BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Futsal a. Pengertian dan

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Futsal
a. Pengertian dan Sejarah Futsal
“Futsal adalah singkatan dari futbol (sepak bola) dan sala (ruangan) dari
bahasa Spanyol atau Futebol dari bahasa Portugal atau Brazil Futsal dan salon
dari bahasa Prancis” (Tenang, 2008:15). “Futsal merupakan permainan sepak bola
yang dilakukan di dalam ruangan” (Lhaksana, 2011:5). Jadi dapat disimpulkan
bahwa futsal adalah olahraga sepak bola yang permainannya dilaksanakan
didalam ruangan yang jenis permainannya tidak jauh berbeda dengan sepak bola.
“Permainan ini sendiri dimainkan oleh lima pemain setiap tim berbeda dengan
sepak bola konvensional yang pemainnya berjumlah sebelas orang setiap tim,
ukuran lapangan dan bolanya pun lebih kecil dibandingkan ukuran yang
digunakan dalam sepak bola lapangan rumput” (Lhaksana, 2011:5). Seperti yang
diketahui futsal merupakan modifikasi dari olahraga sepak bola, yang
dimodifikasi disini adalah gawang, bola, ukuran lapangan, bentuk lapangan,
peraturan permainan dan jumlah pemain. Dengan bermain futsal, pemain bisa
mengembangkan kemampuan dengan baik.
Menurut Mahaendro (2004:92) “futsal adalah permainan yang hampir
sama dengan sepakbola, tetapi hanya lima pemain di mana dua tim memainkan
dan memperebutkan bola di antara para pemain dengan tujuan dapat memasukkan
bola lawan dan mempertahankan gawang kemasukkan bola”. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa futsal merupakan permainan bola yang hampir sama
dengan permainan sepak bola, dimainkan dalam ruangan oleh dua tim, yang
masing-masing beranggotakan lima orang pemain utama dan pemain cadangan
yang bertujuan untuk memasukkan bola ke gawang lawan, dengan memanipulasi
bola dengan kaki untuk memenangkan suatu pertandingan futsal.
“Asal muasal futsal muncul di Montevideo, Uruguay, pada tahun 1930
ketika Juan Carlos Cereira membuat versi sepak bola untuk lima pemain dalam
satu tim (a five-a-side version of soccer) untuk dipertandingkan dalam kompetisi
12
13
usia muda di YMCAs (Young Mens Christian Association” (Marhaendro,
2004:91). Setelah futsal dikenalkan oleh Juan Carlos Cereira pada tahun
1930.Seiring berjalannya waktu futsal menjadi salah satu olahraga yang populer
khususnya di Amerika Selatan, futsal menjadi pilihan utama pada saat hari hujan.
“Pada 1965, kompetisi internasional futsal digelar untuk kali pertama.
Kejutan pun terjadi dengan sukses Paraguay menjadi juara Piala Amerika selatan.
Pada tahun berikutnya sampai 1979, Brazil mendominasi dan merengkuh enam
trofi juara berturut-turut” (Tenang, 2008:16). Jadi olahraga futsal berasal dari
Amerika Selatan, selain itu negara-negara di Amerika Selatan juga yang
mendominasi kekuatan futsal di dunia hingga saat ini, terbukti dengan hasil piala
dunia futsal yang diselenggarakan di Thailand pada 2012 lalu, Brazil sebagai juara
di kompetisi tersebut.
b. Teknik Dasar Futsal
Pada dasarnya permainan futsal merupakan suatu usaha untuk menguasai
bola dan untuk merebutnya kembali bila sedang dikuasai oleh lawan. Oleh karena
itu, untuk dapat bermain futsal harus menguasai teknik-teknik dasar futsal yang
baik. Untuk dapat menghasilkan permainan futsal yang optimal, maka seorang
pemain harus dapat menguasai teknik-teknik dasar dalam permainan. Teknik
dasar bermain futsal merupakan kemampuan untuk melakukan atau mengerjakan
gerakan-gerakan yang mendasari permainan futsal. Seiring dengan perkembangan
futsal yang semakin modern, permainan futsal tidak hanya mengandalkan
kemampuan skill individu seorang pemain saja tetapi teknik dan strategi bermain
futsal juga sangat dibutuhkan, terutama untuk mencapai kemenangan. Menurut
Lhaksana (2011:7) “futsal adalah permainan yang sangat cepat dan dinamis. Dari
segi lapangan yang relatif kecil hampir tidak ada ruangan untuk membuat
kesalahan. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antar pemain lewat passing yang
akurat, bukan hanya untuk melewati lawan”.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan teknik-teknik dasar bermain futsal
merupakan hal yang penting karena akan menentukan gerak keseluruhan dari
seorang atlet. Menurut Harsono (1998:100) “Latihan teknik adalah latihan untuk
memahirkan teknik-teknik gerakan yang diperlukan untuk melakukan cabang
14
olahraga yang dipelukan atlet misalnya teknik menendang bola, menangkap bola.
Latihan teknik adalah latihan yang khusus dimaksudkan guna membentuk dan
memperkembangkan kebiasaan-kebiasaan atau perkembangan neuromuscular”.
Futsal dimainkan di lapangan yang kecil maka pemain dituntut untuk bisa
mengolah bola dengan baik di bawah tekanan lawan. Untuk mengolah bola dan
bermain futsal dengan baik, pemain harus dibekali dengan teknik dasar yang baik.
Pemain yang memiliki teknik dasar yang baik cenderung dapat bermain futsal
dengan baik pula. Menurut Hermans & Engler (2011:23-41) beberapa teknik dasar
futsal yang harus dikuasai seorang pemain adalah “ball reception (penerimaan
bola), dribbling and ball control (menggiring dan mengontrol bola), passing
(mengoper bola), shooting, feints and trick (trik dan gerak tipuan), goal keeping
technique (teknik penjaga gawang)”. Selain itu federasi sepak bola dan futsal
dunia FIFA (2012:3) juga mengemukakan bahwa “teknik dasar futsal meliputi
passing, control, running with the ball, dribbling past opponets, dan shooting”.
Lhaksana (2011:5) juga mengemukakan bahwa “pemain diperlukan menguasai
teknik dasar bermain futsal seperti a) teknik dasar mengumpan (passing), b)
teknik dasar menahan bola (control), c) teknik dasar mengumpan lambung
(chipping), d) teknik dasar menggirirng bola (dribbling) dan, e) teknik dasar
menembak bola (shooting)”.
c. Kemampuan Fisik Dominan pada Futsal
Kemampuan fisik yang baik merupakan salah satu faktor penting bagi
seorang pemain futsal untuk mencapai puncak prestasi, maka dari itu seorang
pelatih harus memiliki model-model latihan fisik yang baik dan sesuai dengan
kebutuhan bagi pemain futsal. “Perkembangan kondisi fisik yang menyeluruh
amatlah penting, tanpa kondisi fisik yang baik atlet tidak akan dapat mengikuti
latihan-latihan
dengan
sempurna,
komponen
kondisi
fisik
yang
perlu
dikembangkan adalah, daya tahan kardiovaskular, daya tahan kekuatan, strength,
kelentukan, kecepatan, stamina, kelincahan dan power” (Harsono, 1988:100).
Pencapaian prestasi yang optimal pada permainan futsal tidak saja
dibutuhkan keterampilan teknik, pengetahuan dan penguasan taktik tetapi kondisi
fisik yang baik juga harus dimiliki oleh setiap pemain. Teknik dan taktik dalam
15
permainan futsal, tidak mungkin dapat diterapkan secara sempurna apabila tidak
ditunjang dengan kondisi fisik yang baik dari pemain. Dengan kondisi fisik yang
baik, pemain akan lebih mudah untuk menampilkan permainan cepat dan dinamis
sebagaimana dituntut dalam permainan futsal yang saat ini sudah memasuki era
yang modern. Kondisi fisik yang baik membuat orang terus menerus lari bergerak
mengawal lawan secara ketat dan membebaskan diri dari kawalan.
Kondisi fisik sangat penting untuk mendukung pergerakan seorang
pemain. Gerakan yang terampil bisa dilakukan apabila kondisi fisiknya baik.
Menurut Harsono (2001:4) “apabila kondisi fisik atlet baik, maka atlet akan lebih
cepat pula dalam menguasai teknik-teknik gerakan yang dilatihkan. Karena
latihan teknik, taktik, dan keterampilan akan mampu dilakukan secara maksimal,
artinya meskipun harus mengulang gerakan pola taktik tertentu atlit tidak cepat
lelah”.
Mempersiapkan kondisi fisik merupakan suatu hal yang penting dalam
masa persiapan sebuah tim untuk mencapai prestasi yang maksimal. Melalui
latihan fisik, kondisi pemain yang kurang baik akan meningkat, setalah
melakukan latihan fisik yang terprogram dengan baik, hasil dari latihan tersebut
dapat dilihat dari meningkatnya penampilan seorang pemain yang akhirnya
berdampak positif pada penampilan tim dan dapat mencapai prestasi maksiamal.
Untuk menunjang para pemain futsal agar lebih mudah dalam menguasai teknik,
taktik dan strategi agar dapat mencapai prestasi yang maksimal para pemain harus
dibekali dengan kondisi fisik yang baik pula. Adapun aspek-aspek atau model
latihan fisik yang dibutuhkan dalam permainan futsal yaitu, “daya tahan
(endurance),
kekuatan
(strength),
kecepatan
(speed),
kelemah-lembutan
(suppleness), koordinasi (coordination)” (FIFA, 2012:69-71). Selain itu dalam
buku yang ditulis Lhaksana (2011:17-18) mengemukakan bahwa “berikut
komponen kondisi fisik yang harus dimiliki pemain futsal, daya tahan, kekuatan,
kecepatan,
kelincahan,
daya
ledak,
kelenturan,
ketepatan,
koordinasi,
keseimbangan, reaksi. Komponen latihan fisik yang dominan dimiliki pemain
futsal adalah daya tahan, kekuatan, kecepatan dan tentunya tanpa meninggalkan
komponen fisik yang lain”.
16
Tabel 2.1 Perkiraan Kebugaran Energi dan Otot pada Olahraga Futsal
Sport or
Activity
Energy Fitness
Muscular Fitness
Aerobik Anaerobik Flexibility Strenght Endurance
Speed Power
Futsal
(posisi
H
H
M
M
M-H
H
lainnya)
Futsal
(penjaga
L
M-H
M-H
M
L-M
H
gawang)
Keterangan : L = Low ; M = Medium ; H = High (Martens, 2012:235).
M-H
2. Latihan Teknik Dasar Futsal
a. Tinjauan dari Perspektif Belajar Gerak (Motor Learning)
1) Pengertian Belajar Gerak (Motor Learning)
Menurut Schmidt (1991:153) “belajar gerak (motor learning) adalah
serangkaian proses dengan praktek atau pengalaman yang mengarah pada
perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan untuk keterampilan
performa”. Sedangkan menurut Oxendine (1984:8) “belajar gerak (motor
learning) didefinisikan sebagai perubahan terus-menerus dengan potensi
perilaku gerakan sebagai hasil dari latihan atau pengalaman”. Kluka (1999:29)
mengemukakan bahwa “belajar gerak (motor learning) adalah seperangkat
proses internal yang menghasilkan perubahan relatif permanen dalam gerakan
manusia melalui praktek“. “Belajar gerak adalah suatu proses adaptasi perilaku
yang berkenaan dengan perilaku gerak dan respon muskular yang relatif
permanen, sebagai hasil usaha mengembangkan kemampuan melakukan tugas
melalui praktik dan pengalamanyang melibatkan faktor-faktor fisik dan
psikologis secara terpadu” (Sugiyanto, 2015:4).
Pada dasarnya belajar gerak adalah suatu proses yang dilakukan seorang
melalui suatu praktek, latihan dan pengalaman untuk memperoleh suatu
perubahan keterampilan yang bersifat permanen. Konsep belajar gerak adalah
bagaimana individu belajar tentang keterampilan gerak dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kemamapuan fisik, yang dapat memberikan informasi penting
kepada pelatih. Diharapkan pada pelaku olahraga hendaknya memahami tentang
konsep belajar gerak, dalam melaksanakan atau melakukan latihan pelatih harus
M
17
menyesuaikan dengan orang yang dilatih. Sangat penting sekali teori belajar
gerak (motor learning) ini dujadikan sebagai landasan dalam suatu kegiatan
yang berhubungan dengan aktivitas fisik.
2) Keterampilan Gerak (Motor Skill)
“Keterampilan gerak (motor skill) adalah suatu tingkat kualitas
penguasaan dalam melakukan aktifitas gerak tubuh dimana koordinasi beberapa
bagian tubuh atau keseluruhan bagian tubuh dapat berfungsi dengan baik”
(Sugiyanto, 2015:28). “Keterampilan gerak adalah perilaku yang diperlihatkan
secara halus, baik yang terkendali dan dikoordinasi gerakan otot” (Oxendine,
1984:14). Menurut Sugiyanto (2015:28) gerakan keterampilan dapat dapat
diklasifikasi berdasarkan berbagai sudut pandang yaitu.
a) Berdasarkan Kecermatan Gerak
1. Keterampilan gerak kasar (gross motor skill)
“Keterampilan gerak kasar (gross motor skill) adalah gerak yang
melibatkan kelompok otot besar. Pada keterampilan olahraga seperti lompat
tinggi, jump shoot, menendang bola” (Oxendine, 1984:18). Sedangkan
menurut Drowatzky (1981:16) “gerak yang memerlukan interaksi dari banyak
otot dengan aktifitas badan atau tubuh pada umumnya seperti lari,
menangkap, melempar dan keterampilan menggunakan raket”. Unsur-unsur
keterampilan gerak kasar (gross motor skill) juga terdapat dalam olahraga
futsal yang terdapat salam teknik dasar futsal seperti menggirirng (dribble),
menembak bola (shooting), mengoper bola (passing), dan umpan lambung
(chipping).
