PEMBERIAN TERAPI MUSIK TERHADAP SKALA NYERI AKIBAT PERAWATAN LUKA PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. D DENGAN PASCA OPERASI LAPARATOMI DI RUANG ANGGREK RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI DI SUSUN OLEH : DENNY WAHYU UTOMO NIM. P.13075 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 i PEMBERIAN TERAPI MUSIK TERHADAP SKALA NYERI AKIBAT PERAWATAN LUKA PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. D DENGAN PASCA OPERASI LAPARATOMI DI RUANG ANGGREK RSUD dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI KaryaTulisIImiah UntukMemenuhi Salah Satu SatunPersyaratan DalamMenyel Menyelesaikan esaikan Program Diploma III Keperawatan DI SUSUN OLEH : DENNY WAHYU UTOMO NIM. P.13075 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2016 i ii iii KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang maha kuasa karena berkat, rahmat dan karunianya, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian tehnik relaksasi musik terhadap skala nyeri akibat perawatan luka bedah pada asuhan keperawatan Tn.D dengan post operasi laparatomi diruang Anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri”. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi - tingginya kepada yang terhormat: 1. Ns. Meri Okatriani, M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk menimba di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ns. Alfyana Nadya R, M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Ns. Joko kismanto, S. Kep, selaku dosen pembimbing serta pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi penulis demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. 4. Ns. Wahyu Rima Agustin, M.Kep selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, iv perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Semua dosen program studi DIII Keperawtan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 6. Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. D di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 7. Hartanti S.Kep., selaku pembimbing lahan diruang Anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri yang telah memberikan banyak masukan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan asuhan keperawatan selama di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 8. Kedua orangtuakuyang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan do’a serta menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan DIII Keperawatan. 9. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberi motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. 10. Teman-teman Mahasiswa satu angkatan khususnya kelas 3B Program DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. v Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan . Amin Surakarta, 12 Mei 2016 Denny Wahyu Utomo NIM. P13075 vi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ..................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x BAB I BAB II BAB III PENDAHULUAN A. Latar belakang ........................................................................ 1 B. Tujuan Penulisan .................................................................... 5 C. Manfaat Penulisan .................................................................. 6 TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori ........................................................................ 8 1. Laparatomi......................................................................... 8 2. Nyeri .................................................................................. 12 3. Terapi Musik ..................................................................... 21 B. Kerangka teori ........................................................................ 27 METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek aplikasi riset ............................................................... 28 B. Tempat dan waktu .................................................................. 28 C. Media dan alat yang digunakan.............................................. 28 D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset ......................... 28 E. Alat ukur evauasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset .... 29 vii BAB IV BAB V BAB VI LAPORAN KASUS A. Identitas Klien ........................................................................ 30 B. Pengkajian .............................................................................. 30 C. Perumusan masalah keperawatan ........................................... 37 D. Perencanaan............................................................................ 39 E. Implementasi .......................................................................... 40 F. Evaluasi .................................................................................. 46 PEMBAHASAN A. Pengkajian .............................................................................. 50 B. Diagnosa keperawatan ........................................................... 54 C. Intervensi ................................................................................ 57 D. Implementasi .......................................................................... 60 E. evaluasi ................................................................................... 66 KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................ 71 B. Saran....................................................................................... 74 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP viii DAFTAR GAMBAR 1. Gambar 2.1 Skala Numeric Rating Scale (NRS) .................................. 19 2. Gambar 2.2 Verbal Deskriptif Scale (VDS)......................................... 20 3. Gambar2.3 Pain Asesment Behavioral Scale (PABS) ......................... 21 4. Gambar 2.4 Kerangka Teori ................................................................ 27 5. Gambar 3.1 Skala Numeric Rating Scale (NRS) ................................. 30 6. Gambar 4.1 Genogram ........................................................................ 31 ix DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Usulan Judul Lampiran 2 : Lembar Konsultasi Lampiran 3 : Surat Pernyataan Lampiran 4 : Jurnal Utama Lampiran 5 : Asuhan Keperawatan Lampiran 6 : Log Book Lampiran 7 : Lembar Observasi Lampiran 8 : SOP Terapi Musik Lampiran 9 : Format Pendelegasian Pasien Lampiran 10 : Daftar Riwayat Hidup x BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara kronologis, profesi terapis musik di negara maju seperti Amerika Serikat mulai berkembang selama perang dunia I. Ketika itu musik masih digunakan di rumah sakit bagi veteran perang hanya sebatas media untuk menyembuhkan gangguan trauma. Para veteran perang baik secara aktif maupun pasif melakukan aktivitas musik terutama sekali untuk mengurangi rasa sakit sehingga banyak dokter dan perawat menjadi saksi bagaimana musik sangat berperan dalam penanganan psikologis, fisiologis, kognitif, dan terutama sekali memperbaiki kondisi emosional (Harefa, dkk,2010). Terapi musik merupakan teknik yang sangat mudah dilakukan dan terjangkau, tetapi efeknya menunjukkan bahwa musik dapat mempengaruhi ketegangan atau kondisi rileks pada diri seseorang, karena dapat merangsang pengeluaran endorphine dan serotonin. Endorphine dan Serotonin merupakan sejenis morfin alami tubuh dan juga metanonin sehingga tubuh merasa lebih rileks pada seseorang yang mengalami stress (Djohan, 2009). Terapi musik adalah menggunakan musik atau elemen musik untuk meningkatkan, mempertahankan, serta mengembalikan kesehatan mental. Fisik, emosional, spiritual (Setyoadi, 2011, hlm.42). Penelitian Novita (2012, hlm.1) 1 2 tentang pengaruh terapi musik terhadap nyeri post operasi Open Reduction And Internal Fixation (ORIF) di RSUD DR.H. Abdul Moeloek Lampung di dapatkan kesimpulan ada pengaruh yang signifikan terapi musik terhadap nyeri pasien post operasi ORIF. Pertamax (2011) mengatakan bahwa terapi musik juga dapat memberikan efek fisiologis atau biologis pada seseorang, yaitu dengan stimulasi beberapa irama yang didengar, musik dapat menurunkan kadar kortisol yaitu hormon stres yang dapat berkontribusi terhadap tekanan darah tinggi, serta memperbaiki fungsi lapisan dalam pembuluh darah yang menyebabkan pembuluh darah dapat meregang sebesar 30%. Selain itu, Djohan (2006, hlm.24) juga memperkuat konsep diatas bahwa musik diyakini juga mempengaruhi sistem saraf parasimpatis yang meregangkan tubuh dan memperlambat denyut jantung, serta memberikan efek rileks pada organorgan.Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh santai secara fisik dan mental sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah nyeri. Para ahli yakin setiap jenis musik klasik seperti mozart dan beethoven dapat membantu mengurangi nyeri otot dan nyeri kronis (Muttaqin & Kustap, 2008, dalam Jona, 2013, hlm.28). Salah satu distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Musik terbukti menunjukan efek yaitu menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu(Guzzeta,1989 dalam Harefa, dkk, 2010). 3 Musik dan nyeri mempunyai persamaan penting yaitu bahwa keduanya bisa di golongkan sebagai input sensor dan output.Sensori input berarti bahwa ketika musik terdengar, sinyal di kirim ke otak ketika rasa sakit di katakan. Jika getaran musik dapat dibawa kedalam resonansi dekat dengan getaran rasa sakit akan di ubah dan dihilangkan.(Journal of the american assosiation for Musik therapist,1999 dalam harefa,dkk,2010). Sedangkan kebutuhan rasa aman dan nyaman adalah suatu keadaan yang membuat seseorang merasa nyaman,terlindungi dari ancaman psikologis,bebas dari rasa sakit terutama nyeri(purwanto,2008). Selama periode pasca perioperatif,proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kembali equilibrum fisiologi pasien, menghilangkan rasa nyeri dan pencegahan komplikasi.pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu kembali pada fungsin yang optimalnya dengan cepat,aman, dan senyaman mungkin(Purwanto,2008). Metode pelaksanaan nyeri mencakup pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Salah satu pendekatan farmakologis yang bisa di gunakan adalah analgetik golongan opioid, tujuan pemberian opioid adalah untuk meredakan nyeri dengan pemberian dari rute apa saja, efek samping opioid seperti depresi pernapasan, sedasi,mual muntah dan konstipasi. Efek samping tersebut harus dipertimbangkan dan di antisipasi(Smeltzer,2001). Metode pereda nyeri non-farmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Salah satu tindakan non-farmakologis adalah distraksi. Distraksi mengalihkan perhatian pasien ke hal yang lain dan dengan demikian 4 menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Purwanto,2008). Didapatkan 50% pasien pasca operasi merasakan nyeri dan 2-3 % diantaranya berakhir sebagai nyeri kronik. Penyebab tingginya kasus ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dalam menangani nyeri, takut dalam penggunaan opioid dan adanya pandangan bahwa wajar bila pasien dibedah merasakan nyeri.(Purwanto, 2008). Pembedahan adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini pada umumnya menggunakan sayatan. Setelah bagian yang ditangani ditampilkan dilakukan tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan (Sjamsuhidayat, 2005). Bedah atau operasi merupakan tindakan pembedahan cara dokter untuk mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin disembuhkan hanya dengan obat-obatan sederhana Pembedahan perut sampai membuka (Potter and Perry, 2006). selaput perut adalah laparatomi (Jitowiyono, 2010). Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Operasi laparatomy dilakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma abdomen. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang 5 diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut (Lestari, 2012). Hasil wawancara di rumah sakit umum daerah dr. Soediran mangun sumarso wonogiri bahwa manajemen nyeri di bangsal dilakukan dengan pemberian analgetik, yang apabila reaksi obat sudah habis pasien akan mulai merasakan nyeri. Perawat belum mengaplikasikan secara maksimal manajemen non farmakologi untuk mengatasi nyeri pasien. Manejemen nyeri non farmakologi yang mudah diaplikasikan untuk mengatasi nyeri pasien post operasi antara lain dengan terapi musik klasik. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan pengelolaan Asuhan Keperawatan yang dituangkan dalam Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Terapi Musik Terhadap Skala Nyeri Akibat Perawatan Luka Pada Asuhan Keperawatan Tn. D Dengan Pasca Operasi Laparatomi” B. Tujuan Penulis 1. Tujuan Umum Mengaplikasikan tindakan pemberian musik terhadap penurunan skala nyeri pada asuhan keperawatan Tn. D dengan post operasi laparatomi di Ruang Anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn. Ddengan post operasi laparatomi. 6 b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. D dengan post operasi laparatomi. c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada Tn. D dengan post laparatomi. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn. D dengan post laparatomi. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn. D dengan post operasi laparatomi. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian musik yang disukai terhadap intensitas nyeri pada Tn. D dengan post operasi laparatomi. C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Rumah Sakit Sebagai referensi bahwa terapi musik merupakan salah satu alternatif untuk menurunkan nyeri yang dapat diimplementasikan pada pasien post operasi laparatomi. 2. Bagi Insttusi Pendidikan Keperawatan Sebagai referensi dalam pengembangan dan peningkatan pelayanan keperawatan preservice. 3. Bagi Pasien Dapat membantu menurunkan nyeri dan memberikan pilihan dalam penanganan post operasi laparatomi dengan menerapkan terapi musik dalam kehidupan sehari-hari. 7 4. Bagi Penulis Sebagai referensi dalam mengaplikasikan ilmu dan meningkatkan pengalaman dalam mengelola nyeri di bidang Keperawatan. 5. Bagi Profesi Dapat menambah wawasan perawat tentang pentingnya mengetahui nyeri pada pasien postoperasi laparatomi, serta memberikan pengetahuan dan referensi bahwa terapi musik merupakan salah satu alternatif untuk menurunkan nyeri yang dapat diimplementasikan operasilaparatomi. pada pasien post BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Konsep Laparatomi a. Pengertian Laparatomi Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadi perlekatan usus dan biasanya terjadinya usus halus. Laparatomi dibutuhkan ketika kedaruratan perut. Operasi laparatomi dilakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat diarea abdomen, misalnya komplikasi abdomen post laporatomi adanya gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplemitis yang timbul 7 – 14 hari setelah post operasi (Jitowiyono, 2012). b. Etiologi Indikasi laparatomi adalah trauma abdomen (tumpul atau tajam) / ruptur hepar, peritonitis, pendarahan saluran pencernaan (Internal Bloding), sumbatan pada usus halus dan besar, dan pada masa abdomen (Jiyowiyono, 2010). kasus – kasus yang terdapat pada kasus laparatomi, yaitu : hematomi, gastrektomi, hepaterektomi, spenorofi / splenotomi, apendiktomi, kolostomi, fistulktomi atau fistulektomi dan obstruksi ilius (Jitowiyono, 2010). 8 9 c. Proses penyembuhan luka pasca laparatomi Proses penyembuhan luka asca operasi pada dasarnya adalah sama. Proses fisiologis penyembuhan luka meliputi : responinflamasi akut terhadap cidera, fase destruktif, fase ploriferatif, dan fase maturasi (Arisanty, 2012). Menurut Jitowiyono (2010), proses penyembuhan luka pasca laparatomi terdiri dari : 1) Fase pertama, berlangsung sampai hari ke 3. Batang leukosit banyak yang rusak / rapuh. Sel – sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut – serabut bening digunakan sebagai kerangka. 2) Fase kedua, dari hari ke 3 sampaihari ke 14. Pengisisan oleh kolagen seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 mingggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan. 3) Fase ketiga, sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus – menerus ditimbun, timbul jaringan – jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali, 4) Fase keempat, penyembuhan akan menyusut dan mengrekrut. d. Komplikasi pasca laparatomi 1) Gangguan perfusi jaringan sehbungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah 10 sebagai emboli ke paru – paru, hati , dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulasi dini. 2) Buruknya integritaskulit ehubung dengan luka infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme : gram positif. Perawatan luka hendaknya aseptik dan antiseptik. 3) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi – tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ – organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau evirasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah (Jitowiyono, 2010). e. Asuhan keperawatan post laparatomi 1) Pengkajian a) Respirasi Bagaimana saluran pernafasan, jenis pernafasan, bunyi pernafasan. b) Sirkulasi Nadi, tekanan darah, suhu, warna kulit dan refill kapiler c) Pernafasan : tingkat kesadaran 11 d) Balutan (1) Apakah ada tube, drainage ? (2) Apakah ada tanda – tanda infeksi? (3) Bagaimana penyembuhan luka? e) Peralatan Monitor yang terpasang dan cairan infus atau transfusi. f) Rasa nyaman Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien dan fasilitas ventilasi (sugeng, 2012). 2) Diagnosa keperawatan Menurut Nanda (NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013 ) pada kasus post laparatomi a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik b) Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri 3) Intervensi (1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik 1) Observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien 2) Kaji nyeri secara komperensif (PQRST) 3) Beri posisi nyaman pada pasien 4) Ajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan relaksasi musik terhadap skala nyeri. 12 (2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). 1) Monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan hari 2) Diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat 3) jelaskan pentingnya tidur yang adekuat 4) Kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri (3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri 1) monitor vital sign 2) Kaji kemampuan mobilasi pasien 3) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi keadaan ADL 4) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan 5) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan. 2. Konsep Nyeri a. Pengertian Definisi menurut IASP, 1979 (Intenational Association for Study of Pain) nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Tamsuri, 2007).Sedangkan menurut Jamie (2006), nyeri merupakan segala sesuatu yang dikatakan seseorang dan dirasakannya berhubungan 13 dengan rasa tidak nyaman.Berdasarkan Dari ketiga definisi yang terdapat diatas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang dan bersifat individual yang berkaitan dengan kerusakan jaringan baik aktual dan potensial yang menyangkut dua aspek yaitu aspek psikologis dan aspek fisiologis. a. Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi dan perilaku. Proses fisiologi terkait nyeri dapat disebut nosisepsi. Menurut Potter & Perry (2006) menjelaskan proses tersebut sebagai berikut: 1) Resepsi Semua kerusakan seluler yang disebabkan oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang menghasilkan nyeri.Stimulus tersebut kemudian memicu pelepasan mediator biokimia (misalnya prostaglandin, bradikinin, histamin, substansi P) yang mensensitisasi nosiseptor.Nosiseptor berfungsi untuk memulai transmisi neural yang dikaitkan dengan nyeri. 2) Transmisi Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian.Bagian pertama nyerimerambat dari bagian serabut perifer ke medulla spinalis.Bagian kedua adalah transmisi nyeri dari medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui jaras 14 spinotalamikus.Bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks sensori somatic tempat nyeri dipersepsikan.Impuls yang ditransmisikan tersebut mengaktifkan respon otonomi. b. Klasifikasi 1) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Awitan Menurut Tamsuri (2006) menjelaskan bahwa nyeri berdasarkan waktu kejadian dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan kronis. a) Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang dari 6 bulan.Nyeri akut biasanya menghilng dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuhkan. b) Nyeri kronis Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari 6 bulan.Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau bahkan persisten.Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik bagi penderitanya. 2) Klasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri, 2006). 15 a) Nyeri superfisial adalah nyeri yang timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam. b) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan iskemia. c) Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul. d) Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. e) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan/ bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan. f) Nyeri baying (fantom) adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsi berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada. 16 c. Respon Fisiologis Terhadap Nyeri 1) Stimulasi Simpatik : (nyeri ringan, moderat, dan superficial) a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate b) Peningkatan heart rate c) Vasokontriksi perifer, peningkatan BP d) Penigkatan nilai gula darah e) Diaphoresis f) Peningkatan kekuatan otot g) Dilatasi pupil h) Penurunan motilitas GI 2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam) a) Muka pucat b) Otot mengeras c) Penurunan HR dan BP d) Nafas cepat dan irregular e) Nausea dan vomitus f) Kelelahan dan keletihan d. Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri 1) Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak.Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.Pada lansia cenderung memendam nyeri yang 17 diallami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. 2) Jenis Kelamin Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi factor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri). 3) Kultur Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. 4) Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan bagaimana mengatasinya. 5) Perhatian Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri.Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri 18 yang menurun.Teknik relaksasi, guided imagerybmerupakan tehnik untuk mengatasi nyeri. 6) Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 7) Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri. 8) Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptif akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri. 9) Support keluarga dan sosial Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman-teman-teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan. e. Pengukuran Nyeri Menurut Potter & Perry (2006) alat ukur nyeri sebagai berikut: 1) Numeric Rating Scale (NRS) 19 Lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebeum dan setelah intervensi terapeutik.Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm. Gambar 2.1 Keterangan : 0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : menyeringai, secara dapat obyektif menunjukkan klien lokasi mendesis, nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. 10 : Nyeri sangat berat berkomunikasi, memukul. : pasien sudah tidak mampu lagi 20 2) Verbal Deskriptif Scale (VDS) Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan” Gambar 2.2 3) Pain Assesment Behavioral Scale (PABS) Alat ukur nyeri dengan rentang skala nyeri 0 : tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, >7: nyeri berat. 