IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemilihan Produk Prospektif Pemilihan produk prospektif digunakan untuk menentukan komoditi produk agroindustri kelapa prospektif di pasar ekspor dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang digunakan untuk menyaring alternatif. Pemilihan produk prospektif ini dilakukan berdasarkan produk agroindustri kelapa yang memiliki volume ekspor tinggi di pasar internasional dan berdasarkan pendapat para pakar kelapa yang berasal dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun), Dewan Kelapa Indonesia, Kementrian Perindustrian, Dirjen Perkebunan Kementrian Pertanian, dan Asian Pasific Coconut Community (APCC) Jakarta. Nama dan jabatan para pakar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pemilihan alternatif produk prospektif dan kriteria yang dipertimbangkan untuk memilih produk prospektif tersebut dilakukan dengan cara kuesioner terbuka berdasarkan pendapat para pakar yang kuesionernya dapat dilihat pada Lampiran 2. Alternatif produk prospektif tersebut yang terpilih yaitu virgin coconut oil (VCO), desiccated coconut (DC), arang aktif, asap cair, briket arang, sabut kelapa, minyak kelapa, dan barang kerajinan dari tempurung kelapa. Produk-produk ini terpilih sebagai alternatif produk prospektif dikarenakan produk-produk kelapa tersebut memiliki manfaat lebih dibanding produk lainnya serta memiliki peluang pasar cukup besar. Alternatif produk prospektif tersebut kemudian diprioritaskan untuk mengetahui produk mana yang paling prospektif untuk dikembangkan di pasar ekspor berdasarkan hasil pendapat para pakar dengan mengisi kuesioner seperti pada Lampiran 3. 4.1.1 Kriteria Penentu Produk Prospektif Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan apakah suatu produk prospektif atau tidak untuk dikembangkan. Menurut Jain (1996), beberapa pertimbangan untuk mendirikan usaha dari suatu produk adalah pertimbangan keuangan, pertimbangan teknis dan rekayasa, pertimbangan pasar, pertimbangan ekonomi, dan hukum serta pertimbangan politik dan sosial. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam penentuan produk prospektif dalam penelitian ini diambil dari beberapa literatur dan hasil diskusi dengan para pakar sebanyak 5 pakar yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Terdapat 6 kriteria yang dipertimbangkan, yaitu meliputi: 1) Kontinuitas bahan baku, 2) Nilai tambah produk, 3) Peluang pasar, 4) Kualitas produk, 5) Saluran pemasaran, 6) Teknologi proses. 1) Kontinuitas Bahan Baku Kontinuitas bahan baku menunjukkan ketersediaan bahan baku yang tersedia apakah selalu kontinu atau tidak kontinu dalam menyuplai kebutuhan industri dalam memproduksi produk agroindustri kelapa tersebut. Kriteria ini sangat penting karena kestabilan kontinuitas bahan baku sangat penting dalam menunjang kemajuan industri dalam berproduksi. 2) Nilai Tambah Produk Kriteria nilai tambah menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh jika produk tersebut dikembangkan. Nilai tambah ini mengacu kepada pertambahan nilai dan fungsi dari bahan baku yaitu kelapa setelah mengalami serangkaian proses. Semakin tinggi nilai tambah produk, semakin prospektif produk tersebut. 3) Peluang Pasar Kriteria peluang pasar menunjukkan prospek permintaan pasar luar negeri terhadap produk agroindustri kelapa tersebut. Prospek permintaan pasar menunjukkan apakah suatu produk akan dibutuhkan di pasar dan seberapa luas pasar yang bersedia membeli produk tersebut. Semakin tinggi peluang pasar suatu produk, semakin prospektif produk tersebut untuk dikembangkan. 4) Kualitas Produk Kriteria kualitas produk ini menunjukkan standar kualitas produk kelapa yang telah ada seberapa disukai di pasar dan telah sesuai atau tidaknya dengan keinginan pasar dan sesuai dengan standar kualitas pasar. Semakin tinggi kualitas produk, semakin prospektif produk tersebut untuk dikembangkan di pasar ekspor. 5) Saluran Pemasaran Kriteria ini menunjukkan apakah terdapat saluran pemasaran dan apakah saluran pemasaran yang tersedia telah baik dan dapat menunjang pendistribusian produk sampai ke konsumen secara lancar dan mudah. Kriteria ini merupakan salah satu kriteria yang perlu dipertimbangkan karena saluran pemasaran dalam menunjang pendistribusian produk merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pemasaran produk. Semakin lancar pendistribusian produk, semakin prospektif untuk dikembangkan. 6) Teknologi Proses Kriteria teknologi proses ini mengambarkan tingkat teknologi yang digunakan dalam mengembangkan agroindustri kelapa. Tingkat teknologi yang digunakan ini merupakan kriteria yang perlu dipertimbangkan, karena hal ini menunjukkan kemampuan teknologi proses yang sudah tersedia. Teknologi yang digunakan juga akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, sehingga mampu bersaing dengan produk sejenis yang ada di pasaran. Teknologi proses pembuatan produk kelapa yang paling mudah dikuasai dan telah mampu menghasilkan produk kelapa dengan kualitas yang diinginkan pasar tersebut yang akan dipilih. Setiap kriteria tersebut diberikan penilaian berdasarkan tingkat kepentingannya. Pembobotan kriteria ini merupakan hasil wawancara dengan para pakar yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan pemasaran produk agroindustri kelapa di pasar ekspor. Skala kepentingan tersebut mulai dari 1 hingga 9. Semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin penting kriteria tersebut dalam penentuan produk prospektif. Sedangkan dalam penilaian produk untuk setiap kriteria skala penilaiannya adalah mulai dari 1 hingga 9 dengan keterangan semakin tinggi nilai yang diberikan, maka semakin terpilih produk untuk kriteria tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai keterangan penilaian kriteria dan produk prospektif dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.1.2 Hasil Pemilihan Produk Prospektif Berdasarkan penilaian para pakar, didapatkan hasil agregasi penilaian para pakar terhadap kriteria dan alternatif produk agroindustri kelapa seperti yang terlihat pada Tabel 10. Agregasi penilaian para pakar ini dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan rata-rata geometrik yang telah dijelaskan sebelumnya di bagian metodologi. Tabel 10. Hasil Agregasi Penilaian Para Pakar Nilai Alternatif Produk No. Kriteria Bobot 1. Kontinuitas Bahan Baku 2. VCO DC AA AC BA SK MK BKTK 9 8 8 7 7 7 7 8 6 Nilai Tambah Produk 7 8 8 7 5 3 5 6 4 3. Peluang Pasar 7 6 7 8 4 5 7 8 5 4. Kualitas Produk 7 6 7 8 5 5 5 5 6 5. Saluran Pemasaran 7 6 7 8 4 7 8 7 6 6. Teknologi Proses 5 7 7 7 7 7 8 7 7 Keterangan: VCO : Virgin Coconut Oil DC : Desiccated Coconut AA : Arang Aktif AC : Asap Cair BA SK MK BKTK : Briket Arang : Sabut Kelapa : Minyak Kelapa : Barang Kerajinan dari Tempurung Kelapa Berdasarkan perhitungan penentuan produk prospektif yang akan dikembangkan di pasar ekspor menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), menunjukkan bahwa produk desiccated coconut (DC) memiliki nilai tertinggi, yang diikuti oleh produk minyak kelapa dan virgin coconut oil (VCO). Urutan secara lengkap prioritas produk prospektif disajikan pada Tabel 11. Prioritas Tabel 11. Urutan Prioritas Produk Prospektif Alternatif Terpilih Nilai MPE Produk Potensial 1 Dessicated Coconut (DC) 138.802.316 Produk Potensial 2 Minyak Kelapa 137.513.291 Produk Potensial 3 Virgin Coconut Oil (VCO) 137.171.495 Produk Potensial 4 Arang Aktif 47.485.413 Produk Potensial 5 Sabut Kelapa 43.463.320 Produk Potensial 6 Briket Arang 41.352.394 Produk Potensial 7 Asap Cair 40.559.432 Produk Potensial 8 Barang Kerajinan dari Tempurung Kelapa 10.748.884 Produk desiccated coconut (DC) menjadi produk prioritas prospektif pilihan para pakar untuk dikembangkan di pasar eskpor karena memang produk ini merupakan produk yang memiliki banyak permintaan di pasar eskpor seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13. Meskipun jumlah ekspor Indonesia untuk minyak kelapa merupakan jumlah ekspor terbesar dibandingkan produk-produk kelapa lainnya, namun potensi produk desiccated coconut sangat besar untuk ditingkatkan jumlah ekspornya. Berdasarkan data dari Coconut Statistical Yearbook APCC (2009), estimasi konsumsi dunia untuk produk desiccated coconut tahun 2009 meningkat sebesar 12,3% dari tahun sebelumnya, sedangkan untuk produk minyak kelapa estimasi konsumsi dunia pada tahun 2009 hanya meningkat sebesar 1,3%. Hal ini menunjukkan permintaan pasar dunia akan desiccated coconut lebih meningkat dibanding minyak kelapa. Dilihat dari Tabel 12 dan Tabel 13, estimasi konsumsi dunia untuk produk DC lebih kecil dibandingkan dengan volume impor dunia untuk produk DC. Hal ini terjadi bukan dikarenakan jenuhnya pasar terhadap produk DC, namun hal dikarenakan data yang tertera pada Coconut Statistical Yearbook 2009 APCC mencatat data seluruh impor dunia untuk produk DC, termasuk untuk negara yang mengimpornya untuk diekspor kembali (re-export) seperti yang dilakukan oleh negara Singapore. Tabel 12. Volume Estimasi Konsumsi Dunia untuk Desiccated Coconut dan Minyak Kelapa Tahun Desiccated Coconut (MT) Minyak Kelapa (MT) 2005 167.602 2.939.500 2006 236.156 3.064.300 2007 186.004 2.994.100 2008 179.670 3.025.100 2009 201.815 3.064.800 Tabel 13. Volume Impor Dunia untuk Desiccated Coconut dan Minyak Kelapa Tahun Desiccated Coconut (MT) Minyak Kelapa (MT) 2005 222.850 2.240.700 2006 244.379 2.294.614 2007 288.533 2.141.783 2008 262.677 2.108.712 2009 362.359 1.844.692 Pada produk virgin coconut oil (VCO), jumlah ekspor Indonesia masih sangat kecil, yaitu sekitar antara 500-1000 ton per tahunnya. Hal ini disebabkan perdagangan ekspor dunia untuk produk VCO masih dalam jumlah kecil dan tidak stabil. Namun, jika dilihat dari data penjualan negara Filipina sebagai market leader ekspor produk VCO, permintaan pasar akan produk VCO semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan masih besarnya peluang Indonesia untuk mengembangkan produk tersebut agar meningkat jumlah ekspornya. Sebab, VCO merupakan produk yang memiliki berbagai macam manfaat serta pengaplikasiannya sangat beragam. Beberapa asam lemak rantai sedang yang terkandung di dalam VCO yaitu asam kaprilat (C 8), asam kaprat (C 10), dan asam laurat (C 12); masing-masing sebanyak 5,0%-10,0%; 4,5%-8,0%; dan 43%-53%. Kandungan asam lemak rantai sedang ini yang sangat berperan dalam menjaga kesehatan dan menghalau berbagai macam penyakit. Asam laurat misalnya, di dalam tubuh akan diolah menjadi monolaurin, yaitu sebuah senyawa mongliceride yang bersifat antivirus, antibakteri, dan antiprotozoa. Dengan kandungan asam lemak rantai sedang tersebut, VCO juga mempunyai kemampuan untuk menangkal beberapa jenis penyakit seperti mematikan berbagai virus (influenza, hepatitis C, cacar air), membunuh berbagai jenis bakteri penyebab penyakit (infeksi tenggorokan, gigi berlubang, keracuanan makanan), menurunkan kadar kolesterol darah tinggi, dan lain sebagainya. Penggunaan atau aplikasi produk VCO ini juga tidak hanya langsung konsumsi sebagai produk kesehatan, namun juga sebagai bahan baku pembuatan produk spa, sabun, kosmetik, dan lain sebagainya. Selain itu, jika para petani memproduksi VCO, harga kelapa di tingkat petani berkisar antara Rp.1.600-Rp.1.700. Berbeda dengan jika petani menjual kelapa sebagai bahan baku minyak kelapa yang harganya hanya dipatok pada kisaran Rp.400-Rp.500. Hal tersebut tentu saja akan bisa menguntungkan petani sehingga tingkat kesejahteraan petani kelapa Indonesia pun dapat merambat naik (Setiaji dan Prayugo, 2006). Volume eskpor VCO Filipina dapat dilihat pada Tabel 14. Tahun Tabel 14. Volume Ekspor VCO Filipina Jumlah Ekspor (MT) 2001 2,0 2002 19 2003 103 2004 177 2005 475 2006 461 2007 1.131 2008 1.693 2009 1.805 Minyak kelapa terpilih sebagai produk prospektif kedua untuk dikembangkan di pasar ekspor setelah produk desiccated coconut. Hal ini dikarenakan meskipun volume impor dunia untuk minyak kelapa menurun sebesar 12,5% dari tahun 2008 ke 2009, namun minyak kelapa masih sangat besar penggunaannya di dunia yang terbukti dari peningkatan estimasi konsumsi dunia. Selain itu, untuk produk agroindustri kelapa yang diekspor Indonesia, minyak kelapa memperoleh total ekspor terbesar dibandingkan produk-produk lainnya yaitu sebesar 570.311 MT pada tahun 2009 (APCC,2009). Minyak kelapa juga merupakan minyak dengan asam lemak jenuh rantai sedang sehingga jika minyak kelapa ini dijadikan minyak goreng, akan memiliki kelebihan tersendiri yaitu stabil saat digoreng dan tidak menimbulkan bau dikarenakan ikatan rantainya tidak akan pecah. Hal ini membuat minyak kelapa memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri. Aplikasi dari minyak kelapa ini sendiri di pasar dunia sebesar 60% untuk penggunaan bukan pangan, seperti bahan baku pembuatan sabun, deterjen, surfaktan, cat, dan lain sebagainya; 40% untuk penggunaan pangan seperti minyak goreng, mentega, eskrim, makanan bayi, bakery, emulsifier, dan lain sebagainya. Bahkan minyak kelapa itu sendiri dapat dijadikan sebagai bahan bakar, baik itu biofuel maupun biodiesel. Selain itu, minyak kelapa merupakan minyak dengan kandungan kolesterol yang paling rendah dibandingkan dengan minyak lainnya. Kandungan kolesterol untuk berbagai minyak dapat dilihat pada Tabel 15. Hal ini yang juga menyebabkan konsumsi minyak kelapa semakin lama berpotensi untuk semakin meningkat dan permintaan pasar juga dapat meningkat. Tabel 15. Kandungan Kolesterol pada Berbagai Minyak Minyak Ppm VCO/CNO 5-24 Palm kernel 9-40 Sunflower 8-44 Palm 13-19 Soy 20-35 Cottonseed 28-108 Rapeseed 25-80 Corn 18-95 Beef tallow 800-1400 Butter 2200-4100 Lard 3000-4000 Sumber: Wibowo, 2006 4.2 Pemilihan Pasar Potensial Dalam tahap pemilihan pasar potensial diambil 3 produk agroindustri kelapa yang mempunyai nilai tertinggi dalam pemilihan produk prospektif yaitu desiccated coconut (DC), minyak kelapa, dan virgin coconut oil (VCO). Alternatif pasar yang dipilih untuk setiap produk berbeda-beda berdasarkan negara potensial yang mengimpor produk dari negara Indonesia dengan jumlah atau volume terbesar. Produk desiccated coconut memiliki alternatif pasar yaitu Germany, Pakistan, dan China. Minyak Kelapa memiliki alternatif pasar yaitu China, USA, dan Korea. Sedangkan untuk produk VCO, negara Indonesia sendiri masih mengekspornya dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini menyebabkan pasar potensial untuk produk VCO diambil berdasarkan data pasar potensial dari negara Filipina sebagai market leader pengekspor VCO dunia. Sehingga pasar potensial ekspor untuk produk VCO sendiri merupakan pasar yang memang mengimpor produk VCO dengan jumlah besar, sehingga Indonesia dapat menjadikannya sebagai pasar sasaran atau target pasar ekspor untuk menjual produk VCO nya. Pasar potensial yang dipilih untuk produk VCO ini berdasarkan pasar potensial dari ekspor VCO negara Filipina yang dari sebagian besar total ekspor VCO nya, Filipina mengeskpor ke negara USA dan negara-negara Eropa. Dalam menentukan pasar potensial untuk produk desiccated coconut dan minyak kelapa menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Para pakar yang membantu dalam penentuan pasar potensial ini berjumlah 3 pakar yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Para pakar tersebut berasal dari Dewan Kelapa Indonesia, Market Development Officer Asian Pasific Coconut Community (APCC) Jakarta, serta dari Bagian Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementrian Perdagangan. Contoh kuesioner AHP ini dapat dilihat pada Lampiran 4. 4.2.1 Kriteria Penentu Pasar Potensial Pasar potensial perlu ditentukan untuk mendapatkan target pasar yang sesuai agar produk yang dijual dapat diterima oleh pasar tersebut dan dapat dibeli serta sesuai dengan permintaan pasar tersebut. Kotler (1997) menyatakan bahwa terdapat empat komponen dalam pemasaran yang disebut dengan bauran pemasaran yang meliputi produk, harga, distribusi, dan promosi, sebagai seperangkat alat pemasaran yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam pasar sasaran. Pemilihan pasar potensial ini merupakan salah satu pelengkap dalam menunjang bauran pemasaran tersebut yaitu distribusinya, guna menunjang kualitas dari sistem pendistribusian tersebut dan tujuan distribusi utama produk sebagai target pasar. Cateora dan Graham (2007) menyatakan strategi memasuki pasar internasional menggambarkan analisis karakteristik pasar (seperti potensi penjualan, tingkat kepentingan strategis, kekuatan sumber daya lokal, perbedaan budaya, dan rintangan negara) dan kemampuan serta karakteristik perusahaan termasuk tingkat pengetahuan mendekati pasar, keterlibatan pemasaran, dan komitmen yang siap diambil oleh manajemen. Hal ini juga menjadi pendukung alasan diperlukannya penentuan pasar potensial. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk menentukan pasar potensial dalam penelitian ini didukung dari hasil diskusi dengan para pakar yang mengisi kuesioner guna menentukan pasar potensial produk-produk kelapa tersebut, yaitu meliputi: 1) Peluang Pasar, 2) Tingkat Persaingan, 3) Kecenderungan Permintaan, 4) Kebijakan Pemerintah. 1. Peluang Pasar Peluang pasar menunjukkan seberapa besar permintaan yang belum dapat dipenuhi oleh produsen. Hal ini diperlukan untuk memperkirakan seberapa besar produk yang dibuat akan diserap oleh pasar. Semakin tinggi peluang pasar, semakin tinggi pula potensi negara tersebut dipilih sebagai pasar potensial. Peluang pasar ini dapat dilihat dari jumlah volume impor negara potensial dari Indonesia atau dari market share produk Indonesia di negara tersebut. 2. Tingkat Persaingan Tingkat persaingan perlu dikaji dalam pemilihan pasar potensial untuk menunjukkan seberapa banyak saingan yang dimiliki dalam pasar tersebut, baik pesaing dari dalam negeri pasar tersebut maupun pesaing eksportir negara lain yang memasuki pasar yang sama. Semakin tinggi tingkat persaingan di suatu negara, maka semakin kecil potensi negara tersebut untuk dipilih sebagai pasar potensial, sebaliknya semakin rendah tingkat persaingan di negara tersebut semakin tinggi potensinya. Tingkat persaingan dapat dilihat dari seberapa besar ekspor Indonesia ke negara tersebut dibandingkan negara lain atau dibandingkan total keseluruhan impor (atau estimasi konsumsi) negara tersebut. 3. Kecenderungan Permintaan Kecenderungan permintaan menunjukkan trend permintaan produk, apakah cenderung meningkat, tetap, atau menurun. Negara yang mempunyai kecenderungan permintaan meningkat mempunyai potensi untuk dipilih sebagai pasar potensial. Kecenderungan permintaan suatu negara potensial dapat dilihat dari trend konsumsi produk dan trend impor produk dari Indonesia. 4. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah dipertimbangkan karena hal tersebut sangat menentukan apakah produk dari luar dapat diterima di negara tersebut. Kebijakan pemerintah dalam pemberian lisensi impor, ketetapan tarif pajak, dan ketetapan standar produk berpengaruh secara positif atau negatif dalam perdagangan produk. Negara yang memiliki kebijakan pemerintah lebih longgar, lebih berpotensi untuk dipilih sebagai pasar potensial. 