2. Keterampilan gerak halus (fine motor skill)
“Keterampilan gerak halus (fine motor skill) adalah keterampilan yang
melibatkan kelompok otot kecil atau gerakan dengan rentangan yang sangat
terbatas. Aktivitas tersebut biasanya melibatkan kemampuan manipulatif dari
tangan dan jari” (Oxendine, 1984:18). Sedangkan menurut Cratty (1973:17)
“keterampilan gerak halus (fine motor skill) adalah tindakan gerak yang
melibatkan kelompok otot-otot yang lebih kecil untuk bekerja”. Dalam
permainan futsal keterampilan gerak halus (fine motor skill) sangat
18
dibutuhkan terutama pada seorang penjaga gawang pada saat menangkap
bola, melempar bola.
b) Berdasarkan Titik Awal dan Akhir Gerakan
1. Keterampilan gerak diskrit (discrete motor skill)
“Keterampilan gerak diskrit (discrete motor skill) adalah keterampilan
gerak yang satuan geraknya dapat ditandai dengan jelas awak dan akhirnya.
Misalnya gerak melempar bola” (Sugiyanto, 2015:29). Sedangkan menurut
Drowatzky (1981:17) “keterampilan gerak diskrit (discrete motor skill)
adalah peristiwa tunggal dengan satu permulaan dan akhir digambarkan
secara jelas”. Dalam olahraga futsal gerakan ini dapat dilihat pada melempar
bola, menendang bola.
2. Keterampilan gerak serial (serial motor skill)
“Keterampilan gerak serial (serial motor skill) adalah keterampilan
gerak diskret yang dilakukan berulang-ulang. Misalnya gerak mengguling
depan beberapa kali berturut-turut” (Sugiyanto, 2015:29). Sedangkan menurut
Oxendine (1984:16) “keterampilan gerak serial (serial motor skill) adalah
gerak serial tugasnya sama dengan tugas-tugas gerak diskrit yang memiliki
gerakan awal dan akhir yang berbeda”. Dalam olahrag futsal contok gerak ini
adalah pada saat melakukan mengoper bola (passing) secara berpasangan dan
silakukan secara terus menerus.
3. Keterampilan gerak kontinyu (continuous motor skill)
“Keterampilan gerak kontinyu (continuous motor skill) adalah
keterampilan gerak yang merupakan rangkaian gerakan yang dilakukan
secara berlanjut. Misalnya gerakan berenang” (Sugiyanto, 2015:29).
Oxendine (1984:16) berpendapat bahwa “keterampilan gerak kontinyu
(continuous motor skill) adalah keterampilan yang tidak memiliki titik
terminasi yang ditentukan. Seperti berjalan, berenang, juggling, ski”. Pada
futsal contoh keterampilan gerak ini adalah pada saat melakukan dribbling.
c) Berdasarkan Stabilitas Lingkungan
1. Keterampilan gerak tertutup (close motor skill)
“Keterampilan gerak tertutup (close motor skill) adalah keterampilan
gerak yang dilakukan dalam lingkungan hidup yang stabil atau dapat
19
diprediksi daimana pelaku menentukan kapan akan memulai tindakan.
Contohnya mengancingkan baju, memanjat tangga” (Magill, 2001:7).
Sedangkan menurut Sugiyanto (2015:29) “keterampilan gerak tertutup (close
motor skill) adalah keterampilan gerak yang dilakukan pada lingkungan yang
stabil dan dapat siprediksi, dilakukan karena stimulus dari dalam diri pelaku,
tanpa dipengaruhi stimulus dari luar. Misalnya berjalan, berlari, melempar”.
Pada olahraga futsal keterampilan ini terdapat pada saat melakukan passing,
shooting.
2. Keterampilan gerak terbuka (open motor skill)
“Keterampilan gerak terbuka (open motor skill) adalah keterampilan
gerak yang melibatkan lingkungan hidup yang sulit prediksi kestabilannya,
dimana suatu objek atau konteks lingkungan dalam gerak dan menentukan
kapan memulai tindakan. Misalnya, mengendarai mobil, melangkah ke
eskalator yang bergerak, menangkap bola” (Magill, 2001:7). Sedangkan
menurut Sugiyanto (2015:29) “keterampilan gerak terbuka (open motor skill)
adalah keterampilan gerak yang dilakukan dalam kondisi yang terus berubahubah, dilakukan selain karena stimulus dari dalam juga dipengaruhi oleh
stimulus dari luar. Misalnya bermain sepak bola, bertinju”. Pada olahraga
futsal keterampilan ini terdapat pada saat berlari mengejar bola, berlari
menjaga lawan.
d) Berdasarkan Kompleksitas Rangkaian Gerakan
1. Keterampilan gerak sederhana (simple motor skill)
“Keterampilan
gerak
sederhana
(simple
motor
skill)
adalah
keterampilan gerak yang hanya terdiri atas satu atau dua elemen gerak saja.
Misalnya menangkap bola, melempar bola, menendang bola” (Sugiyanto,
2015:29). Pada olahraga futsal contohnya adalah pada saat penjaga gawang
menangkap bola, pada saat pemain melakukan passing, shooting.
2. Keterampilan gerak sederhana (complex motor skill)
“Keterampilan gerak sederhana (complex motor skill) adalah
keterampilan gerak yang terdiri atas beberapa elemen gerak yang harus
dikoordinasikan menjadi satu rangkaian gerak. Misalnya menyemes bolavoli,
rangkaian gerak senam lantai, loncat indah” (Sugiyanto, 2015:29). Pada
20
olahraga basket keterampilan ini pada saat pemain melakukan dribble bola
melewati lawan, melakukan gerakan tipuan saaat mendribel bola.
3) Fase-Fase Belajar Gerak
Deskripsi yang paling masuk akal dari fase atau langkah-langkah yang
terlibat dalam pembelajaran keterampilan gerak yang dikembangkan oleh Fitts
(1964). Model ini telah dikomentari dan diperluas oleh beberapa penulis lain.
Menurut Fitts dalam Oxendine (1984:22) “ada tiga fase dalam memperoleh
keterampilan gerak dari awal sampai ke tingkat penguasaan, ini meliputi (1)
tahap awal atau fase kognitif, (2) tahap menengah atau fase asosiatif, (3) tahap
akhir atau fase otonom”.
a. Tahap awal atau fase kognitif
“Tahap kognitif ditandai dengan usaha pada bagian dari pelajar untuk
memahami tugas yang harus dilakukan, bantuan instruktur dalam proses ini
dengan menyediakan semua informasi penting tentang tugas. Pemahaman awal
dari tugas dibantu oleh penjelasan, demonstrasi, film, grafik, diskusi, dan
percobaan awal” (Oxendine, 1984:22). “Pada tahap ini, pemula difokuskan
pada masalah yang berorientasi kognitif. Kinerja selama tahap ini ditandai
dengan sejumlah kesalahan dan tahap ini sangat bervariasi. Meskipun pemula
mungkin tahu bahwa mereka melakukan sesuatu kesalahan, umumnya mereka
tidak menyadari apa yang harus dilakukan” (Magill, 2001:184). Sedangkan
menurut Sugiyanto (2015:35) “fase kognitif merupakan fase awal dalam
belajar gerak keterampilan baru. Pelajar menggunakan fikirannya untuk
mengetahui gerak keterampilan yang akan dilakukan. Pada fase kognitif pelajar
berusaha memahami ide atau konsep gerakan melalui mendengarkan
penjelasan atau melihat contoh gerakan”.
Fase awal ini disebut fase kognitif karena pemain menjadi tahu
tentang gerakan yang dipelajari, sedangkan pengusaan geraknya sendiri masih
belum baik karena masih dalam tahap mencoba gerakan. Fase kognitif ini dapat
diterapkan pada saat memberi materi teknik dasar futal dengan cara pemain
diperlihatkan video atau diberi contoh cara melakukan teknik dasar secara
langsung, dengan rangkaian gerak yang jelas dan mudah dipahami oleh
21
pemain. Setelah melihat dan memahami gerakan yang di contohkan, dengan
harapan pada fikiran pemain muncul konsep gerakan yang akan dilakukan.
b. Tahap menengah atau fase asosiatif
“Konsep gerak keterampilan yang difahami pada fase kognitif
kemudian dicoba untuk dilaksanakan dalam praktik. Konsep gerak yang
kemudian menjadi rencana gerak, yang ada di dalam fikiran dicoba untuk di
praktikkan dalam wujud gerak tubuh” (Sugiyanto, 2015:34). “Fase ini, disebut
asosiatif, fiksasi atau praktek, di mana individu mendekati efisiensi yang
maksimal dalam tugas. Pelajar menerima umpan balik yang sedang
berlangsung, secara bertahap menghilangkan kesalahan, dan menemukan
penyesuaian. Kualitas temporal tugas disempurnakan dalam fase ini”
(Oxendine, 1984:23).
Fase asosiatif disebut juga fase menengah. Fase ini ditandai dengan
tingkat pengusaan gerakan dimana pemain sudah mampu melakukan gerakagerakan dalam bentuk rangkaian yang lancar pelaksanaannya setelah dilakukan
secara berulang-ulang. Pemain diminta untuk melakukan gerakan-gerakan
teknik dasar futsal secara berulang-ulang agar pemain semakin menguasai
teknik dasar futsal yang dipelajari.
c. Tahap akhir atau fase otonom
“Fase ototnom dapat dikatakan sebagai fase akhir dalam mempelajari
gerak keterampilan
yang baru, atau merupakan puncak pencapaian
keterampilan gerak. Pelajar mampu melakukan gerakan keterampilan secara
otonom dan otomatis” (Sugiyanto, 2015:35). Sedangkan menurut Oxendine
(1984:23) “fase otonom atau tahap akhir ini adalah dimana tugas dilakukan
dengan mudah dan dengan kontrol sadar. Keterampilan pada akhirnya menjadi
terbiasa sejauh program eksekutif didirikan untuk mengambil kendali semua
aspek kinerja. Semua orang memiliki sejumlah keterampilan yang telah
dikembangkan ke tingkat ini”.
Fase otonom atau fase akhir ini ditandai dengan tingkat pengusaan
gerakan dimana pemain mampu melakukan gerakan keterampilan secara
otomatis. Pemain harus melakukan latihan teknik dasar secara terus menerus
dan
berulang-ulang
dalam
melakukannya
harus
secara
teratur
dan
22
berkelanjutan. Teknik dasar harus dilakukan dengan benar karena akan sangat
sulit memperbaiki dan membetulkan gerakan yang salah apabila sudah
mencapat pada tahap otonom.
b. Macam-Macam Latihan Teknik Dasar Futsal
Untuk mencapai tujuan dari permainan futsal, maka setiap pemain dituntut
untuk memiliki kemampuan dari aspek fisik, teknik, taktik dan mental. Menurut
Harsono (1988:100) mengemukakan bahwa “ada empat aspek latihan yang perlu
diperhatikan dan dilatih secara seksama oleh atlet, yaitu: latihan fisik, latihan
teknik, latihan taktik, dan latihan mental”. Untuk mencapai prestasi yang
maksimal, maka setiap cabang olahraga harus memperhatikan beberapa aspek
latihan, salah satunya adalah penguasaan teknik dasar yang sempurna. Oleh
Karena itu penguasaan teknik dasar mutlak diperlukan agar prestasi dapat
ditingkatkan.
Seperti yang telah dikemukakan oleh para ahli diatas berikut adalah
beberapa model latihan teknik dasar futsal yang harus dikuasai atau dipelajari oleh
pemain futsal.
1) Passing (Mengoper Bola)
“Passing merupakan salah satu teknik dasar permainan futsal yang
sangat dibutuhkan pemain. Lapangan yang rata dan ukuran lapangan yang kecil
dibutuhkan passing yang keras dan akurat karena bola meluncur sejajar dengan
tumit pemain disebabkan hampir sepanjang permainan futsal menggunakan
passing” Lhaksana (2011:30). Passing adalah
Passing digunakan paling
banyak sepanjang permainan, dibandingkan dengan teknik dasar yang lain.
Passing merupakan salah satu teknik dasar permainan futsal yang sangat
dibutuhkan oleh setiap pemain, karena dengan lapangan yang rata dan ukuran
yang kecil dibutuhkan passing yang keras dan akurat.
“Kata ”pass” dapat diartikan sebagai mempersembahkan, oleh sebab itu
dalam melakukan passing, pemain harus mempersembahkan (dalam kontek
yang baik dan enak) bola kedapa teman lain dalam satu tim” (Marhaendro, dkk,
2009:149-150). Sesuai dengan karakteristik permainan futsal, maka teknik
passing yang dominan digunakan secara datar atau menyusur lantai. “Passing
23
bisa dilakukan dengan menggunakan sisi kaki, tumit, atau sisi bawah. Namun
yang paling baik adalah menggunakan kaki dalam dengan arah mendatar,
operan ini memiliki akurasi paling baik dibanding yang lainnya” (Kurniawan
dalam Noviada, dkk, 2014:4-5).
Teknik mengoper bola (passing) hampir sama dengan melakukan
tendangan. Menurut Hermans & Engler (2011:32) jenis passing dapat di
klasifikasikan yakni, “inside of the shoes, forefoot, outside of the foot, inside of
the foot, lob atau chip pass”. Berikut ini merupakan gambar dari cara
melakukan teknik dasar passing.
Gambar 2.1 Jenis passing dengan menggunakan
inside of the shoes
Gambar 2.2 Jenis passing dengan menggunakan forefoot
24
Gambar 2.3 Jenis passing dengan menggunakan
outside of the foot
Gambar 2.4 Jenis passing dengan menggunakan
inside of the foot
Gambar 2.5 Jenis passing dengan menggunakan
lob atau chip pass
25
2) Control (Mengontrol Bola atau Menahan Bola)
“Teknik dasar dalam keterampilan control (menahan bola) harus lah
menggukana telapak kaki (sole). Dengan permukaan lapangan yang rata, bola
akan bergulir cepat sehingga para pemain harus dapat mengontrol dengan baik.
Apabila menahan bola jauh dari kaki, lawan akan mudah merebut bola”
(Lhaksana, 2011:31). “Kontrol yang baik pada saaat menerima bola,
memastikan penguasaan bola dan membantu untuk memulai langkah
berikutnya lebih cepat dan efektif” (FIFA, 2012:30).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa control merupakan
teknik dasar yang paling penting untuk menghentikan laju bola. Pada
permainan futsal control haruslah menggunakan alas kaki atau sole sepatu agar
bola dapat terhenti tanpa terlepas dari penguasaan kaki. “Ada beberapa cara
menontrol bola yakni, dengan kaki, dada, paha dan kepala. Tekniknya juga
berbeda ketika menerima bola datar (ground balls) dan bola lambung
(bouncing balls)” (Tenang, 2008:69). Berikut ini gambar dari teknik dasar
control.