0 Tidak nyeri 1 2 3 4 Nyeri ringan Gambar 2.3 5 6 >7 Nyeri Nyeri sedang berat 21 3. Terapi Musik a. Definisi Terapi musik adalah terapi menggunakan musik yang tujuannya untuk meningkatkan atau memperbaiki berbagai kondisi, baik fisik, emosi, kognitif, maupun sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia (Pratiwi,2008). Menurut Potter & Perry (2005), terapi musik digunakan sebagai salah satu teknik untuk penyembuhan suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Elemen musik bisa mempengaruhi integrasi emosi individu terutama masa pengobatan, pemulihan, bahkan pada keadaan disabilitas.Musik adalah suatu komponen yang dinamis yang bisa mempengaruhi baik psikologis maupun fisiologis bagi pendengarnya (Wilgram, 2002; Anjali & Ulrich, 2007; Nilsson, 2009). New Zealand Society for MusicTherapy (NZSMT) (2005) menyatakan bahwa terapi musik telah terbukti efektifitasnya untuk diimplementasikan pada bidang kesehatan, karena musik bisa menurunkan kecemasan, nyeri, stress, dan menimbulkan mood yang positif. Selain itu musik juga melibatkan pasien dalam prosesnya, dan terbukti meningkatkan kepuasan pasien, mengurangi lama hari rawat di rumah sakit serta mengurangi biaya rumah sakit (NZSMT, 2005). b. Mekanisme Musik dihasilkan dari stimulus yang dikirim dari akson-akson serabut sensori ascenden ke neuron-neuron Reticular Activaty 22 System(RAS). Stimuli ini akan ditransformasikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati area korteks serebri, system limbic, corpus collosum, serta area sistem saraf otonom dan sistem neuroendokrin. Musik dapat memberikan rangsangan pada saraf simpatis dan parasimpatis untuk menghasilkan respons relaksasi.Karakteristik respons relaksasi yang ditimbulkan berupa penurunan frekuensi nadi, relaksasi otot, dan keadaan tidur (Tuner, 2010). Mekanisme musik dalam memberikan efek menurunkan nyeri telah dijelaskan dalam teori Gate Control, dimana kesan yang muncul bahwa transmisi dari hal yang berpotensi sebagai impuls nyeri bisa dimodulasikan oleh “cellular gating mechanism” ditemukan di spinal cord (Melzack, 1973; dalam Campbell, 2006). Gate Control Theory menyatakan bahwa sinyal nyeri yang ditransmisikan dari bagian yang mengalami cedera melalui reseptor-reseptor nerves di spinal, lalu sinaps-sinaps menyampaikan informasi ke otak (Bally, Campbell, Chesnick Tranmer, 2003; Nilssons, 2008). Saat gerbang (gate) tertutup, sinyal nyeri akan dicegah mencapai otak. Namun saat gerbang membuka, impus-impuls tersebut akanmampu mencapai otak dan menginformasikan pesan sebagai nyeri. Saat impuls sensori lain yang dikirim (musik). Efek musik pada sistem neuroendokrin adalah memelihara keseimbangan tubuh melalui sekresi hormon-hormon oleh zat kimia ke dalam darah, seperti ekskresi endorphin yang berguna dalam 23 menurunkan nyeri, mengurangi pengeluaran katekolamin, dan kadar kortikosteroid adrenal (Tuner, 2010). Musik juga dipercaya meningkatkan pengeluaran hormone endorfin (Wigram, 2002; Nilsson, 2009; Chiang, 2012).Endorfin memiliki efek relaksasi pada tubuh (Potter & Perry, 2006).Endorfin juga sebagai ejektor dari rasa rileks dan ketenangan yang timbul, midbrain mengeluarkan Gama Amino Butyric Acid (GABA) yang berfungsi menghambat hantaran impuls listrik dari satu neuron ke neuron lainnya oleh neurotransmitter di dalam sinaps.Selain itu, midbrain juga mengeluarkan enkepalin dan beta endorfin.Zat tersebut dapat menimbulkan efek analgesia yang akhirnya mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri pada pusat persepsi dan interpretasi sensorik somatic di otak.Sehingga efek yang bisa muncul adalah nyeri berkurang (Guyton & Hall, 2008). c. Efektivitasnya Musik merupakan teknik distraksi efektif yang dapat menurunkan intensitas nyeri, keadaan stress, dan tingkat kecemasan dengan cara mengalihkan perhatian seseorang dari perasaan nyeri yang dirasakan. Menurut Kemper & Denhaueur (2005), musik dapat memberikan efek pada peningkatan kesehatan, mengurangi stress, dan mengurangi nyeri. Beberapa penelitian telah membuktikan, bahwa terapi musik efektif dalam menurunkan nyeri. Penelitian Li, Yan, Zhou, Dang, Wang, & Zhang (2011) dan penelitian Turner, Wilson, Pryor, Boyd, & Privkett 24 (2011) telah membuktikan, bahwa aterapi musik efektif dalam menurunkan nyeri pada wanita paska mastektomi. Arslan, Ozer dan Ozyurt (2007) menjelaskan bahwa efek yang ditimbulkan musik adalah menurunkan stimulus sistem syaraf simpatis.Respon yang muncul dari penurunan aktifitas tersebut adalah menurunnya aktifitas adrenalin, menurunkan ketegangan neuromuskular, meningkatkan ambang kesadaran. Indikator yang bisa diukur dengan penurunan itu adalah menurunnya heart rate, respiratory rate, metabolicrate, konsumsi oksigen menurun, menurunnya ketegangan otot, menurunnya level sekresi epinefrin, penurunan asam lambung, meningkatnya motilitas, penurunan kerja kelenjar keringat, penurunan tekanan darah (Bally, Campbell, Chesnick, & Tranmer, 2003; Dunn, 2004; Good, Anderson, Ahn, Cong & Stantock-Hicks, 2005; Arslan, Ozer & Ozyurt, 2007). Tse, Chan, dan Benzie (2005) melakukan studi tentang efek terapi musik pada nyeri post operasi, denyut nadi, tekanan darah sistolik, dan penggunaan analgesik pada pasien pembedahan nasal di Polytehnic University Hong Kong dengan melibatkan 57 pasien. Musik diberikan selama 24 jam periode post operasi. Skala nyeri dinilai dengan VerbalRating Scale (VRS). Penurunan nyeri yang signifikan terjadi pada kelompok intervensi (P-value = 0,0001). Kelompok intervensi juga menunjukkan hasil denyut nadi dan tekanan darah sistolik yang 25 menurun, serta konsumsi analgesik yang lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. d. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Teknik Relaksasi Musik pada prinsipnya adalah sebagai berikut. 1) Persiapan Alat Alat disiapkan sesuai yang dibutuhkan pada saat akan dilakukan pelatihan relaksasi pada pasien, seperti tape, compact disk, MP3, MP4, MP5, Ipod, dan portable speaker. Pilih salah satu dari alat tersebut sesuai dengan keadaan pasien dan ruangan. 2) Persiapan pasien Pasien disiapkan untuk memilih musik mana yang akan digunakan dalam terapi musik tersebut. 3) Nyalakan MP3, jangan lupa cek baterai, jangan sampai musiknya berhenti pada saat diperdengarkan kepada pasien 4) Dekatkan MP3 ke dekat pasien 5) Sebelum diperdengarkan kepada pasien, cek terlebih dahulu volume musiknya jangan sampai terlalu keras sehingga akan memekakkan telinga pasien atau terlalu pelan volumenya 6) Pasang earphone Bantu pasien untuk memasangkan earphone pada kedua telinganya. Atur posisi earphone pada kedua telinga pasien tersebut, jangan 26 sampai pasien merasa tidak nyaman dengan terpasangnya alat tersebut 7) Atur posisi Posisikan pasien dalam posisi senyaman mungkin. Hal ini dilakukan agar pasien tidak merasa tegang atau kelelahan saat terapi musik dilakukan 8) Lemaskan otot-otot 9) Otot-otot yang lemas membantu tercapainya keadaan relaksasi 10) Anjurkan pasien menarik napas melalui hidung dan mengeluarkan napas secara perlahan melalui mulut 11) Lakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan kepada pasien Evaluasi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana intervensi Relaksasi Musik yang diberikan kepada pasien dapat menurunkan rasa nyeri dan cemasnya. - Bereskan pasien -Bereskan peralatan. 27 B. Kerangka Teori - Trauma abdomen Massa abdomen Apendiksitis Internal blooding Laparatomi Nyeri Farmakologi Non farmakologi Pemberian Terapi Musik Kerusakan Integritas Resiko Infeksi Distraksi Bimbingan Antisipasi Mengurangi Mediator Kimiawi Menghambat prostagladin Menembus sel Dibawa Ke Korteks Sensori Somatik: Persepsi Meminimalkan Transmisi Saraf Nyeri (Serabut C,Serabut ADelta) ke SST Strategi Kognitif Untuk Mengurangi Nyeri Nyeri Berkurang (Andarmoyo, 2013; Dongoes, 2000, Jitowiyono, 2010; Mubarak, 2007) BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset Tindakan dilakukan pada pasien post operasi laparatomi di Ruang Anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri. B. Tempat dan Waktu 1. Tempat : Ruang Anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri 2. Tanggal : 4 Januari 2016 - 16 Januari 2016 C. Media dan Alat yang Digunakan 1. Musik yang disukai 2. Handphone 3. Earphone 4. Numerical Rating Scale (NRS) D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset Fase Orientasi : 1. Memberi salam atau menyapa klien. 2. Memperkenalkan diri. 3. Menjelaskan tujuan tindakan. 4. Menjelaskan langkah prosedur. 5. Menanyakan persetujuan atau kesiapan klien. 28 29 Fase Kerja : 1. Menyiapkan alat (alat ukur nyeri Numerical Rating Scale (NRS), earphone dan handphone). 2. Mengatur posisi yang nyaman menurut pasien sesuai kondisi pasien. 3. Melakukan pengukuran nyeri pada klien. 4. Meminta klien untuk memakai earphone. 5. Mendengarkan terapi musik klasik selama 10 menit (pemberian terapi musik klasik 6 jam setelah pemberian obat analgetik). 6. Melakukan evaluasi nyeri pada klien. 7. Merapikan alat. Fase Terminasi : 1. Mengevaluasi tindakan. 2. Menyampaikan RTL. 3. Berpamitan. 4. Dokumentasi. E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset Alat ukur yang digunakan dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien post operasi laparatomiadalah alat ukur nyeri skala angka yaitu Numerical Rating Scale (NRS). Gambar 3.1 Numeric Rating Scale (NRS) (Sumber :www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html) BAB IV LAPORAN KASUS Asuhan keperawatan Tn.D dengan post laparatomi dengan indikasi appedisitis Rumah Sakit Umum dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri.Laporan kasus meliputi pengkajian, perumusan masalah keperawatan, perencanaan keperawatan, dan evaluasi keperawatan. A. Pengkajian Hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 5 januari 2016 pukul 08.00 WIB di bangsal Anggrek Rumah Sakit Umum Soediran Mangunsumarso Wonogiri di dapatkan data secara alloanamnese dan autoanamnese. Data yang didapatkan pasien bernama Tn.D, berjenis kelamin laki-laki dengan umur 22 tahun, berstatus belum menikah, beragama islam, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaan swasta dan bertempat tinggal di Ngemplak,Jatinom,Sidoharjo diagnosa medis appendiksitis, nomor registrasi 529852. Identitas penanggung jawab adalah Tn.D berumur 32 tahun, pendididkan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA) dan pekerjaan wiraswasta, alamat Ngemplak,Jatinom,Sidoharjo, hubungan dengan pasien adalah kakak. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 01 Januari 2016 jam 13.30 WIB, dengan keluhan utama pasien merasakan nyeri perut kanan bagian bawah. Riwayat penyakit sekarang yaitu pasien mengatakan dengan keluhan pusing,perut kram,letih,lesu,mual badan terasa lemas, lesu dan nyeri perut bagian kanan bawah terasa cenut-cenut 2 hari sebelum masuk rumah sakit 30 50 (30 Desember 2015). Pada tanggal 01 Januari 2016 pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dan langsung di pindah di bangsal Anggrek. Dan hasil pemeriksaan tanda-tanda tanda vital pasien TD : 115/78 mmhg, N : 80x/menit, S : 36,5 C, RR : 20x/menit dan kemudian diberikan infus RL 20 tpm. Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan belum pernah mengalami penyakit seperti appendiksitis. Pasien mengatakan belum pernah di rawat inap dan baru pertama kali masuk Rumah Sakit. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat dan makanam,dari riwayat operasi tidak ada atau belum pernah. Hasil pengkajian riwayat keluarga , pasien dan keluarga mengatakan tidak mempunyai penyakit keturun keturunan an seperti hipertensi, HIV, hepatitis, jantung, DM dan asma. Genogram: Gambar 4.1 51 Keterangan : : Laki-laki : Perempuan : Pasien X : Meninggal : Hubungan : Garis keturunan : Tinggal satu rumah Hasil genogram didapatkan Tn.D adalah anak kedua dari tiga bersaudara kandung. Tn. T tinggal satu rumah dengan ayah dan ibunya. Hasil dari riwayat kesehatan lingkungan yaitu pasien mengatakan tempat tinggal dilingkungan yg masih asri, bersih dan jauh dari polusi udara dan ventilasi udara dalam rumah cukup dan menjaga kebersihan lingkungan. Hasil dari pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan yaitu pasien dan keluarga mengatakan jika terdapat anggota keluarga yang sakit selalu di bawa ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Hasil dari pola nutrisi dan metabolisme tubuh didapatkan untuk pola makan sebelum sakit 3x sehari dengan nasi ,sayur, lauk dan buah 1 porsi habis serta tidak ada keluhan dan selama sakit pasien makan 3x sehari dengan bubur, sayur, lauk dan ½ porsi habis serta tidak ada keluhan. Hasil untuk pola minum sebelum sakit pasien minum kira-kira sekitar 6 gelas/100 cc dengan air putih dan tidak ada keluhan, pola minum selama sakit pasien minum sekitar 600cc perhari dengan air putih dan teh manis dan tidak ada keluhan. 