Respon fisiologis domba garut yang dipelihara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Garut
Domba garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu
dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1.97 ekor. Domba garut merupakan domba
yang berasal dari persilangan antara domba lokal asli, domba Merino dan domba
Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah menjadi satu bangsa karena seleksi
bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan di daerah Garut (Balai Informasi
Pertanian, 1990).
Domba garut memiliki ciri-ciri berat badan domba jantan hidup dapat
mencapai 60-80 kg dan berat badan domba betina sekitar 30-40 kg, memiliki daun
telinga yang relatif kecil dan kokoh, bulu cukup banyak serta domba betina tidak
memiliki tanduk sedangkan domba jantan memiliki tanduk besar, kokoh, kuat, dan
melingkar (Mason, 1980).
Suhu dan Kelembaban
Suhu optimal untuk domba di daerah tropis berkisar antara 24-26 0C
(Kartasudjana, 2001), dengan kelembaban di bawah 75% (Yousef, 1985). Keadaan
optimal tersebut tidak terjadi di Indonesia karena suhu rataan harian wilayah
Indonesia adalah 29 0C pada musim hujan dan 30-32 0C pada musim kemarau. Pada
lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang tinggi domba akan berusaha
menurunkan suhu tubuhnya melalui kulit maupun pernafasan (Yeates et al,. 1975).
Keadaan lingkungan yang kurang nyaman akibat suhu dan kelembaban tinggi juga
menyebabkan domba mengurangi konsumsi makan dan meningkatkan konsumsi air
minum.
Pelepasan panas tubuh dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Panas
tubuh ini dilepaskan secara konveksi, radiasi, konduksi dan evaporasi. Suhu tubuh
tergantung pada neraca keseimbangan antara panas yang diproduksi atau diabsorbsi
dengan panas yang hilang. Radiasi adalah transfer energi secara elektromagnetik,
tidak memerlukan medium untuk merambat dengan kecepatan cahaya. Konduksi
merupakan transfer panas secara langsung antara dua materi padat yang berhubungan
langsung tanpa ada transfer panas molekul. Panas menjalar dari yang suhunya tinggi
kebagian yang memiliki suhu yang lebih rendah. Konveksi adalah suatu perambatan
2
panas melalui aliran cairan atau gas. Besarnya konveksi tergantung pada luas kontak
dan perbedaan suhu. Evaporasi merupakan konveksi dari zat cair menjadi uap air,
besarnya laju konveksi kehilangan panas karena evaporasi (Martini, 1998).
Tingkat cekaman yang terjadi dipengaruhi oleh insulasi wol, kecepatan angin,
kelembaban udara, umur ternak dan makanan. Suhu dan kelembaban yang tinggi
menyebabkan evaporasi lambat sehingga pelepasan panas tubuh terhambat
(McDowell, 1972). Jika ternak dalam lingkungan panas energinya berkurang maka
aktivitas akan terganggu misalnya laju pertumbuhan menurun, laju pernafasan dan
keringat meningkat (Curtis, 1983).
Pencukuran Bulu Domba
Pencukuran bulu domba merupakan pekerjaan musiman, meskipun
pencukuran dapat dilakukan setiap saat. Pencukuran akan kurang baik apabila
dilakukan pada musim dingin, kecuali di daerah-daerah yang beriklim lebih panas.
Wol pada domba tidak berganti tetapi terus tumbuh secara berkelanjutan. Jumlah zat
yang berbeda pada tiap wol tergantung jenis dan kondisi sekelilingnya, seperti iklim
dan pakan. Wol bersifat tidak menghantarkan panas (insulator) (Johnston, 1983).
Pencukuran bulu sebaiknya dilakukan setelah domba berumur lebih dari
enam bulan. Sebelum dicukur, sebaiknya domba dimandikan agar bulunya bersih.
