antara negara anggota dalam kawasan tertentu untuk dapat meningkatkan arus barang dan jasa dengan bebas ke luar masuk melintasi batas negara masing-masing anggota, sehingga volume perdagangan semakin tinggi. Peningkatan volume perdagangan ini mendorong peningkatan produksi, peningkatan efisiensi produksi, peningkatan kesempatan kerja, dan penurunan biaya produksi sehingga dapat meningkatkan daya saing produk dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut aktif dalam integrasi ekonomi dan kerjasama perdagangan baik yang bersifat bilateral, regional maupun internasional. Meskipun keterlibatan Indonesia dalam berbagai kerjasama perdagangan tersebut memberikan tantangan terhadap produk dalam negeri, tujuan dari semua perjanjian tersebut adalah adanya dampak positif bagi perekonomian negara-negara yang terlibat dan ekonomi Indonesia pada khususnya. Terkait dengan kawasan regional, Indonesia tergabung dalam integrasi ekonomi di antara negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dimulai sejak tahun 1967 dalam deklarasi di Bangkok. Selanjutnya berlaku Asean Free Trade Area (AFTA) yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1992. Dalam perkembangannya, kerjasama diperluas dengan melibatkan berbagai negara lainnya termasuk dengan Cina yang dikenal sebagai ACFTA. Tidak hanya di tingkat regional, Indonesia juga memiliki hubungan perdagangan bilateral dengan beberapa negara di dunia, misalnya hubungan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika, Indonesia dengan Jepang, dan sebagainya. Hubungan perdagangan ini dilakukan oleh Indonesia karena perdagangan internasional tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan nasional bagi Indonesia. Terjadinya perdagangan internasional diharapkan mampu meningkatkan penerimaan negara terutama dari permintaan barang ekspor. Peningkatan nilai ekspor yang lebih besar dari nilai impor mampu memperbaiki nilai neraca perdagangan dan pada akhirnya akan mempengaruhi balance of payment. Berdasarkan data rata-rata pangsa pasar ekspor Indonesia (Gambar 1), Jepang, Amerika Serikat, China, dan Korea Selatan merupakan empat negara tujuan ekspor utama Indonesia selama enam tahun terakhir. Total pangsa pasar empat negara ini mencapai 45,39% dari total kegiatan ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia ditujukan mayoritas untuk negara Jepang sebesar 18,92%. Urutan kedua tujuan ekspor Indonesia adalah ke negara Amerika Serikat sebesar 9,85% diikuti urutan ketiga yaitu China sebesar 9,16%. Korea Selatan berada di 2 urutan keempat dengan pangsa sebesar 9,16% dan 7.46%. Pangsa ekspor Indonesia ke empat negara ini secara total mencapai angka 45,93% dari ekspor total Indonesia. Sementara itu, pangsa ekspor sebesar 54,61% diambil alih oleh berbagai negara lain yang menjadi tujuan ekspor Indonesia seperti india, negaranegara di kawasan eropa, dan sebagainya. PANGSA PASAR EKSPOR JEPANG 18.92% AMERIKA SERIKAT 9.85% 54.61% CHINA KOREA SELATAN 9.16% LAINNYA 7.46% Gambar 1 Rata-rata pangsa ekspor Indonesia selama periode 2005-2011 Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah (2013) Pada tahun 2011, nilai total barang yang diekspor ke Jepang mencapai US$ 33,714 M atau meningkat 30,77% dibanding tahun 2010 (US$ 25,781 M). Sementara untuk nilai total barang yang diekspor ke Amerika Serikat mencapai US$ 16,497 M atau meningkat 15.35% dibanding tahun 2010 (US$ 14,301 M). Untuk negara China, nilai total barang yang diekspor mencapai angka US$ 22,941 M atau meningkat sebanyak 46.19% dibanding tahun 2010 (US$ 15,692 M). Berdasarkan data pangsa impor Indonesia secara total (Gambar 2), secara umum Jepang, Amerika Serikat, China, masih menjadi mitra dagang untuk pemenuhan kebutuhan barang impor Indonesia disamping menjadi pasar ekspor utama untuk barang-barang Indonesia. Produk yang diimpor oleh Indonesia mayoritas berasal dari negara Singapura yakni sebesar 15,50%. Urutan kedua negara asal barang yang diimpor oleh Indonesia adalah dari negara China sebesar 12,65%, diikuti Negara Jepang sebesar 10,72%, Amerika Serikat sebesar 6,61%. Malaysia menempati posisi kelima untuk negara yang menjadi mitra dagang untuk barang-barang yang diimpor yakni sebesar 6,08%. Sementara itu, pangsa impor sebesar 48,44% diambil alih oleh berbagai negara lain yang menjadi negara asal barang yang diimpor Indonesia. Pada tahun 2011, nilai total barang yang diimpor dari Singapura mencapai US$ 25,964 M atau meningkat 28,28% dibanding tahun 2010 (US$ 20,240 M). Sementara untuk nilai total barang yang diimpor dari China mencapai US$ 26,212 M atau meningkat 28,34% dibanding tahun 2010 (US$ 20,424 M). Untuk negara Jepang, nilai total barang yang diimpor mencapai angka US$ 19,436 M atau 3 meningkat sebanyak 14,56% dibanding tahun 2010 (US$ 16,965 M). Di sisi lain, nilai total barang yang diimpor oleh Indonesia dari Amerika Serikat mencapai angka US$ 10,834 M atau meningkat sebanyak 15,06% dibanding tahun 2010 (US$ 9,415 M). PANGSA PASAR IMPOR 15.50% SINGAPURA CHINA 12.65% 48.44% JEPANG AMERIKA SERIKAT 10.72% 6.08% 6.61% MALAYSIA LAINNYA Gambar 2 Rata-rata pangsa impor Indonesia selama periode 2005-2011 Sumber: International Financial Statistic (IFS), diolah (2013) Salah satu faktor yang mempengaruhi kegiatan perdagangan internasional suatu negara adalah nilai tukar mata uang domestik terhadap nilai mata uang asing. Dengan kata lain, nilai tukar menjadi indikator penting dalam sebuah negara yang menganut sistem perekonomian terbuka. Semakin tinggi nilai tukar riil, berarti harga barang-barang domestik relatif lebih murah dibandingkan harga barangbarang luar negeri. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya transaksi ekspor di negara tersebut, sehingga berpengaruh terhadap nilai ekspor bersih (neraca perdagangan) (Mankiw, 2006). Oleh karena itu, nilai tukar sangat penting dalam menentukan daya saing produk suatu negara. Indonesia telah memberlakukan kebijakan nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997 atau sejak terjadinya krisis Asia pada tahun 1997. Dengan diterapkannya sistem nilai mengambang maka penentuan nilai tukar rupiah diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Penentuan nilai tukar rupiah berdasarkan mekanisme pasar ini membuat nilai tukar berfluktuasi dan tidak stabil setiap tahunnya (tabel 1). Dampak dari tidak stabilnya nilai rupiah akan membawa pengaruh terhadap nilai ekspor Indonesia yang berkaitan dengan neraca perdagangan, mengingat nilai tukar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai neraca perdagangan suatu negara. Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa terdapat hubungan positif antara nilai tukar dengan neraca perdagangan. 4 Tabel 1 Pergerakan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara mitra dagang utama Indonesia periode 2005-2011 Rp/US$ RP/Yen RP/Yuan 2005 9,170.97 76.33 1,129.83 2006 8,130.45 67.33 1,035.46 2007 8,169.54 68.25 1,098.59 2008 8,929.69 91.32 1,300.11 2009 7,444.81 74.67 1,090.11 2010 6,769.01 72.13 1,032.34 2011 6,732.74 74.13 1,100.73 Sumber: FX Sauder (2013), diolah Berdasarkan data pada Tabel 1, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2005, nilai Rp/US$ sebesar Rp 9,170.97/US$. Kemudian di tahun-tahun berikutnya rupiah sedikit berfluktuasi hingga tahun 2011 pada level Rp 6,732.74/US$. Di sisi lain, nilai tukar Rp/Yen pada tahun 2005 sebesar Rp 76.33/Yen. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai tukar Rp/Yen sangat berfluktuasi dalam rentang Rp 67.33/Yen (nilai Rupiah terkuat pada tahun 2006) hingga Rp 91.32/Yen (nilai Rupiah terlemah pada tahun 2008). Sementara itu, nilai tukar Rp/Yuan pada tahun 2005 sebesar Rp 1,129.83/Yuan. Nilai tukar ini terus berfluktuasi dalam rentang Rp 1,032.34/Yuan (nilai Rupiah terkuat pada tahun 2010) hingga Rp 1,300.11/Yuan (nilai Rupiah terlemah pada tahun 2008). Sedangkan untuk perdagangan internasional, neraca perdagangan Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya (China, Jepang, dan Amerika Serikat) juga turut berfluktuasi (Gambar 3). Depresiasi Rupiah memang turut memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Sebaliknya, apresiasi Rupiah akan memperburuk neraca perdagangan Indonesia. Misalnya, saat Rupiah terdepresiasi dari Rp 72.13/Yen pada tahun 2007 menjadi Rp 74.13/Yen pada tahun 2008, neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang meningkat dari US$ 8.82 M menjadi US$ 14.28 M. Kasus dengan China, depresiasi Rupiah yang terjadi pada tahun 2011 yaitu dari Rp 1,032.34/Yuan pada tahun 2010 menjadi Rp 1,100.73/Yuan pada tahun 2008 juga meningkatkan kinerja neraca perdagangan. Hal ini terbukti dari menurunnya atau mengecilnya defisit neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dari deficit US$ 4.73 M pada tahun 2010 menjadi defisit US$ 3.27 M pada tahun 2011. Namun lain halnya dengan kasus Amerika Serikat. Apresiasi Rupiah pada tahun yang terjadi yaitu dari Rp 6,769.01/US$ di tahun 2010 menjadi Rp 6,732.74/US$ di tahun 2011 tidak membuat neraca perdagangan memburuk, melainkan membaik. Kinerja neraca perdagangan meningkat dari US$ 4.88 M di tahun 2010 menjadi US$ 5.66 M di tahun 2011. 5 20.00 MILYAR US$ 15.00 10.00 Jepang 5.00 Amerika Serikat China 0.00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 -5.00 -10.00 Gambar 3 Pergerakan neraca perdagangan (nilai ekspor-nilai impor) Indonesia dengan mitra dagang utama tahun 2005-201 Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah Perumusan Masalah Berdasarkan uraiaan di atas, berikut merupakan perumusan masalah yang akan diteliti: 1. Bagaimana pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat? Apakah kondisi Marshall-Lerner terpenuhi? Dan Apakah terjadi fenomena JCurve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat? 2. Bagaimana pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China? Apakah kondisi Marshall-Lerner terpenuhi? Dan Apakah terjadi fenomena J-Curve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan China? 3. Bagaimana pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang? Apakah kondisi Marshall-Lerner terpenuhi? Dan Apakah terjadi fenomena J-Curve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Jepang? Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar bilateral riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat, menguji terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner serta melihat terjadinya fenomena J-Curve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat 2. Menganalisa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar bilateral riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China, menguji 6 terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner serta melihat terjadinya fenomena JCurve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan China. 3. Menganalisa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang nilai tukar bilateral riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang, menguji terpenuhinya kondisi Marshall-Lerner serta melihat terjadinya fenomena JCurve pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Jepang. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat bagi beberapa pihak, Adapun manfaat-manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah dan pihak terkait (eksportir dan importir), penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan dan mengambil keputusan terkait dengan kegiatan perdagangan (ekspor dan impor) dengan negara lain (terutama mitra dagang); 2. Bagi akademisi, dapat dijadikan sebagai bahan kajian mengenai pengaruh nilai tukar terhadap neraca perdagangan bilateral secara lebih mendalam dan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya; 3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai kondisi Marshall-Lerner dan fenomena J-Curve yang terjadi di neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan mitra dagang utamanya Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini adalah melihat bagaimana hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara nilai tukar riil (Real Exchange Rate/RER) dan neraca perdagangan serta mengestimasi apakah fenomena J-Curve terjadi di kasus neraca perdagangan Indonesia dengan ketiga mitra dagang utamanya. Nilai ekspor dan impor yang digunakan adalah nilai ekspor dan impor barang secara agregat, tidak hanya terbatas pada salah satu sektor misalnya hanya sektor migas dan atau non migas. Variabel yang digunakan dalam penelitian mencakup PDB domestik (Indonesia), PDB mitra dagang, RER, serta suku bunga (Indonesia dan mitra dagang). TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional Perdagangan internasional merupakan konsekuensi dari adanya sistem perekonomian terbuka yaitu mengekspor barang dan jasa ke luar negeri, mengimpor barang dan jasa dari luar negeri, serta meminjam dan memberi pinjaman pada pasar modal dunia (Mankiw, 2006). Manfaat adanya perdagangan adalah memungkinkan setiap negara untuk memperoleh barang yang tidak memiliki keunggulan komparatif pada biaya oportunitas yang lebih rendah 7 daripada yang mereka jumpai jika mereka harus memproduksi sendiri semua komoditi yang dibutuhkan (Lipsey RG, Steiner PO, dan Purcvis DD, 1992). Kegiatan perdagangan internasional ini juga akan mempengaruhi balance of payment atau neraca pembayaran suatu negara. Neraca pembayaran suatu negara merupakan suatu catatan sistematis mengenai semua transaksi ekonomi antarpenduduk negara tersebut dengan negara-negara lainnya selama periode tertentu. Komponen neraca pembayaran terdiri dari tiga komponen. Komponen pertama yaitu neraca perdagangan yang merupakan selisih nilai ekspor dan impor barang. Komponen kedua yaitu neraca jasa-jasa yang merupakan selisih antara ekspor jasa dan impor jasa. Apabila kedua neraca itu digabung, akan diperoleh neraca transaksi berjalan atau current account. Komponen ketiga dalam neraca pembayaran adalah neraca yang menyangkut lalu lintas modal atau capital account. (Halwani, 2002). Kegiatan perdagangan internasional akan mempengaruhi current account. Jika dalam suatu negara kegiatan ekspornya lebih banyak daripada kegiatan impornya maka akan terjadi surplus dalam current account. Dan sebaliknya jika nilai ekspor lebih kecil daripada nilai impor maka current account akan mengalami defisit. Neraca Perdagangan Neraca perdagangan (balance of trade) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara nilai ekspor dan impor barang. Neraca perdagangan dikatakan surplus apabila nilai ekspor barang melebihi nilai impornya (Halwani, 2002). Neraca perdagangan biasa disebut dengan ekspor netto. Di dalam neraca tersebut, transaksi yang dicatat adalah seluruh transaksi ekspor dan impor barang dengan ketentuan sebagai berikut (Hady, 2004): 1. Ekspor barang dicatat sebagai transaksi kredit atau positif 2. Impor barang dicatat sebagai transaksi debit atau negatif Bagi setiap negara tentunya kondisi surplus lebih diharapkan. Terjadinya surplus perdagangan berarti jumlah ekspor yang dilakukan oleh sebuah negara lebih banyak dibandingkan impornya. Kondisi ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Model neraca perdagangan dapat dijelaskan oleh model dua negara seperti yang dituliskan oleh Rose dan Yellen (1989) dalam Bahmani-Oskooee dan Kantipong (2001). Secara matematis, kita dapat menuliskan fungsi dari permintaan impor domestik dan permintaan impor luar negeri sebagai berikut, M = M (Y, P m ,) (1) (2) M* = M*(Y*, P* m ) Dimana M adalah volume impor dalam negeri, M* adalah volume impor luar negeri (ekspor oleh domestik), Y adalah PDB riil domestik, Y* adalah PDB riil luar negeri, P m adalah harga relatif barang impor terhadap barang domestik di dalam negeri, dan P* m adalah harga relatif barang impor terhadap barang domestik di luar negeri. Di sisi lain, penawaran ekspor dapat diasumsikan hanya tergantung pada harga relatif seperti dalam fungsi sebagai berikut, (3) X = X (P x ) 8 X* = X*(P* x ) (4) dimana X adalah penawaran barang ekspor dari negara asal, X* adalah penawaran barang ekspor dari luar negeri, P x adalah harga relatif barang ekspor domestik, dan P* x adalah harga relatif barang ekspor di negara asal (mitra dagang). Berdasarkan persamaan permintaan dan penawaran di atas, maka kondisi keseimbangan dapat dirumuskan sebagai berikut: M = X* (5) M* = X (6) Telah diketahui bahwa P m = RER.P* x dan P* m = P x /RER dimana nilai tukar riil RER = (P*.E/P), sehingga kuantitas perdagangan dalam keseimbangan dengan harga relatif merupakan fungsi dari RER, Y, dan Y*. Oleh karena itu, model neraca perdagangan juga merupakan fungsi dari RER, Y, dan Y*. atau dengan kata lain nilai tukar riil, pendapatan riil domestik, pendapatan riil luar negeri merupakan faktor utama penentu neraca perdagangan atau ekspor neto. Neraca perdagangan barang (TB) = f(Y, Y*, RER) (7) Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian nasionalnya. Tetapi pada dasarnya PDB mengukur seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis. Gross domestic product (GDP) hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate) tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali (Lipsey RG, Steiner PO, dan Purcvis DD, 1992). Produk Domestik Bruto (PDB) memiliki dua tipe, yaitu PDB nominal dan PDB riil. PDB nominal yaitu nilai barang dan jasa yang diukur dengan harga berlaku. Artinya PDB nominal yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sementara, PDB riil yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga konstan. Artinya, PDB riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak berubah (Mankiw, 2006). Setiap perbedaan antara pendapatan nasional nominal (GDP nominal) dengan pendapatan nasional riil (GDP riil) untuk suatu tahun tertentu pasti disebabkan oleh perubahan harga-harga antara tahun itu dengan tahun dasar yang digunakan dalam menghitung pendapatan riil. Jadi, perbandingan semacam itu menunjukkan suatu indeks harga yang berkaitan dengan kedua tahun itu (Lipsey,dkk, 1987). Indeks harga implisit (deflator implisit) atau bisa juga disebut GDB deflator ini didefinisikan sebagai berikut: Deflator GDP = GDP nominal GDP riil (8) 9 Kita juga dapat menuliskan persamaan (8) dengan, GDP riil = GDP nominal (9) Deflator GDP Dengan bentuk persamaan ini, kita dapat melihat bagaimana deflator memperoleh namanya: yaitu digunakan untuk mendeflasi (menghilangkan inflasi) dari GDP nominal untuk menghasilkan GDP riil (Mankiw, 2006). Nilai Tukar Kurs (exchange rate) atau nilai tukar antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Para ekonom membedakan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing menjadi dua, yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Sedangkan, nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif barang-barang di kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain (Mankiw,2006). Dengan kata lain, nilai tukar riil ialah rasio harga-harga di luar negeri dengan harga domestik yang diukur dengan mata uang yang sama. Hal ini mengukur daya saing suatu negara dalam perdagangan internasional. Nilai tukar riil didefinisikan sebagai (Dornbusch dkk, 2008): Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x Rasio tingkat harga ϵ = E x (P f /P) (10) dimana; P = Tingkat harga barang domestik P f = Tingkat harga barang luar negeri Nilai tukar riil diasumsikan sama dengan 1. Jika nilai tukar lebih dari 1 berarti barang di luar negeri lebih mahal dari barang dalam negeri. Hal ini berimplikasi bahwa masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, mengalihkan sebagian pengeluaran mereka ke barang-barang produksi dalam negeri. Hal ini sering digambarkan sebagai kenaikan daya saing produk-produk dalam negeri (Dornbusch, dkk, 2008). Hubungan antara nilai tukar riil dengan neraca perdagangan dapat dijelaskan dalam Gambar 4 (Mankiw, 2006). Kurs riil,ϵ NX(ϵ) Ekspor neto, NX Gambar 4 Hubungan Kurs riil dengan Net Ekspor 10 Sumber: Mankiw (2006) Suku Bunga Dalam perekonomian terbuka, pasar uang dan pasar barang memiliki keterkaitan satu sama lain. Selain neraca perdagangan, dalam sistem perekonomian terbuka terjadi pula arus modal internasional. Hubungan antara pasar uang dan pasar barang dapat dijelaskan oleh persamaan pendapatan nasional dalam bentuk tabungan dan investasi (Mankiw, 2000). Y = C + I + G + NX Y – C – G = I + NX S = I + NX S – I = NX NX = S – I(r*) (11) Persamaan diatas menunjukkan bahwa ekspor neto suatu perekonomian harus selalu sama dengan selisih antara tabungan dan investasi atau arus modal keluar neto. Investasi bergantung pada tingkat bunga riil dunia. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan perekonomian kecil terbuka, sehingga tingkat bunga riil sama dengan tingkat bunga riil dunia (r = r*). Hubungan antara tingkat suku bunga dengan neraca perdagangan dijelaskan dalam Gambar 5. S Tingkat bunga (r) r = r* NX I(r) 2 I(r) 1 Investasi, Tabungan, I,S Gambar 5 Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Neraca Perdagangan Sumber: Mankiw (2006) Jika tingkat suku bunga menurun maka permintaan terhadap barangbarang investasi akan meningkat pada setiap tingkat bunga (asumsi r = r*). Meningkatnya investasi menyebabkan kurva investasi bergeser dari I(r)1 ke I(r)2 pada tingkat dunia tertentu. Dampak dari investasi yang meningkat akan menyebabkan investasi harus dibiayai dengan utang luar negeri karena tabungan tidak berubah, yang berarti arus modal keluar neto adalah negatif. Karena NX = S – I, kenaikan dalam I menunjukkan penurunan dalam NX atau neraca perdagangan. 11 Konsep J-Curve Devaluasi pada dasarnya merupakan penyesuaian harga pesaing di luar negeri terhadap biaya dalam negeri. Ketika mata uang domestik terhadap mata uang luar negeri didevaluasi, maka barang yang diimpor harganya dalam rupiah menjadi naik secara proporsional. Penyesuaian yang lambat untuk peningkatan volume perdagangan dari perubahan harga yang disebabkan oleh devaluasi menyebabkan perubahan dengan fenomena yang dikenal dengan Kurva-J (JCurve) (Halwani, 2002). Current Account Surplus +5 T3 (+) Time T1 Current Account berkurang Deficit (-) T2 -2 T 1 = Posisi Defisit T 2 = Posisi defisit T 3 = Posisi surplus Gambar 6 Kurva-J (J-Curve) Sumber : Hamdy Hady (2004) Keterangan: 1. Kebijakan devaluasi biasanya dalam jangka pendek justru akan lebih memperberat sisi deficit current account 2. Hal ini dapat terjadi karena perubahan kuantitas ekspor dan impor sebagai akibat perubahan harga yang disebabkan oleh devaluasi memerlukan waktu penyesuaian. 