52 Hasil pengkajian pola eliminasi, diperoleh dari BAK dan BAB. Pada pola BAK didapatkan pasien mengatakan sebelum sakit frekuensi BAK 5 kali dalam sehari dengan warna kuning dan tidak ada keluhan, selama sakit frekeunsi BAK 3 dalam sehari demgan warana kunimg dan tidak keluhan. Eliminasi BAB pasien mengtakan sebelum sakit frekuensi BAB 1 kali dalam sehari dengan konsistensi lunak berbentuk dan berwarna kuning serta tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan belum pernah BAB selama di rawat di rumah sakit. Hasil pengkajian pola aktivitas dan latihan pasien mengatakan sebelum sakit dapat melakukan aktivitas secara mandiri, selama sakit pasien hanya bisa dibantu dengan orang lain seperti toileting, makan/minum, berpindah, berpakaian , mobilitas ditempat tidur, keterangan: 0: mandiri,1: dengan alat, 2: di bantu orang lain, 3: dibantu orang lain dan alat, 4: tergantung total. Hasil pengkajian pola istirahat tidur didapatkan pada saat sebelum sakit mengatakan setiap tidur rata-rata 6-8 jam tidur malam dan sekitar 1 jam tidur siang, tidak ada gangguan tidur. Selama sakit didapatkan hasil pengkajian, pasien mengatakan tidur kurang lebih selama 4 jam tidur malam. Adapun tanda-tanda kurang tidur turunnya konsentrasi, menguap, mudah lelah, mudah ngantuk di siang hari dan nafsu makan menurun. Hasil pengkajian pola kognitif-perseptual didapatkan data sebelum sakit pasien mengatakan tidak ada gangguan dalam hal penglihatan maupun alat indra lainnya. Selama sakit pasien dapat melihat dan berbicara dengan baik dan pasien mengeluh merasakan nyeri P: pasien mengatakan nyeri bertambah 53 saat bergerak, Q: nyeri seperti ditekan, R: nyeri pada bagian luka post operasi laparatomi,S: skala nyeri 6, T: nyeri hilang timbul kira-kira 10menit. Hasil pengkajian pola persepsi konsep diri didapatkan pasien mengatakan sebelum dan selama sakit, harga diri pasien, pasien mengatakan sudah melakukan yang terbaik dan merasa berharga berada dilingkungan yang di sayangi, gambaran diri pasien mengatakan menyukai semua anggota ditubuhnya, ideal diri pasien mengatakan ingin menjadi seorang yang baik dan membahagiakan kedua orang tua, identitas diri pasien mengatakan berjenis kelamin laki-laki, usia 22 tahun, belum menikah, bekerja sebagai wiraswasta, pada peran diri sebagai anak nomor 2 dan membantu kebutuhan orang tua. Hasil pengkajian pola hubungan peran paada saat sebelum dan selama sakit pasien mengatakan hubungan dengan keluarganya berjalan harmonis dan lingkungan sekitar. Hasil pengkajian pola seksual reproduksi didapatkan hasil pasien mengatakan berjenis kelamin laki-laki berusia 22 tahun dan sebagai wiraswasta. Hasil pengkajian pola mekanisme koping didapatkan hasil sebelum dan selama sakit pasien mengatakan jika pasien ada masalah di dalam keluarga pasien selalu bercerita kepada seluruh anggota keluarga dan saat mengambil keputusan di lakukan secara bermusyawarah. Hasil pengkajian pola nilai dan keyakinan dilaporkan pada saat sebelum dan selama sakit pasien mengataka beargama islam, selalu beribadah dan sholat 5 waktu. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data kesadaran pasien composmentis, GCS E4,M6,V5 tekanan darah: 115/78 mmhg, nadi dengan frekuensi 54 80x/menit, irama reguler, kekuatan atau isi kuat, pernafasan dengan frekuensi 20x/menit, berirama reguler, suhu: 36,5 C. Kulit kepala pasien bersih, tidak ada ketombe dan tidak ada luka, rambut bersih, sedikit ikal, warna hitam, bentuk kepala mesocepal. Pemeriksaan mata pasien didapatkan palbebra tidak udem, konjungtiva kanan kiri tidak anemis, warna merah muda, sklera kanan kiri tidak ikterik, warna putih, pupil isokor kanan kiri, diameter kanan kiri simetris, reflek cahaya kanan kiri pupil mengecil saat ada cahaya dan didekati cahaya dan membesar saaat cahaya menjauh, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung simetris, tidak ada polip, tidak ada jejas, mulut simetris, bersih, tidak ada jejas dan sariawan, bibir sedikit kering, telinga simetris tidak ada sekret dan tidak menggunakan alat bantu pendengaran. Gigi bersih tidak ada caries, leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada kaku kuduk. Hasil pemeriksaan paru-paru didapatkan data inspeksi pengembangan dada kanan kiri sama, tidak ada jejas, palpasi vocal premitus kanan kiri sama, perkusi suara sonor kanan kiri, dan auskultasi secara vasikuler dan irama teratur. Hasil pemeriksaan jantung didapatkan data inspeksi ictus cordis tidak nampak, palpasi ictus cordis terasa di ics 5, perkusi pekak, auskultasi bunyi jantung 1 dan 2 sama, tidak ada suara tambahan. Hasil pemeriksaan abdomen didapatkan data hasil inspeksi tidak ada yang luka perut simetris, tidak ada jejas, terdapat umbilicus, auskultasi terdengar bising usus normal 12 kali per menit, perkusi pasien merasakan nyeri pada perut bagian kanan bawah, palpasi kuadran I redup, II tympani, III tympani, IV redup. 55 Hasil pemeriksaan genetalia pasien bersih, tidak terpasang DC, rectum bersih, tidak ada hemoroid. Hasil pemeriksaan pada ekstremitas atas didapatkan hasil kekuatan otot kanan dan kiri normal skala 5 kanan kiri, ROM kanan kiri normal skal 5 kanan dan kiri, tidak ada perubahan bentuk tulang, perbaan akral hangat, capilary refile kann kiri kurang 2 detik. Hasil pemeriksaan ekstremitas bawah didapati hasil kekuatan otot kanan dan kiri normal dengan skala 5, ROM kanan kiri normal skala 5, perubahan bentuk tulang tidak ada, perubahan akral hangat, capilary refile kurang 2 detik. Pemeriksaan penunjang pada tanggal 02 Januari 2016 didapatkan hasil laboratorium WBL 10,9 k/ul (normal 4,1-10,9), LYM 1,2-10,7%L (normal 0,6-4,1), MID 0,8-7,6% m (normal 0,0-1,8), GRAND 8,9-81,7% g (normal 2,0-7,8), RBC 5,39 m/ul (normal 4,20-6,30), HGB 15,7 g/dl (normal 12,018,0), HCT 48,2% (normal 37,0-31.0), MCV 89,4 fl (normal 80,0-97,0), MCH 29,1 g/dl (normal 26,0-32,0), MCHV 32,69 g/dl (normal 31,0-36,0), RDW 14,8% (normal 11,5-14,5), PLT 168 k/ul (normal 140-440), MPV 7,7 fl (normal 0,0-99,8), Hasil pemeriksaan data appendiksitis pasien dengan nomor pemeriksaan 528493001701 pada tanggal 02 Januari 2016 USG abdomen hepar bentuk tidak membesar, parenchym homogen, permukaan rata,, sudut lancip, tepi reguler, tidak tampak lesi, duktus intra hepatica normal, ducktus ekstra hepatica normal, vena porta normal, vena hepotica norrmal. V.fellea tidak membesar, tidak tampak batu, tidak tampak AS,tidak tampak doble layer, tidak tampak massa. Pancreas tidak membesar, tidak tamapak kalsifikasi, tidak 56 tampak nodul, duct pancreticus (N), lien tidak membesar, vena lienalis normal, tidak tampak kalsifikasi, tidak tampak massa. Para aorta tidak nampak massa, tidak tampak kalsifikasi, ren kanan tidak membesar, tidak nampak batu, tidak nampak AS, PCS normal dan ren kiri tidak membesar, tidak tampak batu, tidak tampak AS, PCS normal. V.V tidak nampak batu, tidak tampak AS, hasil dari data ini di dapatkan suspek apendicitis. Terapi yang diberikan pada tanggal 05 Januari 2016 kepada pasien adalah ranger laktat 500ml/20 tpm untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit, injeksi cefriaxon 1gr/12jam sebagai pencegah infeksi, Ranitidine 25mg/12jam sebagai obat untuk anti nyeri, Norages 1000mg/8jam sebagai analgesik non narkotik dan meringankan nyeri akut pasca operasi. B. Rumusan Masalah Keperawatan Perumusan masalah di tegakkan berdasarkan pengkajian yang di lakukan pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 08.00 WIB dan didapatkan data dari data subyektif dan data obyektif. Data subyektif didapatkan pasien mengatakan merasa nyeri P: pasien mengatakan nyeri saat digerakkan karena pasca operasi laparatomi appendiksitis, Q: pasien mengatakan nyeri seperti di tekan, R: pasien mengatakan nyeri pada perut kanan bawah, S: pasien mengatakan skala nyeri 6, T: pasien mengatakan nyeri hilang timbul kira-kira 8-10 menit. Data obyektif didapatkan data pasien terlihat ekspresi wajah meringis menahan nyeri, terdapat luka bekas operasi laparatomi appendiksitis, hasil USG menunjukkan terjadinya appendiksitis dan tanda-tanda vital pasien TD: 57 115/78 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Sehingga masalah keperawatan yang timbul adalah nyeri aku berhubungan dengan agen cidera fisik. Data yang kedua didapatkan dari data subyektif pasien mengatakan susah tidur pada malam hari, dalam 1x24 jam pasien hanya tidur kira-kira hanya 4 jam, dan pasien merasakan badan pegal2 dan mudah lelah. Data obyektif didapatkan hasil pasien tampak lesu, wajah pucat, mata sayup, konsentrasi menurun, mudah lelah, mudah ngantuk di siang hari dan nafsu makan menurun. Sehingga diambil masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri). Data yang ketiga didapatkan dari data subyektif pasien mengatakan semua aktifitas di rumah sakit dibantu dengan orang lain meliputi makan/minum, toileting, berpindah, mobilitas tempat tidur. Data obyektif pasien terlihat lemas, aktfitas dan latihan pasien tampak di bantu orang lain, sehingga didapatkan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Prioritas diagnosa keperawatan: 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik 2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri) 3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri 58 C. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, penulis mempunyai tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mengungkapkan nyeri berkurang dengan skala 3, pasien mampu mengontrol nyeri, pasien mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) dan tanda-tanda vital pasien dalam rentang normal TD: 120/80 mmHg, N: 90x/menit, RR: 24x/menit, S: 36,5 C. Rencana tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan tersebut adalah O : observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, kaji skala nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, ajarkan tehnik relaksasi Terapi Musik yang disukai, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri dengan tindakan farmakologi. Masalah keperawatan yang kedua adalah gangguan pola tidur berhubungan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), penulis mempunyai tujuan setelah di lakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan gangguan pola tidur pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil jumlah jam tidur pasien dalam batas normal 6-8 jam, perasaan segar setelah bangun tidur, tidak merasakan ngantuk. Rencana tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan tersebut adalah O : monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. 59 Masalah keperawatan yang ketiga adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, penulis mempunyai tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan mobilitas fisik pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil meningkatkan aktifitas fisik pasien, pasien mampu melakukan aktifitas secara mandiri, memverbalisasikan perasaa dalam meningkatkan kekuatan dalam kemampuan berpindah. Rencana tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan tersebut adalah O: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. D. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan atau implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaaan. Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 08.30 WIB yaitu mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di periksa keadaan umum dan tanda-tanda vital, respon obyektif pasien terlihat lemas dengan TD: 115/78 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Pukul 08.40 WIB mengobsevasi nyeri pasien secara komperehensif (PQRST), respon subyektif pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi 60 appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 6, nyeri hilang timbul kira-kira 8-10 menit. Respon obyektif pasien terlihat meringis menahan nyeri. Pukul 08.50 WIB memberikan posisi yang nyaman pada pasien, respon suyektif pasien mengatakan nyaman dengan berbaring atau tiduran, respon obyektif pasien nyaman dengan keadaan berbaring. Pukul 09.00 WIB memberikan dan mengajarkan tehnik relaksasi terapi musik yang disukai, respon subyektif pasien mengatakan nyeri berkurang ketika melakukan relaksasi terapi musik, respon obyektif pasien terlihat melakukan relaksasi terapi musik yang disukai nyeri berkurang menjadi skala 6. Pukul 09.15 WIB mengkolaborasikan dalam pemberian analgetik (cefriaxon 1gr/12jam, ranitidin 30mg/12jam, norages 1000mg/8jam). Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diinjeksi, respon obyektif analgetik sudah di injeksi, tidak ada tanda-tanda alergi pada tubuh pasien. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi laparatomi akibat nyeri) pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 10.45 WIB yaitu memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari. Respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dimonitor kebutuhan tidurnya, respon obyektif pasien terlihat lelah tidur dalam sehari kira-kira hanya 4 jam. Pukul 11.00 WIB mendiskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, respon subyektif pasien dan keluarga mengatakan bersedia diajak diskusi. Respon obyektif pasien dan keluarga tampak mengerti apa yg diskusikan tentang tingkat pola istirahat. 61 Pukul 11.30 WIB menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, respon subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan penjelasan, respon obyektif pasien terlihat memahami apa yang dijelaskan oleh perawat tentang pentingnya tidur yang adekuat. Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 13.00 WIB, mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan memberikan bantuan jika di perlukan, respon subyektif pasien mengatakan bersedia melakukan untuk merubah posisi, respon obyektif pasien terlihat melakukan gerakan seperti memiringkan badan dan melakukan gerakkan semifowler. Pukul 13.30 WIB mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia di berikan tindakan oleh perawat, respon obyektif pasien tamapak lemas dan peawat membantu pasien saat mobilisasi ditempat tidur, makan/minum dan toileting. Tindakan keperawatan pada diagonsa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 08.00 WIB. Mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di periksa keadaan umum dan tanda-tanda vital, respon obyektif pasien terlihat lemas dengan TD: 110/75 mmHg, N: 82x/menit, RR: 20x/menit, S: 36 C. Pukul 08.30 WIB mengobservasi nyeri secara komperehensif (PQRST), respon subyektif pasien mengatakan nyeri sat di gerakkan (post operasi laparatomi), nyeri seperti di 62 tekan, nyeri pada perut kanan bagian bawah, dengan skala nyeri 5, nyeri hilang timbul kira-kira selama 8 menit. Respon obyektif pasien terlihat meringis menahan nyeri. Pukul 08.40 WIB memberikan posisi yang nyaman pada pasien, respon suyektif pasien mengatakan nyaman dengan berbaring atau tiduran, respon obyektif pasien nyaman dengan keadaan berbaring. Pukul 09.00 WIB mengajarkan tehnik relaksasi terapi musik yang disukai, respon subyektif pasien mengatakan nyeri berkurang ketika melakukan relaksasi terapi musik yang disukai, respon obyektif pasien tampak melakukan relaksasi terapi musik yang disukai nyeri berkurang menjadi skala 4.Pukul 09.10 WIB mengkolaborasikan dalam pemberian analgetik (cefriaxon 1gr/12jam, ranitidin 30mg/12jam, norages 1000mg/8jam). Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diinjeksi, respon obyektif analgetik sudah di injeksi, tidak ada tanda-tanda alergi pada tubuh pasien. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi laparatomi akibat nyeri) pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 10.00 WIB yaitu memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari. Respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dimonitor kebutuhan tidurnya, respon obyektif pasien terlihat lemas sudah bisa tidur malam meski sering terbangun.Pukul 11.00 WIB menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, respon subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan penjelasan, respon obyektif pasien terlihatmemahami apa yang dijelaskan oleh perawat tentang pentingnya tidur yang adekuat. 63 Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada tanggal 06 Januari 2016 pukul 13.00 WIB, mengobservasi kemampuan pasien dalam mobilisasi. Respon subyektif pasien mengatakan sudah mampu mobilisasi di tempat tidur, respon obyektif pasien sudah mampu melakukan memiringkan badan dan semi fowler secara mandiri. Pukul 13.30 WIB mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia di berikan tindakan oleh perawat, respon obyektif pasien terlihatsudah bisa melakukan mobilitas ditempat tidur mandiri, makan/minum secara mandiri dan toileting masih di dampingi. Tindakan keperawatan pada diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 09.00 WIB yaitu mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien. Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk di periksa keadaan umum dan tanda-tanda vital, respon obyektif pasien tampak lemas dengan TD: 120/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Pukul 09.30 WIB mengobsevasi nyeri pasien secara komperehensif (PQRST), respon subyektif pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 5 , nyeri hilang timbul kira-kira 5 menit. Respon obyektif pasien terlihat tenang karena merasakan nyeri berkurang. Pukul 10.00 WIB memberikan posisi yang nyaman pada pasien, respon suyektif pasien mengatakan nyaman dengan berbaring atau tiduran, respon 64 obyektif pasien nyaman dengan keadaan berbaring. Pukul 11.00 WIB mengajarkan tehnik relaksasi terapi musik yang disukai, respon subyektif pasien mengatakan nyeri berkurang ketika melakukan relaksasi terapi musik yang disukai, respon obyektif pasien terlihat melakukan relaksasi terapi musik yang disukai nyeri berkurang menjadi skala 3. Pukul 13.30 WIB mengkolaborasikan dalam pemberian analgetik (cefriaxon 1gr/12jam, ranitidin 30mg/12jam, norages 1000mg/8jam). Respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diinjeksi, respon obyektif analgetik sudah di injeksi, tidak ada tanda-tanda alergi pada tubuh pasien. Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri) pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 13.40 WIB yaitu memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari. Respon subyektif klien mengatakan bersedia untuk dimonitor kebutuhan tidurnya, respon obyektif pasien tampak segar sudah bisa tidur malam kira-kira 5-6 jam. Pukul 14.00 WIB menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, respon subyektif pasien mengatakan bersedia diberikan penjelasan, respon obyektif pasien tampak memahami apa yang dijelaskan oleh perawat tentang pentingnya tidur yang adekuat. Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada tanggal 07 Januari 2016 pukul 14.10 WIB, mengobservasi kemampuan pasien dalam mobilisasi. Respon subyektif pasien mengatakan sudah mampu mobilisasi di tempat tidur, respon obyektif pasien 65 sudah mampu melakukan memiringkan badan dan merubah posisi di tempat tidur. Pukul 14.20 WIB mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, respon subyektif pasien mengatakan bersedia di berikan tindakan oleh perawat, respon obyektif pasien tampak sudah bisa melakukan mobilisasi ditempat tidur, makan/minum secara mandiri dan toileting secara mandiri. E. Evaluasi Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian di evaluasi pada tanggal 05 Januari 2016 pukul 14.00 WIB nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 6, nyeri hilang timbul kira-kira 10 menit. Ekspresi pasien terlihat meringis menahan nyeri dengan TD: 115/78 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Masalah keperawatan nyeri belum teratasi, lanjutkan intervensi: observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, observasi nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, jarkan relaksasiterapi musik yang disukai, kolaborasi dalam pemberian analgetik. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 05 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). Pasien mengatakan susah tidur, dalam sehari kira-kira tidur hanya 4 jam, pasien terlihat lesu, wajah pucat, mata sayup, 66 konsentrasi menurun, mudah lelah, mudah ngantuk di siang hari dan nafsu makan menurun, masalah keperawatan belum teratasi, lanjutkan intervensi: monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 05 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, toileting masih dibantu orang lain, pasien tampak lemas, mobilisassi masih di bantu, masalah keperawatan belum teratasi, lanjutkan intervensi: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 06 januari 2016 pukul 14.00 WIB nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 5, nyeri hilang timbul kira-kira 8 menit. Ekspresi pasien tampak meringis menhan nyeri dengan TD: 110/75 mmHg, N: 82x/menit, RR: 20x/menit, S: 36C. Masalah keperawatan teratasi sebagian, lanjutkan intervensi: observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien, observasi nyeri secara 67 komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, ajarkan relaksasi terapi musik yang disukai, kolaborasi dalam pemberian analgetik. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 06 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). Pasien mengatakan sudah bisa tidur malam meski sering terbangun, pasien tampak lesu, wajah, konsentrasi menurun, mudah lelah, nafsu makan menurun, masalah keperawatan teratasi sebagian, lanjutkan intervensi: monitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat, kolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 06 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien mengatakan sudah bisa melakukan mobilitas tempat tidur, makan/minum secara mandiri, dan toileting masih di dampingi.Masalah keperawatan teratasi sebagian, lanjutkan intervensi: kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 07 januari 2016 pukul 14.00 WIB nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Pasien mengatakan nyeri ketika saat digerakkan ( post operasi laparatomi appendiksitis), nyeri 68 seperti ditekan, nyeri pada bagian perut kanan bawah, dengan nyeri skala 3, nyeri hilang timbul kira-kira 5 menit. Ekspresi pasien tampak meringis menhan nyeri dengan TD: 120/80 mmHg, N: 80x/menit, RR: 20x/menit, S: 36,5 C. Setelah di lakukan tindakan relaksasi terapi musik yang disukai masalah nyeri pasien teratasi dengan skala nyri menjadi 3. Intervensi dihentikan Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 07 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri). pasien tampak segar sudah bisa tidur malam kira-kira 5-6 jam. Masalah keperawatan teratasi, intervensi dihentikan. Tindakan evaluasi keperawatan pada tanggal 07 januari 2016 pukul 14.00 WIB pada diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Pasien sudah bisa mobilitas ditempat tidur, makan/minum secara mandiri dan toileting secara mandiri. Masalah keperawatan teratasi, intervensi dihentikan. BAB V PEMBAHASAN Bab ini penulis akan membahas tentang pemberian teknik relaksasi musikterhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan Tn. D dengan post laparatomi di ruang anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. disamping itu penulis juga akan membahas tentang kesesuaian dan kesenjangan antara teori dan kenyataan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. 1. Pengkajian Langkah pertama dari proses keperawatan yaitu pengkajian, dimulai perawat dengan menerapkan pengetahuan. Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verikasi dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua langkah pengumpulan data yaitu pengumpulan data primer (klien) dan sumber sekunder keluarga, kesehatan, dan analisis data sebagai dasar unutuk diagnosa keperawatan (Potter dan Perry, 2005). Pengkajian yang dilakukan penulis meliputi pengkajian identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan 11 pola gordon serta pemeriksaan fisik head to toe (Potter dan Perry, 2005). Pengkajian pada tanggal 05 januari 2016 pukul 08.00 WIB yang dilakukan dengan metode alloanamnase dan autoanamnesa didapatkan 69 hasil pasien dengan nama Tn. D dengan diagnosa medis appendik kronik dan dilakukan appendiksitis laparatomi. Keluhan utama pada pasien post operasi laparatomi adalah nyeri pada bagian perut kanan bawah, yang salah satu dari efek pembedahan adalah nyeri.Data tersebut sudah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa post op laparatomi dapat menyebabkan nyeri (Sugeng, 2009). Menurut Tamsuri (2007) nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Pengaplikasian jurnal ini penulis menggunakan skala Pain Assesment Behavioral Scale (PABS) yang telah diubah dalam bentuk rentang angka nyeri. Dimana alat ukur nyeri skala 0 : Tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, 4-6 : nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, lebih dari 7: nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi (Wartonah, 2005) dalam Syaiful & Rachmawan, (2014). Menurut Donovan & Girto (1984) dalam Nian (2010) dalam melakukan pengkajian karakteristik nyeri adapun teori yang digunakan penulis yaitu faktor pencetus (P ; Provocate) perawat mengkaji tentang penyebab atau 71 stimulus nyeri pada klien, kualitas (Q ; Quality) sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien sering kali klien mendeskripsikan nyeri yang dirasakan klien, lokasi (R ; Region) mengkaji lokasi nyeri, keparahan (S : Severe) menggambarkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat, durasi (T : Time) untuk menentukan awitan, durasi dan rangkaian nyeri. Pada teori ini dibuktikan salah satu ekspresi wajah dari nyeri yaitu adanya gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang mengkondisikan nyeri meliputi ekspresi wajah yang meringis, menggertakan gigi, memegangi pada bagian yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok (Perry & Potter, 2006). Data yang didapatkan telah sesuai dengan teori pengkajian bahwa keluhan utama yang muncul pada pasien laparatomi yaitu nyeri perut bagian bawah. Riwayat kesehatan sekarang saat dilakukan pengkajian pasien masih mengeluh nyeri perut kanan bawah,letih,lesu dan mual.Riwayat kesehatan dahulu pasien belum pernah mengalami penyakit appendisitis dan belum pernah di rumah sakit, pasien tidak mempunyai alergi obat dan makanan,dari riwayat operasi tidak ada atau belum pernah. Riwayat kesehatan keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit keturunan seperti hipertensi. (Brunner dan Suddart, 2005). Pengkajian pola Gordon, pola istirahat tidur pasien mengatakan selama sakit susah tidur, tidur siang 1 jam, tidur malam ±4 jam dan sering terbangun, terlihat sering menguap, mata cekung dan tampak gelisah. Data tersebut telah sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pusing akan menyebabkan 72 gangguan tidur dan apabila pusing semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya (Albertie, 2006). Menurut Rains (2006), menyatakan bahwa nyeri dapat menyebabkan sesorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang. Pada pengkajian pola kesehatan fungsional menurut Gordon. Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit pasien melakukan aktivitas makan/minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 0 (mandiri). Sedangkan selama sakit aktivitas makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain) dan toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). Pada pemeriksaan fisik penampilan umum kesadaran compos mentis, tanda – tanda vital menunjukkan TD : 110/70 mmHg, Nadi : 80x/menit, riama teratur, kekuatan kuat. RR : 20 x/menit, irama teratur, Suhu : 36,5 ˚C. Klasifikasi tekanan darah orang dewasa menurut WHO (Depkes, 2013) tekanan darah normal 120/80 mmHg namun bila tekana sistolik antara (120 – 139) dan diastolik antara (80 – 89) maka masih dikatakan normal. Kecepatan respirasi (usia dewasa 14 tahun atau lebih) kurang dari 11 sampai dengan 24 kali per menit (Wilkinson, 2011). Ekstermitas atas, kekuatan otot ka/ki : pasif/ otot kiri 5 (aktif), ROM ka/ki aktif, capilay refile ≤ 2 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral hangat, ekstermitas bawah, kekuatan otot ka/ki 5/5 (aktif/aktif), ROM ka/ki aktif/aktif, capilary refil ≤ 2 detik, perubahan bentuk tulang tidak ada, perabaan akral teraba hangat. Hasil 73 pemeriksaan abdomen, inspeksi : abdomen berbentuk simentris dan ada luka post operasi laparatomi panjang luka ±10cm,terdapat sedikit kemerahan, tidak terdapat nanah, jahitan tampak rapi, auskultasi : terdengar bising usus 18x/menit, perkusi : kuadran I pekak, kuadran II, III, IV tympani, palpasi : tidak terdapat pembesaran hepar. Terapi medis yang diberikan pemberian infus RL 20tpm untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, ceftriaxone 1gr/12 jam untuk antibiotik spektrum luas dapat mengubah flora normal dari usus, ranitidine 25mg/12 jam golongan antasida fungsi pengobatan jangka tukak duedenum aktif, tukak lambung aktif mengurangi gejala refluksi esofagitis, norages 1000mg/8jam golongan non narkotik fungsinya untuk penatalaksnaan jangka pendek nyeri akut derajat sedang – berat segera setelah operasi. 2. Diagnosa Keperawatan Diangnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat Setiadi (2012).Dalam merumuskan diagnosa keperawatan terdiri dari 3 komponen yaitu respon manusia (problem), faktor yang berhubungan (etiologi), tanda dan gejala (simpton) Setiadi (2012). Diagnosa yang pertama yang penulis rumuskan adalah nyeri akut.Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikan rupa. Menurut international for 74 the study of pain nyeri akut adalah awitan yang tiba - tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung < 6 bulan (Herdman, 2012).Data yang menunjang pada diagnosa keperawatan yang pertama adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi appendiksitis laparatomi) pasien mengatakan pasien mengatakan nyeri saat digerakan karena pasca operasi laparatomi, rasa nyeri seperti tertusuk-tusuk, pasien nyeri pada abdomen post operasi appendiksitis laparatomi dengan skala nyeri 6 dan rasa nyeri hilang timbul ± selama 7 menit, pasien terlihat menahan nyeri, terdapat luka post operasi laparatomi, dengan hasil tanda – tanda vital tekanan darah 110/70mmHg, Nadi 80x/menit, Suhu 36,5˚C, dan RR 20x/menit. Diagnosa keperawatan yang kedua yang penulis rumuskan adalah gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri). Gangguan pola tidur dapat didefinisikan sebagai gangguan jumlah dan kualitas tidur (penghentian kesadaran alami, periodik) yang dibatasi waktu dalam jumlah dan kualitas (Wilkinson, 2007). Data subyektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur malam kurang lebih 4 jam sehari karena nyeri. Data obyektif pasien terlihat menguap, tampak gelisah,turunya konsentrasi,mudah lelah,mudah ngantuk disiang hari dan nafsu makan menurun. Penulis mengangkat diagnosa gangguan pola tidur karena telah sesuai dengan batasan karateristik, (Wilkinson, 2007), yang menyebutkan bahwa 75 batasan karakteristik gangguan pola tidur yaitu bangun lebih awal atau lebih lambat dari yang diinginkan, ketidakpuasan tidur, keluhan verbal tentang kesulitan untuk tidur, keluhan verbal tentang perasaan tidak dapat beristirahat dengan baik. Menurut kebutuhan menurut Maslow gangguan pola tidur masuk dalam kebutuhan prioritas kedua keamanan dan keselamatan (fisik dan psikologis). Penulis memprioritaskan diagnosa gangguan pola tidur sebagai diagnosa kedua setelah nyeri, karena gangguan pola tidur tidak bersifat urgent (Potter dan Perry, 2005).Berdasarkan batasan karakteristik maka etiologi yng dapat diambil oleh penulis adalah nyeri. Diagnosa keperawatan yang ketiga adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah dengan batasan karakteristik adalah kesulitan membolak balikkan posisi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan motorik kasar (Nanda, 2012). Data yang menunjang pada diagnosa keperawatan yang ketiga adalah didapatkan data subyektif antara lain pasien mengatakan makan/minum, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi/ROM dibantu keluarga dan alat. Data obyektif yang diperoleh pasien terlihat lemas, aktivitas dan latihan makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain) dan toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). 76 3. Intervensi Perencanaan keperawatan adalah bagian dari fase pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk mengarahkan tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan, memecahkan masalah atau untuk memenuhi kebutuhan klien. Perencanaan yang tertulis dengan baik akan memberi petunjuk dan arti pada asuhan keperawatan, karena perencanaan adalah sumber informasi bagi semua yang terlibat dalam asuhan keperawatan klien. Rencana ini merupakan sarana komunikasi yang utama, dan memelihara continuitas asuhan keperawatan klien bagi seluruh anggota tim (Setiadi, 2012). Proses perencanaan keperawatan meliputi penetapan tujuan perawatan, penetapan kriteria hasil, pemilihan intervensi yang tepat, dan rasionalisasi dari intervensi dan mendokumentasikan rencana perawatan (Setiadi, 2012). Tujuan dari intervensi adalah suatu sasaran yang menggambarkan perubahan yang diinginkan pada setiap kondisi atau perilaku klien dengan kriteria hasil yang diharapkan perawat. Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan SMART (Spesifik, Measurable, Achieveble, Reasonable, dan Time). Spesifik adalah berfokus pada klien. Measurable dapat diukur, dilihat, diraba, dirasakan dan dibau. Achievebleadalah tujuan yang harus harus dicapai. Reasonable merupakan tujuan yang harus dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Time adalah batasan percapaian dalam rentang waktu tertentu, harus jelas batasan waktunya (Dermawan, 2012). 77 Pada diagnosa keperawatan pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, penulis mencantumkan tujuan setelah tindakan 3 x 24 jam diharapkan pasien melaporkan bahwa nyeri berkurang dari skala 6 menjadi 3 dengan menggunakan manajemen nyeri dengan rasional fungsi , ekspresi wajah pasien tidak terlihat menahan nyeri, pasien mampu mengontrol nyeri, tanda – tanda vital pasien dalam keadaan normal dengan TD : 120/80 mmHg, N : 80 x/menit, RR : 16 – 24 x/menit, Suhu : 36,5˚C, pasien mengatakan nyaman setelah nyeri berkurang. Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa pertama adalah observasi TTV dan keadaan umum pasien dengan rasional nyeri dapat mempengaruhi tanda – tanda vital sesuai dengan batasan karakteristik. Berikan posisi nyaman pada pasien dengan rasional memberikan posisi yang dapat mengurangi nyeri. Ajarkan teknik mengontrol nyeri non farmakologi dengan relaksasi musik yang disukai dengan rasional pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik dengan rasional mengontrol / menngurangi nyeri untuk meningkatkan istirahat dan meningkatkan kerja sama dengan aturan teurapetik.(NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 660 ). Pada diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri). Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam diharapakan tidak terjadi gangguan pola tidur, dengan kriteria hasil: jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam perhari, pasien tidak menguap lagi, perasaan segar sesudah tidur atau istirahat,tidak merasakan ngantuk dan 78 nafsu makan meningkat dan dapat berkonsentrasi.Intervensi yang dilakukan monitor kebutuhan tidur setiap jam dengan rasional untuk mengontrol istirahat pasien, kolaborasi pemberian obat anti nyeri dengan rasional untuk memudahkan pasien istirahat dalam mengurangi nyeri, diskusikan dengan keluarga tentang tingkat pola istirahat dengan rasional untuk mengetahui tentang pentingnya istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat dengan rasional untuk mengontrol waktu tidur klien.