4.2.2 Hasil Pemilihan Pasar Potensial a. Desiccated Coconut (DC) Alternatif pasar yang dipilih merupakan negara yang mengimpor produk desiccated coconut (DC) dari negara Indonesia dengan jumlah terbanyak. Alternatif tersebut adalah Germany, Pakistan, dan China. Negara-negara yang menjadi alternatif tersebut dipilih berdasarkan hasil analisis data sekunder negara-negara di dunia yang mengimpor produk desiccated coconut terbanyak dari Indonesia. Data volume impor dari Indonesia, volume impor total, dan volume estimasi konsumsi tiap negara potensial untuk produk desiccated coconut terdapat pada Lampiran 5. Struktur hirarki pemilihan pasar potensial disajikan pada Gambar 15. Struktur hirarki tersebut menunjukkan bahwa pemilihan alternatif pasar potensial masing-masing ditentukan berdasarkan masing-masing kriteria. Pemilihan pasar potensial produk desiccated coconut ini dilakukan menggunakan software expert choice 2000. Peluang Pasar Germany Tingkat Persaingan Pasar Potensial Dessicated Coconut Pakistan Kecenderungan Permintaan China Kebijakan Pemerintah Setempat Gambar 15. Struktur Hirarki Pemilihan Pasar Potensial Desiccated Coconut Berdasarkan hasil pembobotan dari kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) yang kemudian dimasukkan ke dalam program software Expert Choice 2000, untuk penentuan pasar potensial Desiccated Coconut (DC) kriteria utamanya secara berturut-turut dari yang paling penting adalah peluang pasar, kecenderungan permintaan, kebijakan pemerintah, dan tingkat persaingan. Hasil urutan kriteria utama tersebut dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16. Urutan Prioritas Kriteria Penentu Pasar Potensial Desiccated Coconut Berdasarkan pemilihan pasar potensial produk desiccated coconut (DC), seperti terlihat pada Gambar 17, diperoleh hasil bahwa China adalah pasar paling potensial dengan bobot 0,467, kemudian urutan kedua adalah negara Germany dengan bobot 0,335, sedangkan pada posisi terakhir yaitu Pakistan dengan bobot 0,198. Hal ini sesuai dengan kriteria utama dalam pemilihan pasar potensial yang mana memang peluang pasar untuk produk DC pada negara China sangat besar karena negara China mengimpor sebesar 71,5% dari total DC yang diimpornya dari Indonesia, sedangkan untuk negara Germany, meskipun jumlah ekspor desiccated coconut Indonesia ke Germany sangat besar dan merupakan tertinggi dibandingkan ke negara China maupun Pakistan, namun jika dilihat dari total impor produk desiccated coconut negara Germany pada tahun 2009, Germany hanya mengimpor sebesar 15,2% saja dari Indonesia. Sementara itu, negara Pakistan mengimpor desiccated coconut dari Indonesia pada tahun 2009 hanya sebesar 25,7% dari total impor desiccated coconut yang dilakukan Pakistan (APCC, 2009). Kecenderungan permintaan negara China juga lebih meningkat tiap tahunnya dibandingkan dengan negara Germany maupun Pakistan, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Dalam hal kebijakan pemerintah, negara China lebih mengungguli dalam hal kelonggaran kebijakan pemerintah maupun peraturan dari negaranya. Hal ini dapat terjadi karena memang negara Asia, termasuk China merupakan negara yang dalam mengimpor produk pangan dari Indonesia, tidak memiliki syarat-syarat khusus dalam kualitasnya, sementara negara-negara Eropa seperti Germany, pada umumnya memiliki standar-standar kualitas khusus untuk produk pangan yang akan masuk ke negaranya. Produk pangan tersebut pada umumnya harus benar-benar higienis dan tidak mengandung bakteri. Hal ini menunjukkan China memang pantas menjadi negara potensial utama bagi Indonesia dalam mengekspor produk desiccated coconut, selain karena peluang pasarnya yang akan semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan ekonomi di China yang semakin cepat meningkat. Gambar 17. Urutan Prioritas Pasar Potensial Desiccated Coconut b. Minyak Kelapa Alternatif pasar yang dipilih merupakan negara yang mengimpor produk minyak kelapa dari Indonesia dengan jumlah terbanyak. Alternatif tersebut adalah China, USA, dan Korea. Negara-negara yang menjadi alternatif tersebut dipilih berdasarkan hasil analisis data sekunder negara-negara di dunia yang mengimpor produk minyak kelapa terbanyak dari Indonesia. Data volume impor dari Indonesia, volume impor total, dan volume estimasi konsumsi tiap negara potensial untuk produk minyak kelapa terdapat pada Lampiran 6. Struktur hirarki pemilihan pasar potensial untuk produk minyak kelapa ini disajikan pada Gambar 18. Struktur hirarki tersebut menunjukkan bahwa pemilihan alternatif pasar potensial masing-masing ditentukan berdasarkan masing-masing kriteria. Pemilihan pasar potensial produk minyak kelapa ini dilakukan menggunakan software expert choice 2000. Berdasarkan hasil pembobotan dari kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) yang kemudian dimasukkan ke dalam program software Expert Choice 2000, untuk penentuan pasar potensial minyak kelapa kriteria utamanya secara berturut-turut dari yang paling penting adalah peluang pasar, kecenderungan permintaan, kebijakan pemerintah, dan tingkat persaingan. Hasil urutan kriteria utama tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil penilaian kriteria dalam memilih pasar potensial minyak kelapa sama dengan hasil penilaian kriteria untuk memilih pasar potensial desiccated coconut (DC). Hal ini dikarenakan para pakar berasumsi bahwa dalam memilih pasar potensial untuk produk agroindustri kelapa (DC ataupun minyak kelapa) memiliki kriteria yang sama dengan penilaian kepentingan antar kriteria yang juga sama, yang membedakannya terdapat pada penilaian untuk masing-masing alternatif pasar potensial dari kedua produk tersebut. Peluang Pasar China Tingkat Persaingan Pasar Potensial Minyak Kelapa USA Kecenderungan Permintaan Korea Kebijakan Pemerintah Setempat Gambar 18. Struktur Hirarki Pemilihan Pasar Potensial Minyak Kelapa Gambar 19. Urutan Prioritas Kriteria Penentu Pasar Potensial Minyak Kelapa Berdasarkan hasil pemilihan pasar potensial produk minyak kelapa seperti terlihat pada Gambar 20, diperoleh hasil bahwa China adalah pasar yang paling potensial dengan bobot 0,569, kemudian urutan kedua adalah USA dengan bobot 0,227, sedangkan pada posisi terakhir yaitu Korea dengan bobot 0,204. Hasil ini sesuai dengan data Coconut Statistical Year APCC (2009) yang menunjukkan bahwa volume impor minyak kelapa China dari Indonesia sebesar 73,2% dari keseluruhan total impor minyak kelapa China. Sedangkan total impor minyak kelapa USA dari Indonesia hanya sebesar 14,6% dari keseluruhan total impor minyak kelapa yang dilakukannya. Korea mengimpor minyak kelapa dari Indonesia sebesar 78,9% dari seluruh total impor minyak kelapa Korea. Namun demikian, total impor Korea tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan total impor minyak kelapa yang dilakukan oleh China dan USA dari Indonesia. Hal ini menunjukkan peluang pasar tertinggi berada pada negara China yang juga memiliki kecenderungan permintaan yang cukup tinggi dan meningkat setiap tahunnya seperti yang tertera pada Lampiran 6. Pada tahun 2009, China mengimpor minyak kelapa dari Indonesia sebesar 102.524 ton, USA mengimpor minyak kelapa dari Indonesia sebesar 70.529 ton, sedangkan Korea mengimpor minyak kelapa dari Indonesia hanya sebesar 45.501 ton. Selain itu, USA masih menjadi negara potensial dengan urutan kedua dalam ekspor minyak kelapa Indonesia dikarenakan USA merupakan negara pengimpor terbesar di dunia yang pada tahun 2009 total impornya mencapai 484.341 ton dari total impor minyak kelapa seluruh dunia sebesar 1.844.692 ton. China memang patut menjadi negara potensial utama dalam ekspor minyak kelapa Indonesia, karena selain jumlah impornya yang besar, sejak adanya CAFTA (China-Asean Free Trade Area), perdagangan luar negeri antara ChinaIndonesia juga semakin mudah dan semakin lancar. Gambar 20. Urutan Prioritas Pasar Potensial Minyak Kelapa c. Virgin Coconut Oil (VCO) Ekspor Virgin Coconut Oil (VCO) yang dilakukan oleh agroindustri kelapa di Indonesia masih dalam volume yang kecil, yaitu sekitar 500-1000 ton per tahunnya. Hal ini menyebabkan sulitnya mengetahui berapa jumlah ekspor keseluruhan VCO yang dilakukan oleh Indonesia dan kemana saja tujuan pasar ekspornya. Oleh karena itu, dalam pemilihan pasar potensial ekspor VCO ini menggunakan data dari ekspor negara Filipina sebagai market leader dari ekspor VCO dunia. Dengan demikian, dapat diperkirakan atau diestimasi pasar tujuan ekspor VCO Indonesia dengan tujuan utamanya adalah kepada negara sebagai pasar yang paling besar volume impornya dari Filipina. Berdasarkan data lapang yang diperoleh di Asean Pasific Coconut Community (APCC) Jakarta, total ekspor VCO Filipina pada tahun 2009 sebesar 1805 ton dengan negara tujuan yaitu USA (1082 ton), Canada (496 ton), Germany (56 ton), Belgium (41 ton), Australia (23 ton), dan negaranegara lainnya (107 ton). Hal ini menunjukkan bahwa negara USA merupakan pasar potensial utama dengan total impor VCO dari Filipina terbesar sebesar 1082 ton. Hal ini dapat terjadi karena negaranegara maju seperti USA, Canada, Germany merupakan negara yang memiliki kehidupan sosial (lifestyle) yang modern sehingga memiliki banyak industri kosmetik (kecantikan), serta mementingkan kesehatan. Sesuai dengan fungsi dan manfaat dari VCO sebagai bahan yang dapat diproses kembali untuk dijadikan produk-produk kesehatan ataupun sebagai produk yang langsung dikonsumsi sebagai produk kesehatan dan penyembuhan penyakit, serta sebagai bahan baku produk kosmetik dan produk spa, juga sebagai bahan ingredients pembuatan sabun, shampoo, lipbalm, fragarance, dan lainnya. Negara Indonesia saja berdasarkan data yang diperoleh dari Monalisa (2011), pasar kosmetik Indonesia diestimasikan penjualannya mencapai US$ 1,34 miliar sepanjang 2010, tumbuh rata-rata 6% setiap tahun. Hal ini menunjukkan potensi yang besar bagi penjualan VCO ke depannya, terutama bagi negara-negara dengan industri kosmetik yang besar, terutama USA sebagai negara dengan industri kosmetik terbanyak dan terbesar di dunia dengan jumlah yang dapat dilihat pada Tabel 16. Bahkan di negara USA dan negara-negara Eropa, VCO juga dijadikan sebagai produk pangan berupa salad dressing, bahan ingredients pembuatan cake dan eskrim. Penggunaan VCO di pasar dunia pada umumnya sebesar 70% diaplikasikan untuk non pangan dan 30% diaplikasikan untuk pangan. Hal ini menjadi salah satu penunjang banyaknya VCO yang dapat diimpor oleh USA untuk kemudian diaplikasikan dan diolah kembali untuk dijadikan produk-produk kesahatan dan kosmetik. Tabel 16. Jumlah Industri Kosmetik dan Kesehatan di USA Industry or Stores Number of Establsihments Retail trade 1.128.112 Health and personal care stores 88.452 Cosmetics, beauty supplies, and 13.584 perfume stores Sumber: U. S. Census Bureau, 2007 Economic Census Sales, Shipments, Receipts ($1.000) 3.917.663.456 234.026.783 10.310.542 4.3 Strategi Pemasaran Strategi pemasaran pada penelitian ini dibuat berdasarkan data sekunder yang diperoleh mengenai produk-produk agroindustri kelapa terpilih yang berpotensi dikembangkan di pasar ekspor, yaitu desiccated coconut, minyak kelapa, dan VCO, serta berdasarkan data primer yang diperoleh melalui wawancara pakar dan pengisian kuesioner oleh para pakar di bidang kelapa yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Para pakar tersebut berasal dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun), dari Dewan Kelapa Indonesia, dari Market Development Officer Asian Pasific Coconut Community (APCC) Jakarta, serta dari PT. Pulau Sambu. Data sekunder mengenai penjualan ekspor desiccated coconut dan minyak kelapa diolah dan dianalisis menggunakan matriks BCG (Boston Consulting Group) untuk mengetahui posisi pangsa pasar relatif dan tingkat pertumbuhan industri di pasar ekspor, sehingga dapat menentukan strategi terbaik. Sedangkan data sekunder yang diperoleh melalui literatur buku, majalah, dan internet serta data primer diolah dan dianalisis menggunakan matriks Internal Factor Evaluation (IFE), analisis matriks External Factor Evaluation (EFE), analisis matriks Internal-Eksternal (matriks I-E) dan analisis matriks SWOT sehingga diperoleh berbagai strategi pemasaran terbaik. Contoh kuesioner dalam penentuan strategi ini dapat dilihat pada Lampiran 7. 4.3.1 Analisis Posisi Kompetitif Relatif Agroindustri Desiccated Coconut Analisis posisi kompetitif relatif agroindustri desiccated coconut (DC) digambarkan dalam matriks Boston Consulting Group (BCG) yang merupakan pendekatan portofolio perusahaan. Matriks BCG dibuat berdasarkan volume eskpor desiccated coconut Indonesia dan kompetitor utamanya yaitu Filipina, seperti disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Volume Ekspor Desiccated Coconut Indonesia dan Filipina Tahun Indonesia (MT) Filipina (MT) 2005 49.984 125.759 2006 59.496 136.203 2007 59.884 130.673 2008 57.689 142.626 2009 46.699 116.421 Berdasarkan Tabel 16 diatas, pertumbuhan pasar desiccated coconut Indonesia tidak konsisten. Pertumbuhan pasar desiccated coconut Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 2005 sampai tahun 2007 namun kemudian mengalami penurunan pada tahun 2007 ke tahun 2009. Menurut Rangkuti (1997), tingkat pertumbuhan pasar diukur berdasarkan peningkatan persentase dalam volume penjualan dua tahun terakhir. Pertumbuhan pasar desiccated coconut Indonesia dari tahun 2008 ke tahun 2009 adalah sebesar -19%. Sedangkan pangsa pasar relatif desiccated coconut Indonesia terhadap pesaing utamanya yaitu Filipina pada tahun 2009 adalah sebesar 40,1%. Hal ini menunjukkan pangsa pasar desiccated coconut yang dimiliki Indonesia hanya sebesar 0,401 pangsa pasar yang dimiliki Filipina. Berdasarkan nilai pertumbuhan pasar dan pangsa pasar relatif desiccated coconut Indonesia yang diperoleh tersebut, dapat dibuat plot pada diagram matriks BCG seperti disajikan pada Gambar 16. Pangsa Pasar Relatif Tinggi 1,0 Sedang 0,50 Rendah 0,0 Tinggi +20% Tingkat Pertumbuhan Pasar Star II Question Mark I Cash Cow III Dogs IV Sedang 0% Rendah -20% Gambar 21. Matriks BCG Agroindustri Desiccated Coconut Indonesia Tahun 2009 Pada Gambar 21 tersebut industri desiccated coconut berada pada sel dogs. Posisi ini menunjukkan industri memiliki pangsa pasar relatif yang rendah dan tingkat pertumbuhan pasarnya juga relatif lambat atau bahkan cenderung tidak tumbuh. Namun, pada kasus industri desiccated coconut ini, pangsa pasar relatifnya telah mendekati nilai 50% sehingga tidak terlalu rendah dibandingkan dengan pangsa pasar yang dimiliki Filipina. Meskipun demikian, menurut David (2009), posisi pada dogs ini menunjukkan posisi internal dan eksternal industri masih cukup lemah sehingga diperlukan penciutan atau pengurangan aset dan biaya yang ketat agar industri tetap mampu menghasilkan keuntungan. Dengan melakukan pengurangan aset dan biaya, industri pada posisi ini nantinya dapat tetap bertahan bahkan mampu menjadikan posisinya berada pada posisi question mark, yang mana seperti yang dinyatakan oleh Tjipjono (2008) bahwa alur dari plot matriks BCG ini biasanya berlawanan arah dengan arah jarum jam. 4.3.2 Analisis Internal dan Eksternal Agroindustri Desiccated Coconut Analisis strategi pemasaran produk agroindustri kelapa berorientasi pasar ekspor meliputi analisis internal dan analisis eksternal dari produk yang prospektif untuk dikembangkan di pasar ekspor. Analisis internal dan eksternal dari agroindustri desiccated coconut ini dilakukan dengan cara studi pustaka, mencari referensi dari internet mengenai agroindustri desiccated coconut Indonesia, melakukan diskusi dan wawancara dengan pakar kelapa dari berbagai pihak seperti yang telah disebutkan sebelumnya, serta dengan melakukan pengisian kuesioner oleh para pakar untuk pembobotan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut yang kuesionernya dapat dilihat pada Lampiran 7. Analisis internal dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan usaha agroindustri dalam memasarkan produk yang dihasilkan. Hal ini dilakukan untuk memahami kekuatan dan kelemahan agroindustri sehingga dapat mengoptimalkan kekuatan dan menekan kelemahan yang dimiliki dalam rangka memasarkan produk yang dihasilkan. Analisis eksternal dilakukan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dan ancaman-ancaman yang akan dihadapi usaha agroindustri dalam memasarkan produk yang dihasilkan di pasar ekspor. Hal ini dilakukan untuk memahami peluang dan ancaman agroindustri dalam memasarkan produknya di pasar ekspor sehingga menentukan perencanaan strategi yang efektif dalam memasarkan produk di pasar ekspor. 1. Analisis Internal Factor Evaluation (IFE) Analisis internal industri desiccated coconut (DC) terdiri dari faktor kekuatan dan kelemahan yang dapat dilihat pada Tabel 19. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Kekuatan Faktor kekuatan yang dimiliki agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Ketersediaan Bahan Baku Melimpah Indonesia merupakan negara yang memiliki luas areal kelapa terbesar di dunia serta negara penghasil kelapa terbanyak di dunia. Berdasarkan data dari Coconut Statistical Yearbook APCC (2009), Indonesia memiliki luas areal kelapa sebesar 3,85 juta hektar dengan produksi buah kelapa sebanyak 16,498 miliar butir buah kelapa atau setara 3,3 juta ton kopra. Kekayaan kelapa yang dimiliki Indonesia ini bahkan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dilihat pada Tabel 18. Kondisi ini sebenarnya sangat mendukung kekuatan agroindustri dalam memenuhi bahan baku. Diperlukan kerja sama yang baik antara petani kelapa dengan agroindustri kelapa di Indonesia guna memanfaatkan potensi besar ini. Tabel 18. Luas Area dan Produksi Kelapa Indonesia Lima Tahun Terakhir Produksi Kelapa Tahun Area (Ha) Butiran (Juta) Ekuivalen Kopra (Ton) 2005 3.804.000 15.484 3.096.845 2006 3.788.892 15.656 3.131.159 2007 3.787.989 15.966 3.193.266 2008 3.799.337 16.235 3.247.000 2009 3.854.405 16.498 3.299.530 2) Promosi Penjualan yang Cukup Baik Dalam melakukan penjualan untuk pasar ekspor, Indonesia telah memiliki lembaga atau komunitas kelompok seperti Asean Pasific Coconut Community (APCC) yang telah membantu perusahaan-perusahaan agroindustri kelapa (termasuk industri desiccated coconut) dalam mempromosikan produknya agar mendapatkan perhatian dan dikenal di pasar internasional. Sehingga para konsumen luar negeri dapat membeli produk Indonesia dengan menghubungi industri tersebut secara langsung, baik melalui email, web, dan lain sebagainya. Bentuk promosi tersebut berupa informasi iklan yang tercantum pada majalah Cocoinfo International yang diterbitkan secara rutin oleh APCC setiap bulan serta informasi berupa directory traders (kumpulan perusahaan-perusahaan yang mengekspor dan mengimpor) produk agroindustri kelapa dalam bentuk sebuah buku yang diterbitkan setiap 2 tahun sekali. Selain itu, para agroindustri kelapa Indonesia yang merupakan industri besar telah memiliki website untuk penjualan produk-produk kelapa mereka, antara lain seperti PT. Pula Sambu dengan alamat website http://www.sambugroup.com/ dan PT. Cocomas Indonesia dengan alamat website http://www.cocomas.com.sg/. 3) Dapat Menghasilkan Produk Sampingan Industri desiccated coconut dapat menghasilkan produk lain secara bersamaan dengan memproduksi desiccated coconut, yaitu produk santan. Hanya saja produk yang diproduksi adalah produk desiccated coconut dengan karakter berbeda yaitu desiccated coconut low fat dengan kadar minyak dibawah produk desiccated coconut biasa yaitu kurang dari 60% (APCC, 2011). Hal ini dapat diterapkan jika industri kelapa tersebut menerapkan proses produksi dengan teknologi proses kelapa terpadu. b. Faktor Kelemahan Faktor kelemahan yang dimiliki agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Kualitas Produk Masih Rendah Kualitas produk desiccated coconut yang dihasilkan oleh sebagian besar industri kelapa di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara pesaing (Filipina). Konsumen negara lain produk desiccated coconut seperti Amerika maupun negara-negara Eropa sangat mementingkan kualitas dari produk yang akan dibelinya, terutama untuk produk pangan seperti desiccated coconut. Nilai higienis dari produk desiccated coconut yang dihasilkan oleh sebagian besar petani dan industri kecil Indonesia masih kurang. Produk desiccated coconut yang dihasilkan oleh industri kecil dan menengah atau petani Indonesia menghasilkan bentuk fisik berupa warna yang kurang bersih atau cerah dengan tekstur yang masih kasar. Sehingga produk-produk desiccated coconut yang saat ini sudah tembus di pasar ekspor masih merupakan hasil dari industri besar yang mana memang telah menghasilkan produk desiccated coconut yang sesuai dengan SNI dan standar internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Balitbang Pertanian (2007), perolehan ekspor produk kelapaIndonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan perolehan negara pesaing utama (Filipina) terutama dikarenakan oleh kualitas produk kelapa Indonesia yang masih di bawah Filipina, tingginya biaya transportasi, dan kompleksitas prosedur ekspor yang turut berpengaruh terhadap perolehan manfaat perdagangan (ekspor) produk kelapa Indonesia yang belum maksimal. 2) Infrastruktur Kurang Memadai Terbatasnya infrastruktur seperti kurangnya pasokan listrik, sarana jalan, transportasi, telekomunikasi, serta pelabuhan ekspor di wilayah pengembangan kelapa yang meliputi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Lampung, juga dirasakan menjadi penghambat pengembangan industri pengolahan kelapa. Tidak terdapatnya pelabuhan ekspor di wilayah-wilayah tersebut menyebabkan produk-produk kelapa yang akan diekspor ditujukan terlebih dahulu ke Surabaya untuk diekspor melalui pelabuhan disana. Sementara biaya 1 kontainer dengan kapasitas 20 ton untuk menuju ke pelabuhan ekspor sekitar Rp.7.000.000,-. Sehingga harga produk menjadi lebih mahal yang disebabkan oleh biaya transportasi menuju pelabuhan ekspornya itu sendiri. 3) Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Masih Kurang Kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini masih kurang sinkron satu sama lain. Antara kebijakan Kementrian Pertanian yang pada umumnya lebih menginginkan kesejahteraan petani dengan kebijakan Kementrian Perindustrian yang pada umumnya menginginkan kemajuan industri sampai saat ini masih mengalami ketidakkompakkan. Hal ini dikarenakan sampai saat ini petani masih hanya bisa mengolah kelapa menjadi kopra, yang dijual ke industri untuk selanjutnya diolah kembali dan dijual untuk pasar domestik maupun pasar internasional, yang mana harga jual kopra ataupun kelapa butiran petani tersebut pada umumnya masih belum dapat mensejahterakan petani kelapa Indonesia. Sedangkan Kementrian Perindustrian juga menginginkan kemajuan agroindustri kelapa sehingga berupaya sebaik mungkin demi memajukan agroindustri kelapa Indonesia, salah satunya dengan membantu meningkatkan kualitas produk dan mengupayakan agar penjualan ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia semakin meningkat. Hal ini tentunya lebih menguntungkan agroindustri kelapa di Indonesia, sementara nasib rakyat petani kelapa tetap pada harga standar buah kelapa pada umumnya, belum lagi jika mereka “dipermainkan” oleh para tengkulak. 4) Kontinuitas Bahan Baku Masih Tidak Stabil Kelapa memang merupakan komoditi yang tidak sulit ditemui. Luas areal kelapa di Indonesia yang sangat besar sebagian besar dimiliki oleh para petani (rakyat kecil). Sebesar 98% atau sekitar 3,77 juta hektar areal kelapa dimiliki oleh para petani kelapa, sisanya sebesar 2% atau sekitar 77000 hektar dimiliki oleh perusahaan swasta. Sebagian besar para petani masih mengolah kelapa hanya menjadi kopra atau dijual dalam bentuk butiran kelapa (Dirjen Perkebunan, 2009). Namun, hal ini lantas tidak menjadi suatu keunggulan bagi Indonesia yang disebabkan oleh masih banyaknya petani kelapa yang menjual kelapa segar utuh ke negara lain seperti Malaysia dan Singapore. Akibatnya, kontinuitas bahan baku bagi agroindustri kelapa di Indonesia untuk mengolahnya kembali menjadi produk kelapa masih tidak stabil. Sebagian besar agroindustri kelapa yang berada di wilayah perbatasan masih kekurangan bahan baku. Bahkan kini harga per butir buah kelapa di Sentra Tanaman Kelapa Riau sebesar Rp.3.000. Selain itu, berkurangnya jumlah tanaman kelapa yang menghasilkan dari 2.789.416 ha pada tahun 2007 menjadi 2.773.489 pada tahun 2009 merupakan salah satu penyebab masih kurangnya bahan baku yang dapat dipasok untuk agroindustri kelapa Indonesia. Manggabarani (2010) juga menyatakan bahwa produktivitas tanaman kelapa sampai dengan tahun 2009 (1,15 ton/ha) masih berada di bawah potensi produksinya yaitu 2,0-2,5 ton/ha dan bahkan sampai saat ini jumlah kondisi tanaman kelapa yang sudah tua dan tidak produktif mencapai 11,56% dari total luas areal kelapa Indonesia. 5) Aplikasi Desiccated Coconut Tidak Banyak Berkembang Sampai saat ini aplikasi produk desiccated coconut sebagian besar masih digunakan pada industri industri pangan untuk dijadikan bahan baku produk makanan camilan atau sebagai bahan pelengkap. Hal ini tidak banyak berkembang sehingga semakin lama pasar dapat mencapai titik jenuh dan mulai menurun permintaannya. Tabel 19. Matriks IFE untuk Industri Desiccated Coconut Faktor Strategis Internal Bobot Rating 1 2 Skor (a) (b) (a) x (b) 1. Ketersediaan bahan baku melimpah 0,15 4 0,60 2. Promosi penjualan cukup baik 0,12 3 0,36 3. Dapat menghasilkan produk sampingan 0,10 3,5 0,35 1. Kualitas produk masih rendah 0,13 1,25 0,16 2. Infrastruktur kurang memadai 0,13 1,25 0,16 3. Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang 0,11 1,75 0,19 4. Kontinuitas bahan baku tidak stabil 0,16 1,25 0,20 5. Aplikasi desiccated coconut tidak banyak berkembang 0,10 1,5 0,15 Kekuatan Kelemahan Total 1,00 2,17 Matriks IFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis internal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri desiccated coconut Indonesia. Setiap pakar memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis internal agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya. Semakin kuat faktor internal tersebut, semakin tinggi skornya dan semakin lemah faktor internal tersebut, maka semakin rendah skornya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks IFE dilakukan oleh para pakar kelapa yang telah disebutkan sebelumnya dengan mengisi kuesioner seperti yang terdapat pada Lampiran 7. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 19 di atas. Berdasarkan Tabel 19, analisis matriks IFE menghasilkan total skor seluruh faktor internal sebesar 2,17. Total total skor ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya masih mencirikan industri yang lemah secara internal. Seperti yang dijelaskan oleh David (2009), terlepas dari berapa banyak faktor yang dimasukkan ke dalam Matriks Evaluasi Faktor Internal, skor bobot total di bawah 2,5 mencirikan organisasi yang lemah secara internal, sedangkan skor bobot total di atas 2,5 mengindikasikan posisi internal yang kuat. Kekuatan utama dari agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya adalah ketersediaan bahan baku yang melimpah, dengan total skor tertinggi sebesar 0,60. Hal ini menunjukkan kekuatan utama dari agroindustri desiccated coconut adalah karena ketersediaan bahan bakunya yang melimpah yang mana memang negara Indonesia ini merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Sedangkan kelemahan utama dari agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah aplikasi desiccated coconut yang tidak banyak berkembang dengan total skor terendah yaitu 0,15. Hal ini menunjukkan meskipun bahan baku kita melimpah, namun jika aplikasi dari produk desiccated coconut tidak banyak berkembang, pasar suatu saat akan bosan dan ini bisa menjadi kelemahan utama yang menyebabkan penurunan penjualan desiccated coconut di pasar ekspor. 2. Analisis External Factor Evaluation (EFE) Analisis eksternal industri desiccated coconut (DC) terdiri dari faktor peluang dan ancaman yang dapat dilihat pada Tabel 22. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Peluang Faktor peluang yang dimiliki agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Permintaan Pasar Ekspor Cukup Besar dan Cenderung Naik Permintaan produk desiccated coconut untuk dunia masih cukup besar. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan jumlah estimasi konsumsi dari produk desiccated coconut untuk seluruh dunia yang cenderung naik dari tahun 2005 hingga 2009 yaitu dari 167.602 ton sampai dengan 201.815 ton meskipun antara rentan waktu tersebut masih terjadi turun-naik. Bahkan estimasi konsumsi dunia untuk produk desiccated coconut dari tahun 2008 ke tahun 2009 meningkat sampai dengan 12,3%. Selain itu, jumlah volume impor dunia untuk produk desiccated coconut juga cenderung naik dari tahun 2005 sampai dengan 2009, yaitu dari 222.850 ton sampai dengan 362.359 ton (APCC, 2009). Data estimasi konsumsi dan volume impor desiccated coconut dunia dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Data Estimasi Konsumsi dan Total Impor Desiccated Coconut Dunia Tahun Volume Konsumsi (MT) Volume Impor (MT) 2005 167.602 222.850 2006 236.156 244.379 2007 186.004 288.533 2008 179.670 262.677 2009 201.815 362.359 2) Perdagangan Global Semakin Terbuka Luas Era perdagangan bebas merupakan peluang yang sangat mendukung pengembangan agroindustri desiccated coconut. Pada era ini, arus barang, jasa, modal, teknologi, serta sumber daya alam dengan bebas melintas dari satu negara ke negara yang lain. Hal ini akan memberikan peluang yang sangat baik untuk ekspor produk desiccated coconut ke manca negara, baik untuk pasar potensial di wilayah Asia, maupun untuk pasar potensial di wilayah Eropa dan Amerika. Selain itu, dengan adanya CAFTA (China-Asean Free Trade Area) juga menjadi peluang bagi perusahaan agroindustri kelapa Indonesia untuk memperluas pasaranya ke luar negeri, dan terbukanya pasar ekspor sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem perdagangan bebas menyebabkan berbagai hambatan ekspor berkurang. 3) Peningkatan Jumlah Penduduk Dunia Jumlah penduduk dunia semakin hari semakin bertambah. Berdasarkan International Data Base US Census Bureau (2011), jumlah penduduk dunia pada saat ini sebesar 6.918.687.238 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 6.884.215.263. Dengan jumlah penduduk yang meningkat tersebut, saat ini China merupakan negara dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 1.336.718.015 penduduk, disusul negara India dengan 1.189.172.906 penduduk, dan United States sebesar 313.232.044 penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk dunia dan semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat dunia secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan permintaan produk desiccated coconut sebagai produk pangan yang biasanya digunakan kembali untuk diolah menjadi produk makanan lain seperti cookies, bikuit, roti, dan lainnya serta digunakan sebagai topping kue. 4) Pengembangan Industri Hilir Masih terbuka peluang untuk mengembangkan industri hilir yang produk akhirnya dapat diekspor sehingga memberi nilai tambah yang lebih dan keuntungan yang lebih besar. Produk hilir tersebut dapat berupa produk-produk makanan yang berbahan baku desiccated coconut, seperti cookies, biskuit, dan produk camilan lainnya seperti yang diproduksi oleh negara potensial China. b. Faktor Ancaman: Faktor ancaman yang dimiliki agroindustri desiccated coconut di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Kualitas Proses Desiccated Coconut Negara Pesaing Lebih Bagus Negara pesaing terbesar Indonesia dalam mengekspor produk desiccated coconut adalah negara Filipina. Tercatat dalam Coconut Statistical Yearbook APCC (2009), jumlah ekspor desiccated coconut negara Indonesia berada di peringkat kedua yaitu sebesar 46.699 ton sedangkan jumlah ekspor desiccated coconut negara Filipina berada di peringkat pertama yaitu sebesar 116.421 ton. Hal ini dikarenakan produk desiccated coconut Filipina memiliki kualitas yang sangat baik dan higienis yang salah satunya disebabkan oleh penerapan Good Manufacturing Process (GMP) yang telah menyeluruh di seluruh industri desiccated coconut di Filipina. Proses produksi desiccated coconut di negara Filipina sangat higienis, sehingga negara-negara pengimpor desiccated coconut seperti negara-negara Eropa dan USA yang merupakan negara yang sangat mementingkan kualitas kebersihan produk pangannya dari sejak bahan baku, proses, dan hasil produk akhirnya, lebih memilih mengimpor desiccated coconut dari negara Filipina tersebut. 2) Ekspor Bahan Baku (Kelapa Utuh) Masih banyaknya petani kelapa yang menjual bahan baku (buah kelapa utuh) ke negara lain yang wilayahnya dekat dengan Indonesia seperti Malaysia dan Singapore menjadi ancaman bagi negara Indonesia sendiri. Hal ini menyebabkan banyak industri pengolah kelapa di Indonesia yang kekurangan bahan baku. Sementara negara pesaing menghasilkan produk turunan kelapa dengan jumlah besar untuk diekspor ke negara potensial. Berdasarkan data dari Pulau Sambu Group (2011), yang mana industrinya berada di wilayah perbatasan (Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau), jumlah ekspor dan perdagangan lintas batas kelapa butiran tahun 2006 dan 2007 dapat dilihat pada Tabel 21 di bawah ini. Tabel 21. Jumlah Ekspor dan Perdagangan Lintas Batas Kelapa Bulat Tahun 2006 Tahun 2007 Ekspor 8.734.700 10.444.000 Lintas Batas 7.509.000 7.797.000 Jumlah 16.243.700 18.241.000 Diperkirakan jumlah tersebut di atas meningkat pesat dalam tahun 2010, sehingga pada awal tahun 2011 telah mencapai sekitar 15.000.000 butir sampai dengan 30.000.000 butir per bulan atau sekitar 500.000 butir sampai dengan 1.000.000 butir perhari. 3) Teknologi Proses Negara Pesaing Lebih Canggih Teknologi proses yang dilakukan Indonesia dalam memproduksi desiccated coconut masih cenderung kurang canggih dibandingkan dengan teknologi proses yang dilakukan oleh negara Filipina. Dalam memproduksi desiccated coconut, Filipina menggunakan alat dan mesin yang berasal dan dirancang dari USA. Permintaan desiccated coconut dari negara USA sangat besar dan Filipina merupakan negara pengekspor desiccated coconut terbesar di dunia, sehingga mereka bekerja sama dengan USA sebagai pembuat mesin canggih untuk proses pembuatan desiccated coconut dan Filipina sebagai pensuplai produk desiccated coconut untuk USA. Hal ini merupakan salah satu sebab meskipun USA adalah negara pengimpor desiccated coconut terbesar di dunia (pada tahun 2009 mengimpor sebesar 35.886 ton), namun jumlah impornya dari Indonesia sangat kecil , yaitu hanya sekitar 26 ton pada tahun 2009 (APCC, 2009). 4) Manajemen Industri Negara Pesaing Lebih Baik Salah satu alasan mengapa negara Filipina merupakan negara pengekspor produk kelapa terbesar di dunia adalah karena manajemen industri yang diterapkan di sebagian besar agroindustri kelapa negara tersebut lebih baik dibandingkan dengan negara Indonesia. Filipina menerapkan manajemen industri yang sangat baik, dimulai dari manajemen prosesnya yang menerapkan sistem proses produksi kualitas tinggi seperti penerapan GMP (Good Manufacturing Process) dan penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang menunjang kualitas dan nilai kesehatan dari produk yang diciptakannya. Selain itu, sistem manajemen pemasaran dari sebagian besar agroindustri kelapa Filipina juga sangat baik, hal ini dapat dilihat dari hubungan Filipina dengan negara-negara potensial ekspor produk agroindustri kelapa yang erat dan terjalin hubungan yang saling bekerja sama dan saling menguntungkan, seperti yang terjadi antara negara Filipina dan USA. Selain itu, banyaknya penduduk Filipina yang tinggal di USA juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tersebarnya produk-produk kelapa Filipina di USA. Manajemen sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebagian besar agroindustri kelapa Filipina juga sangat baik, seperti pemberian reward, peraturan yang ketat dan penerapan sikap disipilin dari perusahaan menyebabkan para pekerja Filipina sebagian besar mermiliki etos kerja yang tinggi. Para pekerja Filipina memiliki sikap, etika, dan kebiasaan yang baik seperti rajin, pekerja keras, ulet, dan disiplin yang membuat mereka dapat memajukan agroindustri kelapa di negaranya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang mana manajemen industrinya sebagian besar masih belum baik. Agroindustri kelapa di Indonesia sebagian besar masih belum menerapkan HACCP dan GMP. Hal ini menyebabkan kualitas produk yang dihasilkan belum sebaik negara Filipina dan menyebabkan negara-negara potensial ekspor produk agroindustri kelapa, seperti negara-negara Eropa dan USA yang sangat mementingkan kualitas dan keamanan produk pangan yang masuk ke negaranya, tidak mengimpor produk kelapa dari agroindustri kelapa di Indonesia. Hal ini juga menyebabkan para pekerja di Indonesia sebagian besar masih memiliki etos kerja yang rendah, yang masih lebih mementingkan keuntungan besar yang diperoleh saat ini tanpa perduli kontinuitas dari keuntungan tersebut. Sehingga banyak industri produk agroindustri kelapa di Indonesia yang tidak kontinu (bangkrut di tengah jalan). Hal ini menjadi ancaman bagi agroindustri kelapa di Indonesia karena negara pesaingnya lebih ulet dalam menjalankan usaha dan produksi produk agroindustri kelapa. 5) Impor dari Negara Singapore Lebih Mudah Negara-negara potensial ekspor produk agroindustri kelapa yang berada di Amerika dan Eropa lebih menyukai membeli produk agroindustri kelapa di Singapore dibandingkan dengan di Indonesia. Hal ini dikarenakan birokrasi penjualan ekspor di Singapore lebih sederhana dan mudah, serta kepercayaan Bank dalam memberikan Letter of Credit (L/C) lebih mudah diberikan. Ini merupakan salah satu alasan agroindustri kelapa di Indonesia yang mengekspor hampir 100% produknya memiliki market office (kantor pemasaran) di Singapore, seperti yang dilakukan oleh PT. Pulau Sambu. Sehingga akibat dari kegiatan reexport ini adalah para agroindustri kelapa di Indonesia dapat dimonopoli penjualannya oleh para traders di Singapore. Tabel 22. Matriks EFE untuk Industri Desiccated Coconut Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating 1 2 Skor (a) (b) (a) x (b) 1. Permintaan pasar ekspor besar dan cenderung naik 0,13 3.25 0,42 2. Perdagangan global semakin terbuka luas 0,10 3,25 0,33 3. Peningkatan jumlah penduduk dunia 0,07 3,5 0,25 4. Pengembangan industri hilir 0,12 2,75 0,33 1. Kualitas proses desiccated coconut negara pesaing lebih bagus 0,11 3.25 0,36 2. Ekspor bahan baku (kelapa utuh) 0,14 2,25 0,32 3. Teknologi proses negara pesaing lebih canggih 0,11 2,75 0,30 4. Manajemen industri negara pesaing lebih baik 0,13 2,25 0,29 5. Impor dari negara Singapore lebih mudah 0,09 2,25 0,20 Peluang Ancaman Total 1,00 2,8 Matriks EFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis eksternal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri desiccated coconut Indonesia. Setiap pakar memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis eksternal agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks EFE dilakukan oleh pakar yang sama pada matriks IFE seperti yang terdapat pada Lampiran 7. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 22 di atas. Berdasarkan Tabel 22, analisis matriks EFE yang dilakukan menghasilkan total skor sebesar 2,8. Total skor EFE ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya dalam merespon lingkungan eksternalnya di atas rata-rata. Peluang utama dalam lingkungan eskternal agroindustri desiccated coconut Indonesia dalam melakukan kegiatan eskpor ini ditunjukkan oleh faktor peluang permintaan pasar eskpor besar dan cenderung naik total skor terbesar yaitu 0,42. Hal ini memang menjadi peluang utama dalam mengembangkan dan meningkatkan jumlah ekspor desiccated coconut Indonesia karena memang permintaan pasar ekspor sangat mendukung dengan ingin ditingkatkannya ekspor desiccated coconut Indonesia. Sedangkan ancaman utama bagi agroindustri desiccated coconut Indonesia dalam mengekspor produk desiccated coconut adalah kegiatan impor dari negara Singapore lebih mudah dengan total skor terkecil yaitu sebesar 0,20. Hal ini menjadi ancaman utama dikarenakan kegiatan impor yang mudah birokrasinya dan pemberian L/C dari Bank di Singapore yang lebih mudah diberikan menyebabkan banyaknya negara pasar potensial desiccated coconut yang mengimpor atau membeli produk desiccated coconut disana, sehingga pembeli desiccated coconut di Indonesia menjadi berkurang dan akan banyak traders di Singapore yang membeli produk di Indonesia kemudian dijual kembali langsung kepada negaranegara potensial yang menyebabkan Indonesia tidak berhubungan langsung dengan pasar potensialnya. 3. Analisis Matriks Internal-External (Matriks I-E) Analisis matriks Internal-Eksternal (matriks I-E) digunakan untuk mengetahui posisi agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya saat ini. Matriks I-E didasarkan pada total skor yang diperoleh dari matriks IFE dan EFE. Merujuk pada Tabel 19 dan Tabel 22, diperoleh nilai matriks IFE sebesar 2,17, sedangkan nilai matriks EFE sebesar 2,8. Melalui total skor dalam matriks IFE dan EFE, maka dapat digambarkan posisi agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya dalam matriks I-E seperti pada Gambar 22. Total Skor IFE Tinggi 3,0-4,0 Total Skor EFE Rata-rata 2,0-2,99 Rendah 1,0-1,99 Kuat 3,0-4,0 Sedang 2,0-2,99 Lemah 1,0-1,99 I II III IV V VII VIII VI IX Gambar 22. Posisi Agroindustri Desiccated Coconut dalam Matriks Internal-Eksternal Berdasarkan pada matriks Internal-Eksternal, agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya berada pada posisi sel V yaitu pada tahap pertahankan dan pelihara (hold and maintain). Posisi ini akan menentukan strategi pemasaran yang dapat diterapkan. Menurut David (2009), strategi yang sebaiknya diterapkan pada posisi ini adalah strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Menurut Umar (2003), strategi penetrasi pasar adalah strategi yang berusaha meningkatkan market share suatu produk atau jasa melalui usaha pemasaran yang lebih besar, diantaranya dengan menambah jumlah tenaga penjual dan biaya untuk promosi penjualan. Sedangkan strategi pengembangan produk yaitu strategi yang bertujuan agar industri dapat meningkatkan penjualan dengan cara meningkatkan atau memodifikasi produk-produk yang ada sekarang. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi pada agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya saat ini. Penjualan ekspor desiccated coconut yang masih dibawah negara pesaing lain terjadi dikarenakan masih belum banyak agroindustri Indonesia yang bisa menciptakan desiccated coconut dengan kualitas yang diinginkan pasar (terutama pasar-pasar Eropa dan Amerika) karena negara-negara Eropa dan Amerika memiliki standar sendiri untuk produk-produk pangan yang masuk ke negaranya, dan hanya agroindustri desiccated coconut yang skala besar saja yang sudah dapat mengekspor produk desiccated coconut, dikarenakan penerapan SNI dan standar kualitas negara pengimpor yang telah mereka terapkan, juga GMP yang telah mereka terapkan. Hal ini yang menyebabkan masih kurangnya jumlah ekspor desiccated coconut Indonesia, sehingga memang diperlukan modifikasi produk, penambahan kualitas produk, serta meningkatkan akses ke pasar. Sistem promosi yang baik mendukung peningkatan penjualan produk di pasar ekspor. Tanpa pemasaran dan pengenalan produk desiccated coconut Indonesia ke pasar ekspor, akan sulit bagi produk desiccated coconut indonesia untuk menyaingi penjualan ekspor produk desiccated coconut negara lain. Dilihat dari Gambar 22 di atas, posisi agroindustri desiccated coconut (DC) berada pada sel V yang menunjukkan nilai eksternal yang lebih besar dibanding internalnya. Oleh karena itu, sebaiknya diterapkan strategi yang menjadikan posisi agroindustri DC Indonesia berada pada sel II dengan meningkatkan faktor eksternalnya sehingga menjadi lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 22, peluang utama dalam meningkatkan ekspor DC Indonesia adalah meningkatnya permintaan pasar ekspor, sedangkan ancaman utamanya adalah impor dari negara Singapore yang lebih mudah. Oleh karena itu, strategi yang sebaiknya diterapkan adalah dengan penetrasi pasar guna memenuhi permintaan seluruh pasar ekspor serta dengan menerapkan regulasi yang lebih ringan dalam proses ekspor produk kelapa Indonesia. 4.3.3 Analisis Matriks SWOT Agroindustri Desiccated Coconut Analisis SWOT (Strengths-Weakness-Opportunities-Threats) merumuskan alternatifalternatif strategi pemasaran yang bisa digunakan oleh agroindustri desiccated coconut Indonesia dalam mengeskpor produk desiccated coconut berdasarkan kondisi agroindustri saat ini yang digambarkan pada matriks I-E seperti Gambar 22, yaitu pada posisi sel V tahap pertahankan dan pelihara. Alternatif strategi pemasaran yang dihasilkan melalui analisis SWOT disusun dengan menggunakan kombinasi antara faktor-faktor strategis internal dan eskternal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mana faktor-faktor tersebut diperoleh berdasarkan studi pustaka, literatur internet, dan diskusi serta wawancara pakar. Hasil analisis SWOT agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Matriks SWOT Industri Desiccated Coconut Internal Eksternal Kekuatan (Strengths) 1. Ketersediaan bahan baku melimpah, yaitu sebanyak 3,85 juta hektar dengan produksi buah kelapa 16,5 miliar butir buah kelapa 2. Promosi penjualan cukup baik, melalui website, Cocoinfo International, Directory Traders APCC 3. Dapat menghasilkan produk lain berupa santan dengan memproduksi desiccated coconut lowfat 1. 2. 3. 4. 5. Kelemahan (Weakness) Kualitas produk yang dihasilkan IKM dan petani belum seragam serta belum sesuai SNI dan standar mutu internasional Infrastruktur kurang memadai, seperti masih kurang berkualitasnya pelabuhan internasional dan pasokan listrik Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang Kontinuitas bahan baku masih tidak stabil, masih banyak petani ekspor kelapa butiran dan jumlah tanaman kelapa yang menghasilkan menurun dari 2.789.416 ha pada tahun 2007 menjadi 2.773.489 pada tahun 2009 Aplikasi desiccated coconut tidak banyak berkembang, masih digunakan untuk cookies, bakery, biscuit Peluang (Opportunities) Strategi S-O Strategi W-O 1. Permintaan pasar ekspor 1. Memperluas daerah 1. Meningkatkan kualitas produk cukup besar dan cenderung pemasaran ke pasar-pasar terutama dari segi sifat naik, meningkat dari tahun yang baru tumbuh, seperti higienisnya (S1, O1, O2, O3) 2008-2009 sebesar 12,3% Eropa Timur, Arab, China, 2. Mengembangkan produk antara 2. Perdagangan global semakin dan Rusia serta negara lain menjadi cookies, biskuit, terbuka luas dengan adanya potensial seperti Amerika dan sehingga lebih bernilai tambah CAFTA dan free export taxes Uni Eropa (S1, S2, S3, O1, O2, (W4, W5, O2, O3, O4) 3. Peningkatan jumlah penduduk O3) dunia, yang mana saat ini 2. Meningkatkan promosi mencapai 6.918.687.238 melalui kerjasama dengan penduduk, meningkat dari pemerintah dan kedutaan tahun sebelumnya yaitu negara Indonesia di negara sebesar 6.884.215.263 pasar potensial (S1, S2, S3, O1, 4. Pengembangan industri hilir O2, O3, O4) menjadi produk yang lebih bernilai tambah seperti cookies, biscuits, bakery 1. 2. 3. 4. 