3. Biasanya dalam waktu singkat justru penerimaan devisa ekspor relatif akan lebih cepat menurun karena adanya penyesuaian-penyesuaian harga barang ekspor di dalam negeri sehingga ekspor menjadi tertunda dan diperlukan kontrak baru, sedangkan pengeluaran devisa untuk impor menurun lebih lambat karena harga barang impor di luar negeri dalam valas tidak akan berubah. 4. Biasanya setelah periode tertentu (satu hingga tiga bulan penyesuaian harga ekspor dan impor), kurva J akan mulai menaik dan ini berarti devaluasi akan memperbaiki posisi current account (lebih tepatnya neraca perdagangan). 12 Marshall-Lerner Condition Alfred Marshall dan Abba Lerner menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar riil akan meningkatkan kinerja current account apabila volume ekspor dan volume impor elastis (lebih besar dari 1) terhadap perubahan nilai tukar riil. Dampak perubahan nilai tukar riil terhadap current account dibagai ke dalam volume effect dan value effect. Volume effect adalah dampak perubahan unit output ekspor dan impor akibat dari perubahan nilai tukar riil. Mereka beragumen bahwa nilai volume effect adalah positf karena elatisitas ekspor positif (perubahan permintaan volume ekspor terhadap perubahan nilai tukar riil > 0) dan elastisitas impor negatif (perubahan permintaan volume ekspor terhadap perubahan nilai tukar riil < 0). Sementara value effect adalah kenaikan nilai impor atas dasar harga domestik akibat dari perubahan nilai tukar riil. Sehingga perubahan current account secara netto dapat menjadi positif atau negatif tergantung pada elastisitas ekspor dan impor. Dalam analisa Marshall-Lerner Condition diasumsikan bahwa neraca jasa=0 sehingga current account (CA) sama dengan trade balance (neraca perdagangan. Jika CA dinyatakan dalam unit output domestik maka dapat ditulis sebagai berikut: CA (EP*/P,Y d ) = EX(EP*/P)-IM(EP*/P,Y d ) (12) Dimana CA= Current Account, EX= ekspor, IM= impor, EP*/P= nilai tukar riil, dan Y d = pendapatan domestik riil. Dalam persamaan (12) diasumsikan bahwa pendapatan luar negeri (Y f ) adalah konstan. Misalkan q sebagai nilai tukar riil dan EX* sebagai domestic import dilihat dari sisi luar negeri (volume ekspor luar negeri ke domestik), maka: IM= q x EX* (13) Sehingga, jika persamaan (13) disubstitusikan ke persamaan (12), maka: CA (q,Y d ) = EX(q) - q x EX*(q,Y d ) (14) Jika EX q merepresentasikan dampak dari kenaikan 1 (depresiasi nilai tukar riil) pada permintaan ekspor dan EX* q merepresentasikan dampak dari kenaikan q pada volume impor, maka dapat ditulis: EX q = ∆EX/∆q (15) EX* q = ∆EX*/∆q (16) Dimana, EX q > 0 sedangkan EX* q < 0. Dengan depresiasi nilai tukar riil maka harga produk di pasar global menjadi lebih murah sehingga daya saing meningkat. Oleh karena itu, depresiasi akan meningkatkan permintaan ekspor (EX*) dan menrunkan permintaan impor dari luar neger (EX*). Jika superscript 1 mewakili nilai awal CA dan superscript 2 mewakili nilai setelah q berubah, maka dampak perubahan nilai tukar riil terhadap current account adalah sebagai berikut: ∆CA = CA2 – CA1 = (EX2 – q2. EX*2) – (EX1 – q1.EX*1) (17) 2 1 2 2 1 1 2 1 2 1 ∆CA = (EX – EX ) – q . ∆EX* + q .EX* + (q .EX* – q .EX* ) (18) ∆CA = ∆EX – (q2. ∆EX*) – (∆q.EX*1) (19) Dengan membagi sisi kiri dan kanan dengan ∆q maka akan diperoleh reaksi current account terhadap perubahan nilai tukar, yaitu: ∆CA/∆q = EX q – (q2. EX* q ) – EX*1 (20) 13 Dampak perbuhan nilai tukar riil terhadap current account dibagai ke dalam volume effect dan value effect. Besaran EX q dan EX* q mencerminkan volume effect. Nilai volume effect selalu posistif karena EX q > 0 dan EX* q < 0. Sementara EX*1 mencerminkan value effect dan ini akan memperburuk CA karena dengan meningkatnya nilai tukar riil (q) maka akan meningkatkan nilai impor (pada volume impor semula yang tetap) dalam harga domestik (Astiyah dan Santoso, 2005). Selanjutnya untuk mengetahui dampak depresiasi terhadap ekspor dan impor domestik, maka perlu mengetahui bagaimana elastisitas ekspor dan impor terhadap perubahan nilai tukar riil, yaitu sebagai berikut: η = (q1/EX1) . EX q (21) η* = -(q1/E*X1) . EX* q (22) Atau dengan kata lain, persamaan permintaan ekspor dan impor dalam jangka panjang secara umum adalah: EX q = α x + β*y* t + η reer t EX* q = α m + βy t – η* reer t (23) sehingga persamaan neraca perdagangan (EX q -EX* q ) jangka panjang secara umum adalah tb t = α x - α m + β*y* t - βy t + (η + η* – 1) rer t (24) (25) tb t = α + β*y* t - βyt + η** rer t * dimana tb adalah trade balance (neraca perdagangan), y adalah PDB mitra dagang, y merupakan PDB domestik, η adalah elastisitas permintaan ekspor, η* adalah elastisitas permintaan impor, rer adalah nilai tukar riil, α = α x - α m dan η** = (η + η* – 1). Koefisien rer t (η**) memberikan kondisi Marshall-Lerner untuk suatu depresiasi (peningkatan rer) yang akan meningkatkan neraca perdagangan. Menurut Marshall-Lerner Condition, depresiasi riil dari suatu mata uang akan meningkatkan kinerja trade balance jika jumlah dari elastisitas permintaan impor dan ekspor terhadap nilai tukar riil lebih besar dari 1 (>1). Sehingga, jika persamaan (25) tersebut terpenuhi maka dikatakan bahwa Marshall-Lerner Condition terpenuhi (Batiz, 1994). Metode Analisis (Vector Error Correction Model/VECM) Vector Error Correction Model (VECM) adalah VAR yang terestriksi yang digunakan untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi terkointegrasi. Setelah dilakukan pengujian pada model yang digunakan maka dianjurkan untuk memasukan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan. Pada data time series kebanyakan memiliki tingkat stasioneritas pada first difference atau I(1). VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang. Adapun spesifikasi model VECM secara Umum adalah sebagai berikut : Δyt = µ 0x + µ 1x t + π x yt-1 + ∑𝑘−1 𝑖=1 Г ix Δy t-i + ε t R (26) 14 Dimana : Yt = Vektor yang berisi variabel yang akan dianalisis dalam penelitian (vektor dari variabel endogen : X/M, RER, Y, Y*, R, R*) i = Lag order µ 0x = vektor intersep μ 1x = Vektor Koefisien Regresi, t = Time trend Πx = α x β’, dimana β’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang, α = Matriks Loading atau matriks parameter speed of adjusment, Y t-i = Variabel in-level (k-1) = Ordo VECM dari VAR, Γ = Matriks Koefisien Regresi εt = Error term Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai analisis efek Kurva-J telah dilakukan sebelumnya oleh Yasmina Guechari (2012) menggunakan teknik kointegrasi dan analisis Error Correction Model (ECM) adalah. Yasmina Guechari menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari nilai tukar riil efektif (Real Effective Exchange Rate/REER) pada neraca perdagangan Algeria baik secara agregat maupun bilateral (Amerika Serikat dan Perancis). Dalam analisis ini, Yasmina menggunakan data time series selama periode 1981:Q1 hingga 2009:Q4. Varabel yang digunakan adalah log neraca perdagangan (agregat dan bilateral) yang didefinisikan sebagai rasio ekspor dan impor, log REER, log pendapatan domestik (Algeria), dan log pendapatan luar negeri sebagai mitra dagang utamanya (Amerika dan Perancis). Hasil yang diperoleh Yasmina Guechari yaitu REER memiliki pengaruh yang signifikan (negatif dalam jangka pendek dan positif dalam jangka panjang) pada neraca perdagangan bilateral dan agregat. Melalui uji granger causality antar variabel, didapatkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara nilai tukar dengan neraca perdagangan agregat dan bilateral (Amerika Serikat dan Perancis). Hasil analisis generalized impulse response membuktikan bahwa kurva-J terjadi pada neraca perdagangan Algeria secara agregat dan bilateral dengan Amerika Serikat. Sementara, neraca perdagangan Algeria dengan Perancis menunjukkan kurva-J yang lemah. Secara umum dapat disimpulkan bahwa devaluasi mata uang Algeria akan memberikan keuntungan bagi neraca perdagangan Algeria. Penelitian mengenai analisis efek Kurva-J juga telah dilakukan oleh Hassan Kimbugwe (2006). Kimbugwe menguji hipotesis Kurva-J dalam jangka pendek dan jangka panjang dari hubungan perdagangan bilateral Turki dengan 9 mitra dagang utamanya (Austria, Belgia, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Italia, Swiss, Amerika). Penelitian ini menggunakan data agregat dan data disagregat secara tahunan pada periode 1960-2000. Data-data tersebut diuji menggunakan metode yang berlandaskan pada pendekatan Bound Testing baru untuk teknik kointegrasi yaitu Autoregressive Distributed Lag (ARDL), teknik kointegrasi multivariasi, analisis generalized impulse response functions serta uji CUSUM 15 and CUSUMQ untuk melihat kestabilan hubungan jangka panjang antar variabelvariabel yang diuji yaitu antara neraca perdagangan dengan nilai tukar riil, PDB riil domestik (Turki), dan PDB riil mitra dagang utamanya (Austria, Belgia, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Italia, Swiss, Amerika). Hasil yang diperoleh Kimbugwe adalah adanya hubungan kointegrasi dalam jangka panjang antara variabel neraca perdagangan riil, nilai tukar riil, PDB riil domestik (PDB Turki) dan PDB riil 9 mitra utama dagangnya. Namun di sisi lain, penulis tidak dapat menemukan fakta yang mendukung hipotesis Kurva-J dalam jangka pendek untuk negara Turki. Bagaimanapun, penggunaan generalised impulse response function ternyata tetap dapat membuktikan bahwa depresisi nilai mata uang Turki (Lira) akan meningkatkan neraca perdagangan dalam keseimbangan jangka panjang hanya untuk kasus perdagangan bilateral antara Turki dengan Inggris dan Belgia. Peneliti lain yang menguji fenomena J-Curve dengan menggunakan teknik pendekatan Bound Testing untuk teknik kointegrasi yaitu Autoregressive Distributed Lag (ARDL) seperti yang digunakan Kimbugwe adalah Mohsen Bahmani-Oskoee dan Jehanzeb Cheema (2009), Abdorreza Soleymani, Soo Y. Chua, dan Behnaz Saboori (2011), serta Mohsen Bahmani-Oskooee and Tatchawan Kantipong (2001). Ketiga kelompok peneliti tersebut secara umum menggunakan teknik pendekatan Bound Testing untuk meneliti fenomena J-Curve di negara yang berbeda. Adapun masing-masing tujuan penelitian yang dilakukan oleh ketiga kelompok peneliti tersebut yaitu: Mohsen Bahmani-Oskoee dan Jehanzeb Cheema (2009) menggunakan pendekatan Bound Testing untuk menguji fenomena J-Curve antara Pakistan dengan 13 mitra dagang utamanya yaitu China, Perancis, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, Korea, Kuwait, Malaysia, Arab Saudi, U.A.E., Inggris, dan Amerika dengan menggunakan data perdagangan bilateral secara kuartalan selama periode 1980:Q1 hingga 2003:Q4. Variabel yang digunakan adalah neraca perdagangan Pakistan dengan mitra dagang utamanaya yang didefinisikan sebagai rasio impor impor nominal terhadap ekspor nominalnya dengan mitra dagang utama, PDB riil Pakistan, PDB riil negara lain yang menjadi mitra dagang utamanya, dan nilai tukar riil bilateral. Di samping menggunakan pendekatan Bound Testing, Bahmani-Oskoee Cheema juga menggunakan pendekatan kointegrasi Johansen untuk melihat hubungan jangka panjang antar variabel. Sementara Abdorreza Soleymani, Soo Y. Chua, dan Behnaz Saboori (2011) menggunakan teknik pendekatan Bound Testing dan juga error correction model (ECM) untuk menginvestigasi respon jangka pendek dan jangka panjang neraca perdagangan antara Malaysia dengan China terhadap depresiasi nilai riil mata uang Ringgit. Penulis menggunakan data 53 industri secara kuartalan selama periode 1993Q1-2009Q4. Sedangkan di sisi lain, Mohsen Bahmani-Oskooee and Tatchawan Kantipong (2001) juga menguji fenomena J-Curve (respon jangka pendek dan jangka panjang neraca perdagangan terhadap depresiasi nilai tukar) antara Thailand dengan lima mitra dagang utamanya yaitu Jerman, Jepang, singapura, Inggris, dan Amerika Serikat. Data yang dianalisis adalah data kuartalan selama periode 1973:Q1 hingga 1997:Q4. Dengan menggunakan pendekatan Bound Testing, Bahmani-Oskoee dan Cheema (2009) dapat membuktikan bahwa depresiasi nilai tukar memberikan memberikan pengaruh jangka pendek terhadap neraca perdagangan walaupun 16 tidak konsisten dengan hipotesis kurva-J. Dalam jangka panjang, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara nilai tukar riil dan neraca perdagangan antara Pakistan dengan hampir setengah dari mitra dagang utamanya yaitu China, Hong Kong, Jepang, Kuwait, dan U.A.E. implikasi kebijakan dari penemuan kedua penulis ini adalah tidak semua mitra dagang terpengaruh terhadap depresiasi riil nilai mata uang Pakistan (Rupee). Di sisi lain, penggunaan pendekatan kointegrasi Johansen tidak dapat membuktikan hipotesis Kurva–J maupun dampak jangka panjang yang signifikan dari perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral. Pengujian yang telah dilakukan oleh Abdorreza Soleymani, Soo Y. Chua, dan Behnaz Saboori (2011) dengan menggunakan metode pendekatan Bound testing dan ECM didapatkan hasil bahwa meskipun depresiasi mata uang Ringgit memberikan pengaruh yang signifikan dalam jangka pendek terhadap neraca perdagangan di level industri secara mayoritas, pengaruh dalam jangka pendek tersebut jika diterjemahkan ke dalam jangka panjang hanya akan memberikan pengaruh yang positif hanya kepaada 11 industri dari 53 industri yang diteliti. Mohsen Bahmani-Oskooee and Tatchawan Kantipong (2001) juga menggunakan metode penelitian Autoregressive Distributed Lag (ARDL) untuk meneliti kasus fenomena J-Curve untuk negara Thailand. Hasil yang diperoleh adalah fenomena J-Curve hanya terjadi antara hubungan perdagangan bilateral Thailand dengan Jepang serta hubungan perdagangan bilateral Thailand dengan Amerika Serikat. Sementara hubungan perdagangan bilateral antara Thailand dengan Jerman, Inggris, dan Singapura tidak menunjukkan adanya fenomena Jcurve. Hasil yang diperoleh Mohsen Bahmani-Oskooee and Tatchawan Kantipong tersebut sedikit berbeda dengan hasil penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Olugbenga Onafowora (2003). Onafowora menggunakan metode yang berbeda yaitu Vector Error Correction Model (VECM) dan analisis Generalized Impulse Response Function untuk meneliti pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari perubahan nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan riil (fenomena J-Curve) antara tiga Negara di ASEAN (Thailand, Malaysia, dan Indonesia) dalam hubungan perdagangan bilateral dengan Amerika dan Jepang. Dalam analisis ekonometrika ini, Onafowora menggunakan data untuk variabel neraca perdagangan Thailand, Malaysia, dan Indonesia dengan mitra dagangnya yaitu Amerika dan Jepang, PDB riil Thailand PDB riil Malaysia, PDB riil Indonesia, PDB riil Amerika, PDB riil Jepang sebagai menjadi mitra dagangnya, dan nilai tukar riil bilateral secara kuartalan selama periode 1980:Q1 hingga 2001:Q4. Onafowora menemukan bahwa terdapat fenomena J-Curve dalam jangka pendek di dalam hubungan perdagangan bilateral Indonesia dan Malaysia dengan Amerika dan Jepang serta perdagangan bilateral antara Thailand dengan Amerika. Depresiasi nilai tukar riil pada awalnya akan memperburuk neraca perdagangan (paling tidak berlangsung selama 4 kuarter) kemudian dalam jangka panjang akan terjadi peningkatan neraca perdagangan. Sementara kasus hubungan bilateral perdagangan antara Thailand dengan Jepang menunjukkan hasil yang berbeda. Di awal, terjadinya perubahan nilai tukar riil justru akan meningkatkan neraca perdagangan Thailand. Namun saat beberapa waktu neraca perdagangan akan memburuk kemudian akan meningkat lagi. Dengan kata lain, hasil pengujian 17 dampak perubahan nilai tukar terhadap neraca perdagangan anatara Thailand dengan Jepang tidak sesuai dengan hipotesis J-Curve melainkan menunjukkan hasil S-Curve. Penelitian lain yang juga menggunakan VECM sebagai alat analisisnya adalah Suresh, K G;Sreejesh, S (2010) serta Guilherme Moura dan Sergio Da Silva (2005). Keduanya memang menggunakan VECM sebagai model analisisnya, namun ada sedikit variasi terhadap model VECM yang dilakukan oleh Guilherme Moura dan Sergio Da Silva. Suresh, K G,Sreejesh, S (2010) menggunakan uji kointegrasi JohansenJuselius dan VECM untuk menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari volatilitas nilai tukar riil Rupee India dengan Dolar Amerika, Poundsterling dan Euro terhadap ekspor riil bilateral antara India dengan Amerika, Inggris, dan Eropa (11 Negara di Eropa) dalam peiode 1994-2007 (khusus untuk Eropa, data yang digunakan adalah periode 1999-2007). Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar riil memberikan pengaruh yang negatif terhadap ekspor riil antara India dengan Inggris, sementara itu ekspor riil dengan wilayah Eropa mendapatkan pengaruh yang positif. Di sisi lain, pengaruh volatilitas nilai tukar riil terhadap ekspor riil dengan Amerika memberikan pengaruh yang tidak signifikan. Sementara itu, Guilherme Moura dan Sergio Da Silva (2005) menggunakan variasi terhadap VECM yaitu dengan metode Non Linier Markovswitching, VECM untuk menguji fenomena J-curve antara Brazil dengan 16 mitra dagang utamanya yang didasarkan pada analisis pangsa ekspor Brazil pada tahun 2001. Penggunaan metode Non Linier Markov-switching, VECM dimaksudkan untuk menangkap guncangan yang terjadi pada neraca perdagangan Brazil saat periode di bawah sistem pengawasan ketat. Guncangan yang dimaksud disini adalah perubahan rezim nilai tukar, rencana stabilisasi, dan guncangan dari krisis keuangan internasional. Variabel yang diteliti adalah rasio ekspor dan impor Brazil, nilai tukar riil, PDB Brazil, indeks harga konsumen (IHK) Brazil, impor dunia (sebagai acuan untuk penentuan pendapatan di seluruh dunia), dan indeks harga impor dunia. Hasil yang didapat oleh Guilherme Moura dan Sergio Da Silva adalah terbukti bahwa kondisi Marshall-Lerner terjadi pada neraca perdagangan Brazil, namun tidak terbukti terjadinya kurva-J dalam jangka pendek. Artinya, neraca perdagangan Brazil akan meningkat seiring dengan depresiasi nilai tukar. Namun, tidak ada dinamisasi jangka pendek secara temporer akibat dari memburuknya neraca perdagangan ini. Metode analisis VECM juga digunakan oleh Jardine A Hausman (2005) dalam menganalisis kondisi Marshall-Lerner dan menginvestigasi keberadaan Kurva-J dari perdagangan Indonesia dengan 8 mitra dagang utamanya. Hausman menggunakan data secara kuarter dari tahun 1993:Q1 hungga 2004:Q4. Hasil menunjukkan bahwa kondisi Marshall-Lerner tidak terpenuhi untuk kasus perdagangan Indonesia dengan Singapura dan Inggris karena permintaan ekspor dari sisi Indonesia terutama barang-barang konsumsi inelastis. Di sisi lain, fenomena kurva-J hanya ditemui di kasus neraca perdagangan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Artinya, depresiasi Rupiah akan meningkatkan ekspor Indonesia. Hasil estimasi yang didapatkan menunjukkan bahwa 1% depresiasi rupiah hanya akan meningkatkan rasio ekspor-impor sebanyak 0,37%. Angka 18 yang kecil ini mengindikasikan bahwa nilai tukar riil hanya memiliki peran yang kecil bagi performa ekspor Indonesia. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Anju Gupta-Kapoor dan Uma Ramakrishnan (1999). Kedua peneliti ini fokus pada penggunaan alat analisis ekonometrika Error Correction Term (ECM) dan impulse response function untuk menentukan apakah terjadi fenomena J-Curve pada Negara Jepang. Penelitian ini menggunakan data secara kuartalan dalam periode 1975:Q1 hingga 1996:Q4 dimana variable yang digunakan adalah rasio ekspor dan impor Jepang, nilai tukar riil Jepang dengan tujuh mitra dagang utamanya (Amerika, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Italia, dan Korea), PDB Jepang, serta PDB tujuh mitra dagang utama Jepang. Hasil yang didapat oleh Anju Gupta-Kapoor dan Uma Ramakrishnan adalah terdapatnya hubungan jangka panjang antara neraca perdagangan (M/X) dengan nilai tukar Yen. Kapoor dan Ramakrishnan juga menemukan bahwa terdapatnya fenomena J-Curve pada saat Jepang menganut rezim nilai tukar mengambang melalui analisis Impulse Response Function. Setelah mempelajari berbagai litaratur, maka posisi penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sejalan dengan Olugbenga Onafowora (2003) namun diaplikasikan pada kasus perdagangan antara Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya. Penulis melakukan variasi dalam modelnya. Jika model neraca perdagangan (Trade Balance/TB) dalam penelitian Olugbenga Onafowora merupakan fungsi dari pendapatan domestik, pendapatan luar negeri (mitra dagang) dan nilai tukar riil, penulis menambahkan satu variabel yaitu suku bunga (r) sebagai variabel yang juga memiliki hubungan dengan neraca perdagangan. Kerangka Pemikiran Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, penelitian ini lebih khusus ingin melihat fenomena J-Curve: apakah terjadi atau tidak pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya (China, Jepang, dan Amerika Serikat). Neraca perdagangan merupakan selisih antara nilai ekspor dan nilai impor. Namun dalam penelitian ini, nilai neraca perdagangan dihitung dengan rasio ekspor terhadap impor. Hal ini dilakukan karena memungkinkan untuk menggunakan logaritma pada variabel tersebut tanpa memperhatikan apakah nilai ekspor lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai impor. Berdasarkan uraian beberapa teori di sub bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa neraca perdagangan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu PDB Indonesia, PDB mitra dagang (penelitian ini menggunakan data PDB mitra dagang utama Indonesia yaitu China, Jepang, dan Amerika Serikat), dan juga nilai tukar riil secara bilateral. Variabel suku bunga (r) juga dimasukkan sebagai variabel penelitian. Adapun alat analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis Vector Error Correction Model (VECM) untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka panjang). 