BAB III TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Karsinoma Nasofaring 2.1

advertisement
`BAB III
TIJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring
2.1.1 Anatomi
Nasofaring adalah bagian dari saluran pernapasan bagian atas yang terletak
diantara rongga hidung dan orofaringeal. Batas bagian atas dari nasofaring adalah
dasar tengkorak dan lengkung tulang atlas sedangkan dua tulang servikal pada
leher membentuk dinding posterior. Batas anterior dari nasofaring adalah choanae
posterior dan batas bagian bawah adalah permukaan atas palatum (Cassidy J, et
al., 2002).
2.1.2 Etiologi
Etiologi dari penyakit nasofaring adalah (Cassidy J, et al., 2002) :
•
Virus Epstein-Barr (EBV).
•
Kelemahan genetik - profil kompleks histokompatibilitas utama,
•
H2, BW46, antigen B17
•
Konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamine secara berlebihan.
•
Obat herbal Cina yang mengandung ester merupakan promotor terjadinya
tumor yang mengaktifkan kembali infeksi EBV.
•
Kurangnya konsumsi vitamin C.
•
Infeksi EBV yang kembali aktif 18-60 bulan sebelum terdeteksinya tumor.
•
EBV yang berduplikasi ke dalam sel malignan.
10
2.1.3 Epidemiologi
Terdapat variasi yang luas pada insidensi karsinoma nasofaring (NPC) di
seluruh dunia. Insidensi tertinggi terdapat di Cina Selatan dan sebagian besar Asia
Tenggara (Hong Kong, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand Utara)
dengan kejadian rata-rata 20-30/100 000 per tahun. Besaran Insidensi pada lakilaki berusia 45-55 di Cina Selatan adalah 120/100 000. Pada negara Maghrebian
Arab (dari Ageria, Tunisia, Maroko, Libya, dan Sudan) insidensi penyakit ini
digolongkan menegah dengan jumlah 1.5-9/100 000 per tahun. Satu-satunya
kelompok di Amerika Utara atau Eropa dengan insidensi karsinoma nasofaring
yang tinggi adalah suku Eskimo, dengan prevalensi yang serupa dengan suku
Kanton. Dengan kata lain, karsinoma nasofaring adalah kanker langka dengan
angka kejadian khas sebesar 0.2-0.5/100 000 (di daerah West Midlands, Inggris)
(Cassidy J, et al., 2002).
2.1.4 Patologi
WHO menggolongkan karsinoma nasofaring (NPC) menjadi tiga jenis
(Cassidy J, et al., 2002) :
•
Tipe 1: karsinoma keratinisasi skuamosa
•
Tipe 2: karsinoma non-keratinisasi (karsinoma sel transisional)
•
Tipe 3: undifferentiated (kelenjar lymph -epitelioma)
Kanker skuamosa memiliki kecenderungan tinggi menjadi persistensi
secara lokal setelah dilakukannya pengobatan dan juga prognosis yang buruk.
Tumor jenis undifferentiated adalah entitas yang paling umum dan tidak seperti
11
kebanyakan kanker kepala dan leher, kanker jenis ini sering menyebar ke lokasi
yang jauh melalui sistem limfatik (Cassidy J, et al., 2002).
2.1.5 Persentasi dan Metode Penyebaran
Tuli secara unilateral, penyumbatan tabung eustachio sekunder, adalah
gejala lokal yang paling umum, yang diikuti dengan epistaksis. Sumbatan hidung
biasa terjadi ketika tumor berkembang. NPC menyebar ke ruang parapharyngeal
lateral, anterior ke orbita dan paranasal sinus, inferior ke orofaring, dan superior
melalui dasar tengkorak. Setiap dari saraf kranial dapat terlibat oleh tumor. Dalam
prakteknya, saraf V adalah saraf yang paling sering terkena karena tumor berada
di dalam atau pada sekitar foramen ovale. Tumor di rongga sinus dapat
menyebabkan diplopia sekunderkarena adanya kompresi saraf IV, III, atau VI.
Saraf kranial posterior (IX sampai XII) dapat terlibat dengan penyebaran
parapharyngeal langsung atau kompresi dari kelenjar getah bening retrofaringeal
(Cassidy J, et al., 2002).
Penyebaran kelenjar getah bening cerviks adalah kejadian umum dan
presentasinya sering terjadi pada bilateral atau unilateral bagian atas. Nodus
unilateral serviks dalam tepat di bawah mastoid adalah lokasi penyebaran yang
sering terjadi. Penyebaran secara kaudal penyakit nodus berhubungan dengan
penyebaran yang jauh dan hal ini adalah dasar dari pola staging Ho.
Penyebaran jauh ke tulang (sering dengan metastasis sklerotik), hati, dan
paru adalah hal umum pada penyakit stadium lanjut (Cassidy J, et al., 2002).