5. Ancaman (Threats) Strategi S-T Strategi W-T Kualitas proses desiccated 1. Mengusahakan pengembangan 1. Memperbaiki infrastruktur yang coconut negara pesaing lebih dan pelatihan manajemen ada dan menambah infrastruktur bagus disebabkan penerapan industri desiccated coconut agar memperlancar proses GMP (Good Manufacturing indonesia sehingga lebih ekspor (W2, W3, T1, T3, T4, T5) Process) yang menyeluruh teratur dan pekerjanya 2. Meningkatkan efisiensi proses Ekspor bahan baku (kelapa memiliki etos kerja tinggi (S1, dengan melakukan proses utuh) mencapai 10,4 juta butir S2, S3, T1, T3, T4) pengolahan kelapa terpadu agar pada tahun 2007 2. Meningkatkan kualitas proses dapat membeli kelapa butiran Teknologi proses negara dan teknologi proses industri dengan harga lebih mahal pesaing lebih canggih dengan desiccated coconut Indonesia dibanding pesaing (W3, W4, T2, menggunakan peralatan dan yang dibantu oleh pemerintah T3, T4) mesin dari negara maju seperti dengan penerapan dan 3. Meningkatkan kemudahan Amerika pelatihan GMP, HACCP, serta birokrasi dalam proses eksporManajemen industri negara penyediaan alat-alat dan mesin impor dengan meningkatkan pesaing lebih baik dengan canggih (S1, S2, T1, T3, T4) tingkat keamanan di pelabuhan, penerapan GMP dan HACCP pemberrian kemudahan dalam serta manajemen SDM yang hal perizinan, serta pemberian baik sehingga para pekerja kepercayaan yang mudah dalam memiliki etos kerja yang tinggi mengeluarkan L/C (W2, W3, T5) Impor dari negara Singapore lebih mudah dalam hal pemberian L/C dan birokrasi ekspor-impornya lebih sederhana Berdasarkan analisis matriks SWOT tersebut, dirumuskan strategi-strategi pemasaran yang dapat diaplikasikan sebagai berikut: 1. Strategi SO Strategi SO adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang (Rangkuti, 2006). Berdasarkan analisis matriks SWOT pada agroindustri desiccated coconut Indonesia, dihasilkan dua alternatif strategi SO yaitu: 1) Memperluas daerah pemasaran, 2) Meningkatkan promosi melalui kerjasama dengan pemerintah dan kedutaan negara Indonesia di negara pasar potensial. Agroindustri desiccated coconut Indonesia perlu memperluas daerah pemasaran ekspor yang kini telah terjelajahi. Hal ini dikarenakan sampai tahun 1980, Indonesia masih belum diperbolehkan mengekspor produk kelapa karena kelapa dijadikan minyak goreng untuk kebutuhan domestik yang mana hal ini terjadi pada saat sebelum adanya minyak kelapa sawit. Sehingga Indonesia terlambat memasuki pasar ekspor kelapa dan hanya mampu merebut pasar-pasar baru atau permintaan tambahan dari pasar-pasar yang sebelumnya telah direbut Filipina dan Srilanka. Oleh karena itu, untuk meningkatkan volume ekspor dari agroindustri desiccated coconut itu sendiri diperlukan perluasan daerah pemasaran untuk mengisi pasar-pasar yang baru tumbuh, seperti Eropa Timur, Arab, China, dan Rusia. Selain itu juga perlu dilakukan pemasaran yang lebih intensif ke negara-negara potensial yang memiliki permintaan cukup besar untuk produk-produk kelapa seperti Amerika dan Eropa. Seperti yang dinyatakan oleh Kotler (1997), strategi pengembangan pasar baru merupakan salah satu strategi pertumbuhan intensif, kisi ekspansi pasar atau produk. Selain perluasan daerah pemasaran, guna meningkatkan ekspor agroindustri desiccated coconut Indonesia juga diperlukan peningkatan promosi yang tidak hanya dilakukan oleh agroindustri itu sendiri, namun juga dibantu dan didukung oleh pemerintah, baik dari Kementrian Perdagangan maupun dari Kementrian Perindustrian, serta bantuan dari kedutaan Indonesia yang berada di negara pasar potensial. Peningkatan promosi ini dapat dilakukan dengan bantuan pemerintah dengan memberikan bantuan dana untuk agroindustri desiccated coconut Indonesia sehingga dapat menghadiri pameran produk di negara potensial tersebut yang mana kedutaan membantu untuk selalu memberi informasi terbaru mengenai acara pameran produk di negara potensial, sehingga agroindustri Indonesia dapat ikut serta memperkenalkan produknya secara langsung dan berhubungan secara langsung dengan para importir. Hal ini dapat menunjang agroindustri desiccated coconut indonesia berhubungan secara langsung dan menjalin mitra kerja secara langsung dengan importir (industri pangan) yang menggunakan desiccated coconut di industrinya. 2. Strategi WO Menurut David (2009), strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada. Terdapat dua alternatif strategi untuk strategi WO, yaitu: 1) Meningkatkan kualitas produk untuk mempertahankan pelanggan lama dan meraih pelanggan baru, 2) Mengembangkan produk sehingga lebih bernilai tambah. Kualitas produk desiccated coconut Indonesia sebenarnya telah sesuai dengan standar internasional maupun SNI, namun sebagian besar industri desiccated coconut indonesia yang telah mampu menjual produk desiccated coconut nya ke pasar ekspor masih belum besar. Hal ini dikarenakan desiccated coconut merupakan produk yang pengaplikasiannya 100% untuk pangan, sehingga kualitas kebersihan dan higienis produk ini merupakan hal yang sangat penting dan menjadi bahan pertimbangan utama dalam membeli produk ini oleh para importir. Sedangkan sebagian besar agroindustri desiccated coconut Indonesia masih belum mementingkan pentingnya kebersihan dan higienis mulai dari bahan baku, proses, sampai produk akhir desiccated coconut tersebut. Inilah yang menyebabkan diperlukannya peningkatan kualitas produk desiccated coconut yang dihasilkan agroindustri desiccated coconut Indonesia sehingga dapat bersaing di pasaran dan dapat merebut pasar potensial desiccated coconut yang sebagian besar merupakan negara-negara pemerhati kehigienisan produk pangan seperti negara-negara Eropa dan USA. Seperti yang dinyatakan oleh Dirjend Perdagangan Luar Negeri (2009) bahwa US Food and Drug Administration (FDAA) mensyaratkan ekspor hasil pertanian ke Amerika dengan sistem jaminan mutu menggunakan pola HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point). Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kualitas produk desiccated coconut Indonesia dengan melakukan penerapan Good Manufacturing Process sehingga mulai dari bahan baku, proses produksi, sampai produk akhirnya terjamin kualitas dan nilai higienisnya. Sehingga dapat memasuki pasar Amerika sebagai negara dengan volume estimasi konsumsi desiccated coconut terbesar di dunia, yaitu sebesar 35.301 ton pada tahun 2009 (APCC, 2009). Pengembangan produk juga diperlukan guna meningkatkan volume eskpor produk kelapa Indonesia. Dengan mengembangkan produk desiccated coconut hingga lebih kepada produk hilir seperti produk-produk makanan yang berbahan baku desiccated coconut, seperti cookies, biskuit, dan produk camilan lainnya seperti yang diproduksi oleh negara potensial China, maka akan terdapat peningkatan nilai tambah yang mana juga meningkatkan keuntungan, serta penambahan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Selain itu, dengan menciptakan desiccated coconut low fat sebagai bahan baku produk tersebut, maka akan terdapat produk tambahan yang juga dapat dijual di pasar ekspor maupun pasar domestik, yaitu santan. Hal ini tentunya sangat mampu meningkatkan nilai tambah dari kelapa serta dapat memberi keuntungan lebih bagi agroindustri desiccated coconut Indonesia. 3. Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada(Manktelow dan Carlson, 2011). Terdapat dua alternatif strategi pemasaran yang dirumuskan melalui strategi ST, yaitu: 1) Mengusahakan pengembangan dan pelatihan manajemen industri desiccated coconut Indonesia sehingga lebih teratur dan pekerjanya memiliki etos kerja tinggi, 2) Meningkatkan kualitas proses dan teknologi proses industri desiccated coconut Indonesia yang dibantu oleh pemerintah. Strategi pelatihan manajemen industri bertujuan untuk menciptakan agroindustri desiccated coconut yang memiliki manajemen industri yang baik, teratur, disiplin, sehingga memiliki pekerja yang beretos kerja tinggi serta manajemen proses yang higienis dengan teknologi canggih dan proses produksi desiccated coconut yang higienis sehingga dapat menyaingi pesaing utama, seperti Filipina dan Srilanka. Dengan pelatihan manajemen industri yang diciptakan atau diatur dan diselenggarakan secara rutin oleh industrinya sendiri maupun dengan bantuan fasilitas dari pemerintah, manajemen industri desiccated coconut Indonesia dapat lebih maju dibanding negara lain dan dapat menghasilkan produk desiccated coconut dengan kualitas lebih baik serta mampu dipercaya oleh negara-negara pasar potensial untuk memenuhi kebutuhan desiccated coconut mereka. Terutama negara Amerika, sebagai negara yang sangat memperhatikan kualitas proses produksi produk pangan yang masuk ke negaranya, yang merupakan negara pengimpor desiccated coconut terbanyak di dunia yaitu sebesar 35.886 ton pada tahun 2009 (APCC, 2009). Peningkatan kualitas proses dan teknologi proses yang dibantu pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari agroindustri desiccated coconut Indonesia sehingga negara-negara Eropa dan Amerika mau membeli produk desiccated coconut Indonesia, tidak hanya kepada industri-industri yang telah besar, namun juga industri yang masih menengah dan masih berkembang. Dengan adanya bantuan pemerintah seperti penyediaan alat dan mesin atau bantuan dana untuk membeli alat dan mesin, serta pelatihan GMP (Good Manufacturing Practice) yang diberikan kepada agroindustri desiccated coconut Indonesia dapat meningkatkan kualitas agroindustri desiccated coconut Indonesia sehingga akan banyak importir desiccated coconut yang membeli desiccated coconut ke Indonesia dan hal tersebut dapat meningkatkan ekspor desiccated coconut Indonesia. 4. Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang bersifat defensif dengan cara meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman (David, 2009). Terdapat tiga alternatif strategi WT yang dapat diterapkan, yaitu: 1) Memperbaiki infrastruktur yang ada dan menambah infrastruktur agar memperlancar proses ekspor, 2) Meningkatkan efisiensi proses agar dapat membeli kelapa butiran dengan harga lebih mahal dibanding pesaing, 3) Meningkatkan kemudahan birolrasi dalam proses ekspor-impor. Memperbaiki dan menambah infrastruktur sangat dibutuhkan guna menunjang kelancaran proses dan distribusi ekspor produk desiccated coconut ini. Contohnya untuk infrastruktur seperti pelabuhan internasional. Tentunya bukan hal yang mudah untuk menciptakan infrastruktur ini, oleh karena itu bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur yang ada agar sistem di pelabuhan internasional tersebut berjalan lebih lancar dan baik dapat memperlancar proses ekspor. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki agar tidak terjadi kemacetan di sekitar pelabuhan, pengusahaan air bersih, pengusahaan alat bongkar muatan agar tidak lama pengoperasiannya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, agroindustri juga perlu mendukung agar bisa saling menjaga infrastruktur yang ada. Efisiensi proses juga diperlukan agar industri dapat memperoleh keuntungan yang lebih dan tidak terdapat bahan baku yang terbuang sia-sia. Efisiensi proses dilakukan dengan pengusahaan proses pengolahan kelapa terpad dengan unit pengolahan yang dapat menghasilkan beraneka ragam produk dan memanfaatkan seluruh bagian dari kelapa yang dibeli industri di petani sehingga dapat memperoleh keuntungan lebih. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan harga kelapa petani, sehingga industri dapat membeli kelapa dengan harga yang tinggi, sehingga petani juga tidak mengekspor kelapa (butir) ke negara lain karena industri di negeri sendiri mampu membeli dengan harga mahal yang diinginkan petani. Hal ini dapat saling menguntungkan kedua belah pihak dan meningkatkan ekspor kelapa Indonesia. Ini merupakan salah satu strategi menguasai bahan baku dari dalam negeri sendiri. Peningkatan kemudahan birokrasi dalam proses ekspor-impor bertujuan agar para pembeli dari negara potensial tidak merasa kesulitan dalam melakukan proses impor dari negara Indonesia. Kemudahan birokrasi tidak hanya dalam hal perizinan, namun juga dalam hal keamanan yang biasanya terdapat permintaan tarif tertentu dari pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga memperlambat proses pengiriman barang ke negara pasar potensial. Hal ini dapat diterapkan dengan kebijakan dari pemerintah untuk tidak mempersulit masalah perizinan, meningkatkan keamanan di sekitar pelabuhan internasional, serta menempatkan aparat pemerintahan yang bertanggung jawab untuk ditugaskan di sekitar pelabuhan internasional, baik itu dari pihak bea cukai, maupun dari pihak Dinas Perhubungan. Tentu saja hal ini dapat meningkatkan ekspor produk kelapa Indonesia. 4.3.4 Strategi Pemasaran Ekspor Produk Desiccated Coconut Berdasarkan matriks Boston Consulting Group (Matriks BCG) yang telah dilakukan, posisi agroindustri desiccated coconut Indonesia berada pada posisi dogs. Hal ini menandakan pertumbuhan pasar industri tersebut masih rendah dengan pangsa pasar relatif yang masih di bawah 50% dari pangsa pasar pesaing utama yaitu Filipina. Posisi ini menunjukkan rasionalisasi merupakan strategi terbaik untuk dijalankan, karena banyak divisi dalam posisi ini menjadi baik setelah usaha pengurangan aset dan biaya, dan kembali menjadi divisi yang dapat hidup dan memperoleh laba. Sedangkan berdasarkan matriks internal-eksternal yang telah dilakukan, agroindustri desiccated coconut Indonesia berada pada posisi sel V yang berarti berada pada tahap pertahankan dan pelihara sehingga perlu melakukan penetrasi pasar dan pengembangan produk. Dilihat dari posisi agroindustri desiccated coconut Indonesia seperti yang dijelaskan di atas dan berbagai alternatif strategi terbaik berdasarkan matriks SWOT yang telah dibuat, strategi terbaik dan yang sebaiknya dilaksanakan untuk memajukan dan meningkatkan ekspor produk desiccated coconut Indonesia antara lain dengan meningkatkan efisiensi proses agar dapat memperkecil biaya dan meningkatkan keuntungan, meningkatkan kualitas produk terutama dari segi sifat higienisnya dikarenakan desiccated coconut merupakan produk yang 100% penggunaannya untuk memproduksi pangan sehingga dapat memenuhi permintaan pasar ekspor yang semakin meningkat, meningkatkan kemudahan birokrasi dalam proses ekspor-impor dengan meningkatkan tingkat keamanan di pelabuhan, pemberian kemudahan dalam hal perizinan, serta pemberian kepercayaan yang mudah dalam mengeluarkan L/C guna mengatasi ancaman utama yang mana impor dari Singapore lebih mudah, memperluas daerah pemasaran ke pasar-pasar yang baru tumbuh seperti Eropa Timur, Arab, China, dan Rusia, dan mengembangkan produk sehingga bernilai tambah seperti cookies, biscuits, bakery. Peningkatan efisiensi proses dilakukan untuk menghasilkan berbagai macam produk dalam pengolahan per butir kelapanya. Dengan demikian, akan banyak produk yang dapat dijual sehingga mampu menutupi dan mengurangi biaya serta memperoleh keuntungan lebih. Hal ini sangat penting untuk dilakukan sebab posisi agroindustri desiccated coconut Indonesia yang masih berada pada posisi dogs memerlukan strategi pengurangan aset dan biaya agar kedepannya desiccated coconut dapat tetap tumbuh dan meningkat penjualannya. Peningkatan kualitas produk merupakan strategi yang juga tepat dilakukan saat ini guna meningkatkan permintaan dari pasar-pasar yang baru dimasuki maupun pasar-pasar yang telah menjadi pelanggan sebelumnya. Perluasan daerah pemasaran dan pengembangan produk menjadi produk yang lebih bernilai tambah juga sangat penting untuk dilakukan sebagaimana sesuai dengan posisi industri pada matriks internal-eksternal yaitu pada posisi sel V dengan strategi terbaiknya yaitu penetrasi pasar dan pengembangan produk. 4.3.5 Analisis Posisi Kompetitif Relatif Agroindustri Minyak Kelapa Analisis posisi kompetitif relatif agroindustri minyak kelapa digambarkan dalam matriks BCG yang merupakan pendekatan portofolio perusahaan. Matriks BCG dibuat berdasarkan volume eskpor minyak kelapa Indonesia dan kompetitor utamanya yaitu Filipina, seperti disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Volume Ekspor Minyak Kelapa Indonesia dan Filipina Tahun Indonesia (MT) Filipina (MT) 2005 745.742 1.151.639 2006 519.556 1.070.269 2007 739.923 886.561 2008 649.255 847.626 2009 570.311 826.237 Berdasarkan Tabel 24 di atas, pertumbuhan pasar minyak kelapa Indonesia mengalami penurunan drastis dari tahun 2005 ke tahun 2006, namun kemudian naik kembali pada tahun 2007 dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2009. Hal ini menunjukkan ketidakkonstanan pertumbuhan pasar ekspor minyak kelapa Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada negara Filipina yang terus menerus mengalami penurunan dari tahun 2005 hingga tahun 2009. Nilai pertumbuhan pasar minyak kelapa Indonesia dari tahun 2008 ke tahun 2009 adalah sebesar -12,2 %. Sedangkan pangsa pasar relatif industri minyak kelapa Indonesia terhadap pesaing utamanya yaitu Filipina pada tahun 2009 sebesar 69%. Hal ini menunjukkan pangsa pasar produk minyak kelapa yang dimiliki Indonesia sebesar 0,69 dari pangsa pasar yang dimiliki Filipina. Berdasarkan nilai pertumbuhan pasar dan pangsa pasar relatif minyak kelapa Indonesia yang diperoleh tersebut, dapat dibuat plot pada diagram matriks BCG seperti disajikan pada Gambar 23. Pangsa Pasar Relatif Tinggi 1,0 Sedang 0,50 Rendah 0,0 Tinggi +20% Star II Tingkat Pertumbuhan Pasar Question Mark I Sedang 0% Cash Cow III Dogs IV Rendah -20% Gambar 23. Matriks BCG Agroindustri Minyak Kelapa Indonesia Tahun 2009 Pada Gambar 23 tersebut industri minyak kelapa berada pada sel cash cow dimana posisi ini menunjukkan industri memiliki tingkat pertumbuhan pasar yang rendah namun pangsa pasar yang dimilikinya relatif besar. Pada posisi ini pasar dalam kondisi telah dewasa, karena tingkat pertumbuhan pasar yang relatif rendah. Meskipun demikian, menurut David (2009), posisi pada dogs ini menunjukkan posisi internal dan eksternal industri masih cukup lemah sehingga diperlukan penciutan atau pengurangan aset dan biaya yang ketat agar industri tetap mampu menghasilkan keuntungan. Cash cow menunjukkan sapi perah yang menghasilkan banyak kas bagi industri. Dalam kondisi seperti ini industri disarankan untuk menerapkan defensive strategy yang bertujuan untuk mempertahankan pangsa pasar dari pesaing dan menjaga kelompok produk dari serangan produk substitusi. Menurut Umar (1999), posisi cash cow dapat bertahan selama mungkin jika menerapkan strategi product development atau concentric diversification yaitu dengan cara menambah produk baru tapi masih berhubungan dengan produk yang sudah ada. Dalam kasus minyak kelapa, produk baru tersebut dapat berupa minyak goreng atau produk-produk oleochemical minyak kelapa yang dapat digunakan dalam proses produksi produk selanjutnya seperti deterjen, sabun, dan lain sebagainya. 4.3.6 Analisis Internal dan Eksternal Agroindustri Minyak Kelapa Seperti yang telah dilakukan untuk agroindustri desiccated coconut sebelumnya, analisis internal dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan usaha agroindustri dalam memasarkan produk yang dihasilkan. Hal ini dilakukan untuk memahami kekuatan dan kelemahan agroindustri sehingga dapat mengoptimalkan kekuatan dan menekan kelemahan yang dimiliki dalam rangka memasarkan produk yang dihasilkan. Analisis eksternal dilakukan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dan ancaman-ancaman yang akan dihadapi usaha agroindustri dalam memasarkan produk yang dihasilkan di pasar ekspor. Hal ini dilakukan untuk memahami peluang dan ancaman agroindustri dalam memasarkan produknya di pasar ekspor sehingga menentukan perencanaan strategi yang efektif dalam memasarkan produk di pasar ekspor. Analisis internal dan eksternal dari agroindustri minyak kelapa ini dilakukan dengan cara studi pustaka, mencari referensi dari internet mengenai agroindustri minyak kelapa Indonesia, melakukan diskusi dan wawancara dengan pakar kelapa dari berbagai pihak seperti yang telah disebutkan sebelumnya, serta dengan melakukan pengisian kuesioner oleh para pakar untuk pembobotan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut yang kuesionernya dapat dilihat pada Lampiran 7. 1. Analisis Internal Factor Evaluation (IFE) Analisis internal industri minyak kelapa terdiri dari faktor kekuatan dan kelemahan yang dapat dilihat pada Tabel 25. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Kekuatan Faktor kekuatan yang dimiliki agroindustri minyak kelapa di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Ketersediaan Bahan Baku Melimpah Indonesia merupakan negara yang memiliki luas areal kelapa terbesar di dunia serta negara penghasil kelapa terbanyak di dunia. Berdasarkan data dari Coconut Statistical Yearbook APCC (2009), Indonesia memiliki luas areal kelapa sebesar 3,85 juta hektar dengan produksi buah kelapa sebanyak 16,498 miliar butir buah kelapa atau setara 3,3 juta ton kopra. Kekayaan kelapa yang dimiliki Indonesia ini bahkan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dilihat pada Tabel 18. Kondisi ini sebenarnya sangat mendukung kekuatan agroindustri dalam memenuhi bahan baku. Diperlukan kerja sama yang baik antara petani kelapa dengan agroindustri kelapa di Indonesia guna memanfaatkan potensi besar ini. 2) Penghasil Minyak Kelapa Terbesar Kedua di Dunia Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa tebesar kedua di dunia setelah Filipina, yaitu memproduksi sekitar 800.000 sampai dengan 900.000 ton minyak kelapa per tahunnya. Hal ini yang menyebabkan Indonesia juga menjadi negara pengekspor minyak kelapa terbesar kedua di dunia setelah Filipina, dengan jumlah ekspor pada tahun 2009 sebesar 570.311 ton sedangkan Filipina sebesar 826.237 ton (APCC, 2009). Dibandingkan negara lain yang juga mengekspor minyak kelapa selain Filipina, jumlah produksi minyak kelapa Indonesia sangat besar dan kontinuitas produksinya sangat lancar dikarenakan rakyat petani kelapa Indonesia hampir seluruhnya memproduksi kopra yang kemudian dijual kepada agroindustri kelapa Indonesia untuk kemudian diolah menjadi minyak kelapa. 