Gambar 2.6 Teknik control dalam futsal menggunakan alas kaki (sole),
paha, dada dan kepala
26
Jika mengontrol bola dengan kaki, ada tiga cara yang harus dilakukan
yakni dengan menggunakan kaki bagian alas sepatu (sole), sisi dalam sepatu
(inside sole), dan sisi luar sepatu (outside sole), dengan mengginakan
punggung atau depan kaki (forefoot). Berikut ini gambar teknik dasar
mengontrol dengan kaki.
Gambar 2.7 Teknik control dengan menggunakan sole, inside sole, outside sole
dan forefoot
3) Dribling (Menggiring Bola)
“Dribbling berarti teknik yang memungkinkan pemain untuk bergerak
dengan bola dalam arah tertentu dengan bola yang tidak dapat diambil oleh
lawan” (Hermans & Engler 2011:28). “Teknik dribbling merupakan
keterampilan penting dan mutlak harus dikuasai oleh setiap pemain futsal.
Dribbling merupakan kemampuan yang dimiliki setiap pemain dalam
menguasai bola sebelum diberikan kepada temannya untuk menciptakan
peluang dalam mencetak gol” (Lhaksana, 2011:33). Sedangkan menurut
Mahhaendro, dkk (2009:150) “Dribbling adalah kemampuan pemain dalam
menguasai bola dengan baik tanpa dapat direbut oleh lawan, baik dengan
berjalan, berlari, berbelok maupun berputar”.
27
Menggiring bola hanya dilakukan pada saat-saat yang menguntungkan
saja, yaitu di saat terbebas dari lawan. Prinsip utama dalam dribbling adalah
menciptakan ruang, mempertahankan penguasaan bola dan melewati lawan.
Dalam futsal dribbling sama halnya dengan sepakbola, namun terdapat
penambahan dalam dribbling di futsal yaitu dribbling menggunakan telapak
kaki atau sole sepatu. Selain itu, dengan ukuran lapangan yang relatif lebih
kecil dan juga rata, mengharuskan sentuhan kaki setiap pemain dengan bola
tidak terlalu jauh. Hal tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh serta penguasaan bola. Tujuan dribbling adalah untuk melewati lawan,
mengarahkan bola ke ruang kosong, melepaskan diri dari kawalan lawan,
mmbuka ruang untuk kawan,serta menciptakan peluang untuk melakukan
shooting ke gawang. Menurut Hermans & Engler (2011:28) Terdapat beberapa
hal yang harus dimiliki oleh seorang pemain futsal agar dapat melakukan
dribling dengan baik yakni, “kreativitas, imajinasi, mobilitas, koordinasi tubuh
dan kemampuan untuk mengubah kecepatan”.
Gambar 2.8 teknik dribling (menggiring bola) dengan menggunakan inside foot,
outside foot dan sole
28
4) Shooting (Menembak Bola)
Dalam bermain futsal tujuan akhir penyerangan adalah melakukan
shooting atau menendang bola ke gawang. Semakin banyak suatu tim
melakukan shooting ke gawang, maka semakin besar pula peluang untuk
menciptakan gol. Menurut Tenang (2008:84) “shooting adalah menendang
bola dengan keras ke gawang guna mencetak gol. Ini juga merupakan bagian
tersulit karena perlu kematangan dan kecerdikan pemain alam menendang bola
agar tidak bisa dijangkau atau ditangkap kiper”. “Shooting tujuannya adalah
puncak dari penyerangan dan teknik yang paling menentukan ketika datang
untuk memenangkan pertandingan” (FIFA, 2012:36).
Shooting mempunyai ciri khas laju bola yang sangat cepat dan keras
serta sulit diantisipasi oleh penjaga gawang. Namun demikian shooting yang
baik harus memadukan antara kekuatan dan akurasi tembakan. Shooting dapat
dilakukan dengan semua bagian kaki, terutama pada punggung kaki, sisi kaki
bagian dalam, dan sisi kaki bagian luar. Menurut Lhaksana (2011:34)
“shooting dapat dibagi menjadi dua teknik, yaitu teknik shooting menggunakan
punggung kaki dan shooting menggunakan ujung sepatu atau ujung kaki”.
Gambar 2.9 Teknik shooting dengan menggunakan punggung kaki dan
ujung sepatu atau ujung kaki
29
5) Goal Keeper Technique (Teknik Penjaga Gawang)
Penjaga gawang atau kiper merupakan satu-satunya pemain dalam
olahraga futsal yang boleh menggunakan tangan untuk menghalau ataupun
menangkap bola yang bertujuan untuk mencegah pemain lawan mencetak gol,
posisi posisi sebagai penjaga gawang juga sering dikatakan sebagai posisi
spesial pada permainan futsal. Menurut Lhaksana (2011:42) “dalam permainan
futsal, kiper atau penjaga gawang mempunyai peran yang sangat besar.
Serangan dan bertahan dimulai dari penjaga gawang. Dengan distribusi bola
melalui lemparan dan tendangan passing ke arah pemain depan, sebuah
serangan dapat diawali”. “Bila di sepakbola konvensional seorang kiper masih
sering bias beristirahat sejenak di antara satu serangan dengan serangan
berikutnya, dalam futsal seorang kipper hamper tidak bias beristirahat atau
santai sejenak. Serangan terus dating bertubi-tubi” (Shceunemann, 2011:97).
“Kiper futsal modern jauh lebih penting dari kiper sepakbola yang
memiliki peran hanya melindungi gawang dari gol, sedangkan kiper futsal
modern harus mengantisipasi situasi dan berpartisipasi aktif dalam permainan”
(Hermans & Engler 2011:41). Kecilnya area pertandingan dan kecepatan bola
bergulir membuat seorang penjaga gawang harus cepat mengambil keputusan
apakah dengan menangkap, blocking, dan menendang. Tugas dari seorang
penjaga gawang adalah memperkecil dan sebisa mungkin menggagalkan
kesempatan lawan untuk membuat gol dengan teknik dan taktik yang benar.
Selain harus memiliki mental, fisik dan teknik yang baik seorang
penjaga gawang juga memiliki beberapa sapek lagi untuk menjalankan
tugasnya sebagai pemain yang berfungsi sebagai benteng atau pertahanan
terakhir dari sebuat tim. Menurut Lhaksana (2011:42) “seorang penjaga
gawang futsal membutuhkan kekuatan, kecepatan, dan kelincahan dalam
menjalankan tugasnya karena frekuensi berhadapan dengan lawan maupun
berbenturan dengan bola membuat kemungkinan lawan untuk menciptakan
golmenjadi tinggi”. Selain itu Hermans & Engler (2011:41) juga berpendapat
bahwa “kiper futsal harus memiliki kemampuan kecepatan dasar, kecepatan
reaksi, kekuatan umum, fleksibelitas, dan kewaspadaan”.
30
Menurut Lhaksana (2011:44) terdapat beberapa latihan teknik yang
harus dikuasai oleh seorang penjaga gawang adalah “menangkap bola,
blocking, melempar bola, passing”. Sedangkan Hermans & Engler (2011:4245) juga mengemukakan beberapa teknik yang harus dikuasai oleh seorang
penjaga gawang adalah “receiving the ball (menerima bola), catching the ball
(menangkap bola), goal kick (tendangan gawang), stopping the ball with the
foot (menghentikan bola dengan kaki), goal throw (lemparan gawang), diving
catch , punching the ball (meninju bola)”.
Gambar 2.10 goal keeping technique (teknik penjaga gawang)
3. Latihan Fisik Futsal
a. Komponen Latihan Fisik Futsal
1) Daya Tahan (Endurance)
Harsono (1988:155), menyatakan, “Daya tahan adalah keadaan atau
kondisi tubuh yang mampu bekerja untuk waktu lama tanpa mengalami
kelelehan yang berlebihan setelah menyelesaikan pekerjaan”.Sedangkan
Menurut Indrayana (2012:4) “Daya tahan adalah kemampuan untuk bekerja,
berlatih dalam waktu yang lama.Atlet yang memiliki dayatahan yang baik
adalah atlet yang dapat berlatih dalam waktu relatif singkat, kondisinya telah
kembali seperti sebelum latihan”. Sedangkan Bompa (1994:344), menyatakan
bahwa “daya tahan berkenaan dengan batas waktu kerja dalam satu intensitas
yang dapat dikerjakan”.
“Daya tahan adalah kemampuan seseorang dalam mempergunakan
sistem jantung, pernapasan dan peredaran darahnya, secara efektif dan efisien
dalam menjalankan kerja terus menerus yang melibatkan kontraksi sejumlah
31
otot dengan intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama” (Sajoto, 1988:58).
Selain itu Lutan (1990:112) juga berpendapat bahwa “daya tahan adalah
kemampuan seseorang untuk melakukan kerja dalam waktu yang relatif lama,
istilah lain yang sering digunakan adalah respiration-cardio-vasculair
endurance yakni daya tahan yang bertalian dengan pernafasan, jantung, dan
peredaran darah”. Jadi dapat disimpulkan bahwa daya tahan atau yang sering
disebut dengan endurance dapat mempengaruhi performa seorang baik pada
saat bekerja, berlatih maupun pada saat bertanding.
“Ketahanan dapat dikelompokkan menurut jenis, jangka waktu, dan
sistem energi yang digunakan” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:61). Menurut
jenisnya daya tahan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu daya tahan umum
dan daya tahan khusus (Bompa, 1994:344).
“Daya tahan umum adalah kapasitas melakukan suatu kegiatan yang
mengakibatkan beberapa kelompok otot dan kardiorespirasi selama waktu
yang panjang. Sedangkan untuk daya tahan khusus sering kali menunjuk pada
daya tahan dalam olahraga dalam permainan, lari cepat dan lainnya tergantung
kepentingan setiap cabang olahraga atau mengulang-ulang gerakan pada setiap
cabang olahraga”
Daya tahan umum dan khusus memiliki perbedaan pada saat
melakukan latihan daya tahan umum dalam jangka waktu yang panjang,
sedangkan daya tahan khusus lebih kepada olahraga permainan dan tergantung
pada setiap cabang olahraga. Ditinjau dari lamanya kerja menurut Bompa
(1994: 344-345) daya tahan dapat dibedakan menjadi lima “1) ketahanan
jangka panjang, 2) ketahanan jangka menengah, 3) ketahanan jangka pendek,
4) ketahanan otot, 5) ketahanan kecepatan”. Sedangkan daya tahan yang
ditinjau dari penggunaan sistem energi menurut Sukadiyanto & Muluk
(2011:63) yaitu “ketahanan aerobik, ketahanan anaerobik alaktik, dan
ketahanan anaerobik alaktik”.
Menurut Sukadiyanto & Muluk (2011:60) “tujuan dari latihan
ketahanan adalah untuk meningkatkan kemampuan olahragawan agar dapat
mengatasi kelelahan selama aktifitas kerja berlangsung”. Kelelahan yang
terjadi pada olahragawan dapat terjadi baik secara fisik maupun psikis.
“Kemampuan ketahanan seorang olahragawan dipengaruhi oleh beberapa
32
faktor diantaranya: faktor kecepatan, kekuatan otot, kemampuan teknik untuk
menampilkan gerak secara efisien, kemampuan memanfaatkan potensi secara
psikologis, dan keadaan psikologis saat bertanding atau berlatih” (Sukadiyanto
& Muluk, 2011:61). Selain itu Nossek (1982:106) berpendapat bahwa
“kualitas ketahanan yang dikembangkan dengan baik sangat penting dalam
memungkinkan olahragawan untuk mempertahankan tingkat intensitas tinggi
selama priode pekerjaan diperpanjang, mempengaruhi pemulihan secara cepat,
ketahanan yang umum memungkinkan untuk membebani olahragawan secara
maksimal dengan latihan yang berbeda”.
Komponen biomotor daya tahan dipengaruhi oleh kondisi kebugaran
otot dan kebugaran energi dari olahragawan. “Keberhasilan dalam latihan daya
tahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, 1) sistem syaraf pusat, 2)
kemauan olahragawan, 3) kapasitas aerobik, 4) kapasitas anaerobik dan 5)
kecepatan
cadangan”
(Bompa,
1994:345-348).
Sedangkan
menurut
Sukadiyanto & Muluk (2011:64-66) “faktor yang mempengaruhi kemampuan
ketahanan seseorang adalah, sistem syaraf pusat, kemauan (motivasi)
olahragawan, kapasitas aerobik, kapasitas anaerobik, kecepatan cadangan,
intensitas, frekuensi, durasi latihan, faktor keturunan, umur dan jenis kelamin“.
Metode latihan daya tahan adalah suatu cara untuk meningkatkan daya
tahan olahragawan. “Sasaran dalam melatih komponen biomotor ketahanan
selalu melibatkan kebugaran energi dan kebugaran otot, sehingga sasaran
latihannya
tidakdapat
dipisahkan
secara
mutlak
diantara
keduanya”
(Sukadiyanto & Muluk, 2011:66). Unsur ketahanan merupakan komponen
biomotor dasar yang melandasi latihan untuk mengembangkan berbagai
kemampuan biomotor yang lainnya. Pada saat latihan daya tahan pentahapan
yang harus diperhatikan adalah mengacu pada piramida latihan. Menurut
Martens (2012:258) dalam piramida latihan untuk menuju puncak prestasi
dimulai dari latihan yang mengembangkan kemampuan aerobik, selanjutnya
ambang rangsang anaerobik (anaerobik threshold), anaerobi, dan puncaknya
adalah kecepatan.
33
Tabel 2.2 Piramida Latihan
Intensity of exercise (% of maximum HR)
Kecepatan (speed)
Intensitas maksimal dengan memindahkan
tubuh secepat mungkin untuk durasi yang
pendek.
Latihan Anaerobik
Push over the threshold to train the anaerobic
energypathway through intense, shortbouts of
exercise.
Latihan Ambang Laktat
Intensitas menigkat untuk melatih dibatas atas
dari jalur energi aerobik untuk meningkatkan
ambang laktat.
95 –
100 %
90 –
94 %
85 –
89 %
Fondasi Aerobik
Intensitas rendah, aktivitas durasi panjang
seperti lati, dayung, bersepeda dan berenang.
70 –
84 %
Sumber : (Martens, 2012:258)
Setiap jenis latihan apabila dijalani dengan benar, tepat dan sesuai
kaidah prinsip dan sasaran latihan tentunya akan memberikan dampak yang
baik atau peningkatan keadaan fisiologis maupun psikologis olahragawan.