12
2.1.6 Perawatan
Radioterapi adalah perawatan andalan untuk kanker nasofaringeal.
Penanganan bedah dibatasi berdasarkan stadium kanker dan diseksi pada leher
yang menunjukkan perbaikan setelah 3 bulan menjalani radioterapi. Perencanaan
radioterapi sangat kompleks pada penyakit ini. Pada tumor awal tidak
diperbolehkan terpapar radiasi yang luas dan tidak mengenai dasar tulang. Leher
tidak boleh terpapar sinar radiasi dengan frekuensi yang tinggi karena adanya
metastase pada bagian lain yang tidak terlihat. Dosis radiasi pada mata, otak, dan
syaraf tulang belakang harus dalam batas toleransi. Untuk mengurangi reaksi akut
yang ditimbulkan pada mukosa, volume radiasi harus tetap terkontrol. Dalam
dosis umum 65-70 Gy diberikan pada lokasi utama penyakit
selama 6,5-7
minggu. Daerah leher yang terlibat diberikan dosis sebanyak 60 Gy sampai 70 Gy
jika dibutuhkan. Pada daerah parafaringeal dosis radiasi juga ditingkatkan.
Brakiterapi mungkin digunakan untuk meningkatkan dosis pada lokasi utama
penyakit (Cassidy J, et al., 2002).
Rekurensi lokal atau regional yang berkembang pada tahun ke dua atau
lebih pasca radioterapi, dapat diatasi dengan pemberian radioterapi ke dua seperti
pada laporan kasus yang menunjukkan angka 5 tahun bertahan hidup mencapai
25-35% dengan nilai morbiditas yang meningkat (Cassidy J, et al., 2002).
2.1.7 Kemoterapi
Penatalaksanaan kemoterapi pada karsinoma nasofaring didapatkan hasil
(Cassidy J, et al., 2002) :
•
Kemoterapi memberikan respon positif
13
•
20% berespon lengkap
•
Pada stadium lanjut, 70% dari keseluruhan rata-rata memberikan respon
•
5FU, cisplatin, bleomycin
•
Kemoterapi lebih baik dilakukan sebelum radioterapi
2.1.8 Penelitian Lebih Lanjut
Penelitian lebih lanjut yang diperlukan terkait dengan upaya pencegahan
karsinoma nasofaring dan rencana perawatan seperti (Cassidy J, et al., 2002) :
•
Pengembangan vaksin EBV
•
Mengurangi dosis radiasi pada perawatan radioterapi untuk mengurangi
terpaparnya jaringan normal oleh radiasi
•
Peningkatan radioterapi hiperfraksionasi
•
Kombinasi radiasi dan kemoterapi
2.2 Efusi Pleura
Efusi pleura masih merupakan masalah klinis yang selalu terjadi di seluruh
belahan dunia (Shields et al., 2009). Sekitar 75% kasus efusi pleura terjadi
disebabkan karena proses keganasan (Todd et al., 2009). Di Amerika Serikat,
insidensi efusi pleura maligna diperkirakan 150.000 kasus baru setiap tahun 1 dan
terus meningkat setiap dekade berikutnya sesuai dengan peningkatan jumlah
kanker paru-paru, payudara, ovarium, limfoma, dan gaster (Shields et al., 2009).
2.2.1 Definisi
Efusi pleura maligna adalah terjadinya akumulasi cairan pada rongga
14
pleura karena proses malignansi dengan menemukan sel-sel maligna pada cairan
pleura atau jaringan pleura. Bila efusi pleura diduga berhubungan dengan proses
malignansi, namun tidak ditemukan sel-sel maligna pada cairan pleura atau
jaringan pleura disebut sebagai efusi pleura paramaligna. Sel-sel maligna
ditemukan melalui pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi jarum halus
jaringan pleura, atau biopsi torakoskopi, torakotomi, atau otopsi (Todd et al.,
2009).
2.2.2 Patogenesis
Pada efusi pleura maligna mekanisme terjadinya efusi terutama adalah
karena gangguan drainase limfatik. Sel-sel tumor menutupi stoma limfatik pleura
parietal yang akan mengalir ke kelenjar getah bening mediastinal dan parasternal.
Pada studi otopsi oleh Meyer, Chernow, dan Sahn menunjukkan bahwa terdapat
hubungan efusi pleura maligna dengan obstruksi kelenjar getah bening
mediastinal (John et al., 2000).