3) Promosi Penjualan yang Cukup Baik Dalam melakukan penjualan untuk pasar ekspor, Indonesia telah memiliki lembaga atau komunitas kelompok seperti Asean Pasific Coconut Community (APCC) yang telah membantu perusahaan-perusahaan agroindustri kelapa (termasuk industri minyak kelapa) dalam mempromosikan produknya untuk pasar internasional. Bentuk promosi tersebut berupa informasi iklan yang tercantum pada majalah Cocoinfo International yang diterbitkan secara rutin oleh APCC setiap bulan serta informasi berupa directory traders (kumpulan perusahaan-perusahaan yang mengekspor dan mengimpor) produk agroindustri kelapa dalam bentuk sebuah buku yang diterbitkan setiap 2 tahun sekali. b. Faktor Kelemahan Faktor kelemahan yang dimiliki agroindustri minyak kelapa di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Kurang Pengembangan Produk Sampai saat ini produk minyak kelapa yang dihasilkan dan dijual di pasar ekspor kualitasnya hanya sampai crude. Agroindustri kelapa di Indonesia belum bisa memproduksi produk oleochemical. Hal ini dikarenakan kurangnya dorongan dari pemerintah serta perusahaan swasta yang masih belum mau memproduksi produk yang bernilai tambah lebih tinggi tersebut akibat masih besarnya permintaan pasar akan produk minyak kelapa (crude). Padahal pangsa pasar ekspor dari produk minyak kelapa itu sendiri kemungkinan besar tidak dapat menjadi lebih besar lagi (telah mencapai tingkat maksimum, kecuali jika mampu merebut pasar dari negara pesaing). Selain itu, jika agroindustri Indonesia memproduksi lebih banyak minyak kelapa dan mampu menghasilkan produk turunannya berupa oleochemical maka Indonesia dapat merebut pangsa pasar negara lain yang biasa mengekspor produk oleochemical kelapa atau bahkan mampu membuat pasar baru untuk produk oleochemical kelapa tersebut. Sehingga nilai tambah serta keuntungan yang diperoleh dapat lebih besar dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masayarakat Indonesia. 2) Harga Minyak Kelapa Tidak Stabil Harga jual minyak kelapa mengikuti standar harga minyak di Rotterdam. Hal ini yang menyebabkan harga produk minyak kelapa menjadi tidak stabil. Selain itu, dalam penjualannya ke pasar potensial ekspor minyak kelapa, agroindustri kelapa Indonesia perlu berhati-hati agar menyesuaikan dengan harga di Rotterdam tersebut serta mampu bersaing dengan negara pesaing lain sehingga permintaan akan produk minyak kelapa ke Indonesia tetap stabil atau bahkan meningkat. Namun hal ini menyebabkan keuntungan yang diperoleh dalam mengekspor produk ini tidak tetap (beragam) dan harga kopra di petani juga tidak tetap serta dapat dimonopoli. 3) Infrastruktur Kurang Memadai Terbatasnya infrastruktur seperti kurangnya pasokan listrik, sarana jalan, transportasi, telekomunikasi, serta pelabuhan ekspor di wilayah pengembangan kelapa yang meliputi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Lampung, juga dirasakan menjadi penghambat pengembangan industri pengolahan kelapa. Tidak terdapatnya pelabuhan ekspor di wilayah-wilayah tersebut menyebabkan harga produk menjadi lebih mahal yang disebabkan oleh mahalnya biaya distribusi produk untuk diekspor. 4) Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Masih Kurang Kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini masih kurang sinkron satu sama lain. Antara kebijakan Kementrian Pertanian yang pada umumnya lebih menginginkan kesejahteraan petani dengan kebijakan Kementrian Perindustrian yang pada umumnya menginginkan kemajuan industri sampai saat ini masih mengalami ketidakkompakkan. Hal ini dikarenakan sampai saat ini petani masih hanya bisa mengolah kelapa menjadi kopra, yang dijual ke industri untuk selanjutnya diolah kembali dan dijual untuk pasar domestik maupun pasar internasional, yang mana harga jual kopra ataupun kelapa butiran petani tersebut pada umumnya masih belum dapat mensejahterakan petani kelapa Indonesia. Sedangkan Kementrian Perindustrian juga menginginkan kemajuan agroindustri kelapa sehingga berupaya sebaik mungkin demi memajukan agroindustri kelapa Indonesia, salah satunya dengan membantu meningkatkan kualitas produk dan mengupayakan agar penjualan ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia semakin meningkat. Hal ini tentunya lebih menguntungkan agroindustri kelapa di Indonesia, sementara nasib rakyat petani kelapa tetap pada harga standar buah kelapa pada umumnya, belum lagi jika mereka “dipermainkan” oleh para tengkulak. 5) Kontinuitas Bahan Baku Masih Tidak Stabil Kelapa memang merupakan komoditi yang tidak sulit ditemui. Luas areal kelapa di Indonesia yang sangat besar sebagian besar dimiliki oleh para petani (rakyat kecil). Sebesar 98% atau sekitar 3,77 juta hektar areal kelapa dimiliki oleh para petani kelapa, sisanya sebesar 2% atau sekitar 77000 hektar dimiliki oleh perusahaan swasta. Sebagian besar para petani masih mengolah kelapa hanya menjadi kopra atau dijual dalam bentuk butiran kelapa (Dirjen Perkebunan, 2009). Namun, sikap para petani yang mengekspor kelapa butiran menyebabkan sulitnya bagi para industri untuk memperoleh bahan baku. Tabel 25. Matriks IFE untuk Industri Minyak Kelapa Faktor Strategis Internal Bobot Rating 1 2 Skor (a) (b) (a) x (b) 1. Ketersediaan bahan baku melimpah 0,15 3,75 0,56 2. Penghasil minyak kelapa terbesar kedua di dunia 0,14 3,5 0,49 3. Promosi penjualan cukup baik 0,09 3,25 0,29 1. Kurang pengembangan produk 0,11 1,5 0,17 2. Harga minyak kelapa tidak stabil 0,12 1,25 0,15 3. Infrastruktur kurang memadai 0,13 1,25 0,16 4. Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang 0,11 1,75 0,19 5. Kontinuitas bahan baku tidak stabil 0,15 1,25 0,19 Kekuatan Kelemahan Total 1,00 2,2 Matriks IFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis internal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri minyak kelapa Indonesia. Setiap pakar memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis internal agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya. Semakin kuat faktor internal tersebut, semakin tinggi skornya dan semakin lemah faktor internal tersebut, maka semakin rendah skornya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks IFE dilakukan oleh para pakar kelapa yang telah disebutkan sebelumnya dengan mengisi kuesioner seperti yang terdapat pada Lampiran 5. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 25 di atas. Berdasarkan Tabel 25, analisis matriks IFE menghasilkan total skor seluruh faktor internal sebesar 2,2. Total total skor ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya masih mencirikan industri yang lemah secara internal. Seperti yang dijelaskan oleh David (2009), terlepas dari berapa banyak faktor yang dimasukkan ke dalam Matriks Evaluasi Faktor Internal, skor bobot total di bawah 2,5 mencirikan organisasi yang lemah secara internal, sedangkan skor bobot total di atas 2,5 mengindikasikan posisi internal yang kuat. Kekuatan utama dari agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya adalah ketersediaan bahan baku yang melimpah, dengan total skor tertinggi sebesar 0,56. Seperti agroindustri desiccated coconut Indonesia, hal ini menunjukkan kekuatan utama dari agroindustri minyak kelapa adalah karena ketersediaan bahan bakunya yang melimpah yang mana memang negara Indonesia ini merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Sedangkan kelemahan utama dari agroindustri minyak kelapa di Indonesia pada umumnya adalah harga minyak kelapa yang tidak stabil dengan total skor terendah yaitu 0,15. Hal ini menunjukkan kelemahan utama agroindustri minyak kelapa Indonesia dalam mengeskpor produknya adalah harga minyak kelapa yang tidak stabil yang juga menyebabkan keuntungan yang diperoleh agroindustri tersebut menjadi beragam (tidak tentu), serta harga bahan baku yaitu kelapa yang dapat dibeli dari petani pun memiliki patokan harga yang tidak menentu. Hal ini tidak hanya merugikan industri namun juga para petani kelapa. 2. Analisis External Factor Evaluation (EFE) Analisis eksternal industri minyak kelapa terdiri dari faktor peluang dan ancaman yang dapat dilihat pada Tabel 27. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Peluang Faktor peluang yang dimiliki agroindustri minyak kelapa di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Permintaan Pasar Ekspor Sangat Tinggi Permintaan pasar luar negeri sangat tinggi dikarenakan produk minyak kelapa ini dapat memiliki produk turunan oleokimia yang sangat banyak fungsinya dalam pembuatan produk akhir dan pasar luar mampu memproduksinya. Produk oleokimia kelapa tersebut antara lain berfungsi sebagai komponen utama pembuatan sabun, shampo, dan deterjen, bahan pembuatan pelumas, pelarut wangi-wangian, makanan diet (Medium-Chain-Triglesirides (MCT)), pengemulsi pada industri pangan, sebagai plasticizer untuk industri PVC, dan lain sebagainya (Dekindo2, 2010). Berdasarkan data estimasi konsumsi dunia untuk produk minyak kelapa ini juga cenderung naik dari tahun 2005 yaitu sebesar 2.939.500 ton hingga tahun 2009 yaitu sebesar 3.064.800 ton (APCC, 2009). 2) Perdagangan Global Semakin Terbuka Luas Era perdagangan bebas merupakan peluang yang sangat mendukung pengembangan agroindustri minyak kelapa. Pada era ini, arus barang, jasa, modal, teknologi, serta sumber daya alam dengan bebas melintas dari satu negara ke negara yang lain. Hal ini akan memberikan peluang yang sangat baik untuk ekspor produk minyak kelapa ke manca negara, baik untuk pasar potensial di wilayah Asia, maupun untuk pasar potensial di wilayah Eropa dan Amerika. Selain itu, dengan adanya CAFTA (China-Asean Free Trade Area) juga menjadi peluang bagi perusahaan agroindustri kelapa Indonesia untuk memperluas pasaranya ke luar negeri, dan terbukanya pasar ekspor sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem perdagangan bebas menyebabkan berbagai hambatan ekspor berkurang. Bahkan Manggabarani (2010) menyatakan permintaan sektor industri kelapa dengan diberlakukannya CAFTA sangat besar, dimana permintaan minyak kelapa meningkat sampai dua kali lipat. 3) Peningkatan Jumlah Penduduk Dunia Jumlah penduduk dunia semakin hari semakin bertambah. Berdasarkan International Data Base US Census Bureau (2011), jumlah penduduk dunia pada saat ini sebesar 6.918.687.238 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 6.884.215.263. Dengan jumlah penduduk yang meningkat tersebut, saat ini China merupakan negara dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 1.336.718.015 penduduk, disusul negara India dengan 1.189.172.906 penduduk, dan United States sebesar 313.232.044 penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk dunia tersebut secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan permintaan produk minyak kelapa. Semakin maju dan berkembangnya kehidupan dunia, maka semakin banyak pula permintaan akan kebutuhan seperti deterjen, sabun, shampo, cairan pencuci dan penghilang lemak, dan produk lainnya yang mana minyak kelapa merupakan bahan komponen utama ataupun bahan komponen pembantu dalam pembuatan produk-produk tersebut. 4) Pengembangan Industri Hilir Masih terbuka peluang untuk mengembangkan industri hilir yang produk akhirnya dapat diekspor sehingga memberi nilai tambah yang lebih dan keuntungan yang lebih besar. Produk hilir tersebut dapat berupa oleochemicals dari minyak kelapa dan produk-produk turunannya serta minyak goreng kelapa. Hal ini dikarenakan penggunaan dari produk oleochemicals terrsebut dapat lebih beragam antara lain berfungsi sebagai komponen utama pembuatan sabun, shampo, dan deterjen, bahan pembuatan pelumas, pelarut wangi-wangian, makanan diet (Medium-Chain-Triglesirides (MCT)), pengemulsi pada industri pangan, sebagai plasticizer untuk industri PVC, dan lain sebagainya (Dekindo2, 2010). b. Faktor Ancaman: Faktor ancaman yang dimiliki agroindustri minyak kelapa di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Ekspor Bahan Baku (Kelapa Utuh) Masih banyaknya petani kelapa yang menjual bahan baku (buah kelapa utuh) ke negara lain yang wilayahnya dekat dengan Indonesia seperti Malaysia dan Singapore menjadi ancaman bagi negara Indonesia sendiri. Hal ini menyebabkan banyak industri pengolah kelapa di Indonesia yang kekurangan bahan baku. Sementara negara pesaing menghasilkan produk turunan kelapa dengan jumlah besar untuk diekspor ke negara potensial. Berdasarkan data dari PT. Pulau Sambu yang mana industrinya berada di wilayah perbatasan (Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau), jumlah ekspor dan perdagangan lintas batas kelapa bulat pada tahun 2006 adalah sebesar 16.243.700 butir dan pada tahun 2007 sebesar 18.241.000 butir, yang mana diperkirakan jumlah tersebut diatas meningkat pesat dalam tahun 2010, sehingga pada awal tahun 2011 telah mencapai sekitar 15.000.000 butir sampai dengan 30.000.000 butir per bulan atau sekitar 500.000 butir sampai dengan 1.000.000 butir per hari. 2) Negara Pesaing Memproduksi dengan Jumlah Lebih Banyak Negara pesaing utama Indonesia dalam mengekspor minyak kelapa adalah negara Filipina. Jumlah ekspor Filipina lebih besar dibandingkan dengan negara Indonesia dikarenakan Filipina memproduksi minyak kelapa dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga peluang pasar potensial produk minyak kelapa banyak direbut oleh negara tersebut. Jumlah produksi minyak kelapa Indonesia dan Filipina dapat dilihat pada Tabel 26. Penduduk Indonesia yang jumlahnya sekitar 234 juta penduduk juga menyebabkan besarnya kebutuhan domestik akan kelapa dibandingkan dengan negara Filipina yang jumlah penduduknya hanya 92,5 juta penduduk. Estimasi konsumsi kelapa domestik Indonesia sebesar 60,4% dari total produksi kelapa Indonesia, sedangkan Filipina memiliki estimasi konsumsi kelapa domestik hanya sebesar 32% dari total produksi kelapanya, sehingga lebih banyak kelapa yang digunakan untuk bahan baku industri minyak kelapa di negara tersebut. Bahkan Filipina juga melakukan impor untuk kopra sebagai bahan baku minyak kelapa sebesar 68.764 ton pada tahun 2009 sehingga produksi minyak kelapanya juga semakin tinggi (APCC, 2009). Hal-hal tersebut menjadi salah satu penyebab jumlah ekspor minyak kelapa Filipina lebih besar dibanding Indonesia. Selain itu, masih banyaknya petani kelapa Indonesia yang berada di wilayah perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore yang mengekspor kelapa utuh untuk negara tersebut menyebabkan Indonesia juga kekurangan bahan baku untuk menambah jumlah produksi minyak kelapanya. Tabel 26. Volume Produksi Minyak Kelapa Indonesia dan Filipina Tahun Indonesia (MT) Filipina (MT) 2005 767.600 1.455.000 2006 769.500 1.388.000 2007 958.400 1.264.000 2008 811.569 1.332.000 2009 712.900 1.332.000 (APCC, 2009) 2) Manajemen Industri Negara Pesaing Lebih Baik Salah satu alasan mengapa negara Filipina merupakan negara pengekspor produk kelapa terbesar di dunia adalah karena manajemen industri yang diterapkan di sebagian besar agroindustri kelapa negara tersebut lebih baik dibandingkan dengan negara Indonesia. Filipina menerapkan manajemen industri yang sangat baik, dimulai dari manajemen prosesnya, sistem manajemen pemasaran dari sebagian besar agroindustri kelapa Filipina juga sangat baik. Selain itu, banyaknya penduduk Filipina yang tinggal di USA juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tersebarnya produk-produk kelapa Filipina di USA. Manajemen sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebagian besar agroindustri kelapa Filipina juga sangat baik, seperti pemberian reward, peraturan yang ketat dan penerapan sikap disipilin dari perusahaan menyebabkan para pekerja Filipina sebagian besar mermiliki etos kerja yang tinggi. Para pekerja Filipina memiliki sikap, etika, dan kebiasaan yang baik seperti rajin, pekerja keras, ulet, dan disiplin yang membuat mereka dapat memajukan agroindustri kelapa di negaranya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang mana manajemen industrinya sebagian besar masih belum baik. Agroindustri kelapa di Indonesia sebagian besar masih belum menerapkan HACCP dan GMP. Hal ini menyebabkan kualitas produk yang dihasilkan belum sebaik negara Filipina dan menyebabkan negaranegara potensial ekspor produk agroindustri kelapa, seperti negara-negara Eropa dan USA yang sangat mementingkan kualitas dan keamanan produk pangan yang masuk ke negaranya, tidak mengimpor produk kelapa dari agroindustri kelapa di Indonesia. Hal ini juga menyebabkan para pekerja di Indonesia sebagian besar masih memiliki etos kerja yang rendah, yang masih lebih mementingkan keuntungan besar yang diperoleh saat ini tanpa perduli kontinuitas dari keuntungan tersebut. Hal ini menjadi ancaman bagi agroindustri kelapa di Indonesia karena negara pesaingnya lebih ulet dalam menjalankan usaha dan produksi produk agroindustri kelapa. 3) Impor dari Negara Singapore Lebih Mudah Negara-negara potensial ekspor produk agroindustri kelapa yang berada di Amerika dan Eropa lebih menyukai membeli produk agroindustri kelapa di Singapore dibandingkan dengan di Indonesia. Hal ini dikarenakan birokrasi penjualan ekspor di Singapore lebih sederhana dan mudah, serta kepercayaan Bank dalam memberikan Letter of Credit (L/C) lebih mudah diberikan. Ini merupakan salah satu alasan agroindustri kelapa di Indonesia yang mengekspor hampir 100% produknya memiliki market office (kantor pemasaran) di Singapore, seperti yang dilakukan oleh PT. Pulau Sambu. Sehingga akibat dari kegiatan reexport ini adalah para agroindustri kelapa di Indonesia dapat dimonopoli penjualannya oleh para traders di Singapore. 4) Tersaingi Produk Minyak Nabati Lain Sampai saat ini produk minyak yang dihasilkan oleh Indonesia terutama didominasi oleh minyak kelapa sawit. Bahkan bukan hanya negara Indonesia saja, berdasarkan data dari Coconut Statistical Yearbook APCC (2009), produksi minyak dunia juga didominasi oleh minyak kelapa sawit yaitu sebesar 32,49% dari keseluruhan produksi minyak nabati dunia, sedangkan minyak kelapa hanya sebesar 2,6%. Dengan jumlah produksi yang besar menyebabkan banyak negara seperti negara-negara Eropa dan Amerika yang mengimpor minyak kelapa sawit tersebut. Hal ini menyebabkan ancaman bagi agroindustri minyak kelapa yang mana permintaan dunia akan minyak kelapa dapat menurun. Selain itu, gencarnya American Soybean Association (ASA) dalam mempromosikan minyak kedelai adalah kendala utama. Sebagai pesaing, minyak kedelai dinilai paling aman bagi kesehatan untuk dikonsumsi sebagai minyak goreng. Sementara minyak kelapa divonis sebagai biang keladi penyebab serangan penyakit-penyakit degeneratif akibat asam lemak jenuh yang dikandungnya. Sebenarnya yang membahayakan adalah asam lemak jenuh rantai panjang, sementara minyak kelapa sendiri memiliki asam lemak rantai sedang yang mudah dicerna dan dioksidasi dalam tubuh sehingga tidak menyebabkan timbunan kolesterol jahat. Tabel 27. Matriks EFE untuk Industri Minyak Kelapa Faktor Strategis Eksternal 1 2 Bobot Rating Skor (a) (b) (a) x (b) 1. Permintaan pasar ekspor sangat tinggi 0,13 3,25 0,42 2. Perdagangan global semakin terbuka luas 0,09 3,25 0,29 3. Peningkatan jumlah penduduk dunia 0,07 3,5 0,25 4. Pengembangan industri hilir 0,13 2,75 0,36 1. Ekspor bahan baku (kelapa utuh) 0,13 2,25 0,29 2. Negara pesaing memproduksi lebih banyak 0,12 3 0,36 3. Manajemen industri negara pesaing lebih baik 0,12 2,25 0,27 4. Impor dari negara Singapore lebih mudah 0,09 2,25 0,20 5. Tersaingi produk minyak nabati lain 0,12 2 0,24 Peluang Ancaman Total 1,00 2,68 Matriks EFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis eksternal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri minyak kelapa Indonesia. Setiap pakar memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis eksternal agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks EFE dilakukan oleh pakar yang sama pada matriks IFE seperti yang terdapat pada Lampiran 7. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 27 di atas. Berdasarkan Tabel 27, analisis matriks EFE yang dilakukan menghasilkan total skor sebesar 2,68. Total skor EFE ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya dalam merespon lingkungan eksternalnya di atas rata-rata. Peluang utama dalam lingkungan eskternal agroindustri minyak kelapa Indonesia dalam melakukan kegiatan eskpor ini ditunjukkan oleh faktor peluang permintaan pasar eskpor sangat tinggi, dengan total skor terbesar yaitu 0,42. Hal ini memang menjadi peluang utama dalam mengembangkan dan meningkatkan jumlah ekspor minyak kelapa Indonesia karena memang permintaan pasar ekspor sangat mendukung sampai saat ini. Sedangkan ancaman utama bagi agroindustri minyak kelapa Indonesia dalam mengekspor produknya adalah kegiatan impor dari negara Singapore yang lebih mudah dengan total skor terkecil yaitu sebesar 0,20. Sama seperti pada agroindustri desiccated coconut Indonesia, hal ini menjadi ancaman utama dikarenakan kegiatan impor yang mudah birokrasinya dan pemberian L/C dari Bank di Singapore yang lebih mudah diberikan menyebabkan banyaknya negara pasar potensial minyak kelapa yang mengimpor atau membeli produk minyak kelapa disana, sehingga pembeli minyak kelapa di Indonesia menjadi berkurang dan akan banyak traders di Singapore yang membeli produk di Indonesia kemudian dijual kembali langsung kepada negara-negara potensial yang menyebabkan Indonesia tidak berhubungan langsung dengan pasar potensialnya. 