19 PDB riil Indonesia PDB riil China PDB riil Jepang PDB riil Amerika Serikat Suku bunga di Indonesia Suku bunga di China Suku bunga di Jepang Suku bunga di Amerika Serikat RER Rp/US$ RER Rp/Yuan RER Rp/Yen Neraca Perdagangan (X/M) Ekspor Indonesia-China Indonesia-Jepang Indonesia-Amerika Serikat Impor Indonesia-China Indonesia-Jepang Indonesia-Amerika Serikat Pengaruh variabel dalam jangka pendek (VECM) Pengaruh variabel dalam jangka panjang (VECM) Mashall-Lerner Condition dan Fenomena J-Curve Gambar 7 Kerangka Pemikiran METODOLOGI PENELITIAN Model Penelitian Bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ∆lnTB INA-US(t) = 𝑝 𝑝 β0 + ∑𝑗=1 δj ∆ LnTB INA-US(t-j) + ∑𝑗=1 λj ∆ lnY INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 φj ∆ lnY US(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Øj ∆ lnRER_RPUS t-j + p 𝑝 ∑𝑗=1 αj ∆ lnR_INA (t-j) + ∑𝑗=1 γj ∆ lnR _ US (t-j) + 𝑝 𝑝 ∑𝑗=1 Πj ∆ Dummy08 + CointEq [ ∑𝑗=1 Ln TB INA-US(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿n Y INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿nY US(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 LnRER_RPUS t-j + ∑p𝑗=1 LnR_INA (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 LnR _ US (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Dummy08] + ε t -1 20 Bilateral antara Indonesia dengan Jepang ∆lnTB INA-JPN(t) = 𝑝 𝑝 β0 + ∑𝑗=1 δj ∆ LnTB INA-JPN(t-j) + ∑𝑗=1 λj ∆ lnY INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 φj ∆ lnY JPN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Øj ∆ lnRER_RPYEN t-j + p 𝑝 ∑𝑗=1 αj ∆ lnR_INA (t-j) + ∑𝑗=1 γj ∆ lnR _ JPN (t-j) + CointEq [∑𝑝𝑗=1 LnTB INA-JPN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿n Y INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿nY JPN(t-j) + p ∑𝑝𝑗=1 Ln RER_RPYEN t-j + ∑𝑗=1 Ln R_INA (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 LnR _ JPN (t-j) ] + ε t -1 Bilateral antara Indonesia dengan China ∆lnTB INA-CHN(t) Dimana: = 𝑝 𝑝 β0 + ∑𝑗=1 δj ∆ LnTB INA-CHN(t-j) + ∑𝑗=1 λj ∆ lnY INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 φj ∆ lnY CHN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 Øj ∆ lnRER_RPYUAN t-j + ∑p𝑗=1 αj ∆ lnR_INA (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 γj ∆ lnR _ CHN (t-j) + CointEq [∑𝑝𝑗=1 LnTB INA-CHN(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿n Y INA(t-j) + ∑𝑝𝑗=1 𝐿nY CHN(t-j) + p ∑𝑝𝑗=1 Ln RER_RPYUAN t-j + ∑𝑗=1 Ln R_INA (t-j) + ∑𝑝𝑗=1 LnR _ CHN (t-j) ] + ε t -1 β0 TB INAUS = Intersep = Neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat = Neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang TB INAJPN TB INACHN = Neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China Y INA = PDB riil Indonesia Y US = PDB riil Amerika Serikat Y JPN = PDB riil Jepang = PDB riil China Y CHN RER_RPUS = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika RER_RPYEN = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Yen RER_RPYUAN = Nilai tukar riil Rupiah terhadap Yuan R_INA = suku bunga di Indonesia R_US = suku bunga di Amerika Serikat R_JPN = suku bunga di Jepang R_CHN = suku bunga di China Dummy08 = Dummy krisis global tahun 2008 (D=0 untuk sebelum krisis, dan D=1 untuk saat dan setelah terjadinya krisis) ε t-1 = Error Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari International Financial Statistic (IFS), World Bank (WB), FX Sauder, dan Kementrian Perdagangan dalam bentuk time series secara kuartalan dari tahun 1996:Q1 hingga tahun 2011:Q4. Variabel-variabel ekonomi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah neraca perdagangan (TB) antara Indonesia 21 dengan China, Jepang, Amerika, dan Singapura, Real Exchange Rate (RER) secara bilateral, PDB riil (Y) serta suku bunga (R) masing-masing negara (Indonesia, China, Jepang, dan Amerika). Untuk mencari studi pustaka maka peneliti melakukan pengumpulan literatur berupa kumpulan materi jurnal, artikel, dan buku-buku yang relevan sebagai sumber literatur penelitian. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan metode analisis yang bersifat deskriptif dan kuantitatif. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Vector Autoregression (VAR) apabila data yang digunakan stasioner pada level. Namun bila data belum stasioner pada tingkat level maka dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM). Semua data dalam penelitian ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali untuk variabel suku bunga. Data-data tersebut diolah menggunakan perangkat lunak (software) Microsoft Excel 2010 dan Eviews 6. Vector Autoregression (VAR) Pada tahun 1980, christoper Sims memperkenalkan sebuah macroeconomics framework yang menjanjikan, yakni Vector Auto Regression (VAR). Stock dan Watson dalam Firdaus (2011) memaparkan bahwa jika sebelumnya univariate autoregression merupakan sebuah persamaan tunggal (single equation) dengan model linier variabel tunggal (Single-variable linier model), dimana nilai sekarang dari masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lag-nya sendiri, maka VAR merupakan n-persamaan (n-equation) dengan nvariabel (n-variable), dimana masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lagnya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (current and past values). Dengan demikian, dalam konteks ekonometrika modern VAR termasuk ke dalam multivariate time series analysis (Firdaus, 2011). VAR menyediakan cara yang sistematis untuk menangkap perubahan yang dinamis dalam multiple time series, serta memilki pendekatan yang kredibel dan mudah untuk dipahami bagi pendeskripsian data, forecasting (peramalan), inferensi structural, serta analisis kebijakan. Alat analisa yang disediakan oleh VAR bagi deskripsi data, peramalan, inferensi structural, dan analisis kebijakan melalui empat macam penggunaannya, yakni Forecasting, Impulse Response Function (IRF), Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), dan Granger Causality test (Firdaus, 2011). 22 Vector Error Correction Model (VECM) Vector Error Correction Model atau VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi Enders (2007) dalam Firdaus (2011). Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series non stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang (Firdaus, 2011). Uji Stasioneritas Data Uji stasioneritas sangat penting dalam analisis time series. Pengujian stasioneritas ini dilakukan dengan menguji akar-akar unit atau unit root test. Data yang tidak stasioner akan mempunyai akar-akar unit, sebaliknya data yang stasioner tidak ada akar-akar unit. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan regresi lancung (spurious regression) yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak atau tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut. Menurut Gujarati (2003), ADF dapat diuji dengan persamaan sebagai berikut: (28) ∆Y t = β 1 + β 2 t + δY t-1 + α t + ∑m 𝑖=1 ∆Y t-i +ε t dimana ε t = pure white noise error term, ∆Y t-i = (Yt- 1 , Y t-2 ) dan seterusnya. Selain itu, perlu dilakukan juga uji nilai t-statistik dan estimasi δ, untuk mengetahui apakah data time series bersifat stasioner atau tidak. Uji statistik memiliki rumus sebagai berikut: t hit = δ / S δ (29) dimana δ adalah nilai dugaan dan S δ adalah simpangan baku dari δ. Pengujian hipotesis yaitu H 0 = δ = 0 (tidak stasioner) dan hipotesis alternatifnya yaitu H 1 = δ < 0 (stasioner). Apabila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai statistik ADF, maka hasil yang didapat adalah tolak H 0 . Dimana, jika H 0 ditolak, maka data yang digunakan bersifat stasioner atau tidak mengandung unit root, dan begitu juga sebaliknya. Uji Lag Optimal Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunkaan dalam model. Pengujian panjang lag optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), Final Prediction Error (FPE), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Setelah didapatkan lag yang optimal maka pendekatan VECM ordo lag tersebut akan dikurangi satu menjadi (k-1) sebagai tahapan untuk memperoleh rank kointegrasi berdasarkan pengujian Johansen yang akan diset sebagai persamaan kointegrasi jangka panjang (Firdaus 2011). 23 Uji Stabilitas VAR Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polynomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua akar dari fungsi polynomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil sehingga Impulse Response Function (IRF) dan Forecasting Error Variance Decomposition (FEVD) yang dihasilkan dianggap valid (Firdaus, 2011). Uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger (1987) sebagai kombinasi linier dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linier ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretassikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel. Dalam penelitian ini, Johanssen Cointegration Test digunakan untuk membantu mendeteksi hubungan jangka panjang antara variabel independen dengan variabel dependennya. Hal yang perlu diingat dalam uji kointegrasi adalah data series yang kita miliki harus bersifat tidak stasioner. Hipotesis nol dalam uji ini adalah tidak ada kointegrasi. Jika dalam pengujian menghasilkan nilai trace statistic yang lebih besar dibandingkan dengan critical value (trace statistic > critical value), maka tolak hipotesis awal atau dengan kata lain persamaan tersebut terkointegrasi. Setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis dilanjutkan dengan analisis Vector Error Correction Model (VECM) (Firdaus, 2011). Impulse Response Function (IRF) Impuls Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan respons suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu. Hal ini dikarenakan shock variabel misalnya ke-i itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VECM. Dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan di masa yang akan datang. Sementara itu IRF bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik yang artinya suatu variabel dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu. Apabila suatu variabel tidak dapat dipengaruhi oleh shock, maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum (Firdaus, 2011). Dalam penelitian ini, penggunaan impulse response function adalah untuk mengestimasi fenomena J-Curve masing-masing negara. Impulse response function akan menunjukkan bagaimana respon neraca perdagangan bilateral saat ini dan masa yang akan datang akibat adanya perubahan dalam nilai tukar riil. 24 Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Metode FEVD dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR/VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang (Firdaus, 2011). FEVD merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Dalam penelitian ini, penggunaan metode FEVD yang utama adalah untuk mengestimasi kontribusi perubahan faktor-faktor pengaruh neraca perdagangan terutama niali tukar efektif riil terhadap peramalan galat dari neraca perdagangan. GAMBARAN UMUM NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Gambaran Umum Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Neraca perdagangan secara bilateral dengan mitra dagang utamanya menunjukkan pergerakan yang fluktuatif. Neraca perdagangan mencerminkan kinerja ekspor dan impor keseluruhan komoditas. Secara umum dapat dikatakan bahwa neraca perdagangan Indonesia dari tahun 1996 hingga tahun 2011 memiliki pergerakan yang fluktuatif dan memiliki trend yang positif, kecuali pada neraca perdagangan bilateral dengan China. Pergerakan neraca perdagangan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 8. 20.00 Jepang 15.00 China 5.00 TAHUN 0.00 -5.00 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 MILYAR US$ Amerika Serikat 10.00 -10.00 Gambar 8 Perkembangan neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya selama periode 1996-2011 Sumber : International Financial Statistic (2013), diolah 25 Pada periode tersebut, nilai neraca perdagangan secara bilateral dengan Jepang memiliki nilai tertinggi pada tahun 2007 sebesar US$ 17,11 M. surplus neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang meningkat sebanyak 5,49 % dari tahun 2006. Pada tahun 2008, nilai neraca perdagangan secara total turun 26,26 % menjadi sebesar US$ 12,61 M. Kemudian pada tahun 2009, nilai neraca perdagangan terus menurun, bahkan lebih buruk yakni turun sebanyak 30,79 %, hingga sebesar US$ 8,73 M. Penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2008 ini diakibatkan oleh tetap tingginya nilai impor Indonesia dari Jepang walaupun kinerja ekspor menunjukkan kondisi yang baik. Ekspor pada tahun 2008 meningkat 17,39% dari US$ 23,63 M menjadi US$ 27,74 M karena nilai rupiah secara riil mengalami depresiasi dari Rp 68,25/Yen menjadi 91,32/Yen. Namun, kenaikan nilai ekspor ini juga diikuti oleh kenaikan nilai impor yang lebih tinggi. Impor Indonesia dari Jepang meningkat 131,80% dari US$ 6,53 M menjadi 15,13 M. Lain halnya dengan penurunan nilai neraca perdagangan pada tahun 2009. Menurunnya nilai neraca perdagangan ini diakibatkan oleh buruknya kinerja ekspor Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang menurun 33,05% dari US$ 27,74 M pada tahun 2008 menjadi US$ 18,57 M pada tahun 2009. Penurunan nilai ekspor ini disebabkan oleh rupiah yang terapresiasi dari Rp 91,32/Yen di tahun 2008 menjadi Rp 74,67/Yen di tahun 2009. Pada tahun 2010, Indonesia mulai dapat memperbaiki kondisi neraca perdagangannya dengan Jepang. Hingga di tahun 2011, nilai neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang mencapai US$ 14,28 M atau meningkat sebanyak 61,96 % dari tahun 2010 (US$ 8,82 M) . Nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat selama periode 1996-2011 memiliki trend yang positif. Nilai neraca perdagangan yang tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar US$ 7,19 M. Nilai ini meningkat sebanyak 19,81 % dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar US$ 6 M. Pada tahun berikutnya, neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat terus menurun hingga tahun 2009. Nilai neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat di tahun 2009 turun sebanyak 26,77 % menjadi sebesar US$ 3,78 M dari US$ 5,18 M di tahun 2008. Penurunan nilai neraca perdagangan ini diakibatkan oleh penurunan nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Pada saat itu, kinerja ekspor memburuk karena nilai rupiah secara riil terapresiasi terhadap dolar dari Rp 8.363/US$ pada tahun 2006 menjadi Rp 8.063/US$ pada tahun 2007 dan Rp 8.059/US$ pada tahun 2008. Namun, pada tahun 2009, nilai rupiah secara riil terdepresiasi menjadi Rp 8.233/US$. Sehingga, penyebab menurunnya nilai neraca perdagangan pada tahun 2009 bukan dipengaruhi oleh nilai tukar melainkan oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat terus membaik hingga pada tahun 2011, nilai neraca perdagangan mencapai US$ 5,66 M atau meningkat 15,92% dari tahun 2010 (US$ 4,88 M). Nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China memiliki trend yang negatif (menurun). Selama periode 1996-2011, nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar US$ 1,71 M. Pada tahun berikutnya, nilai neraca perdagangan ini terus menurun karena walaupun nilai ekspor terus meningkat akibat rupiah terdepresiasi, namun nilai impor Indonesia dari China juga ikut terus meningkat. 26 Kondisi neraca perdagangan Indonesia dengan China pada tahun 2008 turun drastis sebanyak 423,24% yaitu dari US$ 1,12 M pada tahun 2007 menjadi US$ -3,61 M di tahun 2008. Nilai neraca perdagangan sempat membaik pada tahun 2009 karena Indonesia bisa menekan nilai impornya yaitu US$ 15,24 M pada tahun 2008 menjadi US$ 14 M pada tahun 2009. Namun pada tahun 2010, nilai neraca perdagangan kembali memburuk sebesar (-US$ 4,73 M). Nilai ini adalah yang nilai neraca perdagangan Indonesia dengan China terburuk sepanjang periode 1996-2011. Hal ini terjadi karena rupiah terapresiasi dari Rp 1.225/Yuan pada tahun 2009 menjadi Rp 1.063/Yuan pada tahun 2010. Indonesia mulai meperbaiki neraca perdagangannya dengan China di tahun 2011 dengan meningkatkan nilai ekspornya dari US$ 15,62 M pada tahun 2010 menjadi US$ 22,94 M. Kenaikan ekspor ini memperbaiki neraca perdagangan hingga menjadi sebesar (-US$ 3,27 M) pada tahun 2011 walaupun pada kenyataannya impor Indonesia dari China juga meningkat pada tahun tersebut. Namun peningkatan impor ini tidak sebesar peningkatan ekspornya. Gambaran Umum Komoditas Utama Dalam Kegiatan EksporImpor Antara Indonesia Dengan Ketiga Mitra Dagang Utama Dalam Lima Tahun Terakhir (Periode 2006-2011) Berdasarkan sisitem HS 1996 (2 digit), jenis barang atau komoditas yang diekspor ke negara tujuan utama cukup bervariasi antara negara yang satu dengan lainnya (Lampiran 1). Komoditas ekspor ke pasar Amerika Serikat yang dominan dalam lima tahun terakhir (2006-2011) adalah Karet perkebunan dan pakaian dengan pangsa ekspor masing-masing sebesar 14,28% dan 12,53% dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Komoditas peralatan mesin dan elektronik berada di urutan ketiga dengan pangsa ekspor 8,25% dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Diurutan keempat dan kelima terdapat komoditas barang tambang serta budidaya ikan dan sejenisnya dengan pangsa pasar 5,20% dan 4,27% dari total ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Untuk pasar Jepang, ekspor lebih berupa komoditas barang tambang dan bijih besi dengan pangsa ekspor masing-masing 51,52% dan 8,13% dari total ekspor Indonesia ke Jepang. Sementara komoditas nikel menjadi komoditas ketiga yang paling banyak diekspor Indonesia ke pasar Jepang dengan pangsa 5,32% dari total ekspor Indonesia ke Jepang. Diurutan keempat dan kelima terdapat komoditas karet serta mesin dan peralatan dengan pangsa pasar 4,68% dan 4,51% dari total ekspor Indonesia ke Jepang. Sedangkan untuk pasar China, barang tambang serta lemak dan minyak hewani serta nabati merupakan komoditas ekspor yang dominan dengan pangsa ekspor masing-masing sebesar 38,36% dan 15,49% dari total ekspor Indonesia ke China. Sementara komoditas karet menjadi komoditas ketiga yang paling banyak diekspor Indonesia ke pasar China dengan pangsa 8,15% dari total ekspor Indonesia ke China. Diurutan keempat dan kelima terdapat komoditas bijih dan kimia organik dengan pangsa pasar masing-masing 7,12% dan 5,16% dari total ekspor Indonesia ke China. Berdasarkan sistem HS 1996 (2 digit), komoditas yang diimpor dari negara mitra dagang utama juga cukup bervariasi antara negara yang satu dengan lainnya 27 (Lampiran 2). Komoditas yang diimpor dari pasar Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir (2006-2011) adalah mesin pemanas serta pesawat dengan pangsa impor masing-masing sebesar 16,85% dan 16,81% dari total impor Indonesia yang berasal dari Amerika Serikat. Sementara, komoditas yang diimpor oleh Indonesia dari pasar Jepang berupa komoditas mesin pemanas dan kendaraan dengan pangsa impor masingmasing 30,52% dan 14,29% dari total impor Indonesia yang berasal dari Jepang. Sedangkan untuk pasar China, komoditas mesin pemanas serta mesin-mesin listrik merupakan komoditas impor yang dominan dengan pangsa masing-masing sebesar 21,54% dan 18,30% dari total impor Indonesia yang berasal dari China. Gambaran Umum GDP Riil Mitra Dagang Utama Indonesia Selama periode 1996-2011, GDP riil Amerika Serikat, China, dan Jepang, menunjukkan trend yang positif. Seperti halnya Indonesia, Krisis Asia juga berdampak pada perekonomian Jepang (Gambar 9). Pada tahun 1997, GDP riil Jepang meningkat dari tahun sebelumnya hingga mencapai ¥ 474,57 T. Ketika terjadi Krisis Asia pada akhir 1997, perekonomian Jepang mengalami penurunan walaupun tidak drastis. Hal ini dapat dilihat dari GDP riil pada tahun 1998 yang turun 2,15% menjadi ¥ 464,27 T. 540.00 Trillions Yen 520.00 500.00 480.00 460.00 440.00 2011:Q1 2010:Q1 2009:Q1 2008:Q1 2007:Q1 2006:Q1 2005:Q1 2004:Q1 2003:Q1 2002:Q1 2001:Q1 2000:Q1 1999:Q1 1998:Q1 1997:Q1 1996:Q1 420.00 Tahun Gambar 9 Perkembangan PDB riil Jepang triwulanan selama periode 1996-2011 Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah Pada tahun-tahun berikutnya, Krisis Asia sudah mulai mereda dan perekonomian Jepang secara perlahan mulai membaik. GDP riil Jepang terus bergerak secara positif atau meningkat hingga mencapai ¥ 523,61 T pada tahun 2007. Namun, pada tahun 2008-2009, perekonomian Jepang kembali mengalami guncangan. GDP riil Jepang pada tahun 2009 turun sebanyak 5,51% dari tahun 2008 hingga mencapai ¥ 489,38 T. Setelah mengalami guncangan di tahun 20082009, Jepang kembali memperbaiki perekonomiannya. Hal ini ditandai dengan 28 meningkatnya GDP riil jepang di tahun 2010 sebanyak 4,55% hingga mencapai ¥ 511,66 T. Namun, nilai GDP riil Jepang pada tahun 2011 kembali turun sebanyak 0,94% dibandingkan tahun 2010 yakni sebesar ¥ 506,84 T. meskipun demikian, penurunan GDP riil ini tidak seburuk yang terjadi pada tahun 2009. China merupakan bagian dari Asia. Namun ketika Krisis Asia terjadi, China tidak mengalami dampak buruknya seperti Indonesia, Jepang, dan Singapura. Pergerakan GDP riil China pada periode 1996-2011 terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1997, GDP riil China sebesar CNY 9,23 T. nilai meningkat 9,29% dari tahun 1996 (CNY 8,44 T). Kemudian, Krisis Asia terjadi di akhir tahun 1997. Perekonomian China tidak mengalami guncangan karena Krisis tersebut. Hal ini dapat dilihat dari GDP riil China di tahun 1998 tetap meningkat sebesar 7,83% dibanding tahun 1997 yaitu menjadi sebesar CNY 9,95 T. Pada tahun 2011, GDP riil China berada di posisi CNY 34,36 T. Nilai ini meningkat 9,35% dari tahun 2010 (CNY 31,43 T). Perkembangan GDP riil China dapat dilihat pada Gambar 10. 