Respon inflamasi terhadap invasi tumor menghasilkan peningkatan
permeabilitas mikrovaskular dan menyebabkan efusi pleura dalam jumlah
beragam. Chretian dan Jaubert mengatakan bahwa penyebabnya adalah radikal
oksigen, metabolit asam arakhidonat, protease, limfosit, dan kompleks imun
(Shields et al., 2009).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis paling sering terjadi pada efusi pleura adalah sesak
nafas, awalnya terjadi bila beraktivitas, kemudian bertambah berat dan bahkan
sesak saat istirahat. Bisa disertai nyeri dada dan batuk. Sesak terjadi karena
15
penurunan compliance dinding dada, penekanan diafragma ipsilateral, pergeseran
mediastinum, dan pengurangan volume paru akibat refleks neurogenik. Nyeri
dada terjadi karena invasi tumor pada pleura parietalis, kosta, atau struktur
interkostalis. Gejala konstitusional termasuk penurunan berat badan, malaise, dan
anoreksia (Shields et al., 2009).
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis efusi pleura maligna dibuat berdasarkan temuan klinis,
penunjang radiologis, serta pemeriksaan cairan pleura, baik analisis maupun
sitologi. Pemeriksaan sitologi cairan pleura saja memiliki nilai diagnostik dengan
sensitivitas 62% dan biopsi jarum perkutan 44%, bila dikombinasi menjadi 74%,
dibanding dengan torakoskopi sebesar 95%. Biopsi pleura terbuka memerlukan
torakotomi dan berhubungan dengan morbiditas mortalitas, serta beban biaya
yang tinggi (Shields et al.,2009).
2.2.5 Perawatan
Pasien efusi pleura maligna yang sedikit sekali (minimal) dan
asimptomatik cukup dilakukan observasi. Bila keadaan memburuk menjadi sesak
nafas dan membutuhkan tindakan, maka dilakukan drainase efusi melalui torako
sintesis/insersi chest tube diikuti pleurodesis, torakotomi dan pleurektomi untuk
menghindari akumulasi berulang cairan pada rongga pleura. Pasien-pasien dengan
survival yang buruk lebih baik dilakukan torakosentesis berulang atau indweling
catheter (pasien rawat jalan) daripada dilakukan torakostomi dengan pleurodesis
(pasien dirawat), dalam hubungannya dengan morbiditas dan biaya (Shields et al.,
2009).
16
Pada umumnya, kemoterapi sistemik mengecewakan untuk mengontrol
efusi pleura maligna. Meskipun demikian, pasien dengan limfoma, kanker
payudara, atau karsinoma paru tipe sel kecil, berespon baik terhadap kemoterapi
(Richard et al., 2007). Terapi radiasi sangat terbatas untuk mengontrol efusi pleura
maligna. Jika terdapat KGB mediastinal pada pasien dengan limfoma atau
karsinoma paru tipe sel kecil, radiasi baru bisa bernilai positif (Shields et al.,
2009).
2.3 Dehidrasi
Dehidrasi adalah hilangnya cairan, dapat juga merupakan komplikasi yang
terjadi akibat muntah dan diare yang disebabkan oleh kasus malignansi,
kemoterapi, dan radioterapi. Dehidrasi biasanya terjadi pada pasien yang telah
menjalani kemoterapi, imunoterapi, atau radioterapi. Ketika pasien mengalami
dehidrasi perlu dilakukan penanganan dan penanggulangan untuk rehidrasi pada
pasien (Bowie, MJ and Schaffer, RM, 2011).
Terdapat banyak penyebab kehilangan cairan tubuh dan kandungan
elektrolit di antaranya; kehilangan melalui kulit seperti diaforesis dan luka bakar,
melalui saluran pencernaan misalnya muntah dan diare, dan melalui saluran
kandung kemih (diuresis osmotic dan diabetes insipidus) (Asmadi, 2008).
Ada dua jenis dehidrasi, yaitu (Asmadi, 2008) :
1. Dehidrasi apabila kekurangan air lebih dominan dibandingkan
kekurangan elektrolit (dehidrasi isotonik). Pada dehidrasi ini cairan
ekstraseluler menjadi lebih pekat sehingga terjadi perpindahan air dari
17
intrasel ke ekstrasel yang menyebabkan dehidrasi intraseluler.
2. Dehidrasi apabila kekurangan elektrolit lebih dominan dibandingkan
kekurangan air (dehidrasi hipertonik). Pada dehidrasi ini cairan
ekstraseluler bersifat hipotonis sehingga terjadi perpindahan air dari
ekstrasel ke intrasel yang menyebabkan edema intrasel.
2.4 Kandidiasis
2.4.1 Definisi
Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik yang paling sering
mempengaruhi keadaan mukosa mulut. Dalam sebagian besar kasus, lesi
disebabkan oleh jamur Candida albicans. Patogenesis tidak sepenuhnya dipahami,
tetapi sejumlah factor predisposisi memiliki kemampuan untuk mengkonversi
Candida dari komensal Flora normal (tahap saprophytic) ke organisme patogen
(tahap parasit). C. albicans biasanya patogen yang lemah, dan kandidiasis dapat
diderita oleh segala usia baik individu usia muda maupun tua, dan yang sakit.