Menurut Bowers dan Fox dalam Sukadiyanto & Muluk (2011:80) perubahan
penting yang terjadi pada otot antara lain, konsentrasi mioglobin, pembakaran
karbohidrat dan lemak, simpanan glikogen otot dan trigliserit, anaerobik
glikolisis (sistim asam laktat), simpanan phosphagen, serta ukuran dan jumlah
serabut otot”. Dengan demikian latihan daya tahan dapat mempengaruhi
peningkatan terhadap kebugaran energi, jasmani dan kebugaran otot.
Tabel 2.3 Metode Latihan Daya Tahan dan Sasarannya
Bentuk Aktifitas latihan
Sasaran
Denyut
Durasi
Intensitas
Latihan
Jantung
Berenang
Berlari
Anaerobik
160 – 180
Alaktik
5 – 20
detik
Anaerobik
60 – 90
180 – 190
Laktik
detik
Toleransi
Asam
90 – 120
190 – 200
Laktat
detik
Tipe A
Toleransi
20 – 120
190 – 200
Asam
detik
Renang 98%,
lari
maksimal
95 – 98 %
10 x 25 m
t.r : 60 – 90
detik
10 x 75 m
t.r : 60 – 90
detik
6 x 150 m
6 x 400 m
t.r : 4 – 5 menit t.r : 4 – 5 menit
95 %
6 x (150-120 m)
t.r : 2 – 3 menit
4 x 600 m
t.r : 3-5 menit
90 – 95%
8 x (100-200 m)
t.r : 20 – 30
6 x 400 m
t.r : 30 detik
34
Laktat
Tipe B
VO2 max
Aerobik 190 – 200
Maksimal
detik
2–5
Menit
90 – 95%
6 x 300 m
t.r : 60 – 90
detik
2 x 1600 m
t.r : 5 – 7 menit
Lari 20 – 30
3 x 800 m
menit,
80 – 90%
t.r : 2 – 3 menit kecepatan sub
maksimal
Renang
Lari menempuh
15 Menit
Aerobik 120 – 150
70 – 80%
menempuh
jarak 10 – 35
– 2 Jam
jarak 1000 m
km
Sumber : (Pyke dalam Sukadiyanto & Muluk, 2011:80)
Ambang
15 – 30
Rangsang 170 – 180
Menit
Anaerobik
Berdasarkan
beberapa
metode
latihan
daya
tahan
dan
cara
meningkatkan sistem energi, Bompa (1994:358-360) mengemukakan bahwa
metode latihan untuk meningkatkan sistim energi yaitu “1) latihan untuk
toleransi asam laktat, 2) latihan untuk konsumsi oksigen, 3) latihan untuk
ambang rangsang anaerobik, 4) latihan untuk sistim phosphat, 5) latihan untuk
ambang rangsang aerobik”. Selain itu Rushall dan Pyke (1992:201-210) juga
mengelompokkan model latihan daya tahan menjadi “1) latihan kontinyu
(latihan kontinyu intensitas rendah dan latihan kontinyu intensitas tinggi), 2)
latihan fartlek, 3) latihan interval (latihan interval panjang, latihan interval
menengah dan latihan interval pendek)”. Pada dasarnya melatih komponen
daya tahan olahragawan harus memperhatikan sasaran yang akan dicapai agar
latihan yang dilakukan dapat dicapai dengan hasil yang mmaksimal. Sasaran
yang harus dicapai dari latihan daya tahan ini antara lain kebugaran otot dan
kebugaran energi.
2) Kekuatan (Strenght)
“Kekuatan (Strenght) adalah komponen kondisi fisik yang menyangkut
masalah kemampuan seorang atlit pada saat mempergunakan otot-ototnya,
menerima beban dalam jangka waktu tertentu” (Sajoto, 1988:58). Selain itu
Sukadiyanto & Muluk (2011:90) mengemukakan bahwa “kekuatan (Strenght)
merupakan salah satu komponen dasar biomotor yang diperlukan dalam setiap
cabang olahraga”. “Kekuatan adalah kemampuan otot untuk membangkitkan
tegangan terhadap suatu tahanan” (Harsono, 2001:25). “Strenght merupakan
35
salah satu komponen dasar biomotor yang diperlukan dalam setiap cabang
olahraga dan sangat penting dalam proses mencetak atlet” (Mylsidayu &
Kurniawan, 2015:98). Jadi dapat disimpulakan bahwa kekuatan (strenght)
merupakan salah satu metode latihan atau komponen dasar yang berkaitan
dengan penggunaan dan kemampuan otot dari olahragawan dalam cabang
olahraga tertentu.
Meskipun bayak aktifitas olahraga lebih memerlukan kelincahan,
kelenturan, kecepatan, keseimbangan, koordinasi, daya tahan dan sebagainya,
akan tetapi faktor-faktor tersebut tetap harus dikombinasikan dengan faktor
kekuatan (strenght) agar bisa diperoleh hasil yang lebih baik dan maksimal.
Kekuatan tetap merupakan komponen yang besar dari semua komponen
kondisi fisik. Setiap cabang olahraga, olahragawan membutuhkan kekuatan
yang berbeda-beda, karena tuntutan kebutuhan kekuatan dari setiap cabang
olahraga berbeda, sehingga setiap cabang olahraga membutuhkan latihan
kekuatan yang lebih khusus sesuai dengan spesifikasi cabang olahraga masingmasih olahragawan. Akan tetapi setiap olahragawan harus memiliki kekuatan
yang cukup dan sesuai dengan cabang olahraganya, agar mampu melaksanakan
kegiatan olahraganya secara efisien dan tanpa mengalami kelelahan yang
berlebihan akibat dari kekurangan kekuatan.
“Tingkat kekuatan olahragawan diantaranya dipengaruhi oleh, panjang
pendeknya otot, besar kecilnya otot, jauh dekatnya titik beban dengan titik
tumpu, tingkat kelelahan, jenis otot merah atau putih, potensi otot, pemanfaatan
potendi otot, teknik dan kemampuan kontraksi otot” (Sukadiyanto & Muluk,
2011:91). Selain itu Budiwanto (2012:34) juga berpendapat bahwa faktorfaktor yang menentukan kekuatan ialah, “a) luas potongan melintang otot
sebagai akibat hipertropi otot, b) jumlah fibril otot yang terlibat dalam
melawan beban, c) ukuran rangka tubuh, d) inervasi otot, e) sistem kimia otot,
f) tonus otot saat istirahat, semakin rendah tonus otot semakin kuat saat
bekerja, g) usia, h) jenis kelamin, i) psikologis”.
Macam-macam latihan kekuatan dapat dilakukan sebagai berikut,
Budiwanto (2012:35) “1) latihan dengan mengatasi atau dengan menggunakan
berat badan sendiri terutama bagi atlet usia anak-anak, 2) latihan menggunakan
36
beban yang diangkat, ditarik, didorong dan ditahan, 3) latihan bermain dengan
menggunakan alat-alat yang diperberat, 4) latihan dengan menggunakan alatalat yang spesifik”. Bompa (1994:320) berpendapat bahwa “suatu program
latihan kekuatan untuk memperbesar otot (hypertropi) merupakan hasil dari
faktor-faktor berikut, a) besar myofibril (benang halus dari serabut otot) setiap
serabut otot meningkat (hypertropi), b) peningkatan kepadatan kapiler setiap
serabut otot, c) peningkatan banyaknya protein, d) peningkatan total banyaknya
serabut otot”.
Terdapat tiga macam kontraksi otot menurut Rushall dan Pyke
(1992:218-219) yaitu “kontraksi isotonik, kontraksi isometrik, kontraksi
isokenetik. Bompa (1994:322) mengolongkan tiga tipe kontraksi otot yaitu
“kontraksi concentric, kontraksi eccentric, dan kontraksi plyomeric”. Ketiga
macam kontraksi otot dan tipe kontraksi otot tersebut saling berkaitan dan
mendunkung satu sama lain pada saat latihan. Dalam latihan kekuatan
diperlukan metode latihan yang berbeda-beda disesuaikan dengan macam
kontraksi dan tipe kontraksi ototnya. “Latihan-latihan kekuatan haruslah selalu
merupakan latihan-latihan kekuatan yang progresif (progressive resistance
training) dan tidak berhenti pada satu berat beban atau bobot tertentu”
(Harsono, 2001:25).
a. Kontraksi Isometrik (statis)
“Kontraksi isometrik adalah meningkatnya ketegangan otot pada saat
memanjang, sehingga panjang otot dalam keadaan tetap atau tidak berubah
tetapi berkontraksi” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:91). “Dalam kontraksi
isometris otot-otot tidakk memanjang atau memendek sehingga tidak akan
nampak suatu gerakan yang nyata, atau dengan perkataan lain tidak ada
jarak yang ditempuh” (Harsono, 1988:179). Kontraksi isometrik ini bisa
diartikan bahwa tidak ada gerakan persendian atau melawan benda, dapat
disebut bahwa kontraksi dalam keadaan diam atau kontraksi otot bersifat
statis. Kontraksi isometrik juga dapat dilakukan dengan menahan berat
badan dan kekuatan otot olahragawan sendiri. Contoh kontraksi isometrik
adalah mendororng, mengangkat, menahan, mendorong suatu obyek atau
37
benda yang tidak dapat bergerak, menekan kedua telapak tangan sekuat
tenaga di depan dada, plank, side plank.
Gambar 2.11 Contoh gerakan kontraksi isometrik
Untuk memperoleh hasil yang efektif, kontraksi isometrik harus
dipertahankan selama beberapa detik. Latihan akan bermanfaat bagi orangorang yang dalam tugas sehari-harinya harus banyak duduk. Menurut
Harsono (1988:181) latihan isometrik memiliki beberapa keuntungan
diantaranya, “1) latihan dapat dilakukan dalam sembarang posisi, 2) tidak
memerlukan alat yang khusus, 3) tidak memerlukan waktu yang lama, 4)
dapat memperkembang kekuatan pada setiap sudut sendi yang diperlukan,
5) tidak menimbulkan sakit otot, 6) pada saat atlet istirahat karena cidera,
latihan isometrik dapat dilakukan”.
b. Kontraksi Isotonik (Dinamis)
Kontraksi isotonik juga dapat disebut kontraksi otot pada saat otot
sedang mengalami pemanjangan maupun pemendekan pada saat latihan.
“Dalam tipe kontraksi isotonik akan nampak bahwa akan terjadi suatu
gerakan dari anggota-anggota tubuh kita yang disebabkan oleh memanjang
dan memendeknya otot-otot sehingga terdapat perubahan dalam panjang
otot” (Harsono, 2001:25). “Kontraksi isotonik adalah meningkatnya
ketegangan ototpada saat otot dalam keadaan memanjangdan memendek”
(Sukadiyanto & Muluk, 2011:92). Kontraksi isotonik terbagi lagi dalam dua
macam kontraksi yaitu kontraksi konsentrik (otot memendek) dan kontraksi
eksentrik (otot memanjang).
38
Gambar 2.12 Contoh kontraksi isotonik konsentrik (kiri)
dan ekstrinsik (kanan)
Jenis kontraksi isotonik pada umumnya terjadi pada cabang olahraga
yang dalam aktivitasnya bersifat dinamis. Kontraksi isotonik termasuk
dalam kategori gerak yang siklus. Contoh dari kontraksi isotonik adalah
push-up, sit-up, back-up, yang semuanya dimulai dari posisi badan
menyentuh lantai. “Salah satu latihan latihan kekuatan secara isotonis yang
paling populer dalam olahraga adalah weight training” (Harsono,
1988:185).
“Weight training adalah latihan-latihan yang sistimatis dimana
beban dipakai hanya sebagai alat untuk menambah kekuatan otot guna
mencapai berbagai tujuan tertentu, seperti memperbaiki kondisi fisik,
kesehatan, kekuatan, prestasi dalam suatu cabang olahraga dan sebagainya”
(Harsono, 1988:185). Kebanyakan pelatih berpendapat bahwa latihan weight
training ini dapat membahayakan dan menyebabkan atlet menjadi cidera
atau yang sering disebut dengan “muscle bound” yang dapat mengakibatkan
atlet akan menjadi lamban dan kaku. Persepsi yang menyebutkan bahwa
model latihan weight training dapat menyebabkan atlet mengalami muscle
bound dapat dihilangkan dari pikiran para pelatih dan atlit, dengan cara
penerapan dan pelaksanaan weight training ini dilakukan dengan tepat
dengan memenuhi prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan. Harsono (1988:186) berpendapat bahawa “apabila weight
training dilaksanakan dengan benar, selain dapat memperbaiki kesehatan
fisik secara keseluruhan, juga dapat memeperkembangkan kecepata, power,
kekuatan dan daya tahan, yaitu faktor-faktor yang penting bagi setiap atlet”.
39
c. Kontraksi Isokenetik
Para ahli dalam weight training berpendapat bahwa latian kekuatan
yang menganut metode kontraksi isokenetik, yang aplikasinya adalah
kombinasi kontraksi isometrik dan isotonik adalah yang paling efektif.
“Kontraksi isokinetik adalah kontraksi otot yang secara terus menerus pada
saat otot dalam keadaa memanjang dan memendek sepanjang luas gerak
yang dilakukan” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:93). Bila ditinjau dari segi
tipe kontraksinya pada jenis kontraksi isokinetik juga merupakan gabungan
dari tipe kontraksi eccentric dan concentric. Contoh gerakan kontraksi
isokinetik yaitu sama seperti pada gambar 2.12 di atas yang dilakukan
dengan cara mengangkat dan menurunkan beban secara terus menerus.
Kontraksi isokinetik memungkinkan otot untuk bekerja maksimal
pada setiap sudut sendi atau pada seluruh ruang gerak sendi. Pada saat
latihan otot dalam keadaan memendek dan memanjang tetap berkontraksi
secara terus menerus sehingga dalam aktifitasnya tidak ada waktu relaksasi.
“Pada waktu melatih strenght dengan cara isokinetik, pelatih harus
perhatikan bahwa kecepatan gerakan mengangkat, mendorong dan menarik
harus lah mirip dengan gerakan yang dilakukan dalam cabang olahraga yang
bersangkutan” (Harsono, 1988:206).
3) Kecepatan (Speed)
Kecepatan merupakan salah satu komponen dasar biomotor yang
diperlukan dalam setiap cabang olahraga. “Kecepatan (speed) adalah
kemampuan seseorang dalam melakukan gerak berkesinambungan, dalam
bentuk yang sama dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dalam masalah
kecepatan ini, ada kecepatan gerak dan kecepatan explosive” (Sajoto, 1988:58).
