BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembangunan bangsa peningkatan kualitas manusia harus dimulai sejak sedini mungkin, yaitu dimulai dari masa konsepsi sampai dengan seribu hari kehidupan pertama. Salah satu faktor yang berperan penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah pemberian air susu ibu (ASI) sedini mungkin setelah anak dilahirkan dengan benar yang dikenal dengan inisiasi menyusu dini. Kebijakan inisiasi menyusu dini (IMD) dipelopori oleh World Health Organization (WHO) dan United Nations Emergency Children’s Fund (UNICEF) sebagai tindakan “penyelamatan kehidupan” yang berperan dalam pencapaian SDGs yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan penduduk disegala bidang. Salah satu indikator penilaian adalah menurunnya angka kematian neonatal, bayi dan balita serta menurunkan kematian ibu. Menurut protocol Evidance Baced yang diperbaharui oleh WHO dan UNICEF tentang asuhan bayi baru lahir untuk satu jam pertama menyatakan bahwa bayi harus mendapat kontak kulit ke kulit dengan ibunya segera setelah lahir minimal satu jam, bayi harus dibiarkan menyusu dan ibu dapat mengenali bayinya siap menyusu, dan menunda semua prosudur lainnya yang harus dilakukan sampai dengan inisiasi menyusu selesai dilakukan. Hal ini dinyatakan sebagai indikator global (Kurniawan, Bayu 2013). 1 Universitas Sumatera Utara Dalam meningkatkan kesehatan dan kelangsungan hidup bayi baru lahir banyak tindakan yang relatif murah yang dapat dilakukan, salah satunya adalah pelaksanaan IMD. Proses IMD merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program Asi Esklusif. IMD adalah proses dimana bayi diletakkan diatas perut ibunya dan membiarkan bayi secara naluriah dapat menyu segera dalam satu jam pertama setelah lahir. Pemberian ASI esklusif dan IMD ini di amanatkan dalam UndangUndang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Manfaat IMD juga dapat melindungi bayi dari infeksi dan terhindar dari hipotermi (Kemenkes RI, 2013). Edmon (2006) pada studi di Ghana menyatakan bahwa jika bayi diberikan kesempatan menyusu dalam satu jam pertama dengan diberikan kontak ke kulit ibunya, maka 22% nyawa bayi dibawah 28 hari dapat diselamatkan. Jika bayi mulai menyusu pertama diatas dua jam setelah kelahirannya dan di bawah 24 jam pertama, maka 16% nyawa bayi usia dibawah 28 hari dapat diselamatkan (Edmon, 2006) Nakao et.al (2008) di Jepang melakukan penelitian dimana keberhasilan Asi Esklusif berhubungan dengan IMD. Menurut Lancet 2010, pemberian ASI esklusif dapat menurunkan angka kematian bayi sebesar 13% dan dapat menurunkan prevalensi balita pendek. Upaya pemberian ASI sedini mungkin di Indonesia hingga saat ini masih banyak menemui kendala. Permasalahan yang utama adalah faktor kurangnya pengetahuan, sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI untuk kesehatan anak, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program peningkatan penggunaan ASI (Kemenkes RI, 2013). Universitas Sumatera Utara Studi kualitatif yang dilakukan oleh Fika dan Syafik (2010) menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan IMD hasilnya 8 (delapan) kali lebih berhasil dalam pemberian ASI esklusif. Faktor Predisposisi kegagalan dalam pemberian ASI Esklusif adalah pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang, dan faktor pemungkin yang menyebabkan terjadinya kegagalan adalah karena ibu tidak difasilitasi melakukan IMD. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan peningkatan persentase bayi yang mendapatkan IMD kurang dari satu jam setelah bayi lahir yaitu 34,5% dari 29,3% tahun 2010. Bayi yang mendapatkan ASI Esklusif adalah 30,2% dari 15,3% pada tahun 2010. (Riskesdas 2013). Cakupan ASI Esklusif di Indonesia menurut UNICEF masih jauh dari rata-rata yang telah ditetapkan yaitu 38%, sedangkan persentasi ibu yang memberikan ASI kurang dari satu jam setelah melahirkan adalah 21 - 49% (Unicef, 2007). Salah satu Faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan IMD adalah dukungan petugas kesehatan yang adekuat. Fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan perlu terus meningkatkan sosialisasi dan penerapan pelaksanaan program IMD mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pelayanan primer hingga pada tingkat poskesdes dan polindes (Meiyana, 2010). Astuti (2012) menyatakan berhasil tidaknya IMD disarana kesehatan, rumah bersalin dan rumah sakit tergantung kepada petugas kesehatan yang secara langsung menolong persalinan. Jika tenaga kesehatan tidak memiliki kesadaran, keahlian dan pengetahuan tentang IMD maka tidak akan terlaksana program IMD (Depkes 2009). Penelitian Nurhayati (2011) di RSIS Siti Universitas Sumatera Utara Khadijah Makasar menyatakan bahwa 22,5% responden melakukan IMD sedangkan 77,5% tidak melakukan praktek IMD. Alasan responden tidak melakukan IMD adalah 6% dengan bayi lahir patologis, 26% karena mengalami perdarahan dan 68% responden lainnya tidak melakukan IMD karena petugas yang tidak melaksanakannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa semua responden ingin melakukan IMD