Sebagian besar infeksi Candida hanya mempengaruhi lapisan mukosa, tetapi pada
manifestasi sistemik langka memiliki kemungkinan berakibat fatal (Greenberg
and Glick, 2008).
Kandidiasis oral dibagi menjadi infeksi primer dan sekunder (Tabel 1) .
infeksi primer dibatasi pada rongga mulut dan perioral, sedangkan infeksi
sekunder disertai dengan manifestasi sistemik mukokutan (Greenberg and Glick,
2008).
2.4.2 Etiologi dan Patogenesis
18
C. albicans, C. tropicalis, dan C. glabrata terdiri dari lebih 80% spesies
isolasi infeksi Candida. Untuk menyerang lapisan mukosa, mikroorganisme harus
memasuki permukaan epitel, sehingga strain Candida dengan potensi adhesi yang
lebih baik akan menjadi lebih patogen dari strain dengan adhesi yang kurang baik.
Penetrasi jamur pada sel-sel epitel difasilitasi oleh produksi lipase, agar jamur
tetap dalam epitel, mereka harus mampu menangulangi deskuamasi konstan
permukaan sel epitel (Greenberg and Glick, 2008).
Terdapat hubungan yang jelas antara oral kandidiasis dengan pengaruh
faktor predisposisi lokal dan umum. Faktor predisposisi lokal (Tabel 2) dapat
membantu pertumbuhan Candida atau mempengaruhi respon imun mukosa mulut.
Faktor predisposisi umum dapat berhubungan dengan status kekebalan tubuh
pasien dan gangguan endokrin yang diderita oleh pasien (Greenberg and Glick,
2008).
Status kekebalan tubuh dapat dipengaruhi oleh obat-obatan, yang bersifat
menurunkan sistem kekebalan bawaan. Kandidiasis pseudomembran juga terkait
dengan infeksi jamur pada anak-anak, yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh
sistem kekebalan tubuh. Denture stomatitis, angular cheilitis, dan median
rhomboid glossitis disebut sebagai lesi yang dapat dikaitakan dengan candida
angular selain dapat disebabkan oleh bakteri (Greenberg and Glick, 2008).
2.4.3 Epidemiologi
Prevalensi Candida, sebagai bagian dari flora normal mulut, menunjukkan
variasi geografis yang luas, namun angka rata-rata 35% telah dihitung dari
beberapa penelitian. Dengan peningkatan teknik deteksi, telah didapat prevalensi
19
setinggi 90%. Pasien rawat inap juga memiliki prevalensi Candida yang tinggi.
Pada orang sehat, golongan darah O dan nonsekresi antigen golongan darah yang
dipisah dan merupakan faktor resiko kumulatif untukpengangkutan oral C.
albicans (Greenberg and Glick, 2008).
Pada pemakai gigi tiruan, prevalensi denture stomatitis bervariasi, tetapi
dalam studi populasi, telah dilaporkan sekitar 50% (Greenberg and Glick, 2008).
2.4.4 Temuan Klinis
Candidiasis pseudomembran. Bentuk akut pseudomembran kandidiasis
(thrush) dikelompokkan dalam kandidiasis oral primer (Tabel 1) dan diakui
sebagai infeksi Candida klasik (Gambar 2.1). Infeksi sebagian besar diderita oleh
pasien yang mengalami pengobatan dengan antibiotik, obat imunosupresan, atau
penyakit yang menekan sistem kekebalan tubuh (Greenberg and Glick, 2008).
TABEL 1 Klasifikasi Kandidiasis Oral
Kandidiasis
Oral Kandidiasis Oral Sekunder
Primer
The Primary Triad
Acute
Pseudomembranous
Kondisi
Familial Kandidiasis kronis
mucocutaneous
Sub grup
1
menyebar Kandidiasis kronis
mucocutaneous
2
Erythematous
kandidiasis endocrinopathy sindrom
TABEL 1 Klasifikasi Kandidiasis Oral (Lanjutan)
Kandidiasis
Oral Kandidiasis Oral Sekunder
3
Primer
Chronic
familial kandidiasis mucocutaneous
Severe dikombinasikan dengan
4
5a
immunodeficiency
20
Pseudomembranous
Erythenatous
Plaque-like
Sndrom DiGeorge
5b
Penyakit granulomatosa kronis
5c
Acquired
immune
deficiency 6
syndrome (AIDS)
Nodular
Candida-associated
lecions
Denture Stomatitis
Angular cheilitis
Median rhomboid
glossitis
Gambar 2.1 Pseudomembran Kandidiasis Selama Fase Immunosuppressive
Transplantasi Hati (Greenberg and Glick, 2008)
Infeksi biasanya muncul dan melekat pada membran yang terdiri dari
jamur dan debris, yang dapat meninggalkan daerah inflamasi, kadang-kadang
menimbulkan daerah perdarahan jika pseudomembran dilepas. Infeksi terkadang
memiliki gambaran klinis yang sulit dibedakan dari sisa-sisa makanan. Keadaan
klinis akut dan kandidiasis pseudomembran kronis dibedakan. Bentuk kronis
muncul sebagai akibat dari human immunodefisiensi virus (HIV), infeksi pada
pasien ini dipengaruhi oleh Candida pseudomembran dalam jangka waktu yang
21
panjang. Namun, pasien yang diobati dengan inhaler steroid juga dapat terjadi lesi
pseudomembran yang bersifat kronis. Pasien jarang melaporkan gejala dari lesi
mereka, meskipun beberapa ketidaknyamanan mungkin dirasakan karena adanya
lesi pseudomembran (Greenberg and Glick, 2008).
