5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spinal Anestesi Anestesi spinal

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Spinal Anestesi
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5
untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat keberhasilan yang
tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek
fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal. (Peter Dunn, 2007)
Gambar 2.1. Anatomi Spinal Anestesi (Friedrich, 2012)
Kontraindikasi absolut anastesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di
daerah
penusukan,
koagulopati,
hipovolemi
berat,
peningkatan
tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
5
6
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati
seperti penyakit demielinisasi sistem syaraf pusat, lesi pada katup jantung serta
kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga menyebutkan kontraindikasi
kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat penusukan,
ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi yang
meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak. (Morgan, 2006)
Obat anestesi lokal adalah suatu senyawa amino organik. Pada pemakaian
sehari- hari, obat ini dapat dibagi menjadi golongan amino ester dan golongan
amino amida. Ikatan ester mempunyai sifat mudah dihidrolisis dalam hepar dan
oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja pendek dan hanya sedikit
menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah menjadi tidak aktif oleh
hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama dan lebih banyak
menembus jaringan. Kelompok ester antara lain procaine, chloroprocaine dan
tetracaine. Kelompok amida antara lain lidocaine, mepivacaine, bupivacaine dan
etidocaine. (Morgan, 2006)
Anestesi lokal yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain5% sudah
ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivakain
menjadi pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Anestesi lokal dapat dibuat
isobarik, hiperbarik atau hipobarik terhadap cairan serebrospinal. Barisitas
anestesi lokal mempengaruhi penyebaran obat tergantung dari posisi pasien.
Larutan hiperbarik disebar oleh gravitasi, larutan hipobarik menyebar berlawanan
arah dengan gravitasi dan isobarik menyebar lokal pada tempat injeksi. Setelah
disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi lokal akan
7
dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan dengan hukum
fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase (tindakan
menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal,
kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan penyuntikan
kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan serebrospinal),
volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita saat atau sesudah
penyuntikan. (Butterworth, 2004)
Larutan bupivakain hidroklorida hiperbarik bupivakain adalah larutan
anestesi lokal bupivakain yang mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis
cairan
serebrospinal
(1,003-1,008).
Cara
pembuatannya
adalah
dengan
menambahkan larutan glukosa kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja
larutan hiperbarik bupivakain adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu
suatu zat/larutan yang mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan
sekitarnya akan bergerak ke suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian
larutan bupivakain hiperbarik yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke
daerah yang lebih rendah dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik,
sehingga mempercepat penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut.
(Butterworth, 2004)
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain
hiperbarik pada Anestesi spinal: (Butterworth, 2004)
1. Gravitasi: Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,0031,008. Jika larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal
akan bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan
8
larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti
menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan
tempat injeksi.
2. Postur tubuh : Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula
spinalisnya dan volume dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin
banyak sehingga penderita yang lebih tinggi memerlukan dosis yang lebih
banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen: Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan
bendungan saluran pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran
saluran-saluran vena di ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural
akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang
subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke
kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :Anatomi kolumna vertebralis akan
mempengaruhi lekukan-lekukan saluran serebrospinal, yang akhirnya akan
mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis
hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan : Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia
yang dihasilkan makin tinggi. Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih
memudahkan penyebaran obat ke kranial dari pada penyuntikan pada L45.
9
6. Manuver valsava : Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih
besar jika tekanan dalam cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara
mengedan.
7. Volume obat : Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu
percobaan yang dilakukan oleh Anellson (1984), dikatakan bahwa
penyebaran maksimal obat kearah sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih
20 menit pada semua jenis volume obat (1,5 cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula
kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah pendek waktunya
dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin tinggi
level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat : Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain
0,75% hiperbarik akan menghasilkan penyebaran obat kearah sefalad lebih
tinggi beberapa segmen dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik.
Lama kerja obat akan lebih panjang secara bermakna pada penambahan
volume obat bupivakain 0,75%. Demikian pula perubahan kardiovaskuler
akan berbeda bermakna pada bupivakain 0,75% hiperbarik.
9. Posisi tubuh : Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan
tidak ada pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada tubuh,
sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh.
Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 pada
posisi duduk hanya mencapai T8.
10. Lateralisasi : Lateralisasi pada larutan dengan posisi berbaring miring
(lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W. Wildsmith disimpulkan
10
bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat, penyebaran obat pada sisi bawah
mencapai T6,sedangkan pada sisi atas mencapai T7.
2.2 Menggigil
Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk
meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan
temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu tubuh yaitu
dengan cara : (Guyton, 1996)
a.
Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan
rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior.
b.
Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada akarnya. Hal ini tidak
terlalu penting pada manusia.
c.
Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme
dengan cara menggigil, rangsangan simpatis pembetukan panas
dan sekresi tiroksin.
Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti.
Menggigil pascaanestesi diduga disebabkan oleh empat hal yaitu : (Sessler dkk,
1991)
1. Hipotermi dan penurunan suhu inti selama anestesi yang disebabkan oleh
karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan dan
suhu ruang operasi yang rendah. Panas yang hilang dapat melalui
permukaan kulit dan melalui ventilasi.
11
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau jenis
pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari produkproduk tersebut.
3. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di
hipotalamus, yaitu menurunkan produksi panas. Kompensasi tubuh tidak
terjadi karena penderita tidak sadar dan terkadang lumpuh karena obat
pelumpuh otot.