40.00 35.00 Trillions Yuan 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 Tahun 2011:Q1 2010:Q1 2009:Q1 2008:Q1 2007:Q1 2006:Q1 2005:Q1 2004:Q1 2003:Q1 2002:Q1 2001:Q1 2000:Q1 1999:Q1 1998:Q1 1997:Q1 1996:Q1 0.00 Gambar 10 Perkembangan PDB riil China triwulanan selama periode 1996-2011 Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah Perkembangan GDP riil Amerika Serikat periode 1996-2011 secara umum memiliki trend yang positif. Pada tahun 1997, nilai GDP riil Amerika Serikat adalah US$ 9,84 T. Nilai ini meningkat 4,46% dibandingkan dengan tahun 1996 yaitu sebesar US$ 9,42 T. Pada tahun-tahun berikutnya, kondisi perekonomian Amerika Serikat semakin membaik. Pendapatan Amerika Serikat meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008, Amerika Serikat mengalami krisis “Subprime Mortgage”. Krisis ini timbul karena ada kegagalan dalam mengelola Kredit Perumahan Rakyat (KPR). Pada awal tahun 2004, suku bunga dollar AS atau sering disebut Fed Funds Target Rate (FFTR) hanya 1%, sehingga pada debitor subprime (nasabah yang keadaan ekonominya tidak stabil) masih mampu mencicil KPR. Krisis terjadi ketika bank sentral AS menaikkan FFTR dari 1% pada Mei 2004 menjadi 5.25% pada Juni 2006. Akibatnya para debitur subprime, yang pada umumnya memang berpenghasilan kecil mulai mengalami gagal bayar dan 29 menunggak KPR-nya dalam skala yang besar. Pada saat yang hampir bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh. Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di antaranya gulung tikar. Akibat dari krisis “Subprime Mortgage” adalah GDP riil Amerika Serikat pada tahun 2008 turun 0,34% dari tahun 2007 menjadi US$ 13,21 T. sedangkan GDP riil Amerika Serikat pada tahun 2009 turun sebanyak 3,07% dari tahun 2008 yakni menjadi US$ 12,76 T. Pada tahun berikutnya, krisis tersebut mulai mereda dan perekonomian Amerika Serikat kembali membaik. GDP riil Amerika Serikat pada tahun 2011 mencapai US$ 13,29 T atau telah meningkat 4,24% dibandingkan dengan GDP riil di tahun 2009. Perkembangan GDP riil Amerika Serikat dapat dilihat pada Gambar 11. 16.00 14.00 Trillions US$ 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 Tahun 2011:Q1 2010:Q1 2009:Q1 2008:Q1 2007:Q1 2006:Q1 2005:Q1 2004:Q1 2003:Q1 2002:Q1 2001:Q1 2000:Q1 1999:Q1 1998:Q1 1997:Q1 1996:Q1 0.00 Gambar 11 Perkembangan PDB riil Amerika Serikat triwulanan selama periode 1996-2011 Sumber : International Financial Statistic (2013), diolah Gambaran Umum GDP Riil Indonesia GDP riil Indonesia secara umum mengalami pergerakan yang positif (Gambar 12). Pada tahun 1996, GDP riil Indonesia berada pada posisi sebesar Rp 2.287,35 T kemudian meningkat menjadi Rp 2.397,10 T pada tahun 1997. Namun pada periode berikutnya, krisis moneter yang melanda hampir seluruh negara Asia termasuk Indonesia memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini ditandai dengan semakin menurunnya GDP riil Indonesia. Pada tahun 1998 GDP riil Indonesia turun sebanyak 13,01% menjadi sebesar Rp 2.085,29 T sebagai akibat dari Krisis Asia yang terjadi pada waktu itu. Pada tahun berikutnya, Krisis Asia ini mulai mereda dan Indonesia mulai memperbaiki kondisi perekonomiannya secara perlahan. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan GDP riil Indonesia setiap tahunnya. Pada tahun 2011, GDP riil Indonesia mencapai Rp 3.903,16 T atau meningkat sebanyak 6,46% dari tahun 2010 (Rp 3.666,42 T). 30 1,200.00 Trillions Rp 1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 Tahun 2011:Q1 2010:Q1 2009:Q1 2008:Q1 2007:Q1 2006:Q1 2005:Q1 2004:Q1 2003:Q1 2002:Q1 2001:Q1 2000:Q1 1999:Q1 1998:Q1 1997:Q1 1996:Q1 0.00 Gambar 12 Perkembangan PDB riil Indonesia triwulanan selama periode 19962011 Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah Gambaran Umum Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Mata Uang Negara Yang Menjadi Mitra Dagang Utama Indonesia Pada akhir 1997, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak dari Krisis Asia. Krisis ini bermula dari jatuhnya nilai mata uang Bath Thailand. Nilai tukar riil rupiah mulai mengalami guncangan dan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia seperti tingkat inflasi yang tinggi, tingkat pengangguran yang tinggi, serta tingkat prtumbuhan ekonomi yang rendah. Sejak saat itu lah sistem nilai tukar Indonesia berganti. Nilai rupiah riil di akhir tahun 1997 sangat terdepresiasi terhadap mata uang negara asing (dalam hal ini US$, Yuan, dan Yen). Nilai rupiah riil terdepresiasi dari Rp 6.204,57/US$ menjadi Rp 11.575,76/US$ di tahun 1997, dari Rp 67,86/Yen menjadi Rp 111.63/Yen, dan dari Rp 1.003,93/Yuan menjadi Rp 1.942,45/Yuan. Nilai tukar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi neraca perdagangan suatu negara. Sejak Krisis Asia yang terjadi pada akhir yahun 1997, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain (dalam hal ini US$, Yuan, dan Yen) bergerak secara fluktuatif dikarenakan sistem nilai tukar berganti yang semula sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate) menjadi sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Setelah sistem nilai tukar berganti, pergerakan nilai tukar riil rupiah terhadap mata uang negara lain menjadi fluktuatif (depresiasi atau apresiasi). Nilai tukar riil rupiah ini bergerak mengikuti mekanisme pasar. Hingga pada tahun 2011, posisi nilai tukar rupiah riil terhadap mata uang Amerika, China, dan Jepang secara berturut-turut adalah Rp 6.732,74/US$, Rp 1.100,73/Yuan, dan Rp 74,13/Yen. Perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara mitra dagang utama Indonesia dapat dilihat pada Gambar 13. 31 Rp/US$, Rp/Yuan Rp/Yen 25,000.00 250.00 20,000.00 200.00 15,000.00 150.00 10,000.00 100.00 5,000.00 50.00 0.00 Rp/US$ Rp/Yuan Rp/Yen 1996:Q1 1997:Q1 1998:Q1 1999:Q1 2000:Q1 2001:Q1 2002:Q1 2003:Q1 2004:Q1 2005:Q1 2006:Q1 2007:Q1 2008:Q1 2009:Q1 2010:Q1 2011:Q1 0.00 Tahun Gambar 13 Perkembangan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara yang menjadi mitra dagang utama Indonesia triwulanan selama periode 1996-2011 Sumber: FX Sauder (2013), diolah Gambaran Umum Suku Bunga Suku bunga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi laju neraca perdagangan. Suku bunga domestik akan berhubungan positif dengan neraca perdagangan. Sementara suku bunga luar negeri akan berhubungan negative dengan neraca perdagangan. Dengan naiknya suku bunga domestik (dalam hal ini Indonesia), maka neraca perdagangan akan meningkat karena permintaan inestasi menurun (NX= S - I). Perkembangan suku bunga di empat negara dapat dilihat pada Gambar 14. Untuk kasus Indonesia, peningkatan suku bunga yang cukup tinggi terjadi pada saat terjadi kriris yaitu tahun 1997 yang mencapai 20% bahkan pada tahun 1998, tingkat suku bunga mencapai 38.44%. Kenaikan ini terjadi karena adanya ekspektasi inflasi yang cukup tinggi serta melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pasca krisis moneter, BI selaku otoritas moneter mulai menurunkan tingkat suku bunga, Penurunan tingkat suku bunga ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi makroekonomi yang mulai stabil yang tercermin pada perkembangan nilai tukar, tingkat inflasi, dan kondisi moneter. Sejak tahun 1998, tingkat suku bunga di Indonesia bergerak secara fluktuatif. Posisi tingkat suku bunga di Indonesia pada tahun 2011 yaitu 6%. Sementara, Negara China dan Jepang yang merupakan bagian dari Asia tidak mengalami peningkatan suku bunga seperti yang terjadi di Indonesia. Tingkat suku bunga di China dan Jepang pada tahun 1997 masing-masing yaitu sebesar 8.55% dan 0.5%. Pada tahun 1998, suku bunga di China menurun menjadi 4.59% sementara suku bunga di Jepang tetap berada di posisi 0.5%. 32 R_INA, R_CHN, R_US (%) R_JPN (%) 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2011:Q1 2010:Q1 2009:Q1 2008:Q1 2007:Q1 2006:Q1 2005:Q1 2004:Q1 2003:Q1 2002:Q1 2001:Q1 2000:Q1 1999:Q1 1998:Q1 1997:Q1 1996:Q1 80 70 60 50 40 30 20 10 0 R_INA R_CHN R_US R_JPN Tahun Gambar 14 Perkembangan suku bunga di empat negara triwulanan selama periode 1996-2011 Sumber: International Financial Statistic (2013), diolah Jika dilihat pergerakannya selama periode 1996 hingga 2011, tingkat suku bunga di China dan Jepang memang bergerak fluktuatif namun tidak terlalu ekstrim. Rata-rata pergerakan tingkat suku bunga di China selama periode 1996 hingga 2011 yaitu 3.92%, sementara rata-rata tingkat suku bunga lebih rendah yakni 0.33%. Pada tahun 2011, posisi tingkat suku bunga di China yaitu sebesar 3.25% dan di Jepang sebesar 0.3%. Di lain pihak, pergerakan tingkat suku bunga di Amerika Serikat lebih fluktuatif dibandingkan dengan pergerakan tingkat suku bunga di China dan di Jepang. Titik tertinggi dari tingkat suku bunga di Amerika berada di tahun 1997 dengan nilai 5.5%. Sementara titik terendah berada di sepanjang tahun 2009 hingga 2011 dengan nilai 0.125%. Rata-rata pergerakan tingkat suku bunga di Amerika Serikat selama periode 1996 hingga 2011 yakni sebesar 3.024%. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Stasionaritas Data Uji yang pertama dilakukan dalam analisis data adalah uji kestasioneran data. Untuk mengetahui kestasioneran data diperlukan uji akar unit (unit root test). Jika suatu variabel pada data level mempunyai suatu unit root, maka variabel tersebut nonstasioner. Selanjutnya dilakukan pengujian pada first difference dan seterusnya hingga diperoleh data yang stasioner. Metode yang digunakan untuk melakukan unit root test adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Untuk menentukan bahwa suatu series mempunyai unit root atau tidak, maka diperlukan pembandingan antara nilai t-statistik ADF dengan nilai ADF tabel. Suatu variabel akan memiliki unit root (tidak stasioner) apabila t-statistik ADF lebih kecil daripada nilai kritis ADF tabel dengan tingkat 33 signifikansi tertentu. Nilai kritis yang digunakan sebagai batas pengujian statistik tersebut adalah nilai kritis MacKinnon dengan batasan nilai α < 5%. Hasil uji ADF untuk setiap variabel pada data time series pada tingkat level dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil uji akar unit yang dapat dilihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir semua variabel bersifat tidak stasioner pada tingkat level. Ini dapat dilihat dari nilai ADF t-statistic dari beberapa variabel tersebut yang nilainya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5%. Hanya variabel GDP riil Indonesia dan suku bunga Indonesia yang bersifat stasioner pada level dengan taraf nyata 5%. Tabel 2 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat level Nilai kritis MacKinnon Nilai ADF Variabel t-statistic 1% 5% 10% LTBina-us Probability -1.553943 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.7993 -1.907200 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.6391 -2.750838 -3.538362 -2.908420 -2.591799 0.0713 -6.050031 -4.127338 -3.490662 -3.173943 0.0000 LYus -1.567534 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7945 LYjpn -2.741213 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.2244 LYchn -1.654140 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7597 LR_ina -4.478199 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.0036 LR_us -2.481855 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.3358 LR_jpn -1.702146 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7388 LR_chn -2.634777 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2669 -2.806666 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2005 -2.688139 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2450 -2.809245 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.1996 -1.714395 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7333 LTBinajpn LTBinachn LYina LRER_ RPUS LRER_ RPYEN LRER_ RPYUAN Dummy 08 Keterangan Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner * Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner * Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Tidak stasioner Sumber: Lampiran 3 Keterangan: tanda asterik (*) menandakan variabel signifikan pada taraf 5 persen Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah uji akar unit pada tingkat first difference. Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat satu) dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel sudah bersifat stasioner mengingat pada tingkat level (I(0)) hampir semua data time series bersifat tidak stasioner pada taraf 34 nyata 5%. Berikut hasil uji ADF semua variabel pada tingkat derajat satu (I(1)) yang terangkum dalam Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa semua variabel bersifat stasioner pada tingkat derajat satu (I(1)). Hal ini dapat dianalisis dengan melihat nilai t-statistik ADF dari semua variabel yang ada bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon dimana taraf nyata yang digunakan dalam penelitian itu adalah 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat satu (I(1)). Tabel 3 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat first difference Nilai kritis Mac Kinnon Nilai ADF Variabel probability t-statistic 1% 5% 10% ∆LTB -7.387719 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.0000 ina-us ∆LTB -7.763835 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 ina-jpn ∆LTB -10.34039 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.0000 ina-chn ∆LREER -5.881675 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.0000 ∆LYina -3.906780 -4.124265 -3.489228 -3.173114 0.0179 ∆LYus -5.064816 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0006 ∆LYjpn -5.794282 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 ∆LYchn -6.032995 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 ∆LR_ina -4.736812 -4.124265 -3.489228 -3.173114 0.0017 ∆LR_us -3.913621 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0172 ∆LR_jpn -3.995483 -4.115684 -3.485218 -3.170793 0.0139 ∆LR_chn -8.217323 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 ∆ LRER_ -5.709130 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0001 RPUS ∆ LRER_ -6.355737 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 RPYEN ∆ LRER_ -5.560526 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0001 RPYUAN ∆Dummy08 -7.935903 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Keterangan Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Sumber: Lampiran 4 Pengujian Lag Optimal Sebelum dilakukan uji kointegrasi, terlebih dahulu dilakukan pemilihan panjang lag yang optimal. Penetapan lag optimal bertujuan untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah system VAR (Firdaus, 2011). Ada lima kriteria yang dapat membantu menentukan panjang lag optimal, yaitu Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Namun, kriteria yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dengan mengambil nilai AIC yang paling kecil. Lag 35 optimum yang diperoleh yaitu lag 2 untuk model bilateral Indonesia dengan dua mitra dagang utamanya (Amerika Serikat dan China). Sementara untuk model bilateral Indonesia dengan Jepang, lag yang digunakan adalah lag 3. Hasil penetapan lag optimum dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji Stabilitas VAR Panjang lag yang telah diperoleh pada uji lag optimum di atas selanjutnya akan diuji stabilitasnya sebelum masuk pada tahapan analisis lebih jauh lagi. Uji stabilitas VAR perlu dilakukan untuk memastikan bahwa model yang digunakan akan menghasilkan IRF dan FEVD yang valid dan konsisten. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polynomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua akar fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil. Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil. Hasil uji stabilitas VAR dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji stabilitas VAR Model Bilateral Indonesia – Amerika Serikat Indonesia – China Indonesia – Jepang Sumber: Lampiran 6 Kisaran Modulus 0.294758 - 0.966801 0.031888 - 0.999762 0.362618 - 0.995140 Uji Kointegrasi Berdasarkan hasil pengujian kestasioneran data menunjukkan bahwa tidak semua data stasioner pada tingkat level, melainkan stasioner pada first difference. Data yang stasioner pada first difference kemungkinan besar menggunakan metode VAR first difference atau VECM. Oleh karena itu perlu dilakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi hubungan jangka panjang. Uji ini dilakukan dengan menggunakan Johansen Trace Statsistic test yaitu dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang digunakan, yaitu 5 persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value 5%, maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Berdasarkan uji kointegrasi (Lampiran 7), hasil estimasi memberikan gambaran bahwa untuk masing-masing model bilateral terdapat lebih dari satu kointegrasi pada taraf nyata 5 persen. Untuk model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (US), hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat 6 persamaan kointegrasi. Sementara untuk model bilateral Indonesia dengan China dan Indonesia dengan Jepang, hasil estimasi masing-masing menunjukkan bahwa terdapat 4 persamaan kointegrasi. Dengan adanya kointegrasi dan tidak stasionernya variabel yang digunakan pada level, maka metode VECM akan dipilih sebagai alat estimasi untuk menjawab tujuan penelitian. 36 Hasil Estimasi VECM VECM merupakan bentuk VAR terestriksi. Restriksi tambahan ini dilakukan karena adanya data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM mampu melihat hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Dengan kata lain, estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Penelitian ini menggunakan signifikansi dengan taraf nyata lima persen. Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat Tabel 5 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (TBINAUS), sedangkan variabel independennya adalah PDB Indonesia (Yina), PDB Amerika Serikat (Yus), nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (RER_RPUS), suku bunga domestik (R_INA), suku bunga luar negeri (R_US), dan dummy krisis tahun 2008 (Dummy08). Tabel 5 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Amerika Serikat Variabel Koefisien T-statistik Jangka pendek D(R_US(-3)) -0.143472 -1.98543 D(LRER_RPUS(-1)) 1.230200 2.82105 Cointeq1 -0.926567 -2.23710 Cointeq2 -3.311094 -1.97916 Cointeq3 5.753162 2.03406 Jangka panjang R_US (-1) -0.01588 2.12514 R_INA (-1) 0.007063 8.32041 LRER_RPUS(-1) -0.76565 3.95521 Dummy08 -0.05552 4.79789 C -52.4403 -19.8580 Sumber: Lampiran 8, diolah Pada analisis jangka pendek untuk model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat, terdapat 2 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel RER_RPUS berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar 1.230200. Dengan meningkatnya nilai tukar riil (depresiasi) 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan meningkat 37 sebesar 1.230200 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya MarshallLerner Condition dalam jangka pendek. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka pendek. Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di Amerika Serikat menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat Amerika Serikat lebih memilih membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia. Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka pendek pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini sesuai dengan hasil penelitian Husman (2005). Namun, lain halnya dengan hasil penelitian Onafowora (2003). Onafowora tidak menemukan adanya MarshallLerner Conditon dalam jangka pendek pada kasusu bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Di samping nilai tukar riil, hasil estimasi VECM jangka pendek juga menggambarkan bahwa R_US berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar 0.143472. Dengan meningkatnya suku bunga di Amerika Serikat sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral akan menurun atau mengalami defisit sebesar 0.143472 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di Amerika Serikat naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Amerika. Penurunan investasi ini menyebabkan meningkatnya neraca perdagangan Amerika (surplus bagi Amerika) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Hasil estimasi VECM lainnya menunjukkan bahwa terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan (error correction) persamaan kointegrasi pertama (TBINAUS) secara statistik signifikan dengan koefisien sebesar -0.926567. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.926567 persen setiap kuartal pada persamaan neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang. Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA) secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah 3.311094. Artinya, dalam jangka panjang, PDB Indonesia berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika akan turun atau mengalami defisit sebesar 3.311094 persen. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk neraca perdagangan. Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara PDB Indonesia dan neraca perdagangan bilateral dengan Amerika sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012), 38 Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lainlain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara PDB domestik dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka. Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi ketiga (YUS) yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Amerika Serikat terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah 5.753162. Artinya, dalam jangka panjang, PDB Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya PDB Amerika sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika akan meningkat sebesar 5.753162 persen. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan impor oleh masyarakat Amerika. Sehingga akan meningkatkan kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika. Pada akhirnya hal ini akan memperbaiki neraca perdagangan. Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan positif antara PDB Amerika Serikat dan neraca perdagangan bilateral dengan Amerika sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lain-lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara PDB mitra dagang dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka. Adapun dalam jangka panjang, terdapat 4 variabel bebas yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel R_US berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar -0.01588. Dengan meningkatnya suku bunga di Amerika Serikat sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral akan menurun atau mengalami defisit sebesar 0.01588 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di Amerika Serikat naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Amerika. Penurunan investasi ini meningkatkan neraca perdagangan Amerika (surplus bagi Amerika) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Variabel suku bunga domestik (R_INA) berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Besarnya nilai koefisien R_INA yaitu 0.007063. Artinya, jika suku bunga domestik naik 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan meningkat sebesar 0.007063 persen. Hasil ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Dengan meningkatnya suku bunga domestik, maka biaya untuk berinvestasi di dalam negeri akan meningkat yang menyebabkan permintaan investasi di Indonesia menurun. Penurunan investasi akan membuat neraca perdagangan meningkat karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisish antara tabungan dengan investasi (NX= S-I). Dengan kata lain, kondisi ini akan membuat neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi surplus. 39 Variabel RER_RPUS dalam jangka panjang siginifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Nilai koefisien RER yaitu -0.76565. Artinya, apabila RER naik (depresiasi) 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral akan memburuk sebesar 0.76565 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan nilai koefisien RER yang negatif (kurang dari 0), maka dapat dikatakan bahwa Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi dalam jangka panjang karena jumlah dari elastisitas impor dan ekspor tidak lebih dari 1. Tidak terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Alasan tidak terpenuhinya Marshall-Lerner Condition dalam jangka panjang adalah rendahnya elastisitas ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang terlihat dari kecilnya kenaikan ekspor ke Amerika Serikat meskipun harga relatif ekspor sudah lebih murah. Kecilnya elastisitas ekspor ke Amerika Serikat antara lain dapat dijelaskan bahwa jika dilihat dari komoditas berdasarkan kelompok barang yang diekspor ke Amerika Serikat, secara umum merupakan barang konsumsi atau barang kebutuhan seperti karet, energi, dan sebagainya (lihat lampiran 1). Permintaan barang-barang kebutuhan umumnya inelastis. Walaupun harga barang kebutuhan meningkat ataupun menurun maka jumlah yang diminta kurang lebih akan tetap sama. Variabel Dummy krisis tahun 2008 (Dummy08) secara statistik signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral. Nilai koefisien variabel Dummy08 yaitu sebesar -0.05552. Dengan demikian, krisis yang terjadi di Amerika pada tahun 2008 akan menurunkan kinerja neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat sebesar 0.05552 persen. Alasan yang dapat menjelaskan keadaan ini adalah ketika krisis global melanda Amerika Serikat, PDB Amerika Serikat akan menurun. Penurunan PDB ini akan menyebabkan keinginan masyarakat Amerika untuk mengimpor barang dari Indonesia juga menurun. Pada akhirnya, hal ini akan menurunkan kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Dengan kata lain, neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan memburuk. Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan China Tabel 6 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan China yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China (TBINACHN), sedangkan variabel independennya adalah PDB Indonesia (YINA), PDB China (YCHN), nilai tukar riil Rupiah terhadap Yuan (RER_RPYUAN), suku bunga domestik (R_INA), serta suku bunga luar negeri (R_CHN). Pada analisis jangka pendek untuk model bilateral Indonesia dengan China, terdapat 3 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel YINA pada lag kedua berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral dengan nilai koefisien yaitu 2.116732. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal dimana hubungan antara pendapatan dengan neraca perdagangan bertanda negatif. 40 Meningkatnya pendapatan seharusnya mampu meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk nilai neraca perdagangan. Di Indonesia, dengan meningkatnya pendapatan tidak langsung meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terjadi karena di Indonesia memiliki tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, Sehingga, nilai impor akan menurun dan nilai neraca perdagangan Indonesia akan membaik. Husman (2005) dan Onafowora (2003) menjelaskan bahwa hubungan positif antara PDB domestik (dalam hal ini PDB Indonesia) dengan neraca perdagangan bilateral juga dapat terjadi apabila kenaikan PDB domestik ini terjadi karena ada peningkatan produksi barang substitusi impor. Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di dalam negeri. Tabel 6 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-China Variabel Koefisien Jangka pendek YINA(-2) 2.116732 R_INA (-1) -0.020030 RER_RPYUAN(-2) 0.625038 Cointeq1 -0.288808 Cointeq2 3.356715 Jangka panjang R_CHN(-1) -0.11017 R_INA(-1) 0.015358 YCHN(-1) -1.75134 RER_RPYUAN(-1) 0.121182 C -62.2547 Sumber: lampiran 8, diolah T-statistik 2.18765 -2.73912 2.17743 -2.50124 2.27666 -7.06297 -7.50615 -40.4326 3.18526 -35.5655 Variabel RER_RPYUAN pada lag kedua dalam jangka pendek berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dengan nilai koefisien sebesar 0.625038. Dengan meningkatnya (depresaisi) nilai tukar riil 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan meningkat sebesar 0.625038 persen. Hal ini sesuai dengan teori. Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya MarshallLerner Condition dalam jangka pendek. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka pendek. Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di China menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat China lebih memilih membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia. Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka pendek pada kasus 41 bilateral antara Indonesia dengan China ini sesuai dengan hasil penelitian Husman (2005). Variabel R_INA secara statistik signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dengan nilai koefisien sebesar -0.020030. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya tingkat suku bunga 1 persen akan menyebabkan menurunnya neraca perdagangan sebesar 0.020030 persen. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Seharusnya, jika suku bunga domestik (Indonesia) meningkat, maka investasi akan turun sehingga membuat neraca perdagangan membaik (NX = S-I). Untuk kasus ini, suku bunga domestik justru menyebabkan adanya kenaikan dalam investasi. Hal ini terjadi karena Indonesia masih butuh investasi sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian. Begitu suku bunga di Indonesia meningkat, maka akan ada aliran modal masuk ke Indonesia karena investor menganggap akan ada tingkat pengembalian yang lebih di tinggi jika berinvestasi di Indonesia. Dengan kata lain arus modal keluar netto di Indonesia menjadi negatif. Aliran modal masuk ke Indonesia ini akan membuat Rupiah terapresiasi, barang-barang domestik (Indonesia) menjadi relatif lebih mahal dibandingkan barang-barang luar negeri (Jepang). Sehingga, neraca perdagangan Indonesia akan turun (defisit bagi Indonesia). Pada jangka pendek terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi pertama (TBINACHN) yang secara statistik signifikan. dengan koefisien sebesar -0.288808. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.288808 persen setiap kuartal pada persamaan neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang. Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA) yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah 3.356715. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan meningkat atau mengalami surplus sebesar 3.356715 persen. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal dimana hubungan antara pendapatan dengan neraca perdaganagn bertanda negatif. Meningkatnya pendapatan seharusnya mampu meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk nilai neraca perdagangan. Di Indonesia, dengan meningkatnya pendapatan tidak langsung meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terjadi karena di Indonesia memiliki tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, nilai impor akan menurun dan nilai neraca perdagangan Indonesia akan membaik. Husman (2005) dan Onafowora (2003) menjelaskan bahwa hubungan positif antara PDB domestik (dalam hal ini PDB Indonesia) dengan neraca perdagangan bilateral juga dapat terjadi apabila kenaikan PDB domestik ini terjadi karena ada peningkatan produksi barang substitusi impor. Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di dalam negeri. 42 Dalam jangka panjang, variabel R_CHN secara statistik signifikan. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah -0.11017. Dengan meningkatnya suku bunga di China sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan menurun atau mengalami defisit sebesar 0.11017 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di China naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di China. Penurunan investasi ini menyebabkan meningkatnya neraca perdagangan China (surplus bagi China) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Variabel R_INA akan memberikan pengaruh yang positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Nilai koefisien variabel R_INA yaitu sebesar 0.015358. Dengan meningkatnya suku bunga di Indonesia sebesar 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral akan meningkat 0.015358 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Dengan meningkatnya suku bunga domestik, maka biaya untuk berinvestasi di dalam negeri akan meningkat yang menyebabkan permintaan investasi di Indonesia menurun. Penurunan investasi akan membuat neraca perdagangan meningkat karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisish antara tabungan dengan investasi (NX= S-I). Dengan kata lain, kondisi ini akan membuat neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China menjadi surplus. Variabel YCHN dalam jangka panjang berhubungan negatif dan signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Nilai koefisien YCHN yaitu -1.75134. Dengan meningkatnya PDB China 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral akan menurun sebesar 1.75134 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Sebagaimana penjelasan mengenai hubungan positif antara PDB domestik dan neraca perdagangan bilateral sebelumnya, hubungan negatif antara PDB luar negeri (dalam hal ini PDB China) dengan neraca perdagangan juga dapat dijelaskan dengan alasan peningkatan PDB karena adanya peningkatan produksi barang-barang substitusi impor di Negara China. Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di dalam negeri (Husman, 2005 dan Onafowora, 2003) Variabel RER_RPYUAN dalam jangka panjang berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dengan nilai koefisien sebesar 0.121182. Dengan meningkatnya (depresiasi) nilai tukar riil 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan meningkat sebesar 0.121182 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya MarshallLerner Condition dalam jangka panjang. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka panjang. Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di China menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat China lebih memilih membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia. 43 Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada kasus bilateral antara Indonesia dengan China ini sesuai dengan hasil penelitian Husman (2005). Sekalipun Marshall-Lerner Condition pada model bilateral dengan China terpenuhi dalam jangka panjang, pengaruh depresiasi nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan relatif kecil. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa dampak depresiasi nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan tidak lebih dari 1 persen yaitu hanya 0.121182 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah tidak memberikan manfaat yang terlalu besar dalam meningkatkan neraca perdagangan bilateral dengan China. Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan Jepang Tabel 7 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan Jepang yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang (TBINAJPN), sedangkan variabel independennya adalah PDB Indonesia (YINA), PDB Jepang (YJPN), nilai tukar efektif riil (REER), suku bunga domestik (R_INA), serta suku bunga luar negeri (R_JPN). Tabel 7 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Jepang Variabel Koefisien T-statistik Jangka pendek R_JPN(-2) 0.621051 2.08821 LYJPN(-1) Cointeq1 Cointeq2 Cointeq3 R_INA(-1) YJPN(-1) RER_RPYEN(-1) Sumber: Lampiran 8, diolah -5.322381 -0.232966 -0.143486 -0.253215 Jangka panjang 0.004916 0.134011 0.131762 -2.16223 -3.17201 -2.20148 -3.49373 -6.69293 -18.7791 -4.86884 Dalam jangka pendek, terdapat satu variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel R_JPN secara statistik signifikan dengan nilai koefisien sebesar 0.621051. Dengan meningkatnya suku bunga Jepang 1 persen maka akan meningkat pula neraca perdagangan sebesar 0.621051 persen. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal penulis. Dengan meningkatnya suku bunga di Jepang, maka biaya untuk berinvestasi di Jepang akan meningkat sehingga menyebabkan permintaan investasi di Jepang menurun. Penurunan investasi Jepang seharusnya dapat 44 memperburuk neraca perdagangan bilateral dari sisi Indonesia (defisit bagi Indonesia). Hal ini terjadi karena jika suku bunga di Jepang naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Jepang. Penurunan investasi ini menyebabkan meningkatnya neraca perdagangan Jepang (surplus bagi Jepang) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Namun berdasarkan hasil estimasi VECM model bilateral dengan Jepang, peningkatan suku bunga di Jepang akan memperbaiki neraca perdagangan bilateral (surplus untuk Indonesia). Begitu suku bunga di Jepang meningkat, maka akan ada aliran modal masuk ke Jepang karena investor menganggap akan ada tingkat pengembalian yang lebih di tinggi jika berinvestasi di Jepang. Dengan kata lain arus modal keluar netto di Jepang menjadi negatif. Aliran modal masuk ke Jepang membuat Yen terapresiasi, barang-barang domestik (Jepang) menjadi relatif lebih mahal dibandingkan barang-barang Indonesia. Sehingga, ekspor neto Jepang akan turun (defisit bagi Jepang) atau dengan kata lain neraca perdagangan Indonesia akan membaik (surplus bagi Indonesia). Di samping suku bunga Jepang, hasil estimasi jangka pendek juga menggambarkan bahwa variabel YJPN berhubungan negatif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Nilai koefisien YJPN yaitu 5.322381. Dengan meningkatnya PDB Jepang 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral akan menurun sebesar 5.322381 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Sebagaimana penjelasan mengenai hubungan positif antara PDB domestik dan neraca perdagangan bilateral sebelumnya, hubungan negatif antara PDB luar negeri (dalam hal ini PDB Jepang) dengan neraca perdagangan juga dapat dijelaskan dengan alasan peningkatan PDB karena adanya peningkatan produksi barang-barang substitusi impor di Negara Jepang. Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di dalam negeri (Husman, 2005 dan Onafowora, 2003). Dugaan parameter koreksi kesalahan (error correction) persamaan kointegrasi pertama (TBINAJPN) secara statistik signifikan dengan koefisien sebesar -0.232966. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.232966 persen setiap kuartal pada persamaan neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang. Selain itu, terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA) yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah -0.143486. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan turun atau mengalami defisit sebesar 0.143486 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor dari Jepang yang pada akhirnya akan memperburuk neraca perdagangan (defisit bagi Indonesia). Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara PDB Indonesia dan neraca perdagangan bilateral dengan Jepang sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti 45 Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lain-lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara PDB domestik dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi ketiga (R_JPN) secara statistik juga signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral. Sehingga dapat diketahui pengaruh suku bunga di Jepang terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Jepang dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah -0.253215. Dengan meningkatnya suku bunga di Jepang sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan turun atau mengalami defisit sebesar 0.253215 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Jika suku bunga di Jepang naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Jepang. Penurunan investasi ini menyebabkan meningkatnya neraca perdagangan Jepang (surplus bagi Jepang) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit. Dalam jangka panjang, terdapat 3 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel R_INA berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral. Nilai koefisien R_INA yaitu 0.004916. Dengan meningkatnya suku bunga di Indonesia sebesar 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral Indonesia akan meningkat sebesar 0.004916 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga domestik (Indonesia) meningkat, maka investasi akan turun sehingga membuat neraca perdagangan membaik (NX = S-I). Variabel YJPN berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Nilai koefisien YJPN yaitu 0.134011. Dengan meningkatnya PDB Jepang 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan meningkat 0.134011 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal. Dengan meningkatnya pendapatan Jepang maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor Jepang dari Indonesia yang pada akhirnya akan memperbaiki neraca perdagangan bilateral Indonesia (surplus bagi Indonesia). Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan positif antara PDB Jepang dan neraca perdagangan bilateral dengan Jepang sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lain-lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara PDB mitra dagang dengan neraca perdagangan untuk masingmasing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka Variabel RER_RPYEN berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral. Nilai koefisien RER yaitu 0.131762. Dengan meningkatnya nilai tukar riil 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan meningkat sebesar 0.131762 persen. Hal ini sesuai dengan teori. Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya Marshall-Lerner Condition dalam jangka panjang. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka panjang. Terdepresiasi atau 46 melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di Jepang menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat Jepang lebih memilih membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia (surplus bagi Indonesia). Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Jepang ini sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Sekalipun Marshall-Lerner Condition pada model bilateral dengan Jepang terpenuhi dalam jangka panjang, pengaruh depresiasi nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan relatif kecil. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa dampak depresiasi nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan tidak lebih dari 1 persen yaitu hanya 0.131762 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah tidak memberikan manfaat yang terlalu besar dalam meningkatkan neraca perdagangan bilateral dengan Jepang. Analisis Impuls Response Function (IRF) IRF bermanfaat untuk menunjukkan respon suatu variabel dari sebuah shock dari variabel lainnya, dimana analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon ke depan (kuartal) sebagai informasi jangka panjang. Sumbu horizontal menunjukkan waktu dalam periode kuartal ke depan setelah terjadinya shock. Sumbu vertikal menunjukkan besarnya respon atau tingkat laju perubahan shock variabel gangguan dalam variabel endogen. Penelitian ini hanya fokus menganalisis respon atau pola penyesuaian dinamis neraca perdagangan yang terjadi bila terdapat shock pada nilai tukar riil. Analisis Respon Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-Amerika Serikat Terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Dollar Amerika Gambar 16 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi nilai tukar riil pada kuartal pertama tidak menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Guncangan nilai tukar riil mulai menyebabkan perubahan yang positif pada neraca perdagangan bilateral pada kuartal kedua. Hingga kuartal tiga, guncangan nilai tukar riil sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan neraca perdagangan bilateral sebesar 0.080138 persen. Namun pada kuartal keempat, respon neraca perdagangan menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Respon neraca perdagangan akan melemah yaitu hanya sebesar 0.051226 persen. Pada kuartal kelima dan selanjutnya, respon neraca perdagangan kembali positif namun tetap bergerak fluktuatif. Pada akhirnya, respon neraca perdagangan bilateral terhadap guncangan nilai tukar mulai pada akhir periode kuartal ke-50, beradapada kisaran 0.074801 persen. Jika dikaitkan dengan Marshall-Lerner Condition dan fenomena J-Curve, depresiasi rupiah pada awalnya tidak akan memperburuk neraca perdagangan terlebih dahulu sebelum meningkatkan neraca perdagangan dalam jangka panjang. Neraca perdagangan dalam jangka pendek langsung merespon positif (membaik) 47 seiring dengan terdepresiasinya nilai tukar. Hal ini demikian karena dalam model neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat, MarshallLerner Condition pun sudah terpenuhi di jangka pendek. Neraca perdagangan dapat merespon positif atas terdepresiasinya nilai tukar hingga kuartal ketiga. Kondisi neraca perdagangan sempat memburuk pada kuartal keempat dikarenakan kinerja ekspor Indonesia menurun akibat adanya penurunan permintaan barang ekspor oleh Amerika Serikat dari Indonesia. Penurunan permintaan barang ekspor ini disebabkan oleh adanya penurunan PDB Amerika Serikat sebagai dampak dari krisis global pada tahun 2008. Namun, menurunnya kinerja ekspor diartikan sebagai penurunan surplus neraca perdagangan bukan berarti neraca perdagangan bilateral menjadi defisit. Setelah melewati krisis global, perekonomian Amerika Serikat secara perlahan meningkat sehingga dapat kembali permintaan akan barang produksi Indonesia dan menjadikan neraca perdagangan Indonesia surplus. Namun dalam jangka panjang, guncangan pada nilai tukar akan memperburuk neraca perdagangan. Berdasarkan hasil estimasi VECM sebelumnya, dalam jangka panjang RER berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini ditunjukkan dengan hasil guncangan RER menyebabkan menurunnya neraca perdagangan yang dimulai dari kuartal ke-16 dengan respon 0.09476 persen. Kondisi neraca perdagangan terus menurun hingga akir periode guncangan yang ke-50 dimana respon neraca perdagangan terhadap guncangan RER sebesar 0.074801 persen. Response of LTBINAUS to Cholesky One S.D. LRER_RPUS Innovation .10 .08 .06 .04 .02 .00 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 15 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia-Amerika Serikat terhadap guncangan nilai tukar efektif riil Sumber: Lampiran 9 Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat tidak sejalan dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Onafowora (2003) dapat membuktikan terbentuknya pola kurva-J pada hasil analisis IRF. Artinya dalam jangka pendek, neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan memburuk pada tahap awal depresiasi kemudian akan meningkat seiring berjalannya waktu. Sementara hasil analisis IRF 48 yang dilakukan oleh Husman (2005) sedikit menunjukkan pola kurva-J. Hal ini terjadi karena Marshall-Lerner Condition terpenuhi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara umum, kedua peneliti ini membuktikan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat akan membaik dalam jangka panjang seiring dengan terdepresiasinya Rupiah. Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat yang dapat dilihat pada Gambar 16 tidak menunjukkan adanya pola kurva-J. Sebagaimana penjelasan pada bagian hasil estimasi VECM, Marshall-Lerner Condition hanya terpenuhi pada jangka pendek. Sehingga, neraca perdagangan akan membaik dalam jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang, depresasi Rupiah akan membuat neraca perdagangan memburuk. Hal ini terjadi karena rendahnya elastisitas ekspor barang Indonesia ke pasar Amerika Serikat. Analisis Respon Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-China Terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Yuan Gambar 17 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi nilai tukar riil pada kuartal pertama tidak menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Guncangan nilai tukar riil mulai menyebabkan perubahan yang positif pada neraca perdagangan bilateral pada kuartal kedua. Hingga kuartal tiga, guncangan nilai tukar riil sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan neraca perdagangan bilateral sebesar 0.081993 persen. Namun pada kuartal keempat dan kelima, respon neraca perdagangan menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Respon neraca perdagangan pada kuartal kelima akan mengalami penurunan menjadi menjadi sebesar 0.024123 persen. Pada kuartal keenam dan selanjutnya, respon neraca perdagangan berfluktuasi. Pada akhirnya, respon neraca perdagangan bilateral terhadap guncangan nilai tukar mulai mencapai keseimbangan pada kuartal ke-14, dimana neraca perdagangan merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0.043 persen. Response of LTBINACHN to Cholesky One S.D. LRER_RPYUAN Innovation .09 .08 .07 .06 .05 .04 .03 .02 .01 .00 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 16 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–China terhadap guncangan nilai tukar efektif riil Sumber: Lampiran 9 49 Jika dikaitkan dengan Marshall-Lerner Condition dan fenomena J-Curve, depresiasi rupiah pada awalnya tidak akan memperburuk neraca perdagangan terlebih dahulu sebelum meningkatkan neraca perdagangan dalam jangka panjang. Neraca perdagangan akan merespon positif hingga kuartal ketiga. Fenomena Jcurve terjadi pada kuartal keempat dan kelima. Hal ini demikian karena dalam model neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China, MarshallLerner Condition pun sudah terpenuhi di jangka pendek. Sehingga, dalam jangka pendek neraca perdagangan langsung membaik. Penurunan neraca perdagangan sesaat pada kuartal keempat dan kelima terjadi karena sebagian besar pemesanan ekspor dan impor dilakukan beberapa periode sebelumnya. Sehingga nilai impor meningkat dalam mata uang domestik. Sementara itu ekspor yang dihitung dalam mata uang domestik tidak meningkat sehingga terjadilah penurunan kinerja neraca perdagangan untuk mencapai keseimbangan baru dalam jangka panjang. Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan China sejalan dengan hasil penelitian Husman (2005). Analisis IRF yang dilakukan oleh Husman (2005) kurang lebih juga menunjukkan pola seperti Gambar 17. Hal ini terjadi karena Marshall-Lerner Condition terpenuhi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis Respon Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang Terhadap Guncangan Nilai Tukar Riil Rupiah Terhadap Yen Gambar 18 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi nilai tukar riil pada kuartal pertama tidak menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Guncangan nilai tukar riil mulai menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan bilateral pada kuartal kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada kuartal kedua, neraca perdagangan bilateral akan merespon -0.0008 persen ketika terjadi guncangan pada nilai tukar riil. Kemudian, respon tersebut akan kembali mengalami penurunan di kuartal ketiga menjadi sebesar -0.0042 persen. Beberapa periode selanjutnya, respon neraca perdagangan akan meningkat cukup signifikan. Hingga kuartal ke-8, guncangan satu standar deviasi nilai tukar riil akan menyebabkan perubahan pada neraca perdagangan bilateral menjadi sebesar 0.098968 persen. Pada akhirnya, respon neraca perdagangan terhadap guncangan nilai tukar riil akan berfluktuasi hingga kuartal ke-50 sebesar 0.069381 persen. Jika dikaitkan dengan Marshall-Lerner Condition dan fenomena J-Curve, depresiasi rupiah pada awalnya akan memperburuk neraca perdagangan terlebih dahulu sebelum meningkatkan neraca perdagangan dalam jangka panjang. Dengan kata lain, fenomena J-curve terjadi pada neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Depresiasi nilai tukar akan meperburuk neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan baru di jangka panjangnya dimana neraca perdagangan akan membaik seiring dengan depresiasi nilai tukar. Hasil analisis IRF pada kasus bilateral Indonesia dengan Jepang sejalan dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Marshall-Lerner Condition terpenuhi dalam jangka panjang. Artinya dalam jangka pendek, neraca 50 perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang akan memburuk pada tahap awal depresiasi kemudian akan meningkat seiring berjalannya waktu. Response of LTBINAJPN to Cholesky One S.D. LRER_RPYEN Innovation .10 .08 .06 .04 .02 .00 -.02 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Gambar 17 Respon neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang terhadap guncangan nilai tukar efektif riil Sumber: Lampiran 9 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel terhadap shock (guncangan) yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana kontribusi berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian dalam menjelaskan neraca perdagangan bilateral Indonesia. Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Model Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-Amerika Serikat Berdasarkan hasil dekomposisi varians bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (Gambar 19), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu kuartal pertama, variabilitas laju neraca perdagangan disebabkan oleh guncangan neraca perdagangan itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada bulan kuartal, tampak variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju neraca perdagangan. Hingga kuartal ketiga, kontribusi neraca perdagangan itu sendiri dalam menjelaskan neraca perdagangan masih dominan namun berkurang yaitu menjadi sebesar 59.14 persen. Variabel nilai tukar riil (RER_RPUS) menempati posisi kedua sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral pada kuartal ketiga yaitu sebesar 18.14 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi variabel PDB Indonesia (YINA) dengan nilai 9.74 persen, Dummy08 dengan nilai 4.72 persen, dan suku bunga Indonesia (R_INA) dengan nilai 3.18 persen. 51 Sedangkan kontribusi variabel suku bunga Amerika Serikat (R_US) dan PDB Amerika Serikat (YUS) masing-masing sebesar 3.52persen dan 1.57 persen. Pada akhir periode peramalan (kuartal ke-50), kontribusi nilai tukar menjadi paling dominan dengan nilai sebesar 40.59 persen. Variabel berikutnya yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu neraca perdagangan itu sendiri (TBINAUS), R_INA, dan YINA, dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 36.75 persen, 9.30 persen, dan 8.78 persen. Sedangkan variabel lain seperti Dummy08, R_US, dan YUS masing-masing memiliki kontribusi sebesar 3.14 persen, 1.21 persen, dan 0.23 persen terhadap laju neraca perdagangan. Untuk lebih jelasnya, Tabel 8 merangkum hasil analisis FEVD dalam beberapa titik kuartal ke depan. 100% 90% 80% DUMMY08 70% LRER_RPUS 60% R_INA 50% R_US 40% LYUS 30% 20% LYINA 10% LTBINAUS 0% 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 Gambar 18 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Amerika Serikat Sumber: Lampiran 10 Tabel 8 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Amerika Serikat dalam beberapa titik kuartal Variabel Kuartal Dijelaskan oleh variabel (%) Ke depan TBINAUS YINA YUS R_US R_INA RER_RPUS DUMMY08 TBINAUS 1 100 0 0 0 0 0 0 3 59.14 9.74 1.57 3.52 3.18 18.14 4.72 5 51.01 10.52 1.35 2.86 9.01 21.08 4.17 10 38.14 11.47 0.72 1.49 11.44 33.91 2.83 20 33.37 10.71 0.34 0.79 11.86 40.74 2.19 35 34.78 9.56 0.24 0.89 10.49 41.45 2.58 50 36.75 8.78 0.23 1.21 9.30 40.59 3.14 Sumber: Lampiran 10 52 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Model Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-China Berdasarkan hasil dekomposisi varian bilateral Indonesia dengan China (Gambar 20), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu kuartal pertama, variabilitas laju neraca perdagangan disebabkan oleh guncangan neraca perdagangan itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada kuartal kedua, tampak variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju neraca perdagangan. Hingga kuartal ketiga, kontribusi neraca perdagangan itu sendiri dalam menjelaskan neraca perdagangan masih dominan namun berkurang yaitu menjadi sebesar 60.18 persen. Variabel PDB Indonesia (YINA) menempati posisi kedua sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral pada kuartal ketiga yaitu sebesar 17.49 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi variabel nilai tukar riil (RER_RPYUAN) dan suku bunga di China (R_CHN) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 16.48 persen dan 4.89 persen. Sedangkan variabel suku bunga Indonesia (R_INA) dan PDB China (YCHN) masing-masing sebesar 0.83 persen dan 0.13 persen. Pada akhir periode peramalan (kuartal ke-50), neraca perdagangan bilateral itu sendiri masih menjadi yang paling dominan dalam menjelaskan neraca perdagangan dengan nilai kontribusi sebesar 59.45 persen. Variabel berikutnya yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu PDB Indonesia (YINA) menempati posisi kedua sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral pada kuartal ketiga yaitu sebesar 17.86 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi variabel nilai tukar riil (RER_RPYUAN) dan suku bunga di China (R_CHN) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 16.02 persen dan 2.91 persen. Sedangkan variabel PDB China (YCHN) dan suku bunga Indonesia (R_INA) masing-masing sebesar 2.81 persen dan 0.95 persen. 100% 90% 80% LRER_RPYUAN 70% 60% LYCHN 50% R_INA 40% R_CHN 30% LYINA 20% LTBINACHN 10% 0% 1 3 5 7 9 1113151719212325272931333537394143454749 Gambar 19 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–China Sumber: Lampiran 10 53 Hasil variance decompotition menunjukkan bahwa selama 50 kuartal ke depan, neraca perdagangan bilateral itu sendiri memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan laju neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Nilai tukar tidak terlalu berkontribusi terhadap model neraca perdagangan ini. Sehingga, jika pemerintah melakukan kebijakan yang dapat membuat rupiah terdepresiasi maka hal tersebut tidak efektif karena hanya memberikan kontribusi yang kecil dalam mempengaruhi pergerakan neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China. Untuk lebih jelasnya, Tabel 9 merangkum hasil analisis FEVD dalam beberapa kuartal ke depan. Tabel 9 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–China dalam beberapa titik kuartal Variabel TBINACHN Kuartal Dijelaskan oleh variabel (%) Ke depan TBINACHN YINA R_CHN R_INA YCHN RER_RPYUAN 1 100 0 0 0 0 0 3 60.18 17.49 4.89 0.83 0.13 16.48 5 61.59 17.14 3.95 1.13 0.56 15.62 10 61.62 17.03 3.52 1.19 0.80 15.84 20 60.91 17.22 3.27 1.20 1.26 16.14 35 60.18 17.56 3.05 1.08 2.00 16.13 50 59.45 17.86 2.91 0.95 2.81 16.02 Sumber: lampiran 10 Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Model Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang Berdasarkan hasil dekomposisi varians bilateral Indonesia dengan Jepang (Gambar 21), dapat disimpulkan bahwa pada awal periode yaitu kuartal pertama, variabilitas laju neraca perdagangan disebabkan oleh guncangan neraca perdagangan itu sendiri yakni sebesar 100 persen. Pada kuartal kedua, tampak variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas laju neraca perdagangan. Hingga kuartal ketiga, kontribusi neraca perdagangan itu sendiri dalam menjelaskan neraca perdagangan masih dominan namun berkurang yaitu menjadi sebesar 95.01 persen. Variabel PDB Jepang (YJPN) menempati posisi kedua sebagai variabel yang mempengaruhi neraca perdagangan bilateral pada kuartal ketiga yaitu sebesar 3.13 persen. Setelah itu diikuti oleh kontribusi variabel suku bunga di Jepang (R_JPN), PDB Indonesia (YINA) dan suku bunga Indonesia (R_INA) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 0.67 persen, 0.58 persen, dan 0,57 persen. Sedangkan kontribusi variaebel nilai tukar riil (RER_RPYEN) hanya sebesar 0.04 persen. Pada akhir periode peramalan (kuartal ke-50), neraca perdagangan bilateral itu sendiri masih dominan dalam menjelaskan kondisi neraca perdagangan (48.41 persen). Variabel berikutnya yang mempengaruhi neraca perdagangan yaitu nilai tukar riil (RER_RPYEN), suku bunga Jepang (R_JPN), 54 dan PDB Indonesia (YINA) dengan nilai kontribusi masing-masing sebesar 37.76 persen, 7.34 persen, dan 4.93 persen. Sementara variabel suku bunga di Indonesia (R_INA), dan PDB Jepang (YJPN) memiliki nilai kontribusi masing-masing sebesar 0.78 persen. 100% 90% 80% LRER_RPYEN 70% 60% LYJPN 50% R_INA 40% R_JPN 30% LYINA 20% LTBINAJPN 10% 0% 1 3 5 7 9 1113151719212325272931333537394143454749 Gambar 20 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang Sumber: Lampiran 10 Hasil variance decompotition menunjukkan bahwa selama 50 kuartal ke depan, variabel TBINAJPN memberikan kontribusi terbesar dalam menjelaskan laju neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Sementara itu nila tukar menjadi variabel dominan kedua yang dapat mempengaruhi neraca perdagangan ini. Sehingga, kebijakan pemerintah yang dapat mendepresiasi nilai tukar memiliki potensi untuk meningkatkan neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Untuk lebih jelasnya, Tabel 10 merangkum hasil analisis FEVD dalam beberapa kuartal ke depan. ‘ Tabel 10 Dekomposisi varians dari model neraca perdagangan bilateral Indonesia–Jepang dalam beberapa titik kuartal Variabel TBINAJPN Kuartal Dijelaskan oleh variabel (%) Ke depan TBINAJPN YINA R_JPN R_INA YJPN LRER_RPYEN 1 100 0 0 0 0 0 3 95.01 0.58 0.67 0.57 3.13 0.04 5 84.32 2.38 3.87 4.30 3.35 1.78 10 52.48 3.00 4.92 4.39 2.23 32.99 20 48.78 4.07 7.91 2.34 1.50 35.39 35 48.43 4.73 7.43 1.18 0.96 37.27 50 48.41 4.93 7.34 0.78 0.78 37.76 Sumber: lampiran 10 55 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh nilai tukar riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan tiga mitra dagang utamanya (Amerika Serikat, China, dan Jepang) maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil estimasi untuk model neraca perdagangan bilateral dengan Amerika Serikat, dalam jangka pendek RER_RPUS berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan sehingga Marshall-Lerner Condition terpenuhi dalam jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang shock RER_RPUS berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan sehingga Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi dalam jangka panjang. Pada akhirnya hasil analisis Impuls Respons Function (IRF) menunjukkan bahwa fenomena J-Curve tidak terlihat dalam model neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat 2. Hasil estimasi untuk model neraca perdagangan bilateral dengan China, RER_RPYUAN berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini berarti Marshall-Lerner Condition terpenuhi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pada akhirnya hasil analisis Impuls Respons Function (IRF) menunjukkan bahwa fenomena J-Curve baru terlihat setelah beberapa periode guncangan karena dalam jangka pendek Marshall-Lerner Condition juga sudah terpenuhi. 3. Hasil estimasi untuk model neraca perdagangan bilateral dengan Jepang, RER_RPYEN tidak berpengaruh dalam jangka pendek namun berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral dalam jangka panjang. Hal ini berarti Marshall-Lerner Condition terpenuhi dalam jangka panjang. Pada akhirnya hasil analisis Impuls Respons Function (IRF) menunjukkan bahwa fenomena J-Curve terlihat pada model neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Jepang. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka saran yang dapat dianjurkan adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kinerja neraca perdagangan sebaiknya tidak selalu difokuskan melalui kebijakan nilai tukar tetapi lebih ditekankan pada faktor lain yang menunjang daya saing misalkan peningkatan produktivitas, efisiensi sistem produksi, kualitas produk, pengurangan pungutan resmi, serta penciptaan iklim usaha yang lebih kondusif. 2. Pemerintah juga perlu melakukan perbaikan pada struktur industri melalui penciptaan industri penunjuang dalam negeri. Hal ini mengingat bahwa indutsri Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor (dan juga barang modal). 56 3. Penelitian ini hanya membahas pengaruh dari perubahan nilai tukar efektif riil terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan mitra dagang utamanya. Variabel-variabel seperti PDB (Indonesia dan mitra dagang), serta suku bunga (Indonesia dan mitra dagang) dimasukkan dalam permodelan penelitian ini untuk mengidentifikasi perubahan neraca perdagangan. Oleh karena itu dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk membahas bagaimana pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap neraca perdagangan Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, R. 2006. Analisis Pengaruh Neraca Pembayaan Terhadap Nilai Tukar Rupiah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Astiyah S, Santoso S. 2005. Nilai Tukar dan Trade Flows. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Bahmani-Oskoee M, Cheema J. 2009. Short Run and Long Run Effectes of Currency Depreciation on the Bilateral Trade Balance Between Pakistan and Her Major Trading Partners. Journal of Economic Development Vol. 34, No. 1. Bahmani-Oskoee M, Kantipong T. 2001. Bilateral J-Curve Between Thailand and Her Trading Partners. Journal of Economic Development Vol. 26 No. 2. Batiz FR, Batiz LR. 1994. International Finance and Open Economy, Macroeconomics. New York (US): Mcmillan Publishing co. Betliy O. 2002. Measurement of the Real Effective Exchange Rate and the Observed J-Curve: Case of Ukraine [Thesis]. Ukraine (UA): Institut for Economics Forecasting at National Academy of Science of Ukraine. Dornbusch R, Fischer S. 2008. Makroekonomi, Edisi kesepuluh. Mirazudin RI, penerjemah; Wibisono Y, editor. Jakarta (ID): Penerbit PT Media Global Edukasi. Terjemahan dari: Macroeconomics 10th Edition. Fx Sauder. 2013. Pacific Exchange Rate Service [internet]. [diacu januari 2013]. Tersedia dari: http://fx.sauder.ubc.ca/ Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press. Guechari Y. 2012. An Empirical Study on the Effects of Real Effective Exchange Rate on Algeria’s Trade Balance. International Journal of Financial Research Vol. 3, No.4. Hady H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Jakarta (ID): PT. Galia Indonesia. Halwani H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Hadisubijantoro J, editor. Jakarta (ID): PT. Galia Indonesia. Hassan K. 2007. The Bilateral J-Curve Hypothesis Between Turkey and Her 9 Trading Partner. MPRA Paper, No.4254. Husman JA. 2005. Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia: Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-Curve. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. 57 International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistic (IFS) [internet]. [diacu Februari hingga Maret 2013]. Tersedia dari: http://elibrarydata.imf.org/ Kapoor AG, Ramakrishnan U. 1999. Is There a J-Curve? A New Estimation For Japan. International Economic Journal Vol 13, No. 4. Ling NY, Mun HW, Mei TG. 2008. Real Exchange Rate and Trade Balance Relationship: An Empirical Study on Malaysia. International Journal of Business and Management Vol. 3 No. 8. Lipsey RG, Steiner PO, Purvis DD. 1992. Pengantar Makroekonomi, Edisi kedelapan. Wasana AJ, Kirbandoko, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economics,8th Edition. Mankiw NG. 2006. Makroekonomi, Edisi keenam. Liza F dan Nurmawan I, penerjemah; Hardani W, Barnadi D, dan Saat S, editor. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics, 6th Edition. Moura G, Siergo DS. 2005. Is There a Brazillian J-Curve?. Economics Bulletein, Vol 6, No. 10 pp 1-17. Onafowora O. 2003. Exchange Rate and Trade Balance in East Asia: Is There a J-Curve?. Economics Bulletin, Vol 5, No. 18 pp 1-3. Soleymani A, Chua SY, Saboori B. 2011. The J-Curve at Industry Level: Evidence From Malaysia-China Trade. International Journal of Economics and Finance, Vol 3, No.6. Suresh KG, Sreejesh S. 2010. Real Exchange Rate Volatility and India’s Bilateral Export Volume: A VECM Approach. Journal of Global Business Issues, pg: 75. Widyasanti AA. 2010. Perdagangan Bebas Regional dan Daya Saing Ekspor: Kasus Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Wilson P. 2001. Exchange Rates and Trade Balance for Dynamic Asian Economies-Does The J-Curve Exist for Singapore, Malaysia, and Korea?. Open Economies Review 12: 389-413. 58 Lampiran 1 Komoditas utama dalam kegiatan ekspor antara Indonesia dengan mitra dagang utama dan rata-rata pangsa ekspor selama periode 2006-2011 (berdasarkan sistem HS 1996, 2 digit) Amerika Serikat Komoditi pangsa Jepang Komoditi Pangsa Mineral fuels, Rubber and oils & product articles 14,28% of their 51,52% thereof (HS distillation;etc 40) (HS 27) Art of apparel Ores, slag and & clothing ash. access, 12,53% (HS 26) 8,13% knitted or crocheted (HS 61) Electrical mchy equip parts thereof; Nickel and sound 8,25% articles thereof. 5,32% (HS75) recorder etc (HS 85) Mineral fuels, oils & product of their distillation;etc (HS 27) 5,20% Rubber and articles thereof (HS 40) 4,68% Fish & Electrical mchy crustacean, equip parts mollusc & 4,72% thereof; sound 4,513 other aquatic recorder etc invertebrate (HS 85) (HS 03) Sumber: UN Comtrade, World Bank (2013), diolah China Komoditi pangsa Mineral fuels, oils & product of their 38,36% distillation;etc (HS 27) Animal/veg fats & oils & their cleavage 15,49% products; etc (HS 15) Rubber and articles thereof (HS 40) Ores, slag and ash. (HS 26) Organic chemicals. (HS29) 8,15% 7,12% 5,16% 59 Lampiran 2 Komoditas utama dalam kegiatan impor antara Indonesia dengan mitra dagang utama dan rata-rata pangsa ekspor selama periode 2006-2011 (berdasarkan sistem HS 1996, 2 digit) Amerika Serikat (M) Komoditi pangsa Nuclear reactors, boilers, mchy & mech 16.85% appliance; parts (HS 84) Aircraft, spacecraft, and parts thereof (HS 88) Oil seed, oleagi fruits; miscell gr (HS 12) Cotton (HS 52) Residues & waste from the food indust; prepr ani fodder (HS 23) Jepang Komoditi pangsa Nuclear reactors, boilers, mchy & mech appliance; parts (HS 84) Vehicles o/t railw/tramw 16,81% roll-stock, pts & accessories (HS 87) 8,17% 4,96% 4,73% Electrical mchy equip parts thereof; sound recorder etc (HS 85) Iron and steel. (HS 72) Articles of iron or steel. (HS 73) China Komoditi Pangsa 30,52% Nuclear reactors, boilers, mchy & mech appliance; parts (HS 84) 14,29% Electrical mchy equip parts thereof; sound 18,30% recorder etc (HS 85) 10,37% 9,90% 4,74% Sumber: UN Comtrade, World Bank (2013), diolah Mineral fuels, oils & product of their distillation;etc (HS 27) Iron and steel (HS 72) Articles of iron or steel. (HS 73) 21,54% 6,19% 5,83% 4,36% 60 Lampiran 3. Uji Stasionaritas pada tingkat level Null Hypothesis: LTBINAUS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -1.553943 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.7993 t-Statistic Prob.* -1.907200 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.6391 t-Statistic Prob.* -2.750838 -3.538362 -2.908420 -2.591799 0.0713 t-Statistic Prob.* -6.050031 -4.127338 -3.490662 -3.173943 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LTBINAJPN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LTBINACHN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LYINA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 6 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 61 Null Hypothesis: LYUS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -1.567534 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.7945 t-Statistic Prob.* -1.654140 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7597 t-Statistic Prob.* -2.741213 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.2244 t-Statistic Prob.* -4.478199 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.0036 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LYCHN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LYJPN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: R_INA has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 62 Null Hypothesis: R_US has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -2.481855 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.3358 t-Statistic Prob.* -1.702146 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7388 t-Statistic Prob.* -2.634777 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2669 t-Statistic Prob.* -2.806666 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2005 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: R_JPN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: R_CHN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LRER_RPUS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 63 Null Hypothesis: LRER_RPYEN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -2.688139 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2450 t-Statistic Prob.* -2.809245 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.1996 t-Statistic Prob.* -1.714395 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7333 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: LRER_RPYUAN has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: DUMMY08 has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 4. Uji stasionaritas pada tingkat first difference Null Hypothesis: D(LTBINAUS) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -7.387719 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.0000 64 Null Hypothesis: D(LTBINAJPN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -7.763835 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 t-Statistic Prob.* -10.34039 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.0000 t-Statistic Prob.* -3.906780 -4.124265 -3.489228 -3.173114 0.0179 t-Statistic Prob.* -6.032995 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LTBINACHN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LYINA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LYCHN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 65 Null Hypothesis: D(LYJPN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.794282 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 t-Statistic Prob.* -5.064816 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0006 t-Statistic Prob.* -4.736812 -4.124265 -3.489228 -3.173114 0.0017 t-Statistic Prob.* -3.913621 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0172 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LYUS) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(R_INA) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(R_US) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 66 Null Hypothesis: D(R_CHN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -8.217323 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 t-Statistic Prob.* -3.995483 -4.115684 -3.485218 -3.170793 0.0139 t-Statistic Prob.* -5.709130 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0001 t-Statistic Prob.* -6.355737 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(R_JPN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LRER_RPUS) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(LRER_RPYEN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. 67 Null Hypothesis: D(LRER_RPYUAN) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.560526 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0001 t-Statistic Prob.* -7.935903 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Null Hypothesis: D(DUMMY08) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Lampiran 5. Uji Lag Optimal 1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LTBINAUS LYINA R_US R_INA LYUS LREER DUMMY08 Exogenous variables: C Date: 05/01/13 Time: 15:56 Sample: 1996Q1 2011Q4 Included observations: 62 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 -172.3671 322.7530 409.8872 NA 862.4674 132.1065* 7.68e-07 4.37e-13 1.35e-13* 5.786036 -8.604937 -9.835069* 6.026197 -6.683654* -6.232664 5.880329 -7.850593 -8.420674* * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion 68 4. Model Bilateral Indonesia-China VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN LRER_RPYUAN Exogenous variables: C Date: 06/08/13 Time: 15:06 Sample: 1996Q1 2011Q4 Included observations: 61 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 -176.4804 324.3422 373.4846 400.7382 NA 886.7024 77.33891* 37.52955 1.60e-05 3.87e-12 2.60e-12* 3.78e-12 5.982965 -9.257121 -9.688021* -9.401254 6.190592 -7.803733* -6.988871 -5.456342 6.064336 -8.687525* -8.630199 -7.855206 * indicates lag order selected by the criterion 5. Model bilateral Indonesia-Jepang VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: LTBINAJPN LRER_RPYEN Exogenous variables: C Date: 06/09/13 Time: 14:58 Sample: 1996Q1 2011Q4 Included observations: 61 LYINA R_JPN R_INA LYJPN Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 -32.59406 294.7940 358.4953 403.9243 NA 579.6379 100.2511 62.55806* 1.43e-07 1.02e-11 4.25e-12 3.41e-12* 1.265379 -8.288329 -9.196566 -9.505715* 1.473006 -6.834940* -6.497416 -5.560804 1.346750 -7.718732 -8.138744* -7.959668 * indicates lag order selected by the criterion Lampiran 6. Uji Stabilitas VAR 1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LTBINAUS LYINA LYUS R_US R_INA LRER_RPUS DUMMY08 Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 06/09/13 Time: 17:32 Root 0.966775 - 0.007091i 0.966775 + 0.007091i 0.905352 - 0.225355i 0.905352 + 0.225355i 0.728507 - 0.397180i Modulus 0.966801 0.966801 0.932978 0.932978 0.829744 69 0.728507 + 0.397180i 0.170253 + 0.799129i 0.170253 - 0.799129i 0.795036 -0.781431 0.561985 - 0.506786i 0.561985 + 0.506786i -0.080570 - 0.686574i -0.080570 + 0.686574i -0.450167 - 0.385292i -0.450167 + 0.385292i -0.456961 - 0.132946i -0.456961 + 0.132946i -0.155121 - 0.319897i -0.155121 + 0.319897i 0.294758 0.829744 0.817064 0.817064 0.795036 0.781431 0.756742 0.756742 0.691285 0.691285 0.592537 0.592537 0.475908 0.475908 0.355523 0.355523 0.294758 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. 2. Model bilateral Indonesia-China Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN LRER_RPYUAN Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 06/08/13 Time: 15:05 Root 0.999762 0.862555 - 0.130330i 0.862555 + 0.130330i 0.635031 - 0.193603i 0.635031 + 0.193603i 0.456624 - 0.346961i 0.456624 + 0.346961i -0.509609 - 0.193574i -0.509609 + 0.193574i 0.110943 - 0.415549i 0.110943 + 0.415549i 0.031888 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Modulus 0.999762 0.872346 0.872346 0.663888 0.663888 0.573487 0.573487 0.545135 0.545135 0.430104 0.430104 0.031888 70 3. Model bilateral Indonesia-Jepang Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: LTBINAJPN LYINA R_JPN R_INA LYJPN LRER_RPYEN Exogenous variables: C Lag specification: 1 3 Date: 06/09/13 Time: 14:56 Root Modulus 0.995140 0.941965 0.916881 - 0.214797i 0.916881 + 0.214797i 0.790430 - 0.372136i 0.790430 + 0.372136i 0.603398 - 0.589162i 0.603398 + 0.589162i -0.499294 + 0.387663i -0.499294 - 0.387663i -0.123655 + 0.599385i -0.123655 - 0.599385i 0.193529 + 0.563711i 0.193529 - 0.563711i -0.593783 -0.400071 -0.183923 - 0.312513i -0.183923 + 0.312513i 0.995140 0.941965 0.941705 0.941705 0.873650 0.873650 0.843328 0.843328 0.632121 0.632121 0.612007 0.612007 0.596006 0.596006 0.593783 0.400071 0.362618 0.362618 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Lampiran 7. Uji Kointegrasi 1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat Date: 06/09/13 Time: 15:42 Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4 Included observations: 60 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: LTBINAUS LYINA LYUS R_US R_INA LRER_RPUS DUMMY08 Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 * At most 5 * At most 6 0.844364 0.673107 0.434283 0.349452 0.286383 0.187205 0.127431 279.5373 167.9233 100.8359 66.65625 40.85988 20.61538 8.178793 134.6780 103.8473 76.97277 54.07904 35.19275 20.26184 9.164546 0.0000 0.0000 0.0003 0.0026 0.0110 0.0447 0.0767 Trace test indicates 6 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 71 2. Model bilateral Indonesia-China Date: 06/09/13 Time: 19:06 Sample (adjusted): 1996Q4 2011Q4 Included observations: 61 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend (restricted constant) Series: LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN LRER_RPYUAN Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 0.592509 0.415191 0.352082 0.274790 0.178663 0.070682 150.0368 95.27484 62.55013 36.07665 16.47768 4.471551 103.8473 76.97277 54.07904 35.19275 20.26184 9.164546 0.0000 0.0011 0.0073 0.0400 0.1532 0.3464 Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values 3. Model bilateral Indonesia-Jepang Date: 06/09/13 Time: 16:48 Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4 Included observations: 60 after adjustments Trend assumption: No deterministic trend Series: LTBINAJPN LYINA R_JPN R_INA LYJPN LRER_RPYEN Lags interval (in first differences): 1 to 3 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 0.893408 0.386243 0.289387 0.253813 0.171703 0.000916 213.0366 78.71174 49.42235 28.92475 11.35800 0.054992 83.93712 60.06141 40.17493 24.27596 12.32090 4.129906 0.0000 0.0006 0.0046 0.0121 0.0721 0.8476 Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values CointEq1 1.000000 0.000000 0.000000 -0.010545 (0.03069) [-0.34358] 0.080193 (0.00964) [ 8.32041] -0.170190 (0.26446) [-0.64353] 0.791105 (0.16489) [ 4.79789] -1.414205 Cointegrating Eq: LTBINAUS(-1) LYINA(-1) LYUS(-1) R_US(-1) R_INA(-1) LRER_RPUS(-1) DUMMY08(-1) C Vector Error Correction Estimates Date: 06/09/13 Time: 15:40 Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4 Included observations: 60 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] -44.86707 0.222920 (0.17580) [ 1.26801] 1.115264 (0.28197) [ 3.95521] -0.021047 (0.01028) [-2.04809] 0.069541 (0.03272) [ 2.12514] 0.000000 1.000000 0.000000 CointEq2 1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat -35.16497 0.246056 (0.11948) [ 2.05945] 0.481370 (0.19163) [ 2.51197] 0.002030 (0.00698) [ 0.29074] 0.035564 (0.02224) [ 1.59921] 1.000000 0.000000 0.000000 CointEq3 Lampiran 8. Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) 1 72 2 D(LTBINAUS) -0.926567 (0.41418) [-2.23710] -3.311094 (1.67298) [-1.97916] 5.753162 (2.82842) [ 2.03406] 0.094689 (0.31988) [ 0.29601] -0.082065 (0.24170) [-0.33954] 0.021610 (0.19282) [ 0.11207] 0.157156 (1.68416) [ 0.09331] -0.254295 Error Correction: CointEq1 CointEq2 CointEq3 D(LTBINAUS(-1)) D(LTBINAUS(-2)) D(LTBINAUS(-3)) D(LYINA(-1)) D(LYINA(-2)) (2.44386) [-0.57868] -0.917500 -0.781594 (0.13793) [-5.66644] 0.032973 (0.01579) [ 2.08787] 0.051335 (0.01980) [ 2.59333] 0.055091 (0.02620) [ 2.10282] 0.099340 (0.23165) [ 0.42884] -0.044810 (0.13702) [-0.32704] -0.063266 (0.03392) [-1.86506] D(LYINA) (2.60567) [-17.2190] -0.081103 -0.023695 (0.04400) [-0.53853] -0.007940 (0.00504) [-1.57617] -0.004978 (0.00631) [-0.78839] -0.009826 (0.00836) [-1.17577] -0.090968 (0.07389) [-1.23104] 0.042560 (0.04371) [ 0.97373] 0.013697 (0.01082) [ 1.26579] D(LYUS) (1.77082) [-19.8580] -2.493989 -0.212594 (3.94178) [-0.05393] 0.333223 (0.45130) [ 0.73835] 0.849129 (0.56569) [ 1.50105] 0.985864 (0.74868) [ 1.31680] 7.447939 (6.61991) [ 1.12508] -4.762761 (3.91561) [-1.21635] -1.167220 (0.96939) [-1.20407] D(R_US) -114.1242 -168.5325 (32.9076) [-5.12138] -2.811609 (3.76768) [-0.74624] -8.391351 (4.72263) [-1.77684] -8.898688 (6.25031) [-1.42372] -162.1265 (55.2658) [-2.93358] 103.8965 (32.6891) [ 3.17832] 18.52075 (8.09289) [ 2.28852] D(R_INA) 0.451256 0.764114 (1.20203) [ 0.63569] -0.082968 (0.13762) [-0.60286] -0.140401 (0.17251) [-0.81389] -0.171999 (0.22831) [-0.75336] 0.073822 (2.01871) [ 0.03657] -0.029952 (1.19405) [-0.02508] -0.013172 (0.29561) [-0.04456] 1.647049 1.201579 (1.53015) [ 0.78527] -0.205333 (0.17519) [-1.17206] 0.122570 (0.21959) [ 0.55817] 0.179145 (0.29063) [ 0.61640] 3.150561 (2.56976) [ 1.22601] -1.793964 (1.51999) [-1.18025] -0.459671 (0.37631) [-1.22154] D(LRER_RPUS ) D(DUMMY08) 73 -1.929970 (1.60125) [-1.20529] -2.440533 (4.63295) [-0.52678] 2.644616 (4.87809) [ 0.54214] -1.782509 (5.18827) [-0.34357] 0.057566 (0.07412) [ 0.77663] 0.008995 (0.08001) [ 0.11242] -0.143472 (0.07226) [-1.98543] -0.006744 (0.00612) [-1.10159] D(LYINA(-3)) D(LYUS(-1)) D(LYUS(-2)) D(LYUS(-3)) D(R_US(-1)) D(R_US(-2)) D(R_US(-3)) D(R_INA(-1)) (1.84100) [-0.13813] 0.002544 (0.00050) [ 5.07312] 0.007135 (0.00592) [ 1.20557] 0.002046 (0.00655) [ 0.31220] -0.009743 (0.00607) [-1.60492] 0.186810 (0.42492) [ 0.43963] -0.464974 (0.39952) [-1.16383] -0.803231 (0.37944) [-2.11688] -1.033647 (0.13114) [-7.88182] (0.15078) [-6.08506] -0.000387 (0.00016) [-2.41883] -0.000972 (0.00189) [-0.51462] 0.001124 (0.00209) [ 0.53786] 0.003409 (0.00194) [ 1.76021] -0.186284 (0.13555) [-1.37431] 0.288503 (0.12744) [ 2.26377] 0.139504 (0.12104) [ 1.15256] 0.006330 (0.04183) [ 0.15131] (0.04810) [-1.68622] -0.017791 (0.01433) [-1.24160] 0.001199 (0.16913) [ 0.00709] 0.165539 (0.18727) [ 0.88396] 0.728415 (0.17349) [ 4.19871] -25.07852 (12.1431) [-2.06525] -10.08484 (11.4172) [-0.88331] -4.593102 (10.8434) [-0.42358] -1.139768 (3.74772) [-0.30412] (4.30886) [-0.57881] -0.142962 (0.11962) [-1.19511] -1.678521 (1.41197) [-1.18878] 1.089163 (1.56340) [ 0.69666] 0.047619 (1.44833) [ 0.03288] 30.52454 (101.376) [ 0.30110] 222.3512 (95.3153) [ 2.33280] 119.7146 (90.5253) [ 1.32244] -71.46473 (31.2875) [-2.28413] (35.9721) [-3.17257] 3 -0.010273 (0.00437) [-2.35108] -0.058813 (0.05158) [-1.14033] 0.053363 (0.05711) [ 0.93444] 0.016328 (0.05290) [ 0.30863] -2.557621 (3.70300) [-0.69069] 7.738527 (3.48162) [ 2.22268] -3.764600 (3.30665) [-1.13849] -0.255958 (1.14285) [-0.22396] (1.31397) [ 0.34343] -0.002038 (0.00556) [-0.36649] 0.006885 (0.06565) [ 0.10486] -0.051298 (0.07270) [-0.70566] -0.041199 (0.06734) [-0.61176] 0.171452 (4.71380) [ 0.03637] 0.050853 (4.43199) [ 0.01147] 2.031908 (4.20927) [ 0.48272] 2.276527 (1.45481) [ 1.56482] (1.67264) [ 0.98470] 74 0.005210 (0.00469) [ 1.11096] 1.230200 (0.43608) [ 2.82105] 0.609676 (0.42136) [ 1.44693] 0.030978 (0.33675) [ 0.09199] -0.263095 (0.21193) [-1.24141] -0.467399 (0.25007) [-1.86906] -0.181556 (0.27468) [-0.66097] D(R_INA(-3)) D(LRER_RPUS(-1)) D(LRER_RPUS(-2)) D(LRER_RPUS(-3)) D(DUMMY08(-1)) D(DUMMY08(-2)) D(DUMMY08(-3)) 0.630965 0.395193 0.902024 0.002473 (0.00564) [ 0.43873] D(R_INA(-2)) R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids 4 0.901625 0.838775 0.006051 0.007890 (0.02250) [ 0.35070] 0.018768 (0.02048) [ 0.91638] 0.006075 (0.01736) [ 0.35001] -0.092397 (0.02758) [-3.35008] -0.134387 (0.03451) [-3.89420] -0.115138 (0.03572) [-3.22380] -0.000675 (0.00038) [-1.75739] -0.000622 (0.00046) [-1.34767] 0.788929 0.654079 0.000616 -0.023409 (0.00718) [-3.26208] -0.002964 (0.00653) [-0.45366] 0.008593 (0.00554) [ 1.55190] 0.018707 (0.00880) [ 2.12628] -0.004694 (0.01101) [-0.42642] 0.002774 (0.01139) [ 0.24345] -0.000249 (0.00012) [-2.02851] -8.84E-05 (0.00015) [-0.60005] 0.667598 0.455229 4.941221 -1.622584 (0.64289) [-2.52389] 0.545984 (0.58529) [ 0.93284] 0.675969 (0.49603) [ 1.36276] -0.158297 (0.78817) [-0.20084] -0.516413 (0.98618) [-0.52365] 2.333317 (1.02064) [ 2.28613] -0.006167 (0.01098) [-0.56182] 0.004395 (0.01319) [ 0.33323] 0.863657 0.776550 344.3838 11.02067 (5.36711) [ 2.05337] 10.60594 (4.88626) [ 2.17057] 7.382747 (4.14105) [ 1.78282] -3.083311 (6.57999) [-0.46859] 0.402376 (8.23308) [ 0.04887] -6.472350 (8.52074) [-0.75960] 0.204756 (0.09164) [ 2.23432] -0.094754 (0.11012) [-0.86045] 0.594693 0.335746 0.459494 -0.047008 (0.19605) [-0.23978] 0.001202 (0.17848) [ 0.00673] -0.000627 (0.15126) [-0.00414] -0.152321 (0.24035) [-0.63374] 0.180296 (0.30073) [ 0.59952] 0.691366 (0.31124) [ 2.22132] -0.000606 (0.00335) [-0.18110] 0.007539 (0.00402) [ 1.87424] 0.242792 -0.240980 0.744588 -0.262348 (0.24956) [-1.05124] -0.269409 (0.22720) [-1.18577] -0.230382 (0.19255) [-1.19647] 0.400760 (0.30596) [ 1.30985] 0.347435 (0.38282) [ 0.90756] 0.179065 (0.39620) [ 0.45196] 0.002915 (0.00426) [ 0.68398] -0.001686 (0.00512) [-0.32932] 75 0.158292 2.676162 40.78746 -0.559582 0.278156 -0.002087 0.203540 CointEq1 1.000000 0.000000 0.107632 (0.03268) [ 3.29401] -0.056292 Cointegrating Eq: LTBINACHN(-1) LYINA(-1) R_CHN(-1) R_INA(-1) Vector Error Correction Estimates Date: 06/09/13 Time: 18:49 Sample (adjusted): 1996Q4 2011Q4 Included observations: 61 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] 2. Model bilateral