Kandidiasis Erimatosa. Bentuk eritematosa dari kandidiasis sebelumnya
disebut sebagai atrofi kandidiasis oral. Permukaan eritematosa mungkin tidak
hanya mencerminkan atrofi tetapi juga dapat diakibatkan oleh peningkatan
vaskularisasi. Lesi berbatas difus (Gambar 2.2), berbeda dengan eritroplakia, yang
memiliki batas jelas. Infeksi ini terutama ditemui di langit-langit dan dorsum lidah
pasien yang menggunakan steroid inhalasi. Faktor predisposisi lain yang dapat
menyebabkan kandidiasis eritematosa yaitu perokok dan pengobatan dengan
antibiotik spektrum luas. Akut dan kronis muncul dengan klinis yang identik
(Greenberg and Glick, 2008).
Gambar 2.2 Kandidiasis Eritematosa yang Disebabkan Inhalasi Steroid
(Greenberg and Glick, 2008)
Chronic Plaque-Type dan Nodular Candidiasis. Tipe plak kronis
22
kandidiasis oral menggantikan istilah lama candidal leukoplakia. Tanda klinis
yang khas ditandai dengan plak putih, yang dapat dibedakan dari oral leukoplakia
(Gambar 2.3). Sebuah korelasi positif antara kandidiasis oral dan displasia epitel
moderat hingga parah, dan kedua tipe plak kronis dan kandidiasis nodular
(Gambar 2.4) telah dikaitkan dengan transformasi keganasan, tetapi peran
kemungkinan jamur dalam karsinogenesis oral masih tidak jelas.
Gambar 2.3 Chronic Plaque-Type Candidiasis
(Greenberg and Glick, 2008)
23
Gambar 2.4 Chronic Nodular Candidiasis
(Greenberg and Glick, 2008)
2.4.5 Manifestasi Klinis
Kandidiasis oral sekunder (lihat Tabel 1) disertai dengan kandidiasis
mukokutan sistemik dan menurunnya daya tahan tubuh. Kandidiasis mukokutan
kronis (CMC) mencakup sekelompok gangguan yang heterogen, di samping
timbulnya kandidiasis oral, hal in juga mempengaruhi kulit, seperti kuku dan
lapisan mukosa lainnya, sebagai contoh adalah mukosa genital. Wajah dan kulit
kepala kemungkinan terlibat, disertai massa granulomatos yang dapat terlihat di
tempat tersebut. Sekitar 90% pasien dengan CMC mengalami kandidiasis oral.
Keadaan yang mempengaruhi rongga mulut ini mungkin dapat melibatkan lidah,
dan disertai lesi hiperplastik putih pada fissure lidah. CMC dapat timbul
disebabkan oleh gangguan endokrin seperti hiperparatiroidisme dan penyakit
Addison. Gangguan fungsi fagositosis oleh granulosit neutrofilik dan makrofag
yang disebabkan oleh kekurangan myeloperoxidase juga diketahui dapat berkaitan
dengan CMC. Sindrom Chediak-Higashi, merupakan penyakit bawaan yang
ditandai dengan berkurangnya jumlah granulosit neutrofilik, yang memberikan
dukungan lebih lanjut untuk peran sistem fagositosis pada infeksi candida hal ini
menyebabkan berkembangnya kandidiasis pada pasien. Gabungan dari sindrom
24
immunodefisiensi yang parah ditandai dengan adanya kerusakan fungsi mediated
sel dari sistem kekebalan tubuh. Pasien dengan gangguan ini sering terkena
infeksi candida yang menyebar luas. Thymoma adalah neoplasma dari epitel sel
thymus yang juga menyebabkan kandidiasis sistemik. Dengan demikian, kedua
sistem kekebalan asli dan adaptif sangat penting peranannya dalam mencegah
perkembangan kandidiasis mukokutan sistemik (Greenberg and Glick, 2008).