2.2.1 Mekanisme Menggigil
Ada 3 komponen yang mengatur fisiologi menggigil:
1. Jalur Aferen
2. Regulasi central (termoregulasi)
3. Jalur respon eferen (Bhattacharya, 2003)
Integrasi informasi dan modulasi informasi termal antara komponenkomponen ini memberikan sistem yang efisien yang memelihara suhu inti tubuh,
menjadi 36,5 - 37,5 oC, dengan memanfaatkan perilaku dan respon otonom untuk
mempertahankan fluktuasi suhu inti untuk memastikan fungsi tubuh yang optimal.
Aferen Neural Pathway
Termoreceptor yang terdiri dari reseptor sensorik dingin dan hangat
menjadi pusat maupun perifer. (Poulus, 1981) Perjalanan sinyal dingin melalui
serat delta dan perjalanan sinyal hangat melalui serat C unmyelinated. Sinyalsinyal termal mendapatkan terintegrasi pada tingkat sumsum tulang belakang,
termosensitif, indra dan memodulasi masukan yang diterima yang akhirnya
mencapai hipotalamus melalui traktus spinotalamikus lateral. (Brauchi S, 2006)
12
Hal penting adalah magnus inti raphe (menghambat menggigil) dan
subcoerulus lokus (merangsang menggigil), terletak di medula dan pons, yang
menyampaikan informasi termal dari kulit ke hipotalamus. Suhu sumsum tulang
belakang juga dikenal untuk mempengaruhi tanggapan efektor. Dari catatan,
hipotalamus itu sendiri bagian lain dari otak, sumsum tulang belakang, thoraks
dan jaringan perut dan kulit, masing-masing merupakan 20% dari masukan aferen
termal pada sistem peraturan pusat. Menurut studi terbaru, kulit dan akar dorsal
ganglia telah ditemukan memiliki termoreceptor khusus yaitu: Reseptor Transient
Potensial (TRP) vanilloid (V) dan mentol (M) reseptor. (Moqrich, 2005)
Regulasi central (termoregulasi)
Regio preoptik dari hipotalamus anterior adalah pusat pengatur yang
paling penting dari suhu meskipun sumsum tulang belakang dan batang otak juga
berperan dalam fungsi ini. Neuron hangat di regio ini dari hipotalamus (memicu
suhu inti) dengan informasi lokal termal dan non termal tiba melalui jalur aferen.
Mereka merasakan dan mengintegrasikan informasi. Tanggapan otonom yang
dikendalikan oleh hipotalamus anterior terutama ditentukan oleh informasi yang
diterima dari struktur pusat, respon perilaku
dan mekanisme efektor yang
dikendalikan oleh hipotalamus posterior sebagian besar ditentukan oleh informasi
dari permukaan kulit. (Sessler, 2008)
Konsensus saat ini adalah bahwa input termal diterima dari berbagai
struktur, tanggapan efektor tidak bersamaan dan terjadi pada temperatur yang
berbeda, dan terdapat suhu interthreshold (kisaran suhu inti di mana tidak ada
respon yang ditimbulkan) potensi hambat diduga mengatur ambang batas di
13
hipotalamus yang dipengaruhi oleh noradrenalin, dopamin, serotonin, asetilkolin,
prostaglandin E1 dan neuropeptida. Suhu ambang batas yang diubah dengan irama
sirkadian dan mentruation (masing – masing 0,5-1oC; 0,5oC) bersama-sama
dengan status gizi, olahraga, infeksi dan obat-obatan (obat penenang, alkohol dan
nikotin) Kisaran interthreshold yang dibatasi oleh berkeringat di ujung atas dan
vasokonstriksi di ujung bawah, adalah antara 0,2 - 0.4oC. Ambang berkeringat dan
vasokonstriksi lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria 0,3 - 0.5oC. Respon
menggigil diatur buruk pada orang tua. (Sessler, 2008)
Gambar 2.2 Termoregulasi (Witte J, 2002)
14
Eferen Response Pathway
Respon eferen didasarkan pada gangguan termal yang memicu respon
yang baik meningkatkan kehilangan panas. Setiap respon diatur oleh batas
tertentu. Keseimbangan panas dipertahankan oleh modifikasi perilaku, yang pada
beberapa individu lebih penting daripada kontrol otonom. Kontrol vasomotor
merupakan vasokonstriksi dan piloereksi dalam menanggapi dingin dalam upaya
untuk meningkatkan keuntungan panas sementara vasodilatasi dan peningkatan
berkeringat kehilangan panas dalam menanggapi peningkatan kehangatan. (Buggy
DJ, 2000)
Menggigil non termogenesis dasarnya adalah sebuah bentuk peningkatan
produksi panas metabolik tanpa peningkatan kerja mekanik. Hal ini terjadi di
lemak coklat dan sarana mendapatkan panas pada bayi. (Sessler, 2008)
Menggigil dianggap sebagai cara terakhir untuk meningkatkan produksi
panas metabolik ketika modifikasi perilaku dan vasokonstriksi bersama-sama
dengan perangkat arterio-vena shunting dalam upaya untuk meningkatkan suhu
inti tubuh yang tidak memadai. (Buggy, 2000) Respon menggigil adalah 1oC
kurang dari ambang vasokonstriksi. Menggigil tidak berkembang dengan baik
pada bayi baru lahir. (Sessler, 2008)
Ketika wilayah preoptic dari hipotalamus anterior didinginkan ini
merangsang pusat motor menggigil yang terletak di hipotalamus posterior.