3. Analisis Matriks Internal-External (Matriks I-E) Analisis matriks Internal-Eksternal (matriks I-E) digunakan untuk mengetahui posisi agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya saat ini. Matriks I-E didasarkan pada total skor yang diperoleh dari matriks IFE dan EFE. Merujuk pada Tabel 25 dan Tabel 27, diperoleh nilai matriks IFE sebesar 2,2, sedangkan nilai matriks EFE sebesar 2,68. Melalui total skor dalam matriks IFE dan EFE, maka dapat digambarkan posisi agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya dalam matriks I-E seperti pada Gambar 24. Total Skor IFE Kuat 3,0-4,0 Total Skor EFE Tinggi 3,0-4,0 I Rata-rata 2,0-2,99 IV Rendah 1,0-1,99 VII Sedang 2,0-2,99 II V VIII Lemah 1,0-1,99 III VI IX Gambar 24. Posisi Agroindustri Minyak Kelapa dalam Matriks Internal-Eksternal Berdasarkan pada matriks internal-eksternal di atas, agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya sama seperti agroindustri desiccated coconut Indonesia yaitu berada pada posisi sel V yaitu pada tahap pertahankan dan pelihara (hold and maintain). Menurut David (2009), strategi yang sebaiknya diterapkan pada posisi ini adalah strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Menurut Umar (2003), strategi penetrasi pasar adalah strategi yang berusaha meningkatkan market share suatu produk atau jasa melalui usaha pemasaran yang lebih besar, diantaranya dengan menambah jumlah tenaga penjual dan biaya untuk promosi penjualan. Sedangkan strategi pengembangan produk yaitu strategi yang bertujuan agar industri dapat meningkatkan penjualan dengan cara meningkatkan atau memodifikasi produk-produk yang ada sekarang. Hal ini sesuai dengan agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya. Yang mana sebenarnya penjualan ekspor minyak kelapa Indonesia sebenarnya sudah tidak dapat ditingkatkan lagi. Namun, untuk memperbesar market share dari penjualan ekspor minyak kelapa Indonesia, perlu ditingkatkan lagi produksi minyak kelapa itu sendiri yang mana dapat dilakukan salah satunya dengan meningkatkan produktivitas pohon kelapa dengan cara peremajaan kembali areal kelapa Indonesia. Selain itu, pengembangan produk juga merupakan salah satu cara memberi nilai tambah lebih untuk minyak kelapa Indonesia, misalnya dengan menciptakan produk-produk oleochemicals dari minyak kelapa. Dilihat dari Gambar 24 di atas, posisi agroindustri minyak kelapa berada pada sel V yang menunjukkan nilai eksternal yang lebih besar dibanding internalnya. Oleh karena itu, sebaiknya diterapkan strategi yang menjadikan posisi agroindustri minyak kelapa Indonesia berada pada sel II dengan meningkatkan faktor eksternalnya sehingga menjadi lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 27, peluang utama dalam meningkatkan ekspor minyak kelapa Indonesia adalah permintaan pasar ekspor dunia untuk produk minyak kelapa sangat tinggi bahkan merupakan permintaan yang tertinggi dari seluruh produk agroindustri kelapa lainnya, sedangkan ancaman utamanya adalah impor dari negara Singapore yang lebih mudah. Oleh karena itu, strategi yang sebaiknya diterapkan adalah dengan meningkatkan produktivitas tanaman kelapa Indonesia sehingga mampu meningkatkan produksi minyak kelapa Indonesia guna memenuhi permintaan seluruh pasar ekspor serta dengan menerapkan regulasi yang lebih ringan dalam proses ekspor produk kelapa Indonesia. 4.3.7 Analisis Matriks SWOT Agroindustri Minyak Kelapa Analisis SWOT (Strengths-Weakness-Opportunities-Threats) merumuskan alternatifalternatif strategi pemasaran yang bisa digunakan oleh agroindustri minyak kelapa Indonesia dalam mengeskpor produk minyak kelapa berdasarkan kondisi agroindustri saat ini yang digambarkan pada matriks internal-eksternal seperti pada Gambar 24, yaitu pada posisi sel V tahap pertahankan dan pelihara. Alternatif strategi pemasaran yang dihasilkan melalui analisis SWOT disusun dengan menggunakan kombinasi antara faktor-faktor strategis internal dan eskternal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mana faktor-faktor tersebut diperoleh berdasarkan studi pustaka, literatur internet, dan diskusi serta wawancara pakar. Hasil analisis SWOT agroindustri desiccated coconut Indonesia pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Matriks SWOT Industri Minyak Kelapa Internal Eksternal Peluang (Opportunities) 1. Permintaan pasar ekspor sangat tinggi, cenderung naik dari tahun 2005 yaitu sebesar Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness) 1. Ketersediaan bahan baku 1. Kurang pengembangan melimpah, yaitu sebanyak produk, masih dalam bentuk 3,85 juta hektar dengan kasar (crude) produksi buah kelapa 16,5 2. Harga minyak kelapa tidak miliar butir buah kelapa stabil karena mengikuti 2. Penghasil minyak kelapa standar harga minyak terbesar kedua di dunia, 800Rotterdam sehingga 900 ribu ton per tahun keuntungan yang dapat 3. Promosi penjualan cukup baik, diperoleh juga menjadi tidak melalui website, Cocoinfo tetap International, Directory 3. Infrastruktur kurang memadai, Traders APCC seperti masih kurang berkualitasnya pelabuhan internasional dan pasokan listrik 4. Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang 5. Kontinuitas bahan baku masih tidak stabil, masih banyak petani ekspor kelapa butiran dan jumlah tanaman kelapa yang menghasilkan menurun dari 2.789.416 ha pada tahun 2007 menjadi 2.773.489 pada tahun 2009 Strategi S-O 1. Memperluas wilayah pemasaran ke pasar-pasar yang baru tumbuh, seperti Strategi W-O 1. Mengembangkan produk seperti dalam bentuk non pangan yaitu produk 2.939.500 ton hingga tahun 2009 yaitu sebesar 3.064.800 ton 2. Perdagangan global semakin terbuka luas dengan adanya CAFTA dan free export taxes untuk produk kelapa 3. Peningkatan jumlah penduduk dunia, yang mana saat ini mencapai 6.918.687.238 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 6.884.215.263 4. Pengembangan industri hilir menjadi produk oleochemical kelapa dan minyak goreng kelapa 1. 2. 3. 4. 5. Eropa Timur, Arab, China, dan Rusia serta pasar potensial seperti Amerika dan Eropa (S1, S2, S3, O1, O2, O3) oleochemicals untuk bahan pembuatan sabun, deterjen, cat, dan produk akhir dalam bentuk pangan seperti minyak goreng, mentega, makanan bayi, dan lain sebagainya sehingga lebih bernilai tambah (W1, W2, W5, O2, O3, O4) 2. Menciptakan keselarasan kebijakan pemerintah yang mendukung industri dan petani kelapa (W2, W3, W4, W5, O1, O2, O3, O4) Ancaman (Threats) Strategi S-T Strategi W-T Ekspor bahan baku (kelapa 1. Melakukan peremajaan 1. Memperbaiki infrastruktur utuh) mencapai 10,4 juta butir wilayah areal kelapa Indonesia yang ada dan menambah pada tahun 2007 sehingga dapat meningkatkan infrastruktur agar Negara pesaing memproduksi produktivitas tanaman kelapa memperlancar proses ekspor dengan jumlah lebih banyak Indonesia (S1, S3, T1, T2, T5) (W3, W4, T3, T4) 87% dibandingkan yang 2. Mengusahakan pengembangan 2. Meningkatkan efisiensi proses diproduksi oleh Indonesia dan pelatihan manajemen dengan melakukan proses Manajemen industri negara industri minyak kelapa pengolahan kelapa terpadu pesaing lebih baik dengan Indonesia sehingga lebih agar dapat membeli kelapa penerapan GMP dan HACCP teratur dan pekerjanya butiran dengan harga lebih serta manajemen SDM yang memiliki etos kerja tinggi (S1, mahal dibanding negara baik sehingga para pekerja S2, T2, T3, T5) pesaing (W2, W4, W5, T1, T2, memiliki etos kerja yang tinggi 3. Mempromosikan minyak T3) Impor dari negara Singapore kelapa sebagai minyak yang 3. Meningkatkan kemudahan lebih mudah dalam hal tidak berbahaya dan memiliki birokrasi dalam proses eksporpemberian L/C dan birokrasi kandungan kolesterol rendah impor dengan meningkatkan ekspor-impornya lebih (S1, S2, S3, T5) tingkat keamanan di sederhana pelabuhan, pemberrian Tersaingi produk minyak kemudahan dalam hal nabati lain, seperti minyak perizinan, serta pemberian kelapa sawit dan minyak kepercayaan yang mudah kedelai dalam mengeluarkan L/C (W3, W4, T4) Berdasarkan analisis matriks SWOT, dirumuskan strategi-strategi pemasaran yang dapat diaplikasikan sebagai berikut: 1. Strategi SO Strategi SO adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang (Rangkuti, 2006). Berdasarkan analisis matriks SWOT pada agroindustri minyak kelapa Indonesia, dihasilkan satu alternatif strategi SO yaitu memperluas wilayah pemasaran. Sampai tahun 1980, Indonesia masih belum diperbolehkan mengekspor produk kelapa karena kelapa dijadikan minyak goreng untuk kebutuhan domestik yang mana hal ini terjadi pada saat sebelum adanya minyak kelapa sawit. Sehingga Indonesia terlambat memasuki pasar ekspor kelapa dan hanya mampu merebut pasar-pasar baru atau permintaan tambahan dari pasar-pasar yang sebelumnya telah direbut oleh negara lain seperti Filipina. Oleh karena itu, untuk meningkatkan volume ekspor dari agroindustri minyak kelapa itu sendiri diperlukan perluasan daerah pemasaran untuk mengisi pasar-pasar yang baru tumbuh, seperti Eropa Timur, Arab, China, dan Rusia. Selain itu juga perlu dilakukan pemasaran yang lebih intensif ke negara-negara potensial yang memiliki permintaan cukup besar untuk produk-produk kelapa seperti Amerika dan Eropa. Seperti yang dinyatakan oleh Kotler (1997), strategi pengembangan pasar baru merupakan salah satu strategi pertumbuhan intensif, kisi ekspansi pasar atau produk. 2. Strategi WO Menurut David (2009), strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada.Terdapat dua alternatif strategi untuk strategi WO, yaitu: 1) Mengembangkan produk sehingga lebih bernilai tambah, 2) Menciptakan keselarasan kebijakan pemerintah yang mendukung industri dan petani kelapa. Pengembangan produk bertujuan untuk meningkatkan volume eskpor produk kelapa Indonesia. Dengan mengembangkan produk minyak kelapa hingga lebih kepada produk hilir seperti dalam bentuk non pangan seperti produk oleochemicals untuk bahan pembuatan sabun, deterjen, cat, dan produk akhir dalam bentuk pangan seperti minyak goreng, mentega, makanan bayi, dan lain sebagainya. Sehingga akan diperoleh peningkatan nilai tambah yang mana juga meningkatkan keuntungan, serta penambahan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Namun demikian, strategi ini dapat tercipta melalui bantuan pemerintah dan kerjasama dengan negara yang biasa mengimpor produk minyak kelapa dari Indonesia untuk diolah kembali menjadi produk oleochemical kelapa. Diperlukan kerjasama dengan pengimpor minyak kelapa sebagai negara yang memasarkan produk oleochemical kelapa dan Indonesia sebagai produsen produk oleochemical tersebut dengan teknologi proses dan peralatan yang dibantu oleh pemerintah dalam mempelajarinya dan dalam menyediakan. Dalam hal memajukan perindustrian kelapa Indonesia dan memajukan kesejahteraan petani kelapa Indonesia, diperlukan keselarasan kebijakan pemerintah, baik dari Kementrian Perindustrian, Perdagangan, maupun Pertanian. Misalnya dengan pemberian insentif dari pemerintah untuk agroindustri kelapa, antara lain dengan penyediaan bebas pajak (tax holiday) bagi industri dalam jangka waktu tertentu untuk pajak pembangunan, pajak penghasilan, dan lain-lain, atau pemberian dana untuk membangun infrastruktur. Sehingga hal ini mendukung industri untuk membeli bahan baku (kelapa) dari petani dengan harga tinggi, atau hal tersebut dapat dijadikan persyaratan bagi industri jika menginginkan memperoleh bebas pajak dalam jangka waktu tertentu. Sehingga industri Indonesia dapat menguasai kelapa dalam negeri dan para petani dapat tetap sejahtera dengan harga tinggi untuk kelapa yang dibeli oleh para industri. 3. Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada(Manktelow dan Carlson, 2011). Terdapat tiga alternatif strategi pemasaran yang dirumuskan melalui strategi ST, yaitu: 1) Melakukan peremajaan wilayah areal kelapa Indonesia, 2) Mengusahakan pengembangan dan pelatihan manajemen industri minyak kelapa Indonesia sehingga lebih teratur dan pekerjanya memiliki etos kerja tinggi, 3) Mempromosikan minyak kelapa sebagai minyak yang tidak berbahaya dan memiliki kandungan kolesterol rendah. Strategi peremajaan wilayah areal kelapa Indonesia perlu dilakukan guna meningkatkan produktivitas kelapa di Indonesia. Strategi peremajaan atau rehabilitasi ini dilakukan dengan penggunaan benih unggul yang telah direkomendasikan oleh pemerintah dan bahkan dapat dilakukan perluasan di daerah yang secara agroekologi sesuai untuk tanaman kelapa. Sehingga dengan bertambahnya produktivitas, bahan baku untuk pembuatan minyak kelapa pun akan semakin bertambah dan produksi minyak kelapa juga akan meningkat. Sehingga dapat memenuhi permintaan negara-negara potensial seperti Amerika yang jumlah impor minyak kelapanya terbanyak di dunia yaitu sebesar 484.341 ton pada tahun 2009 (APCC, 2009). Tentunya hal ini dapat meningkatkan ekspor minyak kelapa Indonesia. Strategi pelatihan manajemen industri bertujuan untuk menciptakan agroindustri minyak kelapa yang memiliki manajemen industri yang baik, teratur, disiplin, sehingga memiliki pekerja yang beretos kerja tinggi serta manajemen proses yang higienis dengan teknologi canggih dan proses produksi minyak kelapa yang higienis sehingga dapat menyaingi pesaing utama, seperti Filipina dan Srilanka. Dengan pelatihan manajemen industri yang diciptakan atau diatur dan diselenggarakan secara rutin oleh industrinya sendiri maupun dengan bantuan fasilitas dari pemerintah, manajemen industri minyak kelapa Indonesia dapat lebih maju dibanding negara lain dan dapat menghasilkan produk minyak kelapa dengan kualitas lebih baik serta mampu dipercaya oleh negara-negara pasar potensial untuk memenuhi kebutuhan minyak kelapa mereka. Promosi minyak kelapa sebagai minyak yang tidak berbahaya dan mengandung kolesterol yang paling kecil dibanding minyak lainnya diperlukan untuk membuat dunia (pasar potensial ekspor minyak kelapa) mengetahui bahwa minyak kelapa merupakan minyak terbaik dibanding minyak lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengunjungi pameran produk kelapa di pasar potensial dan menunjukkan produk minyak kelapa Indonesia serta menjelaskan mengenai karakteristik minyak kelapa, baik melalui presentasi, pamflet, poster, dan lain sebagainya, serta dapat memberikan tester minyak kelapa hasil produksi Indonesia. Sehingga hal ini akan menjadikan permintaan minyak kelapa Indonesia akan semakin meningkat dan ekspor minyak kelapa Indonesia juga dapat semakin meningkat. 4. Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang bersifat defensif dengan cara meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman yang ada (David, 2009). Terdapat tiga alternatif strategi WT yang dapat diterapkan, yaitu: 1) Memperbaiki infrastruktur yang ada dan menambah infrastruktur agar memperlancar proses ekspor, 2) Meningkatkan efisiensi proses agar dapat membeli kelapa butiran dengan harga lebih mahal dibanding negara pesaing, 3) Meningkatkan kemudahan birokrasi dalam proses ekspor-impor Memperbaiki dan menambah infrastruktur sangat dibutuhkan guna menunjang kelancaran proses dan distribusi ekspor produk minyak kelapa ini. Contohnya untuk infrastruktur seperti pelabuhan internasional. Penambahan pelabuhan internasional di Indonesia memang tidak mudah, oleh karena itu usaha untuk meningkatkan kualitas dari infrastruktur yang ada dapat dilakukan agar sistem di pelabuhan internasional tersebut berjalan lebih lancar dan baik. Seperti memperbaiki agar tidak terjadi kemacetan di sekitar pelabuhan, pengusahaan air bersih, pengusahaan alat bongkar muatan agar tidak lama pengoperasiannya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, agroindustri juga perlu mendukung agar bisa saling menjaga infrastruktur yang ada. Efisiensi proses juga diperlukan agar industri dapat memperoleh keuntungan yang lebih dan tidak terdapat bahan baku yang terbuang sia-sia. Efisiensi proses dilakukan dengan pengusahaan proses pengolahan kelapa terpadu dengan unit pengolahan yang dapat menghasilkan beraneka ragam produk dan memanfaatkan seluruh bagian dari kelapa yang dibeli industri di petani sehingga dapat memperoleh keuntungan lebih. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan harga kelapa petani, sehingga industri dapat membeli kelapa dengan harga yang tinggi, sehingga petani juga tidak mengekspor kelapa (butir) ke negara lain karena industri di negeri sendiri mampu membeli dengan harga mahal yang diinginkan petani. Hal ini dapat saling menguntungkan kedua belah pihak dan meningkatkan ekspor kelapa Indonesia. Ini merupakan salah satu strategi menguasai bahan baku dari dalam negeri sendiri. Peningkatan kemudahan birokrasi dalam proses ekspor-impor bertujuan agar para pembeli dari negara potensial tidak merasa kesulitan dalam melakukan proses impor dari negara Indonesia. Kemudahan birokrasi tidak hanya dalam hal perizinan, namun juga dalam hal keamanan yang biasanya terdapat permintaan tarif tertentu dari pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga memperlambat proses pengiriman barang ke negara pasar potensial. Hal ini dapat diterapkan dengan kebijakan dari pemerintah untuk tidak mempersulit masalah perizinan, meningkatkan keamanan di sekitar pelabuhan internasional, serta menempatkan aparat pemerintahan yang bertanggung jawab untuk ditugaskan di sekitar pelabuhan internasional, baik itu dari pihak bea cukai, maupun dari pihak Dinas Perhubungan. Tentu saja hal ini dapat meningkatkan ekspor produk kelapa Indonesia. 4.3.8 Strategi Pemasaran Ekspor Produk Minyak Kelapa Berdasarkan matriks Boston Consulting Group (Matriks BCG) yang telah dilakukan, posisi agroindustri minyak kelapa Indonesia berada pada posisi cash cow. Hal ini menandakan pangsa pasar relatif industri minyak kelapa tersebut cukup tinggi namun pertumbuhan pasarnya relatif lambat. Posisi ini menunjukkan kemungkinan pasar telah mengalami titik jenuh, telah terdapat banyak produk ini di pasaran sehingga pertumbuhan menjadi cenderung menurun atau tidak bergerak. Strategi terbaik agar industri minyak kelapa ini tetap bertahan adalah dengan melakukan pengembangan produk atau diversifikasi konsentrik. Sedangkan berdasarkan matriks internal-eksternal yang telah dilakukan, agroindustri minyak kelapa Indonesia berada pada posisi sel V yang berarti berada pada tahap pertahankan dan pelihara sehingga perlu melakukan penetrasi pasar dan pengembangan produk. Posisi agroindustri minyak kelapa Indonesia seperti yang diindikasikan tersebut dan berbagai alternatif strategi berdasarkan matriks SWOT yang telah dibuat, strategi terbaik dan yang sebaiknya dilaksanakan untuk memajukan dan meningkatkan ekspor produk minyak kelapa Indonesia antara lain dengan melakukan peremajaan wilayah areal kelapa Indonesia, meningkatkan kemudahan birokrasi ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia pada khususnya, memperluas daerah pemasaran ke pasar-pasar yang baru tumbuh seperti Eropa Timur, Arab, China, dan Rusia, mempromosikan minyak kelapa sebagai minyak yang tidak berbahaya dan memiliki kandungan kolesterol rendah, serta mengembangkan produk antara lain menjadi produk oleochemicals dan produk pangan seperti minyak goreng, mentega, dan lainnya sehingga lebih bernilai tambah. Perluasan daerah pemasaran dan pengembangan produk menjadi lebih kepada produk hilir dilakukan sesuai dengan posisi industri di matriks internal-eksternal yang menunjukkan strategi terbaiknya adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. Guna menunjang perluasan daerah pemasaran tersebut, dilakukan promosi dengan memperkenalkan minyak kelapa sebagai minyak yang tidak berbahaya dan memiliki kandungan kolesterol yang paling rendah dibandingkan minyak lainnya. Peremajaan wilayah areal kelapa dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kelapa Indonesia sehingga bahan baku dalam pembuatan minyak kelapa dapat diperbanyak sehingga produksi minyak kelapa dapat ditingkatkan dan Indonesia mampu memenuhi permintaan pasar-pasar barunya dan meningkatkan pembelian pasar lama. 4.3.9 Analisis Internal dan Eksternal Agroindustri Virgin Coconut Oil Analisis strategi pemasaran produk agroindustri kelapa berorientasi pasar ekspor meliputi analisis internal dan analisis eksternal dari produk yang prospektif untuk dikembangkan di pasar ekspor. Analisis internal dilakukan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahankelemahan usaha agroindustri dalam memasarkan produk yang dihasilkan. Hal ini dilakukan untuk memahami kekuatan dan kelemahan agroindustri sehingga dapat mengoptimalkan kekuatan dan menekan kelemahan yang dimiliki dalam rangka memasarkan produk yang dihasilkan. Analisis eksternal dilakukan untuk mengidentifikasi peluang-peluang dan ancaman-ancaman yang akan dihadapi usaha agroindustri dalam memasarkan produk yang dihasilkan di pasar ekspor. Hal ini dilakukan untuk memahami peluang dan ancaman agroindustri dalam memasarkan produknya di pasar ekspor sehingga menentukan perencanaan strategi yang efektif dalam memasarkan produk di pasar ekspor. Analisis internal dan eksternal dari agroindustri virgin coconut oil ini dilakukan dengan cara studi pustaka, mencari literatur dari internet mengenai agroindustri virgin coconut oil Indonesia, melakukan diskusi dan wawancara dengan pakar kelapa dari berbagai pihak seperti yang telah disebutkan sebelumnya, serta dengan melakukan pengisian kuesioner oleh para pakar untuk pembobotan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut yang kuesionernya dapat dilihat pada Lampiran 7. 1. Analisis Internal Factor Evaluation (IFE) Analisis internal industri Virgin Coconut Oil (VCO) terdiri dari faktor kekuatan dan kelemahan yang dapat dilihat pada Tabel 29. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Kekuatan Faktor kekuatan yang dimiliki agroindustri VCO di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Ketersediaan Bahan Baku Melimpah Indonesia merupakan negara yang memiliki luas areal kelapa terbesar di dunia serta negara penghasil kelapa terbanyak di dunia. Berdasarkan data dari Coconut Statistical Yearbook APCC (2009), Indonesia memiliki luas areal kelapa sebesar 3,85 juta hektar dengan produksi buah kelapa sebanyak 16,498 miliar butir buah kelapa atau setara 3,3 juta ton kopra. Kekayaan kelapa yang dimiliki Indonesia ini bahkan meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang dapat dilihat pada Tabel 18. Kondisi ini sebenarnya sangat mendukung kekuatan agroindustri dalam memenuhi bahan baku. Diperlukan kerja sama yang baik antara petani kelapa dengan agroindustri kelapa di Indonesia guna memanfaatkan potensi besar ini. 2) Promosi Penjualan yang Cukup Baik Dalam melakukan penjualan untuk pasar ekspor, Indonesia telah memiliki lembaga atau komunitas kelompok seperti Asean Pasific Coconut Community (APCC) yang telah membantu perusahaan-perusahaan agroindustri kelapa (termasuk industri Virgin Coconut Oil) dalam mempromosikan produknya agar mendapatkan perhatian dan dikenal di pasar internasional. Sehingga para konsumen luar negeri dapat membeli produk Indonesia dengan menghubungi industri tersebut secara langsung, baik melalui email, website, dan lain sebagainya. Bentuk promosi tersebut berupa informasi iklan yang tercantum pada majalah Cocoinfo International yang diterbitkan secara rutin oleh APCC setiap bulan serta informasi berupa directory traders (kumpulan perusahaan-perusahaan yang mengekspor dan mengimpor) produk agroindustri kelapa dalam bentuk sebuah buku yang diterbitkan setiap 2 tahun sekali. Selain itu, para agroindustri kelapa Indonesia yang merupakan industri besar telah memiliki website untuk penjualan produk-produk kelapa mereka, antara lain seperti PT. Pula Sambu dengan alamat website http://www.sambugroup.com/ dan PT. Cocomas Indonesia dengan alamat website http://www.cocomas.com.sg/. 