2.4.6 Diagnosis dan Hasil Pemeriksaan Laboraturium
Kehadiran candida sebagai bagian dari flora komensal dapat mempersulit
untuk membedakan keadaan normal dari infeksi. Diperlukan temuan klinis dan
hasil laboratorium yang cocok dalam rangka menegakkan diagnosis yang tepat.
Terkadang pengobatan antijamur harus turut disertakan untuk membantu dalam
proses diagnostik (Greenberg and Glick, 2008).
Smear dari daerah yang terinfeksi, terdiri dari sel-sel epitel, menciptakan
peluang untuk mendeteksi ragi. Bahan yang diperoleh berada didalam isopropil
alkohol dan dikeringkan sebelum dilakukan pewarnaan dengan periodic acidSchiff (PAS). Penemuan organisme pada ragi dianggap sebagai tanda infeksi.
Teknik ini sangat berguna ketika pseudomembran kandidiasis dan angular
cheilitis diduga ada. Untuk meningkatkan sensitivitas, gesekan kedua dapat
dipindahkan ke transport medium diikuti oleh kulturisasi pada agar Sabouraud.
Untuk membedakan antara spesies Candida yang satu dengan yang lainnya,
pemeriksaan tambahan dapat dilakukan menggunaka agar Pagano-Levin. Teknik
kultur Imprint juga dapat digunakan, hal ini dilakukan dengan cara menggunakan
busa bantalan plastik steril (2.5x2.5 cm) yang terendam didalam kaldu Sabouraud
25
dan ditempatkan pada permukaan yang terinfeksi selama 60 detik. Busa bantalan
plastik steril tersebut kemudian ditekankan secara kuat pada agar-agar Sabouraud,
yang akan di kultur pada suhu 37°C. Hasilnya dapat terlihat koloni yang
membentuk unit per milimeter kubik (CFU/mm2). Metode tambahan ini
merupakan hal yang penting dalam proses pemeriksaan diagnostik kandidiasis
eritematus dan denture stomatitis karena infeksi ini terdiri dari lesi eritematosa
cukup homogen. Teknik kultur saliva digunakan secara paralel dengan metode
pemeriksaan diagnostik lain untuk mendapatkan perhitungan candida yang
adekuat. Pasien dengan tanda-tanda klinis kandidiasis oral biasanya memiliki
lebih dari 400 CFU / mL (Greenberg and Glick, 2008).
Pada tipe plak kronis dan kandidiasis nodular, teknik kulturisasi harus
dilengkapi dengan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan ini penting dilakukan
untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya displasia epitel dan untuk
mengidentifikasi organisme Candida yang tidak terdeteksi oleh pewarnaan PAS.
Namun untuk yang kedua, ada risiko hasil negatifnya kemungkinan dapat salah
(Greenberg and Glick, 2008).
2.4.7 Perawatan
Sebelum memulai pengobatan antijamur, perlu untuk mengidentifikasi
faktor predisposisi. Faktor lokal dapat dengan mudah untuk diidentifikasi tapi
terkadang tidak mudah untuk mengurangi atau menghilangkan faktor tesebut.
Obat antijamur memiliki peran utama dalam kasus tersebut. Obat antijamur yang
paling umum digunakan adalah golongan poliena atau azoles (Tabel 2.1). Obat
antijamur golongan poliena seperti nistatin dan amfoterisin B adalah alternatif
26
pertama dalam pengobatan primer oral candidiasis dan dapat ditoleransi dengan
baik oleh tubuh. Poliena tidak diserap oleh saluran pencernaan dan tidak berkaitan
dengan pengembangan resistensi. Obat ini berkerja melalui efek negatif pada
produksi ergosterol, yang sangat penting untuk integritas membran sel candida.
Poliena juga dapat mempengaruhi sifat dari jamur (Greenberg and Glick, 2008).
Meskipun pada kenyataannya jarang, pelepasan gigi tiruan secara
permanen adalah pengobatan yang efektif untuk denture stomatitis. Namun,
penghilangan atau pengurangan faktor predisposisi harus selalu menjadi tujuan
utama dalam pengobatan denture stomatitis serta infeksi oportunistik lain. Hal ini
meliputi kebersihan gigi tiruan dan pemberitahuan untuk tidak menggunakan gigi
tiruan pada saat tidur. Kebersihan gigi tiruan penting untuk menghilangkan
nutrisi, termasuk deskuamasi sel epitel, yang dapat berfungsi sebagai sumber
nitrogen. Pembersihan pada gigi tiruan juga dapat mengganggu kematangan
lingkungan mikroba yang ada dibawah gigi tiruan. Gigi tiruan merupakan tempat
berporositas yang memudahkan mikroorganisme untuk berkembang pembersihan
secara fisik mungkin tidak membersihkan secara keseluruhan, sebagai tambahan
gigi tiruan harus disimpan didalam larutan antimikroba. Larutan antimikroba yang
disarankan adalah peroksida alkali, hipoklorit alkali, asam, desinfektan, dan
enzim. Larutan antimikroba terakhir tampaknya paling efektif terhadap candida.