Selain itu Nala (1998:66) berpendapat bahwa “kecepatan adalah kemampuan
untuk berpindah atau bergerak dari tubuh atau anggota tubuh dari satu titik ke
titik lainnya atau untuk mengerjakan suatu aktifitas berulang yang sama serta
berkesinambungan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”. “Kecepatan
adalah jarak tempuh per satuan waktu yang diukur dalam menit atau skala
kuantitas atau kemampuan melakukan gerakan dalam priode waktu yang
40
pendek” (Budiwanto, 2012:38). Jadi kecepatan yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan dengan jarak dalam ukuran waktu yang sesingkat-singkatnya,
kecepatan juga merupakan unsur dasar bagi seorang atlit setelah kekuatan dan
daya tahan mencapai hasil yang maksimal.
“Secara umum kecepatan mengandung pengertian kemampuan seseorang
untuk melakukan gerak atau serangkaian gerak secepat mungkin sebagai
jawaban terhadap rangsangan” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:116). Dalam
menjawab rangsangan kecepaatan bentuk gerak atau serangkaian gerak dapat
dilakukan
secepat
mungkin.
Verducci
dalam
Budiwanto
(2012:38)
menyebutkan bahwa “kecepatan dibedakan dalam dua komponen, yaitu waktu
reaksi dan waktu gerak”. Selain itu Sukadiyanto & Muluk (2011:116) juga
berpendapat bahwa “ada dua macam kecepatan, yaitu kecepatan reaksi
(kecepatan reaksi dibedakan lagi menjadi dua yaitu, reaksi tunggal dan reaksi
majemuk) dan kecepatan gerak (kecepatan gerak dibedakan lagi menjadi dua
yaitu, gerak siklus dan gerak non siklus)”.
a) Kecepatan reaksi
“Kecepatan reaksi adalah kemampuan seseorang dalam menjawab
suatu rangsang dalam waktu sesingkat mungkin” (Mylsidayu & Kurniawan,
2015:115). Sedangkan menurut Suharno dalam Budiwanto (2012:39)
“kecepatan reaksi yaitu kemampuan suatu otot atau sekelompok otot untuk
bereaksi dalam tempo yang singkat setelah mendapat suatu rangsangan.
Kecepatan reaksi dipengaruh oleh sistem syaraf pusat, kemampuan
berorientasi terhadap situasi, kemampuan panca indera dalam menerima
rangsang, kecepatan gerak dan power”.
(1) Kecepatan reaksi tunggal
“Kecepatan reaksi tunggal adalah kemampuan seseorang untuk
menjawab rangsang yang telah diketahui arah dan sasarannya dalam
waktu sesingkat mungkin” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:117). Dapat
ditarik kesimpulan bahwaw kecepatan reaksi tunggal yaitu seseorang
melakukan gerakan yang arah dan tujuan gerakannya sudah ada dalam
benak pikirannya sehingga rangsangan atau stimulis dapat diprediksi
pada
saat
melakukannya.
Sebagai
contoh,
seorang
pelatih
41
mengintruksikan altelnya bahwa apabila mendengarkan pliut satu kali
atlit harus jogging, ketika mendengarkan pliut dua kali atlit harus sprint
dan apabila mendengarkan pluit tiga kali atlit harus jalan.
(2) Kecepatan reaksi majemuk
“Kecepatan reaksi majemuk adalah kemampuan seseorang untuk
menjawab rangsang yang belum diketahui arah dan sasarannya dalam
waktu sesingkat mungkin” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:117). Jadi
kecepatan reaksi majemuk ini berbanding terbalik dengan kecepatan
reaksi tunggal. Pada kecepatan reaksi majemuk seorang atlit sebelum
melakukan gerak atlit tersebut belum mengetahui arah dan sasaran gerak
yang dilakukan. Contoh, seorang pelatih memegang bola basket di tangan
kiri dan kanannya dengan kedua lengan diluruskan, atlit berdiri
menghadap kepada pelatih. Tugasnya menangkap bola yang dijatuhkan
oleh pelatih sebelum bolanya memantul untuk kedua kalinya.
b) Kecepatan gerak
“Kecepatan gerak adalah kemampuan seseorang melakukan gerak
atau serangkaian gerak dalam waktu yang sesingkat mungkin” (Sukadiyanto
& Muluk, 2011:118).
(1) Kecepatan gerak siklus
“Kecepatan
gerak
siklus
adalah
kemampuan
sistem
neuromoskuler untuk melakukan serangkaian gerak dalam waktu yang
sesingkat mungkin” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:118). Pada bagian ini
aktivitas dilakukan secara berkesinambungan atau gerakan yang
berangkai. Contoh, jalan, lari, berenang, bersepeda.
(2) Kecepatan gerak non siklus
“Kecepatan gerak non siklus adalah kemampuan sistem
neuromoskuler untuk melakukan gerak tunggal dalam waktu yang
sesingkat mungkin” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:118). Gerak non siklus
ini sering disebut dengan gerak tunggal. Contoh, melempar, menendang,
memukul, melompat.
Umumnya latihan kecepatan dilakukan setelah atlet dilatih ketahanan dan
kekuatan. Menurut Bompa (1994:368-370) “faktor-faktor yang mempengaruhi
42
kecepatan antara lain, keturunan, waktu reaksi, kemampuan mengatasi beban,
teknik, konsentrasi dan kemauan, elastisitas otot”. Selain itu Dick dalam
Budiwanto (2012:38-39) juga berpendapat bahwa “kecepatan tergantung pada
beberapa faktor yaitu, inervasi sistem saraf, elastisitas otot, biokimia otot,
kemampuan otot untuk reaksi, konsentrasi dan kemauan, kemampuan
menggunakan otot dengan cepat yang tepat untuk bergerak dan bereaksi”.
Selain itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas kecepatan disajikan
dalam tinjauan berbentuk grafis oleh Nossek (1982:87).
Proses gerakan
syaraf
KECEPATAN
Perangsang
perhentian
Elastisitas
otot
Kontraksi
relaksasi
Peregangan dan
kontraksi kapasitas
otot-otot
Kekuatan,
kecepatan dan
dayatahan
Teknik
olahraga
Daya
kehendak
Koordinasi otot
antara sinergis
dan antagonis
Gambar 2.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecepatan
4) Kelenturan (Flexibility)
Fleksibilitas merupakan salah satu unsur yang penting dalam rangka
pembinaan olahraga prestasi, dimana tingkat fleksibilitas seseorang akan
berpengaruh terhadap kmponen-komponen biomotor lainnya. “Fleksibelitas
atau kelenturan merupakan kualitas fisik yang sangat mudah untuk
dikembangkan.
Kelenturan
memanfaatkan
lebar
juga
ayunan
dapat
diartikan
gerakan-gerakan
kemampuan
dalam
untuk
sendi-sendi
ke
kemampuan maksimal” (Nossek, 1982:138). “Kelenturan adalah luas daerah
gerak pada suatu sendi, dengan kata lain kelenturan adalahkemampuan untuk
dapapt menggerakkan bagian atau anggota badan dengan luas gerak tertentu
pada suatu sendi” (Budiwanto, 2012:40). Menurut Harsono (1988:163)
43
“fleksibilitas adalah kemampuan untuk melakukan gerakan dalam ruang gerak
sendi. Kecuali oleh ruang gerak sendi, kelentukan juga ditentukan oleh elastis
tidaknya otot-otot, tendon dan ligamen”. Dengan demikian fleksibilias sangat
dibutuhkan oleh semua kalangan baik
olahragawan maupun
bukan
olahragawan, seseorang yang memiliki fleksibilitas yang baik mempunyai
ruang gerak yang luas, dalam sendi-sendinya dan mempunyai otot-otot yang
lentur.
Terdapat beberapa keuntungan bagi olahragawan yang memiliki kualitas
fleksibilitas yang baik antara lain, “1) akan memudahkan atlet dalam
menampilkan berbagai kemampuan gerak dan keterampilan, 2) menghindarkan
diri dari kemungkinan akan terjadinya cidera pada saat melakukan aktivitas
fisik, 3) memungkinkan atlet untuk dapat melakukan gerak yang ekstrim, 4)
memperlancar aliran darah sehingga sampai pada serbut otot” (Sukadiyanto &
Muluk, 2011:137). Kelenturan merupakan salah satu unsur dasar dari kondisi
fisik yang harus dikembangkan dan ditingkatkan terutama pada atlet-atlet yang
masih muda. “Kelenturan dapat ditentukan oleh beberapa faktor, terutama
adalah jaringan ikat didalam dan sekitar sendidan otot yaitu ligamentum, tendo,
bungkus sendi, dan bentuk sendi” (Budiwanto, 2012:40-41). Latihan yang
kurang sempurna akan menurunkan kelenturan, kurang aktif bergerak dalam
jangka waktu yang lama akan menyebabkan jaringan pengikat menjadi kaku
sehingga mengakibatkan keleluasaan gerak menjadi kaku.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi komponen biomotorik
kelenturan yaitu, “genetik, otot, umur dan jenis kelamin, suhu, waktu, kekuatan
otot, kelelahan dan emosi” (Bompa, 1994:376-377). Selain itu Sukadiyanto &
Muluk (2011:138) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fleksibilitas
seseoang adalah “elastisitas otot, tendo dan ligamen, susunan tulang, bentuk
persendian, suhu atau temperatur tubuh, umur, jenis kelamin, dan bioritme”.
Meningkatkan komponen kelenturan penting sekali sebab hampir semua
cabang olahraga memerlukan komponen ini. Beberapa metode latihan yang
dapat digunakan untuk meningkatkan dan mengembangkan kelenturan atau
fleksibilitas adalah “1)peregangan dinamis atau yang sering disebut dengan
peregangan balistik, 2) peregangan statis, 3) peregangan pasif, 4) peregangan
44
kontraksi – rileksasi atau yang sering disebut proprioceptive neuromuscular
facilitation (PNF)” (Harsono, 1988:164-170). Selain itu Rushall & Pyke
(1992:275) menyebutkan “ada tiga metode untuk meningkatkan fleksibilitas, 1)
slow active stretching (SAS), 2) proprioceptive neuromuscular facilitation
(PNF), 3) ballistic stretching”.
Berikut
ini
penjelasan
tentang
jenis-jenis
dari
metode
untuk
meningkatkan fleksibelitas.
a) Peregangan Dinamis (Dynamic Stretching)
Peregangan dinamis ini sering disebut dengan metode yang
tradisional untuk melatih kelenturan. “Peregangan dinamis biasanya
dilakukan dengan menggerak-gerakkan tubuh atau anggota tubuh secara
ritmis
(berirama) dengan gerakan-gerakan memutar atau memantul-
mantulkan anggota tubuh sedemikian rupa sehingga otot-otot terasa
teregangkan, dan yang maksudkannya adalah untuk secara bertahap
meningkatkan ruang gerak sendi” (Harsono, 1988:164). Selain itu
Sukadiyanto & Muluk (2011:144) menjelaskan bahwa “peregangan dinamis
adalah gerakan peregangan yang dilakukan dengan melibatkan otot-otot dan
persendian, gerakan peregangan dinamis dilakukan secara perlahan dan
terkontrol dengan pengkal pergerakannya adalah pada persendian”. Sasaran
pada peregangan dinamis ini adalah untuk meningkatkan kelenturan
persendian, tendo, ligamen, dan otot. Gerakan pada peregangan dinamis
yaitu diregang-regangkan secara aktif seluas ruang gerak persendian yang
dilatih. Berikut ini contoh-contoh pergerakan pada peregangan dinamis.
Gambar 2.14 Gerakan
patahan ke kiri-kanan
Gambar 2.15
Gerakan menengok
ke kiri-kanan
Gambar 2.16 Gerakan
mengayunkan salah
satu tungkai (bergantian)
45
b) Peregangan Statis (Static Stretching)
“Peregangan statis adalah gerakan peregangan pada otot-otot yang
dilakukan secara perlahan-lahan hingga terjadi ketegangan dan mencapai
rasa nyeri atau rasa tidak nyaman (discomfort zone) pada otot tersebut”
(Sukadiyanto & Muluk, 2011:142). “Peregangan statis sebenarnya sudah
lama dipraktekkan oleh penggemar yoga, kini semakin benyak penganutnya
dan banyak dilakukan dalam program latihan kesegaran jasmani” (Harsono,
1988:166). Sasaran pada peregangan statis adalah untuk meningkatkan dan
memelihara kelentukan otot-otot yang diregangkan. “Peregangan statis
dilakukan secara perlahan-lahan dan dipertahankan selama 10 deetik atau
lebih” (Pate, McClenaghan & Rotella, 1984:331).
Menurut Harsono (1988:167-168) beberapa langkah yang perlu
diperhatikan dalam melakukan latihan peregangan statis adalah sebagai
berikut.
(1)Regangkan otot secara perlahan-lahan dan tanpa kejutan
(2)Apabila teras ada regangan pada otot berhentilan sebentar, kemudian
lanjutkan regangan sampai terasa agak sakit, berhenti lagi, akhirnya
lanjutkan regangan sampai sedikit melewati titik rasa sakit.
(3)Pertahankan sikap terakhir ini secara statis untuk selama 20-30 detik.
(4)Seluruh anggota tubuh lainnya tinggal relax, terutama otot-otot
antagonisnya (yang diregangkan) agar ruang gerak sendi mampu untuk
meregang lebih luas.
(5)Bernafaslah terus, jangan menahan nafas.
(6)Selesai mempertahankan sikap statis selama 20-30 detik, kembalilah
kesikap semula secara perlahan-lahan.
Beberapa contoh peregangan statis sebagai berikut.
Gambar 2.17 Gerakan A dan B
Sasaran otot-otot bahu
Gambar 2.18 Sasaran otot
quadriceps
46
c) Peregangan Balistik (Ballistic Stretching)
“Peregangan balistik menggerakkan otot secara refleksi, ekstensi
dan berayunpada satu lengan atau tungkai, sedangkan tungkai atau lengan
satunya diam. Dapat pula melenturkan tubuh bagian atas dengan berayun
kedepan (membungkuk) dan kebelakang atau badan condong ke kiri dan
kanan” (Nala, 1998:72). Sedangkan menurut Fox & Bowers dalam
Sukadiyanto & Muluk (2011:140) “peregangan balistik bentuknya sama
dengan senam calisthenics, yaitu bentuk dari peregangan pasif yang
dilakukan dengan cara gerakan yang aktif”. “Adapun ciri-ciri dari
pergerakan balistik adalah dilakukan secara aktif dengan cara gerakanya
dipantul-pantul (bouncing or bobbing)” (Bompa, 1992:379). Gerakan pada
otot yang sama dan pada sendi yang sama dilakukan secara berulang-ulang.