Akibatnya jalur menggigi diaktifkan dan melalui suhu diinduksi aktivasi saraf dari
mesenchephalic, pontine dorsolateral dan pembentukan recticular medula ada
peningkatan tonus otot tulang belakang diwujudkan sebagai menggigil . Stimulasi
15
neuron alpha motor jalur akhir yang umum dan debit sinkron dibawa oleh
penghambatan sel Renshaw ( interneuron penghambatan ) (Bhattacharya, 2003)
Menggigil adalah salah satu penyulit yang sering terjadi pada anestesia,
hal ini terutama terjadi selama dan setelah anestesi regional atau setelah anestesia
umum. Angka kejadian menggigil sebanyak 5–65% setelah anestesi umum dan
30–57% pada anestesi regional. Proses ini adalah suatu response normal
termoregulasi yang terjadi terhadap hipotermia pada bagian inti (core). Akan
tetapi proses menggigil nontermoregulasi juga terjadi setelah operasi walaupun
bersuhu normal karena ini disebabkan oleh karena rangsangan nyeri dan agen
anestesi tertentu. Menggigil menyebabkan komplikasi serius terutama pada pasien
dengan penyakit jantung koroner, hal ini disebabkan karena peningkatan
konsumsi oksigen (hingga 100–600%), peningkatan cardiac output, peningkatan
produksi karbondioksida, katekolamin, penurunan saturasi oksigen mixed venous
(campuran vena). Lebih berat lagi dapat terjadi peningkatan tekanan intrakranial,
tekanan intraokular, mengganggu pemantauan EKG dan tekanan darah,
meningkatkan laju metabolisme, dan terjadi asidosis laktat. Anestesi umum dan
anestesi regional dapat mengganggu otonomi
normal kontrol termoregulasi
karena efek vasodilatasi. Sebagian besar narkotik mengurangi mekanisme
vasokonstriksi, hal ini adalah cara menghemat kehilangan panas karena efek
simpatolitiknya. Pelumpuh otot mengurangi tonus otot dan mencegah menggigil.
Anestesi regional menghasilkan blok simpatis, relaksasi otot, dan blok sensoris
terhadap reseptor suhu perifer sehingga menghambat respon kompensasi terhadap
suhu. Anestesi epidural dan spinal menurunkan batas pemicu vasokonstriksi dan
16
menggigil sekitar 0,6° C. Sebagaimana pada anestesi umum, anestesi regional
menurunkan batas menggigil dan vasokonstriksi melalui efek sentral dan efek
blok perifer Berkurangnya sensasi dingin dari perifer. Otak menerjemahkan hal ini
sebagai proses penghangatan merupakan kombinasi vasodilatasi dan blok
terhadap input sensasi dingin yang menghasilkan pengalaman paradoksal pada
pasien sehingga terjadi penundaan kehilangan panas yang bermakna melalui
proses menggigil. (Koeshardiandi M, 2011)
Pusat pengaturan suhu tubuh manusia terletak di hipotalamus, dimana
pusat tersebut mendeteksi suhu tubuh diatas atau dibawah 37oC. Pada cornu
posterior ini terdapat reseptor NMDA dan reseptor opioid dan κ, yang merupakan
reseptor
untuk
bekerjanya
obat
yang
digunakan
mencegah
menggigil
pascaanestesi. Hal ini akan memulai respon dari penurunan atau peningkatan suhu
tubuh. Terjadinya hipotermi akan merangsang terjadinya vasokonstriksi dengan
tujuan mengurangi hilangnya panas tubuh serta menggigil. Proses-proses tersebut
bertujuan untuk meningkatkan suhu inti. (Miller dkk, 2010)
Pada kebanyakan pasien yang mendapat tambahan sedatif dan narkotik
untuk mengurangi kecemasan dan demi tujuan kenyamanan selama prosedur
pembedahan lebih cenderung terjadi hipotermia. Sedangkan selama regional
anestesi, pemantauan terhadap suhu inti sangat jarang dilakukan maka hipotermia
akan terjadi dan bisa saja tidak terdeteksi. (Koeshardiandi M, 2011)
Faktor yang berperan dalam proses menggigil pada regional anestesia
adalah jenis obat anestesi yang digunakan, ketinggian blok, lama operasi, usia
pasien, jenis kelamin, dan suhu lingkungan (termasuk suhu ruangan dan suhu
17
cairan infus yang diberikan). Mengatasi meggigil selama dan setelah anesthesia
menjadi bagian penting mengingat berbagai permasalahan
yang dapat
ditimbulkannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dengan mengatasi
menggigil setelah anesthesia maka akan menurunkan konsumsi oksigen,
mempertahankan kestabilan hemodinamik, dan memudahkan pemantauan
hemodinamik yang dapat berubah sewaktu-waktu setelah dilakukan regional
anestesia terutama dengan spinal anestesia. Penatalaksanaan menggigil dapat
dilakukan dengan cara pencegahan selama perioperatif dan terapi pada saat terjadi
menggigil dengan dua pendekatan yaitu non farmakologis dan farmakologis.