Bulu sebagai penutup tubuh alami pada ternak yang berfungsi sebagai perlindungan
dari sengatan radiasi matahari di daerah tropis. Bulu yang halus dan pendek akan
menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang panas (Williamson dan
Payne, 1993). Mencukur bulu dapat menurunkan insulasi, meningkatkan pelepasan
panas (heat loss), meningkatkan konsumsi pakan, pertumbuhan dan kualitas semen
pejantan (Havez, 1968).
Wol yang terdapat pada domba, merupakan rambut yang bergelombang
dengan sedikit medulla, dan bagian jaringan ikat dari folikelnya tidak padat (jarang)
(Frandson, 1992). Tubuh dapat memperoleh panas secara
langsung dari sinar
matahari. Tingkat penyerapan panas tergantung pada tipe kulit hewan bersangkutan
dan bulu yang terdapat pada kulit (insulasi). Pergerakan udara dapat mengubah
pengaruh tipe kulit dan insulasi bulu terhadap cahaya tersebut (Parakkasi, 1999).
3
Respon Fisiologis Domba
Domba sebagai hewan berdarah panas yang mempertahankan suhu tubuhnya
pada kisaran tertentu. Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena mempunyai
daya adaptasi tinggi. Respon fisiologis domba merupakan respon domba terhadap
berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar. Respon
fisiologis pada domba dapat diketahui diantaranya dengan melihat suhu tubuh, laju
respirasi, denyut jantung, nilai hematrokit, dan rasio heterofil/limfosit (Yousef,
1985).
Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk kebutuhan fisiologisnya,
jika tidak sesuai dengan lingkungannya, misalnya dengan kondisi terlalu panas atau
terlalu dingin maka akan menyebabkan stres dan berakibat pada produktivitasnya,
sehingga pertumbuhan, perkembangan atau produksi ternak akan menurun (Johnston,
1983). Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang
mengganggu fisiologis normal. Sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman
panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari
sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra
dan Burns, 1994).
Laju Respirasi
Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan
mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekelilingnya, khususnya gas O2
dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Pernafasan pada hewan terdiri dari tiga
fase yaitu respirasi external, pertukaran gas, dan respirasi internal. Respirasi external
yaitu mekanisme saat hewan mengambil oksigen dari lingkungan dan melepaskan
karbondioksida ke lingkungan. Pertukaran gas yaitu mekanisme pendistribusian
oksigen ke seluruh sel-sel tubuh hewan dan mekanisme perpindahan karbondioksida
dari sel tubuh ke lingkungan. Respirasi internal merupakan reaksi metabolik saat
oksigen dalam sel memproduksi energi dan reaksi untuk memproduksi
karbondioksida dalam sel (Wilson, 1979).
Frekuensi respirasi bervariasi tergantung dari besar badan, umur, aktivitas
tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Domba tropis mempunyai frekuensi laju
respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit. Bersamaan dengan peningkatan suhu
lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan ini adalah dengan
4
panting (terengah-engah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Smith dan
Mangkoewidjojo, 1988). Pada sapi, kerbau, kambing dan domba peningkatan
frekuensi respirasi merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh.
Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan.
Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh
untuk mempertahankan keseimbangan fisiologik dalam tubuh hewan (McDowell,
1972).
Denyut Jantung
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang bentuknya menyerupai
kerucut. Jantung terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri, masing-masing
bagian terdiri atas atrium, yang berfungsi menerima curahan darah dan pembuluh
vena, dan ventrikel, yang berfungsi memompakan darah dari jantung ke seluruh
tubuh melalui pembuluh arteri (Frandson, 1992). Satu denyut terdiri dari satu sistol
dan satu diastole. Siklus jantung terdiri atas satu periode relaksasi yang disebut
diastole, yaitu periode pengisian jantung dengan darah, yang diikuti oleh satu periode
kontraksi yang disebut sistol (Guyton, 1997).