Indonesia-China Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent -0.000268 -0.023561 (0.00334) [-7.06297] 1.000000 0.000000 CointEq2 4.83E-15 1.35E-16 500.2328 -10.27443 -3.572523 0.012964 14.34555 190.9224 -5.564078 -4.726341 0.008427 0.032287 0.004135 5.850390 259.4775 -7.849250 -7.011512 0.005636 0.007031 0.370481 3.143585 -10.23435 1.141145 1.978883 -0.085417 0.501948 3.092930 9.914821 -137.5587 5.385289 6.223027 -0.113333 6.543042 5 0.112977 2.296587 61.02289 -1.234096 -0.396359 0.001333 0.138619 0.143816 0.501873 46.54176 -0.751392 0.086346 0.016667 0.129099 76 6 0.588983 (0.11412) [ 5.16107] 0.867291 (0.34049) [ 2.54720] -23.89032 (5.67398) [-4.21051] D(LTBINACHN) -0.288808 (0.11547) [-2.50124] 3.356715 (1.47441) [ 2.27666] -0.341853 (0.15931) [-2.14582] -0.107518 (0.14004) [-0.76779] -0.313123 LYCHN(-1) LRER_RPYUAN(-1) C Error Correction: CointEq1 CointEq2 D(LTBINACHN(-1)) D(LTBINACHN(-2)) D(LYINA(-1)) (0.00750) [-7.50615] -0.053373 -0.007397 (0.02096) [-0.35283] -0.041097 (0.02385) [-1.72318] -0.702853 (0.22072) [-3.18432] 0.025052 (0.01729) [ 1.44927] D(LYINA) -20.60181 (0.57926) [-35.5655] 0.110722 (0.03476) [ 3.18526] -0.471068 (0.01165) [-40.4326] (0.00077) [-0.34965] -2.044056 -0.578005 (0.32265) [-1.79143] -0.796857 (0.36706) [-2.17091] 1.600040 (3.39710) [ 0.47100] 1.236842 (0.26604) [ 4.64911] D(R_CHN) -103.6245 -4.543393 (3.14146) [-1.44627] -8.397382 (3.57386) [-2.34967] 73.11763 (33.0756) [ 2.21062] 13.52188 (2.59026) [ 5.22028] D(R_INA) 0.017717 0.001762 (0.00252) [ 0.69909] 0.002187 (0.00287) [ 0.76274] -0.021799 (0.02654) [-0.82150] -0.001066 (0.00208) [-0.51316] D(LYCHN) 0.474714 -0.066606 (0.10314) [-0.64578] -0.126207 (0.11734) [-1.07558] 0.499531 (1.08595) [ 0.45999] 0.104178 (0.08504) [ 1.22498] D(LRER_RPYU AN) 77 2.116732 (0.96758) [ 2.18765] 0.136717 (0.08158) [ 1.67585] 0.016371 (0.06101) [ 0.26832] -0.020030 (0.00731) [-2.73912] -0.006959 (0.00488) [-1.42607] 3.350942 (8.49537) [ 0.39444] 11.40493 (8.53083) [ 1.33691] 0.558132 (0.30227) [ 1.84646] D(LYINA(-2)) D(R_CHN(-1)) D(R_CHN(-2)) D(R_INA(-1)) D(R_INA(-2)) D(LYCHN(-1)) D(LYCHN(-2)) D(LRER_RPYUAN(-1)) (1.20380) [-0.26011] -0.038910 (0.04525) [-0.85987] -1.846837 (1.27709) [-1.44613] -0.815074 (1.27178) [-0.64089] 0.000132 (0.00073) [ 0.18027] 0.000652 (0.00109) [ 0.59514] -0.006060 (0.00913) [-0.66352] 0.006861 (0.01221) [ 0.56179] 0.023025 (0.14485) [ 0.15896] (0.18021) [-0.29616] -3.376162 (0.69645) [-4.84769] 7.680564 (19.6554) [ 0.39076] -9.632384 (19.5737) [-0.49211] -0.004039 (0.01124) [-0.35930] 0.031124 (0.01685) [ 1.84730] -0.146022 (0.14058) [-1.03874] -0.402443 (0.18797) [-2.14103] -0.801490 (2.22935) [-0.35952] (2.77362) [-0.73696] -3.797001 (6.78090) [-0.55996] 194.5311 (191.373) [ 1.01650] 96.23862 (190.578) [ 0.50498] 0.004410 (0.10946) [ 0.04028] 0.024195 (0.16405) [ 0.14749] -3.041689 (1.36870) [-2.22231] -1.568991 (1.83012) [-0.85732] -34.74207 (21.7059) [-1.60058] (27.0051) [-3.83722] 0.000478 (0.00544) [ 0.08795] 0.202147 (0.15354) [ 1.31662] 0.693770 (0.15290) [ 4.53749] -6.17E-05 (8.8E-05) [-0.70212] 1.38E-05 (0.00013) [ 0.10457] -3.56E-06 (0.00110) [-0.00324] -1.56E-05 (0.00147) [-0.01061] 0.007823 (0.01741) [ 0.44923] (0.02167) [ 0.81776] 7 0.291654 (0.22263) [ 1.31002] 6.267106 (6.28324) [ 0.99743] -5.128034 (6.25712) [-0.81955] 0.002943 (0.00359) [ 0.81901] -0.007132 (0.00539) [-1.32412] 0.030688 (0.04494) [ 0.68290] -0.035556 (0.06009) [-0.59175] 0.918596 (0.71266) [ 1.28897] (0.88664) [ 0.53541] 78 D(LRER_RPYUAN(-2)) 0.520360 0.387694 1.121800 0.154493 3.922322 35.32090 -0.699046 -0.214583 0.000252 0.197435 0.625038 (0.28705) [ 2.17743] Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 8 1.06E-12 2.21E-13 369.4632 -8.900432 -5.509192 0.592856 0.480242 0.025141 0.023128 5.264480 151.1661 -4.497248 -4.012785 0.008686 0.032080 -0.004851 (0.04297) [-0.11288] 0.472667 0.326809 5.955220 0.355959 3.240596 -15.59378 0.970288 1.454751 -0.094262 0.433841 -0.959941 (0.66138) [-1.45141] 0.776592 0.714798 564.5421 3.465766 12.56746 -154.4221 5.522035 6.006497 -0.130492 6.489671 -2.574884 (6.43952) [-0.39986] 0.682968 0.595279 0.000363 0.002781 7.788477 280.3890 -8.734066 -8.249603 0.023344 0.004371 0.003429 (0.00517) [ 0.66381] 0.492744 0.352439 0.608556 0.113789 3.511954 53.97474 -1.310647 -0.826184 0.001803 0.141404 0.104265 (0.21142) [ 0.49315] 79 CointEq1 1.000000 0.000000 0.000000 0.061962 (0.02172) [ 2.85276] 0.406381 (0.08797) [ 4.61962] -3.416651 (0.70174) [-4.86884] D(LTBINAJPN) -0.232966 (0.07344) [-3.17201] -0.143486 Cointegrating Eq: LTBINAJPN(-1) LYINA(-1) R_JPN(-1) R_INA(-1) LYJPN(-1) LRER_RPYEN(-1) Error Correction: CointEq1 CointEq2 Vector Error Correction Estimates Date: 06/09/13 Time: 14:14 Sample (adjusted): 1997Q1 2011Q4 Included observations: 60 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] 3. Model bilateral Indonesia-Jepang -0.045660 -0.009004 (0.00726) [-1.23996] D(LYINA) 1.795573 (0.54064) [ 3.32121] -1.272722 (0.06777) [-18.7791] 0.017506 (0.01673) [ 1.04616] 0.000000 1.000000 0.000000 CointEq2 -0.012258 0.038539 (0.04682) [ 0.82309] D(R_JPN) 1.605599 (0.41678) [ 3.85237] -0.181926 (0.05225) [-3.48203] -0.086340 (0.01290) [-6.69293] 1.000000 0.000000 0.000000 CointEq3 -1.696507 -2.356423 (2.22416) [-1.05947] D(R_INA) -0.005982 -0.008287 (0.00458) [-1.80813] D(LYJPN) 9 -0.023336 -0.015908 (0.05834) [-0.27267] D(LRER_RPYE N) 80 10 -0.253215 (0.07248) [-3.49373] -0.118956 (0.14062) [-0.84593] 0.036801 (0.14286) [ 0.25760] -0.199530 (0.13395) [-1.48960] -0.087102 (0.80943) [-0.10761] 1.171897 (1.10947) [ 1.05627] 0.581902 (0.91521) [ 0.63582] 0.304041 (0.26616) [ 1.14233] CointEq3 D(LTBINAJPN(-1)) D(LTBINAJPN(-2)) D(LTBINAJPN(-3)) D(LYINA(-1)) D(LYINA(-2)) D(LYINA(-3)) D(R_JPN(-1)) (0.06518) [-2.20148] -0.028496 (0.02632) [-1.08281] -0.938456 (0.09049) [-10.3708] -0.953139 (0.10970) [-8.68874] -0.849732 (0.08003) [-10.6174] 0.014601 (0.01324) [ 1.10242] 0.009813 (0.01413) [ 0.69473] 0.006695 (0.01390) [ 0.48151] 0.030101 (0.00717) [ 4.20045] (0.00644) [-7.08531] -0.074296 (0.16968) [-0.43785] -0.598472 (0.58346) [-1.02572] -1.145342 (0.70731) [-1.61928] -0.801353 (0.51603) [-1.55291] 0.245723 (0.08539) [ 2.87749] -0.067213 (0.09108) [-0.73798] 0.082904 (0.08965) [ 0.92477] 0.035549 (0.04621) [ 0.76937] (0.04155) [-0.29500] 17.10817 (8.06027) [ 2.12253] -6.861318 (27.7157) [-0.24756] -39.13258 (33.5988) [-1.16470] -84.00957 (24.5126) [-3.42721] -0.802514 (4.05643) [-0.19784] 2.935972 (4.32635) [ 0.67863] 4.035644 (4.25851) [ 0.94767] 4.454766 (2.19486) [ 2.02963] (1.97380) [-0.85951] 0.042717 (0.01661) [ 2.57199] -0.094726 (0.05711) [-1.65868] -0.098431 (0.06923) [-1.42177] -0.007642 (0.05051) [-0.15130] 0.036543 (0.00836) [ 4.37203] -0.002260 (0.00891) [-0.25353] 0.017707 (0.00877) [ 2.01791] 0.003030 (0.00452) [ 0.67008] (0.00407) [-1.47084] 0.058752 (0.21143) [ 0.27788] 0.431730 (0.72702) [ 0.59384] 0.423126 (0.88134) [ 0.48010] 0.925151 (0.64299) [ 1.43882] -0.169986 (0.10641) [-1.59754] -0.214390 (0.11349) [-1.88914] 0.076861 (0.11171) [ 0.68806] -0.063507 (0.05757) [-1.10305] (0.05178) [-0.45072] 81 0.621051 (0.29741) [ 2.08821] 0.245254 (0.29387) [ 0.83455] -0.007003 (0.00465) [-1.50495] -0.000365 (0.00520) [-0.07024] 0.005226 (0.00387) [ 1.34867] -5.322381 (2.46152) [-2.16223] -0.839672 (2.79083) [-0.30087] 1.786858 (2.17543) [ 0.82138] -0.077509 (0.22793) [-0.34006] D(R_JPN(-2)) D(R_JPN(-3)) D(R_INA(-1)) D(R_INA(-2)) D(R_INA(-3)) D(LYJPN(-1)) D(LYJPN(-2)) D(LYJPN(-3)) D(LRER_RPYEN(-1)) -0.093920 (0.02254) [-4.16748] 0.238238 (0.21509) [ 1.10760] -0.389794 (0.27594) [-1.41260] 0.026122 (0.24338) [ 0.10733] -0.000526 (0.00038) [-1.37318] -0.000402 (0.00051) [-0.78301] 0.001880 (0.00046) [ 4.08571] 0.015723 (0.02906) [ 0.54110] -0.028527 (0.02941) [-0.97011] 0.202864 (0.14531) [ 1.39608] 0.229232 (1.38689) [ 0.16529] -0.586997 (1.77922) [-0.32992] 2.504632 (1.56928) [ 1.59604] 0.000137 (0.00247) [ 0.05535] 0.003415 (0.00331) [ 1.03086] -0.001010 (0.00297) [-0.34040] -0.144825 (0.18735) [-0.77301] 0.132521 (0.18960) [ 0.69893] 16.92773 (6.90249) [ 2.45241] 27.00532 (65.8798) [ 0.40992] -25.49146 (84.5162) [-0.30162] -24.91474 (74.5437) [-0.33423] 0.266077 (0.11734) [ 2.26752] 0.198278 (0.15738) [ 1.25990] 0.046629 (0.14091) [ 0.33091] -7.728327 (8.89958) [-0.86839] 14.05497 (9.00659) [ 1.56052] -0.031564 (0.01422) [-2.21922] 0.009052 (0.13575) [ 0.06668] -0.380737 (0.17415) [-2.18628] 0.391530 (0.15360) [ 2.54903] 0.000165 (0.00024) [ 0.68163] -9.15E-05 (0.00032) [-0.28210] 0.000524 (0.00029) [ 1.80536] 0.030512 (0.01834) [ 1.66388] 0.004532 (0.01856) [ 0.24420] 11 0.638290 (0.18106) [ 3.52528] 1.182109 (1.72811) [ 0.68405] -3.736159 (2.21696) [-1.68526] 1.505375 (1.95537) [ 0.76987] -0.006926 (0.00308) [-2.25002] 0.008627 (0.00413) [ 2.08985] -0.013211 (0.00370) [-3.57419] -0.125419 (0.23345) [-0.53725] 0.427447 (0.23625) [ 1.80927] 82 -0.006369 (0.25641) [-0.02484] D(LRER_RPYEN(-3)) Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion 0.538663 0.302080 0.744376 0.138154 2.276844 46.55029 -0.851676 -0.118656 -0.001371 0.165372 -0.170508 (0.26039) [-0.65483] D(LRER_RPYEN(-2)) R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent 12 1.57E-13 1.19E-14 451.1365 -10.23788 -5.211457 0.881682 0.821007 0.007277 0.013660 14.53105 185.3847 -5.479489 -4.746468 0.008427 0.032287 -0.082860 (0.02535) [-3.26826] -0.132622 (0.02575) [-5.15128] 0.394111 0.083398 0.302541 0.088076 1.268410 73.56021 -1.752007 -1.018987 -0.003333 0.091996 -0.298482 (0.16347) [-1.82591] 0.035540 (0.16600) [ 0.21410] 0.729732 0.591133 682.6630 4.183800 5.265055 -158.0860 5.969534 6.702554 -0.113333 6.543042 -6.354022 (7.76514) [-0.81828] 3.809648 (7.88541) [ 0.48313] 0.621513 0.427417 0.002898 0.008621 3.202088 213.0014 -6.400048 -5.667027 0.001239 0.011393 -0.028938 (0.01600) [-1.80861] -0.000415 (0.01625) [-0.02553] 0.549106 0.317879 0.469725 0.109746 2.374745 60.36225 -1.312075 -0.579054 0.001500 0.132880 -0.119456 (0.20369) [-0.58646] 0.128522 (0.20684) [ 0.62135] 83 84 84 Lampiran 9. Impuls Response Function (IRF) 1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 respon (%) 0 0.05513 0.080138 0.051226 0.054522 0.081172 0.086736 0.092115 0.09298 0.089824 0.091027 0.095246 0.095682 0.096591 0.096876 periode 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 respon (%) 0.09476 0.093475 0.092055 0.089031 0.087886 0.088271 0.087185 0.085325 0.084735 0.084697 0.08434 0.083258 0.082346 0.082148 0.081953 periode 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 respon (%) 0.080997 0.080316 0.08026 0.080108 0.079436 0.078922 0.078715 0.078509 0.077974 0.077494 0.077253 0.077074 0.076636 0.076242 0.07603 periode 46 47 48 49 50 respon (%) 0.075861 0.0755 0.075175 0.074965 0.074801 2. Model bilateral Indonesia-China periode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 respon (%) 0 0.064084 0.081993 0.040416 0.024123 0.036862 0.048045 0.046562 0.040056 0.040514 0.043334 0.045285 0.044296 0.043063 0.043022 periode 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 respon periode (%) 31 0.043578 32 0.043612 33 0.043304 34 0.043109 35 0.043209 36 0.043349 37 0.043386 38 0.043354 39 0.043358 40 0.043396 41 0.043425 42 0.043423 43 0.043415 44 0.043416 45 0.043425 respon (%) 0.043432 0.043436 0.043441 0.043449 0.043458 0.043466 0.043474 0.04348 0.043488 0.043495 0.043501 0.043508 0.043514 0.043521 0.043527 periode 46 47 48 49 50 respon (%) 0.043534 0.04354 0.043547 0.043553 0.04356 85 3. Model bilateral Indonesia-Jepang respon respon periode periode (%) (%) 1 16 0 0.066076 2 17 -0.0008 0.063391 3 18 -0.0042 0.060916 4 19 0.001285 0.06642 5 20 0.030237 0.072036 6 21 0.061484 0.069753 7 22 0.087444 0.066268 8 23 0.098968 0.069764 9 24 0.076275 0.073024 10 25 0.047728 0.070361 11 26 0.047445 0.067121 12 27 0.052345 0.068971 13 28 0.047006 0.071475 14 29 0.048318 0.070185 15 30 0.059864 0.067678 periode 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 respon (%) 0.068884 0.071096 0.070256 0.068096 0.068833 0.070558 0.070131 0.068527 0.068958 0.070331 0.070218 0.06896 0.069148 0.070213 0.07023 periode 46 47 48 49 50 respon (%) 0.069236 0.069269 0.070054 0.070145 0.069381 Lampiran 10. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) 1. Model bilateral Indonesia-Amerika Serikat Period LTBINAUS LYINA LYUS R_US R_INA LRER_RPUS DUMMY08 1 100 0 0 0 0 0 0 2 77.87225 8.820786 0.372562 1.35616 0.555437 8.183831 2.838969 3 59.13667 9.735087 1.56588 3.524387 3.17754 18.13815 4.722285 4 52.87631 11.34801 1.322483 3.194412 8.122073 19.09809 4.038615 5 51.01112 10.51787 1.350209 2.862334 9.006387 21.08137 4.170705 6 46.60853 11.5818 1.296807 2.631792 8.801427 25.02219 4.057449 7 43.29192 10.97821 1.100818 2.195204 10.73576 28.09377 3.604323 8 41.04296 11.47787 0.930411 1.917998 10.40961 30.64984 3.571315 9 39.91894 10.88586 0.811254 1.688525 10.71534 32.84264 3.137444 10 38.141 11.46792 0.720472 1.49125 11.43896 33.90549 2.834912 11 37.58881 11.20686 0.651129 1.338842 11.59388 34.99444 2.62605 12 36.22451 11.5504 0.587791 1.20942 11.73351 36.11219 2.58217 13 35.51758 11.11338 0.537953 1.116678 12.17028 37.14743 2.396697 14 34.83381 11.24132 0.498472 1.038321 12.07968 37.99283 2.315565 15 34.3946 10.988 0.461786 0.971495 12.10456 38.85707 2.22248 16 33.86591 11.09447 0.429079 0.909056 12.112 39.35292 2.236561 17 33.74878 10.80628 0.402513 0.877054 12.11754 39.87787 2.169962 18 33.45095 10.8674 0.379299 0.841088 11.9955 40.28676 2.179004 86 Period LTBINAUS LYINA 19 33.45179 10.67245 20 33.3728 10.70798 21 33.43953 10.50536 22 33.37369 10.52045 23 33.48938 10.36723 24 33.50192 10.37476 25 33.62567 10.21729 26 33.65557 10.20647 27 33.79405 10.07942 28 33.86481 10.06666 29 34.02692 9.938941 30 34.10536 9.91751 31 34.26082 9.811029 32 34.36359 9.788197 33 34.52708 9.682476 34 34.62632 9.653686 35 34.78303 9.561483 36 34.89444 9.532406 37 35.05348 9.442091 38 35.16506 9.408918 39 35.31877 9.328264 40 35.43624 9.295658 41 35.59096 9.217254 42 35.70758 9.182187 43 35.85586 9.110913 44 35.97476 9.076596 45 36.12178 9.007656 46 36.23855 8.971925 47 36.37985 8.90828 48 36.49703 8.873434 49 36.63603 8.81214 50 36.75099 8.776613 LYUS 0.360276 0.342459 0.328088 0.313543 0.302776 0.292474 0.284364 0.2753 0.269324 0.262797 0.258178 0.252556 0.249206 0.24523 0.242828 0.239317 0.237635 0.235378 0.23438 0.232429 0.231977 0.230936 0.230949 0.230148 0.230531 0.230382 0.231125 0.231155 0.232132 0.232638 0.233881 0.234516 2. Model bilateral Indonesia-China Period LTBINACHN LYINA R_CHN 1 100 0 0 2 79.8951 8.03653 1.34085 3 60.177 17.4924 4.88795 4 59.3458 18.0151 4.35027 5 61.5925 17.1412 3.94557 6 62.6829 16.4738 3.73667 7 62.088 16.7872 3.78106 8 61.447 17.1173 3.64343 9 61.4567 17.1561 3.59349 10 61.6233 17.034 3.51886 11 61.618 16.9833 3.49886 R_US 0.818934 0.794811 0.783658 0.773295 0.77416 0.767798 0.773868 0.777226 0.7865 0.790536 0.80342 0.812197 0.827025 0.837906 0.855408 0.869772 0.889182 0.904565 0.925314 0.94321 0.96485 0.98312 1.005719 1.025701 1.048838 1.069149 1.092798 1.114171 1.138107 1.159531 1.183556 1.205599 R_INA 11.97538 11.85903 11.79503 11.68973 11.61517 11.49919 11.43567 11.32104 11.23366 11.12722 11.04701 10.93779 10.8547 10.75303 10.67198 10.57367 10.49165 10.39649 10.3181 10.22635 10.14688 10.05878 9.982848 9.897603 9.822397 9.740659 9.668244 9.589496 9.518433 9.442565 9.374139 9.301172 LRER_RPUS 40.57565 40.73546 40.97286 41.11893 41.24819 41.31404 41.41075 41.46751 41.52871 41.53034 41.55323 41.55406 41.55696 41.52284 41.50968 41.47953 41.4548 41.40648 41.37085 41.32218 41.27945 41.21891 41.16759 41.10744 41.0525 40.98504 40.92516 40.8587 40.79678 40.72605 40.66107 40.59114 DUMMY08 2.145528 2.187463 2.175476 2.210365 2.203095 2.249818 2.252398 2.296881 2.308327 2.35763 2.372297 2.420517 2.440265 2.489204 2.510548 2.557707 2.582223 2.630242 2.655787 2.70186 2.729804 2.776345 2.804683 2.849333 2.878962 2.923419 2.95323 2.995996 3.026413 3.068753 3.099188 3.139966 R_INA LYCHN LRER_RPYUAN 0 0 0 0.05265 0.21161 10.4633 0.83447 0.12993 16.4782 1.16356 0.29836 16.8269 1.13495 0.56459 15.6211 1.02738 0.63345 15.4458 1.05996 0.64986 15.634 1.14531 0.69109 15.9559 1.17941 0.75065 15.8638 1.18798 0.79942 15.8364 1.19345 0.84507 15.8613 87 Periode LTBINACHN LYINA R_CHN R_INA LYCHN LRER_RPYUAN 12 61.4049 17.0414 3.48065 1.20607 0.88571 15.9814 13 61.2481 17.1 3.45813 1.21981 0.93079 16.0432 14 61.1978 17.1103 3.4211 1.22299 0.98027 16.0676 15 61.1729 17.1112 3.39186 1.21932 1.02888 16.0759 16 61.1174 17.1289 3.36447 1.21493 1.0753 16.0991 17 61.0503 17.1591 3.33946 1.21146 1.12175 16.118 18 60.9958 17.1853 3.31357 1.20723 1.16883 16.1292 19 60.9548 17.2052 3.28978 1.2017 1.21615 16.1324 20 60.9122 17.2244 3.2681 1.19551 1.26316 16.1367 21 60.863 17.2468 3.24889 1.18932 1.31 16.142 22 60.8115 17.2703 3.23082 1.18306 1.35707 16.1473 23 60.7619 17.2929 3.21372 1.17644 1.40456 16.1505 24 60.7137 17.3145 3.19745 1.16935 1.45239 16.1526 25 60.6649 17.3364 3.1821 1.16194 1.50047 16.1542 26 60.6154 17.3588 3.16737 1.1543 1.54887 16.1552 27 60.5663 17.3813 3.15314 1.14645 1.59763 16.1553 28 60.5178 17.4034 3.13934 1.13838 1.64676 16.1543 29 60.4696 17.4255 3.126 1.13014 1.69622 16.1526 30 60.4215 17.4475 3.1131 1.12177 1.746 16.1502 31 60.3732 17.4695 3.10061 1.11331 1.7961 16.1473 32 60.3251 17.4913 3.08849 1.10478 1.84653 16.1438 33 60.2769 17.513 3.07673 1.09618 1.89729 16.1398 34 60.2288 17.5346 3.06529 1.08754 1.94838 16.1354 35 60.1805 17.5561 3.05416 1.07887 1.99978 16.1306 36 60.1321 17.5774 3.04331 1.07017 2.0515 16.1255 37 60.0837 17.5986 3.03271 1.06145 2.10355 16.12 38 60.0352 17.6197 3.02235 1.05273 2.15591 16.1141 39 59.9867 17.6406 3.01221 1.04401 2.20858 16.1079 40 59.938 17.6614 3.00227 1.03529 2.26156 16.1015 41 59.8893 17.682 2.99252 1.02659 2.31483 16.0947 42 59.8406 17.7025 2.98295 1.0179 2.3684 16.0877 43 59.7917 17.7228 2.97355 1.00924 2.42226 16.0804 44 59.7428 17.743 2.9643 1.00061 2.47641 16.0729 45 59.6938 17.763 2.95521 0.99201 2.53083 16.0652 46 59.6447 17.7829 2.94626 0.98345 2.58552 16.0573 47 59.5955 17.8026 2.93745 0.97493 2.64048 16.0491 48 59.5462 17.8221 2.92876 0.96645 2.6957 16.0408 49 59.4968 17.8415 2.9202 0.95802 2.75117 16.0323 50 59.4474 17.8607 2.91175 0.94964 2.80689 16.0236 3. Model bilateral Indonesia-Jepang Periode LTBINAJPN LYINA R_JPN R_INA LYJPN LRER_RPYEN 1 100 0 0 0 0 0 2 96.83811 0.067833 0.002634 0.47831 2.611195 0.001919 88 Periode LTBINAJPN LYINA R_JPN R_INA LYJPN LRER_RPYEN 3 95.01119 0.581342 0.669496 0.567151 3.128812 0.042012 4 88.97761 1.314015 2.603638 3.877479 3.186265 0.040994 5 84.32275 2.377547 3.866159 4.301612 3.34766 1.78427 6 76.44626 3.648125 3.990335 4.669895 3.150096 8.095292 7 65.82789 3.501143 4.193798 5.606741 2.707949 18.16248 8 56.77299 3.120121 4.760038 4.837839 2.446498 28.06251 9 52.74694 2.891226 5.088713 4.656437 2.261948 32.35473 10 52.47851 2.999754 4.917248 4.39126 2.226062 32.98717 11 52.43083 2.925765 4.704111 4.145893 2.338269 33.45514 12 51.5841 3.012593 4.941509 3.998916 2.489896 33.97298 13 50.96364 3.188507 5.53533 3.831828 2.386674 34.09402 14 50.50855 3.402436 6.124591 3.634745 2.245946 34.08373 15 49.80259 3.399319 6.652994 3.391462 2.097022 34.65662 16 49.16406 3.561917 7.070851 3.13051 1.948825 35.12384 17 48.98569 3.689677 7.400281 2.915597 1.801991 35.20676 18 49.06393 3.905002 7.642863 2.709476 1.678597 35.00014 19 48.98749 3.965016 7.828364 2.525353 1.581989 35.11179 20 48.77837 4.074821 7.908841 2.343827 1.502908 35.39123 21 48.71245 4.151024 7.930516 2.198571 1.420421 35.58702 22 48.80781 4.293862 7.898526 2.068329 1.355342 35.57613 23 48.78673 4.314079 7.854699 1.955302 1.303098 35.78609 24 48.64857 4.371707 7.788996 1.847132 1.268405 36.07519 25 48.59239 4.413166 7.730928 1.756546 1.223294 36.28368 26 48.63217 4.496494 7.671116 1.675839 1.183853 36.34053 27 48.60762 4.509578 7.626702 1.603117 1.151653 36.50133 28 48.51662 4.550772 7.580096 1.532246 1.129061 36.69121 29 48.4652 4.573777 7.544809 1.470359 1.097173 36.84868 30 48.48203 4.631446 7.511318 1.413574 1.068616 36.89302 31 48.47404 4.642093 7.489201 1.360717 1.043201 36.99075 32 48.42406 4.669129 7.465589 1.309196 1.024157 37.10787 33 48.39691 4.682458 7.450034 1.263082 1.000234 37.20728 34 48.42185 4.723576 7.43479 1.220296 0.978532 37.22095 35 48.43253 4.731274 7.427401 1.179823 0.958569 37.27041 36 48.41057 4.752075 7.418246 1.140753 0.943928 37.33442 37 48.39714 4.761826 7.413135 1.105125 0.925849 37.39692 38 48.41635 4.792481 7.405836 1.071999 0.909095 37.40424 39 48.42683 4.799882 7.402475 1.040404 0.893348 37.43706 40 48.41435 4.817226 7.396104 1.009909 0.881574 37.48084 41 48.40355 4.824703 7.391532 0.981725 0.867474 37.53102 42 48.41507 4.84848 7.384455 0.955354 0.854445 37.54219 43 48.42291 4.85544 7.379869 0.930122 0.84185 37.56981 44 48.41474 4.869703 7.372881 0.905766 0.83227 37.60464 45 48.40561 4.875668 7.367403 0.882999 0.821161 37.64716 46 48.41233 4.894187 7.360143 0.861577 0.810827 37.66093 47 48.41797 4.900252 7.355062 0.841015 0.800573 37.68513 48 48.4128 4.912064 7.348516 0.821153 0.792637 37.71283 49 48.40569 4.916921 7.343476 0.802418 0.783625 37.74786 50 48.40964 4.931455 7.337286 0.784703 0.775201 37.76171 89 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Hapsari Adiningsih lahir di Jakarta pada tanggal 13 November 1991. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Sogol Sugiarto dan Sri Sukanti. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa ada hambatan yang berarti. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Harapan Jaya XVI Bekasi, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 5 Bekasi dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMU Negeri 4 Bekasi dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis untuk memperoleh ilmu dan dapat mengembangkan wawasan sehingga dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Gentra Kaheman (2010) divisi tarian jaipong, BEM FEM IPB periode 2011-2012, dan Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) periode 2012-2013. Selain itu penulis juga aktif menjadi panitia acara yang dilaksanakan di kampus.