Langkah awal dalam mencegah terjadinya menggigil adalah pemantauan suhu inti
(core temperature), telah dibuktikan bahwa bila suhu kamar operasi
dipertahankan lebih dari 24° C, maka semua pasien akan berada pada keadaaan
normotermi selama anestesia(dalam hal ini suhu oesofagus 36° C). Pada suhu 21–
24° C sekitar 30% yang mengalami hipotermi. Selain suhu, kelembaban dan aliran
udara juga penting. Tindakan mencegah hipotermi dan menggigil dapat dilakukan
dengan pendekatan non farmakologis disebut metode menghangatkan kembali
(rewarming techniques) yang terdiri dari 3 bagian yaitu pasif eksternal, aktif
eksternal, dan aktif internal. Pendekatan farmakologis diberikan sebagai terapi
menggigil setelah anestesia dengan memberikan salah satu dari berbagai macam
obat yang telah dilaporkan efektif mengurangi menggigil di antaranya adalah
pethidine, fentanyl, buprenorphine, doxapram, clonidine dan ketanserine.
Pethidine menurunkan ambang menggigil dan terbukti efektif mengendalikan
menggigil. Tramadol sebagai analgesia sentral berperan dalam reseptor opiat
18
-HT7 dan telah
terbukti efektif sebagai profilaksis menggigil. Akan tetapi kedua obat tersebut
dihindari pada pasien hamil karena adanya efek pada janin bila diberikan sebelum
bayi lahir atau sebagai profilaksis anti menggigil pada wanita hamil. Ketamin
sebagai salah satu agen yang dapat mengurangi menggigil setelah anestesi, sampai
saat ini masih sedikit penelitian yang menentukan efektivitas dan rentang dosis
ketamin sebagai antagonis kompetitif pada reseptor NMDA. Belum didapatkan
bukti penelitian yang menunjukkan perbandingan efektivitas dosis rendah ketamin
dan mengukur efek sampingnya sebagai terapi menggigil pada wanita hamil yang
menjalani prosedur sectio Caesaria dengan spinal anestesia. Sedangkan ketamin
merupakan pilihan yang paling aman (kategori B) untuk ibu hamil dan janin
dibandingkan obat-obat anti menggigil yang lain. (Koeshardiandi M, 2011)
2.2.2 Pencegahan Menggigil
Cara-cara untuk mengurangi menggigil pascaanestesi yaitu sebagai
berikut: (Miller dkk, 2010)
1. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72oF (22oC)
2. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75oF (24oC)
3. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau
pasien resiko tinggi
4. Petidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil
5. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :
a. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena
b. Larutan untuk irigasi luka pembedahan
19
c. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi urologi
6. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi
7. Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan
kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.
2.3 Ketamin
Ketamin merupakan salah satu antagonis reseptor NMDA. Ketamin
(Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur
mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962. Ketamin
hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non
barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965.
Ketamin diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, dan telah
ditemukan untuk mengikat opioid reseptor μ dan reseptor sigma. Ketamin dan
metabolit aktif norketamin non-kompetitif adalah antagonis dari N-metil-Daspartat (NMDA) reseptor. NMDA antagonis dapat menekan gejala penarikan
opioid. Menekan reseptor NMDA meningkatkan aktivitas reseptor lain, AMPA,
NMDA. AMPA adalah reseptor untuk neurotransmitter glutamat. Dan mempunyai
efek pada serotonin dan norefrinefrin (Gilies et al, 2007).
2.3.1 Mekanisme Kerja
Ketamin mempunyai efek multipel sepanjang sistem saraf pusat, termasuk
mem-blok refleks polisinaptik di jaringan saraf spinal dan menginhibisi efek
neurotransmiter eksitatori pada area tertentu di otak. Berlawanan dengan depresi
RAS yang diinduksi oleh barbiturat, ketamin secara fungsional "mendisosiasi"
20
talamus (yang menyiarkan ulang impuls sensori dari RAS ke korteks serebri) dari
kortek limbic (yang terlibat dalam sensasi kesadaran ). Walaupun beberapa
neuron-neuron otak diinhibisi, yang lain adalah secara tonus tereksitasi. Secara
klinis, status anesthesia disosiatif ini menyebabkan pasien terlihat sadar
(misalnya, membuka mata, menelan, kontraksi otot) tetapi tidak mampu untuk
memproses atau bereaksi terhadap input sensori. Ketamin sudah didemonstrasikan
sebagai antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (suatu subtype dari reseptor
glutamat). Keberadaan reseptor spesifik terhadap ketamin ini dan interaksi dengan
reseptor opioid telah dipostulasikan. (Morgan, 2006)
2.3.2 Hubungan Struktur-Aktivitas
Ketamin
secara struktur analog dengan fensiklidin. Dengan kekuatan
sepersepuluhnya, namun mempertahankan banyak
efek psikotomimetik dari
fensiklidina. Bahkan dosis-dosis yang subterapeutik dari ketamin dapat
menyebabkan efek hallusinogenik. Potensi anestetik yang bertambah dan
penurunan efek samping psikotomimetik dari satu isomer (S[+] versus R[–])
menyiratkan keberadaan reseptor yang stereospesifik. (Morgan, 2006)
Gambar 2.3 Struktur Kimia Ketamin
21
2.3.4 Farmakokinetika
Absorpsi
Ketamin diberikan secara intravena dan intramuskular. Kadar plasma
puncak biasanya dicapai dalam 10–15 menit setelah suntikan intramuskular. Dosis
induksi secara intravena diberikan 1-2 mg/kgBB. Dosis induksi secara
intramuskuler diberikan 3-5 mg/kgBB. (Morgan, 2006)
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak dan ikatannya dengan protein kurang
dibandingkan thiopental; namun sama-sama terionisasi secara equal pada pH
fisiologis. Karakteristik-karakteristik ini, bersamaan dengan peningkatan aliran
darah otak dan curah jantung yang diinduksi oleh ketamin, mengarah kepada
pengambilan (uptake) otak yang cepat dan redistribusi berikut (waktu-paruh
distribusi adalah 10–15 menit). Sekali lagi, bangunnya kembali adalah karena
redistribusi ke kompartemen-kompartemen perifer. (Morgan, 2006)
Biotransformasi
Ketamin dibiotransformasikan di dalam hepar menjadi beberapa metabolit,
diantaranya (misalnya, norketamin) mempertahankan aktivitas anestetik. Induksi
enzim-enzim hepar mungkin secara parsial menjelaskan terjadinya toleransi pada
pasien yang menerima dosis ketamin berulang. Pengambilan/ uptake hepar yang
luas (rasio ekstraksi hepatik 0.9) menjelaskan waktu-paruh eliminasi ketamin
yang relatif pendek (2 jam). (Morgan, 2006)
22
Ekskresi
Produk akhir biotransformasi dikeluarkan di ginjal. (Morgan, 2006)
2.3.5 Farmakodimanik
Efek pada sistem organ
Kardiovaskular
Perbedaan yang jelas dibandingkan agen-agen anestetik yang lain, ketamin
meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan curah jantung. Efek
kardiovaskular tak langsung ini adalah karena adanya stimulasi sistem nervus
simpatis sentral dan inhibisi terhadap reuptake dari norepinefrin. Ikut serta dalam
perubahan-perubahan ini adalah peningkatan tekanan arteri pulmoner dan kerja
otot jantung.