Kisaran denyut jantung domba normal menurut Smith dan Mangkoewidjojo
(1988) adalah 70-80 kali tiap menit. Peningkatan laju denyut jantung yang tajam
terjadi pada saat peningkatan suhu lingkungan, gerakan dan aktivitas otot (Edey,
1983). Secara umum, kecepatan denyut jantung yang normal cenderung lebih besar
pada hewan-hewan kecil dan semakin lambat dengan semakin besarnya ukuran
hewan (Frandson, 1992). Al-Haidary (2004) menyatakan bahwa tantangan stres
panas mengurangi denyut jantung pada ternak yang diam, dan pengurangan tanda
denyut jantung menurun karena upaya umum untuk binatang penurunan produksi
panas.
Menurut Adisuwirdjo (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi denyut
jantung yaitu: (1) aktivitas, aktivitas yang tinggi dapat menigkatkan frekuensi kerja
jantung. (2) ion kalsium, ion kalsium memicu sistol yaitu kontraksi salah satu
ruangan jantung pada proses pengosongan ruangan tersebut. Diastol adalah reaksi
dari satu ruang jantung sesaat sebelum dan selama pengisian ruangan tersebut.
(3) kadar CO2, dapat menaikkan frekuensi maupun kekuatan kontraksi jantung.
(4) acetylcolin, mengurangai frekuensi jantung. (5) adrenalin, dapat menaikkan
5
frekuensi jantung. (6) atropin dan nikotin, dapat mempercepat frekuensi jantung.
(7) morphin, dapat memperlambat frekuensi jantung. (8) suhu tubuh, semakin tinggi
suhu maka frekuensi jantung juga semakin besar. (9) berat badan, semakin berat
badan seseorang maka frekuensi jantung juga semakin besar. (10) usia, usia muda
memiliki frekuensi jantung yang lebih cepat.
Suhu Tubuh
Suhu tubuh hewan homeotermi merupakan hasil keseimbangan dari panas
yang diterima dan dikeluarkan oleh tubuh. Suhu tubuh dapat diamati melalui suhu
rektal, karena suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk menggambarkan
suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal juga sebagai parameter yang dapat
menunjukkan efek dari cekaman lingkungan terhadap domba. Suhu rektal harian,
pada pagi hari rendah sedangkan pada siang hari tinggi (Edey, 1983).
Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 39,2-40 0C (Smith
dan Mangkoewidjojo, 1988). Kelembaban dapat pula mempengaruhi mekanisme
temperature tubuh, pengeluaran panas dengan cara berkeringat ataupun melalui
respirasi akan lebih cepat (Parakkasi, 1999).
Profil Darah
Hematokrit
Hematokrit atau Packed Cell Volume (PVC) merupakan persentase sel-sel
darah merah di dalam 100% darah (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Nilai
hematokrit adalah suatu istilah yang artinya persentase (berdasar volume) dari darah
yang terdiri dari sel-sel darah merah. Nilai hematokrit yang normal pada domba
adalah 32%. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) nilai hematokrit pada
domba berkisar antara 29%-45%.
Nilai hematokrit biasanya dianggap sama manfaatnya dengan hitungan sel
darah merah total, dan pelaksanaannya juga jauh lebih mudah. Penentuannya
dilakukan dengan mengisi tabung hematokrit dengan darah yang diberi zat agar tidak
menggumpal di bagian dasar (Frandson, 1992). Nilai hematokrit dipengaruhi oleh
enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis
kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi (Sujono, 1991).
6
Sel-sel darah merah
Elemen-elemen darah yang memiliki bentuk meliputi sel-sel darah merah,
sel-sel darah putih dan keping darah (platelet). Sel-sel darah merah atau eritrosit
berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter rata-ratanya sebesar 7,8µm, dan
ketebalan pada bagian yang tebal 2,5 µm dan pada bagian tengah 1 µm. Fungsi
utama dari sel darah merah adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya
mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 1997). Menurut Smith dan
Mangkoewidjojo (1988) jumlah sel darah merah pada domba yaitu 9-15 juta/mm3.