Klorheksidin juga dapat digunakan akan tetapi diketahui bisa menghitamkan gigi
tiruan dan melawan efek dari nistatin (Greenberg and Glick, 2008).
27
Tabel 2.1 Agen Anti Jamur yang Digunakan untuk Pengobatan Kandidiasis Oral
(Greenberg and Glick, 2008).
Obat
Sediaan
Dosis
Komentar
Amphotericin B
Tablet hisap, 10
lambat larut dalam
Absorpsi dapat
mg
mulut 3- 4 kali
diabaikan oleh
sehari setelah
saluran pencernaan.
makan minimal 2
Ketika diberikan IV
minggu
untuk mikosis yang
dalam, dapat
menyebabkan
tromboflebitis,
anoreksia, mual,
muntah, demam,
sakit kepala,
penurunan berat
badan, anemia,
hipokalemia,
nefrotoksisitas,
hipotensi,
aritmia,
suspensi oral, 100
mg/ml
Nystatin
Krim
pil, 100.000 U.
Suspensi oral,
100.000 U
Dikulum pada
mulut setelah
makan dan
diletakkan di dekat
lesi 4x sehari
selama 2 minggu
Digunakan pada
daerah yang terkena
3-4x/hari
Absorpsi dapat
diabaikan oleh
saluran pencernaan.
Mual dan muntah
pada
dosis tinggi
Larutkan 1
pilperlahan setelah
makan 4x / hari
biasanya untuk 7
hari
Digunakan setelah
makan, 4x/hari,
biasanya 7 hari dan
dilanjutkan
beberapa hari
28
Clotrimazole
Krim
Larutan
Miconazole
Gel oral
Krim
setelah perawatan
dari klinik
Digunakan pada
daerah yang terkena
2-3x/hari selama 34 minggu
5ml , 3-4 kali sehari
minimal selama 2
minggu
Digunakan pada
daerah yang terkena
3-4x/hari minimal
selama 2 minggu
Digunakan 2 kali
sehari dan
dilanjutkan selama
10-14 hari setelah
lesi sembuh
Ketoconazole
Tablet
200-400 mg tablet
diminum satu atau
dua kali sehari
dengan makanan
selama 2 minggu
Fluconazole
Kapsul
kapsul 50-100 mg
sehari sekali selama
2-3 minggu
Itraconazole
Kapsul
kapsul 100 mg
Efek lokal yang
ringan, dan juga
memiliki anti
stapilococus
Kadang reaksi lokal
ringan. Juga
memiliki aktivitas
antibakteri. Secara
teoritis antijamur
terbaik untuk
mengobati angular
cheilitis. Berinteraksi
dengan antikoagulan
(warfarin),
terfenadine,
cisapride, dan
astemizol. Hindari
pada kehamilan dan
penyakit hati.
Dapat menyebabkan
mual, muntah, ruam,
pruritus, dan
kerusakan hati.
Berinteraksi dengan
antikoagulan,
terfenadine,
cisapride, dan
astemizol.
Kontraindikasi
pada kehamilan dan
penyakit hati.
Berinteraksi dengan
antikoagulan,
terfenadine,
cisapride, dan
astemizol.
Kontraindikasi pada
kehamilan dan
penyakit hati dan
ginjal. Dapat
menyebabkan
mual, diare, sakit
kepala, ruam,
disfungsi hati
Berinteraksi dengan
29
sehari diminum
setelah makan
selama 2 minggu
terfenadine,
cisapride, dan
astemizol.
Kontraindikasi pada
kehamilan dan
penyakit hati. Dapat
menyebabkan mual,
neuropati, ruam.
Adapted from Ellepola, 2000.26
IV = intravenously
Pengobatan topikal dengan azoles seperti miconazole adalah terapi pilihan
pada angular cheilitis yang sering kali terinfeksi oleh S. aureus dan Candida. Obat
ini memiliki efek biostatic pada S. Aureus dengan efek tambahan fungistatic
untuk Candida. Asam fusidic (2%) dapat digunakan sebagai pelengkap dari obat
antijamur. Jika angular cheilitis terdiri dari eritema disekeliling fissure, salep
steroid ringan mungkin diperlukan untuk menekan peradangan. Untuk mencegah
rekurensi, penderita harus memberikan krim pelembab, yang akan mencegah
pembentukan fissure baru (Greenberg and Glick, 2008).