Untuk pertimbangan ini, ketamin harus dihindarkan pada pasien-pasien
dengan penyakit arteri koroner, tekanan darah tinggi yang tak terkendali, gagal
jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Efek depresan miokardial direk pada
dosis ketamin yang besar, mungkin karena inhibisi kalsium transien, ’terbuka’
oleh blokade simpatis (misalnya, transeksi korda spinalis) atau cadangan
katekolamin yang makin menipis (misalnya, syok tahap akhir yang berat).
Sebaliknya, efek stimulasi indirek dari ketamin seringkali menguntungkan pasien
dengan syok hipovolemik akut. (Morgan, 2006)
23
Tabel 2.1. Ringkasan Efek Anestetik Nonvolatile pada Sistem Organ
(Morgan, 2006)
Agen
kardiovaskular
Respirasi
Serebral
HR
MAP
Vent.
Tiopental
↑↑
↓ ↓
↓ ↓ ↓
↓
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓
Tiamilal
↑↑
↓ ↓
↓ ↓ ↓
↓
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓
Methohexital
↑↑
↓ ↓
↓ ↓ ↓
0
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓
↓ ↓ ↓
Diazepam
0/↑
↓
↓ ↓
0
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
Lorazepam
0/↑
↓
↓ ↓
0
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
Midazolam
↑
↓ ↓
↓ ↓
0
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓
_2
↓ ↓ ↓
_2
↓
↓
↓
_2
↓ ↓ ↓
_2
↓
↓
↓
B’dil
CBF
CMRO2
ICP
Barbiturate
Benzodiazepin
Opioid
Pethidin
Morfin
↓
Fentanyl
↓ ↓
↓
↓ ↓ ↓
0
↓
↓
↓
Sufentanil
↓ ↓
↓
↓ ↓ ↓
0
↓
↓
↓
Alfentanil
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓ ↓
0
↓
↓
↓
Remifentanil
↓ ↓
↓ ↓
↓ ↓ ↓
0
↓
↓
↓
Ketamin
↑↑
↑↑
↓
↑↑↑
↑↑↑
↑
↑↑↑
Etomidate
0
↓
↓
0
↓↓↓
↓↓↓
↓↓↓
Propofol
0
↓↓↓
↓↓↓
0
↓↓↓
↓↓↓
↓↓↓
Droperidol
↑
↓↓
0
0
↓
0
↓
1HR, heart rate; MAP, mean arterial pressure; Ven, ventilatory drive; B’dil,
bronchodilation; CBF, cerebral blood flow; CMRO2, cerebral oksigen
consumption; ICP, intracranial pressure; 0, tak ada efek; 0/↑, tak ada perubahan
atau peningkatan ringan; ↓, penurunan (ringan, sedang, signifikan); ↑, peningkatan
(ringan, sedang, signifikan). Efek petidin dan morfin pada MAP dan bronkodilasi
tergantung pada jumlah histamin yang dilepaskan. (Morgan, 2006)
24
Pernafasan
Gerakan ventilasi sedikit dipengaruhi oleh dosis induksi ketamin yang
biasa, walaupun pemberian bolus intravena secara cepat atau praterapi dengan
opioid adakalanya menyebabkan apneu. Ketamin adalah suatu bronchodilator
yang poten, merupakan suatu agen induksi yang baik untuk pasien-pasien yang
menderita asma. Meskipun refleks jalan nafas atas sebagian besar tetap intak,
pasien-pasien dengan resiko yang meningkat untuk terjadinya pneumonia aspirasi
harus diintubasi. Salivasi yang meningkat yang dihubungkan dengan ketamin
dapat dikurangi dengan premedikasi dengan obat antikholinergik. (Morgan, 2006)
Serebral
Konsisten dengan efek kardiovaskulernya, ketamin dapat meningkatkan
konsumsi oksigen serebral, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial. Efek
ini mengeksklusi penggunaannya pada pasien-pasien dengan SOL intrakranial.