3) VCO Memiliki Banyak Manfaat Produk VCO merupakan produk agroindustri kelapa yang memiliki banyak manfaat, terutama dalam hal kesehatan. Hal ini dikarenakan minyak kelapa kaya asam lemak rantai sedang (C8-C14), khususnya asam laurat dan asam meristat yang membuat minyak kelapa memiliki sifat daya bunuh terhadap beberapa senyawa berbahaya dalam tubuh manusia yang didayagunakan pada pembuatan VCO (Dekindo2, 2010). Sehingga VCO memiliki manfaat antara lain mematikan berbagai virus penyebab cacar air, hepatitis C, influenza, dan penyakit-penyakit lainnya, mematikan berbagai bakteri penyebab infeksi tenggorokan, keracunan makanan, dan lainnya, serta berfungsi sebagai antioksidan dan pelindung (Setiaji dan Prayugo, 2006). 4) Produk Multifungsi Produk VCO tidak hanya dapat langsung dikonsumsi sebagai obat kesehatan namun penggunaannya juga sebagai ingredients produk lain seperti minyak rambut dan kulit, natural shampoo, minyak kesehatan atau minyak herbal, produk kosmetik, baby oil dalam aplikasi non pangan, serta salad dressing, produk cake, scent-making untuk produk pangan, dan produk eskrim dalam aplikasi untuk pangan (APCC, 2006). b. Faktor Kelemahan Faktor kelemahan yang dimiliki agroindustri VCO di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Kualitas Produk VCO Indonesia Masih Rendah Kualitas produk VCO yang dihasilkan Indonesia masih rendah dikarenakan teknologi prosesnya yang belum canggih. Standar Filipina, sebagai negara dengan pangsa pasar ekspor VCO terbesar di dunia, untuk VCO yang dihasilkannya memiliki kandungan asam laurat diatas 65%. Sementara dengan teknologi yg digunakan para petani Indonesia saat ini VCO yang mampu dihasilkan memiliki kandungan asam laurat hanya sekitar 55%. Sebenarnya kandungan asam laurat yang dari VCO yang dihasilkan sebagian besar industri VCO Indonesia sudah sesuai dengan SNI maupun standar internasional yang dibuat oleh APCC, namun kualitas tersebut masih tetap kalah jika dibandingkan dengan VCO yang diproduksi oleh Filipina. Hal inilah yang menyebabkan masih sedikitnya jumlah VCO yang mampu diekspor Indonesia. 2) Infrastruktur Kurang Memadai Terbatasnya infrastruktur seperti kurangnya pasokan listrik, sarana jalan, transportasi, telekomunikasi, serta pelabuhan ekspor di wilayah pengembangan kelapa yang meliputi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Riau, Kalimantan Barat, dan Lampung, juga dirasakan menjadi penghambat pengembangan industri pengolahan kelapa. Tidak terdapatnya pelabuhan ekspor di wilayah-wilayah tersebut menyebabkan produk-produk kelapa yang akan diekspor ditujukan terlebih dahulu ke Surabaya untuk diekspor melalui pelabuhan disana. Sementara biaya 1 kontainer dengan kapasitas 20 ton untuk menuju ke pelabuhan ekspor sekitar Rp.7.000.000,-. Sehingga harga produk menjadi lebih mahal yang disebabkan oleh biaya transportasi menuju pelabuhan ekspornya itu sendiri. 3) Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Masih Kurang Kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini masih kurang sinkron satu sama lain. Antara kebijakan Kementrian Pertanian yang pada umumnya lebih menginginkan kesejahteraan petani dengan kebijakan Kementrian Perindustrian yang pada umumnya menginginkan kemajuan industri sampai saat ini masih mengalami ketidakkompakkan. Hal ini dikarenakan sampai saat ini petani masih hanya bisa mengolah kelapa menjadi kopra, yang dijual ke industri untuk selanjutnya diolah kembali dan dijual untuk pasar domestik maupun pasar internasional, yang mana harga jual kopra ataupun kelapa butiran petani tersebut pada umumnya masih belum dapat mensejahterakan petani kelapa Indonesia. Sedangkan Kementrian Perindustrian juga menginginkan kemajuan agroindustri kelapa sehingga berupaya sebaik mungkin demi memajukan agroindustri kelapa Indonesia, salah satunya dengan membantu meningkatkan kualitas produk dan mengupayakan agar penjualan ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia semakin meningkat. Hal ini tentunya lebih menguntungkan agroindustri kelapa di Indonesia, sementara nasib rakyat petani kelapa tetap pada harga standar buah kelapa pada umumnya, belum lagi jika mereka “dipermainkan” oleh para tengkulak. 4) Kontinuitas Bahan Baku Masih Tidak Stabil Kelapa memang merupakan komoditi yang tidak sulit ditemui. Luas areal kelapa di Indonesia yang sangat besar sebagian besar dimiliki oleh para petani (rakyat kecil). Sebesar 98% atau sekitar 3,77 juta hektar areal kelapa dimiliki oleh para petani kelapa, sisanya sebesar 2% atau sekitar 77000 hektar dimiliki oleh perusahaan swasta. Sebagian besar para petani masih mengolah kelapa hanya menjadi kopra atau dijual dalam bentuk butiran kelapa (Dirjen Perkebunan, 2009). Namun, hal ini lantas tidak menjadi suatu keunggulan bagi Indonesia yang disebabkan oleh masih banyaknya petani kelapa yang menjual kelapa segar utuh ke negara lain seperti Malaysia dan Singapore. Akibatnya, kontinuitas bahan baku bagi agroindustri kelapa di Indonesia untuk mengolahnya kembali menjadi produk kelapa masih tidak stabil. Sebagian besar agroindustri kelapa yang berada di wilayah perbatasan masih kekurangan bahan baku. Bahkan kini harga per butir buah kelapa di Sentra Tanaman Kelapa Riau sebesar Rp.3.000. Selain itu, berkurangnya jumlah tanaman kelapa yang menghasilkan dari 2.789.416 ha pada tahun 2007 menjadi 2.773.489 pada tahun 2009 merupakan salah satu penyebab masih kurangnya bahan baku yang dapat dipasok untuk agroindustri kelapa Indonesia. 5) Aplikasi Sebagian Besar Hanya Sebagai Bahan Penolong (Ingredients) Saat ini penggunaan VCO baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebagian besar hanya sebagai bahan tambahan (bahan penolong), bukan bahan baku utama. Selain sebagai produk kesehatan, VCO sebagian besar digunakan sebagai salad dressing dan bahan tambahan pembuatan kosmetik seperti lipstick, lipgloss, lipbalm, handbody, dan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan permintaan VCO dari pasar ekspor masih dalam jumlah kecil. Tabel 29. Matriks IFE untuk Industri Virgin Coconut Oil Faktor Strategis Internal Bobot Rating 1 2 Skor (a) (b) (a) x (b) 1. Ketersediaan bahan baku melimpah 0,13 3,75 0,49 2. Promosi penjualan cukup baik 0,09 3,25 0,49 3. Memiliki banyak manfaat 0,11 3,25 0,36 4. Produk multifungsi 0,11 3,5 0.39 1. Kualitas produk VCO Indonesia masih rendah 0,12 1,25 0,15 2. Infrastruktur kurang memadai 0,11 1,25 0,14 3. Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang 0,10 1,75 0,18 4. Kontinuitas bahan baku tidak stabil 0,12 1,25 0,15 5. Aplikasi sebagian besar hanya sebagai ingredients 0,11 1 0,11 Kekuatan Kelemahan Total 1,00 2,46 Matriks IFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis internal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri virgin coconut oil Indonesia. Setiap pakar memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis internal. Semakin kuat faktor internal tersebut, semakin tinggi skornya dan semakin lemah faktor internal tersebut, maka semakin rendah skornya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks IFE dilakukan oleh para pakar kelapa yang telah disebutkan sebelumnya dengan mengisi kuesioner seperti yang terdapat pada Lampiran 7. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 29 di atas. Berdasarkan Tabel 29, analisis matriks IFE menghasilkan total skor seluruh faktor internal sebesar 2,46. Total total skor ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri VCO Indonesia pada umumnya masih mencirikan industri yang lemah secara internal. Seperti yang dijelaskan oleh David (2009), terlepas dari berapa banyak faktor yang dimasukkan ke dalam Matriks Evaluasi Faktor Internal, skor bobot total di bawah 2,5 mencirikan organisasi yang lemah secara internal, sedangkan skor bobot total di atas 2,5 mengindikasikan posisi internal yang kuat. Kekuatan utama dari agroindustri VCO Indonesia pada umumnya adalah ketersediaan bahan baku yang melimpah, dengan total skor tertinggi sebesar 0,49 serta promosi penjualan yang cukup baik dengan skor sama yaitu sebesar 0,49. Hal ini menunjukkan kekuatan utama dari agroindustri VCO adalah karena ketersediaan bahan bakunya yang melimpah yang mana memang negara Indonesia ini merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Selain itu, promosi yang baik juga sangat menunjang tersebarnya informasi mengenai manfaat dan aplikasi dari produk VCO ini. Sedangkan kelemahan utama dari agroindustri VCO di Indonesia pada umumnya adalah aplikasinya yang sebagian besar hanya sebagai bahan bantuan atau ingredients dengan total skor terendah yaitu 0,11. Hal ini menunjukkan meskipun bahan baku kita melimpah, namun jika aplikasi dari produk VCO ini hanya sedikit penggunaannya, maka permintaan akan produk ini pun masih sangat kecil. Hal ini yang menyebabkan kelemahan utama pada produk ini, sehingga belum banyak pasar yang meminta produk ini. 2. Analisis External Factor Evaluation (EFE) Analisis eksternal industri virgin coconut oil (VCO) terdiri dari faktor peluang dan ancaman yang dapat dilihat pada Tabel 30. Masing-masing faktor yang mempengaruhi dijelaskan sebagai berikut: a. Faktor Peluang Faktor peluang yang dimiliki agroindustri VCO di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Berkembangnya Informasi VCO sebagai Produk Kesehatan Saat ini semakin banyak informasi melalui berbagai media, terutama dari media internet mengenai informasi manfaat-manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari penggunaan produk VCO ini. Hal ini juga didukung dengan penyebaran informasi mengenai penyembuhan berbagai macam penyakit serta perawatan kesehatan dengan mengkonsumsi produk ini. Sehingga produk VCO masih dikenal di seluruh dunia dan mampu menarik perhatian konsumen yang mana hal ini dapat meningkatkan penjualan atau permintaan pasarnya dengan meningkatkan kualitas dari produk VCO itu sendiri. Bahkan Asean Pasific Coconut Community (APCC) menerbitkan makalah seminar mengenai Virgin Coconut Oil For Health and Nutrition. 2) Perdagangan Global Semakin Terbuka Luas Era perdagangan bebas merupakan peluang yang sangat mendukung pengembangan agroindustri Virgin Coconut Oil. Pada era ini, arus barang, jasa, modal, teknologi, serta sumber daya alam dengan bebas melintas dari satu negara ke negara yang lain. Hal ini akan memberikan peluang yang sangat baik untuk ekspor produk VCO ke manca negara, baik untuk pasar potensial di wilayah Asia, maupun untuk pasar potensial di wilayah Eropa dan Amerika. Selain itu, dengan adanya CAFTA (China-Asean Free Trade Area) juga menjadi peluang bagi perusahaan agroindustri kelapa Indonesia untuk memperluas pasaranya ke luar negeri, dan terbukanya pasar ekspor sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem perdagangan bebas menyebabkan berbagai hambatan ekspor berkurang. 3) Permintaan Pasar Ekspor Semakin Meningkat Permintaan pasar ekspor untuk produk VCO yang didominasi oleh permintaan dari negara USA dan Eropa semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ekspor VCO yang dilakukan oleh market leader dari produk VCO itu sendiri yaitu Filipina yang semakin meningkat dari tahun 2001 hingga tahun 2009 dapat dilihat dari Tabel 13. Dengan naiknya jumlah permintaan dari negara pasar potensial ekspor VCO ini menunjukkan semakin terbuka peluang untuk mengekspor produk VCO bagi Indonesia. 4) Peningkatan Jumlah Penduduk Dunia Jumlah penduduk dunia semakin hari semakin bertambah. Berdasarkan International Data Base US Census Bureau (2011), jumlah penduduk dunia pada saat ini sebesar 6.918.687.238 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 6.884.215.263. Dengan jumlah penduduk yang meningkat tersebut, saat ini China merupakan negara dengan penduduk terbanyak yaitu sebesar 1.336.718.015 penduduk, disusul negara India dengan 1.189.172.906 penduduk, dan United States sebesar 313.232.044 penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk dunia secara tidak langsung mempengaruhi peningkatan permintaan produk virgin coconut oil. Semakin maju dan berkembangnya kehidupan dunia, maka semakin tinggi permintaan akan produk kesehatan serta produk kecantikan (kosmetik) yang mana VCO dapat memenuhi permintaan tersebut, baik sebagai produk kesehatan maupun sebagai komponen bahan baku produk kosmetik. 5) Pengembangan Industri Hilir Masih terbuka peluang untuk mengembangkan industri hilir yang produk akhirnya dapat diekspor sehingga memberi nilai tambah yang lebih dan keuntungan yang lebih besar. Produk hilir tersebut dapat berupa produk-produk kecantikan (kosmetik), produk spa, dan produk kesehatan (minyak gosok) yang berbahan baku dari VCO. b. Faktor Ancaman: Faktor ancaman yang dimiliki agroindustri VCO di Indonesia pada umumnya adalah sebagai berikut: 1) Ekspor Bahan Baku (Kelapa Utuh) Masih banyaknya petani kelapa yang menjual bahan baku (buah kelapa utuh) ke negara lain yang wilayahnya dekat dengan Indonesia seperti Malaysia dan Singapore menjadi ancaman bagi negara Indonesia sendiri. Hal ini menyebabkan banyak industri pengolah kelapa di Indonesia yang kekurangan bahan baku. Sementara negara pesaing menghasilkan produk turunan kelapa dengan jumlah besar untuk diekspor ke negara potensial. Berdasarkan data dari PT. Pulau Sambu yang mana industrinya berada di wilayah perbatasan (Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau), jumlah ekspor dan perdagangan lintas batas kelapa bulat pada tahun 2006 adalah sebesar 16.243.700 butir dan pada tahun 2007 sebesar 18.241.000 butir, yang mana diperkirakan jumlah tersebut diatas meningkat pesat dalam tahun 2010, sehingga pada awal tahun 2011 telah mencapai sekitar 15.000.000 butir sampai dengan 30.000.000 butir per bulan atau sekitar 500.000 butir sampai dengan 1.000.000 butir per hari. 2) Kualitas Produk VCO Pesaing Lebih Tinggi Kualitas produk VCO dari negara pesaing (Filipina) lebih tinggi dibanding produk VCO Indonesia dengan kadar asam laurat sebesar 65%. Hal ini menyebabkan pangsa pasar produk VCO banyak direbut oleh Filipina. Kualitas VCO Filipina yang lebih bagus menyebabkan pasar potensial produk VCO seperti USA, Canada, dan lainnya meminta produk VCO ke negara tersebut. Ini menjadi ancaman bagi Indonesia dengan jumlah permintaan VCO dunia yang belum besar dapat menyebabkan agroindustri VCO Indonesia kehilangan permintaan impor dari dunia untuk produk VCO. 3) Konsumen Produk VCO Mulai Jenuh Konsumen produk VCO, terutama yang menggunakan produk ini sebagai produk kesehatan atau perawatan penyakit, sudah mulai jenuh mengkonsumsi produk ini. Hal ini dikarenakan efek dari penggunaan VCO ini tidak dalam jangka waktu pendek, namun dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu, jenuhnya para konsumen VCO ini juga disebabkan oleh harga yang ditetapkan oleh Industri VCO Indonesia tidak sesuai dengan kualitas VCO yang dihasilkan. Pada awal beredarnya VCO, industri VCO Indonesia memberi harga sekitar Rp. 20.000,- untuk setiap 50 ml VCO. Harga tersebut cenderung terlalu mahal jika dibandingkan dengan harga pasaran eskpor VCO sampai dengan bulan Februari 2011 yaitu sekitar 5-8 US$ per kg VCO atau sekitar Rp.44.500 - Rp.71.200,- per kg VCO dengan harga dollar saat itu sekitar Rp.8.900,-. Ini merupakan suatu ancaman permintaan untuk produk VCO dapat semakin berkurang. 4) Manajemen Industri Negara Pesaing Lebih Baik Salah satu alasan mengapa negara Filipina merupakan negara pengekspor produk kelapa terbesar di dunia adalah karena manajemen industri yang diterapkan di sebagian besar agroindustri kelapa negara tersebut lebih baik dibandingkan dengan negara Indonesia. Filipina menerapkan manajemen industri yang sangat baik, dimulai dari manajemen prosesnya, sistem manajemen pemasaran dari sebagian besar agroindustri kelapa Filipina juga sangat baik. Selain itu, banyaknya penduduk Filipina yang tinggal di USA juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tersebarnya produk-produk kelapa Filipina di USA. Manajemen sumber daya manusia yang dimiliki oleh sebagian besar agroindustri kelapa Filipina juga sangat baik, seperti pemberian reward, peraturan yang ketat dan penerapan sikap disipilin dari perusahaan menyebabkan para pekerja Filipina sebagian besar mermiliki etos kerja yang tinggi. Para pekerja Filipina memiliki sikap, etika, dan kebiasaan yang baik seperti rajin, pekerja keras, ulet, dan disiplin yang membuat mereka dapat memajukan agroindustri kelapa di negaranya. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang mana manajemen industrinya sebagian besar masih belum baik. Agroindustri kelapa di Indonesia sebagian besar masih belum menerapkan HACCP dan GMP. Hal ini menyebabkan kualitas produk yang dihasilkan belum sebaik negara Filipina dan menyebabkan negaranegara potensial ekspor produk agroindustri kelapa, seperti negara-negara Eropa dan USA yang sangat mementingkan kualitas dan keamanan produk pangan yang masuk ke negaranya, tidak mengimpor produk kelapa dari agroindustri kelapa di Indonesia. Hal ini juga menyebabkan para pekerja di Indonesia sebagian besar masih memiliki etos kerja yang rendah, yang masih lebih mementingkan keuntungan besar yang diperoleh saat ini tanpa perduli kontinuitas dari keuntungan tersebut. Hal ini menjadi ancaman bagi agroindustri kelapa di Indonesia karena negara pesaingnya lebih ulet dalam menjalankan usaha dan produksi produk agroindustri kelapa. 5) Impor dari Negara Singapore Lebih Mudah Negara-negara potensial ekspor produk agroindustri kelapa yang berada di Amerika dan Eropa lebih menyukai membeli produk agroindustri kelapa di Singapore dibandingkan dengan di Indonesia. Hal ini dikarenakan birokrasi penjualan ekspor di Singapore lebih sederhana dan mudah, serta kepercayaan Bank dalam memberikan Letter of Credit (L/C) lebih mudah diberikan. Ini merupakan salah satu alasan agroindustri kelapa di Indonesia yang mengekspor hampir 100% produknya memiliki market office (kantor pemasaran) di Singapore, seperti yang dilakukan oleh PT. Pulau Sambu. Sehingga akibat dari kegiatan reexport ini adalah para agroindustri kelapa di Indonesia dapat dimonopoli penjualannya oleh para traders di Singapore. Tabel 30. Matriks EFE untuk Industri Virgin Coconut Oil Faktor Strategis Eksternal 1 2 Bobot Rating Skor (a) (b) (a) x (b) 1. Berkembangnya informasi VCO produk kesehatan 0,07 3,5 0,25 2. Perdagangan global semakin terbuka luas 0,10 3,25 0,33 3. Permintaan pasar ekspor semakin meningkat 0,11 3,25 0,36 4. Peningkatan jumlah penduduk dunia 0,07 3,5 0,25 5. Pengembangan industri hilir 0,12 2,5 0,30 1. Ekspor bahan baku (kelapa utuh) 0,12 2,25 0,27 2. Kualitas produk VCO pesaing lebih tinggi 0,12 2,5 0,30 3. Konsumen produk VCO mulai jenuh 0,10 2,5 0,25 4. Manajemen industri negara pesaing lebih baik 0,11 2,25 0,25 5. Impor dari negara Singapore lebih mudah 0,08 2,25 0,18 Peluang Ancaman Total 1,00 2,74 Matriks EFE diperoleh melalui penilaian pakar mengenai sejauh mana faktor-faktor strategis eksternal berpengaruh terhadap ekspor agroindustri minyak kelapa Indonesia. Setiap pakar memberikan penilaian bobot dan peringkat terhadap masing-masing faktor strategis eksternal agroindustri minyak kelapa Indonesia pada umumnya. Penilaian pada kuesioner untuk matriks EFE dilakukan oleh pakar yang sama pada matriks IFE seperti yang terdapat pada Lampiran 7. Penilaian pakar tersebut kemudian diambil nilai rata-rata dari seluruh penilaian para pakar untuk memperoleh nilai rata-rata seperti yang terdapat pada Tabel 30 di atas. Berdasarkan Tabel 30, analisis matriks EFE yang dilakukan menghasilkan total skor sebesar 2,74. Total skor EFE ini mengindikasikan bahwa kemampuan agroindustri VCO Indonesia pada umumnya dalam merespon lingkungan eksternalnya di atas rata-rata. Peluang utama dalam lingkungan eskternal agroindustri VCO Indonesia dalam melakukan kegiatan eskpor ini ditunjukkan oleh faktor peluang permintaan pasar eskpor yang semakin meningkat dengan total skor terbesar yaitu 0,36. Hal ini memang menjadi peluang utama dalam mengembangkan dan meningkatkan jumlah ekspor VCO Indonesia karena memang permintaan pasar ekspor sangat mendukung dengan ingin ditingkatkannya ekspor VCO Indonesia. Peningkatan permintaan ini terlihat dari semakin besarnya ekspor VCO Filipina sebagai market leaders pasar VCO dunia. Sedangkan ancaman utama bagi agroindustri VCO Indonesia dalam mengekspor produk VCO adalah kegiatan impor dari negara Singapore lebih mudah dengan total skor terkecil yaitu sebesar 0,18. Hal ini menjadi ancaman utama dikarenakan kegiatan impor yang mudah birokrasinya dan pemberian L/C dari Bank di Singapore yang lebih mudah diberikan menyebabkan banyaknya negara pasar potensial VCO yang mengimpor atau membeli produk VCO disana, sehingga pembeli VCO di Indonesia menjadi berkurang dan akan banyak traders di Singapore yang membeli produk di Indonesia kemudian dijual kembali langsung kepada negara-negara potensial yang menyebabkan Indonesia tidak berhubungan langsung dengan pasar potensialnya. 3. Analisis Matriks Internal-External (Matriks I-E) Analisis matriks Internal-Eksternal (matriks I-E) digunakan untuk mengetahui posisi agroindustri virgin coconut oil Indonesia pada umumnya saat ini. Matriks I-E didasarkan pada total skor yang diperoleh dari matriks IFE dan EFE. Merujuk pada Tabel 29 dan Tabel 30, diperoleh nilai matriks IFE sebesar 2,46, sedangkan nilai matriks EFE sebesar 2,74. Melalui total skor dalam matriks IFE dan EFE, maka dapat digambarkan posisi agroindustri virgin coconut oil Indonesia pada umumnya dalam matriks I-E seperti pada Gambar 25. Total Skor IFE Total Skor EFE Kuat 3,0-4,0 Sedang 2,0-2,99 Lemah 1,0-1,99 Tinggi 3,0-4,0 I II III Rata-rata 2,0-2,99 IV Rendah 1,0-1,99 VII V VIII VI IX Gambar 25. Posisi Agroindustri VCO dalam Matriks Internal-Eksternal Berdasarkan pada matriks I-E, seperti agroindustri desiccated coconut dan minyak kelapa, agroindustri VCO Indonesia pada umumnya juga berada pada posisi sel V yaitu pada tahap pertahankan dan pelihara (hold and maintain). Posisi ini akan menentukan strategi pemasaran yang dapat diterapkan. Menurut David (2009), strategi yang sebaiknya diterapkan pada posisi ini adalah strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Menurut Umar (2003), strategi penetrasi pasar adalah strategi yang berusaha meningkatkan market share suatu produk atau jasa melalui usaha pemasaran yang lebih besar, diantaranya dengan menambah jumlah tenaga penjual dan biaya untuk promosi penjualan. Sedangkan strategi pengembangan produk yaitu strategi yang bertujuan agar industri dapat meningkatkan penjualan dengan cara meningkatkan atau memodifikasi produk-produk yang ada sekarang. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi pada agroindustri VCO Indonesia pada umumnya saat ini. Penjualan ekspor VCO yang masih sangat kecil terjadi dikarenakan masih belum banyak agroindustri Indonesia yang bisa menciptakan VCO dengan kualitas yang diinginkan pasar (terutama pasar-pasar Eropa dan Amerika) dan dengan memberikan harga produk yang terjangkau serta bisa menyaingi harga VCO pesaing lain. Hal ini yang menyebabkan masih kurangnya jumlah ekspor VCO Indonesia, sehingga memang diperlukan modifikasi produk, penambahan kualitas produk, serta meningkatkan akses ke pasar. Sistem promosi yang baik mendukung peningkatan penjualan produk di pasar ekspor. Tanpa pemasaran dan pengenalan produk VCO Indonesia ke pasar ekspor, akan sulit bagi produk VCO Indonesia untuk menyaingi penjualan ekspor produk VCO negara lain. Dilihat dari Gambar 25 di atas, posisi agroindustri virgin coconut oil (VCO) berada pada sel V yang menunjukkan nilai eksternal yang lebih besar dibanding internalnya. Oleh karena itu, sebaiknya diterapkan strategi yang menjadikan posisi agroindustri VCO Indonesia berada pada sel II dengan meningkatkan faktor eksternalnya sehingga menjadi lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 30, peluang utama dalam meningkatkan ekspor VCO Indonesia adalah meningkatnya permintaan pasar ekspor, sedangkan ancaman utamanya adalah impor dari negara Singapore yang lebih mudah. Oleh karena itu, strategi yang sebaiknya diterapkan adalah dengan penetrasi pasar guna memenuhi permintaan seluruh pasar ekspor yang mana dapat dilakukan dengan cara memproduksi VCO yang kualitasnya sesuai dengan kualitas permintaan pasar ekspor dan menyamaratakannya dengan kualitas market leader VCO dunia yaitu Filipina, serta dengan menerapkan regulasi yang lebih ringan dalam proses ekspor produk kelapa Indonesia. 4.3.10 Analisis Matriks SWOT Agroindustri Virgin Coconut Oil Analisis SWOT (Strengths-Weakness-Opportunities-Threats) merumuskan alternatifalternatif strategi pemasaran yang bisa digunakan oleh agroindustri VCO Indonesia dalam mengeskpor produknya berdasarkan kondisi agroindustri saat ini yang digambarkan pada matriks I-E. Alternatif strategi pemasaran yang dihasilkan melalui analisis SWOT disusun dengan menggunakan kombinasi antara faktor-faktor strategis internal dan eskternal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Hasil analisis SWOT agroindustri VCO Indonesia pada umumnya dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Matriks SWOT Industri Virgin Coconut Oil Internal Eksternal Kekuatan (Strengths) 1. Ketersediaan bahan baku melimpah, yaitu sebanyak 3,85 juta hektar dengan produksi buah kelapa 16,5 miliar butir buah kelapa 2. Promosi penjualan cukup baik, melalui website, Cocoinfo International, Directory Traders APCC 3. Memiliki banyak manfaat dalam hal kesehatan karena mengandung asam laurat yang 1. 2. 3. 4. Kelemahan (Weakness) Kualitas produk VCO Indonesia masih rendah, asam laurat yang terkandung sekitar 55% sedangkan Filipina 65% Infrastruktur kurang memadai, seperti masih kurang berkualitasnya pelabuhan internasional dan pasokan listrik Sinkronisasi kebijakan pemerintah masih kurang Kontinuitas bahan baku masih memiliki sifat daya bunuh terhadap beberapa senyawa berbahaya dalam tubuh 4. Produk multifungsi yang mana penggunaannya 70% non pangan (kesehatan dan kosmetik) dan 30% pangan (salad, cake) 5. 1. 2. 3. 4. 5. tidak stabil, masih banyak petani ekspor kelapa butiran dan jumlah tanaman kelapa yang menghasilkan menurun dari 2.789.416 ha pada tahun 2007 menjadi 2.773.489 pada tahun 2009 Aplikasi sebagian besar hanya sebagai ingredients (bahan penolong) dalam pembuatan kosmetik (handbody, lipstick, dan lainnya) serta sebagai salad dressing Peluang (Opportunities) Strategi S-O Strategi W-O Berkembangnya informasi 1. Meningkatkan promosi 1. Meningkatkan kualitas produk VCO sebagai produk dengan memperkenalkan dan menyetarakan kualitas kesehatan baik di internet produk VCO sebagai produk produk VCO dengan VCO maupun dalam beberapa kesehatan high quality organic Filipina sebagai market leader terbitan pustaka and natural process ke (W1, W5, O1, O2, O3, O4) Perdagangan global semakin negara-negara potensial pada 2. Mengembangkan produk terbuka luas dengan adanya saat pameran produk kelapa di menjadi produk turunannya CAFTA dan free export taxes negara tersebut (S1, S2, S3, S4, seperti produk kosmetik, untuk produk kelapa O1, O2, O3, O4) produk spa, minyak gosok, dan Permintaan pasar ekspor 2. Menjalin kemitraan dengan lainnya sehingga lebih bernilai semakin meningkat, negara luar (USA, negaratambah (W4, W5, O2, O4, O5) berdasarkan volume ekspor negara Eropa) yang dibantu VCO Filipina meningkat dari oleh pemerintah (S1, S2, S3, S4, tahun 2005 sebesar 475 ton O1, O2, O3, O4) sampai tahun 2009 sebesar 1805 ton Peningkatan jumlah penduduk dunia, yang mana saat ini mencapai 6.918.687.238 penduduk, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 6.884.215.263 Pengembangan industri hilir seperti produk body lotion, body oil, hair oil, shampoo, baby oil yang berbahan dasar VCO Ancaman (Threats) Strategi S-T Strategi W-T 1. Ekspor bahan baku (kelapa 1. Mengusahakan pengembangan 1. Memperbaiki infrastruktur utuh) mencapai 10,4 juta butir dan pelatihan manajemen yang ada dan menambah pada tahun 2007 industri VCO Indonesia infrastruktur agar 2. Kualitas produk VCO pesaing sehingga lebih teratur dan memperlancar proses ekspor lebih tinggi dengan kandungan pekerjanya memiliki etos kerja (W2, W3, T4, T5) asam laurat sebesar 65% tinggi (S1, S2, T2, T3, T4) 2. Meningkatkan efisiensi proses 3. Konsumen produk VCO mulai 2. Menciptakan lembaga dari dengan melakukan proses jenuh karena efek penggunaan pemerintah yang mengatur pengolahan kelapa terpadu VCO sebagai produk produk VCO industri kecil dan agar dapat membeli kelapa kesehatan atau pengobatan petani untuk diekspor (S1, S3, butiran dengan harga lebih berlangsung dalam jangka S4, T1, T2, T3, T4, T5) mahal dibanding pesaing (W3, waktu yang lama W4, T1, T3, T4) 4. Manajemen industri negara 3. Meningkatkan kemudahan pesaing lebih baik dengan birokrasi dalam proses eksporpenerapan GMP dan HACCP impor dengan meningkatkan serta manajemen SDM yang tingkat keamanan di baik sehingga para pekerja pelabuhan, pemberian memiliki etos kerja yang tinggi kemudahan dalam hal 5. Impor dari negara Singapore perizinan, serta pemberian lebih mudah dalam hal kepercayaan yang mudah pemberian L/C dan birokrasi dalam mengeluarkan L/C (W2, ekspor-impornya lebih W3, T5) sederhana Berdasarkan analisis matriks SWOT, dirumuskan strategi-strategi pemasaran yang dapat diaplikasikan sebagai berikut: 1. Strategi SO Strategi SO adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang (Rangkuti, 2006). Berdasarkan analisis matriks SWOT pada agroindustri VCO Indonesia, dihasilkan dua alternatif strategi SO yaitu: 1) Meningkatkan promosi dengan memperkenalkan produk VCO sebagai produk kesehatan high quality organic and natural process, 2) Menjalin kemitraan dengan negara luar yang dibantu oleh pemerintah. Meningkatkan promosi VCO sebagai produk kesehatan high quality organic and natural process secara langsung kepada negara potensial sangat diperlukan guna meningkatkan permintaan dan pembelian negara luar akan produk VCO Indonesia. Promosi tersebut dilakukan dengan dibantu dan didukung oleh pemerintah, baik dari Kementrian Perdagangan maupun dari Kementrian Perindustrian, serta bantuan dari kedutaan Indonesia yang berada di negara pasar potensial. Peningkatan promosi ini dapat dilakukan dengan bantuan pemerintah dengan memberikan bantuan dana untuk agroindustri VCO Indonesia sehingga dapat menghadiri pameran produk di negara potensial produk VCO yang mana kedutaan ataupun organisasi kelapa seperti APCC membantu untuk selalu memberi informasi terbaru mengenai acara pameran produk di negara potensial, sehingga agroindustri VCO Indonesia dapat ikut serta memperkenalkan produknya secara langsung dan berhubungan secara langsung dengan para importir. Sehingga agroindustri VCO Indonesia dapat secara langsung memperkenalkan produknya ke negara-negara potensial ataupun negara-negara baru sebagai pangsa pasar baru seperti Eropa Timur, Arab, China, dan Rusia. Selain meningkatkan promosi, menjalin kemitraan antara industri VCO Indonesia dengan pengguna atau pengolah kembali produk VCO di negara luar juga sangat diperlukan guna memperoleh pelanggan tetap bagi industri VCO Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan dari pemerintah dalam mencarikan mitra di negara luar, terutama negara potensial VCO seperti Amerika dan negara-negara Eropa, yang dibantu oleh kedutaan Indonesia di negara tersebut serta bekerja sama dengan pemerintahan negara tersebut dalam mencarikan mitra kerjasama bagi industri VCO Indonesia. Selain itu pemerintah juga berperan untuk mengawasi hubungan kemitraan tersebut agar tetap terjaga dan bahkan meningkat. 2. Strategi WO Strategi WO adalah strategi yang meminimalkan kelemahan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang yang ada (David, 2009). Terdapat dua alternatif strategi untuk strategi WO, yaitu: 1) Meningkatkan kualitas produk dan menyetarakan kualitas produk VCO dengan VCO Filipina sebagai market leader, 2) Mengembangkan produk sehingga lebih bernilai tambah. Kualitas VCO Indonesia belum sebanding dengan kualitas VCO negara pesaing utama yang juga sebagai market leader VCO, yaitu Filipina. Filipina mampu menghasilkan VCO dengan kandungan asam laurat sebesar 65%, sedangkan VCO yang dihasilkan Indonesia hanya mengandung asam laurat sebesar 45,1-53,2% sesuai dengan standar mutu SNI VCO yang ada. Hal ini salah satu penyebab negara-negara yang mengimpor VCO, seperti Amerika dan negara-negara Eropa serta Australia lebih suka mengimpor VCO dari negara Filipina tersebut. Sehingga, untuk meningkatkan ekspor VCO Indonesia, diperlukan peningkatan kualitas VCO Indonesia minimal setara dengan VCO yang dihasilkan oleh negara Filipina. Penyetaraan kualitas ini dapat dilakukan melalui kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina untuk studi banding dalam menghasilkan VCO dengan kualitas tinggi tersebut . Pengembangan produk juga diperlukan guna meningkatkan volume eskpor produk kelapa Indonesia. Dengan mengembangkan produk VCO hingga lebih kepada produk hilir seperti produk-produk kecantikan (kosmetik) yang berbahan dasar VCO seperti body lotion, lipbalm, shampoo, sabun, produk-produk spa, serta produk-produk kesehatan seperti minyak gosok, dan lainnya dapat menyebabkan peningkatan nilai tambah yang mana juga meningkatkan keuntungan, serta penambahan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. 3. Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang ada (Manktelow dan Carlson, 2011). Terdapat dua alternatif strategi pemasaran yang dirumuskan melalui strategi ST, yaitu: 1) Mengusahakan pengembangan dan pelatihan manajemen industri VCO Indonesia sehingga lebih teratur dan pekerjanya memiliki etos kerja tinggi, 2) Menciptakan lembaga dari pemerintah yang mengatur produk VCO industri kecil dan petani untuk diekspor. Strategi pelatihan manajemen industri bertujuan untuk menciptakan agroindustri VCO yang memiliki manajemen industri yang baik, teratur, disiplin, sehingga memiliki pekerja yang beretos kerja tinggi, serta manajemen proses dan produksi yang teratur (disiplin), seperti penerapan GMP (Good Manufacturing Practice) sehingga dapat menyaingi pesaing utama, seperti Filipina dan Srilanka. Dengan pelatihan manajemen industri yang diciptakan atau diatur dan diselenggarakan secara rutin oleh industrinya sendiri maupun dengan bantuan fasilitas dari pemerintah, manajemen industri VCO Indonesia dapat lebih maju dan berkualitas dibanding negara lain dan dapat menghasilkan produk VCO dengan kualitas lebih baik serta mampu dipercaya oleh negara-negara pasar potensial untuk memenuhi kebutuhan VCO mereka. Penciptaan lembaga dari pemerintah yang mengatur produk VCO industri kecil dan petani untuk dieskpor bertujuan untuk menjadi pengelola industri kecil serta petani yang memproduksi VCO, sehingga mereka dapat menyalurkan produk VCO yang mereka produksi kepada lembaga tersebut untuk kemudian dijual dan dipasarkan serta dibantu promosinya ke negara-negara potensial VCO. Selain itu, lembaga ini juga dapat membantu mengelola dan memberi pelatihan proses produksi VCO para petani dan industri kecil agar dapat menghasilkan VCO dengan kualitas yang diharapkan pasar potensial serta memberi harga jual yang sesuai dengan kualitas VCO yang dihasilkan sehingga para importir tidak merasa dirugikan. 4. Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang bersifat defensif dengan cara meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari ancaman yang ada (David, 2009). Terdapat tiga alternatif strategi WT yang dapat diterapkan, yaitu: 1) Memperbaiki infrastruktur yang ada dan menambah infrastruktur agar memperlancar proses ekspor, 2) Meningkatkan efisiensi proses agar dapat membeli kelapa butiran dengan harga lebih mahal dibanding pesaing, 3) Meningkatkan kemudahan birokrasi dalam proses ekspor-impor. Memperbaiki dan menambah infrastruktur sangat dibutuhkan guna menunjang kelancaran proses dan distribusi ekspor produk VCO. Contohnya untuk infrastruktur seperti pelabuhan internasional yang mana masih banyak wilayah yang belum memiliki pelabuhan internasional. Namun memang tidak mudah untuk menciptakan infrastruktur ini, selain karena persyaratan penciptaan pelabuhan internasional yang tidak mudah untuk dilakukan, banyaknya jumlah pelabuhan internasional yang dapat disinggahi kapal asing dapat menyebabkan ekspor-impor bebas yang tidak dapat terawasi oleh pemerintah. Oleh karena itu bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur yang ada sa ngat diperlukan agar sistem di pelabuhan internasional tersebut berjalan lebih lancar dan baik, seperti memperbaiki agar tidak terjadi kemacetan di sekitar pelabuhan, pengusahaan air bersih, pengusahaan alat bongkar muatan agar tidak lama pengoperasiannya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, agroindustri juga perlu mendukung agar bisa saling menjaga infrastruktur yang ada. Efisiensi proses juga diperlukan agar industri dapat memperoleh keuntungan yang lebih dan tidak terdapat bahan baku yang terbuang sia-sia. Efisiensi proses dilakukan dengan pengusahaan proses pengolahan kelapa terpadu dengan unit pengolahan yang dapat menghasilkan beraneka ragam produk dan memanfaatkan seluruh bagian dari kelapa yang dibeli industri di petani sehingga dapat memperoleh keuntungan lebih. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan harga kelapa petani, sehingga industri dapat membeli kelapa dengan harga yang tinggi, sehingga petani juga tidak mengekspor kelapa (butir) ke negara lain karena industri di negeri sendiri mampu membeli dengan harga mahal yang diinginkan petani. Hal ini dapat saling menguntungkan kedua belah pihak dan meningkatkan ekspor kelapa Indonesia. Ini merupakan salah satu strategi menguasai bahan baku dari dalam negeri sendiri. Peningkatan kemudahan birokrasi dalam proses ekspor-impor bertujuan agar para pembeli dari negara potensial tidak merasa kesulitan dalam melakukan proses impor dari negara Indonesia. Kemudahan birokrasi tidak hanya dalam hal perizinan, namun juga dalam hal keamanan yang biasanya terdapat permintaan tarif tertentu dari pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga memperlambat proses pengiriman barang ke negara pasar potensial. Hal ini dapat diterapkan dengan kebijakan dari pemerintah untuk tidak mempersulit masalah perizinan, meningkatkan keamanan di sekitar pelabuhan internasional, serta menempatkan aparat pemerintahan yang bertanggung jawab untuk ditugaskan di sekitar pelabuhan internasional, baik itu dari pihak bea cukai, maupun dari pihak Dinas Perhubungan. Tentu saja hal ini dapat meningkatkan ekspor produk kelapa Indonesia. 4.3.11 Strategi Pemasaran Ekspor Produk Virgin Coconut Oil Berdasarkan matriks internal-eksternal yang telah dilakukan, agroindustri virgin coconut oil Indonesia berada pada posisi sel V yang berarti berada pada tahap pertahankan dan pelihara. Hal ini menunjukkan strategi terbaik pada posisi ini adalah dengan melakukan penetrasi pasar dan pengembangan produk. Posisi yang diindikasikan tersebut serta berbagai alternatif strategi pemasaran berdasarkan matriks SWOT yang telah dibuat, strategi terbaik dan yang sebaiknya dilakukan untuk memajukan dan meningkatkan ekspor produk virgin coconut oil Indonesia antara lain dengan meningkatkan kualitas produk dan menyetarakan kualitas produk VCO dengan VCO Filipina sebagai market leader yaitu memproduksi VCO dengan kandungan Asam Laurat sebesar 65%, mempermudah birokrasi ekspor produk kelapa Indonesia pada khususnya, menciptakan lembaga dari pemerintah yang mengatur produk VCO industri kecil dan petani untuk diekspor, meningkatkan promosi dengan memperkenalkan produk VCO sebagai produk kesehatan high quality organic and natural process ke negara-negara potensial, menjalin kemitraan dengan negara luar (USA, negaranegara Eropa) yang dibantu oleh pemerintah, mengembangkan produk menjadi produk turunannya seperti produk kosmetik, produk spa, minyak gosok, dan lainnya sehingga lebih bernilai tambah. Sesuai dengan posisinya yang berada pada sel V di matriks internal-eksternal, salah satu cara memelihara dan meningkatkan posisi agroindustri VCO Indonesia ini adalah dengan meningkatkan kualitas produk sehingga setara dengan market leader ekspor VCO yaitu Filipina. Oleh karena itu, perlu diciptakan lembaga dari pemerintah untuk mengatur produksi dan sebagai distributor (saluran pemasaran) produk VCO para industri kecil dan menengah serta petani untuk diekspor, agar VCO produksi mereka mampu diterima dan dibeli oleh pasar asing. Setelah itu, peningkatan promosi sangat penting untuk dilakukan guna memperkenalkan dan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap produk VCO Indonesia serta dengan menjalin kemitraan dengan negara potensial melalui bantuan dari pemerintah juga menunjang peningkatan permintaan yang tetap kedepannya sehingga pertumbuhan pasar untuk produk VCO Indonesia selalu meningkat atau minimal tetap. Pengembangan produk menjadi lebih bernilai tambah perlu dilakukan untuk meningkatkan keuntungan yang diperoleh dan menambah diversifikasi produk ekspor turunan kelapa Indonesia. 4.3.12 Implikasi untuk Pemasaran Agroindustri Kelapa Indonesia Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas, maka implikasi yang diberikan untuk pemasaran agroindustri kelapa Indonesia guna meningkatkan ekspor produk agroindustri kelapa Indonesia dilihat dari produk prospektif yang dapat dikembangkan di pasar ekspor dapat dilihat pada Tabel 32 di bawah ini. Tabel 32. Komparasi Alternatif Produk Prospektif Agroindustri Kelapa Indonesia Berorientasi Ekspor Pasar Potensial Desiccated Coconut Minyak Kelapa Virgin Coconut Oil China China USA Peningkatan kualitas produk terutama dari segi sifat higienisnya dengan penerapan HACCP dan GMP dalam proses produksinya serta mengembangkan produk lebih ke hilir seperti cookies dan biscuit dengan bahan dasar desiccated coconut Melakukan peremajaan wilayah areal kelapa Indonesia dengan memanfaatkan sumber benih kelapa yang ada saat ini seperti Kebun Induk Kelapa yang dibangun tahun 2006 seluas 20 ha yang dapat berproduksi pada tahun 2011 dengan potensi produksi sebesar 196.000 butir (Dirjenbun, 2010), untuk meningkatkan produktivitas kelapa sehingga dapat meningkatkan jumlah produksi minyak kelapa Indonesia guna memenuhi permintaan pasar yang sangat tinggi, serta mengembangkan produk antara lain menjadi produk oleochemicals dan produk pangan seperti minyak goreng, mentega, dan lainnya sehingga lebih bernilai tambah Meningkatkan kualitas produk VCO Indonesia dengan menyetarakan kualitasnyadengan VCO Filipina sebagai market leader yaitu memproduksi VCO dengan kandungan Asam Laurat sebesar 65% serta mengembangkan produk menjadi produk turunannya seperti produk kosmetik, produk spa, minyak gosok, dan lainnya sehingga lebih bernilai tambah Peningkatan kemudahan birokrasi ekspor-impor sehingga mudah dalam pengiriman barang ke pasar ekspor serta menjalin kemitraan dengan negara potensial yang dibantu oleh pemerintah Memperluas daerah pemasaran ke pasar-pasar yang baru tumbuh seperti Eropa Timur, Arab, dan Rusia, serta meningkatkan promosi secara langsung dengan menghadiri pameran Peningkatan kemudahan birokrasi ekspor-impor sehingga mudah dalam pengiriman barang ke pasar ekspor serta menjalin kemitraan dengan negara potensial yang dibantu oleh pemerintah Memperluas daerah pemasaran ke pasar-pasar yang baru tumbuh seperti Eropa Timur, Arab, dan Rusia, serta mempromosikan minyak kelapa sebagai minyak yang tidak berbahaya Menciptakan lembaga dari pemerintah yang mengatur produk VCO industri kecil dan petani untuk diekspor, serta menjalin kemitraan dengan negara luar (USA, negara-negara Eropa) yang dibantu oleh pemerintah Meningkatkan promosi dengan memperkenalkan produk VCO sebagai produk kesehatan high quality organic and natural process ke negara-negara potensial seperti USA dan negara- Produk Strategi Pemasaran Distribusi Promosi Harga produk kelapa di negara potensial seperti USA dan negara-negara Eropa Peningkatan efisiensi proses agar dapat memperkecil biaya produksi dan meningkatkan keuntungan dan memiliki kandungan kolesterol rendah negara Eropa Peningkatan efisiensi proses agar dapat memperkecil biaya produksi dan meningkatkan keuntungan Peningkatan efisiensi proses agar dapat memperkecil biaya produksi dan meningkatkan keuntungan