Berikut ini contoh gerakan peregangan balistik.
Gambar 2.19 Loncat dan buka tutup
kaki dan tepuk tangan
Gambar 2.20 Awalan berdiri,
ayunkan kedua lengan lurus dan
tangan menyentuh ujung kaki
d) Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)
Peregangan proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) ini
juga dikenal sebagai peregangan kontraksi-reaksi. “Pada peregangan model
proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF) ini diperlukan adanya
bantuan orang lain atau menggunakan peralatan lain untuk membantu
memudahkan gerakan peregangan agar mencapai target” (Sukadiyanto &
Muluk, 2011:146). Bantuan orang lain atau menggunakan alat memiliki
tujuan untuk membantu meregangkan otot hingga mencapai posisi statis dan
dapat dipertahankan posisinya dalam beberapa detik. Menurut (Pate,
McClenaghan & Rotella, 1984:332) “teori menyarankan bahwa prosedur ini
47
dapat membantu relaksasi otot secara penuh selama masa peregangan
dengan merangsang secara keras organ badan golgi selama masa kontraksi”.
Menurut Harsono (1988:171) Terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan peregangan proprioceptive neuromuscular
facilitation (PNF) ini adalah sebagai berikut, “a) lakukan warm-up
sebelumnya, b) dalam melakukan kontraksi isometris, jangan meregangkan
otot secara eksplosif, tetapi lambat-lambat, makin lama makin keras, c)
setelah kontraksi isometris, temannya secara perlahan-lahan meregangkan
otot-otot pelakuk, sedangkan pelaku tinggal pasif”. Berikut ini beberapa
contoh dari peregangan proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF).
Gambar 2.21 Sasaran otot
hamstring
Gambar 2.22 Sasaran otot punggug
dan hamstring
5) Kelincahan (Agility)
“Kelincahan adalah kemampuan mengubah arah atau posisi badan
secara cepat dan melakukan gerakan lanjutan yang lainnya” (Budiwanto,
2012:39). Menurut Lutan (1990:116) kelincahan (agility) adalahkemampuan
seseorang untuk dapat mengubah arah dengan cepat dan tepat pada waktu
bergerak tanpa kehilangan keseimbangan, kelincahan berkaitan erat dengan
tingkat kelentukan”. Selain itu Sajoto (1998:59) juga menjelaskan bahwa
“kelincahan adalah kemampuan seseorang dalam merubah arah, dalam posisi
di arena tertentu, dari satu posisi kesatu posisi yang berbeda dengan kecepatan
tinggi dan koordinasi gerak yang baik”. Menurut Nossek (1982:144)
“Kelincahan temasuk pada kelompok kualitas fisik. Kelincahan merupakan
kualitas yang sangat kompleks. Kelincahan ini mencakup interaksi kualitaskualitas fisik yang lain (kecepatan reaksi, kecepatan, kekuatan, kelentukan,
keterampilan gerak, dsb), karena semua ini bereaksi bersama”. Jadi seseorang
48
yang memiliki kelincahan dapat merubah posisi dan arahnya secara cepat,
selain itu juga dapat mengkoordinasikan teknik-teknik yang kompleks,
kelincahan juga berkaitan dengan kelenturan seseorang.
“Faktor-faktor yang menentukan kelincahan adalah kecepatan reaksi
dan kecepatan gerak, kemampuan mengadaptasi dan mengantisipasi,
kemampuan berorientasi terhadap masalah yang sedang dihadapi, kemampuan
mengatasi keseimbangan saat bergerak, kelenturan persendian, kemampuan
melakukan koordinasi, dan kemampuan melakukan gerakan” (Suharno dalam
Budiwanto, 2012:40). Menurut Mylsidayu & Kurniawan (2015:148-149)
faktor-faktor yang mempengaruhi kelincahan adalah “a) komponen biomotor
yang meliputi kekuatan otot, speed, power otot, waktu reaksi, keseimbangan
dan koordinasi, b) tipe tubuh, c) umur, d) jenis kelamin, e) berat badan, f)
kelelahan”.
Ciri-ciri latihan kelincahan menurut (Budiwanto, 2012:40) adalah, “1)
bentuk latihan harus ada gerakan mengubah posisi dan arah badan dengan
kecepatan tinggi, 2) rangsangan terhadap syaraf pusat sangat menentukan
keberhasilan latihan kelincahan, karena koordinasi sangat penting sebagai
unsur kelincahan, 3) adanya rintangan-rintangan untuk bergerak dan
mempersulit kondisi alat atau lapangan”. Bentuk-bentuk latihan untuk
mengembangkan kelincahan tentunya adalah bentuk-bentuk latihan yang
mengharuskan orang untuk bergerak dan mengubah arah dengan cepat. Dalam
melakukan
latihan
kelincahan
seorang
atlit
tidak
boleh
kehilangan
keseimbangan dan harus bisa mengontrol posisi tubuhnya.
6) Koordinasi (Coodination)
Dijelaskan oleh Bompa (1994:380) “koordinasi adalahkemampuan yang
sangat kompleks, ditandai adanya saling keterkaitan yang erat antara kecepatan
kekuatan, daya tahan dan kelenturan saat melakukan gerakan”. Sedangkan
Kent dalam Budiwanto (2012:43) “koordinasi adalah kemampuan untuk
mempersatukan sistem indera, sistem saraf dan sistem otot menjadi
serangkaian gerak untuk mengatur bagian-bagian badan secara terpisah, terlibat
dalam satu pola gerak yang rumit dan mempersatukan bagian-bagian tersebut
49
menjadi gerak tunggal, mulus, berhasil mencapai beberapa tujuan”. Koordinasi
merupakan gabungan dari berbagai kemampuan komopnen biomotorik lainnya
kompoten yang erat kaitannya dengan koordinasi adalah kecepata, kekuatan,
daya tahan, kelenturan, kelincahan, keseimbangan dan lain sebagainya.
Pada dasarnya koordinasi dibedakan menjadi dia macam yaitu,
“koordinasi umum (setiap atlet harus mempunyai komponen koordinasi dasar
sehingga dapat melakukan berbagai aktifitas fisik umum dalam olahraga),
koordinasi khusus (koordinasi ini sangat dibutuhkan pada penampilan gerakan
olahraga yang cepat dan memerlukan ketenangan, kesempurnaan dan
ketepatan)” (Bompa, 1994:380-381). Koordinasi umum dan koordinasi khusus
kedua-duanya sangat diperlukan dalam cabang olahraga sebab keduanya saling
berpengaruh terhadap keterampilan gerak seseorang. Koordinasi umum juga
merupakan dasar untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan
koordinasi khusus.
Tanpa memiliki kemampuan koordinasi yang baik maka atlet akan
kesulitan dalam melakukan teknik secara baik. Keuntungan bagi atlet yang
memiliki kemampuan koordinasi yang baik adalah mampu menampilkan
keterampilan
dengan
sempurna
dan
dapat
dengan
cepat
mengatasi
permasalahan gerak atau teknik yang muncul selama latihan. Selain itu atlit
yang memiliki kemampuan koordinasi yang baik akan mudah dan cepat dapat
melakukan keterampilan yang masih baru bagi atlet tersebut. Menurut Bompa
(1994:382-383) “beberapa faktor yang mempengaruhi koordinasi yaitu,
kemampuan berfikir atau intelegensi atlet, kebaikan dan ketelitian organ-organ
indra, pengalaman gerak, tingkat perkembangan kemampuan gerak yang alin
seperti kecepatan, kekuatan, daya tahan dan kelenturan”.
Latihan koordinasi yang baik untuk memperbaiki koordinasi adalah
dengan melakukan berbagai variasi gerak dan keterampilan. Seorang atlet
harus dilatih dengan keterampilan-keterampilan baru dari cabang olahraganya
maupun cabang olahraga lainnya. Apabila kemampuan koordinasi seorang atlet
tidak dapat berkembang maka kemampuan untuk mempelajari gerak baru juga
akan
menurun.
“Dalam
melatih
keterampilan,
faktor
kesulitan
dan
kompleksifitas gerakan harus senantiasa ditingkatkan” (Harsono, 1988:221).
50
“pada latihan koordinasi harus melibatkan berbagai unsur keterampilan gerak
dari cabang olahraga lain. Keterampilan gerak cabang olahraga yang
menggunakan peralatan bola baik yang besar maupun yang kecil, atau
peralatan lain dengan bentuk lari, lompat, loncat, lempar, tangkap, memukul,
menendang dan meluncur” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:150-151).
Menurut Bompa (1994:383) terdapat sepuluh metode latihan untuk
mengembangkan koordinasi, yaitu sebagai berikut.
1) Latihan dengan sikap permulaan yang tidak biasa dilakukan.
2) Melakukan keterampilan menggunakan anggota badan yang berlawanan.
3) Melakukan gerakan dengan kecepatan atau irama yang berganti-ganti.
4) Melakukan gerakan dengan ruang gerak yang terbatas.
5) Mengubah-ubah bagian teknik atau keterampilan.
6) Menambah kesulitan latihan dengan melakukan geraka tambahan.
7) Menggabungkan keterampilan-keterampilan yang barudikenal.
8) Menambah lawan atau beban sebagai pasangan.
9) Membuat kreasi kondisi gerakan yang tidak biasa.
10) Melakukkan kegiatan olahraga yang berbeda dengan olahraga pilihannya.
b. Prinsip-Prinsip Latihan Fisik
Prinsip latihan merupakan hal-hal yang harus ditaati, dilaksanakan dan
dihindari agar tujuan latihan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Menurut Sukadiyanto & Muluk (2011:13) “prinsip-prinsip latihan memiliki
peranan penting terhadap aspek fisiologis dan psikologis olahragawan, dengan
memahami prinsip-prinsip latihan akan mendukung upaya dalam meningkatkan
kualitas latihan”. Dalam pertemuan latihan seluruh prinsip latihan diterapkan
secara bersamaan dan saling mendukung, apabila ada prinsip latihan yang tidak
diterapkan maka akan berpengaruh terhadap keadaan fisik dan psikis
olahragawan. Untuk itu, para pelatih harus betul-betul memahami prinsip latihan
dan dapat menerapkannya dalam proses latihan. Penerapan prinsip latihan yang
benar akan dapat menghindari olahragawan dari cedera selama proses latihan.
Menerapkan prinsip-prinsip latihan harus hari-hati dan sesuai dengan
kebutuhan, serta memerlukan ketelitian dan ketepatan dalam penyusunan dan
51
pelaksanaan program latihan. “Syarat pelaksanaan latihan harus mengacu dan dan
berpedoman pada prinsip-prinsip latihan, proses latihan yang menyimpang dari
prinsip latihan, seringkali akan mengakibatkan kerugian bagi olehragawanmaupun
pelatih” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:13). Beberapa prinsip latihan yang paling
penting untuk dijadikan pedoman oleh siapapun yang ingin meningkatkan
performa fisik serta prestasinya dalam olahraga adalah sebagai berikut.
1) Prinsip Perkembangan Multilateral (Multilateral Development)
“Perkembangan multilateral berbagai unsur lambat laun saling berkaitan
antara seluruh organ dan sistem manusia serta antara proses fisiologi dan
psikologi” (Bompa, 1999:29). Menurut Harsono (1988:108) “dasar perkembangan
multilateral, terutama perkembangan fisik merupakan salah satu syarat untuk
memungkinkan terciptanya perkembangan fisik khusus dan penguasaan
keterampilan yang sempurna dari cabang olahraganya”. Dalam olahraga tidak
jarang terlihat olahragawan-olahragawan muda yang begitu cepat perkembangan
prestasinya, terkecuali karena bakat hal ini disebabkan karena para olahragawan
juga ikut melibatkan diri dalam berbagai aktivitas sehingga dapat mempengaruhi
perkembangan yang menyeluruh, terutama dalam kondisi fisiknya seperti
kekuatan, daya tahan, kecepatan, kelincahan, koordinasi gerak, fleksibilitas, dan
sebagainya. Olahragawan harus diberikan keleluasaan dalam mengikuti berbagai
cabang olahraga, pelatih tidak boleh mengekang pemain seperti melarang
olahragawan untuk mengikuti kegiatan yang tidak sesuai dengan spesialisasi
cabang olahraganya.
2) Prinsip Beban Berlebih (Overload)
“Untuk menigkatkan tingkat kebugaran, atlit harus melakukan lebih dari
apa yang digunakan tubuh mereka pada saat melakukan sesuatu” (Martens,
2012:240). “Beban latihan pada suatu waktu harus merupakan beban lebih dari
sebelumnya. Beban latihan cukup berat yang diberikan akan menimbulkan
kelelahan fisiologis dan anatomis, akibat pemberian beban fisik tersebut
organisme akan mengalami perubahan dan beradaptasi selanjutnya atlet akan
mengalami kenaikan kemampuan” (Budiwanto, 2012:17). Selain itu Harsono
(1988:103-104) berpendapat bahwa “prinsip overload adalah prinsip latihan yang
paling medasar akan tetapi paling penting, tanpa penerapan prinsip ini dalam
52
latihan, tidak mungkin prestasi akan meningkat. Prinsip ini bisa berlaku baik
dalam melatih aspek-aspek fisik, teknik, taktik mau pun mental”.
Beban latihan harun mencapai atau melampaui sedikit diatas batas ambang
rangsang. Pemberian beban latihan yang terlalu berat akan mengakibatkan tubuh
tidak akan mampu mengadaptasikannya, sedangkan bila pemberian beban yang
terlalu ringan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas fisik. Dalam
meningkatkan kualitas fisik cara yang dapat dilakukan adalah berlatih dengan
melawan atau mengatasi beban latihan, apabila tubuh sudah mampu menghadapi
beban latihan yang diberikan maka beban berikutnya harus ditambah atau
ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan adaptasi dari
olahragawan. “Peningkatan beban yang terus menerus diistilahkan dengan
orogressive overloading. Progressive overloading dengan beban yang progressive
ini merupakan titik sentral dalam setiap program latihan”. (Harsono, 1988:104).