Azoles sistemik dapat digunakan untuk kandidiasis yang terletak sangat
dalam, seperti kandidiasis hiperplastik kronis, denture stomatitis, dan median
rhomboid glossitis dengan munculnya granular, dan untuk terapi infeksi yang
resisten,
yang
kebanyakan
berhubungan
dengan
kegagalan
dikatenakan
ketidakpatuhan pemakaian obat. Ada beberapa kelemahan penggunaan azoles.
Mereka diketahui jika berinteraksi dengan warfarin, akan menyebabkan
meningkatnya kecenderungan perdarahan. Efek merugikan tersebut juga berlaku
untuk aplikasi topikal seperti azoles yang seluruhnya atau sebagian diserap oleh
saluran pencernaan. Pembentukan resistensi sangat kuat oleh flukonazol pada
pasien HIV. Dalam kasus tersebut, ketoconazole dan itraconazole telah
direkomendasikan sebagai obat alternatif. Namun, resistansi silang telah
30
dilaporkan antara flukonazol di satu sisi dan ketoconazole, miconazole, dan
itrakonazol dan pada sisi lain. Azoles juga digunakan dalam pengobatan oral
kandidiasis sekunder yang terkait dengan faktor predisposisi penyakit sistemik
dan untuk kandidiasis sistemik (Greenberg and Glick, 2008).
Prognosis baik dari candidiasis oral mengingat bahwa faktor predisposisi
yang terkait dengan infeksi dikurangi atau dieliminasi. kandidiasis kronis plak
persistent dan kandidiasis nodular telah disarankan dapat menyebabkan
peningkatan risiko untuk transformasi ganas dibandingkan dengan primer
leukoplakia yang tidak bersekutu dengan infeksi Candida. Pasien dengan
kandidiasis juga beresiko jika adanya faktor predisposisi sistemik. Sebagai
contoh, pasien dengan imunosupresi berat seperti yang terlihat dalam
hubungannya dengan leukemia dan AIDS mungkin mengalami penyebaran
kandidiasis yang berakibat fatal (Greenberg and Glick, 2008).
2.5 Mucositis
Mucositis adalah suatu peradangan mukosa mulut hasil dari efek sitotoksik
langsung radiasi atau agen antineoplastik yang dapat membelah sel epitel rongga
mulut dengan cepat. Insidensi mucositis mencapai 40% pada pasien yang
menjalani kemoterapi. Mucositis mudah menyerang daerah nonkeratinisasi
mukosa (mukosa bukal, muksa labial, dan ventral lidah) dan daerah yang
bedekatan dengan restorasi logam pada akhir minggu kedua terapi radiasi (James
et al., 2007).
Mucositis berkembang pada hari ke tujuh dan ke empat belas
31
pascakemoterapi (terutama untuk jenis radiasi VP16, epotoside, methotrexate)
ketika berefek pada menurunnya WBC count. Gejala ini akan mereda 1 hingga 2
minggu setelah menjalani pengobatan. Pasien muda penderita kanker dengan
angka rata-rata perbandingan yang tinggi memiliki prevalensi menderita mucositis
akibat efek kemoterapi yang lebih besar dibandingkan dengan usia lebih tua
(James et al., 2007).
Selama fase akut tujuannya adalah untuk menjaga integritas mukosa dan
meningkatkan kebersihan rongga mulut. Pasien umumnya diobati dengan cara
sebagai berikut (James et al., 2007) :
-
Pembilasan rongga mulut secara perlahan (menggunakan garam dan
air soda) untuk menjaga area yang terdapat ulser tetap bersih.
-
Topikal
anestesi
(viscous
lidocaine
0,5%)
dan/atau
larutan
antihistamin (benzydamine HCl [Tantum rinse], diphenhydramine
[Benadryl], promethazine [Phenergan]) yang dapat mengontrol rasa
sakit atau juga dapat dikombinasikan dengan susu dari magnesia
(Maalox), Kaopectate atau sucralfate yang berperang sebagai coating
agent (untuk melindungi area yang terdapat ulser)
-
Obat kumur antimikroba seperti chlorhexidine
-
Agen anti-inflamasi
(larutan kamiliosan atau steroid topikal
[dexamethasone])
-
Hidrasi yang adekuat
-
Diet makanan lunak, protein, dan suplementasi vitamin pada dosis
terapeutik
32
-
Oral lubricant (minyak pelumas) dan pelembab bibir berbahan dasar
air, beeswax, atau minyak sayur (contoh: Surg-Lube).
-
Udara yang lembab (alat pelembab udara atau alat penguap)
-
Menghindari alkohol, rokok, dan jenis makanan yang dapat
mengiritasi mukosa (seperti buah dan jus jeruk, makanan panas dan
pedas).
33
Gambar 2.5 Mucositis/candidiasis pada bone marrow transplantation (BMT). A,
palatum keras dan lunalk B, ginggiva dan dasar mulut.
34
Download