Aktivitas mioklonik dihubungkan dengan peningkatan aktivitas elektrik
subkortikal, yang tidak terlihat nyata di EEG permukaan. Efek samping
psychotomimetik yang tidak diinginkan (misalnya, ilusi, bermimpi buruk, dan
delirium) selama dalam kondisi pemulihan lebih sedikit terjadi pada anak-anak
dan pada pasien yang diberikan premedikasi dengan benzodiazepin. Diantara obat
anestesi non-volatil, ketamin bisa jadi merupakan obat anestesi yang lebih
mendekati ’lengkap’ karena menginduksi analgesia, amnesia, dan ketidaksadaran.
(Morgan, 2006)
25
Interaksi obat
Obat
muskulorelaksan
nondepolarisasi
dipotensiasi
oleh
ketamin.
Kombinasi teofilin dan ketamin dapat merupakan predisposisi untuk terjadinya
kejang.
Diazepam
mengurangi
efek
kardiostimulasi
dari
ketamin
dan
memperpanjang waktu-paruh eliminasi. Propranolol, phenoxybenzamine, dan
antagonis simpatik yang lain membuka efek depresan miokard yang langsung dari
ketamin. Ketamin menghasilkan depresi myocard ketika diberikan kepada pasienpasien yang di-anesthesi dengan halotan atau, kepada sebagian kecil, anestetik
volatil yang lain. Litium dapat memperpanjang durasi kerja ketamin. (Morgan,
2006)
2.4 Petidin
Petidin termasuk dalam analgetik golongan narkotik. Pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1939 oleh Eisleb dan Schaumann. Rumus kimia dari
petidin adalah etil – 1 – metil – 4 – fenilpiperidin – karboksilat
Gambar 2.4 Rumus Kimia Petidin
Petidin bekerja pada reseptor spesifik pada susunan saraf pusat yang
disebut dengan reseptor opioid, dan secara spesifik pada reseptor κ. Sampai saat
ini telah teridentifikasi empat tipe reseptor opioid yaitu reseptor mu (μ, dengan
subtipe μ-1 dan μ-2), reseptor kappa (κ), reseptor delta (δ), dan reseptor sigma (σ)
(Stoelting dkk, 2006).
26
2.4.1 Farmakokinetik
Pemberian petidin secara intramuskular, diabsorbsi secara cepat dan
komplit, dimana kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20 - 60 menit.
Bioavailabilitas secara oral mencapai 45% - 75%.Petidin 64% terikat pada
plasma, dengan lama kerja 2 – 4 jam dan waktu paruh eliminasinya adalah 3 – 4
jam. Rata rata metabolisme petidin 17% per jam (Stoelting dkk, 2006). Petidin
80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan dimetilasi menjadi
norpetidin dan asam petidinat. Setelah mengalami konjugasi akan dikeluarkan
melalui ginjal. Sebanyak 5% - 10% petidin diekskresi melalui ginjal tanpa
mengalami perubahan, sedangkan kurang dari 10% diekskresi melalui sistem
bilier (Stoelting dkk., 2006).
2.4.2 Farmakodinamik
Petidin mempunyai efek analgesia, sedasi, euforia dan depresi pernafasan.
Efek yang menonjol dari petidin yaitu analgesia. Pada pemberian secara
intramuskular dengan dosis 50 - 75 mg, akan meningkatkan ambang nyeri sampai
50%. Analgesia timbul karena terjadinya penghambatan pengeluaran substansi P
di jalur nyeri dan traktus gastrointestinal (Stoelting dkk., 2006).
Tekanan darah akan mengalami sedikit penurunan pada pemberian petidin
dosis tinggi. Selain itu juga menyebabkan hipotensi orthostatik oleh karena
hilangnya refleks sistem saraf simpatis kompensatorik. Pada penggunaan dosis
besar, kontraktilitas otot jantung akan menurun, menurunkan volume sekuncup
dan tekanan pengisian jantung akan meningkat. Petidin juga menyebabkan
peningkatan laju jantung. Pada sistem respirasi, frekuensi nafas kurang
27
dipengaruhi. Depresi pernafasan terjadi terutama karena penurunan volume tidal
dan penurunan kepekaan pusat nafas terhadap CO2. Selain itu juga pemakaian
petidin akan dapat mengurangi spasme bronkus. Pada otak, penggunaan petidin
(dan obat opioid pada umumnya) akan mengurangi konsumsi oksigen otak,
mengurangi aliran darah otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Tetapi ada
beberapa kasus dimana terjadi sedikit peningkatan tekanan intrakranial pada
pasien dengan tumor otak atau trauma kepala. Angka kejadian mual dan muntah
pada pemberian petidin lebih tinggi dibandingkan dengan morfin, tetapi durasinya
lebih pendek. Kejadian ini oleh karena adanya stimulasi pada daerah medullary
chemoreceptor trigger zone.
Petidin menyebabkan spasme sfingter oddi dan meningkatkan tekanan
intrabilier. Selain itu juga menurunkan tonus dan amplitudo kontraksi ureter.
Petidin sudah sering digunakan untuk terapi menggigil pascaanestesi. Penggunaan
dosis kecil petidin (10 – 25 mg) setiap 5 – 10 menit, efektif untuk mengatasi
menggigil pascaanestesi. Mekanisme petidin dalam mengatasi menggigil
pascaanestesi diduga disebabkan karena efek obat pada reseptor κ,menghambat
pengambilan 5-HT serta blokade reseptor NMDA. Serotonin (5-HT) dan opioid
merupakan salah satu dari reseptor NMDA inhibitor pada cornu posterior,
sehingga reseptor NMDA akan menurun, kontraksi otot menurun dan sensasi suhu
akan meningkat. Untuk pencegahan menggigil, beberapa peneliti telah melakukan
berbagai percobaan. Dosis petidin yang digunakan sebesar 0,5 mg/kgBB ternyata
efektif mencegah menggigil pascaanestesi (Stoelting dkk.,2006).