(NIC dalam Huda Amin dan Kusuma Hardhi, 2013: 603 ). Berdasarkan diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri setelah dilakukan tindakan 3 x 24 jam diharapkan tingkat mobilitas optimal dengan kriteria hasil klien meningkat dalam aktivitas fisik, memverbalkan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah. Penulis menuliskan intervensi yang dapat dilakukan monitor vital sign dengan rasional mengetahui keadaan umum pasien. Kaji kemampuan mobilasi pasien dengan rasional mengetahui perkembangan mobilitas pasien. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi keadaan ADL dengan memelihara fleksibelitas sendi sesuai kemampuan. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan dengan rasional meningkatkan kemandirian pasien dalam kondisi keterbatasan. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan dengan rasional meningkatkan kemampuan mobilitas dari latihan ahli fisioterapi. 79 4. Implementasi Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus dari intervensi keperawatan antara lain : mempertahankan daya tahan tubuh, mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, mencegah komplikasi, menemukan perubahan sistem tubuh, memantapkan hubungan klien dengan lingkungan, implentasi pesan dokter (Setiadi, 2012). Implementasi dilakukan dari perencanan yang disusun sebelumnya. Berikut ini pembahasan implentasi dari masing-masing diangnosa. Implementasi yang penulis lakukan pada Tn. D pada diagnosa keperawatan yang pertama nyeri akut berhubugan dengan agen cidera fisik, yaitu kaji status nyeri pasien meliputi lokasi, skala, durasi dan penyebaran nyeri dengan rasional berguna dalam pengawasan keefiktifan obat, terapi dan kemajuan penyembuhan. Menggunakan metode PQRST, Menurut Donovan & Girto (1984) dalam Nian (2010) dalam melakukan pengkajian karakteristik nyeri adapun teori yang digunakan penulis yaitu faktor pencetus (P ; Provocate) perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus nyeri pada klien, kualitas (Q ; Quality) sesuatu yang subjektif yang diungkapkan oleh klien sering kali klien mendeskripsikan nyeri yang dirasakan klien, lokasi (R ; Region) mengkaji lokasi nyeri, keparahan (S : Severe) menggambarkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat, durasi (T : Time) untuk menentukan awitan, durasi dan rangkaian nyeri. 80 Memonitor keadaan umum klien dan vital sign untuk mendeteksi adanya perubahan sistem tubuh. Tanda – tanda vital meliputi, tekanan darah, denyut nadi, suhu, respirasi. Tanda vital mempunnyai nilai sangat tinggi pada fungsi suhu tubuh. Adanya perubahan tanda – tanda vital misal suhu tubuh menunjukan perubahan sistem kardiovaskuler, frekuensi pernafasan menunjukkan fungsi pernafasan dan tekanan darah dapat menilai kemampuan sistem kardiovaskuler yang dikaitkan dengan denyut nadi. Semua tanda vital tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Perubahan tanda vital dapat terjadi bila tubuh dalam kondisi aktivitas atau dalam keadaan sakit dan perubahan tersebut merupakan indikator adanya gangguan sistem tubuh (Hidayat, 2005). Dalam pengaplikasian jurnal ini penulis menggunakan skala Pain Assesment Behavioral Scale (PABS) yang telah diubah dalam bentuk rentang angka nyeri. Dimana alat ukur nyeri skala 0 : Tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, 4-6 : nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, lebih dari 7: nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi (Wartonah, 2005) dalam Syaiful & Rachmawan, (2014). 81 Penulis menekankan pada pemberian teknik relaksasi terapi musik, dimana tehnik relaksasi terapi musik merupakan tehnik yang sangat mudah dilakukan dan terjangkau, tetapi efeknya menunjukkan bahwa musik dapat mempengaruhi ketegangan atau kondisi rileks pada diri seseorang, karena dapat merangsang pengeluaran endorphine dan serotonin. Endorphine dan Serotonin merupakan sejenis morfin alami tubuh dan juga metanonin sehingga tubuh merasa lebih rileks pada seseorang yang mengalami stress (Djohan, 2009). Terapi musik adalah menggunakan musik atau elemen musik untuk meningkatkan, mempertahankan, serta mengembalikan kesehatan mental. Fisik, emosional, spiritual (Setyoadi, 2011, hlm.42). Pertamax (2011) mengatakan bahwa terapi musik juga dapat memberikan efek fisiologis atau biologis pada seseorang, yaitu dengan stimulasi beberapa irama yang didengar, musik dapat menurunkan kadar kortisol yaitu hormon stres yang dapat berkontribusi terhadap tekanan darah tinggi, serta memperbaiki fungsi lapisan dalam pembuluh darah yang menyebabkan pembuluh darah dapat meregang sebesar 30%. Selain itu, Djohan (2006, hlm.24) juga memperkuat konsep diatas bahwa musik diyakini juga mempengaruhi sistem saraf parasimpatis yang meregangkan tubuh dan memperlambat denyut jantung, serta memberikan efek rileks pada organorgan.Mendengarkan musik secara teratur membantu tubuh santai secara fisik dan mental sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah nyeri. Para ahli yakin setiap jenis musik klasik seperti mozart dan beethoven dapat 82 membantu mengurangi nyeri otot dan nyeri kronis (Muttaqin & Kustap, 2008, dalam Jona, 2013, hlm.28). Salah satu distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat menurunkan nyeri fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Musik terbukti menunjukan efek yaitu menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu(Guzzeta,1989 dalam Harefa, dkk, 2010). Musik dan nyeri mempunyai persamaan penting yaitu bahwa keduanya bisa di golongkan sebagai input sensor dan output.Sensori input berarti bahwa ketika musik terdengar, sinyal di kirim ke otak ketik rasa sakit di katakan. Jika getaran musik dapat dibawa kedalam resonansi dekat dengan getaran rasa sakit akan di ubah dan dihilangkan.(Journal of the american assosiation for Musik therapist,1999 dalam harefa,dkk,2010). Sedangkan kebutuhan rasa aman dan nyaman adalah suatu keadaan yang membuat seseorang merasa nyaman,terlindungi dari ancaman psikologis,bebas dari rasa sakit terutama nyeri. (purwanto,2008). Selama periode pasca perioperatif,proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kembali equilibrum fisiologi pasien, menghilangkan rasa nyeri dan pencegahan komplikasi.pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu kembali pada fungsin yang optimalnya dengan cepat,aman dan senyaman mungkin. (Purwanto,2008). Penulis melakukan teknik relaksasi musik ini selama 3 hari pengelolaan, teknik ini diajarkan dan diberikan selama ± 5–10 menit ketika pasien 83 mengalami nyeri muncul agar mengalami penurunan dan penulis mengkaji nyeri dengan PQRST sebelum dilakukan teknik relaksasi dan sesudah diberikan teknik relaksasi musik sebagai berikut pada hari pertama skala nyeri 6 turun menjadi skala 5, hari kedua skala nyeri 5 setelah dilakukan teknik relaksasi terapi musik turun menjadi skala 4, dan hari ketiga skala nyeri dari skala 4 turun menjadi 3 setelah dilakukan teknik relaksasi terapi musik. Hal ini sesuai dengan teori dalam jurnal dimana dalam setiap implementasi mengalami penurunan skala nyeri. Implementasi selanjutnya memberikan posisi nyaman pada pasien merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi rasa sakit yang dirasakan, diharapkan pasien merasa nyaman pada posisi tersebut dan dapat mengurangi kondisi saat serangan. Mengkolaborasikan pemberian obat analgesik pereda nyeri norages 1000mg/8 jam.Dimana obat analgesik norages berfungsi untuk penatalaksnaan jangka pendek nyeri akut derajat sedang – berat segera setelah operasi (ISO, 2014). Diagnosa kedua gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri).penulis melakukan tindakan keperawatan tentang pentingnya tidur yang adekuat untuk memenuhi kecukupan pola tidur, respon subyektif pasien mengatakan sulit tidur, tidur sehari ± sekitar 4 jam, menciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman untuk meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisiologis dan psikologis, respon subyektif pasien mengatakan merasa nyaman dengan lingkungan yang 84 tenang, memberi kesempatan klien untuk tidur atau istirahat untuk penyimpanan energi dan meningkatkan kemampuan koping, respon subyektif pasien mengatakan sering menguap tetapi sulit untuk tidur, data obyektif pasien tampak gelisah. Mengidentifikasi pemenuhan gangguan pola tidur pada pasien appendisitis, pasien mengatakan sudah bisa tidur sehari ± sekitar 7 jam, memberikan penjelasan tentang pentingnya tidur yang adekuat untuk memenuhi kecukupan pola tidur pasien, menciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang. Memberikan edukasi pada pasien tentang pentingnya tidur yang adekuat untuk memenuhi kecukupan pola tidur pasien, pasien mengatakan sudah bisa tidur saat malam, tidur sehari kurang lebih 8 jam, pasien tampak nyaman, mata tidak cekung. Pada diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah dengan batasan karakteristik adalah kesulitan membolak balikkan posisi, keterbatasan kemampuan untuk melakukan motorik kasar (Nanda, 2009). Implementasi yang dilakukan mengkaji kemampuan mobilasi pasien dengan rasional mengetahui perkembangan mobilitas pasien. pasien mengatakan pola aktivitas dan latihannya masih dibantu keluarga dan alat dan data obyektifnya aktivitas makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas 85 ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain) dan toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). Implementasi selanjtunya mendampingi dan membantu pasien saat mobilisasi keadaan ADL dengan memelihara fleksibelitas sendi sesuai kemampuan. Mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan dengan rasional meningkatkan kemandirian pasien dalam kondisi keterbatasan. 5. Evaluasi Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012). Evaluasi dilakukan setiap hari diakhir shift dengan metode SOAP,diagnosa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (post operasi fraktur femur) pada evaluasi hari pertama selasa pada tanggal 05 januari 2015 jam 14.00 WIB diagnosa pertama dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri pada abdomen luka post operasi laparatomi, skala nyeri 6 menjadi 5, nyeri hilang timbul sekitar ± 5-8 menit. Respon obyektif pasien tampak menahan nyeri dengan vital sign TD : 110/70 mmHg, Nadi : 80 86 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 36,5˚C. Analisa keperawatannya masalah nyeri belum teratasi. Planning, lanjutkan intervensi monitor keadaan umum pasien dan vital sign pasien, kaji status nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi genggam jari, berikan posisi yang nyaman pada pasien, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik yaitu norages 1000mg/8 jam. Evaluasi hari kedua pada tanggal 06 januari 2016 jam 14.00 WIB diagnosa pertama dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri pada abdomen luka post operasi laparatomi, skala nyeri berkurang dari 6 menjadi 5, nyeri hilang timbul sekitar ± 5-8 menit. Respon obyektif pasien dapat mengikuti terapi non farmakologi yang diberikan (relaksasi terapi musik), pasien tampak rileks, vital sign pasien dengan hasil TD : 100/75 mmHg, Nadi : 82 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 36˚ C. Analisa masalah keperawatan nyeri teratasi. Planning, hentikan intervensi. Evaluasi hari ketiga pada tanggal 07 Januari 2016, dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri pada abdomen luka post operasi laparatomi, skala nyeri berkurang dari 5 menjadi 3, nyeri hilang timbul sekitar ± 5-8 menit. Respon obyektif pasien dapat mengikuti terapi non farmakologi yang diberikan (relaksasi terapi musik), pasien tampak rileks, vital sign pasien dengan hasil TD : 120/70 mmHg, Nadi : 80 x/menit, RR : 20 x/menit, Suhu : 36˚ C. Analisa masalah keperawatan nyeri teratasi. Planning, hentikan intervensi. 