“Adapun cara meningkatkan beban latihan dapat dengan cara diperbanyak,
diperberap, dipercepat dan diperlama” (Sukadiyanto & Muluk, 2011:19). Selain
itu Martens (2012:240) berpendapat bahwa “peningkatan beban latihan berkaitan
dengan tiga faktor yakni, frekuensi, durasi dan intensitas”. Penambahan frekuensi
latihan dapat dilakukan dengan cara menambah sesi latihan. Untuk penambahan
durasi dapat dilakukan dengan cara menambah lamanya waktu latihan, atau dapat
juga dilakukan dengan memperpendek waktu recovery dan interval sehingga
kualitas latihanmenjadi naik. Sedangakan untuk intensitas latihan dapat dapat
dilakukan denga cara meningkatkan kualitas pembebanan dari latihan.
3) Prinsip Spesialisasi
“Penerapan prinsip spesialisasi kepada anak-anak dan atlet-atlet muda
harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan pertimbangan yang cerdik dengan
selalu berpedoman bahwa latihan multilateral harus merupakan basis bagi
perkembangan multilateral” (Harsono, 1988:109). “Latihan harus bersifat khusus
sesuai dengan kebutuhan olahraga dan pertandingan yang akan dilakukan,
perubahan anatomis dan fisiologis dikaitkan dengan kebutuhan olahraga dan
pertandingan tersebut” (Bompa, 1994:33). Menurut Budiwanto (2012:18) “prinsip
spesialisasi atau kekhususan latihan adalah bahwa latihan harus dikhususkan
sesuai dengan kebutuhan pada setiap cabang olahraga dan tujuan latihan”. Setiap
53
bentuk latihan yang dilakukan oleh olahragawan memiliki tujuan yang khusus,
oleh karena itu setiap bentuk latihan akan direspon secara khusus oleh
olahragawan sehingga materi latihan harus dipilih sesuai dengan kebutuhan
cabang olahraganya.
Sebagai pertimbangan dalam menerapkan prinsip latihan spesifikasi
menurut Sukadiyanto & Muluk (2011:19) antara lain “spesifikasi kebutuhan
energi, spesifikasi bentuk dan model latihan, spesifikasi ciri gerak dan kelompok
otot
yang
digunakan,
dan
waktu
periodisasi
latihannya”.
Spesialisasi
menunjukkan unsur penting yang diperlukan untuk mencapai suatu prestasi
olahraga. Menyangkut maslah spesialisasi dalam latihan Ozolin dalam Bompa
(1994:34) menyarankan bahwa “tujuan latihan atau lebih khusus aktivitas gerak
digunakan untuk meperoleh hasil latihan yang dibagi menjadi dua yakni, 1)
latihan sesuai dengan olahraga spesialisasinya, 2) latihan untuk mengembangkan
kemampuan biomotor”.
4) Prinsip Individual
“Individualisasi dalam latihan adalah satu kebutuhan yang penting dalam
masa latihan dan itu bermanfaat pada kebutuhan bagi setiap atlet, dengan
mengabaikan tingkat prestasi dilakukan secara individual sesuai kemampuan dan
potensinya, karakteristik belajar, dan kekhususan cabang olahraga” (Budiwanto,
2012:19). Setiap atlet memberikan reaksi atau respon yang berbeda-beda terhadap
beban yang diberikan oleh pelatih. Sehingga beban latihan bagi setiap
olahragawan tidak dapat disamakan antara olahragawan yang satu dengan yang
lainnnya.
Latihan akan selalu menjati suatu persoalan pribadi bagi setiap
olahragawan, sehingga tidak dapat disamaratakan bagi semua olahragawa. Bompa
(1994:36-37)
berpendapat
bahwa
“latihan
harus
memperhatikan
dan
memperlakukan atlet sesuai dengan tingkat kemampuan, potensi, karakteristik
belajar, dan kekhususan olahraga, terlepas dari tingkat kinerja atlet. Seluruh
konsep latihan harus direncanakan sesuai dengan karakteristik fisiologis dan
psikologis atlet sehingga tujuan latihan dapat ditingkatkan secara wajar”. Analisis
lengkap tentang kapasitas kerja atlet dan perkembangan kepribadian diperlukan
untuk menentukan batas tertinggi
dari kemampuan yang dilakukan. Setiap
54
kapasitas kemampuan individu disebabkan oleh pengaruh beberapa faktor
menurut Sukadiyanto & Muluk (2011:15) yakni, faktor keturunan, faktor
kematangan, faktor gizi, faktor waktu istirahat dan tidur, faktor tingkat kebugaran,
faktor pengaruh lingkungan, faktor rasa sakit dan cidera, faktor motivasi”. Faktorfaktor diatas tentunya juga harus diperhatikan dalam penerapan prinsip latihan
individu, mulai dari materi latihan hingga penekanan dalam latihan. Selain itu
perbedaaan pada jenis kelamin juga berperan penting dalam memperhatikan
kemampuan dan kapasitas olahragawan dalam latihan, terutama selama masa
pubertas, menstruasi, hamil dan menyusui.
5) Prinsip Variasi
“Pogram latihan yang baik harus disusun secara variatif untuk
menghindari kejenuhan, keengganan dan keresahan yang merupakan kelelahan
secara psikologis” Sukadiyanto & Muluk (2011:20). Sedangkan Mylsidayu &
Kurniawan (2015:62) berpendapat bahwa “variasi latihan adalah satu dari
komponen kunci yang diperlukan untuk merangsang penyesuaian pada respon
latihan, prinsip variasi bertujuan untuk menghindari kejenuhan, keengganan, dan
keresahan yang merupakan kelelahan secara psikologis”. Dalam upaya mengatasi
kebosanan dari olahragawan pada saat melakukan latihan, seorang pelatih dituntut
untuk kreatif dengan memiliki banyak pengetahuan dan berbagai jenis latihan
sehingga latihan dapat diberikan secara bervariasi dan berganti-ganti tetapi tanpa
menghilangkan kaidah yang ada di dalam latihan itu sendiri.
Keterampilan dan latihan dapat diperkaya dengan mengadopsi pola gerak
teknik yang sama, atau dapat mengembangkan kemampuan gerak yang diperlukan
dengan olahraga. Menurut Bompa (1994:40) bependapat bahwa “variasi latihan
dapat menggunakan half squat, leg press, jumping squats, step ups, jumpung atau
latihan lompat kursi, latihan dengan bangku, dan dept jump. Pelatih memugkinkan
mengubah periodik suatu latihan ke latihan lain, jadi kebosanan dikurangi tetepi
tetap memperhatikan pengaruh latihan”. Sukadiyanto & Muluk (2011:20)
berpendapat bahwa “cara untuk memveriasi latihan dapat dengan mengubah
bentuk, tempat, sarana dan prasarana latihan, atau teman berlatih. Meskipun
unsur-unsur tersebut dapat diubah tatapi tujuan utama latihan tentu tidak boleh
berubah”. Variasi latihan yang dikreasi dan diterapkan secara berfariatif tanpa
55
menghilangkan tujuan utama dari latihan dapat menjaga dan bahkan
meningkatkan fisik maupun mental olahragawan.
6) Prinsip Partisipasi Aktif
Prinsip ini mengandung makna bahwa untuk menghasilkan prestasi yang
maksimal atlet harus terlibat secara aktif dalam proses latihan yang telah
dipilihnya. “Partisipasi aktif tidak terbatas hanya pada waktu latihan, seorang
atlet akan melakukan kegiatannya meskipun tidak dibawah pengawasan dan
perhatian pelatih” (Budiwanto, 2012:24). Prinsip ini sering luput dari perhatian
atlet dan juga pelatih. Atlet berpartisipasi secara pasif, hanya mengikuti saja apa
yang diperintahkan atau menunggu pemberian motivasi dari pelatih tanpa didasari
atas kesungguhan untuk melakukan latihan bahwa latihan adalah suatu
kebutuhan. Bompa (1994:28) mengemukakan “pemahaman yang jelas dan teliti
tentang tiga faktor prinsip ini yakni, lingkup dan tujuan latihan, kebebasan dan
peran kreativitas atlet, dan tugas-tugas selama tahap persiapan”. Atlet harus
merasakan bahwa pelatihnya membawa perubahan dan perbaikan pada
keterampilan, kemampuan gerak, kualitas fifik dalam upaya mengatasi kesulitan
yang dialami dalam latihan.
Latihan adalah suatu bentuk kerja sama antara atlet dan pelatih yang
memiliki resiko. Atlet harus memahami tujuan latihan dan rencana yang telah
disusun oleh pelatih. Tidak ada pelatih yang selalu mengetahui bagaimana reaksi
tubuh dan pikiran atlet terhadap rangsangan latihan yang diterimanya. Atlet harus
memberikan umpan balik dan bekerja sama dengan pelatih untuk mencapai efek
latihan yang optimal. Ritter dalam Bompa (1994:29) menyarankan bahwa
ketentuan-ketentuan yang diperlukan prinsip ini adalah, “1) pelatih harus bekerja
sama mencapai tujuan latihan bersama atletnya, 2) atlet harus aktif berpartisipasi
dalam perencanaan program latihan jangka panjang dan pendek, 3) atlet secara
periodik harus melakukan tes dan standar pencapaian, 4) atlet harus melakukan
latihan secara mandiri atau tanpa pengawasan pelatihnya”.
7) Prinsip Pulih Asal (Recovery)
“Pada waktu menyusun program latihan yang menyeluruh harus
mencantumkan waktu pemulihan yang cukup, apabila tidak memperhatikan waktu
pemulihan ini maka atlet akan mengalami kelelahan yang luar biasadan berakibat
56
pada menurunnya penampilan” (Budiwanto, 2012:19). Menurut Rushall & Pyke
(1992:60) “faktor paling penting yang mempengaruhi status kesehatan atlet adalah
pemilihan rangsangan beban bertambah dengan waktu pulih asal yang cukup
diantara setiap melakukan latihan”. Program latihan sebaiknya disusun berselangseling antara latihan berat dan latihan ringan, tujuannya adalah untuk menghindari
terjadinya kelelahan saat latihan (overtraining) atau bahkan dapat menyebabkan
terjadinya cidera.
8) Prinsip Berkebalikan (Reversibility)
“Prinsip berkebalikan (reversibility) artinya bila olahragawan berhenti dari
latihan dalam waktu tertentu bahkan dalam waktu lama, maka kualitas organ
tubuhnya akan mengalami penurunan fungsi secara otomatis” (Sukadiyanto &
Muluk, 2011:22). Rushall & Pyke (1992:71) menjelaskan bahawa “juka waktu
pulih asal diperpanjang yaitu hasil yang telah diperoleh selama latihan akan
kembali ke asal seperti sebelum latihan jika tidak dipelihara”. Oleh sebab itu
latihan harus dilakkukan secara berkesinambungan dengan tujuan untuk
memelihara kondisi fisik dari olahragawan. “Seseorang yang menyelesaikan
istirahat total diperkirakan kehilangan kebugaran kardiovaskular sebesar 10%
dalam seminggu” (Martees, 2012:241). Dengan demikian wajar jika terdapat
olahragawan yang mengalami cidera dan harus menjalani istirahat total sehingga
tidak dapat menjalani latihan secara kontinyu akan menurunkan prestasi dan
kemampuannya baik dari segi kemampuan fisik maupun keterampilan.
9) Prinsip Peningkatan (Progresif)
“Prinsip latihan secara progresif menekankan bahwa atlet harus
menambah waktu latihan secara progresif dalam keseluruhan program latihan.
Prinsip latihan ini dilaksanakan setelah proses latihan berjalan menjelang
pertandingan” (Budiwanto, 2012:22-23). Sedangkan Mylsidayu & Kurniawan
(2015:61) “latihan progresif artinya dalam pelaksanaan latihan dilakukan dari
yang mudah ke yang sukar, sederhana ke kompleks, umum ke khusus, bagian ke
keseluruhan, ringan ke berat, dan dari kuantitas ke kualitas, serta dilaksanakan
secara ajeg, maju dan berkelanjutan”. Peningkatan beban latihan yang dilakukan
secara bertahap akan memberikan dampak pada otrag-organ tubuh untuk lebih
berkembang dalam mengatasi beban latihan yang diterima.
57
Pada prinsip latihan progresif ini harus memperhatikan komponen dari
latihan seperti frekuensi, voliume, intensitas dan durasi pada setiap program
latihan harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. “Prinsip pogresif tidak berarti
dalam meningkatkan beban latihan secara terus-menerus tanpa waktu recovery
dan interval, pemberian waktu recovery dan interval yang benar merupakan salah
satu faktor penentu ketepatan penampilan puncak yang diinginkan” (Sukadiyanto
& Muluk, 2011:19).
10) Prinsip Model dalam Proses Latihan
“Model Pelatihan adalah suatu pelatihan simulasi, suatu bentuk
pelatihanyang mirip atau hampir menyerupai permainan atau pertandingan yang
sesungguhnya. Pelatihan simulasi ini disusun berdasarkan atas unsur spesifik dari
fenomena yang dicari” (Nala, 1998:31). Bompa (1994:40) juga menjelaskan
bahwa “model merupakan sebuah tiruan, simulasi suatu kenyataan, disusun dari
elemen yang khusus dari sejumlah fenomena yang dapat diawasi dan diselidiki.
Ini juga merupakan sebuah isomorphus (sama dengan pertandingan) dari suatu
gambaran, yang diperoleh secara abstrak”. Ketika menciptakan sebuah model
latihan seseorang pelatih harus mampu membangun suatu imajinasi atau hipotesis
pelatih dimana kemajuan maupun hasilnya dapat dianalisis. Tujuan, metode dan
isi dari model latihan hendaknya sejalan dengan apa yang akan dihadapkan pada
saat pertandingan.
Dalam menyusun model latihan ada dua unsur yang peru mendapatkan
perhatian yaitu, “1) unsur kualitatif (unsur yang terdiri atas intensitas pelatihan,
teknik, strategi, dan aspek psikologis dari atlet), 2) unsur kuantitatif (menyangkut
volume pelatihan yakni jumlah repetisi (ulangan), set, serta lama latihan dan
frekuensi yang dibutuhkan untuk menunjang unsur kualitatif)” (Nala, 1998:32).