pada saat persalinan, namun pada kenyataannya hanya 22,5% responden yang melakukan IMD. Dari data tersebut di simpulkan bahwa pelaksanaan IMD itu sendiri tergantung pada bidan yang membantu pada proses persalinan (Nurhayati 2011). Selain faktor petugas, ada berbagai cara seorang ibu dalam memperoleh informasi dan pendidikan laktasi. Selain Posyandu, saat ini pemerintah tengah memperkenalkan program kelas ibu hamil yang mampu menyediakan informasi yang akurat dan tepat. Kelas Ibu Hamil ini merupakan sarana untuk belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka dalam kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu-ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan, perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit menular dan akte kelahiran (Kemenkes RI. 2011). Pelaksanaan program kelas ibu hamil di puskesmas masih dalam tahap pengembangan serta belum mencapai keberhasilan. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Kusbandiyah (2013) mengenai analisis implementasi program kelas ibu hamil oleh bidan puskesmas di Kota Malang menunjukkan baru 30% kelas ibu hamil Universitas Sumatera Utara yang sudah dilaksanakan dengan baik, 20% belum baik dan 50% sudah tidak menyelenggarakan kelas ibu hamil. Kecamatan Langsa Kota merupakan salah satu kecamatan yang berada di kota Langsa Profinsi Aceh yang memiliki 921 ibu hamil dengan ibu hamil resiko tinggi sebanyak 184 orang pada tahun 2015. Data K1 Kecamatan Langsa Kota mencapai 99%, sedangkan cakupan K4 sebanyak 95%. Ibu bayi baru lahir yang memberikan IMD pada bayi sebesar 70%, akan tetapi angka ini masih belum akurat dikarenakan proses IMD yang dilakukan belum sesuai dengan yang seharusnya. Bidan penolong persalinan langsung meletakkan bayi pada payudara ibunya, menurut persepsi bidan tersebut hal ini sudah dikatakan IMD. Berdasarkan profil Puskesmas Langsa Kota, Angka kematian neonatal yang terjadi pada tahun 2013 sebanyak 8 orang dan bayi lahir mati sebanyak 11 orang, sedangkan angka kematian ibu bersalin sebanyak 1 orang dan ibu nifas sebanyak 2 orang. Pada tahun 2014 angka kematian neonatal yang terjadi sebanyak 12 orang dan bayi lahir mati sebanyak 11 orang, sedangkan angka kematian ibu nifas 2 orang dan kematian ibu bersalin sebanyak 1 orang. Dalam usaha menurunkan angka kematian ibu dan bayi sejak tahun 2014 diwilayah Kecamatan Langsa Kota telah dimulai kegiatan kelas ibu hamil. Pelaksanaan Kelas Ibu Hamil perlu didukung oleh berbagai macam hal, diantaranya perlunya kesiapan bidan yang bertindak sebagai fasilitator serta peran kader sebagai pintu utama yang bersentuhan langsung dengan ibu-ibu di masyarakat yang memberikan sosialisasi mengenai program ini hingga memobilisasi agar mau Universitas Sumatera Utara mengikuti kelas ibu hamil. Saat ini dalam wilayah Kecamatan Langsa Kota telah memiliki 2 fasilitator kelas ibu hamil terlatih dan seluruh bidan desa terlatih APN. Pelaksanaan kelas ibu hamil di Kecamatan Langsa Kota dilakukan sebulan sekali pada setiap desa. Melihat latar belakang diatas dan merujuk salah satu indikator keberhasilan kelas ibu hamil adalah meningkatnya pengetahuan dan partisipasi ibu serta meningkatnya persentasi bayi yang mendapatkan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), maka dirasa perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui “Pengetahuan dan sikap ibu yang mengikuti kelas ibu hamil terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini di wilayah kecamatan Langsa Kota Tahun 2016”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan penelitian yaitu : “Bagaimana hubungan pengetahuan dan sikap ibu yang mengikuti kelas ibu hamil dengan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini di wilayah kecamatan Langsa Kota 2016”. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Hubungan pengetahuan ibu, sikap ibu dan sikap penolong persalinan dengan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini di wilayah kecamatan Langsa Kota Tahun 2016”. Universitas Sumatera Utara 1.3.2. Tujuan Kusus a. Memperoleh informasi mengenai gambaran praktik Inisiasi Menyusui Dini di wilayah Kecamatan Langsa Kota Tahun 2016. b. Memperoleh informasi mengenai gambaran pelaksanaan kelas ibu hamil di wilayah Kecamatan Langsa Kota Tahun 2016. c. Memperoleh informasi mengenai tingkat pengetahuan ibu hamil tentang IMD di wilayah Kecamatan Langsa Kota Tahun 2016. d. Memperoleh informasi mengenai sikap ibu hamil tentang IMD di wilayah Kecamatan Langsa Kota Tahun 2016. e. Memperoleh informasi mengenai sikap penolong persalinan terhadap IMD di wilayah Kecamatan Langsa Kota Tahun 2016. 1.4 Hipotesis Ada hubungan “Pengetahuan ibu, sikap ibu, dan sikap penolong persalinan terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini di wilayah kecamatan Langsa Tahun 2016”. 1.5 Manfaat Penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi program kesehatan ibu dan anak Dinas Kesehatan dalam upaya peningkatan pelaksanaan kegiatan kelas ibu hamil di Kota Langsa. b. Sebagai masukan dalam pelaksanaan program IMD, Khususnya di Kota Langsa. Universitas Sumatera Utara