Adanya hemoglobin di dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan
untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab timbulnya warna merah pada
darah. Dari segi kimia, hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang komplek
yang terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung
atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat
rantai asam amino. Karena adanya hemoglobin, darah dapat mengangkut sekitar 60
kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang
sama. Konsentrasi hemoglobin diukur dalam gram per 100 ml darah. Konsentrasi
hemoglobin normal menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yaitu 9-15g/100 ml.
Fungsi utama hemoglobin dalam tubuh bergantung pada kemampuannya untuk
bergabung dengan oksigen dalam paru-paru dan kemudian melepaskan oksigen ini
dalam kapiler jaringan dimana tekanan gas oksigen jauh lebih rendah daripada di
paru-paru (Guyton, 1997).
Saat kondisi normal konsentrasi hemoglobin hampir selalu mendekati
maksimum dalam setiap sel. Namun, bila pembentukan hemoglobin dalam sumsum
tulang berkurang, maka persentase hemoglobin dalam sel dapat turun dan volume sel
darah merah juga menurun karena hemoglobin untuk mengisi sel berkurang. Setiap
keadaan yang menyebabkan penurunan transportasi jumlah oksigen ke jaringan
biasanya akan meningkatkan kecepatan produksi sel darah merah. Pada suatu daerah
dengan ketinggian yang sangat tinggi, jumlah oksigen dalam udara sangat rendah
maka jumlah oksigen yang diangkut ke jaringan tidak cukup dan produksi sel darah
merah meningkat (Guyton, 1997).
Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat disebabkan oleh
hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah
7
merah (Guyton, 1997). Salah satu efek utama dari anemia adalah meningkatkan
beban kerja jantung.
Sel darah Putih
Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dengan eritrosit, karena adanya
nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen. Manfaat dari sel darah
putih ialah sebagian besar ditransfer secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan
mengalami peradangan (Guyton, 1997).
Leukosit digolongkan menjadi Granulosit dan Agranulosit. Granulosit terdiri
dari Netrofil, Eosinofil, Basofil. Netrofil mengandung granula yang memberikan
warna indiferen dan tidak merah ataupun biru. Ini merupakan jajaran pertama untuk
sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi dari pembuluh darah menuju
daerah infeksi untuk membunuh bakteri sebagai respon terhadap infeksi tersebut dan
membersihkan sisa jaringan yang rusak. Jumlah netrofil di dalam darah meningkat
cepat apabila terjadi infeksi yang akut. Jumlah netrofil pada domba yaitu 17,50%50,0% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Agranulosit terdiri dari monosit dan limfosit. Limfosit memiliki fungsi utama
dapat merespon antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang
bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler.
Smith dan Mangkoewidjojo (1988), menyatakan bahwa jumlah limfosit normal
untuk domba daerah tropis yaitu 50%-75%. Cekaman iklim dan lingkungan seperti
transportasi dan panas menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang
meningkat karena adanya cekaman fisiologis (Maxwell, 1983).
Konsumsi pakan dan minum
Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi bila bahan
makanan tersebut diberikan ad libitum. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
konsumsi pakan menurut Parakkasi (1999) adalah faktor hewan itu sendiri yaitu
permintaan fisiologis dari hewan tersebut untuk hidup pokok dan produksi. Faktor
pakan yang diberikan berkaitan dengan nilai nutrisi yang terkait pada pakan tersebut.
Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara dapat mempengaruhi tingkat
konsumsi. Pada suhu lingkungan tinggi, konsumsi pakan pada umumnya menurun,
konsumsi air minum meningkat (Parakkasi, 1999).
8
Pakan konsentrat diberikan sebelum pakan hijauan. Hal tersebut dilakukan
agar semua zat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan, produksi, dan
reproduksi dapat terpenuhi (Ridwan, 2010).
9
Download