Pembuatan model latihan dimulai dengan fase pemikiran, selama ini pelatih
mengawasi dan menganalisis keadaan yang sebenarnya dari latihan. Sebuah
model harus sesuai dengan kekhususan individu atau tim, pelatih tidak boleh
terpaku atau mencontoh model latihan dari seorang atlet yang juara karena
kebutuha setiap atlet berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga model
latihan yang harus diterapkan juga bersifat individu. Bompa (1994:42)
58
menjelaskan urutan pengembangan sebuah model latihan melalui gambar berikut
ini.
Aplikasi
Model Akhir
Uji Coba Model dalam
Pertandingan Eksebisi
Hasil Validasi Model
Penyempurnaan Model
Secara Kuantitatif
Penyempurnaan Model
Secara Kualitatif
Pengenalan Elemen
Kuantitatif Baru
Pengenalan Elemen
Kualutatif Baru
Kesimpulan
Kontemplasi
Gambar 2.23 Urutan pengembangan sebuah model latihan
4. Media Flip Book Maker
a. Pengertian Media Flip Book Maker
Pada zaman era digital yang serba modern seperti saat ini setiap orang
selalu berkaitan dan berhubungan dengan data, baik itu data kuliah maupun
data yang berkaitan dengan pekerjaan. Berkaitan dengan data tersebut seperti
halnya mahasiswa, karyawan, dosen, guru, maupun kalangan pemerintahan
harus bisa memanfaatkan apa yang dinamakan kemajuan teknologi. Salah satu
kemudahan yang diberikan teknologi adalah membuat buku dalam bentuk
digital. Buku digital saat ini telah dapat menggantikan buku konvensional.
Dalam satu folder bisa digunakan untuk menyimpan puluhan hingga ribuan file
buku tanpa harus menyiapkan lemari yang besar untuk menyimpan berbagai
59
macam tumpukan buku konvensional. Buku digital tentu akan sangat
mengamankan aset atau data yang dimiliki dan apabila membutuhkan data
tersebut akan sangat mudah dalam mencarinya kembali. Buku digital ini bisa
diakses tidak hanya menggunakan komputer atau laptop tapi juga bisa
disimpan dengan menggunakan gadget atau smartphone. Salah satu cara
membuat buku digital ini adaalah dapat dengan menggunakan media flip book
maker.
Media flip book maker merupakan salah satu media yang diharapkan
dapat mempermudahkan seseorang dalam menyimpan buku dalam bentuk
digital dan mengakses berbagai macam hal yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, tentunya dengan menyajikan tampilan yang menarik. “Flip book
maker merupakan salah satu software yang dapat digunakan untuk menyajikan
modul dapat tampilan elektronik” (Wijayanto & Zuhri, 2014:626). Menurut
Sugiyanto dkk dalam Rasiman (2014:37) “flipbook maker merupakan software
yang digunakan untuk membuat tampilan buku atau bahan ajar lainnya menjadi
sebuah buku elektronik digital berbentuk flipbook”. Selain itu Wijayanto dalam
Rasiman (2014:37) menyatakan “Flip book maker adalah sebuah software yang
mempunyai fungsi untuk membuka setiap halaman menjadi layaknya sebuah
buku. Hasil akhir dapat disimpan dalam format .swf, .exe, .html”.
Media flip book maker adalah perangkat lunak yang dirancang untuk
mengkonversi file PDF atau image ke digital. “Software ini dapat mengubah
tampilan file PDF menjadi lebih menarik seperti layaknya sebuah buku dalam
bentuk digital. Dengan menggunakan perangkat lunak tersebut, tampilan media
akan lebih variatif karena tidak hanya dalam bentuk teks” (Sugiyanto, dkk
dalam Rasiman & Rahmawati, 2014:645). Selain membuat file PDF menjadi
seperti buku, flip book maker juga dapat memberi efek suara dan fasilitas lain
ketika software ini dibuka sehingga e-book yang disajikan menjadi lebih
menarik. Selain itu software ini juga dapat digunakan untuk membuka foto
slide. “Pada media flip book maker ini dapat menambahkan file-file gambar,
file pdf, file swf dan file video berformat FLV dan MP4” (Istiyanto, 2013).
Dengan menggunakan flip book maker, diharapkan hasil penelitian
pengembangan ini lebih mudah diakses oleh semua kalangan. Selain itu
60
membuat semua kalangan lebih tertarik untuk mempelajari tentang teknik dasar
bermain futsal dan model latihan fisik futasl karena di dalamnya memuat
tampilan-tampilan yang lebih menarik.
b. Cara Membuat Media Flip Book Maker
Media flip book maker merupakan salah satu media yang menyajikan
suatu tampilan yang menarik, mudah diakses dalam keadaan dan situasi
apapun. Untuk memperoleh hasil yang menarik dari media flip book maker ini
dapat dilakukan dengan beberapa langkah pembuatan media flip book maker,
yaitu sebagai berikut.
1) Terlebih dahulu pastikan aplilkasi atau program media flip book maker
sudah terinstall.
2) Setelah terinstall, buka aplikasi atau program flip book maker, pada
tampilan program terdapat tiga macam menu yaitu add file, style, dan
publish. Berikut ini contoh tampilan utama pada aplikasi atau program flip
book maker.
Gambar 2.24 Tampilan utama pada flip book maker
3) Langkah 1  klik menu add file  hal utama yang dilakukan adalah
dengan cara mengimport file yang akan dijadikan flip book dengan
menekan tombol yang ada di tengah (pada gambar dalam kotak tengah).
File dapat di import dengan berbagai macam jenis file yaitu, PDF, file
gambar, file video ataupun file SWF.
61
Gambar 2.25 Langkah mengimport file
4) Setelah mengimport file yang ingin dijadikan flip book akan muncul
tampilan seperti pada gambar 2.26. Dimana pada tampilan tersebut
terdapat penentuan ukuran tampilan media flip book yang akan digunakan.
Gambar 2.26 Tampilan pengaturan ukuran media flip book
5) Langkah ke 2  setelah semua file yang ingin dijakikan flip book
terimport kemudian pilih menu style, pada menu style ini tersedia berbagai
macam animasi flip book dari template yang disediakan.
Gambar 2.27 Tampilan menu style
62
Pada gambar 2.27 tampilan flip book sebelum diberi efek style dan
animasi, untuk memberi efek style dan animasi dapat memilih pada pilihan
disebelah kirinya (pada gambar).
6) Langkah ke 3  langkah ini merupakan langkah terakhir. Pilih menu
publish, untuk mempublis flip book yang telah dibuat. Untuk mempublis
flip book yang telah dibuat dapat menggunakan beberapa format file yaitu,
HTML, EXE, ZIP, EMAIL, SWF atau flash, APP screen server.
Gambar 2.28 Tampilan menu publish
7) Pilih file yang dibuat akan disimpan dalam format apa. Setelah dipilih
akan muncul seperti pada gambar 2.29.
Gambar 2.29 Tampilan penyimpanan flip book
a. Pilih file folder untuk menentukan tempat hasil publish flip book.
63
b. Beri nama untuk menyimpan flip book pada kolom file name.
c. Pilih tombol start untuk menyimpan media flip book maker.
5. Penuangan Model Latihan Teknik Dasar dan Model Latihan Fisik Futsal
pada Media Flip Book Maker
Media flip book maker merupakan salah satu media yang diharapkan
dapat mempermudahkan seseorang dalam menyimpan buku dalam bentuk
digital dan mengakses berbagai macam hal yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, tentunya dengan menyajikan tampilan yang menarik. Dalam
rancangan pembuatan media flip book maker ini terdiri dari beberapa aspek
yaitu, pengkajian teori dari model latihan teknik dasar dan latihan fisik futsal,
pembuatan model latihan teknik dasar, pembuatan model latihan fisik futsal,
pembuatan gambar dan video dari model latihan yang telah dibuat.
Setelah semua tahapan pembutan model latihan terselesaikan, hasil dari
pembuatan tersebut dituangkan kedalam bentuk media flip book maker. Untuk
pembuatan media flip book maker dirancang terlebih dahulu objek-objek yang
akan digunakan dalam media flip book maker seperti teks atau teori tentang
model latihan teknik dasar dan latihan fisik futsal, animasi yang akan
digunakan, suara, gambar, video dan narasi. Tahapan penyusunan media flip
book maker yang telah dibuat dengan melakukan penggabungan antara teori,
animasi, gambar, video dan suara menjadi satu kesatuan dalam tampilan akhir
dari media flip book maker ini.
Pada hasil akhir dari pengembangan media flip book maker ini, terdapat
tentang teori model latihan teknik dasar dan latihan fisik futsal, video, gambar,
dan beberapa keterangan yang berkaitan dengan model latihan teknik dasar dan
latihan fisik futsal.
B. Penelitian yang Relevan
Secara umum pengembangan model latihan teknik dasar bermain futsal
dan model latiihan fisik futsal berbasis media flip book maker belum banyak
dilakukan sehingga peneliti belum menemukan penelitian yang relevan dengan
penelitian yang dilakukan sekarang.
64
C. Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir merupakan argumentasi teoritik terhadap hipotesis yang
diajukan. Dalam penelitian pengembangan kerangka berpikir memberikan arahan
tentang langkah-langkah metodologis yang akan diambil, penelitian ini
menggunakan metode pengembangan research and development Borg dan Gall
(1983). Penelitian ini dapat dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu, penelitian
dasar, terapan, evaluasi, pengembangan dan mendesak. Penelitian pengembangan
bukan hanya sekedar penelitian yang digunakan untuk menguji teori, tetapi apa
yang sudah dihasilkan dari pengembangan ini dilakukan pengujian model produk
yang dihasilkan dilapangan, kemudian melakukan tahap dimensi dan direvisi
hingga hasilnya dapat diimplementasikan dan diterima sehingga hasil produk
pengembangan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Penelitian pengembangan merupakan suatu tahapan proses atau langkah
untuk mengembangkan sejumlah model produk baru atau memodifikasi kembali
produk yang ada sehingga menjadi lebih sempurna. Penelitian pengembangan ini
sudah dipastikan akan menghasilkan produk-produk hasil dari pengembangan
sebuah model. Untuk memperoleh hasil produk yang baik, peneliti harus melalui
beberapa proses seperti melakukan uji coba produk, melakukan uji ahli dan
eveluasi model oleh para ahli, sehingga produk yang dihasilkan berkualitas dan
tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Pada penelitian pengembangan ini
produk yang dihasilkan dapat dituangkan dengan berbagai macam bentuk, dapat
dituangkan dalam bentuk alat, multimedia, buku, dan aplikasi.
Pemilihan metode pengembangan ini karena dianggap sesuai dengan
permasalahan yang akan diangkat pada topik penelitian. Secara garis besar
metode pengembangan ada tiga tahap, yang pertama pendahuluan, kedua tahap uji
produk, dan tahap uji efektivitas produk. Pada penelitian pengembangan ini
peneliti bermaksud untuk mengembangkan dua aspek penting yang ada pada
permainan futsal yaitu teknik dasar dan latihan fisik. Hasil pengembangan ini
peneliti berencana untuk menuangkan hasil pengembangan model latihan teknik
dasar futsal dan model latihan fisik futsal ke dalam bentuk media berupa flip book
maker. Penentuan model latihan yang akan dikembangkan pada teknik dasar dan
65
latihan fisik adalah mengacu pada penjabaran kajian teori yng telah dijelaskan
diatas.
Tahap pendahuluan terdiri analisis kebutuhan, kajian teoritik dan
pengembangan produk awal. Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui
proses latihan teknik dasar dan latihan fisik hingga menemukan masalah yang
akan diangkat menjadi maslah penelitian. Kemudian dilanjutkan kajian teoritik
yang relevan dengan topik masalah penelitian yang diangkat. Langkah
selanjutnya pengembangan produk awal yaitu mengembangkan model latihan
teknik dasar bermain futsal dan model latihan fisik futsal.
Tahap uji coba produk ada dua yaitu uji coba ahli dan uji coba lapangan,
pada tahap ini bertujuan untuk mendapatkan penilaian dari ahli futsal, ahli latihan
fisik, ahli media dan pemain futsal di Kota Malang. Hasil evaluasi dari para ahli
dan pemain futsal dijadikan sebagai acuan dan masukan untuk perbaikan model
latihan yang dikembangkan oleh peneliti.
Tahap uji efektivitas produk dengan menggunakan rancangan eksperimen.
Rancangan eksperimen yang digunakan adlah eksperimen semu, penggunaan
rancangan ini dimaksudakn untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan
cara melihat kelompok kontrol dan kelompok eksperimental. Uji efektivitas
terdiri dari tiga tahapan yaitu, tes awal, perlakuan dan tes akhir.
Tes awal menggunakan instrumen tes teknik dasar futsal dan latihan fisik,
skala penilaian teknik dasar futsal bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal
keterampilan teknik dasar futsal antara kelompok coba dan kelompok kontrol.
Sedangkan untuk aspek latihan fisik, skala penilaiannya bertujuan untuk
mengetahui kemampuan awal aspek latihan fisik antara kelompok coba dan
kelompok kontrol. Setelah melakukan tes awal kelompok coba dan kelompok
kontrol diberikan perlakuan berupa model latihan teknik dasar dan model latihan
fisik futsal yang sebelumnya telah dibuat oleh peneliti. Tes akhir menggunakan
instrumen tes teknik dasar futsal dan latihan fisik, skala penilaian penilaian yang
digunakan bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan atau perubahan
dari kelompok coba dan kelompok kontrol seteleh diberikannya perlakukan.
66
D. Spesifikasi Produk
Pada penelitian ini peneliti akan mengembangkan model latihan teknik
dasar bermain futsal dan model latihan fisik futsal, memperhatikan tahapan
pelaksanaan latihan, yang dilakukan dari yang mudah ke yang sukar, dari yang
sederhana ke yang kompleks, dari jarak dekat ke yang jauh, dan dari tingkat
kesulitan yang rendah ke yang tinggi. Kemudian akan menjelaskan tentang apa
saja teknik dasar bermain futsal dan latihan fisik futsal yang dibutuhkan oleh
pemain futsal.
Penyusunan draft produk hasil pengembangan model latihan teknik dasar
dan model latihan fisik pada futsal ini, diutamakan pada teknik dasar futsal dan
latihan
fisik
futsal.
Model-model
kegiatan
latihannya
mengarah
pada
pengkondisian terhadap penguasaan keterampilan teknik dasar dan kemampuan
latihan fisik.
Download