28
2.4.3 Efek Samping Obat
Penggunaan petidin dapat menimbulkan efek samping diantaranya pusing,
berkeringat, mulut kering, mual muntah, palpitasi, disfori, perasaan lemah, sedasi
dan sinkop. Pada beberapa kasus atau keadaan dapat terjadi retensi urin dan
obstipasi (Stoelting dkk., 2006).
2.4.4 Interaksi Obat
Kombinasi petidin dengan obat-obat monoamine oxidase inhibitor dapat
mengakibatkan henti nafas, hipotensi atau hipertensi, koma dan hiperpireksia,
dimana sampai sekarang mekanismenya belum jelas diketahui. Pemakaian secara
bersama sama dengan barbiturat, benzodiazepin dan obat-obat depresan system
saraf pusat akan mempunyai efek yang sinergis terhadap sistem kardiovaskular,
respirasi dan efek sedasi. (Stoelting dkk, 2006)
Tabel 2.2. Distribusi Reseptor Opioid (Stoelting dkk, 2006)
29
2.5 Midazolam
Midazolam merupakan salah satu benzodiazepine yang larut dalam air.
(Stoelting dkk, 2006)
2.5.1 Mekanisme atau Cara Kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di dalam sistem saraf
pusat, terutama dalam korteks serebri. Ikatan Benzodiazepine – receptor
meningkatkan efek inhibisi berbagai jenis neurotransmiter. Sebagai contoh, ikatan
reseptor-benzodiazepin menfasilitasi ikatan GABA–receptor, yang meningkatkan
konduktansi membran ion klorida. Ini menyebabkan suatu perubahan di dalam
polarisasi membran yang menginhibisi fungsi neuron normal. Flumazenil (suatu
imidazobenzodiazepine) adalah suatu antagonis benzodiazepine–receptor yang
spesifik yang secara efektif membalikkan kebanyakan dari efek benzodiazepine
pada sistem saraf pusat. (Morgan, 2006)
2.5.2 Hubungan Struktur – Aktivitas
Struktur kimia dari benzodiazepina-benzodiazepina meliputi suatu cincin
benzena dan tujuh anggota cincin diazepine. Substitusi pada berbagai posisi di
cincin-cincin ini mempengaruhi potensi dan biotransformasi. Cincin imidazol dari
midazolam berperan untuk daya larut air-nya pada pH yang rendah. Ketidaklarutan diazepam dan lorazepam di dalam air memerlukan sediaan parenteral yang
berisi propilen glikol, yang sudah dihubungkan dengan iritasi vena. (Stoelting
dkk, 2006)
30
Gambar 2.5 Struktur Kimia Midazolam
2.5.3 Farmakokinetika
Absorpsi
Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral, intramuscular, dan
intravena untuk memberikan efek sedasi atau induksi anesthesia umum. Diazepam
dan lorazepam yang diabsorpsi dengan baik di traktus gastrointestinal, dengan
kadar plasma puncak biasanya dicapai dalam 1 dan 2 jam, berturut-turut.
Meskipun midazolam oral belum disetujui oleh US. FDA, pemberian rute ini telah
populer untuk premedikasi pediatrik. Demikian juga, intranasal (0.2–0.3 mg/kg),
bukal (0,07 mg/kg), dan sublingual (0,1 mg/kg) midazolam memberikan sedasi
preoperative yang efektif.
31
Tabel 2.3. Penggunaan dan Dosis Benzodiazepin yang Umum Dipakai.
Agen
Penggunaan
Rute
Dosis (mg/kg)
Diazepam
midazolam
Lorazepam
Premedikasi
Oral
0,2 – 0,5*
Sedasi
IV
0,04 – 0,2
Induksi
IV
0,3 – 0,6
Premedikasi
Im
0,07 – 0,15
Sedasi
IV
0,01 – 0,1
Induksi
IV
0,1 – 0,4
Premedikasi
Oral
0,053
Im
0,03 – 0,05**
IV
0,03 – 0,04**
Sedasi
*Maximum dosis 15 mg. **tidak direkomendasikan untuk anak-anak.
Suntikan intramuskular diazepam tak dapat dipercaya dan terasa nyeri.
Sebaliknya, midazolam dan lorazepam diabsorpsi dengan baik setelah suntikan
intramuskular, dengan level puncak dicapai dalam 30 dan 90 menit, berturut-turut.