87 Evaluasi hari pertama pada tanggal 05 Januari 2016 masalah keperawatan gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), data subyektif klien mengatakan sulit tidur, tidur sehari sekitar 4 jam, dataobyektif pasien tampak sering menguap dan gelisah, assessment masalah belum teratasi sulit tidur, planning lanjutkan intervensi monitor kebutuhan tidur pasien setiap hari, diskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, jelaskan pentingnya tidur yang adekuat. Evaluasi hari kedua pada tanggal 06 Januari 2016 masalah keperawatan gangguaan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), data subyektif klien mengatakan sudah bisa tidur, tidur sehari sekitar 6-8 jam, pasien merasa nyaman dengan lingkungan yang nyaman dan tenang, assessment masalah belum teratasi sulit tidur, planning lanjutkan intervensi ciptakan lingkungan yang nyaman, monitor tidur pasien, jelaskan tidur yang adekuat. Evaluasi hari ketiga pada tanggal 07 Januari 2016 masalah keperawatan gangguan pola tidur teratasi berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), data subyektif pasien mengatakan sudah bisa tidur sehari sekitar 7 jam, data obyektif klien tampak segar, tidak menguap berlebihan, mata tidak cekung, assessment masalah gangguan pola tidur teratasi, planning hentikan intervensi. Evaluasi akhir diagnosa keperawatan gangguan pola tidur terjadi perubahan pola tidur yang adekuat, dari sehari tidur ± 5 jam menjadi sekitar 7 88 jam. Hal ini sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang penulis harapkan jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam/hari. Evaluasi pada diagnosa keperawatan yang ketiga dengan hambatan mobilitas fisik berhubungna dengan nyeri,pada tanggal 05 Januari 2016 jam 14.00 WIB dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan aktivitas dan latihannya (ADL) dibantu oleh keluarga dan alat. Respon obyektif pasien tampak lemas, pola aktivitas dan latihan makan/minum, mandi, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain) dan toileting dengan nilai 3 (dibantu orang lain dan alat). Analisa maslah keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi. Planning, lanjutkan intervensi monitor vital sign pasien, kaji kemampun mobilisasi pasien, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan. Evaluasi diagnosa ketigapada tanggal 06 januari 2016 jam 14.00 WIB dengan metode SOAP, dengan respon subyektif pasien mengatakan pola aktivitas dan latihan (ADL) masih dibantu keluarga tapi sudah tudak memakai alat. Respon obyektif pasien, pola aktivitas dan latihannya masih dibantu keluarga namun sudah tidak dengan alat dan data obyektifnya aktivitas makan/minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 2 (dibantu orang lain). Analisa masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian. Planning, kaji kemampuan mobilisasi pasien, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika pasien memerlukan. 89 Evaluasi diagnosa ketiga pada tanggal 07 januari 2016 jam 14.00 WIB dengan metode SOAP, respon subyektif pasien mengatakan pola aktivitas dan latihan (ADL) sudah mulai mandiri. Respon obyektif pasien makan/minum, mandi, toileting, berpakaian, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dengan nilai 0 (mandiri). Analisa masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik teratasi. Planning, hentikan intervensi. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Bab ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan dari pengkajian, penentuan diagnosa, perencanaan, implementasi, dan evaluasi pada asuhan keperawatan Tn. D dengan laparatomi di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri selama tiga hari kelolaan dengan menerapkan aplikasi pemberian musik terhadap skala nyeri akibat perawatan luka bedah pada pasien pasca operasi, maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Pengkajian Keluhan utama yang dirasakan pasien yaitu kepala pusing, (P): nyeri saat digerakkan, (Q): nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk, (R): nyeri pada perut kanan bawah, (S): skala nyeri 6, (T): berlangsung kurang lebih 5-8 menit. Pasien juga mengatakan sebelum sakit tidur 6-7 jam sehari, selama sakit pasien mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya kurang lebih 4 jam sehari, sering terbangun dan badan terasa lemas. Pasien juga mengatakan nyeri pada saat bergerak dan beraktivitas. 2. Diagnosa keperawatan Hasil perumusan masalah sesuai dengan pengkajian keperawatan pada Tn. D ditegakkan diagnosa keperawatan sesuai dengan hirarki kebutuhan dasar menurut Maslow yaitu prioritas diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, diagnosa prioritas kedua 91 gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan (pasca operasi akibat nyeri), diagnosa prioritas ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri. 3. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan pada diagnosa pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Intervensi yang dilakukan yaitu : observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, kaji skala nyeri secara komperehensif (PQRST), beri posisi yang nyaman, ajarkan tehnik relaksasi musik terhadap penurunan skala nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri dengan tindakan farmakologi. 4. Implementasi Diagnosa keperawatan pertama implementasi dilakukan mengobservasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, mengkaji skala nyeri secara komperehensif (PQRST), memberikan posisi yang nyaman, mengajarkan tehnik relaksasi musik terhadap penurunan skala nyeri, berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri dengan tindakan farmakologi. Diagnosa keperawatan yang kedua implementasi dilakukan memonitor kebutuhan tidur pasien setiap jam dan setiap hari, mendiskusikan bersama pasien dan keluarga tentang tingkat pola istirahat, menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat, berkolaborasi tentang pemberian obat anti nyeri. 92 Diagnosa keperawatan yang ketiga implementasi dilakukan mengkaji kemampuan pasien dalam mobilisasi, mengajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, mendampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien, berkonsultasi dengan terapi fisik tentang rencana mobilisasi sesuai kebutuhan. 5. Evaluasi Hasil evaluasi yang dilakukan selama 3x24 jam yang diagnosa yang pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik teratasi, karena sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan. Nyeri akut dari skala 6 menjadi 3, pasien tampak rileks. Hasil evaluasi yang dilakukan selama 3x24 jam yang diagnosa yang kedua gangguan pola tidur berhubungan gangguan (post operasi laparatomi akibat nyeri) teratasi. Karena sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan pasien tampak segar sudah bisa tidur malam kira-kira 5-6 jam. Hasil evaluasi yang dilakukan selama 3x24 jam yang diagnosa yang ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri teratasi, karena sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan. Pasien sudah bisa mobilitas ditempat tidur, makan/minum secara mandiri dan toileting secara mandiri. 93 6. Analisa hasil penerapan pemberian musik terhadap skala nyeri akibat perawatan luka bedah pada pasien pasca operasi. Hasil penerapan tindakan keperawatan pemberian tehnik relaksasi musik terhadap skala nyeri, yang dilakukan selama 3 hari mampu mengurangi intensitas nyeri pasien diruang anggrek RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. B. Saran 1. Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) Diharapkan rumah sakit khusunya RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan maupun klien serta keluarga klien. Khusunya dalam proses rehabilitasi medik dengan melibatkan keluarga klien untuk berperan aktif sehingga klien dan keluarga mengerti perawatan lanjutan dirumah. 2. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat Hendaknya perawat memiliki tanggung jawab dan ketrampilan yang lebih dan selalu memperbarui pengetahuan serta keterampilannya, tidak lupa untuk koordinasi tim kesehatan lain dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami nyeri khususnya pada pasien post operasi laparatomi. 94 3. Bagi institusi pendidikan. Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dengan mengupayakan aplikasi riset dalam setiap tindakan keperawatan yang dilakukan sehingga mampu menghasilkan perawat yang professional, terampil, inovatif dan bermutu dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan. 4. Bagi penulis Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada pasien dengan pemberian tehnik relaksasi terapi musik diharapkan penulis akan dapat lebih mengetahui cara pemeberian tehnik relaksasi terapi musik terhadap skala nyeri yang baik dan benar terutama pada pasien post operasi laparatomi yang mengalami gangguan nyeri akut dan diharapkan akan menambah wawasan dalam menangani masalah keperawatan post operasi laparatomi. DAFTAR PUSTAKA Arslan, S., Ozer, N.,&Ozyurt, F. (2007). Effect of music on preoperative anxiety in meduring undergoing urogenital surgery. Australian Journal of Advanced Nursing,26 (2), 46-54. Arisanty, LP. 2013. Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. EGC: jakarta. Brunner & Suddart. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja. Gosyen Publising. Yogyakarta Djohan. 2006. TerapiMusik, TeoridanAplikasi. Galangpres. Yogyakarta Guyton, A. & Hall, J. E. 2008.Buku Ajar FisiologiKedokteran.EGC. Jakarta Herdman H. T., (2012-2014). Diagnosa keperawatan definisi dan klasifikasi. Penerjemah Monika Ester, S.Kep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Harefa, dkk. 2010. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Intensitas Nyeri Pada Pasien Pasca Operasi di RSUD Swadana Taruntung Tahun 2010 Hidayat, A. A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Selemba Medika. ISO. 2012. Informasi Spesialite Obat Indo Jakarta. PT ISFI Penerbit Jitowiyono, dkk, 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta: Nuha Medika Jitowiyono, S ,(2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi Pendekatan Nanda, Nic Noc. Yogyakarta: Nuha Medika Kusumayanti, dkk. 2015. Faktor – Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lamanya Perawatan pada Pasien Pasca Operasi Laparatomi di Instlasi Rawat Inap BPRSU Tabanan. Muttaqin, M danKustap, (2008).Senimusikklasikuntuksekolahmenegahkejuruan.Jakarta :DepartemenPendidikanNasional New Zealand Society for Music Therapy (NZSMT). (2005). Evidence Based Review: Music Therapy. Accident Compensation Corporation, 4, 1-54. Novita, D. (2012). pengaruh terapi musik terhadp nyeri post operasi Open Reduction And Internal Fixation (ORIF) di RSUD DR.H. Abdul Moeloek Propinsi Lampung. www.digital_20328120_T30673_peng aruh terapi_5. Pdf. Diperoleh 22 November 2015 Pertamax.(2011). TertawadanMendengarkanMusikFavoritdapatMenurunkanHipertensi. http://forum.viva.co.id/kesehatan/110 860-tertawa-dan-mendengarkanmusic-favorit-dapat-menurunkan- hipertensi.html diperolehtanggal 22 November 2015. Purwanto Edi. 2008. Efek Musik Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Di Ruang Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Potter, P. A,.& Perry, A. G. 2005.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses danPraktek Volume 1, Edisi 4. EGC. Jakarta Potter, P. A,.& Perry, A. G. 2006.Buku Ajar Fundamental KeperawatanKonsep, Proses danPraktek Volume2, Edisi 4. EGC. Jakarta Razid. 2010. Hasil Penelitian di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan Menunjukkan Semakin Tingginya Pasien Post Operasi Bedah. Rustiawati, yuni. 2012. Efektivitas Ambulasi Dini Terhada Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Laparatomi. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Setyoadi, K. (2011). TerapiModalitaskeperawatanpadapasienPsikogeriatrik. Jakarta: SalembaMedika. Sjamsuhidajat, R & Jong, W.D. 2005.Buku ajar ilmubedah.EGC. Jakarta Sugeng. 2009. Asuhan Keperawatan Bedah. Jakarta : Nuha Medika Tamsuri, A. 2007.Konsep&PenatalaksanaanNyeri.EGC. Jakarta Wilkinson , J.M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan; Diagnosi: NANDA, Intervensi: NIC, Kriteria Hasil: NOC. Edisi 9. Terjemahan Esti Wahyuningsih. Jakarta: EGC