Induksi anesthesia umum dengan midazolam memerlukan pemberian obat secara
intravena. (Morgan, 2006)
Distribusi
Diazepam merupakan obat yang sangat lipid soluble dan dengan cepat
menembus sawar darah-otak. Meski midazolam dapat larut dalam air pada pH
yang rendah, cincin imidazol-nya menutup pada pH fisiologis, menyebabkan
peningkatan dalam daya larut lipid-nya. Daya larut lipid yang moderat dari
lorazepam memegang peranan dalam uptake otak dan onset-nya yang lebih
lambat. Redistribusi pada benzodiazepin lebih cepat (waktu-paruh distribusi
inisial adalah 3–10 menit) dan, seperti barbiturat, bertanggung jawab atas
kembali-bangunnya pasien. Meski midazolam sering digunakan sebagai agen
32
induksi, tidak satu pun dari benzodiazepina-benzodiazepina itu dapat (match)
bersesuaian dengan kecepatan onset dan durasi kerja pendek thiopental. Ketiga
benzodiazepin tersebut sangat tinggi terikat protein (90–98%). (Morgan, 2006)
Biotransfermasi
Benzodiazepin bersandar pada hati untuk biotransformasi dengan hasil
akhir glucuronida yang larut-air. Tahap I, metabolit-metabolit dari diazepam
bersifat aktif secara pharmakologis. (Morgan, 2006)
Ekstraksi hepatik yang lambat dan Vd yang besar mengakibatkan suatu
waktu-paruh eliminasi yang panjang untuk diazepam (30 jam). Meski lorazepam
juga mempunyai suatu rasio ekstraksi hepatik yang rendah, daya larut lipid-nya
yang lebih rendah membatasi Vd-nya, menghasilkan suatu waktu-paruh eliminasi
yang lebih pendek (15 jam). Meskipun begitu, durasi klinis lorazepam seringkali
menjadi cukup panjang karena afinitas reseptornya yang sangat tinggi.
Sebaliknya, midazolam berbagi Vd-nya diazepam, tetapi waktu-paruh eliminasinya (2 jam) adalah yang paling pendek dari kelompok oleh karena rasio ekstraksi
hepatiknya yang tinggi. (Morgan, 2006)
Ekskresi
Metabolit dari biotransformasi benzodiazepin dikeluarkan terutama di
dalam urin. Sirkulasi enterohepatic menghasilkan suatu puncak sekunder di dalam
konsentrasi plasma diazepam 6–12 jam setelah pemberian. Gagal ginjal dapat
mengarah ke kondisi sedasi yang memanjang pada pasien yang menerima
midazolam
karena
adanya
akumulasi
hydroxymidazolam). (Morgan, 2006)
metabolit
yang
terkonjugasi
(α-
33
2.5.4 Farmakodinamika
Efek pada Sistem Organ
Kardiovaskuler
Benzodiazepin memperlihatkan efek depresan cardiovasculer yang
minimal walaupun pada dosis-dosis induksi. Tekanan darah arteri, curah jantung,
dan resistensi vascular perifer biasanya menurun sedikit, sedangkan laju denyut
jantung kadang-kadang naik. Midazolam cenderung menurunkan tekanan darah
dan resistensi vaskular perifer lebih dari diazepam. Perubahan dalam variabilitas
denyut jantung selama sedasi midazolam menandakan adanya tonus vagal yang
menurun (= drug induced vagolysis). (Morgan, 2006)
Pernafasan
Benzodiazepin menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi ini
biasanya tidak signifikan kecuali jika obat itu diberikan secara intravena atau
bersama-sama dengan depresan napas yang lain. Meski apnea mungkin kurang
umum setelah induksi benzodiazepina dibanding setelah induksi barbiturat,
walaupun dengan dosis intravena yang kecil, diazepam dan midazolam sudah
dapat menimbulkan henti napas. Kurva dose–response yang curam, onset yang
sedikit memanjang (dibandingkan dengan thiopental atau diazepam), dan potensi
tinggi dari midazolam mengharuskan titrasi yang seksama untuk menghindari
overdosis dan apnea. Ventilasi harus dimonitor pada semua pasien yang menerima
benzodiazepin intravena, dan peralatan resusitasi harus tersedia dengan segera.
(Morgan, 2006)
34
Serebral
Benzodiazepina mengurangi konsumsi oksigen cerebral, aliran darah
cerebral, dan tekanan intracranial tetapi tidak setingkat barbiturat. Obat ini sangat
efektif dalam mencegah dan mengendalikan grand mal seizures. Dosis sedatif oral
sering kali menghasilkan amnesia antegrade, suatu wahana premedikasi yang
bermanfaat. Efek muskulorelaksan yang ringan dari obat ini dimediasi pada
tingkatan korda spinalis, bukan di neuromuscular junction. Anxiolitik, amnesik,
dan efek sedatif terlihat pada dosis yang rendah dan berlanjut ke stupor dan tidak
sadar
pada dosis induksi. Dibandingkan dengan thiopental, induksi dengan
benzodiazepine berhubungan dengan penurunan kesadaran yang lebih lambat dan
recovery yang lebih panjang. Benzodiazepine tidak memiliki efek analgesik yang
langsung. (Morgan, 2006)
Interaksi obat
Simetidin berikatan dengan sitokrom P-450 dan mengurangi metabolisme
diazepam. Eritromisin menginhibisi metabolisme midazolam dan menyebabkan
perpanjangan dan intensifikasi efek 2 – 3x lipat . Heparin memindahkan diazepam
dari lokasi-lokasi ikatannya dengan protein dan meningkatkan konsentrasi obat
bebas (peningkatan 200% setelah pemberian 1000 unit heparin). (Morgan, 2006)
Kombinasi opioid dengan diazepam secara jelas mengurangi tekanan
darah arterial dan resistensi vaskuler perifer. Interaksi sinergistik ini terutama
sekali harus dicamkan pada pasien-pasien dengan penyakit jantung valvuler atau
ischemik. Benzodiazepine mengurangi konsentrasi minimum alveolar gas
35
anestetis sebesar 30%. Etanol, barbiturat, dan depresan sistem saraf pusat lain
mempotensiasi efek sedatif dari benzodiazepine. (Morgan, 2006)
Download